laporan tutorial skenario 2
DESCRIPTION
Laporan Tutorial Skenario 2TRANSCRIPT
Laporan Tutorial skenario IIKelompok Tutorial IV
Anggota :Agvianti Wirya P (H1A011006)Arina Windri Rivarti (H1A011009)Buana Maheswara H.S (H1A011004)Cokorda Gd Sananjaya (H1A011015)Dimas Pambudi (H1A011018)Farah Almadina (H1A011020)I wayan Ryan Adhitya P (H1A011032)Liya Maulidianti (H1A011040)Made Ayu Candra M (H1A011042)Nabila Fawzia Putri (H1A011047)Nadiah (H1A011048)
Fakultas Kedokteran Universitas MataramNusa Tenggara Barat, Indonesia2013
KATA PENGANTAR
Page | 2
Puji syukur kehadiran Tuhan Yang Maha Esa karena kuasanya semua yang terjadi di bumi
dan langit. Karena kuasa-Nya pulalah laporan ini dapat selesai disusun. Kami menyadari, laporan
ini masih banyak kekurangan. Maka kritik dan saran dari semua pihak akan sangat membantu
untuk perbaikan dan demi terciptanya laporan yang lebih baik.
Terima kasih pula untuk semua pihak yang telah terlibat. Terima kasih untuk segala bentuk
dukungannya. Bagi pihak yang belum disebutkan namanya, kami mohon maaf.
Akhir kata semoga laporan ini bermanfaat. Amin.
Mataram, Desember 2013
Penyusun
Goiter Endemik......................................................................................................................... 13
Hipotiroidisme.......................................................................................................................... 17
Hipertiroidisme .........................................................................................................................
25
Tiroiditis.....................................................................................................................................
32
Daftar Pustaka.......................................................................................................................... 41
Halaman Judul.......................................................................................................................... 1
Pengantar................................................................................................................................. 2
Daftar Isi .................................................................................................................................. 3
Skenario 3 ............................................................................................................................... 4
Analisis Skenario......................................... ............................................................................. 5
Tujuan pembelajaran (Learning Objective)............................................................................. 8
Regulasi, sintesis dan metabolisme hormon tiroid.................................................................... 9
Page | 3
DAFTAR ISI
Page | 4
Skenario 3
“benjol leq belongqu......”
Seorang perempuan berusia 40 tahun datang ke puskesmas dengan keluhan benjolan di leher
yang dideritanya sejak 1 tahun yang lalu. Dari pemeriksaan fisik leher, didapatkan benjolan
dengan ukuran 15cm x 10cm x 5cm. Kemudian dokter puskesmas melakukan anamnesis
lebih lanjut, pemeriksaan fisik lengkap dan menyarankan pemeriksaan penunjang untuk
menegakkan diagnosis.
Page | 5
Analisis Skenario
Di leher terdapat organ-organ penting yang dapat mengalami pembengkakan dan
menimbulkan benjolan. Musculus sternocledomastoideus membagi sisi leher menjadi dua
bagian yaitu segitiga anterior dan segitiga posterior. Benjolan tersebut berdasarkan
penyebabnya dapat dibagi menjadi benjolan endokrin atau benjolan non endokrin. Benjolan
endokrin dapat disebabkan oleh pembesaran kelenjar tiroid sehingga tampak benjolan pada
bagian anterior leher. Sedangkan benjolan non endokrin dapat disebabkan oleh pembesaran
limfa nodi dan kelenjar saliva yang dapat muncul pada bagian anterior maupun posterior
leher.
Gambar 1. Diagnosis Banding Masa di Leher
Jumlah pembengkakan
Soliter
Segitiga Posterior
Cystic
Cystic hygroma level 6
Pulsatile
Subclavian aneurysm level 6
Solid
Limfa nodi level 6
Segitiga Anterior
Bergerak saat menelan?
Ya
Solid
Tiroid gland level 5
Tiroid isthmus lymh node level 5
Cystic
Thyroglossan cyst level 5
Tidak
Solid
Carotod body tumor level 5
salivary gland level 1
Lymph node any level
Cystic
Branchial cyst level 2
Cold abscess TB any level
Multipel
Limfa nodi
Page | 6
Tabel 1. Diagnosis Banding Massa Leher (Eksklusi tiroid)
Tabel 2. Diagnosis Banding Pembesaran Kelenjar Saliva
Page | 7
Tabel 3. Penyebab Pembesaran Tiroid
Perlu dilakukan anamnesis berupa waktu munculnya massa, gejala lain yang
berhubungan, kebiasaan pribadi, riwayat trauma, riwayat radiasi dan operasi. Riwayat
merokok, penggunaan alkohol, pengunaan obat-obat tertentu, demam, nyeri, penurunan berat
badan, keringat di malam hari, paparan terhadap tuberkulosis, perjalanan ke luar daerah /
tempat asing dan riwayat perkerjaan dan seksual juga ditanyakan.
Pada pemeriksaan fisik pemeriksa harus memeriksa area kepala dan leher secara
menyeluruh. Seluruh permukaan nasofaring, orofaring, laring, dan nasal cavity harus
diinspeksi. Permukaan oral dan faringeal dipalpasi untuk mencari adanya massa tambahan.
Menentukan lokasi, mobilitas, konsistensi, ukuran, dan adanya nyeri tekan dari massa leher
penting dalam membantu menegakkan diagnosis.
Pemeriksaan penunjang dilanjutkan sesuai dengan indikasi dan kecenderungan
diagnosis. Misalnya dengan pemeriksaan USG, CT scan, MRI, FNAB atau biopsi terbuka.
Jika dicurigai mengarah pada penyakit tiroid dapat dilakukan pemeriksaan TSH dan free T3
dan T4.
Page | 8
Learning Objective
1. Regulasi, sintesis, dan metabolisme hormon tiroid
2. Diferential Diagnosis :
a. Goiter nontoxic
b. Hipotiroidisme
c. Hipertiroidisme
d. Tiroroksikosis
e. Tiroiditis
3. Analisis Skenario
Page | 9
A. Regulasi, Sintesis dan Metabolisme Hormon Tiroid
Biosintesis hormon tiroid merupakan suatu urutan langkah-langkah proses yang diatur
oleh enzim-enzim tertentu dan dirangsang oleh tirotropin atau thyroid stimulating hormone
(TSH). Langkah-langkah tersebut adalah:
1. Penangkapan yodida
Penangkapan yodida oleh sel-sel folikular tiroid merupakan suatu proses aktif dan
membutuhkan energi. Energi ini didapatkan dari metabolisme oksidatif dalam
kelenjar. Yodida yang tersedia untuk tiroid berasal dari makanan atau air, atau yang
dilepaskan pada deyodinasi hormon tiroid atau bahan-bahan yang mengalami
yodinasi. Tiroid mengambil dan mengonsentrasikan yodida 20 hingga 30 kali
kadarnya dalam plasma.
2. Oksidasi yodida menjadi yodium
Yodida diubah menjadi yodium, dikatalis oleh enzim yodida peroksidase
3. Organifikasi yodium menjadi monoyodotirosin dan diyodotirosin
Yodium bergabung dengan molekul tirosin menjadi monoyodotirosin dan
diyodotirosin. Proses ini terjadi pada interfase sel koloid.
4. Proses penggabungan prekursor yang teryodinasi
Senyawa yang terbentuk, monoyodotirosin dan diyodotirosin, kemudian digabungkan
sebagai berikut:
- Dua molekul diyodotirosin membentuk tiroksin (T4)
- Satu molekul diyodotirosin dan satu molekul monoyodotirosin membentuk
triyodotirosin (T3)
5. Penyimpanan
6. Pelepasan hormon ke dalam sirkulasi
Pelepasan hormon dari tempat penyimpanan terjadi dengan masuknya tetes-tetes
koloid ke dalam sel-sel folikel dengan proses yang disebut pinositosis. Di dalam sel-
sel ini tiroglobulin dihidrolisis dan hormon dilepaskan ke dalam sirkulasi.
Page | 10
Gambar 2. Sintesis dan Sekresi Hormon Tiroid
Kebanyakan hormon dalam sirkulasi terikat pada protein dan hanya sebagian kecil
saja berada dalam bentuk bebas. Hormon tiroid bersikulasi dalam plasma terikat pada protein
plasma:
1. Globulin pengikat tiroksin (TBG)
2. Prealbumin pengikat tiroksin (TBPA)
3. Albumin pengikat tiroksin (TBA)
Ketiga protein pengikat tiroksin tersebut, TBG merupakan pengikat tiroksin yang
paling spesifik. Selain itu, tiroksin mempunyai afinitas yang lebih besar terhadap protein
pengikat ini dibandingkan dengan triyodotironin. Akibatnya triyodotironin lebih mudah
berpindah ke jaringan sasaran. Faktor inilah yang menyebabkan aktivitas metabolik
triyodotironin lebih besar.
Page | 11
Hormon yang terikat dan bebas berada dalam keadaan keseimbangan yang reversibel.
Hormon yang bebas merupakan fraksi yang aktif secara metabolik, sedangkan fraksi yang
lebih banyak dan terikat pada protein tidak dapat mencapai jaringan sasaran.
Hormon-hormon tiroid diubah secara kimia sebelum diekskresi. Perubahan yang
penting adalah deyodinasi yang bertanggungjawab atas ekskresi 70% hormon yang
diekskresi, sedangkan 30% lainnya hilang dalam feses melalui ekskresi empedu sebagai
glukuronida atau persenyawaan sulfat. Akibat deyodinasi, 80% T4 dapat diubah menjadi
3,3’,5’-triyodotironin (rT3) yang merupakan hormon metabolik yang tidak aktif.
Fungsi tiroid dikontrol oleh hormon glikoprotein hipofisis hormon TSH, yang diatur
pula oleh thyroid releasing hormone (TRH), suatu neurohormon hipotalamus. Tiroksin
menunjukkan pengaturan timbal balik negatif dari sekresi TSH dengan bekerja langsung pada
tirotropi hipofisis. Peningkatan kadar hormon tiroid akan menimbulkan umpan
balik negatif (negative feedback) menghambat hipofisis anterior untuk
melepaskan TSH yang lebih banyak dan pelepasan TRH dari hipotalamus.
Page | 12
Gambar 3. Sintesis dan pengaturan sekresi
hormon tiroid.
Kotak menyatakan langkah-langkah yang
terjadi dalam kelenjar tiroid. Fungsi tiroid
diatur oleh aksis hipofisis hipotalamus.
TRH (Thyrotropin Releasing Hormone),
TSH (Thyroid Stimulating Hormone), I-
(yodida), I2o (yodium), MIT
(Monoyodotirosin), DIT ( Diyodotirosin),
TG (thyroglobulin), T3 (triyodotironin), T4
(tiroksin).
Efek Terhadap Pertumbuhan dan Perkembangan
Hormon tiroid mempunyai efek yang kritis terhadap pertumbuhan,
sebagian efek langsung terhadap sel-sel dan sebagian sebagai efek tidak
langsung dengan memengaruhi produksi serta memperkuat efek hormon
petumbuhan. Hormon ini penting untuk respons normal terhadap
parathormon dan kalsitonin dan perkembangan otot rangka, terutama
untuk pertumbuhan normal dan pematangan SSP.
Efek metabolik
1. Termoregulasi
Page | 13
2. Metabolism protein, dalam dosis fisiologis kerja hormone ini bersifat
anabolic tetapi dalam dosis besar bersifat katabolic.
3. Metabolism karbohidrat bersifat diabetogenik karena resorbsi intestinal
meningkat, cadangan glikogen menipis dan degradasi insulin
meningkat
4. Metabolism lipid. Pada hipotiroid, kolesterol total, kolesterol ester dan
fosfolipid meningkat
5. Vitamin A, konversi provitamin A menjadi vitamin A di hati memerlukan
hormone tiroid. Pada hipotiroid dapat dijumpai karotenemia, kulit
kekuningan.
B. Goiter Endemik (Goiter nontoxic)
Goiter endemik adalah salah satu jenis dari goiter non toxic yang sering terjadi. Penyakit
ini ditandai dengan adanya goiter/struma/perbesaran kelenjar thyroid secara diffuse yang
disebabkan kurangnya asupan iodium. Juga disebut sebagai GAKI (Gangguan Akibat
Kekurangan Iodium) atau IDD (Iodine Deficiency Disorders).
EPIDEMIOLOGI
Kejadian GAKI sangat beragam dalam usia, yaitu bisa terjadi baik pada fetus hingga
orang dewasa. Dari laporan MDIS Working papers, kejadian GAKI banyak ditemukan pada
daerah pegunungan seperti Alpen, Himalaya, dan Bukit Barisan. Meski begitu, tidak
menutup kemungkinan GAKI juga ditemukan didaerah daratan rendah, bahkan tepi pantai
seperti Belanda, Yunani, Jepang, Kebumen (Jawa Tengah), dan Maluku.Untuk menentukan
suatu daerah merupakan endemi GAKI atau tidak, digunakan beberapa kriteria yaitu dengan
kriteria prevalensi kejadian atau dengan pemeriksaan iodium urine.
Page | 14
Bedasarkan jenis kelamin, penyakit ini lebih sering terjadi pada jenis kelamin
perempuan dibandingkan dengan laki-laki, Menurut data yang dikeluarkan WHO, secara
global terdapat lebih dari 200 juta penduduk terkena Goiter non-toksik. Di Indonesia sendiri
didapatkan data insidensi goiter non-toksik sebanyak kurang lebih 12 juta penduduk yang
tersebar di seluruh Indonesia.
ETIOLOGI
Etiologi goiter endemik adalah defisiensi iodium akibat menurunnya konsumsi
iodium eksternal. Faktor goitrogen, yaitu suatu senyawa yang bekerja mengganggu
hormonogenesis thyroid, antara lain pada proses iodide transport (NIS), Tg synthesis,
organification and coupling (TPO), dan the regeneration of iodide (dehalogenase). Adapun
goitrogens ini dapat ditemukan pada singkong (yang mengandung thiocynate), sayuran dari
family cruciferae (rebung, tauge, kubis dan kol) dan pada susu hewan ternak dimana
goitrogens dapat ditemukan pada rumput didaerah tersebut. Meskipun berperan dalam
kejadian GAKI, etiologi akibat goitrogen ini jarang ditemukan. Pasien dengan goiter endemik
akibat goitrogens dapat diketahui bila setelah dilakukan terapi yang tepat dengan pemberian
iodium, tetapi tidak menunjukkan perbaikan.
PATOFISIOLOGI
Defisiensi iodium, goiter atau perbesaran kelenjar thyroid terjadi akibat kompensasi
tubuh/kelenjar guna memerangkap iodine lebih banyak sehingga kelenjar tetap mampu
Page | 15
menghasilkan hormone yang adekuat meski dalam keadaan terganggu. Dalam kondisi ini,
kadar THS umumnya normal atau hanya meningkat sedikit. Perbesaran kelenjar tidak terkait
efek TSH, tapi lebih disebabkan efek langsung dari iodium pada thyroid vasculature dan
secara tidak langsung mempengaruhi pertumbuhan kelenjar melalui substansi vasoaktif
seperti endothelin dan NO (nitric oxide). Tipe perbesaran kelenjar thyroid akibat defisiensi
iodium adalah diffuse nontoxic atau disebut pula simple goiter. Simple goiter artinya
perbesaran merata disemua bagian kelenjar dan tidak membentuk nodul, selain itu ditemukan
pula peningkatan jumlah koloid pada folikel sehingga sering disebut colloid goiter.
Selain itu, perbesaran kelenjar thyroid juga terkait substansi goitrogens. Substansi ini
mengganggu proses sintesis dari hormone thyroid yang meliputi gangguan pada transport
iodine, sintesis thyroglobin, penggabungan dan coupling dan dehalogenase (regenerasi
iodine). Adapun mekanisme gangguan yang terjadi belum ada penjelasan yang jelas.
MANIFESTASI KLINIS
Bila tubuh masih mampu mengkompensasi/mempertahankan fungsi hormon thyroid,
umumnya pasien asymptomatik. Bila telah ditemukan perbesaran pada kelenjar thyroid, sifat
benjolan adalah diffuse, simetris, tanpa nyeri dan konsistensi kenyal tanpa teraba adanya
nodule. Goiter substernal dapat menyebabkan obstruksi pada thoracic inlet. Dapat pula
ditemukan pemberton’s sign, yaitu gejala berupa rasa pusing dengan tanda/bukti bendungan
pada vena jugular eksterna saat melakukan manuver mengangkat tangan diatas kepala
manuver ini menyebabkan thyroid bergerak menuju thoracic inlet). Selain itu, kemungkinan
akan ditemukan gejala-gejala gangguan fungsi hormon thyroid. Gangguan dapat berupa
hipothyroidisme atau thyrotoksikosis. Adapun gejala yang paling sering ditemukan pada
pasien defisiensi thyroid adalah gejala hypothyroidisme, antara lain: Kretinisme,sering
ditemukan kretinisme endemik pada daerah dengan endemi defisiensi iodium berat.
Klasifikasi Perez :
Grade Klinis
0 Tidak teraba struma (Normal)
IA Struma teraba namun tidak terlihat
IB Struma teraba dan terlihat jika kepala ditengadahkan
II Struma teraba dan terlihat dengan posisi biasa
III Struma teraba dan terlihat dari jarak yang agak jauh (± 6 meter)
Page | 16
IV Struma besar dan terlihat sekali
DIAGNOSIS
1. Anamnesis
Menanyakan tentang faktor genetic dan lingkungannya yang mungkin menjadi
penyebab
Diet dan obat-obatan sumber asupan iodin berlebihan
Obat antitiroid
Atau berada pada daerah defisiensi iodin atau secara natural muncul goiter diet
2. Pemeriksaan fisik
Ada suatu massa pada lehernya (ukuran, konsistensi, ada tidaknya nodular, bruit,
batasnya)
Mungkin ada penekanan pada trakea (stridor atau distress respirasi)
Perpindahan esofagus (disfagia)
Peninggian substernal pada nontoksis goiter bisa menimbulkan penekanan nervus
laryngeal berulang
3. Pemeriksaan Penunjang
Hal utama dalam evaluasi diagnosis pasien dengan goiter nontoksik adalah
Konfirmasi dari eumetabolisme
Penegakan dari penyebabnya
Penentuan pengaruh dari lesi pada struktur nontiroid penting di leher atau
mediastinum superior
Pemeriksaan Laboratorium
Serum FT4 dan total nilai T3 biasanya rendah, namun tidak terlalu
menekan level serum TSH
Pemeriksaan serum titer antibody antitiroid. Peningkatan titer antibody
(antitiroglobulin dan antibody anti tiroid peroksidase) menunjukkan fakta
terdapat autoimun dalam pembentukan goiter
Level serum tiroglobulin meningkat pada sepertiga pasien
Level plasma kalsitonin normal pada nontoksik goiter benigna
Pemeriksaan radiologi
Page | 17
Melakukan pemasukan tiroid radioiodid dan scintigrafi untuk
menunjukkan perluasan retrosternal dengan menggunakan iodine-131.
Ultrasonografi dari tiroid bisa menentukan kista dari nodul padat pada
nontoksik goiter.
Pemeriksaan radiologi rutin dada untuk menentukan massa paratrakeal dan
deviasi trakea (posteroanterior) dan hilangnya ruang retrosternal superior
(penampakan lateral).
Pemeriksaan flow-loop dan barium faringoesofagografi dapat mendeteksi
obstruksi trakea dan esofagus
Pemeriksaan histopatology
Biopsy dan aspirasi sitology dari glandula tiroid bisa menentukan status
patologi pada glandula tiroid
TERAPI
Suplementasi iodin dalam beberapa bentuk
Garam diperkaya iodine
Injeksi dari minyak diodisasi
Memperkenalkan minum air mengandung iodine
Suplementasi sekitar 200 mug iodine per hari
Suplementasi iodine dapat menginduksi tirotoksikosis
Pembedahan dilakukan apabila terjadi gejala obstruksi yang nyata dan ukuran goiter tidak
dapat dikurangi dengan terapi tioksin. Setelah tiroidektomi parsial diberikan terapi tiroksin
1,6 mug/kg/hari diberikan untuk mencegah hyperplasia regeneratif. Terapi RAI untuk goiter
yang besar telah dicoba dan banyak berhasil.
KOMPLIKASI
Kretinisme pada bayi baru lahir, gangguan pertumbuhan, IQ rendah yang diakibatkan
oleh terganggunya pertumbuhan sel saraf.
Kerusakan system saraf pusat (SSP) yang menyebabkan terjadinya kelainan seperti
retardasi mental dan gangguan pendengaran
Miksedema generalisata (edema non-pitting)
Penekanan struma pada trakea (indikasi bedah)
Page | 18
C. Hipotiroidisme
DEFINISI HIPOTHYROID
Hipotiroidisme merupakan istilah yang menunjukkan adanya defisiensi hormon tiroid.
Hipotiroidisme merupakan akibat dari produksi hormon tiroid yang inadekuat untuk
memenuhi kebutuhan tubuh yang diperlukan untuk semua jaringan. Produksi hormon tiroid
bisa normal, tetapi bisa timbul Hipotiroidisme karena adanya gangguan pada aktivitas
reseptor hormon tiroid. Hipotiroidisme adalah kumpulan sindroma yang disebabkan oleh
kadar hormon tiroid yang rendah sehingga mengakibatkan penurunan laju metabolisme tubuh
secara umum.
ETIOLOGI HIPOTHYROID
Secara umum dapat terjadi akibat adanya gangguan pada poros hipotalamus-hipofisis- tiroid. Dalam
praktek sehari-hari, penyebab terbanyak adalah gangguan pada kelenjer tiroid, yang digolongkan sebagai
hipotiroidisme primer. Hipotiroidisme sekunder akibat gangguan pada hipofisis (Defisiensi TSH) dan
hipotiroidisme tertier akibat gangguan pada hipotalamus (Defisiensi TRH) , termasuk jarang ditemukan.
Namun secara klinis sulit membedakan antara hipotiroidisme sekunder dan tertier, oleh karena itu kelainan
ditingkat hipofisis dan atau hipoalamus disebut hipotiroidisme sentral. Penyebab lebih lengkap hipotiroidisme
dapat dilihat dalam tabel dibawah ini.
Tabel 4: Etiologi Hipotiroidisme
Page | 19
Hipotiroidisme yang disebabkan oleh malfungsi hipotalamus akan menyebabkan
rendahnya kadar HT, TSH, dan TRH. Berikut ini etiologi hipotiroid secara umum :
Tabel 5 : Etiologi Hipotiroidisme
Untuk kepentingan klinis penyebab hipotiroidisme ini harus diketahui dan ditetapkan karena penting
untuk :
1. Keadaan tersebut mungkin sementara, tidak memerlukan pengobatan atau perlu pengobatan jangka
pendek, misalnya pada subacute lymphocytic thyroiditis dan post partum thyroiditis.
2. Apabila disebabkan oleh obat-obatan, hipotiroidismenya membaik dengan menghentikan pengobatan.
3. Hipotiroidisme dapat menjadi manifestasi pertama atau satu-satunya penyakit hipotalamus hipofisis.
EPIDEMIOLOGI HIPOTHYROID
Prevalensi hipotiroidisme sangat bervariasi, dipengaruhi oleh faktor geografik dan lingkungan seperti
asupan iodium dan goitrogen, predisposisi genetik dan usia. Di daerah endemik, prevalensi hipotiroidisme
adalah 5 per 1000 penduduk, sedang hipotiroidisme subklinis sebesar 15 per 1000. Angka kejadiaan
hipotiroidisme : 4 : 1000 wanita dan 1 : 1000 laki-laki, Rata-rata usia untuk penegakan
diagnosis biasanya pada usia 60 tahun, dengan angka kejadian semakin meningkat seiring
meningkatnya usia, dan Kondisi subclinical hypothyroid (6-8% pada wanita, dan 3% pada
laki-laki).
Page | 20
MANIFESTASI KLINIS HIPOTHYROID
Onset dari gangguan ini biasanya berisifat tersembunyi dan membahayakan, dan pasien
baru mulai khawatir dengan gejalanya apabila kondisi eutiroid telah dilalui. Yang perlu
menjadi pusat perhatian disini yaitu biasanya pasien Hashimoto tiroiditis dapat terlihat karena
goiter (gondok) daripada gejala hipotiroidnya. Goiter yang terbentuk tidak selalu besar, akan
tetapi umumnya bersifat irregular dan konsintensi yang keras, dan jarang disertai nyeri.
Kemudian ditemukan juga gejala-gejala hipotiroid berupa :
Kulit yang kering
Keringat kurang
Penipisan epidermis
Hyperkeratosis dari stratum korneum menyebabkan kulit tampak pucat dan
kuning
Penumpukan glycosaminoglycan yang menyebabkan trap water (terperangkapnya
air) yang akan meningkatkan ketebalan kulit [mixedema (edema non-pitting)
Konstipasi dan peningkatan berat badan
Penurunan libido
Diffuse alopecia
Ganggan Cardiovaskular berupa peningkatan myocardial contractility, yang
ditandai dengan (↓ pulse rate, ↓ stroke volume yang menyebabkan bradicardia, ↑
peripheral resistance menyebabkan hipertensi, cool extremitas, 30% pasien terjadi
pericardial effusion)
Carpa Tunel Syndrome (rasa kaku, kejang dan sakit pada otot) dan juga delayed
tendon reflex relaxation
Gejala yang sering dikeluhkan pada usia dewasa adalah cepat lelah, tidak tahan dingin, berat badan
naik, konstipasi, gangguan siklus haid dan kejang otot. Pengaruh hipotiroidisme pada berbagai sistem organ
sebagai berikut :
Page | 21
Tabel 6 : Manifestasi Klinis Hipotiroidisme
a. Hipotiroidisme Primer
PATOFISIOLOGI HIPOTHYROID PRIMER
Jaringan kelenjar tiroid yang hilang menyebabkan berkurangnya produksi hormon
tiroid, akibatnya TSH meningkat dan menyebabkan goiter.
Pada aplasia kelenjar tiroid tidak akan ditemukan goiter.
DIAGNOSIS HIPOTHYROID
Di Amerika Serikat, USPSTF ( United States Preventive Services Task Force) merekomendasikan
skrining untuk penyakit tiroid kedalam rekomendasi grade I ( sangat direkomendasikan). Terdapat tiga
pegangan klinis untuk mencurigai adanya hipotiroidisme, yaitu apabila ditemukan :
1. Klinis keluhan-keluhan dan gejala fisik akibat defisiensi hormon tiroid.
Page | 22
2. Tanda-tanda adanya keterpaparan atau defisiensi, pengobatan ataupun etiologi dan resiko penyakit
yang dapat menjurus kepada kegagalan tiroid dan hipofisis.
3. Penyakit-penyakit yang berhubungan dengan peningkatan resiko penyakit tiroidistis autoimun kronis.
Gambar 4 : Diagnosis Hipothyroid
Page | 23
PENATALAKSANAAN HIPOTHYROID
Secara umum digunakan Livelong Levothyroxone (T4), kecuali pada beberapa kondisi
seperti (transient hypothyroid dan reversible hypothyroid). Tujuan terapi ini yaitu untuk
mencapai kondisi euthyroid, dimana ditandai dengan nilai normal dari T4 dan TSH.
Levothyroxine :
Half life 7 days once daily dosage
Dosage : Substitution (adult) : 1.6 mcg/BW/day x 100 mcg/day (range 50-200
mcg/day)
Evaluation / Adjustment : T4 & TSH 3 - 6 wkly
Berikut ini pengaturan dosis terkait dengan kondisi tertentu :
Eldery atau CAD
Apapun penyebab hipotiroid pada geriatri, prinsipnya yaitu dimulai dengan hormon
tiroid dosis rendah, karena dosis yang terlalu tinggi bisa menyebabkan efek samping yang
serius. Dosisnya diturunkan secara bertahap sampai kadar TSH kembali normal. Obat ini
biasanya terus diminum sepanjang hidup penderita.
Initial dose :
- Elderly : 50 mcg/day orally
- CAD : 25 mcg/day orally
Increase by 25 mcg/day every 3-6 weeks until normal TSH or arrhytmia.
Myxedema Coma
Koma miksedema adalah situasi yang mengancam nyawa yang ditandai oleh
eksaserbasi (perburukan) semua gejala hipotiroidisme termasuk hipotermi tanpa menggigil,
hipotensi, hipoglikemia, hipoventilasi, dan penurunan kesadaran hingga koma. Kematian
dapat terjadi apabila tidakd iberikan HT dan stabilisasi semua gejala.
Page | 24
Aggressive, dose, IV T4.
After blood sample (T4, TSH, Cortisol).
IV T4 : 200-300 mcg 50-100 mcg/day (+ IV T3: 5-20 mcg 2,5-10 mcg/8 hours).
IV Hydrocortisone 100 mg/8 hr (2 days) Decreased.
Supportive :
Mech. Ventilation, O2.
IVFD.
Correct : Hypo Na, Hypothermia.
Antibiotic.
b. Hipotiroidisme Sekunder
Hipotiroidisme sentral (HS) Apabila gangguan faal tiroid terjadi karena adanya kegagalan
hipofisis, maka disebut hipotiroidisme sekunder, sedangkan apabila kegagalan terletak di
hipothalamus disebut hipotiroidisme tertier. 50% HS terjadi karena tumor hipofisis. Keluhan
klinis tidak hanya karena desakan tumor, gangguan visus, sakit kepala, tetapi juga karena
produksi hormon yang berlebih (ACTH penyakit Cushing, hormon pertumbuhan akromegali,
prolaktin galaktorea pada wanita dan impotensi pada pria). Urutan kegagalan hormon akibat
desakan tumor hipofisis lobus anterior adalah gonadotropin, ACTH, hormon hipofisis lain,
dan TSH.
c. Hipotiroidisme Transient
Hipotiroidisme sepintas (transient) adalah keadaan hipotiroidisme yang cepat
menghilang. Kasus ini sering dijumpai. Misalnya pasca pengobatan RAI, pasca tiroidektomi
subtotalis. Pada tahun pertama pasca operasi morbus Graves, 40% kasus mengalami
hipotiroidisme ringan dengan TSH naik sedikit. Sesudah setahun banyak kasus pulih kembali,
sehingga jangan tergesa-gesa memberi substitusi. Pada neonatus di daerah dengan defisiensi
yodium keadaan ini banyak ditemukan, dan mereka beresiko mengalami gangguan
perkembangan saraf.
Page | 25
D. Hipertiroidisme
a. Hipertiroidisme Primer
GRAVE’S DISEASE
EPIDEMIOLOGI
Grave’s disease menyumbang sebesar 60-80% dari tirotoksikosis. Variasi prevalensi
pada populasi, tergantung terutama atas intake iodine (intake iodine tinggi berhubungan
dengan meningkatnya prevalensi Grave’s disease). Grave’s disease terjadi hingga 2% pada
wanita tetapi hanya sepersepuluh pada pria. Penyakit jarang timbul sebelum remaja dan
typically timbul antara usia 20 dan 50 tahun, tetapi jarang pada orang tua.
FAKTOR RESIKO
1. Genetic Susceptibility
Perkembangan grave’s disease umumnya dipengaruhi oleh herediter. Faktor herediter
dibuktiakan dalam meingkatnya insidensi penyakit autoimun dalam anggota keluarga pasien,
seperti Grave’s dan Hashimoto’s disease, DM type 1, atau anemia pernisiosa. Kecenderungan
perkembangan autoantibodi thyroid muncul sebagai dominant trait linked terhadap CTLA-4
gen yang mengkode untuk modulator dari second signal sel T.
2. Infeksi
Telah banyak tulisan tentang kemungkinan aksi dari infeksi dalam perkembangannya
menjadi autoimunitas melalui efek molekular mimikri. Telah lama didiskusikan bahwa
grave’s diesase berhubungan dengan agen infeksius (cth: Y. enterocolitica) tetapi masih
memerlukan penilitian untuk membuktikan hal ini. Infeksi pada thyroid sendiri (e.g.,
subacute thyroiditis, congenital rubella) berhubungan dengan fenomena autoimun.
3. Stress
Grave’s disease umumnya muncul setelah stres emosional yang berat, seperti
dipisahkan dari orang yang tercinta, ketakutan yang luar biasa. Beberapa data menawarkan
penjelasan bahwa stress memengaruhi keadaan supresi imun dengan mekanisme non-spesifik,
mungkin melalui efek cortisol dan corticothropin-releasing hormone action pada level sel
imun. Akibat dari akut imun supresion oleh stress, mungkin terjadi overkompensasi oleh
Page | 26
sistem imun ketika supresion itu hilang. Hal ini dapat mencetuskan penyakit autoimun
thyroid.
4. Gender
Grave’s disease lebih banyak pada wanita dibanding pria ( 7-10 :1) dan menjadi lebih
prevalen setelah pubertas. Jumlah wanita yang lebih banyak dan pada kenyataanya penyakit
ini jarang sebelum pubertas menjadi pemikiran bahwa sex steroid mungkin bertanggung
jawab atas perbedaan ini. Androgen mungkin menekan autoimun thyroiditis. Sedangkan,
estrogen telah diketahui memengaruhhi sistem imun, terutama sekali sel-B dan menjadi
alasan kerentanan wanita terhadap penyakit ini.
5. Kehamilan
Grave’s disease berat jarang selama masa kehamilan karena hyperthyroidism
berhubungan dengan penurunan fertilitas. Hipertiroidisme pada kehamilan meningkatkan
risiko keguguran dan komplikasi kehamilan. Beberapa data menunjukkan, kelebihan hormon
tiroid dapat meracuni fetus. Pada kehamilan terjadi imunosupresi, terjadi pengurangan fungsi
sel B dan sel T, sehingga kemungkinan terjadi peningkatan grave’s disease selama
kehamilan. Rebound dari imunosupresi setelah melahirkan mungkin berperan dalam
terjadinya postpartum tyroid disease pada wanita yang rentan.
6. Iodine dan Obat-obatan
Iodine dan obat yang mengandung iodine, amiodarone, dan media contras
mengandung iodine dapat mempercepat terjadinya grave’s disease atau rekurensi pada
individu yang rentan. Iodine mungkin dapat merusak sel thyroid secara langsung dan
merelease antigen thyroid ke sistem imun.
PATOGENESIS
Penyakit Graves adalah suatu gangguan autoimun, pada gangguan tersebut terdapat
beragam autoantibody dalam serum. Antibodi ini mencakup antibody terhadap reseptor TSH,
peroksisom tiroid, dan tiroglobulin. Dari ketiganya, reseptor TSH merupakan autoantigen
terpenting yang menyebabkan terbentuknya antibody. Efek antibody yang dibentuk berbeda-
beda, bergantung pada epitop reseptor TSH mana yang menjadi sasarannya. Sebagai contoh,
salah satu antibody yang disebut thyroid stimulating immunoglobulin (TSI), mengikat
reseptor TSH untuk merangsang jalur adenilat siklase / AMP siklik yang menyebabkan
Page | 27
peningkatan pembebasan TH. Golongan antibody yang lain, yang juga ditujukan untuk
reseptor TSH yang menyebabkan proliferasi epitel folikel tiroid ialah Thyroid Growth –
Stimulating Immunoglobulin (TGI). Antibodi yang lain lagi yang disebut TSH binding
inhibitor immunoglobulins (TBII), menghambat pengikatan normal TSH ke reseptornya pada
sel epitel tiroid. Dalam prosesnya, sebagian bentuk TBII bekerja mirip dengan TSH sehingga
terjadi stimulasi aktivitas sel epitel tiroid, sementara bentuk yang lain menghambat fungsi sel
tiroid. Tidak jarang ditemukan secara bersamaan Ig yang merangsang dan menghambat
dalam serum pasien, yang dapat menjelaskan mengapa sebagian pasien dengan penyakit
Graves dapat mengalami episode hipotiroidisme.
Meskipun peran antibody sebagai penyebab penyakit Graves sudah dipastikan, apa
yang menyebabkan sel B menghasilkan autoantibody tersebut masih belum jelas. Tidak
diragukan lagi bahwa sekresi antibody oleh sel B dipicu oleh sel T penolong CD4+, yang
banyak terdapat dalam kelenjar tiroid. Sel T penolong intratiroid juga tersensitisasi ke
reseptor tirotropin, dan sel ini mengeluarkan factor larut, seperti IFN-gamma dan TNF.
Faktor ini pada gilirannya memicu ekspresi molekul HLA kelas II dan molekul
kostimulatorik sel T pada sel epitel tiroid, yang memungkinkan antigen tiroid tersaji ke sel T
lain. Hal inilah yang mungkin mempertahankan pengaktifan sel spesifik reseptor TSH di
dalam tiroid. Sesuai dengan sifat utama pengaktifan sel T penolong pada autoimunitas Tiroid.
Penyakit Graves memperlihatkan keterkaitan dengan alel HLA-DR tertentu dan polimorfisme
antigen 4 limfosit T sitotoksik (CTLA-4). Pengaktifan CTLA-4 dalam keadaan normal
meredam respon sel T, dan mungkin sebagian alel mengizinkan pengaktifan sel T yang tak
terkendali terhadap autoantigen.
Page | 28
Kemungkinan besar autoantibody terhadap reseptor TSH juga berperan dalam
timbulnya oftalmopati infiltrative yang khas untuk penyakit Graves. Jaringan tertentu di luar
tiroid (ex. fibroblast orbita) mengekspresikan reseptor TSH di permukaannya. Sebagai respon
terhadap antibody antireseptor TSH di darah dan sitokin lain dari mileu local, fibroblast ini
mengalami diferensiasi menuju adiposity matang dan juga mengeluarkan glikosaminoglikans
hidrofilik ke dalam interstisium. Keduanya berperan menyebabkan penonjolan orbita.
MANIFESTASI KLINIK
Terdapat 2 kelompok gambaran utama :
1. Ciri tiroidal
goiter akibat hyperplasia kelenjar tiroid
hipertiroidisme akibat sekresi TSH yang berlebihan : gejalanya berupa gejala
hipermetabolisme dan aktivitas simpatis yang berlebihan.
Pasien mengeluh lelah, gemetar, tidak tahan panas, keringat semakin banyak bila
panas, kulit lembab, BB menurun, nafsu makan meningkat, palpitasi, takikardi,
diare, kelemahan, atrofi otot.
2. Ciri ekstratiroidal
oftalmopati (50-80%)
ditandai dengan mata melotot, fisura palpebra melebar, kedipan berkurang, lid lag
(keterlambatan kelopak mata dalam mengikuti gerakan mata), dan kegagalan
konvergensi
infiltrasi kulit local yang biasanya terbatas pada tungkai bawah
EVALUASI LABORATORIUM
Investigasi laboratorium digunakan untuk menentukan adanya dan penyebab
thyrotoksikosis seperti yang tergambar dalam bagan sebelumnya (lihat bagian
TIROTOKSIKOSIS). Pada Grave’s disease, level TSH di tekan (normal range, 0.4 to 4.2
mU/L) dan level hormon thyroid total dan bebas meningkat. Pada 2-5% pasien, hanya T3
yang meningkat (T3 toxicosis). Keadaan pengkonversian toksikosis T4, dengan peningkatan
level T4 total dan bebas dan level T3 normal, biasanya tampak ketika hipertiroidisme
Page | 29
dipengaruhi oleh iodine yang berlebih, sehingga menyediakan substrate yang berlebih untuk
sintesis thyroid.
Depresi dan penyakit hipotalamohipofisis lainnya juga dapat menyebabkan penekanan
kadar serum TSH. Penghitungan radioactive iodine uptake (RAIU) dapat mengeksklusi
tirotoksikosis yang disebabkan bukan oleh hipertiroid. Nilai RAIU yang sangat rendah
berhubungan dengan tirotoksikosis yang disebabkan karena jaringan ektopik tiroid, tiroiditis
viral subakut, factitious tirotoksikosis, atau fase autoimun (silent) tiroiditis.
Pengukuran antibodi TPO sangat berguna dalam diferensial diagnosis. Pengukuran
TBII atau TSI akan memastikan diagnosis tetapi tidak rutin dibutuhkan. Bioassay tidak
dibutuhkan pada asien hipertiroid karena pasien telah menunjukkan aktivitas autoantibodi.
Pengukuran TSHRAb (TSH Resceptor Antibodies) juga berguna pada pasien eutiroid yang
menunjukkan eksoftalmus kususnya yang unilateral dan dapat menunjukkan prognosis pasien
Grave’s disease yang diobati dengan antitiroid. Level TSHRAb yang tinggi mengindikasikan
kekambuhan dari penghentian pengobatan
TATALAKSANA
Sampai sekarang belum dapat diobati faktor patogenesis dasar grave’s disease.
Adanya terapi untuk thyrotoxic dan manifestasi ophtalmic hanya pengobatan paliatif.
Pengobatan thyrotoxicosis didesign untuk mengendalikan sekresi hormon baik secara agen
kimia menghambat sintesis hormon atau releasenya atau dengan menurunkan jumlah jaringan
thyroid.
Antithyroid Agents
Agen utama untuk mengobati thirotoxicosis adalah kelas thionamide, yang umum
yakni propylthiouracil, methimazole, dan carbimazole. Agen ini menghambat oksidasi dan
ikatan organik dari iodida thyroid dan, oleh karena itu, menghasilkan defisiensi intrathyroidal
iodine yang kemudian meningkatkan rasio dari T3 ke T4 dalam sekresi throid. Sebagai
tambahan, dosis dalam jumlah besar propylthiouracil, tetapi bukan methimazole,
menghalangi konversi T4 menjadi T3 oleh tipe 1 deiodinase (D1) di jaringan perifer dan
thyroid.
Pada dasarnya penggunaan thionamides pada Grave’s disease sama dengan pada
tirotoksikosis. Thionamide dapat pula secara langsung mempengaruhi respon imun pada
pasien autoimun. Thionamide menurunkan ekspresi antigen terhadap sel tiroid dan
menurunkan sekresi prostaglandin dan sitokin dari sel tiroid. Thionamide juga menginhibisi
Page | 30
geberasi oksigen radikal bebas dalam sel T dan sel B, serta menurunkan APC (antigen-
presenting cell), yang selanjutnya dapat menurunkan presentasi antigen. Bukti dari semua
efek di atas adalah menurunnya kadar autoantibodi setelah pemberian thionamides.
Page | 31
b. Hipertiroidisme Sekunder
ETIOLOGI
Etiologi hipertiroid sekunder antara lain :
1. Tumor hipofisa yang menghasilkan terlalu banyak TSH / TSH secreting pituitary
adenoma.
2. Hipofisa resistensi terhadap hormon tiroid, sehingga negative feed back mechanism
tidak bekerja.
3. Wanita dengan mola hidatidosa (hamil anggur) juga bisa menderita hipertiroidisme
karena perangsangan yang berlebihan terhadap kelenjar tiroid akibat kadar HCG
(human chorionic gonadotropin) yang tinggi dalam darah.
Namun, yang akan dibahas di sini hanya mengenai etiologi yang pertama TSH secreting
pituitary adenoma.
EPIDEMIOLOGI
Penyakit ini merupakan penyebab yang jarang dari hipertiroidisme. Penyakit ini kurang
dari 1 persen dari semua tumor hipofisis dan kurang dari 1 persen dari semua kasus
hipertiroid. Namun demikian, diagnosis harus dipertimbangkan pada semua pasien
hipertiroid, terutama mereka dengan goiter difus dan tidak ada manifestasi extrathyroidal
penyakit Graves.
PATOFISIOLOGI
TSH adenoma mengeluarkan thyrotropin biologis aktif ( TSH ) dalam jumlah yang
banyak. Dengan demikian, sekresi TSH biasanya tidak berkurang banyak dalam menanggapi
negative feed back mechanism. Sekitar 25 persen dari adenoma mengeluarkan satu atau lebih
hormon hipofisis lain, sekitar 15 persen berupa hormon pertumbuhan , 10 persen
mensekresikan prolaktin , dan tumor langka mengeluarkan gonadotropin. Belum ada kasus
dilaporkan cosecretion kortikotropin ( ACTH ) dan TSH. Adenoma mensekresi TSH dan
hormon pertumbuhan sama-sama sering terjadi pada pria dan wanita , sedangkan cosecretion
TSH dan prolaktin adalah sekitar lima kali lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan
pria . Hiperprolaktinemia tidak selalu karena sekresi tumor prolaktin , pada beberapa pasien ,
hal itu disebabkan oleh kompresi dari tangkai hipofisis dan gangguan inhibisi tonik
hipotalamus sekresi prolaktin .
Page | 32
DIAGNOSIS dan MANIFESTASI KLINIS
Pasien dengan TSH-oma hadir dengan tanda-tanda dan gejala hipertiroidisme. TSH-oma
dapat terjadi pada semua usia dan, berbeda dengan gangguan tiroid umum, tidak ada kejadian
istimewa pada wanita. Karena sejarah panjang disfungsi tiroid, banyak pasien telah salah
didiagnosis mengalami hipertiroidisme primer ( penyakit Graves). Manifestasi yang sering
muncul berupa cardiotoxicosis dengan atrial fibrilasi dan atau gagal jantung. Kehadiran
struma merupakan tanda yang paling sering, bahkan struma sering muncul kembali pada
pasien yang telah dilakukan tiroidektomi parsial sebelumnya . Pada Graves disease sering
terjadi exophtalmus bilateral, tetapi pada keadaan TSH-oma ini lebih sering terjadi
exophtalmus unilateral,
Disfungsi dari sumbu gonad tidak jarang, gangguan menstruasi hadir dalam sepertiga
dari kasus yang dilaporkan , terutama dalam campuran adenoma TSH / PRL .
Hipogonadisme, pubertas tertunda dan penurunan libido juga ditemukan di sejumlah laki-laki
dengan TSH - omas dan / atau campuran adenoma TSH / FSH. Pemeriksaan penunjang
berupa pengukuran TSH dan T4 menunjukan hasil berupa peningkatan kadar kedua hormone
tersebut.
Radiologi dapat digunakan untuk memastikan ada tidaknya tumor. Magnetic Resonance
Imaging ( MRI ) merupakan pemeriksaan yang paling baik. . Resolusi tinggi computed
tomography ( CT ) adalah pemeriksaan alternatif dalam kasus kontraindikasi. Kebanyakan
TSH-oma telah didiagnosa pada tahap makroadenoma.
TERAPI
Reseksi bedah adalah terapi yang direkomendasikan untuk tumor hipofisis TSH , dengan
tujuan menghilangkan jaringan neoplastik dan memulihkan fungsi hipofisis / tiroid normal.
Namun, penghapusan radikal dari tumor besar , yang masih merupakan mayoritas TSH -
omas , sangat sulit karena fibrosis pada tumor ini melakukan invasi lokal yang melibatkan
sinus cavernosus , arteri karotis interna atau optik chias. Jika operasi merupakan
kontraindikasi atau ditolak, serta dalam kasus kegagalan bedah, radioterapi hipofisis dan /
atau perawatan medis dengan analog somatostatin dua alternatif yang valid.
E. Tiroiditis
a. Tiroiditis Granulomatosa Subakut
Page | 33
Tiroiditis Granulomatosa Subakut (Tiroiditis sel raksasa granulomatosa)
adalah peradangan kelenjar tiroid yang biasanya terjadi setelah infeksi saluran
pernafasan bagian atas.
ETIOLOGI
Tiroiditis granulomatosa subakut mungkin disebabkan oleh virus dan timbul lebih
mendadak dibandingkan tiroiditis Hashimoto.
GEJALA KLINIS
Penyakit ini seringkali terjadi setelah suatu penyakit virus dan bermula sebagai apa
yang disebut dengan nyeri tenggorokan, meskipun sebenarnya merupakan nyeri leher yang
terlokalisir pada tiroid. Kelenjar tiroid menjadi lunak dan biasanya timbul demam yang tidak
terlalu tinggi (37,2-38,3°C).
Nyeri bisa berpindah dari satu sisi ke sisi lainnya, menyebar ke rahang dan telinga dan
terasa lebih nyeri jika penderita menggerakkan kepalanya atau jika penderita menelan.
Penyakit ini seringkali terjadi setelah suatu penyakit virus dan bermula sebagai apa yang
disebut nyeri tenggorokan, meskipun sebenarnya merupakan nyeri leher yang terlokalisir
pada tiroid.
Penyakit ini seringkali terjadi setelah suatu penyakit virus dan bermula sebagai apa
yang disebut nyeri tenggorokan, meskipun sebenarnya merupakan nyeri leher yang
terlokalisir pada tiroid.
Peradangan biasanya menyebabkan kelenjar tiroid menghasilkan terlalu banyak
hormon tiroid, sehingga terjadi hipertiroidisme, yang hampir selalu diikuti oleh
hipotiroidisme sementara. Banyak penderita yang merasakan kelelahan yang luar biasa.
PENEGAKAN DIAGNOSIS
Pada stadium awal, hasil pemeriksaan laboratorium biasanya menunjukkan kadar
TSH yang rendah dan kadar T4 yang tinggi. Pada stadium akhir, kadar TSH biasanya tinggi
dan kadar T4 rendah. Biopsi kelenjar tiroid menunjukkan peradangan sel raksasa.
TERAPI
Page | 34
Aspirin atau obat anti peradangan non-steroid lainnya (misalnya ibuprofen) bisa
mengurangi nyeri dan peradangan. Pada kasus yang sangat berat, bisa diberikan
kortikosteroid (misalnya prednison) selama 6-8 minggu.
b. Tiroiditis hashimoto
Thyroiditis Hashimoto terjadi akibat dari reaksi autoimun, dimana antibodi
dalam tubuh menyerang kelenjar thyroid. Tetapi Thyroiditis Hashimoto merupakan
penyakit yang bersifat progresif yang semakin lama akan menghancurkan kelenjar
thyroid dan menyebabkan kekurangan hormon thyroid.
ETIOLOGI
Penyebab Thyroiditis Hashimoto tidak diketahui secara pasti, namun diduga sebagai
suatu kelainan autoimun. Thyroiditis Hashimoto mungkin berkaitan dengan kelainan
endokrin lainnya yang disebabkan penyakit autoimun seperti diabetes tipe I, reumathoid
arthritis dan Lupus erythematous, insufisiensi adrenal yang dikenal dengan “Type
2 polyglandular autoimmune syndrome “ (PGA II). Meskipun jarang tetapi bila Thyroiditis
Hashimoto muncul bersamaan dengan hypoparathyroidisme, insufisiensi adrenal dan infeksi
jamur pada mulut dan kuku disebut “ Type 1 polyglandular autoimmune syndrome” (PGAI).
EPIDEMIOLOGI
Insiden Thyroiditis Hashimoto didunia diperkirakan sekitar 0,3 – 1,5 kasus per 1000
populasi pertahun. Insiden tersering terjadi pada wanita 10 –15 kali lebih sering daripada pria,
dapat mengenai semua usia, tetapi terutama pada usia pertengahan antara 30 –50 tahun. Pada
Thyroiditis Hashimoto tidak ada perbedaan yang jelas mengenai ras yang terkena. Berkaitan
dengan adanya riwayat penyakit thyroid dalam keluarga dan kemungkinan terdapat faktor
predisposisi kelainan genetik yang diturunkan secara autosomal dominan.
PATOGENESIS
Pada Thyroiditis Hashimoto lebih sering terjadi aktifitas berlebihan dari thyroid
(hyperthyroid) daripada hypothyroidism. Hal ini akibat terlalu banyak hormon thyroid yang
dilepaskan kedalam darah karena adanya kerusakan pada sel-sel thyroid. Yaitu berupa
thyrotropin yang disekresikan oleh kelenjar hipofisis dan dikenal sebagai TSH (Thyroid
Stimulating Hormone) meningkat dalam serum pasien sejalan dengan habisnya cadangan
Page | 35
hormon thyroid. Pada beberapa stadium dari destruksi terjadi pelepasan hormon thyroid yaitu
T3 dan T4 secara berlebihan Tetapi secara umum keadaan hyperthyroid ini bersifat sementara
dan singkat, diikuti oleh kembali normalnya fungsi thyroid. Tetapi periode dari kembali
normalnya fungsi thyroid sangat singkat dan setelah itu terbentuk fibrosis pada thyroid yang
mengawali terjadinya hypothyroid. Dimana beberapa pasien akan mengalami atrofi kelenjar.
Parenkim atau fungsi jaringan dari kelenjar secara progresif akan mengalami destruksi dan
digantikan oleh jaringan limfosit atau fibrosis.
Mekanisme terjadinya adalah teraktivasinya sel CD4 T menarik sel cytotoxic (CD8) T
seperti sel B kedalam thyroid. Kematian langsung dari sel thyroid oleh sel CD8 diyakini
sebagai mekanisme utama terjadinya hypothyroidisme. Begaimanapun, autoantibodi thyroid
mungkin juga memiliki aturan pathogenik sendiri. Antibodi anti-thyroid peroxidase
menghalangi aktifitas dari thyroid peroxidase in vitro tetapi spertinya tidak akan memiliki
efek primer secara in vivo. Beberapa pasien memiliki antibodi cytotoxic mampu
memperbaiki komplemen dan penyebab lisisnya sel-sel thyroid dan kompleks terminal
komplemen telah dideteksi terdapat pada thyroid sel. Keikutsertaan relatif terhadap berbagai
mekanisme destruksi thyroid secara in vivo tetap belum jelas. Reseptor antibody anti
thyrotropin mungkin ikut serta dalam proses terjadinya hipothyroidisme dengan menghambat
kerja dari thyrotropin. Antibodi ini telah dilaporkan terdapat sekitar 10% penderita dengan
thyroiditis autoimun goiter dan sekitar 20% pada penderita dengan thyroiditis autoimun
atrofi. Seberapa sering antibodi reseptor anti-thyrotropin sebagai satu-satunya penyebab dari
hypothyroidisme tidak diketahui secara pasti. Diantara penderita dewasa yang secara tiba-tiba
antibodi tersebut menghilang selama pengobatan thyroxine, hanya sekitar 40% tetap
euthyroid setelah terapi dihentikan, memberikan kesan bahwa pada sekitar 5-10% penderita
dengan thyroiditis autoimun khronik terdapat keikutsertaan reseptor thyrotropin dalam
menghalangi antibodi sehingga terjadi hypothyroidisme.
Mekanisme untuk destruksi autoimun dari thyroid mungkin melibatkan imunitas
selular dan imunitas humoral. Proses autoimun diyakini diawali dengan aktivasi CD4
(helper). Bagaimana sel ini dapat teraktivasi tidak diketahui. Namun ada 2 hipotesis yaitu (1)
infeksi virus atau bakteri yang mengandung protein mirip dengan protein thyroid mungkin
menghasilkan aktivasi dari sel T spesifik thyroid. (2) sel-sel epitel thyroid menghadirkan
protein intraselular sendiri untuk sel T helper. Sekali saja CD4 teraktivasi maka sel CD4 T
dapat menstimulasi sel B autoreaktif untuk dapat masuk kedalam thyroid dan mensekresi
Page | 36
antibody thyroid. Tiga target utama antigen terhadap antibody thyroid adalah thyroglobulin,
penyimpanan protein untuk hormon-hormon thyroid, antigen mikrosomal thyroid, yang telah
diidentifikasi sebagai thyroid peroksidase, suatu limiting enzym dalam biosintesis hormon
thyroid, dan reseptor thyrotropin. Selain itu telah digambarkan pula adanya antibodi terhadap
antigen thyroid lainnya dan imunoglobulin promoting/mengembangkan pertumbuhan thyroid
dipisahkan dari antibodi stimulating reseptor thyrotropin meskipun tidak sepenuhnya spesifik.
MANIFESTASI KLINIS
Dalam onsetnya thyroiditis hashimoto biasanya tidak terlihat, dengan lambatnya
perkembangan tanda-tanda dan gejala lebih dari berbulan-bulan hingga bertahun-tahun.
Perjalanan penyakit dipengaruhi oleh cepatnya onset dan beratnya stadium klinik. Gejala-
gejala yang biasanya dikeluhkan penderita yaitu:
1. Pembesaran kelenjar thyroid tanpa disertai rasa sakit yang disebut goiter, yang
mengakibatkan pembengkakan dileher dan rasa penuh ditenggorokan. Biasanya tidak
terlalu besar ukurannya tetapi bentuknya biasanya ireguler, konsistensinya keras dan
lebih kenyal dibandingkan thyroid normal
2. Fatigue
3. Kenaikan berat badan
4. Sakit kepala
5. Konstipasi
6. Gerakan lambat dan kehilangan energi
7. Mudah kelelahan dan lemah
8. Kulit kering
9. Suara serak
10. Intoleransi dingin
11. Neuropathy perifer
12. Menstruasi yang ireguler berupa menorrhagia, pada keadaan lebih lanjut dapat terjadi
oligomenorrhae dan amenorrhea
13. Kerusakan pendengaran ringan
14. Infertilitas dan kehilangan libido
15. Parestesia
16. Rambut rontok
17. Sulit untuk berkonsentrasi dan daya ingat lemah bahkan dapat sampai hilang
Page | 37
18. Depresi, demensia dan gangguan psikiatrik lain
19. Sakit persendian dan kram pada otot
20. Sleep apnea dan daytime somnolence
21. Galactorrhea
PENEGAKAN DIAGNOSIS
1. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik didapatkan:
- Puffy face dan edema periorbital
- Kulit dingin, kasar, dan kering
- Edema perifer pada tangan dan kaki, biasanya tipe nonpitting edema
- Thickenned dan brittle nails
- Kehilangan rambut yang difus di daerah kepala, bulu mata, kulit, alat
genital dan wajah
- Bradikardi karena menurunnya kontraktilitas dan denyut jantung
- Kenaikan tekanan darah biasanya berupa hipertensi diastolic
- Suara serak dan bicara lambat
- Sindroma Carpal Tunnel
- Kelenjar thyroid biasanya membesar, keras, kenyal, tanpa adanya
lembut, atau bruit. Ukurannya dapat normal bahkan tidak teraba sama
sekali.
2. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium
Pada keadaan timbulnya gejala-gejala subyektif dan temuan dalam
pemeriksaan fisik maka pemeriksaan serum TSH dibutuhkan untuk menegakkan
diagnosa. Pemeriksaan TSH merupakan suatu tes yang sensitif untuk mengetahui
fungsi thyroid. Biasanya ditemukan kadar TSH meningkat, sedangkan kadar T4
total atau T4 bebas rendah.(6)Sedangkan kadar serum total T3 dan T3 bebas tidak
akan menurun hingga ada kerusakan lebih lanjut, karena terjadinya peningkatan
konsentrasi serum thyrotropin menstimulasi thyroid untuk melepaskan T3. Pada
Page | 38
saat total T4 lebih banyak ditemukan daripada T4 bebas, T3 resin uptake dapat
membantu untuk mengkoreksi kadar protein binding antara T4 total dan T3,
terutama bila ada kadar abnormalitas dari TBG. Bila kedua serum TSH dan T4
kadarnya rendah hal ini memperkuat adanya keadaan hipothyroidisme, begitu pula
bila kadar T3 lebih rendah dibawah kadar normal maka gejala-gejala dan tanda-
tanda hypothyroidisme akan muncul. Ditemukannya autoantibodi thyroid yaitu
anti–TPO dan antibodi anti-Tg memperkuat adanya penyakit thyroiditis
Hashimoto.
b. Pemeriksaan radiologi dan USG
Pemeriksaan USG biasanya tidak diperlukan dalam menegakkan diagnosa
thyroiditis Hashimoto, tetapi berguna untuk memperkirakan ukuran thyroid dan
ekstensi retrosternal dan untuk mengevaluasi bentuk dari nodul jika ada. Alat
USG digunakan untuk menentukan nodul itu kistik atau solid dan mungkin
bermanfaat untuk pemeriksaan Fine-needle aspiration dari nodul berukuran kecil
pada saat ada indikasi dan penderita dalam keadaan bentuk anatomi leher yang
berubah. Diagnosa pasti untuk menentukan jinak dan ganasnya lesi daripada
thyroid hanya dapat dikonfirmasikan dengan pemeriksaan sitologi atau histologi
dari jaringan thyroid.
Iodium uptake dan scan biasanya tidak diindikasikan untuk mengkonfirmasi
diagnosa thyroiditis Hashimoto (biasanya uptake iodium mungkin meningkat
sementara pada pasien thyroiditis Hashimoto dengan intake iodium dari
makanannya rendah karena efek dari peningkatan kadar TSH). Pemeriksaan T4
dan T3 berguna untuk membedakan antara thyroiditis hashimoto dan penyakit
Grave jika ada hipertiroidisme sekunder. Pada pasien dengan nodul yang jelas
uptake iodium dan scan mungkin berguna untuk mengklasifikasi nodul tersebut
nodul panas atau dingin, tetapi kadar TSH biasanya adekuat untuk mengetahui
status fungsional dari thyroid.
c. Pemeriksaan lainnya
Pemeriksaan dengan menggunakan biopsi aspirasi jarum dilakukan ketika
dijumpai adanya nodul-nodul yang berkembang/membesar dengan cepat atau
Page | 39
ketika ukuran dari thyroid meningkat dengan cepat untuk menentukan keganasan
atau adanya thyroid lymphoma.
Thyroiditis Hashimoto merupakan diagnosa histologi. Biasanya tampak
kelenjar thyroid memperlihatkan adanya infiltrasi limfosit yang difuse dan
infiltrasi sel plasma dengan bentuk folikel limfoid berasal dari hiperplasia
folikular dan kerusakan hingga dasar membran dari folikel. Adanya suatu atrofi
dari parenkim merupakan suatu bukti. Hubungan antara adanya autoantibodi
thyroid yang dinamakan anti-TPO dan anti_Tg sangant membantu dalam
menentukan diagnosa.
Pemeriksaan penunjang yang tidak perlu dilakukan secara rutin dalam
menegakkan diagnosa dan untuk mengevaluasi keadaan pasien yaitu:
a. CBC count
b. Pemeriksaan profil lipid total dan fraksi lipid
c. Panel metabolisme basal
d. Kreatin kinase
e. Prolaktin
f. Rontgent dada
g. ECG
TERAPI
Pengobatan pilihan untuk thyroiditis Hashimoto adalah dengan penggantian hormon.
Drug of choicenya ialah levothyroxine sodium, yang biasanya diberikan untuk seumur hidup.
Jika tidak ada residual dari fungsi thyroid maka pemberian levothyroxine dosisnya ialah
1,5μg/kg berat badan(biasanya 100-150 μg). Pada banyak pasien, cukup diberikan dosis kecil
hingga jaringan residual thyroid hancur. Pada usia usia <60 tahun tanpa adanya bukti
menderita sakit jantung pemberian levothyroxine dapat diberikan mulai dari dosis 50-100 μg.
Dosis diberikan berdasarkan kadar TSH dengan tujuan pengobatan agar kadar TSH kembali
normal, idealnya lebih rendah setengah dari batas kadar normal. Respon TSH terhadap
pengobatan biasanya bertahap dan harus diberikan selama 2 bulan setelah pemberian terapi
dimulai. Efek klinik dari pemberian levothyroxine biasanya muncul dengan perlahan. Pasien
mungkin tidak mengalami sudah terbebas dari gejala-gejala yang dirasakan sepenuhnya
Page | 40
hingga 3 atau 6 bulan setelah dicapainya kadar TSH yang normal. Perhitungan pemberian
levothyroxine replacement dosisnya dibuat dari 12.5-25 μg dan dapat dinaikkan bila kadar
TSH tinggi. Dan dosis harus diturunkan bila kadar TSH telah dapat diturunkan.
Dari hasil penelitian didapatkan bahwa penggunaan levothyroxine dapat
dikombinasikan dengan liothyronine (triiodothyronine/T3), dimana dari hasil penelitian
didapatkan bahwa penderita merasa lebih baik dengan pemberian obat kombinasi (T4/T3)
dibandingkan hanya diberikan T4. bagaimanapun, keuntungan jangka panjang dari pemberian
obat kombinasi ini belum jelas. Karena tidak ada tempat hanya untuk pemberian liothyronine
saja dalam jangka panjang, karena waktu paruhnya yang singkat kebutuhannya hanya 3
sampai 4 dosis perhari dan berhubungan dengan fluktuasi kadar T3.
Sekali pemberian replacement sudah terpenuhi dan kadar TSH sudah stabil maka
disarankan untuk mengukur pemberian obat selanjutnya sebagai follow up lanjutan dan
diberikan secara berkala dan mungkin harus dipertahankan selama 2 atau 3 tahun, jika kadar
TSH tetap bertahan selama beberapa tahun.
Terapi pembedahan dilakukan atas indikasi:
1. Goiter yang besar dan menekan dengan gejala-gejala seperti dysphagia, suara serak,
stridor ekstrinsik
2. Adanya nodul yang malignant pada pemeriksaan biopsi aspirasi jarum
3. Adanya Lyphoma dari hasil biopsi aspirasi jarum
4. Alasan kosmetik
PROGNOSIS
Prognosisnya biasanya baik karena penyakit tetap stabil untuk jangka waktu yang
lama/tahunan karena perkembangannya sangat lambat dengan keadaan defisiensi hormon
yang dapat diobati dengan terapi replacement.
Page | 41
DAFTAR PUSTAKA
Fischbach, Frances Talaska & Marshall Barnett Dunning. 2009. Manual Of Laboratory And
Diagnostic Tests, 8th edition. Lippincott Williams & Wilkins: Philadelphia.
Jameson and Weerman. 2008. Disorders of the Thyroid Gland. In: Harrison’s Principles of InternalMedicine, 17th Edition. Mc-Graw Hill companies: New York. Chapter 335.
Ladenson, Paul and Matthew Kim. 2007. Thyroid. In: Cecil Medicine, 23rd Edition. Saunders
Elsevier: New York. Chapter 244.
LaFranci, Stephen. 2007. Diseorder of The Thyroid Gland. In: Nelson’s Textbook of Pediatrics, 18
edition. Mc-Graw Hill companies: New York. Part XXV Section 2.
Ledingham, JGG and Warell. 2000. Concise Oxford Textbook of Medicine. Oxford Press.
McPhee, Stephen J. et al (editors). 2009. Current Madical Disgnosis and Treatment. Lange: New
York.
McPherson, Richard A. & Matthew R. Pincus. 2006. Henry's Clinical Diagnosis and Management by
Laboratory Methods, 21st ed. Saunders Elsevier: Philadelphia.
Provan, Drew and Andrew Krentz. 2002. Oxford Handbook of Clinical and Laboratory Investigation,
2nd Edition. Oxford University Press: New York.
Sacher, RA, Richard AM. 2002. Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan Laboratorium Edisi 11. Penerbit
Buku Kedokteran EGC: Jakarta.
Silbernagl and Lang (editors). 2000. Color Atlas of Pathophysiology. Thieme: New York. Chapter 9.
Sjamsuhidajat. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 2. EGC: Jakarta.
Sudoyo,dkk (editor). 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, jilid 3 edisi IV. Balai Pusat Penerbitan
FKUI: Jakarta.
Townsend, et al. 2007. Sabiston Textbook of Surgery, 18th Edition. Elsevier Saunders: New York.