laporan tutorial skenario 1 blok traumato
DESCRIPTION
Laporan Tutorial Skenario 1 Blok TraumatoTRANSCRIPT
LAPORAN TUTORIAL
SKENARIO 1 BLOK TRAUMATOLOGI
SESAK NAFAS DAN PATAH TULANG SETELAH KECELAKAAN
Disusun oleh:
Anton Giri Mahendra G0012022
Nadira As’ad G0012144
Prima Canina G0012164
Mahardika Frityatama G0012124
Reza Satria H.S. G0012178
Rima Aghnia P.S. G0012186
Febimilany Riadloh G0012078
Ika Mar’atul Kumala G0012094
Farrah Putri Amalia G0012026
Atika Iffa Syakira G0012034
Syayma Karimah G0012218
TUTOR: Zulaika Nur Afifah, dr., M.Kes
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2015
BAB I
PENDAHULUAN
Skenario
SESAK NAFAS DAN PATAH TULANG SETELAH KECELAKAAN
Saat sedang bertugas jaga IGD, dokter jaga TRIAGE medapat pasien korban
kecelakaan lalu-lintas seorang laki-laki berusia 35 tahun diantar oleh patrol polisi lalu
lintas. Pasien sadar, mengeluh nyeri dada, sesak nafas yang semakin bertambah, dan
bahu kiri terasa nyeri. Dokter dibantu perawat segera melakukan primary survey dan
secondary survey.
Menurut keterangan pengantar, 3 jam SMRS pasien membonceng sepeda motor
dengan kecepatan tinggi, menabrak pohon ketika menghindari hewan yang melintas.
Penderita terjungkal dan jatuh dari motor, dada terbentur stang motor dan nyeri pada
bahu sebelah kiri.
Dari pemeriksaan fisik, kesadaran GCS 15. Nafas cepat dan dangkal, suara
tambahan tidak didapatkan (gurgling -, snoring -). Vital sign : nadi 120x/menit, tekanan
darah 90/70 mmHg, suhu 37,0°, RR 32x/menit.
Terdapat jejas pada hemithorax kanan, pergerakan dada kanan tertinggal,
perkusi hipersonor, auskultasi vesicular menurun, emfisema subkutis (+).
Regio bahu kiri terdapat jejas (+), perdarah aktif (-), oedem (+), deformitas (+),
nyeri tekan (+), dan krepitasi (+). Dokter melakukan pemeriksaan klinis dan
imobilisasi.
Dokter IGD menduga adanya pneumothorax ventil kanan dan berencana untuk
melakukan thorakosintesis segera. Keluarga pasien belum ada yang datang. Sambil
menunggu keluarga, dokter melakukan informed consent, permintaan cek lab darah dan
radiologi.
BAB II
STUDI PUSTAKA DAN DISKUSI
JUMP 1 : KLARIFIKASI ISTILAH DAN KONSEP
1. TRIAGE :
Pengurutan korban bencana untuk menentukan prioritas keperluan dan tempat
terapi yang tepat. Dilakukan dengan klasifikasi 4 warna : hijau, kuning, merah,
hitam.
Pada bencana alam, pertolongan diprioritaskan untuk pasien dengan harapan
hidup tinggi.
2. Primary survey :
Penilaian pertama terhadap keadaan umum pasien gawat darurat dengan
menggunakan prisip CAB (Compression-Airway-Breathing).
3. Secondary survey :
Penilaian terhadap keadaan umum pasien gawat darurat setelah dilakukan
primary survey untuk melakukan klasifikasi. Dilakukan dari atas ke bawah
(Head to toe).
4. Gurgling :
Suara nafas tambahan akibat adanya obstruksi oleh cairan.
5. Snoring :
Suara nafas tambahan seperti mendengkur. Biasanya akibat obstruksi saluran
nafas oleh benda padat seperti gigi patah. Bisa juga diakibatkan karena jatuhnya
lidah ke belakang sehingga menutupi jalan nafas.
6. Jejas :
Luka pada kulit berupa goresan seperti lecet.
7. Pneumothorax ventil :
Pneumothorax adalah suatu kondisi di mana cavum interpleura terisi udara.
Ventil adalah keadaan di mana udara dapat diinspirasi ke dalam paru namun
tidak dapat diekspirasi.
8. Hemithorax :
Salah satu rongg thorax lateral ke arah mediastinum.
9. Emfisema subkutis :
Terdapatnya udara bebas pada jaringan subkutis akibat trauma tumpul, trauma
tajam, atau komplikasi dari penyakit asma.
10. Krepitasi :
Suara gemeretak yang dihasilkan dari gesekan jaringan. Terdapat bermacam-
macam krepitasi, di antaranya krepitasi tulang, krepitasi subkutis, krepitasi paru,
dan krepitasi pada osteoarthritis.
11. Thorakosintesis :
Pengambilan udara atau cairan pada thorax melaui jarum suntik.
12. Deformitas :
Perubahan bentuk anatomis yang abnormal.
13. Perkusi hipersonor :
Suara yang terdengar pada perkusi apabila udara dalam paru bertambah,
misalnya pada kondisi emfisema atau pneumothorax.
JUMP 2 : MENETAPKAN / MENETAPKAN MASALAH
1. Langkah-langkah apa saja yang dilakukan pada primary survey dan secondary
survey?
2. Bagaimana klasifikasi TRIAGE?
3. Apa saja macam-macam trauma?
4. Apa saja jenis-jenis fraktur? Apakah terdapat golden period untuk mengatasi
kondisi fraktur?
5. Mengapa pasien mengeluh nyeri dada, sesak nafas yang semakin berat, dan
nyeri pada bahu kiri?
6. Bagaimana interpretasi pemeriksaan fisik pada pasien di skenario?
7. Pemeriksaan laboratorium dan radiologi apa yang dapat dilakukan dokter pada
skenario?
8. Bagaimana patofisiologi pneumothorax dan emfisema subkutis pada pasien di
skenario?
9. Bagaimana tata laksana awal dan lanjutan pada kasus pasien di skenario?
10. Bagaimana prosedur thorakosintesis? Apa saja indikasi dan kontraindikasinya?
11. Apa diagnosis banding penyakit pada pasien?
12. Apa yang harus dilakukan seorang dokter bedah jika harus melakukan tindakan
invasive pada pasien tidak sadar dan keluarganya belum ada yang datang?
JUMP 3 : ANALISIS MASALAH
1. LANGKAH-LANGKAH UMUM ASSESMENT PADA TRAUMA
a. Preparation
Tahap preparation dibagi lagi menjadi 2, yaitu pre hospital dan hospital
phase. Pada pre hospital phase yang harus diperhatikan adalah
pemeliharaan jalan napas, kontrol perdarahan luar dan syok, imobilisasi
pasien, dan transport segera ke fasilitas kesehatan terdekat yang memadai.
Koordinasi yang baik harus terjalin antara petugas lapangan dengan petugas
rumah sakit. Petugas lapangan harus melaporkan dengan jelas keadaan
pasien kepada paetugas triase di rumah sakit agar pasien mendapatkan
penanganan yang sesuai dengan tingkat keparahan luka yang diderita.
Pada hospital phase petugas kesehatan harus melakukan perencanaan yang
baik sebelum kedatangan pasien. Fasilitas kesehatan tersebut harus
menyediakan ruang resusitasi, alat – alat untuk membuka jalan napas dan
kristaloid harus sudah tersedia dan dapat langsung dipakai. Alat – alat untuk
pemeriksaan tambahan juga harus tersedia secara portabel. Seluruh petugas
kesehatan yang menangani pasien harus menggunakan alat perlindungan
diri yang memadai.
b. TRIAGE
1) Definisi
Triage awalnya terbentuk dari system Simple Triage and Rapid
Treatment (START) yang mana START berkembang pada tahun
1980an sebagai alur penanggulangan pada suatu bencana. Banyak versi
dari START hanya mengidentifikasi pasien tanpa memberikan
tatalaksana apapun sampai transportasi datang. TRIAGE dalam bahasa
Perancis berarti ‘memilih’ atau ‘mengelompokkan’. TRIAGE adalah
proses menentukan prioritas untuk melakukan terapi atau tatalaksana
pada pasien atau grup pasien. Pengelompokkan pasien berdasarkan
kategori tertentu dilakukan oleh ahli yang sudah berpengalaman.
Kebanyakan memakai metode sistemik dan ilmiah untuk pencapaian
kondisi pasien untuk menginterpretasi keadaan klinis dan
mengintervensi pada fase awal untuk mencegah kematian.
2) Klasifikasi TRIAGE berdasarkan warna
a) Black/ Expectant
Pasien tidak bisa bertahan hidup, dilihat dari beratnya luka,
tingkat ketersediaan penanganan, atau keduanya.
Pasien mengalami cedera mematikan dan akan meninggal meski
mendapat pertolongan. Misalnya:
Cedera kepala berat
Luka bakar derajat 3 hampir di seluruh tubuh
Kerusakan organ vital
b) Red/ Immediate
Bisa diselamatkan dengan intervensi cepat dan transport
Perbaikan ABC ketika penanganan
Membutuhkan perhatian medis dalam menit kelangsungan hidup
(±60menit), misalnya :
- Tension pneumothorax
- Distress pernapasan (RR >30x/menit)
- Perdarahan internal vasa besar
- Perdarahan hebat
- Cedera jalan nafas
- Cardiac arrest
- Syok – nadi radial tidak teraba, akral dingin, CRT >2 detik
- Luka terbuka di abdomen atau thoraks
- Trauma kepala berat
- Komplikas diabetes
- Keracunan
- Persalinan patologis
- Tidak sadar
- Luka bakar, termasuk luka bakar inhalasi
- Fraktur terbuka
c) Yellow/ Delayed
Transport pasien bisa ditunda
Termasuk yang luka serius dan mengancam jiwa, tapi status
tidak memburuk pada beberapa jam, misalnya :
Fraktur tertutup pada ekstremitas (perdarahan terkontrol)
Perdarahan laserasi terkontrol
Luka bakar <25% luas permukaan tubuh
Trauma tulang belakang
Perdarahan sedang
Trauma kepala tanpa gangguan kesadaran
d) Green/ Minor
Luka-luka ringan, misalnya :
Laserasi minor
Memar dan lecet
Luka bakar superficial
Status tidak memburuk walau beberapa hari
Masih bisa mengurus diri sendiri (contoh: bisa berjalan walau
terluka)
3) Klasifikasi TRIAGE berdasarkan tempat
Triage di UGD
Diterapkan sehari-hari untuk assessment prioritas penanganan
pasien di UGD. Prioritas diberikan pada pasien yang paling
membutuhkan. Sumber daya tersedia dalam kualitas dan kuantitas
yang cukup baik.
Prosedur Triage di UGD :
Menilai adakah tanda emergency (ABCD).
Penatalaksanaan segera diberikan begitu teridentifikasi satu
tanda emergency
- Jika terdapat tanda A, atasi. Jika tidak terdapat, teruskan
mencari tanda B.
- Jika terdapat tanda B, atasi. Jika tidak terdapat, teruskan
mencari tanda C.
- Jika terdapat tanda C, atasi. Jika tidak terdapat, teruskan
mencari tanda D.
- Jika terdapat tanda D, atasi.
Bila tidak terdapat tanda emergency, dilanjutkan dengan
penilaian adakah tanda prioritas.
Tempatkan pasien sesuai prioritasnya. Bila pasien mempunyai
tanda prioritas maka pasien ditempatkan di urutan depan
penanganan. Sementara menunggu, pasien dapat diberikan
terapi suportif.
Pasien yang tidak mempunyai tanda emergency atau tanda
prioritas kembali ke antrian untuk menunggu perawatan.
Berpindah ke pasien berikutnya.
Triage in-patient
Diterapkan sehari-hari di setting unit perawatan, misalnya ICU,
kamar bedah, dan unit rawat jalan. Prioritas diberikan pada pasien
yang paling membutuhkan pertolongan berdasarkan kriteria medis.
Sumber daya tersedia dengan baik.
Triage incident
Diterapkan pada setting kecelakaan dengan jumlah korban cukup
banyak, misalnya kecelakaan bus atau pesawat dan kebakaran.
Triage diprioritaskan untuk evakuasi dan penanganan pasien.
Biasanya terdapat keterbatasan sumber daya lokal, meskipun
demikian pasien tetap dapat memperoleh penatalaksanaan maksimal
di fasilitas kesehatan.
Triage militer
Diterapkan pada setting medan pertempuran. Terdapat keterbatasan
sumber daya, terutama bila suplai sumber daya terganggu.
Triage bencana/ masal
Diterapkan pada setting bencana dengan korban masal yang
melebihi kemampuan sistem pelayanan kesehatan lokal dan
regional. Protokol triage bencana memprioritaskan pada
penyelamatan sebagian besar korban dan mengoptimalkan sumber
daya yang tersedia.
4) Alur TRIAGE
5) Contoh kasus pengelompokan pasien sesuai klasifikasi warna
1) Prioritas I (prioritas tertinggi) warna merah untuk berat dan biru
untuk sangat berat. Mengancam jiwa atau fungsi vital, perlu
resusitasi dan tindakan bedah segera, mempunyai kesempatan hidup
yang besar. Penanganan dan pemindahan bersifat segera yaitu
gangguan pada jalan nafas, pernafasan dan sirkulasi. Contohnya
sumbatan jalan nafas, tension pneumothorak, syok hemoragik, luka
terpotong pada tangan dan kaki, combutio (luka bakar) tingkat II dan
III > 25%
2) Prioritas II (medium) warna kuning. Potensial mengancam nyawa
atau fungsi vital bila tidak segera ditangani dalam jangka waktu
singkat. Penanganan dan pemindahan bersifat jangan terlambat.
Contoh: patah tulang besar, combutio (luka bakar) tingkat II dan III
< 25 %, trauma thorak/abdomen, laserasi luas, trauma bola mata.
3) Prioritas III(rendah) warna hijau. Perlu penanganan seperti
pelayanan biasa, tidak perlu segera. Penanganan dan pemindahan
bersifat terakhir. Contoh luka superficial, luka-luka ringan
4) Prioritas 0 warna Hitam. Kemungkinan untuk hidup sangat kecil,
luka sangat parah. Hanya perlu terapi suportif. Contoh henti jantung
kritis, trauma kepala kritis.
c. Primary Survey
Petugas kesehatan menilai tanda vital pasien, luka yang diderita pasien, dan
mekanisme terjadinya luka pada pasien. Penilaian didasarkan pada patokan
ABCDE yaitu :
1) Airway maintenance with cervical spine protection (pemeliharaan jalan
napas dengan perlindungan tulang belakang bagian leher)
2) Breathing and ventilation (pernapasan dan pertukaran udara)
3) Circulation with hemorrhage control (sirkulasi dan kontrol perdarahan)
4) Disability : Neurologic status (status neurologis pasien)
Penilaian status neurologis pasien menggunakan sistem Glasgow
Comma Scale
5) Exposure / Environmental control : compeletely undress the patient, but
prevent hypothermia ( Menanggalkan seluruh pakaian pasien tetapi
harus menghindari terjadinya hipotermia)
d. Resusitasi sesuai Primary Survey
Petugas kesehatan melakukan resusitasi sesuai dengan penemuan dari
penilaian primary survey, apabila pasien mengalami gagal napas harus
dilihat apakah ada sumbatan jalan napas, bila ada harus segera dikeluarkan
dari jalan napas. Setelah itu dilihat kembali apa pasien dapat bernapas
normal. Bila belum dilakukan bantuan napas minimal 20x dalam waktu 3
menit. Bila pasien mengalami gagal jantung maka dilakukan resusitasi
jantung paru dengan perbandingan 30 : 2 selama 5 siklus. Paling lambat 100
x pompa jantung per menit. Kedalaman tidak boleh lebih dari 5 cm dan
harus bisa recoil sempurna.
e. Adjunct Primary Survey
Pemeriksaan tambahan yang dapat dilakukan apabila pasien sudah stabil
atau sudah ditangani kegawatdaruratannya. Pemeriksaan yang biasa
dilakukan adalah foto roentgen, analisa gas darah, kateter urin, pulse
oximetry dan tekanan darah.
f. Memeriksa kebutuhan transportasi
Apabila di sebuah rumah sakit tidak memiliki alat yang lengkap untuk
melakukan penanganan maka petugas kesehatan harus segera mengetahui
apakah pasien tersebut memang membutuhkan transportasi untuk dibawa ke
rumah sakit yang lebih lengkap fasilitasnya.
g. Secondary Survey
Merupakan pemeriksaan dari kepala sampai kaki yang dilakukan setelah
tahap primary survey dilakukan secara tuntas. Selain itu riwayat dari
penderita juga digali secara menyeluruh menggunakan sistem AMPLE,
yaitu : Alergi, Medikasi, Past illness/ Pregnancy (Riwayat penyakit dahulu/
kehamilan), Last meal (makanan yg terakhir dimakan), dan Events/
Environtment related to injury ( kejadian atau lingkungan terkait luka yg
diderita pasien).
h. Adjunct Secondary Survey
Pemeriksaan tambahan ulang yang dapat dilakukan apabila pasien sudah
stabil atau sudah ditangani kegawatdaruratannya. Pemeriksaan yang biasa
dilakukan adalah foto rontgen, analisa gas darah, kateter urin, pulse
oximetry dan tekanan darah.
i. Re-evaluasi
Pasien harus di evaluasi secara berkesinambungan untuk mencegah
terjadinya efek sekunder yang disebabkan oleh luka pada pasien.
j. Definitive care
Apabila ada permasalahan yang dialami pasien, pasien yang sudah stabil
akan diberikan penanganan sesuai dengan kondisi yang dialami pasien.
2. MACAM-MACAM TRAUMA
Trauma terjadi akibat adanya perpindahan energi yang berlebihan dari suatu
benda ke tubuh manusia, oleh karena itu trauma bisa disebabkan oleh semua
energi yang berlebihan.
Berikut ini adalah macam-macam trauma :
a. Trauma tumpul
Suatu ruda paksa yang mengakibatkan luka pada permukaan tubuh
oleh benda-benda tumpul.Hal ini disebabkan oleh benda-benda yang
mempunyai permukaan tumpul, seperti, batu, kayu, martil, bola, ditinju,
jatuh dari tempat tinggi, kecelakaan lalu lintas, dan lain sebagainya.Trauma
tumpul dapat menyebabkan tiga macam luka yaitu luka memar (contusio),
luka lecet (abrasio), dan luka robek (vulnus laceratum).
Penyebab terbanyak dari trauma tumpul adalah kecelakaan lalu
lintas. Pada suatu kecelakaan lalu lintas, misalnya tabrakan mobil, maka
penderita yang berada didalam mobil akan mengalami beberapa benturan
(collision) berturut-turut sebagai berikut :
1) Primary Collision
Terjadi pada saat mobil baru menabrak, dan penderita masih berada
pada posisi masing-masing. Tabrakan dapat terjadi dengan cara:
tabrakan depan (frontal), tabrakan samping (t-bone), tabrakan dari
belakang dan terbalik (roll over).
2) Secondary Collision
Setelah terjadi tabrakan penderita menabrak bagian dalam mobil
(atau sabuk pengaman). Perlukaan yang mungkin timbul akibat
benturan akan sangat tergantung dari arah tabrakan.
3) Tertiary Collision
Setelah penderita menabrak bagian dalam mobil, organ yang berada
dalam rongga tubuh akan melaju kearah depan dan mungkin akan
mengalami perlukaan langsung ataupun terlepas (robek) dari alat
pengikatnya dalam rongga tubuh tersebut.
4) Subsidary Collision
Kejadian berikutnya adalah kemungkinan penumpang mobil yang
mengalami tabrakan terpental kedepan atau keluar dari mobil.
Selain itu barang-barang yang berada dalam mobil turut terpentan
dan menambah cedera pada penderita.
Adapun jenis luka yang diakibatkan trauma tumpul :
1) Luka memar
Memar adalah cedera yang disebabkan benturan dengan benda tumpul
yang mengakibatkan pembengkakan pada baian tubuh tertentu karena
keluarnya darah dari kapiler yang rusak ke jaringan sekitarnya tanpa
ada kerusakan kulit.
Tanda-tanda luka memar adalah:
a) Kulit kelihatan merah kebiru-biruan dan lama kelamaan
kehijauan kemudian coklat dan akhirnya kuning lalu hilang
setelah sembuh.
b) Proses penyembuhan 1-4 minggu
2) Luka Lecet (Abrasio)
Luka lecet adalah luka pada kulit yang superficial dimana epidermis
bersentuhan dengan benda yang kasar permukaannya.
Tanda-tanda dari luka lecet adalah:
a) Kerusakan hanya sebatas epidermis
b) Warna coklat kemerahan
c) Permukaan tidak rata
d) Sebagian atau seluruh epidermis hilang
Sesuai dengan mekanisme terjadinya luka lecet dapat diklasifikasikan
sebagai:
Luka Lecet Gores
Luka jenis ini diakibatkan oleh benda runcing yang menggeser
lapisan permukaan kulit yang menyebabkan lapisan tersebut
terangkatsehingga dapat menunjukkan arah kekerasan yang terjadi
Luka Lecet Serut
Merupakan variasi dari luka lecet gores yang daerah
persentuhannya dengan permukaan kulit lebih lebar
Luka Lecet Tekan
Luka yang disebabkan oleh penjejakan benda tumpul pada kulit
3) Luka robek
Luka robek merupakan luka terbuka akibat trauma benda tumpul, yang
menyebabkan kulit teregang kesatu arah dan bila batas elastisitas kulit
terlampaui, maka akan terjadi robekan pada kulit.
4) Patah tulang
Pada trauma tumpul yang kaut dapat terjadi patah tulang. Pecahnya
tulang dapat menunjukkan arah trauma. Patah tulang dapat
menimbulkan perdarahan luar dan perdarahan dalam. Yang paling
bahaya adalah trauma tumpul pada tulang kepala, karena dapat terjadi
perdarahan epidural, subdural, subarachnoid, dan intraserebral. Akibat
yang ditimbulkan oleh patah tulang:
Menimbulkan rasa nyeri dan gangguan fungsi
Emboli pulmonal atau emboli otak oleh karena sel-sel lemak
memasuki sirkulsi darah, biasanya terjadi pada fraktur tulang-
tulang panjang
Perdarahan ekstradural terjadi karena robeknya arteri meningea
media yang berada pada bagian dalam tempurung kepala
b. Trauma tajam
Suatu ruda paksa yang mengakibatkan luka pada permukaan tubuh
oleh benda-benda tajam.Trauma tajam dikenal dalam tiga bentuk pula yaitu
luka iris atau luka sayat (vulnus scissum), luka tusuk (vulnus punctum),
dan luka bacok (vulnus caesum).
1) Luka iris (inciseal wound)
Luka iris adalah luka yang diakibatkan karena alat untuk memotong
dengan mata tajam dengan cara menekan dan menggeser pada
permukaan kulit, tenaga menggeser lebih besar daripada tenaga
menekan.
Ciri-ciri luka iris yaitu:
- Panjang luka lebih besar daripada dalamnya luka
- Tepi luka tajam dan rata, pada lipatan kulit tepi luka tajam dan
berliku-liku
- Ujing luka runcing
- Rambut ikut teriris
- Tidak ada jembatan jaringan
Luka sayat tidak begitu berbahaya, kecuali luka sayat mengenai
pembuluh darah yang dekat ke permukaan seperti dileher, siku bagian
dalam, pergelangan tangan dan lipat paha.
2) Luka tusuk (puncture wound)
Luka tusuk adalah luka yang disebabkan oleh karena alat dengan
ujung-ujung runcing, mata tajam atau tumpul atau alat dengan ujung
runcing dengan penampang bulat, segitiga dengan cara menusukkan
sehingga masuk ke dalam jaringan tubuh.
Luka tusuk ada 2 jenis yaitu :
Penetrasi
Pada luka ini benda menyebabkan penetrasi yang merobek
kulit dan jaringan yang lebih dalam, lalu masuk ke rongga
tubuh, seperti pada rongga thorax, abdomen,dll. Dengan
denikian bahwa luka hanya merupakan tempat masuk
Perforasi
Jika luka merobek jaringan tubuh manusia sampai menembus
dari satu sisi ke sisi yang lainnya.
Ciri-ciri luka tusuk:
- Kedalaman luka lebih besar dibandingkan panjang antara
lebarnya
- Tepi luka tajam atau rata
- Rambut terpotong pada sisi tajam
- Sekitar luka terkadang ada luka memar (contussion),
ekimosis karena tusukan sampai mengenai tangkai pisau
- Sudut luka tajam namun kurang jtajam pada sisi tumpul
3) Luka bacok (chopped wound)
Luka bacok adalah luka yang diakibatkan senjata tajam yang berat
dan diayunkan dengan tenaga akan menimbulkan luka menganga.
bentuknya hampirsama dengan luka sayat tetapi dengan derajat luka
yang lebih berat dalam. Luka terlihat terbuka lebar atau ternganga
pedarahan sangat banyak dansering mematikan.
Ciri-ciri luka bacok:
- Ukuran luka bacok baiasanya besar
- Tapi luka bacok tergantung pada mata senjatanya
- Sudut luka bacok tergantung pada mata senjata
- Hampir selalu mengakibatkan kerusakan pada tulang
- Kadang-kadang memutuskan tubuh yang terkena bacokan
- Disekitar luka dapat ditemukan luka memar (contusio) atau luka
lecet (abrasio)
Perbedaan antara trauma tumpul dan trauma tajam :
Trauma Tumpul Tajam
Bentuk luka Tidak teratur Teratur
Tepi luka Tidak rata Rata
Jembatan jaringan Ada Tidak ada
Rambut Tidak ikut terpotong Ikut terpotong
Dasar luka Tidak teratur Berupa garis / titik
Sekitar luka Ada luka lecet atau memar Tak ada luka lain
(Satyo, 2006)
c. Trauma tembus (penetrating injury)
1) Senjata dengan energi rendah (Low Energy)
Contoh senjata dengan energi rendah adalah pisau dan alat pemecah
es. Alat ini menyebabkan kerusakan hanya karena ujung tajamnya.
Karena energi rendah, biasanya hanya sedikit menyebabkan cidera
sekunder.
2) Senjata dengan energi menengah dan tinggi (medium and high
energy)
Senjata dengan energi menengah contohnya adalah pistol, sedangkan
senjata dengan energi tinggi seperti senjata militer dan senjata untuk
berburu. Kerusakan jaringan tidak hanya daerah yang dilalui peluru
tetapi juga pada daerah disekitar alurnya akibat tekanan dan
regangan jaringanyang dilalui peluru.
d. Trauma ledakan (Blast Injury)
Ledakan terjadi sebagai hasil perubahan yang sangat cepat dari suatu
bahan dengan volume yang relatif kecil, baik padat, cairan atau gas,
menjadi produk-produk gas.
Trauma ledakan dapat diklasifikasikan dalam 3 mekanisme kejadian
trauma yaitu primer, sekunder dan tersier.
1) Trauma ledak primer
Merupakan hasil dari efek langsung gelombang tekanan dan paling
peka terhadap organ–organ yang berisi gas.
2) Trauma ledak sekunder
Merupakan hasil dari objek-objek yang melayang dan kemudian
menmbentur orang disekitarnya
3) Trauma ledak tersier
Terjadi bila orang disekitar ledakan terlempar dan kemudian
membentur suatu objek atau tanah. Trauma ledak sekuder dan
tertier dapat mengakibatkan trauma baik tembus maupun tumpul
secara bersamaan (Simangunsong, 2011)
JUMP 4 : INVENTARISASI SECARA SISTEMATIS BERBAGAI PENJELASAN
YANG DIDAPATKAN PADA LANGKAH III
JUMP 5 : MERUMUSKAN SASARAN / TUJUAN PEMBELAJARAN
1. Apa saja jenis-jenis fraktur? Apakah terdapat golden period untuk mengatasi
kondisi fraktur?
2. Bagaimana interpretasi pemeriksaan fisik pada pasien di skenario?
3. Pemeriksaan laboratorium dan radiologi apa yang dapat dilakukan dokter pada
skenario?
4. Bagaimana patofisiologi, macam-macam, serta tata laksana (termasuk
thorakosintesis) kasus pneumothorax?
5. Bagaimana patofisiologi dan tata laksana pada emfisema subkutis?
6. Apa saja diagnosis banding pada kasus sesak nafas pasien di skenario?
JUMP 6 : BELAJAR MANDIRI
JUMP 7 : MENJAWAB TUJUAN PEMBELAJARAN YANG TELAH
DIRUMUSKAN SEBELUMNYA
3. JENIS-JENIS FRAKTUR
P asien ke ce lakaan
In iti a l a ssesm en t
M asu k ru m ah sak it
K lasifi kasi o le h d o kter TR IA G E
P rim a ry Su rvey : G C S, C A B D E R esu sitasi
A d ju n ct P rim a ry Su rvey : EK G ,
o xim e try , p u lse
Seco n da ry su rvey : h ea d to toe
R e-eva lu asi D efi n iti ve ca re
a. Definisi dan tanda-tanda fraktur
Trauma pada tulang menimbulkan fraktur. Fraktur adalah terputusnya
kontinuitas tulang, rawan sendi serta epifise pada anak. Kerusakan tulang ini
biasa disertai kerusakan jaringan lunak dan pembuluh darah, ada kalanya
menimbulkan lesi saraf.
b. Manifestasi klinis
1) Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang
diimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk
bidai alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar
fragmen tulang.
2) Deformitas dapat disebabkan pergeseran fragmen pada eksremitas.
Deformitas dapat di ketahui dengan membandingkan dengan ekstremitas
normal. Ekstremitas tidak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi
normal otot bergantung pada integritas tulang tempat melengketnya
obat.
3) Pemendekan tulang, karena kontraksi otot yang melekat diatas dan
dibawah tempat fraktur. Fragmen sering saling melingkupi satu sama
lain sampai 2,5 sampai 5,5 cm
4) Krepitasi yaitu pada saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba
adanya derik tulang. Krepitasi yang teraba akibat gesekan antar fragmen
satu dengan lainnya.
5) Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi akibat
trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini baru terjadi
setelah beberapa jam atau beberapa hari setelah cedera.
6) Kurang / hilang sensasi.
7) Pergerakan abnormal.
(Smeltzer, Suzanne C. 2001)
c. Jenis-jenis fraktur
Penampikan fraktur dapat sangat bervariasi tetapi untuk alasan yang praktis,
dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu:
Berdasarkan sifat fraktur (luka yang ditimbulkan) :
a) Faktur Tertutup (Closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen
tulang dengan dunia luar, disebut juga fraktur bersih (karena kulit
masih utuh) tanpa komplikasi.
b) Fraktur Terbuka (Open/Compound), bila terdapat hubungan antara
hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya
perlukaan kulit.
Berdasarkan komplit atau ketidakklomplitan fraktur :
a) Fraktur Komplit, bila garis patah melalui seluruh penampang tulang
atau melalui kedua korteks tulang seperti terlihat pada foto.
b) Fraktru Inkomplit, bila garis patah tidak melalui seluruh penampang
tulang seperti:
Hair Line Fraktur (patah retidak rambut)
Buckle atau Torus Fraktur, bila terjadi lipatan dari satu korteks
dengan kompresi tulang spongiosa di bawahnya.
Green Stick Fraktur, mengenai satu korteks dengan angulasi
korteks lainnya yang terjadi pada tulang panjang.
Berdasarkan bentuk garis patah dan hubungannya dengan mekanisme
trauma :
a) Fraktur Transversal: fraktur yang arahnya melintang pada tulang dan
merupakan akibat trauma angulasi atau langsung.
b) Fraktur Oblik: fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut
terhadap sumbu tulang dan meruakan akibat trauma angulasijuga.
c) Fraktur Spiral: fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral yang
disebabkan trauma rotasi.
d) Fraktur Kompresi: fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang
mendorong tulang ke arah permukaan lain.
e) Fraktur Avulsi: fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan atau
traksi otot pada insersinya pada tulang.
Berdasarkan jumlah garis patah.
1) Fraktur Komunitif: fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan saling
berhubungan.
2) Fraktur Segmental: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak
berhubungan.
3) Fraktur Multiple: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak
pada tulang yang sama.
Berdasarkan pergeseran fragmen tulang.
1). Fraktur Undisplaced (tidak bergeser): garis patah lengkap ttetapi kedua
fragmen tidak bergeser dan periosteum nasih utuh.
2). Fraktur Displaced (bergeser): terjadi pergeseran fragmen tulang yang
juga disebut lokasi fragmen, terbagi atas:
a) Dislokasi ad longitudinam cum contractionum (pergeseran searah
sumbu dan overlapping).
b) Dislokasi ad axim (pergeseran yang membentuk sudut).
c) Dislokasi ad latus (pergeseran dimana kedua fragmen saling
menjauh).
Berdasarkan posisi fraktur :
Sebatang tulang terbagi menjadi tiga bagian :
1) 1/3 proksimal
2) 1/3 medial
3) 1/3 distal
Berdasarkan kontak dengan udara luar :
1) Fraktur terbuka (open/compound). Bila terdapat hubungan antara
fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya perlukaan di kulit.
Fraktur terbuka terbagi atas tiga derajat (menurut R. Gustillo), yaitu:
Derajat I :
a) Luka <1 cm
b) Kerusakan jaringan lunak sedikit, tak ada tanda luka remuk
c) Fraktur sederhana, transversal, oblik, atau kominutif ringan
d) Kontaminasi minimal
Derajat II :
a) Laserasi >1 cm
b) Kerusakan jaringan lunak, tidak luas, flap/ avulsi
c) Fraktur kominutif sedang
d) Kontaminasi sedang
Derajat III :
Terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas, meliputi struktur kulit, otot,
dan neurovaskular serta kontaminasi derajat tinggi. Fraktur terbuka
derajat III terbagi atas:
Jaringan lunak yang menutupi fraktur tulang adekuat, meskipun
terdapat laserasi luas/flap/avulsi atau fraktur segmental/sangat
kominutif yang disebabkan oleh trauma berenergi tinggi tanpa
melihat besarnya ukuran luka.
Kehilangan jaringan lunak dengan fraktur tulang yang terpapar atau
kontaminasi masif.
Luka pada pembuluh arteri/saraf perifer yang harus diperbaiki tanpa
melihat kerusakan jaringan lunak.
Fraktur terbuka tergolong dalam kegawatan bedah sehingga memerlukan
operasi secepatnya untuk mengurangi risiko infeksi yang sebaiknya
dilakukan dalam 6-8 jam pertama. Dikatakan dalam 2 jam pertama
sesudah terjadi cedera, sistem pertahanan tubuh berusaha mengurangi
pertumbuhan bakteri yang berlangsung dalam jumlah besar. Dalam 4
jam berikutnya, jumlah bakteri relatif konstan oleh karena jumlah
pertumbuhan bakteri baru sama dengan jumlah bakteri yang dimatikan
oleh tubuh. Enam jam pertama ini disebut sebagai golden period,
dimana sesudah periode ini, dengan adanya jaringan nekrotik yang luas,
mikroorganisme akan bereplikasi sampai tercapai kondisi infeksi secara
klinis.
2) Fraktur tertutup. Ada klasifikasi tersendiri yang berdasarkan keadaan
jaringan lunak sekitar trauma, yaitu:
a) Tingkat 0: fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa ceddera jaringan
lunak sekitarnya.
b) Tingkat 1: fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan
jaringan subkutan.
c) Tingkat 2: fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak
bagian dalam dan pembengkakan.
d) Tingkat 3: cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata
ddan ancaman sindroma kompartement (Iwan, 2012).
d. Penatalaksanaan Fraktur
1) Penatalaksanaan secara umum
Fraktur biasanya menyertai trauma. Untuk itu sangat penting untuk
melakukan pemeriksaan terhadap jalan napas (airway), proses
pernafasan (breathing) dan sirkulasi (circulation), apakah terjadi syok
atau tidak. Bila sudah dinyatakan tidak ada masalah lagi, baru lakukan
anamnesis dan pemeriksaan fisis secara terperinci. Waktu tejadinya
kecelakaan penting ditanyakan untuk mengetahui berapa lama sampai di
RS, mengingat golden period 1-6 jam. Bila lebih dari 6 jam, komplikasi
infeksi semakin besar. Lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisis secara
cepat, singkat dan lengkap. Kemudian lakukan foto radiologis.
Pemasangan bidai dilakukan untuk mengurangi rasa sakit dan mencegah
terjadinya kerusakan yang lebih berat pada jaringan lunak selain
memudahkan proses pembuatan foto.
2) Penatalaksanaan kedaruratan
Segera setelah cedera, pasien berada dalam keadaan bingung, tidak
menyadari adanya fraktur dan berusaha berjalan dengan tungkai yang
patah, maka bila dicurigai adanya fraktur, penting untuk
mengimobilisasi bagain tubuh segara sebelum pasien dipindahkan. Bila
pasien yang mengalami cedera harus dipindahkan dari kendaraan
sebelum dapat dilakukan pembidaian, ekstremitas harus disangga diatas
dan dibawah tempat patah untuk mencegah gerakan rotasi maupun
angulasi. Gerakan fragmen patahan tulang dapat menyebabkan nyeri,
kerusakan jaringan lunak dan perdarahan lebih lanjut.
Nyeri sehubungan dengan fraktur sangat berat dan dapat dikurangi
dengan menghindari gerakan fragmen tulang dan sendi sekitar fraktur.
Pembidaian yang memadai sangat penting untuk mencegah kerusakan
jaringan lunak oleh fragmen tulang
Daerah yang cedera diimobilisasi dengan memasang bidai sementara
dengan bantalan yang memadai, yang kemudian dibebat dengan
kencang. Imobilisasi tulang panjang ekstremitas bawah dapat juga
dilakukan dengan membebat kedua tungkai bersama, dengan ektremitas
yang sehat bertindak sebagai bidai bagi ekstremitas yang cedera. Pada
cedera ektremitas atas, lengan dapat dibebatkan ke dada, atau lengan
bawah yang cedera digantung pada sling. Peredaran di distal cedera
harus dikaji untuk menntukan kecukupan perfusi jaringan perifer.
Pada fraktur terbuka, luka ditutup dengan pembalut bersih (steril) untuk
mencegah kontaminasi jaringan yang lebih dalam. Jangan sekali-kali
melakukan reduksi fraktur, bahkan bila ada fragmen tulang yang keluar
melalui luka. Pasanglah bidai sesuai yang diterangkan diatas.
Pada bagian gawat darurat, pasien dievaluasi dengan lengkap. Pakaian
dilepaskan dengan lembut, pertama pada bagian tubuh sehat dan
kemudian dari sisi cedera. Pakaian pasien mungkin harus dipotong pada
sisi cedera. Ektremitas sebisa mungkin jangan sampai digerakkan untuk
mencegah kerusakan lebih lanjut.
3) Penatalaksanaan bedah ortopedi
4. INTERPRETASI PEMERIKSAAN FISIK
a. Kesadaran GCS 15 grading GCS juga
Grading GCS menurut tingkat kesadaran antara lain meliputi:
1) Compos mentis, bila GCS = 14-15
2) Apatis, bila GCS = 12-13
3) Somnolen, bila GCS = 10-11
4) Delirium, bila GCS = 7-9
5) Sporo coma/Stupor, bila GCS = 4-6
6) Coma, bila GCS ≤ 3
Sedangkan grading GCS menurut Head InjuryClassification meliputi:
1) Severe head injury, bila GCS ≤ 8
2) Moderate head injury, bila GCS = 9-12
3) Mild head injury, bila GCS = 1-15
b. Nafas cepat dan dangkal
Nafas cepat dan dangkal pada skenario disebabkan oleh keadaan tension
pneumothorax yang mengakibatkan pasien kesulitan bernapas karena paru-
paru yang bersangkutan tidak bisa mengembang.
c. Gurgling (-)
Suara gurgling didapatkan bila terdapat sumbatan cairan pada jalan napas.
Gurgling (-) menandakan tidak adanya sumbatan cairan di jalan napas.
d. Snoring (-)
Suara snoring menandakan adanya sumbatan benda padat di jalan napas.
Snoring (-) menandakan tidak adanya sumbatan benda padat di jalan napas.
e. Vital sign
Pada skenario didapatkan tekanan darah 90/70 mmHg atau tergolong
hipotensi. Hal ini diduga karena pasien dalam skenario mengalami blood
loss yang tak terlihat atau perdarahan dalam yang belum diketahui. Bisa
juga disebabkan oleh hipoksia yang dikarenakan oleh keadaan
pneumothoraks yang didapatkan pada pasien pasca trauma. Karena terdapat
tension pneumothorax, akibatnya adalah asupan oksigen berkurang dan
semakin lama terjadi penekanan yang semakin besar pada pembuluh-
pembuluh besar di rongga dada. Kedua hal ini kemudian bermanifestasi ke
keadaan hipoksia sehingga cardiac output juga menurun.
f. Jejas pada region bahu kiri
Hal ini terjadi karena pada skenario pasien mengalami benturan bahu kiri
dengan stang motor.
g. Oedema
Edema adalah penimbunan cairan secara berlebihan di antara sel-sel tubuh
atau di dalam berbagai rongga tubuh. Keadaan ini sering dijumpai pada
praktek klinik sehari-hari yang terjadi sebagai akibat ketidakseimbangan
faktor-faktor yang mengontrol perpindahan cairan tubuh, antara lain
gangguan hemodinamik system kapiler yang menyebabkan retensi natrium
dan air, penyakit ginjal serta perpindahannya air dari intravascular ke
intestinum.
Edema yang bersifat lokal seperti terjadi hanya di dalam rongga perut
(hydroperitoneum atau ascites), rongga dada (hydrothorax), di bawah kulit
(edema subkutis atau hidops anasarca), pericardium jantung
(hydropericardium) atau di dalam paru-paru (edema pulmonum). Sedangkan
edema yang ditandai dengan terjadinya pengumpulan cairan edema di
banyak tempat dinamakan edema umum (general edema).
Cairan edema diberi istilah transudat, memiliki berat jenis dan kadar
protein rendah, jernih tidak berwarna atau jernih kekuningan dan merupakan
cairan yang encer atau mirip gelatin bila mengandung di dalamnya sejumlah
fibrinogen plasma.
h. Perdarahan Aktif
Perdarahan adalah keluarnya darah dari pembuluh darah akibat kerusakan
(robekan) pembuluh darah. Kehilangan darah bisa disebabkan perdarahan
internal dan eksternal. Perdarahan internal lebih sulit diidentifikasi. Jika
pembuluh darah terluka maka akan segera terjadi kontriksi dinding
pembuluh darah sehingga hilangnya darah dapat berkurang. Platelet mulai
menempel pada tepi yang kasar sampai terbentuk sumbatan.
i. Deformitas
Deformitas musculoskeletal adalah kelainan dan trauma pada sistem
muskuloskeletal yang bermanifestasi dari bentuk yang abnormal dari
ekstremitas atau batang tubuh.
j. Krepitasi
Krepitasi adalah suara-suara yang dihasilkan oleh gesekan-gesekan dari
segmen-segmen tulang. Krepitasi dapat dipakai untuk menentukan diagnosa
suatu fraktura.
k. Nyeri Tekan
Nyeri yang timbul bila ditekan didaerah yang terjadi kerusakan jaringan
5. PEMERIKSAAN PENUNJANG TRAUMA THORAX
Bila terdapat kecurigaan adanya trauma thorax, dapat dilakukan pemeriksaan
untuk mengkonfrimasi, diantaranya :
- Foto thorax
- CT scan
- Angiografi
- Bronchoscopi
- Tube trakheostomi
- Perikardiosintesis
- USG transesofagus
6. PNEUMOTHORAX
a. Definisi
Pneumotoraks adalah suatu keadaan dimana terdapatnya udara pada
rongga potensial diantara pleura visceral dan pleura parietal. Pada keadaan
normal rongga pleura dipenuhi oleh paru – paru yang mengembang pada
saat inspirasi disebabkan karena adanya tegangan permukaaan (tekanan
negatif) antara kedua permukaan pleura, adanya udara pada rongga potensial
di antara pleura visceral dan pleura parietal menyebabkan paru-paru
terdesak sesuai dengan jumlah udara yang masuk kedalam rongga pleura
tersebut, semakin banyak udara yang masuk kedalam rongga pleura akan
menyebabkan paru –paru menjadi kolaps karena terdesak akibat udara yang
masuk meningkat tekanan pada intrapleura.
Secara otomatis terjadi juga gangguan pada proses perfusi oksigen
kejaringan atau organ, akibat darah yang menuju kedalam paru yang kolaps
tidak mengalami proses ventilasi, sehingga proses oksigenasi tidak terjadi.
b. Patofisiologi
Rongga dada mempunyai dua struktur yang penting dan digunakan
untuk melakukan proses ventilasi dan oksigenasi, yaitu pertama tulang,
tulang – tulang yang menyusun struktur pernapasan seperti tulang klafikula,
sternum, scapula. Kemudian yang kedua adalah otot-otot pernapasan yang
sangat berperan pada proses inspirasi dan ekspirasi. Jika salah satu dari dua
struktur tersebut mengalami kerusakan, akan berpengaruh pada proses
ventilasi dan oksigenasi. contoh kasusnya, adanya fraktur pada tulang iga
atau tulang rangka akibat kecelakaan, sehingga bisa terjadi keadaaan flail
chest atau kerusakan pada otot pernapasan akibat trauma tumpul, serta
adanya kerusakan pada organ viseral pernapasan seperti, paru-paru, jantung,
pembuluh darah dan organ lainnya di abdominal bagian atas, baik itu
disebabkan oleh trauma tumpul, tajam, akibat senapan atau gunshot.
Tekanan intrapleura adalah negatif, pada proses respirasi, udara
tidak akan dapat masuk kedalam rongga pleura. Jumlah dari keseluruhan
tekanan parsial dari udara pada kapiler pembuluh darah rata-rata (706
mmHg). Pergerakan udara dari kapiler pembuluh darah ke rongga pleura,
memerlukan tekanan pleura lebih rendah dari -54 mmHg (-36 cmH2O) yang
sangat sulit terjadi pada keadaan normal. Jadi yang menyebabkan masuknya
udara pada rongga pleura adalah akibat trauma yang mengenai dinding dada
dan merobek pleura parietal atau visceral, atau disebabkan kelainan
konginetal adanya bula pada subpleura yang akan pecah jika terjadi
peningkatan tekanan pleura.
c. Klasifikasi
1) Primary pneumothorax
Terjadi pada pasien tanpa penyakit paru yang telah ada sebelumnya
dan dengan tidak ditemukannya “inciting event” pada gambaran
radiografi. Dengan kata lain, udara memasuki ruangan interpleural
tanpa ditemukannya trauma dan penyakit paru yang menyertai pasien.
2). Secondary pneumothorax
Terjadi pada pasien yang disertai dengan berbagai macam penyakit
paru parenkimal. Pasien-pasien tersebut memiliki keadaan patologis
pada paru yang menggantikan struktur normal paru. Udara memasuki
ruangan interpleural dan mengalami penggembungan, kerusakan, dan
membahayakan paru. Manifestasi klinis dari pasien-pasien tersebut
akan lebih serius dan akan disertai dengan gejala komorbid
3). Iatrogenic pneumothorax
Merupakan pneumothorax yang disebabkan karena adanya trauma
pada pleura, udara memasuki ruangan interpleural sebagai akibat dari
tindakan diagnostik ataupun intervensi medis.
Terdapat pula klasifikasi seperti berikut :
1). Ventil pneumothorax
Merupakan suatu keadaan pneumothorax yang disebabkan oleh trauma
yang mengakibatkan terbentuknya sebuah lubang pada pleura
visceralis atau pada pleura parietalis (salah satu saja). Hal ini
mengakibatkan udara dapat masuk melalui lubang tersebut tetapi tidak
dapat keluar lagi, sehingga menyebabkan peningkatan tekanan
intrapleura. Akibat meningkatnya tekanan intrapleura paru – paru
dapat terdesak dan kolaps sehingga mengganggu pengambilan oksigen
oleh darah yang menyebabkan pasokan oksigen ke dalam tubuh
berkurang. Meningkatnya tekanan intrapleura juga menyebabkan
terdesaknya saraf – saraf di sekitar dinding dada sehingga
menimbulkan rasa nyeri. Karena tekanan intrapleura yang tinggi udara
dapat menerobos sampai ke lapisan subkutis sehingga menyebabkan
emfisema subkutis.
2). Open pneumothorax
Pneumothorax yang terjadi apabila luka yang disebabkan oleh trauma
berukuran lebih dari sama dengan ¾ ukuran trakhea sehingga udara
lebih memilih untuk masuk melalui lubang akibat trauma tersebut
daripada melalui trakhea. Sehingga proses bernapas dan pertukaran
udara terganggu.
d. Identifikasi awal
Identifikasi awal tentang gejala pneumotorak sangat diperlukan
untuk memberikan bantuan hidup dasar pada pasien pneumotoraks. Karena
penanganan awal yang tepat pada penderita pneumotoraks sangatlah penting
untuk mencegah terjadi kematian. Dikatakan pada sebuah penelitian
penanganan awal pada 85 % penderita pneumotorak dapat ditangani dengan
menggunakan manover bantuan hidup dasar tanpa memerlukan tindakan
pembedahan. Untuk mengidentifikasi gejala pnemutoraks, terlebih dahulu
kita harus mengetahui manifestasi klinis dan kriteria diagnosis dari
pneumotoraks. Pertama kita melihat penyebab dari terjadinya pneumotoraks
untuk mengetahui tipe-tipe pneumotoraks apa yang kemungkinan terjadi ada
penderita. Diluar rumah sakit mungkin kita akan menemukan lebih banyak
kejadian pneumotoraks yang diakibatkan oleh terjadinya trauma, trauma
yang terjadi bisa secara langsung melukai dinding dada atau pun secara
tidak langsung. Penyebab tersering dari pneumotoraks yang bisa didapatkan
akibat kecelakaan lalu lintas, akibat tingginya kecepatan kendaraan
bermotor mengakibatkan resiko terjadinya kecelakaan semakin, sehingga
trauma yang terjadi akan semakin parah. Jika kita menemukan penderita
ditempat kejadian, identifikasi terlebih dahulu. Akibat benturan yang keras
terhadap dinding dada penderita akan mengeluhkan nyeri pada dinding
dadanya. Disamping itu dilihat juga apakah ada atau tidak perlukaan yang
terjadi pada dinding dada, untuk mengetahui apakah terdapat luka terbuka
pada dinding dada penderita yang bisa menimbulkan pneumotoraks terbuka.
Sesak napas akan terjadi pada penderita pneumotoraks akibat udara yang
mulai masuk mengisi rongga pleura. Jika terus berlanjut penderita akan
terlihat gelisah akibat kesulitan bernapas. Usaha dari tubuh untuk
mengkompensasi akibat sesak napas yang terjadi adalah bernapas yang
cepat (takipneu) dan denyut nadi yang meningkat (takikardia). Udara yang
masuk kedalam rongga pleura ini akan menyebakan terjadi pendesakan pada
parenkim paru-paru hingga menjadi kolaps, jadi yang mengisi rongga dada
yang mengalami pneumotoraks adalah udara, pada saat diperiksa dengan
mengetuk dinding dada akan terdengar suara hipersonor, akibat akumulasi
udara pada rongga pleura. Kolapsnya paru-paru yang terdesak oleh udara
yang berada di rongga pleura ini menyebabkan proses ventilasi dan
oksigenasi berkurang atau malah tidak terjadi, sehingga jika didengarkan
dengan stetoskop suara napas tidak terdengar.
Keadaan diatas akan bertambah parah jika tidak ditangani secara
cepat dan tepat. Penurunan kesadaran akan terjadi akibat perfusi oksigen ke
otak yang menurun (hipoksia). Penumpukan udara yang semakin banyak
disana menyebabkan terjadinya pendorongan pada mediastinum dan trakea
kearah kontra lateral dari paru-paru yang kolaps. Terjadinya pendesakan
pada mediastinum juga menyebabkan hambatan pada aliran vena balik,
sehingga terjadi distensi pada vena dileher, dan hipotensi. Semakin lama
gejala ini berlangsung penderita akan jatuh fase sianosis.
e. Tata laksana
Tata laksana dari pneumothorax yakni Thoracocentesis, merupakan
tatalaksana untuk mengeluarkan akumulasi udara atau cairan di dalam
cavum pleura dengan aspirasi jarum suntik.
Persiapan Alat :
- Alat pelindung diri (masker, handscoen)
- Jarum IV line No. 14
- Betadine
- Kassa
- Handscoen
- Plester
Persiapan pasien :
- Inform consent
- Berikan penjelasan tentang tindakan yang akan dilakukan
- Pasien tidur terlentang / sesuai kebutuhan
Prosedur Pemakaian:
a) Posisi - pasien telentang.
b) Identifikasi vena jugularis, dan garis mid-klavikularis di sisi pasien
yang terkena
c) Tentukan tempat pemasangan di sela iga 2.
d) Bersihkan tempat yang akan dipasang dengan cairan antiseptik.
e) Pasang kateter IV 10-16 gauge 2-4 inci ke 3-10 cc jarum suntik.
Pasang katup flapper.
f) Masukkan jarum ke dalam sela iga 2.
g) Lepaskan jarum dan alat suntik, tinggalkan kateter dan katup flapper
di tempat.
h) Pasang balutan kecil di sekitar kateter.
i) Letakkan pasien dalam posisi tegak lurus untuk membantu
memudahkan respirasi.
j) Monitoring respon pasien (respiratory rate, suara pernapasan, warna
kulit pasien.
k) Terus memonitor pasien dan meninjau kembali diperlukan.
Indikasi thoracocentesis:
- Efusi parapneumonik yang mengalami komplikasi atau empiema
- Mengurangi rasa sesak nafas
- Evaluasi dasar penyakit paru kronik
Kontraindikasi thoracocentesis:
- Kelainan pembekuan darah
- Hematom lokal
- Infeksi pleura, empiema
- Pneumothorax simple
f. Komplikasi
Insufisiensi pada sistem respiratori, kolaps kardiovaskuler, dan dapat
mengakibatkan kematian jika tidak ditangani dengan tepat.
7. EMFISEMA SUBKUTIS
a. Etiologi
Emfisema subkutis disebabkan oleh trauma tumpul maupun trauma
tajam pada dindingthorax. Ketika lapisan pleura berlubang akibat trauma
tajam, udara dapat berpindah dari paru-paru menuju otot dan jaringan
subkutan pada dinding dada. Ketikan terjadi ruptur pada alveoli,misalkan
pada laserasi jaringan paru, udara dapat berpindah sepanjang pleura
visceralis menuju hilum paru-paru, kemudian menuju trachea, leher dan
dindingdada. Hal tersebut di atas bisa pula terjadi pada fraktur costae yang
melukai jaringan paru. Sebab fraktur costa dapat merobek pleura parietalis
yang bisa menyebabkan udara berpindah dari paru ke jaringan subkutis
dinding dada.
b. Patofisiologi
Terdapatnya udara di lemak subkutan dinamakan emfisema
subkutan. Udara dapat dari luar,dari paru menembus pleura visceralis dan
parietalis masuk ke subkutis atau udara dari paru kemediastinum dan ke
subkutis tanpa ada kerusakan pleura. Harus diingat bahwa pnumothorax
sering disertai emfisema subkutan, dan emfisemaseringkali disertai
pneumothorax. Emfisema subkutan perlu tidakan bila emfisema sifatnya
progresif atau adanya tanda-tanda penekanan pembuluh darah balik dada ke
atas.Progresif biasanya karena adanya kerusakan bronchus atau trachea,
suatu keadaan yang memerlukan tindakan pembedahan segera untuk repair
kerusakan yang terjadi,olehkarena itu dicari penyebab bila progresif.
Penekanan pembuluh darah balik karena udaramasuk ke rongga perikardium
atau di sarung pembuluh darah di leher sehingga menghambat darah yang
kembali ke jantung, suatu keadaan yang sama seperti pada tamponade
jantung.
c. Tanda dan gejala
Gelembung udara di jaringan subcutan, berupa nodul yang mobil
yang dapat denganmudah digerakkan. Terkadang disertai dengan
pembekakan leher,nyeri dada,kesulitan menelan, wheezing dan kesulitan
bernafas. Dari foto thorax bisa diketahui adanya udara di cavum
mediastinum. Pada kasus-kasus tertentu, emfisema subkutan dapat dideteksi
dengan meraba kulit di daerah tersebut. Pada perabaan tersebut akan terasa
seperti kertas tisu. Saat diraba gelembung tersebut dapat berpindah dan
terkadang menimbulkan suara. Emfisema subkutan biasanya disertai
pembengkakan jaringan di sekitarnya. Begitu pula dengan wajah pasien.
d. Tata laksana
Emfisema subkutis tidak memerlukan terapi khusus. Tindakan
dilakukan apabila jumlahudara dalam jaringan subkutis sangat banyak dan
mempengaruhi pernafasan pasien. Hal pertama yang harus dilakukan adalah
memasang chest tube dan memastikan chest tubetersebut berfungsi baik
(bila penyebabnya dalah pneumothorax). Pemasangan kateter atau insisi
kecil pada kulit dapat membantu mengeluarkan udara dari jaringan
subkutan.
8. DIAGNOSIS BANDING PADA KASUS THORAX PADA SKENARIO
a. Kontusio
Kontusio paru didefinisikan sebagai cedera fokal dengan edema,
perdarahan alveolar dan interstisial. Ini adalah cedera yang paling umum
yang berpotensi mematikan. Kegagalan pernafasan mungkin lambat dan
berkembang dari waktu daripada yang terjadi seketika.
Kontusio paru adalah memar atau peradangan pada paru yang dapat
terjadi pada cedera tumpul dada akibat kecelakaan kendaraan atau
tertimpa benda berat, misalnya pada kasus kecelakaan lalu lintas, trauma
tumpul dengan fraktur iga yg multiple, cedera ledakan atau gelombang
kejut yang terkait dengan trauma penetrasi, flail chest, dan luka tembak.
Tidak ada perawatan yang dikenal untuk mempercepat penyembuhan
luka memar paru. Perawatan utama adalah mendukung upaya yang
dilakukan untuk menemukan luka memar yang menyertai, untuk
mencegah cedera tambahan, dan untuk memberikan perawatan suportif
sambil menunggu luka memar pada tahap proses penyembuhan.
b. Laserasi
Luka laserasi adalah luka robek tetapi disebabkan oleh benda tumpul
atau runcing. Dengan kata lain, pada luka yang disebabkan oleh benda
bermata tajam dimana lukanya akan tampak rata dan teratur. Luka robek
adalah apabila terjadi kerusakan seluruh tebal kulit dan jaringan bawah
kulit. Luka ini biasanya terjadi pada kulit yang ada tulang dibawahnya
pada proses penyembuhan dan biasanya pada penyembuhan dapat
menimbulkan jaringan parut.
c. Tamponade cordis
Tamponade cordis keadaan gawat darurat di mana cairan terakumulasi
di pericardium. Sebelum timbulnya tamponade, penderita biasanya
merasakan nyeri samar-samar atau tekanan di dada, yang akan
bertambah buruk jika berbaring dan akan membaik jika duduk tegak.
Penderita mengalami gangguan pernapasan yang berat selama
menghirup udara, vena-vena di leher membengkak.
Tamponade jantung dapat terjadi secara mendadak jika begitu banyak
cairan yang terkumpul secara cepat sehingga jantung tidak dapat
berdenyut secara normal. Keadaan ini menyebabkan peningkatan
tekanan dalam jantung, dan menyebabkan ventrikel jantung tidak terisi
dengan sempurna, sehingga hasilnya adalaH pemompaan darah menjadi
tidak efektif, syok, dan dapat juga menyebabkan kematian.
Tatalaksana tamponade jantung dilakukan dengan perikardiosentesis.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kesimpulan yang diperoleh berupa learning objectives dari diskusi pertama dan
kedua yang berupa:
1. Keluhan pada pasien berupa sesak nafas yang semakin lama semakin
bertambah dan bahu kiri terasa nyeri
2. Interpretasi hasil pemeriksaan fisik
3. Langkah-langkah assessment umum pada pasien trauma, termasuk
mengklasifikasikannya berdasarkan TRIAGE dan mendeskripsikan primary
survey dan secondary survey.
4. Macam-macam trauma
5. Jenis-jenis fraktur
6. Pneumothorax : definisi, etiologi, patofisiologi, klasifikasi, tata laksana,
komplikasi
7. Emfisema subkutis : etiologi, patofisiologi, manifestasi klinis, terapi
8. Indikasi dan kontraindikasi thoracocentesis
9. Differential diagnosis : kontusio paru, laserasi, tamponade jantung
B. Saran
1. Sebaiknya dalam setiap diskusi sumber informasi harus jelas dan selalu
disebutkan agar dapat memilah dan memilih informasi yang paling benar.
2. Dalam diskusi sebaiknya setiap anggota ikut berpartisipasi aktif baik pertemuan
satu maupun dua.
DAFTAR PUSTAKA
American College of Surgeons. 1997. Advanced Trauma Life Support (ATLS).
FirstImpression: USA.
Amin, Zulkifli, Asril Bahar, dkk. 2006. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam. Fakultas
Kedokteran UI. Jakarta
Bruner and Suddarth. 2001. Keperawatan Medikal Bedah,Ed. 8 Vol. 1. Jakarta : EGC
Doenges, Marilynn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman untuk
Perencanaan dan Pendokumentasian Perawat Pasien. Jakarta; EGC.
Delahay JN, Sauer S. Skeletal Trauma. In: Wiesel S, Delahay JN, editor. Essentials of
orthopedic surgery. 3rd ed.. Washington: Springer; 2007. p.40-83
Ediyono (2008).Pneumothorax. Elib.fk.uwks.ac.id – Diakses 20 April 2014
Ganveer, Rajnarayan R, Tiwari. Injury pattern among non-fatal road traffic accident
cases: a cross-sectional study in central India. Indian J Med Sci Jan 2005;59:9-
12
Halim Hadi. 2007. Penyakit-Penyakit Pleura dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jilid II Edisi 4. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
Iwan. 2012. Asuhan Keperawatan Kline dengan Frktur. Medical Bedah III. Stikes
Kusuma Husada
Navin, M and Waddell, R. Triage is Broken. EMS Magazine August 2005 pp.1–3
http://www.ha.org.hk/visitor/ha_visitor_index.asp?
Content_ID=10051&Lang=ENG&Dimension=100&Parent_ID=10042
Kapita Selekta Kedokteran, Jakarta:Media AesculapiusFakultas Kedokteran UI, 1995,
Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah, Jakarta:Binarupa Aksara
Price, Sylvia Anderson. 1995. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses – Proses Penyakit.
Jakarta; EGC.
Satyo AC. 2006. Aspek medikolegal luka pada forensik klinik.Majalah Kedokteran
Nusantara, 39 (4): 430-432.
Schaller. 2014. Open Fracture. http://www.emedicine.medscape.com/article/1269242-
overview (diakses pada 29 April 2014)
Simangunsong LRS .2011. Traumatologi. Fakultas Kedokteran UHN.
Skinner H, Smith W, Shank J, Diao E, Lowenberg D. Musculoskeletal Trauma
Smeltzer, Suzanne C. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner dan
Suddarth. Jakarta; EGC.
Sudoyo, Aru W, dkk. 2005. Buku Ajar Penyakit Dalam Edisi Ke Empat Jilid I. Jakarta :
Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. http://web.ipb.ac.id/~bedahradiologi/images/pdf/Fraktura
%20Os%20Femur.pdf
Surgery. In: Skinner H, editor. Current diagnosis and treatment in orthopedics. 3rd ed.
New York: McGraw-Hill; 2003. p.76-150.
Tim Skills Lab FK UNS Surakarta. 2014.. Buku pedoman keterampilan klinis.
Surakarta: FK UNS.
http://chemm.nlm.nih.gov/startadult.htm diakses 6 Mei 2015 jam 5:46