laporan tutorial skenario 1 mata

55
LAPORAN TUTORIAL SKENARIO 3 BLOK XVIII MATA MATA TENANG VISUS TURUN KELOMPOK 11 : Tutor: dr. Sigit Setyawan TYA Adigama Priamas (G0010002) Aisya Fikritama A (G0010010) Asih Anggraini (G0010032) Ekkim Al Kindi (G0010066) Ikhsan Marsaid (G0010098) Jeanne Fransisca (G0010106) M Luthfiyanto (G0010128) Steffi Meidiana (G0010180) Triono Agung Sakti (G0010190)

Upload: aisya-fikritama

Post on 21-Oct-2015

434 views

Category:

Documents


21 download

DESCRIPTION

kasus

TRANSCRIPT

LAPORAN TUTORIAL SKENARIO 3

BLOK XVIII MATA

MATA TENANG VISUS TURUN

KELOMPOK 11 :

Tutor:

dr. Sigit Setyawan TYA

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

FAKULTAS KEDOKTERAN

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

2012

Adigama Priamas (G0010002)

Aisya Fikritama A (G0010010)

Asih Anggraini (G0010032)

Ekkim Al Kindi (G0010066)

Ikhsan Marsaid (G0010098)

Jeanne Fransisca (G0010106)

M Luthfiyanto (G0010128)

Steffi Meidiana (G0010180)

Triono Agung Sakti (G0010190)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Mata merupakan organ visual yang merupakan indera paling dominan bagi manusia.

Saraf sensoris yang berada di mata merupakan 70% dari total saraf sensoris yang dimiliki

manusia. Oleh karena itu, mata merupakan organ yang sangat berarti karena fungsinya yang

dapat berhubungan dengan fungsi tubuh lainnya seperti sistem keseimbangan. Mata memiliki

beragam kelainan yang dapat digolongkan dalam kelianan mata tenang dan kelainan mata

merah. Pada skenario kali ini kami membahas tentang kasus dengan kelainan mata tenang

visus turun.

Ani, seorang Koas jaga mendapatkan 2 pasien dengan keluhan yang sama yaitu penurunan

visus.

Pasien pertama, seorang laki-laki usia 15 tahun dengan kondisi kedua mata: visus

6/15, mata tenang, setelah dilakukan koreksi OD dengan S-4,00 D visus mencapai

6/6, koreksi OS dengan S-0.75 C-0.50 axis 90° visus mencapai 6/6.

Stelah lapor kepada senior, dan mendpaatkan resep, pasien diperbolehkan pulang.

Pasien kedua, seorang laki-laki usia 40 tahun dengan kondisi mata kanan: visus 6/6 E,

mata tenang. Adapun kondisi mata kiri: visus 3/60, mata tenang, dan sering merasa

nyeri pada bola mata. Pada mata kiri dilakukan pemeriksaan uji pinhole tidak maju,

dan setelah dilakukan koreksi juga tidak mengalami kemajuan. Kemudian senior

meminta untuk dilakukan pemeriksaan: persepsi warna, proyeksi sinar, tonometri,

konfrontasi, dan reflex fundus.

Ani berfikir mengapa pasien dengan keluhan yang sama (penurunan visus) mendapat

pemeriksaan yang berbeda, kelainan apa saja yang dapat menurunkan visus pada kondisi

mata tenang, dan apakah kedua pasien akan mendapat penatalaksanaan yang sama atau

berbeda.

B. Rumusan Masalah

1. Jelaskan anatomi, histologi sistem mata ?

2. Jelaskan fisiologi visus, akomodasi, dan lapang pandan ?

3. Apa saja jenis dan fungsi berbagai pemeriksaan mata ?

4. Sebut dan jelaskan kelainan refraksi mat ?

5. Sebut dan jelaskan jenis-jenis penyakit mata tenang visus menurun ?

6. Bagaimanakah pencegahan mengenai penyakit mata tenang visus menurun ?

7. Bagaimanakah penatalaksanaan mengenai penyakit mata tenang visus menurun ?

C. Tujuan

1. Mengetahui anatomi, histologi sistem mata.

2. Menjelaskan fisiologi visus, akomodasi, dan lapang pandang.

3. Mengetahui jenis dan fungsi berbagai pemeriksaan mata.

4. Mengetahui kelainan refraksi mata.

5. Mengetahui jenis-jenis penyakit mata tenang visus menurun.

6. Mengetahui pencegahan kelainan mengenai organ mata dan bagiannya.

7. Mengetahui penatalaksanaan kelainan mengenai organ mata dan bagiannya.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi dan Histologi Organon Visus

Organon visus secara anatomis terdiri atas: occulus (bulbus occuli dan nervus opticus)

dan organa occuli accesoria (Mm. bulbi, palpebrae, dan apparatus lacrimalis).

1. Bulbus Occuli

Dinding bulbus occuli tersusun atas 3 lapis dinding, yaitu:

a. Tunica fibrosa

1) Kornea

Kornea (Latin cornum=seperti tanduk) adalah selaput bening mata, bagian selaput

mata yang tembus cahaya. Kornea merupakan lapisan jaringan yang menutupi

bola mata sebelah depan dan terdiri atas 5 lapis, yaitu:

a) Epitel

- Tebalnya 50 µm, terdiri atas 5 lapis selepitel tidak bertanduk yang saling

tumpang tindih; satu lapis sel basal, sel poligonal dan sel gepeng.

- Pada sel basal sering terlihat mitosis sel, dan sel muda ini terdorong ke

depan menjadi lapis sel sayap dan semakin maju ke depan menjadi sel

gepeng, sel basal berikatan erat berikatan erat dengan sel basal di

sampingnya dan sel poligonal di depannya melalui desmosom dan makula

okluden; ikatan ini menghambat pengaliran air, eliktrolit, dan glukosa yang

merupakan barrier.

- Sel basal menghasilkan membran basal yang melekat erat kepadanya. Bila

terjadi gangguan akan mengakibatkan erosi rekuren.

- Epitel berasal dari ektoderm permukaan

b) Membran Bowman

- Terletak di bawah membran basal epitel kornea yang merupakan kolagen

yang tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari bagian depan

stroma.

- Lapisan ini tidak mempunyai daya regenerasi.

c) Stroma

- Terdiri atas lamel yang merupakan susunan kolagen yang sejajar satu

dengan lainnya, pada permukaan terlihat anyaman yang teratur sadangkan

dibagian perifer serat kolagen ini bercabang; terbentuknya kembali serat

kolagen memakan waktu lama yang kadang-kadang sampai 15 bulan.

Keratosit merupakan sel stroma kornea yang merupakan fibroblas terletak

di antara serat kolagen stroma. Diduga keratosit membentuk bahan dasar

dan serat kolagen dalam perkembangan embrio atau sesudah trauma.

d) Membran Descement

- Merupakan membran aselular dan merupakan batas belakang stroma

kornea dihasilkan sel endotel dan merupakan membran basalnya.

- Bersifat sangat elastis dan berkembang terus seumur hidup, mempunyai

tebal 40 µm.

e) Endotel

- Berasal dari mesotelium, berlapis satu,bentuk heksagonal, besar 20-40 µm.

Endotel melekat pada membran descement melalui hemi desmosom dan

zonula okluden (Ilyas, 2004).

Kornea dipersarafi oleh banyak saraf sensoris terutama berasal dari saraf siliar

longus, saraf nasosiliar, saraf V. saraf siliar longus berjalan supra koroid, masuk

ke dalam stroma kornea, menembus membran Boeman melepaskan selubung

Schwannya. Seluruh lapis epitel dipersarafi samapai kepada kedua lapis terdepan

tanpa ada akhir saraf. Bulbus Krause untuk sensasi dingin ditemukan di daerah

limbus. Daya regenerasi saraf sesudah dipotong di daerah limbus terjadi dalam

waktu 3 bulan (Ilyas, 2004).

Trauma atau panyakit yang merusak endotel akan mengakibatkan sistem

pompa endotel terganggu sehingga dekompresi endotel dan terjadi edema kornea.

Endotel tidak mempunyai daya regenerasi (Ilyas, 2004).

Kornea merupakan bagian mata yang tembus cahaya dan menutup bola mata

di sebelah depan. Pembiasan sinar terkuat dilakukan oleh kornea, dimana 40

dioptri dari 50 dioptri pembiasan sinar masuk kornea dilakukan oleh kornea (Ilyas,

2004).

2) Sclera

Merupakan lanjutan cornea ke arah posterior, bersifat avaskular, dan berwarna

putih. Tersusun atas 2 lapisan:

a) Substansia propia sclera: anyaman kolagen padat

b) Lamina fusca: lapisan pigmen, berwarna coklat, membatasi sclera dan

choroidea

Pada bagian posterior sclera yang menipis (lamina cribrosa sclera) akan

ditembus oleh n.opticus dan a/v centralis retinae. Di sekitar n.opticus sclera akan

ditembus oleh:

a) A.ciliaris posterior longa, menuju corpus ciliare

b) Aa.ciliares posteriors breves, membentuk lamina choroidea

c) N.ciliaris longus (cabang n.ophtalmicus), menuju corpus ciliare menginervasi

cornea dan iris (m.dilatator pupil)

d) N.ciliaris brevis, menginervasi iri (m.constrictor pupil)

b. Tunica vasculosa

1) Lamina choroidea

Merupakan lapisan berpigmen diluar dan lapisan yang sangat vascular di

dalam yang berfungsi untuk member nutrisi pada retina. Tersusun atas:

- Lamina suprachoroidea

- Lamina vaskulare: tersusun atas anyaman pembuluh darah v.vorticosa dan

arteri-arteri yang menembus sclera

- Lamina choriocapillaris: tersusun atas pembuluh darah kapiler, tidak berlanjut

ke corpus ciliare

- Lamina basalis (membrane vitra): berbatasan dengan retina yang disebut

membrane bruch.

2) Corpus ciliare

Terdiri atas:

- M.ciliaris, berfungsi mengatur focus mata.

- Lamina fibrosa

- Stratum pigmenti corpus ciliare dan pars ciliare retinaee

3) Iris

Berfungsi sebagai diafragma, berpigmen tipis dan kontraktil dengan lubang di

tengahnya. Iris membagi ruang antara cornea dan lensa menjadi camera occuli

anterior et posterior yang keduanya berisi humor aquos.

Iris terdiri dari:

- Lamina endhotelium

- Stroma iridis: tersusun atas jaringan ikat fibrosa dan sel-sel stelat yang

mengandung butir pigmen

- Stratum pigmenti iridis dan pars iridis retinae

Pada iris terdapat 2 macam otot polos yang mengatur besar kecilnya pupil,

yaitu:

a) M.dilatator pupil (midriasis)

- Komponen persyarafannya: GVE

- SBN 1: NILCLMSS segmen Th I-IV

- SBN 2: ganglion cervical superius melalui n.ciliaris longus menuju

m.dilatator pupil

b) M.constrictor pupil (miosis)

- Komponen persyarafannya: GVE

- SBN 1: Nucleus edinger westpal n.III

- SBN 2: ganglion ciliare melalui n.ciliaris brevis menuju m.dilatator pupil

c. Tunica nervosa

Tersusun atas:

1) Pars pigmentosa retina

Menempel pada tunica vasculosa, sehingga dapat dibedakan menjadi stratum

pigmenti retinae, stratum pigmenti corporis ciliaris, dan stratum pigmenti iridis

2) Pars nervosa retina

Merupakan selembar tipis jaringan saraf yang semitransparan dan multilapis

yang melapisi 2/3 dinding bola mata, melekat pada stratum pigmenti, dibedakan

menjadi pars optica retinae, pars ciliaris retinae, dan pars iridica retinae.

Bangunan-bangunan penting:

- Macula lutea: daerah retina dengan daya lihat paling jelas

- Fovea centralis: lekukan di tengah macula lutea

- Discus nervi optici/papilla nervi optici: tempat masuknya n.opticus yang akan

menonjol ke daerah retina

- Excavatio papilla nervi optici: lekukan di tengah papilla nervi optici

- Macula caeca/bintik buta: terletak pada papilla nervi optici, tidak mempunyai

stratum pigmenti, choroidea, sel conus, dan sel basilus.

Retina tersusun atas 10 lapisan, yaitu:

- Stratum pigmenti retinae

- Lamina neuro epithelial

- Membrane limitans externa

- Stratum granulosum externum

- Stratum flexiforme externum

- Stratum granulosum internum

- Stratum flexiforme internum

- Stratum ganglionare

- Stratum nervosum

- Membrane limitans interna

Isi bulbus occuli antara lain:

a. Humor aquosus

Humor aquosus mengandung zat-zat gizi untuk kornea dan lensa, keduanya tidak

memiliki pasokan darah. Adanya pembuluh darah di kedua struktur ini akan

mengganggu lewatnya cahaya ke fotoreseptor. Aqueous humor dibentuk dengan

kecepatan 5 ml/hari oleh jaringan kapiler di dalam korpus siliaris, turunan khusus

lapisan koroid di sebelah anterior. Cairan ini mengalir ke suatu saluran di tepi kornea

dan akhirnya masuk ke darah. Jika aqueous humor tidak dikeluarkan sama cepatnya

dengan pembentukannya (sebagai contoh, karena sumbatan pada saluran keluar),

kelebihan cairan akan tertimbun di rongga anterior dan menyebabkan peningkatan

tekanan intraokuler. Keadaan ini dikenal sebagai glaukoma. Kelebihan aqueous

humor akan mendorong lensa ke belakang ke dalam vitreous humor, yang kemudian

terdorong menekan lapisan saraf dalam retina. Penekanan ini menyebabkan kerusakan

retina dan saraf optikus yang dapat menimbulkan kebutaan jika tidak diatasi

(Sherwood, 2001).

b. Lensa

Jaringan ini berasal dari ektoderm permukaan yang berbentuk lensa di dalam bola

mata dan bersifat bening. Lensa di dalam bola mata terletak di belakang iris dan

terdiri dari zat tembus cahaya (transparan) berbentuk seperti cakram yang dapat

menebal dan menipis pada saat terjadinya akomodasi (Ilyas, 2004).

Lensa berbentuk lempeng cakram bikonveks dan terletak di dalam bilik mata

belakang. Lensa akan dibentuk oleh sel epitel lensa yang membentuk serat lensa di

dalam kapsul lensa. Epitel lensa akan membentuk serat lensa terus-menerus sehingga

mengakibatkan memadatnya serat lensa di bagian sentral lensa sehingga membentuk

nukleus lensa. Bagian sentral lensa merupakan serat lensa yang paling dahulu

dibentuk atau serat lensa yang tertua di dalam kapsul lensa. Di dalam lensa dapat

dibedakan nukleus embrional, fetal dan dewasa. Di bagian luar nukleus ini terdapat

serat lensa yang lebih muda dan disebut sebagai korteks lensa. Korteks yang terletak

di sebelah depan nukleus lensa disebut sebagai korteks anterior, sedangkan

dibelakangnya korteks posterior. Nukleus lensa mempunyai konsistensi lebih keras

dibanding korteks lensa yang lebih muda. Di bagian perifer kapsul lensa terdapat

zonula Zinn yang menggantungkan lensa di seluruh ekuatornya pada badan siliar

(Ilyas, 2004).

Secara fisiologis lensa mempunyai sifat tertentu, yaitu:

- Kenyal atau lentur karena memegang peranan terpenting dalam akomodasi untuk

menjadi cembung,

- Jernih atau transparan karena diperlukan sebagai media penglihatan,

- Terletak ditempatnya, yaitu berada antara posterior chamber dan vitreous body

dan berada di sumbu mata (Ilyas, 2004).

Keadaan patologik lensa ini dapat berupa:

- Tidak kenyal pada orang dewasa yang mengakibatkan presbiopia,

- Keruh atau apa yang disebut katarak,

- Tidak berada di tempat atau subluksasi dan dislokasi (Ilyas, 2004).

c. Badan Vitreous (Badan Kaca)

Badan vitreous menempati daerah mata di balakang lensa. Struktur ini merupakan

gel transparan yang terdiri atas air (lebih kurang 99%), sedikit kolagen, dan molekul

asam hialuronat yang sangat terhidrasi. Badan vitreous mengandung sangat sedikit sel

yang menyintesis kolagen dan asam hialuronat (Junqueira, 2007). Peranannya mengisi

ruang untuk meneruskan sinar dari lensa ke retina. Kebeningan badan vitreous

disebabkan tidak terdapatnya pembuluh darah dan sel. Pada pemeriksaan tidak

terdapatnya kekeruhanbadan vitreous akan memudahkan melihat bagian retina pada

pemeriksaan oftalmoskopi (Ilyas, 2004).

Vitreous humor penting untuk mempertahankan bentuk bola mata yang sferis

(Sherwood, 2001).

2. Nervus Opticus

Adalah serabut saraf yang terletak antara papilla nervi optici sampai chiasma opticum,

sedangkan chiasma opticum sampai corpus geniculatum laterale disebut tractus opticus.

Nervus opticus dibagi menjadi:

- Pars intra ocular

- Pars intra orbita

- Pars intra ossea

- Pars intra cranial

Perjalanan n.opticus adalah sebagai berikut. Nervus opticus pergi keluar dari bulbus

occipitonasalis kemudian masuk canalis opticus menuju sulcus chiasmatis membentuk

chiasma opticum. Di dalam chiasma opticum, serabut-serabut saraf bagian nasale retina

kanan dan kiri bersilangan, tetapi bagian temporal tidak. Dari chiasma opticum,tractus

opticus yang mengelilingi pedunculus cerebri dari sebelah lateral untuk berakhir di corpus

geniculatum laterale, sebagian di nucleus pretectalis, sebagian di colliculus superior dan

di formation reticularis mesencephali.

Jaras afferent keluar dari tractus opticus tepat di anterior dari nucleus geniculatum

laterale dan berjalan melalui brachium colliculi superior ke mmesencephalon. Serabut

yang menuju nucleus superior untuk pengaturan arah dan kecepatan bola mata.

Sedangakan dari corpus geniculatum laterale terdapat neuron visual akhir yang akan

membentuk radiation optica untuk menuju ke cortex primer di fissure calcarina (area 17)

dan cortex visual sekunder (area 18 dan 19).

B. Fisiologi Penglihatan

1. Penglihatan Sentral

Bila mata memandang suatu obyek, ini dilakukan dalam "sumbu penglihatan"

(visual axis). Pada satu ujung sumbu tersebut adalah obyek itu, dan pada ujung

lainnya adalah retina atau lebih tepatnya macula. Macula adalah bagian kecil dari

retina yang diameternya kira-kira 5,5 mm pada bagian terlebarnya. Bagian tengah dari

macula, yaitu fovea, bertanggung jawab untuk penglihatan yang tertajam, dan

seluruhnya terdiri dari cones. Ini merupakan sel-sel yang foto-reseptif, yang dapat

berfungsi lebih baik dalam keadaan cahaya terang, dan memungkinkan mata

membedakan rincian halus dan warna, dan oleh karenanya sangat penting untuk

banyak tugas-tugas visual dan motorik halus yang dilaksanakan anak di dalam

maupun di luar ruangan kelas. Jenis penglihatan inilah yang sangat penting untuk

tugas-tugas seperti membaca, dan kerusakan pada macula mempunyai implikasi yang

signifikan bagi kegiatan belajar (Ilyas, 2004).

2. Penglihatan Perifer

Bagian tepi dari macula terdiri dari sel-sel foto-reseptor yang disebut rods.

Kepekaan rods meningkat dalam keadaan cahaya yang lebih redup, dan ini penting

untuk memberikan informasi visual tentang apa yang terdapat di sekeliling bentuk

citra yang dipersepsi oleh fovea. Misalnya, bila anda sedang berkonsentrasi membaca

kata-kata pada bagian tengah baris ini, anda sadar akan kata-kata yang tertulis pada

kedua ujung baris ini yang berada di luar fokus. Begitu pula, anda pun sadar akan

kata-kata yang tertulis di atas atau di bawah baris ini, tergantung pada besarnya huruf.

Bagian tepi retina menangkap citra buram di sekeliling fokus, dan penangkapan

tentang citra tersebut semakin jelas bila lebih dekat ke macula (Ilyas, 2004).

C. Mata Tenang Visus Menurun Mendadak

1. Ablasi Retina

Definisi

Ablasi retina adalah lepasnya retina dari tempatnya dimana lapisan sel kerucut dan sel

batang retina terpisah dari sel epitel pigmen retina. Pada keadaan ini sel epitel pigmen retina

masih melekat erat pada membran Bruch. Lepasnya retina atau sel kerucut dan batang retina

dari koroid atau sel pigmen epitel akan mengakibatkan ganggguan nutrisi retina dari

pembuluh darah koroid yang bila berlangsung lama akan mengakibatkan gangguan fungsi

yang menetap.

Klasifikasi

1. Ablasi retina regmatogenosa (rhegmatogenous retinal detachment)

Ablasi retina akibat terdapatnya robekan atau lubang pada retina sehingga terjadi

aliran vitreous humor (cairan mata) dari badan kaca ke belakang menuju rongga antara sel

pigmen epitel dengan retina. Terjadi pendorongan retina oleh vitreous humor (cairan mata)

yang masuk melalui robekan atau lubang retina tersebut ke rongga sub retina sehingga

mengapungkan retina dan menyebabkan retina terlepas dari lapis epitel pigmen koroid.

Ablasi retina regmatogenosa merupakan yang tipe ablasi yang paling umum terjadi. Ablasi

umumnya terjadi pada mata yang mempunyai faktor resiko untuk terjadi ablasi retina.

Trauma hanya merupakan faktor pencetus untuk terjadinya ablasi retina pada mata yang

berbakat.

2. Ablasi retina eksudatif

Ablasi retina akibat adanya kebocoran pada pembuluh darah retina dan koroid

(ekstravasasi) sehingga terjadi penimbunan eksudat sub retina yang mengangkat retina. Hal

ini dapat disebabkan oleh penyakit koroid dan keganasan seperti skleritis (radang di sklera),

koroiditis (radang di koroid), tumor di belakang bola mata, radang uvea , atau tidak diketahui

penyebabnya. Cairan di bawah retina tidak dipengaruhi oleh posisi kepala. Permukaan retina

yang terangkat lebih licin. Ablasi ini dapat hilang atau menetap bertahun-tahun setelah

penyebabnya berkurang atau menghilang.

3. Ablasi retina tarikan atau traksi

Ablasi retina akibat penarikan retina umumnya oleh jaringan jaringan ikat pembuluh

darah yang terbentuk di dalam badan kaca. Neuropati diabetik proliferatif merupakan

penyebab ablasi tipe ini yang paling sering. Selain itu trauma dan perdarahan pada badan

kaca akibat bedah atau infeksi juga dapat menjadi faktor penyebab.

Gejala

Gejala pertama berupa penderita melihat kelatan-kilatan bintik hitam mengapung dan

cahaya (fotopsia) beberapa hari sampai dengan beberapa minggu sebelumnya

Pada beberapa penderita lepasnya retina mungkin terjadi tanpa didahului oleh

terlihatnya bintik-bintik atau pun cahaya yang nyata

Keluhan seperti ada tirai yang menutupi sebagian lapang mata

Perkembangan lepasnya retina yang lebih lanjut akan mengaburkan penglihatan

sentral dan menimbulkan kemunduran penglihatan

Penatalaksanaan

Hanya dokter spesialis mata yang berwenang mengobati ablasi retina. Pasien dengan

keluhan-keluhan seperti di atas dan mereka yang menderita miopia (rabun jauh)

dengan kaca mata minus tinggi serta mereka yang anggota keluarganya pernah

mengalami ablasi retina, sebaiknya memeriksakan matanya secara berkala.

Bila retina robek tetapi belum lepas, maka lepasnya retina itu dapat dicegah dengan

tindakan segera, yaitu dengan tindakan sinar laser. Biasanya menggunakan laser yang

dapat menciptakan lingkungan yang terbakar pada robekan retina sehingga terbentuk

bekas luka dan melekatnya retina yang robek dengan jaringan yang ada dibawahnya.

Hal ini dapat mencegah cairan (vitreous humor) masuk melalui robekan dan tidak

terjadi ablasi retina.

Pada kasus yang jarang, laser tidak dapat digunakan maka kriopeksi dapat digunakan

untuk mengatasi robekan retina. Kriopeksi yaitu tindakan pemberian suhu dingin

dengan jarum es akan membentuk jaringan parut yang melekatkan retina pada

jaringan di bawahnya. Teknik ini digunakan bersamaan dengan penyuntikan

gelembung udara dan kepala dipertahankan pada posisi tertentu untuk mencegah

penimbunan kembali cairan di belakang retina. Sekali terjadi ablasi retina hampir

selalu menunjukkan terlambatnya menggunakan laser atau kriopeksi. Melalui

pemeriksaan oftalmoskopi dapat ditemukan robekan retina dan risiko lain untuk

terjadinya ablasi retina. Apabila robekan tidak ditemukan, dilakukan pemeriksaan

ulang dalam 1 – 2 minggu atau sesegera mungkin jika adanya gejala ablasi.

Bila retina telah lepas, maka diperlukan tindakan bedah untuk menempelkan kembali

retina tersebut. Ablasi retina dapat diperbaiki lebih dari 90% dengan menggunakan

prosedur tunggal. Pada lebih dari 90% ablasi retina, retina dapat ditempelkan kembali

dengan teknik-teknik bedah mata modern dan kadang-kadang diperlukan lebih dari

satu kali operasi.

 Ada 3 prosedur operasi dalam memperbaiki ablasi retina yakni skleral buckling,

vitrektomil, dan pneumatic retinopeksi. 

2. OKLUSI VENA RETINA

Definisi

Oklusi vena retina adalah blokade dari vena kecil yang membawa darah keluar dari

retina. Oklusi vena retina ini lebih sering terjadi pada orang yang berusia 40 tahun ke atas.

Adapun oklusi vena retina dibagi menjadi oklusi vena retina sentral dan oklusi vena retina

cabang. Selain itu, oklusi vena retina masih dapat dibagi lagi menjadi oklusi iskemik maupun

noniskemik. Pembagian ini dilakukan berdasarkan perbedaan gambaran funduskopi pada

pasien dengan oklusi vena retina.

Etiologi

Penyebab lokal dari oklusi vena retina adalah trauma, glaukoma, dan lesi struktur

orbita. Akan tetap sangat penyebab lokal ini sangat jarang terjadi pada oklusi vena retina

cabang. Perlu diperkirakan adanya toxoplasmosis, Behçet syndrome, sarcoidosis okuli, dan

macroaneurysm jika hal ini tampak pada oklusi vena retina cabang.

Proses sistemik juga dapat menyebabkan oklusi vena retina, di antaranya adalah

hipertensi, atherosklerosis, diabetes mellitus, glaukoma, penuaan, puasa,

hypercholesterolemia, hyperhomocysteinemia, SLE, sarcoidosis, tuberculosis, syphilis,

resistensi protein C (factor V Leiden), defisiensi protein C dan S, penyakit antibodi

antiphospholipid, multiple myeloma, cryoglobulinemia, leukemia, lymphoma, Waldenstrom

macroglobulinemia, polisitemia vera, dan sickle cell disease (Mark. Retinal Vein Occlusion.

Diakses dari http://emedicine.medscape.com 2012).

Patogenesis

Patogenesis dari oklusi vena retina dipercaya mengikuti prinsip dari trias trombogenesis

Virchow, yakni adanya kerusakan pembuluh darah, stasis, dan hiperkoagulabilitas.

Kerusakan dari dinding pembuluh darah retina akibat arterioklerosis mengubah komposisi

dari aliran darah pada vena yang berdekatan, yang menimbulkan stasis, trombosis, dan oklusi.

(new england). Oklusi vena retina sentral terjadi akibat adanya bekuan darah pada vena

utama yang menyalurkan darah dari mata. Ketika vena mengalami hambatan, aliran balik

menyebabkan darah tersebut bocor ke retina, yang akhirnya menyebabkan malfungsi dari

retina dan penurunan ketajaman penglihatan.

Penyakit inflamasi juga dapat menyebabkan adanya oklusi vena retina dengan

mekanisme tersebut. Akan tetapi, bukti dari adanya hiperkoagulabilitas pada pasien oklusi

vena retina sangat tidak konsisten. Walaupun penelitian individual telah melaporkan adanya

hubungan antara oklusi vena retina dan hyperhomocysteinemia, mutasi faktor V Leiden,

defisiensi dari protein C atau S, mutasi gen prothrombin, dan antibodi anticardiolipin, sebuah

penelitian meta-analysis dari 26 penelitian mengusulkan bahwa hanya hyperhomocysteinemia

dan antibodi anticardiolipin yang memiliki hubungan independen yang signifikan dengan

oklusi vena retina (Scott dkk, 2010).

Faktor risiko

Faktor risiko dari oklusi vena retina antara lain:

Atherosclerosis

Diabetes Mellitus

Hipertensi

Penyakit mata lainnya, seperti glaukoma, edema makula, maupun perdarahan vitreous

Faktor risiko terkuat dari oklusi vena retina cabang adalah hipertensi, namun pada

beberapa penelitian, oklusi vena retina dihubungkan juga dengan diabetes mellitus,

dyslipidemia, merokok, dan penyakit ginjal. Untuk oklusi vena retina sentral, faktor risiko

tambahan adalah glaukoma atau peningkatan tekanan intraokular, yang dapat mengganggu

pengaliran vena retina. Sebuah studi kasus-kontrol mengidentifikasi kelainan berikut ini

sebagai faktor risiko terjadinya BRVO:

- Riwayat hipertensi arteri sistemik

- Penyakit kardiovaskuler

- Peningkatan BMI pada usia 20 tahun

- Riwayat glaukoma

Diabetes mellitus bukanlah faktor risiko independen yang terutama pada oklusi vena retina

cabang.

Penatalaksanaan

Kebanyakan pasien dapat mengalami perbaikan, walaupun tanpa pengobatan. Akan

tetapi, ketajaman penglihatan jarang kembali ke nilai normal. Tidak ada cara untuk membuka

kembali atau membalik blokade. Akan tetapi terapi dibutuhkan untuk mencegah terjadinya

pembentukan blokade lain di mata sebelahnya.

Manajemen diabetes mellitus, tekanan darah tinggi, dan kadar kolesterol yang tinggi

perlu dilakukan. Beberapa pasien boleh diberikan aspirin maupun obat pengencer darah

lainnya.

Tatalaksana dari komplikasi oklusi vena retina antara lain :

- Pengobatan menggunakan laser fokal, jika terdapat edema makula

- Injeksi obat anti-vascular endothelial growth factor (anti-VEGF) ke mata. Obat ini

dapat menghambat pembentukan pembuluh darah baru yang dapat menyebabkan

glaukoma. Obat ini masih dalam tahap penelitian.

- Pengobatan dengan menggunakan laser untuk mencegah pertumbuhan dari pembuluh

darah baru yang abnormal, yang juga dapat menyebabkan glaucoma

(Wijana, 1993).

Sheathotomy, teknik bedah untuk memisahkan pembuluh darah yang berdekatan pada

persimpangan arteri dan vena telah dikembangkan untuk mengatasi edema makula dalam

usaha untuk meningkatkan tajam penglihatan. Diseksi dari tunika adventitia dengan

pemisahan arteri dari vena pada persimpangan tersebut di mana oklusi vena retina cabang

terjadi dapat mengembalikan aliran darah vena disertai penurunan edema makula.

Arteriovenous sheathotomy menimbulkan adanya perbaikan sementara dari aliran darah

retina dan cukup efektif dalam menurunkan edema makula. Pembuluh kolateral pada oklusi

vena retina cabang memiliki efek yang positif pada prognosis visual pasien. Argon-laser-

photocoagulation dapat mencegah berkembangnya oklusi dan mengatasi neo-vaskularisasi.

Penggunaan dari triamcinolone acetonide intravitreous telah banyak digunakan untuk

penanganan edema makula yang tidak responsif dengan laser. Dua hingga empat miligram

(0.05 atau 0.1 ml) dari triamcinolone acetonide (Kenalog, Bristol-Myers Squibb) diinjeksi

melalui pars plana inferior di bawah kondisi steril pada pasien rawat jalan. Terapi trombolitik

yang diberikan secara terbatas penggunaannya sehubungan dengan adanya efek samping

yang serius, akan tetapi dapat membantu bila dilakukan injeksi intraokuler (Ishrat, 2009).

Komplikasi

Blokade dari vena retina dapat menyebabkan terjadinya gangguan mata lainnya, yakni

:

- Glaucoma, yang disebabkan oleh adanya pembuluh darah baru yang abnormal, yang

tumbuh di bagian depan mata

- Edema makula, yang disebabkan oleh kebocoran cairan di retina

3. NEURITIS OPTIK

Definisi

Nervus opticus adalah saraf yang membawa informasi visual dari retina ke otak.

Nervus opticus terdiri dari sekitar 1 juta akson yang berasal dari ganglion sel retina. Serat

sarafnya menjadi bermielin saat meninggalkan mata. Nervus opticus bergabung membentuk

chiasma opticum (Whitcher, 2008).

Etiologi

Neuritis optik adalah peradangan dari nervus opticus, yang dapat disebabkan oleh:

1. Demielinisasi

Idiopatik

Sklerosis multipel

Neuromyelitis optica (Devic’s disease)

2. Immune mediated

Neuritis optik setelah infeksi viru

Neuritis optik setelah imunisasi

Acute disseminated encephalomyelitis

Guillain Barre syndrome

Lupus eritematosus sistemik

3. Infeksi langsung

Herpes zoster, syphilis, tuberculosis, cryptococcosis, cytomegalovirus

4. Granulomatous optic neuropathy

Sarcoidosis

Idiopatik

5. Contiguous inflammatory disease

Peradangan dalam bola mata

Peradangan intracranial: meningitis, encephalitis

Di bawah ini akan dibahas tentang kelainan demyelinative, yang merupakan penyebab

tersering pada orang dewasa.

Patofisiologi

Pada neuritis optik, baik yang dihubungkan dengan sklerosis multipel ataupun yang

idiopatik, dipercaya faktor yang berperan adalah reaksi autoimun. Penelitian pada pasien

neuritis optik dengan sklerosis multipel menunjukkan bahwa lesi demielinisasi pada nervus

optikus serupa dengan lesi sklerosis multipel pada otak, dengan tanda radang.

Klasifikasi

Ada 2 bentuk dari neuritis optik, yang pertama papilitis yang merupakan peradangan

papil saraf optik dalam bola mata, dan neuritis retrobulbar yang merupakan radang saraf optik

yang terletak di belakang bola mata.

Penatalaksanaan

Terapi steroid digunakan karena mungkin dapat mempersingkat periode akut penyakit

namun tidak mempengaruhi hasil akhir dari penglihatan. Pada penelitian Optic Neuritis

Treatment Trial di Amerika Serikat, prednisolone oral sendiri tidak meningkatkan kecepatan

kembalinya tajam penglihatan dan meningkatkan resiko terjadinya neuritis optik rekuren.

Komplikasi

Kehilangan penglihatan pada neuritis optik dapat permanen.

Prognosis

Penyembuhan pada neuritis optik berjalan secara bertahap. Pada banyak pasien

neuritis optik, fungsi visual mulai membaik 1 minggu sampai 3 minggu setelah onset

penyakit walau tanpa pengobatan. Namun sisa defisit dalam penglihatan warna, kontras, serta

sensitivitas adalah hal yang umum.

Penglihatan akhir pada pasien yang mengalami neuritis optik dengan sklerosis

multipel lebih buruk dibanding dengan pasien neuritis optik idiopatik.

Biasanya visus yang buruk pada episode akut penyakit berhubungan dengan hasil

akhir visus yang lebih buruk juga, namun kadang kehilangan persepsi cahaya pun dapat

diikuti dengan kembalinya visus ke 20/20. Hasil akhir visus yang buruk juga dihubungkan

dengan panjangnya lesi yang terkena, khususnya jika terlibatnya nervus dalam canalis

optikus.

Tiap kekambuhan akan menyebabkan pemulihan yang tidak sempurna dan

memperburuk penglihatan.

(Erhan dkk, 2009)

D. Mata Tenang Visus Menurun Perlahan

1. Glaukoma

Glaukoma adalah penyakit di mana saraf optik rusak, menyebabkan progresif,

kehilangan penglihatan ireversibel. Hal ini sering, namun tidak selalu, berhubungan dengan

peningkatan tekanan cairan di dalam mata.

Kerusakan saraf melibatkan hilangnya sel ganglion retina dalam pola yang khas. Ada

berbagai sub-jenis glaukoma, tetapi mereka semua dapat dianggap sebagai jenis neuropati

optik. Dibesarkan tekanan intraokular merupakan faktor risiko yang signifikan untuk

mengembangkan glaukoma (di atas). Satu orang dapat mengembangkan kerusakan saraf pada

tekanan yang relatif rendah, sementara orang lain mungkin memiliki tekanan bola mata tinggi

selama bertahun-tahun namun tidak pernah mengembangkan kerusakan. Glaukoma yang

tidak diobati menyebabkan kerusakan permanen pada saraf optik dan kehilangan lapangan

resultan visual, yang dapat berkembang menjadi kebutaan.

Glaukoma dapat dibagi secara kasar menjadi dua kategori utama, "sudut terbuka" dan

"sudut tertutup" glaukoma. Glaukoma sudut tertutup dapat muncul tiba-tiba dan sering

menyakitkan, kehilangan visual dapat berkembang dengan cepat tetapi sering menyebabkan

ketidaknyamanan pasien untuk mencari bantuan medis sebelum terjadi kerusakan permanen.

Sudut terbuka, glaukoma kronis cenderung berkembang lebih lambat dan pasien mungkin

tidak menyadari bahwa mereka telah kehilangan penglihatan hingga penyakit itu telah

berkembang secara signifikan.

Glaukoma telah dijuluki "pencuri penglihatan"

karena hilangnya penglihatan biasanya terjadi

secara bertahap selama jangka waktu yang

panjang dan sering hanya diakui ketika penyakit

yang cukup maju. Sekali hilang, bidang visual

yang rusak ini tidak pernah dapat dipulihkan.

Seluruh dunia, itu adalah penyebab kedua

kebutaan. Itu juga merupakan penyebab utama

kebutaan pertama antara Amerika Afrika.

Glaukoma mempengaruhi 1 dari 200 orang berusia lima puluh dan lebih muda, dan 1 dari 10

di atas usia delapan puluh. Jika kondisi ini terdeteksi cukup dini adalah mungkin untuk

menangkap pengembangan atau memperlambat perkembangan dengan cara medis dan bedah.

2. Katarak

Katarak adalah kekeruhan pada lensa mata yang menyebabkan gangguan penglihatan.

Pada banyak kasus, penyebabnya tidak diketahui. Katarak biasanya terjadi pada usia lanjut

dan bisa diturunkan. Pembentukan katarak dipercepat oleh faktor lingkungan, seperti

merokok atau bahan beracun lainnya.

Katarak bisa disebabkan oleh:

Cedera mata

Penyakit metabolik (misalnya diabetes)

Obat-obat tertentu (misalnya kortikosteroid).

Katarak kongenitalis adalah katarak yang ditemukan pada bayi ketika lahir (atau

beberapa saat kemudian). Katarak kongenitalis bisa merupakan penyakit keturunan

(diwariskan secara autosomal dominan) atau bisa disebabkan oleh:

Infeksi kongenital, seperti campak Jerman

Berhubungan dengan penyakit metabolik, seperti galaktosemia.

Faktor resiko terjadinya katarak kongenitalis adalah:

penyakit metabolik yang diturunkan

riwayat katarak dalam keluarga

infeksi virus pada ibu ketika bayi masih dalam kandungan.

Katarak pada dewasa biasanya berhubungan dengan proses penuaan. Katarak pada

dewasa dikelompokkan menjadi:

Katarak immatur : lensa masih memiliki bagian yang jernih

Katarak matur : lensa sudah seluruhnya keruh

Katarak hipermatur : ada bagian permukaan lensa yang sudah merembes melalui

kapsul lensa dan bisa menyebabkan peradangan pada struktur mata yang lainnya.

Kebanyakan lensa agak keruh setelah usia 60 tahun. Sebagian besar penderita

mengalami perubahan yang serupa pada kedua matanya, meskipun perubahan pada salah satu

mata mungkin lebih buruk dibandingkan dengan mata yang lainnya.

Banyak penderita katarak yang hanya mengalami gangguan penglihatan yang ringan dan

tidak sadar bahwa mereka menderita katarak.

Faktor yang mempengaruhi terjadinya katarak adalah:

kadar kalsium darah yang rendah

diabetes

pemakaian kortikosteroid jangka panjang

berbagai penyakit peradangan dan penyakit metabolik.

faktor lingkungan (trauma, penyinaran, sinar ultraviolet).

Gejala

Semua sinar yang masuk ke mata harus terlebih dahulu melewati lensa. Karena itu

setiap bagian lensa yang menghalangi, membelokkan atau menyebarkan sinar bisa

menyebabkan gangguan penglihatan. Beratnya gangguan penglihatan tergantung kepada

lokasi dan kematangan katarak.

Katarak berkembang secara perlahan dan tidak menimbulkan nyeri disertai gangguan

penglihatan yang muncul secara bertahap. Gangguan penglihatan bisa berupa:

kesulitan melihat pada malam hari

melihat lingkaran di sekeliling cahaya atau cahaya terasa menyilaukan mata

penurunan ketajaman penglihatan (bahkan pada siang hari).

Gejala lainnya adalah:

sering berganti kaca mata

penglihatan ganda pada salah satu mata.

Kadang katarak menyebabkan pembengkakan lensa dan peningkatan tekanan di

dalam mata (glaukoma), yang bisa menimbulkan rasa nyeri.

Diagnosa

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan mata.

Pemeriksaan diagnostik yang biasa dilakukan adalah:

Pemeriksaan mata standar, termasuk pemeriksaan dengan slit lamp

USG mata sebagai persiapan untuk pembedahan katarak.

Pengobatan

Satu-satunya pengobatan untuk katarak adalah pembedahan. Pembedahan dilakukan jika

penderita tidak dapat melihat dengan baik dengan bantuan kaca mata untuk melakukan

kegitannya sehari-hari. Beberapa penderita mungkin merasa penglihatannya lebih baik hanya

dengan mengganti kaca matanya, menggunakan kaca mata bifokus yang lebih kuat atau

menggunakan lensa pembesar.

Jika katarak tidak mengganggu biasanya tidak perlu dilakukan pembedahan. Pembedahan

katarak terdiri dari pengangkatan lensa dan menggantinya dengan lensa buatan.

Pengangkatan lensa

Ada 2 macam pembedahan yang bisa digunakan untuk mengangkat lensa:

a. Pembedahan ekstrakapsuler : lensa diangkat dengan meninggalkan kapsulnya. Untuk

memperlunak lensa sehingga mempermudah pengambilan lensa melalui sayatan yang

kecil, digunakan gelombang suara berfrekuensi tinggi (fakoemulsifikasi).

b. Pembedahan intrakapsuler : lensa beserta kapsulnya diangkat. Pada saat ini

pembedahan intrakapsuler sudah jarang dilakukan.

Penggantian lensa

Penderita yang telah menjalani pembedahan katarak biasanya akan mendapatkan lensa buatan

sebagai pengganti lensa yang telah diangkat.

Lensa buatan ini merupakan lempengan plastik yang disebut lensa intraokuler, biasanya lensa

intraokuler dimasukkan ke dalam kapsul lensa di dalam mata.

Operasi katarak sering dilakukan dan biasanya aman. Setelah pembedahan jarang sekali

terjadi infeksi atau perdarahan pada mata yang bisa menyebabkan gangguan penglihatan yang

serius.

Untuk mencegah infeksi, mengurangi peradangan dan mempercepat penyembuhan, selama

beberapa minggu setelah pembedahan diberikan tetes mata atau salep.

Untuk melindungi mata dari cedera, penderita sebaiknya menggunakan kaca mata atau

pelindung mata yang terbuat dari logam sampai luka pembedahan benar-benar sembuh.

3. Retinopati

Retinopati adalah suatu proses yang bersumber dari degenerasi atau kelainan lain dari

retina, yang secara umum disebabkan oleh gangguan pemberian nutrisi atau vaskularisasi

maupun oksidasi, pemberian oksigen dari darah kurang mencukupi untuk kebutuhan jaringan.

Retinopati terjadi antara lain disebabkan oleh hipertensi, arteriosklerosis, anemia, diabetes

mellitus, leukemia.

a. Retinopati diabetik

Retinopati diabetik merupakan kelainan retina akibat dari komplikasi diabetes yang

menyebabkan kebutaan. Retinopati ini dapat dibagi dalam dua kelompok berdasarkan klinis

yaitu retinopati diabetik non proliferatif dan retinopati diabetik proliferatif, dimana retinopati

diabetik non proliferatif merupakan gejala klinik yang paling dini didapatkan pada penyakit

retinopati diabetik. Manifestasi penyakit ini dapat terjadi pada 80% dari semua penderita

diabetes yang sudah menderita selama lebih dari 10 tahun atau 15 tahun. Retinopati diabetik

pada diabetes tipe I paling sedikit terlihat 3-5 tahun sesudah onset, sedangkan diabetes tipe II

retinopati sudah dapat terjadi sebelum diagnosis ditegakkan.

Definisi

Retinopati diabetik adalah suatu mikroangiopati progresif yang ditandai oleh

kerusakan dan sumbatan pembuluh-pembuluh darah halus retina. Kelainan patologik yang

paling dini adalah penebalan membran basal endotel kapiler dan penurunan jumlah perisit.

Penderita Diabetes Mellitus akan mengalami retinopati diabetik hanya bila ia telah menderita

lebih dari 5 tahun. Bila seseorang telah menderita DM lebih 20 tahun maka biasanya telah

terjadi kelainan pada selaput jala / retina.

Retinopati diabetes dapat menjadi agresif selama kehamilan, setiap wanita diabetes yang

hamil harus diperiksa oleh ahli optalmologi/ dokter mata pada trimester pertama dan

kemudian paling sedikit setiap 3 bulan sampai persalinan.

Klasifikasi

Secara umum klasifikasi retinopati diabetik dibagi menjadi:

a. Retinopati diabetik non proliferatif

Retinopati diabetika non proliferatif merupakan stadium awal dari keterlibatan retina

akibat diabetes mellitus yang ditandai dengan adanya microaneurisma, hemoragi dan

eksudat dalam retina. Dalam stadium ini terjadi kebocoran protein, lipid atau sel-sel

darah merah dari pembuluh-pembuluh kapiler retina ke retina. Bila proses ini sampai

terjadi di makula yaitu bagian yang memiliki konsentrasi tinggi sel-sel penglihatan maka

akan menimbulkan gangguan pada ketajaman penglihatan.

b. Retinopati diabetik preproliferatif

Dengan bertambahnya progresifitas sumbatan mikro vaskular maka gejala iskemia

melebihi gambaran retinopati diabetika dasar. Perubahannya yang khas adalah adanya

sejumlah bercak mirip kapas (multiple cotton wool spots) atau yang sering disebut

sebagai eksudat lunak atau soft eksudate yang merupakan mikro infark lapisan serabut

saraf.

Gejala yang lain adalah kelainan vena seperti ikalan (loops) segmentasi vena (boxcar

phenomenon) dan kelainan mikrovaskular intraretina, yaitu pelebaran alur kapiler yang

tidak teratur dan hubungan pendek antara pembuluh darah (shunt) intra retina. Pada

angiografi fluoresin dengan jelas terlihat adanya bagian yang iskhemis, non perfusi

kapiler dan defek pengisian kapiler (Vaughan & Ashbury, 1995).

c. Retinopati diabetik proliferative

Iskemia retina yang progresif merangsang pembentukan pembuluh darah baru yang rapuh

sehingga dapat mengakibatkan kebocoran serum dan protein dalam jumlah yang banyak.

Biasanya terdapat di permukaan papil optik di tepi posterior daerah non perfusi. Pada iris

juga bisa terjadi neovascularisasi disebut rubeosis.

Pembuluh darah baru berproliferasi di permukaan posterior badan kaca (corpus vitreum)

dan terangkat bila badan kaca bergoyang sehingga terlepas dan mengakibatkan hilangnya

daya penglihatan mendadak.

Retinopati diabetika proliferatif terbagi dalam 3 stadium :

a. Stadium 1 : Aktif

Disebut stadium “florid”, basah, kongestif dekompensata lesi intra retina menonjol,

perdarahan retina, eksudat lunak, neovaskularisasi progresif cepat, proliferasi fibrosa

belum ada atau minimal, dapat terjadi perdarahan vitreus, permukaan belakang vitreus

masih melekat pada retina bisa progresif atau menjadi type stabil.

b. Stadium 2 : Stabil

Disebut stadium kering atau “quiescent”, lesi intra retina minimal neovaskularisasi

dengan atau tanpa proliferasi fibrosa, bisa progresif lambat atau regresi lambat.

c. Stadium 3 : Regresi

Disebut juga stadium burned out, lesi intra retina berupa perdarahan, eksudat atau hilang,

neovaskularisasi regresi, yang menonjol adalah jaringan fibrosa

Patofisiologi

Merupakan bentuk yang paling umum yang dijumpai dan merupakan cerminan klinis

dari hiperpermeabilitas dan inkompetens pembuluh darah yang terkena. Disebabkan oleh

penyumbatan dan kebocoran kapiler, mekanisme perubahannya tidak diketahui tetapi telah

diteliti adanya perubahan endotel vaskuler (penebalan membran basalis dan hilangnya perisit)

dan gangguan hemodinamik (pada sel darah merah dan agregasi platelet). Di sini perubahan

mikrovaskuler pada retina terbatas pada lapisan retina (intra retina).

Karakteristik pada jenis ini adalah dijumpainya mikroaneurisma multipel yang

dibentuk kapiler-kapiler yang membentuk kantong-kantong kecil yang menonjol seperti titik-

titik, vena retina mengalami dilatasi dan berkelok-kelok, bercak perdarahan intra retina.

Perdarahan dapat terjadi pada semua lapisan retina dan berbentuk nyala api karena lokasinya

di dalam lapisan serat saraf yang berorientasi horizontal. Sedangkan perdarahan bentuk titik-

titik atau bercak terletak di lapisan retina yang lebih dalam tempat sel-sel akson berorientasi

vertikal.

Edema makula merupakan stadium yang paling berat dari retinopati diabetik non

proliferatif. Pada keadaan ini terdapat penyumbatan kapiler mikrovaskuler dan kebocoran

plasma yang lanjut disertai iskemik pada dinding retina (cotton wall spot), infark pada lapisan

serabut saraf. Hal ini menimbulkan area non perfusi yang luas dan kebocoran darah atau

plasma melalui endotel yang rusak. Ciri khas dari edema makula adalah cotton wall spot,

intra retina mikrovaskuler abnormal (IRMA), dan rangkaian vena yang seperti manikmanik.

Bila satu dari keempatnya dijumpai maka ada kecenderungan progresif.

Epidemiologi

Retinopati diabetik merupakan penyebab kebutaan yang paling sering di jumpai,

terutama di negara barat. Kira-kira 1-900 orang berusia 25 tahun mengidap diabetes dan kira-

kira 1 dari 25 orang berusia 60 tahun adalah penyandang diabetes. Prevalensi retinopati

diabetik proliferatif pada diabetes tipe 1 dengan lama penyakit 15 tahun adalah 50%.

Retinopati diabetik jarang ditemukan pada anak-anak dibawah umur 10 tahun tanpa

memperhatikan lamanya diabetes. Resiko nerkembangnya retinopati meningkat setelah

pubertas.

Etiologi

Penyebab pasti retinopati diabetik belum diketahui. Tetapi diyakini bahwa lamanya

terpapar pada hiperglikemia (kronis) menyebabkan perubahan fisiologi dan biokimia yang

menyebabkan kerusakan endotel pembuluh darah. Hal ini didukung oleh hasil pengamatan

bahwa tidak terjadi retinopati pada orang muda dengan diabetes tipe 1 paling sedikit 3-5

tahun setelah awitan penyakit ini. Hasil serupa telah diperoleh pada diabetes tipe 2, tetapi

pada pasien ini onset dan lama penyakit lebih sulit ditentukan secara tepat.

Perubahan abnormalitas sebagian besar hematologi dan biokimia telah dihubungkan dangan

prevalensi dan beratnya retinopati antara lain:

Adhesif platelet yang meningkat

Agregasi eritrosit yang meningkat

Abnormalitas lipid serum

Fibrinolisis yang tidak sempurna

Abnormalitas dari sekresi growth hormon

Abnormalitas serum dan viskositas darah

Gejala klinis

Gejala subjektif yang dapat ditemui dapat berupa:

Kesulitan membaca

Penglihatan kaburr

Penglihatan tiba-tiba menurun pada satu mata

Melihat lingkaran-lingkaran cahaya

Melihat bintik gelap dan cahaya kelap-kelip

Gejala objektif yang dapat ditemukan pada retina dapat berupa:

Mikroaneurisma, merupakan penonjolan dinding kapiler terutama daerah vena dengan

bentuk bintik merah kecil yang terletak dekat pembuluh darah terutama polus

posterior.

Perdarahan dapat dalam bentuk titik, garis, dan bercak yang biasanya terletak dekat

mikroaneurisma dipolus posterior.

Dilatasi pembuluh darah dengan lumennya irreguler dan berkelok-kelok

Hard exudate merupakan infiltrasi lipid ke dalam retina. Gambarannya khusus yaitu

irreguler, kekuning-kunigan. Pada permulaan eksudat pungtata membesar dan

bergabung. Eksudat ini dapat muncul dan hilang dalam beberapa minggu.

Soft exudate yang sering dsebut cotton wool patches merupakan iskemia retina. Pada

pemeriksaan oftalmoskopi akan terlihat bercak berwarna kuning bersifat difus dan

berwarna putih. Biasanya terletak dibagian tepi daerah nonirigasi dan dihubungkan

dengan iskemia retina.

Pembuluh darah baru (neovaskularisasi) pada retina biasanya terletak dipermukaan

jaringan. Tampak sebagai pembuluh yang berkelok-kelok, dalam, berkelompok, dan

irreguler. Mula-mula terletak dalam jaringan retina, kemudian berkembang ke daerah

preretinal ke badan kaca. Pecahnya neovaskularisasi pada daerah-daerah ini dapat

menimbulkan perdarahan retina, prdarahan subhialoid (preretinal) maupun perdarahan

badan kaca.

Edema retina dengan tanda hilangnya gambaran retina terutama daerah makula

sehingga sangat mengganggu tajam penglihatan.

Pemeriksaan Penunjang

Semua penderita diabetes mellitus yang sudah ditegakkan diagnosanya segera

dikonsulkan ke dokter spesialis mata untuk diperiksa retinanya. Jika didapatkan gambaran

retinopati diabetika segera lakukan pemeriksaan di bawah ini :

a. Angiografi Fluoresein

Pemeriksaan ini adalah pemeriksaan sirkulasi darah retina serta penyakit-penyakit

yang mengenai retina dan khoroid. Pemeriksaan ini akan menunjukkan aliran darah

yang khas dalam pembuluh darah saat cairan fluoresein yang disuntikkan intra vena

mencapai sirkulasi darah di retina dan khoroid

b. Elektroretinografi

Pada pemeriksaan ini dilakukan perekaman kegiatan listrik retina yang sangat

berguna untuk memperoleh gambaran yang tepat mengenai fungsi retina yang masih

tersisia.

Pengobatan

Terapi retinopati diabetik adalah fotokoagulasi. Teerapi ini menurunkan insidensi

perdarahan dan pembentukan parut dan selalu merupakan indikasi jika terjadi pembentukan

pembuluh darah baru. Juga berguna dalam teerapi mikroaneurisma, perdarahan dan edem

makuler bahkan jika tahap proliferatif belum mulai. Fotokoagulasi panretina sering

digunakan untuk mengurangi kebutuhan oksigen retina dengan harapan stimulasi untuk

neovaskularisasi akan berkurang. Dengan tehnik ini beberapa ribu lesi terjadi selama 2

minggu.

Komplikasi fotokoagulasi masih dapat diterima. Sebagian kehilangan penglihatan

perifer tidak dapat dihindari dengan pembakaran luas. Tehnik pembedahan lainnya,

vitrektomi, pars plana, digunakan untuk terapi perdarahan vitreus dan pelepasan retina yang

tidak teratasi. Komplikasi pasca operasi lebih sering dibandingkan pada fotokoagulasi dan

termasuk robekan retina, pelepasan retina, katarak, perdarahan vitreus berulang, glaukoma,

infeksi, dan kehilangan mata. Ada harapan bahawa inhibisi angiogenesis oleh obat seperti

beta-siklodekstrin tetradekasulfat yang menyerupai heparin analog dalam percobaan dapat

mencegah retinopati proliferatif.

Pencegahan

Suatu fakta dikemukakan bahwa insiden retinopati diabetik ini tergantung pada durasi

menderita diabetes melitus dan pengendaliannya. Hal ini sederhana yang terpenting dapat

dilakukan oleh penderita diabetes untuk dapat mencegah terjadinya retinopati adalah dengan

mengontrol gula darah, selain itu tekanan darah, masalah jantung obesitas dan lainnyaa harus

juga dikendalikan dan diperhatikan.

Prognosis

Pada mata yang mengalami edema makular dan iskemik yang bermakna akan memiliki

prognosa yang lebih jelek dengan atau tanpa terapi laser, daripada mata dengan edema dan

perfusi yang relatif baik.

b. Retinopati hipertensi

Retinopati hipertensif adalah kelainan-kelainan retina dan pembuluh darah retina

akibat tekanan darah tinggi. Hipertensi atau tekanan darah tinggi memberikan kelainan pada

retina berupa retinopati hipertensi, dengan arteri yang besarnya tidak teratur, eksudat pada

retina, edema dan perdarahan retina.

Definisi

Retinopati hipertensif adalah kelainan-kelainan retina dan pembuluh darah retina

akibat tekanan darah tinggi. Hipertensi atau tekanan darah tinggi memberikan kelainan pada

retina berupa retinopati hipertensi, dengan arteri yang besarnya tidak teratur, eksudat pada

retina, edema dan perdarahan retina.

Epidemiologi

Sejak tahun 1990, sebanyak tujuh penelitian epidemiologi setelah dilakukan keatas

sekelompok populasi penduduk yang menunjukkan gejala retinopati hipertensi. Berdasarkan

grading dari gambaran funduskopi, menurut studi yang dijalankan didapatkan bahwa kelainan

ini banyak ditemukan pada usia 40 tahun keatas, walau pada mereka yang tidak pernah

mempunyai riwayat hipertensi. Kadar prevalensi bervariasi antar 2%-15% untuk banyak

macam tanda - tanda retinopati.

Data ini berbeda dengan hasil studi epidemiologi yang dilakukan oleh Framingham

Eye Study yang mendapatkan hasil prevalensi rata-rata kurang dari 1%.Ini mungkin

disebabkan oleh sensivitas alat yang semakin baik apabila dibandingkan dengan pemeriksaan

oftalmoskopik di klinik-klinik. Prevalensi yang lebih tinggi juga ditemukan pada orang

berkulit hitam berbanding orang kulit putih berdasarkan insiden kejadian hipertensi yang

lebih banyak ditemukan pada orang berkulit hitam. Akan tetapi, tidak ada predileksi rasial

yang pernah dilaporkan berkaitan kelainan ini hanya saja pernah dilaporkan bahwa hipertensi

lebih banyak ditemukan pada orang Caucasian berbanding orang America Utara

Pada retinopati hipertensi kebanyakan yang mengalami lebih banyak laki-laki

dibandingkan dengan perempuan, akan tetapi pada usia >50 tahun angka kejadian lebih tinggi

pada wanita dibandingkan dengan laki-laki. Frekuensi tertinggi pada pasien hipertensi tidak

terkontrol.

Etiologi

Penyebab terjadi retinopati hipertensi adalah akibat tekanan darah tinggi. Kelainan

pembuluh darah dapat berupa penyempitan umum atau setempat, percabangan pembuluh

darah yang tajam, fenomena crossing atau sklerose pembuluh darah.

Pada gangguan pembuluh darah, seperti spasme dan arteriosclerosis, faktor-faktor

yang berperan terjadinya arteriosclerosis ini adalah hiperlipidemia dan obesitas. Faktor-faktor

ini nanti akan muncul pada dekade kedua, berupa guratan-guratan lemak di pembuluh-

pembuluh darah besar dan kemudian berkembang menjadi suatu plak fibrosa pada dekade

ketiga, sehingga mengakibatkan hilangnya elastisitas pembuluh darah dan terjadi

pengurangan diameter pembuluh darah akibat tertimbunnya plak tersebut ( arteriosclerosis ).

Keadaan ini akan menimbulkan peningkatan tahanan aliran darah ( hipertensi ). Pada retina,

juga akan terjadi peningkatan tekanan darah pada arteriole-arteriole di retina ( retinopati

hipertensi ).

Klasifikasi

Klasifikasi tradisional retinopati hipertensi pertama kali dibuat pada tahun 1939 oleh

Keith et al. Sejak itu, timbul bermacam-macam kritik yang mengkomentari sistem klasifikasi

yang dibuat oleh Keith dkk tentang relevansi sistem klasifikasi ini dalam praktek sehari-hari.

Klasifikasi dan modifikasi yang dibuat tediri atas empat kelompok retinopati hipertensi

berdasarkan derajat keparahan. Namun kini terdapat tiga skema mayor yang disepakati

digunakan dalam praktek sehari-hari

Stad

iumKarakteristik

Stad

ium I

Penyempitan ringan, sklerosis dan tortuosity arterioles retina;

hipertensi ringan, asimptomatis

Stad

ium II

Penyempitan definitif, konstriksi fokal, sklerosis, dan nicking

arteriovenous; ekanan darah semakin meninggi, timbul beberapa gejala dari

hipertensi

Stad

ium III

Retinopati (cotton-wool spot, arteriosclerosis, hemoragik); tekanan

darah terus meningkat dan bertahan, muncul gejala sakit kepala, vertigo,

kesemutan, kerusakan ringan organ jantung, otak dan fungsi ginjal

Stad

ium IV

Edema neuroretinal termasuk papiledema, garis Siegrist, Elschig

spot; peningkatan tekanan darah secara persisten, gejala sakit kepala,

asthenia, penurunan berat badan, dyspnea, gangguan penglihatan, kerusakan

organ jantung, otak dan fungsi ginjal

WHO membagikan stadium I dan II dari Keith dkk sebagai retinopati hipertensi

dan stadium III dan IV sebagai malignant hipertensi

Patogenesis

Pada keadaan hipertensi, pembuluh darah retina akan mengalami beberapa seri

perubahan patofisiologis sebagai respon terhadap peningkatan tekanan darah. Terdapat teori

bahwa terjadi spasme arterioles dan kerusakan endothelial pada tahap akut sementara pada

tahap kronis terjadi hialinisasi pembuluh darah yang menyebabkan berkurangny aelastisitas

pembuluh darah.

Pada tahap awal, pembuluh darah retina akan mengalami vasokonstriksi secara

generalisata. Ini merupakan akibat dari peningkatan tonus arterioles dari mekanisme

autoregulasi yang seharusnya berperan sebagai fungsi proteksi. Pada pemeriksaan funduskopi

akan kelihatan penyempitan arterioles retina secara generalisata.

Peningkatan tekanan darah secara persisten akan menyebabkan terjadinya

penebalan intima pembuluh darah, hyperplasia dinding tunika media dan degenerasi hyalin.

Pada tahap ini akan terjadi penyempitan arteriolar yang lebih berat dan perubahan pada

persilangan arteri-vena yang dikenal sebagai ”arteriovenous nicking”. Terjadi juga perubahan

pada refleks cahaya arteriolar yaitu terjadi pelebaran dan aksentuasi dari refleks cahaya

sentral yang dikenal sebagai ”copper wiring”.

Setelah itu akan terjadi tahap pembentukan eksudat, yang akan menimbulkan

kerusakan pada sawar darah-retina, nekrosis otot polos dan sel-sel endotel, eksudasi darah

dan lipid, dan iskemik retina. Perubahan-perubahan ini bermanifestasi pada retina sebagai

gambaran mikroaneurisma, hemoragik, hard exudate dan infark pada lapisan serat saraf yang

dikenal sebagai cotton-wool spot. Edema diskus optikus dapat terlihat pada tahap ini, dan

biasanya meripakan indikasi telah terjadi peningkatan tekanan darah yang sangat berat.

Akan tetapi, perubahan-perubahan ini tidak bersifat spesifik terhadap hipertensi saja,

karena ia juga dapat terlihat pada pnyakit kelainan pembuluh darah retina yang lain.

Perubahan yang terjadi juga tidak bersifat sequential. Contohnya perubahan tekanan darah

yang terjadi mendadak dapat langsung menimbulkan hard exudate tanpa perlu mengalami

perubahan-perubahan lain terlebih dulu. Pada dinding arteriol yang terinfiltrasi lemak dan

kolesterol akan menyebabkan pembuluh darah menjadi sklerotik sehingga pembuluh darah

secara bertahap kehilangan transparansinya, pembuluh darah tampak lebih lebar daripada

normalnya dan refleksi cahaya yang tipis menjadi lebih lebar. Produk-produk lemak kuning

keabu-abuan di dinding pembuluh darah bercampur dengan warna darah sehingga

menimbulkan gambaran khas “kawat tembaga” (copper wire). Sklerosis berlanjut

menyebabkan refleksi cahaya dinding pembuluh darah mirip dengan “kawat perak” (silver

wire). Dapat terjadi sumbatan suatu cabang arteriol. Oklusi arteri primer atau sekunder akibat

aterosklerosis yang mengakibatkan oklusi vena dapat menyebabkan perdarahan retina. 8

Manifestasi klinis

Perubahan pembuluh darah retina yang disebabkan oleh hipertensi kronik biasanya

asimtomatik. Kadang-kadang pasien dengan hipertensi maligna mengalami gangguan

penglihatan akut, tetapi kemungkinan disebabkan oleh edeme diskus optikus.

a. Penyempitan ( spasme ) pembuluh darah tampak sebagai :

Pembuluh darah ( terutama arteriole retina ) yang berwarna lebih pucat

Kalliber pembuluh yang menjadi lebih kecil atau ireguler ( karena

spasme lokal)

Percabangan arteriol yang tajam

b. Bila kelainan yang terjadi adalah sklerosis dapat tampak sebagai :

Reflex copper wire

Reflex silver wire

Sheating

c. Pembuluh darah yang irregular

d. Terdapat fenomena crossing sebagai berikut :

Elevasi : pengangkatan vena oleh arteri yang berada dibawahnya

Deviasi : penggeseran posisi vena oleh arteri yang bersilangan dengan

vena tersebut dengan sudut persilangan yang lebih kecil

Kompresi : penekanan yang kuat oleh arteri yang menyebabkan

bendungan vena.

Tatalaksana

Mengobati faktor primer adalah sangat penting jika ditemukan perubahan pada

fundus akibat retinopati arterial. Tekanan darah harus diturunkan dibawah 140/90 mmHg.

Jika telah terjadi perubahan pada fundus akibat arteriosklerosis, maka kondisi ini tidak dapat

diobati lagi. Beberapa studi eksperimental dan percobaan klinik menunjukan bahwa tanda-

tanda retinopati hipertensi dapat berkurang dengan mengontrol kadar tekanan darah. Masih

tidak jelas apakah pengobatan dengan obat anti hipertensi mempunyai efek langsung terhadap

struktur mikrovaskuler. Penggunaan obat ACE Inhibitor terbukti dapat mengurangi

kekeruhan dinding arteri retina sementara penggunaan HCT tidak memberikan efek apa pun

terhadap pembuluh darah retina. Perubahan pola dan gaya hidup juga harus dilakukan. Pasien

dinasehati untuk menurunkan berat badan jika sudah melewati standar berat badan ideal

seharusnya. Konsumsi makanan dengan kadar lemak jenuh harus dikurangi sementara intake

lemak tak jenuh dapat menurunkan tekanan darah. Konsumsi alkohol dan garam perlu

dibatasi dan pasien memerlukan kegiatan olahraga yang teratur

Prognosis

Prognosis tergantung kepada kontrol tekanan darah. Kerusakan penglihatan yang

serius biasanya tidak terjadi sebagai dampak langsung dari proses hipertensi kecuali terdapat

oklusi vena atau arteri lokal. Pasien dengan perdarahan retina, CWS atau edema retina tanpa

papiledema mempunya jangka hidup kurang lebih 27,6 bulan. Pasien dengan papiledema,

jangka hidupnya diperkirakan sekitar 10,5 bulan. Namun pada sesetengah kasus, komplikasi

tetap tidak terelakkan walaupun dengan kontrol tekanan darah yang baik.

BAB III

PEMBAHASAN

Pada pasien pertama dalam skenario 1 blok mata ini, didapatkan data anamnesis usia

pasien yang baru 15 tahun menunjukan bahwa penurunan visus pasien bukan akibat proses

penuaan (degeneratif). Permasalahan utama yang kami amati dari pasien pertama disebabkan

oleh adanya kelainan pada media refrakta organon visusnya (cornea, aquor humorus, lens

crystalina, vitreus humor). Kemudian didapati penurunan visus yang sudah dikoreksi yakni

OD koreksi S-4,00 D; OS S-0,75 C-0,50 axis 90° menunjukan jika penatalaksanaan pada

pasien ini hanya perlu menggunakan bantuan lensa (kaca mata) sesuai dengan nilai

koreksinya. Hal tersebut didukung dengan kondisi mata tenang dimana tidak ada tanda tanda

infeksi. Sehingga advice senior co-as kepada co-as untuk diberi resep dan di perbolehkan

pulang sudah tepat.

Untuk pasien kedua karena pasien sudah berusia 40 tahun, dimana hal ini mengarah

pada presbiopia yang memang sering dijumpai pada orang tua sejak usia 40 tahun (untuk

ukuran orang Indonesia). Namun, diagnosispasti dari pasien bukanlah ini. Untuk OD pada

pasien ini tidak dijumpai pada penurunan visus dan Emetrop. Jadi yang kami paparkan disini

terkait dengan keluhan, hasil pemeriksaan dan rencana pemeriksaan lanjutan dari OS pasien.

Uji pin hole tidak maju, yang artinya kelainan pada OS pasien bukan disebabkan karena

kelainan refraksi seperti pada pasien pertama. Selain itu, koreksi tidak ada kemajuan. Hal ini

mendukung bahwasanya kelainan pada pasien kedua ini bukan karena kelainan refraksi.

Dilakukan juga beberapa pemeriksaan penunjang pada pasien seperti pemeriksaan persepsi

warna untuk mengetahui persepsi warna yang dimiliki pasien, pemeriksaan tonometri untuk

mengetahui tekanan intraokuler pasien, dan pemeriksaan refleks fundus untuk menilai

keadaan retina dan papil saraf optik. Akan tetapi, dalam skenario ini pemeriksaan penunjang

tersebut tidak diketahui hasilnya, sehingga penegakkan diagnosis pada pasien kedua belum

bisa ditegakkan. Namun, dari gejala dan tanda pada pasien kedua, dari hasil diskusi tutorial

kami, penyakit pasien masuk pada golongan penyakit dengan mata tenang visus menurun.

Dari sini, bisa dibedakan lagi klasifikasi penyakitnya, yakni mata tenang dengan visus

menurun mendadak dan mata tenang dengan visus menurun perlahan. Dari paparan tanda dan

gejala pada skenario mengarah pada mata tenang dengan penurunan visus perlahan, di mana

diagnosis bandingnya antara lain katarak, glaukoma, dan retinopati. Sedangkan diagnosis

banding untuk mata tenang dengan penurunan visus mendadak adalah neuritis optik, ablasi

retina, obstruksi vena retina sentral, oklusi arteri retina sentral, kekeruhan dan perdarahan

badan kaca, ambliopia toksik, trombosi arteri karotis interna, okulopati iskemik, dan

amaurosis fugaks. Untuk bisa menegakkan diagnosis dengan pasti, diperlukan pemeriksaan

penunjang yang cukup dan hasil yang bermakna.

Pembahasan diatas menurut kami sudah mampu untuk menjawab permasalahan yang

dipikirkan Ani (co-as dalam skenario), yakni pasien pertama dan kedua berbeda penyebab

walaupun keluhan utama yang diutarakan hampir sama, yakni penurunan visus. Dan

jawabanya bila pasien pertama mengalami gangguan pada media refrakta organon visusnya,

untuk pasien kedua mengalami keadaan penurunan visus perlahan pada mata tenang, dengan

diagnosis banding glaukoma, katarak, dan retinopati.

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Berdasarkan tanda, gejala dan hasil pemeriksaan di skenario, diagnosis banding untuk

pasien kedua adalah katarak, glaukoma dan retinopati. Sedangkan untuk pasien

pertama diduga mengalami miopi.

2. Untuk menentukan diagnosis pasti dari pasien kedua di skenario diperlukan

pemeriksaan persepsi warna, proyeksi sinar, tonometri, konfrontasi dan refleks

fundus.

3. Penatalaksannaan pasien pertama dilakukan dengan koreksi refraksi dengan

mengunakan lensa sferis negatif dengan indek bias terkecil yang mampu memberikan

penglihatan maksimum. Sedangkan untuk pasien kedua di perlukan pemeriksaan lebih

lanjut karena diduga mengalami kelainan organik bola mata.

B. Saran

Untuk pelaksanaan tutorial di kelompok tutorial A7 cukup baik. Kendala yang sering

ditemui adalah pemahaman yang terbatas dan kurang terarahnya jalannya diskusi. Selain itu

juga pengetahuan yang berbeda tiap mahasiswa karena sumber yang digunakan berbeda-

beda.

DAFTAR PUSTAKA

Ergene, Erhan, MD. 2009. “Optic Neuritis, Adult”. Diakses dari

http://emedicine.medscape.com pada tanggal 30 Maret 2012 pukul 23.00 WIB

Fonrose, Mark. “Retinal Vein Occlusion”. Diakses dari http:// emedicine.medscape.com pada

tanggal 30 Maret 2012 pukul 23.00 WIB

Hamid, Sadaf., Mirza, Sajid A., and Shokh, Ishrat. 2009. Etiology and Management of

Branch Retinal Vein Occlusion. World Appl. Sci. J. 2009;6(1);94-99.

Ilyas, Sidarta. 2004. Ilmu Penyakit Mata Edisi 3. Jakarta: Balai Penerbit FK UI.

Junqueira, Luiz Carlos. 2007. Histologi Dasar: Teks dan Atlas Edisi 10. Jakarta: EGC.

Tien Y. Wong, and Ingrid U. Scott. 2010. Retinal-Vein Occlusion. N Engl J Med 2010;

363:2135-2144

Sherwood, Lauralee. 2001. Fisiologi Manusia: Dari Sel ke Sistem Edisi 2. Jakarta: EGC.

Riordan-Eva, Paul, FRCS, FRCOphth dan John P. Whitcher, MD, MPH. 2008. Vaughan &

Asbury’s General Ophthalmology. New York : The McGraw-Hill Companies,

Inc.

Wijana, N. 1993. Ilmu Penyakit Mata. Jakarta : Perpustakaan Nasional