laporan tutorial skenario c 19

Upload: dky-hartono

Post on 10-Jan-2016

60 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

kn

TRANSCRIPT

LAPORAN TUTORIAL SKENARIO C

BLOK 19

Disusun Oleh :

Kelompok B10

Tutor : dr. Rusdianto, SpM(K)

Dicky Hartono

(04011281320016)Sinta Nida Fadillah

(04011281320028)Retrisia Rachmadina

(04011281320034)M Sasini Rohideta

(04011381320010)Monica Trifitriana

(04011381320042)Klara Sinta

(04011181320002)Mukhlasinia Aprilita

(04011181210026)Muhammad Wasistha A.

(04011181320050)Nadya Ayu Saraswati

(04011181320060)Mela Roza

(04011181320064)

.Muhammad Fajar AS-Sidiq (04011181320080)Octiara Estya Hikmah

(04011181320108)Siti Evi Marissa

(04011181320114)FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SRIWIJAYA

2015

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan YME sehingga kami dapat menyelesaikan laporan tutorial yang berjudul Laporan Tutorial Skenario C Blok 19 sebagai tugas kompetensi kelompok.

Kami menyadari bahwa laporan tutorial ini jauh dari sempurna. Oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun guna perbaikan di masa mendatang.

Dalam penyelesaian laporan tutorial ini, kami banyak mendapat bantuan, bimbingan dan saran. Pada kesempatan ini, kami ingin menyampaikan syukur, hormat, dan terimakasih kepada :

1. Tuhan YME, yang telah merahmati kami dengan kelancaran diskusi tutorial,

2. dr. Rusdianto, SpM(K) selaku tutor kelompok B10

3. Teman-teman sejawat FK Unsri, terutama kelas PSPD B 2013

Semoga Tuhan YME memberikan balasan atas segala amal yang diberikan kepada semua orang yang telah mendukung kami dan semoga laporan tutorial ini bermanfaat bagi kita dan perkembangan ilmu pengetahuan.

Palembang, 11 September 2015

Kelompok B10

DAFTAR ISI

Kata Pengantar..ii

Daftar Isi3

Kegiatan Diskusi...4

Skenario.5

I. Klarifikasi Isitlah.6

II. Identifikasi Masalah.6III. Analisis Masalah..7IV. Learning Issue..30V. Kerangka Konsep43VI. Kesimpulan43Daftar Pustaka...44KEGIATAN DISKUSI

Tutor

: dr. Rusdianto, SpM(K)Moderator

: Muhammad Wasistha A.Sekretaris 1

: Dicky Hartono

: Siti Evi Marissa

Pelaksanaan

: 7 dan 9 September 2015

10.00 12.00 WIB

Peraturan selama tutorial:

-Diperbolehkan untuk minum

-Meminta izin kepada moderator untuk meninggalkan ruangan di tengah tutorial

-Alat komunikasi mode silent

-Pada saat ingin berbicara terlebih dahulu mengacungkan tangan, lalu setelah diberi izin moderator baru bicara

- Saling menghargai dan tidak saling menggurui

SKENARIO C BLOK 19 TAHUN 2015

Nn Sinta (20 thn), seorang mahasiswi berobat ke puskesmas dengan keluhan utama kelopak mata sulit dibuka yang dialami sejak 6 bulan yang lalu. Keluhan ini dirasakan secara perlahan-lahan makin hari bertambah berat. Ketika bangun tidur penderita merasa segar dan tidak ada keluhan, namun ketika sedang sibuk beraktivitas, penderita merasa matanya berat dibuka, lama kelamaan seluruh anggota gerak juga ikut terasa berat. Setelah beristirahat agak lama kondisi penderita terasa membaik kembali. Kondisi seperti ini hampir dirasakan setiap hari, penyakit ini diderita untuk pertama kalinya, tidak ada dalam keluarga yang menderita penyakit sejenis.

Pemeriksaan Fisik Umum

Kesadaran : Compos Mentis, : TD : 120/80 mmHg, N : 80x/menit,

RR : 20x/mnit, S : 37 C

Pemeriksaan Fisik Khusus:

Kepala: Ptosis Bilateral pada kedua kelopak mataThorax: dalam batas normal

Abdomen : dalam batas normal

Pemeriksaan Fisik Neurologi didapat:

Motorik: Kekuatan 5 pada keempat ekstremitas, Refleks Fisiologis menurun

Refleks Patologis: Babinski (-), Chaddock (-)

Sensoris : Tidak ada Kelainan

I. Klarifikasi Istilah :

1. Ptosis bilateral : turunnya kelopak mata atas akibat kelumpuhan yang terjadipada kedua kelopak mata dimana terdapat kelemahan pada muskulus levator palpebral superior yang dipersarafi oleh N.III.2. Babinski

: ditimbulkan dengan stimulus gesekan pada telapak kaki yangmenghasilkan dorsofleksi jari besar dan pengembangan jari-jari yang lebih kecil, reflex ini merupakan indikasi kelainan pada jalur control motorik utama dari korteks cerebral dan untuk diagnostic pada gangguan sistem saraf pusat .3. Chaddock

: dilakukan goresan dengan ujung palu, reflex pada kulit

dibawah malleolus eksternus. Positif jika ada respon dorsofleksi pada ibu jari kaki yang disertai pemekaran jari-jari lain.

4. Refleks fisiologis menurun : adanya penurunan rangkaian gerakan yang

dilakukan secara cepat bersifat involunter sebagai respon terhadap suatu stimulus .5. Kelopak mata : (palpebral) adalah lipatan tipis kulit, otot dan jaringan fibrosa yang berfungsi melindungi struktur struktur mata yang rentan.II. Identifikasi Masalah1. Nn Sinta (20 thn) seorang mahasiswi berobat ke puskesmas dengan keluhan utama kelopak mata sulit dibuka yang dialami sejak 6 bulan yang lalu. Keluhan ini dirasakan secara perlahan-lahan makin hari bertambah berat. (Main Problem)2. Ketika bangun tidur penderita merasa segar dan tidak ada keluhan, namun ketika sedang sibuk beraktivitas, penderita merasa matanya berat dibuka, lama kelamaan seluruh anggota gerak juga ikut terasa berat. Kondisi seperti ini hampir dirasakan setiap hari.3. Penyakit ini diderita untuk pertama kalinya, tidak ada dalam keluarga yang menderita penyakit sejenis.

4. Pemeriksaan Fisik Umum

Kesadaran : Compos Mentis, : TD : 120/80 mmHg, N : 80x/menit,

RR : 20x/mnit, S : 37 C

Pemeriksaan Fisik Khusus:

Kepala: Ptosis Bilateral pada kedua kelopak mataThorax: dalam batas normal

Abdomen : dalam batas normal

5. Pemeriksaan Fisik Neurologi didapat:

Motorik: Kekuatan 5 pada keempat ekstremitas, Refleks Fisiologis menurun

Refleks Patologis: Babinski (-), Chaddock (-)

Sensoris : Tidak ada Kelainan

III. Analisis Masalah

1. Nn Sinta (20 thn) seorang mahasiswi berobat ke puskesmas dengan keluhan utama kelopak mata sulit dibuka yang dialami sejak 6 bulan yang lalu. Keluhan ini dirasakan secara perlahan-lahan makin hari bertambah berat.a. Bagaimana anatomi dan fisiologi dari neurooftalmologi (kelopak mata)?

Terlampir di Learning Issueb. Apa etologi dan bagaimana mekanisme dari keluhan Nn. Sinta? Etiologi dari keluhan Nn. Sinta kemungkinan akibrat proses autoimun dan thymus yang membuat antibodi terhadap end plate protein otot levator.

Antibody pada reseptor nikotinik asetilkolin merupakan penyebab utama kelemahan otot kelopak mata pasien dengan miastenia gravis. Autoantibodi terhadap asetilkolin reseptor (anti-AChRs). Miastenia gravis dapat dikatakan sebagai penyakit terkait sel B, dimana antibodi yang merupakan produk dari sel B justru melawan reseptor asetilkolin. Ikatan antibodi reseptor asetilkolin pada reseptor asetilkolin akan mengakibatkan terhalangnya transmisi neuromuskular melalui beberapa cara, antara lain : ikatan silang reseptor asetilkolin terhadap antibodi anti-reseptor asetilkolin dan mengurangi jumlah reseptor asetilkolin pada neuromuscular junction dengan cara menghancurkan sambungan ikatan pada membran post sinaptik, sehingga mengurangi area permukaan yang dapat digunakan untuk insersi reseptor-reseptor asetilkolin yang baru disintesis.

c. Apakah hubungan antara jenis kelamin, usia dan pekerjaan terhadap keluhan yang dialami Nn. Sinta? Miastenia gravis banyak timbul antara umur 10-30 tahun. Pada umur dibawah 40 tahun miastenia gravis lebih banyak dijumpai pada wanita. Sementara itu diatas 40 tahun lebih banyak pada pria (Harsono, 1996). Apapun pekerjaan penderita miastenia gravis, ketika melakukan pekerjaan terus menerus maka akan mengalami kelemahan otot.

d. Mengapa keluhan Nn. Sinta dirasakan makin hari makin berat secara perlahan-lahan?

Hal ini terjadi karena proses autoimun dalam tubuh terus berlangsung tanpa adanya pengobatan, sehingga keluhan dirasakan semakin berat.2. Ketika bangun tidur penderita merasa segar dan tidak ada keluhan, namun ketika sedang sibuk beraktivitas, penderita merasa matanya berat dibuka, lama kelamaan seluruh anggota gerak juga ikut terasa berat. Kondisi seperti ini hampir dirasakan setiap hari.

a.Bagaimana anatomi neuromuscularjunction?

Terlampir di learning issueb.Apa hubungan aktivitas dan seluruh anggota tubuh terasa berat? Ketika beraktifitas tubuh melakukan kontraksi otot, dalam kondisi normal di neuromuscular junction, asetilkolin (ACh) disintesis di terminal saraf motoric dan disimpan dalam vesikel-vesikel. Ketika potensial aksi merambat sepanjang saraf motoric dan mencapai terminal saraf tersebut, ACh dari 150-200 vesikel dilepaskan dan melekat pada AChR yang banyak terdapat pada postsynaptic folds membuka berbagai kation terutama Na sehingga menimbulkan depolarisasi endplate serabut otot dan yang pada akhirnya menimbulkan kontraksi otot. Pada keadaan myasthenia gravis seperti pada kasus, jumlah AChR menurun dan postsynaptic folds nya menjadi lebih rata sehingga transmisi neuromuscular junction menjadi dan tidak efisien sehingga ketika beraktifitas seluruh anggota tubuh terasa berat karena kontraksi otot yang melemah.

c.Mengapa setelah beristirahat keadaannya semakin membaik? Kelemahan otot karena kelainan autoimun + sibuknya aktivitas ( makin terganggunya transmisi neuromuscular ( kelemahan otot semakin berat ( isirahat dalam waktu yang lama ( transmisi neuromuscular kembali normal ( kondisi Nn.Sinta semakin membaik.

d.Apa makna klinis kondisi seperti ini hampir dirasakan setiap hari?

Miastenia yang diderita oleh Nn. Sinta bersifat tidak hilang timbul dan semakin progresif. Dan kondisi tersebut hampir terjadi setiap hari dikarenakan setiap harinya Nn. Sinta melakukan aktivitas sehingga kelemahan yang dirasakan setiap hari.3. Penyakit ini diderita untuk pertama kalinya, tidak ada dalam keluarga yang menderita penyakit sejenis.

a. Apa makna klinis penyakit yang diderita pertama kali dan tidak ada riwayat dalam keluarga?

Makna klinis tidak ada riwayat di dalam keluarga yaitu dimana penyakit bukan disebabkan adanya factor genetic. Karena perlu diketahui bahwa penyebab dari Miastenia gravis:

1. Faktor genetic (yang diturunkan dari orang tua yang mengidap penyakit miastenia gravis)

2. Autoimun (Akibat dari Sistem kekebalan tubuh yang membuat antibody tubuh (IgG) yang menyerang reseptor Ach di endplate motoric dari otot sehingga menyebabkan penurunan reseptor Ach).

Hal ini menandakan bahwa penyakit yang diderita Nn. Sinta diakibatkan oleh proses autoimun.

4. Pemeriksaan Fisik Umum

Kesadaran : Compos Mentis, : TD : 120/80 mmHg, N : 80x/menit,

RR : 20x/mnit, S : 37 C

Pemeriksaan Fisik Khusus:

Kepala: Ptosis Bilateral pada kedua kelopak mata

Thorax: dalam batas normal

Abdomen : dalam batas normal

a. Apa interpretasi dari pemeriksaan fisik umum dan pemeriksaan fisik khusus? PemeriksaanNn. SintaNormalInterpretasi

UmumKesadaranCompos mentisCompos mentisNormal

Tekanan darah120/80 mmHg120/80 mmHgNormal

Nadi80x/menit60-100x per menitNormal

RR20x/menit16-24x/menitNormal

Suhu37 oC36,5-37,5 oCNormal

KhususKepalaPtosis bilateralKelopak mata dapat dibuka sempurnaAbnormal

ThoraxBatas normalBatas normalNormal

AbdomenBatas normalBatas normalNormal

b. Bagaimana mekanisme abnormal dari pemeriksaan fisik umu dan pemeriksaan fisik khusus pada kasus? Ptosis terjadi karena kelemahan otot disekitar kelopak mata, hal ini terjadi sebagai akibat dari proses autoimun dimana antibodi reseptor acethylcolin menghalangi acetilcolin berikatan sehingga depolarisasi otot pun terganggu.

c. Bagaimana cara pemeriksaan serta tujuan pemeriksaan ptosis? Pemeriksaan fisis pada pasien ptosis dimulai dengan

1.Palpebra Fissure Height

2.Margin-reflex distance

3.Upper lid crease

4.Levator function

5.Bells Phenomenon

1. Palpebra Fissure Height Jarak ini diukur pada posisi celah terlebar antara kelopak bawah dan kelopak atas pada saat pasien melihat benda jauh dengan pandangan primer.

Fissura pada palpebra diukur pada posisi utama (orang dewasa biasanya 10-12 mm dengan kelopak mata teratas menutup 1 mm dari limbus). Jika ptosis unilateral, pemeriksa harus membedakan dengan artifak strabismus vertikal (hipotropia) atau retraksi kelopak mata kontralateral. Kelopak mata harus dieversi untuk menyingkirkan penyebab lokal ptosis misalnya konjungtivitis papilar raksasa. Jika ptosis asimetris, khususnya bila kelopak mata atas mengalami retraksi dokter harus secara manual mengangkat kelopak yang ptosis untuk melihat jika terjadi jatuhnya kelopak atas pada mata lain

2. Margin-Reflex Distance Jarak ini merupakan jarak tepi kelopak mata dengan reflek cahaya kornea pada posisi primer, normalnya 4 mm. Refleks cahaya dapat terhalang pada kelopak mata pada kasus ptosis berat dimana nilainya nol atau negatif. Bila pasien mengeluh terganggu pada saat membaca maka jarak refleks-tepi juga harus diperiksa.3. Upper Lid Crease

Jarak dari lipatan kelopak atas dengan tepi kelopak diukur. Lipatan kelopak atas sering dangkal atau tidak ada pada pasien dengan ptosis kongenital.

4. Levator Function Untuk mengevaluasi fungsi otot levator, pemeriksa mengukur penyimpangan total tepi kelopak mata, dari penglihatan ke bawah dan ke atas, sambil menekan dengan kuat pada alis mata pasien untuk mencegah kerja otot frontalis. Penyimpangan normal kelopak atas adalah 14-16 mm. Sebagai tambahan, jarak refleks kornea - kelopak mata dan jarak tepi kelopak atas-lipatan kelopak atas diukur.

5. Bells Phenomenon

Penderita disuruh menutup /memejamkan mata dengan kuat, pemeriksa membuka kelopak mata atas, kalau bola mata bergulir ke atas berarti Bells Phenomenon (+).

Jarak penyimpangan fungsi kelopak mata : Baik : lebih dari 8 mm

Sedang : 5-8 mm

Buruk : kurang dari 5 mm

Tujuannya untuk membedakan klasifikasi dari ptosis yang di dapat (acquired) atau ptosis kongenitald. Apa tujuan dilakukan pemeriksaan fisik umum dan khusus pada kasus? Untuk membantu dalam penegakkan diagnosis dan menyingkirkan diagnosis banding.

6. Pemeriksaan Fisik Neurologi didapat:

Motorik: Kekuatan 5 pada keempat ekstremitas, Refleks Fisiologis menurun

Reflex Patologis: Babinski (-), Chaddock (-)

Sensoris : Tidak ada Kelainan

a. Apa interpretasi dan bagaimana mekanisme abnormal dari pemeriksaan fisik neurologi ? Pemeriksaan NeurologiInterpretasiMekanisme Abnormal

Motorik:

Kekuatan 5 pada ekstremitasNormal (tidak ada kelumpuhan)Progresifitas penyakitnya belum sampe ke tipe II

Refleks fisiologis menurunTidak normal Akibat dari penurunan reseptor Ach di endplate otot skeletal menyebabkan asetilkolin yang tercapai di otot untuk terjadinya proses potensial aksi menurun. Hal inilah yang menyebabkan saat dilakukan reflex fisiologis terjadi penurunan.

Refleks Patologis Babinski (-)NormalMenandakan tidak ada gangguan di upper motor neuron

Reflekas Patologis Chaddock (-)NormalMenandakan tidak ada gangguan di upper motor neuron

Sensorik:

Tidak ada kelainanNormalPada kasus, yang terganggu di jaras motoriknya terutama di neuromuscular junction akibat penurunan reseptor Ach sehingga jaras sensorik masih memberi impuls yang normal.

b. Apa tujuan dilakukan pemeriksaan fisik neurologi dan bagaimana caranya ? Tujuan dilakukan pemeriksaan fisik neurologi untuk mengevaluasi keadaan fisik klien secara umum, menilai apakah ada indikasi penyakit lainnya selain kelainan neurologis dan juga menilai bagaimana fungsi motik dan sensorik seseorang tersebut.

Kekuatan Ekstremitas

Pasien disuruh menggerakkan bagian ekstremitas atau badannya dan pemeriksa menahan gerakan ini.

Pemeriksa menggerakkan bagian ekstremitas atau badan pasien dan ia disuruh menahan.

Skala0 = Paralisis total

1 = Tidak ada gerakan, teraba/terlihat adanya kontraksi otot

2 = Ada gerakan pd sendi tetapi tdk dpt melawan gravitasi (hanya bergeser)

3 = Bisa melawan gravitasi tetapi tdk dpt menahan /melawan tahanan pemeriksa.

4 = Bisa bergerak melawan tahanan pemeriksa tetapi kekuatannya berkurang

5 = Dpt melawan tahanan pemeriksa dgn kekuatan maksimal.

Refleks FisiologisSkala4+ = Hiperaktif (dengan klonus)

3+ = Lebih cepat dari rata-rata, tidak perlu dianggap abnormal

2+ = Rata-rata, normal

1+ = Berkurang, normal rendah

0 = Tidak ada respon

REFLEK BISEP

Fleksikan siku klien, letakkan lengan bawah klien diatas paha dengan posisi telapak tangan menghadap keatas

Letakkan ibu jari tangan kiri, diatas tendon bisep klien

Perkusi ibu jari pemeriksa dengan reflek hummer

Amati adanya fleksi ringan yang normal pada siku klien, rasakan kontraksi otot bisep

REFLEK TRISEP

Fleksikan siku klien, sangga lengan klien dengan tangan nondominan

Palpasi tendon trisep sekitar 2-5 cm diatas siku

Perkusi reflek hummer pada tendon trisep

Amati adanya ekstensi ringan yang normal pada siku

REFLEK BRAKIORADIALIS

Letakkan lengan klien dalam posisi istirahat (pronasi).

Ketukkan reflek hummer secara langsung pada radius 2-5 cm diatas pergelangan tangan atau processus stiloid.

Amati adanya fleksi dan supinasi normal pada lengan klien, jari-jari tangan sedikit ekstensi.

REFLEK PATELA

Minta klien duduk ditepi meja periksa agar kaki klien dapat menjuntai dengan bebas tidak menginjak lantai.

Tentukan lokasi tendon patella yang berada tepat dibawah patella (tempurung lutut).

Ketukkan reflek hummer langsung pada tendon patela.

Amati adanya ektensi kaki atau tendangan kaki yang normal.

REFLEK ACHILLES

Minta klien duduk ditepi meja periksa agar kaki klien dapat menjuntai dengan bebas tidak menginjak lantai.

Dorsofleksikan sedikit pergelangan kaki klien dengan menopangkan kaki klien pada tangan pemeriksa.

Ketukkan reflek hummer pada tendon Achilles tepat diatas tumit.

Amati dan rasakan plantar fleksi (sentakan kebawah) yang normal pada kaki klien.

REFLEK ABDOMINAL

Posisikan klien supinasi dan buka area abdomen.

Lakukan pemeriksaan dengan cara menggoreskan sikat pemeriksa secara vertical, horizontal dan diagonal pada daerah epigastrik sampai umbilicus. Normalnya dinding abdomen akan kontraksi.

Refleks Patologis

-Refleks Babinski

Goreskan ujung palu refleks pada telapak kaki pasien. Goresan dimulai pada tumit

menuju ke atas dengan menyusuri bagian lateral telapak kaki, kemudian setelah sampai

pada pangkal kelingking, goresan dibelokkan ke medial sampai akhir pada pangkal jempol

kaki. Refleks Babinski positif jika ada respon dorsofleksi ibu jari yang disertai pemekaran

jari-jari yang lain.

-Refleks Chaddock

Dilakukan goresan dengan ujung palu refleks pada kulit dibawah maleolus

eksternus. Goresan dilakukan dari atas ke bawah (dari proksimal ke distal). Refleks Chaddock positif jika ada respon dorsofleksi ibu jari kaki yang disertai pemekaran jari-jari

yang lain.

Pemeriksaan fungsi sensoris

Pemeriksaan Sensasi Taktil

Langkah-Langkah Pemeriksaan

( Pemeriksa menerangkan cara dan tujuan pemeriksaan

( Meminta penderita untuk menutup matanya

( Dengan menggunakan ujung kapas tempelkan/ sentuhan secara ringan pada satu titik pada kulit tanpa memberi tekanan jaringan subkutan

( Meminta penderita untuk menyatakan YA atau TIDAK pada setiap perangsangan

( Meminta pasien untuk menyebutkan daerah yang dirangsang

( Meminta pasien untuk membedakan dua titik yang dirangsang

Pemeriksaan Sensasi Nyeri Superfisial

Langkah-Langkah Pemeriksaan

( Pemeriksa menerangkan cara dan tujuan pemeriksaan

( Memilih dengan benar alat yang akan dipakai (dengan menggunakan neuro-tip (berujung tajam) dan hindari menggunakan jarum suntik)

( Meminta penderita untuk menutup matanya

( Mencoba jarum terhadap dirinya sendiri

( Melakukan rangsangan dengan intensitas minimal tanpa menimbulkan luka/perdarahan

( Melakukan rangsangan dengan ujung tajam dan tumpul secara bergantian

( Meminta penderita untuk menyebutkan apakah rangsangannya tajam atau tumpul

( Menanyakan apakah ada perbedaan intensitas ketajaman rangsangan

Pemeriksaan Sensasi Suhu

Langkah-Langkah Pemeriksaan

( Pemeriksa menerangkan cara dan tujuan pemeriksaan

( Memilih dengan benar alat yang akan dipakai (dengan menggunakan 2 tabung reaksi yang diisi dengan air panas dan air dingin)

( Sentuhkan pada kulit pasien dan mintalah pada pasien untuk menyebutkan panas atau dingin

c. Apa saja pemeriksaan-pemeriksaan neurologis yang lain? (tujuan dan cara pemeriksaan) 1. Kaku Kuduk:Pasien tidurtelentang tanpabantal. Tangan pemeriksa ditempatkan dibawah kepala pasien yang sedangberbaring,kemudian kepaladitekukan (fleksi) dandiusahakanagardagu mencapai dada. Selama penekukan diperhatikan adanya tahanan. Bila terdapat kaku kuduk kita dapatkan tahanan dan dagu tidak dapat mencapai dada. Kaku kuduk dapat bersifat ringan atau berat.

Hasilpemeriksaan: Leher dapatbergerak denganmudah,dagu dapatmenyentuhsternum,atau fleksi leher( normal

Adanya rigiditas leher dan keterbatasan gerakan fleksi leher( kaku kuduk

Arti klinis:Meningitis, meningoensefalitis, SAH, Karsinoma meningeal

A. Sewaktu mengangkat kepala, badan ikut terangkat.

B. Gerakan leher ke kanan atau kiri tidak ada gangguan.

C. Gerakan dorsofleksi tidak ada tahanan

2. Kernig Sign: Pada pemeriksaan ini, pasien yang sedang berbaring difleksikan pahanya padapersendian panggulsampaimembuat sudut90 derajat.Setelahitutungkai bawah diekstensikan pada persendian lutut sampai membentuk sudut lebih dari 135 derajat terhadap paha. Bila teradapat tahanan dan rasa nyeri sebelum atau kurang dari sudut 135 derajat, maka dikatakan kernig sign positif.

3. Brudzinski I (Tanda Leher Menurut Brudzinski): Pasien berbaring dalam sikap terlentang, dengan tangan yang ditempatkan dibawah kepala pasien yang sedang berbaring, tangan pemeriksa yang satu lagi sebaiknya ditempatkan didada pasien untuk mencegah diangkatnya badan kemudian kepala pasien difleksikan sehingga dagu menyentuh dada.Test ini adalah positif bila gerakan fleksi kepala disusul dengan gerakan fleksi di sendi lutut dan panggul kedua tungkai secara reflektorik.

4. Brudzinski II (Tanda Tungkai Kontra Lateral Menurut Brudzinski): Pasien berbaring terlentang. Tungkai yang akan dirangsang difleksikan pada sendi lutut,kemudian tungkai atas diekstensikan pada sendi panggul. Bila timbul gerakan secara reflektorik berupa fleksi tungkai kontralateral pada sendi lutut dan panggul ini menandakan test ini postif.

5. Reflex Hoffman dan Tromner: dilakukan dengan ekstensi jari tengah pasien. Reflex Hoffman diperiksa dengan cara melakukan petikan pada kuku jari tengah. Reflex tromner dilakukan dengan cara mencolek ujung jari tengah. Reflex Hoffman-Tromner pofitif jika timbul gerakan fleksi pada ibu jari, jari telunjuk, dan jari-jari lainnya.

6. Reflex babinski: goreskan ujung palu reflex pada telapak kaki pasien. Goresan dimulai pada tumit menuju ke atas dengan menyusuri bagian lateral telapak kaki, kemudian setelah sampai pada pangkal kelingking, goresan dibelokkan ke medial sampai akhir pada pangkal jempol kaki. Reflex babinski positif jika ada respon dorsofleksi ibu jari yang disertai pemekaran jari-jari yang lain.

7. Reflex Chaddock: dilakukan goresan dengan ujung palu reflex pada kulit dibawah malelolus eksternus. Goresan dilakukan dari atas ke bawah (dari proksimal ke distal). Reflex chaddock positif jika ada respon dorsofleksi ibu jari kaki yang disertai pemekaran jari-jari lain.

Analisa Aspek Klinis

a. Bagaimana cara penegakan diagnosis pada kasus? Anamnesis

Manifestasi klinis berupa gejala kelemahan otot okuler, anggota gerak, pernapasan, dan bulbar yang berfl uktuasi dan bervariasi, membaik dengan istirahat. Pasien tampak normal pada pagi hari dan mengeluh diplopia, sulit bicara atau paresis pada sore hari.

Pemeriksaan fisik

Kelemahan otot dapat muncul menghinggapi bagian proksimal dari tubuh serta simetris di kedua anggota gerak kanan dan kiri. Walaupun dalam berbagai derajat yang berbeda, biasanya refleks tendon masih ada dalam batas normal . Kelemahan otot wajah bilateral akan menyebabkan timbulnya myasthenic sneer dengan adanya ptosis dan senyum yang horizontal dan miastenia gravis biasanya selalu disertai dengan adanya kelemahan pada otot wajah .

Pada pemeriksaan fisik, terdapat kelemahan otot-otot palatum, yang menyebabkan suara penderita seperti berada di hidung (nasal twang to the voice) serta regurgitasi makanan terutama yang bersifat cair ke hidun, penderita batuk dan tersedak saat minum. Kelemahan otot bulbar juga sering terjadi pada penderita dengan miastenia gravis. Ditandai dengan kelemahan otot-otot rahang pada miastenia gravis yang menyebakan penderita sulit untuk menutup mulutnya, sehingga dagu penderita harus terus ditopang dengan tangan. Otot-otot leher juga mengalami kelemahan, sehingga terjadi gangguan pada saat fleksi serta ekstensi dari leher. Otot-otot anggota tubuh atas lebih sering mengalami kelemahan dibandingkan otot-otot anggota tubuh bawah. Musculus deltoid serta fungsi ekstensi dari otot-otot pergelangan tangan serta jari-jari tangan sering kali mengalami kelemahan. Otot trisep lebih sering terpengaruh dibandingkan otot bisep.

Pada ekstremitas bawah, sering kali terjadi kelemahan melakukan dorsofleksi jari-jari kaki dibandingkan dengan melakukan plantarfleksi jari-jari kaki dan saat melakukan fleksi panggul .

Hal yang paling membahayakan adalah kelemahan otot-otot pernapasan yang dapat menyebabkan gagal napas akut, dimana hal ini merupakan suatu keadaan gawat darurat dan tindakan intubasi cepat sangat diperlukan. Kelemahan otot-otot faring dapat menyebabkan kolapsnya saluran napas atas dan kelemahan otot-otot interkostal serta diafragma dapat menyebabkan retensi karbondioksida sehingga akan berakibat terjadinya hipoventilasi. Sehinggga pengawasan yang ketat terhadap fungsi respirasi pada pasien miastenia gravis fase akut sangat diperlukan. Kelemahan sering kali mempengaruhi lebih dari satu otot ekstraokular, dan tidak hanya terbatas pada otot yang diinervasi oleh satu nervus kranialis.Serta biasanya kelemahan otot- otot ekstraokular terjadi secara asimetris. Hal ini merupakan tanda yang sangat penting untuk mendiagnosis suatu miastenia gravis. Kelemahan pada muskulus rektus lateralis dan medialis akan menyebabkan terjadinya suatu pseudointernuclear ophthalmoplegia, yang ditandai dengan terbatasnya kemampuan adduksi salah satu mata yang disertai nistagmus pada mata yang melakukan abduksi.

Untuk penegakan diagnosis miastenia gravis, dapat dilakukan pemeriksaan dengan cara penderita ditugaskan untuk menghitung dengan suara yang keras. Lama kelamaan akan terdengar bahwa suaranya bertambah lemah dan menjadi kurang terang. Penderita menjadi anartris dan afonis. Setelah itu, penderita ditugaskan untuk mengedipkan matanya secara terus-menerus dan lama kelamaan akan timbul ptosis. Setelah suara penderita menjadi parau atau tampak ada ptosis, maka penderita disuruh beristirahat.. Kemudian tampak bahwa suaranya akan kembali baik dan ptosis juga tidak tampak lagi. Untuk memastikan diagnosis miastenia gravis, dapat dilakukan beberapa tes antara lain:

Uji Tensilon (edrophonium chloride) Untuk uji tensilon, disuntikkan 2 mg tensilon secara intravena, bila tidak terdapat reaksi maka disuntikkan lagi sebanyak 8 mg tensilon secara intravena. Segera setelah tensilon disuntikkankita harus memperhatikan otot-otot yang lemah seperti misalnya kelopak mata yang memperlihatkan adanya ptosis. Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia gravis, maka ptosis itu akan segera lenyap. Pada uji ini kelopak mata yang lemah harus diperhatikan dengan sangat seksama, karena efektivitas tensilon sangat singkat.

Uji Prostigmin (neostigmin) Pada tes ini disuntikkan 3 cc atau 1,5 mg prostigmin methylsulfat secara intramuskular (bila perlu, diberikan pula atropin atau mg). Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia gravis maka gejala-gejala seperti misalnya ptosis, strabismus atau kelemahan lain tidak lama kemudian akan lenyap.

Uji Kinin Diberikan 3 tablet kinina masing-masing 200 mg. 3 jam kemudian diberikan 3 tablet lagi (masing-masing 200 mg per tablet). Untuk uji ini, sebaiknya disiapkan juga injeksi prostigmin, agar gejala-gejala miastenik tidak bertambah berat.Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia gravis, maka gejala seperti ptosis, strabismus, dan lain-lain akan bertambah berat.

Laboratorium

Antistriated muscle (anti-SM) antibody Tes ini menunjukkan hasil positif pada sekitar 84% pasien yang menderita timoma dalam usia kurang dari 40 tahun.Sehingga merupakan salah satu tes yang penting pada penderita miastenia gravis. Pada pasien tanpa timomaanti-SM Antibodi dapat menunjukkan hasil positif pada pasien dengan usia lebih dari 40 tahun.

Anti-muscle-specific kinase (MuSK) antibodies. Hampir 50% penderita miastenia gravis yang menunjukkan hasil anti-AChR Ab negatif (miastenia gravis seronegarif), menunjukkan hasil yang positif untuk anti-MuSK Ab. Antistriational antibodies Antibodi ini bereaksi dengan epitop pada reseptor protein titin dan ryanodine (RyR). Antibodi ini selalu dikaitkan dengan pasien timoma dengan miastenia gravis pada usia muda. Terdeteksinya titin/RyR antibody merupakan suatu kecurigaaan yang kuat akan adanya timoma pada pasien muda dengan miastenia gravis.Hal ini disebabkan dalam serum 10 beberapa pasien dengan miastenia gravis menunjukkan adanya antibodi yang berikatan dalam pola cross-striational pada otot rangka dan otot jantung penderita. Anti-asetilkolin reseptor antibodi Hasil dari pemeriksaan ini dapat digunakan untuk mendiagnosis suatu miastenia gravis, dimana terdapat hasil yang postitif pada 74% pasien.80% dari penderita miastenia gravis generalisata dan 50% dari penderita dengan miastenia okular murni menunjukkan hasil tes anti-asetilkolin reseptor antibodi yang positif. Pada pasien timomatanpa miastenia gravis sering kali terjadifalse positive anti-AChR antibody.

Elektrodiagnostik

Pemeriksaan elektrodiagnostik dapat memperlihatkan defek pada transmisi neuromuscular.

b. Apa diagnosis banding pada kasus? - Adanya ptosis atau strabismus dapat juga disebabkan oleh lesi nervus III pada beberapa penyakit selain miasenia gravis, antara lain :

- Meningitis basalis (tuberkulosa atau luetika)

- Infiltrasi karsinoma anaplastik dari nasofaring

- Aneurisma di sirkulus arteriosus Willisii

- Paralisis pasca difteri

- Pseudoptosis pada trachoma

- Apabila terdapat suatu diplopia yang transient maka kemungkinan adanya suatu sklerosis multipleks.

- Sindrom Eaton-Lambert (Lambert-Eaton Myasthenic Syndrome)

c. Apa diagnosis kerja pada kasus? Miastenia Gravis

d. Apa saja klasifikasi dari diagnosis kerja pada kasus? Kelas IAdanya kelemahan otot-otot ocular , kelemahan pada saat menutup mata dan kekuatan otot-otot lain normal.

Kelas II

Kelas IIa

Kelas IIbTerdapat kelemahan otot ocular yang semakin parah, serta adanya kelemahan ringan pada saat otot-otot lain selain otot ocular.

Mempengaruhi otot-otot aksial , anggota tubuh atau keduanya. Juga terdapat kelemahan otot-otot orofaringeal yang ringan.

Mempengaruhi otot-otot orofaringeal , otot pernapasan atau keduanya. Kelemahan pada otot-otot anggota tubuh dan otot-otot aksial lebih ringan dibandingkan kelas IIa.

Kelas III

Kelas IIIa

Kelas IIIbTerdapat kelemahan yang berat pada otot-otot ocular. Sedangkan otot-otot lain selain otot-otot ocular mengalami kelemahan tingkat sedang.

Mempengaruhi otot-otot anggota tubuh , otot-otot aksial atau keduanya secara predominan. Terdapat kelemahan otot orofaringeal yang ringan

Mempengaruhi otot orofaringeal , otot-otot pernapasan atau keduanya secara predominan. Terdapat kelemahan otot-otot anggota tubuh , otot-otot aksial atau keduanya dalam derajat ringan

Kelas IV

Kelas IVa

Kelas IVbOtot-otot lain selain otot-otot ocular mengalami kelemahan dalam derajat yang berat , sedangkan otot-otot ocular mengalami kelemahan dalam berbagai derajat

Secara predominan mempengaruhi otot-otot anggota tubuh dan atau otot-otot aksial. Otot orofaringeal mengalami kelemahan dalam derajat ringan

Mempengaruhi otot orofaringeal , otot-otot pernapasan atau keduanya secara predominan. Selain itu juga terdapat kelemahan pada otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya dengan derajat ringan. Penderita menggunakan feeding tube tanpa dilakukan intubasi

Kelas VPenderita terintubasi, dengan atau tanpa ventilasi mekanik

e. Apa etiologi pada kasus? Etiologi : belum diketahui, kemungkinan suatu penyakit autoimun dan thymus mungkin membuat antibodi terhadap end plate protein otot.

Penyebab lain diantaranya : aktivitas cholinesterase yang berlebihan, hambatan depolarisasi oleh choline dan kompetitif blok dari reseptor protein oleh suatu zat yang mirip curare.

f. Apa faktor resiko pada kasus? a. Infeksi (virus)

b. Pembedahan

c. Stress

d. Perubahan hormonal

e. Alkohol

f. Tumor mediastinum

g. Obat-obatan

g. Bagaimana patofisiologi pada kasus? Observasi klinik yang mendukung hal ini mencakup timbulnya kelainan autoimun yang terkait dengan pasien yang menderita miastenia gravis, misalnya autoimun tiroiditis, sistemik lupus eritematosus, arthritis rheumatoid, dan lain-lain. Sehingga mekanisme imunogenik memegang peranan yang sangat penting pada patofisiologi miastenia gravis. Hal inilah yang memegang peranan penting pada melemahnya otot penderita dengan miatenia gravis.

Tidak diragukan lagi, bahwa antibody pada reseptor nikotinik asetilkolin merupakan penyebab utama kelemahan otot pasien dengan miastenia gravis. Autoantibodi terhadap asetilkolin reseptor (anti-AChRs), telah dideteksi pada serum 90% pasien yang menderita acquired myasthenia gravis generalisata. Miastenia gravis dapat dikatakan sebagai penyakit terkait sel B, dimana antibodi yang merupakan produk dari sel B justru melawan reseptor asetilkolin. Peranan sel T pada patogenesis miastenia gravis mulai semakin menonjol.

Walaupun mekanisme pasti tentang hilangnya toleransi imunologik terhadap reseptor asetilkolin pada penderita miastenia gravis belum sepenuhnya dapat dimengerti.Timus merupakan organ sentral terhadap imunitas yang terkait dengan sel T, dimana abnormalitas pada timus seperti hiperplasia timus atau timoma, biasanya muncul lebih awal pada pasien dengan gejala miastenik. Subunit alfa juga merupakan binding site dari asetilkolin. Sehingga pada pasien miastenia gravis, antibodi IgG dikomposisikan dalam berbagai subklas yang berbeda, dimana satu antibodi secara langsung melawan area imunogenik utama pada subunit alfa. Ikatan antibodi reseptor asetilkolin pada reseptor asetilkolin akan mengakibatkan terhalangnya transmisi neuromuskular melalui beberapa cara, antara lain : ikatan silang reseptor asetilkolin terhadap antibodi anti-reseptor asetilkolin dan mengurangi jumlah reseptor asetilkolin padaneuromuscular junction dengan cara menghancurkan sambungan ikatan pada membran post sinaptik, sehingga mengurangi area permukaan yang dapat digunakan untuk insersi reseptor-reseptor asetilkolin yang baru disintesis.

h. Bagaimana manifestasi klinis pada kasus? a. Kelopak mata turun sebelah atau layu (asimetrik ptosis)

b. Penglihatan ganda

c. Kelemahan otot pada jari-jari, tangan dan kaki (seperti gejala stroke tapi tidak disertai gejala stroke lainnya)

d. Gangguan menelan seringkali menyebabkan penderita tersedak.

e. Gangguan bicara

f. Dan gejala berat berupa melemahnya otot pernapasan (respiratory paralysis)

g. Yang khas adalah otot menjadi semakin lemah. Penderita mengalami kesulitan dalam menaiki tangga, mengangkat benda dan bisa terjadi kelumpuhan.

i. Bagaimana pencegahan dan penatalaksaan pada kasus? Terapi Jangka Pendek untuk Intervensi Keadaan Akut

1. Plasma Exchange (PE)

Dasar terapi dengan PE adalah pemindahan anti-asetilkolin secara efektif. Respon dari terapi ini adalah menurunnya titer antibodi. PE paling efektif digunakan pada situasi dimana terapi jangka pendek yang menguntungkan menjadi prioritas. Terapi ini digunakan pada pasien yang akan memasuki atau sedang mengalami masa krisis. PE dapat memaksimalkan tenaga pasien yang akan menjalani thymektomi .

2. Intravenous Immunoglobulin (IVIG)

Produk tertentu dimana 99% merupakan IgG adalah complement-activating aggregates yang relatif aman untuk diberikan secara intravena. Dosis standar IVIG adalah 400 mg/kgbb/hari pada 5 hari pertama, dilanjutkan 1 gram/kgbb/hari selama 2 hari. IVIG dilaporkan memiliki keuntungan klinis berupa penurunan level anti-asetilkolin reseptor yang dimulai sejak 10 hingga 15 hari sejak dilakukan pemasangan infus.

3. Intravenous Methylprednisolone (IVMp)

IVMp diberikan dengan dosis 2 gram dalam waktu 12 jam. Bila tidak ada respon, maka pemberian dapat diulangi 5 hari kemudian. Jika respon masih juga tidak ada, maka pemberian dapat diulangi 5 hari kemudian. Sekitar 10 dari 15 pasien menunjukkan respon terhadap IVMp pada terapi kedua, sedangkan 2 pasien lainnya menunjukkan respon pada terapi ketiga. Efek maksimal tercapai dalam waktu sekitar 1 minggu setelah terapi. Penggunaan IVMp pada keadaan krisis akan dipertimbangkan apabila terpai lain gagal atau tidak dapat digunakan.

4. Agens-agens antikolinesterase

Obat-obatan ini beraksi dengan meningkatkan kosentrasi asetilkolin yang relatif tersedia pada prsimpangan neuromuskular. Mereka diberikan untuk meningkatkan kekuatan otot. Kadang diberikan untuk mengurangi simpomatik. Obat-obatan yang digunakan piridostigmin bromida (Mestinon), ambenonium khlorida (Mytelase), dan neostigmin bromida (Prostigmin).

Pengobatan Farmakologi Jangka Panjang

1. Kortikosteroid

Kortikosteroid adalah terapi yang paling lama digunakan dan paling murah untuk pengobatan miastenia gravis. Respon terhadap pengobatan kortikosteroid mulai tampak dalam waktu 2-3 minggu setelah inisiasi terapi. Kortikosteroid diindikasikan pada penderita dengan gejala klinis yang sangat menggangu, yang tidak dapat di kontrol dengan antikolinesterase. Dosis maksimal penggunaan kortikosteroid adalah 60 mg/hari kemudian dilakukan tapering pada pemberiannya.

2. Azathioprine

Azathioprine biasanya digunakan pada pasien miastenia gravis yang secara relatif terkontrol tetapi menggunakan kortikosteroid dengan dosis tinggi. Azathioprine diberikan secara oral dengan dosis pemeliharaan 2-3 mg/kgbb/hari. Pasien diberikan dosis awal sebesar 25-50 mg/hari hingga dosis optimal tercapai.

3. Cyclosporine

Cyclosporine berpengaruh pada produksi dan pelepasan interleukin-2 dari sel T-helper. Dosis awal pemberian Cyclosporine sekitar 5 mg/kgbb/hari terbagi dalam dua atau tiga dosis.

5. Thymectomy (Surgical Care)

Tujuan neurologi utama dari Thymectomi ini adalah tercapainya perbaikan signifikan dari kelemahan pasien, mengurangi dosis obat yang harus dikonsumsi pasien, serta idealnya adalah kesembuhan yang permanen dari pasien (Anonim, 2008). \Secara umum, kebanyakan pasien mulai mengalami perbaikan dalam waktu satu tahun setelah thymektomi dan tidak sedikit yang menunjukkan remisi yang permanen (tidak ada lagi kelemahan serta obat-obatan).

Penatalaksaan utama pada miastenia gravis dapat diobati dengan antikolinesterase (asetilkolinesterase inhibitor) dan terapi imunomudulasi. Antikolinesterase biasanya digunakan pada miastenia gravis yang ringan. Sedangkan pada pasien dengan miastenia gravis generalisata, perlu dilakukan terapi imunomudulasi yang rutin. Terapi imunosupresif dan imunomodulasi yang dikombainasikan dengan pemberian antibiotik dan penunjang ventilasi, mampu menghambat terjadinya mortalitas dan menurunkan morbiditas pada penderita miastenia gravis. Pengobatan ini dapat digolongkan menjadi terapi yang dapat memulihkan kekuatan otot secara cepat dan tepat yang memiliki onset lebih lambat tetapi memiliki efek yang lebih lama sehingga dapat mencegah terjadinya kekambuhan

Pencegahan Myasthenia Gravis

Seperti pada penyakit autoimun lainnya, tidak ada yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya myasthenia gravis, karena bukan disebabkan oleh sesuatu yang bisa kita hindari.

j. Bagaimana komplikasi pada kasus? Komplikasi yang dapat terjadi pada miastenia gravis, yaitu krisis miastenik dan krisis kolinergik. Krisis miastenik terjadi akibat perburukan penyakit, ditandai dengan gejala memberat dan sering disertai distres dan kegagalan napas.

Krisis kolinergik terjadi akibat dosis penghambat kolinesterase berlebihan seperti neostigmin, piridostigmin, dan physostigmine. Gejala berupa gejala kolinergik, seperti diare, kram abdominal, hipersalivasi, lakrimasi, inkontinensia urin, hipermotilitas saluran gastrointestinal, emesis, miosis. Krisis kolinergik dapat menyebabkan bronkospasme, seperti wheezing, bronchorrhea, kegagalan napas, diaforesis, dan sianosis.

k. Bagaimana prognosis pada kasus? Prognosis bonam karena miastenia yang diderita masih dalam tahap awal.

l. Apa SKDI pada kasus? 3B : Mampu mendiagnosis, tatalaksana kedawatdaruratan, dan merujuk.IV. Learning Issue

1. Anatomi dan Fisiologi PalpebraA. Anatomi

Palpebra atau kelopak mata mempunyai fungsi melindungi bola mata serta mengeluarkan sekresi kelenjarnya yang membentuk film air mata didepan kornea.palpebra merupakan alat menutup mata yang berguna melindungi bola mata terhadap trauma sinar dan pengeringan bola mata yang dibutuhkan untuk penglihatan. kedipan bola mata dapat menyingkirkan debu yang masuk.

Fungsi Palpebra:

Pelindung mekanik bola mata.

Menghasilkan komponen lipid untuk air mata.

Membantu membasahi kornea.

Batas-batas palpebral:

Batas superior : daerah alis dan rima orbita superior.

Batas inferior : dari rima orbita inferior sampai ke kulit nasojugal dan lipatan malar.

Lebar horizontal fisura =30 mm vertikal 8-10 mm.

Terdapat 7 Lapisan Palpebra, yaitu:

1. Kulit & jaringan subkutan.

Sangat tipis dan elastis.

Tidak mempunyai lapisan lemak subkutan

Lapisan dermis: jaringan ikat longgar yang mengandung serat elastin,pemb darah,limfe dan saraf. Lapisan subkutan: folikel rambut & kelenjar sebacea.

2. Otot protraktor.

M.Orbikularis okuli yang melingkari fisura orbita yang dipersyarafi oleh N. VII

Terdiri dari Tiga bagian :

b. Orbikularis orbital, c. Orbikularis preseptal,

d. Orbikularis pretarsal.

3. Septum orbita.

Jaringan ikat berlapis berasal dari periosteum pada rima orbita superior-inferior di daerah arkus marginalis.

Fungsi: sebagai barier antara orbita dan palpebra.

4. Lemak orbita.

Normal: letak di posterior septum orbita dan anterior dari aponeurosis levator.

Dapat mengalami herniasi ke palpebra.

Bantalan lemak sentral penting untuk operasi palpebra elektif dan repair laserasi palpebra.

5. Otot retraktor.

Otot rektraktor palpebra superior: m. levator dan aponeurosisnya dan m.tarsalis superior (muller).

Otot retraktor palpebra inferior: fasia kampsulopalpebral dan m.tarsalis inferior.

M.Levator palpebra : otot utama dan berfungsi mengangkat palpebra superior sekitar 15 mm.

M.Muller : fungsi memberi tambahan tonus dan hilang bila kelelahan atau paralisis dan palpebra turun 2 mm.

6. Tarsus.

Terdiri dari jaringan padat.

Berfungsi sebagai rangka palpebra.

Ukuran tarsus superior: lebar 10 mm di sentral,panjang 25-29mm dan tebal 1 mm.

Ukuran tarsus inferior: lebar 3.5-4 mm di sentral,panjang 25-29 mm dan tebal 1 mm.

Mengandung kelenjar Meibom: 30-40 di palpebra superior ,20-30 di palpebra inferior

7. Konjungtiva

Terdiri dari:

Konjungtiva palpebra.

Konjungtiva forniks.

Konjungtiva bulbi.

Persarafan Palpebra:

2 saraf motorik untuk gerakan palpebra.

N.III: mempersarafi m.levator palpebra untuk mengangkat palpebra superior dan m.rektus inferior.

N.VII mempersarafi m.orbikularis okuli.

Visual pathway consists of: Retina

Optic nerve

Optic chiasm

Optic tract

Lateral geniculate nucleus (body)

Optic radiation ( geniculo calcarina tract )

Visual cortex

B. Fisiologi

Mekanisme Menutup dan membuka mata

Diawali dari adanya rangsangan dari saraf simpatis ( pengeluaran adrenalin ( Pembukaan dan penutupan palpebra diperantarai oleh muskulus orbikularis okuli dan muskulus levator palpebra.

Menutup mata:

Muskulus orbikularis okuli pada kelopak mata atas dan bawah mampu mempertemukan kedua kelopak mata secara tepat pada saat menutup mata.

Membuka mata:Pada saat membuka mata, terjadi relaksasi dari muskulus orbikularis okuli dan kontraksi dari muskulus levator palpebra di palpebra superior2. Penyakit dengan ptosis (Miastenia gravis)Miastenia gravisMiastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu kelemahan abnormal dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan secara terus-menerus dan disertai dengan kelelahan saat beraktivitas.Penyakit ini timbul karena adanya gangguan dari synaptic transmission atau pada neuromuscular junction. Dimana bila penderita beristirahat, maka tidak lama kemudian kekuatan otot akan pulih kembali

EPIDEMIOLOGI

Miastenia gravis merupakan penyakit yang jarang ditemui.Angka kejadiannya 20 dalam 100.000 populasi.Biasanya penyakit ini lebih sering tampak pada umurdiatas 50 tahun.Wanita lebih sering menderita penyakit ini dibandingkan pria dan dapat terjadi pada berbagai usia. Pada wanita, penyakit ini tampak pada usia yang lebih muda, yaitu sekitar 28 tahun, sedangkan pada pria, penyakit ini sering terjadi pada usia 60 tahun.

PATOFISIOLOGI

Observasi klinik yang mendukung hal ini mencakup timbulnya kelainan autoimun yang terkait dengan pasien yang menderita miastenia gravis, misalnya autoimun tiroiditis, sistemik lupus eritematosus, arthritis rheumatoid, dan lain-lain. Sehingga mekanisme imunogenik memegang peranan yang sangat penting pada patofisiologi miastenia gravis. Hal inilah yang memegang peranan penting pada melemahnya otot penderita dengan miatenia gravis.Tidak diragukan lagi, bahwa antibody pada reseptor nikotinik asetilkolin merupakan penyebab utama kelemahan otot pasien dengan miastenia gravis. Autoantibodi terhadap asetilkolin reseptor (anti-AChRs), telah dideteksi pada serum 90% pasien yang menderita acquired myasthenia gravis generalisata. Miastenia gravis dapat dikatakan sebagai penyakit terkait sel B, dimana antibodi yang merupakan produk dari sel B justru melawan reseptor asetilkolin. Peranan sel T pada patogenesis miastenia gravis mulai semakin menonjol.Walaupun mekanisme pasti tentang hilangnya toleransi imunologik terhadap reseptor asetilkolin pada penderita miastenia gravis belum sepenuhnya dapat dimengerti.Timus merupakan organ sentral terhadap imunitas yang terkait dengan sel T, dimana abnormalitas pada timus seperti hiperplasia timus atau timoma, biasanya muncul lebih awal pada pasien dengan gejala miastenik. Subunit alfa juga merupakan binding site dari asetilkolin. Sehingga pada pasien miastenia gravis, antibodi IgG dikomposisikan dalam berbagai subklas yang berbeda, dimana satu antibodi secara langsung melawan area imunogenik utama pada subunit alfa. Ikatan antibodi reseptor asetilkolin pada reseptor asetilkolin akan mengakibatkan terhalangnya transmisi neuromuskular melalui beberapa cara, antara lain : ikatan silang reseptor asetilkolin terhadap antibodi anti-reseptor asetilkolin dan mengurangi jumlah reseptor asetilkolin padaneuromuscular junction dengan cara menghancurkan sambungan ikatan pada membran post sinaptik, sehingga mengurangi area permukaan yang dapat digunakan untuk insersi reseptor-reseptor asetilkolin yang baru disintesis.

GEJALA KLINIS

Miastenia gravis dikarakteristikkan melalui adanya kelemahan yang berfluktuasi pada otot rangka dan kelemahan ini akan meningkat apabila sedang beraktivitas. Penderita akan merasa ototnya sangat lemah pada siang hari dan kelemahan ini akan berkurang apabila penderita beristirahat . Gejala klinis miastenia gravis antara lain adalah kelemahan pada otot ekstraokular atau ptosis. Ptosis yang merupakan salah satu gejalasering menjadi keluhan utama penderita miastenia gravis, ini disebabkan oleh kelumpuhan dari nervus okulomotorius.Walaupun pada miastenia gravis otot levator palpebra jelas lumpuh, namun ada kalanya otot-otot okular masih bergerak normal. Tetapi pada tahap lanjut kelumpuhan 6 otot okular kedua belah sisi akan melengkapi ptosis miastenia gravis2 . Sewaktu- waktu dapat pula timbul kelemahan dari otot masseter sehingga mulut penderita sukar untuk ditutup. Kelemahan otot bulbar juga sering terjadi, diikuti dengan kelemahan pada fleksi dan ekstensi kepala.Selain itu dapat pula timbul kesukaran menelan dan berbicara akibat kelemahan dari otot faring, lidah, pallatum molle, dan laring sehingga timbullahparesis dari pallatum molle yang akan menimbulkan suara sengau. Selain itu bila penderita minum air, mungkin air itu dapat keluar dari hidungnya.

3. Anatomi Neuromuscular Junction a. Anatomi

Pengetahuan tentang anatomi dan fungsi normal dari neuromuscular junction sangatlah penting sebelum memahami tentang miastenia gravis. Tiap-tiap serat saraf secara normal bercabang beberapa kali dan merangsang tiga hingga beberapa ratus serat otot rangka motor end-plate. Ujung-ujung saraf membuat suatu sambungan yang disebut neuromuscular junction atau sambungan neuromuscular. Membran presinaptik (membran saraf), membran post sinaptik (membran otot), dan celah sinaps merupakan bagian-bagian pembentuk neuromuscular junction. Bagian terminal dari saraf motorik melebar pada bagian akhirnya yang disebut terminal bulb, yang terbentang diantara celah-celah yang terdapat di sepanjang serat saraf.

Anatomi suatu Neuromuscular Junction

Anatomi suatu Neuromuscular Junction

e. Fisiologi Neuromuscular Junction

Fisiologi Neuromuscular Junction

Celah sinaps merupakan jarak antara membran presinaptik dan membran post sinaptik. Lebarnya berkisar antara 20-30 nano meter dan terisi oleh suatu lamina basalis, yang merupakan lapisan tipis

dengan serat retikular seperti busa yang dapat dilalui oleh cairan ekstraselular secara difusi (Newton, 2008). Terminal presinaptik mengandung vesikel yang didalamnya berisi asetilkolin (ACh). Asetilkolin disintesis dalam sitoplasma bagian terminal namun dengan cepat diabsorpsi ke dalam sejumlah vesikel sinaps yang kecil, yang dalam keadaan normal terdapat di bagian terminal suatu lempeng akhir motorik (motor end plate) (Howard, 2008; Newton, 2008).

Bila suatu impuls saraf tiba di neuromuscular junction, kira-kira 125 kantong asetilkolin dilepaskan dari terminal masuk ke dalam celah sinaps. Bila potensial aksi menyebar ke seluruh terminal, maka akan terjadi difusi dari ion-ion kalsium ke bagian dalam terminal. Ion-ion kalsium ini kemudian diduga mempunyai pengaruh tarikan terhadap vesikel asetilkolin. Beberapa vesikel akan bersatu ke membran saraf dan mengeluarkan asetilkolinnya ke dalam celah sinaps. Asetilkolin yang dilepaskan berdifusi sepanjang sinaps dan berikatan dengan reseptor asetilkolin (AChRs) pada membran post sinaptik (Howard, 2008; Newton, 2008).

Menurut Murray (1999) secara biokimiawi keseluruhan proses pada neuromuscular junction dianggap berlangsung dalam 6 tahap, yaitu :

1. Sintesis asetil kolin terjadi dalam sitosol terminal saraf dengan menggunakan enzim kolin asetiltransferase yang mengkatalisasi reaksi berikut ini:

Asetil-KoA + Kolin Asetilkolin + KoA

2. Asetilkolin kemudian disatukan ke dalam partikel kecil terikat-membran yang disebut vesikel sinap dan disimpan di dalam vesikel ini.

3. Pelepasan asetilkolin dari vesikel ke dalam celah sinaps merupakan tahap berikutnya. Peristiwa ini terjadi melalui eksositosis yang melibatkan fusi vesikel dengan membran presinaptik. Dalam keadaan istirahat, kuanta tunggal (sekitar 10.000 molekul transmitter yang mungkin sesuai dengan isi satu vesikel sinaps) akan dilepaskan secara spontan sehingga menghasilkan potensial endplate miniature yang kecil. Kalau sebuah akhir saraf mengalami depolarisasi akibat transmisi sebuah impuls saraf, proses ini akan membuka saluran Ca2+ yang sensitive terhadap voltase listrik sehingga memungkinkan aliran masuk Ca2+ dari ruang sinaps ke terminal saraf. Ion Ca2+ ini memerankan peranan yang esensial dalam eksositosis yang melepaskan asitilkolin (isi kurang lebih 125 vesikel) ke dalam rongga sinaps.

4. Asetilkolin yang dilepaskan akan berdifusi dengan cepat melintasi celah sinaps ke dalam reseptor di dalam lipatan taut (junctional fold), merupakan bagian yang menonjol dari motor end plate yang mengandung reseptor asetilkolin (AChR) dengan kerapatan yang tinggi dan sangat rapat dengan terminal saraf. Kalau 2 molekul asetilkolin terikat pada sebuah reseptor, maka reseptor ini akan mengalami perubahan bentuk dengan membuka saluran dalam reseptor yang memungkinkan aliran kation melintasi membran. Masuknya ion Na+ akan menimbulkan depolarisasi membran otot sehingga terbentuk potensial end plate. Keadaan ini selanjutnya akan menimbulkan depolarisasi membran otot di dekatnya dan terjadi potensial aksi yang ditransmisikan disepanjang serabut saraf sehingga timbul kontraksi otot.

5. Kalau saluran tersebut menutup, asetilkolin akan terurai dan

dihidrolisis oleh enzim asetilkolinesterase yang mengkatalisasi reaksi berikut:

Asetilkolin + H2O Asetat + Kolin

Enzim yang penting ini terdapat dengan jumlah yang besar dalam lamina basalis rongga sinaps.

6. Kolin didaur ulang ke dalam terminal saraf melalui mekanisme transport aktif di mana protein tersebut dapat digunakan kembali bagi sintesis asetilkolin. Setiap reseptor asetilkolin merupakan kompleks protein besar dengan saluran yang akan segera terbuka setelah melekatnya asetilkolin. Kompleks ini terdiri dari 5 protein subunit, yatiu 2 protein alfa, dan masing-masing satu protein beta, delta, dan gamma. Melekatnya asetilkolin memungkinkan natrium dapat bergerak secara mudah melewati saluran tersebut, sehingga akan terjadi depolarisasi parsial dari membran post sinaptik. Peristiwa ini akan menyebabkan suatu perubahan potensial setempat pada membran serat otot yang disebut excitatory postsynaptic potential (potensial lempeng akhir). Apabila pembukaan gerbang natrium telah mencukupi, maka akan terjadi suatu potensial aksi pada membran otot yang selanjutnya menyebabkan kontraksi otot (Howard, 2008; Newton, 2008).

f. Kontraksi Otot Rangka

Mekanisme terjadinya kontraksi otot rangka mulai dari dilepaskannya neurotransmitter ke motor-end-plate sampai pada relaksasi otot rangka. Saat impuls saraf mencapai neuromuscular junction, sekitar 300 vesikel asetilkolin dilepaskan dari membrane presinaps ke membrane sel otot yang mempunyai reseptor asetilkolin. Protein-protein membrane di membrane presinaps diduga merupakan voltage-gated calcium channel karena apabila potensial aksi telah mencapai terminal akson, celah ini akan terbuka dan Ca2+ berdifusi ke membrane presinaps yang akan menyebabkan vesikel asetilkolin tergerak menuju membrane presinaps dan selanjutnya akan dikeluarkan melalui mekanisme eksositosis.

Asetilkolin yang telah dilepaskan terikat di reseptor asetilkolin pada membrane sel otot. Membrane ini merupakan acetylcholine-gated ion channel yang akan terbuka bila ada asetilkolin yang melekat. Ach-gated ion channel akan terbuka sehingga memungkinkan ion-ion positif untuk masuk, seperti Na+, K+, dan Ca2+. Ion negative tidak bisa memasuki membrane karena didalam membrane terdapat muatan negative yang kuat sehingga terjadi reaksi tolak menolak. Influx Na+ yang massif membuat potensial aksi local di serat otot yang segera menginisiasi potensial aksi pada membrane sel otot dan akhirnya terjadi kontraksi otot.

Asetilkolin yang dilepaskan ke sinaps akan terus mengaktivasi reseptor asetilkolin selama keberadaanya di sinaps tersebut. Akan tetapi, asetilkolin cepat dipindahkan karena sebagian besar di degradasi oleh enzim asetilkolinesterase yang terdapat pada lamina basalis, dan yang sebagian lagi berdifusi keluar dari membrane sinaps.

Potensial aksi disebarkan melalui tubulus transverses yang menembus seluruh serabut otot. Potensial aksi di tubulus transviersus menyebabkan reticulum sarcoplasma mengeluarkan ion Ca2+ di tempat dekat dengan myofibril dan akan menyebabkan kontraksi. Ca2+ berdifusi ke myofibril terdekat dan berikatan dengan troponin C dan terjadilah kontraksi.

Jika aktivitas listrik local berhenti, Ca2+ dikembalikan ke kantong lateral reticulum sarcoplasma melalui mekanisme pompa Ca2+-ATPase. Aktivitas listrik terhenti jika asetilkolinesterase yang menyingkirkan asetilkolin dari neuromuscular junction. Jika tidak ada Ca2+ ditempat myofibril, troponin-tropomiosin bergeser ke sisi aktif aktin sehingga tidak dapat melekat pada kepala myosin (aktin kembali ke posisi semula) dan terjadilah relaksasi otot. V. Kerangka Konsep

VI. Kesimpulan

Nn. Sinta mengalami ptosis bilateral karena menderita miastenia gravis grade 2

Daftar Pustaka

Aashit K Shah ,MD, Myasthenia Gravis,Emedicine, diunduh dari http://emedicine. medscape.com, diunduh 8 September 2015

Amra,AA.2009.Koreksi Ptosis dengan Teknik Eksisi Levator Eksternal.[online].Cited:8 eptember 2015 . Available from http://repository.usu.ac.id/bitsream/123456789/1/09E01373.pdfAdnyana Made Oka, dkk. 2011. Diagnosis dan Tatalaksana Miastenia Gravis. Fakultas Kedokteran Universitas UdayanaEngel, A. G. MD. Myasthenia Gravis and Myasthenic Syndromes. Ann Neurol 16: Page: 519-534. 1984.

Guyton & Hall, (1997). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Penerbit EGC. Jakarta

Harsono.2011.Buku Ajar Neurologi Klinis.Gadjah Mada University Press:Jakarta

Howard, J. F. Myasthenia Gravis, a Summary. Available at : http://www.ninds.nih.gov/disorders/myasthenia_gravis/detail_myasthenia_gravis.htm. Accessed : March 22, 2008.

Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 2009. h:1-12.

Johns Hopkins Medicine. (n.d). Myasthenia Gravis. Retrieved from http://www.hopkinsmedicine.org/healthlibrary/conditions/nervous_system_disorders/myasthenia_gravis_85,P07785/.07-09-2015Krucik, George.What causes droopy eyelid.Retrieved from http://www.healthline.com /symptom/droopy-eyelid.08-09-2015

Lewis, R.A, Selwa J.F, Lisak, R.P. Myasthenia Gravis: Immunological Mechanisms and Immunotherapy. Ann Neurol. 37(S1):S51-S62. 1995.

Mardjono, Mahar. 2013. Neurologi Klinis Dasar Ed 16. Jakarta : Dian Rakyat. Halaman 1 12

National institute of neurological disorder and stroke (NINDS). (2010). Myasthenia Gravis Fact Sheet. Retrieved from http://www.ninds.nih.gov/disorders/myastheniagravis/ detail_myasthenia_gravis.htm.07-09-2015

Ngoerah, I. G. N. G, Dasar-dasar Ilmu Penyakit Saraf. Airlanga University Press. Page: 301-305. 1991.

Snell, S Richard.2000.Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran.Jakarta:Buku Kedokteran EGC

Sylvia A Price, dan Lorraine M. Wilson. 2005. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6 Volume 1. Jakarta : EGC

Radjiman T, dkk. Ilmu Penyakit Mata, Penerbit Airlangga, Surabaya, 1984. h:1-8.

Vaughan,dkk.2007.Oftalmologi Umum.Jakarta:Buku Kedokteran EGC

Yayasan Myasthenia Gravis Indonesia, sejarah Myasthenia Gravis,diunduh dari http://www.Miastenia Gravisindonesia.org/ pada tanggal 8 September 2015

Sel B Memproduksi Antibodi Anti AcH R

Menurunnya jumlah reseptor AcH di endplate

Menurunnya asetilokolin dari presinaps ke postsinaps

Menurunnya potensial aksi

Menurunnya kontraksi otot

Miastenia gravis

Antibody memblokade jalan asetilkolin ke reseptor

Menurunnya reseptor ACH di M. levator palpebra

Adanya aktivitas yang berat

Kedua kelopak mata sulit dibuka

Ptosis bilateral

Kerja otot semakin lemah

Lemah saat beraktivitas

Refleks fisiologis menurun

Faktor usia

Faktor jenis kelamin

Anti AcH R menyerang reseptor AcH di endplate

Kelemahan otot

Kelemahan otot

Kelemahan otot

Kelemahan otot

Kelemahan otot

iiLaporan Skenario C Blok 19 2015 Kelompok 10