laporan tutorial skenario 3
DESCRIPTION
kmlkmkTRANSCRIPT
LAPORAN TUTORIAL SKENARIO 3
MALARIA(blok hematopoetik dan limforetikuler)
DISUSUN OLEH: KELOMPOK 1
ANGGOTA:
A.A. Ngurah Manik (H1A012001)
Abdul Basyit Bafadhal (H1A012002)
Agnesia Naathiq (H1A012003)
Ainun Fahira (H1A012004)
Amalia Ashfarina (H1A012005)
Pandu Putra Anugrah (H1A012048)
Pitaloka Yuniartiningtyas (H1A212049)
Siti Sovia Yuliana (H1A012057)
Surya Meka Novita Sari (H1A212058)
Yuyun Puspitarini (H1A012062)
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM
2014
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat dan
hidayahNya kami dapat menyelesaikan Laporan Tutorial Pertama sebagai suatu laporan atas
hasil diskusi kami yang berkaitan dengan kegiatan tutorial pada Blok XI semester IV ini. Pada
skenario yang berjudul “malaria”, kami membahas masalah yang terkait dengan pathogenesis
dari terjadinya malaria, klasifikasi malaria, manifestasi klinis, diagnosis banding, serta
penegakan diagnose malaria.
Kami mohon maaf jika dalam laporan ini terdapat banyak kekurangan dalam menggali
semua aspek yang menyangkut segala hal yang berhubungan dengan scenario ketiga ini baik
pada Learning Objective yang kami cari ataupun pada pembahasan yang kurang memuaskan.
Karena ini semua disebabkan oleh keterbatasan kami sebagai manusia. Tetapi, kami berharap
laporan ini dapat memberi pengetahuan serta manfaat kapada pembaca.
Mataram, 2 Mei 2014
(Kelompok Tutorial 1)
DAFTAR ISI
Halaman judul ………………………………………………………………… i
Kata pengantar ………………………………………………………………… ii
Daftar isi ………………………………………………………………………. iii
Scenario ……………………………………………………………………….. iv
Mind mapping …………………………………………………………………. v
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ……………………………………………………………… 1
B. Learning Obyektif ………………………………………………………….. 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Definisi Malaria ……………………………………………………………. 2
B. Klasifikasi Malaria …………………………………………………………. 4
C. Epidemiologi Malaria ……………………………………………………… 9
D. Etiologi Malaria ……………………………………………………………. 10
E. Patofisiologi Dan Patogenesis Malaria …………………………………….. 14
F. Penegakan Diagnosis Malaria ……………………………………………… 18
G. Tatalaksana Malaria ………………………………………………………… 22
H. Prognosis & Komplikasi Malaria (Malaria Berat) ………………………… 30
I. Pencegahan Malaria ………………………………………………………… 33
BAB III PENUTUP ……………………………………………………………. 34
Daftar Pustaka ………………………………………………………………….. 35
SKENARIO III
Seorang pria berusia 24 tahun, datang ke puskesmas dengan keluhan demam sejak
seminggu yang lalu. Demam dirasakan tidak pernah turun walaupun pasien telah mengkonsumsi
obat penurun panas yang dibeli sendiri di apotek. Demam diakui pasien disertai dengan
menggigil dan berkeringat. Selain itu juga ia sering mengeluh nyeri kepala, nyeri otot dan mual.
Ia juga mengeluh mengalami muntah dan diare sejak kemarin sore. Hal ini membuat nafsu
makannya menurun, dan saat ini ia merasa sangat lemas. BAB dalam batas normal, BAK warna
urine seperti teh sejak 2 hari yang lalu. Pada anamnesis juga didapatkan informasi bahwa pasien
ini adalah mahasiswa pecinta alam yang baru pulang berkemah 3 minggu yang lalu.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran kompos mentis, tekanan darah 105/70
mmHg, frekuensi napas 24x/menit, denyut nadi 112x/menit, suhu 39,50 C. Konjungtiva tampak
pucat, terdapat nyeri tekan epigastrium, telapak tangan pucat. Hasil pemeriksaan laboratorium:
Leukosit 12.000/mm3, trombosit 146.000/mm3, Hb 8,0 gr%, Ht 26%. Hasil pemeriksaan
hapusan darah tepi didapatkan Plasmodium Falciparum (++).
MIND MAPPING
ANAMNESIS:DEMAM INTEMITTEN
TRIAS MALARIAURINE TEH
RIWAYAT PERGI KEDAEERAH ENDEMIK
PEMERIKSAAN FISIK:HEPATOMEGALI, SPLENOMEGALI
DIAGNOSIS
TATALAKSANA
PROGNOSISKOMPLIKASIPENCEGAHA
N
PEMERIKSAAN PENUNJANG:
APUSAN DARAH TEPI
RDT
DIAGNOSIS BANDING:
DHF, DEMAM TIFOID,
LEPTOSPIROSIS,
OBSERVASI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Malaria masih menjadi masalah kesehatan global di 40 % populasi dunia, lebih dari 2400
juta orang berisiko terpapar malaria di 100 negara. Ditambah lagi dengan meningkatnya orang
bepergian dari tempat yang non malaria terinfeksi dan biasanya menjadi parah setelah kembali
ke daerah asalnya.
Terdapat 4 jenis spesies parasit yang berbeda, yaitu Plasmodium falsiparum, P.Vivax, P.
Ovale dan P. Malariae. Malaria Tropika yang disebabkan oleh P. falsiparum, merupakan
penyebab sebagian besar kematian akibat malaria. Plasmodium falsiparum sering dapat
menyebabkan malaria berat.3 Plasmodium ini membunuh > 1 juta orang tiap tahunnya. Malaria
dengan komplikasi digolongkan sebagai malaria berat, yaitu menurut definisi WHO tahun 2010,
merupakan infeksi Plasmodium falsiparum stadium aseksual dengan satu atau lebih komplikasi
berupa : malaria cerebral, anemia berat, gagal ginjal akut, edema paru, hipoglikemi, syok,
perdarahan, kejang, asidosis dan makroskopis hemoglobinuria.
Plasmodium falciparum menyebabkan bentuk yang berat dari infeksi malaria dan
biasanya terjadi di daerah tropis. Infeksi parasit ini dapat mematikan bila kurangnya
pengetahuan tentang pengenalan penyakit dan komplikasinya serta penanganan yang tepat.
Kondisi ini menjadi lebih rumit dengan adanya peningkatan angka kejadian plasmodium
falciparum yang resisten terhadap klorokuin dan anti malaria lainnya. Penanganan yang tepat
sangat diperlukan terutama pada penderita resiko tinggi seperti anak-anak dan wanita hamil.
Sekitar 41 % dari populasi penduduk dunia tinggal di daerah malaria (Afrika, Asia,
Timur Tengah, Amerika tengah dan selatan, Hispaniola dan Oceania). Diperkirakan 700 ribu sd
2,7 juta orang meninggal karena malaria setiap tahunnya, 75 % diantaranya adalah anak di
Afrika. Di Afrika sebagai daerah transmisi malaria yang tinggi, sekitar 990.000 orang mati
karena malaria pada tahun 1995, atau sekitra 2700 orang per hari atau 2 orang per menit. Pada
tahun 2002 malaria adalah penyebab kematian keempat pada anak di negara sedang berkembang.
Tidak semua penyakit dan kematian karena malaria datang ke rumah sakit maka angka ini
seharusnya lebih tinggi.
Petunjuk pengenalan dan penatalaksanaan untuk malaria berat mendapat perhatian lebih
dari badan dunia termasuk WHO . WHO mengeluarkan petunjuk penatalaksanaan malaria pada
tahun 1991 dan sudah mengalami beberapa kali revisi. Selain itu pedoman untuk
penatalaksanaan malaria juga sudah direvisi beberapakali oleh Departemen Kesehatan Republik
Indonesia.
B. Learning obyektif
1. Definisi Malaria
2. Klasifikasi malaria
3. Epidemiologi malaria
4. Etiologi malaria
5. Patofisiologi Dan Patogenesis malaria
6. Penegakan diagnosis malaria
7. Tatalaksana malaria
8. Prognosis & Komplikasi malaria (malaria berat)
9. Pencegahan malaria
BAB II
PEMBAHASAN
1. Definisi malaria
MALARIA (Malaria adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh protozoa obiglat intraseluler
dari genus Plasmodium yang ditularkan oleh nyamuk Anopheles betina)
MALARIA BERAT = Malaria berat adalah penyakit malaria akibat infeksi Plasmodium
falsiparum aseksual dengan satu atau lebih komplikasi sebagai berikut:
2. Klasifikasi malaria
Jenis-Jenis Nyamuk Anopheles Atau Vektor Malaria
Indonesia merupakan daerah yang sangat luas yang terdiri dari pulau-pulau dari Sabang
sampai Merauke. Vektor penyakit malaria di Indonesia melalui nyamuk anopheles. Anopheles
dapat disebut vektor malaria disuatu daerah, apabila species anopheles tersebut di daerah yang
bersangkutan telah pernah terbukti positif mengandung sporosoit didalam kelenjar ludahnya.
Disuatu daerah tertentu apabila terdapat vektor malaria dari salah satu species nyamuk
anopheles, belum tentu di daerah lain juga mampu menularkan penyakit malaria.
Nyamuk anopheles dapat dikatakan sebagai vektor malaria apabila memenuhi
suatu persyaratan tertentu diantaranya seperti yang di sebutkan dibawah ini.
1. Kontaknya dengan manusia cukup besar.
2. Merupakan species yang selalu dominan.
3. Anggota populasi pada umumnya berumur cukup panjang, sehingga memungkinkan
perkembangan dan pertumbuhan plasmodium hingga menjadi sporosoit
4. Ditempat lain terbukti sebagai vektor
Ada beberapa jenis vektor malaria yang perlu diketahui diantaranya.
1. An. Aconitus.
2. An. Sundaicus.
3. An. Maculatus.
4. An. Barbirostris.
An. Aconitus
Vektor An. Aconitus pertama sekali ditemukan oleh Donitz pada tahun 1902. Vektor
jenis An. aconitus betina paling sering menghisap darah ternak dibandingkan darah manusia.
Perkembangan vektor jenis ini sangat erat hubungannya dengan lingkungan dimana kandang
ternak yang ditempatkan satu atap dengan rumah penduduk.
Vektor Aconims biasanya aktif mengigit pada waktu malam hari, hampir 80% dari vektor
ini bisa dijumpai diluar rumah penduduk antara jam 18.00 -22.00. Nyamuk jenis Aconitus ini
hanya mencari dm-ah didalam rumah penduduk. Setelah itu biasanya langsung keluar. Nyamuk
ini biasanya suka hinggap didaerah-daerah yang lembab. Seperti dipinggir-pinggir parit, tebing
sungai, dekat air yang selalu basah dan lembab.
Tempat perindukan vektor Aconitus terutama didaerah pesawahan dan saluran irigasi.
Persawahan yang berteras merupakan tempat yang baik untuk perkembangan nyamuk ini. Selain
disawah, jentik nyamuk ini ditemukan pula ditepi sungai yang airnya mengalir perlahan dan
kolam air tawar.
Distribusi dari An- Aconims, terdapat hubungan antara densitas dengan umur padi
disawah. Densitas mulai meninggi setelah tiga - empat minggu penanaman padi dan mencapai
puncaknya setelah padi berumur lima sampai enam minggu.
An. Sundaicus
An. Sundaictus pertama sekali ditemukan oleh Rodenwalt pada tahun 1925. Pada vektor
jenis ini umurnya lebih sering menghisap darah manusia dari pada darah binatang. Nyamuk ini
aktif menggigit sepanjang malam tetapi paling sering antara pukul 22.00 - 01.00 dini hari. Pada
waktu malam hari nyamuk masuk ke dalam rumah untuk mencari darah, hinggap didinding baik
sebelum maupun sesudah menghisap darah.
Perilaku istirahat nyamuk ini sangat berbeda antara lokasi yang satu dengan lokasi yang
lainnya. Di pantai Selatan Pulau Jawa dan pantai Timur Sumatera Utara, pada pagi hari,
sedangkan di daerah Cilacap dan lapangan dijumpai pada pagi hingga siang hari, jenis vektor An.
Sundaicus istirahat dengan hinggap didinding rumah penduduk. Jarak terbang An. Sundaicus
betina cukup jauh. Pada musim densitas tinggi, masih dijumpai nyamuk betina dalam jumlah
cukup banyak disuatu tempat yang berjarak kurang lebih 3 kilometer (Km) dari tempat
perindukan nyamuk tersebut .
Vektor An. Slmdaicus biasanya berkembang biak di air payau, yaitu campuran antara air
tawar dan air asin, dengan kadar garam optimum antara 12% -18%. Penyebaran jentik ditempat
perindukan tidak merata dipermukaan air, tetapi terkumpul ditempat-tempat tertutup seperti
diantara tanaman air yang mengapung, sampah dan rumput - rumput dipinggir Sungai atau pun
parit.
Genangan air payau yang digunakan sebagai tempat berkembang biak, adalah yang
terbuka yang mendapat sinar matahari langsung. Seperti pada muara sungai, tambak ikan, galian
-galian yang terisi air di sepanjang pantai dan lain -lain.
An. Maculatus.
Vektor An. Maculatus pertama sekali ditemukan oleh Theobaldt pada tahun 1901. Vektor
An. Maculatus betina lebih sering mengiisap darah binatang daripada darah manusia. Vektor
jenis ini akti fmencari darah pada malam hari antara pukul 21.00 hingga 03.00 Wib.
Nyamuk ini berkembang biak di daerah pegunungan. Dimana tempat perindukan yang
spesifik vektor An. Maculatus adalah di sungai yang kecil dengan air jernih, mata air yang
mendapat sinar matahari langsung. Di kolam dengan air jemih juga ditemukan jentik nyamuk ini,
meskipun densitasnya rendah. Densitas An. Maculatus tinggi pada musim kemarau, sedangkan
pada musim hujan vektor jenis ini agak berkurang karena tempat perindukan hanyut terbawa
banjir.
An. Barbirostris.
Vektor An. Barbirotris pertama sekali diidentifikasi oleh Van der Wulp pada tahun 1884.
Jenis nyamuk ini di Sumatera dan Jawa jarang dijumpai menggigit orang tetapi lebih sering
dijumpai menggigit binatang peliharaan. Sedangkan pada daerah Sulawesi, Nusa Tenggara
Timur dan Timor- Timur nyamuk ini lebih sering menggigit manusia daripada binatang. Jenis
nyamuk ini biasanya mencari darah pada waktu malam hingga dini hari berkisar antara pukul
23.00 -05.00. Frekuensi mencari darah tiap tiga hari sekali.
Pada siang hari nyamuk jenis ini hanya sedikit yang dapat ditangkap, didalam rumah penduduk,
karena tempat istirahat nyamuk ini adalah di alam terbuka. paling sering hinggap pada pohon-
pohon seperti pahon kopi, nenas dan tanaman perdu disekitar rumah. Tempat berkembang biak
(Perindukan) vektor ini biasanya di sawah –sawah dengan saluran irigasinya kolam dan rawa-
rawa. Penyebaran nyamuk jenis ini mempunyai hubungan cukup kuat dengan curah hujan
disuatu daerah. Dari pengamatan yang dilakukan didaerah Sulawesi Tenggara vektor An.
Barbirotris ini paling tinggi jumlahnya pada bulan Juni.
C. Epidemiologi malaria
Insiden Malaria pada penduduk Indonesia tahun 2013 adalah 1,9 persen menurun
dibanding tahun 2007 (2,9%), tetapi di Papua Barat mengalami peningkatan tajam jumlah
penderita malaria. Prevalensi malaria tahun 2013 adalah 6,0 persen. Lima provinsi dengan
insiden dan prevalensi tertinggi adalah Papua (9,8% dan 28,6%), Nusa Tenggara Timur (6,8%
dan 23,3%), Papua Barat (6,7% dan 19,4%), Sulawesi Tengah (5,1% dan 12,5%), dan Maluku
(3,8% dan 10,7%) (tabel 3.4.9). Dari 33 provinsi di Indonesia, 15 provinsi mempunyai prevalensi
malaria di atas angka nasional, sebagian besar berada di Indonesia Timur. Provinsi di Jawa-Bali
merupakan daerah dengan prevalensi malaria lebih rendah dibanding provinsi lain, tetapi
sebagian kasus malaria di Jawa-Bali terdeteksi bukan berdasarkan diagnosis oleh tenaga
kesehatan.
Gambar tersebut merupakan gambaran kejadian malaria yang terjadi di Provinsi Nusa
Tenggara Barat pada masing-masing Kabupaten. Terlihat bahwa, kasus malaria banyak terdapat
pada Kabupaten Lombok Barat, Lombok Utara, Sumbawa Barat, dan Lombok Tengah. Hal ini
terkait dengan area jangkauan vector malaria yang dapat dipengaruhi oleh arah angin,
kelembaban, ketinggian dari permukaan air laut, serta kuantitas hujan.
Sedangkan gambaran malaria berdasarkan parasit yang menginfeksi adalah:
Pengaruh keadaan geografis terhadap perkembangan malaria
Suhu yang mempengaruhi perkembangan parasit dalam nyamuk sekitar 20ºC dan 30ºC.
Nyamuk adalah binatang berdarah dingin dan karenanya proses metabolisme dan siklus
kehidupannya tergantung pada suhu lingkungan. Pertumbuhan nyamuk akan terhenti sama sekali
bila suhu kurang dari 10ºC atau lebih dari 40ºC.
Pada kelembapan yang lebih tinggi nyamuk menjadi aktif dan lebih sering menggigit,
sehingga meningkatkan penularan malaria. Tingkat kelembapan 60% merupakan batas paling
rendah untuk memungkinkan nyamuk hidup. Adanya kelembapan yang tinggi juga
mempengaruhi nyamuk untuk mencari tempat yang lembap dan basah di luar rumah sebagai
tempat hinggap istirahat pada siang hari.
Kecepatan angin yang dapat menghambat penerbangan nyamuk adalah 11-14 meter/detik
atau 25-31 mil/jam. Hal ini dapat mengakibatkan nyamuk bebas terbang ke daerah yang lainnya.
Kecepatan dan arah angin dapat mempengaruhi jarak terbang nyamuk dan ikut menentukan
jumlah kontak antara nyamuk dan manusia. Secara teoritis, nyamuk bisa terbang sampai 2-3 km,
namun pengaruh angin, jarak terbang nyamuk bisa mencapai 40 km. Bahkan dengan
perkembangan sarana transportasi, nyamuk bisa mencapai daerah yang jauh dengan menumpang
alat transportasi.
Terdapat hubungan langsung antara hujan dan perkembangan larva nyamuk menjadi
bentuk dewasa. Besar kecilnya pengaruh tergantung pada jenis hujan, derasnya hujan, jumlah
hari hujan, jenis vektor dan jenis tempat perindukan (breeding places). Hujan yang diselingi oleh
panas akan memperbesar kemungkinanberkembangbiaknya Anopheles. Curah hujan
mempengaruhipenyebaran malaria dengan menyediakan tempat bagi nyamuk Anopheles untuk
berkembang biak dan disertai peningkatan kelembaban udara rata-rata juga dapat mendukung
untuk bertahan hidup. Pengaruh hujan berbeda-beda menurut banyaknya hujan dankeadaan fisik
daerah.
Stadium telur, jentik dan kepompong nyamuk berada dalam air yang dinamakan breeding
places. Breeding places yang ditemui di daerah penelitian adalah pantai, tempayan, sungai,
kubangan air, lagun, kolam, parit dan genangan air. An. aconitus dan An. vagus memiliki habitat
pada sumur, parit, sawah. An. vagus merupakan spesies yang juga didapatkan pada perubahan
lingkungan seperti, sungai, perikanan dan tambak. Tempat perindukan nyamuk vektor An.
maculates tidak luas, berupa genangan air di pinggir sungai, rembesan dan sawah yang airnya
mengalir lambat. Jentik An. balabacensis kerapkali ditemukan dalam jumlah besar di tempat
genangan air terbuka, seperti kubangan. An. aconitus hidup pada sawah dengan pola tanam tak
teratur, tepi sungai, penampungan air hujan serta menyukai sinar matahari. Lagun merupakan
tempat perindukan utama An. sundaicus, An. Subpictus dan An. barbirostris. Genangan air yang
terjadi akibat curah hujan yang lebat dapat menjadi tempat perindukan Anopheles.
Ada 3 kelompok nyamuk yang berhubungan dengan sinar matahari serta terlindung
tidaknya tempat perindukannya, yaitu: senang sinar matahari (heliophilic), tidak senang sinar
matahari (heliophobic) dan suka hidup di habitat yang terlindung (shaded). Dengan kondisi ini,
spesies yang heliophilic misalnya An. maculates, An. sundaicus, An. barbirostris, An. umbrosus,
An. balabacensis dan An. aconitus. Spesies heliophobic adalah An. umbrosus dan spesies shaded
adalah An. balabacensis.
Kenapa vektor plasmodium pada malaria adalah nyamuk anopheles?
Dalam tubuh nyamuk anopheles terdapat Circum Sporozoite Protein, yang mana protein tersebut
nantinya akan berikatan dengan permukaan antigen plasmodium. Protein ini menandakan bahwa
nyamuk tersebut infektif jika menggigit. Protein ini dapat dideteksi dengan ELISA (antibodi
monoklonal).
Siklus Nyamuk Anopheles Betina
Semua serangga termasuk nyamuk, dalam siklus hidupnya mempunyai tingkatan-
tingkatan yang kadang-kadang antara tingkatan yang sama dengan tingkatan yang berikutnya
terlihat sangat berbeda. Berdasarkan tempat hidupnya dikenal dua tingkatan kehidupan yaitu :
1. Tingkatan di dalam air.
2. Tingkatan di luar tempat berair (darat/udara). Untuk kelangsungan kehidupan nyamuk
diperlukan air, siklus hidup nyamuk akan terputus. Tingkatan kehidupan yang berada di
dalam air ialah: telur. jentik, kepompong. Setelah satu atau dua hari telur berada didalam air,
maka telur akan menetas dan keluar jentik. Jentik yang baru keluar dari telur masih sangat
halus seperti jarum. Dalam pertumbuhannya jentik anopheles mengalami pelepasan kulit
sebanyak empat kali.
Waktu yang diperlukan untuk pertumbuhan jentik antara 8-10 hari tergantung pada suhu,
keadaan makanan serta species nyamuk. Dari jentik akan tumbuh menjadi kepompong (pupa)
yang merupakan tingkatan atau stadium istirahat dan tidak makan. Pada tingkatan kepompong ini
memakan waktu satu sampai dua hari. Setelah cukup waktunya, dari kepompong akan keluar
nyamuk dewasa yang telah dapat dibedakan jenis kelaminnya.
Setelah nyamuk bersentuhan dengan udara, tidak lama kemudian nyamuk tersebut telah
mampu terbang, yang berarti meninggalkan lingkungan berair untuk meneruskan hidupnya
didarat atau udara. Dalam meneruskan keturunannya. Nyamuk betina kebanyakan banya kawin
satu kali selama hidupnya. Biasanya perkawinan terjadi setelah 24 -48 jam dari saat keluarnya
dari kepompong.
D. Etiologi
Malaria disebabkan oleh sporozoa dari genus Plasmodium yang merupakan parasit
amoeboid intraseluler pada vertebrata yang enghasilkan pigmen, dengan siklus hidup pada hati
dan eritrosit. Plasmodium yang menyebabkan penyakit pada manusia adalah plasmodium vivax,
plasmodium malariae, plasmodium falsiparum, dan plasmodium knowlesi. Penularan kepada
manusia adalah melalui vektornya, yaitu nyamuk Anopheles betina.
Sebagian besar kasus malaria berat di sebabkan oleh Plasmodium Falsiparum. Malaria
berat juga dilaporkan pada penderita malaria yang disebabkan Plasmodium lainnya, yaitu:
Plasmodium Vivax Dan Knowlesi.
E. Patofisiologi dan pathogenesis
Patogenesis malaria akibat dari interaksi kompleks antara parasit, inang dan lingkungan.
Patogenesis lebih ditekankan pada terjadinya peningkatan permeabilitas pembuluh darah. Oleh
karena skizogoni menyebabkan kerusakan eritrosit maka akan menyebabkan anemia. Beratnya
anemia tidak sebanding dengan parasitemia, hal ini menunjukkan adanya kelainan eritrosit selain
yang mengandung parasit. Diduga terdapat toksin malaria yang menyebabkan gangguan fungsi
eritrosit dan sebagian eritrosit pecah saat melalui limpa sehingga parasit keluar. Faktor lain yang
menyebabkan anemia mungkin karena terbentuknya antibodi terhadap eritrosit.
Limpa mengalami pembesaran dan pembendungan serta pigmentasi sehingga mudah
pecah. Dalam limpa dijumpai banyak parasit dalam makrofag dan sering terjadi fagositosis dari
eritrosit yang terinfeksi maupun yang tidak terinfeksi. Pada malaria kronis terjadi hiperplasi dari
retikulum disertai peningkatan makrofag. Pada malaria berat mekanisme patogenesisnya
berkaitan dengan invasi merozoit ke dalam eritrosit sehingga menyebabkan eritrosit yang
mengandung parasit mengalami perubahan struktur dan biomolekuler sel untuk mempertahankan
kehidupan parasit. Perubahan tersebut meliputi mekanisme transpor membran sel, penurunan
deformabilitas, pembentukan knob, ekspresi varian non antigen di permukaan sel, sitoadherensi,
sekuestrasi dan rosetting, peranan sitokin dan NO (Nitrik Oksida).
Menurut pendapat ahli lain patogenesis malaria berat atau malaria falciparum dipengaruhi
oleh faktor parasit dan faktor penjamu (host). Yang termasuk ke dalam faktor parasit adalah
intensitas transmisi, densitas parasit dan virulensi parasit. Sedangkan yang termasuk ke dalam
faktor penjamu adalah tingkat endemisitas daerah tempat tinggal, genetik, usia, status nutrisi, dan
status imunologi. Parasit dalam eritrosit (EP) secara garis besar mengalami 2 stadium, yaitu
stadium cincin pada 24 jam pertama dan stadium matur pada 24 jam kedua. Permukaan EP
stadium cincin akan menampilkan antigen RESA (Ring Erytrocite Suirgace Antigen) yang
menghilang setelah parasit masuk stadium matur. Permukaan membran EP stadium matur akan
mengalami penonjolan dan membentuk knob dengan Histidin Rich Protein-1 (HRP-1) sebagai
komponen utamanya. Selanjutnya bila EP tersebut mengalami merogoni, akan dilepaskantoksin
malaria berupa GPI yaitu Glikosilfosfatidilinositol yang merangsang pelepasan TNF α dan
Interleukin 1 (IL-1) dari makrofag.
Sitoadherensi adalah peristiwa perlekatan eritrosit yang telah terinfeksi P.falsiparum
pada reseptor di bagian endotelium venule dan kapiler. Selain itu eritrosit juga dapat melekat
pada eritrosit yang tidak terinfeksi sehingga terbentuk roset. Sitoadherensi menyebabkan eritrosit
matur tidak beredar kembali dalam sirkulasi. Parasit dalam eritrosit matur yang tinggal dalam
jaringan mikrovaskuler disebut eritrosit matur yang mengalami sekuestrasi. Hanya P.falsiparum
yang mengalami sekuestrasi, karena pada plasmodium lainnya seluruh siklus terjadi pada
pembuluh darah perifer. Sekuestrasi terjadi pada organ-organ vital dan hampir semua jaringan
dalm tubuh. Sekustrasi tertinggi terdapat di otak, diikuti dengan hepar dan ginjal, paru, jantung
dan usus. Sekuestrasi ini memegang peranan utama dalam patofisiologi malaria berat.
Rosseting adalah suatu fenomena perlekatan antara satu buah eritrosit yang mengandung
merozoit matang yang di selubungi oleh sekitar 10 atau lebih eritrosit non parasit sehingga
berbentuk seperti bunga. Salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya rosseting adalah
golongan darah dimana terdapatnya antigen golongan darah A dan B yang bertindak sebagai
reseptor pada permukaan eritrosit yang tidak terinfeksi parasit. Rosseting menyebabkan obstruksi
aliran darah lokal atau dalam jaringan sehingga mempermudah terjadinya sitoadherensi. Sitokin
terbentuk dari sel endotel, monosit dan makrofag setelah mendapat stimulasi dari toksin malaria.
Sitokin ini antara lain TNF alfa (TNF α), interleukin 1 (IL-1), IL-6, IL3, lymphotoxin (LT) dan
interferon gamma (INF γ). Dari beberapa penelitian dibuktikan bahwa penderita malaria serebral
yang meninggal atau dengan komplikasi berat seperti hipoglikemia mempunyai kadar TNFα
yang tinggi. Demikian juga malaria tanpa komplikasi kadar TNFα, IL-1, IL-6 lebih rendah dari
malaria serebral. Walaupun demikian hasil ini tidak konsisten karena juga dijumpai penderita
malaria yang mati dengan TNF normal atau rendah at au pada malaria serebral yang hidup
dengan sitokin yang tinggi. Oleh karenanya diduga adanya peran dari neurotransmiter yang lain
sebagai free radical dalam kaskade ini seperti NO sebagai faktor yang penting dalam patogenesa
malaria berat.
Menurut pendapat ahli lain, patogenesis malaria adalah mulitifaktorial dan berhubungan
dengan hal-hal berikut:
1. Penghancuran eritrosit
Fagositosis tidak hanya pada eritrosit yang mengandung parasit tapi juga terhadap
eritrosit yang tidak mengandung parasit sehingga menimbulkan anemia dan anoksia jaringan.
Pada hemolisis intravaskuler yang berat dapat terjadi hemoglobinuria (black water fever) dan
dapat menyebabkan gagal ginjal.
2. Mediator endotoksin-makrofag
Pada saat skizogoni, eritrosit yang mengandung parasit memicu makrofag yang sensitif
endotoksin untuk melepaskan berbagai mediator. Endotoksin mungkin berasal dari saluran
pencernaan dan parasit malaria sendiri dapat melepaskan faktor nekrosis tumor (TNF). TNF
adalah suatu monokin yang ditemukan dalam peredaran darah manusia dan hewan yang
terinfeksi parasit malaria. TNF dan sitokin lainnya menimbulkan demam, hipoglikemia dan
sindrom penyakit pernafasan pada orang dewasa.
3. Sekuestrasi eritrosit yang terinfeksi
Eritrosit yang terinfeksi dengan stadium lanjut P.falciparum dapat membentuk tonjolan-
tonjolan (knobs) pada permukaannya. Tonjolan tersebut mengandung antigen dan bereaksi
dengan antibodi malaria dan berhubungan dengan afinitas eritrosit yang mengandung
P.falciparum terhadap endotelium kapiler darah alat dalam, sehingga skizogoni berlangsung di
sirkulasi alat dalam. Eritrosit yang terinfeksi menempel pada endotelium dan membentuk
gumpalan yang membendung kapiler yang bocor dan menimbulkan anoksia dan edema jaringan.
Demam
mulai timbul bersamaan dengan pecahnya skizon darah yang mengeluarkan bermacam-
macam antigen. Antigen ini akan merangsang sel-sel makrofag, monosit atau limfosit
yang mengeluarkan berbagai macam sitokin, antara lain TNF (Tumor Nekrosis Factor)
dan IL-6 (Interleukin-6). TNF dan IL-6 akan dibawa aliran darah ke hipotalamus yang
merupakan pusat pengatur suhu tubuh dan terjadi demam. Proses skizogoni pada keempat
plasmodium memerlukan waktu yang bebeda-beda. Plasmodium falciparum memerlukan
waktu 36-48 jam, P. vivax/P. ovale 48 jam, dan P. malariae 72 jam. Demam pada P.
falciparum dapat terjadi setiap hari, P. vivax/P. ovale selang waktu satu hari, dan P.
malariae demam timbul selang waktu 2 hari.
Anemia
terjadi karena pecahnya sel darah merah yang terinfeksi maupun yang tidak terinfeksi.
Plasmodium vivax dan P. ovale hanya menginfeksi sel darah merah muda yang
jumlahnya hanya 2% dari seluruh jumlah sel darah merah, sedangkan P. malariae
menginfeksi sel darah merah tua yang jumlahnya hanya 1% dari jumlah sel darah merah.
Sehingga anemia yang disebabkan oleh P. vivax , P. ovale dan P. malariae umumnya
terjadi pada keadaan kronis. Plasmodium falciparum menginfeksi semua jenis sel darah
merah, sehingga anemia dapat terjadi pada infeksi akut dan kronis.
Splenomegali Limpa merupakan organ retikuloendothelial, dimana Plasmodium
dihancurkan oleh sel-sel makrofag dan limposit. Penambahan sel-sel radang ini akan
menyebabkan limpa membesar.
Malaria berat akibat P. falciparum mempunyai patogenesis yang khusus. Eritrosit yang
terinfeksi P. falciparum akan mengalami proses sekuestrasi, yaitu tersebarnya eritrosit
yang berparasit tersebut ke pembuluh kapiler alat dalam tubuh. Selain itu pada
permukaan eritrosit yang terinfeksi akan membentuk knob yang berisi berbagai antigen
P. falciparum. Sitokin (TNF, IL-6 dan lain lain) yang diproduksi oleh sel makrofag,
monosit, dan limfosit akan menyebabkan terekspresinya reseptor endotel kapiler. Pada
saat knob tersebut berikatan dengan reseptor sel endotel kapiler terjadilah proses
sitoadherensi. Akibat dari proses ini terjadilah obstruksi (penyumbatan) dalam pembuluh
kapiler yang menyebabkan terjadinya iskemia jaringan. Terjadinya sumbatan ini juga
didukung oleh proses terbentuknya “rosette”, yaitu bergerombolnya sel darah merah yang
berparasit dengan sel darah merah lainnya. Pada proses sitoaderensi ini juga terjadi
proses imunologik yaitu terbentuknya mediator-mediator antara lain sitokin (TNF, IL-6
dan lain lain), dimana mediator tersebut mempunyai peranan dalam gangguan fungsi
pada jaringan tertentu.
.
F. Penegakan Diagnosis
1. Anamnesis
a. Keluhan utama
Demam, menggigil, berkeringat, dan dapat disertai sakit kepala, mual, muntah, diare dan
nyeri otot atau pegal-pegal.
b. Riwayat berkunjung dan bermalam 1-4 minggu yang lalu ke daerah endemic malaria.
c. Riwayat tinggal di daerah endemic malaria
d. Riwayat sakit malaria
e. Riwayat minum obat malaria
f. Riwayat mendapat transfusi darah
2. Pemeriksaan fisik
Malaria Malaria berat
- Demam (>37.5oC)
- Konjungtiva atau
telapak tangan pucat
- Splenomegali
- Hepatomegali
- Temperature rectal >40 oC
- Nadi cepat dan lemah
- TD sistolik <70 mmHg (dewasa) dan <50 mmHg (anak-anak)
- Frekuensi pernapasan >35x/menit (dewasa), >40x/menit
(balita), >50x/menit (anak <1 tahun)
- Penurunan kesadaran (GCS <11)
- Manifestasi perdarahan (petekia, purpura, hematom)
- Tanda-tanda dehidrasi (mata cekung, turgor dan elastisistas
kulit menurun, bibir kering, urine output menurun)
- Tanda-tanda anemia berat (konjungtiva pucat, telapak tangan
pucat, lidah pucat)
- Ikterus
- Ronki pada kedua paru
- Pembesaran limpa atau hepar
- Gagal ginjal yang ditandai dengan oliguria sampai anuria
- Gejala neurologi
3. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan dengan mikroskop
Tujuan:
- Ada tidaknya parasit malaria
- Mengetahui spesies dan stadium plasmodium
- Menilai kepadatan parasit
Semi kuantitatif
(- ) : negatif
(+) : ditemukan 1-10 parasit dalam 100 lapang pandang besar
(++) : ditemukan 11-100 parasit dalam 100 lapang pandang besar
(+++) : ditemukan 1-10 parasit dalam 1 lapang pandang besar
(++++) : ditemukan >10 parasit dalam 1 lapang pandang besar
Kuantitatif
Sediaan darah tebal (leukosit)
Parasit/µL darah = jumlah parasit per 200 leukosit x 40*
*Keterangan: jumla hleukosit rata−rata(8000)
200=8000
200=40
Sediaan darah tipis (eritrosit)
Parasit/µL darah = jumlah parasit per 1000 eritrosit x jumla heritrosit
1000
b. Pemeriksaan dengan RDT (Rapid Diagnostic Test)
Marker:
- HRP-2 (Histidine rich protein 2) : P. falciparum
- p-LDH (parasit lactate dehydrogenase) : P. falciparum, P. vivax, P. ovale, P.
malariae
Kemampuan
- Single : hanya mampu mendiagnosis infeksi P. falciparum
- Combo : mampu mendiagnosis infeksi P. falciparum dan non falciparum
4. Tetesan darah tebal
Pemeriksaan ini merupakan cara terbaik untuk menemukan parasit malaria karena
tetesan darah cukup banyak dibandingkan tetesan darah tipis
Pemeriksaan dilakukan selama 5 menit (diperkirakan 100 lapang pandangan
dengan pembesaran kuat)
Preparat dinyatakan negatif bila setelah diperiksa 200 lapang pandangan dengan
pembesaran kuat 700-1000 kali tidak ditemukan parasit
Hitung parasit dapat dilakukan pada tetes tebal dengan menghitung jumlah
parasit per 200 leukosit
Bila leukosit 10.000/ul maka hitung parasitnya adalah jumlah parasit dikalikan
50 merupakan jumlah parasit per mikro-liter darah
5. Tetesan darah tipis
Digunakan untuk mengidentifikasi jenis plasmodium karena bila dilakukan
dengan darah tebal sulit ditentukan
Kepadatan parasit dinyatakan sebagai hitung parasit (parasit count), dapat
dilakukan berdasarkan jumlah eritrosit yang mengandung parasit per 1000 sel
darah merah
Bila jumlah parasit > 100.000/ul darah menandakan infeksi yang berat
Hitung parasit penting untuk menentukan prognosa penderita malaria, akan tetapi
komplikasi juga dapat timbul dengan jumlah parasit yang minimal
Pengecatan dilakukan dengan cat Giemsa, Leishman’s, Field’s atau
Romanowsky
Pengecatan Giemsa umum digunakan pada beberapa laboratorium karena cukup
mudah dengan hasil yang cukup baik
6. Tes antigen : P-F test
Mendeteksi antigen dari P.Falciparum (Histidine Rich Protein II)
Deteksi sangat cepat hanya 3-5 menit
Tidak memerlukan latihan khusus
Sensitivitas baik
Tidak memerlukan alat khusus
Deteksi antigen vivax dengan metode ICT. Tes sejenis dengan mendeteksi laktat
dehidrogenase dari plasmodium (pLDH) dengan cara immunochromatographic
telah dipasarkan dengan nama tes OPTIMAL.
Optimal dapat mendeteksi dari 0-200 parasit/ul darah dan dapat membedakan
infeksi P.Falciparum atau P.Vivax
Sensitivitas sampai 95% dan hasil false positive lebih rendah dari tes deteksi
HRP-2
Sekarang dikenal dengan nama tes cepat (rapid test)
7. Tes serologi
Mulai diperkenalkan sejak tahun 1962 dengan memakai tehnik indirect
fluorescent antibody test
Berguna untuk mendeteksi adanya antibodi spesifik terhadap malaria atau pada
keadaan dimana parasit sangat minimal
Kurang bermanfaat sebagai alat diagnostik sebab antibodi baru terjadi setelah
beberapa hari parasitemia
Manfaat tes serologi terutama untuk penelitian epidemiologi atau alat uji saring
donor darah
Titer > 1:200 dianggap sebagai infeksi baru; dan tes > 1:20 dianggap positif
Metode-metode tes serologi antara lain : indirect haemmaglutination test,
immunoprecipitation techniques, ELISA test, radio-immunoassay
8. Pemeriksaan PCR (Polymerase Chain Reaction)
Pemeriksaan ini dianggap sangat peka dengan teknologi amplifikasi DNA
Waktu dipakai cukup cepat
Sensitivitas dan spesifisitas tinggi
Keunggulan : walaupun jumlah parasit sangat sedikit dapat memberikan hasil
positif
Tes ini baru dipakai sebagai sarana penelitian dan belum untuk pemeriksaan
rutin
G. Tatalaksana
Tatalaksana malaria pada ibu hamil
Tatalaksana malaria berat
Pasien yang menderita malaria berat harus dirujuk ke Dokter Spesialis Anak Ataupun
Spesialis Penyakit Dalam. Namun pasien harus terlebih dahulu diberi dosis awal Artemisinin
atau Artesunat per Intra Muskular atau Intra Vena dengan dosis awal 3,2mg /kg BB.
Apabila rujukan tidak memungkinkan, pengobatan dilanjutkan dengan pemberian dosis lengkap
artemeter intra muscular. Pengobatan malaria berat untuk ibu hamil di Puskesmas dilakukan
dengan memberikan kina HCl pada trimester 1 secara intra muscular dan artemeter injeksi untuk
trimester 2 dan 3.1
Pengobatan malaria di RS dianjurkan untuk menggunakan artesunat intravena.
Pengobatan malaria berat untuk ibu hamil pada trimester 2 dan 3 menggunakan artesunate
intravena, sedangkan untuk ibu hamil trimester 1 menggunakan kina parenteral.7
a. Kemasan dan cara pemberian artesunat
Artesunate parenteral tersedia dalam vial yang berisi 60 mg serbuk kering asam artesunik
dan pelarut dalam ampul yang berisi 0,6 ml natrium bikarbonat 5%. Untuk membuat larutan
artesunat dengan mencampur 60 mg serbuk kering artesunik dengan larutan 0,6 ml natrium
bikarbonat 5%. Kemudian ditambah larutan Dextrose 5% sebanyak 3-5 cc. Artesunat (AS)
diberikan dengan dosis 2,4 mg/kgBB per-iv, sebanyak kali jam ke 0, 12, 24. Selanjutnya
diberikan 2,4 mg/kgbb per-iv setiap 24 jam sampai penderita mampu minum obat. Larutan
artesunat ini juga bisa diberikan secara intramuskular (i.m) dengan dosis yang sama.1
Apabila penderita sudah dapat minum obat, maka pengobatan dilanjutkan dengan
regimen dihydroartemisinin-piperakuin atau ACT lainnya selama 3 hari + primakuin (dosis pada
gambar).
b. Kemasan dan cara pemberian artemeter
Artemeter intramuskular tersedia dalam ampul yang berisi 80 mg artemeter dalam larutan
minyak. Artemeter diberikan dengan dosis 3,2 mg/kgBB intramuskular. Selanjutnya artemeter
diberikan 1,6 mg/kgBB intramuskular satu kali sehari sampai penderita mampu minum obat.
Apabila penderita sudah dapat minum obat, maka pengobatan dilanjutkan dengan regimen
dihydroartemisinin-piperakuin atau ACT lainnya selama 3 hari + primakuin (dengan ketentuan
seperti dalam gambar dibawah).2
Obat alternatif malaria berat
c. Kemasan dan cara pemberian kina parenteral
Kina per-infus masih merupakan obat alternatif untuk malaria berat pada daerah yang
tidak tersedia derivat artemisinin parenteral dan pada ibu hamil trimester pertama. Obat ini
dikemas dalam bentuk ampul kina hidroklorida 25%. Satu ampul berisi 500 mg/2 ml. Pemberian
Kina hidroklorida pada malaria berat secara intramuskuler untuk pra rujukan:
(1) Dosis dan cara pemberian kina pada orang dewasa termasuk untuk ibu hamil : Loading
dose: 20 mg garam/kgBB dilarutkan dalam 500 ml dextrose 5% atau NaCl 0,9% diberikan
selama 4 jam pertama. Selanjutnya selama 4 jam kedua hanya diberikan cairan dextrose 5% atau
NaCl 0,9%. Setelah itu, diberikan kina dengan dosis maintenance 10 mg/kgBB dalam larutan
500 ml dekstrose 5 % atau NaCl selama 4 jam. Empat jam selanjutnya, hanya diberikan lagi
cairan dextrose 5% atau NaCl 0,9%. Setelah itu diberikan lagi dosis maintenance seperti di atas
sampai penderita dapat minum kina per-oral. Apabila sudah sadar/dapat minum, obat pemberian
kina iv diganti dengan kina tablet per-oral dengan dosis 10 mg/kgBB/kali, pemberian 3 kali
sehari (dengan total dosis 7 hari dihitung sejak pemberian kina perinfus yang pertama).
(2) Dosis anak-anak : Kina HCl 25 % (per-infus) dosis 10 mg/kgBB (jika umur <2 bulan : 6-8
mg/kgBB) diencerkan dengan dekstrosa 5% atau NaCl 0,9% sebanyak 5-10 cc/kgBB diberikan
selama 4 jam, diulang setiap 8 jam sampai penderita sadar dan dapat minum obat.2
Keterangan
- Kina tidak boleh diberikan secara bolus intra vena, karena toksik bagi jantung dan dapat menimbulkan kematian.
- Pada penderita dengan gagal ginjal, dosis maintenance kina diturunkan 1/3 - 1/2 nya.
- Pada hari pertama pemberian kina oral, berikan primakuin dengan dosis 0,75 mg/kgBB.
- Dosis kina maksimum dewasa : 2.000 mg/hari.
- Hipoglikemia dapat terjadi pada pemberian kina parenteral oleh karena itu dianjurkan pemberiannya dalam
Dextrose 5%
Pemantauan setelah pengobatan:
H. Prognosis Dan Komplikasi
1. Malaria Serebral
Gangguan kesadaran pada malaria serebral dapat disebabkan adanya berbagai
mekanisme, yaitu sekuestrasi dan rosetting knob, peningkatan asam laktat, dan peningkatan
sitokin dalam darah yang menyebabkan gangguan metabolisme di otak.
Prinsip penatalaksanaan :
Penatalaksanaan malaria serebral sama seperti pada malaria berat umumnya. Beberapa
hal penting yang perlu diperhatikan adalah:
a. perawatan pasien dengan gangguan kesadaran;
b. deteksi dini dan pengobatan komplikasi berat lainnya;
c. waspadalah akan terjadinya infeksi bakteri, terutama pada pasien dengan pemasangan iv-line,
intubasi endotrakeal atau kateter saluran kemih dan terhadap kemungkinan terjadinya aspirasi
pneumonia. Perawatan pasien tidak sadar meliputi:
a. Hal-hal yang perlu dimonitor :
1) tensi, nadi, suhu, dan pernafasan setiap 30 menit
2) pemeriksaan derajat kesadaran setiap 8 jam
3) hitung parasit tiap 24 jam
4) Ht dan atau Hb setiap hari, bilirubin dan kreatinin pada hari ke I dan III
5) Gula darah setiap 8 jam
6) Pemeriksaan lain sesuai indikasi (misal ureum, creatinin dan kalium darah pada komplikasi
gagal ginjal).
b. Pasang IVFD. Untuk mencegah terjadinya trombophlebitis dan infeksi yang sering terjadi
melalui iv-line maka iv-line sebaiknya diganti setiap 2-3 hari.
c. Pasang kateter urethra dengan drainase/kantong tertutup. Pemasangan kateter dengan
memperhatikan kaidah a/antisepsis.
d. Pasang gastric tube (maag slang) dan sedot isi lambung untuk mencegah aspirasi pneumonia.
e. Mata dilindungi dengan pelindung mata untuk menghindari ulkus kornea yang dapat terjadi
karena tidak adanya reflex mengedip pada pasien tidak sadar.
f. Menjaga kebersihan mulut untuk mencegah infeksi kelenjar parotis karena kebersihan rongga
mulut yang rendah pada pasien yang tidak sadar.
g. Ubah atau balik posisi lateral secara teratur untuk mencegah luka dekubitus dan hypostatic
pneumonia.
Obat-obatan yang tidak direkomendasikan dipakai pada malaria
berat yaitu :
1) Kortikosteroid dosis tinggi
2) Heparin
3) Prostacyclin
4) Iron chelating agent (desferrioxamine B)
5) Pentoxifylline
6) Dextran berat molekul rendah
7) Anti edema serebral (urea)
8) Acetyl salisilic acid
9) Obat anti inflamasi lainnya
10) Epinephrine (adrenalin)
11) Cyclosporin A
12) Hyperimmune globulin
13) Dichloroacetate
14) Anti-tumor necrosis factor antibodies
2. Anemia Berat
Anemia berat pada malaria adalah suatu keadaan dimana kadar hemoglobin <5 g/dL atau
hematokrit <15 %. Anemia berat sering menyebabkan distress pernafasan yang dapat
mengakibatkan kematian. Oleh karena itu, pemberian transfusi darah harus segera dilakukan.
Tindakan pada anak-anak:
a. Rencanakan transfusi darah segera, lebih baik dengan Pack Red Cell/PRC diberikan secara
bertahap. Di daerah endemis rendah dapat dipertimbangkan pemberian transfusi pada Hb < 7 g/dl
b. Hitunglah jumlah kebutuhan PRC untuk menaikkan Hb yang dihitung dengan rumus sebagai
berikut:
Kebutuhan total = Δ Hb x BB x 4 ml
Keterangan :
Δ Hb = selisih antara Hb yang diinginkan setelah transfuse dengan Hb sebelum transfusi.
Misal :
Hb anak 4 g% dengan berat badan = 10 kg. Hb yang diinginkan setelah transfusi adalah 12 g%.
Total PRC transfusi adalah 8 x 10 x 4 ml = 320 ml.
Bila PRC tidak tersedia dapat diberikan whole blood dengan perhitungan sebagai berikut:
Kebutuhan total = Δ Hb x BB x 6 ml
Tindakan pada orang dewasa:
a. Berikan transfusi darah paling baik PRC 10-20 ml/kgBB. Setiap 4 ml/kgBB akan menaikkan
Hb 1 g %.
b. Volume transfusi dimasukkan sebagai input dalam catatan keseimbangan cairan.
3. Hipoglikemia
Hipoglikemia adalah suatu keadaan dimana kadar gula darah sewaktu <40 mg%. Sering
terjadi pada penderita malaria berat terutama anak usia <3 tahun, ibu hamil, dan penderita
malaria berat lainnya dengan terapi kina. Kina dapat menyebabkan hiperinsulinemia sehingga
terjadi hipoglikemi. Penyebab lain hipoglikemia diduga karena terjadi peningkatan uptake
glukosa oleh parasit malaria.
Tindakan:
a. Berikan bolus glukosa 40% intra vena sebanyak 50-100 ml (anak-anak : 2-4 ml/kgBB dengan
pengenceran 1:1 dengan akuadest, untuk neonatus maksimum konsentrasi glukosa 12,5%)
b. Dilanjutkan infus glukosa 10% perlahan-lahan untuk mencegah hipoglikemia berulang.
c. Pemantauan teratur kadar gula darah setiap 4-6 jam.
Apabila sarana pemeriksaan gula darah tidak tersedia, pengobatan sebaiknya diberikan
berdasarkan kecurigaan klinis adanya hipoglikemia, seperti perfusi buruk, keringat dingin,
hipotermi, dan letargi.
4. Syok
Syok adalah keadaan gangguan hemodinamik yang ditandai dengan:
- Mean Arterial Pressure (MAP)< 65 mm Hg (pada dewasa)
- TD sistolik <80mmHg. tekanan nadi (selisih sistolik dan diastolik)
< 20 mm Hg (pada anak)
- Nadi kecil dan cepat kecil dan cepat, kulit dingin. Keadaan ini terjadi pada penderita malaria
yang disertai:
- Waktu pengisisan kapiler > 2 detik
Kondisi syok pada malaria dapat disebabkan oleh:
a. Malaria algida
b. Dehidrasi dengan hipovolemia (akibat muntah-muntah dan intake cairan kurang)
c. Sepsis
d. Perdarahan karena stress ulcer (perdarahan masif saluran pencernaan)
e. Diare
Tatalaksana Syok
a. Resusitasi cairan :
a.1. Pada orang dewasa :
Hipovolemia dikoreksi dengan pemberian cairan kristaloid (Ringer atau NaCl 0,9 %) 20
ml/kg bb dalam waktu 1/2 – 1 jam pertama. Bila tidak ada perbaikan tekanan darah dan
tidak ada overhidrasi diberikan cairan koloid. Bila terjadi hipotensi menetap, diberikan
vasopresor (dopamin, norepinefrin).
a.2. Pada anak :
Rehidrasi dengan pemberian cairan infus loading dose : cairan kristaloid (Ringer)
sebanyak 10 - 20 ml/kgbb secepatnya sampai nadi teraba, selanjutnya:
Bila nadi belum teraba dalam 20 menit ulangi loading dose. Bila sesudah 2 kali loading dose
nadi belum teraba: maka berikan loading dose dengan plasma expander 20 ml/kgbb secepatnya.
Bila syok belum teratasi, berikan dopamin 3 - 5
μg/kgbb/menit. Bila nadi sudah teraba, dilanjutkan pemberian rehidrasi dengan cairan Ringer
sesuai keadaan pasien.
b. Bila memungkinkan, tekanan vena dimonitor dengan CVP. Apabila CVP tidak mungkin
dilakukan, monitoring dan pencatatan balans cairan secara akurat sangat membantu agar tidak
terjadi overhidrasi.
c. Kadar gula darah diperiksa untuk menyingkirkan kemungkinan hipoglikemia.
d. Penatalaksanaan selanjutnya disesuaikan dengan tatalaksana syok secara umum.
5. Gagal Ginjal Akut
Gagal ginjal akut (GGA) adalah penurunan fungsi ginjal dengan cepat dan mendadak
yang antara lain ditandai adanya peningkatan ureum dan kreatinin darah, dan gangguan produksi
urin. Gagal ginjal akut terjadi apabila volume urin < 0.5 ml/kg bb/jam pada dewasa, pada anak-
anak < 1 ml/kgbb/jam setelah diobservasi selama 6 jam. Pada neonatus volume urin <0.5
ml/kgbb/jam observasi 8 jam. GGA terjadi akibat berbagai keadaan yang menyebabkan
berkurangnya aliran darah ke ginjal sehingga terjadi iskemik dengan terganggunya
mikrosirkulasi ginjal yang menurunkan filtrasi glomerulus. Penyebab GGA pada malaria yang
tersering adalah gagal ginjal pre-renal akibat dehidrasi (>50%), sedangkan gagal ginjal renal
akibat tubuler nekrosis akut terjadi pada 5-10% penderita. GGA sering terdeteksi terlambat
setelah pasien sudah mengalami overload (dekompensasi kordis) akibat rehidrasi yang
berlebihan (overhidrasi) pada penderita yang tidak tercatat keseimbangan cairannya.
Tindakan :
a. Pada semua penderita malaria berat kadar ureum dan kreatinin diperiksa setiap hari.
b. Apabila pemeriksaan ureum dan kreatinin tidak memungkinkan, produksi urin dapat dipakai
sebagai acuan.
c. Bila terjadi anuria dilakukan force diuresis (diuresis paksa) dengan furosemid 40 mg,
kemudian 20 mg/jam selama 6 jam. Pada anak diberikan furosemid 1 mg/kgbb/kali. Bila tidak
ada repons setelah 8 jam, pemberian dapat diulang dengan dosis 2 mg/kgbb sampai maksimum 2
kali.
d. GGA biasanya reversibel apabila ditanggulangi secara cepat dan tepat. Pada keadaan tertentu
dialisis perlu dilakukan sehingga perlu di rujuk penderita ke RS tingkat Provinsi atau RS dengan
fasilitas dialisis.
e. Tanda-tanda overload :
1) Batuk-batuk,
2) sesak nafas
3) Nadi cepat
4) Tekanan darah meningkat,
5) JVP meningkat,
6) Pada auskultasi paru ada ronki basah di bagian basal kedua paru,
7) Pada auskultasi jantung dapat terdengar bunyi jantung tambahan (bunyi ke 3).
Bila ada tanda-tanda overload, pemberian cairan memerlukan pemantauan yang ketat.
6. Perdarahan dan Gangguan Pembekuan Darah (koagulopati)
Perdarahan dan koagulopati jarang ditemukan pada kasus malaria di daerah endemis pada
negara tropis, keadaan ini dapat terjadi pada penderita non-imun. Manifestasi perdarahan pada
kulit berupa petekie, purpura, hematom, atau perdarahan hidung, gusi dan saluran pencernaan.
Gangguan koagulasi intra vaskular dapat terjadi.
Tindakan:
a. Apabila protrombin time atau partial tromboplastin time memanjang, diberikan suntikan
vitamin K dengan dosis 10 mg intravena.
b. Apabila ditemukan tanda-tanda Koagulasi Intravaskular Diseminata (KID), berikan fresh
frozen plasma
7. Ikterus
Manifestasi ikterus (kadar bilirubin darah >3 mg%) sering dijumpai pada dewasa,
sedangkan jika ditemukan pada anak prognosisnya buruk. Tidak ada tindakan khusus untuk
ikterus, tetapi fokus pada penanganan untuk malaria. Apabila disertai hemolisis berat dan Hb
sangat rendah maka diberikan transfusi darah. Biasanya kadar
bilirubin kembali normal dalam beberapa hari setelah pengobatan dengan anti malaria.
8. Asidosis metabolik
Asidosis pada penderita malaria berat disebabkan berbagai faktor, antara lain:
- obstruksi mikrosirkulasi;
- disfungsi renal;
- peningkatan glikolisis;
- anemia;
- hipoksia.
Oleh karena itu asidosis metabolik sering ditemukan bersamaan dengan komplikasi lain,
seperti anemia berat, GGA, hipovolemia, udema paru, dan hiperparasitemia.
Asidosis metabolik ditandai dengan pernafasan cepat dan dalam, penurunan pH, dan
bikarbonat darah. Diagnosis dan manajemen yang terlambat akan mengakibatkan kematian.
Tindakan:
a. Berikan oksigen bila sesak nafas.
b. Periksa analisa gas darah dan koreksi dengan pemberian larutan natrium bikarbonat. Koreksi
pH arterial harus dilakukan secara perlahan-lahan. Natrium Bikarbonat diberikan sebanya
0,3xBBxBE (base excess) meq. Apabila tidak ada analisa gas darah dapat diberikan dengan dosis
1 – 2 meq/kgBB/kali.
c. Apabila tidak tersedia fasilitas yang memadai sebaiknya penderita segera di rujuk ke RS
provinsi.
9. Blackwater fever (malarial haemoglobinuria)
Hemoglobinuria disebabkan hemolisis masif intravaskuler pada infeksi berat, keadaan ini
tidak berhubungan dengan disfungsi renal. Blackwater fever dapat juga terjadi pada penderita
defisiensi G6PD yang diberikan primakuin atau obat oksidan lainnya. Blackwater fever bersifat
sementara, tetapi dapat menjadi gagal ginjal akut pada kasus-kasus berat. Tindakan:
1) Berikan cairan rehidrasi
2) Monitor CVP
3) Apabila Hb <5 g% atau Ht <15 %, berikan transfusi darah
4) Periksa kadar G6PD
5) Apabila ditemukan defisiensi G6PD, hentikan pemberian primakuin, kina, SP. Dianjurkan
pemberian anti malaria golongan artemisinin.
6) Apabila berkembang menjadi GGA, rujuk ke RS dengan fasilitas hemodialisis.
10. Hiperparasitemia.
Kondisi hiperparasitemia meningkatkan terjadinya risiko multiple organ failure
Tindakan:
a. Berikan anti malaria parenteral.
b. Evaluasi respon pengobatan dengan memeriksa ulang sediaan darah.
c. Bila tidak tersedia fasilitas yang memadai sebaiknya penderita segera di rujuk.
11. Edema Paru
Edema paru pada malaria berat sering timbul dibandingkan dengan komplikasi lainnya.
Edema paru terjadi akibat:
1) Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS)
Tanda-tanda ARDS:
- timbul akut;
- ada gambaran bercak putih pada foto toraks di kedua paru;
- rasio PaO2 : FiO2 <200; dan
- tidak dijumpai tanda gagal jantung kiri.
Manifestasi klinis ARDS:
- takipnoe (nafas cepat) pada fase awal;
- pernafasan dalam;
- sputum ada darah dan berbusa;
- pada foto thoraks ada bayangan pada kedua sisi paru;
- hipoksemia.
2) Over hidrasi (fluid overload) akibat pemberian cairan Dijumpai tanda gagal jantung kiri,
biasanya akibat adanya gagal ginjal akut yang disertai pemberian cairan yang berlebihan.
I. Pencegahan
Program eliminasi malaria di Indonesia tertuang dalam keputusan Menteri Kesehatan RI
No 293/MENKES/SK/IV/2009. Pelaksanaan pengendalian malaria menuju eliminasi dilakukan
secara bertahap dari satu pulau atau beberapa pulau sampai seluruh pulau tercakup guna
terwujudnya masyarakat yang hidup sehat yang terbebas dari penularan malaria sampai tahun
2030. Status Indonesia masih tahap pertama yaitu pada eliminasi malaria di DKI, Bali dan
Barelang Binkar pada tahun 2010.
Untuk melihat sejauh mana perkembangan pengendalian penyakit malaria pada tulisan ini
akan dibahas situasi epidemiologi dan upaya/program pengendalian malaria di Indonesia yang
dilihat dari hasil survei dan laporan program malaria.
Plasmodium penyebab malaria yang ada di Indonesia terdapat beberapa jenis yaitu
plasmodium falsifarum, plasmodium vivax, plasmodium malariae, plasmodium ovale dan yang
mix atau campuran.
Pada tahun 2009 penyebab malaria yang tertinggi adalah plasmodium vivax (55,8%),
kemudian plasmodium falsifarum, sedangkan plasmodium ovale tidak dilaporkan. Data ini
berbeda dengan data riskesdas 2010, yang mendapatkan 86,4% penyebab malaria adalah
plasmodium falsifarum, dan plasmodium vivax sebanyak 6,9%.
Upaya untuk menekan angka kesakitan dan kematian dilakukan melalui program
pemberantasan malaria yang kegiatannya antara lain meliputi diagnosis dini, pengobatan cepat
dan tepat, surveilans dan pengendalian vektor yang kesemuanya ditujukan untuk memutus mata
rantai penularan malaria.
Indikator keberhasilan Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun 2010-2014
adalah menurunkan angka kesakitan malaria dan kematian penyakit malaria, pada tahun 2015
menjadi 1 per 1.000 penduduk dari baseline tahun 1990 sebesar 4,7 per 1.000 penduduk.
Indikator lain yang perlu diperhatikan adalah target MDGs yaitu angka kematian malaria dan
proporsi balita yang tidur dalam perlindungan kelambu berinsektisida dan proporsi balita yang
diobati.
1. Upaya pengendalian yang dilaporkan melalui Laporan Rutin Program
Terdapat beberapa upaya yang dilakukan dalam program pencegahan malaria seperti
pemakaian kelambu, pengendalian vektor.
a. Pemakaian Kelambu
Pemakaian kelambu adalah salah satu dari upaya pencegahan penularan penyakit
malaria. Melalui bantuan Global Fund (GF) komponen malaria ronde 1 dan 6 telah
dibagikan kelambu berinsektisida ke 16 provinsi.
b. Pengendalian Vektor
Untuk meminimalkan penularan malaria maka dilakukan upaya pengendalian
terhadap Anopheles sp sebagai nyamuk penular malaria. Beberapa upaya pengendalian
vektor yang dilakukan misalnya terhadap jentik dilakukan larviciding (tindakan
pengendalian larva Anopheles sp secara kimiawi, menggunakan insektisida), biological
control ( menggunakan ikan pemakan jentik), manajemen lingkungan, dan lain-lain.
Pengendalian terhadap nyamuk dewasa dilakukan dengan penyemprotan dinding rumah
dengan insektisida (IRS/ indoors residual spraying) atau menggunakan kelambu
berinsektisida. Namun perlu ditekankan bahwa pengendalian vektor harus dilakukan
secara REESAA (rational, effective, efisien, suntainable, affective dan affordable)
mengingat kondisi geografis Indonesia yang luas dan bionomik vektor yang beraneka
ragam sehingga pemetaan breeding places dan perilaku nyamuk menjadi sangat penting.
Untuk itu diperlukan peran pemerintah daerah, seluruh stakeholders dan masyarakat
dalam pengendalian vektor malaria.
c. Diagnosis dan Pengobatan
Selain pencegahan, diagnosis dan pengobatan malaria juga merupakan upaya
pengendalian malaria yang penting.
Pemeriksaan Sediaan Darah (SD)
Untuk diagnosis malaria salah satu yang perlu dilihat adalah pemeriksaan sediaan
darah. Untuk pemeriksaan sediaan darah dari tahun 2008 sampai tahun 2010 terjadi
peningkatan penderita malaria klinis yang diperiksa sediaan darahnya. Pada tahun 2008
dari 1.912.698 malaria klinis diperiksa sediaan darahnya hanya 921.599 (48,18%). Tahun
2009 dan 2010 malaria klinis yang diperiksa sedian darahnya sudah di atas 50% (tahun
2009 sebesar 75,61%, tahun 2010 sebesar 64,44%). Pencapaian ini dapat dipertahankan
dan terus ditingkatkan dengan dukungan dari pemerintah dan pemerintah daerah untuk
menjaminan ketersediaan bahan/reagen lab/mikroskospis malaria, kemampuan petugas
kesehatan, jangkauan pelayanan kesehatan dan ketersediaan obat malaria.
BAB III
PENUTUP
Malaria merupakan penyakit yang disebabkan oleh parasit plasmodium vivax, malariaee,
falsiparrum ataupun knowlesi. Malaria berat merupakan infeksi Plasmodium falsiparum stadium
aseksual dengan satu atau lebih komplikasi berupa : malaria cerebral, anemia berat, gagal ginjal
akut, edema paru, hipoglikemi, syok perdarahan, kejang, asidosis dan makroskopis
hemoglobinuria. Penyebab Malaria Berat sering karena infeksi plasmodium falsiparum, tapi
plasmodium vivax dan plasmodium knowlesi juga dapat menyebabkan malaria berat.
Patogenesis malaria berat masih belum jelas, diduga adanya sitoaderen dan sekuestrasi eritrosit
yang berisi parasit dalam mikrovaskular organ vital. Oleh karena malaria Berat merupakan
keadaan yang emergensi. Untuk itu diperlukan diagnosis yang cepat dan terapi yang tepat untuk
mengurangi mortalitas akibat penyakit ini.
DAFTAR PUSTAKA
Kementrian Kesehatan RI. 2012.Pedoman Penatalaksanaan Kasus Malaria. Jakarta: Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia.
Available at http://www.depkes.go.id/
[Accessed 27 April 2014]
Olumese, Dr P. 2010.Guidelines For The Treatment Of Malaria 2nd Edition. WHO.
Available at http://www.who.int/
[Accessed 25 April 2014]
Anonim. 2012.A Practical Handbook 3rd Edition: Management Of Severe Malaria. WHO.
Available at http://www.who.int/
[Accessed 25 April 2014]
Jawetz, Melnick, & Adelber’s. 2005. Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta: Penerbit Salemba
Medika.
Dinas Kesehatan Provinsi NTB. 2012. Profil Dinas Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Barat
Tahun 2012. Jakarta: Dinas Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Available at http://www.depkes.go.id/
[Accessed 1 May 2014]
Kementrian Kesehatan RI. 2011. Epidemiologi Malaria. Jakarta: Buletin Jendela Data &
Informasi Kesehatan.
Available at http://www.depkes.go.id/
[Accessed 1 May 2014]
Anonim. 2013. Pocket Book Of Hospital Care For Children: Guidelines For The Management Of
Common Childhood Illnesses 2nd Edition. WHO.
Available at http://www.who.int/
[Accessed 1 May 2014]
Parasitologi Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia