laporan tutorial skenario c blok 6

110
LAPORAN TUTORIAL BLOK 6 SKENARIO C DISUSUN OLEH : KELOMPOK B 9 Tutor : dr. Tia Sabrina Moderator : Muhammad Kokoh Saputra Sekretaris meja : Ezi Septyandra Sekretaris papan : Muhammad Ihsan Rido Mulawarman 04011281320010 Kevin Arjun 04011281320012 Frischa Trirosalia 04011381320006 Bianca Theodeanna 04011381320066 Siti Farahhiyah Dwi Mubarani 04011281320046 Indah Permata Sari 04011181320046 Yeni Intan Cahyati 04011181320112 Ezi Septyandra 04011181320032 Sinta Nida Fadillah 04011281320028 Umi Salamah 04011181320110 Muhammad Ihsan 04011381320068 M. Kokoh Saputra 04011381320024 1

Upload: umiieg-miansyah

Post on 19-Jan-2016

160 views

Category:

Documents


33 download

TRANSCRIPT

Page 1: LAPORAN Tutorial Skenario C Blok 6

LAPORANTUTORIAL BLOK 6

SKENARIO C

DISUSUN OLEH : KELOMPOK B 9Tutor : dr. Tia Sabrina

Moderator : Muhammad Kokoh SaputraSekretaris meja : Ezi Septyandra

Sekretaris papan : Muhammad Ihsan

Rido Mulawarman 04011281320010Kevin Arjun 04011281320012Frischa Trirosalia 04011381320006Bianca Theodeanna 04011381320066Siti Farahhiyah Dwi Mubarani 04011281320046Indah Permata Sari 04011181320046Yeni Intan Cahyati 04011181320112Ezi Septyandra 04011181320032Sinta Nida Fadillah 04011281320028Umi Salamah 04011181320110Muhammad Ihsan 04011381320068M. Kokoh Saputra 04011381320024

FAKULTAS KEDOKTERANPENDIDIKAN DOKTER UMUM

UNIVERSITAS SRIWIJAYA2013

1

Page 2: LAPORAN Tutorial Skenario C Blok 6

Kata Pengantar

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan Laporan Tutorial Blok 6 Skenario C ini.

Laporan ini disusun dengan tujuan untuk memenuhi tugas tutorial yang merupakan bagian dari sistem pembelajaran KBK di Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.

Penyusun mengucapkan terima kasih kepada tutor serta semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan laporan tugas tutorial ini.

Kami menyadari bahwa laporan ini masih belum sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran dari pembaca akan kami terima dengan tangan terbuka guna perbaikan di masa yang akan datang.

Penyusun

2

Page 3: LAPORAN Tutorial Skenario C Blok 6

Daftar Isi

Kata Pengantar………………………………………………………………….. 2

Daftar Isi………………………………………………………………………… 3

Skenario…………………………………………………………………………. 4

I. Klarifikasi Isitlah……………………………………………………………. 5

II. Identifikasi Masalah…………………………………………………………. 5

III. Analisis Masalah…………………………………………………………….. 6

IV. Keterkaitan antar masalah…………………………………………………… 38

V. Kerangka Konsep……………………………………………………………….. 39

VI. Sintesis Masalah…………………………………………………………….. 40

Kesimpulan……………………………………………………………………… 71

Daftar Pustaka…………………………………………………………………... 72

3

Page 4: LAPORAN Tutorial Skenario C Blok 6

SKENARIO

Latina, a 35-year old woman complain of excruiciating pain of the right cheek and

chin. These pain episodes often triggered by rushing teeth and lat for a few seconds and are

very intense. She had been diagnosed with multiple sclerosis 2 years previously. She is not

taking any medications currently, although she previously received intravenous corticosteroid

therapy. On examination it’s found that there is no sign of opthalmoplegia and no

abnormality of her sight, hearing, smell and taste system. The face appears to be symmetrical

and she can protrude her tongue without difficulty. Her physician says that she sufer from tic

douloureux.

4

Page 5: LAPORAN Tutorial Skenario C Blok 6

I. KLARIFIKASI ISTILAH

1. Excruciating pain : sakit yang menyiksa

2. Multiple sclerosis : bercak demyelinisasi di seluruh substansi alba siste syaraf pusat

yang kadang kadang menyebar ke substansia grisea, gejala lesi substansia alba adalah

kelemahan, inkoordinasi, parastesia, gangguan bicara, dan keluhan visual.

3. Intravenous corticosteroid therapy : terapi dengan memberikan hormone sintetik

yang setara dengan setiap steroid yang dikeluarkan oleh kortex adrenal (tidak

termasuk hormone sex kedalam satu vena / beberapa vena.

4. Opthalmoplegia : paralisis otot mata

5. Symmetrical face : wajah yang simetris.

6. Protrude her tongue : penjuluran lidah

7. Tic douloureux : gerakan atau vokalisasi stereotipik berulang, cepat, kompulsif,

dan involunter, yang dirasakan tidak dapat ditahan meskipun dapat ditekan untuk

beberapa waktu pada trigeminal neuralgia.

II. IDENTIFIKASI MASALAH

1. Latina, a 35-year old woman complain of excruiciating pain of the rightcheek and

chin. *****

2. These pain episodes often triggered by brushing teeth and last for a few seconds and

are very intense and She had been diagnosed with multiple sclerosis 2 years

previously.***

3. She is not taking any medications currently, although she previously received

intravenous corticosteroid therapy.**

4. On examination it’s found that there is no sign of opthalmoplegia and no abnormality

of her sight, hearing, smell and taste system, and The face appears to be symmetrical

and she can protrude her tongue without difficulty.*

5. Her physician says that she sufer from tic douloureux. ****

Main Problem : Latina, a 35-year old woman complain of excruiciating pain of the

right cheek and chin

5

Page 6: LAPORAN Tutorial Skenario C Blok 6

III. ANALISIS MASALAH

1. Latina, a 35-year old woman complain of excruiciating pain of the rightcheek

and chin. *****

a. Bagaimana anatomi wajah ?

Saya menjelaskan sesuai skenario, langsung anatomi inervasi pada wajah

2.

6

Page 7: LAPORAN Tutorial Skenario C Blok 6

Saraf trigeminal atau saraf kranial ke 5 terutama memberi persarafan pada kulit muka,

konjungtiva dan kornea, mukosa dari hidung , sinus-sinus dan bagian frontal dari

rongga mulut , juga sebagian besar dari duramater. Saraf ini keluar dari bagian lateral

pons berupa akar saraf motoris dan saraf sensoris. Akar saraf yang lebih kecil, yang

disebut juga portio minor nervi trigemini, merupakan akar saraf motoris. Berasal dari

nukleus motoris dari saraf trigeminal dibatang otak terdiri dari serabut-serabut

motoris, terutama mensarafi otot-otot pengunyah.

Dalam perjalanannya akar saraf ini melalui ganglion disebelah medial dari akar

sensoris yang jauh lebih besar, sebelum bergabung dengan saraf mandibularis pada

saat melalui foramen ovale dari os. Sphenoid. Akar sensoris saraf trigeminal yang

lebih besar disebut dengan portio major nervi trigemini yang memberi penyebaran

serupa dengan akar-akar saraf dorsalis dari saraf spinal. Akar-akar saraf sensoris ini

akan melalui ganglion trigeminal ( ganglion gasseri ) dan dari sini keluar tiga cabang

saraf tepi yaitu cabang optalmikus, cabang maksilaris dan cabang mandibularis.

Cabang pertama yaitu saraf optalmikus berjalan melewati fissura orbitalis superior

dan memberi persarafan sensorik pada kulit kepala mulai dari fissura palpebralis

sampai bregma ( terutama dari saraf frontalis ) dan suatu cabang yang lebih kecil ke

bagian atas dan medial dari dorsum nasi. Konjungtiva, kornea dan iris, mukosa dari

7

Page 8: LAPORAN Tutorial Skenario C Blok 6

sinus frontalis dan sebagian dari hidung, juga sebagian dari duramater dan pia-

arakhnoid juga disarafi oleh serabut, saraf sensoris dari saraf ophtalmikus. Cabang

kedua, yaitu saraf maksilaris memasuki fossa pterygopalatina melalui foramen

maksilaris superior memberikan cabang saraf zygomatikus yang menuju ke orbita

melewati fissura orbitalis inferior. Batang utamanya yaitu saraf infra orbitalis menuju

ke dasar orbita melewati fissura yang sama. Sewaktu keluar dari foramen infra

orbitalis, saraf ini terbagi menjadi beberapa cabang yang menyebar di permukaan

maksila bagian atas dari wajah bagian lateral dari hidung dan bibir sebelah atas.

Sebelum keluar dari foramen infra orbitalis, didapat beberapa cabang yang mensarafi

sinus maksilaris dan gigi-gigi molar dari rahang atas, ginggiva dan mukosa mulut

yang bersebelahan. Cabang yang ketiga, merupakan cabang yang terbesar yaitu saraf

mandibularis. Saraf ini keluar dari rongga kepala melalui foramen ovale dari os

sphenoid, selain terdiri dari akar-akar saraf motoris dari saraf trigeminal, juga

membawa serabut-serabut sensoris untuk daerah buccal, ke rahang bawah dan bagian

depan dari lidah, gigi mandibularis, ginggiva. Cabang aurikulo temporalis yang

memisahkan diri sejak awal, mensarafi daearah didepan dan diatas daun telinga

maupun meatus akustikus eksternus dan membrana tympani. Serabut - serabut

sensoris untuk duramater yang merupakan cabang - cabang dari ketiga bagian saraf

trigeminal berperan dalam proyeksi rasa nyeri yang berasal dari intracranial.

Terdapat hubungan yang erat dari saraf trigeminal dengan saraf otonomik/simpatis,

dimana ganglia siliaris berhubungan dengan saraf ophtalmikus , ganglion

pterygopalatina dengan saraf maksilaris sedangkan ganglion otikus dan submaksilaris

berhubungan dengan cabang mandibularis.

ANATOMI NERVUS TRIGEMINUS

Nervus Trigeminus merupakan nervus cranialis yang terbesar dan melayani arcus

branchialis pertama. Nervus ini mengandung serat-serat branchiomotorik dan aferen

somatik umum (yang terdiri atas komponen ekteroseptif dan komponen proprioseptif),

dengan nuclei sebagai berikut :

a. Nucleus Motorius Nervi Trigemini

Dari Nucleus ini keluar serat-serat branchiomotorik yang berjalan langsung ke arah

8

Page 9: LAPORAN Tutorial Skenario C Blok 6

ventrolateral menyilang serat-serat pedunculus cerebellaris medius (fibrae

pontocerebellares) dan pada akhirnya akan melayani m. Masticatores melalui rami

motori nervi mandibularis dan m. Tensor Veli Palatini serta m. Mylohyoideus.

b. Nucleus Pontius, Nervi Trigemini dan Nucleus Spinalis Nervi Trigemini

Kedua Nucleus ini menerima impuls-impuls eksteroseptif dari daerah muka dan

daerah calvaria bagian ventral sampai vertex.

Di antara kedua nucleus di atas terdapat perbedaan fungsional yang penting : di dalam

nucleus Pontius berakhir serat-serat aferan N. V yang relatif kasar, yang

mengantarkan impuls-impuls rasa raba, sedangkan nucleus spinalis N. V terdiri atas

sel-sel neuron kecil dan menerima serat-serat N. V yang halus yang mengantarkan

impuls-impuls eksteroseptif nyeri dan suhu

b. Bagaimana etiologi nyeri pada pipi kanan dan dagu?

Etiologi nyeri di pipi kanan dan dagu biasanya disebabkan oleh terganggunya

saraf trigemal. Neuralgia trigeminal adalah suatu kondisi nyeri kronis yang

mempengaruhi saraf trigeminal, yang menimbulkan sensasi nyeri dari wajah ke

otak. Jika Anda memiliki neuralgia trigeminal, stimulasi ringan seperti menyikat

gigi atau memakai makeup dapat memicu sentakan sakit yang luar biasa.

Penyakit ini lebih sering mempengaruhi perempuan daripada laki-laki, dan

lebih mungkin terjadi pada orang yang lebih tua dari 50 tahun.

Penyebab

Neuralgia trigeminal disebabkan oleh penuaan atau karena multiple sclerosis

atau gangguan serupa yang merusak selubung myelin pelindung saraf tertentu.

Penyakit ini juga dapat disebabkan karena tumor yang menekan saraf trigeminal,

tetapi hal ini kurang umum terjadi. Beberapa orang mungkin mengalami neuralgia

trigeminal karena lesi otak atau kelainan lainnya. Beberapa faktor lain yang belum

diketahui juga dapat menyebabkan Neuralgia trigeminal. Hal-hal di bawah ini

dapat memicu rasa nyeri pada penderita Neuralgia trigeminal:

1. Mencukur

2. Membelai wajah

3. Makanan

9

Page 10: LAPORAN Tutorial Skenario C Blok 6

4. Minum

5. Menyikat gigi

6. Pembicaraan

7. Merias wajah

8. Tersenyum

9. Mencuci wajah

Gejala

Gejala neuralgia trigeminal dapat berupa:

1. Sesekali kedutan yang menyebabkan nyeri ringan

2. Nyeri yang menusuk-nusuk seperti sengatan listrik

3. Serangan nyeri yang dipicu oleh hal-hal seperti menyentuh wajah, mengunyah,

berbicara dan menyikat gigi

4. Nyeri selama beberapa hari, minggu, bulan atau lebih lama

5. Nyeri pada pipi, rahang, gigi, gusi, bibir, atau kurang sering mata dan dahi

6. Sakit di satu sisi wajah

7. Nyeri terfokus di satu tempat atau menyebar dalam pola yang lebih luas

c. Bagaimana patofisiologi nyeri pada pipi kanan dan dagu?

Neuralgia Trigeminal dapat terjadi akibat berbagai kondisi yang

melibatkan sistem persarafan trigeminus ipsilateral. Pada kebanyakan kasus,

tampaknya yang menjadi etiologi adalah adanya kompresi oleh salah satu

arteri di dekatnya yang mengalami pemanjangan seiring dengan perjalanan

usia, tepat pada pangkal tempat keluarnya saraf ini dari batang otak. Lima

sampai delapan persen kasus disebabkan oleh adanya tumor benigna pada

sudut serebelo-pontin seperti meningioma, tumor epidermoid, atau neurinoma

akustik. Kira-kira 2-3% kasus karena sklerosis multipel. Ada sebagian kasus

yang tidak diketahui sebabnya. Menurut Fromm, neuralgia Trigeminal bisa

mempunyai penyebab perifer maupun sentral.

Sebagai contoh dikemukakan bahwa adanya iritasi kronis pada saraf

ini, apapun penyebabnya, bisa menimbulkan kegagalan pada inhibisi

segmental pada nukleus/ inti saraf ini yang menimbulkan produksi ectopic

action potential pada saraf Trigeminal. Keadaan ini, yaitu discharge neuronal

yang berlebihan dan pengurangan inhibisi, mengakibatkan jalur sensorik yang

10

Page 11: LAPORAN Tutorial Skenario C Blok 6

hiperaktif. Bila tidak terbendung akhirnya akan menimbulkan serangan nyeri.

Aksi potensial antidromik ini dirasakan oleh pasien sebagai serangan nyeri

trigerminal yang paroksismal. Stimulus yang sederhana pada daerah pencetus

mengakibatkan terjadinya serangan nyeri.

Efek terapeutik yang efektif dari obat yang diketahui bekerja secara

sentral membuktikan adanya mekanisme sentral dari neuralgi. Tentang

bagaimana multipel sklerosis bisa disertai nyeri Trigeminal diingatkan akan

adanya demyelinating plaques pada tempat masuknya saraf, atau pada nukleus

sensorik utama nervus trigeminus.

Pada nyeri Trigeminal pasca infeksi virus, misalnya pasca herpes,

dianggap bahwa lesi pada saraf akan mengaktifkan nociceptors yang berakibat

terjadinya nyeri. Tentang mengapa nyeri pasca herpes masih bertahan sampai

waktu cukup lama dikatakan karena setelah sembuh dan selama masa

regenerasi masih tetap terbentuk zat pembawa nyeri hingga kurun waktu yang

berbeda. Pada orang usia muda, waktu ini relatif singkat. Akan tetapi, pada

usia lanjut nyeri bisa berlangsung sangat lama. Pemberian antiviral yang cepat

dan dalam dosis yang adekuat akan sangat mempersingkat lamanya nyeri ini.

Peter Janetta menggolongkan neuralgia glossopharyngeal dan

hemifacial spasm dalam kelompok "Syndromes of Cranial Nerve

Hyperactivity". Menurut dia, semua saraf yang digolongkan pada sindroma ini

mempunyai satu kesamaan: mereka semuanya terletak pada pons atau medulla

oblongata serta dikelilingi oleh banyak arteri dan vena. Pada genesis dari

sindroma hiperaktif ini, terdapat dua proses yang sebenarnya merupakan

proses penuaan yang wajar:

1. Memanjang serta melingkarnya arteri pada dasar otak.

2. Dengan peningkatan usia, karena terjadinya atrofi, maka otak akan

bergeser atau jatuh ke arah caudal di dalam fossa posterior dengan

akibat makin besarnya kontak neurovaskuler yang tentunya akan

memperbesar kemungkinan terjadinya penekanan pada saraf yang

terkait.

Ada kemungkinan terjadi kompresi vaskuler sebagai dasar penyebab

umum dari sindroma saraf kranial ini. Kompresi pembuluh darah yang

berdenyut, baik dari arteri maupun vena, adalah penyebab utamanya. Letak

kompresi berhubungan dengan gejala klinis yang timbul. Misalnya, kompresi

11

Page 12: LAPORAN Tutorial Skenario C Blok 6

pada bagian rostral dari nervus trigeminus akan mengakibatkan neuralgia

pada cabang oftalmicus dari nervus trigeminus, dan seterusnya. Menurut

Calvin, sekitar 90% dari neuralgia Trigeminal penyebabnya adalah adanya

arteri "salah tempat" yang melingkari serabut saraf ini pada usia lanjut.

Mengapa terjadi perpanjangan dan pembelokan pembuluh darah, dikatakan

bahwa mungkin sebabnya terletak pada predisposisi genetik yang ditambah

dengan beberapa faktor pola hidup, yaitu merokok, pola diet, dan sebagainya.

Pembuluh darah yang menekan tidak harus berdiameter besar. Walaupun

hanya kecil, misalnya dengan diameter 50-100 um saja, sudah bisa

menimbulkan neuralgia, hemifacial spasm, tinnitus, ataupun vertigo. Bila

dilakukan microvascular decompression secara benar, keluhan akan hilang.

2. These pain episodes often triggered by brushing teeth and last for a few seconds

and are very intense and She had been diagnosed with multiple sclerosis 2 years

previously.***

a. Bagaimana anatomi columna vertebrae?

ANATOMI COLLUMNA VERTEBRAE

1.1 Collumna vertebralis

Menurut Snell, Richard S. (2006), collumna vertebralis terdiri atas 33

vertebra yaitu :

- 7 vertebra cervicalis

- 12 vertebra thoracalis

- 5 vertebra lumbalis

- 5 vertebra sacralis

- 4 vertebra coccyges

12

Page 13: LAPORAN Tutorial Skenario C Blok 6

Dari 33 vertebra tersebut, hanya 24 vertebra, yaitu 7 vertebra cervicalis, 12

vertebra thoracicus, dan 5 vertebra lumbalis yang dapat digerakkan pada

orang dewasa. Pada orang dewasa kelima vertebra sacralis melebur untuk

membentuk os sacrum dan keempat vertebra coccyges melebur untuk

membentuk os coccyges (Moore, Keith L., 2002)

Fungsi collumna vertebralis :

- Menyangga berat kepala dan batang tubuh

- Memungkinkan pergerakkan kepala dan batang tubuh

- Melindungi medulla spinalis

- Memungkinkan keluarnya nervus spinalis dari canalis spinalis

- Tempat untuk perlekatan otot-otot

VERTEBRA CERVICALIS ATIPIKAL

13

Page 14: LAPORAN Tutorial Skenario C Blok 6

osatlas(vc1) :

- Tidak memiliki corpus vertebra, hanya arcus anterior dan arcus

posterior

- Tidak memiliki processus spinosus tetapi tuberculum posterius

- Di kanan dan kirinya terdapat massa lateralis, facies superior bersendi

dengan condyles occipitalis dan facies inferior bersendi dengan vc 2

atau os axis

- Foramen vertebra besar dan bentuknya segi-5

os axis (vc2)

- Memiliki dens pada corpus vertebraenya

- Foramen vertebralis bentuk segitiga

- Processus spinosus bipida

VC 7(PROMINENS)

14

Page 15: LAPORAN Tutorial Skenario C Blok 6

- Jika dibandingkan dengan vertebra cervicalis yang tipikal corpus pada

vertebra cervicalis 7 terdapat epifisis anularisny

- Processus spinosus lurus kebelakang, menonjol dan dapat diraba

- Processus articularis superior untuk bersendi dengan processus

articularis inferior vertebrae cervicalis 6

VERTERBRA CERVICALES TIPIKAL (VC 3-4-5-6)

( Lihat gambar perbandingan vc 7 dan vc 5 diatas)

- Corpus berbentuk persegi panjang

- Foramen vertebralis berbentuk segitiga dan lebih besar

- Processus transversus akan membentuk foramen transversarium

( tempat keluarnya arteri dan vena vertebralis)

- Processus spinosus akan bercabang dua

- Memiliki processus articularis yang facies superior bersendi dengan

facies inferior corpus diatasnya. Dan facies inferior bersendi dengan

facies superior vertebrae dibawahnya.

1.2 SUSUNAN SARAF SPINALIS

Di sepanjang medulla spinalis melekat 31 pasang nervus spinalis

melalui radix anterior atau motorik dan radix posterior atau sensorik.

Masing -Masing radix melekat pada medulla spinalis melalui sederetan

radix kecil yang terdapat disepanjang segmen medulla spinalis yang

sesuai. Setiap radix mempunyai sebuah ganglion radix posterior, yang

15

Page 16: LAPORAN Tutorial Skenario C Blok 6

axon sel-selnya memberikan serabut-serabut saraf perifer dan pusat

(Snell, Richard S., 200

31 pasang saraf spinalis terdiri atas 8 pasang cervical, 12 pasang

thoracal, 5 pasang lumbal, 5 pasang sacral, dan 1 pasang coccygeal.

b. Bagaimana innervasi yang memicu timbulnya nyeri pada daerah gigi?

Daerah gigi di inervasi oleh Nervus maxillaris [V/2] untuk daerah gigi bagian

atas, Nervus Alveolaris Inferior untuk daerah gigi bagian bawah dan Nervus

Buccalis menginervasi daerah pipi yang menutupi sisi lateral daerah gigi. Semua

Nervus tersebut merupakan cabang dari Nervus Trigeminus [V] yang merupakan

saraf campuran motorik dan sensorik. Nyeri yang timbul dalam kasus ini ketika

menyikat gigi kemungkinan di sebabkan oleh N. Buccalis yang tertekan atau

tersenggol ketika menggosok gigi. Kemungkinan ini muncul dikarena N.

Maxillaris dan N. Alveolaris Inferior menjalar dibawah Os Maxilla, Os

Mandibulla dan gigi sehingga kecil kemungkinan untuk tertekan atau tersenggol

kecuali terdapat kelainan pada tulang dan lubang pada gigi.

16

Page 17: LAPORAN Tutorial Skenario C Blok 6

c. Bagaimana etiologi multiple sclerosis?

Penyebab MS adalah suatu autoimmun yang menyerang myelin dan

myelin forming sel pada otak dan medula spinalis, akan tetapi pada MS sebenarnya

bukan suatu autoimmun murni oleh karena tidak adanya antigen respon immun yang

abnormal.MS juga merupakan gangguan autoimun yang dapat dipicu oleh inveksi

virus (mungkin morbili)pada individu yang genetic rentan,yang masih menunggu

untuk dibuktikan lebih lanjut.Kausa MS terdiri dari:

a. Virus : infeksi retrovirus akan menyebabkan kerusakan

oligodendroglia

b. Genetika : penurunan control respon imun

c. Mekanisme lain : stress, toksin , endokrin

d. Bakteri : reaksi silang sebagai respon perangsangan head shock protein

sehingga menyebabkan pelepasan sitokin

e. Diet : berhubungan dengan komposisi membrane, fungsi makrofag,

sintesa prostaglandin

f. Defek pada oligodendroglia

d. Bagaimana patofisiologi multiple sclerosis?

17

Page 18: LAPORAN Tutorial Skenario C Blok 6

Multiple sclerosis mengenai substansia alba otak dan medulla spinalis, serta

nervus opticus. Ditemukan sel inflamasi kronik dan kerusakan myelin dengan

akson yang relatif masih baik. Pada substansia alba terdapat area yang relatif

tampak normal yang berselang-seling dengan fokus inflamasi dan demielinisasi

yang disebut plak, yang seringkali terletak dekat venula. Demielinisasi inflamasi

jalur sistem saraf pusat menyebabkan penurunan dan gangguan kecepatan hantar

saraf dan akhirnya hilangnya penghantaran informasi oleh jaras tertentu.

Plak inflamasi akan mengalami evolusi seiing berjalannya waktu. Pada tahap

awal terjadi perombakan lokal sawar darah-otak, diikuti inflamasi dengan edema,

hilangnya mielin,dan akhirnya terbentuk jaringan parut sistem saraf pusat yaitu

gliosis. Hasil akhir akan menyebabkan area sklerosis yang mengkerut, yang

berkaitan dengan defisit klinis minimal dibandingkan saat plak masih aktif. Hal ini

disebabkan oleh remielinisasi yang merupakan potensi system saraf pusat, dan

juga memperjelas kembalinya fungsi dengan resolusi inflamasi dan edema.

Keadaan patologis ini berhubungan dengan polla klinis relaps sklerosis multiple,

yaitu terjadi gejala untuk suatu periode tertentu yang selanjutnya membaik secara

parsial atau total. Lesi inflamasi lebih lanjut yang terletak dekat lokasi kerusakan

yang sudah ada sebelumnya akan menyebabkan akumulasi defisit neurologis.

18

Page 19: LAPORAN Tutorial Skenario C Blok 6

e. Bagaimana patologi anatomi dari sclerosis?

Penyakit ini terutama mengenai substansia alba otak dan medula spinalis, serta

nervus optikus. Ditemukan sel inflamasi kronik dan kerusakan mielin dengan

akson yang relatif masih baik. Pada substansia alba terdapat area yang relatif

tampak normal yang berselang – seling dengan fokus inflamasi dan demielinisasi

yang disebut juga plak, yang sering kali terletak dekat venula. Demielinisasi

inflamasi jalur SSP menyebabkan penurunan dan gangguan kecepatan hantar saraf

dan akhirnya hilangnya penghantaran informasi oleh jaras tertentu. 3 Plak

inflamasi akan mengalami evolusi seiring dengan waktu. Pada tahap awal terjadi

perombakan lokal sawar darah otak, diikuti inflamasi dengan edema, hilangnya

mielin, dan akhirnya jaringan parut SSP yaitu gliosis. Hasil akhir akan

menyebabkan daerah sklerosis yang mengerut, yang berkaitan dengan defisit

klinis minimal dibandingkan saat plak masih aktif. Hal ini sebagian disebabkan

oleh remielinisasi yang merupakan potensi SSP, dan juga memperjelas

kembalinya fungsi dengan resolusi inflamasi dan edema. Keadaan patologis ini

berhubungan dengan pola klinis relaps multipel multipel, yaitu terjadi gejala untuk

suatu periode tertentuyang selanjutnya membaik secara parsial atau total. Lesi

inflamasi lebih lanjut yang terletak dekat lokasi kerusakan yang sudah ada

sebelumnya akan menyebabkan akumulasi defisit neurologis. Plak tidak harus

berhubungan dengan kejadian klinis spesifik, misalnya jika plak hanya kecil saja

dan terletak pada area SSP yang relatif tenang.3MS ditandai oleh fokus

demielinisasi ( plak ) dan berikutnya, pengrusakan dari badan sel akson dan

neuronal. Perubahan ini bisa tampak dimanapun dalam sistem saraf pusat tetapi

19

Page 20: LAPORAN Tutorial Skenario C Blok 6

mempunyai tempat predileksi di daerah periaquaduktus, dasar ventrikel keempat,

dan area subpial saraf tulang belakang.Neuron dalam substansi abu-abu sering

terlihat utuh dan astrosit sedikit meningkat jumlahnya. Plak di substansi alba

berwarna abu-abu dan keras, ditandai dengan proliferasi glial, fibrillary gliosis,

dan peningkatan kepadatan serat retikulin. Multipel dan fokus sklerotik inilahyang

memberikan nama pada penyakit ini.

f. Bagaimana hubungan sikat gigi dengan nyeri yang timbul pada pipi

kanan dan dagu?

Seperti diketahui N. V merupakan satu-satunya serabut saraf yang

kemungkinan selalu dihadapkan dengan keadaan sepsis sepanjang hidup. Keadaan

sepsis tersebut dapat berupa karies gigi, abses, sinusitis, pencabutan gigi oleh

berbagai sebab, infeksi periodontal, yang kesemuanya diperkirakan dapat menjadi

penyebab NT. Akan tetapi bukti lain menunjukkan banyak juga penderita dengan

infeksi disekitar mulut, cabut gigi yang tidak menderita Neuralgia Trigeminal.

Disisi lain, tidak jarang pula penderita Neuralgia Trigeminal yang ditemukan

tanpa menderita infeksi seperti tersebut diatas.

Dahulu diketahui bahwa Neural Trigeminal berawal dari dikeluhkannya

rasa nyeri area mulut pasca suatu prosedur dental sehingga berakibat munculnya

diagnosis sebagai dry socket pasca ekstraksi gigi. Oleh karena seringnya keluhan

nyeri dirasakan pada gigi geligi atas atau bawah disatu sisi, maka penderita

terdorong mencari pengobatan ke bagian gigi dengan asumsi nyeri tersebut berasal

dari gigi.

Setelah dilakukan ekstraksi gigi timbul nyeri setelah 24-48 jam kemudian

dan biasanya disebabkan adanya osteitis superfisial pada tulang alveolar. Pada

pemeriksaan tidak menunjukkan adanya pembekuan darah setelah dilakukan

ekstraksi maupun tidak ada nyeri lokal pada waktu dilakukan palpasi.

Pada satu penelitian kasus dari 48 penderita dengan NT , 31 penderita

yang diobati sebelumnya telah mengalami 83 tindakan prosedur ”dental”

diantaranya ekstraksi tunggal, ekstraksi multipel, prosedur endodontik, ” complete

denture”, ” periapical surgery ” dsbnya. Kesimpulan hasil penelitian didapatkan

adanya korelasi yang bermakna antara sejumlah pasien yang mendapat tindakan

terapi ”dental” dengan durasi terjadinya neuralgia trigeminal.

20

Page 21: LAPORAN Tutorial Skenario C Blok 6

g. Bagaimana komplikasi dari multiple sclerosis jika dibiarkan terus

menerus?

Multiple sclerosis adalah penyakit yang system saraf yang mempengaruhi otak

dan sum-sum tulang yang diduga penyebabnya adalah autoimun. Myelin sangat

penting karena fungsinya dalam proses penghantar sinyal saraf. Apabila sclerosis

ini dibiarkan terus menerus bisa menyebabkan komplikasi awal sering kabur ,

kebutaan dalam satu mata, kelemahan otot dalam ekstremitas dan kesulitan

dengan koordinasi dan keseimbangan. Dan jika dibiarkan akan menimbulkan

kelumpuhan , fasa abnormal indra perasaan , mkerusakan kognitif seperti

kesulittan konsentrasi, perhatan, memori dan penilaian buruk, gangguan

penglihatan ( penglihatan kabur, penglihatan membayang, neuritis optikal,

pergerakan ata yang tidak terkontrol, kebutaan), gangguan kemampuan bicara

(perlambatan cara berbicara , berbicara seperti menggumam, perubaan ritme

berbicara, sulit menelan), gangguan kandung (sering buang air kecil, tidak dapat

buang air kecil secara tuntas atau tidak bisa menahan air kecil), gangguan usus

(konstipasi/sembelit, dan kadang-kadang diare).

3. She is not taking any medications currently, although she previously received

intravenous corticosteroid therapy.**

a. Apa yang dimaksud dengan intravenous corticosteroid therapy?

Terapi farmakologi dengan pemberian bentuk sediaan larutan injeksi

kortikosteroid (mis. Metilprednisolon) melalui rute intravena.

Intravena merupakan rute pemberian yang memasukkan cairan tertentu langsung

kedalam pembuluh darah. Pemberian rute intravena merupakan rute yang paling cepat

dalam menghantarkan obat ke seluruh tubuh. Akan tetapi, di satu sisi pemberian

intravena juga merupakan rute yang berbahaya karena obat atau cairan yang

dimasukkan akan sangat sulit untuk dikeluarkan apabila terjadi kesalahan.

Kortikosteroid (atau lebih sering disingkat sebagai steroid) pertama kali

diperkenalkan sebagai terapi pada tahun 1950. Sejak saat itu, kortikosteroid dikenal

sebagai anti inflamasi yang cepat dan sangat kuat. Kebanyakan pasien mengalami

perbaikan gejala dalam beberapa hari sejak penggunaan kortikosteroid. Efek samping

khas dan umum dari kortikosteroid adalah efek imunosupresan. Artinya kortikosteroid

21

Page 22: LAPORAN Tutorial Skenario C Blok 6

menurunkan aktivitas sistem imun. Sebagai akibatnya, pada beberapa individu,

kemungkinan terjadinya infeksi lebih tinggi.

Secara umum, kortikosteroid diberikan pada penggunaan durasi singkat pada

serangan akut. Sangat jarang kortikosteroid digunakan untuk serangan kronik atau

maintenance. Selain itu penggunaan kortikosteroid jangka panjang juga memberikan

komplikasi dan efek samping yang berat. Beberapa efek samping kortikosteroid

diantaranya adalah

- Tekanan darah yang tinggi

- Gemuk air (moon face)

- Peningkatan risiko infeksi

- Peningkatan bobot badan

- Jerawat

- Fluktuasi mood

- Psikosis dan simptom psikiatrik lainnya

- Pertumbuhan rambut di wajah

- Karatak

- Keriput

- Peningkatan kadar gula darah

- Osteoporosis

- Insomnia

- Peptic ulcer

22

Page 23: LAPORAN Tutorial Skenario C Blok 6

b. Bagaimana cara melakukan intravenous corticosteroid therapy?

c. bagaimana cara kerja intravenous corticosteroid therapy di dalam tubuh?

d. Apa manfaat dari intravenous corticosteroid therapy?

b. Bagaimana cara melakukan intravenous corticosteroid therapy?

pra : pemeriksaan hematologi rutin, kadar ion kalium dan natrium untuk

monitor obat. Kemudian perawat akan memeriksa tekanan darah sebelum dan

sesudah pemberian injeksi.

Hematologi rutin berfungsi dalam pemantauan efek imunosupresi. Sementara

kalium dan natrium darah dipantau dalam rangka memastikan keseimbangan

kedua elektrolit tersebut. Tingginya kadar glukokortikoid dalam darah (dalam

hal ini kortikosteroid) memberikan efek retensi cairan yang mengarahkan pada

ketidak seimbangan elektrolit. Ketidakseimbangan ini dipicu dengan

tertahannya natrium dalam cairan tubuh, sementara kalium dikeluarkan

melalui urin (hipokalemia).

Penumpukan natrium dalam darah salah satunya dapat memicu

terjadinya hipertensi. Sementara terbuangnya kalium yang berfungsi dalam

mekanisme aktivasi insulin selular akan mengakibatkan reseptor insulin sel

tubuh berkurang kepekaannya. Hal ini menyebabkan peningkatkan kadar

glukosa darah, terutama pada orang – orang DM atau yang mempunyai risiko

23

Page 24: LAPORAN Tutorial Skenario C Blok 6

DM. Tekanan darah merupakan prosedur standar yang umumnya dipantau

untuk menangani terjadinya reaksi hipersensitivitas tipe I dengan cepat (syok

anafilaktik).

Injeksi intravena umumnya diberikan melalui IV drip selama 30 – 45

menit (encerkan hingga 1 mg/mL dan diberikan selama 20 – 30 menit) atau IV

bolus (encerkan hingga 50 mg/mL dan berikan selama 30 detik atau lebih dari

10 menit jika dosis > 500 mg)

Terapi kortikosteroid IV umumnya diberikan dalam bentuk

metilprednisolon yang bervariasi dari 500 – 1000 mg/hari, diberikan tanpa

atau bersamaan dengan prednison oral pada dosis 60-80 mg/hari. Pemberian

kortikosteroid secara per oral dapat memicu komplikasi saluran cerna,

terutama pada pasien yang berisiko tinggi.

Post : kembalilah beraktivitas secara normal

Pemberian IV kortikosteroid umumnya 1 – 5 hari. Selama pemberian

beberapa peresepan yang umumnya diberikan : prednison tablet per oral dan

inhibitor pompa proton (jika terdapat faktor risiko stomach ulcer).

c. Bagaimana cara kerja intravenous corticosteroid therapy di dalam tubuh?

24

Page 25: LAPORAN Tutorial Skenario C Blok 6

Mekanisme kerja kortikosteroid belum diketahui secara jelas. Diduga steroid

meningkatkan proses pemulihan pada kasus MS dengan mengurangi edema

pada daerah demyelinasi. Metilprednisolon IV terbukti menurunkan durasi

acute excerbations dan dapat menunda serangan ulang hingga 2 tahun sejak

neuritis optik.

Mekanisme selular yang terjadi adalah menurunkan inflamasi dengan

supresi migrasi leukosit polimorfonuklear dan menurunkan permeabilitas

kapiler. Selain itu kortikosteroid juga dapat menekan mediator inflamasi dan

menekan respon imun.

Pada kasus serangan akut multiple sclerosis, reaksi sel imun yang

berlebih dapat ditekan dengan cepat apabila diberikan kortikosteroid dalam

bentuk injeksi intra vena.

Interaksi obat yang perlu diperhatikan pada pemberian kortikosteroid

adalah penggunaan bersamaan dengan antimikroba umumnya

dikontraindikasikan terutama pada antimikroba golongan inhibitor sintesis

protein. Hal ini disebabkan pada proses penyembuhan infeksi dengan

25

Page 26: LAPORAN Tutorial Skenario C Blok 6

antimikroba tersebut, sistem imun berperan penting, sehingga penggunaan

bersamaan dengan kortikosteroid akan mensupresi sistem imun dan

memperlambat proses penyembuhan. Penggunaan bersamaan dengan

barbiturat, carbamazepin, fenitoin, primidon, atau rifampisin dapat

menurunkan efek kortikosteroid karena obat-obatan tersebut menginduksi

enzim di hati, sehingga eliminasi kortikosteroid lebih cepat. Berkebalikan

dengan kondisi sebelumnya, kontrasepsi oral atau ritonavir dapat

meningkatkan kadar kortikosteroid sistemik. Penggunaan bersamaan dengan

diuretik boros kalium dapat menyebabkan hipokalemia serius yang

membahayakan jiwa.

d. Apa manfaat dari intravenous corticosteroid therapy?

Pada kasus multiple sclerosis, IV kortikosteroid digunakan untuk serangan

akut eksaserbasi. Dalam durasi singkat, IV kortikosteroid mencegah keparahan

dan memperpendek durasi serangan akut. Pada umumnya manifestasi pertama

multiple sclerosis adalah neuritis optik akut, kortikosteroid dapat diberikan

untuk menunda munculnya gejala lain hingga maksimal 2 tahun.

Kortikosteroid pada kasus multiple sclerosis mengurangi durasi

kambuh dan mempercepat pemulihan. Metilprednisolon merupakan pilihan

pertama dalam serangan akut eksaserbasi multiple sclerosis. Meskipun dapat

mencegah kekambuhan, hingga saat ini belum ditemukan evidence based

untuk mengatasi multiple sclerosis dengan kortikosteroid. Pemberian

kortikosteroid secara berkala (pulse steroid) misalnya sebulan sekali secara

intravena terbukti memberikan manfaat penurunan kekambuhan pasien

multiple sclerosis. Hingga saat ini, belum tersedia cukup bukti penggunaan

kortikosteroid jangka panjang dapat memperbaiki simptom dengan signifikan.

Sementara efek samping penggunaan jangka panjang lebih dominan dan telah

terbukti.

26

Page 27: LAPORAN Tutorial Skenario C Blok 6

4. On examination it’s found that there is no sign of opthalmoplegia and no

abnormality of her sight, hearing, smell and taste system, and The face appears

to be symmetrical and she can protrude her tongue without difficulty.*

a. Bagaimana etiologi opthalmoplegia?

Opthalmoplegia yang artinya otot mata yang mengalami kelumpuhan

(paralisis) / hilangnya fungsi motorik. Kelumpuhan ini terjadi di Syaraf

Kranial yang mengontrol Pergerakan Mata (syaraf ke-3, ke-4, ke-6),

mengganggu kemampuan untuk menggerakkan mata. gerakan mata

dipengaruhi tergantung pada syaraf mana yang terkena. Mata digerakkan oleh

tiga pasang otot, dikendalikan oleh syaraf cranial ke-3, ke-4, dan ke-6. otot-

otot ini menggerakkan mata ke atas dan ke bawah, ke kanan dan ke kiri, dan

secara diagonal. Orang bisa mengalami penglihatan ganda ketika mereka

melihat pada arah tertentu. Selain itu hal hal yang dapat merusak syaraf cranial

antara lain :

Luka kepala

Tumor

Multiple sclerosis

Aneurysms

Infeksi otak, seperti meningitis, bisul otak atau infeksi parasit

Komplikasi pada telinga atau infeksi mata

Penyumbatan pada arteri yang mensuplai syaraf, bisa disebabkan dari

diabetes, stroke, serangan ischemic transient, atau vasculitis.

Infeksi pernafasan (pada anak)

b. Bagaimana patofisiologi Opthalmoplegia?

Penyebab dari cedera atau lesi yang tersering adalah cedera traumatik.

pada trauma kepala tumpul, yang menyebabkan cedera kepala tertutup, ke semua

dari tiga saraf okulomotor dapat terkena baik secara perifer maupun sentral,

primer maupun sekunder akibat edema dan herniasi.

Deviasi pada mata biasanya terlihat pada tahap awal dari cedera otak, meskipun

biasanya sementara. Insidensinya dilaporkan mencapai 3% sampai 7% dari

keseluruhan cedera kepala. Trauma cerebri sering mempengaruhi N III, terutama

pada anak-anak. Muskulus rektus superior sepertiya yang paling parah terlibat

27

Page 28: LAPORAN Tutorial Skenario C Blok 6

pada trauma tumpul. Trauma tumpul dapat juga merusak spichter pupil secara

langsung atau melalui iskhemia, menyebabkan midriasis, respon terhadap cahaya

yang buruk, dan gangguan akomodasi. N IV agak jarang terkena namun bisa

terkena pada cedera kepala sedang. N VI memiliki jalur intrakranial terpanjang

dari seluruh saraf kranialiss; oleh karenanya cukup rentan terhadap cedera. Lesi

Bilateral terjadi dalam banyak kasus; seringkali, cederanya diakrenakan

peregangan saraf setelah benturan frontal.

Ophthalmoplegia sebagai akibat sekunder dari fraktur orbita, yang

menyerang terutama CN II, III, IV, dan VI; fraktur dapat juga menyebabkan

gangguan sensoris dengan rusaknya divisi ophthalmic dari N V. Ophthalmoplegia

sebagai akibat sejunder dari fraktur basis kranii yang melibatkan sinus cavernous

dapat menyerang semua saraf okulomotor.

Lesi saraf okulomotor harus dibedakan dengan pergeseran orbita yang

terjadi pada cedera fraktur hantaman pada orbita. Terperangkapnya muskulus

rektus inferior dapat menyebabkan restriksi dalam memandang ke atas. Trauma

yang sudah lama atau ophthalmoplegia kronik progresif juga membatasi

jangkauan gerak bola mata akibat pemendekan atau fibrosis otot-otot okuler.

Penyebab spesifik ini dapat diketahui atau disingkirkan dengan pemeriksaan

“forced duction”, yang menggerakkan bola mata secara mekanis dan, oleh

karenanya, mengevaluasi jangkauan pergerakan secara pasif.

Luka tembak tembus dapat mengenai saraf-saraf okulomotor sebagaimana hal nya

denan N II. Cedera pada spinal servikal bagian atas dapat melibatkan N VI, dan

juga N IX, X, XI, dan terutamaXII.

Lesi nontrumatik termasuk penyakit peradangan sinus cavernous (Tolosa-Hunt

syndrome), yang dapat melibatkan semua saraf kranialis oklomotor dan cabang 1

dan 2 dari N V (Figure 7-17). Penyebab lesi yang lain adalah septic thrombosis

pada sinus cavernous. Pada iskemik nuropati diabetika, N III dan VI adalah yang

paling sering terkena. Seringkali hanya satu saraf yang tidak terkena.

Pada hipertensi, fasikulus N VI dapat mengalami infark dan timbul sebaai suatu

lesi tunggal saraf kranialis. Peradangan dan fibrosis terlihat lebih sering pada

thyroid ophthalmopathy, menyebabkan vertical diplopia karena keterlibatan

asimetris otot-otot dengan predileksi muskilus rektus inferior atau superior. Suatu

myositis pada m. obliq inferior sering terjadi. Ophthalmoplegia progresif kronis

28

Page 29: LAPORAN Tutorial Skenario C Blok 6

yang dikenal dengan Graefe disease. Pada myasthenia gravis, keterlibatan awal

terlihat pada rektus medial dan levator palpebrae, monocular ataupun binocular.

Penyebab lain yang agak jarang dari ophthalmoplegia adalah Wernike’s

encephalopathy, aneurisma atau thrombosis karotis interna, Paget’s disease orbita,

dan Guillain-Barré syndrome. Telah dilaporkan bahwa selama anestesi gigi

terkadang terjadi paralysis otot-otot okuler pada injeksi anestesi kedalam arteri

gigi superior maupun inferior. Obat anestesi dibawa melalui arteri maxillaris,

arteri meningea media, arteri lakrimalis, dan akhirnya menuju arteri ophthalmicus.

Sebagai komplikasi paska operasi setelah operasi ataupun radioterapi,

neuromyotonia okuler dapat terjadi. Insidensinya diperkirakan 0.25% setelah

anestesi spinal.

Obat-obatan atau racun seperti phenytoin atau Phenobarbital dapat

menyebabkan gangguan konvergensi dan reflek akomodasi. Timbal dapat

menyebabkan paralysis muskulus rektus lateralis, yang berkembangn dengan

cepat; ophthalmoplegia internal dapat terjadi. Keracunan Metil chlorida dan

sodium fluoride dapat menyerupai botulismus.

Sindroma yang melibatkan N IV

Berikut adalah sindroma yang melibatkan saraf IV

o Millard-Gubler syndrome: kelemahan wajah Ipsilateral dan hemiplegia

kontralateral, dalam banyak kasus juga melibatkan N VI, menyebabkan suatu

strabismus internal. Lesinya terletak di pons.

o Wernicke’s syndrome: kelumpuhan Ocularmotor karena keterlibatan

nukleus saraf kranial III atau IV. Ptosis dan perubahan pupil sering ditemukan,

karena keterlibatan nucleus red. Neuritis optik, perdarahan retina, ataxic gait,

dan kelemahan otot dapat juga terjadi.

o Möbius’ syndrome: Ocular palsy sebagai tambahan dari facial palsy.

N.troklearis dan n.abdusens merupakan saraf somatomotorik,

n.okulomotorius mengandung juga serabut-serabut viseromotorik yang berasal

dari inti Edinger Westphal, yang mengurus konstriksi pupil. Serabut

n.okulomotorius juga mempersyarafi otot levator palpebral. Maka

n.okulomotorius yang mengalami gangguan (terputus) oleh sebab tertentu

dapat menimbulkan kelumpuhan otot okular, levator palpebral dan otot sfinger

29

Page 30: LAPORAN Tutorial Skenario C Blok 6

pupil. Ketiga gejala ini menyusun sindrom ptosis, strabismus, divergens,

ipsilateral dan midriasis (pupil lebar).

Kelumpuhan otot okular meliputi :

1. N.oculomotor (III) : paralisis m.rektus medialis, m.rektus superior,

m.rektus inferior, m. oblikus inferior.

2. N. Troklearis (IV) : paralisis m.oblikus superior

3. N. Abdusens (VI) : paralisis m.rektus lateralis

Jika lebih dari satu otot okular yang lumpuh, maka disebutlah opthalmoplegia

(paralisis saraf 3, 4, 6). Pada umunya opthalmoplegia muncul akibat proses

patologik intrakranial, seperti proses desak ruang intrakranial yang

30

Page 31: LAPORAN Tutorial Skenario C Blok 6

berkedudukan di sekitar fisura orbitalis superior, proses di dinding lateral

sinus kavernosus ataupun proses di dalam batang otak dan otak. Macam-

macam opthalmoplegia :

Gangguan pada bagian tepi, nuklear atau supranuklear n.okulomotorius

Gangguan gerakan bola mata akibat lesi di korteks cerebri

Gangguan gerakan bola mata akibat lesi di cerebellum

Gangguan gerakan bola mata akibat lesi di batang otak

Lesi supranuklear di mesensefalon

Lesi supranuklear di pons

Lesi supranuklear di medula oblongata

Lesi internuklear

Lesi nuklear

Lesi radikular

c. Bagaimana hubungan hasil pemeriksaan fisik ( pandangan, pendengaran,

penciuman, dan perasa) wajah simetris dengan multiple sclerosis?

MS adalah salah satu penyakit sistem syaraf pusat (otak dan jaringan

syaraf sum-sum tulang belakang) akibat kerusakan myelin. Myelin adalah materi

yang melindungi syaraf, berfungsi seperti lapisan pelindung pada kabel listrik dan

memudahkan syaraf untuk mengirim impulsnya dengan cepat. Kecepatan dan

efisiensi pengiriman impuls inilah yang memungkinkan sebuah gerakan tubuh

yang halus, cepat,dan terkoordinasi dilakukan hanya dengan sedikit upaya. Pada

MS, kerusakan myelin (demyelinasi) menyebabkan gangguan kemampuan serabut

syaraf untuk menghantarkan ‘pesan’ ke dan dari otak. Lokasi terjadinya kerusakan

myelin (plak atau lesi) tampak seperti area (parut/luka) yang mengeras: pada MS,

parut-parut/luka-luka ini tampak pada otak dan tulang belakang. Plak

menyebabkan myelin akhirnya menghilang. Sebagai konsekwensinya, impuls-

impuls listrik yang berjalan sepanjang syaraf-syaraf memperlambat, menjadi lebih

perlahan. syaraf-syaraf sendiri menjadi rusak. Ketika semakin banyak syaraf-

syaraf yang terpengaruh, seorang pasien mengalami suatu gangguan yang

progresif pada fungsi-fungsi yang dikontrol oleh sistim syaraf seperti penglihatan,

kemampuan berbicara, berjalan, menulis, dan ingatan.

31

Page 32: LAPORAN Tutorial Skenario C Blok 6

5. Her physician says that she sufer from tic douloureux. ****

a. Bagaimana etiologi tic douloureux?

Ada beberapa penyebab Trigeminal Neuralgia (tic douloureux), yang

paling sering adalah akibat penekanan oleh pembuluh darah di sekitar saraf

trigeminal (sekitar 90 %). Penyebab lainnya adalah tumor dan penyakit multiple

sclerosis.

Penekanan saraf trigeminal pada pembuluh darah

Penyebab kondisi ini adalah iritasi syaraf cranial kelima (syaraf

Trigeminal) yang bertanggung jawab untuk memberikan sensasi wajah. Iritasi ini

kadangkala disebabkan oleh tumor jinak atau sklerosis multiple, atau yang

biasanya dapat dideteksi dengan MRI otak kualitas tinggi.

32

Page 33: LAPORAN Tutorial Skenario C Blok 6

b. Bagaimana patofisiologi tic douloureux?

Neuralgia Trigeminal (tic douloureux) dapat terjadi karena akibat

berbagai kondisi yang melibatkan sistem persarafan trigeminus ipsilateral. Pada

kebanyakan kasus, tampaknya yang menjadi etiologi adalah adanya kompresi oleh

salah satu arteri di dekatnya yang mengalami pemanjangan seiring dengan

perjalanan usia, tepat pada pangkal tempat keluarnya saraf ini dari batang otak.

Lima sampai delapan persen kasus disebabkan oleh adanya tumor benigna pada

sudut serebelo-pontin seperti meningioma, tumor epidermoid, atau neurinoma

akustik. Kira-kira 2-3% kasus karena sklerosis multipel. Ada sebagian kasus yang

tidak diketahui sebabnya. Menurut Fromm, neuralgia Trigeminal bisa mempunyai

penyebab perifer maupun sentral.

Sebagai contoh dikemukakan bahwa adanya iritasi kronis pada saraf ini,

apapun penyebabnya, bisa menimbulkan kegagalan pada inhibisi segmental pada

nukleus atau inti saraf ini yang menimbulkan produksi ectopic action potential

pada saraf Trigeminal. Keadaan ini, yaitu discharge neuronal yang berlebihan dan

pengurangan inhibisi, mengakibatkan jalur sensorik yang hiperaktif. Bila tidak

terbendung akhirnya akan menimbulkan serangan nyeri. Aksi potensial

antidromik ini dirasakan oleh pasien sebagai serangan nyeri trigerminal yang

paroksismal. Stimulus yang sederhana pada daerah pencetus mengakibatkan

terjadinya serangan nyeri. Efek terapeutik yang efektif dari obat yang diketahui

bekerja secara sentral membuktikan adanya mekanisme sentral dari neuralgi.

Tentang bagaimana multipel sklerosis bisa disertai nyeri Trigeminal diingatkan

akan adanya demyelinating plaques pada tempat masuknya saraf, atau pada

nukleus sensorik utama nervus trigeminus.

Pada nyeri Trigeminal pasca infeksi virus, misalnya pasca herpes,

dianggap bahwa lesi pada saraf akan mengaktifkan nociceptors yang berakibat

terjadinya nyeri. Tentang mengapa nyeri pasca herpes masih bertahan sampai

waktu cukup lama dikatakan karena setelah sembuh dan selama masa regenerasi

masih tetap terbentuk zat pembawa nyeri hingga kurun waktu yang berbeda. Pada

orang usia muda, waktu ini relatif singkat. Akan tetapi, pada usia lanjut nyeri bisa

berlangsung sangat lama. Pemberian antiviral yang cepat dan dalam dosis yang

adekuat akan sangat mempersingkat lamanya nyeri ini.

Peter Janetta menggolongkan neuralgia glossopharyngeal dan hemifacial

spasm dalam kelompok "Syndromes of Cranial Nerve Hyperactivity". Menurut

33

Page 34: LAPORAN Tutorial Skenario C Blok 6

dia, semua saraf yang digolongkan pada sindroma ini mempunyai satu kesamaan:

mereka semuanya terletak pada pons atau medulla oblongata serta dikelilingi oleh

banyak arteri dan vena. Pada genesis dari sindroma hiperaktif ini, terdapat dua

proses yang sebenarnya merupakan proses penuaan yang wajar:

1. Memanjang serta melingkarnya arteri pada dasar otak.

2. Dengan peningkatan usia, karena terjadinya atrofi, maka otak akan bergeser

atau jatuh ke arah caudal di dalam fossa posterior dengan akibat makin

besarnya kontak neurovaskuler yang tentunya akan memperbesar

kemungkinan terjadinya penekanan pada saraf yang terkait.

3. Ada kemungkinan terjadi kompresi vaskuler sebagai dasar penyebab umum

dari sindroma saraf kranial ini. Kompresi pembuluh darah yang berdenyut,

baik dari arteri maupun vena, adalah penyebab utamanya. Letak kompresi

berhubungan dengan gejala klinis yang timbul. Misalnya, kompresi pada

bagian rostral dari nervus trigeminus akan mengakibatkan neuralgia pada

cabang oftalmicus dari nervus trigeminus, dan seterusnya.

Menurut Calvin, sekitar 90% dari neuralgia Trigeminal penyebabnya

adalah adanya arteri "salah tempat" yang melingkari serabut saraf ini pada usia

lanjut. Mengapa terjadi perpanjangan dan pembelokan pembuluh darah, dikatakan

bahwa mungkin sebabnya terletak pada predisposisi genetik yang ditambah

dengan beberapa faktor pola hidup, yaitu merokok, pola diet, dan sebagainya.

Pembuluh darah yang menekan tidak harus berdiameter besar. Walaupun hanya

kecil,misalnya dengan diameter 50-100 um saja, sudah bisa menimbulkan

neuralgia,hemifacial spasm,tinnitus,ataupun vertigo.Bila dilakukan microvascular

decompression secara benar, keluhan akan hilang.

c. Bagaimana hubungan tic douloureux dengan multiple sclerosis?

Pada kasus sklerosis multipel yaitu penyakit otak dan korda spinalis yang

ditandai dengan hilangnya lapisan mielin yang membungkus saraf, jika sudah

melibatkan sistem nervus trigeminus maka akan menimbulkan gejala neuralgia

trigeminal atau tic douloureux. Pada tipe ini sering terjadi secara bilateral dan

cenderung terjadi pada usia muda sesuai dengan kecenderungan terjadinya

sklerosis multipel. (Olessen, 1988 ;Kaufmann, 2001 ; Passon, 2001)

34

Page 35: LAPORAN Tutorial Skenario C Blok 6

d. Bagaimana gejala tic douloureux?

1. Sesekali kedutan yang menyebabkan nyeri ringan

2. Nyeri yang menusuk-nusuk seperti sengatan listrik

3. Serangan nyeri yang dipicu oleh hal-hal seperti menyentuh wajah,

mengunyah, berbicara dan menyikat gigi

4. Nyeri selama beberapa hari, minggu, bulan atau lebih lama

5. Nyeri pada pipi, rahang, gigi, gusi, bibir, atau kurang sering mata dan dahi

6. Sakit di satu sisi wajah

7. Nyeri terfokus di satu tempat atau menyebar dalam pola yang lebih luas

e. Apa saja innervasi dari trigerminal neuralgia?

N. opthalmicus (N. V1)

Bersifat sensorik murni. Saraf ini berjalan ke depan pada dinding

lateral sinus cavernosus didalam fossa cranii media dan bercabang 3,

n.lacrimalis, n. frontalis, n. nasociliaris, yang masuk kedalam rongga

orbita melalui fissure orbitalis superior. Saraf-saraf ini didistribusikan ke

cornea, kulit dahi dan kepala, kelopak mata, mucosa sinus paranasales, dan

cavitas nasi. Saraf ini juga mempersarafi hidung sampai ke puncak hidung

N. maxillaris (N. V2)

Bersifat sensorik murni. Saraf ini meninggalkan tengkorak melaui

foramen rotundum kemudian didistribusikan kekulit wajah didaerah

maxilla, gigi rahang atas, mucosa hidung, sinus maxillaris, dan palatum

N. mandibullaris (N. V3)

Bersifat motoric dan sensorik. Radix sensorik meninggalkan

trigeminus dan keluar dari tengkorak melalui foramen ovale. Radix

motoric n. trigeminus juga keluar dari tengkorak melalui foramen yang

sama dan bergabung dengan radix sensorik untuk membentuk truncus n.

mandibullaris.

Serabut sensorik n. mandibullaris mempersarafi kulit pipi, kulit diatas

mandibulla, bibir bawah dan sisi kepala. Saraf ini mempersarafi juga

articulatio temporomandibullaris dan gigi-geligi rahang bawah, mucosa

pipi, dasar mulut, dan bagian depan lidah.

Serabut motoric n. mandibullaris mempersarafi otot-otot pengunyah;

m. mylohyoideus dengan membentuk dasar mulut; venter anterior m.

35

Page 36: LAPORAN Tutorial Skenario C Blok 6

digastricus; m. tensor veli palatine palatum molle; dan m. tensor tympani

telinga tengah

36

Page 37: LAPORAN Tutorial Skenario C Blok 6

37

Page 38: LAPORAN Tutorial Skenario C Blok 6

IV. KETERKAITAN ANTAR MASALAH

38

Multiple Sclerosis

Latina 35 Tahun

Diobati dengan intravenous

corticosteroid therapyTic douloureux

N. Trigeminal rusakMenyikat Gigi

Sakit yang parah pada pipi kanan dan dagu

Page 39: LAPORAN Tutorial Skenario C Blok 6

V. KERANGKA KONSEP

39

Mrs. Latina

Tic douloureux

Demyelinisasi di substansi alba

Terapi

Faktor Resiko

(genetic, toksin, infeksi)

Nyeri menyakitkan yang ditimbulkan saat menyikat gigi dan lama-kelamaan timbul sakit yang hebat

No abnormality

Ke n. buchalis (percabangan n.trigeminalis) mandibularis

Menghambat gejala-gejala dr latina sampai 2 tahun

Multiple sclerosis

Lesi ganglion/akar saraf

S. myelin hilang

Muncul jar. Parut di SSP

2 tahun kemudian inflamasi leukosit (sel T dipons)

Menjadi plak

Page 40: LAPORAN Tutorial Skenario C Blok 6

VI. SINTESIS MASALAH

1. ANATOMI, PATHOFISIOLOGY & DIFFERENTIAL DIAGNOSIS OF

FACIAL PAIN

Anatomi facial pain

Gambar 1. Anatomi dari nervus trigeminus

Nervus trigeminus merupakan saraf cranial terbesar. Saraf ini

meninggalkan aspek anterior pons sebagai radix motoria dan radix sensoria

yang besar, berjalan ke depan, keluar dari fossa cranii posterior, untuk

mencapai apex pars petrosa ossis temporalis di dalam fossa cranii media. Di

sini, radix sensoria membesar membentuk ganglion trigeminale. Ganglion

trigeminale terletak di dalam sebuah kantong duramater disebut cavum

trigeminale. Radix motoria nervus trigeminus terletak di bawah ganglion

sensorik dan terpisah darinya. Nervus opthalmicus (N.V1), nervus maxillaris

(N.V2), dan nervus mandibularis (N.V3) bersala dari pinggir anterior

ganglion. adalah saraf otak motorik dan sensorik.

Serabut-serabut sensoriknya menghantarkan impuls nyeri, suhu, raba

dan perasaan proprioseptif. Kawasannya ialah wajah dan mukosa lidah dan

rongga mulut serta lidah, dan rongga hidung. Impuls proprioseptif, terutama

berasal dari otot-otot yang dipersarafi oleh cabang mandibular sampai ke

ganglion Gasseri.

40

Page 41: LAPORAN Tutorial Skenario C Blok 6

Cabang pertama N.V. ialah cabang ophtalmikus. Ia menghantarkan

impuls protopatik dari bola mata serta rung orbita, kulit dahi sampai vertex.

Impuls sekretomotorik dihantarkan ke glandula lakrimalis. Serabut-serabut

dari dahi menyusun nervus frontalis. Ia masuk melalui ruang orbita melalui

foramen supraorbitale. Serabut-serabut dari bola mata dan rongga hidung

bergabung menjadi seberkas saraf yang dikenal sebagai nervus nasosiliaris.

Berkas saraf yang menuju ke glandula lakrimalis dikenal sebagai nervus

lakrimalis. Ketiga berkas saraf, yakni nervus frontali, nervus nasosiliaris dan

nervus lakrimalis saling mendekat pada fisura orbitalis superior dan di

belakang fisura tersebut bergabung menjadi cabang I N.V. (nervus

opthalmikus). Cabang tersebut menembus duramater dan melanjutkan

perjalanan di dalam dinding sinus kavernosus. Pada samping prosesus

klinoideus posterior ia keluar dari dinding tersebut dan berakhir di ganglion

Gasseri. Di dekatnya terdapat arteri facialis.

Cabang kedua ialah cabang maxillaris yang hanya tersusun oleh

serabut-serabut somatosensorik yang menghantarkan impuls protopatik dari

pipi, kelopak mata bagian bawah, bibir atas, hidung dan sebagian rongga

hidung, geligi rahang atas, ruang nasofarings, sinus maxillaris, palatum molle

41

Page 42: LAPORAN Tutorial Skenario C Blok 6

dan atap rongga mulut. Serabut-serabut sensorik masuk ke dalam os.

maksilaris melalui foramen infraorbitalis. Berkas saraf ini dinamakan nervus

infraorbialis. Saraf-saraf dari mukosa cavum nasi dan rahang atas serta geligi

atas juga bergabung dalam saraf ini dan setelahnya disebut nervus maksilaris,

cabang II N.V. Ia masuk ke dalam rongga tengkorak melalui foramen

rotundum kemudian menembus duramater untuk berjalan di dalanm dinding

sinus kavernosus dan berakhir di ganglion Gasseri. Cabang maksilar nervus V

juga menerima serabut-serabut sensorik yang berasal dari dura fossa crania

media dan fossa pterigopalatinum.

Cabang mandibularis (cabang III N.V. tersusun oleh serabut

somatomotorik dan sensorik serta sekretomotorik (parasimpatetik). Serabut-

serabut somatomotorik muncul dari daerah lateral pons menggabungkan diri

dengan berkas serabut sensorik yang dinamakan cabang mandibular ganglion

gasseri. Secara eferen, cabang mandibular keluar dari ruang intracranial

melalui foramen ovale dan tiba di fossa infratemporalis. Di situ nervus

meningea media (sensorik) yang mempersarafi meninges menggabungkan diri

pada pangkal cabang madibular. Di bagian depan fossa infratemporalis,

cabang III N.V. bercabang dua.

Yang satu terletak lebih belakang dari yang lain. Cabang belakang

merupakan pangkal dari saraf aferen dari kulit daun telinga (nervus

aurikulotemporalis), kulit yang menutupi rahang bawah, mukosa bibir bawah,

dua pertiga bagian depan lidah (nervus lingualis), glandula parotis dan gusi

rahang bawah ( nervus dentalis inferior) dan serabut eferen yang mempersarafi

otot-otot omohioideus dan bagian anterior muskulus digastrikus Cabang

anterior dari cabang madibular terdiri dari serabut aferen yang menghantarkan

impuls dari kulit dan mukosa pipi bagian bawah dan serabut eferen yang

mempersyarafi otot-otot temporalis, masseter, pterigoideus dan tensor timpani.

Serabut-serabut aferen sel-sel ganglion gasseri bersinaps di sepanjang wilayah

inti nukleus sensibilis prinsipalis (untuk raba dan tekan)serta nukleus spinalis

nervi trigemini (untuk rasa nyeri) dan dikenal sebagai tractus spinalis nervi

trigemini. dan didekatnya terdapat arteri a. Alveolaris inferior

Patofisiologi Facial Pain

42

Page 43: LAPORAN Tutorial Skenario C Blok 6

Ada beberapa hipotesis dari para ahli terhadap bagaimana patofisiologi

neuralgia trigeminal ini. Diduga bahwa neuralgia trigeminal disebabkan oleh

demielinisasi saraf yang mengakibatkan hantaran saraf cenderung meloncat ke

serabut-serabut saraf di dekatnya. Hal ini mengakibatkan sentuhan yang ringan

saja dapat dirasakan sebagai nyeri, akibat hantaran yang berlebihan itu.

Aneurisma, tumor, peradangan meningeal kronis, atau lesi lainnya

dapat mengiritasi akar saraf trigeminal sepanjang pons bisa juga menyebabkan

gejala neuralgia trigeminal. Vaskular yang abnormal dari arteri serebelum

superior sering disebut sebagai penyebabnya. Lesi dari zona masuknya akar

trigeminal dalam pons dapat menyebabkan sindrom nyeri yang sama.

Serangan nyerinya tidak dapat diperkirakan; karena nyeri dapat

dicetuskan oleh aktivitas sehari-hari yang biasanya tidak menimbulkan nyeri

(seperti menyisir rambut, mengunyah makanan, menggosok gigi, atau bahkan

saat terkena hembusan angin). Dikenal pula istilah trigger zone, yaitu daerah

yang sering menjadi awal bermulanya neuralgia; yang terletak di sekitar

daerah sekitar hidung dan mulut.

Differential Diagnosis

Menurut Asosiasi Internasional untuk penelitian rasa nyeri

(International Association for Study of Pain = IASP), rasa nyeri fasial kronik

menyebabkan terjadinya gejala paling sedikit 6 bulan sekali. Diagnosa

atypical merupakan diagnosa akhir setelah diagnose lain dipertimbangkan.

Atypical facial pain mempunyai tanda khas yaitu kronik, rasa sakit yang

konstan tanpa adanya penyebab yang terlihat pada wajah dan otak. Banyak

sumber informasi menyatakan bahwa semua rasa sakit wajah yang tidak jelas

sumbernya disebut Atypical facial pain.1 Atypical odontalgia, atau phantom

tooth pain, adalah variasi dari atypical facial pain yang mana rasa sakit yang

intensif berpusat di sekitar satu atau beberapa gigi tanpa adanya penyakit gigi

atau mulut yang terlibat. Selain atypical odontalgia, terdapat berbagai nyeri

yang terjadi pada regio orofasial, diantaranya sekitar 10-50% dapat terjadi

pada populasi.1-9

Penyakit yang kurang sering terjadi yang dapat dikacaukan dengan

atypical odontalgia adalah trigeminal neuralgia. Trigeminal neuralgia

43

Page 44: LAPORAN Tutorial Skenario C Blok 6

memiliki nyeri yang tajam dengan beberapa tanda patologi dan nyeri terlokasi

pada gigi.

Klasifikasi facial pain, beberapa hal pokok menunjukkan beberapa

diagnosis yang berbeda dan strategi pemgobatan mayor dari facial pain secara

neurologis, masing – masing sakit non-neurogical memiliki penyebab

pengobatan yang memiliki subspesialisasi yang beragam. Neurological facial

pains banyak dari neural cranial termasuk trigeminal neuralgia dan yang

terbaru adalah “trigeminal dysesthesias”.

Post-lesional neuropathic pains dikarakteristikkan dari sakit yang

berkelanjutan dan ada hyperalgesia dan allodynia. “atypical facial pain” jarang

didiagnosis dengan reflek dengan kehadiran dari eriologi yang teridentifikasi.

Dari sindrom sakit, ada riwayat pasien yang memiliki bagian esensial

dari ternosis. Bersama dengan penjelasan klinis, ini menunjukkan diagnose

dari sakit kepala primer atau facial pain dari kebanyakan kasus. Jika riwayat

dari kelainan sakit primer ini diamsumsikan sebagai atypical featutes yang ada

dan secara particular jika sakit kepala sekunder atau facial pain ada,

investigasi paraklinis akan dibutuhkan. Kunci diagnosis dari facial pain bisa

digabungdari lokasi sakit, karakteristik sakit, temporal profile, gejala yang

sering dialami dan factor – factor lain. Respon pengobatan kelainan primer

bisa membantu menunjukkan diagnosis. Karena rasa sakit tersebut

menunjukkan area dan menajdi petunjuk generalisasi jalannya sakit itu sendiri.

Walaupun begitu, sakit membawahi orbit atau tempat tipikal dari

migraine atau arteritis temporal, dimana tempat sakit menuju sakit kepala yang

mengikat, glaucoma, atau sindrom Tolosa-Hunt. Sakit bisa terasa di pipi dan

bisa ditemukan di bagian sinus maksila atau masalah gigi, tetapi juga dengan

trigeminal neuralgia atau dysesthesias. Divisi kedua dari saraf trigeminal

menjadi tempat paling sering terdeteksi. Rasa sakit di mandibula bisa

diindikasi dari patologi dengan tekanan saraf submental. Sindrom eagle atau

temporomandibular disfungsi. Lidah bisa terluka karena sindrom neck-tongue,

dimana ketika menggerakkan kepala bisa merasakan sakit dan parasthesias

karena spine bagian servikal atas dan anastomosis diantara plexus cervival dan

saraf hypoglossus.

44

Page 45: LAPORAN Tutorial Skenario C Blok 6

Untuk menegakkan diagnosis neuralgia trigeminal, IHS (International

Headache Society) menetapkan kriteria diagnostik untuk neuralgia trigeminal

sebagai berikut:

1. Serangan nyeri paroksismal yang bertahan selama beberapa detik sampai 2

menit, mengenai satu atau lebih daerah persarafan cabang saraf trigeminal.

2. Nyeri harus memenuhi satu dari dua kriteria berikut:

1. Intensitas tinggi, tajam, terasa di permukaan, atau seperti ditusuk-tusuk.

2. Berawal dari trigger zone atau karena sentuhan pemicu.

3. Pola serangan sama terus.

4. Tidak ada defisit neurologis.

5. Tidak ada penyakit terkait lain yang dapat ditemukan.

Neuralgia trigeminal hendaknya memenuhi seluruh kriteria tersebut;

minimal kriteria 1, 2, dan 3

2. MULTIPLE SCLEROSIS

Multiple sclerosis (MS) pertama kali ditemukan pada tahun 1882 oleh Sir

Agustus D’este dari Inggris, akan tetapi Cruveilhier & Charcot member gambaran

lebih terperinci tentang adanya plak dan sclerosis pada susunan saraf pusat.

Multiple sclerosis merupakan suatu kondisi patofisiologis yang ditandai dengan

terjadinya dimielinisasi serat-serat saraf di berbagai lokasi diseluruh system saraf.

Multiple sclerosis merupakan penyakit autoimmune, yakni system pertahanan

tubuh keliru menyerang selubung myelin yang membungkus serat-serat bermielin.

Hilangnya myelin memperlambat transmisi impuls pada neuron yang terkena.

Pembentukan jaringan parut berkaitan dengan kerusakan myelin juga dapat

merusak akson dibawahnya yang semakin mengganggu perambatan potensial

aksi. Sebagian besar MS terjadi pada umur diantara 20-40 tahun.

Etiologi

Penyebab Multiple Sclerosis (MS) tidak diketahui, tetapi tampak terdapat

kecendrungan genetic pada perkembangan penyakit ini dan penyakit autoimmune

lainnya. Beberapa bukti menunjukkan bahwa infeksi virus pada masa kanak-

kanak, mungkin campak atau jenis infeksi herpes, dapat mencetuskan respons

imun. Diperkirakan rusaknya sawar darah-otak selama infeksi virus

45

Page 46: LAPORAN Tutorial Skenario C Blok 6

memungkinkan limfosit B, yang dibentuk untuk melawan virus, masuk dan

berkolonisasi di otak. Klon IgG sering ditemukan pada cairan sub cerebral

individu yg mengalami MS. Jumlah klon ini semakin meningkat sejalan dengan

peningkatan eksaserbasi penyakit. Teori lain menduga bahwa factor genetic

tertentu menyebabkan beberapa orang lebih peka terhadap invasi Sistem Saraf

Pusat dengan berbagai virus dengan masa inkubasi lama dan hanya berkembang

dengan keadaan defisiensi atau imun yang abnormal. Bukti terbaik baru-baru ini

mendukung mekanisme etiologi MS berikut ini: toksin-toksin langsung (termasuk

agen-agen biologis); mekanisme imun yang diperantarai humoral dan diperantarai

sel; serta oligodendrogliopati primer yang mengakibatkan demielinisasi dan cidera

akson.

Patofisiologi

Multiple sclerosis mengenai substansia alba otak dan medulla spinalis, serta

nervus opticus. Ditemukan sel inflamasi kronik dan kerusakan myelin dengan

akson yang relatif masih baik. Pada substansia alba terdapat area yang relatif

tampak normal yang berselang-seling dengan fokus inflamasi dan demielinisasi

yang disebut plak, yang seringkali terletak dekat venula. Demielinisasi inflamasi

jalur sistem saraf pusat menyebabkan penurunan dan gangguan kecepatan hantar

saraf dan akhirnya hilangnya penghantaran informasi oleh jaras tertentu.

Plak inflamasi akan mengalami evolusi seiing berjalannya waktu. Pada tahap

awalterjadi perombakan lokal sawar darah-otak, diikuti inflamasi dengan edema,

hilangnya mielin,dan akhirnya terbentuk jaringan parut sistem saraf pusat yaitu

gliosis. Hasil akhir akan menyebabkan area sklerosis yang mengkerut, yang

berkaitan dengan defisit klinis minimal dibandingkan saat plak masih aktif. Hal ini

disebabkan oleh remielinisasi yang merupakan potensi system saraf pusat, dan

juga memperjelas kembalinya fungsi dengan resolusi inflamasi dan edema.

Keadaan patologis ini berhubungan dengan polla klinis relaps sklerosis multiple,

yaitu terjadi gejala untuk suatu periode tertentu yang selanjutnya membaik secara

parsial atau total. Lesi inflamasi lebih lanjut yang terletak dekat lokasi kerusakan

yang sudah ada sebelumnya akan menyebabkan akumulasi defisit neurologis.

46

Page 47: LAPORAN Tutorial Skenario C Blok 6

Manifestasi klinik

MS merupakan penyakit demyelinating yang mengenal serebelum, saraf optikus

dan medula spinalis (terutama mengenai traktus kortikospinalis dan kolumna

posterior), secara patologi memberi gambaran plak multipel di susunan saraf pusat

khususnya periventrikuler subtansia alba.

Gejala Klinik MS

1. Kelemahan umum : biasanya muncul setelah aktivitas minimal, kelemahan

bertambah berat dengan adanya peningkatan suhu tubuh dan kelembapan tinggi,

yang disebut sebagai Uht holff fenomena (pada akson yang mengalami

demylisasi). Kelemahan seperti ini dapat dosertai kekakuan pada ekstermitas

sampai foot drop.

2. Gangguan sensoris : baal, kesemutan, perasaan seperti diikat, ditusuk jarum,

dingin pada tungkai dan tangan, pada pemeriksaan fisik dengan test lhermitte

biasa (+) (30%) hal ini akibat adanya plek pada kolumna servikal posterior yang

kemudian meiritasi dan menekan medula spinalis.

3. Nyeri : pada kebanyakan pasien MS akan mengalami nyeri (Clifford &Troter),

nyeri bersifat menahun. Nyeri pada MS berbentuk:

a. Nyeri kepala relatif sering didapatkan (27%)

b. Nyeri neurolgia trigeminal: pada orang muda dan bilateral relatif jarang (5%)

c. Nyeri akibat peradangan nervus optikus akibat penekanan dura sekitar nervus

optikus

d. Nyeri visceral berupa spasme kandung kemih, konstipasi.

4. Gangguan Blader : pada 2/3 kasus MS akan mengalami gangguan hoperreflek

blader oleh karena gangguan spincter, pada fase awal areflek dan 1/3 hiporelek

dengan gejala impoten.

47

Page 48: LAPORAN Tutorial Skenario C Blok 6

5. Gangguan serebelum : 50% kasus memberi gejala intension tremor, ataksia,

titubasi kepala, disestesia, dan dikenal sebagai trias dari Charcott: nistagmus,

gangguan bicara, intension tremor.

6. Gangguan batang otak : lesi pada batang otak akan mengganggu saraf intra

aksonal, nukleus, internuklear, otonom dan motorik, sensorik sepanjang traktus-

traktus.

a. Lesi N III-IV menyebabkan diplopia, parese otot rektus medial yang

menyebabkan internuklear ophtalmoplegi (INO) patognomonis untuk MS.

b. Lesi N V menyebabkan tic douloureux

c. Lesi N VII menyebabkan Bell palsy.

d. Lesi N VIII menyebabkan vertigor (sering), hearing loss (jarang).

7. Gangguan N Optikus (Neuritis optika) : terutama pada pasien muda

sebanyak 31%, gejala berupa, penurunan ketajaman penglihatan, skotoma sentral,

gangguan persepsi warna, nyeri pada belakang bola mata, visus akan membaik

setelah 2 minggu onset neuritis optika kemudian sembuh dalam beberapa bulan.

Penambahan suhu tubuh akan memperbesar gejala (uht holff).

8. Gangguan fungsi luhur : fungsi luhur umunya masih dalam batas normal,

akan tetapi pada pemeriksaan neuropsikologi didapatkan perlambatan fungsi

kognisi sampai sedang atau kesulitan menemukan kata.

3. INTRAVENOUS CORTICOSTEROID THERAPY

Mekanisme Kerja Kortikosteroid sebagai Anti-inflamasi

Kortikosteroid merupakan anti-inflamasi yang identik dengan kortisol, hormon

steroid alami pada manusia yang disintesis dan disekresi oleh korteks adrenal.1

Efek anti- inflamasi kortikosteroid mempengaruhi berbagai sel imuno- kompeten

seperti sel T, makrofag, sel dendritik, eosinofil, neutrofil, dan sel mast, yaitu

dengan menghambat respons inflamasi dan menyebabkan apoptosis berbagai sel

tersebut.5 Kerja kortikosteroid menekan reaksi inflamasi pada tingkat molekuler

terjadi melalui mekanisme genomik dan non- genomik. Glukokortikoid (GK)

berdifusi pasif dan berikatan dengan reseptor glukokortikoid (RG) di sitosol.

Ikatan GK- RG mengakibatkan translokasi kompleks tersebut ke inti sel untuk

berikatan dengan sekuens DNA spesifik, yaitu gluco- corticoid response elements

(GRE). Ikatan GK-RG dengan DNA mengakibatkan aktivasi atau supresi proses

48

Page 49: LAPORAN Tutorial Skenario C Blok 6

transkripsi. Mekanisme non-genomik GK terjadi melalui aktivasi endot- helial

nitric oxide synthetase (eNOS) yang menyebabkan lebih banyak pelepasan nitric

oxide (NO), suatu mediator anti-inflamasi.

Resistensi dan Efek Samping pada Penggunaan Korti- kosteroid Jangka

Panjang

Meskipun efektif dalam mengatasi peradangan akut, efek kortikosteroid seringkali

tidak bertahan lama bahkan menyebabkan resistensi atau rekurensi dalam

perjalanan terapi jangka panjang. Selain itu, efek samping kortikosteroid baik

topikal maupun sistemik membatasi penggunaan jangka panjang. Salah satu teori

menyatakan bahwa resistensi terhadap kortikosteroid disebabkan oleh limfosit

yang mengekspresikan reseptor IL-2 (CD25). IL-2 menyebabkan penurunan

afinitas kortikosteroid terhadap reseptor. IL-2 menghambat trans- lokasi

kortikosteroid ke inti sel melalui signal transducer and activator of transcription 5

(STAT-5). Selain itu, IL-2 juga menghambat kemampuan kortikosteroid dalam

inhibisi proliferasi sel T.4,18 Studi yang mendukung hal tersebut dilakukan Leung

et al19 yang menyatakan bahwa ekspresi mRNA IL-2 pada sampel

bronchoalveolar lavage pasien asma yang resisten terhadap steroid lebih tinggi

secara bermakna dibandingkan pada sampel dari pasien asma yang sensitif

terhadap steroid. Peningkatan kadar RGβ, salah satu isoform RG, merupakan

penyebab lain timbulnya resistensi terhadap kortikosteroid. Ekspresi RGβ

diinduksi oleh sitokin proinfla- masi dan bersifat sebagai dominant-negative

inhibitor bagi kompleks GK-RG untuk berikatan dengan GRE. Studi terhadap

pengaruh peningkatan kadar RGβ terhadap timbulnya resistensi kortikosteroid

menunjukkan hasil yang bervariasi dan memerlukan penelitian lebih lanjut.4

Histone deacetylase-2 (HDAC-2) diperlukan dalam proses inaktivasi gen

inflamasi oleh kortikosteroid. Penurunan aktivitas dan ekspresi HDAC-2

menurunkan respons pasien terhadap pemberian kortikosteroid. Kadar HDAC-2

ditemukan sangat rendah pada makrofag alveolar, saluran napas dan jaringan

perifer paru penderita asma yang resisten terhadap kortikosteroid.4 IL-10

merupakan sitokin anti-inflamasi dan imuno-regu- lator penting yang dihasilkan

oleh sel T regulator (Treg). Kegagalan sel Treg untuk mensekresi IL-10

ditemukan pada penderita asma yang resisten terhadap kortikosteroid.4 Efek

samping kortikosteroid amat banyak dan dapat terjadi pada setiap cara

pemberian.6,20 Oleh sebab itu, korti- kosteroid hanya diberikan apabila manfaat

49

Page 50: LAPORAN Tutorial Skenario C Blok 6

terapi melebihi risiko efek samping yang akan terjadi (risk-benefit ratio). Dosis

dan lama terapi dengan kortikosteroid bersifat indi- vidual. Pemberian

kortikosteroid dianjurkan untuk dimulai dari dosis tinggi kemudian diturunkan

secara perlahan menurut tanda klinis inflamasi. Apabila kortikosteroid digunakan

selama lebih dari 2-3 minggu, penghentiannya harus dilakukan secara bertahap

(tapering off).20

Glaukoma sebagai Komplikasi Penggunaan Steroid Pada beberapa pasien,

kortikosteroid topikal menye- babkan peningkatan tekanan intraokuler (TIO) yang

disebut sebagai corticosteroid-induced ocular hypertension. Apabila peningkatan

TIO tersebut menetap dan menye- babkan gangguan lapang pandang serta

kerusakan saraf penglihatan, maka terjadi corticosteroid-induced glaucoma.

Corticosteroid-induced ocular hypertension terjadi dalam waktu beberapa minggu

setelah pemberian kortikosteroid potensi kuat atau beberapa bulan setelah

pemberian korti- kosteroid potensi lemah. Potensi dan konsentrasi sediaan

kortikosteroid topikal berbanding lurus dengan “kemam- puan” mencetuskan

corticosteroid-induced ocular hyper- tension dan corticosteroid-induced

glaucoma.15,17 Kortikosteroid menyebabkan perubahan morfologi dan biokimia

di jaringan trabekular. Kortikosteroid mempengaruhi proliferasi, fagositosis serta

bentuk dan ukuran sel pada jaringan trabekular. Selain itu, kortikosteroid

menyebabkan penumpukan materi ekstraseluler melalui induksi proliferasi

apparatus Golgi, peningkatan jumlah retikulum endoplasma, dan peningkatan

jumlah vesikel sekretorik. Kortikosteroid juga meningkatkan sintesis fibronektin,

laminin, kolagen, dan elastin. Struktur aktin sitoskeleton jaringan trabekular

mengalami reorganisasi menjadi cross-linked actin networks (CLANs). Seluruh

perubahan morfologi dan biokimia pada jaringan trabekular menyebabkan

gangguan aliran cairan aqueous. Gangguan tersebut mengakibatkan peningkatan

TIO pada corticosteroid-induced glaucoma.12

Katarak sebagai Komplikasi Penggunaan Steroid Corticosteroid-induced

subcapsular cataract adalah efek samping lain yang sering ditemukan pada

penggunaan kortikosteroid topikal jangka panjang. Penyebab timbulnya katarak

adalah ikatan kovalen antara steroid dan protein lensa yang menyebabkan oksidasi

protein struktural. Risiko terjadinya katarak berbanding lurus dengan lama peng-

gunaan kortikosteroid topikal.15,17 Patofisiologi posterior subcapsular cataract

(PSC) akibat kortikosteroid antara lain melalui pembentukan ikatan kovalen

50

Page 51: LAPORAN Tutorial Skenario C Blok 6

antara kortikosteroid dengan residu lisin pada lensa dan penurunan kadar anti-

oksidan asam askorbat dalam cairan aqueous.13,21,22 Ikatan kovalen tersebut

mengakibatkan terjadinya kekeruhan lensa pada katarak. Selain itu, korti-

kosteroid menghambat pompa Na-K pada lensa sehingga terjadi akumulasi cairan

dan koagulasi protein lensa yang menyebabkan kekeruhan lensa.23

Efek Samping Kortikosteroid Sistemik

Trias efek samping, yaitu hiperglikemia, osteoporosis, dan hipertensi, membatasi

penggunaan kortikosteroid sistemik jangka panjang.15 Kortikosteroid

menyebabkan hiperglikemia melalui peningkatan glukoneogenesis hati dan

penurunan ambilan glukosa oleh jaringan perifer. Korti- kosteroid juga

meningkatkan resistensi insulin melalui penurunan kemampuan adiposa dan

hepatosit untuk berikatan dengan insulin. Hiperglikemia terkait pemberian

kortikosteroid bersifat reversibel, gula darah akan kembali normal setelah

penghentian kortikosteroid.23,24 Pasien yang menerima kortikosteroid oral

memiliki risiko 2,23 lebih besar untuk mengalami hiperglikemia. Selain itu, suatu

meta-analisis menunjukkan bahwa diabetes ditemukan empat kali lebih sering

pada kelompok yang menerima kortikosteroid di bandingkan plasebo.24

Kortikosteroid menyebabkan penurunan kadar kalsium darah melalui

penghambatan absorbsi kalsium oleh usus halus dan peningkatan ekskresi kalsium

di urin. Kadar kalsium darah yang rendah menstimulasi sekresi hormon paratiroid

sehingga terjadi peningkatan aktivitas osteoklas dan absorbsi tulang. Hal itu

ditujukan untuk memperbaiki keseimbangan kalsium serum, namun menyebabkan

penurunan densitas tulang.23 Kecepatan penurunan densitas tulang lebih tinggi

pada enam bulan pertama terapi (sebesar 10%) dan menurun setelahnya (2-5% per

tahun).24 Kortikosteroid juga meng- hambat aktivitas osteoblas dan menginduksi

apoptosis osteoblas serta osteosit sehingga terjadi osteoporosis.23 Os- teoporosis

terutama terjadi pada pasien yang menerima kortikosteroid dengan dosis yang

setara denagn prednison >5 mg/hari. Oleh sebab itu, pengukuran densitas tulang

dianjurkan untuk pasien yang akan menerima kortikosteroid dengan dosis

ekuivalen prednison > 7,5 mg/hari selama lebih dari 1-3 bulan.24 Selain

osteoporosis, efek samping lain yang sering ditemukan adalah nekrosis avaskular,

terutama pada kaput tulang femur. Nekrosis avaskular disebabkan oleh pem-

bentukan emboli pembuluh darah, hiperviskositas darah dan pelepasan faktor

sitotoksik yang mengganggu perfusi tulang dan menyebabkan terjadinya

51

Page 52: LAPORAN Tutorial Skenario C Blok 6

osteonekrosis.23 Studi oleh Wong et al.25 mendapatkan osteonekrosis pada 4 dari

1 352 pasien (0,03%) yang menerima prednison dengan dosis kumulatif 673 mg

selama 20 hari. Peningkatan volume plasma terjadi melalui ikatan antara

kortikosteroid dengan reseptor pada sel epitel renal distal tubular. Ikatan tersebut

menyebabkan peningkatan re- absorbsi natrium dan retensi cairan sehingga

volume plasma bertambah dan meningkatkan tekanan darah. Hipertensi akibat

pemberian kortikosteroid bergantung pada dosis dan lama pemberian.23

Hipertensi umumnya ditemukan pada pasien yang menerima kortikosteroid

dengan dosis ekuivalen prednison >20 mg/hari.

Tempat insersi jarum infus Secara umum ada beberapa tempat untuk insersi

jarum infus pada pemasangan infus yaitu :

a. Venapunctur perifer

1. vena mediana kubiti

2. vena sefalika

3. vena basilika

4. vena dorsalis pedis

b. Venapunctur central

1. vena femoralis

2. vena jugularis internal

3. vena subklavia.

Tipe - tipe pemberian terapi intravena:

A. IV push IV push (IV bolus), adalah memberikan obat dari jarum sunfik secara

langsung ke dalam saluran /jalan infus.

Indikasi

1. Pada keadaan emergency resusitasi jantung paru, memungkinkan

pemberian obat langsung ke dalam intravena.

2. Untuk mendapat respon yang cepat terhadap pemberian obat ( furosemid,

digoksin).

3. Untuk memasukkan dosis obat dalam jumlah besar secara terus menerus

melalui infus (lidocain, xylocain).

52

Page 53: LAPORAN Tutorial Skenario C Blok 6

4. Untuk menurunkan ketidaknyamanan pasien dengan mengurangi

kebutuhan akan injeksi intramuskuler.

5. Untuk mencegah masalah yang mungkin timbul apabila beberapa obat

dicampur dalam satu botol.

6. Untuk memasukkan obat yang tidak dapat diberikan secara oral ( misal:

pada pasien koma) atau intramuskuler ( misal: pasien dengan gangguan

koagulasi).

B. Continous Infusion (infus berlanjut) menggunakan alat kontrol.

Continous Infusion dapat diberikan secara tradisional melalui cairan yang

digantung, dengan atau tanpa pengatur kecepatan aliran. Infus melalui intravena,

intra arteri, dan intra thecal (spinal) dapat dilengkapi dengan menggunakan pompa

khusus yang ditanam maupun yang ekstemal.

Hal-hal yang perlu dipertimbangkan :

A. Keuntungan

1. Mampu untuk menginfus cairan dalam jumlah besar dan kecil dengan akurat.

2. Adanya alarm menandakan adanya masalah seperti adanya udara di selang infus

atau adanya penyubatan.

3. Mengurangi waktu perawatan untuk memastikan kecepatan aliran infus.

B. Kerugian

1. Memerlukan selang khusus.

2. Biaya lebih mahal.

3. Pompa infus akan dilanjutkan untuk menginfus kecuali ada infiltrasi.

4. ANATOMY & PATHOPHISIOLOGY OF THE TRIGEMINAL NERVE

1.1 ANATOMI NERVUS TRIGEMINUS

Nervus trigeminus atau saraf otak kelima atau saraf otak trifasial

merupakan saraf otak terbesar diantara 12 saraf otak, bersifat campuran

karena terdiri dari komponen sensorik yang mempunyai daerah

persarafan yang luas yang disebut portio mayor dan komponen motorik

yang persarafannya sempit disebut portio minor. Komponen-

53

Page 54: LAPORAN Tutorial Skenario C Blok 6

komponen ini keluar dari permukaan anterolateral bagian tengah pons

dan berjalan ke anterior pada dasar fossa kranialis posterior melintasi

bagian petrosa tulang pelipis ke fossa kranialis media. Komponen

sensorik dan motorik bergabung didalam ganglion trigeminus atau

ganglion gaseri, kemudian berjalan bersama-sama sebagai saraf otak

kelima (Sharav, 2002 ; Brice, 2004) Nervus trigeminal mempersarafi

wajah dan kepala. Terdapat 3 divisi yang menginervasi daerah dahi

dan mata (V1 optalmikus), pipi (V2 maksilaris) serta wajah bagian

bawah dan rahang (V3 mandibularis). Fungsi nervus trigeminus adalah

sensasi sentuhan wajah, sakit dan suhu, dan juga kontrol otot

pengunyahan. Fungsi nervus trigeminus harus dibedakan dengan

nervus fasialis (nervus cranialis ke VII) yang mengontrol semua

gerakan wajah. (Kaufman, 2001) Tiga divisi nervus trigeminal muncul

bersama-sama pada daerah yang disebut ganglion gaseri. Dari sana,

akar nervus trigeminal berjalan kebelakang kearah sisi brain stem dan

masuk ke pons. Dalam brain stem, sinyal akan berjalan terus mencapai

kelompok neuron khusus yang disebut nukleus nervus trigeminal.

Informasi dibawa

ke brain stem oleh nervus trigeminus kemudian diproses sebelum

dikirim ke otak dan korteks serebral, dimana persepsi sensasi wajah

akan diturunkan. (Kaufman AM,2001)

54

Page 55: LAPORAN Tutorial Skenario C Blok 6

1.2. PATOFISIOLOGIS

Patofisiologis terjadinya suatu trigeminal neuralgia sesuai dengan

penyebab terjadinya penyakit tersebut. Penyebab-penyebab dari

terjadinya trigeminal neuralgia adalah penekanan mekanik oleh

pembuluh darah, malformasi arteri vena disekitarnya, penekanan oleh

lesi atau tumor, sklerosis multipel, kerusakan secara fisik dari nervus

trigeminus oleh karena pembedahan atau infeksi, dan yang paling

sering adalah faktor yang tidak diketahui. (Sharav, 2002 ; Brice, 2004)

Penekanan mekanik pembuluh darah pada akar nervus ketika masuk ke

brain stem yang paling sering terjadi, sedangkan diatas bagian nervus

trigeminus/portio minor jarang terjadi. Pada orang normal pembuluh

darah tidak bersinggungan dengan nervus trigeminus. Penekanan ini

dapat disebabkan oleh arteri atau vena baik besar maupun kecil yang

mungkin hanya menyentuh atau tertekuk pada nervus trigeminus.

Arteri yang sering menekan akar nervus ini adalah arteri cerebelar

55

Page 56: LAPORAN Tutorial Skenario C Blok 6

superior. Penekanan yang berulang menyebabkan iritasi dan akan

mengakibatkan hilangnya lapisan mielin (demielinisasi) pada serabut

saraf. Sebagai hasilnya terjadi peningkatan aktifitas aferen serabut

saraf dan penghantaran sinyal abnormal ke nukleus nervus trigeminus

dan menimbulkan gejala trigeminal neuralgia. Teori ini sama dengan

patofisiologi terjadinya trigeminal neuralgia oleh karena suatu lesi atau

tumor yang menekan atau menyimpang ke nervus trigeminus.

(Kaufmann, 2001 ; Bryce, 2004)

Pada kasus sklerosis multipel yaitu penyakit otak dan korda spinalis

yang

ditandai dengan hilangnya lapisan mielin yang membungkus saraf, jika

sudah melibatkan sistem nervus trigeminus maka akan menimbulkan

gejala neuralgia trigeminal. Pada tipe ini sering terjadi secara bilateral

dan cenderung terjadi pada usia muda sesuai dengan kecenderungan

terjadinya sklerosis multipel. (Olessen, 1988 ;Kaufmann, 2001 ;

Passon, 2001)

Adanya perubahan pada mielin dan akson diperkirakan akan

menimbulkan

potensial aksi ektopik berupa letupan spontan pada saraf. Aktivitas

ektopik ini terutama disebabkan karena terjadinya perubahan ekspresi

dan distribusi saluran ion natrium sehingga menurunnya nilai ambang

membran. Kemungkinan lain adalah adanya hubungan ephaptic antar

neuron, sehingga serabut saraf dengan nilai ambang rendah dapat

mengaktivasi serabut saraf yang lainnya dan timbul pula cross after

discharge. (Sharav, 2002 ; Bryce, 2004) selain itu aktivitas aferen

menyebabkan dikeluarkannya asam amino eksitatori glutamat.

Glutamat akan bertemu dengan reseptor glutamat alfa-amino-3-

hidroxy-5-methyl-4-isaxole propionic acid (AMPA) di post sinap

sehingga timbul depolarisasi dan potensial aksi. Aktivitas yang

meningkat akan disusul dengan aktifnya reseptor glutamat lain N-

Methyl-D-Aspartate (NMDA) setelah ion magnesium yang

menyumbat saluran di reseptor tersebut tidak ada. Keadaan ini akan

menyebabkan saluran ion kalsium teraktivasi dan terjadi peningkatan

56

Page 57: LAPORAN Tutorial Skenario C Blok 6

kalsium intra seluler.Mekanisme inilah yang menerangkan terjadinya

sensitisasi sentral. (Rose, 1997 ; Loeser;2001)

5. TRIGEMINAL NEURALGIA

Trigeminal neuralgia adalah suatu jenis kelainan dimana ditandai dengan

adanya nyeri wajah di satu sisi, nyeri tajam dan hilang timbul kadang sampai

menggangu aktifitas. Karena lokasi nyeri sering di sekitar mulut dan pipi,

kelainan in banyak dikaitkan dengan masalah di gigi maupun di sinus. Padahal

sebenarnya nyeri berasal dari saraf yang teriritasi atau tertekan.

Saraf trigeminal atau saraf ke V adalah saraf yang berhubungan dengan

kelainan ini. Secara normal saraf trigeminal ini mensarafi area wajah, gusi,

mulut maupun hidung. Sehingga bila saraf ini mengalami iritasi maka area

diatas yang terkena efeknya berupa rasa tebal sampai nyeri berat. Gejala khas

lainnya biasanya nyeri timbul setelah diprovokasi, misalnya setelah wajah

disentuh, saat sikat gigi, mengunyah, terkena angin bahkan saat memakai

make up di wajah.

Saraf trigeminal ini mempunyai 3 cabang di wajah :

1. Cabang ophtalmik ( area wajah)

2. Cabang maksilaris ( area rahang atas)

3. Cabang mandibularis (area rahang bawah)

Tergantung cabang yang terkena maka tempat nyeri juga sesuai dengan

area wajah tertentu.

Trigeminal Neuralgia bisa terjadi pada semua umur, tetapi yang tersering

pada usia diatas 50 tahun. Nyeri akibat trigeminal neuralgia ini biasanya

semakin lama semakin memberat, walaupun sudah meminum obat secara

teratur dan dosis sudah maksimal. Hal ini yang sering menggangu penderita,

bahkan kadang obat yang diminum sudah menimbulkan efek samping.

57

Page 58: LAPORAN Tutorial Skenario C Blok 6

Ada beberapa penyebab Trigeminal Neuralgia, yang paling sering adalah

akibat penekanan oleh pembuluh darah di sekitar saraf trigeminal (sekitar 90

%). Penyebab lainnya adalah tumor dan penyakit multiple sclerosis.

Penanganan awal kasus trigeminal neuralgia adalah dengan obat-obat

penghilang nyeri, pada sebagian besar kasus cukup efektif menghilanhkan

gejala. Tetapi penggunaan obat-obatan ini harus dimonitor, karena

penggunaan secara lama dan dosis yang tinggi dapat mengganggu fungsi hati

dan ginjal.

Penanganan lainnya adalah dengan tindakan operasi Microvascular

Decompression, suatu prosedur operasi untuk menghilangkan tekanan

pembuluh darah pada saraf trigeminal. Prosedur ini cukup efektif dan angka

keberhasilannya cukup tinggi ( diatas 95%). Penanganan operatif kasus

trigeminal neuralgia diindikasikan pada kasus dengan nyeri berat yang tidak

membaik dengan obat-obatan. Selain itu juga bila pemakaian obat sudah

menimbulkan efek samping yang bisa membahayakan kesehatan secara

umum.

Pemilihan jenis penanganan sangat individual dan berbeda dari kasus satu

dengan yang lainnya. Sebelum menjalani terapi sebaiknya berkonsultasi

dengan spesialis saraf dan spesialis bedah saraf yang terkait. Trigeminal

Neuralgia bisa disembuhkan dengan terapi yang tepat dan aman.

58

Page 59: LAPORAN Tutorial Skenario C Blok 6

Penekanan saraf trigeminal oleh pembuluh darah

1. ANATOMI NERVUS TRIGEMINUS

Nervus trigeminus atau saraf otak kelima atau saraf otak trifasial

merupakan saraf otak terbesar diantara 12 saraf otak, bersifat campuran karena

terdiri dari komponen sensorik yang mempunyai daerah persarafan yang luas

yang disebut portio mayor dan komponen motorik yang persarafannya sempit

disebut portio minor. Komponen-komponen ini keluar dari permukaan

anterolateral bagian tengah pons dan berjalan ke anterior pada dasar fossa

kranialis posterior melintasi bagian petrosa tulang pelipis ke fossa kranialis

media. Komponen sensorik dan motorik bergabung didalam ganglion

trigeminus atau ganglion gaseri, kemudian berjalan bersama-sama sebagai

saraf otak kelima (Sharav, 2002 ; Brice, 2004) Nervus trigeminal

mempersarafi wajah dan kepala. Terdapat 3 divisi yang menginervasi daerah

dahi dan mata (V1 optalmikus), pipi (V2 maksilaris) serta wajah bagian bawah

dan rahang (V3 mandibularis). Fungsi nervus trigeminus adalah sensasi

sentuhan wajah, sakit dan suhu, dan juga kontrol otot pengunyahan. Fungsi

nervus trigeminus harus dibedakan dengan nervus fasialis (nervus cranialis ke

VII) yang mengontrol semua gerakan wajah. (Kaufman, 2001) Tiga divisi

nervus trigeminal muncul bersama-sama pada daerah yang disebut ganglion

gaseri. Dari sana, akar nervus trigeminal berjalan kebelakang kearah sisi brain

stem dan masuk ke pons. Dalam brain stem, sinyal akan berjalan terus

mencapai kelompok neuron khusus yang disebut nukleus nervus trigeminal.

Informasi dibawa ke brain stem oleh nervus trigeminus kemudian diproses

sebelum dikirim ke otak dan korteks serebral, dimana persepsi sensasi wajah

akan diturunkan. (Kaufman AM, 2001). Nervus ini mengandung serat-serat

branchiomotorik dan aferen somatik umum (yang terdiri atas komponen

ekteroseptif dan komponen proprioseptif), dengan nuclei sebagai berikut :

a. Nucleus Motorius Nervi Trigemin

59

Page 60: LAPORAN Tutorial Skenario C Blok 6

Dari Nucleus ini keluar serat-serat branchiomotorik yang berjalan

langsung ke arah ventrolateral menyilang serat-serat pedunculus cerebellaris

medius (fibrae pontocerebellares) dan pada akhirnya akan melayani m.

Masticatores melalui rami motori nervi mandibularis dan m. Tensor Veli

Palatini serta m. Mylohyoideus.

b. Nucleus Pontius, Nervi Trigemini dan Nucleus Spinalis Nervi

Trigemini

Kedua Nucleus ini menerima impuls-impuls eksteroseptif dari daerah

muka dan daerah calvaria bagian ventral sampai vertex.

Di antara kedua nucleus di atas terdapat perbedaan fungsional yang penting :

di dalam nucleus Pontius berakhir serat-serat aferan N. V yang relatif kasar,

yang mengantarkan impuls-impuls rasa raba, sedangkan nucleus spinalis N. V

terdiri atas sel-sel neuron kecil dan menerima serat-serat N. V yang halus yang

mengantarkan impuls-impuls eksteroseptif nyeri dan suhu.

60

Page 61: LAPORAN Tutorial Skenario C Blok 6

61

Page 62: LAPORAN Tutorial Skenario C Blok 6

2. FISIOLOGI NERVUS TRIGEMINUS

Fungsi nervus Trigeminus dapat dinilai melalui pemeriksaan rasa suhu,

nyeri dan raba pada daerah inervasi N. V (daerah muka dan bagian ventral

calvaria), pemeriksaan refleks kornea, dan pemeriksaan fungsi otot-otot

pengunyah. Fungsi otot pengunyah dapat diperiksa, misalnya dengan

menyuruh penderita menutup kedua rahangnya dengan rapat, sehingga gigi-

gigi pada rahang bawah menekan pada gigi-gigi rahang atas, sementara m.

Masseter dan m. Temporalis dapat dipalpasi dengan mudah.

Pada kerusakan unilateral neuron motor atas, mm. Masticatores tidak

mngelami gangguan fungsi, oleh karena nucleus motorius N. V menerima

fibrae corticonucleares dari kedua belah cortex cerebri.

Sebagai tambahan terhadap fungsi cutaneus, cabang maxillaris dan

mandibularis penting pada kedokteran gigi. Nervus maxillaris memberikan

inervasi sensorik ke gigi maxillaris, palatum, dan gingiva. Cabang

mandibularis memberikan persarafan sensorik ke gigi mandibularis, lidah, dan

gingiva. Variasi nervus yang memberikan persarafan ke gigi diteruskan ke

alveolaris, ke soket di mana gigi tersebut berasal nervus alveolaris superior ke

gigi maxillaris berasal dari cabang maxillaris nervus trigeminus. Nervus

alveolaris inferior ke gigi mandibularis berasal dari cabang mandibularis

nervus trigeminus.

3. PATOFISIOLOGI

Neuralgia Trigeminal dapat terjadi akibat berbagai kondisi yang

melibatkan sistem persarafan trigeminus ipsilateral. Pada kebanyakan kasus,

tampaknya yang menjadi etiologi adalah adanya kompresi oleh salah satu

arteri di dekatnya yang mengalami pemanjangan seiring dengan perjalanan

usia, tepat pada pangkal tempat keluarnya saraf ini dari batang otak. Lima

sampai delapan persen kasus disebabkan oleh adanya tumor benigna pada

sudut serebelo-pontin seperti meningioma, tumor epidermoid, atau neurinoma

akustik. Kira-kira 2-3% kasus karena sklerosis multipel. Ada sebagian kasus

yang tidak diketahui sebabnya. Menurut Fromm, neuralgia Trigeminal bisa

mempunyai penyebab perifer maupun sentral.

62

Page 63: LAPORAN Tutorial Skenario C Blok 6

Sebagai contoh dikemukakan bahwa adanya iritasi kronis pada saraf

ini, apapun penyebabnya, bisa menimbulkan kegagalan pada inhibisi

segmental pada nukleus/ inti saraf ini yang menimbulkan produksi ectopic

action potential pada saraf Trigeminal. Keadaan ini, yaitu discharge neuronal

yang berlebihan dan pengurangan inhibisi, mengakibatkan jalur sensorik yang

hiperaktif. Bila tidak terbendung akhirnya akan menimbulkan serangan nyeri.

Aksi potensial antidromik ini dirasakan oleh pasien sebagai serangan nyeri

trigerminal yang paroksismal. Stimulus yang sederhana pada daerah pencetus

mengakibatkan terjadinya serangan nyeri.

Efek terapeutik yang efektif dari obat yang diketahui bekerja secara

sentral membuktikan adanya mekanisme sentral dari neuralgi. Tentang

bagaimana multipel sklerosis bisa disertai nyeri Trigeminal diingatkan akan

adanya demyelinating plaques pada tempat masuknya saraf, atau pada nukleus

sensorik utama nervus trigeminus.

Pada nyeri Trigeminal pasca infeksi virus, misalnya pasca herpes,

dianggap bahwa lesi pada saraf akan mengaktifkan nociceptors yang berakibat

terjadinya nyeri. Tentang mengapa nyeri pasca herpes masih bertahan sampai

waktu cukup lama dikatakan karena setelah sembuh dan selama masa

regenerasi masih tetap terbentuk zat pembawa nyeri hingga kurun waktu yang

berbeda. Pada orang usia muda, waktu ini relatif singkat. Akan tetapi, pada

usia lanjut nyeri bisa berlangsung sangat lama. Pemberian antiviral yang cepat

dan dalam dosis yang adekuat akan sangat mempersingkat lamanya nyeri ini.

Peter Janetta menggolongkan neuralgia glossopharyngeal dan

hemifacial spasm dalam kelompok “Syndromes of Cranial Nerve

Hyperactivity“. Menurut dia, semua saraf yang digolongkan pada sindroma ini

mempunyai satu kesamaan: mereka semuanya terletak pada pons atau medulla

oblongata serta dikelilingi oleh banyak arteri dan vena. Pada genesis dari

sindroma hiperaktif ini, terdapat dua proses yang sebenarnya merupakan

proses penuaan yang wajar:

1. Memanjang serta melingkarnya arteri pada dasar otak.

2. Dengan peningkatan usia, karena terjadinya atrofi, maka otak akan bergeser

63

Page 64: LAPORAN Tutorial Skenario C Blok 6

atau jatuh ke arah caudal di dalam fossa posterior dengan akibat makin

besarnya kontak neurovaskuler yang tentunya akan memperbesar

kemungkinan terjadinya penekanan pada saraf yang terkait.

Ada kemungkinan terjadi kompresi vaskuler sebagai dasar penyebab

umum dari sindroma saraf kranial ini. Kompresi pembuluh darah yang

berdenyut, baik dari arteri maupun vena, adalah penyebab utamanya. Letak

kompresi berhubungan dengan gejala klinis yang timbul. Misalnya, kompresi

pada bagian rostral dari nervus trigeminus akan mengakibatkan neuralgia pada

cabang oftalmicus dari nervus trigeminus, dan seterusnya. Menurut Calvin,

sekitar 90% dari neuralgia Trigeminal penyebabnya adalah adanya arteri

“salah tempat” yang melingkari serabut saraf ini pada usia lanjut. Mengapa

terjadi perpanjangan dan pembelokan pembuluh darah, dikatakan bahwa

mungkin sebabnya terletak pada predisposisi genetik yang ditambah dengan

beberapa faktor pola hidup, yaitu merokok, pola diet, dan sebagainya.

Pembuluh darah yang menekan tidak harus berdiameter besar. Walaupun

hanya kecil, misalnya dengan diameter 50-100 um saja, sudah bisa

menimbulkan neuralgia, hemifacial spasm, tinnitus, ataupun vertigo. Bila

dilakukan microvascular decompression secara benar, keluhan akan hilang.

4. KLASIFIKASI

Menurut klasifikasi IHS ( International Headache Society ) membedakan

NT klasik dan NT simptomatik. Termasuk NT klasik adalah semua kasus yang

etiologinya belum diketahui ( idiopatik ) Sedangkan NT simptomatik dapat akibat

tumor, multipel sklerosis atau kelainan di basis kranii. Sebagai indikator NT

simptomatik adalah defisit sensorik n. Trigeminus, terlibatnya nervus trigeminus

bilateral atau kelainan refleks trigeminus. Tidak dijumpai hubungan antara NT

simptomatik dengan terlibatnya nervus trigeminus cabang pertama, usia muda

atau kegagaralan terapi farmakologik.

Perbedaan neuralgia trigeminus idiopatik dan simptomatik

Neuralgia Trigeminus Idiopatik.

64

Page 65: LAPORAN Tutorial Skenario C Blok 6

1. Nyeri bersifat paroxysmal dan terasa diwilayah sensorik cabang

maksilaris, sensorik cabang maksilaris dan atau mandibularis.

2. Timbulnya serangan bisa berlangsung 30 menit yang berikutnya menyusul

antara beberapa detik sampai menit.

3. Nyeri merupakan gejala tunggal dan utama.

4. Penderita berusia lebih dari 45 tahun , wanita lebih sering mengidap

dibanding laki-laki.

Neuralgia Trigeminus simptomatik.

1. Nyeri berlangsung terus menerus dan terasa dikawasan cabang optalmikus

atau nervus infra orbitalis.

2. Nyeri timbul terus menerus dengan puncak nyeri lalu hilang timbul

kembali.

3. Disamping nyeri terdapat juga anethesia/hipestesia atau kelumpuhan saraf

kranial, berupa gangguan autonom ( Horner syndrom ).

4. Tidak memperlihatkan kecendrungan pada wanita atau pria dan tidak

terbatas pada golongan usia.

5. ETIOLOGI

Ada beberapa penyebab Trigeminal Neuralgia (tic douloureux), yang

paling sering adalah akibat penekanan oleh pembuluh darah di sekitar saraf

trigeminal (sekitar 90 %). Penyebab lainnya adalah tumor dan penyakit

multiple sclerosis.

Penyebab kondisi ini adalah iritasi syaraf cranial kelima (syaraf

Trigeminal) yang bertanggung jawab untuk memberikan sensasi wajah.

Iritasi ini kadangkala disebabkan oleh tumor jinak atau sklerosis multiple,

atau yang biasanya dapat dideteksi dengan MRI otak kualitas tinggi.

Mengenai etiologi sampai sekarang juga masih belum jelas, seperti

yang disebutkan diatas tadi tetapi ada beberapa penyebab yang berhubungan

dengan gigi, dari berbagai kepustakaan disebut sebagai berikut. Seperti

diketahui N. V merupakan satu-satunya serabut saraf yang kemungkinan

selalu dihadapkan dengan keadaan sepsis sepanjang hidup. Keadaan sepsis

65

Page 66: LAPORAN Tutorial Skenario C Blok 6

tersebut dapat berupa karies gigi, abses, sinusitis, pencabutan gigi oleh

berbagai sebab, infeksi periodontal, yang kesemuanya diperkirakan dapat

menjadi penyebab NT. Akan tetapi bukti lain menunjukkan banyak juga

penderita dengan infeksi disekitar mulut, cabut gigi yang tidak menderita NT.

Disisi lain, tidak jarang pula penderita NT yang ditemukan tanpa menderita

infeksi seperti tersebut diatas.

Dahulu diketahui bahwa NT berawal dari dikeluhkannya rasa nyeri

area mulut pasca suatu prosedur dental sehingga berakibat munculnya

diagnosis sebagai dry socket pasca ekstraksi gigi. Oleh karena seringnya

keluhan nyeri dirasakan pada gigi geligi atas atau bawah disatu sisi, maka

penderita terdorong mencari pengobatan ke bagian gigi dengan asumsi nyeri

tersebut berasal dari gigi.

Setelah dilakukan ekstraksi gigi timbul nyeri setelah 24-48 jam

kemudian dan biasanya disebabkan adanya osteitis superfisial pada tulang

alveolar. Pada pemeriksaan tidak menunjukkan adanya pembekuan darah

setelah dilakukan ekstraksi maupun tidak ada nyeri lokal pada waktu

dilakukan palpasi

Satu laporan kasus disebutkan kurang lebih sekitar 2 bulan setelah

dilakukan ” endodontic treatment ” timbul nyeri paroxysmal yang tajam, dan

makin bertambah frekwensinya, dan nyeri timbul bila ada ” trigger ” sentuhan

ringan pada pipi kiri dan setiap serangan berlangsung 1-2 detik dan kadang

sampai 5-10 serangan berulang, kemudian akhirnya didiagnosa sebagai

Neuralgia Trigeminal

Pada satu penelitian kasus dari 48 penderita dengan NT , 31 penderita

yang diobati sebelumnya telah mengalami 83 tindakan prosedur ”dental”

diantaranya ekstraksi tunggal, ekstraksi multipel, prosedur endodontik, ”

complete denture”, ” periapical surgery ” dsbnya. Kesimpulan hasil penelitian

didapatkan adanya korelasi yang bermakna antara sejumlah pasien yang

mendapat tindakan terapi ”dental” dengan durasi terjadinya neuralgia

trigeminal

6. DIAGNOSA

66

Page 67: LAPORAN Tutorial Skenario C Blok 6

Pada saat ini belum ada tes yang dapat diandalkan dalam mendiagnosa

neuralgia trigeminal. Diagnosa neuralgia trigeminal dibuat berdasarkan

anamnesa pasien secara teliti dan pemeriksaan fisik yang cermat. Pada

anamnesa yang perlu diperhatikan adalah lokalisasi nyeri , kapan dimulainya

nyeri , menentukan interval bebas nyeri, menentukan lamanya , efek samping,

dosis, dan respons terhadap pengobatan, menanyakan riwayat penyakit lain

seperti ada penyakit herpes atau tidak, dsb. Pada pemeriksaan fisik neurologi

dapat ditemukan sewaktu terjadi serangan, penderita tampak menderita

sedangkan diluar serangan tampak normal. Reflek kornea dan test sensibilitas

untuk menilai sensasi pada ketiga cabang nervus trigeminus

bilateral.Membuka mulut dan deviasi dagu untuk menilai fungsi otot masseter

(otot pengunyah) dan fungsi otot pterygoideus. Pemeriksaan penunjang yang

diperlukan seperti CT scan kepala atau MRI kepala. CT scan kepala dari fossa

posterior bermanfaat untuk mendeteksi tumor yang tidak terlalu kecil dan

aneurisma. MRI sangat bermanfaat karena dengan alat ini dapat dilihat

hubungan antara saraf dan pembuluh darah juga dapat mendeteksi tumor yang

masih kecil, MRI juga diindikasikan pada penderita dengan nyeri yang tidak

khas distribusinya atau waktunya maupun yang tidak mempan pengobatan.

Indikasi lain misalnya pada penderita yang onsetnya masih muda, terutama

bila jarang – jarang ada saat – saat remisi dan terdapat gangguan sensisibilitas

yang obyektif. Selain itu harus diingat, bahwa neuralgia trigeminal yang klasik

dengan hanya sedikit atau tanpa tanda-tanda abnormal ternyata bisa

merupakan gejala – gejala dari tumor fossa posterior.

Diagnosa Banding.

1. Post herpetic neuralgia

2. Cluster headache

3. Glossopharingeal neuralgia

4. Kelainan temporomandibuler.

5. Sinusitis

6. Migrain

7. Giant cell arteritis

8. Atypical facial pain

67

Page 68: LAPORAN Tutorial Skenario C Blok 6

7. PENGOBATAN

Terapi Farmakologik.

Peneliti-peneliti dalam bidang nyeri neuropatik telah mengembangkan

beberapa pedoman terapi farmakologik. Dalam guidline EFNS ( European

Federation of Neurological

Society ) disarankan terapai neuralgia trigeminal dengan carbamazepin ( 200-

1200mg sehari ) dan oxcarbazepin ( 600-1800mg sehari ) sebagai terapi lini

pertama. Sedangkan terapai lini kedua adalah baclofen dan lamotrigin.

Neuralgia trigeminal sering mengalami remisi sehingga pasien dinasehatkan

untuk mengatur dosis obat sesuai dengan frekwensi serangannya. Dalam

pedoman AAN-EFNS ( American Academy of Neurology- European

Federation of Neurological Society ) telah disimpulkan bahwa: carbamazepin

efektif dalam pengendalian nyeri , oxcarbazepin juga efektif, baclofen dan

lamotrigin mungkin juga efektif. Studi open label telah melaporkan manfaat

terapi obat-obatan anti epilepsi yang lain seperti clonazepam, gabapentin,

phenytoin dan valproat. Dalam publikasi mutakhir dari ” The Neurologist”

dinyatakan carbamazepine merupakan terapi lini pertama , sedangkan terapi

lini kedua adalah Oxcarbazepine, gabapentin, phenytoin. Terapi lini ketiga

adalah lamotrigin dan baclofen. Pregabalin yang telah terbukti efektif dalam

terapi nyeri neuropatik mungkin juga bermanfaat pada terapi neuralgia

trigeminal.

Terapi non Farmakologik.

Terapi farmakologik umumnya efektif akan tetapi ada juga pasien yang tidak

bereaksi atau timbul efek samping yang tidak diinginkan maka diperlukan

terapi pembedahan.

Tindakan operatif yang dapat dilakukan adalah prosedur ganglion

gasseri, terapi gamma knife dan dekompresi mikrovaskuler. Pada prosedur

perifer dilakukan blok pada nervus trigeminus bagian disatal ganglion gasseri

yaitu dengan suntikan streptomisin, lidokain, alkohol . Prosedur pada ganglion

gasseri ialah rhizotomi melalui foramen ovale dengan radiofrekwensi

68

Page 69: LAPORAN Tutorial Skenario C Blok 6

termoregulasi, suntikan gliserol atau kompresi dengan balon ke dalam kavum

Meckel. Terapi gamma knife merupakan terapi radiasi yang difokuskan pada

radiks nervus trigeminus di fossa posterior. Dekompresi mikrovaskuler adalah

kraniotomi sampai nervus trigeminus difossa posterior dengan tujuan

memisahkan pembuluh darah yang menekan nervus trigeminus.

6. ANATOMY & FUNCTION OF OTHER CRANIAL NERVES

Terdapat 12 pasang Nervus cranial yaitu :a.

 

1. Nervus olfactorius adalah saraf sensorik, fungsi : penciuman,

Sensori Menerima rangsang dari hidung dan menghantarkannya ke

otak untuk diproses sebagai sensasi bau. Berkas serabut ini keluar

dari lamina cribrosa os ethmoidales dan berakhir pada bulbus

olfactorius.

2. Nervus opticus adalah saraf sensorik, fungsi : Penglihatan, Sensori

Menerima rangsang dari mata dan menghantarkannya ke otak

untuk diproses sebagai persepsi visual . Saraf ini berjalan melalui

canalis opticus.

3. Nervus occulamotorius adalah saraf motoric, fungsi : Pergerakan

bola mata elevasi alis, konstriksi pupil dan memfokuskan lensa,

Saraf ini mengontrol sebagian besar gerakan mata, konstriksi pupil,

dan mempertahankan terbukanya kelopak mata (saraf kranial IV

dan VI juga membantu pengontrolan gerakan mata .) Saraf ini

keluar dari aspek anterior mesensephalon.

4. Nervus trochlearis adalah saraf motoric, fungsi: Pergerakan bola

mata ke bawah

5. Nervus trigeminus adalah saraf campuran(sensorik dan motoric),

V1(Syaraf optalmik) adalah saraf sensorik

fungsi : input dari kornea, rongga hidung bagian atas, kulit kepala

bagian frontal, dahi, bagian atas alis, konjungtiva kelenjar air mata

V2(Syaraf maksilari) adalah saraf sensorik

69

Page 70: LAPORAN Tutorial Skenario C Blok 6

fungsi :  input dari dagu, bibir atas, gigi atas, mukosa rongga

hidung, palatum, faring

V3 (Syaraf Mandibular) adalah saraf sensorik dan motorik

Fungsi sensorik : input dari lidah (bukan pengecapan), gigi bawah,

kulit di bawah dagu

Fungsi motorik : mengunyah

6. Nervus abducens adalah saraf motoric, fungsi : Pergerakan mata

ke lateral

7. Nervus facialis adalah saraf campuran,

Fungsi :

a)         Sensorik: Menerima rangsang dari bagian anterior lidah

untuk diproses di otak sebagai sensasi rasa

b)         Motorik: Mengendalikan otot wajah untuk menciptakan

ekspresi wajah

8. Nervus vestibulocochlearis adalah syaraf sensorik, fungsi :

Vestibular untuk keseimbangan, cochlearis untuk pendengaran

9. Nervus glossofaringeus adalah saraf campuran,

Fungsi :

a)      Motoris : membantu menelan

b)      Sensoris : Menerima rangsang dari bagian posterior lidah untuk

diproses di otak sebagai sensasi rasa

10. Nervus vagus adalah saraf campuran,

Fungsi :

Sensori: Menerima rangsang dari organ dalam

Motorik: Mengendalikan organ-organ dalam

11. Nervus accesorius adalah saraf motorik, Saraf aksesoris adalah

saraf motorik yang mempersarafi otot sternokleidomastoideus dan

bagian atas otot trapezius

70

Page 71: LAPORAN Tutorial Skenario C Blok 6

12. Nervus hypoglossus adalah saraf motorik, fungsi : Pergerakan

lidah saat bicara, mengunyah.

71

Page 72: LAPORAN Tutorial Skenario C Blok 6

VII. KESIMPULAN

Latina menderita tic douloureux dikarenakan mengalami demyelinisasi pada substansi

alba pons (Multiple sclerosis) yang membuat lesi n. trigeminal serta diakibatkan efek dari

intravenous cortico steroid theraphy habis

72

Page 73: LAPORAN Tutorial Skenario C Blok 6

VIII. DAFTAR PUSTAKA

hendra-santoso125.blogspot.com/2011/12/neuralgia-trigeminal.html

http://doktersehat.com/neuralgia-trigeminal-menyebabkan-sering-nyeri-di

wajah/#ixzz2tfVeQPjC

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31956/4/Chapter%20II.pdf

Snell, Richard. Anatomi Klinis Berdasarkan Sistem. Jakarta:EGC,2011

http://www.mitrakeluarga.com/surabaya/trigeminal-neuralgia-and-

hemifacial-spasm-care-center/

http://m.kompasiana.com/post/read/190519/3/apa-itu-neuralgia-trigeminal

http://doktersehat.com/neuralgia-trigeminal-menyebabkan-sering-nyeri-di-

wajah/#ixzz2tfVeQPjC

GRAFF-RADFORD S. B. Facial pain. Current Opinion in Neurology,

2000, 13 : 291-296.

HEADACHE CLASSIFICATION COMMITTEE OF THE

INTERNATIONAL HEADACHE SOCIETY. Classification and

diagnostic criteria for headache disorders, cranial neuralgias, and facial

pain. Cephalalgia, 1988, 8 : 1-96.

Paulsen, F. Waschke, J. 2012. Atlas Anatomi Sobotta: Kepala, Leher dan

Neuroanatomi. Jakarta: EGC.

Corwin, Elizabeth J. 2011. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.

Sherwood, Lauralee. 2011. Fisiologi Manusia: dari Sel ke Sistem. Jakarta:

EGC

Japardi, Iskandar. Multiple Sclerosis.

http://repository.usu.ac.id/bitstream/.../1974/1/bedah-iskandar

%20japardi24.pdf.

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1974/1/bedah-iskandar

%20japardi24.pdf

http://www.slideshare.net/Lailiahameeda/makalah-multiple-sklerosis#

73

Page 74: LAPORAN Tutorial Skenario C Blok 6

F.Paulsen & J.Waschke. Sobotta Atlas Anatomi Manusia Jilid 1. Penerbit

EGC Edisi 23 2012

Kamus saku kedokteran Dorland Edisi 25

Richard S. Snell. Anatomi Klinik Bagian 1. Penerbit EGC Edisi 3 2009

Adams. Diagnosis Fisik Alih Bahasa : Dr. Henny Lukmanto Penerbit Buku

Kedokteran EGC. Jakarta. 1990

Brodal, A. Neurological Anatomy in relation to clinical Medicine Oxford

Press. Toronto. 1969

Prof. DR. Mahar Mardjono, Neurologi Klinis DasarDian Rakyat.

Jakarta.2006

http://www.mitrabrainspinecenter.com/functional-neurosurgery-center/

trigeminal-neuralgia/ (Diakses pada tanggal 18 februari 2014)

http://kamuskesehatan.com (Diakses pada tanggal 18 februari 2014)

http://www.totalkesehatananda.com/ms1.html (Diakses pada tanggal 18

februari 2014)

Andri, A., dan Bajamal, A.H., 2002, Penatalaksanaan Neuralgia

Trigeminal Masa Kini, www.tempointeraktif.com/medika/arsip/ ,

Susanto, Abdi, 2007, Trigeminal Neuralgia, Wajah Seperti Tersetrum,

http://www.gayahidupsehatonline.com/ ,

Anonim, 2008, Trigeminal Neuralgia,

www.diagnose-me.com/cond/C535067.html ,

Sukardi, Elias, 1984, Neuroanatomica Medica, Penerbit Universitas

Indonesia : Jakarta, hal. 176-179

Collins, Peter., 1999, Electronic Dictionary of Medicine, Peter Collins

Publishing : Teddington – UK.

Suhardi, D., 2007, Trigeminal Neuralgia, Rasa Nyeri di Wajah,

http://www.harian-global.com/

Kaufmann, A.M., dan Patel, M., 2001, Characteristics and Causes of

Trigeminal Neuralgia, http://www.umanitoba.ca/ ,

Saanin, Syaiful, Tanpa Tahun, Neuralgia Trigeminal,

www.angelfire.com/nc/neurosurgery/trigemilan.html ,

http://kesehatan.kompasiana.com/medis/2010/07/10/apa-itu-neuralgia-

trigeminal-190519.html

74

Page 75: LAPORAN Tutorial Skenario C Blok 6

http://doktersehat.com/neuralgia-trigeminal-menyebabkan-sering-nyeri-di-

wajah/

http://kadaverboy.wordpress.com/2009/11/22/multiple-sklerosis/ , diunduh

pada tanggal 18 februari 2014

repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/28869/4/Chapter%20II.pdf,

diunduh pada tanggal 18 februari 2014

http://nurrahmiar.blogspot.com/2012/05/31-nervus-spinalis.html diunduh

pada tanggal 18 februari 2014

Fred G. Barker, et al, 2005 , Trigeminal Neuralgia and Hemifacial Spasm

Center, file://G:\Trigeminal Neuralgia-Hemifacial Spasm Homepage at

MGH-Harvard.htm

Anatomi klinik snell edisi 6

Olesen J, 1988, Classification & Diagnostic Criteria for Headache

Disorders, Cranial neuralgias & Pacial Pain

75