laporan skenario 2.doc
DESCRIPTION
laporan tutorial skenario 2 blok respirasiTRANSCRIPT
LAPORAN KELOMPOK TUTORIALBLOK SISTEM RESPIRASI
SKENARIO 2
PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIS
Kelompok 7
Aflifia Birruni Sabila (G0009005)Anita Rachman (G0009019)Bela Dirk (G0009037)Dwiana Ardianti (G0009067)Ferika Brillian Sabania (G0009081)Kristiana Margareta (G0009117)Nadhira Puspita Ayuningtyas (G0009145)Reyhan Pradnya Pradana (G0009181)Rizka Solehah (G0009189)Siti Fatimah Risa (G0009201)Wisnu Yudho Hutomo (G0009213)
Tutor : Dr. Kiyatno, dr, PFK, M.Or.
FAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS SEBELAS MARET
2010
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Asbes adalah senyawa campuran antara magnesium dan besi silikat.
Karema sifat fisiknya yang unik (tahan lama, tahan panas, fleksibel), asbes
banyak digunakan dalam industri, seperti pada pembuatan kapal, rem mobil,
pinggiran kopling, filter udara, bahan isolasi, bahkan untuk atap. Proses
interstisial yang perlahan-lahan berkembang menjadi fibrosis paru non-nodular
difus yang mengnai saluran-saluran napas terminal, alveoli, dan pleura disebut
juga asbestosis . Hal ini biasanya diketahui setelah 20 tahun terpajang dan
cenderung terus berkembang perlahan-lahan walaupun sudah berhenti terpajan
asbes (Wilson, 2005). Dari pemikiran tersebut, diperlukan pembahasan dan
pengkajian lebih mendalam tentang salah satu dari faktor pemicu terjadinya
sesak nafas ini sehingga kita dapat lebih mengerti penyakit ini dan agar di masa
mendatang dapat meminimalisir penyakit ini.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana patofisiologis dan patogenesis dari gejala klinis tersebut?
2. Apa saja pemeriksaan penunjang dan interpretasi hasil dari pasien
tersebut?
3. Apa sajakah diagnosis bandingnya?
4. Bagaimana hubungan faktor resiko batuk dan gejala klinis yang diderita
pasien?
5. Bagaimana etiologinya?
6. Bagaimana penatalaksanaan untuk kasus seperti ini?
7. Apa sajakah tindakan preventif yang harus dilakukan?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui patofisiologis dan berbagai macam patogenesis dari
gejala klinis yang diderita pasien tersebut
2. Untuk mengetahui macam-macam pemeriksaan penunjang yang sesui
dengan kasus tersebut serta mengetahui interpretasi hasilnya
3. Untuk mengetahui diagnosis banding dari penyakit tersebut
4. Untuk mengetahui hubungan faktor resiko dari batuk dengan gejala klinis
yang diderita pasien tersebut
5. Ubtuk mengetahui etiologi dari kasus tersebut
6. Ubtuk mengetahui penatalaksanaan yang harus dilakukan untuk pasien
tersebut
7. Untuk mengetahui tindakan-tindakan preventif pada kasus tersebut
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi dan Etiologi PPOK
Penyakit Paru Obstruktif Kronik yang biasa dikenal sebagai PPOK
merupakan penyakit kronik yang ditandai dengan keterbatasan aliran udara
dalam saluran napas yang tidak sepenuhnya reversibel. Gangguan yang
bersifat progresif (cepat dan berat) ini disebabkan karena terjadinya Radang
kronik akibat pajanan partikel atau gas beracun yang terjadi dalam kurun
waktu yang cukup lama dengan gejala utama sesak napas, batuk, dan produksi
sputum dan keterbatasan aktifitas. Penyakit paru yang masuk ke dalam
kategori PPOK antara lain adalah bronchitis dan emfisema.
Bronchitis kronis adalah suatu definisi klinis yaitu ditandai dengan
batuk-batuk hampir setiap hari disertai pengeluaran dahak, sekurang-
kurangnya 3 bulan berturut-turut dalam satu tahun dan paling sedikit selama 2
tahun.
Emfisema adalah suatu perubahan anatomi paru-paru yang ditandai
dengan melebarnya secara abnormal saluran udara sebelah distal bronkus
terminal disertai kerusakan dinding alveolus (Alsagaff, 2005).
Setiap orang dapat terpapar dengan berbagai macam jenis yang
berbeda dari partikel yang terinhalasi selama hidupnya. Faktor resiko COPD
bergantung pada jumlah keseluruhan dari partikel-partikel iritatif yang
terinhalasi oleh seseorang selama hidupnya :
1. Asap rokok
Perokok aktif memiliki prevalensi lebih tinggi untuk mengalami
gejala respiratorik, abnormalitas fungsi paru, dan mortalitas yang lebih
tinggi dari pada orang yang tidak merokok. Resiko untuk menderita COPD
bergantung pada “dosis merokok”nya, seperti umur orang tersebut mulai
merokok, jumlah rokok yang dihisap per hari dan berapa lama orang
tersebut merokok. Enviromental tobacco smoke (ETS) atau perokok pasif
juga dapat mengalami gejala-gejala respiratorik dan COPD dikarenakan
oleh partikel-partikel iritatif tersebut terinhalasi sehingga mengakibatkan
paru-paru “terbakar”. Merokok selama masa kehamilan juga dapat
mewariskan faktor resiko kepada janin, mempengaruhi pertumbuhan dan
perkembangan paru-paru dan perkembangan janin dalam kandungan,
bahkan mungkin juga dapat mengganggu sistem imun dari janin tersebut.
2. Polusi tempat kerja (bahan kimia, zat iritan, gas beracun)
3. Indoor Air Pollution atau polusi di dalam ruangan Hampir 3 milyar orang
di seluruh dunia menggunakan batubara, arang, kayu bakar ataupun bahan
bakar biomass lainnya sebagai penghasil energi untuk memasak, pemanas
dan untuk kebutuhan rumah tangga lainnya, sehngga menyebabkan polusi
dalam ruangan.
4. Polusi di luar ruangan, seperti gas buang kendaraan bermotor dan debu
jalanan.
5. Infeksi saluran nafas berulang
6. Jenis kelamin Dahulu, COPD lebih sering dijumpai pada laki-laki
dibanding wanita. Karena dahulu, lebih banyak perokok laki-laki
dibanding wanita. Tapi dewasa ini prevalensi pada laki-laki dan wanita
seimbang. Hal ini dikarenakan oleh perubahan pola dari merokok itu
sendiri. Beberapa penelitian mengatakan bahwa perokok wanita lebih
rentan untuk terkena COPD dibandingkan perokok pria.
7. Status sosio ekonomi dan status nutrisi yang rendah
8. Asma
9. Usia (Onset usia dari COPD ini adalah pertengahan)
(Yunus, 2007)
B. Patogenesis PPOK
Dalam patogenesis PPOK, tambahnya, tekanan oksidatif memiliki
peran dalam peningkatan inflamasi, terutama pada perokok dan pasien PPOK.
Peningkatan tekanan oksidatif pada pasien PPOK diperoleh dari pembakaran
zat oksidan melalui asap rokok, atau dari penambahan jumlah spesies oksigen
reaktif yang dilepaskan dari leukosit. Kebanyakan pasien PPOK mengalami
episode akut yang disebut eksaserbasi. Eksaserbasi diyakini memberikan
kontribusi dalam progresivitas penyakit sekaligus hilangnya fungsi paru yang
menjadi penyebab utama morbiditas, perawatan di rumah sakit, bahkan
kematian (Amin, 2006).
Peradangan merupakan elemen kunci terhadap patogenesis PPOK.
Inhalasi asap rokok atau gas berbahaya lainnya mengaktifasi makrofag dan sel
epitel untuk melepaskan faktor kemotaktik yang merekrut lebih banyak
makrofag dan neutrofil. Kemudian, makrofag dan neutrofil ini melepaskan
protease yang merusak elemen struktur pada paru-paru. Protease sebenarnya
dapat diatasi dengan antiprotease endogen namun tidak berimbangnya
antiprotease terhadap dominasi aktivitas protease yang pada akhirnya akan
menjadi predisposisi terhadap perkembangan PPOK. Pembentukan spesies
oksigen yang sangat reaktif seperti superoxide, radikal bebas hydroxyl dan
hydrogen peroxide telah diidentifikasi sebagai faktor yang berkontribusi
terhadap patogenesis karena substansi ini dapat meningkatkan penghancuran
antiprotease (Kumar, 2007).
Inflamasi kronis mengakibatkan metaplasia pada dinding epitel
bronchial, hipersekresi mukosa, peningkatan massa otot halus, dan fibrosis.
Terdapat pula disfungsi silier pada epitel, menyebabkan terganggunya klirens
produksi mucus yang berlebihan. Secara klinis, proses inilah yang
bermanifestasi sebagai bronchitis kronis, ditandai oleh batuk produktif kronis.
Pada parenkim paru, penghancuran elemen structural yang dimediasi protease
menyebabkan emfisema. Kerusakan sekat alveolar menyebabkan
berkurangnya elastisitas recoil pada paru dan kegagalan dinamika saluran
udara akibat rusaknya sokongan pada saluran udara kecil non-kartilago.
Keseluruhan proses ini mengakibatkan obstruksi paten pada saluran napas dan
timbulnya gejala patofisiologis lainnya yang karakteristik untuk PPOK (Price,
2006)
C. Diagnosis PPOK
PPOK diklasifikasikan menjadi subtype bronchitis kronik dan
emfisema, walaupun kebanyakan pasien memiliki keduanya. Bronkitis kronis
didefinisikan sebagai batuk produktif kronis selama lebih dari 2 tahun dan
emfisema ditandai oleh adanya kerusakan pada dinding alveola yang
menyebabkan peningkatan ukuran ruang udara distal yang
abnormal.Membedakan antara PPOK dengan asma sangat penting karena
asma merupakan sumbatan saluran napas yang intermitten dan penanganan
asma berbeda dengan PPOK.
Perbandingan gejala antara PPOK dan asma
PPOK Asma
Riwayat Klinis Onset biasanya pada usia tua.
Riwayat paparan rokok.
Tidak ada riwayat atopik pada
keluarga.
Variasi diurnal tidak begitu jelas.
Onset biasanya pada umur yang
lebih muda
Paparan allergen.
Riwayat atopi atau asma pada
keluarga.
Berkaitan dengan pola
nocturnal dan memberat pada
pagi hari.
Tes Diagnostik
Spirometri
Kapasitas
Radiology
Obstruksi tidak reversible sepenuhnya
Berkurang (dengan emphysema)
Hiperinflasi cenderung lebih persisten.
Penyakit bullous dapat ditemukan
Obstruction dapat reversible
sepenuhnya
Biasanya normal
Hiperinflasi hanya pada
eksaserbasi, namun normal di
luar serangan
Pathology Metaplasia kelenjar mucus
Kerusakan jaringan alveolar
(emphysema)
Hyperplasia kelenjar mucus
Struktur alveolar utuh
Inflamasi Makrofag dan neutrofil mendominasi
Limfosit CD8+
Sel Mast dan eosinophils
mendominasi
Limfosit CD4+
Penatalaksanaan
Kortikosteroid
Inhalasi
Leukotriene modifier
Anticholinergic
inhalasi
Untuk kasus sedang hingga berat
Tidak direkomendasikan
Digunakan untuk maintenance dan
selama eksaserbasi
Untuk kasus ringan hingga
berat persisten
Digunakan sebagai medikasi
pengontrol
Hanya digunakan pada
eksaserbasi. Tidak
diindikasikan untuk
maintenance
(Swidarmoko, 1995)
Diagnosis banding dari PPOK adalah sebagai berikut:
1. Emfisema, dengan gejala:
Batuk disertai keluarnya sputum (dahak) dalam jumlah besar
Hembusan nafas terasa pendek dengan bibir yang berkerut
Perubahan fisik yang ditandai dengan kemerosotan berat badan dan dada
terasa berat.
Napas terengah-engah disertai dengan suara seperti peluit
Dada berbentuk seperti tong, otot leher tampak menonjol, penderita
sampai membungkuk
Bibir tampak kebiruan
2. Emboli paru, dengan gejala:
Batuk (timbul secara mendadak, bisa disertai dengan
dahak berdarah)
Sesak nafas yang timbul secara mendadak
Nyeri dada (dirasakan dibawah tulang dada atau pada
salah satu sisi dada, sifatnya tajam atau menusuk)
Nyeri semakin memburuk jika penderita menarik nafas
dalam, batuk, makan atau membungkuk
Pernafasan cepat dengan wheezing
Denyut jantung cepat (takikardia)
Kulit lembab dan berwarna kebiruan
Nyeri pinggul tungkai (salah satu atau keduanya)
Pembengkakan tungkai
Tekanan darah rendah
Denyut nadi lemah atau tak teraba
3. Pneumothoraks, dengan gejala:
Penurunan ekspansi dada terkena
Hilang suara nafas pada sisi dada yang terkena
Hyperresonance
Sesak napas tiba-tiba
Napas pendek
Sianosis
Nyeri dada, punggung dan lengan
4. Ca paru, dengan gejala:
Sesak napas
Batuk berkepanjangan dan mengeluarkan darah
Sakit dada
Demam
Kehilangan berat badan (Sudoyo, 2006)
Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan rutin
1. Faal paru
• Spirometri (VEP1, VEP1 prediksi, KVP, VEP1/KVP)
- Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi (%)
dan atau VEP1/KVP (%).
Obstruksi : % VEP1 (VEP1/VEP1 pred.) <80%
%VEP1% (VEP1/KVP) <75%
- VEP1 merupakan parameter yang paling umum
dipakai untuk menilai beratnya PPOK dan
memantau perjalanan penyakit.
- Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak
mungkin dilakukan, APE meter walaupun kurang
tepat, dapat dipakai sebagai alternatif dengan
memantau variability harian pagi dan sore, tidak
lebih dari 20%.
• Uji bronkodilator
- Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila
tidak ada gunakan APE meter.
- Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak
8 hisapan, 15-20 menit kemudian dilihat
perubahan nilai VEP1 atau APE, perubahan VEP1
atau APE <20%>
- Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil.
2. Darah rutin
Hb, Ht, leukosit
3. Radiologi
Foto thoraks PA dan lateral berguna untuk
menyingkirkan penyakit paru lain.
Pada emfisema terlihat gambaran:
- Hiperinflasi
- Hiperlusen
- Ruang retrosternal melebar
- Diafragma mendatar
- Jantung menggantung (jantung pendulum/tear
drop/eye drop appearance)
Pada bronchitis kronik:
- Normal
- Corakan bronkovaskuler bertambah pada 21%
kasus
b. Pemeriksaan khusus (tidak rutin)
1. Faal paru
- Volume residu (VR), Kapasiti Residu Fungsional
(KRF), Kapasiti Paru Total (KPT), VR/KRF, VR/KPT
meningakt.
- DLCO menurun pada emfisema
- Raw meningkat pada bronchitis kronik
- Sgaw meningkat
- Variabiliti Harian APE kurang dari 20%
2. Uji latih kardiopulmoner
- Sepeda statis (ergocycle)
- Jentera (treadmill)
- Jalan 6 menit, lebih rendah dari normal
3. Uji provokasi bronkus
Untuk menilai derajat hipereaktiviti bronkus, pada
sebagian kecil PPOK terdapat hipereaktiviti bronkus
derajat ringan.
4. Uji coba kortikosteroid
Menilai perbaikan faal paru setelah pemberian
kortikosteroid oral (prednisone atau metilprednisolon)
sebanyak 30-50mg per hari selama 2 minggu yaitu
peningkatan VEP1 pascabronkodilator > 20% dan
minimal 250 ml. Pada PPOK umumnya tidak terdapat
kenaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid.
5. Analisis gas darah
Terutama untuk menilai:
- Gagal napas kronik stabil
- Gagal napas akut pada gagal napas kronik
6. Radiologi
- CT-Scan resolusi tinggi
- Mendeteksi emmfisema dini dan menilai jenis serta
derajat emfisema atau bula yang tidak terdeteksi
oleh foto thoraks polos
- Scan ventilasi perfusi
7. Elektrokardiografi (EKG)
Mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai oleh
P pulmonal dan hipertrofi ventrikel kanan.
8. Ekokardiografi
Menilai fungsi jantung kanan.
9. Bakteriologi
Pemeriksaan bakteriologi sputum pewarnaan Gram dan
kultur resistensi diperlukan untuk mengetahui pola
kuman dan untuk memilih antibiotik yang tepat. infeksi
saluran napas berulang merupakan penyebab utama
eksaserbasi akut pada penderita PPOK di Indonesia.
10. Kadar alfa-1 antitripsin
Kadar antitrypsin alfa- rendah pada emfisema herediter
(emfisema pada usia muda), defisiensi antitrypsin alfa-1
jarang ditemukan di Indonesia.
(Yunus, 2007)
D. Penatalaksanaan PPOK
Panduan konsensus penanganan terkini bergantung pada tingkat
keparahan PPOK, yang diketahui dari FEV1. Intervensi satu-satunya sejauh
ini yang telah terbukti memperbaiki harapan hidup adalah berhenti merokok
dan terapi oksigen jangka panjang (LTOT/Long-Term Oxygen Therapy) untuk
pasien dengan hypoxemia yang bermakna pada saat istirahat. Maka dari itu,
pasien dengan PPOK sebaiknya didorong untuk berhenti merokok. Pasien
yang tidak merokok dihindarkan dari paparan polusi lingkungan atau
okupansional yang diduga merupakan faktor yang berperan dalam
perkembangan penyakitnya.
Bronkodilator
Bronkodilator dapat diklasifikasikan sebagai agen kerja singkat dan
kerja panjang dan terbagi lagi menjadi tiga kelas farmakologis utama. Dengan
meningkatnya keparahan PPOK, bronkodilator kerja panjang mungkin dapat
memberikan manfaat simptomatik untuk periode yang lama. Antikolinergik
dapat digunakan sebagai penanganan lini pertama untuk PPOK. Ipratropium
bromide merupakan antikolinergik kerja singkat yang buruk diabsorbsi oleh
saluran napas jika diberikan sebagai aerosol dan memiliki sedikit efek
terhadap klirens mukosilier. Tiotropium merupakan antikolinergik kerja
panjang yang telah terbukti mempertahankan FEV1 yang tinggi. Penggunaan
antikolinergik sebagai agen farmakologis pada PPOK tidak seefektif
penggunaannya pada asma.
Rehabilitasi Pulmoner
Jika ditujukan untuk pasien dengan PPOK (atau gangguan kesulitan
pernapasan lainnya) program yang komprehensif pada rehabilitasi pulmoner
dapat meningkatkan kapasitas kerja, fungsi psikososial, dan kualitas hidup.
Program ini tidak memperpanjang hidup atau fungsi pulmoner, namun telah
terbukti mengurangi frekuensi rawat inap.
Terapi Oksigen Jangka Panjang (Long Term Oxygen Therapy/LTOT)
Kriteria untuk menggunakan oksigen bukan berdasar pada sesak napas
namun lebih dari hasil pemeriksaan baku untuk hypoxemia pada saat istirahat
dan beraktivitas yang dilakukan pada laboratorium fungsi pulmoner. Terdapat
kriteria LTOT yang diakui secara meluas untuk pasien PPOK berdasarkan
kadar hypoxemia. LTOT sebaiknya digunakan setidaknya 15 jam per hari
untuk memperoleh manfaat harapan hidup. Terapi ini biasanya dilakukan
dengan mengenakan kanula nasal yang disambung dengan sumber oksigen.
Penanganan Eksaserbasi
Pada umumnya, semakin FEV1 menurun maka eksasebasi lebih sering
terjadi. Eksaserbasi moderat atau berat ditandai dengan memburuknya
dyspnea, batuk, dan peningkatan produksi dan purulensi dari sputum yang
membaik jika diberikan antibiotic yang mencakup Haemophilus influenzae,
pneumokokus, dan Moraxella catarrhalis. Cakupan antibiotic pseudomonas
aeruginosa perlu dipertimbangkan pada pasien yang telah mengalami
eksaserbasi sebanyak tiga kali atau lebih pada tahun sebelumnya.
Kortikosteroid oral dan intravena diberikan pada eksaserbasi berat yang telah
dijelaskan di atas (Amin, 2006).
BAB III
PEMBAHASAN
Pada laporan kali ini akan dibahas scenario “Sesak Nafas pada Seorang
Perokok”, yaitu tentang seorang laki-laki, 70 tahun; perokok dengan keluhan
utama: sesak napas berat 2 hari ini disertai nyeri dada kanan. Dalam tiga hari ini
batuk makin sering dengan dahak lebih pekat berwarna kuning kehijauan. Kedua
tungkai bengkak satu bulan ini. Riwayat batuk dan sesak sudah berjalan sejak
sepuluh tahun yang lalu. Dua tahun ini dirasa lebih berat dan sering diikuti mengi.
Pernah diberi obat pelega inhaler dan disarankan berhenti merokok. Pernah
bekerja di pabrik asbes selama tujuh tahun. Pada pemeriksaan keadaan umum:
penderita gelisah dan tampak sianotik. Pemeriksaan paru : inspeksi statis dada
kanan menonjol daripada kiri dan saat bernapas dada kanan tertinggal. Paru kanan
perkusi hipersonor, auskultasi suara napas melemah. Paru kiri didapatkan ronki
dan wheezing. Pemeriksaan jumlah leukosit belum ada hasil. Pemeriksaan foto
toraks: paru kanan kolaps disertai gambaran hiperlusen dan pleural line. Paru kiri
emfisematous. Pemeriksaan kultur mikroorganisme dan sitologi sputum belum
ada hasil.
Dari data tersebut, dapat dilihat proses perjalanan penyakitnya. Pasien
pernah bekerja di pabrik asbes selama 7 tahun. Hal ini membuat pasien memiliki
kemungkinan yang sangat tinggi untuk terkena asbesitosis. Debu yang terhirup
tergantung dari konsentrasi poluten di udara, jumlah yang tertahan di saluran
pernapasan dan paru, ukuran dan bentuk kontaminan, kelarutan dan reaktifitas
fisiokimianya. Jika ukurannya lebih dari 5 mikromilimeter akan tersaring di
hidung dan dibuang. Ukuran 1-5 mikromilimeter cenderung menetap di
bronkiolus respiratorius karena partikel ini memiliki resistensi yang tinggi.
Kurang dari 1 mikromilimeter akan mudah sampai di duktus alveolaris dan
alveoli. Debu asbestos ukurannya kurang dari 2 mikromilimeter. Debu yang
terhirup akan terdeposisi dan difagosit oleh makrofag. Makrofag yang
mengandung partikel asbes akan mengaktifkan C5a yang memanggil makrofag-
makrofag yang lain dan netrofil. Makrofag-asbes ini kemudian diselubungi oleh
kompleks protein-besi yang menyebabkan fibrosis.
Selain itu, pasien memiliki kebiasaan merokok. Asap tembakau
mengandung ribuan bahan atau zat, termasuk bahan kimia, gas, dan tetesan-
tetesan kecil dari tar. Asap rokok bisa menyebabkan berbagai macam
keabnormalan. Iritan dalam asap tembakau bisa menimbulkan penyempitan
saluran udara sehingga bronkus menghasilkan mucus yang berlebihan. Zat iritan
ini juga dapat mengganggu fungsi sel sistem kekebalan dalam paru dan
mengganggu keseimbangan normal enzim paru, yang membuat pasien lebih
rentan terhadap penyakit pernapasan. Selain itu, juga dapat menghentikan gerak
silia yang membantu mengeluarkan benda asing. Asap tembakau juga
mengandung karbon monoksida yang bila bergabung dengan hemoglobin akan
membentuk karboksihemoglobin, yang menghalangi pengangkutan oksigen ke
seluruh tubuh. Asbesitosis ditambah dengan merokok inilah yang membuat pasien
mampunyai riwayat batuk dan sesak napas sejak 10 tahun yang lalu.
Orang yang merokok dapat mengakibatkan respon peradangan sehingga
menyebabkan pelepasan enzim proteolitik (protease), sementara bersamaan
dengan itu oksidan pada asap menghambat enzim alfa1-antiprotease. Makrofag
yang memfagositosis asbestos mengeluarkan protease. Tetapi karena enzim alfa1-
antiprotease yang bertugas menghambat protease dihambat oleh oksidan dari asap
tembakau, maka perusakan jaringan paru sekitar tidak dapat dicegah sehingga
‘membawa’ pasien kita ke emfisema-bronkitis kronik. Ini yang menyebabkan
gambaran paru kiri emfisematous. Pada emfisema terdapat bleb (rongga subpleura
yang terisi udara) dan bulla (rongga parenkim yang terisi udara). Biasanya bula
timbul karena adanya penyumbatan pada katup pengatur bronkiolus. Selama
inspirasi, lumen bronkiolus melebar sehingga udara dapat melewati penyumbatan
akibat penebalan mukosa dan banyaknya mucus. Tetapi sewaktu ekspirasi, lumen
bronkiolus tersebut kembali menyempit sehingga sumbatan dapat menghalangi
keluarnya udara. Sehingga waktu pasien ekspirasi akan terdengar suara wheezing
dan ronki. Sedangkan, dahak yang berwarna kuning kehijauan menunjukkan
adanya infeksi dan warna hijau berasal dari zat verdoperoksidase yang dihasilkan
dari sel polimorfonuklear, yaitu neutrofil.
Bleb pada paru kanan yang terbentuk akibat rupture alveoli dapat pecah ke
dalam rongga pleura sehingga mengakibatkan pneumotoraks spontan (kolaps
paru) sehingga didapatkan gambaran paru kanan kolaps. Karena pleura terisi oleh
udara, maka pada foto toraks ada gambaran hiperlusen (hitam) yaitu udara yang
ada di pleura. Garis pleura viseralis tampak putih, lurus atau cembung terhadap
dinding dada dan terpisah dari garis pleura parietalis. Karena celah antara kedua
garis pleura terisi udara (tampak lusens), maka akan terlihat pleural line (garis
putih yang mengapit daerah hitam). Selain itu, pada perkusi didapatkan hipersonor
dan auskultasi suara napas melemah juga disebabkan karena pleura yang terisi
oleh udara. Paru yang kolaps, saat inspirasi akan tertinggal karena sudah tidak
dapat mengembang lagi.
Paru kanan yang kolaps, membuat darah kotor dari ventrikel dexter yang
masuk ke paru untuk dibersihkan, tidak dapat masuk dengan lancar. Darah kaya
oksigen dari ventrikel sinister unutk seluruh tubuh pun juga jadi terganggu
sirkulasinya sehingga bias membuat tubuh kekurangan oksigen (sianosis) dan
gelisah, karena hipoksia otak dan jaringan. Sianosis juga disebabkan karena
adanya karbon monoksida yang berasal dari asap rokok sehingga menghambat
ikatan oksigen dengan hemoglobin. Sirkulasi vena untuk masuk ke atroum dexter
kemudian ke ventrikel dexter dan dibawa ke paru untuk dibersihkan pun jadi
terganggu. Seakan-akan darah jadi mengantri. Karena kaki memiliki gaya
gravitasi terbesar, maka darah menjadi tertimbun di kaki dan menyebabkan edema
tungkai (ekstremitas bawah). Disebut juga kor pulmonal, yaitu hipertrofi/dilatasi
ventrikel kanan akibat hipertensi pulmonal.
Sesak napas yang bertambah berat, batuk makin sering dan dahak
bertambah pekat merupakan indikasi adanya infeksi pada pasien. Nyeri dada
kanan pada pasien disebabkan karena saat bernapas, pleura viseralis paru kanan
yang kolaps, tertarik seakan dikelupas. Jadi dibawanya pasien ke IGD
dikarenakan pasien pneumotoraks ventil yang dilaminya. Hal ini juga yang
membuat pemeriksaan spirometri dan analaisi gas darah tidak dilakukan. Lebih
tepatnya tidak dapat dilakukan dahulu, bukan berarti tidak dilakukan sama sekali.
Karena pada pasien pneumotoraks ventil perlu segera dikeluarkannya udara yang
terperangkap di pleura.
Jadi diagnosis penyakit pasien tersebut, berawal dari paparan asbes,
menyebabkan asbestosis. Kemudian diperkuat dengan adanya kebiasaan merokok
yang bisa memperparah penyakit. Jika dilihat dari keberjalanan penyakit dan
manifestasi gejala-gejala awalnya asbestosis menjadi bronchitis kronik-emfisema
dan ditambah lagi terdapat pneumothorax hingga terjadi kor pulmonal. Pasien ini
sudah terkena komplikasi penyakit-penyakit tersebut.
Untuk pengobatannya hanya bisa dilakukan berupa pengobatan
simtomatik. Dapat diberikan terapi oksigen, berhenti merokok, membatasi
pemakain garam dan cairan untuk penanganan kor pulmonal, juga dengan obat
diuretic untuk mengendalikan pengumpulan cairan di dalam jaringan, atau dengan
transplantaasi paru. Batuk bisa diberi kodein phosfat dan dahak bisa dicairkan
dengan nebulizer. Prognosis pasien tersebut, karena sudah muncul gejala kor
pulmonal, angka kelangsungan hidupnya hanya berkisar antara 2-5 tahun.
BAB IV
PENUTUP
A. Simpulan
1. Penyakit pada pasien berkaitan dengan riwayat pekerjaan (bekerja di
pabrik asbes) dan kebiasaan merokok.
2. Pasien kemungkinan menderita sindrom PPOK yang ditandai adanya
emfisema, bronkitis kronis, asbestosis, pneumothorax, dan hipertensi
pulmonal.
3. Diagnosis pada pasien kemungkinan adalah PPOK dengan komplikasi
berupa pneumothoraks.
B. Saran
1. Sebaiknya segera dilakukan pemeriksaan penunjang untuk membantu
diagnosis pasti agar pasien dapat dilakukan pengobatan dengan cepat dan
tepat.
2. Sebaiknya pasien berhenti untuk merokok dan melakukan pola hidup sehat
serta melakukan kontrol rutin.
DAFTAR PUSTAKA
Alsagaff, Hood, Prof. Dr. 2005. Pneumothorak; PPOK; Karsinoma Bronkogenik
dalam Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Paru cetakan ke-3. Surabaya: Airlangga
University Press. pp: 162-179, 181-183, 231-253.
Amin, Muhammad. 2006. Emfisema-sesak nafas./www.ezcobar.com
Kumar, Vinay, dkk; alih bahasa Hartanto, Huriawati. 2007. Buku Ajar Patologi Robbins Ed.7 Vol.1. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC
Price, Sylvia Anderson and Wilson, Lorraine McCarty; alih bahasa, Hartanto, Huriawati. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Vol.2 Ed.6. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC
Sudoyo, Aru W., dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Swidarmoko, Boedi. 1995. Penatalaksanaan Konservatif pada Pneumotoraks Spontan. www.kalbe.co.id
Yunus, Faisal. 2007. Penyakit Paru Obstruktif Kronik.www.medicastore.com