laporan skenario 2.doc

31
LAPORAN KELOMPOK TUTORIAL BLOK SISTEM RESPIRASI SKENARIO 2 PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIS Kelompok 7 Aflifia Birruni Sabila (G0009005) Anita Rachman (G0009019) Bela Dirk (G0009037) Dwiana Ardianti (G0009067) Ferika Brillian Sabania (G0009081) Kristiana Margareta (G0009117) Nadhira Puspita Ayuningtyas (G0009145) Reyhan Pradnya Pradana (G0009181) Rizka Solehah (G0009189) Siti Fatimah Risa (G0009201) Wisnu Yudho Hutomo (G0009213) Tutor : Dr. Kiyatno, dr, PFK, M.Or.

Upload: nadhira-puspita-ayuningtyas

Post on 29-Nov-2015

39 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

laporan tutorial skenario 2 blok respirasi

TRANSCRIPT

LAPORAN KELOMPOK TUTORIALBLOK SISTEM RESPIRASI

SKENARIO 2

PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIS

Kelompok 7

Aflifia Birruni Sabila (G0009005)Anita Rachman (G0009019)Bela Dirk (G0009037)Dwiana Ardianti (G0009067)Ferika Brillian Sabania (G0009081)Kristiana Margareta (G0009117)Nadhira Puspita Ayuningtyas (G0009145)Reyhan Pradnya Pradana (G0009181)Rizka Solehah (G0009189)Siti Fatimah Risa (G0009201)Wisnu Yudho Hutomo (G0009213)

Tutor : Dr. Kiyatno, dr, PFK, M.Or.

FAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS SEBELAS MARET

2010

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Asbes adalah senyawa campuran antara magnesium dan besi silikat.

Karema sifat fisiknya yang unik (tahan lama, tahan panas, fleksibel), asbes

banyak digunakan dalam industri, seperti pada pembuatan kapal, rem mobil,

pinggiran kopling, filter udara, bahan isolasi, bahkan untuk atap. Proses

interstisial yang perlahan-lahan berkembang menjadi fibrosis paru non-nodular

difus yang mengnai saluran-saluran napas terminal, alveoli, dan pleura disebut

juga asbestosis . Hal ini biasanya diketahui setelah 20 tahun terpajang dan

cenderung terus berkembang perlahan-lahan walaupun sudah berhenti terpajan

asbes (Wilson, 2005). Dari pemikiran tersebut, diperlukan pembahasan dan

pengkajian lebih mendalam tentang salah satu dari faktor pemicu terjadinya

sesak nafas ini sehingga kita dapat lebih mengerti penyakit ini dan agar di masa

mendatang dapat meminimalisir penyakit ini.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana patofisiologis dan patogenesis dari gejala klinis tersebut?

2. Apa saja pemeriksaan penunjang dan interpretasi hasil dari pasien

tersebut?

3. Apa sajakah diagnosis bandingnya?

4. Bagaimana hubungan faktor resiko batuk dan gejala klinis yang diderita

pasien?

5. Bagaimana etiologinya?

6. Bagaimana penatalaksanaan untuk kasus seperti ini?

7. Apa sajakah tindakan preventif yang harus dilakukan?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui patofisiologis dan berbagai macam patogenesis dari

gejala klinis yang diderita pasien tersebut

2. Untuk mengetahui macam-macam pemeriksaan penunjang yang sesui

dengan kasus tersebut serta mengetahui interpretasi hasilnya

3. Untuk mengetahui diagnosis banding dari penyakit tersebut

4. Untuk mengetahui hubungan faktor resiko dari batuk dengan gejala klinis

yang diderita pasien tersebut

5. Ubtuk mengetahui etiologi dari kasus tersebut

6. Ubtuk mengetahui penatalaksanaan yang harus dilakukan untuk pasien

tersebut

7. Untuk mengetahui tindakan-tindakan preventif pada kasus tersebut

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi dan Etiologi PPOK

Penyakit Paru Obstruktif Kronik yang biasa dikenal sebagai PPOK

merupakan penyakit kronik yang ditandai dengan keterbatasan aliran udara

dalam saluran napas yang tidak sepenuhnya reversibel. Gangguan yang

bersifat progresif (cepat dan berat) ini disebabkan karena terjadinya Radang

kronik akibat pajanan partikel atau gas beracun yang terjadi dalam kurun

waktu yang cukup lama dengan gejala utama sesak napas, batuk, dan produksi

sputum dan keterbatasan aktifitas. Penyakit paru yang masuk ke dalam

kategori PPOK antara lain adalah bronchitis dan emfisema.

Bronchitis kronis adalah suatu definisi klinis yaitu ditandai dengan

batuk-batuk hampir setiap hari disertai pengeluaran dahak, sekurang-

kurangnya 3 bulan berturut-turut dalam satu tahun dan paling sedikit selama 2

tahun.

Emfisema adalah suatu perubahan anatomi paru-paru yang ditandai

dengan melebarnya secara abnormal saluran udara sebelah distal bronkus

terminal disertai kerusakan dinding alveolus (Alsagaff, 2005).

Setiap orang dapat terpapar dengan berbagai macam jenis yang

berbeda dari partikel yang terinhalasi selama hidupnya. Faktor resiko COPD

bergantung pada jumlah keseluruhan dari partikel-partikel iritatif yang

terinhalasi oleh seseorang selama hidupnya :

1. Asap rokok

Perokok aktif memiliki prevalensi lebih tinggi untuk mengalami

gejala respiratorik, abnormalitas fungsi paru, dan mortalitas yang lebih

tinggi dari pada orang yang tidak merokok. Resiko untuk menderita COPD

bergantung pada “dosis merokok”nya, seperti umur orang tersebut mulai

merokok, jumlah rokok yang dihisap per hari dan berapa lama orang

tersebut merokok. Enviromental tobacco smoke (ETS) atau perokok pasif

juga dapat mengalami gejala-gejala respiratorik dan COPD dikarenakan

oleh partikel-partikel iritatif tersebut terinhalasi sehingga mengakibatkan

paru-paru “terbakar”. Merokok selama masa kehamilan juga dapat

mewariskan faktor resiko kepada janin, mempengaruhi pertumbuhan dan

perkembangan paru-paru dan perkembangan janin dalam kandungan,

bahkan mungkin juga dapat mengganggu sistem imun dari janin tersebut.

2. Polusi tempat kerja (bahan kimia, zat iritan, gas beracun)

3. Indoor Air Pollution atau polusi di dalam ruangan Hampir 3 milyar orang

di seluruh dunia menggunakan batubara, arang, kayu bakar ataupun bahan

bakar biomass lainnya sebagai penghasil energi untuk memasak, pemanas

dan untuk kebutuhan rumah tangga lainnya, sehngga menyebabkan polusi

dalam ruangan.

4. Polusi di luar ruangan, seperti gas buang kendaraan bermotor dan debu

jalanan.

5. Infeksi saluran nafas berulang

6. Jenis kelamin Dahulu, COPD lebih sering dijumpai pada laki-laki

dibanding wanita. Karena dahulu, lebih banyak perokok laki-laki

dibanding wanita. Tapi dewasa ini prevalensi pada laki-laki dan wanita

seimbang. Hal ini dikarenakan oleh perubahan pola dari merokok itu

sendiri. Beberapa penelitian mengatakan bahwa perokok wanita lebih

rentan untuk terkena COPD dibandingkan perokok pria.

7. Status sosio ekonomi dan status nutrisi yang rendah

8. Asma

9. Usia (Onset usia dari COPD ini adalah pertengahan)

(Yunus, 2007)

B. Patogenesis PPOK

Dalam patogenesis PPOK, tambahnya, tekanan oksidatif memiliki

peran dalam peningkatan inflamasi, terutama pada perokok dan pasien PPOK.

Peningkatan tekanan oksidatif pada pasien PPOK diperoleh dari pembakaran

zat oksidan melalui asap rokok, atau dari penambahan jumlah spesies oksigen

reaktif yang dilepaskan dari leukosit. Kebanyakan pasien PPOK mengalami

episode akut yang disebut eksaserbasi. Eksaserbasi diyakini memberikan

kontribusi dalam progresivitas penyakit sekaligus hilangnya fungsi paru yang

menjadi penyebab utama morbiditas, perawatan di rumah sakit, bahkan

kematian (Amin, 2006).

Peradangan merupakan elemen kunci terhadap patogenesis PPOK.

Inhalasi asap rokok atau gas berbahaya lainnya mengaktifasi makrofag dan sel

epitel untuk melepaskan faktor kemotaktik yang merekrut lebih banyak

makrofag dan neutrofil. Kemudian, makrofag dan neutrofil ini melepaskan

protease yang merusak elemen struktur pada paru-paru. Protease sebenarnya

dapat diatasi dengan antiprotease endogen namun tidak berimbangnya

antiprotease terhadap dominasi aktivitas protease yang pada akhirnya akan

menjadi predisposisi terhadap perkembangan PPOK. Pembentukan spesies

oksigen yang sangat reaktif seperti superoxide, radikal bebas hydroxyl dan

hydrogen peroxide telah diidentifikasi sebagai faktor yang berkontribusi

terhadap patogenesis karena substansi ini dapat meningkatkan penghancuran

antiprotease (Kumar, 2007).

Inflamasi kronis mengakibatkan metaplasia pada dinding epitel

bronchial, hipersekresi mukosa, peningkatan massa otot halus, dan fibrosis.

Terdapat pula disfungsi silier pada epitel, menyebabkan terganggunya klirens

produksi mucus yang berlebihan. Secara klinis, proses inilah yang

bermanifestasi sebagai bronchitis kronis, ditandai oleh batuk produktif kronis.

Pada parenkim paru, penghancuran elemen structural yang dimediasi protease

menyebabkan emfisema. Kerusakan sekat alveolar menyebabkan

berkurangnya elastisitas recoil pada paru dan kegagalan dinamika saluran

udara akibat rusaknya sokongan pada saluran udara kecil non-kartilago.

Keseluruhan proses ini mengakibatkan obstruksi paten pada saluran napas dan

timbulnya gejala patofisiologis lainnya yang karakteristik untuk PPOK (Price,

2006)

C. Diagnosis PPOK

PPOK diklasifikasikan menjadi subtype bronchitis kronik dan

emfisema, walaupun kebanyakan pasien memiliki keduanya. Bronkitis kronis

didefinisikan sebagai batuk produktif kronis selama lebih dari 2 tahun dan

emfisema ditandai oleh adanya kerusakan pada dinding alveola yang

menyebabkan peningkatan ukuran ruang udara distal yang

abnormal.Membedakan antara PPOK dengan asma sangat penting karena

asma merupakan sumbatan saluran napas yang intermitten dan penanganan

asma berbeda dengan PPOK.

Perbandingan gejala antara PPOK dan asma

PPOK Asma

Riwayat Klinis Onset biasanya pada usia tua.

Riwayat paparan rokok.

Tidak ada riwayat atopik pada

keluarga.

Variasi diurnal tidak begitu jelas.

Onset biasanya pada umur yang

lebih muda

Paparan allergen.

Riwayat atopi atau asma pada

keluarga.

Berkaitan dengan pola

nocturnal dan memberat pada

pagi hari.

Tes Diagnostik

Spirometri

Kapasitas

Radiology

Obstruksi tidak reversible sepenuhnya

Berkurang (dengan emphysema)

Hiperinflasi cenderung lebih persisten.

Penyakit bullous dapat ditemukan

Obstruction dapat reversible

sepenuhnya

Biasanya normal

Hiperinflasi hanya pada

eksaserbasi, namun normal di

luar serangan

Pathology Metaplasia kelenjar mucus

Kerusakan jaringan alveolar

(emphysema)

Hyperplasia kelenjar mucus

Struktur alveolar utuh

Inflamasi Makrofag dan neutrofil mendominasi

Limfosit CD8+

Sel Mast dan eosinophils

mendominasi

Limfosit CD4+

Penatalaksanaan

Kortikosteroid

Inhalasi

Leukotriene modifier

Anticholinergic

inhalasi

Untuk kasus sedang hingga berat

Tidak direkomendasikan

Digunakan untuk maintenance dan

selama eksaserbasi

Untuk kasus ringan hingga

berat persisten

Digunakan sebagai medikasi

pengontrol

Hanya digunakan pada

eksaserbasi. Tidak

diindikasikan untuk

maintenance

(Swidarmoko, 1995)

Diagnosis banding dari PPOK adalah sebagai berikut:

1. Emfisema, dengan gejala:

Batuk disertai keluarnya sputum (dahak) dalam jumlah besar

Hembusan nafas terasa pendek dengan bibir yang berkerut

Perubahan fisik yang ditandai dengan kemerosotan berat badan dan dada

terasa berat.

Napas terengah-engah disertai dengan suara seperti peluit

Dada berbentuk seperti tong, otot leher tampak menonjol, penderita

sampai membungkuk

Bibir tampak kebiruan

2. Emboli paru, dengan gejala:

Batuk (timbul secara mendadak, bisa disertai dengan

dahak berdarah)

Sesak nafas yang timbul secara mendadak

Nyeri dada (dirasakan dibawah tulang dada atau pada

salah satu sisi dada, sifatnya tajam atau menusuk)

Nyeri semakin memburuk jika penderita menarik nafas

dalam, batuk, makan atau membungkuk

Pernafasan cepat dengan wheezing

Denyut jantung cepat (takikardia)

Kulit lembab dan berwarna kebiruan

Nyeri pinggul tungkai (salah satu atau keduanya)

Pembengkakan tungkai

Tekanan darah rendah

Denyut nadi lemah atau tak teraba

3. Pneumothoraks, dengan gejala:

Penurunan ekspansi dada terkena

Hilang suara nafas pada sisi dada yang terkena

Hyperresonance

Sesak napas tiba-tiba

Napas pendek

Sianosis

Nyeri dada, punggung dan lengan

4. Ca paru, dengan gejala:

Sesak napas

Batuk berkepanjangan dan mengeluarkan darah

Sakit dada

Demam

Kehilangan berat badan (Sudoyo, 2006)

Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan rutin

1. Faal paru

• Spirometri (VEP1, VEP1 prediksi, KVP, VEP1/KVP)

- Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi (%)

dan atau VEP1/KVP (%).

Obstruksi : % VEP1 (VEP1/VEP1 pred.) <80%

%VEP1% (VEP1/KVP) <75%

- VEP1 merupakan parameter yang paling umum

dipakai untuk menilai beratnya PPOK dan

memantau perjalanan penyakit.

- Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak

mungkin dilakukan, APE meter walaupun kurang

tepat, dapat dipakai sebagai alternatif dengan

memantau variability harian pagi dan sore, tidak

lebih dari 20%.

• Uji bronkodilator

- Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila

tidak ada gunakan APE meter.

- Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak

8 hisapan, 15-20 menit kemudian dilihat

perubahan nilai VEP1 atau APE, perubahan VEP1

atau APE <20%>

- Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil.

2. Darah rutin

Hb, Ht, leukosit

3. Radiologi

Foto thoraks PA dan lateral berguna untuk

menyingkirkan penyakit paru lain.

Pada emfisema terlihat gambaran:

- Hiperinflasi

- Hiperlusen

- Ruang retrosternal melebar

- Diafragma mendatar

- Jantung menggantung (jantung pendulum/tear

drop/eye drop appearance)

Pada bronchitis kronik:

- Normal

- Corakan bronkovaskuler bertambah pada 21%

kasus

b. Pemeriksaan khusus (tidak rutin)

1. Faal paru

- Volume residu (VR), Kapasiti Residu Fungsional

(KRF), Kapasiti Paru Total (KPT), VR/KRF, VR/KPT

meningakt.

- DLCO menurun pada emfisema

- Raw meningkat pada bronchitis kronik

- Sgaw meningkat

- Variabiliti Harian APE kurang dari 20%

2. Uji latih kardiopulmoner

- Sepeda statis (ergocycle)

- Jentera (treadmill)

- Jalan 6 menit, lebih rendah dari normal

3. Uji provokasi bronkus

Untuk menilai derajat hipereaktiviti bronkus, pada

sebagian kecil PPOK terdapat hipereaktiviti bronkus

derajat ringan.

4. Uji coba kortikosteroid

Menilai perbaikan faal paru setelah pemberian

kortikosteroid oral (prednisone atau metilprednisolon)

sebanyak 30-50mg per hari selama 2 minggu yaitu

peningkatan VEP1 pascabronkodilator > 20% dan

minimal 250 ml. Pada PPOK umumnya tidak terdapat

kenaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid.

5. Analisis gas darah

Terutama untuk menilai:

- Gagal napas kronik stabil

- Gagal napas akut pada gagal napas kronik

6. Radiologi

- CT-Scan resolusi tinggi

- Mendeteksi emmfisema dini dan menilai jenis serta

derajat emfisema atau bula yang tidak terdeteksi

oleh foto thoraks polos

- Scan ventilasi perfusi

7. Elektrokardiografi (EKG)

Mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai oleh

P pulmonal dan hipertrofi ventrikel kanan.

8. Ekokardiografi

Menilai fungsi jantung kanan.

9. Bakteriologi

Pemeriksaan bakteriologi sputum pewarnaan Gram dan

kultur resistensi diperlukan untuk mengetahui pola

kuman dan untuk memilih antibiotik yang tepat. infeksi

saluran napas berulang merupakan penyebab utama

eksaserbasi akut pada penderita PPOK di Indonesia.

10. Kadar alfa-1 antitripsin

Kadar antitrypsin alfa- rendah pada emfisema herediter

(emfisema pada usia muda), defisiensi antitrypsin alfa-1

jarang ditemukan di Indonesia.

(Yunus, 2007)

D. Penatalaksanaan PPOK

Panduan konsensus penanganan terkini bergantung pada tingkat

keparahan PPOK, yang diketahui dari FEV1. Intervensi satu-satunya sejauh

ini yang telah terbukti memperbaiki harapan hidup adalah berhenti merokok

dan terapi oksigen jangka panjang (LTOT/Long-Term Oxygen Therapy) untuk

pasien dengan hypoxemia yang bermakna pada saat istirahat. Maka dari itu,

pasien dengan PPOK sebaiknya didorong untuk berhenti merokok. Pasien

yang tidak merokok dihindarkan dari paparan polusi lingkungan atau

okupansional yang diduga merupakan faktor yang berperan dalam

perkembangan penyakitnya.

Bronkodilator

Bronkodilator dapat diklasifikasikan sebagai agen kerja singkat dan

kerja panjang dan terbagi lagi menjadi tiga kelas farmakologis utama. Dengan

meningkatnya keparahan PPOK, bronkodilator kerja panjang mungkin dapat

memberikan manfaat simptomatik untuk periode yang lama. Antikolinergik

dapat digunakan sebagai penanganan lini pertama untuk PPOK. Ipratropium

bromide merupakan antikolinergik kerja singkat yang buruk diabsorbsi oleh

saluran napas jika diberikan sebagai aerosol dan memiliki sedikit efek

terhadap klirens mukosilier. Tiotropium merupakan antikolinergik kerja

panjang yang telah terbukti mempertahankan FEV1 yang tinggi. Penggunaan

antikolinergik sebagai agen farmakologis pada PPOK tidak seefektif

penggunaannya pada asma.

Rehabilitasi Pulmoner

Jika ditujukan untuk pasien dengan PPOK (atau gangguan kesulitan

pernapasan lainnya) program yang komprehensif pada rehabilitasi pulmoner

dapat meningkatkan kapasitas kerja, fungsi psikososial, dan kualitas hidup.

Program ini tidak memperpanjang hidup atau fungsi pulmoner, namun telah

terbukti mengurangi frekuensi rawat inap.

Terapi Oksigen Jangka Panjang (Long Term Oxygen Therapy/LTOT)

Kriteria untuk menggunakan oksigen bukan berdasar pada sesak napas

namun lebih dari hasil pemeriksaan baku untuk hypoxemia pada saat istirahat

dan beraktivitas yang dilakukan pada laboratorium fungsi pulmoner. Terdapat

kriteria LTOT yang diakui secara meluas untuk pasien PPOK berdasarkan

kadar hypoxemia. LTOT sebaiknya digunakan setidaknya 15 jam per hari

untuk memperoleh manfaat harapan hidup. Terapi ini biasanya dilakukan

dengan mengenakan kanula nasal yang disambung dengan sumber oksigen.

Penanganan Eksaserbasi

Pada umumnya, semakin FEV1 menurun maka eksasebasi lebih sering

terjadi. Eksaserbasi moderat atau berat ditandai dengan memburuknya

dyspnea, batuk, dan peningkatan produksi dan purulensi dari sputum yang

membaik jika diberikan antibiotic yang mencakup Haemophilus influenzae,

pneumokokus, dan Moraxella catarrhalis. Cakupan antibiotic pseudomonas

aeruginosa perlu dipertimbangkan pada pasien yang telah mengalami

eksaserbasi sebanyak tiga kali atau lebih pada tahun sebelumnya.

Kortikosteroid oral dan intravena diberikan pada eksaserbasi berat yang telah

dijelaskan di atas (Amin, 2006).

BAB III

PEMBAHASAN

Pada laporan kali ini akan dibahas scenario “Sesak Nafas pada Seorang

Perokok”, yaitu tentang seorang laki-laki, 70 tahun; perokok dengan keluhan

utama: sesak napas berat 2 hari ini disertai nyeri dada kanan. Dalam tiga hari ini

batuk makin sering dengan dahak lebih pekat berwarna kuning kehijauan. Kedua

tungkai bengkak satu bulan ini. Riwayat batuk dan sesak sudah berjalan sejak

sepuluh tahun yang lalu. Dua tahun ini dirasa lebih berat dan sering diikuti mengi.

Pernah diberi obat pelega inhaler dan disarankan berhenti merokok. Pernah

bekerja di pabrik asbes selama tujuh tahun. Pada pemeriksaan keadaan umum:

penderita gelisah dan tampak sianotik. Pemeriksaan paru : inspeksi statis dada

kanan menonjol daripada kiri dan saat bernapas dada kanan tertinggal. Paru kanan

perkusi hipersonor, auskultasi suara napas melemah. Paru kiri didapatkan ronki

dan wheezing. Pemeriksaan jumlah leukosit belum ada hasil. Pemeriksaan foto

toraks: paru kanan kolaps disertai gambaran hiperlusen dan pleural line. Paru kiri

emfisematous. Pemeriksaan kultur mikroorganisme dan sitologi sputum belum

ada hasil.

Dari data tersebut, dapat dilihat proses perjalanan penyakitnya. Pasien

pernah bekerja di pabrik asbes selama 7 tahun. Hal ini membuat pasien memiliki

kemungkinan yang sangat tinggi untuk terkena asbesitosis. Debu yang terhirup

tergantung dari konsentrasi poluten di udara, jumlah yang tertahan di saluran

pernapasan dan paru, ukuran dan bentuk kontaminan, kelarutan dan reaktifitas

fisiokimianya. Jika ukurannya lebih dari 5 mikromilimeter akan tersaring di

hidung dan dibuang. Ukuran 1-5 mikromilimeter cenderung menetap di

bronkiolus respiratorius karena partikel ini memiliki resistensi yang tinggi.

Kurang dari 1 mikromilimeter akan mudah sampai di duktus alveolaris dan

alveoli. Debu asbestos ukurannya kurang dari 2 mikromilimeter. Debu yang

terhirup akan terdeposisi dan difagosit oleh makrofag. Makrofag yang

mengandung partikel asbes akan mengaktifkan C5a yang memanggil makrofag-

makrofag yang lain dan netrofil. Makrofag-asbes ini kemudian diselubungi oleh

kompleks protein-besi yang menyebabkan fibrosis.

Selain itu, pasien memiliki kebiasaan merokok. Asap tembakau

mengandung ribuan bahan atau zat, termasuk bahan kimia, gas, dan tetesan-

tetesan kecil dari tar. Asap rokok bisa menyebabkan berbagai macam

keabnormalan. Iritan dalam asap tembakau bisa menimbulkan penyempitan

saluran udara sehingga bronkus menghasilkan mucus yang berlebihan. Zat iritan

ini juga dapat mengganggu fungsi sel sistem kekebalan dalam paru dan

mengganggu keseimbangan normal enzim paru, yang membuat pasien lebih

rentan terhadap penyakit pernapasan. Selain itu, juga dapat menghentikan gerak

silia yang membantu mengeluarkan benda asing. Asap tembakau juga

mengandung karbon monoksida yang bila bergabung dengan hemoglobin akan

membentuk karboksihemoglobin, yang menghalangi pengangkutan oksigen ke

seluruh tubuh. Asbesitosis ditambah dengan merokok inilah yang membuat pasien

mampunyai riwayat batuk dan sesak napas sejak 10 tahun yang lalu.

Orang yang merokok dapat mengakibatkan respon peradangan sehingga

menyebabkan pelepasan enzim proteolitik (protease), sementara bersamaan

dengan itu oksidan pada asap menghambat enzim alfa1-antiprotease. Makrofag

yang memfagositosis asbestos mengeluarkan protease. Tetapi karena enzim alfa1-

antiprotease yang bertugas menghambat protease dihambat oleh oksidan dari asap

tembakau, maka perusakan jaringan paru sekitar tidak dapat dicegah sehingga

‘membawa’ pasien kita ke emfisema-bronkitis kronik. Ini yang menyebabkan

gambaran paru kiri emfisematous. Pada emfisema terdapat bleb (rongga subpleura

yang terisi udara) dan bulla (rongga parenkim yang terisi udara). Biasanya bula

timbul karena adanya penyumbatan pada katup pengatur bronkiolus. Selama

inspirasi, lumen bronkiolus melebar sehingga udara dapat melewati penyumbatan

akibat penebalan mukosa dan banyaknya mucus. Tetapi sewaktu ekspirasi, lumen

bronkiolus tersebut kembali menyempit sehingga sumbatan dapat menghalangi

keluarnya udara. Sehingga waktu pasien ekspirasi akan terdengar suara wheezing

dan ronki. Sedangkan, dahak yang berwarna kuning kehijauan menunjukkan

adanya infeksi dan warna hijau berasal dari zat verdoperoksidase yang dihasilkan

dari sel polimorfonuklear, yaitu neutrofil.

Bleb pada paru kanan yang terbentuk akibat rupture alveoli dapat pecah ke

dalam rongga pleura sehingga mengakibatkan pneumotoraks spontan (kolaps

paru) sehingga didapatkan gambaran paru kanan kolaps. Karena pleura terisi oleh

udara, maka pada foto toraks ada gambaran hiperlusen (hitam) yaitu udara yang

ada di pleura. Garis pleura viseralis tampak putih, lurus atau cembung terhadap

dinding dada dan terpisah dari garis pleura parietalis. Karena celah antara kedua

garis pleura terisi udara (tampak lusens), maka akan terlihat pleural line (garis

putih yang mengapit daerah hitam). Selain itu, pada perkusi didapatkan hipersonor

dan auskultasi suara napas melemah juga disebabkan karena pleura yang terisi

oleh udara. Paru yang kolaps, saat inspirasi akan tertinggal karena sudah tidak

dapat mengembang lagi.

Paru kanan yang kolaps, membuat darah kotor dari ventrikel dexter yang

masuk ke paru untuk dibersihkan, tidak dapat masuk dengan lancar. Darah kaya

oksigen dari ventrikel sinister unutk seluruh tubuh pun juga jadi terganggu

sirkulasinya sehingga bias membuat tubuh kekurangan oksigen (sianosis) dan

gelisah, karena hipoksia otak dan jaringan. Sianosis juga disebabkan karena

adanya karbon monoksida yang berasal dari asap rokok sehingga menghambat

ikatan oksigen dengan hemoglobin. Sirkulasi vena untuk masuk ke atroum dexter

kemudian ke ventrikel dexter dan dibawa ke paru untuk dibersihkan pun jadi

terganggu. Seakan-akan darah jadi mengantri. Karena kaki memiliki gaya

gravitasi terbesar, maka darah menjadi tertimbun di kaki dan menyebabkan edema

tungkai (ekstremitas bawah). Disebut juga kor pulmonal, yaitu hipertrofi/dilatasi

ventrikel kanan akibat hipertensi pulmonal.

Sesak napas yang bertambah berat, batuk makin sering dan dahak

bertambah pekat merupakan indikasi adanya infeksi pada pasien. Nyeri dada

kanan pada pasien disebabkan karena saat bernapas, pleura viseralis paru kanan

yang kolaps, tertarik seakan dikelupas. Jadi dibawanya pasien ke IGD

dikarenakan pasien pneumotoraks ventil yang dilaminya. Hal ini juga yang

membuat pemeriksaan spirometri dan analaisi gas darah tidak dilakukan. Lebih

tepatnya tidak dapat dilakukan dahulu, bukan berarti tidak dilakukan sama sekali.

Karena pada pasien pneumotoraks ventil perlu segera dikeluarkannya udara yang

terperangkap di pleura.

Jadi diagnosis penyakit pasien tersebut, berawal dari paparan asbes,

menyebabkan asbestosis. Kemudian diperkuat dengan adanya kebiasaan merokok

yang bisa memperparah penyakit. Jika dilihat dari keberjalanan penyakit dan

manifestasi gejala-gejala awalnya asbestosis menjadi bronchitis kronik-emfisema

dan ditambah lagi terdapat pneumothorax hingga terjadi kor pulmonal. Pasien ini

sudah terkena komplikasi penyakit-penyakit tersebut.

Untuk pengobatannya hanya bisa dilakukan berupa pengobatan

simtomatik. Dapat diberikan terapi oksigen, berhenti merokok, membatasi

pemakain garam dan cairan untuk penanganan kor pulmonal, juga dengan obat

diuretic untuk mengendalikan pengumpulan cairan di dalam jaringan, atau dengan

transplantaasi paru. Batuk bisa diberi kodein phosfat dan dahak bisa dicairkan

dengan nebulizer. Prognosis pasien tersebut, karena sudah muncul gejala kor

pulmonal, angka kelangsungan hidupnya hanya berkisar antara 2-5 tahun.

BAB IV

PENUTUP

A. Simpulan

1. Penyakit pada pasien berkaitan dengan riwayat pekerjaan (bekerja di

pabrik asbes) dan kebiasaan merokok.

2. Pasien kemungkinan menderita sindrom PPOK yang ditandai adanya

emfisema, bronkitis kronis, asbestosis, pneumothorax, dan hipertensi

pulmonal.

3. Diagnosis pada pasien kemungkinan adalah PPOK dengan komplikasi

berupa pneumothoraks.

B. Saran

1. Sebaiknya segera dilakukan pemeriksaan penunjang untuk membantu

diagnosis pasti agar pasien dapat dilakukan pengobatan dengan cepat dan

tepat.

2. Sebaiknya pasien berhenti untuk merokok dan melakukan pola hidup sehat

serta melakukan kontrol rutin.

DAFTAR PUSTAKA

Alsagaff, Hood, Prof. Dr. 2005. Pneumothorak; PPOK; Karsinoma Bronkogenik

dalam Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Paru cetakan ke-3. Surabaya: Airlangga

University Press. pp: 162-179, 181-183, 231-253.

Amin, Muhammad. 2006. Emfisema-sesak nafas./www.ezcobar.com

Kumar, Vinay, dkk; alih bahasa Hartanto, Huriawati. 2007. Buku Ajar Patologi Robbins Ed.7 Vol.1. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC

Price, Sylvia Anderson and Wilson, Lorraine McCarty; alih bahasa, Hartanto, Huriawati. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Vol.2 Ed.6. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC

Sudoyo, Aru W., dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Swidarmoko, Boedi. 1995. Penatalaksanaan Konservatif pada Pneumotoraks Spontan. www.kalbe.co.id

Yunus, Faisal. 2007. Penyakit Paru Obstruktif Kronik.www.medicastore.com