laporan skenario 3
DESCRIPTION
muskuloskletal .....TRANSCRIPT
LAPORAN TUTORIAL
BLOK MUSKULOSKELETAL
SKENARIO 3
“Luka di Kakiku Tidak Sembuh-Sembuh”
KELOMPOK 13
AFIF BURHANUDIN G0013002
AMELIA IMAS VOLETA G0013024
CHRISTOPHER BRILLIANTO G0013064
DITA PURNAMA A G0013076
EDWINA AYU D G0013082
FEBRI DWI N G0013094
HEPY HARDIYANTI K G0013112
HUMAMUDDIN G0013114
LAILA NINDA S G0013132
MAISAN NAFI’ G0013148
MILA ULFIA G0013154
RICKY IRVAN G0013200
TUTOR: dr. TAHONO, Sp.PK-K
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2014
BAB I
PENDAHULUAN
SKENARIO 3
“Luka di Kakiku Tidak Sembuh-Sembuh”
Seorang laki-laki berusia 42 tahun datang ke poliklinik umum dengan
keluhan luka bengkak, merah, dan bernanah pada telapak kaki kanan sejak
seminggu ini. Keluhan ini disertai dengan demam. Luka muncul karena
tersandung sejak tiga bulan yang lalu, dan dirasa semakin melebar. Dua bulan
yang lalu pasien jatuh dari pohon melinjo dan tidak dapat menggerakkan kakinya.
Sebulan ini muncul luka lain berlubang di pantat dan tumit kanan-kiri. Dari
riwayat keluarga ibunya menderita sakit gula (kencing manis)
Pada pemeriksaan vital sign didapatkan tekanan darah 120/80 mmHg,
temperature 38,2°C, denyut nadi 100x/menit, frekuensi napas 18x/menit. Pada
pemeriksaan fisik tampak otot-otot anggota gerak bawah atrofi. Pada plantar pedis
ditemukan luka berbentuk ireguler ukuran 2x3 cm, tepi tidak beraturan, dasarnya
tampak jaringan tulang, edema dan eritem di sekitar luka, ditemukan discharge,
denyut arteri dorsalis pedis teraba. Pada sekitar sacrum tampak luka bentuk oval,
ukuran 3x4 cm, tepi tidak beraturan, dasar luka berupa jaringan otot. Pada region
calcaneus dexter-sinister ditemukan luka berbentuk ireguler ukuran 0,5x1 cm, tepi
tidak beraturan, dasarnya tampak jaringan tulang, edema dan eritem di sekitar
luka. Setelah melakukan wound toilet dan dressing, dokter memberikan antibiotic
dan antipiretik. Selanjutnya dokter merencanakan pemeriksaan laboratorium dan
akan merujuk ke Bagian Penyakit Dalam dan Bedah.
BAB II
DISKUSI DAN TINJAUAN PUSTAKA
Seven Jump
1. Langkah I: Klarifikasi istilah
Dalam skenario ini kami mengklarifikasi istilah sebagai berikut:
1. Bernanah
Keluarnya pus yang berisi sisa kuman debris, dan sisa-sisa hasil inflamasi
pada jaringan yang terluka
2. Atrofi
Pengecilan ukuran sel karena berkurangnya subtansi sel. Penyebab atrofi
antara lain terjadinya mutasi (yang dapat merusak gen untuk membangun
jaringan atau organ), sirkulasi dalam tubuh terganggu sehingga
kekurangan nutrisi dari makanan dan oksigen, gangguan hormonal,
gangguan saraf sehingga sel kurang digunakan seperti otot rangka atau
kurangnya latihan atau penyakit intrinsik pada jaringan itu sendiri dan
proses penuaan
3. Discharge
Substansi yang dikeluarkan oleh tubuh bisa karena hasil fisiologis maupun
patologis
4. Arteri dorsalis pedis
Arteri dorsalis pedis merupakan arteri yang memvaskularisasi bagian
dorsal kaki, arteri ini berasal dari arteri femoralis, yang kemudian di fossa
poplitea akan menjadi arteri poplitea, yang akan bercabang menjadi tibialis
anterior dan arteri tibialis posterior. Arteri tibialis anterior akan menjadi
arteri dorsalis pedis di bagian dorsal kaki, sementara arteri tibialis
posterior akan menjadi arteri plantaris pedis di bagian plantar kaki. Palpasi
arteri dorsalis pedis digunakan untuk mendiagnosis adanya suatu kelainan
vaskuler.
5. Eritem
Kemerahan pada kulit akibat kongesti kapiler pembuluh darah
6. Wound toilet
Pembersihan luka dan kulit di sekitar luka
7. Dressing
Segala tindakan untuk menutup luka untuk mencegah infeksi
8. Antibiotik
Obat yang digunakan untuk mencegah infeksi bakteri dengan cara
membunuh bakteri dan kuman
9. Antipiretik
Obat-obatan yang bisa menurunkan demam/suhu tubuh dengan berbagai
mekanisme, banyak obat analgesic yang juga mempunyai efek antipiretik.
2. Langkah II: Menentukan atau mendefinisikan
permasalahan
Permasalahan pada skenario ini, sebagai berikut
1. Adakah hubungan antara keluhan pasien dengan riwayat penykit ibu
pasien?
2. Mengapa muncul luka lain di pantat dan di tumit kanan kiri?
3. Mengapa penyembuhan luka lama dan luka semakin melebar?
4. Apa hubungan antara keluhan pasien dengan demam?
5. Mengapa kaki pasien tidak bisa digerakkan setelah jatuh dari pohon?
6. Mengapa pasien tidak merasa nyeri pada luka yang sangat mendalam?
7. Bagaimana mekanisme terjadinya atrofi?
8. Bagaimana interpretasi pemeriksaan vital sign?
9. Bagaimana interpretasi pemeriksaan fisik dan hubungan dengan keluhan
pasien?
10. Apa dasar dilakukan wound toilet dan dressing, bagaimana prosedurnya?
11. Apa jenis antibiotik dan antipiretik untuk pasien?
12. Apa saja pemeriksaan penunjang yang diperluhkan pasien?
13. Mengapa dilakukan pemeriksaan arteri dorsalis pedis?
14. Mengapa pasien dirujuk ke bagian penyakit dalam dan bedah?
15. Apa saja diagnosis banding pada kasus tersebut?
16. Bagaimana proses terjainya luka dan penyembuhan luka?
3. Langkah III: Menganalisis permasalahan dan membuat
pernyataan sementara mengenai permasalahan
Hubungan antara keluhan pasien dengan riwayat penyakit ibu pasien
Dalam skenario, ibu pasien memiliki riwayat penyakit diabetes
mellitus. Sedangkan pasien menderita luka yang sukar sembuh, dan sudah
3 bulan tidak kunjung sembuh, dan dirasa semakin melebar. Terdapat
kemungkinan bahwa pasien juga menderita diabetes mellitus sehingga
luka pada tungkainya sukar sembuh padahal sudah sejak tiga bulan yang
lalu.
Muncul luka lain di pantat dan tumit kanan-kiri
Kulit kaya akan pembuluh darah yang mengangkut oksigen ke
seluruh lapisannya. Jika aliran darah terputus lebih dari 2-3 jam, maka
kulit akan mati, yang dimulai pada lapisan kulit paling atas (epidermis).
Penyebab dari berkurangnya aliran darah ke kulit adalah tekanan.
Jika tekanan menyebabkan terputusnya aliran darah, maka kulit yang
mengalami kekurangan oksigen pada mulanya akan tampak merah dan
meradang lalu membentuk luka terbuka (ulkus).
Penyembuhan luka lama serta semakin melebar
Luka pasien sudah sejak tiga bulan yang lalu tapi tidak kunjung
sembuh, penyembuhan luka pada pasien yang cenderung lama
dimungkinkan karena pasien menderita diabetes mellitus (DM). Pada
pasien DM, sering terjadi hiperglikemia dimana kadar gula darah pasien
tinggi. Kadar gula dalam darah yang tinggi membuat vaskularisasi darah
menjadi tidak lancar dan bisa menyebabkan kelainan neuropati.
Permukaan kulit yang sudah tidak intact akibat luka yang muncul pada
kaki ketika pasien tersandung menjadi sukar sembuh karena menjadi
tempat yang efektif bagi bakteri untuk berkembang biak karena dalam
darah pasien terdapat gula yang merupakan sumber energi dan makanan
bagi kuman.
Pada penderita DM, daya tahan tubuh sangat menurun karena
pembentukan zat anti ikut terhambat. Karena itulah sering muncul infeksi
serta sulitnya penyembuhan infeksi (Suherman, 2012a). Sementara infeksi
masih berada dalam tahap inflamasi dalam proses penyembuhan luka.
Apabila selama proses inflamasi masih ada, proses penyembuhan luka
tidak akan beranjak pada proses selanjutnya, yaitu proses proliferasi dan
remodelling (Sudoyo, 2009). Hal tersebut mengakibatkan proses
penyembuhan luka pada penderita DM cenderung lebih lama daripada
orang dengan kondisi normal.
Disamping itu, luka pada tungkai juga sulit sembuh karena
letaknya yang berada di permukaan bawah, dimana sering terjadi kontak
dan mendapat tekanan dengan permukaan di bawahnya sehingga proses
penyembuhan luka menjadi terganggu.
Hubungan keluhan pasien dengan demam
Jika terjadi demam dapat menandakan adanya infeksi pada tubuh.
Infeksi pada tubuh terjadi karena adanya patogen atau zat asing yang
masuk dalam tubuh biasanya berupa bakteri atau parasit, sehingga
menimbulkan demam melalui proses imunologi. Ada tidaknya demam
dapat dijadikan penanda untuk menyingkirkan diagnosis banding lainnya.
Kaki pasien tidak dapat digerakkan setelah jatuh dari pohon
Vertebra pada umumnya melindungi soft tissues pada spinal cord,
tapi vertebra sendiri bisa rusak atau mengalami dislokasi dengan berbagai
cara, yang menyebabkan tekanan yang berbahaya pada spinal cord (spinal
cord injury). Jadi segmen di mana terjadinya trauma/cidera, dan sejauh
mana kerusakan pada jaringan saraf nya, akan menentukan, fungsi tubuh
mana yang berkurang atau bahkan hilang.
Untuk kasus pada skenario, pasien terjatuh dari pohon mlinjo
(dianggap saja pohon mlinjonya sudah tinggi dan besar), kemungkinan
pasien terjatuh dengan pantat terlebih dahulu, yang menyebabkan kakinya
tidak bisa digerakkan. Karena spinal cord injury tadi, yang menyebabkan
terjadinya kelumpuhan pada ekstremitas bawahnya. (disebut juga
parapelgia) dan termasuk spinal cord injury yang tidak mengalami
kelumpuhan total. (hanya bagian bawah saja yang kehilangan fungsi)
Pasien tidak merasa nyeri pada luka yang sangat mendalam
Luka yang dialami pasien sudah sejak tiga bulan yang lalu, tetapi
pasien baru berobat akhir-akhir ini. Ini bisa menunjukkan bahwa pasien
tidak merasakan nyeri atau sakit akibat luka yang ada. Dengan kata lain
pasien mengalami neuropati sehingga tidak merasakan nyeri akibat luka,
padahal luka pasien sangat dalam hingga mencapai tulang. Neuropati yang
terjadi pada pasien bisa merupakan patogenesis dari ulkus diabetikum pada
pasien diabetes (Sudoyo, et al,. 2009).
Atrofi otot
Perkembangan otot atau besarnya otot pada manusia akan stabil
sesuai dengan aktivitas yang dilakukannya. Apabila seseorang
melakukakan aktivitas yang lebih berat maka otot akan mengalami
hipertrofi secara fisiologisnya sehingga berkembang menjadi lebih besar
sesuai dengan beban kerja yang diberikan kepadanya. Atrofi adalah suatu
bentuk adaptasi yang ditandai dengan berkurangnya ukuran sel jaringan
atau organ tubuh karena peningkatan hilangnya sel dan akhirnya
menyebabkan ukuran organ mengecil dan jaringan menipis.
Atrofi yang disebabkan karena otot jsudah jarang digunakan dapat
disembuhkan dengan cara olahraga.
Interpretasi dari pemeriksaan vital sign
Tekanan darah, frekuensi pernafasan, denyut nadi masih berada
pada rentang orang normal, sedangkan temperaturnya (38,2˚C) sudah
lumayan tinggi karena pasien mengalami demam, sehingga bisa
dipastikan jika ada kenaikan pada temperatur tubuh.
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan pasien
Pemeriksaan penunjang diperlukan pasien untuk menegakkan
diagnosis dari diagnosis banding yang ada. Pada pasien dalam skenario,
pemeriksaan penunjang yang diperlukan yaitu :
1) Tes laboratorium A. Tes darah : untuk memperlihatkan leukosit dan peningkatan laju
endap darah B. Kultur darah dan kultur abses diperlukan untuk menentukan jenis
antibiotik yang sesuai 2) Pemeriksaan radiologik
A. Sinar x Pada fase akut : hanya menunjukkan pembengkakan
jaringan lunak Pada fase lesonik : terlihat pembengkakan lebih besar,
kavitas ireguler, peningkatan periosteum B. MRI
Dapat membantu diagnosis definitif awal
Pemeriksaan pada arteri dorsalis pedis serta interpretasinya
Untuk mendiagnosis adanya kelainan vaskuler pada pembuluh
darah perifer, maka dilakukan pemeriksaan inspeksi pada kulit pasien,
adakah perubahan warna dan suhu kulit regional, kemudian melakukan
pengukuran tekanan darah, juga dengan meraba arteri dorsalis pedis dan
arteri tibialis posterior yang normalnya dapat teraba, hanya pada 10 %
orang tidak teraba dengan jelas.
Ketika melakukan pemeriksaan kelainan vaskular pada kaki, harus
dilakukan palpasi pada arteri dorsalis pedis untuk menilai adanya pulsasi
atau tidak. Pada pemeriksaan vaskular, pengukuran ankle brachial
index (ABI) juga dianjurkan untuk melihat adanya sumbatan pada arteri
perifer. Pengukuran ABI dilakukan dengan cara mengukur tekanan sistolik
pada kaki (arteri dorsalis pedis atau arteri tibialis posterior) dibandingkan
dengan tekanan sistolik pada arteri brachialis. Jika terdapat kecurigaan
yang tinggi terhadap adanya penyakit vaskular, pasien harus dianjurkan
untuk melakukan pemeriksaan vascular imaging untuk melihat adanya
kemungkinan terjadinya iskemia
4. Langkah IV: Menginventarisasi permasalahan secara
sistematis
5. Langkah V: Merumuskan tujuan pembelajaran
Adapun tujuan pembelajaran yang harus kami capai
pada diskusi tutorial sesi kedua, di mana pada diskusi
tutorial sesi pertama masih terdapat beberapa konsep
yang belum kami ketahui, diantaranya:
1. Bagaimana mekanisme terjadinya atrofi?
2. Bagaimana interpretasi pemeriksaan fisik dan hubungan dengan keluhan
pasien?
3. Apa dasar dilakukan wound toilet dan dressing, bagaimana prosedurnya?
4. Apa jenis antibiotik dan antipiretik untuk pasien?
5. Mengapa pasien dirujuk ke bagian penyakit dalam dan bedah?
6. Apa saja diagnosis banding pada kasus tersebut?
7. Bagaimana proses terjainya luka dan penyembuhan luka?
6. Langkah VI: Mengumpulkan Informasi
Masing-masing anggota kelompok mencari dan
mengumpulkan informasi mengenai learning objective
yang telah disepakati secara individu diluar waktu diskusi
tutorial.
7. Langkah VII: Melaporkan, membahas, dan menata
informasi.
Dalam penyusunan langkah VII disesuaikan dengan
skema pada langkah IV dan langkah V.
MEKANISME ATROFI OTOT
Pada keadaan fisiologis, contohnya adalah uterus
mengalami atrofi setelah melahirkan.
Jika suatu otot tidak digunakan, maka kandungan aktin
dan miosinnya berkurang, seratnya menjadi lebih kecil dan
karenanya menjadi atrofi dan lebih lemah. Atrofi otot dapat
terjadi melalui dua cara,
1. Disuse atrophy
Terjadi ketika suatu otot tidak digunakan dalam waktu
lama meskipun persyarafannya utuh, seperti ketika
seseorang harus memakai gips atau penyangga, atau
bed rest jangka panjang.
2. Atrofi denervasi
Terjadi setelah persarafan ke suatu otot terputus. Jika
otot dirangsang secara elektris, sampai persyarafan
pulih, seperti pada regenerasi syaraf perifer yang putus,
maka atrofi dapat dikurangi tetapi tidak dapat dicegah
secara total.
Fator yang memicu atrofi otot
1. Berkurangnya beban kerja
Otot terbiasa untuk berkontraksi ketika digunakan. Pada
kontraksi sendiri memerlukan proses pengolahan energi
dan penggunaan energi. Ketika otot tidak digunakan
dalam jangka waktu yang lama, maka kandungan aktin
dan miosin nya berkurang karena selain tidak ada siklus
energi di dalam kontraksi otot, otot sendiri akan
terbiasa menggunakan sedikit aktin dan miosin
sehingga ketika komponen-komponen kontraksi
berkurang, maka serat otot menjadi lebih kecil. Akhirnya
terjadi atrofi.
2. Hilangnya inervasi
Apabila inervasi otot berkurag/ hilang/terputus, maka
impuls yang diterima akan berkurang, jika impuls
berkurang, maka gerak motorik otot sebagai efektor
pun berkurang. Apabila impuls berkurang, maka
penerusan impuls ke otak pun berkurang, maka efektor
motorikpun juga berkurang, apabila efektor motorik
berkurang, maka gerakan juga berkurang, sehingga
memicu atrofi otot.
3. Atrofi akibat tekanan pada vaskuler dan jaringan.
Apabila bedrest / tubuh berada pada posisi yang sama /
tidak berubah dalam jangka waktu lama, akan ada
tekanan pada suatu aspek tubuh tertentu, tekanan
tersebut akan menekan pembuluh darah, syaraf, dan
jaringan pada lokasi tersebut. Sehingga jika ada
tekanan tersebut bisa menyebabkan berkurangnya
vaskularisasi dan menyebabkan jaringan tidak bisa
bekerja secara maksimal. Apabila vaskularisasi
berkurang, maka suplai oksigen dan suplai nutrisi juga
berkurang
Apabila suplai oksigen dan suplai nutrisi berkurang pada
suatu jaringan, maka kerja jaringan tersebut akan
berkurang dan jaringan tersebut akan mengecil karena
tidak mendapatkan suplai yang cukup dan kurangnya
kontraksi yang biasanya dilakukan secara normal.
4. Berkurangnya sel darah / vaskularisasi terganggu
5. Nutrisi tidak adekuat
6. Hilangnya rangsang endokrin
INTERPRETASI PEMERIKSAAN FISIK
1. Pada plantar pedis ditemukan luka berbentuk iireguler ukuran 2x3 cm
tepi tidak beraturan, dasarnya tampak jaringan tulang, edema, dan
eritem di sekitar luka, ditemukan discharge, denyut arteri dorsalis
pedis teraba
Luka berbentuk ireguler : pada kasus ini menandakan luka tersebut
sering digerakkan (karena plantar pedis digunakan untuk berjalan )
sehingga terjadi gesekan luka dengan benda lain.
Dasar tampak jaringan tulang : luka dalam, terjadi infeksi
berkelanjutan. Bisa karena faktor penyakit yang mendukung terjadinya
luka yang menyebabkan jaringan tulang terlihat.
Edema : terjadinya edema di sekitar luka menandakan terjadinya
inflamasi lokal.
Ditemukan discharge : terdapat pus, debris-debris akibat infeksi.
2. Pada sekitar sacrum tampak luka berbentuk jaringan oval , ukuran 3x4
cm tepi tidak beraturan, dasar luka berupa jaringan otot.
Jaringan berbentuk oval : pada luka yang berbentuk (membentuk pola
oval) , pada kasus pasien ini, menandakan luka akibat tekanan dan
jarang digerakkan sehingga bentuk menetap (oval) dan tidak berubah.
Tepi ireguler : pada tepi yang ireguler menandakan pada kasus ini,
sering terjadi gesekan antara tepian luka dengan benda lain.
Dasar luka berupa jaringan otot : luka tersebut dalam. Apabila terjadi
akibat tekanan, berarti luka akibat tekanan tersebut terjadi dalam waktu
yang panjang.
3. Pada regio calcaaneus dexter sinister ditemukan luka berbentuk
ireguler ukuran 0.5x1cm. tepi tidak beraturan. Dasarnya tampak
jaringan tulang, edema dan eritem di sekitar luka.
Luka berbentuk ireguler : pada kasus ini menandakan luka tersebut
sering bergesekan dengan benda lain.
Tepi ireguler : pada tepi yang ireguler menandakan pada kasus ini,
sering terjadi gesekan antara tepian luka dengan benda lain.
Dasar tampak jaringan tulang : luka dalam, terjadi infeksi
berkelanjutan. Bisa karena faktor penyakit yang mendukung terjadinya
luka yang menyebabkan jaringan tulang terlihat.
Edema : terjadinya edema di sekitar luka menandakan terjadinya
inflamasi lokal.
Ditemukan discharge : terdapat pus, debris-debris akibat infeksi.
DASAR DILAKUKANNYA WOUND TOILET DAN
DRESSING
Luka-luka yang harus diperhatikan
1. Luka yang terjadi pada 6 jam pertama.
2. Luka yang terjadi dengan infeksi lokal/ sistemik.
3. Luka yang terjadi lebih dari 48 jam, tanpa tanda-tanda
infeksi lokal/ sistemik
4. Luka yang memiliki banyak jaringan mati yang muncul
pada 6-48 jam setelah luka. Tanpa tanda-tanda infeksi
Pada kasus ini, wound toilet berfungsi untuk
membersihkan pus, membersihkan jaringan di sekitar luka
yang dikhawatirkan terdapat bakteri dan kuman di
dalamnya, membersihkan jaringan yang telah mati, dan
menghindarkan luka dari infeksi lanjutan. Dilakukan juga
pelembaban jaringan sekitar agar jaringan baru cepat
tumbuh.
Dilakukan dressing untuk membuat keadaan lembab
(keadaan ideal jaringan baru untuk tumbuh) sehingga
jaringan baru bisa lebih cepat tumbuh. Dressing juga
dilakukan untuk menutup luka untuk menghindarkan luka
dari terpapar bakteri, kuman, sehingga luka tidak
mengalami infeksi lanjutan.
Pada wound toilet dilakukan :
- debridement : yang berfungsi untuk membersihkan
luka dari benda-benda asing secara berulang sampai
luka bersih
- moist wound bed : yang berfungsi untuk membuat
keadaan luka menjadi lembab.
- Prevent further injury : yang berfungsi untuk
menghindari terbentuknya luka baru
- Terapi nutrisi : diberikan nutrisi yang adekuat agar
mempercepat pembentukan jaringan baru.
- Mengobati penyakit yang mendasari luka.
- Work with the law of nature : membuat suasana
penyembuhan luka menjadi ideal
ANTIBIOTIK DAN ANTIPIRETIK UNTUK PASIEN
Antibiotik
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penatalaksanaan
osteomyelitis adalah pemilihan antibiotik yang optimal, dosis yang
adekuat, dan lama pemberian antibiotik yang cukup disertai monitoring
respon klinis maupun toksisitas yang mungkin terjadi. Pemberian
antibiotik dilakukan setelah pengambilan sampel darah dan aspirat tulang
untuk dikultur. Pertama, pilih satu atau lebih antibiotik dengan spektrum
terhadap patogen yang umum ditemui. Pilihan ini biasanya adalah
antibiotik untuk staphylococcus, yaitu nafcillin, vankomisin, klindamisin,
dan cefazolin. (Kalyoussef, 2008)
Vankomisin diberikan sebagai alternatif selain klindamisin untuk
terapi empiris pada pasien yang tinggal di daerah dengan insidensi tinggi
resistensi pada infeksi Streptococcus pneumoniae dan Staphylococcus
aureus. Laporan resistensi ini menngkat di seluruh dunia. (Kalyoussef,
2008)
Meskipun infeksi Haemophilus influenzae tipe B (Hib) dsudah
tidak ada lagi pada populasi yang kebal terhadap Hib, sefalosporin
generasi ketiga (contohnya, Cefotaxime dan Ceftriaxone) masih digunakan
sebagai tambahan atas nafcillin atau klindamisin. Terapi tambahan ini
sering digunakan pada anak-anak berusia kurang dari 3 tahun. Jangan
menggunakan sefalosporin generasi ketiga saja untuk terapi osteomyelitis
karena tidak optimal dalam membasmi infeksi S. aureus. Cefuroxime,
yaitu sefalosporin generasi kedua, dapat digunakan sebagai agen tunggal
terhadap S. aureus yang sensitif methicillin dan Hib. (Kalyoussef, 2008)
Meningkatnya insidensi S. pneumoniae yang resisten penisillin
mengharuskan penggunaan klindamisin bersama cefotaxime/ceftriaxone
pada bayi dan anak-anak. Ketika memberikan terapi terhadap
osteomyelitis pada anak-anak, kombinasi nafcillin dan tobramycin atau
nafcillin dan cefotaxime dapat digunakan untuk infeksi bakteri dari famili
Enterobacteriaceae sebagai tambahan infeksi dari B. streptococci dan S.
aureus. Pada anak-anak dan remaja dengan trauma penetratif pada kaki,
dapat dilakukan debridemen sebelum pemberian terapi antipseudomonas.
(Kalyoussef, 2008)
Aspirasi tulang penting untuk mengenali jenis patogen. Biopsi
tulang dilakukan jika ada kemungkinan diagnosis lain (contohnya, tumor).
Aspirasi sendi direkomendasikan jika gejala dan tanda menunjukkan
kelainan di dekat sendi bahu atau panggul. Hal ini penting karena
arthrotomi diindikasikan terdapat bukti arthritis bahu ataupun panggul.
Jika gejala dan tanda tidak berkurang dalam 48-72 jam dari pemberian
awal antibiotik, maka aspirasi tulang diulang kembali untuk mengalirkan
pus keluar. (Kalyoussef, 2008 dan Khoshhal, 2008)
Antipiretik
Obat-obatan yang dipakai dalam mengatasi demam (antipiretik)
adalah parasetamol (asetaminofen) tidak dianjurkan dikarenakan oleh
fungsi antikoagulan dan resiko dan ibuprofen. Parasetamol cepat
bereaksi dalam menurunkan panas sedangkan ibuprofen memiliki efek
kerja yang lama (Graneto, 2010).
Demam merupakan mekanisme pertahanan diri atau reaksi
fisiologis terhadap perubahan titik patokan di hipotalamus.
Penatalaksanaan demam bertujuan untuk merendahkan suhu tubuh
yang terlalu tinggi bukan untuk menghilangkan demam.
Penatalaksanaan demam dapat dibagi menjadi dua garis besar yaitu:
non-farmakologi dan farmakologi. Akan tetapi, diperlukan penanganan
demam secara langsung oleh dokter apabila penderita dengan umur <3
bulan dengan suhu rektal >38°C, penderita dengan umur 3-12 bulan
dengan suhu >39°C, penderita dengan suhu >40,5°C, dan demam
dengan suhu yang tidak turun dalam 48-72 jam (Kaneshiro & Zieve,
2010)
Adapun yang termasuk dalam terapi non-farmakologi dari
penatalaksanaan demam:
1. Pemberian cairan dalam jumlah banyak untuk mencegah dehidrasi
dan beristirahat yang cukup.
2. Tidak memberikan penderita pakaian panas yang berlebihan pada
saat menggigil. Kita lepaskan pakaian dan selimut yang terlalu
berlebihan. Memakai satu lapis pakaian dan satu lapis selimut
sudah dapat memberikan rasa nyaman kepada penderita.
3. Memberikan kompres hangat pada penderita. Pemberian kompres
hangat efektif terutama setelah pemberian obat. Jangan berikan
kompres dingin karena akan menyebabkan keadaan menggigil dan
meningkatkan kembali suhu inti (Kaneshiro & Zieve, 2010).
DIAGNOSIS BANDING
ULKUS DEKUBITUS
Ulkus Dekubitus (Luka akibat penekanan, Ulkus kulit, Bedsores)
adalah kerusakan kulit yang terjadi akibat kekurangan aliran darah dan
iritasi pada kulit yang menutupi tulang yang menonjol, dimana kulit
tersebut mendapatkan tekanan dari tempat tidur, kursi roda, gips,
pembidaian atau benda keras lainnya dalam jangka panjang.
Dekubitus adalah kerusakan atau kematian kulit sampai jaringan
dibawah kulit, bahkan menembus otot sampai mengenai tulang akibat
adanya penekanan pada suatu area secara terus-menerus sehingga
mengakibtakan ganguan sirkulasi darah setempat (Hidayat,2009).
Etiologi
Primer : Iskemia, tekanan intraokuler dan suprakapiler, dan dilatasi
pembuluh darah. Sekunder : Gangguan saraf vasomotorik, sensorik dan
motorik, malnutrisi, anemia,demam, infeksi, hygine yg buruk,
kemunduran mental dan penurunan kesadaran.
Faktor Resiko
Luka Dekubitus disebabkan oleh kombinasi dari faktor ekstrinsik dan
intrinsik pada pasien.
a. Faktor Ekstrinsik
1. Tekanan : kulit dan jaringan dibawahnya tertekan antara tulang dengan
permukaan keras lainnya, seperti tempat tidur dan meja operasi.
Tekanan ringan dalam waktu yang lama sama bahayanya dengan
tekanan besar dalam waktu singkat. Terjadi gangguan mikrosirkulasi
lokal kemudian menyebabkan hipoksi dan nekrosis. tekanan antar muka
( interface pressure). Tekanan antar muka adalah kekuatan per unit area
antara tubuh dengan permukaan matras. Apabila tekanan antar muka
lebih besar daripada tekanan kapiler rata rata, maka pembuluh darah
kapiler akan mudah kolap, daerah tersebut menjadi lebih mudah untuk
terjadinya iskemia dan nekrotik. Tekanan kapiler rata rata adalah sekitar
32 mmHg.
2. Gesekan dan pergeseran : gesekan berulang akan menyebabkan abrasi
sehingga integritas jaringan rusak. Kulit mengalami regangan, lapisan
kulit bergeser terjadi gangguan mikrosirkulasi lokal.
3. Kelembaban : akan menyebabkan maserasi, biasanya akibat
inkontinensia, drain dan keringat. Jaringan yang mengalami maserasi
akan mudah mengalami erosi. Selain itu kelembapan juga
mengakibatkan kulit mudah terkena pergesekan (friction) dan
perobekan jaringan (shear). Inkontinensia alvi lebih signifikan dalam
perkembangan luka tekan daripada inkontinensia urin karena adanya
bakteri dan enzim pada feses dapat merusak permukaan kulit.
4. Kebersihan tempat tidur, alat-alat tenun yang kusut dan kotor, atau
peralatan medik yang menyebabkan klien terfiksasi pada suatu sikap
tertentu juga memudahkan terjadinya dekubitus.
b. Faktor Intrinsik
1. Usia : pada usia lanjut akan terjadi penurunan elastisitas dan
vaskularisasi. Pasien yang sudah tua memiliki resiko yang tinggi untuk
terkena luka tekan karena kulit dan jaringan akan berubah seiring
dengan penuaan. Penuaan mengakibatkan kehilangan otot, penurunan
kadar serum albumin, penurunan respon inflamatori, penurunan
elastisitas kulit, serta penurunan kohesi antara epidermis dan dermis.
Perubahan ini berkombinasi dengan faktor penuaan lain akan membuat
kulit menjadi berkurang toleransinya terhadap tekanan, pergesekan, dan
tenaga yang merobek. Selain itu, akibat dari penuaan adalah
berkurangnya jaringan lemak subkutan, berkurangnya jaringan kolagen
dan elastin. menurunnya efesiensi kolateral kapiler pada kulit sehingga
kulit menjadi lebih tipis dan rapuh.
2. Penurunan sensori persepsi : Pasien dengan penurunan sensori persepsi
akan mengalami penurunan untuk merasakan sensari nyeri akibat
tekanan diatas tulang yang menonjol. Bila ini terjadi dalam durasi yang
lama, pasien akan mudah terkena luka tekan. karena nyeri merupakan
suatu tanda yang secara normal mendorong seseorang untuk bergerak.
Kerusakan saraf (misalnya akibat cedera, stroke, diabetes) dan koma
bisa menyebabkan berkurangnya kemampuan untuk merasakan nyeri.
3. Penurunan kesadaran : gangguan neurologis, trauma, analgetik narkotik.
4. Malnutrisi : Orang-orang yang mengalami kekurangan gizi (malnutrisi)
tidak memiliki lapisan lemak sebagai pelindung dan kulitnya tidak
mengalami pemulihan sempurna karena kekurangan zat-zat gizi yang
penting.
Karena itu klien malnutrisi juga memiliki resiko tinggi menderita ulkus
dekubitus. Selain itu, malnutrisi dapat gangguan penyembuhan luka.
Biasanya berhubungan dengan hipoalbumin. Hipoalbuminemia,
kehilangan berat badan, dan malnutrisi umumnya diidentifikasi sebagai
faktor predisposisi untuk terjadinya luka tekan. Menurut penelitian
Guenter (2000) stadium tiga dan empat dari luka tekan pada orang tua
berhubungan dengan penurunan berat badan, rendahnya kadar albumin,
dan intake makanan yang tidak mencukupi.
5. Mobilitas dan aktivitas : Mobilitas adalah kemampuan untuk
mengubah dan mengontrol posisi tubuh, sedangkan aktivitas adalah
kemampuan untuk berpindah. Pasien yang berbaring terus menerus
ditempat tidur tanpa mampu untuk merubah posisi beresiko tinggi
untuk terkena luka tekan. Orang-orang yang tidak dapat bergerak
(misalnya lumpuh, sangat lemah, dipasung). Imobilitas adalah faktor
yang paling signifikan dalam kejadian luka tekan.
6. Merokok : Nikotin yang terdapat pada rokok dapat menurunkan aliran
darah dan memiliki efek toksik terhadap endotelium pembuluh darah.
Menurut hasil penelitian Suriadi (2002) ada hubungaan yang signifikan
antara merokok dengan perkembangan terhadap luka tekan.
7. Temperatur kulit : Menurut hasil penelitian Sugama (1992) peningkatan
temperatur merupakan faktor yang signifikan dengan resiko terjadinya
luka tekan.
8. Kemampuan sistem kardiovaskuler menurun, sehingga perfusi kulit
menurun.
9. Anemia
10. Hipoalbuminemia, beresiko tinggi terkena dekubitus dan
memperlambat penyembuhannya.
11. Penyakit-penyakit yang merusak pembuluh darah juga mempermudah
terkena dekubitus dan memperburuk dekubitus.
Stadium luka tekan
Menurut NPUAP ( National Pressure Ulcer Advisory Panel ), luka
tekan dibagi menjadi empat stadium ,yaitu :
Stadium 1 : Ulserasi terbatas pada epidermis dan dermis dengan eritema
pada kulit. Penderita dengan sensibilitas baik akan mengeluh nyeri,
stadium ini biasanya reversible dan dapat sembuh dalam 5-10 hari.
Stadium 2 : Ulserasi mengenai dermis, epidermis dan meluas ke jaringan
adiposa terlihat eritema dan indurasi serta kerusakan kulit partial
(epidermis dan sebagian dermis) ditandai dengan adanya lecet dan lepuh .
Stadium ini dapat sembuh dalam 10-15 hari.
Stadium 3 : Ulserasi meluas sampai ke lapisan lemak subkulit dan otot
sudah mulai terganggu dengan adanya edema dan inflamasi, infeksi akan
hilang struktur fibril. Kerusakan seluruh lapisan kulit sampai subkutis,
tidak melewati fascia. Biasanya sembuh dalam 3-8 minggu.
Stadium 4 : Ulserasi dan nekrosis meluas mengenai fasia,otot serta sendi.
Dapat sembuh dalam 3-6 bulan.
Manifestasi klinis
Stadium 1 : Ulserasi terbatas pada epidermis. Adanya
eritema/kemerahan pada kulit setempat yang menetap, atau bila ditekan
dengan jari, tanda eritema tidak kembali putih. Penderita dengan
sensibilitas baik akan mengeluh nyeri. Adanya perubahan temperatur kulit
(lebih dingin/lebih hangat), perubahan konsistensi jaringan (lebih
keras/lunak). Eritema ini akan sembuh dalam 5-10 hari.
Stadium 2 : Adanya kerusakan pada epitel kulit yaitu lapisan epidermis
dan dermis. Kemudian ditandai dengan adanya luka lecet atau melepuh.
Biasanya akan sembuh dalam 10-15 hari.
Stadium 3 : kerusakan pada semua lapisan kulit atau sampai jaringan
subkutis dan mengalami nekrosis dengan tanpa kapasitas yang dalam.
Adanya edema, inflamasi, infeksi dan hilangnya struktur fibril. Tepi ulkus
tidak teratur dan terlihat hiper/hipopigmentasi dengan fibrosis. Biasanya
sembuh 3-8 minggu.
Stadium 4 : adanya kerusakan pada ketebalan kulit dan nekrosis
hingga jaringan bahkan tulang atau tendon dengan kapasitas yang dalam.
Biasanya sembuh dalam 3-6 bulan. Purulen, bau, busuk, sepsis
Pemeriksaan
Kultur dan analisis urin: Kultur ini dibutuhakan pada keadaan
inkontinensia untuk melihat apakah ada masalah pada ginjal atau infeksi
saluran kencing, terutama pada trauma medula spinalis.
Kultur Tinja: Pemeriksaan ini perlu pada keadaan inkontinesia alvi untuk
melihat leukosit dan toksin Clostridium difficile ketika terjadi
pseudomembranous colitis.
Biopsi: Biopsi penting pada keadaan luka yang tidak mengalami perbaikan
dengan pengobatan yang intensif atau pada ulkus dekubitus kronik untuk
melihat apakah terjadi proses yang mengarah pada keganasan. Selain itu,
biopsi bertujuan untuk melihat jenis bakteri yang menginfeksi ulkus
dekubitus. Biopsi tulang perlu dilakukan bila terjadi osteomyelitis.
Pemeriksaan Darah: Untuk melihat reaksi inflamasi yang terjadi perlu
diperiksa sel darah putih dan laju endap darah. Kultur darah dibutuhkan
jika terjadi bakteremia dan sepsis.
Keadaan Nutrisi: Pemeriksaan keadaan nutrisi pada penderita penting
untuk proses penyembuhan ulkus dekubitus. Hal yang perlu diperiksa
adalah albumin level, prealbumin level, transferrin level, dan serum
protein level.
Radiologis: Pemeriksaan radiologi untuk melihat adanya kerusakan tulang
akibat osteomyelitis. Pemeriksaan dapat dilakukan dengan sinar-X,scan
tulang atau MRI.
ULKUS DIABETIKUM
Ulkus diabetikum merupakan komplikasi yang terjadi pada pasien
DM yang diakibatkan karena kadar gula darah yang tidak terkontrol
sehingga terjadi hiperglikemia.
Hiperglikemia yang terjadi pada pasien DM bisa terjadi karena
intake karbohidrat yang berlebihan, pemakaian glukosa yang kurang,
produksi glukosa hati yang berlebihan, serta insulin yang menurun baik
jumlah maupun kerjanya.
Patofisiologi
Diawali karena hiperglikemia, yang menyebabkan kelainan
neuropati dan angiopati. Neuropati berakibat pada perubahan kulit dan otot
sehingga distribusi tekanan pada telapak kaki berubah. Hal ini akan
mempermudah terjadinya ulkus pada daerah tungkai bawah. Infeksi akan
cepat menyebar luas ke daerah sekitarnya karena terdapat kerentanan
terhadap infeksi, apalagi jika vaskularisasinya buruk (Sudoyo, et al,.
2009).
Penyakit Kaki Diabetes atau ulkus diabetikum pada kaki
mempunyai banyak pengklasifikasian. Diantaranya ada klasisfikasi
Edmon’s dari King’s college hospital London, klasifikasi Liverpool,
klasifikasi Wagner, klasifikasi Texas, hingga klasifikasi mutakhir oleh
International Working Group on Diabetic Foot yaitu klasifikasi PEDIS
2003.
Klasifikasi
Klasifikasi Edmons 2004 berdasarkan perjalanan alamiah ulkus
pada kaki, yaitu: Stage 1 (normal foot), Stage 2 (high risk foot), Stage 3
(ulcerated foot), Stage 4 (infected foot), Stage 5 (necrotic foot), Stage 6
(unsalvable foot). Untuk stage 1 dan 2 dilakukan pencegahan primer agak
tidak terjadi ulkus, sementara untuk stage 3 dan 4 sudah memerlukan
pelayanan spesialistik dan untuk stage 5 dan 6 memerlukan perawatan
rawat inap.
Untuk klasifikasi Texas, klasifikasi Liverpool, klasifikasi Wagner,
dan klasifikasi PEDIS dapat dilihat pada tabel dibawah.
Klasifikasi Liverpool
Klasifikasi primer - Vaskular,
- Neuropati
- Neuroiskemik
Klasifikasi sekunder - Tukak sederhana, tanpa
komplikasi
- Tukak dengan komplikasi
Klasifikasi Texas
Stadium Tingkat
0 1 2 3
A Tanpa
tukak/pasca
tukak, kulit intak
Luka superficial,
tidak sampai
tendon atau
kapsul sendi
Luka sampai
tendon atau
kapsul sendi
Luka sampai
tulang/ sendi
B Dengan Infeksi
C Dengan Iskemi
D Dengan Infeksi dan Iskemi
Klasifikasi Wagner (saat ini masih banyak dipakai)
0 Kulit intak/ utuh
1 Tukak superficial
2 Tukak dalam (sampai tendo, tulang)
3 Tukak dalam dengan infeksi
4 Tukak dengan gangrene pada 1-2 jari kaki
5 Tukak dengan gangrene luas pada seluruh kaki
Klasifikasi PEDIS International Consensus on the Diabetic Foot 2003
Impaired
Perfusion
1 = None
2 = PAD + but not critical
3 = Critical Limb Ischemia
Extent in
mm3
Depth
1 = superficial fulthickness, not deeper than dermis
2= deep ulcer, below dermis, involving subcutaneous
structures, fascia, muscle, or tendon.
3All subsequent layers of the foot involved including bone
and or joint
Infection
1 = no symptoms or signs of infection
2 = infection of skin and subcutaneous tissue only
3= Erythema > 2 cm, or infection involving subcutaneous
structures,no systemic signs of inflammatory response
4
Infection with systemic manifestation: Fever,
leukocytosis, shift to the left, metabolic instability,
hypotension, azotemia.
Impaired
Sensation
1 = Absent
2 = Present
Dengan klasifikasi PEDIS bisa ditentukan kelainan apa yang lebih
dominan, vascular, infeksi, atau neuropatik. Misalnya pada critical limb
ischemia (P3) lebih memerlukan tindakan untuk memperbaiki keadaan
vaskularnya dahulu. Sebaliknya, kalau faktor infeksi menonjol (I4), tentu
harus diberikan antibiotic yang adekuat, Demikian juga, jika faktor
mekanik dominan (insensitive foot, S2), maka koreksi untuk mengurangi
tekanan plantar harus diutamakan.
Tatalaksana dan pengelolaan ulkus diabetikum
Pada kaki dilakukan dengan cara primer, maupun cara sekunder.
Cara primer digunakan untk mencegah pasien DM agar tidak mengalami
ulkus pada kaki, smentara cara sekunder, ditujukan untuk mencegah dan
mengelola ulkus yang ada agar tidak bertambah parah dan menyebabkan
kecacatan.
Cara primer dilakukan dengan memeriksa jenis kaki pasien DM
berdasarkan klasifikasi Frykberg sebagai berikut.
1. Sensasi normal tanpa deformitas
2. Sensasi normal dengan deformitas/ tekanan plantar tinggi
3. Insensitivitas tanpa deformitas
4. Iskemia tanpa deformitas
5. Complicated/ kombinasi:
a. Kombinasi insensitivitas, iskemi, dan/atau deformitas
b. Riwayat adanya tukak, deformitas Charcot
Pengelolaan ulkus dengan cara primer ditujukan untuk mencegah
terjadinyaulkus, disesuaikan dengan risiko kaki. Sebagi contoh, pasien
dengan kategori 3 dan 5, diperlukan alas kaki yang bisa melindungi kaki
yang kurang merasa/ insensitivitas. Kalau sudah ada deformitas (2 dan 5),
maka diberikan alas untuk membantu meratakan penyebaran tekanan pada
kaki.
Untuk kasus dengan risiko 4 (permasalahan vaskular), latihan kaki
perlu diperhatikan untuk memperbaiki vaskularisasi kaki. Untuk ulkus
yang complicated, maka pengelolaan ditujukan untuk menyelamatkan kaki
agar tidak menyebabkan kecacatan dan dilakukan dengan cara sekunder.
Pengelolaan ulkus dengan cara sekunder didasarkan pada beberapa
faktor, yaitu 1) mechanical control-pressure control, 2)wound control,
3)microbiological control-infection control, 4)vascular control,
5)metabolic control, 6)educational control.
Mechanical control-pressure control
Prinsipnya adalah menghindarkan daerah luka dari tekanan karena luka
yang sering mendapat tekanan akan sulit sembuh, apalagi di daerah
plantar (luka Charcot). Hal ini bisa dilakukan dengan memberikan
orthesis pada yang sesuai pada pasien, atau bahkan dengan
pembedahan (surgical) untuk mengurangi tekanan; 1)Dekompresi
ulkus dengan insisi ulkus, dan 2)bedah untuk mengoreksi suatu
kelainan, misalnya operasi untuk hammer toe, metatarsal head
resection, Achilles tendon lengthening, partial calcanectomy.
Wound control
Granulasi dan epitelisasi tidak akan terbentuk jika masih terdapat
inflamasi pada luka sehingga evaluasi luka harus dilakukan dengan
cermat dengan melakukan debridement yang adekuat, wound toilet
serta dressing (pembalutan) yang baik. Untuk mengurangi mikroba
pada luka, bisa digunakan iodine encer dan cairan salin.
Microbiological control-infection control
Pasien diberikan antibiotik yang disesuaikan dengan hasilkultur
bakteri. Biasanya infeksi yang terjadi pada ulkus diabetikum adalah
polimikrobial (campuran gram +, gram -, dan kuman anaerob untuk
luka yang dalam dan berbau) sehingga biasanya diberikan antibiotic
broad spectrum terlebih dahulu. Sefalosporin untuk bakteri gram + dan
gram -, sementara untuk kuman anaerob diberikan metronidazol.
Vascular control
Tujuannya untuk mengontrol kelainan vaskular jika ada melalui
pemeriksaan non-invasif, invasif,dan semi-invasif. Selain itu,
dilakukan modifikasi faktor risiko, yaitu pasien tidak merokok,
menjalani walking program dengan bantuan dokter rehabilitasi medik,
serta memperbaiki faktor risiko terkait aterosklerosis seperti
hiperglikemia, hipertensi, dan dislipedemia.
Jika kesembuhan luka pasien jelek atau ada klaudikasio intermitten,
maka dilakukan revaskularisasi. Sebelum dilakukan operasi untuk
revaskularisasi dilakukan pemeriksaan arteriografi untuk mendapatkan
gambaran pembuluh darah yang jelas, serta dilakukan terapi adjuvant/
terapi hiperbarik untuk memperbaiki vaskularisasi dan oksigenasi
jaringan.
Metabolic control
Tujuannya adalah mengusahakan agar glukosa darah agar masih dalam
batas normal, memperbaiki hiperglikemia agar penyembuhan luka
cepat sembuh. Dilakukan dengan mengontol asupan nutrisi pasien,
bahkan diperlukan insulin eksogen. Selain itu, perlu diperhatikan juga
konsentrasi albumin serum, Hb dan derajat oksigenasi jaringan, serta
fungsi ginjal.
Educational control
Dilakukan dengan memberikan penyuluhan yang baik kepada pasien
tentang penyakitnya. juga edukasi untuk memakai orthesis bagi para
amputee untuk menghindari terjadinya ulkus baru yang biasanya
mempunyai prognosis lebih buruk dari ulkus pertama
OSTEOMYELITIS
Osteomyelitis merupakan suatu infeksi pada celah pertumbuhan
tulang (misalnya metafisis tulang).
Patofisiologi
Bakteri yang paling sering berperan dalam osteomyelitis adalah
Sterptococcus sp, Staphylococcus aureus, dan juga ada bakteri lain seperti
Enterococcus sp, bakteri gram negatif, bakteri anaerob. Bakteri tersebut
dapat masuk ke kulit dan menginfeksi jaringan lunak pada tempat yang
luka atau tidak intact. Karena pada orang dengan diabetes melitus terjadi
angiopathy perifer maka vaskularisasi pada tempat tersebut sangat buruk
sehingga sel-sel fagosit tidak dapat mengenalinya. Oleh sebab itu bakteri
dapat tumbuh dengan subur dan terus merusak jaringan kaki hingga terjadi
ulkus tanpa disadari oleh pasien. Jika hal ini dibiarkan terus menerus maka
ulkus tersebut dapat menmbus hingga ke tulang. Bakteri yang bertemu dan
melekat pada tulang akan mengakibatkan infeksi dan kemungkinan besar
menyebabkan osteomyelitis.
Infeksi pada osteomyelitis dapat terjadi lokal atau dapat menyebar
melalui periosteum, korteks, sumsum tulang, dan jaringan retikular. Jenis
bakteri bevariasi berdasarkan pada umur pasien dan mekanisme dari
infeksi itu sendiri.
Terdapat dua kategori dari osteomyelitis akut:
a. Hematogenous osteomyelitis
Infeksi disebabkan bakteri melalui darah. Acute hematogenous
osteomyelitis, infeksi akut pada tulang disebabkan bekteri yang berasal
dari sumber infeksi lain. Kondisi ini biasanya terjadi pada anak-anak.
Bagian yang sering terkena infeksi adalah bagian yang sedang bertumbuh
pesat dan bagian yang kaya akan vaskularisasi dari metaphysis. Pembuluh
darah yang membelok dengan sudut yang tajam pada distal metaphysis
membuat aliran darah melambat dan menimbulkan endapan dan trombus,
tulang itu sendiri akan mengalami nekrosis lokal dan akan menjadi tempat
berkembang biaknya bakteri. Mula-mula terdapat fokus infeksi didaerah
metafisis, lalu terjadi hiperemia dan udem. Karena tulang bukan jaringan
yang bisa berekspansi maka tekanan dalam tulang ini menyebabkan nyeri
lokal yang sangat hebat.
Infeksi dapat pecah ke subperiost, kemudian menembus subkutis
dan menyebar menjadi selulitis atau menjalar melalui rongga subperiost
ke diafisis. Infeksi juga dapat pecah kebagian tulang diafisis melalui
kanalis medularis.
Penjalaran subperiostal kearah diafisis akan merusak pembuluh
darah yang kearah diafisis, sehingga menyebabkan nekrosis tulang yang
disebut sekuester. Periost akan membentuk tulang baru yang
menyelubungi tulang baru yang disebut involukrum (pembungkus).
Tulang yang sering terkena adalah tulang panjang yaitu tulang femur,
diikuti oleh tibia, humerus ,radius , ulna, dan fibula.
b. Direct or contigous inoculation osteomyelitis
Disebabkan kontak langsung antara jaringan tulang dengan bakteri,
biasa terjadi karena trauma terbuka dan tindakan pembedahan.
Manisfestasinya terlokalisasi dari pada hematogenous osteomyelitis.
Apabila bakteri telah mencapai darah dan menyebar lewat darah
kemungkinan dapat menyebabkan pasien mengalami shock septic. Namun
tidak semua bakteri dan pasien mengalami hal ini. Hanya beberapa bakteri
yang memilki superantigen dan dapat mengaktifkan berbagai sitokin tubuh
dalam jumlah yang sangat banyak melebihi normalnya.
Diagnosis
Gejala hematogenous osteomyelitis biasanya berajalan lambat
namun progresif. Direct ostoemyelitis umumnya lebih terlokalisasi dan
jelas.
Gejala pada hematogenous osteomyelitis pada tulang panjang umumnya
adalah:
Demam tinggi mendadak.
Kelelahan.
Iritabilitas.
Malaise.
Terbatasnya gerakan.
Edem lokal yang disertai dengan erytem dan nyeri pada
penekanan.
Pada Kronik osteomyelitis :
Ulkus yang tidak kunjung sembuh.
Drainase saluran sinus.
Kelelahan yang berkepanjangan.
Malaise.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan :
Ulkus > 2cm2 dengan kedalaman > 3mm
Tulang dapat terlihat dan dipegang
Demam ( timbul hanya pada 50 % neonatus ).
Edem.
Terasa hangat.
Berfluktuasi.
Nyeri pada palpasi.
Terbatanya gerakan ekstremitas.
Drainase saluran sinus.
Hasil laboratorium:
Terjadi pergeseran shif kekiri.
CRP meningkat
Peningkatan laju endap darah.
Pemeriksaan MRI, biopsi maupun kultur terlihat adanya
peradangan pada tulang
Untuk menentukan diagnosis dapat digunakan aspirasi,
pemeriksaan sintigrafi, biakan darah dan pemeriksaa pencitraan. Aspirasi
dilakukan untuk memperoleh pus dari subkutis, subperiost, atau lokus
radang dimetafisis. Untuk punksi tersebut digunakan jarum khusus untuk
membor tulang.
Pada sintigrafi dipakai Thenectium 99. sensitivitas pemeriksaan ini
terbatas pada minggu pertama, dan sama sekali tidak spesifik. Pada
minggu kedua gambaran radiologi logis mulai menunjukkan dekstrusi
tulang dan reaktif periostal pembentukkan tulang baru.
MEKANISME TERJADINYA LUKA
Penyebab jejas sel
1. Depresi oksigen
- Hipoksia : defisiensi oksigen mengganggu
respirasi oksidatif dan merupakan penyebab cedera
sel tersering dan terpenting serta menyebabkan
kematian.
- Iskemia : terhentinya suplai darah arteri atau
berkurangnya drainase vena
- Keracunan karbon monoksida (CO) (CO membentuk
ikatan kompleks yang stabil denagn hemoglobin
sehingga menghalangi pengikatan oksigen.
2. Bahan kimia
Semua bahan kimia dapat menyebabkan jejas, jika
terkonsentrasi cukup banyak cukup banyak akan
merusak keseimbangan lingkungan osmotik sehingga
mencederai atau menyebabkan kematian sel.
3. Agen infeksius : virus, bakteri, cacing, protozoa
4. Reaksi imunologi
Hilangnya toleransi dengan respon terhadap antigen
sendiri merupakan penyebab sejumlah penyakit
autoimun
5. Defek genetik
Beberapa kesalahan metabolisme saat lahir akibat
defisiensi enzimatik kongenital merupakan contoh
kerusakan sel dan jaringan yang disebabkan oleh
perubahan spele yang serigkali terjadi pada DNA.
6. Ketidakseimbangan nutrisi
Defisiensi nutrisi masih merupakan penyebab utama
jejas sel. Nutrisi yang berlebihan juga merupakan
penyebab penting morbiditas dan mortilitas.
7. Agen fisik
Trauma, temperatur yang ekstrem, radiasi, syok
elektrik, dandan perubahan mendadak pada tekanan
atmosfer.
8. Penuaan
Proses penuaan sel instrinsik menimbulkan perubahan
kemampuan perbaikan dan replikasi sel dan jaringan.
Inflamasi
Inflamasi adalah suatu respon protektif yang ditunjukkan
untuk menghilangkan penyebab awal jejas sel serta
membuang sel dan jaringan nekrotik yang diakibatkan oleh
kerusakan asal.
Proses inflamasi
Perubahan vaskular dan rekrutmen sel pada inflamasi akut
mengakibatkan panas (kalor), merah (rubor) dan
pembengkakan (tumor). Sedangkan nyeri (dolor) dan
hilangnya fungsi
(functio laesa) terjaki akibat perluasan mediator dan
kerusakan yang diperantarai leukosit.
Inflamasi kroniksebagai
Inflamasi kronik dianggap inflamasi memanjang
( berminggu-minggu, hinga berbulan-blan sampai
bertahun-tahun). Inflamsi kronik ditandai denag
- Infiltrasi sel mononuklear
- Dekstrusi jaringan
- Repair
PROSES PENYEMBUHAN LUKA
Proses penyembuhan luka terdiri dari 3 fase: fase
inflamasi, fase proliferasi/reepitelisasi, dan fase maturasi.
Pada fase Inflamasi, tubuh mengeluarkan banyak mediator-
mediator inflamasi seperti histamine, leukotriene. Sel-sel
darah putih seperti netrofil, eusinofil, dan monosit,
diketahui juga turut berperan. Keeping darah/ trombosit
juga membentuk koagulasi di daerah luka sehingga luka
bisa berhenti.
Fase kedua, yaitu fase proliferasi/reepitelisasi, terjadi
migrasi keratinosit. Fibroblast juga membentuk sabut-sabut
kolagen baru di daerah bekas luka tersebut, serta
terbentuk angiogenesis baru. Pada fase terakhir yaitu
maturasi, terjadi penguatan dari serabut kolagen yang
telah terbentuk dengan bantuan PDGF dan TGF-β
(www.medicaledu.com).
BAB III
KESIMPULAN
Pada skenario 3, keluhan pasien yaitu ulkus di berbagai
tempat terutama pada ektremitas bawah. Ulkus yang tidak
sembuh ini dapat dikarenakan oleh salah satu faktor resiko
pasien yang memiliki riwayat keluarga sakit gula. Namun, untuk
memastikan diagnosis diperlukan adanya pemeriksaan
penunjang.
Selain itu, terdapat faktor-faktor lain yang mempengaruhi
diagnosis banding, seperti lokasi nyeri, sejak kapan terjadi nyeri,
adakah trauma, jenis kelamin, aktivitas fisik, dan lain-lain.
Pada kasus ini, dilakukan pemeriksaan fisik untuk
mengetahui keadaan umum keluhan pasien, adakah hal yang
didapatkan pada pemeriksaan fisik yang menjadi penunjuk ke
arah diagnosis pasti . Lalu diperkuat dengan pemeriksaan
penunjang seperti pemeriksaan lab, pemeriksaan foto rontgen,
dan pemeriksaan lainnya. Sehingga didapatkan diagnosis pasti
Berdasarkan hasil diskusi, kami menarik kesimpulan untuk
diagnosis banding yaitu ulkus decubitus, ulkus diabetikum, dan
osteomyielitis berdasarkan keluhan pasien dan pemeriksaan
fisik. Namun kami hanya mampu menentukan diagnosis banding
dan belum berkompeten untuk menegakkan diagnosis
sesungguhnya.
BAB IV
SARAN
Untuk mahasiswa:
Sebaiknya mahasiswa lebih berusaha memahami materi dan
mengumpulkan materi dari sumber serta melakukan
pemahaman lebih lanjut dan mengkaji sumber tersebut apakaah
informasi yang diberikan sumber tersebut memiliki keterkaitan
dengan learning objecivet yang dibahas. Serta memperbanyak
sumber supaya ada masukan-masukan tambahan sehingga
materi yang di-share oleh mahasiswa menjadi lebih padat dan
lengkap.
Untuk tutor pembimbing:
Tutor pembimbing sudah baik, kompeten, dapat mengarahkan
mahasiswa utuk menuju learning objective yang hendak dicapai
serta memberikan masukan- masukan kekurangan dalam
diskusi. Tutor pembimbing juga mampu memberi dorongan
kepada para mahasiswa untuk saling berpartisipasi dalam
jalannya diskusi sehingga semakin banyak materi dari sumber
yang beragam, membuat materi yang diterima oleh mahasiswa
lebih beragam dan lengkap
DAFTAR PUSTAKA
Berman A. dkk (2009). Buku Ajar Praktik Keperawatan Klinis Kozier & Erb,
Edisi 5. Jakarta: EGC.
Brunner, Suddarth (2002). Buku ajar Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8.
Jakarta: EGC
Carpenito, Lynda Juall. (1995). Diagnosa Keperawatan Aplikasi pada Praktek
Klinik. Edisi 6, Jakarta : EGC
Corwin E (2007). Buku saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.
Fishman, Tamara D (2013). Phases of Wound Healing.
http://www.medicaledu.com/phases.htm- Diakses oktober 2014
Graneto, JW (2010). Pediatric Fever. Chicago College of Osteopathic Medicine
of Midwestern University. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/801598-overview. [Updated 20
May 2010].
Kalyoussef S, Tolan RW. Osteomyelitis [online] eMedicine General Medicine
2008 [cited November 20th 2009]. Available from URL:
http://emedicine.medscape.com/article/967095-print.
Kaneshiro, N.K., and Zieve, D (2010). Fever. University of Washington.
Available from:
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000980.htm. [Updated
29 January 2010]
Khoshhal K, Letts RM. Subacute Osteomyelitis (Brodie Abscess) [online]
eMedicine Orthopedic Surgery 2008 [cited November 20th 2009].
Available from URL: http://emedicine.medscape.com/article/1248682-
print.
Kumar V, Cotran RS, dan Robbins SL (2007). Buku Ajar Patologi Robbin . Edisi
7. Jakarta: EGC.
Morison, M (1995). Manajemen Luka. Jakarta: EGC.
Nurlatifah, Gita (2010). Makalah Ilmiah: Asuhan Keperawatan pada klien dengan
Diabetes Mellitus. Jakarta: Poltekkes Jakarta 3
Price, AS (1995). Patofisologi: konsep klinis proses-proses penyakit. (edisi 4),
Jakarta: EGC
Sudoyo, Aru W, et al,. (2009). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi Kelima Jilid
Tiga. Jakarta Pusat: Interna Publishing. p. 1961-1966, 2642.
Suriadi (2004). Perawatan Luka. Jakarta:Sagung Seto
Syaifuddin, H. (2006). ANATOMI FISIOLOGI untuk mahasiswa keperawatan
Edisi 3. Jakarta:EGC
Tambayong, J (2000). PatofisiologiuntukKeperawatan. Jakarta:EGC
Willms, J (2003). Diagnosis Fisik: Evaluasi Diagnosis dan Fungsi di Bangsal.
Jakarta:EGC