laporan skenario 3

57
LAPORAN TUTORIAL BLOK MUSKULOSKELETAL SKENARIO 3 “Luka di Kakiku Tidak Sembuh-Sembuh” KELOMPOK 13 AFIF BURHANUDIN G0013002 AMELIA IMAS VOLETA G0013024 CHRISTOPHER BRILLIANTO G0013064 DITA PURNAMA A G0013076 EDWINA AYU D G0013082 FEBRI DWI N G0013094 HEPY HARDIYANTI K G0013112 HUMAMUDDIN G0013114 LAILA NINDA S G0013132 MAISAN NAFI’ G0013148 MILA ULFIA G0013154 RICKY IRVAN G0013200 TUTOR: dr. TAHONO, Sp.PK-K

Upload: akmalia-fatimah

Post on 04-Jan-2016

61 views

Category:

Documents


17 download

DESCRIPTION

muskuloskletal .....

TRANSCRIPT

Page 1: Laporan Skenario 3

LAPORAN TUTORIAL

BLOK MUSKULOSKELETAL

SKENARIO 3

“Luka di Kakiku Tidak Sembuh-Sembuh”

KELOMPOK 13

AFIF BURHANUDIN G0013002

AMELIA IMAS VOLETA G0013024

CHRISTOPHER BRILLIANTO G0013064

DITA PURNAMA A G0013076

EDWINA AYU D G0013082

FEBRI DWI N G0013094

HEPY HARDIYANTI K G0013112

HUMAMUDDIN G0013114

LAILA NINDA S G0013132

MAISAN NAFI’ G0013148

MILA ULFIA G0013154

RICKY IRVAN G0013200

TUTOR: dr. TAHONO, Sp.PK-K

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

2014

Page 2: Laporan Skenario 3

BAB I

PENDAHULUAN

SKENARIO 3

“Luka di Kakiku Tidak Sembuh-Sembuh”

Seorang laki-laki berusia 42 tahun datang ke poliklinik umum dengan

keluhan luka bengkak, merah, dan bernanah pada telapak kaki kanan sejak

seminggu ini. Keluhan ini disertai dengan demam. Luka muncul karena

tersandung sejak tiga bulan yang lalu, dan dirasa semakin melebar. Dua bulan

yang lalu pasien jatuh dari pohon melinjo dan tidak dapat menggerakkan kakinya.

Sebulan ini muncul luka lain berlubang di pantat dan tumit kanan-kiri. Dari

riwayat keluarga ibunya menderita sakit gula (kencing manis)

Pada pemeriksaan vital sign didapatkan tekanan darah 120/80 mmHg,

temperature 38,2°C, denyut nadi 100x/menit, frekuensi napas 18x/menit. Pada

pemeriksaan fisik tampak otot-otot anggota gerak bawah atrofi. Pada plantar pedis

ditemukan luka berbentuk ireguler ukuran 2x3 cm, tepi tidak beraturan, dasarnya

tampak jaringan tulang, edema dan eritem di sekitar luka, ditemukan discharge,

denyut arteri dorsalis pedis teraba. Pada sekitar sacrum tampak luka bentuk oval,

ukuran 3x4 cm, tepi tidak beraturan, dasar luka berupa jaringan otot. Pada region

calcaneus dexter-sinister ditemukan luka berbentuk ireguler ukuran 0,5x1 cm, tepi

tidak beraturan, dasarnya tampak jaringan tulang, edema dan eritem di sekitar

luka. Setelah melakukan wound toilet dan dressing, dokter memberikan antibiotic

dan antipiretik. Selanjutnya dokter merencanakan pemeriksaan laboratorium dan

akan merujuk ke Bagian Penyakit Dalam dan Bedah.

Page 3: Laporan Skenario 3

BAB II

DISKUSI DAN TINJAUAN PUSTAKA

Seven Jump

1. Langkah I: Klarifikasi istilah

Dalam skenario ini kami mengklarifikasi istilah sebagai berikut:

1. Bernanah

Keluarnya pus yang berisi sisa kuman debris, dan sisa-sisa hasil inflamasi

pada jaringan yang terluka

2. Atrofi

Pengecilan ukuran sel karena berkurangnya subtansi sel. Penyebab atrofi

antara lain terjadinya mutasi (yang dapat merusak gen untuk membangun

jaringan atau organ), sirkulasi dalam tubuh terganggu sehingga

kekurangan nutrisi dari makanan dan oksigen, gangguan hormonal,

gangguan saraf sehingga sel kurang digunakan seperti otot rangka atau

kurangnya latihan atau penyakit intrinsik pada  jaringan itu sendiri dan

proses penuaan

3. Discharge

Substansi yang dikeluarkan oleh tubuh bisa karena hasil fisiologis maupun

patologis

4. Arteri dorsalis pedis

Arteri dorsalis pedis merupakan arteri yang memvaskularisasi bagian

dorsal kaki, arteri ini berasal dari arteri femoralis, yang kemudian di fossa

poplitea akan menjadi arteri poplitea, yang akan bercabang menjadi tibialis

anterior dan arteri tibialis posterior. Arteri tibialis anterior akan menjadi

arteri dorsalis pedis di bagian dorsal kaki, sementara arteri tibialis

posterior akan menjadi arteri plantaris pedis di bagian plantar kaki. Palpasi

arteri dorsalis pedis digunakan untuk mendiagnosis adanya suatu kelainan

vaskuler.

Page 4: Laporan Skenario 3

5. Eritem

Kemerahan pada kulit akibat kongesti kapiler pembuluh darah

6. Wound toilet

Pembersihan luka dan kulit di sekitar luka

7. Dressing

Segala tindakan untuk menutup luka untuk mencegah infeksi

8. Antibiotik

Obat yang digunakan untuk mencegah infeksi bakteri dengan cara

membunuh bakteri dan kuman

9. Antipiretik

Obat-obatan yang bisa menurunkan demam/suhu tubuh dengan berbagai

mekanisme, banyak obat analgesic yang juga mempunyai efek antipiretik.

2. Langkah II: Menentukan atau mendefinisikan

permasalahan

Permasalahan pada skenario ini, sebagai berikut

1. Adakah hubungan antara keluhan pasien dengan riwayat penykit ibu

pasien?

2. Mengapa muncul luka lain di pantat dan di tumit kanan kiri?

3. Mengapa penyembuhan luka lama dan luka semakin melebar?

4. Apa hubungan antara keluhan pasien dengan demam?

5. Mengapa kaki pasien tidak bisa digerakkan setelah jatuh dari pohon?

6. Mengapa pasien tidak merasa nyeri pada luka yang sangat mendalam?

7. Bagaimana mekanisme terjadinya atrofi?

8. Bagaimana interpretasi pemeriksaan vital sign?

9. Bagaimana interpretasi pemeriksaan fisik dan hubungan dengan keluhan

pasien?

10. Apa dasar dilakukan wound toilet dan dressing, bagaimana prosedurnya?

11. Apa jenis antibiotik dan antipiretik untuk pasien?

12. Apa saja pemeriksaan penunjang yang diperluhkan pasien?

13. Mengapa dilakukan pemeriksaan arteri dorsalis pedis?

Page 5: Laporan Skenario 3

14. Mengapa pasien dirujuk ke bagian penyakit dalam dan bedah?

15. Apa saja diagnosis banding pada kasus tersebut?

16. Bagaimana proses terjainya luka dan penyembuhan luka?

3. Langkah III: Menganalisis permasalahan dan membuat

pernyataan sementara mengenai permasalahan

Hubungan antara keluhan pasien dengan riwayat penyakit ibu pasien

Dalam skenario, ibu pasien memiliki riwayat penyakit diabetes

mellitus. Sedangkan pasien menderita luka yang sukar sembuh, dan sudah

3 bulan tidak kunjung sembuh, dan dirasa semakin melebar. Terdapat

kemungkinan bahwa pasien juga menderita diabetes mellitus sehingga

luka pada tungkainya sukar sembuh padahal sudah sejak tiga bulan yang

lalu.

Muncul luka lain di pantat dan tumit kanan-kiri

Kulit kaya akan pembuluh darah yang mengangkut oksigen ke

seluruh lapisannya. Jika aliran darah terputus lebih dari 2-3 jam, maka

kulit akan mati, yang dimulai pada lapisan kulit paling atas (epidermis).

Penyebab dari berkurangnya aliran darah ke kulit adalah tekanan.

Jika tekanan menyebabkan terputusnya aliran darah, maka kulit yang

mengalami kekurangan oksigen pada mulanya akan tampak merah dan

meradang lalu membentuk luka terbuka (ulkus).

Penyembuhan luka lama serta semakin melebar

Luka pasien sudah sejak tiga bulan yang lalu tapi tidak kunjung

sembuh, penyembuhan luka pada pasien yang cenderung lama

dimungkinkan karena pasien menderita diabetes mellitus (DM). Pada

pasien DM, sering terjadi hiperglikemia dimana kadar gula darah pasien

tinggi. Kadar gula dalam darah yang tinggi membuat vaskularisasi darah

Page 6: Laporan Skenario 3

menjadi tidak lancar dan bisa menyebabkan kelainan neuropati.

Permukaan kulit yang sudah tidak intact akibat luka yang muncul pada

kaki ketika pasien tersandung menjadi sukar sembuh karena menjadi

tempat yang efektif bagi bakteri untuk berkembang biak karena dalam

darah pasien terdapat gula yang merupakan sumber energi dan makanan

bagi kuman.

Pada penderita DM, daya tahan tubuh sangat menurun karena

pembentukan zat anti ikut terhambat. Karena itulah sering muncul infeksi

serta sulitnya penyembuhan infeksi (Suherman, 2012a). Sementara infeksi

masih berada dalam tahap inflamasi dalam proses penyembuhan luka.

Apabila selama proses inflamasi masih ada, proses penyembuhan luka

tidak akan beranjak pada proses selanjutnya, yaitu proses proliferasi dan

remodelling (Sudoyo, 2009). Hal tersebut mengakibatkan proses

penyembuhan luka pada penderita DM cenderung lebih lama daripada

orang dengan kondisi normal.

Disamping itu, luka pada tungkai juga sulit sembuh karena

letaknya yang berada di permukaan bawah, dimana sering terjadi kontak

dan mendapat tekanan dengan permukaan di bawahnya sehingga proses

penyembuhan luka menjadi terganggu.

Hubungan keluhan pasien dengan demam

Jika terjadi demam dapat menandakan adanya infeksi pada tubuh.

Infeksi pada tubuh terjadi karena adanya patogen atau zat asing yang

masuk dalam tubuh biasanya berupa bakteri atau parasit, sehingga

menimbulkan demam melalui proses imunologi. Ada tidaknya demam

dapat dijadikan penanda untuk menyingkirkan diagnosis banding lainnya.

Kaki pasien tidak dapat digerakkan setelah jatuh dari pohon

Vertebra pada umumnya melindungi soft tissues pada spinal cord,

tapi vertebra sendiri bisa rusak atau mengalami dislokasi dengan berbagai

cara, yang menyebabkan tekanan yang berbahaya pada spinal cord (spinal

Page 7: Laporan Skenario 3

cord injury). Jadi segmen di mana terjadinya trauma/cidera, dan sejauh

mana kerusakan pada jaringan saraf nya, akan menentukan, fungsi tubuh

mana yang berkurang atau bahkan hilang.

Untuk kasus pada skenario, pasien terjatuh dari pohon mlinjo

(dianggap saja pohon mlinjonya sudah tinggi dan besar), kemungkinan

pasien terjatuh dengan pantat terlebih dahulu, yang menyebabkan kakinya

tidak bisa digerakkan. Karena spinal cord injury tadi, yang menyebabkan

terjadinya kelumpuhan pada ekstremitas bawahnya. (disebut juga

parapelgia) dan termasuk spinal cord injury yang tidak mengalami

kelumpuhan total. (hanya bagian bawah saja yang kehilangan fungsi)

Pasien tidak merasa nyeri pada luka yang sangat mendalam

Luka yang dialami pasien sudah sejak tiga bulan yang lalu, tetapi

pasien baru berobat akhir-akhir ini. Ini bisa menunjukkan bahwa pasien

tidak merasakan nyeri atau sakit akibat luka yang ada. Dengan kata lain

pasien mengalami neuropati sehingga tidak merasakan nyeri akibat luka,

padahal luka pasien sangat dalam hingga mencapai tulang. Neuropati yang

terjadi pada pasien bisa merupakan patogenesis dari ulkus diabetikum pada

pasien diabetes (Sudoyo, et al,. 2009).

Atrofi otot

Perkembangan otot atau besarnya otot pada manusia akan stabil

sesuai dengan aktivitas yang dilakukannya. Apabila seseorang

melakukakan aktivitas yang lebih berat maka otot akan mengalami

hipertrofi secara fisiologisnya sehingga berkembang menjadi lebih besar

sesuai dengan beban kerja yang diberikan kepadanya. Atrofi adalah suatu

bentuk adaptasi yang ditandai dengan berkurangnya ukuran sel jaringan

atau organ tubuh karena peningkatan hilangnya sel dan akhirnya

menyebabkan ukuran organ mengecil dan jaringan menipis.

Atrofi yang disebabkan karena otot jsudah jarang digunakan dapat

disembuhkan dengan cara olahraga.

Page 8: Laporan Skenario 3

Interpretasi dari pemeriksaan vital sign

Tekanan darah, frekuensi pernafasan, denyut nadi masih berada

pada rentang orang normal, sedangkan temperaturnya (38,2˚C) sudah

lumayan tinggi karena pasien mengalami demam, sehingga bisa

dipastikan jika ada kenaikan pada temperatur tubuh.

Pemeriksaan penunjang yang diperlukan pasien

Pemeriksaan penunjang diperlukan pasien untuk menegakkan

diagnosis dari diagnosis banding yang ada. Pada pasien dalam skenario,

pemeriksaan penunjang yang diperlukan yaitu :

1) Tes laboratorium A. Tes darah : untuk memperlihatkan leukosit dan peningkatan laju

endap darah B. Kultur darah dan kultur abses diperlukan untuk menentukan jenis

antibiotik yang sesuai 2) Pemeriksaan radiologik

A. Sinar x Pada fase akut : hanya menunjukkan pembengkakan

jaringan lunak Pada fase lesonik : terlihat pembengkakan lebih besar,

kavitas ireguler, peningkatan periosteum B. MRI

Dapat membantu diagnosis definitif awal

Pemeriksaan pada arteri dorsalis pedis serta interpretasinya

Untuk mendiagnosis adanya kelainan vaskuler pada pembuluh

darah perifer, maka dilakukan pemeriksaan inspeksi pada kulit pasien,

adakah perubahan warna dan suhu kulit regional, kemudian melakukan

pengukuran tekanan darah, juga dengan meraba arteri dorsalis pedis dan

arteri tibialis posterior yang normalnya dapat teraba, hanya pada 10 %

orang tidak teraba dengan jelas.

Ketika melakukan pemeriksaan kelainan vaskular pada kaki, harus

dilakukan palpasi pada arteri dorsalis pedis untuk menilai adanya pulsasi

atau tidak. Pada pemeriksaan vaskular, pengukuran ankle brachial

Page 9: Laporan Skenario 3

index (ABI)  juga dianjurkan untuk melihat adanya sumbatan pada arteri

perifer. Pengukuran ABI dilakukan dengan cara mengukur tekanan sistolik

pada kaki (arteri dorsalis pedis atau arteri tibialis posterior) dibandingkan

dengan tekanan sistolik pada arteri brachialis. Jika terdapat kecurigaan

yang tinggi terhadap adanya penyakit vaskular, pasien harus dianjurkan

untuk melakukan pemeriksaan vascular imaging untuk melihat adanya

kemungkinan terjadinya iskemia

4. Langkah IV: Menginventarisasi permasalahan secara

sistematis

5. Langkah V: Merumuskan tujuan pembelajaran

Adapun tujuan pembelajaran yang harus kami capai

pada diskusi tutorial sesi kedua, di mana pada diskusi

tutorial sesi pertama masih terdapat beberapa konsep

yang belum kami ketahui, diantaranya:

1. Bagaimana mekanisme terjadinya atrofi?

Page 10: Laporan Skenario 3

2. Bagaimana interpretasi pemeriksaan fisik dan hubungan dengan keluhan

pasien?

3. Apa dasar dilakukan wound toilet dan dressing, bagaimana prosedurnya?

4. Apa jenis antibiotik dan antipiretik untuk pasien?

5. Mengapa pasien dirujuk ke bagian penyakit dalam dan bedah?

6. Apa saja diagnosis banding pada kasus tersebut?

7. Bagaimana proses terjainya luka dan penyembuhan luka?

6. Langkah VI: Mengumpulkan Informasi

Masing-masing anggota kelompok mencari dan

mengumpulkan informasi mengenai learning objective

yang telah disepakati secara individu diluar waktu diskusi

tutorial.

7. Langkah VII: Melaporkan, membahas, dan menata

informasi.

Dalam penyusunan langkah VII disesuaikan dengan

skema pada langkah IV dan langkah V.

MEKANISME ATROFI OTOT

Pada keadaan fisiologis, contohnya adalah uterus

mengalami atrofi setelah melahirkan.

Jika suatu otot tidak digunakan, maka kandungan aktin

dan miosinnya berkurang, seratnya menjadi lebih kecil dan

karenanya menjadi atrofi dan lebih lemah. Atrofi otot dapat

terjadi melalui dua cara,

1. Disuse atrophy

Terjadi ketika suatu otot tidak digunakan dalam waktu

lama meskipun persyarafannya utuh, seperti ketika

seseorang harus memakai gips atau penyangga, atau

bed rest jangka panjang.

Page 11: Laporan Skenario 3

2. Atrofi denervasi

Terjadi setelah persarafan ke suatu otot terputus. Jika

otot dirangsang secara elektris, sampai persyarafan

pulih, seperti pada regenerasi syaraf perifer yang putus,

maka atrofi dapat dikurangi tetapi tidak dapat dicegah

secara total.

Fator yang memicu atrofi otot

1. Berkurangnya beban kerja

Otot terbiasa untuk berkontraksi ketika digunakan. Pada

kontraksi sendiri memerlukan proses pengolahan energi

dan penggunaan energi. Ketika otot tidak digunakan

dalam jangka waktu yang lama, maka kandungan aktin

dan miosin nya berkurang karena selain tidak ada siklus

energi di dalam kontraksi otot, otot sendiri akan

terbiasa menggunakan sedikit aktin dan miosin

sehingga ketika komponen-komponen kontraksi

berkurang, maka serat otot menjadi lebih kecil. Akhirnya

terjadi atrofi.

2. Hilangnya inervasi

Apabila inervasi otot berkurag/ hilang/terputus, maka

impuls yang diterima akan berkurang, jika impuls

berkurang, maka gerak motorik otot sebagai efektor

pun berkurang. Apabila impuls berkurang, maka

penerusan impuls ke otak pun berkurang, maka efektor

motorikpun juga berkurang, apabila efektor motorik

berkurang, maka gerakan juga berkurang, sehingga

memicu atrofi otot.

3. Atrofi akibat tekanan pada vaskuler dan jaringan.

Page 12: Laporan Skenario 3

Apabila bedrest / tubuh berada pada posisi yang sama /

tidak berubah dalam jangka waktu lama, akan ada

tekanan pada suatu aspek tubuh tertentu, tekanan

tersebut akan menekan pembuluh darah, syaraf, dan

jaringan pada lokasi tersebut. Sehingga jika ada

tekanan tersebut bisa menyebabkan berkurangnya

vaskularisasi dan menyebabkan jaringan tidak bisa

bekerja secara maksimal. Apabila vaskularisasi

berkurang, maka suplai oksigen dan suplai nutrisi juga

berkurang

Apabila suplai oksigen dan suplai nutrisi berkurang pada

suatu jaringan, maka kerja jaringan tersebut akan

berkurang dan jaringan tersebut akan mengecil karena

tidak mendapatkan suplai yang cukup dan kurangnya

kontraksi yang biasanya dilakukan secara normal.

4. Berkurangnya sel darah / vaskularisasi terganggu

5. Nutrisi tidak adekuat

6. Hilangnya rangsang endokrin

INTERPRETASI PEMERIKSAAN FISIK

1. Pada plantar pedis ditemukan luka berbentuk iireguler ukuran 2x3 cm

tepi tidak beraturan, dasarnya tampak jaringan tulang, edema, dan

eritem di sekitar luka, ditemukan discharge, denyut arteri dorsalis

pedis teraba

Luka berbentuk ireguler : pada kasus ini menandakan luka tersebut

sering digerakkan (karena plantar pedis digunakan untuk berjalan )

sehingga terjadi gesekan luka dengan benda lain.

Dasar tampak jaringan tulang : luka dalam, terjadi infeksi

berkelanjutan. Bisa karena faktor penyakit yang mendukung terjadinya

luka yang menyebabkan jaringan tulang terlihat.

Page 13: Laporan Skenario 3

Edema : terjadinya edema di sekitar luka menandakan terjadinya

inflamasi lokal.

Ditemukan discharge : terdapat pus, debris-debris akibat infeksi.

2. Pada sekitar sacrum tampak luka berbentuk jaringan oval , ukuran 3x4

cm tepi tidak beraturan, dasar luka berupa jaringan otot.

Jaringan berbentuk oval : pada luka yang berbentuk (membentuk pola

oval) , pada kasus pasien ini, menandakan luka akibat tekanan dan

jarang digerakkan sehingga bentuk menetap (oval) dan tidak berubah.

Tepi ireguler : pada tepi yang ireguler menandakan pada kasus ini,

sering terjadi gesekan antara tepian luka dengan benda lain.

Dasar luka berupa jaringan otot : luka tersebut dalam. Apabila terjadi

akibat tekanan, berarti luka akibat tekanan tersebut terjadi dalam waktu

yang panjang.

3. Pada regio calcaaneus dexter sinister ditemukan luka berbentuk

ireguler ukuran 0.5x1cm. tepi tidak beraturan. Dasarnya tampak

jaringan tulang, edema dan eritem di sekitar luka.

Luka berbentuk ireguler : pada kasus ini menandakan luka tersebut

sering bergesekan dengan benda lain.

Tepi ireguler : pada tepi yang ireguler menandakan pada kasus ini,

sering terjadi gesekan antara tepian luka dengan benda lain.

Dasar tampak jaringan tulang : luka dalam, terjadi infeksi

berkelanjutan. Bisa karena faktor penyakit yang mendukung terjadinya

luka yang menyebabkan jaringan tulang terlihat.

Edema : terjadinya edema di sekitar luka menandakan terjadinya

inflamasi lokal.

Ditemukan discharge : terdapat pus, debris-debris akibat infeksi.

DASAR DILAKUKANNYA WOUND TOILET DAN

DRESSING

Luka-luka yang harus diperhatikan

Page 14: Laporan Skenario 3

1. Luka yang terjadi pada 6 jam pertama.

2. Luka yang terjadi dengan infeksi lokal/ sistemik.

3. Luka yang terjadi lebih dari 48 jam, tanpa tanda-tanda

infeksi lokal/ sistemik

4. Luka yang memiliki banyak jaringan mati yang muncul

pada 6-48 jam setelah luka. Tanpa tanda-tanda infeksi

Pada kasus ini, wound toilet berfungsi untuk

membersihkan pus, membersihkan jaringan di sekitar luka

yang dikhawatirkan terdapat bakteri dan kuman di

dalamnya, membersihkan jaringan yang telah mati, dan

menghindarkan luka dari infeksi lanjutan. Dilakukan juga

pelembaban jaringan sekitar agar jaringan baru cepat

tumbuh.

Dilakukan dressing untuk membuat keadaan lembab

(keadaan ideal jaringan baru untuk tumbuh) sehingga

jaringan baru bisa lebih cepat tumbuh. Dressing juga

dilakukan untuk menutup luka untuk menghindarkan luka

dari terpapar bakteri, kuman, sehingga luka tidak

mengalami infeksi lanjutan.

Pada wound toilet dilakukan :

- debridement : yang berfungsi untuk membersihkan

luka dari benda-benda asing secara berulang sampai

luka bersih

- moist wound bed : yang berfungsi untuk membuat

keadaan luka menjadi lembab.

- Prevent further injury : yang berfungsi untuk

menghindari terbentuknya luka baru

Page 15: Laporan Skenario 3

- Terapi nutrisi : diberikan nutrisi yang adekuat agar

mempercepat pembentukan jaringan baru.

- Mengobati penyakit yang mendasari luka.

- Work with the law of nature : membuat suasana

penyembuhan luka menjadi ideal

ANTIBIOTIK DAN ANTIPIRETIK UNTUK PASIEN

Antibiotik

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penatalaksanaan

osteomyelitis adalah pemilihan antibiotik yang optimal, dosis yang

adekuat, dan lama pemberian antibiotik yang cukup disertai monitoring

respon klinis maupun toksisitas yang mungkin terjadi. Pemberian

antibiotik dilakukan setelah pengambilan sampel darah dan aspirat tulang

untuk dikultur. Pertama, pilih satu atau lebih antibiotik dengan spektrum

terhadap patogen yang umum ditemui. Pilihan ini biasanya adalah

antibiotik untuk staphylococcus, yaitu nafcillin, vankomisin, klindamisin,

dan cefazolin. (Kalyoussef, 2008)

Vankomisin diberikan sebagai alternatif selain klindamisin untuk

terapi empiris pada pasien yang tinggal di daerah dengan insidensi tinggi

resistensi pada infeksi Streptococcus pneumoniae dan Staphylococcus

aureus. Laporan resistensi ini menngkat di seluruh dunia. (Kalyoussef,

2008)

Meskipun infeksi Haemophilus influenzae tipe B (Hib) dsudah

tidak ada lagi pada populasi yang kebal terhadap Hib, sefalosporin

generasi ketiga (contohnya, Cefotaxime dan Ceftriaxone) masih digunakan

sebagai tambahan atas nafcillin atau klindamisin. Terapi tambahan ini

sering digunakan pada anak-anak berusia kurang dari 3 tahun. Jangan

menggunakan sefalosporin generasi ketiga  saja  untuk terapi osteomyelitis

karena tidak optimal dalam membasmi infeksi S. aureus. Cefuroxime,

yaitu sefalosporin generasi kedua, dapat digunakan sebagai agen tunggal

terhadap S. aureus yang sensitif methicillin dan Hib. (Kalyoussef, 2008)

Page 16: Laporan Skenario 3

Meningkatnya insidensi S. pneumoniae yang resisten penisillin

mengharuskan penggunaan klindamisin bersama cefotaxime/ceftriaxone

pada bayi dan anak-anak. Ketika memberikan terapi terhadap

osteomyelitis pada anak-anak, kombinasi nafcillin dan tobramycin atau

nafcillin dan cefotaxime dapat digunakan untuk infeksi bakteri dari famili

Enterobacteriaceae sebagai tambahan infeksi dari B. streptococci dan S.

aureus. Pada anak-anak dan remaja dengan trauma penetratif pada kaki,

dapat dilakukan debridemen sebelum pemberian terapi antipseudomonas.

(Kalyoussef, 2008)

Aspirasi tulang penting untuk mengenali jenis patogen. Biopsi

tulang dilakukan jika ada kemungkinan diagnosis lain (contohnya, tumor).

Aspirasi sendi direkomendasikan jika gejala dan tanda menunjukkan

kelainan di dekat sendi bahu atau panggul. Hal ini penting karena

arthrotomi diindikasikan terdapat bukti arthritis bahu ataupun panggul.

Jika gejala dan tanda tidak berkurang dalam 48-72 jam dari pemberian

awal antibiotik, maka aspirasi tulang diulang kembali untuk mengalirkan

pus keluar. (Kalyoussef, 2008 dan Khoshhal, 2008)

Antipiretik

Obat-obatan yang dipakai dalam mengatasi demam (antipiretik)

adalah parasetamol (asetaminofen) tidak dianjurkan dikarenakan oleh

fungsi antikoagulan dan resiko dan ibuprofen. Parasetamol cepat

bereaksi dalam menurunkan panas sedangkan ibuprofen memiliki efek

kerja yang lama (Graneto, 2010).

Demam merupakan mekanisme pertahanan diri atau reaksi

fisiologis terhadap perubahan titik patokan di hipotalamus.

Penatalaksanaan demam bertujuan untuk merendahkan suhu tubuh

yang terlalu tinggi bukan untuk menghilangkan demam.

Penatalaksanaan demam dapat dibagi menjadi dua garis besar yaitu:

non-farmakologi dan farmakologi. Akan tetapi, diperlukan penanganan

Page 17: Laporan Skenario 3

demam secara langsung oleh dokter apabila penderita dengan umur <3

bulan dengan suhu rektal >38°C, penderita dengan umur 3-12 bulan

dengan suhu >39°C, penderita dengan suhu >40,5°C, dan demam

dengan suhu yang tidak turun dalam 48-72 jam (Kaneshiro & Zieve,

2010)

Adapun yang termasuk dalam terapi non-farmakologi dari

penatalaksanaan demam:

1. Pemberian cairan dalam jumlah banyak untuk mencegah dehidrasi

dan beristirahat yang cukup.

2. Tidak memberikan penderita pakaian panas yang berlebihan pada

saat menggigil. Kita lepaskan pakaian dan selimut yang terlalu

berlebihan. Memakai satu lapis pakaian dan satu lapis selimut

sudah dapat memberikan rasa nyaman kepada penderita.

3. Memberikan kompres hangat pada penderita. Pemberian kompres

hangat efektif terutama setelah pemberian obat. Jangan berikan

kompres dingin karena akan menyebabkan keadaan menggigil dan

meningkatkan kembali suhu inti (Kaneshiro & Zieve, 2010).

DIAGNOSIS BANDING

ULKUS DEKUBITUS

Ulkus Dekubitus (Luka akibat penekanan, Ulkus kulit, Bedsores)

adalah kerusakan kulit yang terjadi akibat kekurangan aliran darah dan

iritasi pada kulit yang menutupi tulang yang menonjol, dimana kulit

tersebut mendapatkan tekanan dari tempat tidur, kursi roda, gips,

pembidaian atau benda keras lainnya dalam jangka panjang.

Dekubitus adalah kerusakan atau kematian kulit sampai jaringan

dibawah kulit, bahkan menembus otot sampai mengenai tulang akibat

adanya penekanan pada suatu area secara terus-menerus sehingga

mengakibtakan ganguan sirkulasi darah setempat (Hidayat,2009).

Etiologi

Page 18: Laporan Skenario 3

Primer : Iskemia, tekanan intraokuler dan suprakapiler, dan dilatasi

pembuluh darah. Sekunder : Gangguan saraf vasomotorik, sensorik dan

motorik, malnutrisi, anemia,demam, infeksi, hygine yg buruk,

kemunduran mental dan penurunan kesadaran.

Faktor Resiko

Luka Dekubitus disebabkan oleh kombinasi dari faktor ekstrinsik dan

intrinsik pada pasien.

a. Faktor Ekstrinsik

1. Tekanan : kulit dan jaringan dibawahnya tertekan antara tulang dengan

permukaan keras lainnya, seperti tempat tidur dan meja operasi.

Tekanan ringan dalam waktu yang lama sama bahayanya dengan

tekanan besar dalam waktu singkat. Terjadi gangguan mikrosirkulasi

lokal kemudian menyebabkan hipoksi dan nekrosis. tekanan antar muka

( interface pressure). Tekanan antar muka adalah kekuatan per unit area

antara tubuh dengan permukaan matras. Apabila tekanan antar muka

lebih besar daripada tekanan kapiler rata rata, maka pembuluh darah

kapiler akan mudah kolap, daerah tersebut menjadi lebih mudah untuk

terjadinya iskemia dan nekrotik. Tekanan kapiler rata rata adalah sekitar

32 mmHg.

2. Gesekan dan pergeseran : gesekan berulang akan menyebabkan abrasi

sehingga integritas jaringan rusak. Kulit mengalami regangan, lapisan

kulit bergeser terjadi gangguan mikrosirkulasi lokal.

3. Kelembaban : akan menyebabkan maserasi, biasanya akibat

inkontinensia, drain dan keringat. Jaringan yang mengalami maserasi

akan mudah mengalami erosi. Selain itu kelembapan juga

mengakibatkan kulit mudah terkena pergesekan (friction) dan

perobekan jaringan (shear). Inkontinensia alvi lebih signifikan dalam

perkembangan luka tekan daripada inkontinensia urin karena adanya

bakteri dan enzim pada feses dapat merusak permukaan kulit.

4. Kebersihan tempat tidur, alat-alat tenun yang kusut dan kotor, atau

Page 19: Laporan Skenario 3

peralatan medik yang menyebabkan klien terfiksasi pada suatu sikap

tertentu juga memudahkan terjadinya dekubitus.

b. Faktor Intrinsik

1. Usia : pada usia lanjut akan terjadi penurunan elastisitas dan

vaskularisasi. Pasien yang sudah tua memiliki resiko yang tinggi untuk

terkena luka tekan karena kulit dan jaringan akan berubah seiring

dengan penuaan. Penuaan mengakibatkan kehilangan otot, penurunan

kadar serum albumin, penurunan respon inflamatori, penurunan

elastisitas kulit, serta penurunan kohesi antara epidermis dan dermis.

Perubahan ini berkombinasi dengan faktor penuaan lain akan membuat

kulit menjadi berkurang toleransinya terhadap tekanan, pergesekan, dan

tenaga yang merobek. Selain itu, akibat dari penuaan adalah

berkurangnya jaringan lemak subkutan, berkurangnya jaringan kolagen

dan elastin. menurunnya efesiensi kolateral kapiler pada kulit sehingga

kulit menjadi lebih tipis dan rapuh.

2. Penurunan sensori persepsi : Pasien dengan penurunan sensori persepsi

akan mengalami penurunan untuk merasakan sensari nyeri akibat

tekanan diatas tulang yang menonjol. Bila ini terjadi dalam durasi yang

lama, pasien akan mudah terkena luka tekan. karena nyeri merupakan

suatu tanda yang secara normal mendorong seseorang untuk bergerak.

Kerusakan saraf (misalnya akibat cedera, stroke, diabetes) dan koma

bisa menyebabkan berkurangnya kemampuan untuk merasakan nyeri.

3. Penurunan kesadaran : gangguan neurologis, trauma, analgetik narkotik.

4. Malnutrisi : Orang-orang yang mengalami kekurangan gizi (malnutrisi)

tidak memiliki lapisan lemak sebagai pelindung dan kulitnya tidak

mengalami pemulihan sempurna karena kekurangan zat-zat gizi yang

penting.

Karena itu klien malnutrisi juga memiliki resiko tinggi menderita ulkus

dekubitus. Selain itu, malnutrisi dapat gangguan penyembuhan luka.

Biasanya berhubungan dengan hipoalbumin. Hipoalbuminemia,

kehilangan berat badan, dan malnutrisi umumnya diidentifikasi sebagai

Page 20: Laporan Skenario 3

faktor predisposisi untuk terjadinya luka tekan. Menurut penelitian

Guenter (2000) stadium tiga dan empat dari luka tekan pada orang tua

berhubungan dengan penurunan berat badan, rendahnya kadar albumin,

dan intake makanan yang tidak mencukupi.

5. Mobilitas dan aktivitas : Mobilitas adalah kemampuan untuk

mengubah dan mengontrol posisi tubuh, sedangkan aktivitas adalah

kemampuan untuk berpindah. Pasien yang berbaring terus menerus

ditempat tidur tanpa mampu untuk merubah posisi beresiko tinggi

untuk terkena luka tekan. Orang-orang yang tidak dapat bergerak

(misalnya lumpuh, sangat lemah, dipasung). Imobilitas adalah faktor

yang paling signifikan dalam kejadian luka tekan.

6. Merokok : Nikotin yang terdapat pada rokok dapat menurunkan aliran

darah dan memiliki efek toksik terhadap endotelium pembuluh darah.

Menurut hasil penelitian Suriadi (2002) ada hubungaan yang signifikan

antara merokok dengan perkembangan terhadap luka tekan.

7. Temperatur kulit : Menurut hasil penelitian Sugama (1992) peningkatan

temperatur merupakan faktor yang signifikan dengan resiko terjadinya

luka tekan.

8. Kemampuan sistem kardiovaskuler menurun, sehingga perfusi kulit

menurun.

9. Anemia

10. Hipoalbuminemia, beresiko tinggi terkena dekubitus dan

memperlambat penyembuhannya.

11. Penyakit-penyakit yang merusak pembuluh darah juga mempermudah

terkena dekubitus dan memperburuk dekubitus.

Stadium luka tekan

Menurut NPUAP ( National Pressure Ulcer Advisory Panel ), luka

tekan dibagi menjadi empat stadium ,yaitu :

Stadium 1 : Ulserasi terbatas pada epidermis dan dermis dengan eritema

pada kulit. Penderita dengan sensibilitas baik akan mengeluh nyeri,

stadium ini biasanya reversible dan dapat sembuh dalam 5-10 hari.

Page 21: Laporan Skenario 3

Stadium 2 : Ulserasi mengenai dermis, epidermis dan meluas ke jaringan

adiposa terlihat eritema dan indurasi serta kerusakan kulit partial

(epidermis dan sebagian dermis) ditandai dengan adanya lecet dan lepuh .

Stadium ini dapat sembuh dalam 10-15 hari.

Stadium 3 : Ulserasi meluas sampai ke lapisan lemak subkulit dan otot

sudah mulai terganggu dengan adanya edema dan inflamasi, infeksi akan

hilang struktur fibril. Kerusakan seluruh lapisan kulit sampai subkutis,

tidak melewati fascia. Biasanya sembuh dalam 3-8 minggu.

Stadium 4 : Ulserasi dan nekrosis meluas mengenai fasia,otot serta sendi.

Dapat sembuh dalam 3-6 bulan.

Manifestasi klinis

Stadium 1 : Ulserasi terbatas pada epidermis. Adanya

eritema/kemerahan pada kulit setempat yang menetap, atau bila ditekan

dengan jari, tanda eritema tidak kembali putih. Penderita dengan

sensibilitas baik akan mengeluh nyeri. Adanya perubahan temperatur kulit

(lebih dingin/lebih hangat), perubahan konsistensi jaringan (lebih

keras/lunak). Eritema ini akan sembuh dalam 5-10 hari.

Stadium 2 : Adanya kerusakan pada epitel kulit yaitu lapisan epidermis

dan dermis. Kemudian ditandai dengan adanya luka lecet atau melepuh.

Biasanya akan sembuh dalam 10-15 hari.

Stadium 3 : kerusakan pada semua lapisan kulit atau sampai jaringan

subkutis dan mengalami nekrosis dengan tanpa kapasitas yang dalam.

Adanya edema, inflamasi, infeksi dan hilangnya struktur fibril. Tepi ulkus

tidak teratur dan terlihat hiper/hipopigmentasi dengan fibrosis. Biasanya

sembuh 3-8 minggu.

Stadium 4 : adanya kerusakan pada ketebalan kulit dan nekrosis

hingga jaringan bahkan tulang atau tendon dengan kapasitas yang dalam.

Biasanya sembuh dalam 3-6 bulan. Purulen, bau, busuk, sepsis

Pemeriksaan

Page 22: Laporan Skenario 3

Kultur dan analisis urin: Kultur ini dibutuhakan pada keadaan

inkontinensia untuk melihat apakah ada masalah pada ginjal atau infeksi

saluran kencing, terutama pada trauma medula spinalis.

Kultur Tinja: Pemeriksaan ini perlu pada keadaan inkontinesia alvi untuk

melihat leukosit dan toksin Clostridium difficile ketika terjadi

pseudomembranous colitis.

Biopsi: Biopsi penting pada keadaan luka yang tidak mengalami perbaikan

dengan pengobatan yang intensif atau pada ulkus dekubitus kronik untuk

melihat apakah terjadi proses yang mengarah pada keganasan. Selain itu,

biopsi bertujuan untuk melihat jenis bakteri yang menginfeksi ulkus

dekubitus. Biopsi tulang perlu dilakukan bila terjadi osteomyelitis.

Pemeriksaan Darah: Untuk melihat reaksi inflamasi yang terjadi perlu

diperiksa sel darah putih dan laju endap darah. Kultur darah dibutuhkan

jika terjadi bakteremia dan sepsis.

Keadaan Nutrisi: Pemeriksaan keadaan nutrisi pada penderita penting

untuk proses penyembuhan ulkus dekubitus. Hal yang perlu diperiksa

adalah albumin level, prealbumin level, transferrin level, dan serum

protein level.

Radiologis: Pemeriksaan radiologi untuk melihat adanya kerusakan tulang

akibat osteomyelitis. Pemeriksaan dapat dilakukan dengan sinar-X,scan

tulang atau MRI.

ULKUS DIABETIKUM

Ulkus diabetikum merupakan komplikasi yang terjadi pada pasien

DM yang diakibatkan karena kadar gula darah yang tidak terkontrol

sehingga terjadi hiperglikemia.

Hiperglikemia yang terjadi pada pasien DM bisa terjadi karena

intake karbohidrat yang berlebihan, pemakaian glukosa yang kurang,

Page 23: Laporan Skenario 3

produksi glukosa hati yang berlebihan, serta insulin yang menurun baik

jumlah maupun kerjanya.

Patofisiologi

Diawali karena hiperglikemia, yang menyebabkan kelainan

neuropati dan angiopati. Neuropati berakibat pada perubahan kulit dan otot

sehingga distribusi tekanan pada telapak kaki berubah. Hal ini akan

mempermudah terjadinya ulkus pada daerah tungkai bawah. Infeksi akan

cepat menyebar luas ke daerah sekitarnya karena terdapat kerentanan

terhadap infeksi, apalagi jika vaskularisasinya buruk (Sudoyo, et al,.

2009).

Penyakit Kaki Diabetes atau ulkus diabetikum pada kaki

mempunyai banyak pengklasifikasian. Diantaranya ada klasisfikasi

Edmon’s dari King’s college hospital London, klasifikasi Liverpool,

klasifikasi Wagner, klasifikasi Texas, hingga klasifikasi mutakhir oleh

International Working Group on Diabetic Foot yaitu klasifikasi PEDIS

2003.

Klasifikasi

Klasifikasi Edmons 2004 berdasarkan perjalanan alamiah ulkus

pada kaki, yaitu: Stage 1 (normal foot), Stage 2 (high risk foot), Stage 3

(ulcerated foot), Stage 4 (infected foot), Stage 5 (necrotic foot), Stage 6

(unsalvable foot). Untuk stage 1 dan 2 dilakukan pencegahan primer agak

tidak terjadi ulkus, sementara untuk stage 3 dan 4 sudah memerlukan

pelayanan spesialistik dan untuk stage 5 dan 6 memerlukan perawatan

rawat inap.

Untuk klasifikasi Texas, klasifikasi Liverpool, klasifikasi Wagner,

dan klasifikasi PEDIS dapat dilihat pada tabel dibawah.

Klasifikasi Liverpool

Klasifikasi primer - Vaskular,

- Neuropati

- Neuroiskemik

Page 24: Laporan Skenario 3

Klasifikasi sekunder - Tukak sederhana, tanpa

komplikasi

- Tukak dengan komplikasi

Klasifikasi Texas

Stadium Tingkat

0 1 2 3

A Tanpa

tukak/pasca

tukak, kulit intak

Luka superficial,

tidak sampai

tendon atau

kapsul sendi

Luka sampai

tendon atau

kapsul sendi

Luka sampai

tulang/ sendi

B Dengan Infeksi

C Dengan Iskemi

D Dengan Infeksi dan Iskemi

Klasifikasi Wagner (saat ini masih banyak dipakai)

0 Kulit intak/ utuh

1 Tukak superficial

2 Tukak dalam (sampai tendo, tulang)

3 Tukak dalam dengan infeksi

4 Tukak dengan gangrene pada 1-2 jari kaki

5 Tukak dengan gangrene luas pada seluruh kaki

Klasifikasi PEDIS International Consensus on the Diabetic Foot 2003

Impaired

Perfusion

1 = None

2 = PAD + but not critical

3 = Critical Limb Ischemia

Page 25: Laporan Skenario 3

Extent in

mm3

Depth

1 = superficial fulthickness, not deeper than dermis

2= deep ulcer, below dermis, involving subcutaneous

structures, fascia, muscle, or tendon.

3All subsequent layers of the foot involved including bone

and or joint

Infection

1 = no symptoms or signs of infection

2 = infection of skin and subcutaneous tissue only

3= Erythema > 2 cm, or infection involving subcutaneous

structures,no systemic signs of inflammatory response

4

Infection with systemic manifestation: Fever,

leukocytosis, shift to the left, metabolic instability,

hypotension, azotemia.

Impaired

Sensation

1 = Absent

2 = Present

Dengan klasifikasi PEDIS bisa ditentukan kelainan apa yang lebih

dominan, vascular, infeksi, atau neuropatik. Misalnya pada critical limb

ischemia (P3) lebih memerlukan tindakan untuk memperbaiki keadaan

vaskularnya dahulu. Sebaliknya, kalau faktor infeksi menonjol (I4), tentu

harus diberikan antibiotic yang adekuat, Demikian juga, jika faktor

mekanik dominan (insensitive foot, S2), maka koreksi untuk mengurangi

tekanan plantar harus diutamakan.

Tatalaksana dan pengelolaan ulkus diabetikum

Pada kaki dilakukan dengan cara primer, maupun cara sekunder.

Cara primer digunakan untk mencegah pasien DM agar tidak mengalami

ulkus pada kaki, smentara cara sekunder, ditujukan untuk mencegah dan

mengelola ulkus yang ada agar tidak bertambah parah dan menyebabkan

kecacatan.

Page 26: Laporan Skenario 3

Cara primer dilakukan dengan memeriksa jenis kaki pasien DM

berdasarkan klasifikasi Frykberg sebagai berikut.

1. Sensasi normal tanpa deformitas

2. Sensasi normal dengan deformitas/ tekanan plantar tinggi

3. Insensitivitas tanpa deformitas

4. Iskemia tanpa deformitas

5. Complicated/ kombinasi:

a. Kombinasi insensitivitas, iskemi, dan/atau deformitas

b. Riwayat adanya tukak, deformitas Charcot

Pengelolaan ulkus dengan cara primer ditujukan untuk mencegah

terjadinyaulkus, disesuaikan dengan risiko kaki. Sebagi contoh, pasien

dengan kategori 3 dan 5, diperlukan alas kaki yang bisa melindungi kaki

yang kurang merasa/ insensitivitas. Kalau sudah ada deformitas (2 dan 5),

maka diberikan alas untuk membantu meratakan penyebaran tekanan pada

kaki.

Untuk kasus dengan risiko 4 (permasalahan vaskular), latihan kaki

perlu diperhatikan untuk memperbaiki vaskularisasi kaki. Untuk ulkus

yang complicated, maka pengelolaan ditujukan untuk menyelamatkan kaki

agar tidak menyebabkan kecacatan dan dilakukan dengan cara sekunder.

Pengelolaan ulkus dengan cara sekunder didasarkan pada beberapa

faktor, yaitu 1) mechanical control-pressure control, 2)wound control,

3)microbiological control-infection control, 4)vascular control,

5)metabolic control, 6)educational control.

Mechanical control-pressure control

Prinsipnya adalah menghindarkan daerah luka dari tekanan karena luka

yang sering mendapat tekanan akan sulit sembuh, apalagi di daerah

plantar (luka Charcot). Hal ini bisa dilakukan dengan memberikan

orthesis pada yang sesuai pada pasien, atau bahkan dengan

pembedahan (surgical) untuk mengurangi tekanan; 1)Dekompresi

Page 27: Laporan Skenario 3

ulkus dengan insisi ulkus, dan 2)bedah untuk mengoreksi suatu

kelainan, misalnya operasi untuk hammer toe, metatarsal head

resection, Achilles tendon lengthening, partial calcanectomy.

Wound control

Granulasi dan epitelisasi tidak akan terbentuk jika masih terdapat

inflamasi pada luka sehingga evaluasi luka harus dilakukan dengan

cermat dengan melakukan debridement yang adekuat, wound toilet

serta dressing (pembalutan) yang baik. Untuk mengurangi mikroba

pada luka, bisa digunakan iodine encer dan cairan salin.

Microbiological control-infection control

Pasien diberikan antibiotik yang disesuaikan dengan hasilkultur

bakteri. Biasanya infeksi yang terjadi pada ulkus diabetikum adalah

polimikrobial (campuran gram +, gram -, dan kuman anaerob untuk

luka yang dalam dan berbau) sehingga biasanya diberikan antibiotic

broad spectrum terlebih dahulu. Sefalosporin untuk bakteri gram + dan

gram -, sementara untuk kuman anaerob diberikan metronidazol.

Vascular control

Tujuannya untuk mengontrol kelainan vaskular jika ada melalui

pemeriksaan non-invasif, invasif,dan semi-invasif. Selain itu,

dilakukan modifikasi faktor risiko, yaitu pasien tidak merokok,

menjalani walking program dengan bantuan dokter rehabilitasi medik,

serta memperbaiki faktor risiko terkait aterosklerosis seperti

hiperglikemia, hipertensi, dan dislipedemia.

Jika kesembuhan luka pasien jelek atau ada klaudikasio intermitten,

maka dilakukan revaskularisasi. Sebelum dilakukan operasi untuk

revaskularisasi dilakukan pemeriksaan arteriografi untuk mendapatkan

gambaran pembuluh darah yang jelas, serta dilakukan terapi adjuvant/

terapi hiperbarik untuk memperbaiki vaskularisasi dan oksigenasi

jaringan.

Metabolic control

Page 28: Laporan Skenario 3

Tujuannya adalah mengusahakan agar glukosa darah agar masih dalam

batas normal, memperbaiki hiperglikemia agar penyembuhan luka

cepat sembuh. Dilakukan dengan mengontol asupan nutrisi pasien,

bahkan diperlukan insulin eksogen. Selain itu, perlu diperhatikan juga

konsentrasi albumin serum, Hb dan derajat oksigenasi jaringan, serta

fungsi ginjal.

Educational control

Dilakukan dengan memberikan penyuluhan yang baik kepada pasien

tentang penyakitnya. juga edukasi untuk memakai orthesis bagi para

amputee untuk menghindari terjadinya ulkus baru yang biasanya

mempunyai prognosis lebih buruk dari ulkus pertama

OSTEOMYELITIS

Osteomyelitis merupakan suatu infeksi pada celah pertumbuhan

tulang (misalnya metafisis tulang).

Patofisiologi

Bakteri yang paling sering berperan dalam osteomyelitis adalah

Sterptococcus sp, Staphylococcus aureus, dan juga ada bakteri lain seperti

Enterococcus sp, bakteri gram negatif, bakteri anaerob. Bakteri tersebut

dapat masuk ke kulit dan menginfeksi jaringan lunak pada tempat yang

luka atau tidak intact. Karena pada orang dengan diabetes melitus terjadi

angiopathy perifer maka vaskularisasi pada tempat tersebut sangat buruk

sehingga sel-sel fagosit tidak dapat mengenalinya. Oleh sebab itu bakteri

dapat tumbuh dengan subur dan terus merusak jaringan kaki hingga terjadi

ulkus tanpa disadari oleh pasien. Jika hal ini dibiarkan terus menerus maka

ulkus tersebut dapat menmbus hingga ke tulang. Bakteri yang bertemu dan

melekat pada tulang akan mengakibatkan infeksi dan kemungkinan besar

menyebabkan osteomyelitis.

Infeksi pada osteomyelitis dapat terjadi lokal atau dapat menyebar

melalui periosteum, korteks, sumsum tulang, dan jaringan retikular. Jenis

Page 29: Laporan Skenario 3

bakteri bevariasi berdasarkan pada umur pasien dan mekanisme dari

infeksi itu sendiri.

Terdapat dua kategori dari osteomyelitis akut:

a. Hematogenous osteomyelitis

Infeksi disebabkan bakteri melalui darah. Acute hematogenous

osteomyelitis, infeksi akut pada tulang disebabkan bekteri yang berasal

dari sumber infeksi lain. Kondisi ini biasanya terjadi pada anak-anak.

Bagian yang sering terkena infeksi adalah bagian yang sedang bertumbuh

pesat dan bagian yang kaya akan vaskularisasi dari metaphysis. Pembuluh

darah yang membelok dengan sudut yang tajam pada distal metaphysis

membuat aliran darah melambat dan menimbulkan endapan dan trombus,

tulang itu sendiri akan mengalami nekrosis lokal dan akan menjadi tempat

berkembang biaknya bakteri. Mula-mula terdapat fokus infeksi didaerah

metafisis, lalu terjadi hiperemia dan udem. Karena tulang bukan jaringan

yang bisa berekspansi maka tekanan dalam tulang ini menyebabkan nyeri

lokal yang sangat hebat.

Infeksi dapat pecah ke subperiost, kemudian menembus subkutis

dan menyebar menjadi selulitis atau menjalar melalui rongga subperiost

ke diafisis. Infeksi juga dapat pecah kebagian tulang diafisis melalui

kanalis medularis.

Penjalaran subperiostal kearah diafisis akan merusak pembuluh

darah yang kearah diafisis, sehingga menyebabkan nekrosis tulang yang

disebut sekuester. Periost akan membentuk tulang baru yang

menyelubungi tulang baru yang disebut involukrum (pembungkus).

Tulang yang sering terkena adalah tulang panjang yaitu tulang femur,

diikuti oleh tibia, humerus ,radius , ulna, dan fibula.

b. Direct or contigous inoculation osteomyelitis

Disebabkan kontak langsung antara jaringan tulang dengan bakteri,

biasa terjadi karena trauma terbuka dan tindakan pembedahan.

Manisfestasinya terlokalisasi dari pada hematogenous osteomyelitis.

Page 30: Laporan Skenario 3

Apabila bakteri telah mencapai darah dan menyebar lewat darah

kemungkinan dapat menyebabkan pasien mengalami shock septic. Namun

tidak semua bakteri dan pasien mengalami hal ini. Hanya beberapa bakteri

yang memilki superantigen dan dapat mengaktifkan berbagai sitokin tubuh

dalam jumlah yang sangat banyak melebihi normalnya.

Diagnosis

Gejala hematogenous osteomyelitis biasanya berajalan lambat

namun progresif. Direct ostoemyelitis umumnya lebih terlokalisasi dan

jelas.

Gejala pada hematogenous osteomyelitis pada tulang panjang umumnya

adalah:

Demam tinggi mendadak.

Kelelahan.

Iritabilitas.

Malaise.

Terbatasnya gerakan.

Edem lokal yang disertai dengan erytem dan nyeri pada

penekanan.

Pada Kronik osteomyelitis :

Ulkus yang tidak kunjung sembuh.

Drainase saluran sinus.

Kelelahan yang berkepanjangan.

Malaise.

Pada pemeriksaan fisik ditemukan :

Ulkus > 2cm2 dengan kedalaman > 3mm

Tulang dapat terlihat dan dipegang

Demam ( timbul hanya pada 50 % neonatus ).

Edem.

Terasa hangat.

Berfluktuasi.

Nyeri pada palpasi.

Page 31: Laporan Skenario 3

Terbatanya gerakan ekstremitas.

Drainase saluran sinus.

Hasil laboratorium:

Terjadi pergeseran shif kekiri.

CRP meningkat

Peningkatan laju endap darah.

Pemeriksaan MRI, biopsi maupun kultur terlihat adanya

peradangan pada tulang

Untuk menentukan diagnosis dapat digunakan aspirasi,

pemeriksaan sintigrafi, biakan darah dan pemeriksaa pencitraan. Aspirasi

dilakukan untuk memperoleh pus dari subkutis, subperiost, atau lokus

radang dimetafisis. Untuk punksi tersebut digunakan jarum khusus untuk

membor tulang.

Pada sintigrafi dipakai Thenectium 99. sensitivitas pemeriksaan ini

terbatas pada minggu pertama, dan sama sekali tidak spesifik. Pada

minggu kedua gambaran radiologi logis mulai menunjukkan dekstrusi

tulang dan reaktif periostal pembentukkan tulang baru.

MEKANISME TERJADINYA LUKA

Penyebab jejas sel

1. Depresi oksigen

- Hipoksia : defisiensi oksigen mengganggu

respirasi oksidatif dan merupakan penyebab cedera

sel tersering dan terpenting serta menyebabkan

kematian.

- Iskemia : terhentinya suplai darah arteri atau

berkurangnya drainase vena

- Keracunan karbon monoksida (CO) (CO membentuk

ikatan kompleks yang stabil denagn hemoglobin

sehingga menghalangi pengikatan oksigen.

2. Bahan kimia

Page 32: Laporan Skenario 3

Semua bahan kimia dapat menyebabkan jejas, jika

terkonsentrasi cukup banyak cukup banyak akan

merusak keseimbangan lingkungan osmotik sehingga

mencederai atau menyebabkan kematian sel.

3. Agen infeksius : virus, bakteri, cacing, protozoa

4. Reaksi imunologi

Hilangnya toleransi dengan respon terhadap antigen

sendiri merupakan penyebab sejumlah penyakit

autoimun

5. Defek genetik

Beberapa kesalahan metabolisme saat lahir akibat

defisiensi enzimatik kongenital merupakan contoh

kerusakan sel dan jaringan yang disebabkan oleh

perubahan spele yang serigkali terjadi pada DNA.

6. Ketidakseimbangan nutrisi

Defisiensi nutrisi masih merupakan penyebab utama

jejas sel. Nutrisi yang berlebihan juga merupakan

penyebab penting morbiditas dan mortilitas.

7. Agen fisik

Trauma, temperatur yang ekstrem, radiasi, syok

elektrik, dandan perubahan mendadak pada tekanan

atmosfer.

8. Penuaan

Proses penuaan sel instrinsik menimbulkan perubahan

kemampuan perbaikan dan replikasi sel dan jaringan.

Page 33: Laporan Skenario 3

Inflamasi

Inflamasi adalah suatu respon protektif yang ditunjukkan

untuk menghilangkan penyebab awal jejas sel serta

membuang sel dan jaringan nekrotik yang diakibatkan oleh

kerusakan asal.

Proses inflamasi

Page 34: Laporan Skenario 3

Perubahan vaskular dan rekrutmen sel pada inflamasi akut

mengakibatkan panas (kalor), merah (rubor) dan

pembengkakan (tumor). Sedangkan nyeri (dolor) dan

hilangnya fungsi

(functio laesa) terjaki akibat perluasan mediator dan

kerusakan yang diperantarai leukosit.

Inflamasi kroniksebagai

Inflamasi kronik dianggap inflamasi memanjang

( berminggu-minggu, hinga berbulan-blan sampai

bertahun-tahun). Inflamsi kronik ditandai denag

- Infiltrasi sel mononuklear

- Dekstrusi jaringan

- Repair

Page 35: Laporan Skenario 3

PROSES PENYEMBUHAN LUKA

Proses penyembuhan luka terdiri dari 3 fase: fase

inflamasi, fase proliferasi/reepitelisasi, dan fase maturasi.

Pada fase Inflamasi, tubuh mengeluarkan banyak mediator-

mediator inflamasi seperti histamine, leukotriene. Sel-sel

darah putih seperti netrofil, eusinofil, dan monosit,

diketahui juga turut berperan. Keeping darah/ trombosit

juga membentuk koagulasi di daerah luka sehingga luka

bisa berhenti.

Fase kedua, yaitu fase proliferasi/reepitelisasi, terjadi

migrasi keratinosit. Fibroblast juga membentuk sabut-sabut

kolagen baru di daerah bekas luka tersebut, serta

terbentuk angiogenesis baru. Pada fase terakhir yaitu

maturasi, terjadi penguatan dari serabut kolagen yang

telah terbentuk dengan bantuan PDGF dan TGF-β

(www.medicaledu.com).

BAB III

KESIMPULAN

Pada skenario 3, keluhan pasien yaitu ulkus di berbagai

tempat terutama pada ektremitas bawah. Ulkus yang tidak

sembuh ini dapat dikarenakan oleh salah satu faktor resiko

pasien yang memiliki riwayat keluarga sakit gula. Namun, untuk

memastikan diagnosis diperlukan adanya pemeriksaan

penunjang.

Page 36: Laporan Skenario 3

Selain itu, terdapat faktor-faktor lain yang mempengaruhi

diagnosis banding, seperti lokasi nyeri, sejak kapan terjadi nyeri,

adakah trauma, jenis kelamin, aktivitas fisik, dan lain-lain.

Pada kasus ini, dilakukan pemeriksaan fisik untuk

mengetahui keadaan umum keluhan pasien, adakah hal yang

didapatkan pada pemeriksaan fisik yang menjadi penunjuk ke

arah diagnosis pasti . Lalu diperkuat dengan pemeriksaan

penunjang seperti pemeriksaan lab, pemeriksaan foto rontgen,

dan pemeriksaan lainnya. Sehingga didapatkan diagnosis pasti

Berdasarkan hasil diskusi, kami menarik kesimpulan untuk

diagnosis banding yaitu ulkus decubitus, ulkus diabetikum, dan

osteomyielitis berdasarkan keluhan pasien dan pemeriksaan

fisik. Namun kami hanya mampu menentukan diagnosis banding

dan belum berkompeten untuk menegakkan diagnosis

sesungguhnya.

BAB IV

SARAN

Untuk mahasiswa:

Sebaiknya mahasiswa lebih berusaha memahami materi dan

mengumpulkan materi dari sumber serta melakukan

Page 37: Laporan Skenario 3

pemahaman lebih lanjut dan mengkaji sumber tersebut apakaah

informasi yang diberikan sumber tersebut memiliki keterkaitan

dengan learning objecivet yang dibahas. Serta memperbanyak

sumber supaya ada masukan-masukan tambahan sehingga

materi yang di-share oleh mahasiswa menjadi lebih padat dan

lengkap.

Untuk tutor pembimbing:

Tutor pembimbing sudah baik, kompeten, dapat mengarahkan

mahasiswa utuk menuju learning objective yang hendak dicapai

serta memberikan masukan- masukan kekurangan dalam

diskusi. Tutor pembimbing juga mampu memberi dorongan

kepada para mahasiswa untuk saling berpartisipasi dalam

jalannya diskusi sehingga semakin banyak materi dari sumber

yang beragam, membuat materi yang diterima oleh mahasiswa

lebih beragam dan lengkap

DAFTAR PUSTAKA

Page 38: Laporan Skenario 3

Berman A. dkk (2009). Buku Ajar Praktik Keperawatan Klinis Kozier & Erb,

Edisi 5. Jakarta: EGC.

Brunner, Suddarth (2002). Buku ajar Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8.

Jakarta: EGC

Carpenito, Lynda Juall. (1995). Diagnosa Keperawatan Aplikasi pada Praktek

Klinik. Edisi 6, Jakarta : EGC

Corwin E (2007). Buku saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.

Fishman, Tamara D (2013). Phases of Wound Healing.

http://www.medicaledu.com/phases.htm- Diakses oktober 2014

Graneto, JW (2010). Pediatric Fever. Chicago College of Osteopathic Medicine

of Midwestern University. Available from:

http://emedicine.medscape.com/article/801598-overview. [Updated 20

May 2010].

Kalyoussef S, Tolan RW. Osteomyelitis [online] eMedicine General Medicine

2008 [cited November 20th 2009]. Available from URL:

http://emedicine.medscape.com/article/967095-print.

Kaneshiro, N.K., and Zieve, D (2010). Fever. University of Washington.

Available from:

http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000980.htm. [Updated

29 January 2010]

Khoshhal K, Letts RM. Subacute Osteomyelitis (Brodie Abscess) [online]

eMedicine Orthopedic Surgery 2008 [cited November 20th 2009].

Available from URL: http://emedicine.medscape.com/article/1248682-

print.

Kumar V, Cotran RS, dan Robbins SL (2007). Buku Ajar Patologi Robbin . Edisi

7. Jakarta: EGC.

Page 39: Laporan Skenario 3

Morison, M (1995). Manajemen Luka. Jakarta: EGC.

Nurlatifah, Gita (2010). Makalah Ilmiah: Asuhan Keperawatan pada klien dengan

Diabetes Mellitus. Jakarta: Poltekkes Jakarta 3

Price, AS (1995). Patofisologi: konsep klinis proses-proses penyakit. (edisi 4),

Jakarta: EGC

Sudoyo, Aru W, et al,. (2009). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi Kelima Jilid

Tiga. Jakarta Pusat: Interna Publishing. p. 1961-1966, 2642.

Suriadi (2004). Perawatan Luka. Jakarta:Sagung Seto

Syaifuddin, H. (2006). ANATOMI FISIOLOGI untuk mahasiswa keperawatan

Edisi 3. Jakarta:EGC

Tambayong, J (2000). PatofisiologiuntukKeperawatan. Jakarta:EGC

Willms, J (2003). Diagnosis Fisik: Evaluasi Diagnosis dan Fungsi di Bangsal.

Jakarta:EGC