laporan skenario 1 mata
DESCRIPTION
laporan skenario 1 blok mataTRANSCRIPT
LAPORAN TUTORIAL
BLOK ILMU PENYAKIT MATA SKENARIO 3
“MATA SAYA MERAH DAN KABUR”
Kelompok A8
Johannes Ephan Bagus Kurnia G0012101
Syarif Hidayatullah G0012217
Alfian Satria W. G0012011
Ilham Ramadhan G0012095
Keny Adhitya G0012105
Yolanda Ravenia Saraswati G0012235
Resti Nurfadillah G0012177
Fatmanisa Laila G0012077
Aniki Puspita G0012017
Fenti Endriyani G0012079
Sabila Fatimah G0012199
Adhizti Naluriannisa E. N. G0012003
Tutor :
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
TAHUN 2013
BAB I
PENDAHULUAN
SKENARIO 3
Seorang laki-laki usia 34 tahun datag ke klinik dokter umum dengan keluhan mata
kiri merah sejak satu hari yang lalu. Selain itu ia merasakan nyeri, cekot-cekot, pandangan
kabur dan silau.
Pada pemeriksaan didapatkan VOS 5/60 uji pinhole tidak maju, kelopak mata
bengkak dan spasme, didapatkan knjungtiva injeksi, kornea tampak tidak jernih.
Setelah melakukan pemeriksaan lebih lanjut, dokter mendiagnosis dan memberikan
terapi pendahuluan, kemudian merujuk pasien tersebut ke dokter spesialis mata.
BAB II
DISKUSI DAN TINJAUAN PUSTAKA
A. Seven Jump
1. Langkah I : Membaca skenario dan memahami pengertian beberapa istilah dalam
skenario
Dalam skenario ini kami mengklarifikasi istilah sebagai berikut :
- Cekot-cekot : nyeri yang berdenyut atau berpulsasi.
2. Langkah II : Menentukan permasalahan
a. Mengapa pasien mengeluh mata kiri merah sejak satu hari yang lalu, cekot-cekot,
pandangan kabur dan silau?
b. Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan?
c. Bagaimana hubungan antara usia dengan keluhan?
d. Bagaimana hubunan antara kelopak mata bengkak dan spasme dengan keluhan
pasien?
e. Apa saja penyakit yang menyebabkan komjumgtiva injeksi dan kornea ampak tidak
jernih?
f. Apa terapi pendahuluan yang diberikan oleh dokter?
g. Apa saja diagnosis banding mata merah pandangan kabur?
h. Apa pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan dalam kasus pasien tersebut?
3. Langkah III : Menganalisis permasalahan
A. HISTOLOGI KORNEA
Kornea merupakan lapis jaringan yang menutup bola mata sebelah depan dan
terdiri atas lapis:
Epitel
Terdiri atas lima lapis sel epitel squamus kompleks non kornifikasi yang
saling tumpang tindih yaitu satu lapis sel basal, sel polygonal, dan sel
gepeng.
Pada sel basal sering terlihat mitosis sel, dan sel muda mini terdorong ke
depan menjadi sel gepeng, sel basal berkaitan erat dengan sel basal di
sampingnya dan sel polygonal di depannya melalui desmosom dan
macula okluden. Ikatan ini menghambat pengaliran iar, elektrolit, dan
glukosa yang merupakan barrier.
Membran Bowman
Terletak di bawah membrane basal epitel kornea yang merupakan
kolagen yang tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari
bagian depan stroma. Lapisan ini memiliki daya regenerasi.
Stroma
Terdiri atas lamel yang merupakan susunan kolagen yang sejajar satu
dengan lainnya, pada permukaan terlihat anyaman yang teratur sedang di
bagian perifer serat kolagen ini bercabang.
Keratosit merupakan sel stroma kornea yang merupakan fibroblast
terletak di antara serat kolagen stroma. Diduga keratosit membentuk
bahan dasar dan serat kolagen dalam perkembangan embrio atau sesudah
trauma.
Membran Descemet
Merupakan membrane aselular dan merupakan batas belakang stroma
kornea yang dihasilkan sel endotel dan merupakan membran basalnya.
Bersifat sangat elastic dan berkembang terus seumur hidup.
Endotel
Berasal dari mesotelium, berlapis satu, bentuk heksagonal. Endotel
melekat erat pada membran descement melalui hemidesmosom dan
zonula okluden.
Trauma atau penyakit yang merusak endotel akan mengakibatkan sistem
pompa endotel terganggu sehingga dekompensasi endotel dan terjadi
edema kornea. Endotel tidak memiliki daya regenerasi, sehingga jika
terjadi kerusakan akan terbentuk jaringan parut.
B. FISIOLOGI KORNEA
Fungsi dari kornea adalah sebagai membran protektif dan sebagai “jendela”
yang dilewati oleh cahaya untuk sampai ke retina.
Transparansi Kornea
Sifat transparan dari kornea dihasilkan oleh berbagai faktor yang saling
berhubungan, yaitu susunan dari lamela kornea, sifat avaskular, serta keadaan
dehidrasi relatif (70%) yang dijaga oleh adanya efek barrier dari epitelium,
endotelium, dan pompa bikarbonat yang bekerja secara aktif pada endotelium.
Keadaan dehidrasi tersebut dihasilkan oleh evaporasi air dari laporan air mata
prekorneal yang menghasilkan lapisan dengan sifat hipertonis. Dalam hal ini,
endotelium memegang peranan yang lebih besar daripada epitelium. Demikian
pula bila terjadi kerusakan pada endotelium, akan diperoleh dampak yang lebih
besar.
Penetrasi pada kornea yang sehat atau intak oleh obat bersifat bifasik.
Substansi larut lemak dapat melewati epithelium dan substansi larut air dapat
melewati stroma. Obat yang diharapkan untuk dapat menembus kornea harus
memiliki kedua sifat tersebut.4
Proteksi dan Persarafan Kornea
Struktur ini menerima persarafan dari cabagn ophtalmik dari nervus
trigeminalis. Kornea sendiri adalah sebuah struktur vital pada mata dan
karenanya juga bersifat sangat sensitif. Sensasi taktil minimal telah dapat
menimbulkan refleks penutupan mata. Adapun lesi pada kornea akan membuat
ujuang saraf bebas terpajan dan sebagai akibatnya, akan timbul nyeri hebat diikuti
refleks pengeluaran air mata beserta lisozim yang terkandung di dalamnya
(epifora) dan penutupan mata secara involunter (blefarospasme) sebagai
mekanisme proteksinya.5
Resistensi Kornea terhadap Infeksi
Epitelium kornea, dengan sifat hidrofobik dan regenerasi cepatnya, merupakan
pelindung yang sangat baik dari masuknya mikroorganisme ke dalam kornea.
Akan tetapi, bila lapisan ini mengalami kerusakan, lapisan stroma yang avaskular
serta lapisan Bowman dapat menjadi tempat yang baik bagi mikroorganisme,
misalnya bakteri, amuba, dan jamur.
Faktor predisposisi yang dapat memicu inflamasi pada kornea di antaranya
adalah blefaritis, perubahan pada epitel kornea (misalnya mata kering),
penggunaan lensa kontak, lagoftalmus, kelainan neuroparalitik, trauma, dan
penggunaan kortikosteroid. Untuk dapat menimbulkan infeksi, diperlukan
inokulum dalam jumlah besar atau keadaan defisiensi imun.
Di dalam kornea itu sendiri, terdapat Streptococcus pneumoniae, yang
merupakan bakteri patogen kornea yang sesungguhnya. Salah satu bakteri
oportunis yang dapat menginfeksi adalah Moraxella liquefaciens. Umumnya,
mikroorganisme ini ditemui pada pengonsumsi alkohol sebagai akibat dari
deplesi piridoksin. Di samping itu, ditemukan pula kelompok lain, misalnya
Serratia marcescens, Mycobacterium fortuitum-chelonei complex, Streptococcus
viridans, Staphylococcus epidermidis, virus, amuba, dan jamur.
Faktor lain, yaitu defisiensi imun, dapat disebabkan oleh konsumsi
kortikosteroid lokal maupun sistemik, sehingga organisme oportunistik dapat
menyerang dan menginfeksi kornea.
C. PATOFISIOLOGI KELUHAN
1. Nyeri dan Cekot-cekot
2. Silau (Fotofobia)
Fotofobia pada penyakit kornea adalah karena kontraksi iris beradang yang
sakit. Dilatasi pembuluh darah iris adalah fenomena refleks yangdisebabkan
iritasi pada ujung saraf kornea, minimal pada keratitis herpes karena hipestasi
terjadi pada penyakit ini, yang juga merupakan tanda diagnostik berharga.
Meskipun mata berair dan fotofobia umumnya menyertai penyakit kornea,
umumnya tidak ada kotoran mata kecuali pada ulkus purulen.
3. Pandangan Kabur
4. Langkah IV : Menginventarisasi permasalahan secara sistematis dan pernyataan
sementara mengenai permasalahan pada langkah 3
5. Langkah V : Merumuskan tujuan pembelajaran
a. Menjelaskan interpretasi hasil pemeriksaan meliputi : VOS 5/60 uji pinhole tidak
maju, kelopak mata bengkak dan spasme, konjungtiva injeksi, kornea tampak
tidak jernih.
b. Menjelaskan diagnosis banding beserta faktor resiko dari keluhan
c. Menjelaskan pemeriksaan penunjang masing-masing diagnosis
d. Menjelaskan tatalaksana masing-masing diagnosis
6. Langkah VI : Mengumpulkan informasi baru
7. Langkah VII : Melaporkan, membahas, dan menata kembali informasi baru yang
diperoleh
A. INTERPRETASI HASIL PEMERIKSAAN
1. Uji Pinhole
Adalah uji yang dilakukan untuk mengetahui apakah penurunan visus
disebabkan oleh kelainan refraksi atau kelainan organic media refrakta.
Uji pinhole dilakukan dengan memasangkan lensa lubang kecil dan
meminta pasien membaca kartu snellen yang jauh. Apabila dengan pemberian
MATA MERAH
VISUS NORMAL
VISUS TURUN
KERATITIS
ETIOLOGI
ENDOFTALMITIS
GLAUKOMA
ULKUS KORNEA GEJALA
PATOFISIOLOGI
TATALAKSANA
lempeng berlubang terjadi perbaikan penglihatan, berarti penurunan visus
disebabkan oleh kelainan refraksi. Apabila tidak ada perbaikan penglihatan,
maka penurunan visus disebabkan oleh kelainan organiknya. (Ilyas et al, 2012)
Bila responden tidak dapat melanjutkan lagi bacaan huruf dikartu Snellen
atau kartu E maka pada mata tersebut dipasang PINHOLE.
Dengan pinhole responden dapat melanjutkan bacaannya sampai baris
normal (20/20) berarti responden tersebut GANGGUAN REFRAKSI.
Bila dengan pinhole responden tidak dapat melanjutkan bacaannya maka
disebut gangguan mata organic.
Bila responden DAPAT membaca sampai baris normal 20/20 TANPA
pinhole maka responden tidak perlu dilakukan pemeriksaan dengan
menggunakan pinhole.
2. Kelopak Mata Bengkak dan Spasme
Miokimia kelopak mata adalah kontraksi ringan diluar kontrol pada otot
kelopak mata, pada umumnya mempengaruhi kelopak mata bawah pada satu
mata. Walaupun orang yang mengalaminya mungkin merasa seperti kelopak
mata atau mata mereka ‘loncat’, kontraksi tersebut tidak terlihat oleh orang lain
kecuali jika diamati dengan dekat. Penyebab miokimia kelopak mata tidak
diketahui dengan baik, kemungkinan disebabkan oleh iritasi serat saraf dalam
otot atau dalam otak yang seringkali terjadi karena stres atau letih dan mungkin
berhubungan dengan asupan alkohol atau kafein berlebih. Kontraksi biasanya
terjadi selang beberapa waktu, namun dapat berlangsung selama beberapa jam
setiap kalinya. Miokimia kelopak mata biasanya hilang sendiri setelah beberapa
hari hingga beberapa minggu, walaupun kadang kala dapat berlangsung selama
beberapa bulan. Pengobatan biasanya tidak diperlukan kecuali gejala parah.
3. Konjungtiva Injeksi
Mata merah terjadi akibat mekanisme injeksi dari pembuluh-pembuluh darah di
atas. Ada 3 macam injeksi yang menjadi khas dari suatu penyakit, yaitu :
a. Injeksi konjungtival
Melebarnya arteri konjungtiva posterior. Biasanya tidak disertai
fotofobia dan pupil ukuran normal dengan reaksi pencahayaan yang
normal. Menandakan adanya radang pada konjungtiva yang disertai
secret.
b. Injeksi siliar
Elebarnya pembuluh darah arteri siliar anterior. Lebih ungu dan dengan
adrenaline 1 : 1000 pembuluh darahnya tidak menciut yang normalnya
itu menciut. Disertai fotofobia, lakrimasi. Menandakan adanya gangguan
pada kornea dan iris.
c. Injeksi episklera
Adanya pelebaran pada arteri siliar longus. Menandakan mata merah
karena glaucoma, endophtalmytis. Biasanya secret negative.
4. Kornea Tidak Jernih
Pada membrane Bowman,gangguan dari susunan serat kornea
menyebabkan kornea terlihat keruh karena lapis inni tidak mempunyai daya
regenerasi,. Sehingga, jika terjadi kerusakan disini, trauma tajam, erosi kornea,
ulkus kornea, kolagen akan membentuk jaringan parut.
B. DIAGNOSIS BANDING, PEMERIKSAAN PENUNJANG DAN TATALAKSANA
I. GLAUKOMA
Glaukoma adalah sekelompok penyakit yang memiliki karakteristik berupa kerusakan
saraf/ optic neuropathy dan berkurangnya/ terjadi penyempitan luas lapangan pandang
serta biasanya disertai adanya peningkatan tekanan intraokuli.
Etiologi dan Faktor Resiko
Glaukoma terjadi akibat adanya ketidakseimbangan antara proses produksi dan
ekskresi/ aliran keluar aqueous humor. Beberapa faktor resiko yang dapat memicu
terjadinya glaukoma adalah tekanan darah yang tinggi, diabetes melitus, miopia, ras
kulit hitam, pertambahan usia dan pascabedah.
Klasifikasi
Berdasarkan mekanisme peningkatan tekanan intraokuli, glaukoma dapat
diklasifikasikan menjadi glaukoma sudut terbuka dan glaukoma sudut tertutup.
Glaukoma sudut terbuka merupakan gangguan aliran keluar aqueous humor akibat
kelainan sistem drainase sudut bilik mata depan. Sedangkan glaukoma sudut tertutup
adalah gangguan akses aqueous humor ke sistem drainase.
Glaukoma sudut terbuka terdiri dari kelainan pada membran pratrabekular (seperti
glaukoma neovaskular dan sindrom Irido Corneal Endothelial), kelainan trabekular
(seperti glaukoma sudut terbuka primer, kongenital, pigmentasi dan akibat steroid) dan
kelainan pascatrabekular karena peningkatan tekanan episklera. Sedangkan glaukoma
sudut tertutup terdiri dari glaukoma sudut tertutup primer, sinekia, intumesensi lensa,
oklusi vena retina sentralis, hifiema, dan iris bombé.
Patofisiologi
Glaukoma sudut tertutup terjadi bila tekanan intraokular mendadak naik karena
adanya hambatan oleh akar iris pada sudut bilik mata depan, yang membendung semua
aliran keluar. Timbul nyeri hebat dan penglihatan mendadak hilang. Biasanya terjadi
pada usia lebih dari 40 tahun.
Gejala Klinis
Penemuan klinis glaukoma akut antara lain nyeri pada mata yang mendapat serangan
yang berlansung beberapa jam dan hilang setelah tidur sebentar. Melihat pelangi (halo)
sekitar lampu dan keadaan ini merupakan stadium prodormal. Terdapat gejala
gastrointestinal berupa mual dan muntah. Selain itu ditemukan pula bradikardia, mata
dengan tanda- tanda peradangan seperti kelopak mata bengkak, mata merah, tekanan
bola mata sangat tinggi yang mengakibatkan pupil lebar, kornea suram dan edem, iris
sembab meradang, papil saraf optik hiperemis, edem dan lapang pandangan menciut
berat. Iris bengkak dengan atrofi dan sinekia posterior serta lensa menjadi keruh. Tajam
penglihatan sangat menurun.
Biasanya mata yang lain diserang 2-5 tahun kemudian. Sesudah beberapa kali
serangan atau berlangsung lama maka terjadi perlengketan antara pangkal iris dan kornea
(goniosinekia) (Ilyas, 2004).
Diagnosis banding pada Glaukoma
Iritis akut dan konjungtivitis harus dipertimbangkan sebagai diagnosis banding pada
glaukoma sudut tertutup bila ada radang mata akut, meskupin pada kedua hal tersebut di
atas jarang disertai bilik mata depan yang dangkal atau tekanan yang tinggi. Pada iritis
akut terdapat lebih banyak fotofobia, tetapi rasa nyerinya kurang jika dibanding
glaukoma. Ditemukan flare and cell di bilik mata depan dan terdapat injeksi siliar yang
dalam. Lain halnya pada konjungtivitis yang tidak begitu nyeri atau tidak nyeri sama
sekali dan tajam penglihatan tidak turun. Tidak ada injeksi siliar, namun ditemukan
kotoran mata dan konjungtiva sangat meradang (Vaughan, Asbury and Riordan, 2000).
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang untuk membantu penegakan diagnosis glaukoma akut antara
lain: pengukuran dengan tonometri Schiotz; perimetri, gonioskopi, dan tonografi bila
edema kornea menghilang.
Tatalaksana
Penatalaksanaan pasien dengan glaukoma akut pada prinsipnya adalah menurunkan
tekanan intraokular secepatnya dengan pemberian asetazolamid 500 mg dilanjutkan 4 x
250 mg, solusio gliserin 50% 4 x 100- 150 ml dalam air jeruk, penghambatan beta
adrenergik 0,25- 0,5 % 2 x 1 dan KCl 3 x 0,5 g. Diberikan pula tetes mata kortikosteroid
dan antibiotik untuk mengurangi reaksi inflamasi.
Untuk bentuk yang primer, diberikan tetes mata pilokarpin 2% tiap ½ - 1 jam pada
mata yang mendapat serangan dan 3 x 1 tetes pada mata sebelahnya. Bila perlu diberikan
analgetik dan antiemetik.
Bila tekanan bola mata normal dan mata telah tenang, dapat dilakukan pembedahan.
Jenis operasi, iridektomi atau filtrasi, ditentukan berdasarkan hasil pemeriksaan
gonioskopi. Sebagai pencegahan juga dilakukan iridektomi pada mata sebelahnya.
Pada bentuk yang sekunder, harus dicari penyebabnya dan diobati yang sesuai.
Dilakukan operasi hanya bila perlu dan jenisnya tergantung penyebab. Misalnya pada
hifema dilakukan parasintesis, pada kelainan lensa dilakukan ekstraksi lensa, dan pada
uveitis dilakukan iridektomi atau operasi filtrasi (Mansjoer, 2001)
II. Keratitis
Pengertian
Keratitis merupakan kelainan akibat terjadinya infiltrasi sel radang pada kornea yang
akan mengakibatkan kornea menjadi keruh. Akibat terjadinya kekeruhan pada media
kornea ini, maka tajam penglihatan akan menurun. Mata merah pada keratitis terjadi
akibat injeksi pembuluh darah perikorneal yang dalam atau injeksi siliar. Keratitis
biasanya diklasifikasikan dalam lapis yang terkena seperti keratitis superfisial dan
profunda atau interstisial.
Klasifikasi
Keratitis dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa hal. Berdasarkan lapisan yang
terkena Keratitis dibagi menjadi:
1. Keratitis Pungtata (Keratitis Pungtata Superfisial dan Keratitis Pungtata Subepitel)
Keratitis pungtata adalah keratitis dengan infiltrat halus pada kornea yang dapat
terletak superfisial dan subepitel.
Etiologi
Keratitis Pungtata ini disebabkan oleh hal yang tidak spesifik dan dapat terjadi pada
Moluskum kontangiosum, Akne rosasea, Herpes simpleks, Herpes zoster, Blefaritis
neuroparalitik, infeksi virus, vaksinisia, trakoma, trauma radiasi, dry eye, keratitis
lagoftalmos, keracunan obat seperti neomisin, tobramisin dan bahaya pengawet
lainnya.
Gejala klinis
Gejala klinisnya dapat berupa rasa sakit, silau, mata merah, dan merasa kelilipan.
Pemeriksaan laboratorium
Penyakit ini ditandai kekerutan epitel yang meninggi berbentuk lonjong dan jelas
yang menampakkan bintik-bintik pada pemulasan dengan fluoresein, terutama di
daerah pupil. Uji fluoresein merupakan sebuah tes untuk mengetahui terdapatnya
Gb. Keratitis Pungtata
kerusakan epitel kornea. Dasar dari uji ini adalah bahwa zat warna fluoresein akan
berubah berwarna hijau pada media alkali. Zat warna fluoresein bila menempel pada
epitel kornea maka bagian yang terdapat defek akan memberikan warna hijau karena
jaringan epitel yang rusak bersifat lebih basa. Kekeruhan subepitelial dibawah lesi
epitel sering terlihat semasa penyembuhan epitel ini, uji sensibilitas kornea juga
diperiksa untuk mengetahui fungsi dari saraf trigeminus dan fasial. Pada umumnya
sensibilitas kornea juga akan menurun.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada ketratitis pungtata superfisial pada prinsipnya adalah diberikan
sesuai dengan etiologi. Untuk virus dapat diberikan idoxuridin, trifluridin atau
asiklovir. Untuk bakteri gram positif pilihan pertama adalah cafazolin, penisilin G
atau vancomisin dan bakteri gram negatif dapat diberikan tobramisin, gentamisin atau
polimixin B. Pemberian antibiotik juga diindikasikan jika terdapat sekret
mukopurulen yang menunjukkan adanya infeksi campuran dengan bakteri. Untuk
jamur pilihan terapi yaitu natamisin, amfoterisin atau fluconazol. Selain terapi
berdasarkan etiologi, pada keratitis pungtata superfisial ini sebaiknya juga diberikan
terapi simptomatisnya agar dapat memberikan rasa nyaman seperti air mata buatan,
sikloplegik dan kortikosteroid.
2. Keratitis Marginal
Merupakan infiltrat yang tertimbun pada tepi kornea sejajar dengan
limbus. Penyakit infeksi lokal konjungtiva dapat menyebabkan keratitis kataral atau
keratitis marginal ini. Keratitis marginal kataral biasanya terdapat pada pasien
setengah umur dengan adanya blefarokonjungtivitis.
Etiologi
Strepcoccus pneumonie, Hemophilus aegepty, Moraxella lacunata dan Esrichia.
Gb. Keratitis Marginal
Gejala klinis
Penderita akan mengeluhkan sakit, seperti kelilipan, lakrimasi, disertai fotofobia
berat. Pada mata akan terlihat blefarospasme pada satu mata, injeksi konjungtiva,
infiltrat atau ulkus yang memanjang, dangkal unilateral dapat tunggal ataupun
multipel, sering disertai neovaskularisasi dari arah limbus.
Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan kerokan kornea yang dipulas dengan pewarnaan Gram maupun Giemsa
dapat mengidentifikasi organisme, khususnya bakteri.
Penatalaksanaan
Pengobatan yang diberikan adalah antibiotika yang sesuai dengan penyebab infeksi
lokalnya dan steroid dosis ringan. Pada pasien dapat diberikan vitamin B dan C dosis
tinggi.
3. Keratitis Interstisial
Keratitis interstitial adalah kondisi serius dimana masuknya pembuluh darah ke
dalam kornea dan dapat menyebabkan hilangnya transparansi kornea. Keratitis
interstitial dapat berlanjut menjadi kebutaan. Sifilis adalah penyebab paling sering
dari keratitis interstitial.
Etiologi
Keratitis Interstisial dapat terjadi akibat alergi atau infeksi spiroket ke dalam stroma
kornea dan akibat tuberkulosis
Gejala klinis
Gb. Keratitis Interstisial
Biasanya akan memberikan gejala fotofobia, lakrimasi, dan menurunnya visus.
Keratitis yang disebabkan oleh sifilis kongenital biasanya ditemukan trias Hutchinson
(mata: keratitis interstisial, telinga: tuli labirin, gigi: gigi seri berbentuk obeng),
sadlenose, dan pemeriksaan serologis yang positif terhadap sifilis. Pada keratitis yang
disebabkan oleh tuberkulosis terdapat gejala tuberkulosis lainnya.
Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan kerokan kornea yang dipulas dengan pewarnaan gram maupun Giemsa
dapat mengidentifikasi organisme, khususnya bakteri.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaannya dapat diberikan kortikosteroid tetes mata jangka lama secara
intensif setiap jam dikombinasi dengan tetes mata atropin dua kali sehari dan salep
mata pada malam hari.
Berdasarkan penyebabnya, Keratitis dapat diklasifikasikan menjadi :
1. Bakterial Keratitis
Keratitis bakterial dapat terjadi melalui dua mekanisme utama, yaitu kerusakan epitelium
kornea maupun infeksi pada area yang telah mengalami erosi. Akan tetapi, terdapat beberapa
organisme yang dapat menginvasi epitelium kornea yang masih intak dan memicu
pembentukan ulkus, yaitu Neisseria gonorrhoeae, Corynebacterium diphteriae, dan Neisseria
meningitidis.
Kerusakan epitel kornea dapat terjadi karena adanya abrasi kornea akibat benda asing,
misdireksi silia, ataupun trauma dalam penggunaan lensa kontak. Di samping itu, kerusakan
epitel juga dapat disebabkan oleh kekeringan epitel, nekrosis misalnya pada keratomalasia,
deskuamasi epitel akibat edema kornea, dan perubahan secara trofik.
Sumber infeksi dapat berasal dari eksogen, misalnya sakus konjungtiva, sakus lakrimalis,
benda asing, maupun bagian tumbuhan yang terinfeksi, serta infeksi melalui air. Infeksi dapat
pula menyebar dari jaringan mata lain di sekitar kornea, ataupun secara endogen walaupun
cukup jarang terjadi.
Organisme yang sering menyebabkan infeksi ini adalah Staphylococcus aureus,
Pseudomonas pyocyanea, Streptococcus pneumoniae, E. Coli, Proteus, Klebsiella,
N.gonorrhoea, N.meningitidis, dan C.diphtheriae.
Secara umum, beratnya infeksi bakteri yang terjadi bergantung pada virulensi organisme
penyebab, toksin yang dikeluarkan, enzim, serta respons jaringan pejamu.
Gejala dan Tanda
Keluhan yang biasanya ditemukan adalah nyeri dan sensasi benda asing sebagai akibat dari
efek mekanik dari kelopak mata dan efek kimia dari toksin pada ujung saraf. Di samping itu,
terdapat pula hiperlakrimasi sebagai refleks mata, fotofobia karena stimulasi ujung saraf,
pandangan buram, dan kemerahan pada mata karena kongesti pembuluh darah.
Temuan dari pemeriksaan kornea yang diperoleh adalah adanya defek epitel dengan infiltrat
berwarna putih kelabu dengan batas tegas. Defek kemudian meluas dan terjadilah efema
stromal serta pelipatan membran Descemet serta uveitis anterior. Tampakan ulkus bakteria
adalah area berwarna putih kekuningan dengan bentuk oval atau iregular, batas ulkus
membengkak dan terangkat, basis ulkus tertutup oleh jaringan nekrotik, dengan edema
stroma di sekitar area ulkus. Di samping itu, dapat pula ditemukan hipopion maupun
descemetocele, terutama pada infeksi Pseudomonas.
Keratitis Bakterial – Defek epitel dan infiltrasi, pelebaran infiltrat, hipopion, penyakit tahap
lanjut, perforasi.
Pemeriksaan Penunjang
Pada seluruh kasus ulkus kornea, umumnya dilakukan pemeriksaan laboratorium berupa
pemeriksaan rutin, yaitu hemoglobin, jumlah leukosit, hitung jenis, laju endap darah, glukosa,
urinalisis, serta analisa feses.
Di samping itu, dilakukan pula pemeriksaan mikrobiologi untuk mengidentifikasi organisme
penyebab dan menentukan tatalaksana. Spesimen yang dipakai adalah kerokan pda basis dan
batas ulkus kornea setelah pemberian anestesi lokal silokain 2%. Kemudian, dilakukan
pemeriksaan Gram dan Giemsa dan kultur pada medium agar darah. Kerokan kornea
umumnya tidak dilakukan apabila hanya terdapat infiltrat kecil tanpa defek epitel yang
jelas.2,3,4,5
Pemeriksaan Penunjang pada Keratitis Bakteri.
Tatalaksana Umum
Pada seluruh kasus ulkus, terutama yang belum menimbulkan komplikasi, prinsip tatalaksana
adalah terapi spesifik untuk agen penyebab, terapi suportif non spesifik, serta tatalaksana
tambahan.
Terapi spesifik mencakup administrasi antibiotik topikal dengan terapi inisial mencakup
organisme gram negatif dan positif. Umumnya, dipilih tetes mata gentamycin 14 mg/ml atau
tobramisin bersamaan dengan sefazolin (50 mg/ml) setiap ½ hingga 1 jam untuk beberapa
hari pertama, kemudian dikurangi menjadi setiap 2 jam sekali.
Ketika telah diperoleh hasil kultur maupun tes sensitivitas, terapi dapat disesuaikan dengan
etiologi penyebabnya. Dalam hal ini, antibiotik sistemik umumnya tidak dibutuhkan.
Terapi non spesifik yang dapat diberikan adalah agen siklopegik, analgesik, anti inflamasi,
serta vitamin. Agen siklopegik yang umumnya dipakai adalah tetes mata atau salep atropin
1% untuk mengurangi nyeri dari spasme silier atau mencegah pembentukan sinekia posterior,
sekaligus meningkatkan suplai darah pada uvea anterior dengan cara menurunkan tekanan
pada arteri siliaris anterior, sehingga lebih banyak antibodi yang dapat dibawa. Analgesik dan
anti inflamasi yang umumnya digunakan adalah parasetamol dan ibuprofen, untuk meredakan
nyeri dan mengurangi edema. Vitamin yang dipakai adalah A, B kompleks, dan C untuk
membantu penyembuhan ulkus.
Di samping itu, dapat pula dilakukan tatalaksana tambahan berupa pemberian kompres
hangat untuk menimbulkan vasodilatasi dan mengurangi nyeri, penggunaan kacamata
hitam untuk mencegah fotofobia, serta tirah baring.
2. Keratitis Jamur
Etiologi
Secara umum, etiologi penyebab keratitis jamur antara lain:
Jamur penyebab, dapat berupa:
o Jamur berfilamen, contohnya Aspergillus, Fusarium, Alternaaria,
Cephalosporium, Curvularia, dan Penicillium.
o Jamur beragi, misalnya Candida dan Cryptococcus.
Mode infeksi
Infeksi jamur dapat terjadi karena adanya trauma pada mata yang berkaitan dengan
tumbuhan (daun, ranting), perlukaan oleh ekor binatang, ataupun ulkus fungal
sekunder pada pasien dengan imunosupresi ataupun pasien dengan mata kering,
pasien dengan lensa kontak, keratitis herpetikum, atau setelah operasi keratoplasti.
Penggunaan antibiotik dan steroid.
Sebelum era kortikosteroid, keratitis jamur hanya terjadi apabila organisme masuk
dalam jumlah yang sangat banyak. Namun, infeksi jamur semakin sering terjadi
sebagai akibat dari efek samping pemakaian antibiotik dan kortikostreoid yang lama.
Antibiotik dapat mengganggu simbiosis antara bakteri dan jamur, sedangkan steroid
dapat membuat jamur menjadi patogen fakultatif.
Patofisiologi
Setelah terjadi trauma, fungi kemudian melakukan penetrasi dan proliferasi, sehingga
memicu reaksi inflamasi dan nekrosis jaringan. Pada Candida albicans, produksi fospolipase
A dan lisofosfolipase di permukaan blastofor dapat memfasilitasi jamur untuk memasuki
jaringan. Bagian pada fungi yang memegang peranan untuk menyebabkan kerusakan jaringan
adalah mycotoxin dan enzim proteolitik. Adapun proliferasi dari filamen-filamen fungi pada
kornea dapat menyebabkan penghambatan pada respon imun host.
Gejala dan Tanda
Gejala yang umumnya dirasakan oleh penderitanya mirip degan gejala pada ulkus kornea
bakterial sentral, akan tetapi dengan ukuran yang lebih kecil dan pertumbuhan yang lambat.
Adapun tanda yang ditemukan antara lain:4
Ulkus terlihat kering, nampak putih kelabu, dengan batasnya terelevasi ke luar.
Di bawah epitelium yang intak, terdapat gambaran ekstensi seperti jari.
Infiltrat supuratif berwarna putih kekuningan pada infeksi Candida.
Gambaran infiltrat cincin berwarna kekuningan, bila terdapat interaksi dengan
antibodi pejamu.
Lesi satelit kecil dan banyak di sekitar area luka.
Hipopion besar.
Diagnosis
Diagnosis dari keratitis jamur dapat ditegakkan melalui manifestasi klinis yang muncul
setelah trauma terkait dengan bagian dari tanaman, perburukan ulkus yang bersifat kronik
walaupun dengan terapi adekuat, serta pemeriksaan laboratorium, dalam hal ini kerokan
kornea. Kerokan korena diperiksa secara mikroskopik dengan menggunakan KOH 10%.
Kerokan keratitis jamur kecuali Candida akan memberikan gambaran unsur hifa sedangkan
kerokan candida umumnya mengandung psedohifa atau bentuk ragi. Di samping itu, dapat
pula dilakukan pewarnaan Calcoflour White untuk melihat filamen fungi ataupun kultur pada
agar Saboraud.
Keratitis Mikotik
Tatalaksana
Tatalaksana yang dapat dilakukan antara lain:
Terapi spesifik, yaitu berupa tetes mata antifungal dengan natamisin 5%, flukonazol
0,2% selama 6 – 8 minggu atau menggunakan salep mata nistatin 3,5%. Pada kasus
berat, dapat pula diberikan obat – obatan sistemik, yaitu flukonazole dan ketoconazole
selama 2 – 3 minggu.
Terapi non spesifik, yaitu rawat inap.
Keratoplasti penetrasi terapeutik, pada kasus yang tidak responsif.
3. Keratitis Viral
Herpes Simples Keratitis.
Penyakit mata akibat herpes merupakan salah penyakit menular tersering yang menyebabkan
kebutaan kornea pada negara berkembang. Sebanyak 60% ulkus korna pada negara
berkembang disebabkan oleh virus herpes simpleks dan 10 juta orang di dunia mengalami
penyakit mata akibat herpes.
HSV merupakan virus dengan kapsul kuboidal dengan double stranded DNA genome.
Terdapat dua subtype dari HSV yaitu HSV-1 dan HSV-2. HSV-1 menyebabkan infeksi diatas
pinggang (pada muka, bibir dan mata) dan HSV-2 disebabkan oleh infeksi veneral (genital
herpes). Pada beberapa kasus HSV-2 dapat menginfeksi mata melalui sekresi yang terinfeksi
pada saat melahirkan (neonatal konjungtivitis). Infeksi okuler Herpes Simpleks Virus (HSV)
pada hospes imunokompeten biasanya dapat sembuh dengan sendirinya, akan tetapi pada
hospes yang yang non-imunokompeten, termasuk pasien yang mendapat pengobatan
kortikosteroid topikal, perjalanannya mungkin terjadi menahun. Kortikosteroid topikal dapat
mengendalikan respons peradangan, namun memberikan peluang terjadinya replikasi virus.
Sehingga pada pengobatan dengan kortikosteroid topikal, harus ditambahkan anti-virus.
Infeksi Primer
Infeksi primer dari HSV tanpa adanya pajanan virus sebelumnya biasanya muncul pada masa
kanak-kanak. Infeksi ini disebarkan melalui transmisi droplet atau inokulasi langsung. Karena
antibodi dari maternal sehingga jarang sekali infeksi ini muncul pada bayi berumur 6 bulan,
walaupun pada beberapa kasus, dapat muncul penyakit sistemuk neonatal. Kebanyakan
infeksi sistemik muncul secara subklinis hanya terdapat demam sedang, malaise, dan gejala
traktur respiratori bagian atas. Blepahiritis dan konjungtivits folikular dapat muncul akan
tetapi biasanya ringan dan dapat sembuh tanpa pengobatan. Pemberian tatalaksana biasanya
dengan asiklovir topikal ointment pada mata atau krim pada lesi kulit. Sesudah infeksi
primer, virus ini akan menetap di ganglion trigeminum.
Infeksi Rekurensi
Infeksi rekurensi dapat muncul:
1. Setelah infeksi primer. Virus yang menetap di ganglian trigenminum akan dapat muncul
sebagai infeksi laten bagian dermatomnya dan tidak dapat dieradikasi karena virus laten
ini telah terinkorporasi dengan DNA host.
2. Reaktivasi subklinis. Reaktivasi subklinis dapat muncul pada secara periodik, dan pada
masa ini HSV dapat terpancarkan dan pasien dapat menularkan.
3. Reaktivasi klinis. Beberapa stressor seperti demam, perubahan hormonal, radiasi UV,
trauma atau kerusakan pada trigeminus dapat menyebabkan reaktivasi klinis saat virus
bereplikasi dan di transportasikan dari akson sensoris kearah perifer.
4. Pola penyakit. Pola dari penyaki bergantung pada tempat reaktivasi yang dapat muncul
jauh daripada tempat penyakit primernya.
5. Perkiraan kemunculan ocular keratitis. Pada penyakit ini, 1 episode perkiraan
kemunculannya dalam 1 tahun adalah 10% dan 50% dalam 10 tahun. Semakin banyak
munculnya penyaki ini, makan resiko kemunculannya akan semakin tinggi.
6. Faktor resiko penyakit lainnya. Karena adanya penyakit mata lainnyam maka
kemunculan rekurensi dapat semkain meningkat contohnya penyakit mata atopic,
imunodefisiensi atau supresi, malnutrisi, malaria, campak atau cacar air. Penggunaan
steroid topikal dapat meningkatkan perkembangan geografis dari ulserasi.
Gejala dan Tanda
Gejala pada umumnya berupa kemerahan, berair, iritasi, fotofobia dan mild discomfort. Bila
kornea bagian pusat yang terkena, terjadi sedikit gangguan penglihatan (blurred vision).
Karena anestesi kornea umumnya timbul pada awal infeksi, gejala mungkin minimal. Sering
ada riwayat lepuh-lepuh demam atau infeksi herpes lain, namun ulserasi kornea kadang-
kadang merupakan satu-satunya gejala infeksi herpes rekurens.
Epitelial Keratitis Herpes Simpleks, A, Lesi Stelata, B, Ulkus Dendritik
Lesi
Lesi paling khas adalah ulkus dendritik pada epitel kornea dengan pola percabangan linear
khas dengan tepian kabur dan bulbus-bulbus terminalis pada ujungnya. Pemulasan fluoresein
memudahkan melihat dendrit.
Ulserasi geografik penyakit dendritik kronik dengan lesi dendritiknya lebih lebar. Sensasi
kornea pada penyakit dendritik ini akan berkurang sehingga harus diperiksa. Lesi kornea
lainnya yang dapat disebabkan oleh HSV adalah blotchy ephitelial keratitis, stellate epthelial
keratitis, dan filamentery keratitis. Kesemua tipe lesi ini merupakan transisi yang nanyia akan
berubah menjadi dendrit tipikal dalam 24-48 jam.
Kekeruhan subepitelial dapat disebabkan infeksi HSV. Bayangan mirip hantu, yang bentunya
sesuai dengan defek epitelial asli namun sedikit lebih besar, terlihat di daerah tepat di bawah
lesi epitel. Lesi subephitelial ini akan menghilang lebih dari 1 tahun.
Keratitis diskiformis adalah bentuk penyakit stroma paling umum pada infeksi HSV. Stroma
pada daerah pusat mengalami edema berbentuk cakram, tanpa infiltrasi yang berarti, dan
umumnya tanpa vaskularisasi.Persipitat keratik tepat dapat berada di bawah lesi diskiformis
itu ataupun dapat beada di bawah endotel bersamaan dengan anterior uveitis. Patogenesisnya
dari keratitis diskiformis ini adalah sebuah reaksi imunologik terhadap antigen virus dalam
stroma atau endotel, bersamaan dengan adanya penyakit virus aktif yang tidak dapat
dikesampingkan. Edema merupakan tanda terpenting, dan penyembuhan dapat terjadi dengan
akhir jaringan parut dan vaskularisasi minimal. Keratitis HSV stroma dalam bentuk infiltrasi
dan edema fokal, yang sering disertai vaskularisasi, terutama disebabkan replikasi virus.
Penipisan dan perforasi kornea dapat terjadi dengan cepat, apalagi jika ditambah dengan
penggunaan kortikosteroid topikal.
Lesi perifer kornea dapat pula ditimbulkan oleh HSV. Lesi-lesi ini umumnya linear dan
menunjukan kehilangan epitelial sebelum stroma kornea di bawahnya mengalami infiltrasi
(hal ini berlawanan dengan ulkus marginal pada hipersensitivitas bakteri seperti pada
blepharitis stafilokok).
Teatalaksana
Terapi keratitis HSV bertujuan untuk menghentikan replikasi virus pada kornea dan
menahan efek merusak dari respon radang.
1. Debridement
Untuk keratitis dendritik secara efektif adalah dengan debridement epitelial, karena virus
berlokasi dalam epitel. Selain itu juga mengurangi beban antigenik virus pada stroma
kornea. Permukaan kornea dibersihkan dengan spons selulose steril hingga 2 mm di luar
ujung-ujung dendrite. Agen antiviral harus digunakan sebagai konjungsi.
2. Terapi obat
Agen anti-virus topikal yang dipakai pada keratitis herpes adalah idoxuridine,
trifluridine, vidarabine, dan acyclovir. Acyclovir oral (5x400mg) memiliki manfaatnya
untuk pengobatan penyakit herpes mata yang berat, khususnya pada pasien dengan
atopik yang rentan terhadap herpes mata dan kulit (eczema herpeticum).
Replikasi virus dalam pasien imunokompeten, khususnya bila terbatas pada epitel
kornea, umumnya sembuh sendiri dan pembentukan parut minimal. Dalam hal ini
penggunaan kortikosteroid topikal tidak perlu, bahkan berpontensi sangat merusak. Pada
peningkatan TIO maka penggunaan derivat protalglandin harus dihindari akrena dapar
meningkatkan aktivitas virus herpes simples dan inflamasi.
3. Terapi bedah
Keratoplasti penetrans mungkin diindikasikan untuk rehabilitasi penglihatan pasien yang
mempunyai sikatrik kornea berat. Perforasi kornea akibat penyakit herpes stroma atau
superinfeksi bakteri atau fungi memungkinkan untuk dilakukan keratoplasti penetrans
darurat.
4. Pengendalian pemicu HSV rekurensi
Untuk mengendalikan mekanisme pemicu yang mengaktifkan kembali infeksi HSV,
aspirin dapat dipakai untuk mencegah demam, dan dapat diminum sebelum menstruasi,
pajanan berlebih terhadap sinar ultra-violet dapat dihindari dan keadaan-keadaan yang
dapat memicu timbulnya stres psikis dapat dikurangi.
Herpes Zooster Keratitis
Infeksi virus varicella-zoster (VZV) terjadi dalam dua bentuk: primer (varicella) dan rekurens
(zooster). Manifestasi pada mata jarang terjadi pada varicella, namun sering terjadi pada
zoster oftalmik. Pada varicella, lesi mata umumnya terjadi pada kelopak, jarang timbul
keratitis. Sedangkan zooster oftalmik relatif lebih sering dijumpai, kerap disertai keratouveitis
yang bervariasi tergantung keadaan imun pasiennya. Pada orang dewasa (umumnya pada
umur 60-70 tahun), penyakit ini termasuk penyakit berat dan terkadang dapat mengakibatkan
kebutaan. Komplikasi kornea pada zooster oftalmik dapat diperkirakan jika terdapat erpsi
kulit di daerah yang dipersarafii oleh cabang nervus nasociliaris (pada bagian membrane
mukus hidung ujung hidung dan konjungtiva).
Lesi Dendrit Keratitis Herpes Zooster.
Keratitis VZV mengenai stroma dan uvea anterior dari awal. Lesi epitelnya berbercak dan
amorf, sesekali terlihat pseudodendrit yang mirip dengan dendrit sejati pada keratitis Herpes
simplex virus. Kekeruhan stroma disebabkan oleh edema dan sedikit infiltrat sel yang
awalnya hanya terdapat pada daerah subepitelial. Kehilangan sensasi kornea, dengan risiko
terjadinya keratitis neurotopik selalu merupakan ciri khas dan sering menetap hingga
berbulan bulan setelah lesi kornea tampak sembuh. Uveitis yang timbul cenderung menetap
tetapi akhirnya sembuh. Skleritis dapat menjadi masalah berat pada keratitis jenis ini.
Tatalaksana
Obat antiviral intravena dan oral telah dipakai dengan hasil baik untuk mengobati herpes
zoster oftalmik, khususnya pada pasien dengan sistem imun yang terganggu. Dosis oral
asiklovir adalah 800 mg lima kali sehari untuk 10-14 hari; valasiklovir 1 g tiga kali sehari
selama 7-10 hari; famsiklovir 500 mg per 8 jam selama 7-10 hari. Terapi hendaknya dimulai
72 jam setelah timbulnya rash. Setelah 72 jam tetapi dilakukan terapi yang sama untku dapat
mengurangi tingkat keparahan dari episode akut dan resiko postherpetic neuralgia.
4. Keratitis Acanthamoeba
Acanthamoeba adalah protozoa hidup bebas yang dapat ditemukan di tanah, air kotor ataupun
bersih dan traktus respiratori bagian atas. Infeksi ini biasanya dihubungkan dengan
penggunaan lensa kontak yang dipakai semalaman atau pada individu memakai lensa kontak
setelah terpapar air atau tanah yang tercemar.
Gejala dan Tanda
Gejala awal adalah rasa nyeri yang tidak sebanding dengan temuan klinisnya, kemerahan, dan
fotofobia. Tanda klinis yang khas adalah ulkus kornea indolen, cincin stroma, dan infiltrat
perineural, tetapi sering kali hanya ditemukan perubahan-perubahan yang terbatas pada epitel
kornea.
Pemeriksaan Penunjang
Investigasi penyebab dapat dilakukan dengan:
1. Pewarnaan . kerokan kornea yang diwarnai dengan periodic acid-Schiff atau calcofluor
white. Pada pewarnaan gram dan giemsa juga dapat ditemukan kista.
2. Kultur . kultur dilakuan pada di atas media khusus (agar nonnutrien yang dilapisi E
coli), spesimen diambil melalui biopsi kornea agar didapatkan bentuk-bentuk amuba.
Perlu diketahui bahwa 30% pasien memiliki hasil kultur negative dan kultis pada
lensa kontak dapat ditemukan acanthamoeba dan gram negatif. Larutan dan tempat
lensa kontak harus dikultur, karena bentuk amuba dapat ditemukan pada cairan tempat
lensa kontak.1
3. Teknik yang lebih modern adalah sitologi impresi dan confocal microscopy.
Immunochemistry, PCR dan biopsi kornea.
Tatalaksana
Terapi dapat dilakukan dengan debridemen. Debridemen epitel bisa bermanfaat pada tahap
awal penyakit. Terapi dengan obat umumnya dimulai dengan isethionate propamidine topikal
(larutan 1 %) dan polyhexamethylene biguanide (larutan 0,01-0,02%) dan tetes mata
neomycin forte. Mungkin diperlukan keratoplasti pada penyakit yang telah lanjut.
5. Keratitis Alergi
Phlyctenular Keratoconjuntivitis
Merupakan penyakit hipersensitivitas (hipersenitivitas tipe 4) biasanya karena human
tubercle bacillus. Phlyctenular merupakan akumulasi lokal limfosit, monosit, makrofag, dan
neutrofil. Muncul pertama kali di limbus dan serangan rekurensi dapat meliputi kojungtiva
bulbi dan kornea. Kornea phlyctenular biasanya bilateral, sikatrik dan vaskularisasi.
Konjungtiba phlyctenular tidak meninggalkan jejas. Pada phlyctenular yang tidak
mendapatkan terapi akan sembuh dalam 10-14 hari, terapi topikal dengan kortikosteroid
dapat menurunkan prosesnya menjadi 1-2 hari.
Etiologi
Alergen Penyebab:
1. Pretein tuberkulosa, dulu dipikirkan sebagai penyebab tersering
2. Protein stafilokokus, saat ini dipikirkan sebagai penyebab terbanyak
3. Alergen lain, dapat berasal dari protein Moraxella Axenfeld dan parasit tertentu.
Faktor Predisposisi:
1. Usia. Kelompok usia puncak 3-15 tahun
2. Jenis Kelamin. Insidens lebih banyak terjadi pada anak wanita daripada anak laki-laki
3. Kurang gizi. Penyakit ini lebih sering terjadi pada anak kurang gizi.
4. Kondisi lingkungan. Terutama pada daerah padat an tidak higienis
5. Musim. Muncul pada seluruh iklim tapi insidens jauh lebih tinggi pada musim semi
dan panas
Terlibatnya kornea dapat terjadi sekunder dari ekstensi fikten konjungtiva, kejadian primer
jarang terjadi. Keratitis ini dapat muncul dalam 2 bentuk: keratitis flinktenular ulseratif atau
keratitis infiltratif difus.
III. Uveitis
Radang uvea dapat mengenai hanya bagian depan jaringan uvea atau selaput pelangi
(iris) disebut sebagai iritis. Bila mengenai bagian tengah uvea maka disebut sebagai
siklitis. Biasanya iritis disertai dengan siklitis yang disebut sebagai uveitis anterior.
Uveitis anterior atau iridosiklitis adalah penyakit yang mendadak, biasanya berjalan
selama 6-8 minggu, dan pada stadium dini biasanya dapat sembuh dengan tetes mata
saja. Uveitis anterior dibedakan dalam bentuk granulomatosa akut-kronis dan non-
granulomatosa akut-kronis.
Etiologi
Penyebab dari iritis tidak dapat diketahui dengan melihat gambaran klinisnya saja.
Iritis dan iridosiklitis dapat merupakan suatu manifestasi klinis reaksi imunologi
terlambat, dini atau sel mediated terhadap jaringan uvea anterior. Pada kekambuhan atau
rekuren terjadi reaksi imunologi humoral. Bakteremia ataupun viremia menimbulkan
iritis ringan, yang bila kemudian terdapat antigen yang sama dalam tubuh akan dapat
timbul kekambuhan.
Penyebab uveitis anterior akut non granulomatosa oleh trauma, diare kronis, penyakit
Reiter, herpes simpleks, sindrom Bechet, sindrom Posner Schlosman, pasca bedah,
infeksi adenovirus, parotitis, influenza dan klamidia. Non granulomatosa uveitis anterior
kronis dapat disebabkan oleh artritis rheumatoid dan Fuchs heterokromik iridosiklitis.
Granulomatosa akut terjadi akibat sarkoiditis, sifilis, tuberculosis, virus, jamur
(histoplasmosis), atau parasite (toksoplasmosis).
Gejala Klinis
Uveitis dapat terjadi mendadak atau akut berupa mata merah dan sakit ataupun
datang dengan keluhan mata merah dan sakit ringan dengan penglihatan turun perlahan-
lahan. Iridosiklitis kronis merupakan episode rekuren dengan gejala akut yang ringan
atau sedikit.
Keluhan pasien dengan uveitis anterior akut adalah mata sakit, merah, fotofobia,
penglihatan turun ringan dengan mata berair. Keluhan sukar melihat dekat pada pasien
uveitis akibat ikut meradangnya otot-otot akomodasi.
Pupil kecil akibat rangsangan proses peradangan pada otot sfingter pupil dan
terdapatnya edem iris. Pada proses radang akut dapat terjadi miosis akibat rangsangan
badan siliar dan edem lensa.
Terdapat fler atau efek tyndal di dalam bilik mata depan dan bila perdangan sangat
akut maka akan terlihat hifema atau hipopion. Pada non granulomatosa terdapat
presipitat halus pada dataran belakangan kornea. Pada iridosiklitis granulomatosa
terdapat presipitas besar atau “mufton fat deposit”, benjolan Koeppe (penimbunan sel
pada tepi pupil atau benjolan Busacca (penimbunan pada permukaan iris).
Terbentuk sinekia posterior, miosis pupil, tekanan bola mata yang turun akibat
hipofungsi badan siliar yang mengalami gangguan pembentukan cairan mata, tekanan
bola mata dapat meningkat yang menunjukkan terganggunya pengaliran keluar cairan
mata oleh sel radang atau perlengketan yag terjadi pada sudut bilik mata, melebarnya
pembuluh siliar dan perilimbus.
Pada yang akut dapat terbentuk hipopion di bilik depan, sedang pada yang kronis
terlihat edema macula dan kadang-kadang katarak.
Perjalanan penyakit irits adalah sangat khas yaitu penyakit berlangsung 2-4 minggu.
Kadang penyakit ini memperlihatkan gejala kambuhan atau menjadi menahun.
Tatalaksana
Diperlukan pengobatan segera untuk mencegah kebutaan. Pengobatan pada uveitis
anterior adalah dengan steroid yang diberikan pada siang hari bentuk tetes dan malam
hari bentuk salep. Steroid sistemik bila perlu diberikan dalam dosis tunggal seling sehari
dosis tinggi kemudian diturunkan sampai dosis efektif. Steroid dapat juga diberikan
subkonjungtiva dan peribulbar. Pemberian steroid jangka lama dapat mengakibatkan
timbulnya katarak, galukoma, dan midriasis pada pupil.
Siklopegik diberikan untuk mengurangi rasa sakit, melepas sinekia yang terjadi,
memberi istirahat pada iris yang meradang.
Pengobatan spesifik diberikan bila kuman penyebab diketahui. Bila terdapat
glaucoma sekunder diberikan asetazolamid.
IV. Ulkus Kornea
Pengertian
Ulkus kornea adalah hilangnya sebagian permukaan kornea akibat kematian jaringan
kornea, yang ditandai dengan adanya infiltrat supuratif disertai defek kornea bergaung,
dan diskontinuitas jaringan kornea yang dapat terjadi dari epitel sampai stroma. Insidensi
ulkus kornea tahun 1993 adalah 5,3 per 100.000 penduduk di Indonesia.
Patofisologi
Kornea merupakan organ avaskuler, maka pertahanan pada waktu peradangan tidak
segera datang, seperti pada jaringan lain yang mengandung banyak vaskularisasi. Jika
terjadi peradangan maka badan kornea, wandering cell dan sel-sel lain yang terdapat
dalam stroma kornea, segera bekerja sebagai makrofag, baru kemudian disusul dengan
dilatasi pembuluh darah yang terdapat dilimbus dan tampak sebagai injeksi perikornea.
Sesudahnya baru terjadi infiltrasi dari sel-sel mononuclear, sel plasma, leukosit
polimorfonuklear (PMN), yang mengakibatkan timbulnya infiltrat, yang tampak sebagai
bercak berwarna kelabu, keruh dengan batas-batas tak jelas dan permukaan tidak licin,
kemudian dapat terjadi kerusakan epitel dan timbullah ulkus kornea.
Kornea mempunyai banyak serabut saraf maka kebanyakan lesi pada kornea baik
superfisial maupun profunda dapat menimbulkan rasa sakit dan fotofobia. Rasa sakit juga
diperberat dengan adanaya gesekan palpebra (terutama palbebra superior) pada kornea
dan menetap sampai sembuh. Kontraksi bersifat progresif, regresi iris, yang meradang
dapat menimbulkan fotofobia, sedangkan iritasi yang terjadi pada ujung saraf kornea
merupakan fenomena reflek yang berhubungan dengan timbulnya dilatasi pada
pembuluh iris.
Ulkus kornea menyebar kedua arah yaitu melebar dan mendalam. Jika ulkus yang
timbul kecil dan superficial maka akan lebih cepat sembuh dan daerah infiltrasi ini
menjadi bersih kembali, tetapi jika lesi sampai ke membran Bowman dan sebagian
stroma maka akan terbentuk jaringan ikat baru yang akan menyebabkan terjadinya
sikatrik
Etiologi
a. Infeksi
- Infeksi Bakteri : P. aeraginosa, Streptococcus pneumonia dan spesies Moraxella
merupakan penyebab paling sering. Hampir semua ulkus berbentuk sentral. Gejala
klinis yang khas tidak dijumpai, hanya sekret yang keluar bersifat mukopurulen
yang bersifat khas menunjukkan infeksi P aeruginosa.
- Infeksi Jamur : disebabkan oleh Candida, Fusarium, Aspergilus, Cephalosporium,
dan spesies mikosis fungoides.
- Infeksi virus : Ulkus kornea oleh virus herpes simplex cukup sering dijumpai.
Bentuk khas dendrit dapat diikuti oleh vesikel-vesikel kecil dilapisan epitel yang
bila pecah akan menimbulkan ulkus. Ulkus dapat juga terjadi pada bentuk
disiform bila mengalami nekrosis di bagian sentral. Infeksi virus lainnya varicella-
zoster, variola, vacinia (jarang).
- Acanthamoeba adalah protozoa hidup bebas yang terdapat didalam air yang
tercemar yang mengandung bakteri dan materi organik. Infeksi kornea oleh
acanthamoeba adalah komplikasi yang semakin dikenal pada pengguna lensa
kontak lunak, khususnya bila memakai larutan garam buatan sendiri.
b. Noninfeksi
- Bahan kimia, bersifat asam atau basa tergantung PH.
Bila bahan asam mengenai mata maka akan terjadi pengendapan protein
permukaan sehingga bila konsentrasinya tidak tinggi maka tidak bersifat
destruktif. Biasanya kerusakan hanya bersifat superfisial saja. Pada bahan alkali
antara lain amonia, cairan pembersih yang mengandung kalium/natrium
hidroksida dan kalium karbonat akan terjadi penghancuran kolagen kornea.
- Radiasi atau suhu
- Dapat terjadi pada saat bekerja las, dan menatap sinar matahari yang akan
merusak epitel kornea.
- Sindrom Sjorgen : salah satunya ditandai keratokonjungtivitis sicca yang
merupakan suatu keadan mata kering yang dapat disebabkan defisiensi unsur film
air mata (akeus, musin atau lipid), kelainan permukan palpebra atau kelainan
epitel yang menyebabkan timbulnya bintik-bintik kering pada kornea. Pada
keadaan lebih lanjut dapat timbul ulkus pada kornea dan defek pada epitel kornea
terpulas dengan flurosein.
- Defisiensi vitamin A : Ulkus kornea akibat defisiensi vitamin A terjadi karena
kekurangan vitamin A dari makanan atau gangguan absorbsi di saluran cerna dan
ganggun pemanfaatan oleh tubuh.
- Obat-obatan : yang menurunkan mekanisme imun, misalnya; kortikosteroid, IDU
(Iodo 2 dioxyuridine), anestesi lokal dan golongan imunosupresif.
- Kelainan dari membran basal, misalnya karena trauma.
- Pajanan (exposure)
- Neurotropik
c. Sistem Imun (Reaksi Hipersensitivitas)
- Granulomatosa wagener
- Rheumathoid arthritis
Klasifikasi
1. Ulkus Kornea Sentral
Etiologi ulkus kornea sentral biasanya bakteri (pseudomonas, pneumokok, moraxella
liquefaciens, streptokok beta hemolitik, klebsiela pneumoni, e. Coli, proteous), virus
(herpes simpleks, herpes zooster), jamur (kandida albikan, fusarium solani, spesies
nokardia, sefalosporium, aspergilus). Setelah 5 hari rudapaksa atau 3 minggu kemudian
pasien akan merasa sakit hebat pada mata dan silau. Tukak terlihat menonjol di tengah
kornea dan bercabang-cabang dengan endothelium plaque. Pada kornea terdapat lesi
gambaran satelit dan lipatan Descement disertai hipopion.
2. Ulkus Kornea Marginal
Ulkus marginal merupakan peradangan kornea bagian perifer berbentuk khas
yang biasanya terdapat daerah jernih antara limbus kornea dengan tempat kelainannya.
Sumbu memanjang daerah peradangan biasanya sejajar dengan limbus kornea. Diduga
dasar kelainannya adalah suatu reaksi hipersensitivitas terhadap eksotoksin stafilokokus.
Ulkus marginal merupakan tukak kornea yang didapatkan pada orang tua yang sering
dihubungkan dengan reumatik dan debilitas. Hampir 50% kelainan ini berhubungan
dengan infeksi stafilokok. Infiltrat dan tukak yang terlihat diduga merupakan timbunan
kompleks antigen-antibodi. Secara histopatologik terlihat sebagai ulkus atau abses yang
epitelial atau subepitelial. Penglihatan pasien akan menurun disertai dengan rasa sakit,
fotofobia, dan lakrimasi.
Gejala Klinis
Gejala Subjektif :
- Eritema pada kelopak mata dan konjungtiva
- Sekret mukopurulen
- Merasa ada benda asing di mata
- Pandangan kabur
- Mata berair
- Bintik putih pada kornea, sesuai lokasi ulkus
- Silau
- Nyeri
- Infiltat yang steril dapat menimbulkan sedikit nyeri, jika ulkus terdapat pada
perifer kornea dan tidak disertai dengan robekan lapisan epitel kornea.
Gejala Objektif
- Injeksi siliar
- Hilangnya sebagian jaringan kornea, dan adanya infiltrat
- Hipopion
Tatalaksana
Ulkus kornea adalah keadan darurat yang harus segera ditangani oleh spesialis mata
agar tidak terjadi cedera yang lebih parah pada kornea. Pengobatan pada ulkus kornea
tergantung penyebabnya, diberikan obat tetes mata yang mengandung antibiotic topikal,
anti virus, anti jamur, sikloplegik dan mengurangi reaksi peradangan dengan steroid.
Pasien dirawat bila mengancam perforasi, pasien tidak dapat memberi obat sendiri, tidak
terdapat reaksi obat dan perlunya obat sistemik.
Keratoplasti adalah jalan terakhir jika urutan penatalaksanaan diatas tidak berhasil.
Indikasi keratoplasti terjadi jaringan parut yang mengganggu penglihatan, kekeruhan
kornea yang menyebabkan kemunduran tajam penglihatan, serta memenuhi beberapa
kriteria yaitu :
- Kemunduran visus yang cukup menggangu aktivitas penderita
- Kelainan kornea yang mengganggu mental penderita.
- Kelainan kornea yang tidak disertai ambliopia.
Komplikasi
Komplikasi yang paling sering timbul berupa:
- Kebutaan parsial atau komplit dalam waktu sangat singkat
- Kornea perforasi dapat berlanjut menjadi endoptalmitis dan panopthalmitis
- Prolaps iris
- Sikatrik kornea
- Katarak
- Glaukoma sekunder
PERBEDAAN GEJALA GLAUKOMA AKUT, KERATITIS, DAN UVEITIS
No Gejala Subyektif Glaukoma
Akut
Uveitis Akut Keratitis Akut
1. Injeksi silier + ++ +++
2. Injeksi konjungtiva ++ ++ ++
3. Kekeruhan kornea +++ - +/+++
4. Kelainan pupil midriasis miosis Normal/miosis
Gb. Keratoplasti
5. Kedalaman camera
oculi anterior
Dangkal Normal Normal
6. Tekanan Intra Okuler Tinggi Rendah Normal
7. Nyeri Hebat Sedang-hebat Sedang
8. Fotofobia Sedang Hebat Ringan
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
Ilyas, Sidarta. 2004. Ilmu Penyakit Mata Edisi ketiga. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Indonesia.
Egan, Daniel. 2013. Endophtalmitis. Medscape Reference.
James, Bruce, dkk, Lecture Notes Oftalmologi, Edisi 9, Penerbit Erlangga, Jakarta, 2006.
Mansjoer A, Triyanti K, Savitri R, Wardhani WK, Setiowulan W (2001). Kapita Selekta
Kedokteran. Edisi III. Jilid I. Jakarta: Media Aesculapius FK UI.
Vaughan DG, Asbury T, Riordan-Eva P (2000). Oftalmologi Umum. Edisi 14. Jakarta: Widya
Medika.
Jusuf AA. Diktat Kuliah; Tinjauan Histologi Bola Mata, Alat Keseimbangan dan
Pendengaran.Bagian Histologi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
2012.