skenario 3 tht

Upload: risnaannisamardiyati

Post on 02-Jun-2018

272 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 8/10/2019 SKENARIO 3 THT

    1/51

    1

    LAPORAN TUTORIAL BLOK THT

    SKENARIO 3

    KELOMPOK B5

    Muhammad Hilmy L G0012136

    RosiDwiMulyono G0012194

    PurnomoAndimas E G0012166Ariyadi Budi Setyoaji G0012028

    FarisBudiyanto G0012074

    RisnaAnnisa M G0012188

    ItsnaUlinNuha G0012098

    DenaliaAurika G0012054

    RadenRoroAnindya P G0012170KhilyatUlinNur Z. G0012108

    Emillya Sari G0012070

    ShintaRetno W. G0012210

    Tutor : Murkati dr., M.Kes.

    FAKULTAS KEDOKTERAN

    UNIVERSITAS SEBELAS MARET

    SURAKARTA

  • 8/10/2019 SKENARIO 3 THT

    2/51

    2

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A. LATAR BELAKANG

    Rongga mulut, rongga hidung, dan tenggorokan merupakan ruangan

    dalam tengkorak yang saling terhubung satu sama lain, sehingga dalam

    keadaan patologis pada salah satu ruangan pun bisa berhubungan dengan

    ruangan yang lainnya serta menimbulkan gejala yang saling berhubungan satu

    sama lain. Daerah tenggorokan terbagi menjadi dua bagian, yaitu pharynx dan

    larynx. Pharynx sendiri dibagi menjadi tiga bagian, yaitu nasopharynx,

    oropharynx, dan laryngopharynx. Penyakit yang terjadi di daerah tenggorokan

    biasanya memiliki keluhan dan gejala yang hampir sama. Oleh karena itu,

    diagnosis banding penyakit pada daerah tenggorokan merupakan sesuatu yang

    vital untuk dibahas. Berikut skenario yang menunjang pembahasan tentang

    daerah tenggorokan dan kelainan-kelainannya :

    Anakku mengeluh tenggoroknya ser ing sakit

    Seorang anak laki-laki berusia 5 tahun bersama ibunya datang ke

    poliklinik THT, dengan keluhan sudah 2 hari tidak mau makan, karena sakit

    untuk menelan. Badan demam disertai suara serak. Keluhan yang sama

    sering dirasakan sejak usia 3 tahun, dan pasien kalau tidur mengorok, tetapi

    riwayat sesak nafas disangkal. Pasien juga mempunyai riwayat sering batuk

    pilek.

    Pada pemeriksaan pharing didapatkan : Mukosa pharing terdapat

    granuloma dan hiperemi, tonsil hipertrofi dan terdapat detritus, plika vokalis

    oedema dan hiperemis. Pemeriksaan Laboratorium didapatkan ASTO : (+)

  • 8/10/2019 SKENARIO 3 THT

    3/51

    3

    B. TUJUAN PEMBELAJARAN

    Setelah membahas skenario ke ini, diharapkan mahasiswa mampu :

    1. Menjelaskan anatomi, histologi, dan fisiologi daerah tenggorokan

    2. Menjelaskan fisiologi menelan dan bersuara

    3. Menjelaskan patofisiologi dari manifestasi klinis yang diderita pasien pada

    skenario ini

    4. Menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi penyakit pada daerah

    tenggorokan

    5. Mengetahui diagnosis banding (differential diagnosis) penyakit pada

    daerah tenggorokan

    6. Menjelaskan penatalaksanaan (pengobatan, edukasi) penyakit pada organ

    daerah tenggorokan

    7. Menjelaskan pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang yang

    dibutuhkan

    .

    C. RUMUSAN MASALAH

    1. Bagaimanakah anatomi,histologi dan fisiologi daerah tenggorokan

    (larynx, pharynx) ?

    2. Bagaimana fisiologi menelan dan bersuara?

    3. Bagaimana patofisiologi dari manifestasi klinis yang diderita pasien (

    sakit menelan, badan demam, suara serak ) ?

    4. Bagaimana hubungan riwayat penyakit dahulu (sering batuk pilek)

    dengan penyakit yang sekarang?

    5. Bagaimana hubungan antara keluhan satu dengan keluhan yang lainnya?

    6.

    Bagaimana hubungan keluhan dengan usia pasien?

    7. Bagaimana interpretasi hasil dari pemeriksaan pharing dan laboratorium

    dalam skenario?

    8. Apa pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan oleh pasien?

    9. Apa saja diagnosis banding penyakit pada skenario ini?

  • 8/10/2019 SKENARIO 3 THT

    4/51

    4

    10. Bagaimana penatalaksanaan yang harus diberikan kepada pasien pada

    skenario ini?

    11. Bagaimana prognosis dan komplikasi penyakit dalam skenario?

    12. Bagaimana edukasi yang harus diberikan?

    D. HIPOTESIS

    Berdasarkan skenario tersebut, dapat diambil sebuah hipotesis bahwa

    pasien menderita tonsillitis bakterial.

  • 8/10/2019 SKENARIO 3 THT

    5/51

    5

    BAB II

    DISKUSI DAN TINJAUAN PUSTAKA

    JUMP I : Klarifikasi Istilah

    1. Odinofagia

    Merupakan nyeri pada daerah orofaring serta esophagus. Keluhan sering

    terjadi karena kehilangan berat badan yang tidak disengaja,

    makanan/minuman yang hangat, obat-obatan, ulkus, serta kerusakan

    mukosa.

    2. Suara serak

    Istilah yang menggambarkan gangguan pembentukan suara ketika penderita

    berbicara; suara dapat melemah, mendesir, mengaung, dan kualitas suara

    dapat berubah.

    3. Mengorok

    Adalah getaran yang muncul pada organ respiratoria dan plica vocalis

    dikarenakan obstruksi aliran udara untuk bernapas ketika tidur, merupakan

    tanda-tanda dari obstructive sleep apnea.

    4. Mukosa granuloma dan hiperemia

    Granuloma merupakan agregasi makrofag pada daerah mukosa sebagai

    tanggap dari sistem imun terhadap zat-zat asing yang masuk ke dalam

    mukosa (antigen). Sedangkan hiperemia sendiri merupakan peningkatan

    aliran darah ke dalam jaringan mukus akibat perubahan metabolit dan/atau

    pengaruh tekanan di sekitarnya.

    5.

    Tonsil hipertrofi

    Merupakan peningkatan volume jaringan limfoid (tonsil) dikarenakan

    pembesaran komponen organ.

    6. Detritus

  • 8/10/2019 SKENARIO 3 THT

    6/51

    6

    Merupakan kumpulan sel-sel polimorfonuklear, sisa-sisa makanan, serta

    bakteri yang telah mati.

    7. Oedema plica vocalis

    Merupakan pengumpulan cairan tubuh secara abnormal pada interstisium

    yang terjadi tepatnya di plica vocalis.

    8. ASTO (Antistreptolisin-O)

    Adalah tes darah yang berrtujuan untuk mengetahui dan mengukur antibodi

    terhadap streptolisin O, zat yang dihasilkan oleh bakteri Streptococcus -

    hemolyticus grup A.

    JUMP 2 : Mengajukan masalah

    1. Mengapa pasien mengeluh sakit saat menelan?

    2. Adakah hubungan antara suara serak dengan sakit menelan?

    3. Adakah hubungan pasien demam serta keluhan?

    4. Mengapa pasien mengorok dengan sangkalan sesak napas?

    5. Bagaimanakah hubungan antara batuk dan pilek dengan keluhan (sakit menelan

    dan sulit makan)?

    6. Mengapa plica vocalis oedema?

    7. Bagaimanakah interpretasi pemeriksaan faring dan laboratorium?

    8. Bagaimanakah terapi dari keluhan?

    9. Bagaimanakah hubungan antara keluhan dengan usia?

    10.Apa saja pemeriksaan penunjangnya?

    11.Bagaimana diagnosis bandingnya?

    12.

    Apa saja komplikasinya dan prognosisnya?

    13.Apa yang menyebabkan keluhan terus berulang?

    14.Bagaimanakah hubungan mengorok dengan sakit menelan?

  • 8/10/2019 SKENARIO 3 THT

    7/51

    7

    JUMP 3 : Menganalisis Permasalahan dan Membuat Pernyataan

    Sementara atas Permasalahan

    1. ANATOMI FARING, LARING, SERTA TONSIL

    1. Anatomi Faring

    Faring adalah suatu kantong fibromuskuler yang bentuknya seperti corong, yang

    besar di bagian atas dan sempit di bagian bawah serta terletak pada bagian anterior

    kolum vertebra. Kantong ini mulai dari dasar tengkorak terus menyambung ke

    esophagus setinggi vertebra servikal ke-6. Ke atas, faring berhubungan dengan

    rongga hidung melalui koana, ke depan berhubungan dengan rongga mulut melalui

    ismus

  • 8/10/2019 SKENARIO 3 THT

    8/51

    8

    Gambar 1. Anatomi Faring Atlas of Human Anatomy 4thEdition

    fausium, sedangkan laring di sebelah bawah berhubungan melalui aditus laring dan

    ke bawah berhubungan dengan esophagus. Panjang dinding posterior faring pada

    orang dewasa kurang lebih 14 cm, bagian ini merupakan bagian dinding faring yang

    terpanjang. Dinding faring dibentuk oleh (dari dalam keluar) selaput lendir, fasia

    faringobasiler, pembungkus otot dan sebagian fasia bukofaringeal

    Faring terbagi atas nasofaring, orofaring dan laringofaring (hipofaring). Unsur-unsur

    faring meliputi mukosa, palut lendir (mukosa blanket) dan otot.

    Faring terdiri atas :

    A.Nasofaring

    Batas nasofaring di bagian atas adalah dasar tengkorak, di bagian bawah

    adalah palatum mole, ke depan adalah rongga hidung sedangkan ke belakang adalah

    vertebra servikal. Nasofaring yang relatif kecil, mengandung serta berhubungan erat

    dengan beberapa struktur penting, seperti adenoid, jaringan limfoid pada dinding

    lateral faring dengan resesus faring yang disebut fossa Rosenmuller, kantong Rathke,

    yang merupakan invaginasi struktur embrional hipofisis serebri, torus tubarius, suatu

    refleksi mukosa faring di atas penonjolan kartilago tuba Eustachius, koana, foramen

    jugulare, yang dilalui oleh n. glosofaring, n. vagus dan n.asesorius spinal saraf cranial

    dan v.jugularis interna, bagian petrosus os temporalis dan foramen laserum dan muara

    tuba Eustachius.

    B. Orofaring

    Orofaring disebut juga mesofaring dengan batas atasnya adalah palatum mole,

    batas bawah adalah tepi atas epiglottis, ke depan adalah rongga mulut, sedangkan ke

    belakang adalah vertebra sevikal. Struktur yang terdapat di rongga orofaring adalah

    dinding posterior faring, tonsil palatine, fosa tonsil serta arkus faring anterior dan

    posterior, uvula, tonsil lingual dan foramen sekum.

  • 8/10/2019 SKENARIO 3 THT

    9/51

    9

    C. Laringofaring (Hipofaring)

    Batas laringofaring di sebelah superior adalah tepi atas epiglotis, batas

    anterior ialah laring, batas inferior ialah esofagus, serta batas posterior ialah vertebra

    servikal. Struktur pertama yang tampak di bawah lidah ialah valekula. Bagian ini

    merupakan dua cengkungan yang dibentuk oleh ligamentum glosoepiglotika medial

    dan ligamentum glosoepiglotika lateral pada tiap sisi. Valekula disebut juga kantong

    pil (pill pockets) sebab pada beberapa orang, kadangkadang bila menelan pil akan

    tersangkut di situ. Di bawah valekula terdapat epiglotis. Pada bayi epiglotis ini

    berbentuk omega dan pada perkembangannya akan lebih melebar, meskipun kadang

    kadang bentuk infantile (bentuk omega) ini tetap sampai dewasa. Dalam

    perkembangannya, epiglotis ini dapat menjadi demikian lebar dan tipisnya. Epiglotis

    berfungsi juga untuk melindungi glotis ketika menelan minuman atau bolus

    makanan, pada saat bolus tersebut menuju ke sinus piriformis dan ke esofagus.

    Ruang Faringal

    Ada dua ruang yang berhubungan dengan faring yang secara klinis

    mempunyai arti penting, yaitu ruang retrofaring dan ruang parafaring. Ruang

    retrofaring ( Retropharyngeal space), dinding anterior ruang ini adalah dinding

    belakang faring yang terdiri dari mukosa faring, fasia faringobasilaris dan otot otot

    faring. Ruang ini berisi jaringan ikat jarang dan fasia prevertebralis. Ruang ini mulai

    dari dasar tengkorak di bagian atas sampai batas paling bawah dari fasia servikalis.

    Serat serat jaringan ikat di garis tengah mengikatnya pada vertebra. Di sebelah

    lateral ruang ini berbatasan dengan fosa faringomaksila.

    Ruang parafaring (Pharyngomaxillary Fossa), ruang ini berbentuk kerucut

    dengan dasarnya yang terletak pada dasar tengkorak dekat foramen jugularis dan

    puncaknya pada kornu mayus os hioid. Ruang ini dibatasi di bagian dalam oleh m.

    konstriktor faring superior, batas luarnya adalah ramus asenden mandibula yang

    melekat dengan m. pterigoid interna dan bagian posterior kelenjar parotis. Fosa ini

    dibagi menjadi dua bagian yang tidak sama besarnya oleh os stiloid dengan otot yang

    melekat padanya. Bagian anterior (presteloid) adalah bagian yang lebih luas dan

  • 8/10/2019 SKENARIO 3 THT

    10/51

    10

    dapat mengalami proses supuratif sebagai akibat tonsil yang meradang, beberapa

    bentuk mastoiditis atau petrositis, atau dari karies dentis. Bagian yang lebih sempit di

    bagian posterior (post stiloid) berisi a.karotis interna, v. jugularis interna, n. vagus

    yang dibungkus dalam suatu sarung yang disebut selubung karotis (carotid sheath).

    Bagian ini dipisahkan dari ruang retrofaring oleh sesuatu lapisan fasia yang tipis .

    2. Anatomi Laring

    Gambar 1. Anatomi Laring Atlas of Human Anatomy 4thEdition

    Laring adalah bagian dari saluran pernafasan bagian atas yang merupakan

    suatu rangkaian tulang rawan yang berbentuk corong dan terletak setinggi vertebra

    cervicalis IV VI, dimana pada anak-anak dan wanita letaknya relatif lebih tinggi.

  • 8/10/2019 SKENARIO 3 THT

    11/51

    11

    Laring pada umumnya selalu terbuka, hanya kadang-kadang saja tertutup bila sedang

    menelan makanan. Lokasi laring dapat ditentukan dengan inspeksi dan palpasi

    dimana didapatkannya kartilago tiroid yang pada pria dewasa lebih menonjol kedepan

    dan disebut Prominensia Laringatau disebut juga Adams apple atau jakun.Batas-

    batas laring berupa sebelah kranial terdapat aditus laringeus yang berhubungan

    dengan hipofaring, di sebelah kaudal dibentuk oleh sisi inferior kartilago krikoid dan

    berhubungan dengan trakea, di sebelah posterior dipisahkan dari vertebra cervicalis

    oleh otot-otot prevertebral, dinding dan cavum laringofaring serta disebelah anterior

    ditutupi oleh fascia, jaringan lemak, dan kulit. Sedangkan di sebelah lateral ditutupi

    oleh otot-otot sternokleidomastoideus, infrahyoid dan lobus kelenjar tiroid. Laring

    berbentuk piramida triangular terbalik dengan dinding kartilago tiroid di sebelah atas

    dan kartilago krikoidea di sebelah bawahnya. os hyoid dihubungkan dengan laring

    oleh membrana tiroidea. Tulang ini merupakan tempat melekatnya otot-otot dan

    ligamenta serta akan mengalami osifikasi sempurna pada usia 2 tahun.Secara

    keseluruhan laring dibentuk oleh sejumlah kartilago, ligamentum dan otot-otot.

    A. . KARTILAGO.

    Kartilago laring terbagi atas 2 (dua) kelompok, yaitu :

    a. Kelompok kartilago mayor, terdiri dari :

    kartilago tiroidea, 1 buah

    kartilago krikoidea, 1 buah

    kartilago aritenoidea, 2 buah

    b. Kartilago minor, terdiri dari :

    kartilago kornikulata santorini, 2 buah

    kartilago kuneiforme wrisberg, 2 buah

    kartilago epiglotis, 1 buah

    B. LIGAMENTUM DAN MEMBRANA

    Ligamentum dan membran laring terbagi atas 2 grup, yaitu

    a. Ligamentum ekstrinsik, terdiri dari :

  • 8/10/2019 SKENARIO 3 THT

    12/51

    12

    Membran tirohioid

    Ligamentum tirohioid

    Ligamentum tiroepiglotis

    Ligamentum hioepiglotis

    Ligamentum krikotrakeal

    b. Ligamentum intrinsik, terdiri dari :

    Membran quadrangularis

    Ligamentum vestibular

    Konus elastikus

    Ligamentum krikotiroid media

    Ligamentum vokalis

    Membrana laring dari posterior (Kartilago Ariteoid kanan digeser ke lateral)

    C. OTOT - OTOT

    Otototot laring terbagi dalam 2 (dua) kelompok besar yaitu otot-otot

    ekstrinsik dan otot-otot intrinsik yang masing-masing mempunyai fungsi yang

    berbeda.

    a.

    Otot-otot ekstrinsik.

    Otot-otot ini menghubungkan laring dengan struktur disekitarnya. Kelompok

    otot ini menggerakkan laring secara keseluruhan.

    Terbagi atas :

    1. Otot-otot suprahioid / otot-otot elevator laring, yaitu :

    - M. stilohioideus - M. milohioideus

    - M. geniohioideus - M. digastrikus

    - M. genioglosus - M. hioglosus2. Otot-otot infrahioid / otot-otot depresor laring, yaitu :

    - M. omohioideus

    - M. sternokleidomastoideus

    - M. tirohioideus

  • 8/10/2019 SKENARIO 3 THT

    13/51

    13

    Kelompok otot-otot depresor dipersarafi oleh ansa hipoglossus C2 dan C3 dan

    penting untuk proses menelan (deglutisi) dan pembentukan suara (fonasi). Muskulus

    konstriktor faringeus medius termasuk dalam kelompok ini dan melekat pada linea

    oblikus kartilago tiroidea. Otot-otot ini penting pada proses deglutisi.

    b. Otot-otot intrinsik

    Menghubungkan kartilago satu dengan yang lainnya. Berfungsi

    menggerakkan struktur yang ada di dalam laring terutama untuk membentuk suara

    dan bernafas. Otot-otot pada kelompok ini berpasangan kecuali m. interaritenoideus

    yang serabutnya berjalan transversal dan oblik. Fungsi otot ini dalam proses

    pembentukkan suara, proses menelan dan berbafas. Bila m. interaritenoideus

    berkontraksi, maka otot ini akan bersatu di garis tengah sehingga menyebabkan

    adduksi pita suara. Yang termasuk dalam kelompok otot intrinsik adalah :

    1. Otot-otot adduktor :

    Mm. interaritenoidei transversales dan oblikui

    M. krikotiroideus

    M. krikotiroideus lateral.

    Berfungsi untuk menutup pita suara.2. Otot-otot abduktor :

    M. krikoaritenoideus posterior

    Berfungsi untuk membuka pita suara.

    3. Otot-otot tensor :

    Tensor Internus : M. tiroaritenoideus dan M. vokalis

    Tensor Eksternus : M. krikotiroideus

    Mempunyai fungsi untuk menegangkan pita suara. Pada orang tua, m. tensor

    internus kehilangan sebagian tonusnya sehingga pita suara melengkung ke lateral

    mengakibatkan suara menjadi lemah dan serak.

    3. Anatomi tonsil

  • 8/10/2019 SKENARIO 3 THT

    14/51

    14

    Tonsil dan adenoid merupakan bagian terpenting cincin waldeyer dari jaringan

    limfoid yang mengelilingi faring. Tonsil terletak dalam sinus tonsilaris diantara pilar

    anterior dan posterior faussium. Tonsil faussium terdapat satu buah pada tiap sisi

    orofaring adalah jaringan limfoid yang dibungkus oleh kapsul fibrosa yang jelas.

    Permukaan sebelah dalam tertutup oleh membran epitel skuamosa berlapis yang

    sangat melekat. Epitel ini meluas kedalam kripta yang membuka kepermukaan tonsil.

    Kripta pada tonsil berjumlah 8-20, biasa tubular dan hampir selalu memanjang dari

    dalam tonsil sampai kekapsul pada permukaan luarnya.Bagian luar tonsil terikat pada

    m.konstriktor faringeus superior, sehingga tertekan setiap kali menelan. m.

    palatoglusus dan m. palatofaring juga menekan tonsil. Selama masa embrio, tonsil

    terbentuk dari kantong pharyngeal kedua sebegai tunas dari sel endodermal.

    Singkatnya setelah lahir, tonsil tumbuh secara irregular dan sampai mencapai ukuran

    dan bentuk, tergantung dari jumlah adanya jaringan limphoid.

    Struktur di sekitar tonsil:

    1. Anterior : pada bagian anterior tonsilla palatina terdapat arcus palatoglossus,

    dapat meluas dibawahnya untuk jarak pendek.

    2. Posterior : di posterior terdapat arcus palatopharyngeus.

    3. Superior : di bagian superior terapat palatum molle. Disini tonsilla bergabung

    dengan jaringan limfoid pada permukaan bawah palatum molle.

    4. Inferior : di inferior merupakan sepertiga posterior lidah. Di sini, tonsilla

    palatina menyatu dengan tonsilla lingualis.

    5. Medial : di bagian medial merupakan ruang oropharynx.

    6. Lateral : di sebelah lateral terdapat capsula yang dipisahkan dari m.constristor

    pharyngis superior oleh jaringan areolar longgar.

    V. palatina externa berjalan turun dari palatum molle dalam jaringan ikat longgar

    ini, untuk bergabung dengan pleksus venosus pharyngeus. Lateral terhadap

    m.constrictor pharynges superior terdapat m. styloglossus dan lengkung a.facialis. A.

    Carotis interna terletak 2,5 cm di belakang dan lateral tonsilla. Tonsilla palatina

  • 8/10/2019 SKENARIO 3 THT

    15/51

    15

    mendapat vascularisasi dari : ramus tonsillaris yang merupakan cabang dari arteri

    facialis; cabang-cabang a. Lingualis; a. Palatina ascendens; a. Pharyngea ascendens.

    Sedangkan innervasinya, diperoleh dari N. Glossopharyngeus dan nervus

    palatinus minor. Pembuluh limfe masuk dalam nl. Cervicales profundi. Nodus paling

    penting pada kelompok ini adalah nodus jugulodigastricus, yang terletak di bawah

    dan belakangangulus mandibulae.Tonsila disusun oleh jaringan limfoid yang meliputi

    epitel skuamosa yang berisi beberapa kripta. Celah di atas tonsila merupakan sisa

    darin endodermal muara arkus bronkial kedua, di mana fistula bronkial/ sinus internal

    bermuara.. Di dalam lengkung faring terdapat tonsil (amandel) yaitu kelenjar limfa

    yang mengandung banyak kelenjar limfoid dan merupakan pertahanan terhadap

    infeksi. Tonsil terdiri dari jaringan limfoid yang dilapisi epitel respiratory.

    Cincin waldeyer merupakan jaringan limfoid yang membentuk lingkaran di faring

    yang terdiri dari tonsil palatina, tonsil faringeal (adenoid), tonsil lingual.Tonsil

    merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfosit. Limfosit B membentuk

    kira-kira 50-60 % dari limfosit tonsilar. Limfosit T pada tonsil 40 % dan 3 % lagi

    adalah sel plasma yang matang. Limfosit B berproliferasi di pusat germinal.

    Imunoglobulin G, A, M, D, komplemen-komplemen, interferon, losozim dan sitokin

    berakumulasi di jaringan tonsilar.

    Tonsil merupakan organ limfatik sekunder yang diperlukan untuk differensiasi

    dan proliferasi limfosit yang sudah disensitisasi. Tonsil mempunyai 2 fungsi yaitu :

    menangkap dan mengumpulkan bahan asing dengan efektif dan sebagai organ utama

    produksi antibodi dan sensitisasi sel limfosit T dengan antigen spesifik.

    2. HISTOLOGI

    Bentuk mukosa faring brevariasi, tergantung pada letaknya (Soepardi, 2014).

    Pada nasofaring karena dekat dengan saluran respirasi, maka mukosanya bersilia dan

    epitelnya torak berlapis yang mengandung sel goblet. Di bagian orofaring dan

    laringofaring, epitelnya skuamous kompleks non kornifikasi dan tidak bersilia karena

  • 8/10/2019 SKENARIO 3 THT

    16/51

    16

    termasuk saluran pencernaan. Di sepanjang faring dapat ditemukan banyak sel

    jaringan limfoid.

    Sedangkan pada laring didapatkan variasi bentuk epitel karena letaknya

    (Isdaryanto, 2014). Pada epiglottis pars lingualis, epitelnya skuamous kompleks non

    kornifikasi. Pada pars pharingeal yang menyusun adalah epitel respirasi, yaitu

    pseudokompleks kolumner. Lalu, terkadang didapatkan epitel kolumner kompleks

    pada area transisi antara pars lingualis dan pharingeal. Limfosit dan nodus limfatikus

    banyak terdapat pada ventriculus laryngis.

    Berbagai kartilago menyusun struktur laring. Cartilago hialin menyusun

    cartilago thyroidea, cricoidea, dan arytenoidea. Sedangkan cartilago elastis menyusun

    cartilago epiglottica.

    3. FISIOLOGI

    Laring mempunyai 3 (tiga) fungsi dasar yaitu fonasi, respirasi dan proteksi

    disamping beberapa fungsi lainnya seperti terlihat pada uraian berikut :

    a. Fungsi Fonasi.

    Pembentukan suara merupakan fungsi laring yang paling kompleks. Suara

    dibentuk karena adanya aliran udara respirasi yang konstan dan adanya interaksi

    antara udara dan pita suara. Nada suara dari laring diperkuat oleh adanya tekanan

    udara pernafasan subglotik dan vibrasi laring serta adanya ruangan resonansi

    seperti rongga mulut, udara dalam paru-paru, trakea, faring, dan hidung. Nada

    dasar yang dihasilkan dapat dimodifikasi dengan berbagai cara. Otot intrinsik

    laring berperan penting dalam penyesuaian tinggi nadadengan mengubah bentuk

    dan massa ujung-ujung bebas dan tegangan pita suara sejati. Ada 2 teori yang

    mengemukakan bagaimana suara terbentuk :

    Teori MyoelastikAerodinamik:

  • 8/10/2019 SKENARIO 3 THT

    17/51

    17

    Selama ekspirasi aliran udara melewati ruang glotis dan secara tidak

    langsung menggetarkan plika vokalis. Akibat kejadian tersebut, otot-otot laring

    akan memposisikan plika vokalis (adduksi, dalam berbagai variasi) dan

    menegangkan plika vokalis. Selanjutnya, kerja dari otot-otot pernafasan dan

    tekanan pasif dari proses pernafasan akan menyebabkan tekanan udara ruang

    subglotis meningkat, dan mencapai puncaknya melebihi kekuatan otot sehingga

    celah glotis terbuka. Plika vokalis akan membuka dengan arah dari posterior ke

    anterior. Secara otomatis bagian posterior dari ruang glotis yang pertama kali

    membuka dan yang pertama kali pula kontak kembali pada akhir siklus getaran.

    Setelah terjadi pelepasan udara, tekanan udara ruang subglotis akan berkurang

    dan plika vokalis akan kembali ke posisi saling mendekat (kekuatan myoelastik

    plika vokalis melebihi kekuatan aerodinamik). Kekuatan myoelastik bertambah

    akibat aliran udara yang melewati celah sempit menyebabkan tekanan negatif

    pada dinding celah (efek Bernoulli). Plika vokalis akan kembali ke posisi semula

    (adduksi) sampai tekanan udara ruang subglotis meningkat dan proses seperti di

    atas akan terulang kembali.

    b. Fungsi Proteksi.

    Benda asing tidak dapat masuk ke dalam laring dengan adanya reflek otot-

    otot yang bersifat adduksi, sehingga rima glotis tertutup. Pada waktu menelan,

    pernafasan berhenti sejenak akibat adanya rangsangan terhadap reseptor yang ada

    pada epiglotis, plika ariepiglotika, plika ventrikularis dan daerah interaritenoid

    melalui serabut afferen N. Laringeus Superior. Sebagai jawabannya, sfingter dan

    epiglotis menutup. Gerakan laring ke atas dan ke depan menyebabkan celah

    proksimal laring tertutup oleh dasar lidah. Struktur ini mengalihkan makanan ke

    lateral menjauhi aditus dan masuk ke sinus piriformis lalu ke introitus esofagus.

    c. Fungsi Respirasi.

  • 8/10/2019 SKENARIO 3 THT

    18/51

    18

    Pada waktu inspirasi diafragma bergerak ke bawah untuk memperbesar

    rongga dada dan M. Krikoaritenoideus Posterior terangsang sehingga

    kontraksinya menyebabkan rima glotis terbuka. Proses ini dipengaruhi oleh

    tekanan parsial CO2 dan O2 arteri serta pH darah. Bila pO2 tinggi akan

    menghambat pembukaan rima glotis, sedangkan bila pCO2 tinggi akan

    merangsang pembukaan rima glotis. Hiperkapnia dan obstruksi laring

    mengakibatkan pembukaan laring secara reflektoris, sedangkan peningkatan pO2

    arterial dan hiperventilasi akan menghambat pembukaan laring. Tekanan parsial

    CO2darah dan pH darah berperan dalam mengontrol posisi pita suara.

    d. Fungsi Sirkulasi.

    Pembukaan dan penutupan laring menyebabkan penurunan dan

    peninggian tekanan intratorakal yang berpengaruh pada venous return.

    Perangsangan dinding laring terutama pada bayi dapat menyebabkan bradikardi,

    kadang-kadang henti jantung. Hal ini dapat karena adanya reflek kardiovaskuler

    dari laring. Reseptor dari reflek ini adalah baroreseptor yang terdapat di aorta.

    Impuls dikirim melalui N. laringeus rekurens dan ramus komunikans N. laringeus

    superior. Bila serabut ini terangsang terutama bila laring dilatasi, maka terjadi

    penurunan denyut jantung.

    e. Fungsi Fiksasi.

    Berhubungan dengan mempertahankan tekanan intratorakal agar tetap

    tinggi, misalnya batuk, bersin dan mengedan.

    f. Fungsi Menelan.

    Terdapat 3 (tiga) kejadian yang berhubungan dengan laring pada saat

    berlangsungnya proses menelan, yaitu :

    1. Fase oral

  • 8/10/2019 SKENARIO 3 THT

    19/51

    19

    Terjadi secara volunter makanan yang telah dikunyah dan bercapur

    dengan liur akan membentuk bolus makanan. Bolus ini bergerak dari rongga

    mulut melalui dorsum lidah. Kontraksi musculus levator veli palatini

    mengakibatkan rongga pada lekukan dorsum lidah diperluas, palatum mole

    terangkat dan bagian superior dari dinding posterior faring akan terangkat.

    Bolus terdorong ke posterior, dan nasofaring tertutup. Selanjutnya terjadi

    kontraksi musculus palatoglossus sehingga isthmus fausium tertutup, lalu

    kontraksi musculus palatopharingeus mencegah terjadinya refluks makanan ke

    cavum oris.

    2.

    Fase faringeal

    Terjadi secara refeks akibat adanya bolus makanan. Faring dan laring

    bergerak ke atas oleh kontraksi musculus sylopharingeus, musculus

    salpingopharyngeus, musculus tyrohyoideus dan musculus palatopharyngeus.

    Aditus laryngis tertutup oleh epiglottis. Bersamaan dengan ini juga terjadi

    penghentian aliran udara ke laring. Selanjutnya bolus makanan meluncur ke

    esofagus.

    3. Fase esofageal

    Terjadi perpindahan bolus makanan dari esofagus ke gaster. Adanya

    rangsangan bolus makanan, terjadi relaksasi musculus criocopharyngeus,

    sehingga jalan masuk ke esofagus terbuka dan bolus makanan bisa masuk.

    Setelah bolus lewat, sphincter superior berkontraksi lebih kuat sehingga bolus

    makanan tidak kembali ke faring. Gerak bolus makanan di superior esofagus

    dipengaruhi oleh kontraksi musculus constrictor pharyngeus inferior pada

    akhir fase faringeal. Selanjutnya bolus didorong ke arah distal esofagus oleh

    gerakan peristaltik. Pada akhir fase ini, sphincter gaster-esophageal akan

    terbuka secara refleks.

    g. Fungsi Batuk.

  • 8/10/2019 SKENARIO 3 THT

    20/51

    20

    Bentuk plika vokalis palsu memungkinkan laring berfungsi sebagai katup,

    sehingga tekanan intratorakal meningkat. Pelepasan tekanan secara mendadak

    menimbulkan batuk yang berguna untuk mempertahankan laring dari ekspansi

    benda asing atau membersihkan sekret yang merangsang reseptor atau iritasi pada

    mukosa laring.

    h. Fungsi Ekspektorasi.

    Dengan adanya benda asing pada laring, maka sekresi kelenjar berusaha

    mengeluarkan benda asing tersebut.

    i. Fungsi Emosi.

    Perubahan emosi dapat meneybabkan perubahan fungsi laring, misalnya

    pada waktu menangis, kesakitan, menggigit dan ketakutan.

    3. Adakah hubungan pasien demam serta keluhan?

    Hubungan demam dengan tonsilitis pada pasien dalam skenario

    Pada kejadian tonsilitis kronik maupun akut, pasien akan mengalami

    demam. Hal ini dikarenakan mediator-mediator inflamasi yang dibawa oleh tubuh

    untuk merespon adanya bakteri yang masuk dalam tubuh. Zat yang dapat

    menyebabkan efek perangsangan terhadap pusat pengaturan suhu sehingga

    menyebabkan demam disebut pirogen. Zat pirogen ini dapat berupa protein,

    pecahan protein, dan zat lain, terutama toksin polisakarida, yang dilepas oleh

    bakteri toksik atau pirogen yang dihasilkan dari degenerasi jaringan tubuh.

    Mekanisme demam dimulai dengan timbulnya reaksi tubuh terhadap pirogen

    dalam hal ini, pirogen yang dimaksud pada pasien tonsilitis adalah streptococcusbeta hemoliticus. Pada mekanisme ini, bakteri atau pecahan jaringan akan

    difagositosis oleh leukosit darah, makrofag jaringan, dan limfosit pembunuh

    bergranula besar.

  • 8/10/2019 SKENARIO 3 THT

    21/51

    21

    Seluruh sel ini selanjutnya mencerna hasil pemecahan bakteri dan

    melepaskan zat interleukin-1(IL-1) ke dalam cairan tubuh, yang disebut juga zat

    pirogen leukosit atau pirogen endogen. Interleukin-1 ketika sampai di hipotalamus

    akan menimbulkan demam dengan cara meningkatkan temperature tubuh dalam

    waktu 8 10 menit. Sedikitnya sepersepuluh juta gram endoroksin

    lipopolisakarida dari bakteri, bekerja dengan cara ini secara bersama-sama dengan

    leukosit darah, makrofag jaringan, dan limfosit pembunuh dapat menyebabkan

    demam. Jumlah Interleukin-1. Yang di bentuk sebagai respon terhadap

    lipopolisakarida untuk menyebabkan demam hanya beberapa

    nanogram.Interleukin-1 menyebabkan demam, pertama-tama dengan menginduksi

    pembentukan salah satu prostaglandin E2 , atau zat yang mirip dan selanjutnya

    bekerja di hipotalamus untuk membangkitkan reaksi demam.

    4. Mengapa pasien mengorok dengan sangkalan sesak napas?

    Secara umum, anak yang mendengkur dapat diklasifikasikan menjadi 2

    kelompok besar yaitu occasionalsnoring (mendengkur sesekali saja) dan habitual

    snoring (sering mendengkur). Anak dikategorikan mengalami habitual snoring

    apabila mendengkur >3 kali seminggu, sedangkan disebut occasional snoring

    apabila mendengkur

  • 8/10/2019 SKENARIO 3 THT

    22/51

    22

    alergi seperti rinitis alergi, asma dan sinusitis juga seringkali dikatakan berkorelasi

    dengan OSAS pada anak. Hipertrofi adenoid dan tonsil merupakan keadaan yang

    paling sering menyebabkanOSAS pada anak. Pada pasien dewasa obesitas

    merupakan faktor risiko utama OSAS sedangkan pada anak obesitas bukan sebagai

    faktor risiko utama.

    Anak yang menderita OSAS terutama yang berat akan mengalami gejala

    siang dan malam hari. Pada malam hari (night-time symptoms), anak tidur dengan

    mulut terbuka, mengorok dan seringkali mengalami henti napas. Akibatnya anak

    sering terbangun dari tidurnya karena gelagepan dan mengalami kekurangan

    oksigen (hipoksia). Anak dengan OSAS yang berat juga sering mengalami

    enuresis. Sebagai akibat dari gejala dan gangguan pada saat tidur malamnya, pada

    siang hari timbul gejala yang disebut day-time syndrome, berupa sering tertidur

    dalam kelas, kesulitan belajar terutama pada mata pelajaran tertentu seperti

    matematika dan sains serta gangguan kognitif lainnya sehingga terjadi penurunan

    prestasi akademik. Perubahan perilaku menjadi mudah marah serta adanya gagal

    tumbuh juga seringkali dilaporkan berhubungan dengan OSAS. Kondisi hipoksia

    yang berlangsung lama pada anak OSASdengan AHI (apneu/hypopnea index)

    yang tinggi dapat menyebabkan cor-pulmonale dan hipertensi pulmonal.

    Penegakan diagnosis OSAS pada anak merupakan besaran masalah

    tersendiri, mengingat diagnosis definitif ditegakkan dengan pemeriksaan

    polisomnografi pada saat tidur. Pemeriksaan ini memberikan pengukuran yang

    objektif mengenai beratnya penyakit dan dapat digunakan sebagai data dasar untuk

    mengevaluasi keadaannya setelah operasi.

    Pemeriksaan polisomnografi akan merekam aktivitas anak selama tidur

    dengan menilai frekuensi dan lama mendengkur, henti napas, aktivitas listrik

    jantung, saturasi oksigen dan aktivitas listrik otak. Tidak tersedianya

    polisomnografi dapat diatasi dengan melakukan anamnesis pengisian kuesioner

    dan/atau membuat video rekaman anak selama tidur.

  • 8/10/2019 SKENARIO 3 THT

    23/51

    23

    Mengingat hipertrofi adenoid dan tonsil yang merupakan faktor risiko

    tertinggi timbulnya OSAS pada anak, maka tonsiloadenoidektomi merupakan

    upaya yang efektif untuk mengatasi masalah OSAS pada anak. Seringkali orangtua

    atau kalangan awam mempercayai bahwa tindakan tonsiloadenoidektomi pada

    anak-anak dapat meningkatkan performa atau prestasi akademik.

    Kemungkinan ini dapat terjadi pada anak dengan OSAS yang mengalami

    gangguan belajar. Tindakan tonsiloadenoidektomi pada anak OSAS juga

    mempunyai risiko komplikasi yang cukup banyak, mulai dari tindakan anestesi,

    serta komplikasi pasca operasi yang kekerapannya lebih tinggi pada anak dengan

    OSAS dibandingkan dengan pada anak tanpa OSAS. Komplikasi yang sering

    terjadi adalah obstruksi supraglotis, desaturasi, perdarahan, dan lain-lain. Pasien

    anak dengan OSAS yang menjalani tonsiloadenoidektomi perlu dirawat inap

    minimal satu hari untuk mengobservasi kemungkinan timbulnya komplikasi

    tersebut. Namun demikian, pada beberapa kasus ternyata tindakan operatif tidak

    bisa mengatasi OSAS. Bila demikian maka diperlukan evaluasi lebih lanjut dan

    mendalam mengenai penyulit-penyulit pada kasus tersebut serta pertimbangan

    untuk pemasangan CPAP (continuous positive airway pressure). (Kaswandani,

    2010).

    JUMP 4 : Menginventarisasikan permasalahan-permasalahan secara

    sistematis dan pernyataan sementara mengenai permasalahan-permasalahan

    pada langkah 3.

  • 8/10/2019 SKENARIO 3 THT

    24/51

    24

    Laki-laki

    Usia 5 tahun

    Mendengkur ketika tidur

    tanpa sesak napas

    Keluhan berulang sejak usia 3 tahun Riwayat batuk pilek

    Sakit menelan

    Suara serak

    Demam

    Pemeriksaan fisik:

    -

    Granuloma dan hiperemi pada

    mukosa pharynx

    - Detritus dan hipertopi pada tonsil

    -

    Edema dan hiperemi pada plica

    vocalis

    Imunitas masih dalamtahap perkembangan dan

    belum sempurna

    Timbulnya granuloma dan

    hiperemi pada mukosa

    pharynx menyebabkan

    sakit ketika menelan

    Infeksi pada pernapasan

    atas yang menyebabkan

    penimbunan bakteri pada

    tonsil hingga terjadi

    detritus.

    Penebalan pada plica

    vocalis menyebabkan

    suara serak.

    Positif terjadi infeksi oleh bakteri

    Streptococcus heolitikus tipe A

    Diagnosis Differensial:

    Tonsilitis, Pharyngitis, Laryngistis, dan Hipertrofi Adenoid

    Pemeriksaan Penunjang, Diagnosis, Terapi dan Edukasi, Prognosis,

    serta Komplikasi

  • 8/10/2019 SKENARIO 3 THT

    25/51

    25

    JUMP 5 : Merumuskan Tujuan Pembelajaran

    1. Fungsi bangunan penting pada pharynx dan larynx (torus tubarius,

    torus levatorius, dll)

    2. Patofisiologi sakit saat menelan (odinofagia)

    3. Hubungan suara serak dengan sakit saat menelan

    4. Hubungan batuk pilek dengan keluhan sakit saat menelan dan suara

    serak

    5. Patofisiologi oedem pada plica vocalis

    6. Mengapa keluhan sakit saat menelan dan suara serak berulang?

    7. Hubungan keluhan dengan usia pasien

    8. Interpretasi pemeriksaan fisik dan laboratorium

    9. Pemeriksaan penunjang, DDx, terapi, komplikasi, dan prognosis.

    JUMP 6 : Mengumpulkan Informasi Baru

    Pada langkah keenam ini, mahasiswa dapat mencari sumber referensi yang

    dipercaya untuk disampaikan dalam pertemuan kedua tutorial. Sumber-sumber

    tersebut dapat berasal dari jurnal, konsultasi pakar, buku teks, dan literatur lainnya.

    JUMP 7 : Melaporkan, Membahas, dan Menata Informasi-Informasi yang

    Sudah Dicari

    1. Fungsi bangunan penting pada pharynx dan larynx (torus tubarius, torus

    levatorius, dll)

  • 8/10/2019 SKENARIO 3 THT

    26/51

    26

    1. OstiumPharyngeum tuba auditiva muara dari tuba auditiva

    2. Torus tubarius, penonjolan di atas ostium pharyngeum tuba auditiva yang

    disebabkan karena cartilago tuba auditiva, berfungsi membantu menyeimbangkan

    tekanan udara luar dengan tekanan di auris media

    3. Torus levatorius, penonjolan di bawah ostium pharyngeum tuba auditiva yang

    disebabkan karena musculus levator veli palatini. Berfungsi dalam menyokong otot-

    otot penyusun palatum molle.

    4. Plica salpingopalatina, lipatan di depan torus tubarius

    5. Plica salpingopharingea, lipatan di belakang torus tubarius, merupakan penonjolan

    dari musculus salphingopharingeus yang berfungsi untuk membuka ostium

    pharyngeum tuba auditiva terutama ketika menguap atau menelan.

    6. Recessus Pharingeus disebut juga fossa rossenmuller. Merupakan tempat predileksi

    Nasopharingeal Carcinoma.

    7. Tonsila pharingea, terletak di bagian superior nasopharynx. Disebut adenoid jika

    ada pembesaran. Sedangkan jika ada inflammasi disebut adenoiditis.

    8. Tonsila tuba, terdapat pada recessus pharingeus.

    9. Isthmus pharingeus merupakan suatu penyempitan di antara nasopharing dan

    oropharing karena musculus sphincter palatopharingeus.

    10. Musculus constrictor pharingeus dengan origo yang bernama raphe pharingei

    11. Dinding posterior pharynx, penting karena ikut terlibat pada radang akut atau

    radang kronik pharynx, abses retropharynx, serta gangguan otot-otot di bagian

    tersebut.

    12. Fossa tonsilaris, berisi jaringan ikat jarang dan biasanya merupakan tempat nanah

    memecah ke luar bila terjadi abses.

    13. Tonsil, adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh

    jaringan ikat dan ditunjang kriptus di dalamnya. Ada 3 macam tonsil, yaitu tonsil

    pharynxeal (adenoid), tonsil palatina, dan tonsil lingual, yang ketiganya membentuk

    lingkaran yang disebut cincin Waldeyer. Epitel yang melapisi tonsil adalah epitel

  • 8/10/2019 SKENARIO 3 THT

    27/51

    27

    skuamosa yang juga meliputi kriptus. Di dalam kriptus biasanya ditemukan leukosit,

    limfosit, epitel yang terlepas, bakteri, dan sisa makanan.

    14. Vallecula epiglottica berfungsi untuk menampung benda-benda tumpul

    15. Epiglottis, berfungsi untuk melindungi glotis ketika menelan minuman atau bolus

    makanan, pada saat bolus tersebut menuju ke sinus piriformis dan ke esofagus.

    2. Patofisiologi sakit saat menelan (odinofagia)

    Odinofagia berawal ketika bolus bergerak dari rongga mulut ke orofaring

    akan menyebabkan iritasi saat mengangkat palatum molle karena adanya peradangan

    di daerah faring, laring, serta tonsilla palatina. Nyeri menelan dapat disertai dengan

    disfagia atau tidak.

    3. Hubungan suara serak dengan sakit saat menelan

    Dysfonia

    Merupakan istilah umum untuk setiap gangguan suara yang disebabkan

    kelainan pada organ-organ fonasi, terutama laring, baik bersifat organik maupun

    fungsional, ( Gangguan suara / dysfonia dapat berupa suara parau, suara lemah

    (hipofonia), hilang suara (afonia), suarah tegang (spastik), suara yang terdiri dari

    beberapa nada (diplofonia), nyeri pada saat bersuara (odinofonia), atau ketidak

    mampuan untuk mencapai nada dan intensitas tertentu. Setiap keadaan yang

    menimbulan gangguan dalam getaran, gangguan dalam ketegangan serta gangguan

    dalam pendekatan (aduksi) kedua pita suara kiri dankanan akan menimbulkan

    disfonia. Penyebab disfonia dapat bermacam macam, yang pada prinsipnya

    menimpa laring dan sekitarnya. Etiologi ini dapat berupa radang, neoplasma, paralisisotot-otot laring, kelainan laring seperti sikatrik pasca operasi, fiksasi pada sendi

    krikoaritenoid, dan lain-lain.

    Disfonia pada umumnya merujuk pada gangguan vibrasi plica vocalis, sehingga dpat

    menimbulkan efek pada satu atau seluruh subsistem penghasil suara.

  • 8/10/2019 SKENARIO 3 THT

    28/51

    28

    1). Sistem tekanan udara (Air Pressure System)

    Bila paru-paru mengalami kelainan yang menyebabkan sulitnya udara untuk

    dikeluarkan dari paru-paru, maka aliran udara yang dihasilkan lemah dan tidak efisien

    untuk dapat menggetarkan plica vocalis. Akibatnya sura yang dihasilkan sangat

    lemah dan terhambat oleh nafas yang pendek.

    Contoh : pada pasien asma, kanker paru dan emfisema.

    2). Vibratory System

    Gangguan vibrasi pada plica vocalis yang menyebabkan suara terengar serak

    (parau)

    Contoh: pada pasien yang mengalami kekakuan pada pita suara akibat suatu

    pembengkakan yang disebabkan oleh flu .

    3)Resonating System / Vocal Tract

    Resonating system/Vocal tract terdiri dari faring, rongga mulut, dan rongga

    hidung. Fungsi dari resonating system/vocal tract pada proses dihasilkannya suara

    ialah sebagai amplifikasi dan modifikasi dari suara dasar yang dihasilkan oleh getaran

    plica vocalis, seblum nantinya mengalami artikulasi oleh lidah, palatum mole dan

    bibir sehingga terciptanya bunyi kononan dan vokal. Apabila resonating system/vocal

    tractmengalami gangguan, maka akan mempengaruhi kualitas suara yang dihasilkan,

    Contoh : saluran pernafasan yang bengkak akibat inflamasi selama terjadinya

    flu akan menyebabkan gangguan suara.

    Jika dihubungkan dengan skenario, suara serak yang dialami pasien

    disebabkan oleh adanya gangguan pada vibratory sytem dan resonating system/vocal

    tract. Hal tersebut disebabkan oleh adanya peradangan pada tonsil pasien (tonsilitis),

    dimana dari hasil pemeriksaan pharing didapatkan tonsil hipertrofi disertai detritus.

  • 8/10/2019 SKENARIO 3 THT

    29/51

    29

    4. Hubungan batuk pilek dengan keluhan sakit saat menelan dan suara

    serak

    Pada skenario, dikatakan bahwa pasien mempunyai riwayat sering batuk dan

    pilek. Hal ini menunjukkan bahwa tonsil sering terpapar dengan kuman dan bekerja

    ekstra untuk melakukan fungsi proteksi. Pada suatu ketika, fungsi tonsil mengalami

    penurunan dan tidak lagi mampu melawan infeksi yang terjadi secara berulang.

    Akibatnya, akut tonsil berubah menjadi kronis. Tonsil yang tadinya berfungsi sebagai

    pertahanan tubuh, berubah menjadi tempat infeksi (fokal infeksi). Sehingga pada saat

    keadaan umum tubuh menurun, kuman dan toksin dapat menyebar ke seluruh tubuh,

    terutama secara limfogen.

    5. Patofisiologi oedem pada plica vocalis

    Plica vocalis yang edem menyebabkan kekakuan untuk membuka-menutup,

    sehingga menganggu siklus vibrasi. Akibatnya, jumlah siklus vibrasi sedikit

    (frekuensi suara rendah). Suara yang dihasilkan oleh plica vocalis selanjutnya

    mengalami amplifikasi dan modifikasi di vocal tract resonators yang terdiri dari

    rongga mulut, faring serta rongga hidung.Peradangan pada tonsil yang menyebabkan

    hipertofi tonsil serta gangguan pada faring otomatis menyebabkan ganguan pada

    resonating system sehingga menyebabkan suara yang dihasilkan terdengar serak

    (hoarseness).

    6. Mengapa keluhan sakit saat menelan dan suara serak berulang? (Lihat

    Penjelasan nomor 3,4, dan 5)

    7. Hubungan keluhan dengan usia pasien

    Faringitis lebih sering disebabkan oleh virus (rhinovirus atau

    adenovirus) dan bakteri (Streptococcus pyogenes). Puncak insidensinya

    adalah pada usia 4-7 tahun dan apabila disebabkan oleh Streptococcusgrup A

    jarang terjadi pada usia di bawah 3 tahun (Acerra, 2013).

  • 8/10/2019 SKENARIO 3 THT

    30/51

    30

    Tonsilitis jarang terjadi pada anak usia kurang dari 2 tahun.

    Sedangkan, tonsillitis yang disebabkan Streptococcusbanyak terjadi pada usia

    5-15 tahun. Tonsilitis yang disebabkan oleh virus lebih sering terjadi pada

    anak-anak yang lebih muda (Shah, 2013).

    8. Interpretasi pemeriksaan fisik dan laboratorium

    Pada pemeriksaan pharing didapatkan mukosa pharing terdapat granuloma

    dan hiperemi, tonsil hipertrofi dan terdapat detritus, plika vokalis oedema dan

    hiperemis.

    Ketika bakteri streptococcus hemolyticus group A masuk ke tubuh, sistem

    imun tubuh akan aktif melawan bakteri tersebut. Toksin ekstraseluler yang

    dikeluarkan oleh bakteri kemudian akan dilisiskan oleh komplemen C3a tubuh.

    Reaksi ini menyebabkan degranulasi pada sel mast sehingga mengundang mediator

    inflamasi yang berakibat pada ekstravasi limfosit dan neutrofil disertai dengan sitolin

    dan vasodilator. Sel-sel yang terkena radang akan lisis dan menyebabkan cairan sel

    keluar membentuk eksudat radang dan proliferasi jaringan, gambaranya hampir sama

    dengan jaringan granulasi. Jaringan granulasi yang berlebihan akan membentuk suatu

    tonjolan yang disebut granuloma yaitu suatu masa seperti tumor yang tersir atas

    jaringan granulasi. Vasodilator yang datang akibat reaksi imun terhadap bakteri

    menyebabkan peningkatan vascularisasi pada mukosa sehingga berwarna kemerahan

    (hiperemi).

    Setiap antigen yang masuk akan ditampung dan dibawa ke tonsil untuk

    dilisiskan karena tonsil merupakan alat pertahanan tubuh. Antigen dari bakteri

    streptococcus yang banyak menyebabkan tonsil menjadi hipertrofi karena kerjanyasebagai alat pertahanan tubuh menjadi semakin berat, reaksi imun terhadap antigen

    bakteri streptococcus menyebabkan keluarnya sel-sel limfosit dan leukosit PMN.

    Kumpulan sel-sel leukosit PMN yang memfagosit antigen bakteri menempel di tonsil

    membentuk detritus.

  • 8/10/2019 SKENARIO 3 THT

    31/51

    31

    Infeksi bakteri ini bisa meluas ke daerah di sekitar tonsil yaitu plica vocalis.

    Plica vocalis menjadi oedema dan hiperemis akibat reaksi peradangan terhadap

    antigen bakteri streptococcus yang menyebabkan degranulasi sel mast dan keluarnya

    sitokin-sitokin, vasodilator dan sel-sel leukosit PMN.

    PEMERIKSAAN ANTISTREPTOLISIN-O

    Penetapan ASTO umumnya hanya memberi petunjuk bahwa telah terjadi

    infeksi oleh streptokokus. Streptolisin O bersifat sebagai hemolisin dan pemeriksaan

    ASTO umumnya berdasarkan sifat ini (Soetarto & Latu, 1981).

    Streptokokus grup A (streptokokus beta hemolitik) dapat menghasilkan

    berbagai produk ekstraseluler yang mampu merangsang pembentukan antibodi.

    Antibodi itu tidak merusak kuman dan tidak memiliki daya perlindungan, tetapi

    adanya antibodi tersebut dalam serum menunjukkan bahwa di dalam tubuh baru saja

    terdapat Streptokokus yang aktif. Antibodiyang terbentuk adalah Antistreptolisin O,

    Antihialuronidase (AH), antistreptokinase (Anti-SK), anti-desoksiribonuklease B

    (AND-B), dan anti nikotinamid adenine dinukleotidase(anti-NADase).Demam

    rematik merupakan penyakit vascular kolagen multisystem yang terjadi setelah

    infeksi Streptokokus grup A pada individu yang memiliki faktor predisposisi.

    Penyakit ini masih merupakan penyebab terpenting penyakit jantung didapat

    (acquired heart disease)pada anak dan dewasa muda di banyak negara terutama

    Negara berkembang. Keterlibatan kardiovaskuler pada penyakit ini ditandai oleh

    adanya inflamasi endokardium dan mmiokardium melalui suatu proses autoimun

    yang menyebabkan kerusakan jaringan.Serangan pertama demam reumatik akut

    terjadi paling sering antara umur 515 tahun.Demam reumatik jarang menyerang

    anak dibawah umur lima tahun. Demam reumatik akut menyertai faringitis

    Streptokokus beta hemolitik grup A yang tidak diobati. Pengobatan yang tuntas

    terhadap faringitis akut hampir meniadakan risiko terjadinya demam

    reumatik.Diperkirakan hanya 3 % dari individu yang belum pernah menderita demam

    reumatik akan menderita komplikasi ini setelah menderita faringitis Streptokokus

  • 8/10/2019 SKENARIO 3 THT

    32/51

    32

    yang tidak diobati.ASTO (anti streptolisin O) merupakan antibodi yang paling

    banyak dikenal dan paling sering digunakan untuk indikator terdapatnya infeksi

    Streptokokus. Lebih kurang 80 % penderita demam reumatik menunjukan

    peningkatan titer antibodi terhadap streptokokus. Penelitian menunjukkan bahwa

    komponen streptokokus yang lain memiliki rekativitas bersama dengan jaringan lain.

    Ini meliputi reaksi silang imunologik di antara karbohidrat streptokokus dan

    glikoprotein katup, diantaranya membran protoplasma streptokokus dan jaringan

    saraf subtalamus serta nuclei kaudatus dan antara hialuronat kapsul dan

    kartilagoartikular.

    Ada dua prinsip dasar penetuan ASTO, yaitu:

    1. Netralisasi/penghambat hemolisis

    Streptolisin O dapat menyebabkan hemolisis dari sel darah merah, akan tetapi

    bila Streptolisin O tersebut di campur lebih dahulu dengan serum penderita yang

    mengandung cukup anti streptolisin O sebelum di tambahkan pada sel darah merah,

    maka streptolisin O tersebut akan di netralkan oleh ASO sehingga tidak dapat

    menibulkan hemolisis lagi.

    Pada tes ini serum penderita di encerkan secara serial dan di tambahkan

    sejumlah streptolisin O yang tetap (streptolisin O diawetkan dengan sodium

    thioglycolate). Kemudian ditambahkan suspensi sel darah merah 5%. Hemolisis akan

    terjadi pada pengenceran serum di mana kadar/titer dari ASO tidak cukup untuk

    menghambat hemolisis tidak terjadi pada pengencaran serum yang mengandung titer

    ASO yang tinggi.

    2. Aglutinasi pasif

    Streptolisin O merupakan antigen yang larut. Agar dapatmenyebabkan

    aglutinasi dengan ASO. Maka streptolisin O perlu disalutkan pada partikel-partikel

    tertentu. Partikel yang sering dipakai yaitu partikel lateks. Sejumlah tertentu

    streptolisin O (yang dapat mengikat 200 IU/ml ASO) di tambahkan pada serum

    penderita sehingga terjadi ikatan streptolisin Oanti streptolisin O (SOASO).

  • 8/10/2019 SKENARIO 3 THT

    33/51

    33

    Bila dalam serum penderita terdapat ASO lebih dari 200 IU/ml, maka sisa

    ASO yang tidak terikat oleh Streptolisin O akan menyebabkan aglutinasi dari

    streptolisin O yang disalurkan pada partikel partikel latex . Bila kadar ASO dalam

    serum penderita kurang dari 200 IU / ml , maka tidak ada sisa ASO bebas yang dapat

    menyebabkan aglutinasi dengan streptolisin O pada partikelpartikel latex.

    Tes hambatan hemolisis mempunyai sensitivitas yang cukup baik , sedangkan

    tes aglutinasi latex memiliki sensitivitas yang sedang. Tes aglutinasi latex hanya

    dapat mendeteksi ASO dengan titer di atas 200 IU/ml.

    Nilai normal ASTO

    pada anak 6 bulan

    2 tahun = 50 Todd unit/ ml

    2-4 tahun = 160 Todd unit/ml

    5-12 tahun = 170 Todd unit/ml

    Dewasa = 160 Todd unit/ml

    Titer ASTO akan meningkat 75-80% pada kasus glumerulonefritis akut pasca

    streptokokus.

    9. Pemeriksaan penunjang, DDx, terapi, komplikasi, dan prognosis.

    FARINGITIS

    Faringitis merupakan peradangan dinding faring yang dapat disebabkan oleh

    virus, bakeri, alergi, trauma, toksin, dan lain-lain (Rusmardjono & Soepardi, 2007).

    1. Faringitis Akut

    a. Faringitis Viral

    Gejala dan Tanda

    Demam disertai rinorea, mual, nyeri tenggorok, sulit menelan. Faring dan

    tonsil hiperemis. Virus influenza, coxzachievirus dan cytomegalovirus tidak

    menimbulkan eksudat. Coxzachievirus dapat menimbulkan lesi vasikular di orofaring

  • 8/10/2019 SKENARIO 3 THT

    34/51

    34

    dan lesi kulit berupa maculopapular rash. Adenovirus juga menimbulkan gejala

    konjungtivitis terutama pada anak selain faringitis. Epstein Barr Virus (EBV)

    menyebabkan faringitis disertai eksudat yang banyak, pembesaran kelenjar limfe,

    terutama retroservikal dan hepatosplenomegali (Rusmardjono & Soepardi, 2007).

    Faringitis yang disebabkan HIV-1 menimbulkan keluhan nyeri tenggorok,

    nyeri menelan, mual dan demam, faring tampak hiperemis, terdapat eksudat,

    limfadenopati akut di leher, dan pasien tampak lemah (Rusmardjono & Soepardi,

    2007).

    Terapi

    Istirahat dan minum yang cukup, kumur dengan air hangat, analgetika jika

    perlu dan tablet isap. Dapat diberi juga antivirus metisoprinol (Rusmardjono &

    Soepardi, 2007).

    b. Faringitis Bakterial

    Infeksi grup A Streptococcus hemolitikus penyebab faringitis akut pada

    dewasa (15%) dan anak (30%) (Rusmardjono & Soepardi, 2007).

    Gejala dan Tanda

    Nyeri kepala hebat, muntah kadang demam tinggi, jarang disertai batuk.

    Tonsil tampak membesar, faring dan tonsil hiperemis terdapat eksudat. Kemudian

    timbul petechiae pada palatum dan dasar faring. Kelenjar limfe leher anterior

    membesar, kenyal, dan nyeri pada penekanan (Rusmardjono & Soepardi, 2007).

    Terapi

    Antibiotik penicillin, amoksisilin, atau eritromisin. Kortikosteroid

    dexamethason, analgetika, dan kumur dengan air hangat atau antiseptic (Rusmardjono

    & Soepardi, 2007).

  • 8/10/2019 SKENARIO 3 THT

    35/51

  • 8/10/2019 SKENARIO 3 THT

    36/51

    36

    Terapi

    Pengobatan ditujukan pada rinitis atrofi dan untuk faringitisnya ditambahkan

    obat kumur dan menjaga kebersihan mulut.

    LARINGITIS

    Laringitis merupakan salah satu penyakit yang sering dijumpai pada daerah

    laring. Laringitis merupakan suatu proses inflamasi pada laring yang dapat terjadi

    baik akut maupun kronik.Laringitis akut biasanya terjadi mendadak dan berlangsung

    dalam kurun waktu kurang lebih 3 minggu. Bila gejala telah lebih dari 3 minggu

    dinamakan laringitis kronis.

    Penyebab dari laringitis akut dan kronis dapat bermacam-macam bisa

    disebabkan karena kelelahan yang berhubungan dengan pekerjaan maupun infeksi

    virus.

    Pita suara adalah suatu susunan yang terdiri dari tulang rawan, otot, dan

    membran mukus yang membentuk pintu masuk dari trakea. Biasanya pita suara akan

    membuka dan menutup dengan lancar, membentuk suara melalui pergerakan. Bila

    terjadi laringitis, makan pita suara akan mengalami proses peradangan, pita suara

    tersebut akan membengkak, menyebabkan perubahan suara. Akibatnya suara akan

    terdengar lebih serak.

    Berdasarkan hasil studi laringitis terutama menyerang pada usia 18-40 tahun

    untuk dewasa sedangkan pada anak-anak umumnya terkena pada usia diatas 3 tahun.

    Etiologi

  • 8/10/2019 SKENARIO 3 THT

    37/51

    37

    Hampir setiap orang dapat terkena laringitis baik akut maupun kronis.

    Laringitis biasanya berkaitan dengan infeksi virus pada traktus respiratorius bagian

    atas.

    Patogenesis

    Bila jaringan cedera karena terinfeksi oleh kuman, maka pada jaringan ini

    akan terjadi rangkaian reaksi yang menyebabkan musnahnya agen yang

    membahayakan jaringan atau yang mencegah agen ini menyebar lebih luas. Reaksi-

    reaksi ini kemudian juga menyebabkan jaringan yang cedera diperbaiki.

    Rangkaian reaksi yang terjadi pada tempat jaringan cedera ini dinamakan

    radang.

    Laringitis akut merupakan proses inflamasi pada mukosa pita suara dan laring

    yang berlangsung kurang dari 3 minggu. Bila etiologi dari laringitis akut disebabkan

    oleh adanya suatu infeksi, maka sel darah putih akan bekerja membunuh

    mikroorganisme selama proses penyembuhan. Pita suara kemudian akan menjadi

    tampak edema, dan proses vibrasi juga umumnya ikut mengalami gangguan. Hal ini

    juga dapat memicu timbulnya suara yang parau disebabkan oleh gangguan fonasi.

    Membran yang meliputi pita suara juga terlihat berwarna kemerahan dan

    membengkak.

    Laringitis kronis merupakan suatu proses inflamasi yang menunjukkan adanya

    peradangan pada mukosa laring yang berlangsung lama. Pada laringitis kronis proses

    peradangan dapat tetap terjadi meskipun faktor penyebabnya sudah tidak ada. Proses

    inflamasi akan menyebabkan kerusakan pada epitel bersilia pada laring, terutama

    pada dinding belakang laring. Hal ini akan menyebabkan gangguan dalam

    pengeluaran sekret dari traktus trakeobronkial. Bila hal ini terjadi, sekret akan berada

    tetap pada dinding posterior laring dan sekitar pita suara menimbulkan reaksi

  • 8/10/2019 SKENARIO 3 THT

    38/51

    38

    timbulnya batuk. Adanya sekret pada daerah pita suara dapat menimbulkan

    laringospasme. Perubahan yang berarti juga dapat terjadi pada epitel dari pita suara

    berupa hiperkeratosis, diskeratosis, parakeratosis dan akantosis.

    Laringitis Akut

    Penyalahgunaan suara, inhalasi uap toksik, dan infeksi menimbulkan laringitis akut.

    Infeksi biasanya tidak terbatas pada laring, namun merupakan suatu pan-infeksi yang

    melibatkan sinus, telinga, laring dan tuba bronkus. Virus influenza, adenovirus dan

    streptokokus merupakan organisme penyebab yang tersering. Difteri harus selalu

    dicurigai pada laringitis, terutama bila ditemukan suatu membran atau tidak adanya

    riwayat imunisasi. Pemeriksaan dengan cermin biasannya memperlihatkan suatu

    eritema laring yang difus. Biakan tenggorokan sebaiknya diambil.

    Laringitis Kronis

    Laringitis kronis adalah inflamasi dari membran mukosa laring yang berlokasi

    di saluran nafas atas, bila terjadi kurang dari 3 minggu dinamakan akut dan disebut

    kronis bila terjadi lebih dari 3 minggu

    Beberapa pasien mungkin telah mengalami serangan laringitis akut berulang, terpapar

    debu atau asap iritatif atau menggunakan suara tidak tepat dalam konteks

    neuromuskular. Merokok dapat menyebabkan edema dan eritema laring.

    Laringitis Kronis Spesifik

    Yang termasuk dalam laringitis kronis spesifik ialah laringitis tuberkulosis dan

    laringitis luetika

    1. Laringitis tuberkulosis

  • 8/10/2019 SKENARIO 3 THT

    39/51

    39

    Penyakit ini hampir selalu akibat tuberkulosis paru. Biasanya pasca

    pengobatan, tuberkulosis paru sembun tetapi laringitis tuberkulosis menetap.

    Hal ini terjadi karena struktur mukosa laring yang melekat pada kartilago serta

    vaskularisasinya yang tidak sebaik paru sehingga bila infeksi sudah mengenai

    kartilago maka tatalaksananya dapat berlangsung lama.

    Secara klinis manifestasi laringitis tuberkulosis terdiri dari 4 stadium yaitu :

    Stadium infiltrasi, mukosa laring posterior membengkak dan hiperemis,

    dapat mengenai pita suara. Terbentuk tuberkel pada submukosa sehingga

    tampak bintik berwarna kebiruan. Tuberkel membesar dan beberapa

    tuberkel berdekatan bersatu sehingga mukosa diatasnya meregang

    sehingga suatu saat akan pecah dan terbentuk ulkus

    Stadium ulserasi, ulkus yang timbul pada akhir stadium infiltrasi

    membesar. Ulkus diangkat, dasarnya ditutupi perkijuan dan dirasakan

    sangat nyeri.

    Stadium perikondritis, ulkus makin dalam sehingga mengenai kartuilago

    laring terutama kartilago aritenoid dan epiglotis sehingga terjadi

    kerusakan tulang rawan.

    Stadium pembentukan tumor, terbentuk fibrotuberkulosis pada dinding

    posterior, pita suara dan subglotik.

    2. Laringitis luetika

    Radang menahun ini jarang dijumpai Dalam 4 stadium lues yang paling

    berhubungan dengan laringitis kronis ialah lues stadium tersier dimana terjadi

    pembentukan gumma yang kadang menyerupai keganasan laring. Apabila

    guma pecah akan timbul ulkus yang khas yaitu ulkus sangat dalam, bertepi

    dengan dasar keras, merah tua dengan eksudat kekuningan. Ulkus ini tidak

    nyeri tetapi menjalar cepat

  • 8/10/2019 SKENARIO 3 THT

    40/51

    40

    Diagnosis

    Diagnosis laringitis akut dapat ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan

    fisik dan pemerinksaan penunjang. Pada anamnesis biasanya didapatkan gejala

    demam, malaise,batuk, nyeri telan, ngorok saat tidur, yang dapat berlangsung selama

    3 minggu, dan dapat keadaan berat didapatkan sesak nafas, dan anak dapat biru-biru.

    Pada pemeriksaan fisik, anak tampak sakit berat, demam, terdapat stridor inspirasi,

    sianosis, sesak nafas yang ditandai dengan nafas cuping hidung dan/atau retraksi

    dinding dada, frekuensi nafas dapat meningkat, dan adanya takikardi yang tidak

    sesuai dengan peningkatan suhu badan merupakan tanda hipoksia1

    Pemeriksaan dengan laringoskop direk atau indirek dapat membantu

    menegakkan diagnosis. Dari pemeriksaan ini plika vokalis berwarna merah dan

    tampak edema terutama dibagian atas dan bawah glotis. Pemeriksaan darah rutin

    tidak memberikan hasil yang khas, namun biasanya ditemui leukositosis.

    pemeriksaan usapan sekret tenggorok dan kultur dapat dilakukan untuk mengetahui

    kuman penyebab, namun pada anak seringkali tidak ditemukan kuman patogen

    penyebab1

    Proses peradangan pada laring seringkali juga melibatkan seluruh saluran

    nafas baik hidung, sinus, faring, trakea dan bronkus, sehingga perlu dilakukan

    pemeriksaan foto.1

    Pada laringitis kronis diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis

    pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.

    Pada gambaran makroskopi nampak permukaan selaput lendir kering dan

    berbenjol-benol sedangkan pada mikroskopik terdapat epitel permukaan menebaldan

    opaque, serbukan sel radang menahun pada lapisan submukosa.

  • 8/10/2019 SKENARIO 3 THT

    41/51

    41

    Pemeriksaan laboratorium dilakukan pemeriksaan darah, kultur sputum,

    hapusan mukosa laring, serologik marker.

    Pada laringitis kronis juga dapat dilakukan foto radiologi untuk melihat

    apabila terdepat pembengkakan. CT scanning dan MRI juga dapat digunakan dan

    memberikan hasil yang lebih baik.

    Pemeriksaan lain yang dapat digunakan berupa uji tes alergi.

    Penatalaksanaan

    Terapi pada laringitis akut berupa mengistirahatkan pita suara, antibiotik,menambah kelembaban, dan menekan batuk. Obat-obatan dengan efek samping yang

    menyebabkan kekeringan harus dihindari. Penyanyi dan para profesional yang

    mengandalkan suara perlu dinasihati agar membiarkan proses radang mereda sebelum

    melanjutkan karier mereka. Usaha bernyanyi selama proses radang berlangsung dapat

    mengakibatkan perdarahan pada laring dan perkembangan nodul korda vokalis

    selanjutnya.

    Terapi pada laringitis kronis terdiri dari menghilangkan penyebab, koreksi

    gangguan yang dapat diatasi, dan latihan kembali kebiasaan menggunakan vokal

    dengan terapi bicara. Antibiotik dan terapi singkat steroid dapat mengurangi proses

    radang untuk sementara waktu, namun tidak bermanfaat untuk rehabilitasi jangka

    panjang. Eliminasi obat-obat dengan efek samping juga dapat membantu.

    Pada pasien dengan gastroenteriris refluks dapat diberikan reseptor H2

    antagonis, pompa proton inhibitor. Juga diberikan hidrasi, meningkatkan kelembaban,

    menghindari polutan.

    Terapi pembedahan bila terdapat sekuester dan trakeostomi bila terjadi

    sumbatan laring.

    Laringitis kronis yang berlangsung lebih dari beberapa minggu dan tidak

    berhubungan dengan penyakit sistemik, sebagian besar berhubungan dengan

    pemajanan rekuren dari iritan. Asap rokok merupakan iritan inhalasi yang paling

  • 8/10/2019 SKENARIO 3 THT

    42/51

  • 8/10/2019 SKENARIO 3 THT

    43/51

    43

    Terapi bedah (adenoidektomi) dapat dilakukkan dengan cara curetase memakai

    adenotom. Indikasi dilakukan adenoidektomi:

    1. Sumbatan

    Sumbatan hidung yang menyebabkan pernafasan melalui mulut

    Sleep apnea

    Gangguan menelan

    Gangguan berbicara

    Kelainan bentuk wajah

    2. Infeksi

    Adenoditis berulang

    Otitis media efusi berulang atau kronik dan otitis media akut berulang.

    3. Kecurigaan neoplasma

    Komplikasi

    Dapat terjadi pendarahan jika adenoid belum semuanya diangkat. Bila terlalu dalam

    saat kuretase dapat menyebabkan kerusakan dinding belakang faring dan bila kuretase terlalu

    ke lateral dapat menyebabkan rusaknya torus tubarius dan menyebabkan oklusi tuba eustachii

    dan akan timbul tuli konduktif.

    TONSILITIS

    Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari

    cincin Waldeyer.

    Terdapat beberapa jenis tonsilitis yaitu tonsilitis akut, membranosa dan

    kronik.

    i.

    Tonsilis viral

    Tonsilitis dimana gejalanya lebih menyerupai commond cold yang

    disertai rasa nyeri tenggorok.Penyebab yang paling sering adalah virus

    Epstein Barr.Hemofilus influenzae merupakan penyebab tonsilitis akut

    supuratif. Jika terjadi infeksi virus coxschakie, maka pada pemeriksaan

  • 8/10/2019 SKENARIO 3 THT

    44/51

  • 8/10/2019 SKENARIO 3 THT

    45/51

    45

    Tonsilitis kronik

    Faktor predisposisinya ialah rangsangan menahun dari rokok, beberapa jenis

    makanan, cuaca, kelelahan fisik dan pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat.

    Kuman penyebabnya sama dengan tonsilitis akut tetapi kadang-kadang kuman

    berubah menjadi kuman golongan Gram negatif.

    Patologi

    Karena proses peradangan yang berulang maka selain epitel mukosa juga

    jaringan limfoid terkikis , sehingga proses penyembuhan jaringan diganti jaringan

    parut yang akan mengalami pengerutan sehingga kripti melebar. Secara klinik kripti

    ini diisi oleh detritus. Proses berlanjut hingga kapsul, yang akhirnya menimbulkan

    perlekatan di sekitar fossa tonsilaris. Pada anak, proses ini disertai dengan

    pembesaran kelenjar limfa submandibula.

    Gejala dan Tanda

    Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar dengan permukaan yang tampak

    tidak rata, kriptus melebar dan beberapa terisi detritus. Rasa ada yang mengganjal di

    tenggorok, dirasa kering dan napas berbau.

    Terapi

    Terapi lokal ditujukan pada higiene mulut dengan berkumur atau obat isap.

    Komplikasi

    Komplikasi ke daerah sekitar berupa rinitis kronik, sinusitis atau otitis media

    secara perkontinuitatu. komplikasi jauh terjadi secara hematogen atau limfogen dapat

    timbul endokarditis, artritis, furunkulosis.

    Tonsilektomi dilakukan bila terjadi infeksi berulang, gejala sumbatan serta

    kecurigaan neoplasma.

  • 8/10/2019 SKENARIO 3 THT

    46/51

    46

    Indikasi tonsilektomi

    *Relatif:

    Terjadi 3 episode atau lebih infeksi tonsil pertahun dengan

    terapi antibiotik adekuat.

    Halitosis (nafas bau) akibat tonsilitis kronik yang tidak

    membaik dengan pemberian terapi medis.

    Tonsilitis kronis atau berulang pada linier Streptokokkus yang

    tidak membaik dengan pemberian antibiotik

    *Mutlak (Absolut)

    Pembengkakan tonsil menyebabkan obstruksi saluran napas,

    disfagia berat, gangguan tidur dan komplikasi kardiopulmonal.

    Abses peritonsil yang tidak membaik dengan pengobatan

    medis dan drainase.

    Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam

    Tonsilitis yang membutuhkan biopsi untuk menentukantempat yang dicurigai limfoma (keganasan)

    Hipertrofi tonsil atau adenoid dengan sindrom apnea waktu

    tidur.

    Pada penderita tonsillitis, terlebih dahulu harus diperhatikan

    pernafasan dan status nutrisinya.Jika perbesaran tonsil menutupi jalan nafas,

    maka perlu dilakukan tonsilektomi, demikian juga jika pembesaran tonsil

    menyebabkan kesulitan menelan dan nyeri saat menelan, menyebabkan

    penurunan nafsu makan / anoreksia.Pada penderita tonsillitis yang tidak

    memerlukan tindakan operatif (tonsilektomi), perlu dilakukan oral hygiene

  • 8/10/2019 SKENARIO 3 THT

    47/51

    47

    untuk menghindari perluasan infeksi, sedangkan untuk mengubahnya dapat

    diberikan antibiotic, obat kumur dan vitamin C dan B.

    Pemantauan pada penderita pasca tonsilektomi secara kontinu

    diperlukan karena resiko komplikasi hemorraghi.Posisi yang paling

    memberikan kenyamanan adalah kepala dipalingkan kesamping untuk

    memungkinkan drainage dari mulut dan faring untuk mencegah aspirasi.Jalan

    nafas oral tidak dilepaskan sampai pasien menunjukkan reflek menelanya

    telah pulih.

    Jika pasien memuntahkan banyak darah dengan warna yang berubah

    atau berwarna merah terang pada interval yang sering, atau bila frekuensi nadi

    dan pernafasan meningkat dan pasien gelisah, segera beritahu dokter

    bedah.Perawat harus mempunyai alat yang disiapkan untuk memeriksa temapt

    operasi terhadap perdarahan, sumber cahaya, cermin, kasa, nemostat lengkung

    dan basin pembuang.Jika perlu dilakukan tugas, maka pasien dibawa ke ruang

    operasi, dilakukan anastesi umur untukmenjahit pembuluh yang berdarah.Jika

    tidak terjadi perdarahan berlanjut beri pasien air dan sesapan es. Pasien

    diinstruksikan untuk menghindari banyak bicara dan bentuk karena hal ini

    akan menyebabkan nyeri tengkorak.

    Setelah dilakukan tonsilektomi, membilas mulut dengan alkalin dan

    larutan normal salin hangat sangat berguna dalam mengatasi lendir yang

    kental yang mungkin ada.Diet cairan atau semi cair diberikan selama beberapa

    hari serbet dan gelatin adalah makanan yang dapat diberikan.Makanan pedas,

    panas, dingin, asam atau mentah harus dihindari.Susu dan produk lunak (es

    krim) mungkin dibatasi karena makanan ini cenderung meningkatkan jumlah

    mucus.

  • 8/10/2019 SKENARIO 3 THT

    48/51

    48

    BAB III

    PENUTUP

    A. KESIMPULAN

    Pada skenario ini, pasien mengalami tonsilitis kronis dengan penyebab

    utama Streptococcus -hemolyticus grup A yang kadang-kadang berubah

    menjadi dominan bakteri Gram negatif. Hal ini dibuktikan dari pemeriksaan

    laboratorium yang menunjukkan ASTO (+). Selain itu, tonsil yang meradang

    secara kronis akan menimbulkan peradangan di sekitar tonsila palatina,

    misalnya faringitis. Kadang-kadang batuk dan pilek juga menyertai tonsilitis

    karena fungsi tonsil yang semula sebagai tempat pertahanan tubuh, berubah

    menjadi tempat penambatan infeksi dengan petunjuk adanya detritus yang

    menempel pada kripte-kripte tonsil yang melemahkan sel-sel limfoid.

    Tonsilektomi adalah satu-satunya terapi untuk menanggulangi infeksi yang

    terus berulang.

    B. SARAN

    Pasien setelah proses tonsilektomi perlu menjaga kebersihan tubuh,

    terutama daerah rongga mulut dengan membiasakan sikat gigi sehabis makan.

    Orang tua pasien sebaiknya menyarankan anaknya untuk menghindari

    makanan panas, dingin, pedas, susu, serta berlunak.

    Diskusi tutorial skenario 3 blok THT umumnya berjalan baik, namun

    kurangnya ketaatan waktu serta ketidaksiapan moderator diskusi menjadi

    hambatan bagi jalannya diskusi sendiri. Tutor sudah mengarahkan jalannya

    diskusi dengan baik, sehingga mengurangi terhentinya diskusi di tengah jalan.

  • 8/10/2019 SKENARIO 3 THT

    49/51

    49

    DAFTAR PUSTAKA

    1.

    Adams, George L; Boies, R. Lawrence; Higler, H. Pieter.1997. BOIES BukuAjar Penyakit THT Edisi 6. Jakarta : EGC.

    2. Ballenger, J.J. Anatomy of the larynx. In :Diseases of the nose, throat, ear,

    head and neck.13th ed.Philadelphia,Lea & Febiger. 1993

    3. Graney, D. and Flint, P. Anatomy. In : Cummings C.W. Otolaryngology -

    Head and Neck Surgery. Second edition. St Louis : Mosby, 1993.

    4. Guyton AC, Hall JE. Textbook of Medical Physiology, 11th

    edition. Singapore:

    Elsevier Pte Ltd. 2008.

    5.

    Hollinshead, W.H. The pharynx and larynx. In :Anatomy for

    surgeons.Volume 1 : Head and Neck.A hoeber-harper international edition,

    1966 : 425-456 .

    6.

    Isdaryanto (2014). Slide kuliah histologi cavum nasi, faring, laring. Surakarta:

    Laboratorium Histologi FK UNS.

    7. Kaswandani, Nastitis. 2010. Obstructive Sleep Apnea Syndrome (OSAS)

    pada Anak. Majalah Kedokteran Indonesia IDI. Vol 60 No 7

    8.

    Septianto, Teddy (ed) (2010). Buku Panduan Praktikum Anatomi. Surakarta:

    Laboratorium Anatomi dan Embriologi Fakultas Kedokteran UNS.

    9. Soepardi, Efiaty Arsyad; et al. 2007. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga,

    Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher Edisi Keenam. Jakarta : Fakultas

    Kedokteran Universitas Indonesia

  • 8/10/2019 SKENARIO 3 THT

    50/51

    50

  • 8/10/2019 SKENARIO 3 THT

    51/51