laporan fix sken b blok 18

75
LAPORAN TUTORIAL B BLOK 18 DISUSUN OLEH : KELOMPOK 5 TUTOR : Dr Nova Kurniati, SpPD; K-AI, FINASIM RIKKA WIJAYA 04011281320037 STEFANIE ANGELINE 04011381320005 M. RIZKY RASYADI 04011381320023 K. MUHAMMAD TASRIF 04011381320037 SYAHNAS YA RAHMA 04011381320073 BELLA BONITA 04011181320043 ALIND PRADITYA RACHA. C 04011181320053 EKO RAHARTO HARAHAP 04011181320063 NIGASOT NUR NADYA 04011181320073 ROSTIKA FAJRASTUTI 04011181320093 MAYA INDAH SARI 04011181320095 RAHMA PUTRI UTAMI 04011181320103 FAKULTAS KEDOKTERAN

Upload: eko-roharto

Post on 17-Dec-2015

295 views

Category:

Documents


15 download

DESCRIPTION

urologi

TRANSCRIPT

LAPORANTUTORIAL B BLOK 18

DISUSUN OLEH: KELOMPOK 5TUTOR: Dr Nova Kurniati, SpPD; K-AI, FINASIMRIKKA WIJAYA 04011281320037STEFANIE ANGELINE04011381320005M. RIZKY RASYADI04011381320023K. MUHAMMAD TASRIF04011381320037SYAHNAS YA RAHMA04011381320073BELLA BONITA04011181320043ALIND PRADITYA RACHA. C04011181320053EKO RAHARTO HARAHAP04011181320063NIGASOT NUR NADYA04011181320073ROSTIKA FAJRASTUTI04011181320093MAYA INDAH SARI04011181320095RAHMA PUTRI UTAMI04011181320103

FAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS SRIWIJAYATAHUN 2015

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis haturkan kepada Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan tutorial yang berjudul Laporan Tutorial Skenario B Blok 18 sebagai tugas kompetensi kelompok. Shalawat beriring salam selalu tercurah kepada junjungan kita, nabi besar Muhammad SAW, beserta para keluarga, sahabat, dan pengikutnya hingga akhir zaman.Laporan tutorial ini bertujuan untuk memenuhi tugas Blok 18 yang merupakan bagian dari sistem pembelajaran KBK di Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya. Penulis menyadari bahwa laporan tutorial ini jauh dari sempurna. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun guna kesempurnaan materi dan perbaikan di masa yang akan datang.Dalam penyelesaian laporan tutorial ini, penulis banyak mendapat bantuan, bimbingan dan saran. Semoga Allah SWT memberikan balasan pahala atas segala amal yang diberikan kepada semua orang yang telah mendukung penulis dan semoga bermanfaat dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Semoga kita selalu dalam lindungan Allah SWT. Amin.

Palembang, 22 Mei 2015

Penulis

DAFTAR ISI

Kata Pengantar . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 2

Daftar Isi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 3

Bab I Pendahuluan1.1 Latar Belakang . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1.2 Maksud dan Tujuan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

Bab II Pembahasan 2.1 Skenario Kasus . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 2.2 PaparanI. Klarifikasi Istilah . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . II. Identifikasi Masalah . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . III. Analisis Masalah . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .IV. Hipotesis . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . V. Kerangka Konsep . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .VI. Kesimpulan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

Bab III Sintesis3.1 Anatomi Fisiologi Traktus Urinarius. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 3.2 Fisiologi cairan tubuh .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .3.3 Penyakit glomerulonefritis . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 3.4 Sindroma nefrotik. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 44

5

6

6721 30

31

31343643

Daftar Pustaka . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 53

BAB IPENDAHULUAN

1.1 Latar BelakangBlok Sistem Nefrourologi adalah Blok 18 pada Semester 4 dari Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) Pendidikan Dokter Umum Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Palembang.Pada kesempatan ini dilaksanakan tutorial studi kasus sebagai bahan pembelajaran untuk menghadapi tutorial yang sebenarnya pada waktu yang akan datang.

1.2 Maksud dan TujuanAdapun maksud dan tujuan dari materi tutorial ini, yaitu :1. Sebagai laporan tugas kelompok tutorial yang merupakan bagian dari sistem pembelajaran KBK di Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Palembang.2. Dapat menyelesaikan kasus yang diberikan pada skenario dengan metode analisis dan pembelajaran diskusi kelompok.3. Tercapainya tujuan dari metode pembelajaran tutorial dan memahami konsep dari skenario ini.

BAB IIPEMBAHASAN

2.1 Skenario Kasus Rafi berusia 6 tahun, dibawa orang tuanya ke poli umum RSMH dengan keluhan sembab di seluruh tubuh. Sejak 1 bulan yang lalu tampak sembab di kelopak mata. Sejak 2 minggu yang lalu tampak perut makin membesar dan kedua tungkai bengkak. BAK warna kuning dan tampak berbusa. Penyakit seperti ini baru pertamakali diderita, tidak ada riwayat keluarga dengan penyakit yang sama.Pemeriksaan Fisik:KU: sakit sedang, kesadaran kompos menti. Suhu 37oC. TD 100/60 mmHg, HR 96 x/menit, RR 32 x/menit, BB 28 Kg, TB 136 cm, edema (+) pada kedua kelopak mata, asites (+), edema kedua tungkai dan telapak kaki (+/+), paru dan jantung dalam batas normalHasil Lab:Urinalisis: warna kuning, agak keruh, berbusa, proteinuria (+++), eritrosit 0-1 sel /LPB, leukosit 2-3 sel /LPB.Darah: 8,5 g/dl, leukosit 11.000/mm3, trombosit 400.000/mm3, LED 40 mm/jam, protein total 4,0 g/dl, albumin 2,0 gr/dl, ureum 40 mg/dl, kreatinin 0,7 mg/dl, kolestrol 280 mg/dl.

2.2 PaparanI. Klarifikasi Istilah1. Asites: efusi dan akumulasi cairan serosa di rongga abdomen2. Edema: penggumpalan cairan secara abnormal di ruang interselular tubuh3. Proteinuria: kondisi dimana urin mengandung jumlah protein yang abnormal4. Albumin: istilah yang digunakan untuk merujuk ke segala jenis protein monomer yang larut dalam air atau garam dan mengalami koagulasi5. Ureum; hasil akhir metabolism protein6. Kreatinin: produk limbah dari protein daging dalam makanan dan otot-otot tubuh7. Kolestrol: sterol pada eukariota yang pada hewan tingkat tinggi merupakan perkursor asam empedu dan hormone steroid serta merupakan unsure utama membrane sel8. protein total: pengukuran jumlah total protein dalam darah

II. Identifikasi Masalah1. Rafi berusia 6 tahun, dibawa orang tuanya ke poli umum RSMH dengan keluhan sembab di seluruh tubuh. 2. BAK warna kuning dan tampak berbusa.3. Sejak 1 bulan yang lalu tampak sembab di kelopak mata. Sejak 2 minggu yang lalu tampak perut makin membesar dan kedua tungkai bengkak. 4. Penyakit seperti ini baru pertamakali diderita, tidak ada riwayat keluarga dengan penyakit yang sama.5. Pemeriksaan Fisik:KU: sakit sedang, kesadaran kompos menti. Suhu 37oC. TD 100/60 mmHg, HR 96 x/menit, RR 32 x/menit, BB 28 Kg, TB 136 cm, edema (+) pada kedua kelopak mata, asites (+), edema kedua tungkai dan telapak kaki (+/+), paru dan jantung dalam batas normal.6. Hasil Lab:Urinalisis: warna kuning, agak keruh, berbusa, proteinuria (+++), eritrosit 0-1 sel /LPB, leukosit 2-3 sel /LPB.Darah: 8,5 g/dl, leukosit 11.000/mm3, trombosit 400.000/mm3, LED 40 mm/jam, protein total 4,0 g/dl, albumin 2,0 gr/dl, ureum 40 mg/dl, kreatinin 0,7 mg/dl, kolestrol 280 mg/dl.

III. Analisis MasalahRafi berusia 6 tahun, dibawa orang tuanya ke poli umum RSMH dengan keluhan sembab di seluruh tubuh. 1. Apa hubungan usia dan jenis kelamin pada kasus? Sembab atau edema merupakan salah satu gejala dari penyakit glomerulonefritis akut pasca streptokokus. Penyakit ini sendiri sering menyerang anak usia 3 sampai 7 tahun dengan jumlah penderita laki-laki dan perempuan 2:1

2. Bagaimana penyebab dan mekanisme sembab di seluruh tubuh? Penyebab umum edema:1. Penurunan tekanan osmotik- Sindroma nefrotik- Sindrom nefritik akut- Sirosis hepatis-Edema2. Peningkatan permeabilitas vaskular terhadap protein- Angioneurotik edema3. Peningkatan tekanan hidrostatik- Gagal jantung kongestif- Sirosis hepatis4. Obstruksi aliran limfe- Gagal jantung kongestif5. Retensi air dan natrium- Gagal ginjal- Sindroma nefrotik- Sindrom nefritik akut6. Penggunaan obat anti inflamasi non steroid (OAINS)7. IdiopatikMekanisme timbulnya sembabMekanisme underfilling. Pada mekanisme underfilling, terjadinya edema disebabkan rendahnya kadar albumin serum yang mengakibatkan rendahnya tekanan osmotik plasma, kemudian akan diikuti peningkatan transudasi cairan dari kapiler ke ruang interstitial sesuai dengan hukum Starling, akibatnya volume darah yang beredar akan berkurang (underfilling) yang selanjutnya mengakibatkan perangsangan sekunder sistem renin-angiotensin-aldosteron yang meretensi natrium dan air pada tubulus distalis.

3. Bagian tubuh mana yang paling mudah melihat adanya sembab? Yang paling mudah terlihat bila sembab adalah kedua kelopak mata.

4. Bagaimana fisiologi pengaturan cairan tubuh?Pengaturan keseimbangan cairan perlu memperhatikan 2 (dua) parameter penting, yaitu:volume cairan ekstrasel dan osmolaritas cairan ekstrasel. Ginjal mengontrol volume cairan ekstrasel dengan mempertahankan keseimbangan garam dan mengontrol osmolaritas cairan ekstrasel dengan mempertahankan keseimbangan cairan. Ginjal mempertahankankeseimbangan ini dengan mengatur keluaran garam dan air dalam urin sesuai kebutuhan untuk mengkompensasi asupan dan kehilangan abnormal dari air dan garam tersebut.Ginjal juga turut berperan dalam mempertahankan keseimbangan asam-basa dengan mengatur keluaran ion hidrogen dan ion bikarbonat dalam urin sesuai kebutuhan. Selain ginjal, yang turut berperan dalam keseimbangan asam-basa adalah paru-paru dengan mengekskresi ion hidrogen dan CO2, dan sistem dapar (buffer) kimia dalam cairan tubuh.

BAK warna kuning dan tampak berbusa.1. Bagaimana penyebab dan mekanisme BAK berwarna kuning, dan tampak berbusa?

BAK kuning keruhPenyebab:Rusaknya glomerulus.Mekanisme:Leukosit yang tidak direabsorbi oleh glomerulus akan keluar (bocor), sehingga dapat bercampur dengan urin yang keluar. Warna keruh pada urin menunjukkan adanya leukosit pada urin, karena pada pemeriksaan urinalisis ditemukan leukosit 2-3sel/LPB maka urin masih berwarna kuning. Jika leukosituria >5/LPB maka urin akan keruh seperti susu. Sedangkan warna kuning pada urin disebabkan oleh adanya bilirubin.

Tampak berbusaPenyebab: Protein yang meningkat di urin.Mekanisme: Proteinuri dapat terjadi karena GFR (glomerulo filration rate) yang meningkat, kelainan basal membran glomerulus, kelainan tubulus, perubahan hemodinamik.

2. Apa makna klinis BAK berwarna kuning, dan tampak berbusa? BAK yang kuning dan berbusa merupakan tanda makroskopis terdapatnya protein didalam urin.3. Bagaimana hubungan antar keluhan yang dialami oleh rafi?

4. Apa saja organ yang terganggu pada kasus ini? Sindrom nefrotik adalah kondisi akibat adanya gangguan pada organ ginjal. Normalnya, air kencing yang dihasilkan oleh ginjal sudah tidak lagi mengandung protein.

5. Apa saja penyakit yang mungkin terjadi pada keadaan BAK berwarna kuning, dan tampak berbusa?Urine yang berbusa bisa terjadi pada kondisi dimana terdapat protein pada urine tersebut. Seharusnya pada urine normal tidak ada proteinnya.Urine yang mengandung protein bisa menjadi penanda adanya kerusakan ginjal atau bisa juga gangguan jantung. Gangguan ginjal bisa berupa sindroma nefrotik, glomerulonefritis ataupun gangguan kerusakan nefron yang lainnya yang disebabkan oleh penyakit lain seperti diabetes melitus.Sejak 1 bulan yang lalu tampak sembab di kelopak mata. Sejak 2 minggu yang lalu tampak perut makin membesar dan kedua tungkai bengkak. 1. Mengapa sembab terjadi di mata kemudian ke seluruh tubuh?Edema yang disebabkan oleh hipoalbuminemia secara khas akan terlihat menyeluruh (generalisata), tetapi paling jelas pada jaringan kelopak mata serta muka yang sangat lunak dancenderung semakin mencolok di pagi hari karena posisi tubuh berbaring pada malam harinya.

2. Bagaimana penyebab dan mekanisme perut membesar dan kedua tungkai membesar?Edema berarti pengumpulan cairan berlebihan pada sela-sela jaringan atau rongga tubuh. Secara garis besar cairan edema pda kasus dinamakan anasarka, yang menimbulkan pembengkakaan berat jaringan bawah kulit. Secara uumum edema akan terjadi pada keadaan-keadaan sebagai berikut : 1. Peningkatan tekanan hidrostatik2. Penurunan tekanan onkotik plasma3. Obstruksi saluran limfe4. Peningkatan permeabilitas kapilerPada sindroma nefrotik, ginjal mengalami kebocoran sehingga albumin yang dalam keadaan normal tidak dapat diekskresi oleh ginjal, sehingga protein akan terbuang bersama urin. Akibatnya kandungan albumin didalam plasma akan berkurang sehingga terjadi penurunan tekanan koloid osmotik plasma.Hal ini menyebabkan timbulnya edema.

3. Mengapa sembab terjadi di bagian kelopak mata, perut, dan tungkai? (lokasi anatomi)Sembab atau edema terjadi di kelompak mata, perut, dan tungkai karena pada bagian tersebut banyak terdapat jaringan interstisial, sebagai akibat pengumpulan cairan berlebih di ruang interstisial

4. Apa saja tipe-tipe edema dan apa tipe pada kasus ini?Pulmonary edemaAkumulasi cairan dalam ruang-ruang udara interstitial (alveoli) dalam paru-paru terjadi pada penyakit yang disebut pulmonary edema. Ascites Kelebihan cairan ada kalanya berkumpul dalam apa yang disebut ruang ketiga, yang termasuk rongga-ronga dalam perut (rongga perut atau peritoneal - disebut "ascites") atau di dada (rongga paru atau pleural - disebut "pleural effusion"). Edema AnasarkaAnasarca merujuk pada akumulasi cairan yang parah yang tersebar luas dalam semua jaringan-jaringan dan rongga-rongga tubuh pada saat yang bersamaan.Pitting EdemaPitting edema dapat ditunjukan dengan menggunakan tekanan pada area yang membengkak dengan menekan kulit dengan jari tangan. Jika tekanan menyebabkan lekukan yang bertahan untuk beberapa waktu setelah pelepasan dari tekanan, edema dirujuk sebagai pitting edema. Non-pitting edemaPada non-pitting edema, yang biasanya mempengaruhi tungkai-tungkai (legs) atau lengan-lengan, tekanan yang digunakan pada kulit tidak berakibat pada lekukan yang gigih. Non-pitting edema dapat terjadi pada penyakit-penyakit tertentu dari sistim lymphatic seperti lymphedema, dimana gangguan dari sirkulasi lymphatic yang mungkin terjadi setelah operasi mastectomy, lymph node, atau congenitally.

Pada kasus, edema termasuk dalam tipe edema anasarka.

Penyakit seperti ini baru pertamakali diderita, tidak ada riwayat keluarga dengan penyakit yang sama.1. Riwayat penyakit apa saja yang dapat menyebabkan keadaan seperti pada kasus? Obstruksi Drainase Vena (dan Limfatik) pada Ekstremitas Pada keadaan obstruksi, tekanan hidrostatik dalam anyaman kapiler bagian hulu dari obstruksi meningkat, sehingga cairan dalam jumlah abnormal berpindah dari vaskuler ke ruang interstitial.

Gagal Jantung KongestifPada kelainan ini, gangguan pengosongan pada saat sistolik dan/atau gangguan relaksasi ventrikel menyebabkan akumulasi darah dalam jantung dan sirkulasi vena, sehingga menurunkan volume arteri, dan mencetuskan berbagai keadaan yang telah disebutkan di atas.

Sindroma Nefrotik dan Keadaan Hipoalbuminemia lainnyaPerubahan primer pada kelainan ini adalah menurunya tekanan onkotik koloid yang disebabkan oleh hilangnya protein secara masif melalui urin. Hal ini mendorong perpindahan cairan ke dalam interstitial, menyebabkan hipovolemia, dan mencetuskan pembentukan edema sebagai konsekuensi dari berbagai peristiwa di atas, termasuk aktivasi sistem RAA. Dengan adanya hipoalbuminemia berat dan penurunan tekanan onkotik koloid, maka retensi garam dan air dalam kompartemen vaskuler tidak dapat dipertahankan, akibatnya terjadi penurunan colume darah arteri total dan efektif, sehingga stimulus untuk terjadinya retensi garam dan air tidak dapat dikurangi. SirosisKelaianan ini ditandai dengan adanya hambatan aliran vena hepatik, yang selanjutnya menyebabkan ekspansi volume darah splanknik dan meningkatkan pembentukan limf hepatik.

Edema akibat Induksi ObatMekanisme terbentuknya edema meliputi vasokonstriksi renal (agen antiinflamasi nonsteroid dan siklosporin), dilatasi arteriol (vasodilator), peningkatan reabsorpsi natrium ginjal (hormon steroid) dan kerusakan kapiler (interleukin-2).

2. Mengapa perlu ditanya riwayat keluarga dengan penyakit yang sama? Untuk menghilangkan DD Sindroma Nefrotik bawaan. Diturunkan sebagai resesif autosomal atau reksi maternofetal, resisten terhadap semua pengobatan. Gejala : Edema pada masa neonatus.

Pemeriksaan Fisik:KU: sakit sedang, kesadaran kompos menti. Suhu 37oC. TD 100/60 mmHg, HR 96 x/menit, RR 32 x/menit, BB 28 Kg, TB 136 cm, edema (+) pada kedua kelopak mata, asites (+), edema kedua tungkai dan telapak kaki (+/+), paru dan jantung dalam batas normal.1. Bagaimana interpretasi dan mekanisme abnormal dari pemeriksaan fisik? Pemeriksaan FisikKasusNormalIntepretasi

KUSakit sedangTidak sakitAbnormal

SensoriumKompos MentisKompos MentisNormal

Suhu37C36,5C 37,5CNormal

Tekanan darah100/60 mm HgSistolik 80 - 100 mmHgDiastolik 55 - 65mmHgNormal

Heart Rate96x/menit80 - 120x/menitNormal

Respiratory Rate32x/menit25 - 40x/menitNormal

BB TBBB 28 kgTB 136 cm

IMT BB Normal= (n + 8)= (6 + 8) = 14 kgTidak bisa diukur karena edema

EdemaEdema palpebraEdema tungkaiEdema telapak kakiTidak ada edemaAbnormal

AbdomenAscitesDatarAbnormal

Batas Paru-JantungNormalNormalNormal

2. Bagaimana cara pemeriksaan fisik asites dan edema? Beberapa Cara Pemeriksaan Asites.a. Cara pemeriksaan gelombang cairan (undulasi)Cara ini dilakukan pada pasien dengan asites yang cukup banyak dan perut yang agak tegang. Pasien dalam keadaan berbaring terlentang dan tangan pemeriksa diletakkan pada satu sisi sedangkan tangan lainnya mengetuk-ngetuk dinding perut pada sisi lainnya. Sementara itu mencegah gerakan yang diteruskan melalui dinding abdomen sendiri, maka tangan pemeriksa lainnya (dapat pula dengan pertolongan tangan pasien sendiri) diletakkan ditengahtengah perut dengan sedikit tekanan.b. Pemeriksaan menentukan adanya redup yang berpindah (shifting dullness).c. Untuk cairan yang Iebih sedikit dan meragukan dapat dilakukan pemeriksaan dengan posisi pasien tengkurap dan menungging (knee-chest position). Setelah beberapa saat, pada perkusi daerah perut yang terendah jika terdapat cairan akan didengar bunyi redup.d. Pemeriksaan Puddle sign.Seperti pada posisi knee-chest dan dengan menggunakan stetoskop yang diletakkan pada bagian perut terbawah didengar perbedaan suara yang ditimbulkan karena ketukan jari-jari pada sisi perut sedangkan stetoskop digeserkan melalui perut tersebut ke sisi lainnya.e. Pasien pada posisi tegak maka suara perkusi redup didengar di bagian bawah.

Pemeriksaan edema:Edema : Diperiksa didaerah pretibilial, pergelangan kaki, sakral dan kelopak mata (kadang-kadang mata hampir tertutup) dengan cara menekan diatas dasar yang keras( diatas tulang, tidak didaerah otot). Adanya lekukan kedalam setelah penekannan dan sindrom nefrotik keadaan sebaliknya disebut non pitting edema, dijumpai misalnya pada miksedema.

Hasil Lab:Urinalisis: warna kuning, agak keruh, berbusa, proteinuria (+++), eritrosit 0-1 sel /LPB, leukosit 2-3 sel /LPB.Darah: 8,5 g/dl, leukosit 11.000/mm3, trombosit 400.000/mm3, LED 40 mm/jam, protein total 4,0 g/dl, albumin 2,0 gr/dl, ureum 40 mg/dl, kreatinin 0,7 mg/dl, kolestrol 280 mg/dl.1. Bagaimana interpretasi dan mekanisme abnormal dr hasil lab?PemeriksaanNormalInterpretasiMekanisme

Hb 8,5 gr/dl> 11gr/dlAnemiaDiakibatkan oleh adanya proses hemodilusi dari proses retensi cairan sehingga menyebabkan Hb terlihat lebih rendah dari biasanya

Leukosit 11.000/ mm39.000 12.000/ mm3Normal

Trombosit 400.000/mm3200.000-400.000/ mm3Normal

LED 40 mm/jam0-10 mm/jamMeningkat

Kreatinin 0,7 mg/dl0,3 -0,6 mg/dlMeningkat Akibat adanya penurunan GFR dan kemampuan filtrasi ginjal

Urin bewarna kuning, keruh, dan berbusaBening dan tidak berbusa

Urin bewarna kuning, keruh, dan berbusaBening dan tidak berbusa

Albumin 2,0 gr/dl4.0 - 5.8 g/dlHipoalbuminemia Akibat dari hyperalbuminuria, maka albumin dalam pembuluh darah menurun (hyporalbuminemia)

Ureum 40 mg/dlMeningkat Akibat adanya penurunan GFR dan kemampuan filtrasi ginjal

Kolesterol 280 mg/dl130-170 mg/ dlMeningkatHiperlipidemia terjadi sebagai akibat kelainan pada homeostasis lipoprotein yang terjadi sebagai akibat peningkatan sintesis dan penurunan katabolisme. Akibat hipoalbuminemia, sel-sel hepar terpacu untuk membuat albumin sebanyak-banyaknya. Bersamaan dengan sintesis albumin ini, sel-sel hepar juga akan membuat VLDL. Dalam keadaan normal VLDL diubah menjadi LDL oleh lipoprotein lipase. Tetapi pada SN akitifitas enzim ini terhambat oleh adanya hipoalbuminemia dan tingginya kadar asam lemak bebas. Disamping itu menurunnya aktifitas lipoprotein lipase ini disebabkan pula oleh rendahnya kadar apolipoprotein plasma sebagai akibat keluarnya protein ke dalam urin.

Proteinuria (+3)negatifProteinuria disebabkan peningkatan permeabilitas kapiler terhadap protein akibat kerusakan glomerulus. Dalam keadaan normal membrana basal glomerulus mempunyai mekanisme penghalang untuk mencegah kebocoran protein. Mekanisme peghalang pertama berdasarkan ukuran molekul (size barrier) dan yang kedua berdasarkan muatan listrik (charge barrier). Pada SN kedua mekanisme penghalang tersebut ikut terganggu. Selain itu konfigurasi molekul protein juga menentukkan lolos tidaknya protein melalui membrana basalis glomerulus.

Eritrosit 0-1/LPB0-2 / LPBNormal

Leukosit 2-3/ LPB0-4/LPBNormal

2. Apa indikasi dari pemeriksaan kolestrol? Menegakkan diagnosis sindrom nefrotik. Mengetahui kadar kolesterol pada pasien. Jika kolesterol tinggi pada sindrom nefrotik disebabkan karena penurunan plasma albumin dan penurunan onkotik plasma yang berakibat pada peningkatan stimulasi produksi lipoprotein. Penyakit kelainan metabolit, hati, jantung dan ginjal lain

3. Mengapa ureum dan kreatinin dijadikan sebagai marker fungsi ginjal? Karena ureum dan kreatinin merupakan sisa metabolism dari ginjal. Kreatinin adalah produk limbah dalam darah yang berasal dari aktivitas otot. Produk limbah ini biasanya dibuang dari darah melalui ginjal, tapi ketika fungsi ginjal melambat, tingkat kreatinin akan meningkat. Biasanya hasil pemeriksaanserum kreatinin digunakan untuk menghitung GFR.Blood Urea Nitrogen (BUN)atau nitrogen Urea adalah produk limbah normal dalam darah anda yang berasal dari pemecahan protein dari makanan yang anda makan dan dari metabolisme tubuh. Hal ini biasanya dihapus dari darah Anda dengan ginjal Anda, tapi ketika fungsi ginjal melambat, tingkat BUN naik. BUN juga dapat meningkat bila mengkonsumsi lebih banyak protein, dan dapat turun jika makan sedikit protein.

IV. Hipotesisrafi 6 tahun diduga menderita sindroma nefrotik dengan gejala edema seluruh tubuh dengan faktor predisposisi jenis klamin laki laki dan usia dibawah 14 tahun

a) Bagaimana cara mendiagnosa kasus?

0. Anamnesis0. Riwayat penyakit sekarang sembab di seluruh tubuh, lalu tampak sembab di kelopak mata., tampak perut makin membesar dan kedua tungkai bengkak. BAK warna kuning dan tampak berbusa.0. Riwayat penyakit dahulu 0. Riwayat penyakit keluarga

2. pemeriksaan fisis lengkap (terutama tekanan darah, diskus optikus, kulit, abdomen, dan genitalia)

3. pemriksaan penunjang

UrinalisisUrinalisis adalah tes awal diagnosis sindromk nefrotik.Proteinuria berkisar 3+ atau 4+ pada pembacaan dipstik, atau melalui tes semikuantitatif dengan asam sulfosalisilat.3+ menandakan kandungan protein urin sebesar 300 mg/dL atau lebih, yang artinya 3g/dL atau lebih yang masuk dalamnephrotic range.Pemeriksaan sedimen urinPemeriksaan sedimen akan memberikan gambaran oval fat bodies: epitel sel yang mengandung butir-butir lemak, kadang-kadang dijumpai eritrosit, leukosit, torak hialin dan torak eritrosit.2Pengukuran protein urinPengukuran protein urin dilakukan melaluitimed collectionatausingle spot collection. Timed collection dilakukan melalui pengumpulan urin 24 jam, mulai dari jam 7 pagi hingga waktu yang sama keesokan harinya. Pada individu sehat, total protein urin 150 mg. Adanya proteinuria masif merupakan kriteria diagnosis.Single spot collection lebih mudah dilakukan. Saat rasio protein urin dan kreatinin > 2g/g, ini mengarahkan pada kadar protein urin per hari sebanyak 3g.

Albumin serum- kualitatif: ++ sampai ++++- kuantitatif :> 50 mg/kgBB/hari (diperiksa dengan memakai reagen ESBACH)

Konfirmasi hematuria dengan pemeriksaan urin mikroskopik Pemeriksaan darah tepi lengkap termasuk trombosit, ureum, LED, kreatinin, kadar elektrolit serum, LED, leukosit, Protein total menurun (N: 6,2-8,1 gm/100ml), Albumin menurun (N:4-5,8 gm/100ml) USG ginjal Biopsi ginjal pada kasus tertentuApabila ditemukan proteinuria yang bermakna, hematuria, silinder eritrosit, insufisiensi ginjal, dilakukan evaluasi kelainan parenkim ginjal/penyakit ginjal primer.

b) Apa saja diagnosis banding pada kasus? Berdasarkan gejala yang dialami Rafi, maka muncul diagnosis banding penyakit-penyakit yang dapat menyebabkan edema anasarka , yaitu:

Gagal JantungGagal HatiGagal Ginjal

AnamnesisDispneaOrtopneaPNDDispnea jarangRiwayat alkoholUremiaDispnea jarang

Pemeriksaan FisikJVP meningkatS3 GallopSianosis periferEkstemitas dinginNadi lemahAscitesJVP normal / rendahTD rendahPenyakit tambahanTD tinggiFetor nitrogenEdema periorbitalFraction rub

Pemeriksaan LabUrea nitrogen tinggiUric acis tinggiNatrium serum turunEnzim hati tinggiAlbumin serum turunKolesterol turunProtein hati turunEnzim hati tinggiHipokalemiaAlkalosis respiratorimakrositosisAlbuminuriaHipoalbuminemiaSerum kreatinin tinggiUrea nitrogen tinggiHiperkalemiaAsidosis metabolikHiperfosfatemiaHipokalsemiaAnemia normositik

c) Apa saja pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis? Urinalisis Pemeriksaan sedimen urin Pengukuran protein urin Albumin serum LED, kreatinin, kadar USG ginjal Biopsi ginjal

d) Apa diagnosa kerja pada kasus? Diagnosis sindroma nefrotik dapat ditegakkan dengan anamesis, pemeriksaan fisikdan pemeriksaan penunjang.1. AnamesisKeluhan yang sering ditemukan adalah pertumbuhan anak yang kurang, seperti berat badan yang kurang dibandingkan anak lain (yang sehat). Bisa juga didapatkan keluhan anak yang tidak mau makan (anoreksia), anak tampak lemas serta menjadi lebih pendiam, dan seringmenderita sakit yang berulang.

2. Pemeriksaan FisikYang dapat dijumpai pada pemeriksaan fisik antara lain* Perubahan mental sampai apatis* Edema (terutama pada muka, punggung kaki dan perut)* Atrofi otot* Ganguan sistem gastrointestinal* Perubahan rambut (warnamenjadi kemerahan dan mudah dicabut)* Perubahan kulit (perubahan pigmentasi kulit)* Pembesaran hati* Tanda-tanda anemia3. Pemeriksaan penunjangDarah lengkap, urin lengkap, feses lengkap, protein serum (albumin, globulin), elektrolitserum, transferin, feritin, profil lemak. Foto thorak, dan EKG

e) Apa definisi dari diagnosis kerja? Sindrom nefrotik merupakan suatu penyakit ginjal yang terbanyak pada anak.4 Penyakit tersebut ditandai dengan sindrom klinik yang terdiri dari beberapa gejala yaitu proteinuria masif (>40 mg/m2LPB/jam atau rasio protein/kreatinin pada urin sewaktu >2 mg/mg atau dipstick 2+), hipoalbuminemia 2,5 g/dL, edema, dan hiperkolesterolemia.

f) Bagaimana epidemiologi pada kasus? (syahnas, maya)Kira-kira dua dari setiap 10.000 orang mengalami sindroma nefrotik. Prevalensi sindroma nefrotik sulit untuk ditentukan pada orang-orang dewasa karena kondisi ini biasanya merupakan suatu akibat dari penyakit yang mendasarinya. Pada anak-anak, penyakit ini didiagnosa pada lebih banyak anak laki-laki dibandingkan dengan pada anak-anak perempuan, biasanya antara usia 2 dan 3 tahun.Pada anak-anak (< 16 tahun) paling sering ditemukan nefropati lesi minimal (75% - 85%) dengan umur rata-rata 2,5 tahun, 80% < 6 tahun saat diagnosis dibuat dan laki-laki dua kali lebih banyak daripada wanita. Pada orang dewasa paling banyak nefropati membranosa (30% - 50%), umur rata-rata 30-50 tahun dan perbandingan laki-laki dan wanita 2 : 1. Kejadian SN idiopatik 2-3 kasus / 100.000 anak / tahun sedangkan pada dewasa 3 / 1000.000 / tahun. Sindrom nefrotik sekunder pada orang dewasa terbanyak disebabkan oleh diabetes mellitus.

g) Bagaimana etiologi pada kasus?Berdasarkan etiologinya, sindrom nefrotik dibagi menjadi tiga, yaitu kongenital, primer atau idiopatik, dan sekunder.1) Kongenital Penyakit keturunan akibat gangguan genetik2) Primer

Berdasarkan gambaran patologi anatomi, sindrom nefrotik primer atau idiopatik adalah sebagai berikut : - Sindrom Nefrotik Kelainan Minimal (SNKM) - Glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS) - Mesangial Proliferative Difuse (MPD) - Glomerulonefritis Membranoproliferatif (GNMP) - Nefropati Membranosa (GNM) 3) Sekunder

Sindrom nefrotik sekunder mengikuti penyakit sistemik, antara lain sebagai berikut : - lupus erimatosus sistemik (LES) - keganasan, seperti limfoma dan leukemia - vaskulitis, seperti granulomatosis Wegener (granulomatosis dengan poliangitis), sindrom Churg-Strauss (granulomatosis eosinofilik dengan poliangitis), poliartritis nodosa, poliangitis mikroskopik, purpura Henoch Schonlein - Immune complex mediated, seperti post streptococcal (postinfectious) glomerulonephritis

h) Apa saja faktor resiko pada kasus? Faktor resiko dari Sindrom Nefrotik adalah sebagai berikut : Beratbadanlahirrendah cukup bulan Usiaawitan>/= 6 tahun Jeniskelamin laki-laki : perempuan = 2 : 1

i) Bagaimana patofisiologi pada kasus? Kelainan pokok pada sindrom nefrotik adalah peningkatan permeabilitas dinding kapiler glomerulus yang menyebabkan proteinuria masif dan hipoalbuminemia. Pada biopsi, penipisan yang luas dari prosesus kaki podosit (tanda sindrom nefrotik idiopatik) menunjukkan peran penting podosit. Sindrom nefrotik idiopatik berkaitan pula dengan gangguan kompleks pada sistem imun, terutama imun yang dimediasi oleh sel T. Pada focal segmental glomerulosclerosis (FSGS), faktor plasma, diproduksi oleh bagian dari limfosit yang teraktivasi, bertanggung jawab terhadap kenaikan permeabilitas dinding kapiler. Selain itu, mutasi pada protein podosit (podocin, a-actinin 4) dan MYH9 (gen podosit) dikaitkan dengan focal segmental glomerulosclerosis (FSGS). Sindrom nefrotik resisten steroid dapat dikaitkan dengan mutasi NPHS2 (podocin) dan gen WT1, serta komponen lain dari aparatus filtrasi glomerulus, seperti celah pori, dan termasuk nephrin, NEPH1, dan CD-2 yang terkait protein.

j) Apa saja gejala klinis pada kasus?

1. Proteinuria2. EdemaEdema dapat terjadi dalam bentuk ringan sampai berat (anasarka). Edema lunak dan cekung bila ditekan (pitting), dan umumnya ditemukan disekitar mata (periorbital) dan berlanjut ke abdomen daerah genetelia dan ekstremitas bawah.3. Penurunan jumlah urin, urin gelap dan berbusa4. Hematuria5. Diare6. Hepatomegali7. Asites berat8. anoreksia

k) Bagaimana tatalaksana farmakologi dan nonfarmakologi pada kasus? Therapi1) Istirahat sampai edema berkurang2) Mencegah infeksi3) Diuretik4) Kortikosteroid.

International Cooperative of Kidney Discase in Children (ISKDC) mengajukan cara pengobatan sebagai berikut :Selama 28 hari pranison diberikan peroral dengan dosis 60 mg/hr/luas permukaan badan (1 bp) dengan maksimum 80 mg/hariKemudian dilanjutkan dengan prednison peroral selama 28 hari dengan dosis 40 mg / hari / 1 bp. Setiap 3 hari dalam 1 minggu dengan dosis maksimum 60 mg / hari.- Bila terdapat respon selama pengobatan, maka pengobatan ini dilanjutkan secara intermitten selama 4 minggu. Sekarang pengobatan dengan kosrtikosteroid tidak selalui seperti uraian pada a + b, tetapi melihat respon dari pasien apakah terjadi remisi / tidak dalam 4 minggu.

5) Antibiotik hanya diberikan bila ada infeksi6) Lain lain : fungsi asites; fungsi hydrothorak dilakukan bila ada indikasi vital. Jika ada gagal ginjal diberikan digitalis.b. Diet.Terapi diet sangat penting dalam pengobatan sindrome nefrotik dan prinsip yang harus diperhatikan adalah sebagai berikut :Masukan protein tinggi untuk menggantikan kehilangan protein dari jaringan dan untuk memberikan cukup asam amino kepada hati guna mempercepat sintesis albumin. Kalau GFR-nya tidak menurun banyak hanya selera penderita yang membatasi masukan protein. Namun demikian untuk orang dewasa dengan ukuran tubuh dewasa asia Normal rata rata protein kurang lebih 120 gram perhari sudah cukup untuk memperbaharui cadangan tubuh asalkan masukan kalori seluruhnya mencukupi.Peningkatan konsumsi kalori yang mencapai 50 hingga 60 kalori per kg berat badan untuk menggalakkan keseimbangan nitrogen positif termasuk peningkatan sintesis protein plasma.Pembatasan masukan natrium yang kurang dari 10 mEq perhari (230 mg) sudah cukup efektif untuk mencegah penumpukan cairan lebih lanjut. Namun pembatasan semacam ini sering tidak diterapkan karena pembatasan yang ketat akana menghasilkan diet yang cita rasanya tidak dapat diterima.Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa diet pada klien dengan sindrome nefrotik adalah tinggi kalori, tinggi protein dan rendah natrium.

l) Bagaimana pencegahan pada kasus? Prinsip-prinsip pencegahan penyakit ginjal adalah sebagai berikut:I. Pada orang dengan Ginjal Normal :A. Pada Individu berisiko: yaitu ada keluarga yang1. Berpenyakit ginjal turunan seperti: Batu Ginjal, Ginjal Polikistik, atau2. Berpenyakit umum: Diabetes Mellitus, Hipertensi, Dislipidemia (Cholesterol tinggi), Obesitas, Gout. Pada kelompok ini ikuti pedoman yang khusus untuk menghindari penyakit tersebut di atas, sekali-sekali kontrol/periksa ke dokter/labratorium.B. Individu yang tanpa risiko: Hidup sehat, Pahami tanda-tanda sakit ginjal: BAK terganggu / tidak normal, Nyeri pinggang, Bengkak mata / kaki, Infeksi di luar ginjal: leher/tenggorokan, Berobat/kontrol untuk menghindari: fase kronik /berkepanjangan.II. Pada orang dengan Ginjal terganggu ringan /sedang: Hati-hati: obat rematik, antibiotika tertentu, Infeksi: obati segera, Hindari kekurangan cairan (muntaber), Kontrol secara periodikIII. Ginjal terganggu berat / terminal: Terapi Pengganti Ginjal (Renal Replacement Treatment)

m) Bagaimana komplikasi pada kasus? Komplikasi penyakit dari kasus Rafi adalah sebagai berikut;1. Keseimbangan Nitrogen Negatif (Kehilangan massa otot)2. Hiperkoagulasi (Tromboemboli dan Fibrinogenesis)3. Osteomalasia (jarang)4. Hipotiroid5. Anemia6. Infeksi eccapsulated organism7. Gangguan Ginjal Akut8. Gangguan Ginjal Kronik

n) Bagaimana prognosis pada kasus? Prognosisnya bervariasi, tergantung kepada penyebab, usia penderita dan jenis kerusakan ginjal yang bisa diketahui dari pemeriksaan mikroskopik pada biopsi. Gejalanya akan hilang seluruhnya jika penyebabnya adalah penyakit yang dapat diobati (misalnya infeksi atau kanker) atau obat-obatan. Prognosis biasanya baik jika penyebabnya memberikan respon yang baik terhadap kortikosteroid. Anak-anak yang lahir dengan sindroma ini jarang yang bertahan hidup sampai usia 1 tahun, beberapa diantaranya bisa bertahan setelah menjalani dialisa atau pencangkokan ginjal. Prognosis yang paling baik ditemukan pada sindroma nefrotik akibat glomerulonefritis yang ringan; 90% penderita anak-anak dan dewasa memberikan respon yang baik terhadap pengobatan. Jarang yang berkembang menjadi gagal ginjal, meskipun cenderung bersifat kambuhan. Tetapi setelah 1 tahun bebas gejala, jarang terjadi kekambuhan.

o) Bagaimana SKDI pada kasus? Tingkat Kemampuan 2: mendiagnosis dan merujukLulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik terhadap penyakit tersebut dan menentukan rujukan yang paling tepat bagi penanganan pasien selanjutnya. Lulusan dokter jugamampumenindaklanjutisesudahkembali dari rujukan.

V. KERANGKA KONSEP

Rafi, 6 tahunIdiopatikGangguan ImunitasSindrom NefrotikUreum & Kratinin Kolesterol Lipoprotein BAK keruh dan berbusaProteinuriaOsmotik plasma HipoalbuminemiaProteinemiaProtein Plasma Permeabilitas dinding glomerulus TungkaiSembab kelopak mataAnasarka (umum)Reabsorbsi Air & Natrium Aldosteron & ADHRenin Angiotension Volume darah ginjal EdemaCairan Interstitial Cairan Intravascular Menekan diafragmaAsites (diperut)TachypneuNafas tidak adekuatEkspansi otot pernapasan tidak optimal

VI. KESIMPULANRafi 6 tahun menderita sindroma nefrotik idiopatik dengan predisposisi jenis kelamin laki-laki dengan usia dibawah 14 tahun

BAB IIISINTESIS

3.1 Anatomi Fisiologi Traktus Urinarius Lokasi dan Deskripsi RenKedua ren berwarna coklat kemerahan dan terletak di belakang peritoneum, pada dinding posterior abdomen di samping kanan dan kiri columna vertebralis; sebagian besar tertutup oleh arcus costalis. Ren dexter terletak sedikit lebih rendah dibandingkan ren sinister, karena adanya lobus hepatis dexter yang besar. Bila diagphragma berkontraksi pada waktu respirasi, kedua ren turun dengan arah vertical sampai sejauh 1 inci. Pada margo medialis masing-masing ren yang cekung terdapat celah vertical yang dibatasi oleh pinggir-pinggir substansi ren yang tebal dan disebut hilus renalis. Hilus renalis meluas ke rongga yang besar disebut sinus renalis. Hilus renalis dilalui dari depan ke belakang oleh vena renalis, dua cabang arteria renalis, ureter,dan cabang ketiga arteria renalis (V.A.U.A). Pembuluh-pembuluh limfatik dan serabut simpatik juga melalui hilus ini.

Selubung Ren Capsula fibrosa : melekat pada permukaan luar ren. Capsula adipose : meliputi capsula fibrosa Fascia renalis : kondensasi dari jaringan ikat yang terletak di luar capsula adiposa, dan meliputi ren serta glandula suprarenalis. Corpus adiposum pararenale : terletak diluar fascia renalis.

Struktur RenMasing-masing ren mempunyai korteks renalis di bagian luar, yang berwarna coklat gelap, dan medulla renalis di bagian dalam yang berwarna lebih terang. Medula renalis terdiri atas kira-kira selusin pyramis medullae renalis, yang masing-masing mempunyai basis menghadap korteks renalis dan apex, papilla renalis yang menonjol ke medial. Bagian cortex yang menonjol ke medulla diantara pyramis medullae yang berdekatan disebut columna renalis. Bagian bergaris yang membentang dari basis pyramidis renalis menuju ke cortex disebut radii medullares.Sinus renalis merupakan ruangan di dalam hilus renalis, berisi pelebaran ke atas dari ureter, disebut pelvis renalis. Pelvis renalis terbagi menjadi dua atau tiga calices renales majors, yang masing-masing akan bercabang menjadi dua atau tiga calices renales minors. Setiap calyx minor diinvaginasi oleh apex piramidis renalis yang disebut papilla renalis.

Perdarahan Arteri : Arteria renalis berasal dari aorta setinggi vertebra lumbalis II. Masing-masing arteri renalis bercabang menjadi lima Arteria segmentalis yang masuk ke dalam hilus renalis. Arteriae lobares berasal dari masing-masing arteria segmentalis, masing-masing satu buah untuk satu pyramis medullae renalis. Vena : Vena renalis keluar dari hilus di depan arteria renalis dan bermuara ke vena cava inferior.Aliran LimfeNodi aortic laterals di sekitar pangkal arteria renalis.PersarafanPlexus sympathicus renalis. Serabut-serabut aferen yang berjalan melalui plexus renalis masuk medulla spinalis melalui nervus thoracicus X, XI,dan XII.13,14FisiologiFungsi primer ginjal adalah mempertahankan volume dan komposisi CES dalam batas-batas normal. Komposisi dan volume cairan ekstrasel ini dikontrol oleh filtrasi glomerulus, reabsorpsi, dan sekresi tubulus. Pembentukan urin dimulai dengan filtrasi sejumlah besar cairan yang hampir bebas protein dari kapiler glomerulus ke kapsula bowman. Kebanyakan zat dalam plasma, kecuali protein, difiltrasi secara bebas sehingga konsentrasinya pada filtrat glomerulus dalam kapsula Bowman hampir sama dengan dalam plasma. Dalam pembentukan urin, reabsorbsi tubulus secara kuantitatif lebih penting dari sekresi tubulus, tetapi sekresi berperan penting dalam menentukan jumlah ion kalium dan hidrogen serta beberapa zat lain yang dieksresikan dalam urin. Sebagian zat yang harus dibersihkan dari darah, terutama produk akhir metabolisme seperti urea, kreatinin, asam urat, dan garam-garam asam urat, direabsorbsi sedikit dan karena itu, dieksresikan dalam jumlah besar ke dalam urin. Zat asing dan obat-obatan tertentu juga dureabsorbsi sedikit, tetapi selain itu, disekresi dari darah ke dalam tubulus, sehingga laju eksresinya tinggi. Sebailiknya ion natrium, klorida, dan bikarbonat direabsorpsi dalam jumlah yang besar, sehingga hanya sejumlah kecil saja yang tampak dalam urin. Zat nutrisi tertentu, seperti asam amino dan glukosa, direabsorpsi secara lengkap dari tubulus tidak muncul dalam urin meskipun sejumlah besar zat tersebut difiltrasi oleh kapiler glomerus.Setiap proses, filtrasi glomerulus, reabsorpsi tubulus, dan sekresi tubulus, diatur menurut kebutuhan tubuh. Sebagai contoh, jika terdapat kelebihan natrium dalam tubuh, laju filtrasi natrium meningkat dan sebagian kecil natrium hasil filtrasi akan direabsorpsi, menghasilkan eksresi natrium urin. Untuk sebagian besar zat, laju filtrasi dan reabsorpsi relatif sangat tinggi terhadap laju eksresi. Oleh karena itu, sedikit perubahan pada proses filtrasi atau reabsorpsi dapat menyebabkan perubahan yang relatif besar dalam eksresi ginjal. Pada kenyataannya, perubahan filtrasi glomerulus dan reabsorpsi tubulus selalu bekerja dengan cara yang terkoordinasi untuk menghasilkan perubahan eksresi ginjal yang sesuai.

3.2 Fisiologi cairan tubuh Kompartemen cairan tubuhSeluruh cairan tubuh didistribusikan di antara dua kompartemen utama : cairan ekstraselular dan cairan intraselular. Kemudian cairan ekstraselular dibagi menjadi cairan interstitial dan plasma darah.o Kompartemen cairan ekstraselularSeluruh cairan di luar sel disebut cairan ekstraselular. Cairan ini merupakan 20 persen dari berat badan. Dua kompartemen terbesar cairan ekstraseluler adalah cairan interstitial yang merupakan tiga perempat cairan ekstraselular, dan plasma yang hampir seperempat cairan ekstraselular. o Asupan cairanCairan ditambahkan ke dalam tubuh dari dua sumber utama : (1) berasal dari larutan atau cairan makanan yang dimakan, yang normalnya menambah cairan tubuh sekitar 2100 ml/hari, dan (2) berasal dari sintesis dalam badan sebagai hasil oksidasi karbohidrat, menambah sekitar 200 ml/hari. Kedua hal ini memberikan asupan cairan harian total sekitar 2300 ml/hari. Asupan cairan sangat bervariasi bergantung pada cuaca, kebiasaan, dan tingkat aktivitas fisik.o Keluaran cairan Insensibe fluid lossVariasi asupan cairan harus hati hati disesuaikan dengan pengeluaran cairan harian. Beberapa pengeluaran cairan tidak dapat diatur dengan tepat. Sensible fluid lossKehilangan cairan ini dapat melalui tiga jalur yaitu keringat, feses, dan urine. Keseimbangan Cairan Tubuh2Cairan ekstraselular merupakan perantara antara sel dan lingkungan luar. Semua pertukaran air dan konstituen lainnya antara ICF dan lingkungan luar harus terjadi melewati ECF.Plasma hanyalah satu satunya cairan yang bisa diatur secara langsung baik volume maupun komposisinya. Cairan ini berada dalam sirkulasi. Perubahan komposisi dan volume plasma juga akan mempengaruhi cairan interstitial. Oleh karena itu, semua kontrol terhadap plasma akan mengatur keseluruhan ECF juga.Pengaturan Volume ECFVolume cairan ekstraselular terutama ditentukan oleh keseimbangan antara asupan dan keluaran air dan garam secara jangka panjangnya. Untuk jangka pendeknya, volume ECF diatur oleh baroreseptor jantung yang nantinya akan mengubah kardiak output dan pergeseran cairan sementara dan otomatis antara plasma dan cairan interstitial.Mungkin mekanisme yang paling kuat untuk mengontrol volume darah dan cairan ekstraselular juga untuk mempertahankan keseimbangan natrium dan air adalah pengaruh tekanan darah terhadap natrium dan eksresi air yang disebut mekanisme natriuresis tekanan diuresis tekanan. Angiotensin IISalah satu pengontrol ekskresi natrium yang paling kuat dalam tubuh adalah angiotensin II. Perubahan asupan natrium dan cairan berhubungan dengan perubahan timbal balik pada pembentukan angiotensin II, dan hal ini kemudian sangat membantu mempertahankan keseimbangan natrium dan cairan tubuh. AldosteronAldosteron meningkatkan reabsorpsi natrium, terutama pada tubulus koligens. Peningkatan reabsorpsi natrium juga berhubungan dengan peningkatan reabsoprsi air dan sekresi kalium. Anti Diuretic HormoneADH memainkan peranan penting terhadap ginjal untuk membentuk sedikit volume urin pekat sementara mengeluarkan garam dalam jumlah yang normal. Atrial Natriuretic PeptideIni adalah hormon yang dilepaskan serat otot atrium jantung. Rangsangan untuk melepaskan peptida ini adalah peregangan atrium secara berlebihan yang dapat ditimbulkan oleh volume darah yang berlebihan. Sekali dilepaskan oleh atrium jantung, ANP memasuki sirkulasi dan bekerja pada ginjal untuk menyebabkan sedikit peningkatan GFR dan penurunan reabsorpsi natrium oleh duktus koligens. Kerja gabungan dari ANP ini menimbulkan peningkatan ekskresi garam dan air, yang membantu mengkompensasi kelebihan volume darah.Sebagai contoh, bila osmolaritas meningkat akibat defisit air, sistem umpan balik ini bekerja sebagai berikut.o Peningkatan osmolaritas cairan ekstraselular menyebabkan sel saraf khusus yang disebut sel sel osmoreseptor yang terletak di hipotalamus anterior dekat nukleus supraoptik menyusut.o Penyusutan sel sel osmoreseptor menyebabkan sel sel tersebut terangsang, mengirimkan sinyal sinyal saraf ke sel sel saraf tambahan di nukleus supraoptik, yang kemudian memancarkan sinyal sinyal ini ke bawah melintasi batang kelenjar hipofise ke hipofise posterior.o Potensial aksi ini yang disalurkan ke hipofise posterior akan merangsang pelepasan ADH yang disimpan dalam granula granula sekretori di ujung saraf.o ADH memasuki aliran darah dan ditranspor ke ginjal, di mana ADH meningkatkan permeabilitas air di bagian akhir tubulus distal, tubulus koligens dan duktus koligens dalam medula.o Peningkatan permeabilitas air di segmen nefron distal menyebabkan peningkatkan reabsorpsi air dan ekskresi sejumah kecil urin yang pekat.Jadi, air disimpan dalam tubuh, sedangkan natrium dan zat terlarut lainnya terus dikeluarkan dalam urin. Hal ini menyebabkan pengenceran zat terlarut dalam cairan ekstraselular mula mula yang berlebihan.

Mekanisme Rasa HausHaus adalah sensasi subjektif yang meningkatkan keinginan untuk intake air. Pusat haus terletak di hipotalamus, dekat dengan sel pensekresi vasopressin.Ada beberapa stimulus yang dapat memicu rasa haus. Salah satu yang paling penting adalah peningkatan osmolaritas cairan ekstraselular yang menyebabkan dehidrasi intraselular di pusat rasa haus, dengan demikian merangsang sensasi rasa haus. Kegunaan dari respons ini sangat jelas yaitu membantu mengencerkan cairan ekstraselular dan mengembalikan osmolaritas kembali ke normal.

3.3 Penyakit glomerulonefritis PengertianGlomerulonefritis merupakan suatu istilah yang dipakai untuk menjelaskan berbagai ragam penyakit ginjal yang mengalami proliferasi dan inflamasi glomerulus yang disebabkan oleh suatu mekanisme imunologis. Istilah akut (glomerulonefritis akut, GNA) mencerminkan adanya korelasi kliniko-patologis selain menunjukan adanya gambaran tentang etiologi, patogenesis, perjalanan penyakit dan prognosis. Telah lama diketahui bahwa beberapa orang anak setelah menderita scarlet fever, dapat mengalami edema dan hematuria nyata, penyakit ini dikenal sebagai glomerulonefritis pascastreptokok.

Epidemiologi Di Indonesia tahun 1980, Glomerulonefritis menempati urutan pertama sebagai penyebab penyakit ginjal tahap akhir dan meliputi 55% penderita yang mengalami hemodialisi. Perbandingan antara anak laki-laki dan perempuan adalah 2:1. Hasil penelitian multicentre di Indonesia pada tahun 1988, melaporkan terdapat 170 pasien yang dirawat di rumah sakit pendidikan dalam 12 bulan. Pasien terbanyak dirawat di Surabaya (26,5%), kemudian disusul berturut-turut di Jakarta (24,7%), Bandung (17,6%) dan Palembang (8,2%). Pasien laki-laki dan perempuan berbanding 1,3:1 dan terbanyak menyerang anak pada usia antara 6-8 tahun (40,6%). Penyakit ini lebih sering terjadi pada musim dingin dan puncaknya pada musim semi. Etiologi Glomerulonefritis pascastreptokok didahului oleh infeksi Streptococcus - hemolyticus grup A jarang oleh streptokokus dari tipe yang lain. Hanya sedikit Streptococcus -hemolyticus grup A bersifat nefritogenik yang mampu mengakibatkan timbulnya glomerulonefritis pascastreptokokus. Beberapa tipe yang sering menyerang saluran napas adalah dari tipe M1, 2, 4, 12, 18, 25 dan yang menyerang kulit adalah tipe M49, 55, 57, 60.Glomerulonefritis akut pascastreptokokus menyertai infeksi tenggorokan atau kulit oleh strain nefritogenik dari streptococcus -hemolyticus grup A tertentu. Faktor-faktor yang memungkinkan bahwa hanya strain streptokokus tertentu saja yang menjadi nefritogenik tetap belum jelas. Patologi Makroskopik Ginjal pada glomerulonefritis akut membesar secara simetris hingga meregang, mudah terkelupas, berpermukaan licin, dan berwarna merah tengguli disertai bercak-bercak perdarahan fokal. Gambaran korteks tampak sembab dan melebar, korteks dan medula berbatas jelas. Glomerulus dapat terlihat sebagai titik-titik putih kelabu, kadang-kadang terdapat daerah-daerah merah fokal. Piramida-piramida dan pelvis kongestif atau normal.Mikroskopik Dari pemeriksaan secara mikroskopis, hampir semua glomerulus yang terkena memperlihatkan gambaran pembesaran dan hiperselularitas, sehingga dinamakan sebagai glomerulonephritis acuta proliferativa. Patogenesis Glomerulonefritis pascastreptokok dapat terjadi setelah radang tenggorok dan jarang dilaporkan bersamaan dengan demam reumatik akut.Berdasarkan hubungannya dengan infeksi streptokokus, gejala klinis, dan pemeriksaan imunofluoresensi ginjal, jelaslah kiranya bahwa glomerulonefritis pascastreptokokus adalah suatu glomerulonefritis yang bermediakan proses imunologis.Glomerulonefritis akut pasca streptokok merupakan salah satu contoh dari penyakit kompleks-imunl. Pada penyakit kompleks-imun, antibodi tubuh (host) akan bereaksi dengan circulating antigen dan komplemen yang beredar dalam darah untuk membentuk circulating immunne complexes. Pembentukkan circulating immunne complexes ini memerlukan antigen dan antibodi dengan perbandingan 20 : 1. Jadi antigen harus lebih banyak atau antibodi lebih sedikit. PatofisiologiPatofisiologi pada gejala-gejala klinik berikut: Kelainan urinalisis: proteinuria dan hematuria Kerusakan dinding kapiler glomerulus sehingga menjadi lebih permeable dan porotis terhadap protein dan sel-sel eritrosit, maka terjadi proteinuria dan hematuria. Edema Mekanisme retensi natrium dan edema pada glomerulonefritis tanpa penurunan tekanan onkotik plasma. Hal ini berbeda dengan mekanisme edema pada sindrom nefrotik.Penurunan faal ginjal yaitu laju filtrasi glomerulus (LGF) tidak diketahui sebabnya, mungkin akibat kelainan histopatologis (pembengkakan sel-sel endotel, proliferasi sel mesangium, oklusi kapiler-kaliper) glomeruli. Penurunan faal ginjal LFG ini menyebabkan penurunan ekskresi natrium Na+ (natriuresis), akhirnya terjadi retensi natrium Na+. Keadaan retensi natrium Na+ ini diperberat oleh pemasukan garam natrium dari diet. Retensi natrium Na+ disertai air menyebabkan dilusi plasma, kenaikan volume plasma, ekspansi volume cairan ekstraseluler, dan akhirnya terjadi edema. Hipertensia. Gangguan keseimbangan natrium (sodium homeostasis) Gangguan keseimbangan natrium ini memegang peranan dalam genesis hipertensi ringan dan sedang. b. Peranan sistem renin-angiotensin-aldosteron biasanya pada hipertensi berat. Hipertensi dapat dikendalikan dengan obat-obatan yang dapat menurunkan konsentrasi renin, atau tindakan nefrektomi.c. Substansi renal medullary hypotensive factors, diduga prostaglandin. Penurunan konsentrasi dari zat ini menyebabkan hipertensi. Bendungan Sirkulasi Bendungan sirkulasi merupakan salah satu ciri khusus dari sindrom nefritik akut, walaupun mekanismenya masih belum jelas. Beberapa hipotesis yang berhubungan telah dikemukakan dalam kepustakaan-kepustakaan antara lain: a. Vaskulitis umum Gangguan pembuluh darah dicurigai merupakan salah satu tanda kelainan patologis dari glomerulonefritis akut. Kelainan-kelainan pembuluh darah ini menyebabkan transudasi cairan ke jaringan interstisial dan menjadi edema. b. Penyakit jantung hipertensif Bendungan sirkulasi paru akut diduga berhubungan dengan hipertensi yang dapat terjadi pada glomerulonefritis akut. c. Miokarditis Pada sebagian pasien glomerulonefritis tidak jarang ditemukan perubahan-perubahan elektrokardiogram: gelombang T terbalik pada semua lead baik standar maupun precardial. Perubahan-perubahan gelombang T yang tidak spesifik ini mungkin berhubungan dengan miokarditis.d. Retensi cairan dan hipervolemi tanpa gagal jantung Hipotesis ini dapat menerangkan gejala bendungan paru akut, kenaikan cardiac output, ekspansi volume cairan tubuh. Semua perubahan patofisiologi ini akibat retensi natrium dan air.Gejala KlinisGejala klinis glomerulonefritis akut pasca streptokok sangat bervariasi, dari keluhan-keluhan ringan atau tanpa keluhan sampai timbul gejala-gejala berat dengan bendungan paru akut, gagal ginjal akut, atau ensefalopati hipertensi. Kumpulan gambaran klinis yang klasik dari glomerulonefritis akut dikenal dengan sindrom nefritik akut. Bendungan paru akut dapat merupakan gambaran klinis dari glomerulonefritis akut pada orang dewasa atau anak yang besar. Sebaliknya pada pasien anak-anak, ensefalopati akut hipertensif sering merupakan gambaran klinis pertama. Infeksi Streptokok Riwayat klasik didahului (10-14 hari) oleh faringitis, tonsilitis atau infeksi kulit (impetigo). Data-data epidemiologi membuktikan, bahwa prevalensi glomerulonefritis meningkat mencapai 30% dari suatu epidemi infeksi saluran nafas. Insiden glomerulonefritis akut pasca impetigo relatif rendah, sekitar 5-10%. Gejala-gejala umum Glomerulonefritis akut pasca streptokok tidak memberikan keluhan dan ciri khusus. Keluhan-keluhan seperti anoreksia, lemah badan, tidak jarang disertai panas badan, dapat ditemukan pada setiap penyakit infeksi. Keluhan saluran kemih Hematuria makroskopis (gross) sering ditemukan, hampir 40% dari semua pasien. Hematuria ini tidak jarang disertai keluhan-keluhan seperti infeksi saluran kemih bawah walaupun tidak terbukti secara bakteriologis. Oligouria atau anuria merupakan tanda prognosis buruk pada pasien dewasa. Hipertensi Hipertensi sistolik dan atau diastolik sering ditemukan hampir pada semua pasien. Hipertensi biasanya ringan atau sedang, dan kembali normotensi setelah terdapat diuresis tanpa pemberian obat-obatan antihipertensi. Hipertensi berat dengan atau tanpa ensefalopati hanya dijumpai pada kira-kira 5-10% dari semua pasien. Edema dan bendungan paru akut Hampir semua pasien dengan riwayat edema pada kelopak mata atau pergelangan kaki bawah, timbul pagi hari dan hilang siang hari. Bila perjalanan penyakit berat dan progresif, edema ini akan menetap atau persisten, tidak jarang disertai dengan asites dan efusi rongga pleura.KomplikasiKomplikasi yang dapat terjadi: Gagal ginjal akut Kongesti sirkulasi dan hipertensi Hiperkalemia Hiperfosfatemia Hipokalsemia Asidosis Kejang-kejang Uremia Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang Diagnosis glomerulonefritis akut pascastreptokok perlu dicurigai pada pasien dengan gejala klinis berupa hematuria nyata yang timbul mendadak, sembab dan gagal ginjal akut setelah infeksi streptokokus. Tanda glomerulonefritis yang khas pada urinalisis, bukti adanya infeksi streptokokus secara laboratoris dan rendahnya kadar komplemen C3 mendukung bukti untuk menegakkan diagnosis. Tetapi beberapa keadaan lain dapat menyerupai glomerulonefritis akut pascastreptokok pada awal penyakit, yaitu nefropati-IgA dan glomerulonefritis kronik. Anak dengan nefropati-IgA sering menunjukkan gejala hematuria nyata mendadak segera setelah infeksi saluran napas atas seperti glomerulonefritis akut pascastreptokok, tetapi hematuria makroskopik pada nefropati-IgA terjadi bersamaan pada saat faringitis (synpharyngetic hematuria), sementara pada glomerulonefritis akut pascastreptokok hematuria timbul 10 hari setelah faringitis, sedangkan hipertensi dan sembab jarang tampak pada nefropati-IgA.Glomerulonefritis kronik lain juga menunjukkan gambaran klinis berupa hematuria makroskopis akut, sembab, hipertensi dan gagal ginjal. Beberapa glomerulonefritis kronik yang menunjukkan gejala tersebut adalah glomerulonefritis membranoproliferatif, nefritis lupus dan glomerulonefritis proliferatif kresentik. Perbedaan dengan glomerulonefritis akut pascastreptokok sulit diketahui pada awal sakit. Urinalisis menunjukkan adanya proteinuria (+1 sampai +4), hematuria, kelainan sedimen urin dengan eritrosit dismorfik, leukosituria serta torak seluler, granular dan eritrosit. Kadang-kadang kadar ureum dan kreatinin serum meningkat dengan tanda gagal ginjal seperti hiperkalemia, asidosis, hiperfosfatemia dan hipokalsemia. Kadang-kadang tanpak adanya proteinuria masif dengan gejala sindrom nefrotik. Komplemen hemolitik total serum (total hemolytic complement) dan C3 rendah pada hampir semua pasien dalam minggu pertama, tetapi C4 normal atau hanya menurun sedikit, sedangkan kadar properdin menurun pada 50% pasien. Keadaan tersebut menunjukkan adanya aktivasi jalur alternatif komplemen. Penurunan C3 sangat mencolok pada pasien glomerulonefritis akut pascastreptokok dengan kadar antara 20-40 mg/dl (harga normal 50-140 mg/dl). Penurunan C3 tidak berhubungan dengan parahnya penyakit dan kesembuhan. Kadar komplemen akan mencapai harga normal kembali dalam waktu 6-8 minggu. Pengamatan itu memastikan diagnosis, karena pada glomerulonefritis yang lain (glomerulonefritis membrans proliferatif, nefritis lupus) yang juga menunjukkan penurunan kadar C3, ternyata berlangsung lebih lama1,2 Pada glomerulonefritis akut pascastreptokok perjalanan penyakitnya cepat membaik (hipertensi, sembab dan gagal ginjal akan cepat pulih). Sindrom nefrotik dan proteinuria masif lebih jarang terlihat pada glomerulonefritis akut pascastreptokok dibandingkan pada glomerulonefritis kronik. Pola kadar komplemen C3 serum selama tindak lanjut merupakan tanda (marker) yang penting untuk membedakan glomerulonefritis akut pascastreptokok dengan glomerulonefritis kronik yang lain. Kadar komplemen C3 serum kembali normal dalam waktu 6-8 minggu pada glomerulonefritis akut pascastreptokok sedangkan pada glomerulonefritis yang lain jauh lebih lama2 Eksaserbasi hematuria makroskopis sering terlihat pada glomerulonefritis kronik akibat infeksi karena streptokok dari strain non-nefritogenik lain, terutama pada glomerulonefritis membranoproliferatif. Pasien glomerulonefritis akut pascastreptokok tidak perlu dilakukan biopsi ginjal untuk menegakkan diagnosis, tetapi bila tidak terjadi perbaikan fungsi ginjal dan terdapat tanda sindrom nefrotik yang menetap atau memburuk, biopsi merupakan indikasi1,2 Konfirmasi diagnosis memerlukan bukti yang jelas akan adanya infeksi streptokokus. Dengan demikian, biakan tenggorokan positif dapat mendukung diagnosis atau mungkin hanya menggambarkan status pengidap. Untuk mendokumentasi infeksi streptokokus secara tepat, harus dikonfirmasi dengan peningkatan titer antibodi terhadap antigen streptokokus. Meskipun biasanya paling banyak diperoleh, penentuan titer Anti Sterptolisin Titer O (ASTO) mungkin tidak membantu karena titer ini jarang meningkat pascainfeksi streptokokus kulit. Titer antibodi tunggal yang paling baik diukur adalah titer terhadap antigen DN-ase B. Pilihan lain adalah uji Streptozime (Wampole Laboratoris, Stamford, Ct), suatu prosedur aglutination slide yang mendeteksi antibodi terhadap streptolisin O, DN-ase B, hialuronidase, streptokinase, dan NAD-ase1 Adanya infeksi streptokokus harus dicari dengan melakukan biakan tenggorok dan kulit. Biakan mungkin negatif apabila telah diberikan antimikroba. Bebarapa uji serologis terhadap antigen streptokokus dapat dipakai untuk membuktikan adanya infeksi streptokokus, antara lain antistreptozim, ASTO, antihialuronidase, dan anti DN-ase B. Skrining antistreptozim cukup bermanfaat oleh karena mampu mengukur antibodi terhadap beberapa antigen streptokokus. Titer anti streptolisin O meningkat pada 75-80 % pasien dengan glomerulonefritis akut pascastreptokok dengan faringitis, meskipun beberapa strain streptokokus tidak memproduksi streptolisin O. Sebaiknya serum di uji terhadap lebih dari satu antigen streptokokus. Bila semua uji serologis dilakukan, lebih dari 90 % kasus menunjukkan adanya infeksi streptokokus. Titer ASTO meningkat pada hanya 50% kasus glomerulonefritis akut pascastreptokok atau pascaimpetigo, tetapi antihialuronidase atau antibodi yang lain terhadap antigen streptokokus biasanya positif. Pada awal penyakit titer antibodi streptokokus belum meningkat, hingga sebaiknya uji titer dilakukan secara seri. Kenaikan titer 2-3 kali lipat berarti adanya infeksi. Tetapi, meskipun terdapat bukti adanya infeksi streptokokus, hal tersebut belum dapat memastikan bahwa glomerulonefritis tersebut benar-benar disebabkan karena infeksi streptokokus tersebut. Gejala klinis dan perjalanan penyakit pasien penting untuk menentukan apakah biopsi ginjal memang diperlukan2,4 Krioglobulin juga ditemukan dalam glomerulonefritis akut pascastreptokok dan mengandung IgG, IgM dan C3. Kompleks-imun bersirkulasi juga ditemukan pada glomerulonefritis akut pascastreptokok. Tetapi uji tersebut tidak mempunyai nilai diagnostik dan tidak perlu dilakukan secara rutin pada tatalaksana pasien.Penatalaksanaan Nonmedikamentosa Istirahat pada fase akut, misalnya bila terdapat GGA, hipertensi berat, kejang, payah jantung. Diet kalori adekuat terutama karbohidrat untuk memperkecil katabolisme endogen dan diet rendah garam Medikamentosa Penisilin prokain 50.000 U/kgbb/kali i.m. 2x/hr Penisilin V 50 mg/kgbb/hr p.o. 3 dosis Eritromisin 50 mg/kgbb/hr p.o. 4 dosis Bila disertai hipertensi Ringan (130/80 mmHg) : tidak diberi anti hipertensi Sedang (140/100 mmHg) : Hidralazin i.m. / p.o. atau Nefidipin sublingual Berat (180/120 mmHg) : Klonidin drip / Nefidipin sublingual Bila ada tanda hipervolemia (edema paru, gagal jantung) disertai oligouria beri diuretik kuat (furosemid 1-2 mg/kgbb/kali). Prognosis Penyembuhan sempurna terjadi pada lebih dari 95 % anak dengan glomerulonefritis pascasteptokokus akut. Tidak ada bukti bahwa terjadi penjelekan menjadi glomerulonefritis kronis. Namun, jarang fase akut dapat menjadi sangat berat, menimbulkan hialinisasi glomerulus dan insuffisiensi ginja kronis. Mortalitas pada fase akut dapat dihindari dengan manajemen yang tepat pada gagal ginjal atau gagal jantung akut. Kekambuhan sangat jarang terjadi.Pencegahan Terapi antibiotik sistemik pada awal infeksi streptokokus tenggorokan dan kulit tidak akan menghilangkan risiko glomerulonefritis. Anggota keluarga penderita dengan glomerulonefritis akut harus mendapat pemeriksaan laboratorium untuk streptococcus -hemolyiticus grup A dan diobati jika biakan positif. Kesimpulan Glomerulonefritis akut adalah suatu reaksi imunologis pada ginjal terhadap bakteri atau virus tertentu, yang bersifat akut spesifik dan sembuh sendiri. Timbul akibat susulan dari infeksi faring atau kulit oleh strain nefritogenik streptococcus hemolitikus grup A tipe 12, 4, 16, 25 dan 49. Sindrom ini ditandai dengan timbulnya edema yang timbul mendadak, hipertensi, hematuri, oliguri.

3.4 Sindroma nefrotikDefinisi Sindrom nefrotik merupakan suatu penyakit ginjal yang terbanyak pada anak.4 Penyakit tersebut ditandai dengan sindrom klinik yang terdiri dari beberapa gejala yaitu proteinuria masif (>40 mg/m2LPB/jam atau rasio protein/kreatinin pada urin sewaktu >2 mg/mg atau dipstick 2+), hipoalbuminemia 2,5 g/dL, edema, dan hiperkolesterolemia.

Etiologi Berdasarkan etiologinya, sindrom nefrotik dibagi menjadi tiga, yaitu kongenital, primer atau idiopatik, dan sekunder.1) Kongenital Penyebab dari sindrom nefrotik kongenital atau genetik adalah:- Finnish-type congenital nephrotic syndrome (NPHS1, nephrin) - Denys-Drash syndrome (WT1) - Frasier syndrome (WT1) - Diffuse mesangial sclerosis (WT1, PLCE1) - Autosomal recessive, familial FSGS (NPHS2, podocin) - Autosomal dominant, familial FSGS (ACTN4, -actinin-4; TRPC6) - Nail-patella syndrome (LMX1B) - Pierson syndrome (LAMB2) - Schimke immuno-osseous dysplasia (SMARCAL1) - Galloway-Mowat syndrome - Oculocerebrorenal (Lowe) syndrome 2) PrimerBerdasarkan gambaran patologi anatomi, sindrom nefrotik primer atau idiopatik adalah sebagai berikut : - Sindrom Nefrotik Kelainan Minimal (SNKM) - Glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS) - Mesangial Proliferative Difuse (MPD) - Glomerulonefritis Membranoproliferatif (GNMP) - Nefropati Membranosa (GNM) 3) Sekunder Sindrom nefrotik sekunder mengikuti penyakit sistemik, antara lain sebagai berikut : - lupus erimatosus sistemik (LES) - keganasan, seperti limfoma dan leukemia - vaskulitis, seperti granulomatosis Wegener (granulomatosis dengan poliangitis), sindrom Churg-Strauss (granulomatosis eosinofilik dengan poliangitis), poliartritis nodosa, poliangitis mikroskopik, purpura Henoch Schonlein - Immune complex mediated, seperti post streptococcal (postinfectious)- Glomerulonephritis

Batasan Berikut ini adalah beberapa batasan yang dipakai pada sindrom nefrotik: 1) RemisiApabila proteinuri negatif atau trace (proteinuria < 4 mg/m2LPB/jam) 3 hari berturut-turut dalam satu minggu, maka disebut remisi. 2) Relaps Apabila proteinuri 2+ ( >40 mg/m2LPB/jam atau rasio protein/kreatinin pada urin sewaktu >2 mg/mg) 3 hari berturut-turut dalam satu minggu, maka disebut relaps. 3) Sindrom nefrotik sensitif steroid (SNSS) Sindrom nefrotik yang apabila dengan pemberian prednison dosis penuh (2mg/kg/hari) selama 4 minggu mengalami remisi.4) Sindrom nefrotik resisten steroid (SNRS) Sindrom nefrotik yang apabila dengan pemberian prednison dosis penuh (2mg/kg/hari) selama 4 minggu tidak mengalami remisi. 5) Sindrom nefrotik relaps jarang Sindrom nefrotik yang mengalami relaps < 2 kali dalam 6 bulan sejak respons awal atau < 4 kali dalam 1 tahun. 6) Sindrom nefrotik relaps sering Sindrom nefrotik yang mengalami relaps 2 kali dalam 6 bulan sejak respons awal atau 4 kali dalam 1 tahun.7) Sindrom nefrotik dependen steroidSindrom nefrotik yang mengalami relaps dalam 14 hari setelah dosis prednison diturunkan menjadi 2/3 dosis penuh atau dihentikan dan terjadi 2 kali berturut-turut.

Klasifikasi Ada beberapa macam pembagian klasifikasi pada sindrom nefrotik. Menurut berbagai penelitian, respon terhadap pengobatan steroid lebih sering dipakai untuk menentukan prognosis dibandingkan gambaran patologi anatomi. Berdasarkan hal tersebut, saat ini klasifikasi SN lebih sering didasarkan pada respon klinik, yaitu : 1) Sindrom nefrotik sensitif steroid (SNSS) 2) Sindrom nefrotik resisten steroid (SNRS)

Manifestasi klinis dan patofisiologiKelainan pokok pada sindrom nefrotik adalah peningkatan permeabilitas dinding kapiler glomerulus yang menyebabkan proteinuria masif dan hipoalbuminemia. Pada biopsi, penipisan yang luas dari prosesus kaki podosit (tanda sindrom nefrotik idiopatik) menunjukkan peran penting podosit. Sindrom nefrotik idiopatik berkaitan pula dengan gangguan kompleks pada sistem imun, terutama imun yang dimediasi oleh sel T. Pada focal segmental glomerulosclerosis (FSGS), faktor plasma, diproduksi oleh bagian dari limfosit yang teraktivasi, bertanggung jawab terhadap kenaikan permeabilitas dinding kapiler. Selain itu, mutasi pada protein podosit (podocin, -actinin 4) dan MYH9 (gen podosit) dikaitkan dengan focal segmental glomerulosclerosis (FSGS).Sindrom nefrotik resisten steroid dapat dikaitkan dengan mutasi NPHS2 (podocin) dan gen WT1, serta komponen lain dari aparatus filtrasi glomerulus, seperti celah pori, dan termasuk nephrin, NEPH1, dan CD-2 yang terkait protein.1) Proteinuria Protenuria merupakan kelainan utama pada sindrom nefrotik. Apabila ekskresi protein 40 mg/jam/m2 luas permukaan badan disebut dengan protenuria berat. Hal ini digunakan untuk membedakan dengan protenuria pada pasien bukan sindrom nefrotik.13 2) Hipoalbuminemia Abnormalitas sistemik yang paling berkaitan langsung dengan proteinuria adalah hipoalbuminemia. Salah satu manifestasi pada pasien sindrom nefrotik pada anak terjadi hipoalbuminemia apabila kadar albumin kurang dari 2,5 g/dL. Pada keadaan normal, produksi albumin di hati adalah 12-14 g/hari (130-200 mg/kg) dan jumlah yang diproduksi sama dengan jumlah yang dikatabolisme. Katabolisme secara dominan terjadi pada ekstrarenal, sedangkan 10% di katabolisme pada tubulus proksimal ginjal setelah resorpsi albumin yang telah difiltrasi. Pada pasien sindrom nefrotik, hipoalbuminemia merupakan manifestasi dari hilangnya protein dalam urin yang berlebihan dan peningkatan katabolisme albumin. Hilangnya albumin melalui urin merupakan konstributor yang penting pada kejadian hipoalbuminemia. Meskipun demikian, hal tersebut bukan merupakan satu-satunya penyebab pada pasien sindrom nefrotik karena laju sintesis albumin dapat meningkat setidaknya tiga kali lipat dan dengan begitu dapat mengompensasi hilangnya albumin melalui urin. Peningkatan hilangnya albumin dalam saluran gastrointestinal juga diperkirakan mempunyai kontribusi terhadap keadaan hipoalbuminemia, tetapi hipotesis ini hanya mempunyai sedikit bukti. Oleh karena itu, terjadinya hipoalbuminemia harus ada korelasi yang cukup antara penurunan laju sintesis albumin di hepar dan peningkatan katabolisme albumin. Pada keadaan normal, laju sintesis albumin di hepar dapat meningkat hingga 300%, sedangkan penelitian pada penderita sindrom nefrotik dengan hipoalbuminemia menunjukan bahwa laju sintesis albumin di hepar hanya sedikit di atas keadaan normal meskipun diberikan diet protein yang adekuat. Hal ini mengindikasikan respon sintesis terhadap albumin oleh hepar tidak adekuat. Tekanan onkotik plasma yang memperfusi hati merupakan regulator mayor sintesis protein. Bukti eksperimental pada tikus yang secara genetik menunjukkan adanya defisiensi dalam sirkulasi albumin, menunjukkan dua kali peningkatan laju transkripsi gen albumin hepar dibandingkan dengan tikus normal. Meskipun demikian, peningkatan sintesis albumin di hepar pada tikus tersebut tidak adekuat untuk mengompensasi derajat hipoalbuminemia, yang mengindikasikan adanya gangguan respon sintesis. Hal ini juga terjadi pada pasien sindrom nefrotik, penurunan tekanan onkotik tidak mampu untuk meningkatkan laju sintesis albumin di hati sejauh mengembalikan konsentrasi plasma albumin. Ada juga bukti pada subjek yang normal bahwa albumin interstisial hepar mengatur sintesis albumin. Oleh karena pada sindrom nefrotik pool albumin interstisial hepar tidak habis, respon sintesis albumin normal dan naik dengan jumlah sedikit, tetapi tidak mencapai level yang adekuat. Asupan diet protein berkontribusi pada sintesis albumin. Sintesis mRNA albumin hepar dan albumin tidak meningkat pada tikus ketika diberikan diet rendah protein, tetapi sebaliknya, meningkat pada tikus yang diberikan diet tinggi protein. Meskipun begitu, level albumin serum tidak mengalami perubahan karena hiperfiltrasi yang dihasilkan dari peningkatan konsumsi protein menyebabkan peningkatan albuminuria. Kontribusi katabolisme albumin ginjal pada hipoalbuminemia pada sindrom nefrotik masih merupakan hal yang kontroversial. Dalam penelitian terdahulu dikemukakan bahwa kapasitas transportasi albumin tubulus ginjal telah mengalami saturasi pada level albumin terfiltrasi yang fisiologis dan dengan peningkatan protein yang terfiltrasi yang hanya diekskresikan dalam urin, bukan diserap dan dikatabolisme. Penelitian pada perfusi tubulus proksimal yang diisolasi pada kelinci membuktikan sebuah sistem transportasi ganda untuk uptake albumin. Sebuah sistem kapasitas rendah yang telah mengalami saturasi pada muatan protein yang berlebih, tetapi masih dalam level fisiologis, terdapat pula sebuah sistem kapasitas tinggi dengan afinitas yang rendah, memungkinkan tingkat penyerapan tubular untuk albumin meningkat karena beban yang disaring naik. Dengan demikian, peningkatan tingkat fraksi katabolik dapat terjadi pada sindrom nefrotik.Hipotesis ini didukung oleh adanya korelasi positif di antara katabolisme fraksi albumin dan albuminuria pada tikus dengan puromycin aminonucleoside PAN yang diinduksi hingga nefrosis. Namun, karena simpanan total albumin tubuh menurun dalam jumlah banyak pada sindrom nefrotik, laju katabolik absolut mungkin normal atau bahkan kurang. Hal ini berpengaruh pada status nutrisi, sebagaimana dibuktikan oleh fakta bahwa katabolisme albumin absolut berkurang pada tikus nefrotik dengan diet protein rendah, tetapi tidak pada asupan diet protein normal. Jadi cukup jelas bahwa hipoalbuminemia pada sindrom nefrotik merupakan akibat dari perubahan multipel pada homeostasis albumin yang tidak dapat dikompensasi dengan baik oleh adanya sintesis albumin hepar dan penurunan katabolisme albumin tubulus ginjal.3) Edema Terdapat beberapa teori yang menjelaskan tentang timbulnya edema pada sindrom nefrotik. Underfilled theory merupakan teori klasik tentang pembentukan edema. Teori ini berisi bahwa adanya edema disebabkan oleh menurunnya tekanan onkotik intravaskuler dan menyebabkan cairan merembes ke ruang interstisial. Adanya peningkatan permeabilitas kapiler glomerulus menyebabkan albumin keluar sehingga terjadi albuminuria dan hipoalbuminemia. Sebagaimana diketahui bahwa salah satu fungsi vital dari albumin adalah sebagai penentu tekanan onkotik. Maka kondisi hipoalbuminemia ini menyebabkan tekanan onkotik koloid plasma intravaskular menurun. Sebagai akibatnya, cairan transudat melewati dinding kapiler dari ruang intravaskular ke ruang interstisial kemudian timbul edema.Menurut teori lain yaitu teori overfilled, retensi natrium renal dan air tidak bergantung pada stimulasi sistemik perifer tetapi pada mekanisme intrarenal primer. Retensi natrium renal primer mengakibatkan ekspansi volume plasma dan cairan ekstraseluler. Overfilling cairan ke dalam ruang interstisial menyebabkan terbentuknya edema.4) Hiperkolesterolemia Hampir semua kadar lemak (kolesterol, trigliserid) dan lipoprotein serum meningkat pada sindrom nefrosis. Hal ini dapat dijelaskan dengan penjelasan antara lain yaitu adanya kondisi hipoproteinemia yang merangsang sintesis protein menyeluruh dalam hati, termasuk lipoprotein. Selain itu katabolisme lemak menurun karena terdapat penurunan kadar lipoprotein lipase plasma, sistem enzim utama yang mengambil lemak dari plasma.

Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang untuk mendukung diagnosis sindrom nefrotik, antara lain : 1) Urinalisis dan bila perlu biakan urin Biakan urin dilakukan apabila terdapat gejala klinik yang mengarah pada infeksi saluran kemih (ISK). 2) Protein urin kuantitatif Pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan urin 24 jam atau rasio protein/kreatinin pada urin pertama pagi hari. 3) Pemeriksaan darah - Darah tepi lengkap (hemoglobin, leukosit, hitung jenis leukosit, trombosit, hematokrit, LED) - Albumin dan kolesterol serum - Ureum, kreatinin, dan klirens kreatinin

Pengukuran dapat dilakukan dengan cara klasik ataupun dengan rumus Schwartz. Rumus Schwartz digunakan untuk memperkirakan laju filtrasi glomerulus (LFG).17 eLFG = k x L/Scr eLFG : estimated LFG (ml/menit/1,73 m2) L : tinggi badan (cm) Scr : serum kreatinin (mg/dL) k : konstanta (bayi aterm:0,45; anak dan remaja putri:0,55; remaja putra:0,7- Kadar komplemen C3 Apabila terdapat kecurigaan lupus erimatosus sistemik, pemeriksaan ditambah dengan komplemen C4, ANA (anti nuclear antibody), dan anti ds-DNA.

Komplikasi Komplikasi mayor dari sindrom nefrotik adalah infeksi. Anak dengan sindrom nefrotik yang relaps mempunyai kerentanan yang lebih tinggi untuk menderita infeksi bakterial karena hilangnya imunoglobulin dan faktor B properdin melalui urin, kecacatan sel yang dimediasi imunitas, terapi imuosupresif, malnutrisi, dan edema atau ascites. Spontaneus bacterial peritonitis adalah infeksi yang biasa terjadi, walaupun sepsis, pneumonia, selulitis, dan infeksi traktus urinarius mungkin terjadi. Meskipun Streptococcus pneumonia merupakan organisme tersering penyebab peritonitis, bakteri gram negatif seperti Escherichia coli, mungkin juga ditemukan sebagai penyebab.

Penatalaksanaan umum 1) Pengukuran berat badan dan tinggi badan2) Pengukuran tekanan darah 3) Pemeriksaan fisik Pemeriksaan dilakukan untuk mencari tanda atau gejala penyakit sistemik, seperti lupus eritematosus sistemik dan purpura Henoch-Schonlein.4) Pencarian fokus infeksi Sebelum melakukan terapi dengan steroid perlu dilakukan eradikasi pada setiap infeksi, seperti infeksi di gigi-geligi, telinga, ataupun infeksi karena kecacingan. 5) Pemeriksaan uji Mantoux Apabila hasil uji Mantoux positif perlu diberikan profilaksis dengan isoniazid (INH) selama 6 bulan bersama steroid dan apabila ditemukan tuberkulosis diberikan obat antituberkulosis (OAT).

Pengobatan kortikosteroid 1) Terapi inisial Berdasarkan International Study of Kidney Disease in Children (ISKDC), terapi inisial untuk anak dengan sindrom nefrotik idiopatik tanpa kontraindikasi steroid adalah prednison dosis 60mg/m2LPB/hari atau 2 mg/kgBB/hari (maksimal 80 mg/hari) dalam dosis terbagi. Terapi inisial diberikan dengan dosis penuh selama 4 minggu. Apabila dalam empat minggu pertama telah terjadi remisi, dosis prednison diturunkan menjadi 40 mg/m2LPB/hari atau 1,5 mg/kgBB/hari, diberikan selang satu hari, dan diberikan satu hari sekali setelah makan pagi. Apabila setelah dilakukan pengobatan dosis penuh tidak juga terjadi remisi, maka pasien dinyatakan resisten steroid.2) Pengobatan sindrom nefrotik relaps Pada pasien sindrom nefrotik relaps diberikan pengobatan prednison dosis penuh hingga terjadi remisi (maksimal 4 minggu) dan dilanjutkan dengan pemberian dosis alternating selama 4 minggu. Apabila pasien terjadi remisi tetapi terjadi proteinuria lebih dari sama dengan positif 2 dan tanpa edema, terlebih dahulu dicari penyebab timbulnya proteinuria, yang biasanya disebabkan oleh karena infeksi saluran nafas atas, sebelum diberikan prednison. Apabila ditemukan infeksi, diberikan antibiotik 5-7 hari, dan bila kemudian protenuria menghilang maka pengobatan relaps tidak perlu diberikan. Namun, apabila terjadi proteinuria sejak awal yang disertai dengan edema, diagnosis relaps dapat ditegakkan, dan diberikan prednison pada pasien.3) Pengobatan sindrom nefrotik relaps sering atau dependen steroid Terdapat 4 opsi pengobatan SN relaps sering atau dependen steroid : a. Pemberian steroid jangka panjangb. Pemberian levamisolc. Pengobatan dengan sitostatika d. Pengobatan dengan siklosporin atau mikofenolat mofetil (opsi terakhir) Perlu dicari pula adanya fokus infeksi seperti tuberkulosis, infeksi di gigi, radang telinga tengah atau kecacingan.

DAFTAR PUSTAKADorland, W.A. Newman. Kamus Saku Kedokteran Dorland Edisi 28. Jakarta: EGC, 2011

Paulsen, F., & J. Waschke. Sobotta Atlas Anatomi Manusia Jilid 2 Organ-Organ Dalam Edisi 23. Jakarta: EGC, 2012

Pridady, F.X., dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi VI. Jakarta: Internal Publishing, 2014

Guyton, Arthur C. dan John E. Hall. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta: EGC, 2006.

Price, Sylvia Anderson dan Lorraine MW. Patofisiologi Vol 2. ed 6. Jakarta : EGC, 2005.

Robbins, Stanley L., dkk. Buku Ajar Patologi Klinik Robbind Vol.2 Ed.7. Jakarta: EGC, 2007.

Purnomo, Basuki B. DasarDasar Urologi Eddisi Ketiga. Jakarta: Sagung Seto, 2011.Price, Sylvia Anderson & Wilson, Lorraine McCarty, Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit, Buku II, Edisi IV (terjemahan), Penerbit EGC, Jakarta, 1994. Hal: 832-833.Robbins, Stanley L & Kumar, Vinay, Buku Ajar Patologi II, Edisi IV (terjemahan), Penerbit EGC, Jakarta, 1995. Hal: 189-194.Soeparman, Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II, Balai Penerbit FKUI, Jakarta 1990. Hal: 282-304Stein, Jay H, Panduan Klinik Ilmu Penyakit Dalam (terjemahan), Penerbit EGC, Jakarta, 1994. Hal: 171-174DeLaune. Sue C., (2002), Fundamental of Nursing Standar &Practice, Louisiana USA, DelmarGuyton, (2005), Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit, Jakarta, EGC

4