skenario e blok 19 l5 fix

164
LAPORAN TUTORIAL E BLOK 19 disusun oleh: Kelompok V Anggota: Retno Anjar Sari 04111001144 Ganda Putra 04111001131 M. Tafdhil T. 04111001102 Moza Guyanto 04111001112 Johannes Lie 04111001038 Vhandy Ramadhan 04111001070 Terry Mukminah Sari 04111001124 Ayu Risky Fitriawan 04111001018 Meylinda 04111001028 Risha Meilinda M. 04111001069 Fitri Heriyati Pratiwi 04111001003 Khumaisiyah 04111001094 Muhammad Syahid 04111001107 Tutor: dr. Ani, Sp. M

Upload: johannes-lie

Post on 27-Oct-2015

278 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

fix

TRANSCRIPT

Page 1: Skenario E Blok 19 L5 Fix

LAPORAN TUTORIAL E

BLOK 19

disusun oleh:

Kelompok V

Anggota:

Retno Anjar Sari 04111001144

Ganda Putra 04111001131

M. Tafdhil T. 04111001102

Moza Guyanto 04111001112

Johannes Lie 04111001038

Vhandy Ramadhan 04111001070

Terry Mukminah Sari 04111001124

Ayu Risky Fitriawan 04111001018

Meylinda 04111001028

Risha Meilinda M. 04111001069

Fitri Heriyati Pratiwi 04111001003

Khumaisiyah 04111001094

Muhammad Syahid 04111001107

Tutor: dr. Ani, Sp. M

PENDIDIKAN DOKTER UMUM

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SRIWIJAYA

2011

Page 2: Skenario E Blok 19 L5 Fix

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas ridho dan karunia-Nya laporan Tutorial

ini dapat terselesaikan dengan baik.

Adapun laporan ini bertujuan untuk memenuhi rasa ingin tahu akan penyelesaian dari

skenario yang diberikan, sekaligus sebagai tugas tutorial yang merupakan bagian dari sistem

pembelajaran KBK di Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.

Tim Penyusun tak lupa mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang terlibat

dalam pembuatan laporan ini.

Tak ada gading yang tak retak. Tim Penyusun menyadari bahwa dalam pembuatan

laporan ini masih terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu, saran dan kritik pembaca

akan sangat bermanfaat bagi revisi yang senantiasa akan penyusun lakukan.

Tim Penyusun

1

Page 3: Skenario E Blok 19 L5 Fix

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

KATA PENGANTAR..............................................................................................................1

DAFTAR ISI.............................................................................................................................2

PEMBAHASAN SKENARIO :

I.SKENARIO..........................................................................................................................2

II.KLARIFIKASI ISTILAH...................................................................................................2

III.IDENTIFIKASI MASALAH............................................................................................2

IV.ANALISIS MASALAH....................................................................................................2

V.HIPOTESIS........................................................................................................................2

VI.LEARNING ISSUES........................................................................................................2

VII.SINTESIS.........................................................................................................................2

VIII.KERANGKA KONSEP.................................................................................................2

IX.KESIMPULAN.................................................................................................................2

DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................................1

2

Page 4: Skenario E Blok 19 L5 Fix

Skenario E Blok 19 Tahun 2013

Seorang anak laki-laki, usia 3 tahun, berat badan 13 kg, dibawa ke RS dengan keluhan

kejang. Dari catatan dari rekam medis didapatkan penderita masih sering mengalami

serangan kejang saat datang ke RS. Setelah diberikan diazepam per rektal dua kali dan

intravena satu kali, kejang belum teratasi. Kejang berhenti setelah diberikan drip fenitoin.

Kejang tidak didahului atau disertai demam. Pascakejang penderita masih tidak sadar.

Setelah delapan jam perawatan di rumah sakit, kesadaran penderita mulai membaik,

namun masih malas bicara serta tatapan seringkali kosong.

Dari anamnesis dengan ibu penderita, sekitar dua puluh menit sebelum masuk RS

penderita mengalami bangkitan di mana seluruh tubuh penderita tegang mata mendelik ke

atas, kemudian dilanjutkan kelojotan seluruh tubuh. Bangkitan ini berlangsung kurang lebih

lima menit. Pascakejang penderita tidak sadar. Penderita kemudian dibawa ke RS. Sekitar 10

menit setelah bangkitan pertama saat masih dalam perjalanan ke RS, bangkitan serupa

berulang sampai penderita tiba di rumah sakit. Jarak antara rumah dengan RS lebih kurang 10

kilometer. Setelah mendapat obat kejang seperti yang sudah disebutkan di aras, kejang

berhenti. Pascakejang penderita masih tidak sadar. Sekitar tiga jam di RS, penderita mulai

sadar. Orang tua memperhatikan lengan dan tungkai sebelah kanan nampak lemah dan

penderita sering tersedak.

Riwayat Penyakit Sebelumnya:

Saat berusia sembilan bulan, penderita mengalami kejang dengan demam tinggi.

Dilakukan pemeriksaan cairan serebrospinal dan penderita didiagnosis meningitis. Penderita

dirawat di RS selama 15 hari.

Pada usia 1 tahun penderita mengalami kejang yang tidak disertai demam sebanyak

dua kali. Pada usia 18 bulan, penderita kembali mengalami kejang yang disertai demam tidak

tinggi. Penderita berobat ke dokter dan diberi obat asam valproat. Setelah enam bulan

berobat, orang tua menghentikan pengobatan karena penderita tidak pernah kejang. Penderita

sudah bisa bicara lancar, sudah bisa memakai baju sendiri dan mengendarai sepeda roda tiga.

Pemeriksaan Fisik:

Anak nampak sadar, suhu 37oC, TD: 90/45 mmHg (normal untuk usia), nbadi 100x/menit,

laju nafas 30x/menit.

3

Page 5: Skenario E Blok 19 L5 Fix

Pemeriksaan neurologis:

Mulut penderita mengot ke sebelah kiri. Lipatan dahi masih nampak dan kedua kelopak mata

dapat menutup penuh saat dipejamkan. Saat penderita diminta mengeluarkan lidah terjadi

deviasi ke kanan dan disertai tremor lidah. Pergerakan lengan dan tungkai kanan Nampak

terbatas dan kekuatannya lebih lemah disbanding sebelah kiri. Lengan dan tungkai kanan

dapat sedikit diangkat, namun sama sekali tidak dapat melawan tahanan dari pemeriksa.

Lengan dan tungkai kiri dapat melawan tahanan kuat sewajar usianya. Tonus otot dan refleks

fisiologis lengan dan tungkai kanan meningkat, serta ditemukan refleks Babinski di kaki

sebelah kanan.

4

Page 6: Skenario E Blok 19 L5 Fix

II. KLARIFIKASI MASALAH

1. Kejang : Serangan mendadak atau gangguan penyakit

2. Bangkitan berulang :

3. Unconciousness : Tidak mampu memberi espons terhadap rangsangan

sensoris dan tidak dapat menikmati pengalaman subjektif

4. Meningitis : Radang pada selaput otak atau meningen

5. Diazepam : Benzodizepin yang digunakan sebagai agen

antianxietas, sedatif, agen antipanik, agen antitremor, relaksan otot rangka,

antikonvulsan, dan dalam penatalaksanaan gejala akibat penghentian pemakaian

alkohol.

6. Kelojotan (Tonus klonus): Rangkaian kntraksi dan relaksasi otot involunter serta

bergantian secara cepat.

7. Drip Fenitoin : Antikonvulsan dan depresan jantung yang digunakan

pada pengobatan semua bentuk epilepsi kecuali jenis petitmal dan sebagai anti-

aritmia melalui intravena.

8. Asam Valproat : Antikonvulsan, asam 2-propilpentanoat digunakan

untuk mengontrol kejang yang tidak terlihat

9. Deviasi : Seseorang dengan sifat yang berbeda dari apa yang

dianggap normal atau standar.

10. Refleks Babinsky : Dorsofleksi ibu jari kaki pada perangsangan telapak

kaki yang menunjukkan terjadinya lesi yang mengenai traktus piramidalis waaupun

refleks normal pada bayi.

11. Tremor : Getaran atau gigilan yang involunter

12. Tonus otot : Kontraksi otot yang ringan dan terus menerus yang

pada otot rangka membantu dalam mempertahankan postur dan pengmbalian darah

jantung.

13. Refleks fisiologis : Refleks yang terdapat atau muncul pada orang normal.

14. Cairan serebrospinal : Cairan sejernih kristal yang menyerupai plasma darah

dalam komposisi, tetapi dengan kandungan protein yang jauh lebih rendah

5

Page 7: Skenario E Blok 19 L5 Fix

III. IDENTIFIKASI MASALAH

1. Seorang anak laki-laki, usia 3 tahun, berat badan 13 kg, dibawa ke RS dengan

keluhan kejang. Kejang tidak didahului atau disertai demam. Dari anamnesis

dengan ibu penderita, sekitar dua puluh menit sebelum masuk RS penderita

mengalami bangkitan di mana seluruh tubuh penderita tegang mata mendelik ke

atas, kemudian dilanjutkan kelojotan seluruh tubuh. Bangkitan ini berlangsung

kurang lebih lima menit. Pascakejang penderita tidak sadar. Penderita kemudian

dibawa ke RS. Setelah 10 menit setelah bangkitan pertama saat masih dalam

perjalanan ke RS, bangkitan serupa berulang sampai penderita tiba di rumah sakit.

Jarak antara rumah dengan RS lebih kurang 10 kilometer.

2. Setelah diberikan diazepam per rektal dua kali dan intravena satu kali, kejang belum

teratasi. Kejang berhenti setelah diberikan drip fenitoin. Pascakejang penderita

masih tidak sadar.

3. Sekitar 3 jam di RS, penderita mulai sadar. Orang tua memperhatikan lengan dan

tungkai sebelah kanan nampak lemah dan penderita sering tersedak. Setelah delapan

jam perawatan di RS, kesadaran penderita mulai membaik, namun masih malas

bicara serta tatapan seringkali kosong.

4. Riwayat Penyakit Sebelumnya:

9 bulan : kejang demam tinggi, didiagnosis meningitis (Pemeriksaan CSP), dirawat

di RS selama 15 hari

12 bulan : Kejang tidak disertai demam sebanyak 2x.

18 bulan : Kejang disertai demam tidak tinggi, diberi obat asam valproat, respons

(+) -> kejang (-), setelah 6 bulan, orang tua menghentikan pengobatan karena tidak

kejang lagi. Penderita bisa bicara lancar, bisa memakai baju sendiri dan

mengendarai sepeda roda tiga.

5. Pemeriksaan neurologis:

6

Page 8: Skenario E Blok 19 L5 Fix

Mulut penderita mengot ke sebelah kiri. Lipatan dahi masih nampak dan kedua

kelopak mata dapat menutup penuh saat dipejamkan. Saat penderita diminta

mengeluarkan lidah terjadi deviasi ke kanan dan disertai tremor lidah. Pergerakan

lengan dan tungkai kanan Nampak terbatas dan kekuatannya lebih lemah

disbanding sebelah kiri. Lengan dan tungkai kanan dapat sedikit diangkat, namun

sama sekali tidak dapat melawan tahanan dari pemeriksa. Lengan dan tungkai kiri

dapat melawan tahanan kuat sewajar usianya. Tonus otot dan refleks fisiologis

lengan dan tungkai kanan meningkat, serta ditemukan refleks Babinski di kaki

sebelah kanan.

IV. ANALISIS MASALAH

1. Seorang anak laki-laki, usia 3 tahun, berat badan 13 kg, dibawa ke RS dengan

keluhan kejang. Kejang tidak didahului atau disertai demam. Dari anamnesis

dengan ibu penderita, sekitar dua puluh menit sebelum masuk RS penderita

mengalami bangkitan di mana seluruh tubuh penderita tegang mata mendelik

ke atas, kemudian dilanjutkan kelojotan seluruh tubuh. Bangkitan ini

berlangsung kurang lebih lima menit. Pascakejang penderita tidak sadar.

Penderita kemudian dibawa ke RS. Setelah 10 menit setelah bangkitan pertama

saat masih dalam perjalanan ke RS, bangkitan serupa berulang sampai

penderita tiba di rumah sakit. Jarak antara rumah dengan RS lebih kurang 10

kilometer.

a. Apa hubungan usia, jenis kelamin, berat badan dengan keluhan?

Jawab :

Rasio jenis kelamin anak epilepsi, lelaki sedikit lebih banyak dibanding anak

perempuan yaitu hal ini sesuai dengan penelitian Shorvon dkk,yang

mendapatkan rasio 1,1 dan Cowan dkk.1,5 .Sebaran usia kasus yang diteliti

sesuai dengan insidens epilepsi yang berubah-ubah menurut usia, yaitu

insidens tertinggi pada usia anak dini, mencapai nadirnya pada usia dewasa

dini, dan naik kembali pada usia tua. Bangkitan epilepsi jarang dijumpai pada

usia bulan-bulan pertama, dan lebih sering antara usia 4 bulan-4 tahun,

kemudian frekuensinya menurun sampai remaja. Bangkitan kejang pada bayi

7

Page 9: Skenario E Blok 19 L5 Fix

premature lebih jarang terjadi dibanding bayi cukup umur, karena sistem saraf

bayi prematur belum berkembang. Hal ini menunjukkan faktor usia dan

perkembangan ikut mempengaruhi terjadinya epilepsi pada anak. Pada

kelompok epilepsi jenis bangkitan umum tidak didapatkan pasien epilepsi jenis

bangkitan umum klonik, sedangkan jumlah pasien epilepsi jenis umum tonik

dan jenis umum tonik-klonik sebanding. Hasil penelitian ini tidak sesuai

dengan penelitian Menkes dan Cowan dkk. yang mendapatkan epilepsi jenis

bangkitan umum tonik-klonik merupakan manifestasi epilepsi yang paling

sering terdapat pada masa anak. Lebih kurang 70% bangkitan epilepsi pada

anak merupakan bangkitan umum tonik-klonik.

b. Apa saja klasifikasi dan patogenesis kejang?

Jawab:

Sebelum mengklasifikasikan kejang, terlebih dahulu Diagnosis kejang ditegakkan

berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan penunjang, sangat penting membedakan

apakah serangan yang terjadi adalah kejang atau serangan yang menyerupai

kejang. Perbedaan diantara keduanya adalah pada tabel 1:

Tabel 1. Perbedaan antara kejang dan serangan yang menyerupai kejang

8

Page 10: Skenario E Blok 19 L5 Fix

Klasifikasi kejang

Setelah diyakini bahwa serangan ini adalah kejang, selanjutnya perluditentukan

jenis kejang. Saat ini klasifikasi kejang yang umum digunakan adalah

berdasarkan Klasifikasi International League Against Epilepsy of Epileptic

Seizure [ILAE] 1981, yaitu dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 2. Klasifikasi kejang

9

Page 11: Skenario E Blok 19 L5 Fix

Mekanisme dasar terjadinya kejang adalah peningkatan aktifitas listrik yang

berlebihan pada neuron-neuron dan mampu secara berurutan merangsang sel

neuron lain secara bersama-sama melepaskan muatan listriknya. Hal tersebut

diduga disebabkan oleh; 1] kemampuan membran sel sebagai pacemaker neuron

untuk melepaskan muatan listrik yang berlebihan; 2] berkurangnya inhibisi oleh

neurotransmitter asam gama amino butirat [GABA]; atau 3] meningkatnya

eksitasi sinaptik oleh transmiter asam glutamat dan aspartat melalui jalur eksitasi

yang berulang.

Note: Gamma AminoButyric Acid (GABA), merupakan neurotransmitter utama

yang bekerja sebagai inhibisi cepat dengan membuka kanal anion Cl- atau

inhibitory postsynaptic potential (IPSP).

c. Apa etiologi kejang?

Jawab:

Faktor perinatal, kelainan yang timbul akibat gangguan pada proses

kehamilan.

Malformasi otak congenital

Factor genetik

Penyakit infeksi seperti ensefalitis dan meningitis

Gangguan metabilisme (Hipoglikemia,Hiponatremia)

Trauma kepala

Tumor Otak

Toksin/keracunan

Gangguan sirkulasi/peredaran darah

Penyakit degeneratif susunan saraf.

d. Apa hubungan kejang dengan demam?

Jawab:

Kejang demam atau febris convulson ialah bangkitnya kejang yang terjadi pada

kenaikan suhu tubuh (suhu rectal di atas 380 C) yang disebabkan oleh proses

10

Page 12: Skenario E Blok 19 L5 Fix

ekstrakranium (tidak didapatkan adanya infeksi ataupun kelainan lain yang jelas

di intrakranial ).

Etiologi kejang demam adalah:

a. Demam itu sendiri, demam yang disebabkan oleh infeksi saluran

pernapasan, otitis media, pneumonia, gastroentritis dan infeksi saluran

kemih.

b. Efek produk toksik dari pada mikroorganisme.

c. Respon alergik atau keadaan umum yang abnormal oleh infeksi.

d. Perubahan keseimbangan cairan dan elektrolit.

e. Ensefalitis viral ( radang otak akibat virus ) yang ringan .

Hubungan kejang dengan demam :

Untuk mempertahankan kelangsungan hidup sel atau organ otak diperlukan

suatu energi yang didapat dari metabolisme. Bahan baku untuk metabolisme otak

yang terpenting adalah glukosa. Sifat proses itu adalah oksidasi dimana oksigen

disediakan dengan perantaraan fungsi paru-paru dan diteruskan ke otak melalui

sistem kardiovaskuler. Jadi sumber energi otak adalah glukosa yang melalui

proses oksidasi menjadi CO2 dan air. Sel dikelilingi oleh suatu membran yang

terdiri dari permukaan dalam adalah lipoid dan permukaan luar adalah ionik.

Dalam keadaan normal membran sel neuron dapat dilalui dengan mudah oleh ion

kalium dan sangat sulit dilalui oleh ion natrium dan elektrolit lainnya, kecuali ion

klorida. Akobatnya konsentrasi kalium dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi

ion natrium rendah, sedangkan diluar sel neuron terdapat keadaan sebaliknya.

Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam dan di luar sel, maka

terdapat perbedaan potensial yang disebut potensial membran dari sel neuron.

Untuk menjaga keseimbangan potensial membran ini diperlukan energi dan

bantuan enzim Na-K-ATPase yang terdapat di permukaan sel. Keseimbangan

potensial membran ini dapat dirubah oleh adanya perubahan konsentrasi ion di

ruang ekstraseluler, rangsangan yang datangnya mendadak misalnya mekanis dan

kimiawi, perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau

keturunan.

Pada keadaan demam kenaikan suhu 1°C akan mengakibatkan kenaikan

metabolisme basal 10%-15% dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%. Pada

11

Page 13: Skenario E Blok 19 L5 Fix

anak berumur 3 tahun sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh tubuh

dibandingkan orang dewasa yang hanya 15%. Jadi pada kenaikan suhu tubuh

tertentu dapat terjadi perubahan keseimbangan dari membran sel neuron dan

dalam waktu yang singkat terjadi difusi ion kalium maupun ion natrium melalui

membran tadi, dengan akibat terjadinya lepas muatan listrik. Lepas muatan listrik

ini demikian besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh sel maupun ke membran

sel tetangganya dengan bantuan bahan yang disebut neurotransmiter dan

terjadilah kejang. Tiap anak mempunyai ambang kejang yang berbeda tergantung

dari tinggi rendahnya ambang kejang seseorang anak yang menderita kejang

demam pada kenaikan suhu tertentu. Pada anak dengan ambang kejang yang

rendah, kejang terjadi pada suhu 38°C sedangkan anak dengan ambang kejang

yang tinggi, kejang baru terjadi pada suhu 40°C atau lebih .

Mekanisme demam menimbulkan kejang :

Perubahan kenaikan temperatur tubuh berpengaruh terhadap nilai ambang kejang

dan ekstabilitas neural, karena kenaikan suhu tubuh berpengaruh pada kanal ion

dan metabolisme seluler serta produksi ATP. Setiap kenaikan suhu tubuh satu

derajat celsius akan meningkatkan metabolisme karbohidrat 10-15% sehingga

dengan adanya peningkatan suhu akan mengakibatkan peningkatan kebutuhan

glukosa dan oksigen. Pada demam tinggi akan mengakibatkan hipoksia jaringan

termasuk jaringan otak. Pada keadaan metabolisme di siklus skreb normal, satu

molekul glukosa akan menghasilkan 38 ATP, sedangkan pada keadaan hipoksia

jaringan metabolisme anaerob, satu molekul glukosa hanya akan menghasilkan 2

ATP, sehingga pada keadaan hipoksia akan kekurangan energi, hal ini akan

mengganggu fungsi normal pompa Na+ dan reuptake asam glutamat oleh sel glia.

Kedua hal tersebut mengakibatkan masuknya ion Na+ ke dalam sel meningkat dan

timbunan asam glutamat ekstrasel. Timbunan asam glutamat ekstrasel akan

mengakibatkan permeabilitas membran sel terhadap ion Na+ sehingga semakin

meningkatkanmasuknya ion Na+ ke dalam sel. Masuknya ion Na+ ke dalam sel

dipermudah dengan adanya demam, sebab demam akan meningkatkan mobilitas

dan benturan ion terhadap membran sel. Perubahan konsentrasi ion Na+ intrasel

dan ekstrasel tersebut akan mengakibatkan perubahan potensial membran sel

neuron sehingga membran sel dalam keadaan depolarisasi. Selain itu demam

dapat merusak neuron GABA-ergik sehingga fungsi inhibisi terganggu.

12

Page 14: Skenario E Blok 19 L5 Fix

e. Apa perbedaan kejang dan bangkitan?

Jawab:

Seizure (bangkitan) adalah cetusan aktivitas listrik abnormal yang terjadi secara

mendadak dan bersifat sementara di antara saraf-saraf di otak yang tidak dapat

dikendalikan. Akibatnya, kerja otak menjadi terganggu. Manifestasi dari seizure

bisa bermacam-macam, dapat berupa penurunan kesadaran, gerakan tonik

(menjadi kaku) atau klonik (kelojotan), konvulsi dan fenomena psikologis

lainnya. Kumpulan gejala berulang dari seizure yang terjadi dengan sendirinya

tanpa dicetuskan oleh hal apapun disebut sebagai epilepsi (ayan).

Sedangkan konvulsi adalah gerakan mendadak dan serentak otot-otot yang tidak

bisa dikendalikan, biasanya bersifat menyeluruh. Hal inilah yang lebih sering

dikenal orang sebagai kejang. Jadi kejang hanyalah salah satu manifestasi

dari seizure.

f. Apa saja klasifikasi dan patogenesis bangkitan?

Jawab:

Bangkitan disini dalam bahasa inggris adalah seizure, yang artinya adalah

serangan (tiba-tiba). Bisa juga diartikan sebagai kejang (serangan tiba-tiba

(paroksismal) pada fungsi otak tanpa sengaja yang dapat nampak sebagai

gangguan atau kehilangan kesadaran, aktivitas motorik yang abnormal, kelainan

perilaku, gangguan sensoris, atau disfungsi autonom.

Daniel H. Lowenstein dalam Harrison Principles 17th, seizure/bangkitan

merupakan kejadian paroksismal yang disebabkan oleh pelepasan sekumpulan

neuron-neuron sistem saraf pusat (SSP) secara abnormal, berlebihan, dan

hipersinkron.

Pada kasus ini sudah terjadi bangkitan epilepsi. Klasifikasi bangkitan epilepsi:

Menurut International League Against Epilepsy (ILAE) 1981,

Klasifikasi berdasarkan tipe bangkitan epilepsi :

1. Bangkitan Parsial

13

Page 15: Skenario E Blok 19 L5 Fix

Bangkitan parsial diklasifikasikan menjadi 3 yakni,

A. Parsial Sederhana (kesadaran tetap baik)

1. Dengan gejala motorik

2. Dengan gejala somatosensorik atau sensorik khusus

3. Dengan gejala autonom

4. Dengan gejala psikis

B. Parsial Kompleks (kesadaran menurun)

1. Berasal sebagai parsial sederhana dan berekambang menjadi penurunan

kesadaran

2. Dengan penurunan kesadaran sejak awaitan

C. Parsial yang menjadi umum sekunder

1. Parsial sederhana yang menajdi umum tonik-konik

2. Parsial kompleks menjadi umum tonik-klonik

3. Parsial sederhana menjadi parsial kompleks dan menjadi umum tonik-konik

2. Bangkitan Umum

A. Absence / lena / petit mal

Bangkitan ini ditandai dengan gangguan kesadaran mendadak (absence) dalam

beberapa detik (sekitar 5-10 detik) dimana motorik terhenti dan penderita diam

tanpa reaksi. Seragan ini biasanya timbul pada anak-anak yang berusia antara 4

sampai 8 tahun. Pada waktu kesadaran hilang, tonus otot skeletal tidak hilang

sehingga penderita tidak jatuh. Saat serangan mata penderita akan memandang

jauh ke depan atau mata berputar ke atas dan tangan melepaskan benda yang

sedang dipegangnya. Pasca serangan, penderita akan sadar kembali dan biasanya

lupa akan peristiwa yang baru dialaminya. Pada pemeriksaan EEG akan

menunjukan gambaran yang khas yakni “spike wave” yang berfrekuensi 3 siklus

per detik yang bangkit secara menyeluruh.14

Page 16: Skenario E Blok 19 L5 Fix

B. Klonik

Kejang Klonik dapat berbentuk fokal, unilateral, bilateral dengan pemulaan fokal

dan multifokal yang berpindah-pindah. Kejang klonik fokal berlangsung 1 – 3

detik, terlokalisasi , tidak disertai gangguan kesadaran dan biasanya tidak diikuti

oleh fase tonik. Bentuk kejang ini dapat disebabkan oleh kontusio cerebri akibat

trauma fokal pada bayi besar dan cukup bulan atau oleh ensepalopati metabolik.

C. Tonik

Berupa pergerakan tonik satu ekstrimitas atau pergerakan tonik umum dengan

ekstensi lengan dan tungkai yang menyerupai deserebrasi atau ekstensi tungkai

dan fleksi lengan bawah dengan bentuk dekortikasi.

D. Tonik-klonik /Grand mal

Secara tiba-tiba penderita akan jatuh disertai dengan teriakan, pernafasan terhenti

sejenak kemudian diiukti oleh kekauan tubuh. Setelah itu muncul gerakan kejang

tonik-klonik (gerakan tonik yag disertai dengan relaksaki). Pada saat serangan,

penderita tidak sadar, bisa menggigit lidah atau bibirnya sendiri, dan bisa sampai

mengompol. Pasca serangan, penderita akan sadar secara perlahan dan merasakan

tubuhnya terasa lemas dan biasanya akan tertidur setelahnya.

E. Mioklonik

Bangkitan mioklonik muncul akibat adanya gerakan involuntar sekelompok otot

skelet yang muncul secara tiba-tiba dan biasanya hanya berlangsung sejenak.

Gambaran klinis yang terlihat adalah gerakan ekstensi dan fleksi lengan atau

keempat anggota gerak yang berulang dan terjadinya cepat.

F. Atonik

Bangkitan ini jarang terjadi. Biasanya penderita akan kehilangan kekuatan otot

dan terjatuh secara tiba-tiba.

15

Page 17: Skenario E Blok 19 L5 Fix

Patogenesis bangkitan sama dengan kejang:

Terjadi :

- Gangguan pada membran sel neuron

- Gangguan mekanisme inhibisi prasinaps dan pascasinaps

- Neurotransmitter

- Peranan sel glia.

Patofisiologi Epilepsi:

- Imbalans antara eksitasi dan inhibisi

- Mekanisme sinkronisasi

- Iktogenesis

- Epileptogenesis

16

Page 18: Skenario E Blok 19 L5 Fix

- Mekanisme peralihan interiktal-iktal

- Mekanisme neurokimiawi

- Mekanisme imun.

g. Apa yang menyebabkan bangkitan yang terjadi berulang?

Jawab:

Bangkitan berulang bersifat unprovokated(tanpa adanya faktor pencetus). Setiap

terjadi perubahan fungsi otak atau sel-sel neuron di otak , maka akan terjadi

ketidakseimbangan (berlebihan)muatan listrik. Saat terjadi ketidakseimbangan

antara neurotransmiter excitatory dan inhibitory akan menimbulkan bangkitan

kejang.

h. Apa komplikasi dari bangkitan yang terjadi selama 5 menit?

Jawab:

Kejang demam yang berlangsung singkat umumnya tidak berbahaya dan

tidak meninggalkan gejala sisa. Efek fisiologis kejang yang ≤ 5 menit biasanya

meningkatnya ecepatan denyut jantung, meningkatnya tekanan darah,

meningkatnya kadar glukosa, meningkatnya suhu pusat tubuh, meningkatnya sel

darah putih. Tetapi kejang demam yang berlangsung lama (>15 menit) biasanya

disertai dengan apneu, meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi

untuk kontraksi otot skeletal yang mengakibatkan hipoksemia, hiperkapneu, dan

asidosis laktat.Hipotensi arterial disertai dengan aritmia jantung dan kenaikan

suhu tubuh disebabkan meningkatnya aktivitas berakibat meningkatnya

metabolisme otak.

Rangkaian kejadian di atas adalah faktor penyebab terjadinya kerusakan neuron

otak  pada kejang yang lama. Faktor yang terpenting adalah gangguan peredaran

darah yang mengakibatkan hipoksia sehingga berakibat meningkatnya

permeabilitas vaskular danudem otak serta kerusakan sel neuron. Kerusakan

anatomi dan fisiologi yang bersifatmenetap bisa terjadi di daerah medial lobus

temporalis setelah ada serangan kejang yang berlangsung lama. Hal ini diduga

kuat sebagai faktor yang bertanggung jawab terhadap terjadinya epilepsi

17

Page 19: Skenario E Blok 19 L5 Fix

( Demam kejang yang beralngsung lama dapat menyebabkan kelainan anatomis

di otak hingga terjadi epilepsi ).

Selain itu tidak pernah ada bukti bahwa kejang demam akan dapat menurunkan

kecerdasan anak. Anak yang pernah kejang demam sewaktu kecil sama cerdasnya

dengan mereka yang tidak pernah kejang demam. Lain halnya kalau ternyata

seorang pernah kejang disertai demam dan penyebabnya diketahui sebagai infeksi

otak (ensefalitis, meningoensefalitis) yang dapat menimbulkan kerusakan

permanen pada otak dan akhirnya mempengaruhi perkembangan anak termasuk

kecerdasannya.

i. Apa mekanisme badan tegang, mata mendelik ke atas, dan kelojotan

berdasarkan skenario ini?

Jawab:

Pada kejang demam, terjadi kejang tonik klonik. Kejang tonik merupakan

kontraksi dan kekakuan otot selama 10-20 detik. Kejang demam diawali dengan

demam yang cukup tinggi. Setiap kenaikan suhu 1 derajat C akan mengakibatkan

kenaikan metabolisme basal 10% - 15% dan kebutuhan oksigen 20%. Akibatnya

terjadi perubahan keseimbangan dari membran sel otak dan dalam waktu singkat

terjadi difusi dari ion Kalium maupun ion Natrium melalui membran tadi,

sehingga terjadi lepasnya muatan listrik. Lepasnya muatan listrik yang cukup

besar dapat meluas ke seluruh sel/membran sel di dekatnya dengan bantuan

neurotransmiter, sehingga terjadi kejang. Dalam kasus ini, mata penderita

mendelik setelah kejang. Hal ini disebabkan adanya kejang berupa kontraksi otot

pada M. Superior Oblique dan M. Inferior Oblique.

j. Apa hubungan kejang dengan penurunan kesadaran?

Jawab:

Kesadaran ditentukan oleh kondisi pusat kesadaran yang berada di kedua

hemisfer serebridan  Ascending Reticular Activating System (ARAS) Jika terjadi

kelainan pada kedua sistem ini, baik yang melibatkan sistem anatomi maupun

fungsional akan mengakibatkan terjadinya penurunan kesadaran dengan berbagai

tingkatan.Ascending Reticular Activating System merupakan suatu rangkaian atau

18

Page 20: Skenario E Blok 19 L5 Fix

network system yang dari kaudal berasal dari medulla spinalismenuju rostral

yaitu diensefalon melalui brain stem sehingga kelainan yang mengenai

lintasanARAS tersebut berada diantara medulla, pons, mesencephalon menuju ke

subthalamus,hipothalamus, thalamus dan akan menimbulkan penurunan derajat

kesadaran.

Neurotransmiter yang berperan pada ARAS antara lain neurotransmiter

kolinergik, monoaminergik dan gammaaminobutyric acid (GABA) Respon

gangguan kesadaran pada kelainan di ARAS ini merupakan kelainan

yang berpengaruh kepada sistem arousal yaitu respon primitif yang merupakan

manifestasi rangkaianinti-inti di batang otak dan serabut-serabut saraf pada

susunan saraf. Korteks serebri merupakan bagian yang terbesar dari susunan saraf

pusat di mana kedua korteks ini berperan dalamkesadaran akan diri terhadap

lingkungan atau input-input rangsangan sensoris, hal ini disebut jugasebagai

awareness.

Kerusakan dan kematian syaraf tidak seragam pada status epileptikus, tetapi

maksimal pada lima area dari otak (lapisan ketiga, kelima, dan keenam dari

korteks serebri, serebellum, hipokampus, nukleus thalamikus dan amigdala).

Padahal korteks serebri dan batang otak merupakan dua pusat anatomi yang

mengatur kesadaran.

Pada tingkat membran sel, neuron epileptik ditandai oleh fenomena biokimia

tertentu. Beberapa diantaranya adalah ketidakstabilan membran sel saraf sehingga

lebih mudah diaktifkan. Neuron hipersensitif dengan ambang yang menurun,

sehingga mudah terangsang, dan terangsang secara berlebihan. Akibatnya adanya

disritmia pada bagian otak tertentu ini bisa memberikan manifestasi penurunan

kesadaran.

2. Setelah diberikan diazepam per rektal dua kali dan intravena satu kali, kejang

belum teratasi. Kejang berhenti setelah diberikan drip fenitoin. Pascakejang

penderita masih tidak sadar.

a. Mekanisme kerja dari :

- Diazepam (rektal dan IV)

19

Page 21: Skenario E Blok 19 L5 Fix

Jawab:

Rektal (Anak-anak) : 0,2-0,5 mg/kg.

IM, IV (Anak-anak 1 bulan – 5 tahun) : 0,2-0,5 mg tiap 2-5 menit sampai

maksimum 5 mg, dapat diulang tiap 2-4 jam

Mekanisme : Bekerja pada sistem GABA, yaitu dengan memperkuat fungsi

hambatan neuron GABA. Reseptor B Benzodiazepin dalam seluruh sistem

saraf pusat, terdapat dengan kerapatan yang tinggi terutama dalam korteks otak

frontal dan oksipital, di hipokampus dan dalam otak kecil. Pada reseptor ini,

benzodiazepin akan bekerja sebagai agonis. Terdapat korelasi tinggi antara

aktivitas farmakologi berbagai benzodiazepin dengan afinitasnya pada tempat

ikatan. Dengan adanya interaksi benzodiazepin, afinitas GABA terhadap

reseptornya akan meningkat, dan dengan ini kerja GABA akan meningkat.

Dengan aktifnya reseptor GABA, saluran ion klorida akan terbuka sehingga

ion klorida akan lebih banyak yang mengalir masuk ke dalam sel.

Meningkatnya jumlah ion klorida menyebabkan hiperpolarisasi sel

bersangkutan dan sebagai akibatnya, kemampuan sel untuk dirangsang

berkurang.

- Fenitoin (Drip)

Jawab:

Fenitoin merupakan obat golongan antiepilepsi. Mekanisme kerja

utamanya pada korteks motoris yaitu menghambat penyebaran aktivitas

kejang. Kemungkinan hal ini disebabkan peningkatan pengeluaran natrium

dari neuron dan fenitoin cenderung menstabilkan ambang rangsang terhadap

hipereksitabilitas yang disebabkan perangsangan berlebihan atau kemampuan

perubahan lingkungan di mana terjadi penurunan bertahap ion natrium melalui

membran. Ini termasuk penurunan potensiasi paska tetanik pada sinaps.

Fenitoin menurunkan aktivitas maksimal pusat batang otak yang berhubungan

dengan fase tonik dari kejang tonik-klonik (grand mal).

Cara kerja fenitoin pada epilepsi adalah memblokade pergerakan ion

melalui kanal natrium dengan menurunkan aliran ion Na yang tersisa maupun

aliran ion Na yang mengalir selama penyebaran potensial aksi, selain itu

20

Page 22: Skenario E Blok 19 L5 Fix

fenitoin memblokade dan mencegah potensiasi pos tetanik, membatasi

perkembangan aktivitas serangan yang maksimal dan mengurangi penyebaran

serangan. Fenitoin berefek sebagai stabilisasi pada semua membran neuronl,

termasuk saraf perifer dan mungkin bekerja pada membran yang eksitabel

( mudah terpacu ) maupun yang tidak eksitabel.

Fenitoin juga menghambat kanal Ca dan menunda aktifasi aliran ion K

keluar selama potensial aksi, sehingga mengakibatkan kenaikan refractorry

dan menghambat cetusan ulangan.

b. Farmakologi : (dosis, efek samping, indikasi, kontrandikasi, cara

penggunaan, komplikasi)

- Diazepam (rektal dan IV)

Jawab:

Nama Dagang :

- Cetalgin - Danalgin - Hedix - Mentalium

- Neurodial - Neuroval - Paralium - Proneuron

- Stesolid - Trankinon - Validex - Valisanbe

- Valium - Lovium

Dosis :

a. Oral :Ansietas, 2 mg 3 kali sehari jika perlu dapat dinaikkan menjadi

15-30 mg sehari dalam dosis terbagi;

o Lansia (atau yang sudah tidak mampu melakukan aktivitas)

setengah dosis dewasa

o Insomsia yang disertai ansietas, 5-15 mg sebelum tidur.

o Anak-anak, night teror dan somnambulisme, 1-5 mg sebelum

tidur.

b. Injeksi i.m atau injeksi i.v lambat :(kedalam vena besar dengan

kecepatan tidak lebih dari 5 mg/menit)untuk ansietas akut berat,

pengendalian serangan panik akut, penghentian alkohol akut, 10 mg,

jika perlu ulangi setelah 4 jam.

Catatan : Rute i.m hanya digunakan jika rute oral dan i.v tidak mungkin

diberikan.

Indikasi21

Page 23: Skenario E Blok 19 L5 Fix

Pemakaian jangka pendek pada ansietas atau insomnia, tambahan pada putus

alkohol akut, status epileptikus, kejang demam, spasme otot.

Kontraindikasi

Depresi pernafasan, gangguan hati berat, miastenia gravis, insufisiensi

pulmoner akut, glaukoma sudut sempit akut, serangan asma akut, trimester

pertama kehamilan, bayi prematur; tidak boleh digunakan sebagai terapi

tunggal pada depresi atau ansietas yang disertai dengan depresi

Ffek Samping

Efek samping pada susunan saraf pusat : rasa lelah, ataksia, rasa malas,

vertigo, sakit kepala, mimpi buruk dan efek amnesia. Efek lain : gangguan

pada saluran pencernaan, konstipasi, nafsu makan berubah, anoreksia,

penurunan atau kenaikan berat badan, mulut kering, salivasi, sekresi bronkial

atau rasa pahit pada mulut.

Interaksi

- Dengan Obat Lain :

Alkohol : Meningkatkan efek sedatif

Anestetik : Meningkatkan efek sedatif

Analgetik : Analgetik opioid meningkatkan efek sedatif

Antibakteri : Isoniazid menghambat metabolisme diazepam; rifampisin

meningkatkan

metaolisme diazepam dan mungkin benzodiazepin lainnya

Antiepileptika : Kadar plasma fenitoin dinaikkan atau diturunkan oleh

diazepam dan

mungkin benzodiazepina lainnya

Antihistamin : Meningkatkan efek sedatif

Antihipertensi : Meningkatkan efek hipotensif; meningkatkan efek

sedatif dengan alphablockers

Antipsikotik : Meningkatkan efek sedatif

Disulfiram : Metabolisme benzodiazepin dihambat, dengan

peningkatan efek sedatif

Dopaminergik : Kadang benzodiazepin melawan efeklevodopa

Lofeksidin : Meningkatkan efek sedatif

Relaksan otot : Baklofen meningkatkan efek sedatif

22

Page 24: Skenario E Blok 19 L5 Fix

Nabilon : Meningkatkan efek sedatif

Obat-obat Antiulkus : Simetidin menghambat metabolisme

benzodiazepin (menaikkan

kadar plasma); meprazol menghambat metabolisme diazepam

(menaikkan kadar plasma)

- Dengan Makanan : -

Bentuk Sediaan

Tablet, Cairan Injeksi, Sirup.

Parameter Monitoring

Pernafasan, Kardiovaskular, dan mental status (status kejiwaan); periksa

orthostasis

Stabilitas Penyimpanan

Dalam wadah tertutup rapat, tidak tembus cahaya. (FI.IV) Lindungi sediaan

parenteral dari cahaya; khasiat obat bertahan sampai 3 bulan bila disimpan

dalam suhu kamar; stabil pada pH 4-8, terjadi hidrolisis pada pH <3; jangan

campur sediaan i.v dengan obat lain.

Informasi Pasien

a. Pasien harus diinformasikan bahwa penggunaan diazepam akan

mengurangi kemampuan kewaspadaan, koordinasi fisik seperti

mengoperasikan mesin atau mengendarai kendaraan bermotor.

b. Pasien harus diinformasikan tentang kemungkinan terjadinya gangguan

pada ingatan (amnesia), perubahan sifat mental, seperti adanya pikiran

yang mengganggu dan berubahnya sikap dan perilaku

- Fenitoin (Drip)

Jawab:

Posologi:

Kemungkinan diperlukan penyesuaian dosis dan monitoring level

serum bila terjadi perubahan dari pemakaian bentuk “free acid”

menjadi bentuk garam natriumnya dan sebaliknya karena fenitoin

bentuk “free acid”mengandung kadar fenitoin 8% lebih tinggi

dibanding bentuk sediaan garam natriumnya. Adanya variasi intra-

individual yang cukup besar, dan penambahan dosis kecil kadang-

23

Page 25: Skenario E Blok 19 L5 Fix

kadang menyebabkan perubahan besar pada kadar obat dalam serum

yang tak terduga.

Dosis harus disesuaikan dengan keadaan penderita dan konsentrasi

plasma harus dimonitor.

Dewasa:

o Dosis awal: 300 mg sehari dibagi dalam 2-3 dosis.

o Dosis pemeliharaan: 300-400 mg atau 3-5 mg/kg BB sehari

(maksimal 600 mg sehari).

Anak-anak:

o Dosis awal 5 mg/kg BB sehari dibagi dalam 2-3 dosis dan tidak

lebih dari 300 mg sehari.

o Dosis pemeliharaan awal yang dianjurkan: 4-7 mg/kg BB

sehari.

o Anak usia lebih dari 6 tahun dapat diberikan dosis minimal

dewasa (300 mg sehari).

Efek samping:

Susunan Saraf pusat: manifestasi paling sering yang berhubungan dengan

terapi fenitoin dengan SSP biasanya tergantung dosis. Efek samping ini

berupa nistagmus, ataksia, banyak bicara, koordinasi menurun dan konfusi

mental, vertigo, susah tidur, gelisah, kejang motorik dan sakit kepala, sukar

berbicara (slurred speech) disertai gejala lain, misalnya tremor, gugup,

kantuk, rasa lelah, gangguan mental yang sifatnya berat, ilusi, halusinasi

sampai psikotik.

Saluran cerna: mual, muntah dan konstipasi.Nyeri ulu hati, anoreksia, mual

dan muntah, terjadi karena fenitoin bersifat alkali. Pemberian sesudah

makan atau dalam dosis terbag, dapat mencegah atau mengurangi

gangguan saluran cerna.Proliferasi epitel dan jaringan ikat gusi dapat

terjadi pada penggunaan kronik, dan menyebabkan hiperplsia pada 20 %

pasien. Edema gusi mudah terjadi gingivitis, terutama bila kebersihan

mulut tidak terjaga. Pengobatan tidak perlu dihentikan pada gangguan

gusi; dapat diringankan bila kebersihan mulut dipelihara.

24

Page 26: Skenario E Blok 19 L5 Fix

Kulit: kelainan dermatologik berupa ruam kulit skarlatimiform atau

morbiliform kadang-kadang disrtai dengan demam. Bentuk lebih serius

dapat berupa dermatitis eksfoliativ, lupus eritematosus, sindroma Stevens-

Johnson dan nekrolisis epidermal toksik.

Sistem hemopoetik: efek samping yang dapat bersifat fatal ini kadang-

kadang dilaporkan terjadi. Hal ini dapat berupa trombositopenia

leukopenia, granulositopenia, agranulositosis, pansitopenia dengan atau

tanpa supresi sumsum tulang.

Jaringan penunjang: muka menjadi kasar, bibir melebar, hiperplasia gusi,

hipertrikosis dan penyakit peyroni.

Kardiovaskular: periarterisis nodosa.

Imunologik: sindroma sensitifitas, lupus eritromatosus sistemik dan

kelainan immunoglobulin.

Indikasi:

Fenitoin diindikasikan untuk mengontrol keadaan kejang tonik-klonik (grand

mal) dan serangan psikomotor “temporal lobe”.

Kontraindikasi:

Pasien dengan sejarah hipersensitif terhadap fenitoin atau produk hidantoin

lain.

Peringatan dan perhatian:

Bila diperlukan pengurangan dosis, penghentian pengobatan harus

dilakukan bertahap.

Pada kasus terjadi alergi atau reaksi hipersensitifitas, kemungkinan

diperlukan terapi alternatif yang bukan dari golongan hidantoin.

Hati-hati penggunaan pada penderita gangguan fungsi hati, usia lanjut.

Fenitoin dapat meningkatkan kadar glukosa pada pasien diabetes.

Fenitoin tidak diindikasikan untuk kejang yang disebabkan oleh

hipoglikemia atau kasus-kasus lain yang belum pasti.

Osteomalasia telah dihubungkan dengan terapi fenitoin dan disebabkan

pengaruh fenitoin terhadap metabolisme vitamin D.

Penderita harus diobservasi bila terjadi tanda-tanda adanya depresi

pernafasan.

25

Page 27: Skenario E Blok 19 L5 Fix

Fenitoin tidak efek untuk kejang petit mal. Jika terjadi campuran antara

kejang tonik-kronik (grand mal) dan kejang petit mati, pengobatan harus

dilakukan dengan obat kombinasi.

Fenitoin harus dihentikan jika timbul ruam kulit.

Pada penggunaan jangka panjang, harus dilakukan pemeriksaan darah

secara kontinu.

Tidak dianjurkan penggunaan pada wanita hamil dan menyusui.

Pasien diingatkan pentingnya menjaga kebersihan gigi untuk mengurangi

berkurangnya hiperplasia gusi dan komplikasinya.

Interaksi obat:

Obat-obat yang dapat meningkatkan kadar fenitoin yaitu: asupan alkohol

akut, amiodaron, kloramfenikol, klordiazepoksid, diazepam, dikumarol,

disulfiram, estrogen, H2-antagonis, halotan, isoniazid, metilfenidat,

fenotiazin, fenilbutazon, salisilat, suksinimid, sulfonamid, tolbutamid,

trazodan.

Obat-obat yang dapat menurunkan kadar fenitoin yaitu: karbamazepin,

penggunaan alkohol kronis, reserpin dan sukralfat.

Obat-obat yang dapat meningkatkan atau menurunkan kadar fenitoin yaitu:

Fenobarbital, natrium valproat dan asam valproat.

Meskipun bukan interaksi obat yang sebenarnya, antidepressam trisiklik

dapat menyebabkab kejang pada pasien yang peka, karena itu dosis

fenitoin perlu disesuaikan.

Obat-obat yang khasiatnya terganggu oleh fenitoin yaitu: kortikosteroid,

antikoagulan, kumarin, digitoksin, estrogen, furosemid, kontrasepsi oral,

kuinidin, rifampisin, teofilin, vitamin D.

c. Apa yang menyebabkan kejang penderita tidak teratasi setelah pemberian

diazepam dan mengapa kejang teratasi setelah pemberian drip fenitoin?

Jawab:

Pada pasien kejang, dilakukan pemberian diazepam iv kalau tidak bisa pasang

infus, berikan diazepam lewat anus (per rectum). Jika tidak berhasil mengatasi

kejang , maka diberikan fenitoin , Diberikan diazepam terlebih dahulu karena efek

26

Page 28: Skenario E Blok 19 L5 Fix

sampingnya lebih sedikit dari fenitoin. Fenitoin bekerja pada pompa ion Na dan K

,sedangkan diazepam bekerja pada neurotransmitter. Jadi Fenitoin memotong

mekanisme lebih awal dibandingkan diazepam.

d. Apa yang menyebabkan penderita masih tidak sadar pascakejang?

Jawab:

Secara umum penyebab kejang dapat diklasifikasikan menjadi 3 yaitu:

a. Idiopatik      :penyebabnya tidak diketahui, umumnya mempunyai

predisposisi genetik

b. Kriptogenik :  Dianggap simptomatik tatapi penyebabnya belum

diketahui, termasuk disini sindrom west, sindrom lennox-gastaut, dan

epilepsi mioklonik, gambaran klinik sesuai dengan ensefalopati difus

c. Simptomatik: Disebabkan oleh kelainan/lesi ada susunan saraf pusat

misalnya trauma kepala, infeksi susunan saraf (SSP), kelainan kongenital,

lesi desak ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik (alkohol, obat),

metabolik, kelainan neuro degenerative.

Tidak sadar pasca kejang diakibatkan bukan oleh kejang demam melainkan

infeksi SSP atau ada kelainan di otak yang menyebabkan kesadaran menurun.

Mekanisme Status epileptikus :

Sel saraf diootak berkomunikasi melalui transmisi listrik dan kimia. Ada

keseimbangan yang teratur antara faktor yang menyebabkan eksistasi dan inhibisi

aktifitas listrik otak.

Untuk dapat mempresentasikan sinyal listrik diotak menjadi perilaku, banyak sel

saraf yang terlibat. Dalam kebanyakan kasus kejang, sejumlah kecil kumpulan sel

saraf yang abnormal menyebabkan perubahan pada sel didekatnya atau pada sel

yang memilik hubungan erat dengannya. Pada kejang, sejumlah besar kumpulan

sel saraf tereksitasi bersamaan (hipersinkroni), sehingga menyebabkan aktfitas

tubuh berlebihan.

Penyebab kelainan yang utama adalah hilangnya sel saraf yang menginhibisi sel

eksitasi dan membatasi penyebaran listrik otak atau mungkin dikarenakan

produksi berlebihan rangsangan kimia otak yang menyebabkan sel mengeluarkan

sinyal listrik yang abnormal. Neurotransmitter eksitasi  juga dilepasakan

27

Page 29: Skenario E Blok 19 L5 Fix

berlebihan dan mengganggu bendungan listrik sel saraf yang normalnya

membatasi penyebaran sinyal listrik yang abnormal. Diantara neurotansmitter-

neurotarsmitter eksitasi dapat disebut glutamate, aspartat, norepinefrin, dan

asetilkolin, sedangkan nerutransmitter inhibisi yang terkenal ialah gamma amino

butyric acid (GABA).

Secara klinis dan berdasarkan EEG, status epileptikus dibagi menjadi lima fase.

Fase pertama terjadi mekanisme kompensasi, seperti peningkatan aliran darah

otak dan cardiac output, peningkatan oksigenase jaringan otak, peningkatan

tekanan darah, peningkatan laktat serum, peningkatan glukosa serum dan

penurunan pH yang diakibatkan asidosis laktat. Perubahan syaraf reversibel pada

tahap ini. Setelah 30 menit, ada perubahan ke fase kedua, kemampuan tubuh

beradaptasi berkurang dimana tekanan darah , pH dan glukosa serum kembali

normal. Kerusakan syaraf irreversibel pada tahap ini. Pada fase ketiga aktivitas

kejang berlanjut mengarah pada terjadinya hipertermia (suhu meningkat),

perburukan pernafasan dan peningkatan kerusakan syaraf yang irreversibel.

Aktivitas kejang yang berlanjut diikuti oleh mioklonus selama tahap keempat,

ketika peningkatan pernafasan yang buruk memerlukan mekanisme ventilasi.

Keadaan ini diikuti oleh penghentian dari seluruh klinis aktivitas kejang pada

tahap kelima, tetapi kehilangan syaraf dan kehilangan otak berlanjut.

Kerusakan dan kematian syaraf tidak seragam pada status epileptikus, tetapi

maksimal pada lima area dari otak (lapisan ketiga, kelima, dan keenam dari

korteks serebri, serebellum, hipokampus, nukleus thalamikus dan amigdala).

Hipokampus mungkin paling sensitif akibat efek dari status epileptikus, dengan

kehilangan syaraf maksimal dalam zona Summer.

Mekanisme yang tetap dari kerusakan atau kehilangan syaraf begitu kompleks

dan melibatkan penurunan inhibisi aktivitas syaraf melalui reseptor GABA dan

meningkatkan pelepasan dari glutamat dan merangsang reseptor glutamat dengan

masuknya ion Natrium dan Kalsium dan kerusakan sel yang diperantarai kalsium.

Penurunan Kesadaran :

Kerusakan dan kematian syaraf tidak seragam pada status epileptikus, tetapi

maksimal pada lima area dari otak (lapisan ketiga, kelima, dan keenam dari

korteks serebri, serebellum, hipokampus, nukleus thalamikus dan amigdala).

28

Page 30: Skenario E Blok 19 L5 Fix

Padahal korteks serebri dan batang otak merupakan dua pusat anatomi yang

mengatur kesadaran.

Pada tingkat membran sel, neuron epileptik ditandai oleh fenomena biokimia

tertentu. Beberapa diantaranya adalah ketidakstabilan membran sel saraf sehingga

lebih mudah diaktifkan. Neuron hipersensitif dengan ambang yang menurun,

sehingga mudah terangsang, dan terangsang secara berlebihan. Akibatnya adanya

disritmia pada bagian otak tertentu ini bisa memberikan manifestasi penurunan

kesadaran.

3. Sekitar 3 jam di RS, penderita mulai sadar. Orang tua memperhatikan lengan

dan tungkai sebelah kanan nampak lemah dan penderita sering tersedak.

Setelah delapan jam perawatan di RS, kesadaran penderita mulai membaik,

namun masih malas bicara serta tatapan seringkali kosong.

a. Apa yang menyebabkan penderita baru sadar setelah 3 jam?

Jawab:

Penderita sadar setelah 3 jam disebabkan adanya proses pemulihan tubuh setelah

kejang. Pada saat kejang, seluruh sel tubuh bekerja lebih sehingga sel merasa

lelah. Hal ini menyebabkan setelah serangan epilepsi penderita pada umumnya

akan kehilangan kesadaran (tertidur) selama beberapa jam

b. Apa efek yang terjadi pada tubuh setelah tidak sadar selama 3 jam? (efek pd

CNS)

Jawab:

Adapun kondisi yang segera mengancam kehidupan terdiri atas peninggian

tekanan intrakranial, herniasi dan kompresi otak dan meningoensefalitis/

ensefalitis.

Penurunan kesadaran secara kwalitatif, GCS kurang dari 13, Sakit kepala hebat,

Muntah proyektil, Papil edema, Asimetris pupil, Reaksi pupil terhadap cahaya

melambat atau negative, Demam, Gelisah, Kejang, Retensi lendir / sputum di

tenggorokan, Retensi atau inkontinensia urin, Hipertensi atau hipotensi, Takikardi

29

Page 31: Skenario E Blok 19 L5 Fix

atau bradikardi, Takipnu atau dispnea, Edema lokal atau anasarka, Sianosis, pucat

dan sebagainya

Tingkat kesadaran adalah ukuran dari kesadaran dan respon seseorang terhadap

rangsangan dari lingkungan, tingkat kesadaran dapat dibedakan sebagai berikut :

1. Compos Mentis(conscious), yaitu tingkat kesadaran normal, sadar

sepenuhnya, dapat menjawab semua pertanyaan tentang keadaan

sekelilingnya..

2. Apatis, yaitu keadaan tingkat kesadaran yang segan untuk berhubungan

dengan sekitarnya, sikapnya acuh tak acuh.

3. Delirium, yaitu gelisah, disorientasi (orang, tempat, waktu), memberontak,

berteriak-teriak, berhalusinasi, kadang berhayal.

4. Somnolen(Obtundasi, Letargi), yaitu kesadaran menurun, respon psikomotor

yang lambat, mudah tertidur, namun kesadaran dapat pulih bila dirangsang

(mudah dibangunkan) tetapi jatuh tertidur lagi, mampu memberi jawaban

verbal.

5. Stupor (soporo koma), yaitu keadaan seperti tertidur lelap, tetapi ada respon

terhadap nyeri.

6. Coma (comatose), yaitu tidak bisa dibangunkan, tidak ada respon terhadap

rangsangan apapun (tidak ada respon kornea maupun reflek muntah, mungkin

juga tidak ada respon pupil terhadap cahaya).

1 = fully awake

2 = conscious but drowsy

3 = unconscious but responsive to pain with purposeful movement e.g. flexion/withdrawal

4 = unconscious but responding to pain by extension

5 = unconscious and unresponsive to pain

Glasgow Coma Scale (GCS) adalah skala yang dipakai untuk menentukan/menilai tingkat

kesadaran pasien, mulai dari sadar sepenuhnya sampai keadaan koma. Teknik penilaian

30

Page 32: Skenario E Blok 19 L5 Fix

dengan ini terdiri dari tiga penilaian terhadap respon yang ditunjukkan oleh pasien

setelah diberi stimulus tertentu, yakni respon buka mata, respon motorik terbaik, dan

respon verbal. Setiap penilaian mencakup poin-poin, di mana total poin tertinggi

bernilai 15.

Jenis Pemeriksaan Nilai

Respon buka mata (Eye Opening, E)·      Respon spontan (tanpa stimulus/rangsang)·      Respon terhadap suara (suruh buka mata)·      Respon terhadap nyeri (dicubit)·      Tida ada respon (meski dicubit)

4321

Respon verbal (V)·         Berorientasi baik·         Berbicara mengacau (bingung)·         Kata-kata tidak teratur (kata-kata jelas dengan substansi tidak jelas dan non-kalimat, misalnya, “aduh… bapak..”)·         Suara tidak jelas (tanpa arti, mengerang)·         Tidak ada suara

54321

Respon motorik terbaik (M)·      Ikut perintah·      Melokalisir nyeri (menjangkau & menjauhkan stimulus saat diberi rangsang nyeri)·      Fleksi normal (menarik anggota yang dirangsang)·      Fleksi abnormal (dekortikasi: tangan satu atau keduanya posisi kaku diatas dada & kaki extensi saat diberi rangsang nyeri)·      Ekstensi abnormal (deserebrasi: tangan satu atau keduanya extensi di sisi tubuh, dengan jari mengepal & kaki extensi saat diberi rangsang nyeri)·      Tidak ada (flasid)

65

43

2

1

c. Apa yang menyebabkan lengan dan tungkai sebelah kanan lemah serta

penderita sering tersedak?

Jawab:

Pada saat terjadinya kejang, maka diperlukan ATP lebih untuk memompa Na

keluar, Sehingga hal ini akan membuat kebutuhan oksigen dan glukosa

meningkat. Apabila kejang terjadi sebntar, hal ini bisa trepenuhi. Bila kejang

berlangsung lama, maka oksigen dan glukosa tidak terpenuhi sehingga terjadi

hipoksia sel neuron , dan dapat menyebabkan nekrosis. Pada kasus kita sel-sel

neuron yang mengalami nekrotik tersebut adalah pada nervus VII dan XII . Lesi di

nervus VII menyebabkan lengan dan tungkai kanan lemah sementara lesi di

nervus XII menyebabkan penderita sering tersedak.

31

Page 33: Skenario E Blok 19 L5 Fix

d. Apa yang menyebabkan penderita baru membaik setelah 8 jam namun

masih malas bicara serta tatapan sering kosong?

Jawab:

Karena recovery pada status epileptikus membutuhkan waktu yang lama , apalagi

8 jam kemungkinan sudah berat kerusakan yang terjadi. Waktu yang lama pada

recovery karena adanya penghambatan inhibisi syaraf yang terjadi, serta terjadi

kebutuhan metabolik yang besar dan mengakibatkan terjadinya gangguan

pernafasan sehingga bisa hipoksia pada otak bahkan bisa menyebabkan edema

serebral bahkan kerusakan permanen.

Kejang lama yang terjadi ini bisa menyebabkan gangguan perilaku, alam

perasaan, sensasi dan persepsi. Selain itu, respons pasca kejang, ada respon fisik (

contoh, sakit kepala, sakit otot ) dan respon psikologis ( ketakutan, depresi,

penurunan nafsu makan, respon penolakan, menarik diri ). Dan juga efek yang

terjadi di otak akibat terjadinya status epileptikus menyebabkan gangguan respon

fisik maupun psikologis.

e. Apa yang dimaksud dengan kesadaran yang mulai membaik dan apa

kriterianya?

Jawab:

Pediatric Coma Scale adalah setara dengan Glasgow Coma Scale digunakan

padaanak-anak. Terdiri dari tiga tes: respon membuka mata, respon verbal dan

responmotorik. Ketiganya di nilai secara terpisah serta jumlah mereka

dipertimbangkan.PCS serendah mungkin (jumlahnya) adalah 3 (koma atau

kematian) sedangkan tertinggi adalah 15 (sepenuhnya terjaga dan sadar orang).

Modified Glasgow Coma Scale for Infants and Children

Area Assessed Infants Children

Score

*

32

Page 34: Skenario E Blok 19 L5 Fix

respon membuka mata Open spontaneously Open spontaneously 4

Open in response to verbal stimuli

Open in response to verbal stimuli 3

Open in response to pain only

Open in response to pain only 2

No response No response 1

respon verbal Coos and babbles Oriented, appropriate 5

Irritable cries Confused 4

Cries in response to pain Inappropriate words 3

Moans in response to pain

Incomprehensible words or nonspecific sounds 2

No response No response 1

respon motorik**

Moves spontaneously and purposefully Obeys commands 6

Withdraws to touchLocalizes painful stimulus 5

Withdraws in response to pain

Withdraws in response to pain 4

Responds to pain with decorticate posturing (abnormal flexion)

Responds to pain with flexion 3

33

Page 35: Skenario E Blok 19 L5 Fix

Responds to pain with decerebrate posturing (abnormal extension)

Responds to pain with extension 2

No response No response 1

*Score:12 suggests a severe head injury.8 suggests need for intubation and ventilation.6 suggests need for intracranial pressure monitoring.

**If the patient is intubated, unconscious, or preverbal, the most important part of

this scale is motor response. This section should be carefully evaluated.

Interpretasi PCS Scores :3-8 : koma9-12 : Lethargy13-14 : butuh observasi15 :

kesadaran penuhRiwayat Penyakit Sebelumnya:

o 9 bulan : kejang demam tinggi, didiagnosis meningitis (Pemeriksaan

CSP), dirawat di RS selama 15 hari

o 12 bulan : Kejang tidak disertai demam sebanyak 2x.

o 18 bulan : Kejang disertai demam tidak tinggi, diberi obat asam valproat,

respons (+) -> kejang (-), setelah 6 bulan, orang tua menghentikan

pengobatan karena tidak kejang lagi. Penderita bisa bicara lancar, bisa

memakai baju sendiri dan mengendarai sepeda roda tiga.

a. Apa interpretasi dan mekanisme abnormal?

- 9 bulan (hubungan meningitis dengan kejang demam)

Jawab:

Meningitis merupakan salah satu penyebab timbulnya kejang demam.

Perbedaan Kejang Demam dengan Kejang disertai demam (proses

intrakranial):

34

Page 36: Skenario E Blok 19 L5 Fix

Kejang demam lama atau fokal dapat berhubungan dengan kerusakan otak.

Mekanisme abnormal:

Meningitis pada umumnya sebagai akibat dari penyebaran penyakit di

organatau jaringan tubuh yang lain. Virus / bakteri menyebar secara

hematogen sampai ke selaput otak, misalnya pada penyakit Faringitis,

Tonsilitis, Pneumonia, Bronchopneumonia dan Endokarditis. Penyebaran

bakteri/virus dapat pula secara perkontinuitatum dari peradangan organ atau

jaringan yang ada di dekat selaput otak, misalnya Abses otak, Otitis Media,

Mastoiditis,Trombosis sinus kavernosus dan Sinusitis. Penyebaran kuman bisa

juga terjadi akibat trauma kepala dengan fraktur terbuka atau komplikasi

bedah otak. Invasi kuman-kuman ke dalam ruang subaraknoid menyebabkan

reaksi radang pada pia dan araknoid, CSS (Cairan Serebrospinal) dan sistem

ventrikulus.

Mula-mula pembuluh darah meningeal yang kecil dan sedang mengalami

hiperemi; dalam waktu yang sangat singkat terjadi penyebaran sel-sel leukosit

polimorfonuklear ke dalam ruang subarakhnoid, kemudian terbentuk eksudat.

Dalam beberapa hari terjadi pembentukan limfosit dan histiosit dan dalam

minggu kedua sel-sel plasma. Eksudat yang terbentuk terdiri dari dua lapisan,

bagian luar mengandung leukosit polimorfonuklear dan fibrin sedangkan di

lapisaan dalam terdapat makrofag.

Proses radang selain pada arteri juga terjadi pada vena-vena di korteks dan

dapat menyebabkan trombosis, infark otak, edema otak dan degenerasi neuron-

35

Page 37: Skenario E Blok 19 L5 Fix

neuron. Trombosis serta organisasi eksudat perineural yang fibrino-purulen

menyebabkan kelainan kraniales. Pada Meningitis yang disebabkan oleh virus,

cairan serebrospinal tampak jernih dibandingkan Meningitis yang disebabkan

oleh bakteri.

- 12 bulan

Jawab:

Interpretasi : Epilepsi (Abnormal)

Mekanisme : Pada dasrnya, keadaan epilepsi pada pasien ini disebbakan

karena adanya relaps dari epilepsi sebelmnya. Seperti yang kita ketahui, Otak

terdiri dari sekian biliun sel neuron yang satu dengan lainnya saling

36

Page 38: Skenario E Blok 19 L5 Fix

berhubungan. Hubungan antar neuron tersebut terjalin melalui impuls listrik

dengan bahan perantara kimiawi yang dikenal sebagai neurotransmiter.

Dalam keadaan normal, lalu-lintas impuls antar neuron berlangsung dengan

baik dan lancar. Apabila mekanisme yang mengatur lalu-lintas antar neuron

menjadi kacau dikarenakan breaking system pada otak terganggu maka

neuron-neuron akan bereaksi secara abnormal. Neurotransmiter yang berperan

dalam mekanisme pengaturan ini adalah:

- Glutamat, yang merupakan brain’s excitatory neurotransmitter

- GABA (Gamma Aminobutyric Acid), yang bersifat sebagai brain’s inhibitory

neurotransmitter

Epileptic seizure apapun jenisnya selalu disebabkan oleh transmisi

impuls di area otak yang tidak mengikuti pola yang normal, sehingga

terjadilah apa yang disebut sinkronisasi dari impuls. Sinkronisasi ini

dapat mengenai pada sekelompok kecil neuron atau kelompok neuron

yang lebih besar atau bahkan meliputi seluruh neuron di otak secara

serentak. Lokasi yang berbeda dari kelompok neuron yang ikut terkena

dalam proses sinkronisasi inilah yang secara klinik menimbulkan

manifestasi yang berbeda dari jenis-jenis serangan epilepsi. Secara

teoritis faktor yang menyebabkan hal ini yaitu:

Keadaan dimana fungsi neuron penghambat (inhibitorik) kerjanya

kurang optimal sehingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara

berlebihan, disebabkan konsentrasi GABA yang kurang. Pada

penderita epilepsi ternyata memang mengandung konsentrasi GABA

yang rendah di otaknya (lobus oksipitalis).Hambatan oleh GABA ini

dalam bentuk inhibisi potensial post sinaptik.

- Keadaan dimana fungsi neuron eksitatorik berlebihan sehingga terjadi

pelepasan impuls epileptik yang berlebihan. Disini fungsi neuron penghambat

normal tapi sistem pencetus impuls (eksitatorik) yang terlalu kuat. Keadaan ini

ditimbulkan oleh meningkatnya konsentrasi glutamat di otak. Pada penderita

epilepsi didapatkan peningkatan kadar glutamat pada berbagai tempat di otak.

- Pada dasarnya otak yang normal itu sendiri juga mempunyai potensi untuk

mengadakan pelepasan abnormal impuls epileptik

37

Page 39: Skenario E Blok 19 L5 Fix

Area di otak dimana ditemukan sekelompok sel neuron yang

abnormal, bermuatan listrik berlebihan dan hipersinkron dikenal sebagai

fokus epileptogenesis (fokus pembangkit serangan kejang). Fokus

epileptogenesis dari sekelompok neuron akan mempengaruhi neuron

sekitarnya untuk bersama dan serentak dalam waktu sesaat menimbulkan

serangan kejang.

Berbagai macam kelainan atau penyakit di otak (lesi serebral, trauma otak,

stroke, kelainan herediter dan lain-lain) sebagai fokus epileptogenesis dapat

terganggu fungsi neuronnya (eksitasi berlebihan dan inhibisi yang kurang)

dan akan menimbulkan kejang bila ada rangsangan pencetus seperti

hipertermia, hipoksia, hipoglikemia, hiponatremia, stimulus sensorik dan

lain-lain.

Serangan epilepsi dimulai dengan meluasnya depolarisasi impuls dari fokus

epileptogenesis, mula-mula ke neuron sekitarnya lalu ke hemisfer

sebelahnya, subkortek, thalamus, batang otak dan seterusnya. Kemudian

untuk bersama-sama dan serentak

- 18 bulan

Jawab:

Gejala neurologis fokal yang disebabkan karena adanya iskemia sekunder

terhadap inflamasi vaskuler dan trombosis pada meningitis. Adanya gejala ini

memberikan prognosis buruk timbulnya sekuelae jangka panjang.

Pada jejas otak terdapat lebih banyak acetylcholine daripada dalam keadaan

otak sehat. Adanya sikatriks setempat pada permukaan otak sebagai gejala sisa

meningitis dapat terjadi penimbunan setempat dari acetylcholine. Oleh karena

itu pada tempat tersebut akan terjadi lepas muatan listrik neuron-neuron.

Penimbunana acethylcholine setempat harus mencapai suatu konsent sehingga

tertentu untuk dapat merendahkan potensial membran sehingga lepas muatan

listrik dapat terjadi. Mungkin karena harus menunggu waktu sehingga tercapai

konsentrasi yang dapat mengungguli ambang lepas muatan listrik neuron. Oleh

karena itulah fenomena lepas muatan listrik epileptik terjadi secara berkala.

38

Page 40: Skenario E Blok 19 L5 Fix

Sehingga kejang yang terjadi merupakan epilepsi fokal yang disebabkan oleh

sikatrik di otak. Sedangkan demam yang tidak tinggi bukanlah penyebab

kejang, kemungkinan hanya penyulit saja.

b. Bagaimana cara pemeriksaan CSP dan interpretasinya?

Jawab:

INDIKASI

1 Meningitis bacterial / TBC.

2 Perdarahan subarahnoid.

3 Febris (Kaku kuduk) dengan kesadaran menurun (sebab tak jelas).

4 encepahilitis atau tumor malignan.

5 Tumor mielum : sebelum dan sesudah mielografi / caudiografi.

6 Sindroma GuillainBarre (bila perlu diulang-ulang + satu minggu).

7 Kelumpuhan yang tidak jelas penyebabnya.

8 Untuk mengidentifikasi adanya darah dalam CSS akibat trauma atau

dicurigai adanya perdarahan subarachnoid.

9 Kejang

10 Paresis atau paralisis termasuk paresis Nervus VI

11 Ubun – ubun besar menonjol

KONTRA INDIKASI

1 Syock/renjatan

2 Infeksi local di sekitar daerah tempat pungsi lumbal

3 Peningkatan tekanan intracranial (oleh tumor, space occupying

lesion,hidrosefalus)

4 Gangguan pembekuan darah yang belum diobati

5 Pasien yang mengalami penyakit sendi-sendi vertebra degeneratif. Hal

ini akan sulituntuk penusukan jarum ke ruang interspinal

6 Pasien dengan peningkatan tekanan intra cranial. Herniasi serebral atau

herniasi serebralbisa terjadi pada pasien ini.

D.    KOMPLIKASI

39

Page 41: Skenario E Blok 19 L5 Fix

1 Infeksi

2 Iritasi zat kimia terhadap selaput otak

3 Jarum pungsi pata

4 Hernias

5 Tertusuknya saraf oleh jarum pungs

6 Nyeri kepala hebat akibat kebocoran CSS.

7 Meningitis akibat masuknya bakteri ke CSS.

8 Paresthesia/ nyeri bokong atau tungkai.

9 Injury pada medulla spinalis.

10 Injury pada aorta atau vena cava, menyebabkan perdarahan serius.

11 Herniasi otak. Pada pasien denga peningkatan tekanan, tiba-tiba terjadi

penurunan tekanan akibat lumbar puncture, bisa menyebabkan herniasi

kompressi otak terutama Batang otak.

12 10 – 30% pasien dalam 1 – 3 hari dan paling lama 2 – 7 hari mengalami

postlumbar puncture headache. Sebagian kecil mengalami nyeri, tapi

bisa dikurangi dengan berbaring datar. Penanganan meliputi bed rest dan

cairan dengan analgetik ringan.

E.     ALAT DAN BAHAN

1 Sarung tangan steril

2 Duk luban

3 Kassa steril, kapas dan plester

4 Antiseptic: povidon iodine dan alcohol 70

5 Troleey

6 Baju steril

7 Jarum punksi ukuran 19, 20, 23 G.

8 Manometer spinal

9 Two way tap

10 Alcohol dalam lauran antiseptic untuk membersihkan kulit.

11 Tempat penampung csf steril x 3 (untuk bakteriologi, sitologi dan

biokimia)

12 Plester

13 Depper

14 Jam yang ada penunjuk detiknya

40

Page 42: Skenario E Blok 19 L5 Fix

15 Tempat sampah.

Anestesi local

1 Spuit dan jarum untuk memberikan obat anestesi local

2 Obat anestesi loka (lidokian 1% 2 x ml), tanpa epinefrin.

3 Tempat sampah.

F.     PERSIAPAN PASIEN

Pasien diposisikan tidur lateral pada ujung tempat tidur dengan lutut ditarik ke

abdomen. Catatan : bila pasiennya obesitas, bisa mengambil posisi duduk di atas

kursi, dengan kursi dibalikan dan kepala disandarkan pada tempat sandarannya.

G.    PROSEDUR PELAKSANAAN

1. Lakukan cuci tangan steril

2. Persiapkan dan kumpulkan alat-alat

3. Jamin privacy pasien

4. Bantu pasien dalam posisi yang tepat, yaitu pasien dalam posisi miring

pada salah satu sisi tubuh. Leher fleksi maksimal (dahi ditarik kearah

lutut), eksterimitas bawah fleksi maksimum (lutut di atarik kearah

dahi), dan sumbu kraniospinal (kolumna vertebralis) sejajar dengan

tempat tidur.

5. Tentukan daerah pungsi lumbal diantara vertebra L4 dan L5 yaitu

dengan menemukan garis potong sumbu kraniospinal (kolumna

vertebralis) dan garis antara kedua spina iskhiadika anterior superior

(SIAS) kiri dan kanan. Pungsi dapat pula dilakukan antara L4 dan L5

atau antara L2 dan L3 namuntidak boleh pada bayi

6. Lakukan tindakan antisepsis pada kulit di sekitar daerah pungsi radius

10 cm dengan larutan povidon iodine diikuti dengan larutan alcohol 70

% dan tutup dengan duk steril di mana daerah pungsi lumbal dibiarkan

terbuka Tentukan kembali daerah pungsi dengan menekan ibu jari

tangan yang telah memakai sarung tangan steril selama 15-30 detik

yang akan menandai titik pungsi tersebut selama 1 menit.

41

Page 43: Skenario E Blok 19 L5 Fix

7. Anestesi lokal disuntikan ke tempat tempat penusukan dan tusukkan

jarum spinal pada tempat yang telah di tentukan. Masukkan jarum

perlahan – lahan menyusur tulang vertebra sebelah proksimal dengan

mulut jarum terbuka ke atas sampai menembus durameter. Jarak antara

kulit dan ruang subarakhnoi berbeda pada tiap anak tergantung umur

dan keadaan gizi. Umumnya 1,5 – 2,5 cm pada bayi dan meningkat

menjadi 5 cm pada umur 3-5 tahun. Pada remaja jaraknya 6-8 cm.

8. Lepaskan stylet perlahan – lahan dan cairan keluar. Untuk

mendapatkan aliran cairan yang lebih baik, jarum diputar hingga mulut

jarum mengarah ke cranial. Ambil cairan untuk pemeriksaan.

9. Cabut jarum dan tutup lubang tusukkan dengan plester

10. Rapihkan alat-alat dan membuang sampah sesuai prosedur rumah sakit

11.  Cuci tangan

c. Apa farmakologi (dosis, efek samping, indikasi, kontrandikasi, cara

penggunaan, komplikasi) dan mekanisme kerja asam valproat?

Jawab:

Dosis:

Dosis awal : 300-600 mg/hari terbagi dalam 2 dosis, setelah makan, dinaikkan

200 mg/hari tiap 3 hari, maksimum: 2,5 g/hari, dalam dosis terbagi.

Dosis Pemeliharaan biasanya : 12 g/hari (20-30 mg/kg/hari).

ANAK : sampai 20 kg (sekitar 4 th): dosis awal 20 mg/kg/hari, dalam dosis

terbagi. Dapat bertahap dinaikkan sampai 40 mg/kg/hari. Lebih dari 20 kg:

dosis: awal 400 mg/hari biasanya 20-30 mg/hari, maksimal 35 mg/kg/hari.

Indikasi:Asam valproat adalah obat pilihan utama untuk pengobatan epilepsi

umu seperti serangan umum lena (petit mal), untuk serangan mioklonik,

serangan tonik-klonik umum, dan juga epilepsi parsial misalnya bangkitan

parsial kompleks, terutama bila serangan ini merupakan bagian dari sindrom

epilepsi umum primer. Sedangkan terhadap epilepsi fokal lain efektivitasnya

kurang memuaskan. Obat ini juga dapat digunakan untuk semua jenis serangan

42

Page 44: Skenario E Blok 19 L5 Fix

lainnya. Penggunaan untuk anak kecil harus dibatasi karena obat ini bersifat

hepatotoksik.

Valproat telah diakui efektivitasnya sebagai obat untuk bangkitan lena, tetapi

bukan merupakan obat terpilih karena efek toksiknya terhadap hati. Valproat

juga efektif untuk bangkitan mioklonik dan bangkitan tonik-klonik.

Kontraindikasi: Penyakit hati aktif, riwayat disfungsi hati berat dalam

keluarga, porfiria.

Efek samping:

Toksisitas valproat berupa gangguan saluran cerna, sistem saraf, hati, ruam

kulit, dan alopesia. Gangguan saluran cerna berupa anoreksia, mual dan muntah

terjadi pada 16% kasus. Efek terhadap susunan saraf pusat berupa kantuk,

ataksia, dan tremor, menghilang dengan penurunan dosis. Gangguan pada hati

berupa peninggian aktivitas enzim-enzim hati, dan sesekali terjadi nekrosis hati

yang sering berakibat fatal. Kira-kira 60 kasus kematian telah dilaporkan akibat

penggunaan obat ini. Dari suatu uji klinik terkendali, dosis valproat 1200 mg

sehari, hanya menyebabkan kantuk, ataksia, dan mual selintas. Terlalu dini

untuk mengatakan bahwa obat ini aman dipakai karena penggunaan masih

terbatas.

Efek samping yang kronik dapat berupa mengantuk, perubahan tingkah laku,

tremor, hiperamonemia, bertambahnya berat badan, rambut rontok, penyakit

perdarahan, gangguan lambung (formulasi bersalut non-enterik).

Efek hematologis.

Aplasia sumsum tulang yang berat tetapi jarang juga telah dilaorkan pada

penggunaan etosuksimid, benzodiazepin dan valproat. Eosinofilia dengan ruam

kulit dan demam dapat juga terjadi sebagai bagian reaksi hipersensitivitas

terhadap banyak obat antikonvulsi. Reaksi imunologis yang jarang terjadi

termasuk purpura trombositopenia autoimun akibat terapi valproat.

Efek hepatologi

43

Page 45: Skenario E Blok 19 L5 Fix

Efek samping yang jarang tapi berbahaya dari valproat adalah gagal hati akut

yang seringkali fatal. Mekanisme reaksinya yang tidak biasa ini belum jelas.

Efek samping ini terjadi terutama pada anak yang biasanya menerima terapi

multipel, dalam 6 bulan pertama pengobatan dan mungkin berhubungan dengan

telah adanya kelainan dasar metabolisme. Efek samping ini harus dibedakan

dengan kenaikan enzim hati yang sepintas dan ringan yang sering terjadi akibat

valproat (pada kira-kira 30% kasus) yang secara klinis tidak bermakna.

Efek idiosinkratik akut berupa pankreatitis hemoragik fatal pernah dilaporkan.

Karena berbahai efek ini, dokter wajib memonitor secara klinis semua pasien

yang menerima valproat dan mempertimbangkan dengan seksama kebutuhan

dari obat tersebut pada pasien dengan katagori berisiko tinggi (tetapi

pemeriksaan biokimia rutin pada pasien yang asimpthomatik tidak begitu

bermanfaat).

Efek neurologis.

Valproat dapat menyebabkan mengantuk hebat dan kelambanan mental,

terutama tetapi tidak selalu hanya bila digunakan bersama-sama dengan

fenobarbital. Mekanisme hal ini tidak jelas, tetapi kemungkinan berhubungan

dengan hiperamonemia akibat valproat. Tremor dapat terjadi pada pasien yang

mendapat terapi valproat kronik.

Efek metabolik dan endokrin.

Valproat secara konsisten menyebabkan hiperamonemia sebagai fenomena yang

berkaitan dengan dosis karena menghambat siklus enzim urea. Derajat kenaikan

amonia serum bervariasi cukup besar dan mungkin bergantung pada faktor

genetik. Makna klinis hiperamonemia yang diindusi oleh obat tidak seluruhnya

jelas, tetapi mungkin karena kurang mendapat perhatian. Keadaan ini dapat

berupa letargi, hilang nafsu makan, nausea atau muntah dan terapi valproat

harus dihentikan jika timbul gejala-gejala tersebut.

Hiperglisinemia, hiperaminoasiduria dan defisiensi karnitin relatif telah juga

dilaporkan, mungkin mempunyai makna klinis yang kecil dan disebabkan

44

Page 46: Skenario E Blok 19 L5 Fix

karena gangguan metabolisme seluler. Valproat merupakan asam lemak rantai

pendek dan mempunyai banyak efek metabolik yang potensial karena hambatan

enzim mitokondria, yang banyak belum diteliti secara formal. Valproat kadang-

kadang menimbulkan amenorea dan menstruasi tidak teratur.

Efek pada rambut dan jaringan ikat.

Valproat dapat mempunyai beberapa efek yang aneh terhadap pertumbuhan

rambut. Penipisan atau pengeritingan rambut bukan tidak biasa dan bisa berat,

kadang-kadang menimbulkan botak total. Perubahan ini kadang-kadang

sementara, tetapi kadang-kadang perlu penghentian terapi. Perubahan rambut

biasanya terjadi dalam 6 bulan setelah mulai pengobatan.

Interaksi:

Dengan Obat Lain :

Analgesi : asetosal menambah khasiat

Resin penukar ion : efek koagulan dari nikumalon dan warfarin mungkin 

meningkat

Antidepresan : antagonisme terhadap efek antikonvulsan (ambang kejang

menurun)

Antiepileptika lain : pemberian  bersama dua atau lebih obat antiepileptika dapat

meningkatkan toksisitas tanpa meningkatkan efek antiepileptika; disamping itu,

interaksi antar dua antiepileptika dapat menyulitkan pemantauan pongobatan;

Interaksi meliputi peningkatan khasiat, peningkatan sedasi dan penurunan kadar

plasma;

Anti malaria : klorokuin dan meflokuin melawan efek antikonvulsan

Antipsikotik : antagonisme terhadap efek anti konvulsan (ambang kejang

menurun)

Obat-obat anti ulkus : Simetidin menghambat metabolisme (kadar plasma

valproat meningkat)

45

Page 47: Skenario E Blok 19 L5 Fix

d. Apakah ada hubungan antar gejala dari usia 9 bulan hingga 2 tahun? Kala

ada jelaskan!(Apakah ada hubungan pada meningitis di usia 9 bulan

dengan kejang selanjutnya?)

Jawab:

Meningitis menyebabkan timbulnya lesi pada daerah intrakranial, apakah lesi

tersebut bersifat fokal atau pun secara keseluruhan. Dimana lesi tersebut

menyebabkan timbulnya gangguan pada sekelompok kecil sel neuron, atau

sekelompok besar sel neuron atau keseluruhna neuron. Hal ini menyebabkan

terganggunga fungsi neurotransmitter sehingga terjadi hiperaktvitas atau

berlebihan muatan listrik sehingga ecxitatory > inhibitory sehingga memacu

timbulnya kejang paroksismal (epilepsi)

e. Mengapa kejang terjadi kembali 1 tahun setelah penghentian obat?

Jawab:

Asam valproat merupakan pilihan pertama untuk terapi kejang parsial, kejang

absens, kejang mioklonik, dan kejang tonik-klonik, dan kurang efektif terhadap

epilepsi fokal . Asam valproat dapat meningkatkan GABA di sinaps dengan

menghambat degradasi nya atau mengaktivasi sintesis GABA dengan cara

mengurangi GABA transaminase. Asam valproat juga  berpotensi terhadap

respon GABA ( inhibitor, antikonvulsan alami di otak ) post sinaptik yang

langsung menstabilkan membran serta mempengaruhi kanal kalium. GABA

berikatan dengan reseptornya di Sinaps akan mengaktivasi kanal clorida

sehingga canal clorida membuka akibatnya clorida yang ada di luar sel akan

masuk ke dalam sel, ketika clorida masuk ke dlam sel. Membran potensial sel

menjadi lebih negatif, sehingga sel yang awalnya depolarisasi dengan ambang –

59 mv akan menjadi lebih negatif -70 mw, dan kembali ke potensial normal dan

tidak terjadi depolarisasi. Jadi selama 6 bulan obat dikonsumsi, konsentrasi

GABA meningkat untuk mempengaruhi kanal kalium. Setelah obat dihentikan

konsentrasi GABA berangsur-angsur mulai berkurang untuk menghambat

terjadinya kejang. Tetapi penumpukan acetylcholine tetap terjadi.

46

Page 48: Skenario E Blok 19 L5 Fix

4. Pemeriksaan neurologis:

Mulut penderita mengot ke sebelah kiri. Lipatan dahi masih nampak dan kedua

kelopak mata dapat menutup penuh saat dipejamkan. Saat penderita diminta

mengeluarkan lidah terjadi deviasi ke kanan dan disertai tremor lidah.

Pergerakan lengan dan tungkai kanan Nampak terbatas dan kekuatannya lebih

lemah disbanding sebelah kiri. Lengan dan tungkai kanan dapat sedikit

diangkat, namun sama sekali tidak dapat melawan tahanan dari pemeriksa.

Lengan dan tungkai kiri dapat melawan tahanan kuat sewajar usianya. Tonus

otot dan refleks fisiologis lengan dan tungkai kanan meningkat, serta ditemukan

refleks Babinski di kaki sebelah kanan.

a. Apa interpretasi dan mekanisme abnormal?

Jawab:

Mulut penderita mengot ke sebelah kiri. Lipatan dahi masih nampak dan

kedua kelopak mata dapat menutup penuh saat dipejamkan:

Keadaan di atas merupakan penanda adanya lesi pada nervus fasialis. Jika

terdapat lesi pada satu sisi nervus fasialis, mulut akan miring. Sebagian besar

daerah gigi-geligi diperlihatkan pada sisi saraf yang masih utuh karena mulut

tertarik ke sisi yang sehat.

Bagian nucleus facialis yang mengendalikan otot-otot wajah bagian atas

menerima serabut kortikonuklearis dari kedua hemispherium cerebri sehingga

lesi yang mengenai upper motot neuron hanya menyebabkan paralisis otot-otot

wajah bagian bawah. Akan tetapi, pasien dengan lesi pada nucleus motorius n.

facialis atau nervus facialisnya saja – yaitu lesi lower motor neuron – semua

otot wajah pada sisi lesi akan lumpuh. Kelopak mata bawah dan sudut mulut

akan turun. Air mata akan mengalir melalui kelopak mata bawah, dan saliva

keluar dari sudut mulut. Pasien tidak dapat menutup matanya dan tidak dapat

memperlihatkan gigi geliginya pada sisi lesi.

47

Page 49: Skenario E Blok 19 L5 Fix

Gambar Perbedaan lesi perifer dan sentral nervus fasialis

Gambar Perbedaan terjadinya lesi perifer dan sentral nervus fasialis

Saat penderita diminta mengeluarkan lidah terjadi deviasi ke kanan dan

tremor lidah:

Terjadi kelumpuhan/ parese pada N. XII (hipoglossal)

b. Cara pemeriksaan refleks fisiologis

Jawab:

1. Refleks dinding abdomen

Cara :48

Page 50: Skenario E Blok 19 L5 Fix

Menggores dinding abdomen dengan 4 goresan yang

membentuk segi empat (belah ketupat) dengan titik-titik sudut

di bawah xifoid, di atas simpisis dan kanan kiri umbilikus.

Hasil :

Umbilikus akan bergerak pada tiap goresan.

Hasil negatif pada :

Bayi kurang 1 tahun

Poliomielitis

Lesi sentral atau piramidal

2. Refleks tendon biceps

Cara:

Lengan anak setengah difleksikan pada sendi siku. Ketuklah

pada tendo otot biseps yang akan menyebabkan fleksi lengan

pada siku dan tampak kontraksi otot biseps.

Hasil:

Fleksi sendi siku

3. Refleks triseps

Cara:

49

Page 51: Skenario E Blok 19 L5 Fix

Lengan bawah difleksikan pada sendi siku dan sedikit

dipronasikan. Ketuklah pada tendo otot triseps 5 cm di atas siku

akan menyebabkan ekstensi lengan dan kontraksi otot triseps.

4. Refleks Patela/ Knee Pess Reflex (KPR)

Cara:

Anak duduk pada tempat yang agak tinggi sehingga kedua

tungkai akan tergantung bebas atau orang coba berbaring

terlentang dengan fleksi tungkai pada sendi lutut. Ketuklah

tendo patella dengan Hammer sehingga terjadi ekstensi tungkai

disertai kontraksi otot kuadrisips.

Hasil:

Ekstensi sendi lutut

Refleks akan meningkat pada :

Lesi upper motor neuron

Hipertiroidism

Hipokalsemia

Tumor batang otak.

Refleks menurun pada :

Lesi lower motor neuron

Sindroma Down

Malnutrisi

5. Refleks Achilles/Achilles Pess Reflex (APR)

Cara :

Tungkai difleksikan pada sendi lutut dan kaki didorsofleksikan.

Ketuklah pada tendo Achilles, sehingga terjadi plantar fleksi

dari kaki dan kontraksi otot gastronemius.

6. Refleks Periosteum Radialis

Cara:

50

Page 52: Skenario E Blok 19 L5 Fix

Lengan bawah orang coba setengah difleksikan pada sendi siku

dan tangan sedikit dipronasikan. Ketuklah periosteum pada

ujung distal os radii. Respons berupa fleksi lengan bawah pada

siku dan supinasi tangan.

7. Refleks Periosteum Ulnaris

Cara:

Lengan bawah orang coba setengah difleksikan pada sendi siku

dan tangan antara pronasi dan supinasi. Ketuklah pada periost

prosessus stiloideus. Respons berupa pronasi tangan

k. Apa DD dari kasus ini?

Jawab:

l. Bagaimana cara menegakkan diagnosa dari kasus ini dan apa WD nya?

Jawab:

Epilepsi

Anamnesis:

Riwayat penyakit sekarang

Kapan pasien mengalami serangan kejang yang pertama kali selama ini? Usia

serangan dapat memberi gambaran klasifikasi dan penyebab kejang. Serangan

kejang yang dimulai pada neonatus biasanya penyebab sekunder gangguan pada

masa perinatal, kelainan metabolik dan malformasi kongenital. Serangan kejang

umum cenderung muncul pada usia anak-anak dan remaja. Pada usia sekitar 70

tahunan muncul serangan kejang biasanya ada kemungkinan mempunyai kelainan

patologis di otak seperti stroke atau tumor otak.

Apakah pasien mengalami  semacam peringatan atau perasaan tidak enak pada

waktu serangan atau sebelum serangan kejang terjadi? Gejala peringatan yang

dirasakan pasien menjelang serangan kejang muncul disebut dengan “aura”

dimana suatu “aura” itu bila muncul sebelum  serangan kejang parsial sederhana 

berarti ada fokus di otak. Sebagian “ aura” dapat membantu dimana letak lokasi

serangan kejang di otak. Pasien dengan epilepsi lobus temporalis dilaporkan

adanya “déjà vu” dan atau ada sensasi yang tidak enak di lambung, gringgingen 51

Page 53: Skenario E Blok 19 L5 Fix

yang mungkin merupakan epilepsi lobus parietalis. Dan gangguan penglihatan

sementara mungkin  dialami oleh pasien dengan epilepsi lobus oksipitalis. Pada

serangan kejang umum bisa tidak didahului dengan “aura” hal ini disebabkan

terdapat gangguan pada kedua hemisfer , tetapi jika “aura” dilaporkan oleh pasien

sebelum serangan kejang umum, sebaiknya dicari sumber fokus yang patologis.

  Apa yang terjadi selama serangan kejang berlangsung? Bila pasien bukan

dengan serangan kejang sederhana yang kesadaran masih baik tentu pasien tidak

dapat menjawab pertanyaan ini, oleh karena itu wawancara dilakukan dengan

saksi mata yang mengetahui serangan kejang berlangsung. Apakah ada deviasi

mata dan kepala kesatu sisi? Apakah pada awal serangan kejang terdapat gejala

aktivitas motorik yang dimulai dari satu sisi tubuh? Apakah pasien dapat berbicara

selama serangan kejang berlangsung? Apakah mata berkedip berlebihan pada

serangan kejang terjadi? Apakah ada gerakan “automatism”   pada satu sisi ?

Apakah ada sikap tertentu pada anggota gerak tubuh? Apakah lidah tergigit?

Apakah pasien mengompol ? Serangan kejang yang berasal dari lobus frontalis

mungkin dapat menyebabkan kepala dan mata deviasi kearah kontralateral lesi.

Serangan kejang yang berasal dari lobus temporalis sering tampak gerakan

mengecapkan bibir dan atau gerakan mengunyah. Pada serangan kejang dari lobus

oksipitalis dapat menimbulkan gerakan mata berkedip yang berlebihan dan

gangguan penglihatan. Lidah tergigit dan inkontinens urin kebanyakan dijumpai

dengan serangan kejang umum meskipun dapat dijumpai pada serangan kejang

parsial kompleks.

Apakah yang terjadi segera sesudah serangan kejang berlangsung? Periode

sesudah serangan kejang berlangsung adalah dikenal dengan istilah  “post ictal

period ” Sesudah mengalami serangan kejang umum tonik klonik pasien lalu

tertidur. Periode disorientasi dan kesadaran yang menurun terhadap sekelilingnya

biasanya sesudah mengalami serangan kejang parsial kompleks. Hemiparese atau

hemiplegi sesudah serangan kejang disebut “Todd’s Paralysis“ yang

menggambarkan adanya fokus patologis di otak. Afasia dengan tidak disertai

gangguan kesadaran menggambarkan gangguan berbahasa di hemisfer dominan.

Pada “Absens“ khas tidak ada gangguan disorientasi setelah serangan kejang.

Kapan kejang berlangsung selama siklus 24 jam sehari? Serangan kejang tonik

klonik dan mioklonik banyak dijumpai biasanya pada waktu  terjaga dan pagi hari.

52

Page 54: Skenario E Blok 19 L5 Fix

Serangan kejang lobus temporalis dapat terjadi setiap waktu, sedangkan serangan

kejang lobus frontalis biasanya muncul pada waktu malam hari.

Apakah ada faktor pencetus ? Serangan kejang dapat dicetuskan oleh karena

kurang tidur, cahaya yang berkedip,menstruasi, faktor makan dan minum yang

tidak teratur,  konsumsi alkohol, ketidakpatuhan minum obat, stress emosional,

panas, kelelahan fisik dan mental, suara suara tertentu, “drug abuse”, “ reading &

eating epilepsy”. Dengan mengetahui faktor pencetus ini dalam konseling dengan

pasien maupun keluarganya dapat membantu dalam mencegah serangan kejang.

Bagaimana frekwensi serangan kejang ? Informasi ini  dapat membantu untuk

mengetahui bagaimana respon pengobatan bila sudah mendapat  obat obat anti

kejang

Apakah ada periode bebas kejang sejak awal serangan kejang ? Pertanyaan ini

mencoba untuk mencari apakah sebelumnya pasien sudah mendapat obat anti

kejang atau belum dan dapat menentukan apakah obat tersebut yang sedang

digunakan spesifik bermanfaat ?

Apakah ada jenis serangan kejang lebih dari satu macam? Dengan menanyakan

tentang berbagai jenis serangan kejang dan menggambarkan setiap jenis serangan

kejang secara lengkap.

Apakah pasien mengalami luka ditubuh sehubungan dengan serangan kejang? 

Pertanyaan ini penting mengingat pasien yang mengalami luka ditubuh akibat

serangan kejang  ada yang diawali dengan  “aura“ tetapi tidak ada cukup waktu

untuk mencegah supaya tidak menimbulkan luka ditubuh akibat serangan kejang 

atau mungkin  ada “aura“ , sehingga dalam hal ini informasi tersebut dapat

dipersiapkan upaya upaya untuk  mengurangi bahaya terjadinya luka.

Apakah sebelumnya pasien pernah datang ke unit gawat darurat? Dengan

mengetahui gambaran pasien yang pernah datang ke unit gawat darurat dapat

mengidentifikasi derajat beratnya serangan kejang itu terjadi yang mungkin

disebabkan oleh karena kurangnya perawatan pasien, ketidakpatuhan minum obat,

ada perubahan minum obat dan penyakit lain yang menyertai.

Riwayat penyakit dahulu.

• Apakah pasien lahir  normal dengan kehamilan genap bulan maupun proses

persalinannya?

• Apakah pasien setelah lahir mengalami asfiksia atau “respiratory distress”?

53

Page 55: Skenario E Blok 19 L5 Fix

• Apakah  tumbuh kembangnya normal sesuai usia?

• Apakah ada riwayat kejang demam? Risiko terjadinya epilepsi sesudah serangan

kejang demam sederhana  sekitar 2 % dan serangan kejang demam kompleks  13

%.

• Apakah ada riwayat infeksi susunan saraf pusat seperti meningitis, ensefalitis?

atau penyakit infeksi lainnya seperti sepsis, pneumonia yang disertai serangan

kejang. Dibeberapa negara ada yang diketahui didapat adanya cysticercosis.

• Apakah ada riwayat trauma kepala seperti fraktur depresi kepala, perdarahan intra

serebral, kesadaran menurun dan amnesia yang lama?

• Apakah ada riwayat tumor otak?

• Apakah ada riwayat stroke?. 1

Riwayat sosial.

Apa latar belakang pendidikan pasien? Tingkat pendidikan pasien epilepsi

mungkin dapat menggambarkan bagaimana sebaiknya pasien tersebut dikelola

dengan baik. Dan juga dapat membantu mengetahui tingkat dukungan masyarakat

terhadap pasien dan bagaimana potensi pendidikan kepada pasien tentang cara

menghadapi penyakit yang dialaminya itu.

Apakah pasien bekerja? Dan apa jenis pekerjaannya?  Pasien epilepsi yang seragan

kejangnya terkendali dengan baik dapat hidup secara normal dan produktif.

Kebanyakan pasien dapat bekerja paruh waktu atau penuh waktu. Tetapi bila

serangan kejangnya tidak terkendali dengan baik untuk memperoleh dan

menjalankan  pekerjaan adalah merupakan suatu tantangan tersendiri. Pasien

sebaiknya dianjurkan  memilih bekerja dikantoran, sebagai kasir atau tugas - tugas

yang tidak begitu berisiko, tetapi bagi pasien yang bekerja di bagian konstruksi,

mekanik dan pekerjaan yang mengandung risiko tinggi diperlukan penyuluhan

yang jelas untuk memodifikasikan pekerjaan itu agar supaya tidak membahayakan

dirinya.

Apakah pasien mengemudikan kendaraan bermotor? Pasien dengan epilepsi yang

serangan kejangnya tidak terkontrol serta ada gangguan kesadaran  sebaiknya tidak

mengemudikan kendaraan bermotor. Hal ini bisa membahayakan dirinya maupun

masyarakat lainnya. Dibeberapa negara mempunyai peraturan sendiri tentang

pasien epilepsi yang mengemudikan kendaraan bermotor.

54

Page 56: Skenario E Blok 19 L5 Fix

Apakah pasien menggunakan kontrasepsi oral? Apakah pasien merencanakan

kehamilan pada waktu yang akan datang? Pasien epilepsi wanita sebaiknya diberi

penyuluhan terlebih dahulu tentang efek teratogenik obat-obat anti epilepsi,

demikian juga beberapa obat anti epilepsi dapat menurun efeknya bila pasien juga

menggunakan kontrasepsi oral seperti fenitoin, karbamasepin dan fenobarbital.

Dan bagi pasien yang sedang hamil diperlukan obat tambahan seperti asam folat

untuk mengurangi risiko terjadinya “ neural tube defects“ pada bayinya.

Apakah pasien peminum alkohol? Alkohol merupakan faktor risiko terjadinya

serangan kejang umum, sebaiknya tidak dianjurkan minum-minuman alkohol.

Selain berinteraksi dengan obat-obat anti epilepsi tetapi dapat juga menimbulkan

ekstraserbasi serangan kejang khususnya sesudah minum alkohol.

Riwayat keluarga.

Mengetahui riwayat keluarga adalah penting untuk menentukan apakah ada sindrom

epilepsi yang spesifik atau kelainan neurologi yang ada kaitannya dengan faktor

genetik dimana manifestasinya adalah serangan kejang. Sebagai contoh “Juvenile

myoclonic epilepsy (JME)“,“ familial neonatal convulsion“,“ benign rolandic

epilepsy“ dan sindrom serangan kejang umum tonik klonik disertai kejang demam

plus.

Riwayat allergi

Bila pasien sebelumnya sudah minum obat-obatan seperti antiepilepsi, perlu

dibedakan  apakah ini suatu efek samping dari gastrointestinal atau efek reaksi

hipersensitif. Bila terdapat semacam ”rash“ perlu dibedakan apakah ini terbatas

karena efek fotosensitif yang disebabkan eksposur dari sinar matahari atau karena

efek hipersensitif yang sifatnya lebih luas?

Riwayat pengobatan.

Bila pasien sebelumnya sudah minum obat-obatan antiepilepsi, perlu ditanyakan

bagaimana  kemanjuran obat tersebut, berapa kali diminum sehari dan berapa lama

sudah diminum selama ini, berapa dosisnya, ada atau tidak efek sampingnya.1,2

  Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan Fisik Umum:

Pemeriksaan fisik umum pada dasarnya adalah mengamati adanya tanda-tanda dari

gangguan yang berhubungan dengan epilepsi, seperti trauma kepala, infeksi telinga

55

Page 57: Skenario E Blok 19 L5 Fix

atau sinus, gangguan kongenital, kecanduan alkohol, atau obat terlarang, kelainan

pada kulit (neurofakomatosis), kanker, dan defisit neurologik fokal atau difus.

Pemeriksaan Neurologik :

Hasil yang diperoleh dari pemeriksaan neurologik sangat bergantung pada interval

antara saat dilakukanya pemeriksaan dengan bangkitan terakhir.

* Jika dilakukan pada beberapa menit atau jam setelah bangkitan maka akan tampak

tanda pasca-iktal terutama tanda fokal seperti Todd’s paresis, transient aphasic

symptoms, yang tidak jarang dapat menjadi petunjuk lokalisasi.

* Jika dilakukan pada beberapa waktu setelah bangkitan terakhir berlalu, sasaran

utama adalah untuk menentukan apakah ada tanda-tanda disfungsi sistem saraf

permanen (epilepsi simptomatik) dan walaupun jarang apakah ada tanda-tanda

peningkatan tekanan intrakranial.

  Pemeriksaan Penunjang

      Pemeriksaan Electro-encephalography (EEG).

Rekaman EEG merupakan pemeriksan yang paling berguna pada dugaan suatu

bangkitan. Pemeriksaan EEG akan membantu menunjang diagnosis dan membantu

penentuan jenis bangkitan maupun sindrom epilepsi. Pada keadaan tertentu dapat

membantu menentukan prognosis dan penentuan perlu/tidaknya pengobatan dengan

AED.

      Pemeriksaan pencitraan Otak (brain imaging)

Pemeriksaan CT Scan dan MRI meningkatkan kemampuan kita dalam mendeteksi lesi

epileptogenik di otak. Dengan MRI beresolusi tinggi berbagai macam lesi patologik

dapat terdiagnosis secara non-invasif, misalnya mesial temporal sclerosis, glioma,

ganglioma, malformasi kavernosus, DNET (dysembryoplastic neuroepihelial tumor).

Ditemukannya lesi-lesi ini menambah pilihan terapi pada epilepsi yang refrakter

terhadap OAE. Funtional brain imaging seperti Positron Emission Tomography

(PET), Single Photon Emission Comuted Tomography (SPECT) dan Magnetic

Resonance Spectroscopy (MRS) bermanfaat dalam menyediakan informasi tambahan

mengenai dampak perubahan metabolik dan perubahan aliran darah regional di otak

berkaitan dengan bangkitan.3

      Pemeriksaan Laboratorium.

Pemeriksaan hematologik

56

Page 58: Skenario E Blok 19 L5 Fix

Pemeriksaan ini mencakup hemoglobin, lekosit, hematokrit, trombosit, apusan darah

tepi, elektrolit (natrium, kalium, kalsium, magnesium). kadar gula, fungsi hati, ureum,

kreatinin). Pemeriksaan ini dilakukan pada awal pengobatan, beberapa bulan

kemudian, diulang bila timbul gejala klinik, dan rutin setiap tahun sekali.

      Pemeriksaan kadar OAE

Pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat target level  setelah tercapai steady state,

pada saat kebangkitan terkontrol baik, tanpa gejala toksik. Pemeriksaan ini diulang

setiap tahun, untuk memonitor kepatuhan pasien. Pemeriksaan ini dilakukan pula bila

bangkitan timbul kembali, atau bila terdapat gejala toksisitas, bila akan dikombinasi

dengan obat lain, atau saat melepas kombinasi dengan obat lain, bila terdapat

perubahan fisiologi pada tubuh penyandang (kehamilan, luka bakar, gangguan fungsi

ginjal).

Sedangkan status epileptikus bisa kita bedakan dengan gejala klinis berupa kejang

yang serangan terus menerus lebih dari 5 hingga 10 menit atau serangan datang dan

pergi, masing-masing berlangsung kurang dari 5 menit, tetapi tanpa memperoleh

kesadaran di antara serangan.

WD nya epilepsi, hemiparesis dektra tipe sentral, parese n. VII dan n. XII, parese tipe

sntral e.c. status epilptikus.

m. Apa epidemiologi dan faktor resiko dari kasus ini?

Jawab: (sintesis)

n. Apa etiologi dari kasus ini?

Jawab: (sintesis)

o. Apa patofisiologi dari temuan fisik pada kasus ini?

Jawab: (Sintesis)

p. Apa manifestasi klinis dari kasus ini?

Jawab: (Sintesis)

q. Apa tata laksana dan pencegahan pada kasus ini?

Jawab: (Sintesis)57

Page 59: Skenario E Blok 19 L5 Fix

r. Apa komplikasi pada kasus ini?

Jawab: (Sintesis)

s. Apa prognosis pada kasus ini?

Jawab:

Vitam : dubia et bonamFungsionam : dubia et malam

t. Apa KDU dari skenario ini?

Jawab:

Kejang demam: 4A

Meningitis: 3B

Kejang: 3B

Epilepsi: 3A

Status Epileptikus: 3B

Tingkat Kemampuan 3: mendiagnosis, melakukan penatalaksanaan awal, dan merujuk

3A. Bukan gawat darurat

Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan memberikan terapi

pendahuluan pada keadaan yang bukan gawat darurat. Lulusan dokter mampu

menentukan rujukan yang paling tepat bagi penanganan pasien selanjutnya. Lulusan

dokter juga mampu menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan.

Tingkat Kemampuan 4: mendiagnosis, melakukan penatalaksanaan secara mandiri

dan tuntas. Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan melakukan

penatalaksanaan penyakit tersebut secara mandiri dan tuntas.

3B. Gawat darurat

Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan memberikan terapi

pendahuluan pada keadaan gawat darurat demi menyelamatkan nyawa atau mencegah

58

Page 60: Skenario E Blok 19 L5 Fix

keparahan dan/atau kecacatan pada pasien. Lulusan dokter mampu menentukan

rujukan yang paling tepat bagi penanganan pasien selanjutnya. Lulusan dokter juga

mampu menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan.

4A. Kompetensi yang dicapai pada saat lulus dokter

V. HIPOTESIS

Anak laki-laki usia 3 tahun mengalami epilepsi, hemiparesis dekstra tipe sentral, paresis

nervus VII dan nervus XII dextra tipe sentral, serta paresis tipe sentral et causa status

epileptikus

VI. LEARNING ISSUES

1. Anatomi dan fisiologis CNS pada anak

2. Meningitis

3. Bangkitan epileptik

4. Bangkitan non epileptik

VII. SINTESIS

1. Anatomi dan fisiologis CNS pada anak

Jawab:

Anatomi dan Fisiologi Sistem Saraf

59

Page 61: Skenario E Blok 19 L5 Fix

A.    Embriologi Pembentukan Sistem Persarafan

Jaringan saraf berkembang dari ectoderm embrional yang diinduksi untuk berkembang

oleh korda dorsalis di bawahnya. Pertama, terbentuk lempeng saraf; kemudian tepian

lempeng menebal, membentuk alur neural. Tepian alur saling mendekat untuk akhirnya

60

Page 62: Skenario E Blok 19 L5 Fix

menyatu, membentuk tuba neural. Struktur ini membentuk seluruh susunan saraf pusat, yang

meliputi neuron, sel glia, sel ependim dan sel epitel pleksus koroidalis.

Diferensiasi dini suatu lempengan ectoderm yang menebar, neuralplate, berkembang di

sepanjang garis dorsomedial embryo dan ditransformasikan dengan invaginasi menjadi neural

tubi. Neuraltubi melepaskan diri dari ekstodem yang berada diatasnya dan menebal. Tumbuh

menjadi medulla spinalis dan ujung rostral neuraltubi. Yang akhirnya membentuk otak

membagi diri menjadi 3 buah vesikula retak yang primer :

1.      Prosenchepalon atau otak depan,yang terletak paling cranial

2.      Mesencephalon, atau otak tengah,yang berada di belakang prosencephalon dan

3.      Rhmbencephalon atau otak belakang yang terletak paling caudal.

Dari procesepallon dibentuk telencepalon dan diencephalon. Telencepalon membentuk

cortex cerebri, Corpus striatum, Rhinencephalon, vertrikulus lateralis. Dan bagian anterior

dari ventrikulus tertius. Diencephalon menjadi epitalamus,  thalamus, metatalamus,

hipotalamus, ciasma oftikum, tubercirenium, lobus posterior hipopyse. Korpus mammelaris

dan sebagian besar dari ventrikulus tertius. Dari mesencephalon berkembang lamina

kuadrigemina. Pedunculus cerebri dan aquaeduktus cerebri. Rombhen cepalon kemudian

menjadi mecenchepalon dan mielencephalon. Metenchephalon  membentuk cerebellum, pons

dan bagian dari ventriculuskuartus. Myencepalon membentuk medulla oblongata dan bagian

dari ventriculuskuartus.

Sel-sel yang berada lateral dari alur neural membentuk krista neural. Sel-sel ini

mengalami migrasi jauh dan ikut membentuk susunan saraf tepi, dan beberapa struktur lain.

Turunan krista neural mencakup: (1) sel kromafin medulla adrenal; (2) melanosit kulit dan

jaringan subkutan; (3) odontoblas; (4) sel-sel pia mater dan arakhnoid; (5) neuron sensorik di

ganglia sensorik cranial dan spinal; (6) neuron pascaganglion di ganglia simpatis dan

parasimpatis; (7) sel Schwann di akson perifer; dan (8) sel satelit di ganglia perifer.

B.     Anatomi dan Fisiologi Sel-sel Saraf

1.      Sel saraf (neuron)

61

Page 63: Skenario E Blok 19 L5 Fix

Sistem saraf terdiri atas sel-sel saraf yang disebut neuron. Neuron bergabung membentuk

suatu jaringan untuk menghantarkan impuls atau rangsangan. Satu sel saraf tersusun dari

badan sel, dendrite dan akson. 

2.      Badan Sel

Badan sel yang juga disebut perikarion, adalah bagian neuron yang mengandung inti dan

sitoplasma disekelilingnya,  dan tidak mencakup cabang – cabang sel. Badan sel terutama

merupakan pusat tropic, meskipun struktur ini juga dapat menerima impuls. Perikarion

dikebanyakan neuron menerima sejumlah besar ujung saraf yang membawa stimulus

eksitatorik atau inhibitorik yang datang dari sel saraf lain.

Kebanyakan sel saraf memiliki inti eukromatik (terpulas pucat) bulat dan sangat besar,

dengan anak inti yang nyata. Sel saraf binukleus terlihat dalam ganglia simpatis dan sensorik.

Kromatin halus tersebar rata, yang menggambarkan tingginya aktivitas sistesis di sel – sel ini.

Badan sel mengandung suatu reticulum endoplasma kasar yang berkembang sangat baik,

berupa kelompok – kelompok siterna parallel. Didalam sitoplasma diantara sisterna terdapat 62

Page 64: Skenario E Blok 19 L5 Fix

banyak poliribosom, yang member kesan bahwa sel – sel ini menyintesis protein stuktural

dan protein transport. Bila di pulas dengan pewarna yang cocok, reticulum endoplasma kasar

dan ribosom bebas tampak sebagai daerah bergranul basofilik di bawah mikroskop cahaya,

yang di sebut badan nasal. Jumlah badan nasal bervariasi sesuai jenis neuron dan keadaan

fungsionalnya. Badan nasal sangat banyak di jumpai dalam sel saraf besar seperti neuron

motorik. Kompleks golgi hanya terdapat pada bagian sel dan terdiri atas banyak deretan

parallel sisterna licin yang tersusun di sekitar tepi inti. Mitokondria juga banyak di jumpai

khususnya dalam akson terminal. Mitokondria tersebar dalam sitoplasma badan sel.

Neuro filamen (filamen intermediat berdiameter 10mm) banyak di jumpai dalam

perikarion dan cabang sel. Neuro filament bergabung sebagi akibat dari kerja bahan fiksasi

tertentu. Bila di impregnasi dengan perak, neurofilamen akan membentuk neurofibril, yang

tampak dengan mikroskop cahaya. Neuron juga mengandung microtubulus yang identik

dengan mikrotubulus yang terdapat banyak sel lain. Sel saraf kadang – kadang mengandung

iklusipigmen, seperti lipopoksin, yakni suatu residu meteri yang tak tercerna oleh lisosom.

3.      Dendrit

Dendrit umumnya pendek dan bercabang-cabang mirip pohon. Dendrite menerima

banyak sinaps dan merupakan tempat penerimaan sinyal dan pemrosesan utama di neuron.

Kebanyakan sel saraf memiliki banyak dendrite, yang sangat memperluas daerah penerimaan

sel. Percabangan dendrite memungkinkan sebuah neuron untuk menerima dan mengintegrasi

prograsi sejumlah besar akson terminal dari sel saraf lain. Di perkiraan bahwa sejumlah

200000 akson terminal membentuk hubungan fungsional dengan dendrite sel furtinje

diserebelum. Jumlah tersebut mungkin lebih besar lagi di sel saraf lain. Neuron bipolar,

dengan hanya satu dendrite, tidak banyak dijumpai dan hanya terdapat pada tempat khusus.

Berbeda dari akson yang memiliki diameter tetap dari satu ujung ke ujung lain, dendrite

semakin mengecil setiap kali bercabang. Komposisi sitoplasma dibasis dendrite, dekat

dengan badan neuron mirip dengan komposisi sitoplasma perikarion namun tak mengandung

komplek golgi. Kebanyakan sinaps yang berkontak dengan neuron terdapat di spina (ujung-

ujung) dendrite, yang umumnya merupakan struktur berbentuk jamur (bagian kepala

membesar), dihubungkan dari batang dendrite oleh bagian leher yang lebih sempit) spinja ini

berfungsi penting dsn berjumlah banyak. Spina dendrite merupakan tempat pemrosesan

pertama bagi sinyal sinaptik yang tiba di kumpuylan protein yang melekat pada permukaan

63

Page 65: Skenario E Blok 19 L5 Fix

sitosol dari membrane pascasinapstik, yang tampak dengan mikrosop electron dan disebut

membrane pascasinaptik jauh sebelum fungsinya diketahui. Spina dendrite ikut serta dalam

perubahan plastis yang mendasari proses adaptasi, belajar, dan mengingat. Spina-spina

tersebut merupakan struktur dinamis dengan plastisitas morfologi berdasarkan protein aktin

sitoskeleton, yang berhubungan dengan perkembanagn sinaps dan adaptasi fungsionalnya

pada orang dewasa.

4.      Akson

Kebanyakan neuron hanya memiliki satu akson. ada sejumlah kecil yang tak mempunyai

akson sama sekali. Sebuah akson merupakan cabang silindris denagn panjang dan diameter

yang bervariasi, sesuai jenis neuronya. Meskipun ada neuron dengan akson pendek akson

umumnya berukuran panjang. Misalnya akson sel motorik dimedula spinalis yang

mempersarafi otot kaki harus memiliki panjang sampai 100 cm. semua akson berasal dari

daerah berbentuk piramida pendek, yaitu  muara akson, yang umumnya muncil dari

perikarion. Membrane plasma di akson disebut aksolemma isinya dikenal sebagai akso

plasma.

Pada neuron yang membentuk akson yang  bermielin, bagian akson diantara muara

akson dan titik awal mielinisasi disebut segmen inisial. Segmen ini merupakan tempat

berkumpulnya berbagai stimulus yang merangsang dan menghambat pada neuron, yang

dijumlahkan secara aljabar, dan menghasilkan keputusan untuk meneruskan atau tidak

meneruskan suatu potensial aksi, atau impuls saraf. Diketahui beberapa jenis kanal ion

terdapat pada inisial dan kanal tersebut penting untuk mengadakan perubahan potensial listrik

yang membentuk potensial aksi. Berbeda dengan dendrite, akson memiliki diameter yang

tetap dan tidak bercabang banyak. Kadang-kadang segera setelah keluar dari badan sel, akson

menghasilkan sebuah cabang yang kembali kedaerah sel saraf. Semua cabang akson dikenal

sebagai cabang kolateral. Sitoplasma akson mengandung  mitokondria, mikrotubulus,

neurofilamen dan sejumlah sisterna reticulum endoplasma halus. Tidak adanya poliribosum

dan reticulum endoplasma kasar memperjelas kerergantungan akson pada perikardion untuk

mempertahankan diri.  Jika akson di potong, bagian perifernya akan berdegenerasi dan mati.

Terdapat lalu lintas dua arah yang sibuk dari molekul besar dan kecil di sepanjang akson.

64

Page 66: Skenario E Blok 19 L5 Fix

Makromolekul dan organel yang disentesis di dalam badan sel akan diangkut secara

kontinu oleh suatu aliran anterograd di sepanjang akson kebagian terminalnya. Aliran

anterograd berlangsung dengan 3 kecepatan yang berbeda. Aliran dengan kecepatan sedang

mengangkut mitokondria dan aliran cepat mengangkut zat yang ditampung dalam vesikel

yang diperlukan di akson terminal selama transmisi saraf berlangsung.

Bersamaan dengan aliran anterograd, aliran retrograd dalam arah berlawanan

mengangkut sejumlah molekul ke badan sel, termasuk zat yang masuk melalui endositosis.

Proses ini digunakan untuk mempelajari jalur-jalur neuron : peroksidase atau zat penanda

yang lain disuntikkan ke daerah dengan akson terminal, dan penyebarannya diikuti dalam

selang waktu tertentu.

Protein motorik yang terkait dengan aliran akson meliputi dinein, suatu protein dengan

aktivitas ATPase yang terdapat dalam mikrotubulus dan kinesin, yakni suatu mikrotubulus

yang beraktivasi ATPase yang mempercepat aliran anterograd dalam akson ketika melekat

pada vesikel.

1.      Sistem Saraf Pusat

a.      Otak

Seperti terlihat pada gambar di atas, otak dibagi menjadi empat bagian, yaitu:

1)      Cerebrum (Otak Besar)

65

Page 67: Skenario E Blok 19 L5 Fix

Cerebrum adalah bagian terbesar dari otak manusia yang juga disebut dengan nama

Cerebral Cortex, Forebrain atau Otak Depan. Cerebrum merupakan bagian otak yang

membedakan manusia dengan binatang. Cerebrum membuat manusia memiliki kemampuan

berpikir, analisa, logika, bahasa, kesadaran, perencanaan, memori dan kemampuan visual.

Kecerdasan intelektual atau IQ Anda juga ditentukan oleh kualitas bagian ini.

Cerebrum secara terbagi menjadi 4 (empat) bagian yang disebut Lobus. Bagian lobus

yang menonjol disebut gyrus dan bagian lekukan yang menyerupai parit disebut sulcus.

Keempat Lobus tersebut masing-masing adalah: Lobus Frontal, Lobus Parietal, Lobus

Occipital dan Lobus Temporal.

a)      Lobus Frontal merupakan bagian lobus yang ada dipaling depan dari Otak Besar. Lobus

ini berhubungan dengan kemampuan membuat alasan, kemampuan gerak, kognisi,

perencanaan, penyelesaian masalah, memberi penilaian, kreativitas, kontrol perasaan, kontrol

perilaku seksual dan kemampuan bahasa secara umum.

b)      Lobus Parietal berada di tengah, berhubungan dengan proses sensor perasaan seperti

tekanan, sentuhan dan rasa sakit.

c)      Lobus Temporal berada di bagian bawah berhubungan dengan kemampuan pendengaran,

pemaknaan informasi dan bahasa dalam bentuk suara.

d)     Lobus Occipital ada di bagian paling belakang, berhubungan dengan rangsangan visual

yang memungkinkan manusia mampu melakukan interpretasi terhadap objek yang ditangkap

oleh retina mata.

2)      Cerebellum (Otak Kecil)

Otak Kecil atau Cerebellum terletak di bagian belakang kepala, dekat dengan ujung

leher bagian atas. Cerebellum mengontrol banyak fungsi otomatis otak, diantaranya:

mengatur sikap atau posisi tubuh, mengkontrol keseimbangan, koordinasi otot dan gerakan

tubuh. Otak Kecil juga menyimpan dan melaksanakan serangkaian gerakan otomatis yang

66

Page 68: Skenario E Blok 19 L5 Fix

dipelajari seperti gerakan mengendarai mobil, gerakan tangan saat menulis, gerakan

mengunci pintu dan sebagainya.

Jika terjadi cedera pada otak kecil, dapat mengakibatkan gangguan pada sikap dan

koordinasi gerak otot. Gerakan menjadi tidak terkoordinasi, misalnya orang tersebut tidak

mampu memasukkan makanan ke dalam mulutnya atau tidak mampu mengancingkan baju.

3)      Brainstem (Batang Otak)

Batang otak (brainstem) berada di dalam tulang tengkorak atau rongga kepala bagian

dasar dan memanjang sampai ke tulang punggung atau sumsum tulang belakang. Bagian otak

ini mengatur fungsi dasar manusia termasuk pernapasan, denyut jantung, mengatur suhu

tubuh, mengatur proses pencernaan, dan merupakan sumber insting dasar manusia yaitu fight

or flight (lawan atau lari) saat datangnya bahaya

Batang otak dijumpai juga pada hewan seperti kadal dan buaya. Oleh karena itu, batang

otak sering juga disebut dengan otak reptil. Otak reptil mengatur “perasaan teritorial”

sebagai insting primitif. Contohnya anda akan merasa tidak nyaman atau terancam ketika

orang yang tidak Anda kenal terlalu dekat dengan anda.

Batang Otak terdiri dari tiga bagian, yaitu:

a)      Mesencephalon atau Otak Tengah (disebut juga Mid Brain) adalah bagian teratas dari

batang otak yang menghubungkan Otak Besar dan Otak Kecil. Otak tengah berfungsi dalam

hal mengontrol respon penglihatan, gerakan mata, pembesaran pupil mata, mengatur gerakan

tubuh dan pendengaran.

b)      Medulla oblongata adalah titik awal saraf tulang belakang dari sebelah kiri badan menuju

bagian kanan badan, begitu juga sebaliknya. Medulla mengontrol fungsi otomatis otak,

seperti detak jantung, sirkulasi darah, pernafasan, dan pencernaan.

c)      Pons merupakan stasiun pemancar yang mengirimkan data ke pusat otak bersama dengan

formasi reticular. Pons yang menentukan apakah kita terjaga atau tertidur.

4)      Limbic System (Sistem Limbik)

Sistem Limbik terletak pada bagian tengah otak membungkus batang otak ibarat kerah

baju. Limbik berasal dari bahasa latin yang berarti kerah. Bagian otak ini sama dimiliki juga

67

Page 69: Skenario E Blok 19 L5 Fix

oleh hewan mamalia sehingga sering disebut dengan otak mamalia. Komponen limbik antara

lain hipotalamus, thalamus, amigdala, hipocampus dan korteks limbik. Sistem limbik

berfungsi menghasilkan perasaan, mengatur produksi hormon, memelihara homeostasis, rasa

haus, rasa lapar, dorongan seks, pusat rasa senang, metabolisme dan juga memori jangka

panjang.

Bagian terpenting dari Limbik Sistem adalah Hipotalamus yang salah satu fungsinya

adalah bagian memutuskan mana yang perlu mendapat perhatian dan mana yang tidak.

Sistem limbik menyimpan banyak informasi yang tak tersentuh oleh indera. Dialah

yang lazim disebut sebagai otak emosi atau tempat bersemayamnya rasa cinta dan kejujuran.

Carl Gustav Jung  menyebutnya sebagai "Alam Bawah Sadar" atau ketidaksadaran kolektif,

yang diwujudkan dalam perilaku baik seperti menolong orang dan perilaku tulus lainnya.

LeDoux mengistilahkan sistem limbik ini sebagai tempat duduk bagi semua nafsu manusia,

tempat bermuaranya cinta, penghargaan dan kejujuran.

5)      Medulla Spinalis

Medulla spinalis merupakan bagian dari susunan saraf pusat yang berbentuk silinder

memanjang dan terletak seluruhnya di dalam canalis verterbalis, dikeliling oleh tiga lapis

selaput pembungkus yang di sebut meninges. Apalagi lapisan-lapisan, struktur-struktur dan

ruangan-rungan yang mengeliling medulla spinalis itu disebutkan dari luar ke dalam secara

berturut-turut, maka terdapatlah :

a)      Dinding canalis verterbralis (terdiri atas vertebrae dan ligmenta)

b)      Lapisan jaringan lemak (ekstradural) yang mengandung anyaman pembuluh-pembuluh

darah vena

c)      Dura mater

d)     Arachnoidea

e)      Ruang subrachnoidal (cavitas subarachnoidealis), yang antara lain berisi liquor

cerebrospinalis

f)       Pia mater, yang kaya dengan pembuluh-pembuluh darah dan yang langsung membungkus

permukaan sebelah luar medulla spinalis.

68

Page 70: Skenario E Blok 19 L5 Fix

Lapisan meninges terdiri atas pachymeninx (dura meter) dan leptomeninx (arachnoidea

dan pia meter). Lapisan arachnoidea menempel langsung pada permukaan sebelah dalam dura

meter, sehingga di antara kedua lapisan ini dalam keadaan normal tidak dijumpai suatu

ruangan. Ruangan subarachoidal selain mengelilingi medulla spinalis, juga mengelilingi

radices dan ganglia. Di dalam cavitas subarachoidealis selain liquor cerebrospinalis, juga

dapat dijumpai septum subarachnoideale, ligmentum denticulatum dan pembuluh-pembuluh

darah. Septum subarachoideale merupakan perluasan lapisan pia meter yang terbentang

antara sulcus medianus dorsalis medulla spinalis dan permukaan sebelah dalam aracnoidea.

Ligamentum denticulatum juga dapat dianggap sebagi perluasan pia meter yang terbentang

antara permukaan lateral medulla spinalis dan kearah lateral melekat pada permukaan sebelah

dalam arachoidea dengan perantara titik-titik perlekatan yang terletak di antara pangkal-

pangkal radices n. Spinalis yang berdekatan.

Pada tubuh dewasa, panjang medulla spinalis adalah sekitar 43 sentimeter. Pada masa

kehidupan intrauterina usia 3 bulan, panjang medulla spinalis sama dengan panjang canalis

vertebralis, sedang dalam masa-masa berikutnya terjadi suatu perbedaan kecepatan

pertumbuhan memnjang, canalis vertebralis tumbuh lebih cepat dari pada medulla spinalis,

sehingga ujung caudal medulla spinalis berangsur-angsur terletak pada tingkat-tingkat yang

lebih tinggi. Pada masa kehidupan intrauterina usia 6 bulan, ujung caudal corpus vertebrae

lumbalis III; pada saat lahir ujung tersebut sudah terletak setinggi tepi caudal corpus

vertebrae lumbalis II. Pada usia dewasa, ujung caudal medulla spinalis biasanya terletak

setinggi tepi cranial corpus vertebrae lumbinalis I dan II. Posisi ujung caudal medulla spinalis

ini dapat  menunjukkan variasi satu corpus vertebrae ke arah cranial atau caudal.

Perbedaan panjang antara medulla spinalis dan canalis vertebrae ini mempunyai makna

dalam dua hal, sebagai:

(1)      Pembentukan cauda equeina. Pada tinggkat manapun sekmen-sekmen medulla spinalis

terletak radices nervispinalis selalu akan kluar dari canalis vertebralis melalui vronamina

intervertebralia yang sesuai didaerah servikal bagian kranial redices tersebut berjalan keluar

secara hampir horisontal, akan tetapi makin kearah tingkat-tingkat yang lebih caudal, radices

nervi lumbales bagian caudal dan radices nervi sacralis praktis berjalan secara vertikal kearah

caudal untuk beberapa saat sebelum mereka dapat mencapai foreminal intervertebralia yang

sesuai, yang terletak beberapa sekmen di sebelah caudal tempat radices tersebut keluar dari

69

Page 71: Skenario E Blok 19 L5 Fix

permukaan medulla spinalis. Oleh karena itu caudal equena merupakan struktur yang terdiri

atas radices nervi lumbalis bagian caudal dan radices nervi sacralis disebelah caudal conus

medularis. Conus medularis merupakan bagian paling caudal medulla spinalis yang

berbentuk krucut dan terutama terdiri dari atas segmen-segmen sacral medulla spinalis.

(2)      Punksi limbal. Kearah caudal cavitas subarachnoidealis akan berakhir setinggi segmen

sacral II atau III columna vertebralis jadi pada orang dewasa setinggi antara tepi caudal

corvus vertebrae lumbalis I dan corpus vertebrae sacralis II atau III tidak lagi terdapat

medulla spinlis, akan tetapi bhanya terdapat caudal equina yang terapung-apung di dalam

liquor cerebrospinalis di dalam suatu ruangan subrachnoidal yang luas. Dari daerah inilah

liquor cerebrospinalis itu dapat diambil melalui sesuatu tindakan yang disebut punksi lumbal

untuk kepentingkan diagnostik atau pengobatan. Pada tindakan ini jarum punksi biasanya

ditusukkan ke dalam cavitas subrachnoidealis menembus ligamentum flavum yang

terbentang antara vertebrae lumbales III dan IV (atau vertebrae lumbales IV dan V). Dalam

tindakan ini caudal equina biasanya tidak mengalami cedera, oleh karena ia terapung-apung

secara agak bebas didalam eliquor serebrospinalis, dan ketika jarum punksi mencapai

ruangan subara chnoidal tersebut, radices nervispinalis terdesak ke samping.

2. Meningitis

Jawab:

Meningitis merupakan peradangan dari meningen yang menyebabkan terjadinya

gejala perangsangan meningen seperti sakit kepala, kaku kuduk, fotofobia disertai

peningkatan jumlah leukosit pada liquor cerebrospinal (LCS). Berdasarkan durasi dari

gejalanya, meningitis dapat dibagi menjadi akut dan kronik. Meningitis akut memberikan

manifestasi klinis dalam rentang jam hingga beberapa hari, sedangkan meningitis kronik

memiliki onset dan durasi berminggu-minggu hingga berbulan-bulan. Pada banyak kasus,

gejala klinik meningitis saling tumpang tindih karena etiologinya sangat bervariasi.

Meningitis juga dapat dibagi berdasarkan etiologinya. Meningitis bakterial akut merujuk

kepada bakteri sebagai penyebabnya. Meningitis jenis ini memiliki onset gejala meningeal

dan pleositosis yang bersifat akut. Penyebabnya antara lain Streptococcus pneumoniae,

70

Page 72: Skenario E Blok 19 L5 Fix

Neisseria meningitidis, Haemophilus influenzae. Jamur dan parasit juga dapat menyebabkan

meningitis seperti Cryptococcus, Histoplasma, dan amoeba.

Meningitis aseptik merupakan sebutan umum yang menunjukkan respon selular nonpiogenik

yang disebabkan oleh agen etiologi yang berbeda-beda. Penderita biasanya menunjukkan

gejala meningeal akut, demam, pleositosis LCS yang didominasi oleh limfosit. Setelah

beberapa pemeriksaan laboratorium, didapatkan peyebab dari meningitis aseptik ini

kebanyakan berasal dari virus, di antaranya Enterovirus, Herpes Simplex Virus (HSV).

Pada referat ini akan dibahas mengenai meningitis bakterialis. Meningitis bakterialis

merupakan penyakit yang mengancam jiwa disebabkan oleh infeksi lapisan meningen oleh

bakteri. Insidensi meningitis bakterialis di Amerika Serikat sudah menurun sejak

diterapkannya penggunaan rutin vaksin Haemophilus influenzae tipe B (HIB). Umumnya

penderita berusia di bawah 5 tahun dan pada 70% kasus terjadi pada anak-anak usia 2 tahun.

FAKTOR PREDISPOSISI

Faktor predisposisinya antara lain: infeksi saluran pernapasan, otitis media, mastoiditis,

trauma kepala, hemoglobinopathy, infeksi HIV, keadaan defisiensi imun lainnya.

PATOFISIOLOGI MENINGITIS BAKTERIALIS

Pertama-tama bakteri berkolonisasi dan menyebabkan infeksi lokal pada inang. Kolonisasi

dapat terbentuk pada kulit, nasofaring, saluran pernapasan, saluran pencernaan, atau saluran

kemih dan genital. Dari tempat ini, bakteri akan menginvasi submukosa dengan menghindari

pertahanan inang (seperti barier fisik, imunitas lokal, fagosit/makrofag) dan mempermudah

akses menuju sistem syaraf pusat (SSP) dengan beberapa mekanisme:

Invasi ke dalam aliran darah (bakteremia) dan menyebabkan penyebaran secara

hematogen ke SSP, yang merupakan pola umum dari penyebaran bakteri. Penyebaran melalui

kontak langsung, misalnya melalui sinusitis, otitis media, malformasi kongenital, trauma,

inokulasi langsung selama manipulasi intrakranial.

71

Page 73: Skenario E Blok 19 L5 Fix

Sesampainya di aliran darah, bakteri akan berusaha menghindar dari pertahanan imun

( misalnya: antibodi, fagositosis neutrofil, sistem komplemen). Kemudian terjadi penyebaran

hematogen ke perifer dan organ yang letaknya jauh termasuk SSP.

Mekanisme patofisiologi spesifik mengenai penetrasi bakteri ke dalam SSP sampai sekarang

belum begitu jelas. Setelah tiba di SSP, bakteri dapat bertahan dari sistem imun inang karena

terbatasnya jumlah sistem imun pada SSP. Bakteri akan bereplikasi secara tidak terkendali

dan merangsang kaskade inflamasi meningen. Proses inflamasi ini melibatkan peran dari

sitokin yaitu tumor necrosis factor-alpha (TNF-α), interleukin(IL)-1, chemokin (IL-8), dan

molekul proinflamasi lainnya sehingga terjadi pleositosis dan kerusakan neuronal.

Peningkatan konsentrasi TNF-α, IL-1, IL-6, dan IL-8 merupakan ciri khas meningitis

bakterial.

Paparan sel (endotel, leukosit, mikroglia, astrosit, makrophag) terhadap produk yang

dihasilkan bakteri selama replikasi dan kematian bakteri merangsang sintesis sitokin dan

mediator proinflamasi. Data-data terbaru memberi petunjuk bahwa proses ini dimulai oleh

ligasi komponen bakteri (seperti peptidoglikan, lipopolisakarida) untuk mengenali reseptor

(Toll-like receptor)

TNF-α merupakan glikoprotein yang diderivasi dari monosit-makrophag, limfosit, astrosit,

dan sel mikroglia. IL-1 yang dikenal sebagai pirogen endogen juga berperan dalam induksi

demam saat infeksi bakteri. Kedua mediator ini dapat terdeteksi setelah 30-45 menit inkulasi

endotosin intrasisternal.

Mediator sekunder seperti IL-6, IL-8, Nitric Oxide (NO), prostaglandin (PGE2) dan platelet

activation factor (PAF) diduga memperberat proses inflamasi. IL-6 menginduksi reaktan fase

akut sebagai respon dari infeksi bakteri. IL-8 membantu reaksi chemotaktik neutrofil. NO

merupakan molekul radikal bebas yang menyebabkan sitotoksisitas saat diproduksi dalam

jumlah banyak. PGE-2 akan meningkatkan permeabelitas blood-brain barrier (BBB). PAF

dianggap memicu pembentukan trombi dan aktivasi faktor pembekuan di intravaskular.

Pada akhirnya akan terjadi jejas pada endotel vaskular dan terjadi peningkatan permeabelitas

BBB sehingga terjadi perpindahan berbagai komponen darah ke dalam ruang subarachnoid.

Hal ini menyebabkan terjadinya edema vasogenik dan peningkatan protein LCS. Sebagai

72

Page 74: Skenario E Blok 19 L5 Fix

respon terhadap molekul sitokin dan kemotaktik, neutrofil akan bermigrasi dari aliran darah

menuju ke BBB yang rusak sehingga terjadi gambaran pleositosis neutrofil yang khas untuk

meningitis bakterial.

Peningkatan viskositas LCS disebabkan karena influk komponen plasma ke dalam ruang

subarachnoid dan melambatnya aliran vena sehingga terjadi edema interstitial, produk-produk

degradasi bakteri, neutrofil, dan aktivitas selular lain yang menyebabkan edema sitotoksik.

Edema serebral tesebut sangat bermakna dalam menyebabkan tekanan tinggi intra kranial dan

pengurangan aliran darah otak/cerebral blood flow (CBF). Metabolisme anaerob terjadi dan

mengakibatkan peningkatan konsentrasi laktat dan hypoglycorrhachia. Hypoglycorrhachia

merupakan hasil dari menurunnya transpor glukosa ke LCS. Jika proses yang tidak terkendali

ini tidak ditangani dengan baik, dapat terjadi disfungsi neuronal sementara atau pun

permanen.

Tekanan tinggi intra kranial (TTIK) merupakan salah satu komplikasi penting dari meningitis

di mana keadaan ini merupakan gabungan dari edema interstitial (sekunder terhadap

obstruksi aliran LCS), edema sitotoksik (akibat pelepasan produk toksik bakteri dan neutrofil)

serta edema vasogenik (peningkatan permeabelitas BBB).

Edema serebral dapat menyebabkan terjadinya midline shift dengan adanya penekanan pada

tentorial dan foramen magnum. Pergeseran ini akan menimbulkan herniasi gyri

parahippocampus dan cerebellum. Secara klinis keadaan ini ditunjukkan oleh adanya

penurunan kesadaran dan reflek postural, palsy nervus kranial III dan VI. Jika tidak diobati

maka terjadi dekortikasi dan deserebrasi yang secara pesat berkembang menjadi henti napas

atau henti jantung.

FREKUENSI

Berdasarkan grafik dari Centers for Diseases Control and Prevention 2003, kasus meningitis

terbanyak pada usia 15-24 tahun (20,4%). Pada anak usia 1-4 tahun sebanyak 13,8%, usia

kurang dari 1 tahun sebanyak 11,9% .

Di Amerika Serikat, sebelum penggunaan Vaksin HIB secara luas, insidensi sekitar 20.000-

30.000 kasus/tahun. Sedangkan Neisseria meningitidis meningitis kurang lebih 4

73

Page 75: Skenario E Blok 19 L5 Fix

kasus/100.000 anak usia 1-23 bulan. Rata-rata kasus Streptococcus pneumoniae meningitis

adalah 6,5/100.000 anak usia 1-23 bulan. Insidensi meningitis pada neonatus adalah 0,25-1

kasus/1000 kelahiran hidup. Pada kelahiran aterm, insidensinya adalah 0,15 kasus/1000

kelahiran aterm sedangkan pada kelahiran preterm adalah 2,5 kasus/1000 kelahiran preterm.

Kurang lebih 30% kasus sepsis neonatorum berhubungan dengan meningitis bakterial.

MORTALITAS-MORBIDITAS

Sebelum ditemukannya antimikroba, mortalitas akibat meningitis bakterial cukup

tinggi. Dengan adanya terapi antimikroba, mortalitas menurun tapi masih tetap dikhawatirkan

tinggi. 19-26% mortalitas diakibatkan karena meningitis oleh Sterptococcus pneumoniae, 3-

6% oleh Haemophilus influenzae, 3-13% oleh Neisseria meningitidis. Rata-rata mortalitas

paling tinggi pada tahun pertama kehidupan, menurun pada usia muda, dan kembali meninggi

pada usia tua.

RAS

Insidensi rata-rata lebih tinggi pada populasi Afro-Amerika dan Indian dibandingkan

pada populasi Kaukasia dan Hispanik.

JENIS KELAMIN

Bayi laki-laki memiliki insidensi lebih tinggi terkena meningitis oleh gram negatif dibanding

bayi perempuan. Tetapi bayi perempuan lebih rentan terhadap meningitis oleh Listeria

monocytogenes. Sedangkan insidensi meningitis oleh Streptococcus pneumoniae adalah sama

untuk bayi perempuan maupun laki-laki.

USIA

Kebanyakan penderita adalah anak dengan usia kurang dari 5 tahun. 70% kasus terjadi pada

anak dengan usia kurang dari 2 tahun.

74

Page 76: Skenario E Blok 19 L5 Fix

GEJALA KLINIS

Gejala klinis meningitis bakterialis pada neonatus tidak spesifik meliputi gejala sebagai

berikut: sulit makan, lethargi, irritable, apnea, apatis, febris, hipotermia, konvulsi, ikterik,

ubun-ubun menonjol, pucat, shock, hipotoni, shrill cry, asidosis metabolik. Sedangkan gejala

klinis pada bayi dan anak-anak yang diketahui berhubungan dengan meningitis adalah kaku

kuduk, opisthotonus, ubun-ubun menonjol (bulging fontanelle), konvulsi, fotofobia,

cephalgia, penurunan kesadaran, irritable, lethargi, anoreksia, nausea, vomitus, koma, febris

umumnya selalu muncul tetapi pada anak dengan sakit yang berat dapat hipotermia.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan:

● Tanda disfungsi serebral seperti confusion, irritable, deliriun sampai koma, biasanya

disertai febris dan fotofobia.

● Tanda-tanda rangsang meningen didapatkan pada kurang lebih 50% penderita meningitis

bakterialis. Jika rangsang meningen tidak ada, kemungkinan meningitis belum dapat

disingkirkan. Perasat Brudzinski, Kernig ataupun kaku kuduk merupakan petunjuk yang

sangat membantu dalam menegakan diagnosis meningitis. Tetapi perasat ini negatif pada

anak yang sangat muda, debilitas, bayi malnutrisi.

● Palsy nervus kranialis, merupakan akibat TTIK atau adanya eksudat yang menyerang

syaraf.

● Gejala neurologis fokal yang disebabkan karena adanya iskemia sekunder terhadap

inflamasi vaskuler dan trombosis. Adanya gejala ini memberikan prognosis buruk terhadap

hospitalisasi dan timbulnya sekuelae jangka panjang.

● Bangkitan kejang umum atau fokal terjadi pada 30% penderita. Bangkitan yang

memanjang dan tidak terkendali khususnya bila ditemukan sebelum hari ke-4 hospitalisasi

merupakan faktor yang memberikan prognosis akan adanya sekuelae yang berat.

● Papil edema dan gejala TTIK dapat muncul seperti koma, peningkatan tekanan darah

disertai bradikardia dan palsy nervus III. Adanya papil edema memberikan alternatif

diagnosis yang mungkin seperti abses otak.

75

Page 77: Skenario E Blok 19 L5 Fix

● 6% bayi dan anak-anak menunjukkan gejala DIC (Disseminated Intravascular Coagulation)

● Pada tahap akhir penyakit, beberapa penderita menunjukkan gejala SSP fokal dan sistemik

(seperti febris) yang memberikan petunjuk adanya transudasi cairan yang cukup banyak pada

ruang subdural. Insidensi efusi subdural tergantung pada etiologinya.

● Pemeriksaan sistemik yang dilakukan dapat memberikan petunjuk terhadap etiologi

meningitis:

› Makula dan petekiae yang cepat berkembang menjadi purpura dapat memberikan petunjuk

adanya meningococcemia tanpa atau disertai meningitis.

› Sinusitis atau otitis yang ditandai oleh rhinorrhea atau otorrhea menunjukkan adanya

kebocoran LCS yang disebabkan oleh infeksi Streptococcus pneumoniae atau Haemophilus

influenzae dan meningitis yang berhubungan dengan fraktur basis cranii.

› Adanya murmur merupakan manifestasi dari endokarditis infektif sekunder terhadap

pertumbuhan bakteri di meningen.

ETIOLOGI

* Etiologi meningitis neonatal

Bakteri sering didapatkan dari flora vaginal ibu di mana flora usus gram negatif (Escherichia

coli) dan Streptococcus grup B adalah patogen predominan. Pada neonatus preterm yang

menerima berbagai terapi antimikroba, berbagai prosedur pembedahan sering didapatkan

Staphilococcus epidermidis dan Candida sp sebagai penyebab meningitis. Listeria

monocytogenes merupakan patogen yang jarang dijumpai tetapi sering menyebabkan

mortalitas.

Meningitis Streptococcus grup B dengan onset dini yang terjadi dalam 7 hari pertama

kehidupan sering dihubungkan dengan komplikasi obstetri sebelum atau saat persalinan.

Penyakit ini sering menyerang bayi preterm atau pun bayi dengan berat badan lahir rendah

(BBLR). Meningitis onset lanjut terjadi setelah 7 hari pertama kehidupan yang disebabkan

oleh patogen nosokomial atau patogen selama masa perinatal. Streptococcus grup B serotipe

3 adalah 90% penyebab meningitis onset lanjut.

76

Page 78: Skenario E Blok 19 L5 Fix

Penggunaan alat bantu respirasi meningkatkan resiko meningitis oleh Serratia marcescens,

Pseudomonas aeruginosa dan Proteus mirabilis. Infeksi oleh Citrobacter diversus dan

Salmonella sp jarang terjadi tetapi memberikan mortalitas tinggi pada penderita yang juga

menderita abses otak.

* Etiologi meningitis pada bayi dan anak-anak

Pada anak-anak di atas 4 tahun, penyebab tersering adalah Streptococcus pneumoniae,

Neisseria meningitidis, Haemophilus influenzae tipe B (HIB). HIB pernah menjadi etiologi

tersering tetapi sudah tereradikasi pada negara-negara yang telah menggunakan vaksin

konjugasi secara rutin.

› Streptococcus pneumoniae meningitis

Patogen ini berbentuk seperti lancet, merupakan diplokokus gram positif dan

penyebab utama meningitis. Dari 84 serotipe, serotipe 1, 3, 6, 7, 14, 19, dan 23 adalah jenis

yang sering dihubungkan dengan dengan bakteremia dan meningitis. Anak pada berbagai usia

dapat terpapar tetapi insidensi dan tingkat keparahan penyakit paling tinggi pada bayi dan

lansia. Kurang lebih 50% penderita memiliki riwayat fokus infeksi di parameningen atau

pneumonia. Pada penderita meningitis rekuren perlu dipikirkan ada tidaknya riwayat trauma

kepala atau kelainan dural. S. pneumoniae sering menimbulkan meningitis pada penderita

sickle cell anemia, hemoglobinopathy, penderita asplenia anatomis atau fungsional. Patogen

ini membentuk kolonisasi pada saluran pernapasan individu sehat. Transmisi terjadi antar

manusia dengan kontak langsung. Masa inkubasi sekitar 1-7 hari dan prevalensi terbanyak

pada musim dingin. Gejala yang ditimbulkan di antaranya kehilangan pendengaran

sensorineural, hidrocephalus, dan sekuelae SSP lainnya.

Pengobatan antimikroba efektif mengeradikasi bakteri dari sekresi nasofaring dalam

24 jam. Pneumococcus membentuk resistensi yang bervariasi terhadap antimikroba.

Resistensi terhadap penicillin berkisar antara 10-60%. Hal ini disebabkan oleh perubahan

dalam enzim yang berperan dalam pertumbuhan dan perbaikan protein pengikat penicillin

pada bakteri sehingga beta-laktamase inhibitor menjadi tidak berguna. Pneumococcus yang

resisten terhadap penicillin juga menampakkan resistensi terhadap cotrimoxazole, tetrasiklin,

chloramphenicol, dan makrolide. Cephalosporin generasi 3 (cefotaxime, ceftriaxone) saat ini

77

Page 79: Skenario E Blok 19 L5 Fix

merupakan pilihan karena mampu menghambat sejumlah bakteri yang telah resisten.

Beberapa golongan fluoroquinolon (levofloksasin, trovafloksasin) walaupun merupakan

kontraindikasi untuk anak-anak tetapi memiliki daya kerja tinggi melawan kebanyakan

pneumococcus dan memiliki penetrasi adekuat ke SSP.

› Neisseria meningitidis meningitis

Patogen ini merupakan bakteri gram negatif berbentuk seperti ginjal dan sering ditemukan

intraselular. Organisme ini dikelompokkan secara serologis berdasarkan kapsul polisakarida.

Serotipe B, C, Y, dan W-135 merupakan serotipe yang menyebabkan 15-25% kasus

meningitis pada anak. Saluran pernapasan atas sering dikolonisasi oleh patogen ini dan

ditularkan antar manusia melalui kontak langsung, droplet infeksius dari sekresi saluran

pernapasan, dan sering pula dari karier asimptomatik. Masa inkubasi umumnya kurang dari 4

hari, dengan kisaran waktu 1-7 hari. Faktor resiko meliputi defisiensi komponen komplemen

terminal (C5-C9), infeksi virus, riwayat tinggal di daerah overcrowded, penyakit kronis,

penggunaan kortikosteroid, perokok aktif dan pasif.

Kasus umumnya terjadi pada bayi usia 6-12 bulan dan puncak insidensi tertinggi kedua

adalah saat adolesen. Manifestasi purpura atau petekiae sering dijumpai. LCS pada

meningococcal meningitis biasanya memberi gambaran normoseluler. Kematian umumnya

terjadi 24 jam setelah hospitalisasi pada penderita dengan prognosis buruk yang ditandai

dengan gejala hipotensi, shock, netropenia, petekiae dan purpura yang muncul kurang dari 12

jam, DIC, asidosis, adanya bakteri dalam leukosit pada sediaan apus darah tepi.

› Haemophilus influenzae tipe B (HIB) meningitis

HIB merupakan batang gram negatif pleomorfik yang bentuknya bervariasi dari kokobasiler

sampai bentuk panjang melengkung. HIB meningitis umumnya terjadi pada anak-anak yang

belum diimunisasi dengan vaksin HIB. 80-90% kasus terjadi pada anak-anak usia 1 bulan-3

tahun. Menjelang usia 3 tahun, banyak anak-anak yang belum pernah diimunisasi HIB telah

memperoleh antibodi secara alamiah terhadap kapsul poliribofosfat HIB yang cukup memberi

efek protektif. Penularan dari manusia ke manusia melalui kontak langsung, droplet infeksius

dari sekresi saluran pernapasan. Masa inkubasi kurang dari 10 hari.

78

Page 80: Skenario E Blok 19 L5 Fix

Mortalitas kurang dari 5% umumnya kematian terjadi pada beberapa hari awal

penyakit. Beberapa data menunjukkan 30-35% patogen ini sudah resisten terhadap ampicillin

karena produksi beta-laktamase oleh bakteri. Sebanyak 30% kasus menyebabkan sekuelae

jangka panjang. Pemberian dini dexamethasone dapat menurunkan morbiditas dan sekuelae.

› Listeria monocytogenes meningitis

Bakteri ini menyebabkan meningitis pada neonatus dan anak-anak immunocompromised.

Patogen ini sering dihubungkan dengan konsumsi makanan yang terkontaminasi (susu dan

keju). Kebanyakan kasus disebabkan oleh serotipe Ia, Ib, IVb. Gejala pada penderita dengan

Listerial meningitis cenderung tersamar dan diagnosis sering terlambat ditegakkan. Pada

pemeriksaan laboratorium, patogen ini sering disalahartikan sebagai Streptococcus

hemolyticus atau diphteroid.

› Etiologi lain-lain

Staphylococcus epidermidis sering menimbulkan meningitis dan infeksi saluran LCS pada

penderita dengan hidrocephalus dan post prosedur bedah. Anak-anak yang

immunocompromised sering mendapatkan meningitis oleh spesies Pseudomonas, Serratia,

Proteus dan diphteroid.

DIFFERENTIAL DIAGNOSIS

Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan:

1. Abses otak

2. Tumor otak

3. Vaskulitis SSP

4. Lead encephalopathy

5. Meningitis fungal

6. Meningitis tuberculosis

7. Tuberculoma

79

Page 81: Skenario E Blok 19 L5 Fix

8. Stroke

9. Encephalitis

PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Meningitis adalah keadaan gawat darurat medik. Diagnosis pasti ditegakkan melalui isolasi

bakteri dari LCS dengan metode lumbal punksi. Adanya inflamasi pada meningen ditandai

oleh pleositosis, peningkatan kadar protein, dan penurunan kadar glukosa LCS. Tekanan LCS

(opening pressure) juga warna LCS (keruh, jernih, berdarah) perlu untuk dinilai. Jika LCS

tidak jernih maka pemberian terapi dilakukan secepatnya tanpa menunggu hasil pemeriksaan

LCS.

Jika penderita menunjukkan tanda herniasi otak maka perlu dipertimbangkan pemberian

terapi tanpa melakukan lumbal punksi. Lumbal punksi dapat dilakukan di lain waktu saat

tekanan intrakranial terkendali dan penderita tampak stabil secara klinis. CT scan atau MRI

sangat membantu penanganan penderita yang memerlukan pemantauan terhadap tekanan

intrakranial dan herniasi.

Pada spesimen LCS dilakukan pemeriksaan kimiawi (glukosa, protein), jumlah total leukosit

dan hitung jenis (differential count), pewarnaan gram dan kultur. Pada beberapa kasus, test

rapid bacterial antigen perlu dilakukan. Kadar glukosa LCS umumnya kurang dari 40 mg/dL

dengan kadar protein LCS lebih dari 100 mg/dL. Tetapi penilaian ini sangat bervariasi pada

penderita terutama pada meningitis dengan onset yang sangat dini. Pemeriksaan lumbal

punksi pada penderita dengan perjalanan penyakit yang fulminan dan memiliki respon imun

yang lemah kadang-kadang tidak menunjukkan perubahan kimiawi dan sitologis LCS.

Pada kasus penderita yang tidak diterapi terjadi peningkatan jumlah leukosit yang didominasi

oleh sel Polimorfonuklear (PMN) pada saat dilakukan pemeriksaan lumbal punksi.

Pewarnaan gram dari cytocentrifuged LCS dapat memperlihatkan morfologi bakteri.

Spesimen LCS harus langsung dikultur pada media agar darah atau agar cokelat. Kultur darah

juga perlu dilakukan. Apusan dari lesi petekiae juga dapat menunjukkan patogen penyebab

dengan pewarnaan gram. Pemeriksaan apus buffy coat juga dapat memperlihatkan gambaran

mikroorganisme intraseluler

80

Page 82: Skenario E Blok 19 L5 Fix

AgentOpening

Pressure

WBC count

per mL

Glucose

(mg/dL)

Protein

(mg/dL)Microbiology

Bacterial

meningitis200-300

100-5000;

>80%

PMNs*

<40 >100

Specific pathogen

demonstrated in 60% of Gram

stains and 80% of cultures

Viral meningitis 90-20010-300;

lymphocytes

Normal,

reduced

in LCM

and

mumps

Normal

but may

be

slightly

elevated

Viral isolation, PCR† assays

Tuberculous

meningitis180-300

100-500;

lymphocytes

Reduced,

<40

Elevated,

>100

Acid-fast bacillus stain, culture,

PCR

Cryptococcal

meningitis180-300

10-200;

lymphocytesReduced 50-200

India ink, cryptococcal antigen,

culture

Aseptic meningitis 90-20010-300;

lymphocytesNormal

Normal

but may

be

slightly

elevated

Negative findings on workup

Normal values 80-2000-5;

lymphocytes50-75 15-40 Negative findings on workup

Tabel 1. Gambaran Liquor Cerebrospinal pada meningitis berdasarkan agen

etiologiknya.

Beberapa test didasari oleh prinsip aglutinasi untuk mendeteksi antigen bakteri pada

cairan tubuh juga telah tersedia. Deteksi antigen bakteri dapat diperoleh dari spesimen LCS,

darah atau urin. Test jenis ini bermanfaat pada penderita meningitis dengan riwayat

pengobatan belum lengkap (Partially treated meningitis/PTM) di mana bakteri tidak dapat

berkembang biak pada LCS tetapi antigennya tetap tinggal pada cairan tubuh penderita.

81

Page 83: Skenario E Blok 19 L5 Fix

Deteksi antigen dalam urin berguna pada beberapa kasus karena urin dapat

dikonsentrasikan beberapa kali lipat di laboratorium. Beberapa bakteri gram negatif dan S.

pneumoniae serotipe tertentu yang memiliki antigen kapsuler dapat memberikan reaksi silang

dengan poliribofosfat HIB sehingga pewarnaan gram spesimen LCS lebih spesifik

dibandingkan rapid diagnostic test.

PARTIALLY TREATED MENINGITIS (PTM)

Beberapa anak sudah menerima antibiotik sebelum diagnosis pasti ditegakkan. Dosis kecil

antimikroba oral atau bahkan pemberian antimikroba secara intravena dosis tunggal tidak

mengubah hasil pemeriksaan LCS termasuk kultur bakteri khususnya pada penderita HIB

meningitis.

Hasil kultur dari spesimen LCS dapat menjadi steril secara cepat jika patogen penyebabnya

adalah pneumococcus atau meningococcus walaupun perubahan sitologis dan kimiawi tetap

eksis. Karena hal ini maka diperlukan test antigen bakteri dalam darah, urin, LCS. Apabila

terjadi kesulitan untuk membedakan antara PTM dengan meningitis viral (aseptik) maka

lumbal punksi dapat diulang dalam rentang waktu 24 jam. Pada kasus meningitis viral,

pleositosis LCS dan perubahan kimiawi cenderung untuk kembali menuju nilai normal.

PENATALAKSANAAN

*Perawatan medik

Pemberian terapi dilakukan secepatnya saat diagnosis mengarah ke meningitis. Idealnya

kultur darah dan LCS dilakukan sebelum pemberian antimikroba. Jika neonatus dalam terapi

dengan menggunakan ventilator atau menurut pertimbangan klinis bahwa punksi tersebut

berbahaya maka lumbal punksi dapat ditunda hingga keadaan stabil. Lumbal punksi yang

dilakukan beberapa hari setelah terapi inisial masih memberikan gambaran abnormal pada

pemeriksaan kimiawi dan sitologis.

Akses intravena dan pemantauan pemberian cairan secara ketat perlu dilakukan. Neonatus

dengan meningitis sangat rentan untuk jatuh ke dalam keadaan hiponatremia yang

berhubungan dengan SIADH. Perubahan elektrolit ini juga berperan dalam memicu

82

Page 84: Skenario E Blok 19 L5 Fix

terjadinya kejang khususnya dalam 72 jam pertama. Cairan NaCl 0,9% dalam glukosa 5%

diberikan sampai elektrolit serum pada neonatus mencapai normal.

Peningkatan tekanan intrakranial sekunder terhadap edema serebral jarang terjadi pada bayi

tetapi tetap diperlukan pemantauan analisis gas darah untuk menjamin oksigenasi yang

adekuat dan stabilitas metabolisme.

Pemeriksaan penunjang seperti MRI dengan gadoteriol, USG, atau CT scan dengan kontras

diperlukan untuk menyelidiki ada tidaknya kelainan intrakranial. Pada neonatus yang sudah

sembuh dari meningitis perlu dilakukan uji fungsi pendengaran untuk menskrining gangguan

pendengaran.

Pada bayi dan anak-anak, penanganan meningitis bakterial akut meliputi terapi antimikroba

yang adekuat serta terapi suportif. Terapi cairan dan elektrolit dilakukan dengan:

memperhatikan tanda-tanda vital dan status neurologis sehingga dapat menentukan input dan

output yang akurat, penggunaan cairan dengan jenis dan volume yang sesuai untuk

mengurangi perkembangan edema serebral. Anak-anak harus mendapat terapi cairan untuk

mempertahankan tekanan darah sistolik sekitar 80 mmHg, jumlah urine output 500

ml/m2/hari dan perfusi jaringan yang adekuat. Dopamin dan agen inotropik lainnya dapat

digunakan untuk mempertahankan tekanan darah dan sirkulasi yang adekuat.

*Terapi antimikroba untuk neonatus

Antimikroba diberikan segera setelah akses vena dibuat. Secara konservatif terapi

antimikroba yang diberikan terdiri dari kombinasi ampicillin dan aminoglikosida. Ampicillin

memberikan jangkauan yang baik terhadap kokus gram positif termasuk Streptococcus grup

B, Enterococcus, Listeria monocytogenes, beberapa strain Escherichia coli, HIB dan dapat

mencapai kadar adekuat dalam LCS.

Aminoglikosida seperti gentamycin, amikacin, tobramycin baik dalam melawan basil gram

negatif termasuk Pseudomonas aeruginosa, Serratia marcescens. Tetapi aminoglikosida

memiliki kadar rendah dalam LCS atau cairan ventrikel bahkan pada saat meningen sedang

mengalami peradangan. Beberapa cephalosporin generasi III dapat mencapai LCS dengan

kadar tinggi dan berfungsi secara efektif melawan infeksi gram negatif. Pada suatu percobaan

didapatkan hasil bahwa ceftriaxone berkompetisi dengan bilirubin dalam mengikat albumin.

83

Page 85: Skenario E Blok 19 L5 Fix

Ceftriaxone dalam kadar terapeutik mengurangi konsentrasi cadangan albumin pada serum

neonatus sebanyak 39% sehingga ceftriaxone dapat meningkatkan resiko bilirubin

encephalopathy khususnya pada neonatus beresiko tinggi. Penelitian lain menyimpulkan

bahwa tak satu pun cephalosporin memiliki aktivitas baik melawan L. monocytogenes dan

Enterococcus sehingga obat ini tidak pernah digunakan sebagai obat tunggal untuk terapi

inisial. Disarankan kombinasi ampicillin dengan cephalosporin generasi III.

Jika patogen sensitif terhadap ampicillin dengan MIC (minimum inhibition concentration)

yang sangat rendah maka ampicillin dapat dilanjutkan sebagai obat tunggal. Cefotaxime dan

ceftriaxone memberikan aktivitas yang baik melawan kebanyakan S. pneumoniae yang

resisten terhadap penicillin. Kombinasi Vancomycin dan cefotaxime dianjurkan untuk

penderita S. pneumoniae meningitis sebelum uji sensitivitas antimikroba dilakukan.

Di antara aminoglikosida, gentamycin dan tobramycin digunakan secara luas disertai

kombinasi dengan ampicillin. Pemberian gentamycin secara intrathecal dianggap tidak

memberikan keuntungan tambahan. Aminoglikosida jika digunakan bersama ampicillin atau

penicillin juga memiliki efek sinergis melawan Streptococcus grup B dan

Enterococcus.Tidak jarang didapatkan laporan rekurensi setelah terapi adekuat dengan

penicillin atau ampicillin terhadap kedua patogen tersebut karena adanya resistensi.

Infeksi yang melibatkan Staphylococcus aureus, Pseudomonas aeruginosa memerlukan

antimikroba lain seperti oxacillin, methicillin, vancomycin atau kombinasi ceftazidime dan

aminoglikosida.

Etiologi dan gejala klinik menentukan durasi terapi, biasanya terapi selama 10-21 hari

adekuat untuk infeksi Streptococcus grup B. Terapi memerlukan waktu lama untuk

mensterilkan LCS dari basil gram negatif yaitu sekitar 3-4 minggu. Pemeriksaan LCS selama

terapi mungkin diperlukan untuk memastikan LCS steril . Pemeriksaan ulang terhadap LCS

berguna dalam 48-72 jam setelah terapi inisial untuk memantau respon terhadap terapi,

khususnya meningitis oleh basil gram negatif.

Antibiotics

(dosage in

Route

Of Administration

Body

weight

Body

Weight

Body

Weight

Body

Weight

84

Page 86: Skenario E Blok 19 L5 Fix

mg/kg/day) <2000> <2000> >2000 g >2000 g

Age 0-7

days

Age > 7

days

Age 0-7

days

Age > 7

days

Penicillins

Ampicillin IV,IM 100 div

q12h

150 div

q8h

150 div

q8h

300 div

q6h

Penicillin-G IV 100,000 U

div q12h

150,000 U

div q8h

150,000 U

div q8h

250,000 U

div q6h

Oxacillin IV,IM 100 div

q12h

150 div

q8h

150 div

q8h

200 div

q6h

Ticarcillin IV,IM 150 div

q12h

225 div

q8h

225 div

q8h

300 div

q6h

Cephalosporins

Cefotaxime IV,IM 100 div

q12h

150 div

q8h

100 div

q12h

150 div

q8h

Ceftriaxone IV,IM 50 once

daily

75 once

daily

50 once

daily

75 once

daily

Ceftazidime IV,IM 100 div

q12h

150 div

q8h

100 div

q8h

150 div

q8h

Tabel 2. Dosis antibiotik untuk meningitis bakterial pada neonatus berdasarkan berat

badan dan usia

Anti

biotics

Route of

Admini

stration

Desired

Serum

Levels

(mcg/ml)

New

born

Age

≤26

New

born

Age

27-34

New

born

Age

35-42

New

born

Age

≥43

85

Page 87: Skenario E Blok 19 L5 Fix

weeks

(mg/kg/

dose)

weeks

(mg/kg/

dose)

weeks

(mg/kg/

dose)

weeks

(mg/kg/

dose)

Aminoglycosides

Amikacin IV,IM 20-30

(peak)

<10

(trough)

7.5

q24h

7.5 q18h 10 q12h 10 q8h

Gentamycin IV,IM 5-10

(peak)

<2,5

(trough)

2.5

q24h

2.5 q18h 2.5 q12h 2.5 q8h

Tobramycin IV,IM 5-10

(peak)

<2,5

(trough)

2.5

q24h

2.5 q12h 2.5 q12h 2.5 q8h

Glycopeptide

Vancomy

cin

IV,IM 20-40

(peak)

<10

(trough)

15 q24h 15 q18h 15 q12h 15 q8h

86

Page 88: Skenario E Blok 19 L5 Fix

Tabel 3. Dosis antibiotik untuk meningitis bakterial pada neonatus yang diberikan

berdasarkan usia

*Terapi antimikroba untuk bayi dan anak-anak

Pemberian antibiotik yang sesuai untuk penderita dengan suspek meningitis bakterial sangat

penting. Pemilihan antibiotik inisial harus memiliki kemampuan untuk melawan 3 patogen

umum yaitu: S.pneumoniae, N. meningitidis, H. influenzae. Umumnya terapi dimulai dengan

pemberian vancomycin 60 mg/kg/hari IV dalam 4 dosis terbagi diberikan tiap 6 jam.

Ceftriaxone 100 mg/kg/hari dalam 2 dosis terbagi atau ceftriaxone 80 mg/kg/hari sekali/hari

dan dapat disubstitusi dengan cefotaxime. Kombinasi ini cukup baik dalam melawan S.

pneumoniae yang resisten penicillin dan Haemophilus influenzae tipe B yang resisten beta-

laktamase. Ceftazidime memiliki aktivitas yang kurang baik melawan pneumococcus dan

harus diganti dengan cefotaxime atau ceftriaxone.

Beberapa evidence-based medicine menyarankan penggunaan carbapenem (misalnya

meropenem) sebagai pilihan untuk patogen yang resisten terhadap cephalosporin. Peran

antibiotik baru seperti oxazolidinone (linezoid) masih dalam penelitian.

Karena penetrasi antibiotik ke dalam SSP berhubungan dengan respon inflamasi dan

sifat kortikosteroid yang mengurangi reaksi inflamasi, maka pemberian kortikosteroid dapat

mengurangi efektivitas antibiotik seperti vancomycin yang daya penetrasinya kecil. Sehingga

petugas kesehatan perlu mempertimbangkan keuntungan dan kerugian pemberian

kortikosteroid pada terapi meningitis.

Semua antibiotik diberikan secara intravena agar kadarnya dalam serum dan LCS

adekuat. Pemberian secara intraosseus dapat dilakukan jika akses vena tidak dapat dilakukan.

Chloramphenicol secara per oral dapat mencapai kadar terapeutik dalam serum dan diberikan

hanya jika tidak tersedia obat-obat lain, pada keadaan penderita yang stabil, dan keluhan

mual muntah berkurang.

Pada penderita dengan riwayat alergi yang bermakna penggunaan kombinasi

vancomycin dan chloramphenicol perlu dipertimbangkan. Tetapi jika efek samping

chloramphenicol tidak diinginkan maka dapat diganti dengan cotrimoxazole atau

trovafloxacin.

87

Page 89: Skenario E Blok 19 L5 Fix

Penggunaan antibiotik beta lactamase-inhibitor seperti clavulanate, tazobactam,

sulbactam untuk mengobati meningitis belum dianjurkan karena masih kurangnya data

mengenai daya penetrasinya ke dalam SSP.

Penggunaan antibiotik diteruskan paling sedikit 10 hari. Lumbal punksi kadang-

kadang diulang sebelum penghentian terapi atau 24 jam sesudah penghentian terapi. Tetapi

pemeriksaan ulang ini tidak dapat memprediksi adanya relaps atau rekrudesensi meningitis.

Misalnya HIB dapat terus bertahan dalam sekret nasofaring bahkan setelah terapi meningitis

yang berhasil. Karena alasan ini, penderita perlu diberi rifampin 20 mg/kg sekali/hari selama

4 hari jika anak yang beresiko tinggi dirawat di rumah atau tempat perawatan anak.

Sedangkan S. pneumoniae dan N. meningitidis dapat eradikasi dari sekret nasofaring setelah

terapi meningitis berhasil.

Phlebitis pada tempat penyuntikan dan febris karena antibiotik adalah beberapa

penyebab umum febris sekunder pada penderita meningitis sehingga penderita dengan febris

perlu untuk dievaluasi ulang.

Antibiotics Dose

(mg/kg/day)

Dosing

Interval

Maximum

Daily Dose

Ampicillin 400 q6h 10 g

Vancomycin 60 q6h 4 g

Penicillin G 250,000 U q6h 24 million

Cefotaxime 200-300 q6h 12 g

Ceftriaxone 100 q12h 4 g

Chloramphenicol 100 q6h 4 g

Ceftazidime 150 q8h 6 g

Cefepime 100 q12h 4 g

Imipenem 60 q6h 4 g

Meropenem 120 q8h 6 g

Rifampin 20 q12h 600 mg

*Pemberian dexamethasone

88

Page 90: Skenario E Blok 19 L5 Fix

Pada berbagai uji klinik double blind, efek menguntungkan dari dexamethasone

ditunjukkan pada bayi dan anak dengan meningitis HIB saat diberi dexamethasone (0,15

mg/kg) 15-20 menit sebelum dosis inisial antibiotik. Dexamethasone dilanjutkan setiap 6 jam

selama 4 hari. Dalam 24 jam, kondisi klinis dan prognosis rata-rata cukup bermakna.

Pemantauan yang dilakukan sepanjang terapi menunjukkan penurunan insidensi sekuelae

neurologis dan audiologis yang bermakna. Data-data yang berhubungan dengan kegunaan

dexamethasone untuk mengobati S. pneumoniae meningitis kurang meyakinkan. Selain

mengurangi reaksi inflamasi, pemberian dexamethasone dapat menurunkan penetrasi

antibiotik ke SSP.

*Pemantauan tekanan intra kranial dan tanda-tanda herniasi

Peningkatan tekanan intrakranial meningkatkan mortalitas dan sekuelae secara signifikan.

Gejala awal dari peningkatan tekanan intrakranial tidak spesifik di antaranya vomitus, stupor,

bulging fontanelle, palsy nervus VI. Jika tekanan intrakranial tidak terkendali penderita dapat

mengalami herniasi otak. Keadaan ini ditandai oleh pupil midriasis dan anisokor, gangguan

pergerakan okuler, bradikardia, hipertensi, apnea, dekortikasi atau deserebrasi.

Pemberian manitol; suatu diuretik osmotik; dapat meningkatkan secara transien osmolalitas

ruang intravaskular, menyebabkan perpindahan cairan dari jaringan otak ke dalam ruang

intravaskular. Manitol (0,25-1 g/kg IV) biasa diberikan selama 20-30 menit dan

pemberiannya dapat diulang bila diperlukan.

Dexamethasone sudah sering digunakan untuk mengurangi tekanan intrakranial tetapi data

terbaru tidak mendukung efikasi dari dexamethasone tersebut. Acetazolamid dan furosemid

juga sering digunakan untuk mengurangi TTIK tetapi efikasinya pada penderita meningitis

belum dapat ditunjukkan pada controlled trials.

*Antikonvulsi

Bangkitan kejang sering dialami pada kurang lebih 30% penderita. Jalan napas yang adekuat

dan oksigenasi juga dibutuhkan selama terjadinya kejang. Pemberian antikonvulsi secara

intravena. Phenobarbital natrium dengan dosis 20 mg/kg IV dengan kecepatan 1 mg/kg/menit

cukup efektif dalam mengendalikan kejang. Efek antikonvulsi sering memanjang dan karena

kadar adekuat dalam SSP dicapai dalam waktu 15-60 menit maka pemulihan kejang

89

Page 91: Skenario E Blok 19 L5 Fix

berlangsung secara gradual. Phenytoin (Dilantin) 15-20 mg/kg IV dengan kecepatan rata-rata

1 mg/kg/menit juga dapat digunakan untuk kejang.

Jika obat-obat tersebut di atas tidak efektif, dapat diberikan diazepam (Valium) diberikan

secara bolus intravena dengan dosis 0,2-0,3 mg/kg dan tidak melebihi 10 mg. Efek

antikonvulsi berlangsung singkat, sehingga perlu ditambahkan phenytoin 5 mg/kg/hari IV

tiap 12 jam untuk mencegah timbulnya bangkitan kejang selanjutnya. Lorazepam (Ativan)

yaitu suatu benzodiazepin kerja lama juga aman untuk diberikan dengan dosis 0,05 mg/kg

tiap 4-6 jam. Pemberian antikonvulsi harus hati-hati karena obat tersebut dapat menyebabkan

henti napas atau jantung. Selain itu, efek aritmia jantung dapat disebabkan oleh phenytoin.

Phenobarbital dan phenytoin dapat merangsang enzim mikrosomal hati sehingga dapat

meningkatkan metabolisme beberapa obat termasuk chloramphenicol. Jika penderita tetap

kejang atau menunjukkan gejala yang mengarah pada kelainan intrakranial perlu dilakukan

pemeriksaan neuro-imaging.

PENCEGAHAN

Pencegahan dibagi 2 cara yaitu dengan kemoprofilaksis dan imunisasi.

*Kemoprofilaksis untuk N.meningitidis meningitis

Semua individu yang tinggal serumah dan petugas kesehatan yang kontak dengan penderita

perlu diberi kemoprofilaksis. Karena peningkatan resistensi terhadap sulfonamid maka obat

pilihannya adalah rifampin, ceftriaxone, ciprofloxacin. Sulfonamid digunakan sebagai

profilaksis pada keadaan tertentu di mana patogen tersebut masih sensitif. Bahkan setelah

kemoprofilaksis adekuat, kasus sekunder dapat terjadi sehingga orang yang kontak dengan

penderita harus segera mencari pertolongan medik saat timbul gejala pertama kali. Dosis

rifampin 600 mg peroral tiap 12 jam selama 2 hari.

* Kemoprofilaksis untuk HIB meningitis

Rifampin dengan dosis 20 mg/kg/hari untuk 4 hari dianjurkan kepada individu yang kontak

dengan penderita HIB meningitis. Jika anak usia 4 tahun atau lebih muda kontak dengan

penderita maka anak tersebut harus diberi profilaksis tanpa memedulikan status imunisasinya.

Yang dimaksud dengan ‘kontak’ adalah seseorang yang tinggal pada rumah yang sama

90

Page 92: Skenario E Blok 19 L5 Fix

dengan penderita atau seseorang yang telah menghabiskan 4 jam atau lebih waktunya per hari

dengan penderita tersebut selama 5-7 hari sebelum diagnosis ditegakkan.

Jika 2 atau lebih kasus HIB meningitis terjadi pada anak yang mendatangi tempat pelayanan

kesehatan maka petugas kesehatan dan anak-anak lain perlu diberi profilaksis.

* Imunisasi

Imunisasi massal di seluruh dunia terhadap infeksi HIB telah memberikan penurunan

dramatis terhadap insidensi meningitis. FDA (Food and Drug Administration) telah

meluncurkan vaksin konjugasi pneumococcal yang pertama (Prevnar) pada April 2000.

Semua bayi dianjurkan untuk menerima imunisasi yang mengandung antigen dari 7 subtipe

pneumococcal.

Vaksin quadrivalent meningococcal dapat diberikan bersama kemoprofilaksis saat adanya

wabah. Vaksin quadrivalent yang mengandung antigen subgrup A, C, Y, W-135 dianjurkan

untuk kelompok resiko tinggi termasuk penderita dengan imunodefisiensi, penderita dengan

asplenia anatomik atau fungsional, defisiensi komponen terminal komplemen. Vaksin ini

terdiri dari 50 mcg polisakarida bakteri yang telah dimurnikan. The Advisory Committee on

Imunization Practices (ACIP) menganjurkan penggunaan vaksin ini untuk siswa sekolah yang

tinggal di asrama-asrama.

KOMPLIKASI

Sekuelae jangka panjang didapat pada 30% penderita dan bervariasi tergantung etiologi, usia

penderita, gejala klinis dan terapi. Pemantauan ketat berskala jangka panjang sangat penting

untuk mendeteksi sekuelae.

Sekuelae pada SSP meliputi tuli, buta kortikal, hemiparesis, quadriparesis, hipertonia otot,

ataxia, kejang kompleks, retardasi motorik, kesulitan belajar, hidrocephalus non-komunikan,

atropi serebral.

Gangguan pendengaran terjadi pada 20-30% anak. Pemberian dini dexamethasone dapat

mengurangi komplikasi audiologis pada HIB meningitis. Gangguan pendengaran berat dapat

menganggu perkembangan bicara sehingga evaluasi audiologis rutin dan pemantauan

91

Page 93: Skenario E Blok 19 L5 Fix

perkembangan dilakukan tiap kali kunjungan ke petugas kesehatan. Jika ditemukan sekuelae

motorik maka perlu dilakukan terapi fisik, okupasional, rehabilitasi untuk menghindari

kerusakan di kemudian hari dan mengoptimalkan fungsi motorik.

PROGNOSIS

Penderita dengan penurunan kesadaran memiliki resiko tinggi mendapatkan sekuelae atau

resiko kematian. Adanya kejang dalan suatu episode meningitis merupakan faktor resiko

adanya sekuelae neurologis atau mortalitas. Meningitis yang disebabkan oleh S. pneumoniae,

L. monocytogenes dan basil gram negatif memiliki case fatality rate lebih tinggi daripada

meningitis oleh bakteri lain. Prognosis meningitis yang disebabkan oleh patogen oportunistik

juga bergantung pada daya tahan tubuh inang.

3. Epilepsi

Jawab:

1. Definisi Epilepsi adalah Cetusan listrik lokal pada substansia grisea otak yang terjadi sewaktu-waktu, mendadak, dan sangat cepat yang dapat mengakibatkan serangan penurunan kesadaran, perubahan fungsi motorik atau sensorik, perilaku atau emosional yang intermiten dan stereotipik. Pelepasan aktifitas listrik abnormal dari sel-sel neuron di otak terjadi karena fungsi sel neuron terganggu. Gangguan fungsi ini dapat berupa gangguan fisiologik, biokimia, anatomi dengan manifestasi baik lokal maupun general.Epilepsi adalah suatu kelainan di otak yang ditandai adanya bangkitan epileptik yang berulang (lebih dari satu episode). International League Against Epilepsy (ILAE) dan International Bureau for Epilepsy (IBE) pada tahun 2005 merumuskan kembali definisi epilepsi yaitu suatu kelainan otak yang ditandai oleh adanya faktor predisposisi yang dapat mencetuskan bangkitan epileptik, perubahan neurobiologis, kognitif, psikologis, dan adanya konsekuensi sosial yang diakibatkannya. Definisi ini membutuhkan sedikitnya satu riwayat bangkitan epileptik sebelumnya. Sedangkan bangkitan epileptik didefinisikan sebagai tanda dan / gejala yang timbul sepintas (transien) akibat aktivitas neuron yang berlebihan atau sinkron yang terjadi di otak.Terdapat beberapa elemen penting dari definisi epilepsi yang baru dirumuskan oleh ILAE dan IBE yaitu13 : a. Riwayat sedikitnya satu bangkitan epileptik sebelumnya. b. Perubahan di otak yang meningkatkan kecenderungan terjadinya bangkitan selanjutnya

92

Page 94: Skenario E Blok 19 L5 Fix

c. Berhubungan dengan gangguan pada faktor neurobiologis, kognitif, psikologis, dan konsekuensi sosial yang ditimbulkan. Ketiga elemen di atas harus diperhatikan karena dalam mentatalaksana seorang penyandang epilepsi, tidak hanya faktor bangkitan atau kejang yang perlu diperhatikan namun konsekuensi sosial yang ditimbulkan juga harus diperhatikan seperti dikucilkan oleh masyarakat, stigma bahwa penyakit epilepsi adalah penyakit menular, dan sebagainya.Bangkitan epilepsi adalah manifestasi klinis dari bangkitan serupa (stereotipik) yang berlebihan dan abnormal, berlangsung secara tiba-tiba dan sementara, dengan atau tanpa perubahan kesadaran, disebabkan oleh hiperaktifitas listrik sekelompok sel saraf di otak yang bukan disebabkan oleh suatu penyakit otak akut (unprovoked). 2. Etiologi Epilepsi merupakan salah satu penyakit saraf kronik kejang berulang yang muncul tanpa diprovokasi. Penyebabnya adalah kelainan bangkitan listrik jaringan saraf yang tidak terkontrol baik sebagian maupun seluruh bagian otak. Keadaan ini bisa diindikasikan sebagai disfungsi otak. Gangguan fungsi otak yang bisa menyebabkan lepasnya muatan listrik berlebihan di sel neuron saraf pusat, bisa disebabkan oleh adanya faktor fisiologis, biokimiawi, anatomis atau gabungan faktor tersebut. Tiap-tiap penyakit atau kelainan yang dapat menganggu fungsi otak atau fungsi sel neuron di otak, dapat menyebabkan timbulnya bangkitan kejang atau serangan epilepsi. Untuk menentukan faktor penyebab dapat diketahui dengan melihat usia serangan pertama kali. Misalnya : usia dibawah 18 tahun kemungkinan faktor penyebabnya ialah trauma perinatal, kejang demam, radang susunan saraf pusat, struktural, penyakit metabolik, keadaan toksik, penyakit sistemik, penyakit trauma kepala, dan lain-lain. Bangkitan kejang juga dapat disebabkan oleh berbagai kelainan dan macam-macam penyakit diantaranya ialah trauma lahir, trauma kapitis, radang otak, tumor otak, perdarahan otak, gangguan peredaran darah, hipoksia, anomali kongenital otak, kelainan degeneratif susunan saraf pusat, gangguan metabolisme, gangguan elektrolit, demam, reaksi toksis-alergis, keracunan obat atau zat kimia, dan faktor hereditas. 3. Faktor Risiko Faktor resiko untuk terjadinya epilepsi pada penderita kejang demam adalah : a. Jika ada kelainan neurologis atau perkembangan sebelum kejang demam pertama b. Kejang demam kompleks c. Adanya riwayat epilepsi pada orangtua atau saudara kandung. Masing-masing faktor resiko meningkatkan resiko epilepsi 4-6%; kombinasi faktor resiko tersebut meningkatkan resiko epilepsi menjadi 10-49%.13 Epilepsi diartikan sebagai kejang berulang dan multipel. Anak dengan riwayat kejang demam

93

Page 95: Skenario E Blok 19 L5 Fix

mempunyai risiko sedikit lebih tinggi menderita epilepsi pada usia 7 tahun dibandingkan dengan anak yang tidak pernah mengalami kejang demam. 4. Klasifikasi Klasifikasi epilepsi : a. Bangkitan Parsial/fokal 1) Bangkitan parsial sederhana (tanpa gangguan kesadaran) a) Dengan gejala motorik. b) Dengan gejala sensorik. c) Dengan gejala otonomik. d) Dengan gejala psikis. 2) Bangkitan parsial kompleks (dengan gangguan kesadaran) a) Awalnya parsial sederhana, kemudian diikuti gangguan kesadaran. b) Dengan gangguan kesadaran sejak awal bangkitan. 3) Bangkitan umum sekunder (tonik-klonik, tonik atau klonik) a) Bangkitan parsial sederhana berkembang menjadi bangkitan umum b) Bangkitan parsial kompleks berkembang menjadi bangkitan umum c) Bangkitan parsial sederhana berkembang menjadi parsial kompleks, dan berkembang menjadi bangkitan umum a. Bangkitan umum (konvulsi atau non-konvulsi) 1) Bangkitan lena (absence) Ciri khas serangan lena adalah durasi singkat, onset dan terminasi mendadak, frekuensi sangat sering, terkadang disertai gerakan klonik pada mata, dagu dan bibir. 2) Bangkitan mioklonik Kejang mioklonik adalah kontraksi mendadak, sebentar yang dapat umum atau terbatas pada wajah, batang tubuh, satu atau lebih ekstremitas, atau satu grup otot. Dapat berulang atau tunggal. 3) Bangkitan tonik Merupakan kontraksi otot yang kaku, menyebabkan ekstremitas menetap dalam satu posisi. Biasanya terdapat deviasi bola mata dan kepala ke satu sisi, dapat disertai rotasi seluruh batang tubuh. Wajah menjadi pucat kemudian merah dan kebiruan karena tidak dapat bernafas. Mata terbuka atau tertutup, konjungtiva tidak sensitif, dan pupil dilatasi. 4) Bangkitan atonik Berupa kehilangan tonus. Dapat terjadi secara fragmentasi hanya kepala jatuh ke depan atau lengan jatuh tergantung atau menyeluruh sehingga pasien terjatuh. 5) Bangkitan klonik Pada kejang tipe ini tidak ada komponen tonik, hanya terjadi kejang kelojot. dijumpai terutama sekali pada anak. 6) Bangkitan tonik-klonik Merupakan suatu kejang yang diawali dengan tonik, sesaat kemudian diikuti oleh gerakan klonik.

94

Page 96: Skenario E Blok 19 L5 Fix

5. Patofisiologi Neuron memiliki potensial membran, hal ini terjadi karena adanya perbedaan muatan ion-ion yang terdapat di dalam dan di luar neuron. Perbedaan jumlah muatan ion-ion ini menimbulkan polarisasi pada membran dengan bagian intraneuron yang lebih negatif. Neuron bersinapsis dengan neuron lain melalui akson dan dendrit. Suatu masukan melalui sinapsis yang bersifat eksitasi akan menyebabkan terjadinya depolarisasi membran yang berlangsung singkat, kemudian inhibisi akan menyebabkan hiperpolarisasi membran. Bila eksitasi cukup besar dan inhibisi kecil, akson mulai terangsang, suatu potensial aksi akan dikirim sepanjang akson, untuk merangsang atau menghambat neuron lain, sehingga terjadilah epilepsi.Epilepsi ditandai oleh bangkitan berulang yang diakibatkan oleh aktivitas listrik yang berlebihan pada sebagian atau seluruh bagian otak. Seorang penderita dikatakan menderita epilepsi bila setidaknya mengalami dua kali bangkitan tanpa provokasi. Bangkitan epilepsi disebabkan oleh ketidakseimbangan antara faktor eksitasi dan inhibisi serebral, bangkitan akan muncul pada eksitabilitas yang tidak terkontrol. Pada sebagian besar kasus tidak dijumpai kelainan anatomi otak, namun pada beberapa kasus epilepsi disertai oleh kerusakan struktural otak yang mengakibatkan disfungsi fisik dan retardasi mental. 6. Diagnosis Ada 3 langkah untuk menuju diagnosis epilepsi, yaitu : a. Langkah pertama : Memastikan apakah kejadian yang bersifat paroksisimal merupakan bangkitan epilepsi. b. Langkah kedua : Apabila benar terdapat bangkitan epilepsi, maka tentukanlah bangkitan tersebut termasuk tipe bangkitan yang mana. c. Langkah ketiga : tentukan sindrom epilepsi apa yang ditunjukkan oleh bangkitan tadi, atau penyakit epilepsi apa yang diderita oleh pasien dan tentukan etiologinya. Diagnosis epilepsi ditegakkan atas dasar adanya bangkitan epilepsi berulang (minimum 2 kali) tanpa provokasi, dengan atau tanpa adanya gambaran epileptiform pada EEG.Secara lengkap urutan pemeriksaan untuk menuju ke diagnosis adalah sebagai berikut: a. Anamnesis Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci dan menyeluruh. Penjelasan perihal segala sesuatu yang terjadi sebelum, selama dan sesudah serangan (meliputi gejala dan lamanya serangan) merupakan informasi yang sangat berarti dan merupakan kunci diagnosis.Anamnesis (auto dan aloanamnesis), meliputi: 1) Gejala sebelum, selama dan paska bangkitan a) Keadaan penyandang saat bangkitan : duduk / berdiri / berbaring / tidur / berkemih. b) Gejala awitan (aura, gerakan / sensasi awal / speech

95

Page 97: Skenario E Blok 19 L5 Fix

arrest). c) Apa yang tampak selama bangkitan (Pola / bentuk bangkitan) : gerakan tonik / klonik, vokalisasi, otomatisme, inkontinensia, lidah tergigit, pucat, berkeringat, maupun deviasi mata. d) Keadaan setelah kejang : bingung, terjaga, nyeri kepala, tidur, gaduh gelisah, atau Todd’s paresis. e) Apakah terdapat lebih dari satu pola bangkitan, atau terdapat perubahan pola bangkitan. 2) Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang, maupun riwayat penyakit neurologik dan riwayat penyakit psikiatrik maupun penyakit sistemik yang mungkin menjadi penyebab. 3) Usia awitan, durasi, frekuensi bangkitan, dan interval terpanjang antar bangkitan. 4) Riwayat bangkitan neonatal / kejang demam. b. Pemeriksaan fisik umum dan neurologis Pemeriksaan fisik harus menepis sebab-sebab terjadinya serangan dengan menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai pegangan. Pada pasien anak, pemeriksa harus memperhatikan adanya keterlambatan perkembangan, organomegali, dan perbedaan ukuran antara anggota tubuh dapat menunjukkan awal gangguan pertumbuhan otak unilateral. c. Pemeriksaan penunjang 1) Pemeriksaan laboratorium Perlu diperiksa kadar glukosa, kalsium, magnesium, natrium, bilirubin, dan ureum dalam darah. Keadaan seperti Hiponatremia , hipoglikemia, hipomagnesia, uremia, dan hepatik ensefalopati dapat mencetuskan timbulnya serangan kejang. Pemeriksaan serum elektrolit bersama dengan glukose, kalsium, magnesium, Blood Urea Nitrogen, kreatinin dan test fungsi hepar mungkin dapat memberikan petunjuk yang sangat berguna.2) Elektro ensefalografi (EEG) Elektroensefalograf ialah alat yang dapat merekam aktifitas listrik di otak melalui elektroda yang ditempatkan dikulit kepala. Kelainan EEG yang sering dijumpai pada penderita epilepsi disebut epileptiform discharge atau epileptiform activity. Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan merupakan pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk rnenegakkan diagnosis epilepsi.Adanya kelainan fokal pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya lesi struktural di otak, sedangkan adanya kelainan umum pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik.Rekaman EEG dikatakan abnormal ditentukan atas dasar adanya : a) Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua hemisfer otak.

96

Page 98: Skenario E Blok 19 L5 Fix

b) Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat dibanding seharusnya misal gelombang delta. c) Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal, misalnya gelombang tajam, paku (spike), paku-ombak, paku majemuk, dan gelombang lambat yang timbul secara paroksimal. 3) Rekaman video EEG Pemeriksaan video-EEG ini berhasil membedakan apakah serangan kejang oleh karena epilepsi atau bukan dan biasanya selama perekaman dilakukan secara terus-menerus dalam waktu 72 jam, sekitar 50-70% dari hasil rekaman dapat menunjukkan gambaran serangan kejang epilepsi.4) Pemeriksaan Radiologis Ct Scan (Computed Tomography Scan) kepala dan MRI (Magnetic Resonance Imaging) kepala merupakan Pemeriksaan yang dikenal dengan istilah neuroimaging yang bertujuan untuk melihat apakah ada atau tidaknya kelainan struktural di otak dan melengkapi data EEG.CT Scan kepala ini dilakukan bila pada MRI ada kontra indikasi, namun demikian pemeriksaan MRI kepala ini merupakan prosedur pencitraan otak pilihan untuk epilepsi dengan sensitivitas tinggi dan lebih spesifik dibanding dengan CT Scan. Oleh karena dapat mendeteksi lesi kecil diotak, sklerosis hipokampus, disgenesis kortikal, tumor dan hemangioma kavernosa, maupun epilepsi refrakter yang sangat mungkin dilakukan terapi pembedahan. MRI bermanfaat untuk membandingkan hipokampus kanan dan kiri.5) Pemeriksaan neuropsikologi Pemeriksaan ini mungkin dilakukan terhadap pasien epilepsi dengan pertimbangan akan dilakukan terapi pembedahan. Pemeriksaan ini khususnya memperhatikan apakah ada tidaknya penurunan fungsi kognitif, demikian juga dengan pertimbangan bila ternyata diagnosisnya ada dugaan serangan kejang yang bukan epilepsi.7. Prognosis Prognosis epilepsi tergantung pada beberapa hal, diantaranya jenis epilepsi, faktor penyebab, saat pengobatan dimulai, dan ketaatan minum obat. Prognosis epilepsi cukup menggembirakan. Pada 50-70% penderita epilepsi serangan dapat dicegah dengan obat-obat, sedangkan sekitar 50% pada suatu waktu akan dapat berhenti minum obat. Prognosis epilepsi dihubungkan dengan terjadinya remisi serangan baik dengan pengobatan maupun status psikososial, dan status neurologis penderita. Batasan remisi epilepsi yang sering dipakai adalah 2 tahun bebas serangan (kejang) dengan terapi. Pada pasien yang telah mengalami remisi 2 tahun harus dipertimbangkan untuk penurunan dosis dan penghentian obat secara berkala. Batasan lain yang dipakai untuk menggambarkan remisi adalah bebas serangan (remisi terminal) minimal 6 bulan dalam terapi OAE. Setelah tercapai bebas serangan selama >6 bulan atau >2 tahun dengan terapi, maka perlu dipikirkan untuk menurunkan dosis secara berkala sampai kemudian obat dihentikan, perlu mempertimbangkan risiko terjadinya relaps setelah penghentian obat. Berbagai faktor

97

Page 99: Skenario E Blok 19 L5 Fix

prediktor yang meningkatkan risiko terjadinya relaps adalah usia awitan pada remaja / dewasa, jenis epilepsi sekunder, dan adanya gambaran abnormalitas EEG.Berbagai penelitian memperlihatkan bahwa penderita epilepsi memiliki risiko kematian yang lebih tinggi dibanding populasi normal. Risiko kematian yang paling tinggi adalah pada penderita epilepsi yang disertai defisit neurologi akibat penyakit kongenital. Kematian pada penderita epilepsi anak-anak paling sering disebabkan oleh penyakit susunan saraf pusat yang mendasari timbulnya bangkitan epilepsi.

4. Bangkitan non epileptik

Jawab:

I. Pendahuluan

Bangkitan adalah suatu tanda dan gejala dari epilepsi, tetapi tidak semua bangkitan merupakan suatu tanda adanya kelainan neurologik. Bangkitan dapat juga dihasilkan dari kadar gula darah yang rendah, infeksi, demam, cedera kepala berat, kekurangan oksigen, dan kesemuanya tersebut bukan merupakan epilepsi. Bangkitan dapat juga merupakan gangguan mental maupun fisik. Bangkitan tersebut dapat juga disebabkan karena gangguan motorik yang disebut konvulsi (Davis, 2004).

Istilah kejang non epilepsi (non epileptic seizure) digunakan untuk menjelaskan suatu bangkitan yang menyerupai epilepsi tetapi mempunyai penyebab yang berbeda. Berbeda dengan bangkitan epilepsi, kejang non epilepsi tidak disebabkan oleh adanya perubahan pada aktivitas otak (Selkirk et al., 2008.).

Gambar patofisiologi kejang yang disebabkan oleh epilepsi dimana ada perbedaan dengan kejang yang disebabkan non epilepsi.Pada epilepsi disebabkan oleh adanya perubahan pada aktivitas otak sedangkan Non epilepsi kejangnya Tidak disebabkan perubahan pada aktivitas otak

98

Page 100: Skenario E Blok 19 L5 Fix

Terminologi bangkitan atau seizure adalah suatu kejadian mendadak, tiba-tiba, dan dalam waktu yang pendek dimana terjadi perubahan pada seorang yang dalam keadaan sadar dimanapun, dan dalam keadaan apapun berupa perilaku maupun perasaannya. Bangkitan sering digunakan untuk menjelaskan kejadian epilepsi dan pada epilepsi didapatkan beberapa perbedaan tipe bangkitan (Henry, 2000).

II. Penyebab bangkitan

Bangkitan dapat terjadi oleh beberapa keadaan, misalnya oleh karena penurunan kadar gula darah (hipoglikemia), pingsan atau perubahan kesadaran singkat pada seseorang yang mengalami infark miokard akut. Pada seseorang mungkin juga didapatkan lebih dari satu tipe bangkitan, berupa kejang epilepsi dan juga kejang non epilepsi (Henry, 2000).

Bangkitan epilepsi dapat terjadi oleh karena kejadian tiba-tiba dan berhentinya secara singkat dari mekanisme kerja sel-sel otak. Peristiwa tersebut dapat disebabkan oleh adanya perubahan aktivitas listrik di dalam sel-sel neuron. Apa yang terjadi pada seseorang selama kejadian bangkitan epilepsi tergantung di mana perubahan tersebut berlangsung di dalam sel-sel neuron. Pengaruh dari kejadian tersebut mungkin dapat menyebabkan gangguan kesadaran maupun tingkah laku (Reuber et al., 2007).

Epilepsi mempunyai kecenderungan satu atau lebih area di otak yang memproduksi secara tiba-tiba lonjakan energi listrik yang menyebabkan terjadinya kerusakan fungsional sel-sel neuron. Bangkitan nerologik merupakan suatu reaksi tubuh terhadap lonjakan listrik yang abnormal di dalam sel-sel neuron. Sehingga dikatakan epilepsi apabila terjadi dua atau lebih bangkitan tanpa provokasi (Engelborghs et al., 2000).

III. Pembagian kejang non epilepsi

Menurut Kammerman dan Wasserman (2001), berdasarkan etiologinya maka didapatkan dua kategori utama kejang non epilepsi, yaitu: Bangkitan fisiologikBangkitan fisiologik dapat disebabkan oleh berbagai kondisi, misalnya terjadinya perubahan secara mendadak suplai aliran darah, glukosa maupun oksigen ke otak. Termasuk juga bangkitan fisiologik adalah adanya perubahan irama jantung, mendadak terjadi penurunan tekanan darah atau terjadinya hipoglikemia.Bangkitan psikogenikBangkitan psikogenik dapat disebabkan oleh karena adanya tekanan psikologis yang berat pada seseorang, misalnya trauma emosional oleh karena siksaan seksual maupun fisik, perceraian atau kematian orang yang dicintai.

99

Page 101: Skenario E Blok 19 L5 Fix

IV. Penyebab kejang non epilepsi

Beberapa kejadian kejang non epilepsi mempunyai penyebab fisik (yang berhubungan dengan tubuh), misalnya adalah pingsan yang sering disebut juga sinkop. Tetapi terdapat juga beberapa kejadian kejang non epilepsi yang disebabkan oleh penyebab psikologik (yang berhubungan dengan jiwa), misalnya pada serangan panik.

Jika kejadian kejang non epilepsi penyebabnya adalah fisik maka akan lebih mudah untuk menegakkan diagnosisnya berdasarkan penyakit yang mendasarinya. Sebagai contoh adalah pingsan yang mungkin didiagnosis oleh karena adanya masalah pada jantungnya. Istilah kejang non epilepsi biasanya digunakan untuk menjelaskan kejadian bangkitan yang disebabkan oleh faktor psikologik.

Kadang-kadang sangat sulit untuk mendapatkan alasan mengapa terjadi dan kapan mulainya kejadian kejang non epilepsi. Beberapa penderita kejang non epilepsi mengatakan bahwa kejadiannya sangat cepat dan waktunya pendek setelah terjadinya stres yang spesifik, tetapi penderita lain melaporkan bahwa kejadian kejang non epilepsi bukan karena faktor stresor psikis maupun fisik. Sehingga sangat sulit untuk dicari penyebabnya secara pasti. Beberapa penderita kejang non epilepsi juga melaporkan terjadinya bangkitan setelah mengalami stres maupun kecemasan.

Penyebab kejang non epilepsi1. Penghentian konsumsi alkohol2. Penghentian konsumsi Benzodiazepine3. Massive sleep deprivation4. Penggunaan kokain5. Psikogenik (gangguan konversi, somatisasi, malingering)6. Cedera kepala akut (dalam satu minggu)7. Infeksi sisitem saraf pusat atau neoplasma8. Uremia9. Eklampsia10. Demam tinggi11. Hipoksemia12. Hiperglikemia atau hipoglikemia13. Gangguan elektrolit

Apa yang terjadi pada seseorang selama kejadian kejang non epilepsi sangat bervariasi. Apa yang terjadi selama kejadian kejang epilepsi dapat juga terjadi pada kejadian kejang non epilepsi. Selama kejadian kejang non epilepsi, seperti halnya pada kejang epilepsi, penderita mungkin dapat terjatuh dan melukai dirinya sendiri, terjadi konvulsi (gerakan menyentak) atau penderita mengalami inkontinensia. Keduanya dapat terjadi secara tiba-tiba dan tanpa ada tanda-tanda peringatan sebelumnya (Daoud, 2004).

100

Page 102: Skenario E Blok 19 L5 Fix

Di bawah ini beberapa contoh penyebab kejang non epilepsi oleh karena faktor psikologik (Reuber, 2005).Serangan panikSerangan panik dapat terjadi oleh karena situasi ketakutan atau teringat pengalaman menakutkan sebelumnya. Serangan panik dapat sangat membingungkan pada diri seseorang. Penderita merasa cemas atau ketakutan sebagai awal dari suatu serangan. Pengaruh fisik terhadap serangan tersebut misalnya adalah kesulitan bernafas, berkeringat, berdebar-debar dan merasa bergetar. Penderita dapat juga kehilangan kesadaran dan terjadi serangan konvulsi. Serangan dapat terjadi lagi walaupun penderita sudah tidak dalam situasi yang menakutkan.Cut off atau serangan menghindarJenis serangan ini terjadi oleh karena penderita mendapatkan kesulitan mengatasi stres yang berat atau berada dalam situasi emosional yang sangat sulit. Serangan ini lebih sering dijumpai pada penderita yang tidak merasa dan tidak mengeluh adanya kesulitan yang membutuhkan penyelesaian. Seperti halnya pada serangan panik, serangan ini dapat juga berulang walaupun penderita tidak berada dalam situasi tertekan.Respon terlambat terhadap stres beratSerangan ini dapat terjadi sebagai reaksi terhadap stres yang berat atau dalam situasi peperangan atau bencana alam dimana penderita melihat banyak korban berjatuhan. Kejang non epilepsi mungkin merupakan sebagian dari post traumatic stress disorder, yaitu suatu keadaan yang timbul setelah trauma atau stres yang berat. Selama serangan tersebut penderita mungkin menangis, menjerit atau teringat dengan kejadian tersebut (tiba-tiba dan teringat secara jelas pengalamannya). Penderita tidak dapat mengontrol tingkah lakunya dan menginginkan kejadian tersebut hilang dalam ingatannya.

V. Diagnosis kejang non epilepsi

Untuk dapat menegakkan diagnosis kejang non epilepsi, seorang dokter membutuhkan riwayat pribadi penderita. Termasuk didalamnya adalah riwayat penyakit neurologi yang mungkin dideritanya, perkembangan psikologik, dan juga situasi terbaru sehubungan dengan keluhan dari penderita.

Sangat sulit untuk menjelaskan perbedaan antara kejang epilepsi dan kejang non epilepsi karena keduanya bisa sangat mirip. Mencari keterangan tentang seperti apa bentuk bangkitannya, dan sudah berapa lama penderita mengalami serangan bangkitan, maka hal tersebut akan membantu untuk mengidentifikasi jenis dan tipe kejang yang terjadi.

Diagnosis banding kelainan neurologik paroksismal pada orang dewasa1. Sinkop

101

Page 103: Skenario E Blok 19 L5 Fix

Refleks sinkop (sinkop ortostatik, sinkom miksturasi) Sinkop kardiogenik (takhikardia, bradikardi, sindroma pemanjangan

gelombang QT, abnormalitas struktur jantung, stenosis aorta, kardiomiopati, arterio-venous shunt)

Gangguan perfusi (hipovolemik, gangguan otonom)2. Kejang non epilepsi psikogenik

Kejang non epilepsi psikogenik Serangan panik Serangan hiperventilasi

3. Transient Ischemic Attack4. Migrain5. Narkolepsi / katapleksi6. Parasomnia7. Vertigo paroksismal8. Hipoglikemia

Beberapa pemeriksaan yang dibutuhkan untuk dapat menegakkan bangkitan kejang non epeilepsi adalah:ObservasiPenderita yang mendapatkan serangan bangkitan mungkin tidak ingat beberapa hal yang terjadi. Informasi tersebut sangat berguna untuk dapat menjelaskan apa yang terjadi dan hal tersebut bisa minta penjelasan pada seseorang yang mungkin melihatnya pada waktu penderita mendapatkan serangan bangkitan.Berikut ini beberapa informasi yang sangat dibutuhkan untuk diketahui pada penderita serangan bangkitan (Reuber, 2005):Dimana dan sedang apa ketika serangan bangkitan terjadi?Seperti apakah serangan itu terjadi?Berapa lama serangan itu berhenti?Berapa lama waktu yang dibutuhkan antara serangan hingga di bawa ke rumah sakit?Bagaimanakah tingkah lakunya sebelum, selama dan setelah serangan bangkitan?Pemeriksaan darahPemeriksaan darah untuk mengetahui kelainan-kelainan yang mungkin terjadi yang dapat dilihat dari hasilnya dan juga untuk mengetahui status kesehatannya. Pemeriksaan darah terutama dapat untuk mengetahui etiologi bangkitan oleh karena faktor fisik yang disebabkan diabetes melitus (hipoglikemia atau hiperglikemia).Pemeriksaan Elektroensefalogram (EEG)Pemeriksaan EEG digunakan untuk melihat aktivitas listrik di otak. Pada bangkitan epilepsi terjadi oleh karena adanya perubahan dari aktivitas listrik di otak yang dapat dilihat dari hasil pmeriksaan EEG dengan gambaran tergantung dari jenis bangkitannya. Sedangkan pada kejang non epilepsi biasanya hasil pemeriksaan EEG tidak memperlihatkan adanya perubahan patologis aktivias listrik di otak. Sehingga hasil pemeriksaan EEG ini sangat bermanfaat untuk mengetahui apakah bangkitan yang terjadi merupakan kejang epilepsi atau bukan.

102

Page 104: Skenario E Blok 19 L5 Fix

Telemetri VideoPemeriksaan kadang-kadang dilakukan setelah pemeriksaan EEG, dimana pasien dilakukan observasi di bangsal dengan pengamatan video dan juga terpasang EEG. Pemeriksaan ini untuk membandingkan apa yang dilakukan penderita selama terjadi bangkitan dengan apa yang terjadi pada otak selama terjadi bangkitan tersebut.Pemeriksaan CT Scan kepalaPemeriksaan CT Scan kepala pada penderita bangkitan sangat membantu untuk mengetahui kemungkinan terjadinya kelainan fisik di otak yang dapat menyebabkan terjadinya suatu bangkitan. Walaupun demikian CT Scan kepala bukan merupakan alat utama untuk mengetahui diagnosis epilepsi atau bukan. Pemeriksaan pencitraan lainnya yang fungsinya sama dengan CT Scan kepala adalah pemeriksaan Magnetic Resonance Imaging (MRI).

VI. Penatalaksanaan Kejang non Epilepsi

Penanganan umumPenatalaksanaan terjadinya kejang non epilepsi sangat tergantung dari penyebabnya (Irwin et al., 2000). Seorang dokter umum, spesialis penyakit saraf, atau psikiatris dapat membantu penderita untuk memutuskan terapi apa yang dpat diberikan pada penderita ini. Jika penyebabnya adalah jelas faktor psikogenik maka penderita bisa ditangani oleh seorang psikiatris.Seorang psikiatris akan melakukan anamnesis yang cermat dan teliti tentang riwayat psikiatris sebelumnya, termasuk didalamnya adalah menanyakan adanya stres yang pernah dialaminya. Penanganan oleh seorang psikiatris terhadap penderita kejang non epilepsi yang disebabkan oleh faktor psikogenik akan sangat membantu penderita dalam menghadapi jika terjadi stres di kemudian hari. Konsultasi dengan psikiatris mungkin membutuhkan beberapa kali pertemuan sampai penderita sudah merasa lebih baik atau sembuh. Keterlibatan anggota keluarga dalam penanganan penderita kejang non epilepsi akan sangat membantu penyembuhannya.Suatu diagnosis kejang non epilepsi artinya pada penderita tersebut terjadinya kejang bukan oleh karena adanya bangkitan epilepsi, oleh karena itu tidak perlu diberikan obat anti epilepsi. Kecuali jika pada penderita didapatkan baik kejang epilepsi maupun kejang non epilepsi maka pemberian obat anti epilepsi harus diberikan. Pada penderita kejang non epilepsi jika didapatkan adanya kecemasan maupun gangguan afektif maka obat-obat yang sesuai dapat diberikan.Setelah penderita mengetahui tentang diagnosisnya yang mungkin disebabkan oleh karena pengaruh perasaan maupun emosi, maka beberapa penderita membutuhkan penjelasan jika suatu saat terjadi serangan bangkitan kembali atau penderita diminta untuk selalu konsultasi secara rutin dengan dokternya jika sewaktu-waktu timbul perasaan akan terjadi serangan ulang. Hal tersebut mungkin akan sulit dijelaskan jika terjadinya serangan bangkitan disebabkan oleh karena memang terdapat keduanya, baik kejang epilepsi maupun non epilepsi.

103

Page 105: Skenario E Blok 19 L5 Fix

Pada penderita kejang non epilepsi suatu pemahaman tentang penyebab dan bagaimana cara mengurangi penyebabnya akan sangat membantu dalam mengurangi kejadian kejang berulang. Sehingga suatu informasi dan suport kepada penderita kejang non epilepsi untuk bisa meningkatkan pemahaman terjadinya kejang akan cukup untuk mengurangi terjadinya serangan bangkitan yang berulang. Informasi tersebut bisa diberikan oleh seorang dokter umum, dokter spesialis penyakit saraf, maupun psikiatris.Penanganan pertama pada penderita kejang non epilepsiKonsensus secara umum menjelaskan bahwa penanganan pertama adalah sama antara kejang oleh karena epilepsi maupun non epilepsi. Prinsipnya adalah jika didapatkan adanya kejang pada seseorang maka yang paling penting adalah mencegah terjadinya cedera lebih lanjut akibat kejangnya. Letakkan penderita pada tempat yang tidak membahayakan, atau cegah terjadinya cedera kepala jika terjatuh. Apapun penyebabnya maka yang terbaik adalah berikan penanganan terhadap kejangnya hingga kejang berhenti.

VIII. KERANGKA KONSEP

104

Meningitis (Kejang dengan demam) pada usia 9 bulan

Epilepsi pada usia 12&18 bulan

Relaps dan terjadi status epileptikus pada usia 3 tahun

Defisit neurologis (hemiparesis dekstra tipe sentral serta parese N. VII

dan N. XII)

Terapi dihentikan

Page 106: Skenario E Blok 19 L5 Fix

IX. KESIMPULAN

Anak laki-laki usia 3 tahun mengalami epilepsi, hemiparesis dekstra tipe sentral, paresis

nervus VII dan nervus XII dextra tipe sentral, serta paresis tipe sentral et causa status

epileptikus

105

Page 107: Skenario E Blok 19 L5 Fix

DAFTAR PUSTAKA

Deliana M. 2002. Tatalaksana Kejang Demam Pada Anak. Sari Pediatri Vol.4 No. 2 59-62.

Dimyati Y. Kejang Demam. UKK Neurologi IDAI.

Daoud, A., 2004. Febrile convulsion: review and update. Journal of Pediatric Neurology; 2 (1) : 9-14.

Davis, B.J., 2004. Predicting Nonepileptic Seizures Utilizing Seizure Frequency, EEG, and Response to Medication. Eur Neurol; 51: 153-156.

Engelborghs, S., D’hooge, R., and De Deyn, P.P., 2000. Pathophysiology of epilepsy. Acta Neurol. Belg.; 100: 201-213.

Henry, T.R., 2000. Non-Epileptic Seizures, in Gates, J.R., and Rowan, A.J., Epilepsy and Behavior. 2nd ed. Boston/Oxford: Butterworth–Heinemann; 1 (2): 135.

Irwin, K., Edwards, M., and Robinson, R., 2000. Psychogenic non-epileptic seizures: management and prognosis. Arch Dis Child; 82: 474-478.

Kammerman, S. and Wasserman, L., 2001. Seizure disorders: Part 1. Classification and diagnosis. The Bellevue Guide to Outpatient Medicine – An Evidence-Based Guide to Primary Care, BMJ Publishing Group; 175: 99-103.

Liusen J. 2012. Nervus Fasialis. Pekanbaru: Kepaniteraan Klinik KBKBagian Ilmu Penyakit SarafFakultas Kedokteran Universitas RiauRumah Sakit Umum Daerah Arifin Achmad.

Reuber, M., 2005. Psychogenic nonepileptic seizures: diagnosis, aetiology, treatment and prognosis. Arch Neurol Psychiatr;156: 47-57.

Reuber, M., Howlett, S., Khan, A., and Newald, R.A., 2007. Non-Epileptic Seizures and Other Functional Neurological Symptoms: Predisposing, Precipitating, and Perpetuating Factors. Psychosomatics; 48: 230-238.

Selkirk, M., Duncan, R., Oto, M and Pelosi, A., 2008. Clinical differences between patients with nonepileptic seizures who report antecedent sexual abuse and those who do not. Epilepsia; 48: 1446-50.

Shorvon S. The Management of status epilepticus. J Neurol Neurosurg Psychiatry 2001 June; 70 (Suppl 2):1122-7.

Marik PE, Varon J. The management of status epilepticus. Chest 2004; 126:582-91.

Sirven J, Waterhorse E. Status Epilepticus. American Family Physician 2003 Aug 1;68(3).

Walker M. Status epilepticus: an evidence based guide. BMJ 2005; 331:673-7.

106

Page 108: Skenario E Blok 19 L5 Fix

Pokdi Epilepsi. Terapi. Dalam: Pedoman Tatalaksana Epilepsi. Edisi 2. Jakarta: PERDOSSI; 2006. h. 10-21.

Lowenstein DH, Bleck T, Macdonald RL. It's time to revise the definition of status epilepticus. Epilepsia 1999 Jan; 40(1):120-2.

Pokdi Epilepsi. Terapi Epilepsi Refrakter. Dalam: Pedoman Tatalaksana Epilepsi. Edisi 2. Jakarta: PERDOSSI; 2006. h. 10-21.

Leppik IE. Intractable Epilepsy in adult in intractable seizure. Diagnosis, treatment and prevention. Advances in experimental medicine and biology. 2002; 497:1-7.

Jimaad C. Status Epilepticus. Journal of the Indian Medical Association 2002; 100 (5): 299-303.

Wulandari D S. 2011. Penurunan Kesadaran. RSUD Serang: SMF Neurologi Universitas Yarsi.

Andrew CF, Tong AW, Leung TWH. Simple partial status epilepticus in Chinese adults. J Clin Neuro Sci [serial online] 2005 [cited 2008 Sep 12]; 12(8):902-4. Available from: URL: http://www.sciencedirect.com/science

Doloren RJ, Hauser WA, Towne AP. A prospective, population based epidemiologic study of status epilepticus in Richmond, Virginia. Neurology 1996 Aprl; 46 (4):1029-35.

Kania N. 2007. Kejang Pada Anak. Bandung: Acara Siang Klinik Penanganan Kejang Pada Anak di AMC Hospital.

Marek A, Mirski, Panayiotis N, Varelas. Seizures and status epilepticus in the critically ill. Crit Care Clin 2008; 24:115–47.

Wasterlain, CG, Fujikawa, DG, Penix, L, et al Pathophysiological mechanisms of brain damage from status epilepticus. Epilepsia 1993; 34(suppl):S37-53

Shorvon. Status epilepticus: its clinical features and treatment in children and adult. Cambridge: University Press; 1995.

Dulac O, Leppik IF. Initiating and discontinuing treatment in comprehensive textbook epilepsy. 1st ed. Philadelphia: Lippincott-Raven; 1998. p.1237-46.

Fenitoin. 2009. Diakses dari situs http://dokmud.wordpress.com/2009/10/23/fenitoin/ tanggal 25 September 2013.

Dexa Medica. Fenitoin Natrium. Diakses dari situs http://www.dexa-medica.com/ourproducts/prescriptionproducts/detail.php?id=110&idc=7. Tanggal 25 September 2013.

107

Page 109: Skenario E Blok 19 L5 Fix

Asam Valproat. Diakses dari situs http://medicatherapy.com/index.php/content/printversion/136. Tanggal 25 September 2013.

Asam Valproat. 2009. Diakses dari situs http://dokmud.wordpress.com/2009/10/23/fenitoin/ tanggal 25 September 2013.

Rita Dewi Msy. Epilepsi. Divisi Neurologi Anak Departemen Kesehatan Anak RSMH/FK UNSRI.

[Referat Neurologi] Epilepsi. 2011. Diakses dari situs http://kholilahpunya.wordpress.com/2011/01/21/referat-neurologi-epilepsi/. Tanggal 25 September 2013.

Nugraha S. Tingkat Kesadaran. Diakses dari situs http://journal-kesehatan.blogspot.com/2012/01/tingkat-kesadaran.html. Tanggal 25 September 2013.

Wicaksono E R. 2013. Tingkat Kesadaran dan GCS. Diakses dari situs http://emirzanurwicaksono.blog.unissula.ac.id/2013/01/10/tingkat-kesadaran-dan-gcs/. Tanggal 25 September 2013.

Pasien dengan Penurunan Kesadaran. 2012. Diakses dari situs http://rizabarbie.blogspot.com/2012/06/pasien-dengan-penurunan-kesadaran_02.html. Tanggal 25 September 2013.

108