contoh laporan fix laporan skenario d blok 25

91
LAPORAN TUTORIAL D BLOK 25 Disusun oleh: KELOMPOK L2 Anggota Kelompok: Maulia Wisda Era C 04111001010 Rizki Permata Sari 04111001013 Melinda Rahmadianti 04111001014 Tiara Eka M 04111001035 Mary Gisca T 04111001036 Johannes Lie 04111001038 Nuraidah 04111001039 Fitri Maya Anggraini 04111001040 Agien Tri Wijaya 04111001041 Maghfiroh Rahayu N 04111001050 M. Hadley Aulia 04111001052 Dodi Maulana 04111001096 Muchtar Luthfi 04111001142 Sobarullah 04091001052 Tutor: dr. Msy. Rulan 0

Upload: hyudaristy

Post on 14-Dec-2015

80 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

df

TRANSCRIPT

LAPORAN

TUTORIAL D BLOK 25

Disusun oleh:

KELOMPOK L2

Anggota Kelompok:

Maulia Wisda Era C 04111001010

Rizki Permata Sari 04111001013

Melinda Rahmadianti 04111001014

Tiara Eka M 04111001035

Mary Gisca T 04111001036

Johannes Lie 04111001038

Nuraidah 04111001039

Fitri Maya Anggraini 04111001040

Agien Tri Wijaya 04111001041

Maghfiroh Rahayu N 04111001050

M. Hadley Aulia 04111001052

Dodi Maulana 04111001096

Muchtar Luthfi 04111001142

Sobarullah 04091001052

Tutor: dr. Msy. Rulan

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA

TAHUN 2014

0

KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Allah SWT karena atas ridho dan karunia-Nya, laporan tutorial

Skenario D Blok 25 ini dapat terselesaikan dengan baik.

Adapun laporan ini bertujuan untuk memenuhi rasa ingin tahu akan penyelesaian dari

skenario yang diberikan, sekaligus sebagai tugas tutorial yang merupakan bagian dari sistem

pembelajaran KBK di Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.

Tim Penyusun mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang terlibat dalam pembuatan

laporan ini.

Tak ada gading yang tak retak. Tim Penyusun menyadari bahwa dalam pembuatan laporan ini

masih terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu, saran dan kritik pembaca akan sangat

bermanfaat bagi revisi yang senantiasa akan penyusun lakukan.

Tim Penyusun

1

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................................... 1

DAFTAR ISI.................................................................................................................... 2

I. SKENARIO......................................................................................................... 3

II. KLARIFIKASI ISTILAH.................................................................................... 4

III. IDENTIFIKASI MASALAH.............................................................................. 4

IV. ANALISIS MASALAH...................................................................................... 5

V. SINTESIS............................................................................................................ 39

VI. KESIMPULAN.................................................................................................... 61

VII. DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................... 62

2

I. Skenario D Blok 25

Di Puskesmas Maju dengan penduduk 30.000 jiwa, dr. Bagus bersama timnya tidak

melakukan surveilan epidemiologi secara rutin, sehingga mereka tidak memahami riwayat

alamiah penyakit dan tahap perjalan penyakit yang berpotensi KLB. Pada bulan Januari s/d

Maret tahun 2013, terjadi peningkatan kasus DBD yang baru disadari setelah terjadi peningkatan

jumlah pasien yang dikirim ke RSU Daerah, karena perawatan darurat yang disiapkan di

puskesmas tidak bisa lagi menampung pasien yang indikasi dirawat. Puskesmas Maju

sebenarnya belum memiliki fasilitas untuk pasien rawat inap. Setelah mengalami peristiwa

tersebut dr. Bagus melakukan evaluasi dan menyadari bahwa stafnya belum memiliki

pemahaman dan keterampilan mengenai surveilans. Dr. Bagus mulai menyusun perencanaan

supaya kegiatan surveilans bisa dilakukan secara rutin, dan melatih tenaga perawat dan bidannya

memahami keterampilan penyelidikan wabah, studi epidemiologi, dan kegiatan statistika yang

terkait dengan surveilans dan penyelidikan wabah.

Tujuan Pembelajaran

1. Menjelaskan pentingnya surveilans dan pendekatan epidemiologi

2. Menjelaskan investigasi/penyelidikan KLB/wabah

3. Menjelaskan desain epidemiologi

4. Menjelaskan tekhnik pencegahan dan penannggulangan KLB

3

II. Klarifikasi Istilah

1. Surveilans epidemiologi : pengumpulan dan analisa data epidemiologi yang akan

digunakan sebagai dasar dalam kegiatan-kegiatan dalam bidang pencegahan dan

penanggulangan penyakit

2. KLB : timbulnya atau meningkatnya kejadian kesakitan atau kematian yang bermakna

secara epidemiologis pada suatu daerah dalam kurun waktu tertentu.

3. Wabah : kejadian terjangkitnya suatu penyakit menular dalam masyarakat yang

jumlah penderitanya meningkat secara nyata melebihi daripada keadaan yang lazim

pada waktu dan daerah tertentu, serta dapat menimbulkan malapetaka.

4. Studi epidemiologi : ilmu yang mempelajari distribusi dan determinan frekuwnsi

penyakit serta status kesehatan pada populasi manusia.

5. Kegiatan statistika : kegiatan tentang pengumpulan, pengolahan, penyajian serta

analisa data yang dilanjutkan dengan penarikan kesimpulan serta pembuatan

keputusan yang beralasan berdasarkan hasill analisa yang dilakukan.

III. Identifikasi Masalah

1. Dr. Bagus bersama timnya tidak melakukan surveilans epidemiologi secara rutin,

sehingga mereka tidak memahami riwayat alamiah penyakit dan tahap perjalanan

penyakit yang berpotensi KLB di Puskesmas Maju dengan penduduk 30.000 jiwa.

2. Pada bulan Januari s/d Maret tahun 2013, terjadi peningkatan kasus DBD yang baru

disadari setelah terjadi peningkatan jumlah pasien yang dikirim ke RSU Daerah, karena

perawatan darurat yang disiapkan di puskesmas tidak bisa lagi menampung pasien yang

indikasi dirawat.

3. Puskesmas Maju sebenarnya belum memiliki fasilitas untuk pasien rawat inap.

4. Setelah mengalami peristiwa tersebut dr. Bagus melakukan evaluasi dan menyadari

bahwa stafnya belum memiliki pemahaman dan keterampilan mengenai surveilans.

5. Dr. Bagus mulai menyusun perencanaan supaya kegiatan surveilans bisa dilakukan secara

rutin, dan melatih tenaga perawat dan bidannya memahami keterampilan penyelidikan

wabah, studi epidemiologi, dan kegiatan statistika yang terkait dengan surveilans dan

penyelidikan wabah.

4

IV. Analisis Masalah

1. Bagaimana pentingnya surveilans epidemiologi ? Dan siapa yang mengaturnya ?

Jawab :

Proses pengamatan secara teratur dan terus menerus terhadap semua aspek

penyakit tertentu, baik keadaan maupun penyebarannya dalam suatu masyarakat

tertentu untuk kepentingan pencegahan dan penanggulangan. Dalam sistem ini yang

dimaksud dengan surveilans epidemiologi adalah kegiatan analisis secara sistematis dan

terus menerus terhadap penyakit atau masalah-masalah kesehatan dan kondisi yang

mempengaruhi terjadinya peningkatan dan penularan penyakit atau masalah-masalah

kesehatan tersebut, agar dapat melakukan tindakan penanggulangan secara efektif dan

efisien melalui proses pengumpulan data, pengolahan, analisis, interpreasi yang

sistematis dan penyebaran informasi epidemiologi kepada penyelenggara program

kesehatan.

Informasi yang dihasilkan berguna untuk perencanaan pelaksanaan dan penilaian

program atau upaya kesehatan masyarakat. Data surveilan dapat dipakai untuk menentukan

kebutuhan akan upaya kesehatan masyarakat atau menilai efektifitas dari

suatu program kesehatan masyarakat. Surveilans dipergunakan untuk mengetahui informasi

yang up to date mengenai penyakit di masyarakat, informasinya berguna untuk:

1. Memonitor program yang sedang berjalan

2. Mengevaluasi hasil program

3. Sistim kewaspadaan dini (dengan form mingguan)

Dalam pengertian diatas maka surveillans adalah pengumpulan data atau

informasi untuk menentukan tindakan.

Tujuan surveilans epidemiologi tersedianya data dan informasi epidemiologi sebagai

dasar manajemen kesehatan untuk pengambilan keputusan dalam perencanaan,

pelaksanaan, pemantauan, evaluasi program kesehatan dan peningkatan

kewaspadaan serta respon kejadian luar biasa yang cepat dan tepat secara

menyeluruh

Manfaat surveilans epidemiologi (a)Deteksi Perubahan akut dari penyakit yang terjadi

dan distribusinya (b).Identifikasi dan perhitungan trend dan pola penyakit (c).Identifikasi

kelompok risiko tinggi menurut waktu, orang dan tempat (d).Identifikasi faktor risiko dan

5

penyebab lainnya (e).Deteksi perubahan pelayanan kesehatan yang terjadi (f).Dapat

memonitoring kecenderungan penyakit endemis (g).Mempelajari riwayat alamiah penyakit

dan epidemiologinya (h).Memberikan informasi dan data dasar untuk proyeksi kebutuhan

pelayanan kesehatan dimasa datang (i).Membantu menetapkan masalah kesehatan prioritas

dan prioritas sasaran program pada tahap perencanaan. Inti kegiatan surveilans pada

akhirnya adalah bagaimana data yang sudah dikumpul, dianalisis, dan dilaporkan ke

stakeholder atau pemegang kebijakan untuk ditindaklanjuti dalam pembuatan program

intervensi yang lebih baik untuk menyelesaikan masalah kesehatan di Indonesia

Contoh kerangka berfikir dalam surveilance :

2. Bagaimana cara melakukan surveilans epidemiologi berdasarkan :

6

a. Cara pengmbilan

Jawab :

Pengumpulan data merupakan awal dari rangkaian kegiatan untuk memproses data selanj

utnya. Data yang dikumpulkan memuat informasi epidemiologi yang dilaksanakan secara 

teratur dan terus menerus dan dikumpulkan tepat waktu. Pengumpulan data dapat bersifat

pasif yang bersumber dari Rumah sakit, Puskesmas dan lain-lain, maupun aktif yang

diperoleh dari kegiatan survei (Budioro, 1997). Surveilans aktif  dilakukan dengan cara

kunjungan ke unit sumber data di puskesmas, rumah sakit, laboratorium serta langsung di

masyarakat atau sumber data lainnya  seperti pusat riset  dan penelitian yang berkaitan

secara sistematik dan terus-menerus. Menurut WHO, sumber data surveilans antara lain:

1)  Pencatatan angka kematian

2)  Laporan penyakit

3)  Laporan hasil pemeriksaan laboratorium 

4)  Penyelidikan atau laporan penyakit yang dilakukan secara perorangan

5)  Survei

6)  Penyelidikan distribusi vektor dan reservoir penyakit pada hewan

7)  Data kependudukan dan lingkungan

8)  Laporan wabah atau kejadian luar biasa (KLB)

9)  Penggunaan obat-obatan dan bahan-bahan

7

10)  Data lain serta catatan medik RS, absensi anak sekolah/ pekerja, survei rumah tangga

danlain-lain.

Sedangkan format laporan untuk pengumpulan data dari semua UPK, antara lain:

1)  SP2TP  :

- LB1 (laporan bulanan penyakit) 

- LB2 (laporan kematian bulanan)

- LB3 (laporan cakupan program triwulan) 

- LB4 (laporan obat dan logistik triwulan)

2)  SP2RS :

- RL2a (laporan bulanan jenis penyakit rawat jalan)

- RL2b (laporan bulanan jenis penyakit rawat inap) 

- RL2c (laporan bulanan PD3I yang dirawat)

3)  W1 : laporan wabah atau KLB

4)  W2 :  laporan mingguan monitor penyakit KLB

5)  SST : laporan bulanan dari surveilan sentinel penyakit tertentu

6)  Laporan kegiatan sektor terkait

7)  Laporan dari masyarakat

Dalam surveilans epidemiologi, data yang di dapat biasanya berupa masalah kesehat

an seperti kesakitan, sindrome, gangguan lingkungan sekitar atau masalah kesehatan lain

nya. Setelah itu data dapat dikumpulkan dengan dukungan berbagai sumber seperti lapor

an puskesmas, laporanrumah sakit, survey, laporan laboratorium. Pengumpulan data ini h

arus memperhatikan beberapa indikator, diantaranya jumlah atau rate ,angka kesakitan & 

angka kematian, variabel yang diperlukan dan numerator serta denumerator yang dipakai. 

Setelah dikumpulkan, data akan dilaporkan ke Pemerintah bidang kesehatan masyarakat. 

Pelaporan data bisa dalam bentuk laporan harian, mingguan dan bulanan.Pengumpula

n data dilakukan dengan mengadakan pencatatan insidensi terhadap orang-orang yang

dianggap penderita malaria atau population at risk melalui kunjungan rumah (active

surveillance) atau pencatatan insidensi berdasarkan laporan sarana pelayanan kesehatan

yaitu dari laporan rutin poli umum setiap hari, laporan bulanan Puskesmas desa dan

Puskesmas pembantu, laporan petugas surveilans di lapangan, laporan harian dari

laboratorium dan laporan dari masyarakat serta petugas kesehatan lain (pasive

surveillance). Atau dengan kata lain, data dikumpulkan dari unit kesehatan sendiri dan

8

dari unit kesehatan yang paling rendah, misalnya laporan dari Pustu, Posyandu, Barkesra,

Poskesdes (Arias, 2010).

Proses pengumpulan data diperlukan sistem pencatatan dan pelaporan yang baik. Secara

umum pencatatan di Puskesmas adalah hasil kegiatan kunjungan pasien dan kegiatan luar

gedung. Sedangkan pelaporan dibuat dengan merekapitulasi data hasil pencatatan dengan

menggunakan formulir tertentu, misalnya form W1 Kejadian Luar Biasa (KLB) , form

W2 (laporan mingguan) dan lain-lain (Noor, 2000).

b. Cara pengolahan

Jawab :

Apabila datanya sederhana dan jumlah masing-masing variabel tidak terlalu banyak,

biasanya hanya dimanfaatkan tabel saja, sedangkan apabila datanya kompleks, maka

grafik dan peta dapat mempermudah memahami kecenderungan, variasi dan

perbandingan-perbandingan.

Data yang sudah terkumpul dari kegiatan diolah dan disajikan dalam bentuk tabel,

grafik (histogram, poligon frekuensi), chart (bar chart, peta/map area). Penggunaan

komputer sangat diperlukan untuk mempermudah dalam pengolahan data diantaranya

dengan menggunakan program  (software)  seperti  epid info, SPSS, lotus, exceldan lain-

lain. Dalam melakukan pengolahan data surveillance terdapat empat kriteria pengolahan

data yang baik :

Pengolahan data merupakan proses yang sangat penting dalam penelitian. Oleh karena

itu, harus dilakukan dengan baik dan benar. Kegiatan dalam proses pengolahan data

adalah :

1. Memeriksa data (editing)

Editing ialah memeriksa data yang telah dikumpulkan dengan baikberupa daftar

pertanyaan, kartu atau buku register.

Yang dilakukan pada kegiatan memeriksa data ialah :

a. Menjumlah. Menjumlah ialah menghitung banyaknya lembaran daftar pertanyaan yang

telah diisi untuk mengetahui apakah sesuai dengan jumlah yang telah ditentukan.

9

b. Koreksi. Yang termasuk dalam proses koreksi ialah proses membenarkan atau

menyelesaikan hal-hal yang salah atau kurang.

2. Memeriksa kode (coding)

Untuk mempermudaah pengolahan, sebaiknya semua variaberl diberi kode terutama

data klasifikasi, misalnya jenis kelamin diberi kode 1dan wanita diberi kode 2.

Meskipun pemberian kode dapat mempermudah pengolahan, tetapi pekerjaan ini

harus dilakukan dengan seteliti mungkin karena mudah menimbulkan kesalahan dalam

pemberian kode atau dalam memasukkan data.

Pemberian kode dapat dilakukan sebelum atau sesudah pengumpulan data

dilaksanakan. Dalam pengolahan selanjutnya kode-kode tersebut dikembalikan lagi

pada variabel aslinya.

3. Menyusun data (tabulating)/data entry.

Penyusunan data merupakan pengorganisasian data sedemikian rupa agar dengan

mudah dapat dijumlah, disusun, dan ditata untuk disajikan dan dianalisis.

c. Perencanaan

Jawab :

Tahap perencanaan adalah tahap awal dalam melakukan surveilan epidemiologi. Tahap

ini dimulai dengan penetapan tujuan, penentuan definisi kasus, perencanaan perolehan

data, teknik pengumpulan data, teknik analisis dan mekanisme penyebarluasan informasi.

d. Sumber dan evaluasi

Jawab :

Sumber data Surveilans epidemiologi meliputi :

1) Data kesakitan yang dapat diperoleh dari unit pelayanan kesehatan dan masyarakat.

2) Data kematian yang dapat diperoleh dari unit pelayanan kesehatan serta laporan dari

kantor pemerintah dan masyarakat.

10

3) Data demografi yang dapat diperoleh dari unit statistik kependudukan dan masyarakat.

4) Data geografi yang dapat diperoleh dari Unit meteorologi dan Geofisika

5) Data laboratiorium yang dapat diperoleh dari unit pelayanan kesehatan dan masyarakat

6) Data Kondisi lingkungan

7) Laporan wabah

8) Laporan Penyelidikan wabah/KLB

9) Laporan hasil penyelidikan kasus perorangan

10) Studi epidemiologi dan haisl penelitian lainnya

11) Data hewan dan vektor sumber penularan penyakit yang dapat diperoleh dari unit

pelayanan kesehatan dan masyarakat.

12) Laporan kondisi pangan

13) Data dan informasi penting lainnya.

Evaluasi Surveilans Epidemiologi :

1. Menjamin bahwa permasalahan kesehatan dipantau secara efektif dan efisien

2. Mengetahui kualitas informasi yang dihasilkan oleh sistem surveilans

3. Mengetahui peran dan dampak surveilans dalam menunjang tujuan program kesehatan

dan pembuatan kebijakan

4. Mengetahui kelebihan dan kekurangan sistem surveilans yang sedang berjalan

5. Mengetahui manfaat surveilans bagi stakeholder.

e. Analisis data

Jawab :

Analisis merupakan langkah penting dalam surveilans epidemiologi karena akan

dipergunakan untuk perencanaan, monitoring dan evaluasi serta tindakan pencegahan dan

penanggulangan penyakit. Kegiatan ini menghasilkan ukuran-ukuran epidemiologi seperti

rate, proporsi, rasio dan lain-lain untuk mengetahui situasi, estimasi dan prediksi

penyakit. Data yang sudah diolah selanjutnya dianalisis dengan membandingkan data

bulanan atau tahun-tahun sebelumnya, sehingga diketahui ada peningkatan atau

11

penurunan, dan mencari hubungan penyebab penyakit DBD dengan faktor resiko yang

berhubungan dengan kejadian DBD.

Data yang terkumpul dari kegiatan surveilans epidemiologi diolah dan disajikan

dalam bentuk tabel situasi demam berdarah tiap puskesmas, RS maupun daerah. serta

tabel endemisitas dan grafik kasus DBD per minggu/bulan/tahun. Analisis dilakukan

dengan melihat pola maksimal-minimal kasus DBD, dimana jumlah penderita tiap

tahun ditampilkan dalam bentuk grafik sehingga tampak tahun dimana terjadi terdapat

jumlah kasus tertinggi (maksimal) dan tahun dengan jumlah kasus terendah (minimal).

Kasus tertinggi biasanya akan berulang setiap kurun waktu 3–5 tahun, sehingga

kapan akan terjadi Kejadian Luar Biasa (KLB) dapat diperkirakan. Analisis juga

dilakukan dengan membuat rata–rata jumlah penderita tiap bulan selama 5 tahun, dimana

bulan dengan rata–rata jumlah kasus terendah merupakan bulan yang tepat untuk

intervensi karena bulanberikutnya merupakan awal musim penularan.

Analisis merupakan langkah penting dalam surveilans epidemiologi karena akan

dipergunakan untuk perencanaan,monitoring dan evaluasi serta tindakan pencegahan dan

penanggulangan penyakit. Kegiatan ini menghasilkan ukuran-ukuran epidemiologi seperti

rate, proporsi, rasio dan lain-lain untuk mengetahui situasi, estimasi dan prediksi

penyakit.

Dalam program pemberantasan DBD dikenal beberapa indikator yang diperoleh dari

hasil analisis data yaitu:

1. Angka kesakitan / CFR (Case Fatality Rate) merupakan  jumlah  kasus  DBD 

disuatu  wilayah tertentu selama 1 tahun tiap 100ribu penduduk.

2. Angka kematian / IR (Insidence Rate) adalah banyaknya penderita DBD yang

meninggal dari seluruh penderita DBD di suatu wilayah.

3. ABJ (Angka Bebas Jentik)/  Case fatality rate didefinisikan sebagai prosentase

rumah  yang bebas dari jentik dari seluruh rumah yang diperiksa.

Puskesmas, Rumah Sakit, Laboratorium, Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, Dinas

kesehatan Propinsi dan Ditjen PPM&PL Depkes berperan dalam penyelenggaraan

Surveilans Terpadu Penyakit bersumber data Puskesmas (STP Puskesmas), Rumah Sakit

(STP Rumah Sakit) dan Laboratorium (STP Laboratorium).

-  Unit surveilans Puskesmas

- Unit surveilans Rumah Sakit

- Unit surveilans Laboratorium

- Unit surveilans Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota 12

- Unit surveilans Dinas Kesehatan Propinsi

- Unit surveilans Ditjen PPM&PL Depkes

Interpretasi

Disamping menghasilkan informasi untuk pihak puskesmas dan DKK, informasi juga

harus disebarluaskan kepada stakeholder yang lain seperti Camat dan lurah,lembaga swadaya

masyarakat, Pokja/Pokjanal DBD dan lain-lain. Penyabarluasan informasi dapat berbentuk

laporan rutin mingguan wabah dan laporan insidentil bila terjadi KLB.

Implementasi

Data surveilans DBD didapatkan dari Ditjen PP & PL Depkes RI tahun 2009 yang

disajikan dalam bentuk tabel, grafik yang menjelaskan penyebaran penyakit DBD di

Indonesia. Penyebaran kasus DBD dilihat dari  tahun 1968 – 2009 di seluruh provinsi di

Indonesia yang disajikan dalam bentuk tabel. Dari data surveilans tersebut juga dapat dilihat

Angka Insiden ( AI ) / Insident Rate ( IR ) berdasarkan 100.000 penduduk dari tahun 1968 –

2009. JIka terjadi peningkatan kasus DBD tiap tahunnya maka harus dilakukan program

pengendalian DBD dan menjadi perhatian utama pada tingkat Kota/Kabupaten maupun

Puskesmas.

Selain itu, dengan menggunakan data surveilans, Angka Insiden pada tahun 2009 di

setiap Provinsi dapat diketahui. Hasil analisi ini dapat disajikan menggunakan grafik sehingga

dapat diketahui Provinsi mana saja yang mengalami kasus DBD tertinggi maupun terendah.

Selain Analisis data surveilans DBD menurut tempat dan waktu, analisis juga dilakukan

menurut orang dengan menghitung Angka Insiden berdasarkan kelompok umur dan  Jenis

Kelamin. Dari data yang ada, dapat dihitung pula Angka Kematian /  Case Fatality Rate

( CFR ) berdasarkan provinsi di Indonesia.

Jika data surveilans didapatkan dari laporan kasus rawat inap dan kasus rawat jalan

pasien DBD di RS dari tahun 2004-2008 dan tidak diketahui jumlah rumah sakit yang

melaporkan dari tahun ke tahun, sehingga sulit menganalisis atau menginterpretasi data

tersebut. Dari data ini tampak cukup banyak pasien DBD yang di rawat jalan, sehingga perlu

dilakukan validasi data apakah pasien rawat jalan adalah pasien kontrol pasca rawat inap saja

atau pasien lama diitambah dengan pasien baru.

Selain laporan dari Puskesmas, RS, Dinkes dll. Analisis juga dapat menggunakan

faktor- faktor yang mempengaruhi kejadian DBD seperti perubahan iklim dapat

memperpanjang masa penularan penyakit yang ditularkan melalui vektor dan mengubah luas

geografinya, dengan kemungkinan menyebar ke daerah yang kekebalan populasinya rendah

13

atau dengan infrastruktur kesehatan masyarakat yang kurang. Selain perubahan iklim faktor

risiko yang mungkin mempengaruhi penularan DBD adalah faktor lingkungan, urbanisasi,

mobilitas penduduk, kepadatan penduduk dan transportasi.

Selain itu, laporan KLB yang didapatkan dari Puskesmas, RS, Dinkes dll dapat

digunakan untuk analisis hubungannya dengan IR maupun CFR pada setiap provinsi. Yang

kemudian hasil analisis ini  dapat digunakan sebagai landasan atau acuan Puskesmas, RS,

Dinkes dll. Untuk membuat upaya program pencegahan DBD.

f. Penyebaran info dan penyimpanan

Jawab :

Penyebarluasan informasi dapat dilakukan ketingkat atas maupun ke bawah. Dalam

rangka kerja sama lintas sektoral instansi-instansi lain yang terkait dan masyarakat juga

menjadi sasaran kegiatan ini. Untuk diperlukan informasi yang informatif agar mudah

dipahami terutama bagi instansi diluar bidang kesehatan (Budioro, 1997).

Penyebarluasan informasi yang baik harus dapat memberikan informasi yang

mudah dimengerti dan dimanfaatkan dalam menentukan arah kebijakan kegiatan, upaya

pengendalian serta evaluasi program yang dilakukan. Cara penyebarluasan informasi

yang dilakukan yaitu membuat suatu laporan hasil kajian yang disampaikan kepada

atasan, membuat laporan kajian untuk seminar dan pertemuan, membuat suatu tulisan di

14

majalah rutin, memanfaatkan media internet yang setiap saat dapat di akses dengan

mudah.

3. Siapa yang berhak melakukan surveilans epidemiologi ?

Jawab :

Penyelenggaraan Surveilans Epidemiologi Kesehatan wajib dan berhak dilakukan

oleh setiap instansi kesehatan Pemerintah, instansi Kesehatan Propinsi, instansi kesehatan

kabupaten/kota dan lembaga masyarakat dan swasta baik secara fungsional atau

struktural. Surveilans idealnya dilakukan oleh seorang dokter atau epidemiologist yang

dibantu oleh staf kesehatan.

Pada kasus DBD yang bertangungjawab melakukan surveilans adalah petugas

kesehatan, juru pemantau jentik dan tim pemberantasan nyamuk di sekolah dan

masyarakat.

4. Apa saja faktor yang menghambat surveilans epidemiologi ?

Jawab :

1).Kerjasama lintas sektoral

Surveillens epidemiologi harus bekerjasama dengan berbagai sektor yang berkaitan

dengan kesehatan, kerjasama tersebut membutuhkan partisipasi yang penuh untuk

tercapainya pemecahan masalah kesehatan, kadang kala sektor yang lain mempunyai

pertisipasi yang rendah dalam kerjasama lintas sektoral tersebut.

2).Partisipasi masyarakat rendah

Surveillens epidemiologi yang memang menangani masalah kesehatan masyrakat

eharusnya benar-benar menggali informasi dari masyarakat dan penanganannyapun

hasrus dengan masyarakat, sering dijumpai partsipasi masyarakat dalam pengambilan

informasi dari petugas kesehatan berbelitbelit dan cenderung enutup-nutupi.

3).Sumber daya

- Jumlah tenaga yang kurang untuk mengcover kegiatan PE

- Banyaknya tugas rangkap.

4).Ilmu pengetahuan dan teknologi

15

Surveillans epidemiologi membutuhkan teknologi teknologi untuk mempercepat deteksi

din, analisis penanggulangan dan penanggulangan masalah kesehaatan, kondisi di

lapangan seringkali tenologi di laboratorium sering lambat sehingga mengganggu tahap

deteksi dini dan penanganan kasus akan terlambat.

5).Kebijakan

 Seringkali kebijakan dari pemerintah dirasa masih menghambat dalam pelaksanaan

surveilans. Contohnya saja baru ditangani apabila memang sudah menjadi KLB.

Birokrasi pemerintahan yang rumit sering menjadi kendala dalam melakukan surveilans.

Kebijakan yang belum dipahami petugas juga menjadi kendala dalam pelaksanaan

surveilans.

6).Dana

Kegiatan surveilans ini tidak membutuhkan dana yang sedikit juga. Sering kali

permasalahan dana menjadi penghambat dalam melakukan surveilans.

7).Jarak dan Transportasi

Lokasi yang jauh dari perkotaan dan minimnya transportasi membuat kegiatan surveilans

terhambat. Sering kali jarak membuat kegiatan surveilans berlangsung berhari-hari

karena transportasi yang minim dan jarak yang jauh. Kondisi jalan juga mempengaruhi.

8). Laporan yang tidak lengkap.

Laporan kasus rawat inap dan kasus rawat jalan pasien DBD di RS dari tahun 2004-2008

tidak diketahui. jumlah rumah sakit yang melaporkan dari tahun ke tahun, sehingga sulit

menganalisis atau menginterpretasi data tersebut. Dari data ini tampak cukup banyak

pasien DBD yang di rawat jalan, sehingga perlu dilakukan validasi data apakah pasien

rawat jalan adalah pasien kontrol pasca rawat inap saja atau pasien lama diitambah

dengan pasien baru.

9). Sistem laporan yang belum terintegrasi.

Berdasarkan laporan yang bersumber dari Ditjen.PP&PL dan laporan yang bersumber

dari Ditjen.Yanmed tampak perbedaan jumlah kasus DBD yang dilaporkan. Hal ini

16

kemungkinan karena sistem laporan DBD belum terintegrasi dan belum ada mekanisme

tukar menukar (sinkronisasi) antara data Puskesmas dan data RS di Kab/Kota. Sistem

pelaporan kasus DBD perlu diperkuat agar bisa mendapatkan data yang valid, dengan

membangun sistem tukarmenukarndata antara data Puskesmas dan data RS.

Permasalahan yang dapat menghambat surveilans:

- Data tidak dianalisis

- Feedback pada sumber data sangat jarang

- Banyak beban pada sumber data

- Pengiriman data yang kurang cepat dan tepat

5. Apa saja faktor yang mendukung surveilans epidemiologi ?

Jawab :

Pendukung surveilans yaitu pelatihan dan supervisi, penguatan laboratorium, penyediaan

sumber daya manusia dan laboratoriumnya cukup,komunikasi yang baik, dan manajemen

sumber daya,kegiatan surveilans disupervisi.

6. Apa saja syarat puskesmas untuk memiliki ruang Rawat Inap ?

Jawab :

Beberapa kriteria Puskesmas Rawat Inap, sebagai sebuah Pusat Rujukan Antara bagi

penderita gawat darurat sebelum dibawa ke RS, antara lain sebagai berikut:

Puskesmas terletak kurang lebih 20 km dari Rumah Sakit

Puskesmas mudah dicapai dengan kendaraan bermotor

Puskesmas dipimpin oleh dokter dan telah mempunyai tenaga yang memadai

Jumlah kunjungan Puskesmas minimal 100 orang per hari

Penduduk wilayah kerja Puskesmas dan penduduk wilayah 3 Pus kesmas di sekitarnya

minimal 20.000 jiwa per Puskesmas

Pemerintah Daerah bersedia menyediakan dana rutin yang memadai.

17

7. Jelaskan perbedaan KLB dan Wabah!

Jawab :

Wabah merupakan kejadian berjangkitnya suatu penyakit menular di masyarakat yang

jumlah penderitanya secara nyata meningkat melebihi dari pada keadaan yang lazim pada

waktu dan daerah tertentu serta menimbulkan malapetaka (UU N0 4, 1984). Di dalam

membahas wabah ditemukan istilah “Herd Immunity”. Herd Immunity menjelaskan

bentuk kekebalan yang terjadi ketika vaksinasi dari sebagian besar dari penduduk (atau

kelompok) memberikan ukuran perlindungan bagi individu yang belum mengembangkan

kekebalan. Teori kekebalan Herd menyatakan bahwa dalam penyakit menular yang

ditularkan dari individu ke individu rantai infeksi mungkin akan terganggu ketika sejumlah

besar populasi kebal terhadap penyakit. Semakin besar proporsi individu yang kebal,

semakin kecil kemungkinan bahwa individu rentan akan datang ke dalam kontak dengan

individu menular.

Status Kejadian Luar Biasa diatur oleh Peraturan Menteri Kesehatan RI No.

949/MENKES/SK/VII/2004 yaitu timbulnya atau meningkatnya kejadian kesakitan atau

kematian yang bermakna secara epidemiologis pada suatu daerah dalam kurun waktu

tertentu. Suatu penyakit atau keracunan dapat dikatakan KLB apabila memenuhi kriteria

sebagai berikut :

1. Timbulnya suatu penyakit/penyakit menular yang sebelumnya tidak ada/tidak dikenal.

2. Peningkatan kejadian penyakit/kematian terus-menerus selama 3 kurun waktu

berturut-turut menurut jenis penyakitnya (jam, hari, minggu, bulan, tahun).

3. Peningkatan kejadian penyakit/kematian, dua kali atau lebih dibandingkan dengan

periode sebelumnya (hari, minggu, bulan, tahun).

4. Jumlah penderita baru dalam satu bulan menunjukkan kenaikan dua kali lipat atau

lebih bila dibandingkan dengan angka rata-rata perbulan dalam tahun sebelumnya.

5. Angka rata-rata perbulan selama satu tahun menunjukkan kenaikan dua kali lipat atau

lebih dibandingkan dengan angka rata-rata per bulan dari tahun sebelumnya.

6. Case Fatality Rate (CFR) dari suatu penyakit dalam suatu kurun waktu tertentu

menunjukkan kenaikan 50% atau lebih dibanding dengan CFR dari periode sebelumnya.

7. Propotional rate (PR) penderita baru dari suatu periode tertentu menunjukkan

kenaikan dua kali atau lebih dibanding periode yang sama dan kurun waktu atau tahun

sebelumnya.18

8. Beberapa penyakit khusus : kolera, DHF/DSS

Setiap peningkatan kasus dari periode sebelumnya (pada daerah endemis).

Terdapat satu atau lebih penderita baru dimana pada periode 4 minggu

sebelumnya daerah tersebut dinyatakan bebas dari penyakit yang bersangkutan.

9. Beberapa penyakit yang dialami 1 atau lebih penderita :

Keracunan makanan

Keracunan pestisida

Wabah harus mencakup:

- Jumlah kasus yang besar.

- Daerah yang luas .

- Waktu yang lebih lama.

- Dampak yang timbulkan lebih berat.

8. Bagaimana cara penyelidikan KLB dan Wabah ?

Jawab :

Langkah Investigasi wabah

Langkah melakukan investigsi wabah dilakukan dengan menggunakan pendekatan yang

sistemik yang terdiri dari : 

4. Persiapan Investigasi di Lapangan

Persiapan dapat dikelompokkan dalam 3 kategori yaitu:

a)    Investigasi           : pengetahuan ilmiah perlengkapan dan alat

b)    Administrasi        : prosedur administrasi termasuk izin dan pengaturan perjalanan

c)    Konsultasi           : peran masing – masing petugas yang turun kelapangan19

5. Pemastian Adanya Wabah

Dalam mementukan apakah wabah, perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut :

a)    Dengan membandingkan jumlah yang ada saat itu dengan jumlah beberapa minggu atau

bulan sebelumnya.

b)    Menentukan apakah jumlah kasus yang ada sudah melampaui jumlah yang diharapkan.

c)    Sumber informasi bervariasi bergantung pada situasinya

Catatan hasil surveilans

Catatan keluar dari rumah sakit, statistic kematian, register, dan lain-lain.

Bila data local tidak ada, dapat digunakan rate dari wilayah di dekatnya atau data

nasional.

Boleh juga dilaksanakan survey di masyarakat menentukan kondisi penyakit yang

biasanya ada.

d)    Pseudo endemik ( jumlah kasus yang dilaporkan belum tentu suatu wabah ) :

Perubahan cara pencatatan dan pelaporan penderita

Adanya cara diagnosis baru

Bertambahnya kesadaran penduduk untuk berobat

Adanya penyakit lain dengan gejala yang serupa

Bertambahnya jumlah penduduk yang rentan

6. Pemastian Diagnosis

Semua temuan secara klinis harus dapat memastikan diagnosis wabah, hal yang harus

diperhatikan adalah sebagai berikut :

a)    Untuk memastikan bahwa masalah tersebut telah didiagnosis dengan patut

b)    Untuk menyingkirkan kesalahan laboraturium yang menyebabkan peningkatan kasus

yang dilaporkan

c)    Semua temuan klinis harus disimpulakan dalam distribusi frekuensi

20

d)    Kunjungan terhadap satu atau dua penderita

7. Pembuatan Definisi Kasus

Pembuatan definisi kasus adalah seperangkat criteria untuk menentukan apakah seseorang

harus dapat diklasifikasikan sakit atau tidak. Kriteria klinis dibatasi oleh waktu, tempat, dan

orang. Penyelidikan sering membagi kasus menjadi

pasti ( compirmed), mungkin ( probable), meragukan ( possible ), sensivitasdan spefsifitas.

8. Penemuan dan Penghitungan Kasus

Metoda untuk menemukan kasus yang harus sesuai dengan penyakit dan kejadian yang

diteliti di fasilitas kesehatan yang mampu memberikan diagnosis. Informasi berikut ini

dikumpulakan dari setiap kasus :

a)    Data identifikasi ( nama, alamat, nomor telepon )

b)    Data demografi ( umur, jenis kelamin, ras, dan pekerjaan )

c)    Data klinis

d)    Faktor risiko, yang harus dibuat khusus untuk tiap penyakit

e)    Informasi pelapor untuk mendapatkan informasi tambahan atau member umpan balik

2. Epidemiologi Deskriptif

Gambaran wabah berdasarkan waktu

Perjalanan wabah berdasarkan waktu digamabarkan dengan grafik histogram yang

berbentuk kurva epidemic, gambaran ini membantu :

a)    Member informasi samapai dimana proses wabah itu dan bagaimana kemungkinan

kelanjutannya

b)    Memperkirakan kapan pemaparan terjadi dan memusatkan penyelidikan pada periode

tersebut, bila telah diketahui penyakit dan masa inkubasinya.

c)    Menarik kesimpulan tentang pola kejadian, dengan demikian mengetahui apakah

bersumber tunggal, ditularkan dari orang ke orang, atau campuran keduanya

Kemungkinan periode pemaparan dapat dilakukan dengan :

21

a)    Mencari masa inkubasi terpanjang, terpendek, dan rata-rata

b)    Menentukan puncak wabah atau kasus mediannya, dan menghitung mundur satu masa

inkubasi rata-rata

c)    Dari kasus paling awal kejadian wabah, dihitung mundur masa inkubasi terpendek

Masa inkubasi penyakit adalah waktu antara masuknya agens penyakit sampai timbulnya

gejala pertama. Informasi tentang masa inkubasi bermanfaat billa penyakit belum diketahui

sehingga mempersempit diagnosis diferensial dam memperikan periode pemaparan. Cara

menghitung median masa inkubasi :

a)    Susunan teratur ( array) berdasarkan waktu kejadiannya

b)    Buat frekuensi kumulatifnya

c)    Tentukan posisi kasus paling tengah

d)    Tentukan kelas median

e)    Median masa inkubasiditentukan dengan menghitung jarak antara waktu pemaparan

dan kasus median

Gambaran wabah berdasarkan tempat

Gambaran wabah berdasarkan tempat menggunakan gambaran grafik berbentuk Spot map.

Grafik ini menunjukkan kejadian dengan titik/symbol tempat tertentu yang menggambarkan

distribusi geografi suatu kejadian menurut golongan atau jenis kejadian namun mengabaikan

populasi.

Gambaran wabah berdasarkan ciri orang

Variable orang dalam epidemiologi adalah karakteristik individu yang ada hubungannya

dengan keterpajanan atau kerentanan terhadapa suatu penyakit.Misalnya karakteristik inang

( umur, jenis kelamin, ras/suku, status kesehatan) atau berdasarkan pemaparan ( pekerjaan,

penggunaan obat-obatan)

3. Pembuatan Hipotesis

22

Dalam pembuatan suatu hipotesis suatu wabah, hendaknya petugas memformulasikan

hipotesis meliputi sumber agens penyakit, cara penularan, dan pemaparan yang

mengakibatkan sakit.

a)    Mempertimbangkan apa yang diketahui tentang penyakit itu:

Apa reservoir utama agen penyakitnya?

Bagaimana cara penularannya?

Bahan apa yang biasanya menjadi alat penularan?

Apa saja faktor yang meningkatkan risiko tertular?

b)    Wawancara dengan beberapa penderita

c)    mengumpulkan beberapa penderita mencari kesamaan pemaparan.

d)    Kunjungan rumah penderita

e)    Wawancara dengan petugas kesehatan setempat

f)     Epidemiologi diskriptif

4. Penilaian Hipotesis

Dalam penyelidikan lapangan, hipotesis dapat dinilai dengan salah satu dari dua cara

a)    Dengan membandingkan hipotesis dengan fakta yang ada, atau

b)    Dengan analisis epidemiologi untuk mengkuantifikasikan hubungan dan menyelidiki

peran kebetulan.

c)    Uji kemaknaan statistik, Kai kuadrat. 

5. Perbaikan hipotesis dan penelitian tambahan

Dalam hal ini penelitian tambahan akan mengikuti hal dibawah ini

a)    Penelitian Epidemiologi ( epidemiologi analitik )

b)    Penelitian Laboratorium ( pemeriksaan serum ) dan Lingkungan (pemeriksaan tempat

pembuangan tinja )

23

6. Pengendalian dan Pencegahan

Pengendalian seharusnya dilaksanakan secepat mungkin upaya penanggulangan  biasanya

hanya dapat diterapkan setelah sumber wabah diketahui Pada umumnya, upaya

pengendalian diarahkan pada mata rantai yang terlemah dalam penularan penyakit. Upaya

pengendalian mungkin diarahkan pada agen penyakit, sumbernya, atau reservoirnya.

7. Penyampaian Hasil Penyelidikan

Penyampaian hasil dapat dilakukan dengan dua cara pertama Laporan lisan pada pejabat

setempat dilakukan di hadapan pejabat setempat dan mereka yang bertugas mengadakan

pengendalian dan pencegahan dan yang kedua laporan tertulis.Penyamapin penyelidikan

diantaranya

a)    Laporan harus jelas, meyakinkan, disertai rekomendasi yang tepat dan beralasan

b)    Sampaikan hal-hal yang sudah dikerjakan secara ilmiah; kesimpulan dan saran harus

dapat dipertahankan secara ilmiah

c)    Laporan lisan harus dilengkapi dengan laporan tertulis, bentuknya sesuai dengan tulisan

ilmiah (pendahuluan, latar belakang, metodologi, hasil, diskusi, kesimpulan, dan saran)

d)    Merupakan cetak biru untuk mengambil tindakan

e)    Merupakan catatan dari pekerjaan, dokumen dari isu legal, dan merupakan bahan

rujukan apabila terjadi hal yang sama di masa datang .

9. Bagaimana cara pelaporan KLB ?

Jawab :

Laporan kewaspadaan KLB adalah cara deteksi dini adanya KLB merupakan laporan

adanya seorang atau sekelompok penderita atau tersangka penderita penyakit berpotensi

KLB pada suatu daerah atau lokasi tertentu. lsi laporan kewaspadaan terdiri dari jenis

penyakit: gejala-gejala penyakit; desa/lurah' kecamatan dan kabupaten/kota tempat

kejadian; waktu kejadian; jumlah penderita dan jumlah meninggal.

Perorangan dan organisasi yang wajib membuat Laporan Kewaspadaan KLB antara

lain :

(1). Orang yang mengetahui adanya penderita atau tersangka penderita penyakit berpotensi

KLB, yaitu orang tua penderita atau tersangka penderita, orang dewasa yang tinggal

24

serumah dengan penderita atau tersangka penderita' Ketua Rukun Tetangga, Ketua

Rukun Warga, Ketua Rukun Kampung atau Kepala Dukuh yang mengetahui adanya

penderita atau tersangka penderita tersebut.

(2). Petugas kesehatan yang memeriksa penderita' atau memeriksa bahan-bahan

pemeriksaan penderita penyakit berpotensi KLB yaitu dokter atau petugas kesehatan,

dokter hewan yang memeriksa hewan sumber penyakit menular berpotensi KLB dan

petugas laboratorium yang memeriksa spesirllen penderita tau tersangka penderita

penyakit berpotensi KLB.

(3). Kepala stasiun kereta api, kepala pelabuhan laut, kepala Bandar udara, kepala terminal

kendaraan bermotor' kepala asrama. kepala sekolah, pimpinan perusahaan, kepala

kantor pemerintah dan swasta, kepala Unit Pelayanan Kesehatan.

(4). Nakhoda kapal, pilot pesawat terbang, dan pengemudi angkutan darat

Laporan kewaspadaan dini DBD (KD/RS DBD) adalah laporan segera (paling lambat

dikirimkan dalam 24 jam setelah penegakkan diagnosis) tentang adanya penderita

termasuk tersangka DBD agar segera dapat dilakukan tindakan atau langkah-langkah

penanggulangan seperlunya.

Alur pelaporan Demam Berdarah Dengue yaitu : (Depkes RI, 2005).

a. Pelaporan Rutin

1. Pelaporan dari unit pelayanan kesehatan (selain puskesmas)

2. Pelaporan dari puskesmas ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota

3. Pelaporan dari Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota ke Dinas Kesehatan Propinsi.

4.Pelaporan dari Dinas Kesehatan Propinsi ke Pusat (Subdit Arbovirus, Ditjen P2M&PL).

b. Pelaporan dalam Situasi Kejadian Luar Biasa

1. Pelaporan dari unit pelayanan kesehatan (selain puskesmas)

2. Pelaporan dari puskesmas ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota

3. Pelaporan dari Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota ke Dinas Kesehatan Propinsi.

4. Pelaporan dari dinas Kesehatan Propinsi ke Pusat (Subdit Arbovirus, Ditjen

P2M&PL).

c. Umpan Balik

25

Umpan balik pelaporan perlu dilaksanakan guna meningkatkan kualitas dan

memelihara kesinambungan pelaporan, kelengkapan dan ketepatan waktu pelaporan

serta analisis terhadap laporan. Frekuensi umpan balik oleh masing-masing tingkat

administrasi dilaksanakan setiap tiga bulan minimal dua kali dalam setahun.

Penilaian kinerja program pencegahan penyakit DBD indikator kinerja :  

 

1) Jumlah penderita DBD yang ditangani sesuai standar

‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ X 100% 

  Jumlah penderita DBD dalam kurun waktu yang sama 

2) Jumlah tersangka DBD yang ditangani sesuai kriteria

‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐  X 100% 

  Jumlah tersangka DBD dalam kurun waktu yang sama 

10. Jelaskan tugas wajib dokter puskesmas mengenai KLB ?

Jawab :

Melakukan penatalaksanaan masalah kesehatan individu, keluarga dan Masyarakat yaitu

membuat surat keterangan medis seperti laporan kejadian luar biasa ,surat keterangan

sakit, sehat,kematian, , laporan medikolegal serta keterangan medis lain sesuai

kewenangannya termasuk visum et repertum dan identifikasi jenasah.

11. Faktor yang menyebabkan KLB ???

Jawab :

a. Herd Immunity yang rendah

Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi timbulnya KLB/Wabah adalah Herd

Immunity. Secara umum dapat dikatakan bahwa herd immunity ialah kekebalan yang

dimiliki oleh sebagian penduduk yang dapat menghalangi penyebaran. Hal ini dapat

disamakan dengan tingkat kekebalan individu yaitu makin tinggi tingkat kekebalan

seseorang, makin sulit terkena penyakit tersebut. Demikian pula dengan herd immunity,

makin banyak proporsi penduduk yang kebal berarti makin tinggi tingkat herd immunity-

nya hingga penyebaran penyakit menjadi semakin sulit.

26

Kemampuan mengadakan perlingangan atau tingginya herd immunity untuk menghindari

terjadi epidemi bervariasi untuk tiap penyakit tergantung pada:

Proporsi penduduk yang kebal,

Kemampuan penyebaran penyakit oleh kasus atau karier, dan

Kebiasaan hidup penduduk.

Pengetahuan tentang herd immunity bermanfaat untuk mengetahui bahwa menghindarkan

terjadinya epidemi tidak perlu semua penduduk yang rentan tidak dapat dipastikan, tetapi

tergantung dari jenis penyakitnya, misalnya variola dibutuhkan 90%-95% penduduk

kebal.

b. Patogenesitas

Kemampuan bibit penyakit untuk menimbulkan reaksi pada pejamu sehingga timbul

sakit.

c. Lingkungan Yang Buruk

Seluruh kondisi yang terdapat di sekitar organisme tetapi mempengaruhi kehidupan

ataupun  perkembangan organisme tersebut. (Notoatmojo, 2003)

12. Bagaiman cara penanggulangan dan pencegahan KLB ?

Jawab :

a) Masa pra KLB

Informasi kemungkinan akan terjadinya KLB/wabah adalah dengan melaksanakan Sistem

Kewaspadaan Dini secara cermat, selain itu melakukan langkah-langkah lainnya : 

1)      Meningkatkan kewaspadaan dini di puskesmas baik SKD, tenaga dan logistik. 

2)      Membentuk dan melatih TIM Gerak Cepat puskesmas.

3)      Mengintensifkan penyuluhan kesehatan pada masyarakat 

4)      Memperbaiki kerja laboratorium

5)      Meningkatkan kerjasama dengan instansi lain 

b)        Tim Gerak Cepat (TGC)

27

Sekelompok tenaga kesehatan yang bertugas menyelesaikan pengamatan dan

penanggulangan wabah di lapangan sesuai dengan data penderita puskesmas atau data

penyelidikan epideomologis. Tugas /kegiatan :

1)        Pencarian penderita lain yang tidak datang berobat.

2)        Pengambilan usap dubur terhadap orang yang dicurigai terutama anggota

keluarga. Pengambilan contoh air sumur, sungai, air pabrik dan lain-lain yang diduga

tercemari dan sebagai sumber penularan.

3) Pelacakan kasus untuk mencari asal usul penularan dan mengantisipasi

penyebarannya. Pencegahan dehidrasi dengan pemberian oralit bagi setiap penderita

yang ditemukan di lapangan.

4)        Penyuluhan baik perorang maupun keluarga dan membuat  laporan tentang 

kejadian wabah dan cara penanggulangan secara lengkap.

c)         Upaya penanggulangan wabah dapat meliputi:

1)        Penyelidikan epidemiologis;

1. Mengetahui sebab-sebab penyakit wabah

2. Menentukan faktor penyebab timbulnya wabah

3. Mengetahui kelompok masyarakat yang terancam terkena wabah

4. Menentukan cara penanggulangan wabah

Kegiatan yang dilakukan dengan penyelidikan epidemiologis adalah sebagai berikut :

Mengumpulkan data morbiditas dan mortalitas penduduk

Pemeriksaan klinis, fisik, laboratorium dan penegakan diagnosis

Pengamatan terhadap penduduk, pemeriksaan, terhadap makhluk hidup dan benda-benda

yang ada di suatu wilayah yang diduga mengandung penyebab penyakit wabah

2)        Pemeriksaan, pengobatan, perawatan, dan isolasi penderita, termasuk tindakan

karantina, tujuannya adalah :

1. Memberikan pertolongan medis kepada penderita agar sembuh dan mencegah

agar mereka tidak menjadi sumber penularan.

2. Menemukan dan mengobati orang yang tampaknya sehat, tetapi mengandung

penyebab penyakit sehingga secara potensial dapat menularkan penyakit (carrier).

3)        Pencegahan dan pengebalan ; tindakan-tindakan yang dilakukan untuk

memberi perlindungan kepada orang-orang yang belum sakit, tetapi mempunyai

resiko terkena penyakit.

28

4)        Pemusnahan penyebab penyakit, terutama pemusnahan terhadap bibit

penyakit/kuman dan hewan tumbuh-tumbuhan atau benda yang mengandung bibit

penyakit.

5)        Penanganan jenazah akibat wabah ; penanganan jenazah yang kematiannya

disebabkan oleh penyakit yang menimbulkan wabah atau jenazah yang merupakan

sumber penyakit yang dapat menimbulkan wabah harus dilakukan secara khusus

menurut jenis penyakitnya tanpa meninggalkan norma agama serta harkatnya sebagai

manusia. Penanganan secara khusus itu meliputi pemeriksaan jenazah oleh petugas

kesehatan dan perlakuan terhadap jenazah serta sterilisisasi bahan-bahan dan alat yang

digunakan dalam penanganan jenazah diawasi oleh pejabat kesehatan.

6)        Penyuluhan kepada masyarakat, yaitu kegiatan komunikasi yang bersifat

persuasif edukatif tentang penyakit yang dapat menimbulkan wabah agar mereka

mengerti sifat-sifat penyakit, sehingga dapat melindungi diri dari penyakit tersebut

dan apabila terkena, tidak menularkannya kepada orang lain. Penyuluhan juga

dilakukan agar masyarakat dapat berperan serta aktif dalam menanggulangi wabah.

7)        Upaya penanggulangan lainya adalah tindakan-tindakan khusus masing-masing

penyakit yang dilakukan dalam rangka penanggulangan wabah.

13. Penyakit apa saja yang berpotensi sbg KLB ?

Jawab :

Penyakit-penyakit menular yang wajib dilaporkan adalah penyakit-penyakit yang

memerlukan kewaspadaan ketat yang merupakan penyakit-penyakit wabah atau yang

berpotensi wabah atau yang dapat menimbulkan kejadian luar biasa (KLB).

Penyakit-penyakit menular dikelompokkan sebagai berikut:

1. Penyakit karantina atau penyakit wabah penting antara lain adalah:

• DHF • Campak • Rabies

• Tetanus Neonatorum • Diare • Pertusis

• Poliomyelitis

2. Penyakit potensi wabah/KLB yang menjalar dalam waktu cepat atau mempunyai

mortalitas tinggi, dan penyakit yang telah masuk program eradikasi/eliminasi dan

memerlukan tindakan segera:

• Malaria • Frambosia • Influenza

• Anthrax • Hepatitis • Typhus abdominalis29

• Meningitis • Keracunan • Encephalitis

• Tetanus

3. Penyakit-penyakit potensial wabah/KLB lainnya dan beberapa penyakit penting.

Penyakit-penyakit menular yang tidak berpotensi menimbulkan wabah dan KLB tetapi

diprogramkan, ditingkat kecamatan dilaporkan secara bulanan melalui RR terpadu

Puskesmas ke Kabupaten, dan seterusnya secara berjenjang sampai ke tingkat pusat.

Penyakit-penyakit tersebut meliputi : Cacing, Lepra, Tuberculosa, Syphilis, Gonorhoe,

Filariasis & AIDS, dll. Sehingga petugas Poskesdes diharapkan melaporkan kejadian-

kejadian penyakit ini ke tingkat Kecamatan/Puskesmas jika.

Dari penyakit-penyakit diatas, pada keadaan tidak ada wabah/KLB secara rutin

hanya yang termasuk kelompok 1 dan kelompok 2 yang perlu dilaporkan secara mingguan.

Bagi penyakit kelompok 3 dan kelompok 4 bersama-sama penyakit kelompok 1 dan 2

secara rutin dilaporkan bulanan ke Puskesmas.

Jika peristiwa KLB atau wabah dari penyakit yang bersangkutan sudah berhenti

(incidence penyakit sudah kembali pada keadaan normal), maka penyakit tersebut tidak

perlu dilaporkan secara mingguan lagi. Sementara itu, laporan penyakit setiap bulan perlu

dilaporkan ke Puskesmas oleh Bidan desa/petugas di Poskesdes.

14. Apa saja faktor penghambat penyelidikan KLB ?

Jawab :

a. Kelengkapan keakuratan data yang kurang karena biasanya pengisian formulir

dilakukan secara manual.

b. Validasi data yang lama karena alur data yang ada.

c. Partisipasi lintas sektor masih rendah. Rumah sakit merupakan sumber utama data kasus

DBD, karena fasilitas laboratoriumnya mampu mendeteksi kasus DBD dengan lebih

baik. Namun seringnya kasus DBD yang dilaporkan terlambat ke Dinas Kesehatan atau

Puskesmas, sehingga kegiatan PE yang seharusnya dilakukan maksimal 2 x 24 jam

menjadi terlambat. Dukungan sektor lain seperti sekolah, kecamatan dan kelurahan dalam

menggerakkan masyarakatnya untuk melakukan kegiatan pemberantasan sarang nyamuk

belum optimal.

d. Partisipasi Masyarakat: Hampir semua puskesmas pernah mengalami kesulitan untuk

melakukan PE ke Masyarakat, petugas kesulitan masuk ke rumah rumah warga untuk

melakukan pemantuan jentik dan pencarian tersangka kasus DBD, karena ada warga

yang tidak mau untuk berpartisipasi.

30

e. Sumber Daya

f. Kemampuan Laboratorium

Belum semua Puskesmas mampu untuk melakukan diagnosa kasus DBD secara

berdasarkan hasil Laboratorium. Sarana Laboratorium dan tenaga laboran masih terbatas.

Kondisi ini akan menyebabkan kemampuan deteksi dini kasus DBD menjadi rendah,

yang pada akhirnya penanganan kasus DBD secara intensif terlambat. Mengingat Kota

Semarang merupakan daerah endemis tinggi penyakit DBD, maka sebaiknya seluruh

Puskesmas laboratorium yang mempunyai kemampuan mendeteksi penyakit DBD secara

serologis.

g. Keterlambatan pelaporan tentang kasus KLB

h. Kekurang pengetahuan masyarakat tentang KLB

i. Kurangnya kerjasama masyarakat dengan petugas kesehatan

15. Apa tujuan penyelidikan KLB ?

Jawab :

Tujuan Umum :

• Mencegah meluasnya (penanggulangan).

• Mencegah terulangnya KLB di masa yang akan datang (pengendalian).

Tujuan khusus :

Diagnosis kasus yang terjadi dan mengidentifikasi enyebab penyakit .

Untuk mengidentifikasi adanya ancaman KLB

Memastikan bahwa keadaan tersebut merupakan KLB

Mengidentifikasikan sumber dan cara penularan

Mengidentifikasi keadaan yang menyebabkan KLB Terselenggaranya kesiagaan

menghadapi kemungkinan KLB

Untuk mendeteksi dari adanya kondisi rentan KLB

Untuk mendeteksi secara dini adanya KLB

Terselenggara penyelidikan dugaan KLB.

Untuk mengetahui populasi resiko tinggi

Untuk merencanakan tindakan / penanggulangan selanjutnya

Untuk merencanakan tindakan pencegahan.

31

Mengidentifikasikan populasi yang rentan atau daerah yang beresiko akan terjadi

KLB .

16. Kegiatan statistik apa yang terkait dengan surveilans ?

Jawab :

a. PENGUMPULAN DATA

Dalam statistik dikenal ada banyak data yang bias kita peroleh dalam proses

pengupulan data yaitu

- Data mentah dan data terorganisir

- Data kuantitatif dan kualitatif

- Data kontinyu dan data diskrit

- Data numeric dan data nominal

- Data dikotomi dan data kategori banyak

- Data primer dan data sekunder

Dalam kegiatan surveilans biasanya digunakan data dua bentuk data yaitu data

primer yang diperoleh langsung dari subjek penelitian dengan menggunakan alat

pengukuran atau alat pengambil data seperti survei-survei, dan lain-lain (suerveilans

aktif) dan data sekunder yaitu data yang dipeoleh dari pihak lain, misal Rumah Sakit,

Puskesmas (surveilans pasif)

Metode Pengumpulan Data

1.wawancara/interview

2.observasi (dilakukan dengan penciuman, penglihatan, pendengaran, peraba dan

pengecap. Kegiatan observasi meliputi mencatat, pertimbangan, dan penilaian.

Instrumen observasi berupa format atau blanko pengamatan. Format berisi item-item

tentang kejadian atau tingkah laku yang digambarkan akan terjadi. Alat yang

digunakan dalam melakukan obervasi adalah

a. check list : daftar pengecek, berisi subjek dan identitas lain dar sasaran pengamatan

b. Skala penilaian : daftar berisi ciri-ciri tingkah laku c. Daftar riwayat

kelakuan/ancdotal scale : catatan tingkah laku seseorang yang khas dibuat oleh guru,

direktur, pendeta, kepala setempat d. Alat-alat mekanik : kamera, film, tape recorder.

televisi)

3.dokumentasi (kegiatan mencari data atau variabel dai sumber berupa catatan,

tranksrip, buku, surat kabar, majalah, prasasri, notulen rapat, agenda, dsb. Yang

diamati adalah benda mati.

4.pemeriksaan (pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan lanjutan)

32

5.diskusi kelompok ( menggunakan penelitian kuantitatif. Diskusi dilakukan untuk

menggali informasi secara mendalam mengenai topik tertentu)

6.tes/ujian ( pengetahuan seorang individu tentang suatu hal/penyakit tertetntu)

Alat pengumpul Data

1. Angket

a. Angket terbuka : memberi kesempatan responden menjawab kalimatnya

sendiri

b. Angket tertutup : responden tinggal memilih jawaban

2. Kuisioner

Terdapat pengujian atas validitas( menunjukkan alat ukur benar-benar mengukur

apa yang dikur anak bb nya 20 kg, maka timbangan yang digunakan untuk

menimbang anak itu menunjukkan berat 20 kg bukan 19.5 atau 20.5) dan

reliabilitas (sejauh mana alat pngukur dapat dipercaya bila tinggi seorang anak

diukur 140 cm, maka bila diukur berkali-kali hasil tetap akan sama).

Data yang didapatkan lalu diolah berdasarkan desain penelitian dalam statistik. Ada

beberapa desain penelitian yang biasa digunakan dalam proses pengolahan data

1. Observasional

a. Studi potong lintang (cross sectional)

Peneliti hanya melakukan observasi dan pengukuran variabel pada satu saat

tertentu saja.

b. Studi kasus – kontrol (case control)

Membandingkan dua kelompok yaitu kelompok kasus dan kontrol, kemudian

ditelusuri secara retrospektif(pengukuran efek lebih dahulu, baru menuntut ke

belakang untuk mengukur variabel bebas/faktor risiko) ada tidaknya faktor

risiko yang berperan. Kelompok kasus merupakan penderita penyakit/efek

positif, sedangkan kelompok kontrol merupakan kelompok yang tidak

menderita penyakit/efek negatif.

c. Studi kohort

Kebalikan dengan studi kasus kontrol yang dimulai dengan identifikasi efek,

studi kohort dimulai dengan mengidentifikasi faktor risiko timbulnya efek.

Selanjutnya diikuti selama periode waktu tertenu untuk mencari ada tidaknya

efek. Terdapat dua kelompok yang sebanding yaitu kelompok terpajan sebagai

subjek yang diteliti dan kelompok yang tidak terpajan sebagai kontrol

2. Eksperimental

33

a. Pra eksperimen

- One shot case study (x) >------ O

- One grup pre and posttest design O>----(x)>-----O

- Static group comparison

(X) >---- O

(-) >----- O

b. Eksperimen murni (true eksperimen)

- Rancangan eksperimen sederhana (posttest only with control group

design) acak

(X) >---- O

(-) >----- O

- Rancangan eksperimen Ulang (pretest-posttest with control group design

acak

O1>----(x)>-----O2

O3>----(-)>-----O4

- Rancangan eksperimen salomon four hroup design acak

O1>----(x)>-----O2

O3>----(-)>-----O4

(x)>-----O5

(-)>-----O6

c. Eksperimen Semu (Quasi eksperimen)

- Rancangan eksperimen Ulang Non-random ( Nonrandomized pretest-

posttest with control group design)

O1>----(x)>-----O2

O3>----(-)>-----O4

- Rancangan eksperimen Seri (Time series design )

O>---- O>---- O>----(x)>----- O>---- O>---- O>----

- Rancangan eksperimen Seri Ganda(Multipe time series design)

O>---- O>---- O>----(x)>----- O>---- O>---- O>----

O>---- O>---- O>----(x)>----- O>---- O>---- O>----

3. Desain khusus

34

a. Uji diagnostik

b. Meta analisis

c. Analisis kesintasan (survival analisis)

b. PENGOLAHAN DATA dan PENYAJIAN DATA

Data disajikan dalam bentuk :

1. Tekstular

2. Tabular

3. Grafikal

c. ANALISA DATA

Melakukan analisis data berdasarkan uji statistic. Terdapat tida macam analisis data :

1. Analisis univariat

Data yang diperoleh dari hasil pengumpulan dapat disajikan dalam entuk table

distribusi frekuensi, ukuran tendensi sentral atau grafik.

2. Analisis bivariate

Analisis untuk mengetahui interaksi Antara dua variable, baik berupa komparatif,

asositif maupun korelatif

3. Analisis multivariat

Uji multivariate yang sering digunakan adalah anova(analysis of varian), regresi

berganda(multiple) dan regresi logistic.

Uji anova mengetahui perbedaan antarhal dengan jumlah kelompok atau

perlakuan lebih dari dua macam, dan skala pengukuran numeric.

Uji regresi berganda memperediksi nilai variable terikat bilavariabel bebas

yang jumlah lebih dari satu telah diketahui

Uji regresi logistic mengetahui faktor yang paling dominan mempengaruhi

variable terikat

17. Kegiatan statistik apa yang terkait dengan penyelidik wabah ?

Jawab :

Berdasarkan survey kebutuhan dan analisis system terhadap system surveilans dan

cara pencatatan dan pelaporan penyakit demam berdarah mulai dari masyarakat,

Puskesmas dan kemudian ke Dinas Kesehatan maka sistem yang dikembangkan adalah

suatu system informasi surveilans epidemiologi yang bersifat multi user dengan model

modular. Adapun model tersebut mencakup modul pemasukan kasus, modul pemasukan 35

pengamatan, modul masukan pengamatan jentik berkala, modul penyelidikan

Epidemiologi (PE), modul pencatatan fogging, modu lPokja DBD, modulpemasukan data

jumlahpendudukdanmodulpelaporan.

         Hasil pemasukan data dari modul modul diatas akan menghasilkan laporan laporan

yaitu: angka bebas jentik(ABJ), proporsi penyakit DBD per jenis kelamin, proporsi

penyakit DBD per golongan umur, laporan House indek, laporan incidency rate DBD,

laporan case fatality rate, laporan pelaksanaan PSN, laporan hasil PE dan laporan

pelaksanaan fogging.

18. Bagaimana tahap tahap timbulnya penyaki ?

Jawab :

Tahapan Riwayat alamiah perjalanan penyakit :

a. Tahap Pre-Patogenesa

Pada tahap ini telah terjadi interaksi antara pejamu dengan bibit penyakit. Tetapi

interaksi ini masih diluar tubuh manusia, dalam arti bibit penyakit berada di luar tubuh

manusia dan belum masuk kedalam tubuh pejamu.

Pada keadaan ini belum ditemukan adanya tanda – tanda penyakit dan daya

tahan tubuh pejamu masih kuat dan dapat menolak penyakit. Keadaan ini disebut sehat.

b. Tahap Patogenesa

36

1) Tahap Inkubasi

Tahap inkubasi adalah masuknya bibit penyakit kedalam tubuh pejamu, tetapi

gejala- gejala penyakit belum nampak.

Tiap-tiap penyakit mempunyai masa inkubasi yang berbeda, ada yang bersifat

seperti influenza, penyakit kolera masa inkubasinya hanya 1- 2 hari, penyakit Polio

mempunyai masa inkubasi 7 - 14 hari, tetapi ada juga yang bersifat menahun misalnya

kanker paru-paru, AIDS dan sebagainya.

Jika daya tahan tubuh tidak kuat, tentu penyakit akan berjalan terus yang

mengakibatkan terjadinya gangguan pada bentuk dan fungsi tubuh.

Pada suatu saat penyakit makin bertambah hebat, sehingga timbul gejalanya.

Garis yang membatasi antara tampak dan tidak tampaknya gejala penyakit disebut

dengan horison klinik.

2) Tahap Penyakit Dini

Tahap penyakit dini dihitung mulai dari munculnya gejala-gejala penyakit, pada

tahap ini pejamu sudah jatuh sakit tetapi sifatnya masih ringan. Umumnya penderita

masih dapat melakukan pekerjaan sehari-hari dan karena itu sering tidak berobat.

Selanjutnya, bagi yang datang berobat umumnya tidak memerlukan perawatan, karena

penyakit masih dapat diatasi dengan berobat jalan.

Tahap penyakit dini ini sering menjadi masalah besar dalam kesehatan

masyarakat, terutama jika tingkat pendidikan penduduk rendah, karena tubuh masih

kuat mereka tidak datang berobat, yang akan mendatangkan masalah lanjutan, yaitu

telah parahnya penyakit yang di derita, sehingga saat datang berobat sering talah

terlambat.

3) Tahap Penyakit Lanjut

Apabila penyakit makin bertambah hebat, penyakit masuk dalam tahap penyakit

lanjut. Pada tahap ini penderita telah tidak dapat lagi melakukan pekerjaan dan jika

datang berobat, umumnya telah memerlukan perawatan.

37

4) Tahap Akhir Penyakit

Perjalanan penyakit pada suatu saat akan berakhir. Berakhirnya perjalanan

penyakit tersebut dapat berada dalam lima keadaan, yaitu :

-Sembuh sempurna : penyakit berakhir karena pejamu sembuh secara sempurna, artinya

bentuk dan fungsi tubuh kembali kepada keadaan sebelum menderita penyakit.

-Sembuh tetapi cacat : penyakit yang diderita berakhir dan penderita sembuh.

Sayangnya kesembuhan tersebut tidak sempurna, karena ditemukan cacat pada pejamu.

-Karier : pada karier, perjalanan penyakit seolah-olah terhenti, karena gejala penyakit

memang tidak tampak lagi. Padahal dalam diri pejamu masih ditemukan bibit penyakit

yang pada suatu saat.

-Kronis : perjalanan penyakit tampak terhenti karena gejala penyakit tidak berubah,

dalam arti tidak bertambah berat dan ataupun tidak bertambah ringan.

-Meninggal dunia : terhentinya perjalanan penyakit disini, bukan karena sembuh, tetapi

karena pejamu meninggal dunia.

V. Sintesis

I. SURVEILAN DAN PENDEKATAN EPIDEMIOLOGI

Definisi dari Surveilans Epidemiologi

 Surveilans adalah  upaya/ sistem/ mekanisme yang dilakukan secara terus menerus

dari suatu kegiatan pengumpulan, analisi, interpretasi,dari suatu data spesifik yang digunakan

untuk perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi program ( Manajemen program kesehatan)

Istilah surveilans digunakan untuk dua hal yang berbeda.

Pertama, surveilans dapat diartikan sebagai pengawasan secara terus-menerus

terhadap faktor penyebab kejadian dan sebaran penyakit, dan yang berkaitan dengan keadaan

sehat atau sakit. Surveilans ini meliputi pengumpulan, analisis, penafsiran, dan penyebaran

data yang terkait, dan dianggap sangat berguna untuk penanggulangan dan pencegahan secara

38

efektif. Definisi yang demikian luas itu mirip dengan surveilans pada sistem informasi

kesehatan rutin, dan karena itu keduanya dapat dianggap berperan bersama-sama.

Kedua yaitu menyangkut sistem pelaporan khusus yang diadakan untuk

menanggulangi masalah kesehatan utama atau penyakit, misalnya penyebaran penyakit

menahun suatu bencana alam. Sistem surveilans ini sering dikelola dalam jangka waktu yang

terbatas dan terintegrasi secara erat dengan pengelolaan program intervensi kesehatan. Bila

informasi tentang insidens sangat dibutuhkan dengan segera, sedangkan sistem informasi

rutin tidak dapat diandalkan maka sistem ini dapat digunakan. (Vaughan, 1993).

Defenisi Surveilans epidemiologi adalah pengumpulan dan pengamatan secara

sistematik berkesinambungan, analisa dan interprestasi data kesehatan dalam proses

menjelaskan dan memonitoring kesehatan dengan kata lain surveilans epidemiologi

merupakan kegiatan pengamatan secara teratur dan terus menerus terhadap semua aspek

kejadian penyakit dan kematian akibat penyakit tertentu, baik keadaan maupun

penyebarannya dalam suatu masyarakat tertentu untuk kepentingan pencegahan dan

penanggulangan. (Noor,1997). Surveilans epidemiologi adalah pengamatan yang terus

menerus atas distribusi, dan kecenderungan suatu penyakit melalui pengumpulan data yang

sistematis agar dapat ditentukan penanggulangannya yang secepat-cepatnya (Gunawan,

2000).

            Surveilans Epidemiologi adalah pengumpulan dan analisa data epidemiologi yang

akan digunakan sebagai dasar dari kegiatan-kegiatan dalam bidang pencegahan dan

penanggulangan penyakit yang meliputi kegiatan :

1. Perencanaan Program Pemberantasan Penyakit.

Mengenal Epidemiologi Penyakit berarti mengenal apa yang kita hadapi dan

mengenal perencanaan program yang baik.

2. Evaluasi Program Pemberantasan Penyakit.

Bagaimana keadaan sebelum dan sesudah dan sesudah program dilaksanakan

sehingga dapat diukur keberhasilannya menggunakan data sueveilans epidemiologi.

3. Penanggulangan wabah Kejadian Luar Biasa.

39

            Penyelenggaraan Surveilans Epidemiologi Kesehatan wajib dilakukan oleh setiap

instansi kesehatan Pemerintah, instansi Kesehatan Propinsi, instansi kesehatan

kabupaten/kota dan lembaga masyarakat dan swasta baik secara fungsional atau struktural.

Mekanisme kegiatan Surveilans epidemiologi Kesehatan merupakan kegiatan yang

dilaksanakan secara sistematis dan terus menerus. Surveilans beralasan  untuk dilakukan jika

dilatari oleh kondisi – kondisi berikut ( WHO, 2002 ) :

1. Beban Penyakit ( Burden of Disease ) tinggi, sehingga merupakan masalah penting

kesehatan masyarakat.

2. Terdapat tindakan masyarakat yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut

3. Data yang relevan mudah diperoleh

4. Hasil yang diperoleh sepadan dengan upaya yang dilakukan ( pertimbangan efisiensi ).

 Dengan system surveilans yang peka terhadap perubahan-perubahan pola penayakit

di suatu daerah tertentu dapat mengantisipasi kecenderungan penyakit di suatu daerah.

    2.            Prinsip Surveilans Epidemiologi

a. Pengumpulan data Pencatatan insidensi terhadap population at risk.

Pencatatan insidensi berdasarkan laporan rumah sakit, puskesmas, dan sarana

pelayanan kesehatan lain, laporan petugas surveilans di lapangan, laporan masyarakat, dan

petugas kesehatan lain; Survei khusus; dan pencatatan jumlah populasi berisiko terhadap

penyakit yang sedang diamati. Tehnik pengumpulan data dapat dilakukan dengan wawancara

dan pemeriksaan. Tujuan pengumpulan data adalah menentukan kelompok high risk;

Menentukan jenis dan karakteristik (penyebabnya); Menentukan reservoir; Transmisi;

Pencatatan kejadian penyakit; dan KLB.

 b. Pengelolaan data

Data yang diperoleh biasanya masih dalam bentuk data mentah (row data) yang masih

perlu disusun sedemikian rupa sehingga mudah dianalisis. Data yang terkumpul dapat diolah

dalam bentuk tabel, bentuk grafik maupun bentuk peta atau bentuk lainnya. Kompilasi data

tersebut harus dapat memberikan keterangan yang berarti.

40

 c. Analisis dan interpretasi data untuk keperluan kegiatan

Data yang telah disusun dan dikompilasi, selanjutnya dianalisis dan dilakukan

interpretasi untuk memberikan arti dan memberikan kejelasan tentang situasi yang ada dalam

masyarakat.

 d. Penyebarluasan data dan keterangan termasuk umpan balik

Setelah analisis dan interpretasi data serta telah memiliki keterangan yang cukup jelas

dan sudah disimpulkan dalam suatu kesimpulan, selanjutnya dapat disebarluaskan kepada

semua pihak yang berkepentingan, agar informasi ini dapat dimanfaatkan sebagai mana

mestinya.

e. Evaluasi

Hasil evaluasi terhadap data sistem surveilans selanjutnya dapat digunakan untuk

perencanaan, penanggulangan khusus serta program  pelaksanaannya, untuk kegiatan tindak

lanjut (follow up), untuk melakukan koreksi dan perbaikan-perbaikan program dan

pelaksanaan program, serta untuk kepentingan evaluasi maupun penilaian hasil kegiatan.

3.            Hambatan yang terjadi dalam surveilans epidemiologi

Ada beberapa hambatan surveillans epidemiologi, dintaranya:

1)      Kerjasama lintas sektoral

            Surveillens epidemiologi harus bekerjasama dengan berbagai sektor yang berkaitan

dengan kesehatan, kerjasama tersebut membutuhkan partisipasi yang penuh untuk tecapainya

pemecahan masalah kesehatan, kadang kala sektor yang lain mempunyai pertisipasi yang

rendah dalam kerjasama lintas sektoral tersebut.

2)      Partisipasi masyarkat rendah

            Surveillens epidemiologi yang memang menangani masalah kesehatan masyrakat

eharusnya benar-benar menggali informasi dari masyarakat dan penanganannyapun hasrus

dengan masyarakat, sering dijumpai partsipasi masyarakat dalam pengambilan informasi dari

petugas kesehatan berbelitbelit dan cenderung enutup-nutupi.

41

3)      Sumber daya

               Hambatan yang paling menonjol dari hasil penelitian ini adalah sumber daya

manusia. Hambatan yang berhasil di identifikasi berdasarkan persepsi renponden adlah

sebagai berikut ;

- Jumlah tenaga yang kurang untuk mengcover kegiatan PE

- Banyaknya tugas rangkap.

- Sarana Komputer, biasanya komputer bergantian untuk menyelesaikan tugas lain.

4)      Ilmu pengetahuan dan teknologi

            Surveillans epidemiologi membutuhkan teknologi teknologi untuk mempercepat

deteksi din, analisis penanggulangan dan penanggulangan masalah kesehaatan, kondisi di

lapangan seringkali tenologi di laboratorium sering lambat sehingga mengganggu tahap

deteksi dini dan penanganan kasus akan terlambat.

5)      Kebijakan

            Seringkali kebijakan dari pemerintah dirasa masih menghambat dalam pelaksanaan

surveilans. Contohnya saja baru ditangani apabila memang sudah menjadi KLB. Birokrasi

pemerintahan yang rumit sering menjadi kendala dalam melakukan surveilans. Kebijakan

yang belum dipahami petugas juga menjadi kendala dalam pelaksanaan surveilans.

6)      Dana

            Kegiatan surveilans ini tidak membutuhkan dana yang sedikit juga. Sering kali

permasalahan dana menjadi penghambat dalam melakukan surveilans.

7)      Jarak dan Transportasi

            Lokasi yang jauh dari perkotaan dan minimnya transportasi membuat kegiatan

surveilans terhambat. Sering kali jarak membuat kegiatan surveilans berlangsung berhari-hari

karena transportasi yang minim dan jarak yang jauh. Kondisi jalan juga mempengaruhi.

       4.            Surveilans Penyakit DHF/DBD.

42

            Penyakit demam berdarah dengue (DBD) merupakan salah satu penyakit menular

yang sering menimbulkan kejadian luar biasa (KLB) di Indonesia. Penyakit ini mempunyai

perjalanan penyakit yang cepat, mudah menyebar dan dapat menyebabkan kematian dalam

waktu singkat. Prediksi kejadian demam berdarah dengue di suatu wilayah, selama ini

dilakukan berdasarkan stratifikasi endemisitas, pola maksimal−minimal dan siklus 3−5 tahun

sesuai dari data Surveilans epidemiologi. Cara prediksi ini terdapat kelemahan karena

berubahnya data menjelang musim penularan DBD dan belum adanya data faktor risiko

terkini, sehingga prediksi sering tidak tepat. Data faktor risiko DBD dapat digunakan untuk

menentukan jenis intervensi, sehingga kejadian DBD dapat dicegah sesuai konsep

kewaspadaan dini.

            Data surveilans epidemiologi yang dihasilkan, sebagian masih diolah secara manual

dan semi otomatis dengan penyajian masih terbatas dalam bentuk tabel dan grafik, sedangkan

penyajian dalam bentuk peta belum dilakukan. Berdasarkan kenyataan tersebut,

dikembangkan sistem surveilans epidemiologi DBD untuk kewaspadaan dini berbasis Sistem

Informasi Geografis (SIG).

            Pada sistem ini, dilakukan pendataan faktor risiko DBD melalui Rapid Survey pada

saat menjelang musim penularan untuk mendapatkan data terbaru untuk menentukan jenis

intervensi. Dengan SIG, dapat dihasilkan peta faktor risiko, peta kasus dan peta kegiatan lain,

dan dengan teknik overlayer dapat dilakukan perencanaan maupun evaluasi program

pemberantasan DBD.

            Dalam masalah penyakit DBD, surveilans penyakit mencakup empat aspek yaitu

(1)surveilans kasus, (2) vektor (termasuk ekologinya), (3) peran serta masyarakat dan (4)

tindakan pengendalian.  Program surveilans epidemiologi DBD meliputi surveilans penyakit

yang dilakukan dengan cara meminta laporan kasus dari rumah sakit dan sarana kesehatan

serta surveilans vektor yang dilakukan dengan melakukan penelitian epidemiologi di daerah

yang terjangkit DBD. Pelaksanaan surveilans epidemiologi vektor DBD untuk deteksi dini

biasanya dilakukan penelitian di tempat-tempat umum; sarana air bersih; pemukiman dan

lingkungan perumahan; dan limbah industri, RS serta kegiatan lain. Kegiatan di atas

dilakukan oleh petugas kesehatan, juru pemantau jentik dan tim pemberantasan nyamuk di

sekolah dan masyarakat. Sebagai indikator keberhasilan program tersebut adalah Angka

Bebas Jentik (ABJ). Surveilans epidemiologi penyakit DBD memegang peranan penting

dalam upaya memutus mata rantai penyakit  DBD. Namun, pada kenyataanya belum berjalan

43

dengan baik disebabkan karena faktor eksternal dan internal, misalnya petugas puskesmas

tidak menjalankan tugas dengan sebagaimana mestinya dalam melakukan Pemantauan Jentik

Berkala (PJB).

II. INVESTIGASI KLB / WABAH

A.    Definisi Kejadian Luar Biasa (KLB)

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan No. 949/Menkes/SK/VIII/2004), Kejadian Luar

Biasa (KLB) adalah suatu kejadian kesakitan/kematian dan atau meningkatnya suatu

kejadian kesakitan/kematian yang bermakna secara epidemiologis pada suatu kelompok

penduduk dalam kurun waktu tertentu (Lapau, Buchari. 2009). Kejadian Luar Biasa (KLB)

yaitu munculnya penyakit di luar kebiasaan (base line condition) yang terjadi dalam waktu

relatif singkat serta memerlukan upaya penanggulangan secepat mungkin, karena

dikhawatirkan akan meluas, baik dari segi jumlah kasus maupun wilayah yang terkena

persebaran penyakit tersebut. Kejadian luar biasa juga disebut sebagai peningkatan kejadian

kasus penyakit yang lebih banyak daripada eksternal normal di suatu area atau kelompok

tertentu, selama suatu periode tertentu. Informasi tentang potensi KLB biasanya datang dari

sumber-sumber masyarakat, yaitu laporan pasien (kasus indeks), keluarga pasien, kader

kesehatan, atau warga masyarakat. Tetapi informasi tentang potensi KLB bisa juga berasal

dari petugas kesehatan, hasil analisis atau surveilans, laporan kematian, laporan hasil

pemeriksaan laboratorium, atau media lokal (Tamher. 2004).

 

B.     Kriteria Kejadia Luar Biasa (KLB)

Suatu kejadian penyakit atau keracunan dapat dikatakan KLB apabila memenuhi kriteria

sebagai berikut:

a)      Timbulnya suatu penyakit/kesakitan yang sebelumnya tidak ada/tidak diketahui.

b)      Peningkatan kejadian penyakit/kematian terus menerus selama 3 kurun waktu

berturut-turut menurut jenis penyakitnya (jam, hari, minggu, dst)

c)      Peningkatan kejadian penyakit/kematian 2 kali atau lebih dibandingkan periode

sebelumnya (jam, hari, minggu, bulan, tahun).

d)     Jumlah penderita baru dalam satu bulan menunjukkan kenaikan 2 kali lipat atau lebih

bila dibandingkan dengan angka rata-rata per bulan dalam tahun sebelumnya.

e)      Angka rata-rata per bulan selama satu tahun menunjukkan kenaikan 2 kali lipat atau

lebih dibandingkan dengan angka rata-rata per bulan dalam tahun sebelumnya.

44

f)       Case fatality rate dari suatu penyakit dalam kurun waktu tertentu menunjukkan 50%

atau lebih dibandingkan CFR dari periode sebelumnya.

g)      Proporsional rate (PR) penderita baru dari periode tertentu menunjukkan kenaikan 2

kali lipat atau lebih dibandingkan periode yang sama dalam kurun waktu/tahun sebelumnya.

h)      Setiap peningkatan kasus dari periode sebelumnya (pada daerah endemis)

i)        Terdapat satu atau lebih penderita baru dimana pada periode 4 minggu sebelumnya

daerah tersebut dinyatakan bebas dari penyakit yang bersangkutan.

j)        Beberapa penyakit yang dialami 1 (satu) atau lebih penderita : keracunan makanan

dan keracunan pestisida.

k)      Dalam menentukan apakah ada wabah, perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut

dengan membandingkan jumlah yang ada saat itu dengan jumlah beberapa minggu atau

bulan sebelumnya.

l)        Menentukan apakah jumlah kasus yang ada sudah melampaui jumlah yang

diharapkan.

1)      Sumber informasi bervariasi :

1. Catatan hasil surveilans

2. Catatan keluar rumah sakit statistik kematian, register, dan lain-lain.

3. Bila data local tidak ada dapat digunakan rate dari wilayah di dekatnya atau data nasional

4. Boleh juga dilaksanakan survey di masyarakat menentukan kondisi penyakit yang biasanya

ada.

2)      Pseudo-epidemik :

1. Perubahan cara pencatatan dan pelaporan penderita

2. Adanya cara diagnosis baru

3. Bertambahnya kesadaran penduduk untuk berobat

4. Adanya penyakit lain dengan gejala yang serupa

5. Bertambahnya jumlah penduduk yang rentan

(Efendi, Ferry. 2009).

 

C.    Penyakit Tertentu Yang Menimbulkan Kejadian Luar Biasa (KLB)

Berdasarkan Permenkes RI No.1501/Menkes/Per/X/2010 Bab II pasal 2 penyakit tertentu

yang menimbulkan KLB :

a)        Kholera

b)        Pes

c)        Demam

g)             

Pertusis

h)              Rabies

m)     Hepatitis

n)     Influenza

H1N1

45

berdarah

d)       Campak

e)        Polio

f)         Difteri

 

i)               

Malaria

j)               Avian

Influenza H5N1

k)             

Antraks

l)               

Leptospirosis

 

o)       Meningitis

p)       Yellow

Fever

q)      

Chikungunya

 

Penyakit-Penyakit berpotensi Wabah/KLB :

a)      Penyakit karantina/penyakit wabah penting: Kholera, Pes, Yellow Fever.

b)      Penyakit potensi wabah/KLB yang menjalar dalam waktu cepat/mempunyai

memerlukan tindakan segera : DHF, Campak, Rabies, Tetanus neonatorum, Diare, Pertusis,

Poliomyelitis

c)      Penyakit potensial wabah/KLB lainnya dan beberapa penyakit penting : Malaria,

Frambosia, Influenza, Anthrax, Hepatitis, Typhus abdominalis,  Meningitis, Keracunan,

Encephalitis, Tetanus.

d)     Penyakit-penyakit menular yang tidak berpotensi wabah dan atau KLB,  tetapi masuk

program : Kecacingan, Kusta, Tuberkulosa, Syphilis,  Gonorrhoe, Filariasis, dan lain-lain.

 

D.    Klasifikasi Kejadian Luar Biasa (KLB)

Berdasarkan klasifikasinya Kejadian Luar Biasa dibagi berdasarkan penyebab dan

sumbernya, yakni sebagai berikut :

a)      Berdasarkan Penyebab

1)        Toxin

1. Entero toxin, misal yang dihasilkan oleh Staphylococcus aureus, Vibrio, Kholera,

Eschorichia, Shigella

2. Exotoxin (bakteri), misal yang dihasilkan oleh Clostridium botulinum, Clostridium

perfringens

3. Endotoxin

2)        Infeksi

1. Virus

2. Bacteri

3. Protozoa

46

4. Cacing

3)        Toxin Biologis

1. Racun jamur.

2. Alfatoxin

3. Plankton

4. Racun ikan

5. Racun tumbuh-tumbuhan

4)        Toxin Kimia

1. Zat kimia organik: logam berat (seperti air raksa, timah), logam-logam lain cyanida,  nitrit,

pestisida.

2. Gas-gas beracun: CO, CO2, HCN, dan sebagainya

(Bustan, 2002).

b)      Berdasarkan sumber

1)        Sumber dari manusia

Misalnya: jalan napas, tangan, tinja, air seni, muntahan seperti : salmonella, shigella,

hepatitis.

2)        Bersumber dari kegiatan manusia

Misalnya : toxin dari pembuatan tempe bongkrek, penyemprotan pencemaran lingkungan.

3)        Bersumber dari binatang

Misalnya : binatang peliharaan, rabies dan binatang mengerat

4)        Bersumber pada serangga (lalat, kecoak )

Misalnya : salmonella, staphylococcus, streptococcus

5)        Bersumber dari udara

Misalnya : staphylococcus, streptococcus virus

6)        Bersumber dari permukaan benda-benda atau alat-alat

Misalnya : salmonella

7)        Bersumber dari makanan dan minuman

Misalnya :  keracunan singkong, jamur, makanan dalam kaleng

(Bustan, 2002).

 E.     Pelaksanaan Penyelidikan Kejadian Luar Biasa (KLB)

Tujuan umum dari pelaksanaan Penyelidikan Kejadian Luar Biasa (KLB) adalah untuk

mendapatkan informasi dalam rangka penanggulangan dan pengendalian Penyelidikan

Kejadian Luar Biasa (KLB). Untuk mencapai tujuan umum tersebut, maka dirumuskan

tujuan khusus sebagai berikut :

47

a)      Memastikan diagnosis penyakit

Dalam memastikan diagnosis penyakit, terlebih dahulu dijelaskan tingkatan kasus penyakit

yang bersangkutan

1)      Kepastian diagnosis

1. Kasus pasti : adanya kepastian laboratorium serologi, bakteriologi, virologi atau parasitologi

dengan atau tanpa gejala klinis.

2. Kasus mungkin : Tanda atau gejala sesuai penyakitnya tanpa dukungan laboratrium

3. Kasus tersangka : Tanda atau gejala sesuai penyakitnya tetapi pemeriksaan laboratorium

negatif

2)      Hubungan epidemiologi

1. Kasus primer : kasus yang sakit karena paparan pertama

2. Kasus sekunder : kasus yang sakit karena adanya kontrak dengan kasus primer

3. Kasus tak ada : terjadinya sakit bukan karena paparan pertama ataupun hubungan kontrak

dengan kasus

3)      Pada waktu melakukan penyelidikan Kejadian Luar Biasa (KLB) dilapangan,

diagnosis penyakit hanya didasarkan pada penyesuaian dari gejala dan tanda penyakit yang

bersangkutan

yang sudah dipelajari dari kepustakaan atau oleh guru/dosen yang bersangkutan. Namun

tidak begitu mudah memastikan diagnosis  penyakit atas dasar penyesuaian gejala dan tanda

ini. Karena itu di lapangan pemastian diagnosis penyakit didasarkan pada :

1. Urutan frekuensi tertinggi  sampai terendah dari gejala dan tanda penyakit

2. Gejala atau tanda patognomosis yaitu gejala dan tanda yang khusus untuk penyakit tertentu

3. Perimbangan antara sensitivitas dan spesitifitas

b)      Penetapan Penyelidikan Kejadian Luar Biasa (KLB)

1)      Distribusi kasus menurut waktu

Bila dibuat kurve dimana waktu merupakan absisnya dan frekuensi kasus merupakan

ordinatnya, maka ada tiga jenis kurve epidemi yaitu :

1. Common source epidemic, yang menunjukan adanya sumber penyakit yang sama.

2. Propagated epidemic, yang menunjukan terjadinya penyebaran penyakit dari orang ke orang

secara langsung atau melalui lingkungan.

3. Kombinasi Common source epidemic dan Propagated epidemic.

(Lapau, Buchari. 2009).

48

III. DESAIN EPIDEMIOLOGI

EPIDEMIOLOGI DESKRIPTIF DAN ANALITIK

Epidemiologi adalah studi tentang distribusi dan determinan penyakit pada populasi. Studi

epidemiologi dibedakan menjadi dua kategori: (1) epidemiologi deskriptif; dan (2)

epidemiologi analitik (Gambar 1).

Epidemiologi deskriptif. Epidemiologi deskriptif mendeskripsikan distribusi penyakit pada

populasi, berdasarkan karakteristik dasar individu, seperti umur, jenis kelamin, pekerjaan,

kelas sosial, status perkawinan, tempat tinggal dan sebagainya, serta waktu. Epidemiologi

deskriptif juga dapat digunakan untuk mempelajari perjalanan alamiah penyakit. Tujuan

epidemiologi deskriptif: (1) Memberikan informasi tentang distribusi penyakit, besarnya

beban penyakit (disease burden), dan kecenderungan (trend) penyakit pada populasi, yang

berguna dalam perencanaan dan alokasi sumber daya untuk intervensi kesehat-an; (2)

Memberikan pengetahuan tentang riwayat alamiah penyakit; (3) Merumuskan hipotesis

tentang paparan sebagai faktor risiko/ kausa penyakit.

Contoh, case series merupakan studi epidemiologi deskriptif tentang serangkaian kasus,

yang berguna untuk mendeskripsikan spektrum penyakit, manifestasi klinis, perjalanan

klinis, dan prognosis kasus. Case series banyak dijumpai dalam literatur kedokteran klinik.

Tetapi desain studi ini lemah untuk memberi-kan bukti kausal, sebab pada case series tidak

dilakukan perbandingan kasus dengan non-kasus. Case series dapat digunakan untuk

merumuskan hipotesis yang akan diuji dengan desain studi analitik.

49

Case report (laporan kasus) merupakan studi kasus yang bertujuan mendeskripsikan

manifestasi klinis, perjalanan klinis, dan prognosis kasus. Case report mendeskripsikan cara

klinisi mendiagnosis dan memberi terapi kepada kasus, dan hasil klinis yang diperoleh.

Selain tidak terdapat kasus pembanding, hasil klinis yang diperoleh mencerminkan variasi

biologis yang lebar dari sebuah kasus, sehingga case report kurang andal (reliabel) untuk

memberikan bukti empiris tentang gambaran klinis penyakit.

Studi potong-lintang (cross-sectional study, studi prevalensi, survei) berguna untuk

mendeskripsikan penyakit dan paparan pada populasi pada satu titik waktu tertentu. Data

yang dihasilkan dari studi potong-lintang adalah data prevalensi. Tetapi studi potong-lintang

dapat juga digunakan untuk meneliti hubungan paparan-penyakit, meskipun bukti yang

dihasilkan tidak kuat untuk menarik kesimpulan kausal antara paparan dan penyakit, karena

tidak dengan desain studi ini tidak dapat dipastikan bahwa paparan mendahului penyakit.

Epidemiologi analitik. Epidemiologi analitik menguji hipotesis dan menaksir

(mengestimasi) besarnya hubungan/ pengaruh paparan terhadap penyakit. Tujuan

epidemiologi analitik: (1) Menentukan faktor risiko/ faktor pencegah/ kausa/ determinan

penyakit, (2) Menentukan faktor yang mempengaruhi prognosis kasus; (3) Menentukan

efektivitas intervensi untuk mencegah dan mengendalikan penyakit pada populasi.

Dua asumsi melatari epidemiologi analitik. Pertama, keadaan kesehatan dan penyakit pada

populasi tidak terjadi secara random melainkan secara sistematis yang dipengaruhi oleh

faktor risiko/ kausa/ faktor pencegah/ faktor protektif (Hennekens dan Buring, 1987; Gordis,

2000). Kedua, faktor risiko atau kausa tersebut dapat diubah sehingga dapat dilakukan

upaya pencegahan penya-kit pada level individu dan populasi (Risser dan Risser, 2002).

ASPEK KUNCI DESAIN STUDI EPIDEMIOLOGI

Desain studi epidemiologi dapat dibedakan berdasarkan beberapa aspek kunci

berikut (Kleinbaum et al, 1982; Kramer dan Baivin, 1987; Kothari, 1990; Gerst-man, 1998):

(1) Arah pengusutan; (2) Jenis data; (3) Desain pemilihan sampel; (4) Peran peneliti dalam

memberikan intervensi.

Arah pengusutan

Berdasarkan arah pengusutan (direction of inquiry) status paparan dan penyakit,

studi epidemiologi dibedakan menjadi 3 kategori (Gerstman, 1998): (1) Non-directional; (2)

Prospektif; (3) Retrospektif (Gambar 2).

50

Non-directional. Arah pengusutan disebut non-directional jika peneliti mengamati paparan

dan penyakit pada waktu yang sama. Studi potong lintang (cross sectional) bersifat non-

directional sebab hubungan antara paparan dan penyakit pada populasi diteliti pada satu

waktu yang sama. Cara studi potong lintang meneliti hubungan antara paparan dan penyakit:

(1) membandingkan prevalensi penyakit pada berbagai subpopulasi yang berbeda status

paparannya; (2) membandingkan status paparan pada berbagai subpopulasi yang berbeda

status penyakitnya.

Retrospektif. Arah pengusutan dikatakan retrospektif (backward direction) jika peneliti

menentukan status penyakit dulu, lalu mengusut riwayat paparan ke belakang. Arah

pengusutan seperti itu bisa dikatakan “anti-logis”, sebab peneliti mengamati akibatnya dulu

lalu meneliti penyebabnya, sementara yang terjadi sesungguhnya penyebab selalu

mendahului akibat. Studi epidemiologi yang bersifat retrospektif adalah studi kasus kontrol.

Prospektif. Arah pengusutan dikatakan prospektif (forward direction) jika peneliti

menentukan dulu status paparan atau intervensi lalu mengikuti ke depan efek yang

diharapkan. Studi epidemiologi yang bersifat prospektif adalah studi kohor dan eksperimen.

Terdapat sejumlah alasan mengapa perlu membedakan arah pengusutan. Pertama,

arah pengusutan suatu desain studi menunjukkan logika inferensi kausal. Sebagai contoh,

salah satu kriteria Hill yang harus dipenuhi untuk menarik kesimpulan kausal tentang

hubungan/ pengaruh variabel adalah sekuensi temporal. Kriteria ini menegaskan, agar dapat

dikatakan kausa, maka paparan harus mendahului penyakit, atau intervensi harus

mendahului variabel hasil (Ibrahim et al., 2001; Last, 2001). Sifat non-directional dari studi

potong-lintang menyebabkan desain studi itu kurang baik untuk digunakan memastikan

hubungan kausal. Sebaliknya sifat prospektif studi kohor dan eksperimen membuat desain

studi itu tepat untuk membantu memastikan hubungan kausal. Sedang sifat retrospektif dan

51

“antilogis” dari studi kasus kontrol membuat desain studi tersebut kurang kuat dibandingkan

dengan studi kohor untuk memberikan bukti kausal, meskipun lebih baik dibandingkan

dengan studi potong lintang.

Kedua, arah pengusutan berimplikasi kepada kemampuan desain studi dalam

menggunakan ukuran frekuensi penyakit (menunjukkan risiko terjadinya penyakit), maupun

ukuran asosiasi paparan-penyakit (menunjukkan risiko relatif terjadinya penyakit). Pada

studi prospektif, yaitu studi kohor dan eksperimen, peneliti mengikuti sekelompok subjek

(disebut kohor) dan mengamati terjadinya penyakit atau variabel hasil yang diteliti. Dengan

studi kohor dan eksperimen peneliti dapat menghitung risiko (insidensi), sehingga dapat

menghitung RR (studi kohor dan eksperimen), maupun RRR, ARR, dan NNT (eksperimen).

Pada studi potong lintang, karena bersifat “non-directional”, peneliti tidak bisa

menghitung insidensi (kasus baru), yang menunjukkan risiko terjadinya penyakit dalam

suatu periode waktu. Jadi pada studi potong lintang, peneliti tidak bisa menghitung risiko

dan risiko relatif (RR). Data yang diperoleh studi potong lintang adalah prevalensi, terdiri

atas kasus baru dan lama. Prevalensi adalah jumlah kasus yang ada di suatu saat dibagi

dengan jumlah populasi studi. Jika prevalensi penyakit pada kelompok terpapar dibagi

dengan prevalensi penyakit pada kelompok tak terpapar, maka diperoleh Prevalence Ratio

(PR). Demikian pula jika odd penyakit pada kelompok terpapar dibagi dengan odd penyakit

pada kelompok tak terpapar, diperoleh Prevalence Odds Ratio (POR).

Berbeda dengan studi kohor, pada studi kasus kontrol, peneliti tidak mengikuti suatu

kohor subjek penelitian yang belum sakit ke depan, tidak mengamati terjadinya penyakit,

tidak dapat menghitung insidensi (kasus baru) dalam suatu periode waktu. Pada studi kasus

kontrol, peneliti menggunakan kasus-kasus yang sudah ada dan memilih kontrol (non-kasus)

yang sebanding. Lalu peneliti mencari informasi status (riwayat) paparan masing-masing

subjek kasus dan kontrol. Jadi pada studi kasus kontrol peneliti tidak bisa menghitung risiko

dan risiko relatif (RR). Sebagai ganti risiko, pada studi kasus kontrol peneliti menggunakan

odd. What is odd? Odd adalah probabilitas dua peristiwa yang berkebalikan, misalnya sakit

verus sehat, mati versus hidup, terpapar versus tak terpapar. Pada studi kasus kontrol, odd

pada kasus adalah rasio antara jumlah kasus yang terpapar dibagi tidak terpapar. Odd pada

kontrol adalah rasio antara jumlah kontrol terpapar dibagi tidak terpapar. Jika odd pada

kasus dibagi dengan odd pada kontrol, diperoleh Odds ratio (OR). OR digunakan pada studi

kasus kontrol sebagai pengganti RR.

Jenis data

52

Berdasarkan kronologi pengumpulan data, data studi epidemiologi dapat dibedakan

menjadi 3 jenis (Gerstman, 1998): (1) data sewaktu; (2) data historis; dan (3) data campuran

(Gambar 3).

Data sewaktu. Data sewaktu (concurrent data, contemporary data) adalah data tentang status

paparan, status penyakit, dan variabel lainnya, yang dikumpulkan bersamaan dengan waktu

penelitian. Karena umumnya dikumpulkan sendiri oleh peneliti maka data sewaktu sering

kali merupakan data primer.

Data historis. Data historis (historical data) adalah data tentang status paparan, status

penyakit, dan variabel lainnya, yang dikumpulkan pada waktu sebelum dimulainya

penelitian. Data historis dapat berasal dari sumber sekunder, yaitu catatan yang sudah

tersedia, misalnya catatan kelahiran dan kematian, rekam medis, data sensus, survei

kesehatan rumah tangga (SKRT), riwayat pekerjaan. Tetapi data historis dapat juga berasal

dari sumber primer, diperoleh dari wawancara dengan subjek penelitian, keluarga, atau

teman (dise-but “surrogates”), untuk mengingat kembali (recall) peristiwa masa lalu.

Data campuran. Data campuran adalah data yang dikumpulkan sebagian bera-sal dari masa

lalu dan sebagian berasal dari waktu yang sama dengan waktu penelitian. “Nested case

control study” merupakan contoh sebuah desain studi yang menggunakan data campuran.

Pada nested case-control study diidentifikasi kasus yang terjadi dari sebuah kohor. Untuk

masing-masing kasus kemudian dipilihkan dan dibandingkan dengan anggota kohor yang

tidak mengalami penyakit sebagai kontrol, dan memiliki tingkat faktor perancu yang sama

dengan kasus (disebut matched control) (Wikipedia, 2011).

Data perlu dibedakan menurut kronologi pengumpulan data. Mengapa? Pertama, jenis data

menurut kronologi pengumpulan menentukan kualitas data. Pada umumnya data sewaktu

53

lebih reliabel daripada data historis, karena validasi data bisa dilakukan langsung oleh

peneliti (Gerstman, 1998). Kedua, jenis data menurut kronologi berguna untuk

mengelaborasi lebih lanjut jenis desain studi. Jenis data tidak tergantung arah pengusutan.

Implikasinya, desain studi yang arah pengusutannya prospektif dapat saja menggunakan

data historis. Studi kohor yang menggunakan data historis disebut studi kohor historis (studi

kohor retrospektif). Studi kohor yang menggunakan data sewaktu disebut studi kohor

(prospektif) (Bosma et al., 1997; Okasha et al., 2002; Rothman, 2002).

Sebaliknya, desain studi yang arah pengusutannya retrospektif dapat menggunakan data

sewaktu. Studi kasus kontrol yang menggunakan data sewaktu disebut studi kasus kontrol

prospektif. Studi kasus kontrol yang menggunakan data historis disebut studi kasus kontrol

(retrospektif) (Rothman, 2002). Studi kasus kontrol yang menggunakan data historis dan

data sewaktu, yakni data primer yang berasal dari studi kohor sebagai penelitian induk,

disebut “nested case control study” atau “ambidirectional staudy”. Desain “nested case-

control study” membutuhkan biaya dan upaya pengumpulan data yang lebih rendah

daripada studi yang sepenuhnya menggunakan pendekatan kohor (Wikipedia,2011). Tabel 1

menyajikan perbedaan antara ketiga studi observasional sejumlah kriteria.

54

IV. PENCEGAHAN & PENANGGULANGAN KLB

Setiap Penyidikan KLB sebaiknya - KLB, digunakan sebagai sarana mendapatkan

informasi untuk perbaikan program kesehatan pada umumnya dan program pencegahan dan

pemberantasan penyakit menular dan sistim surveilens pada khususnya.

Penyidikan KLB selalu dilakukan :Pengkajian terhadap sistim surveilens yang ada,

untuk mengetahui kemampuannya sebagai alat deteksi dini adanya KLB, kecepatan informasi

dan pemenuhan kewajiban pelaksanaan sistim surveilens.

PENYUSUNAN REKOMENDASI

1. Tujuan utama penyidikan KLB adalah merumuskan tindakan untuk mengakhiri KLB pada

situasi yang dihadapi (penanggulangan) dan mencegah terulangnya KLB dimasa mendatang

(pengendalian).

2.Tindakan penanggulangan KLB didasari atas diketahuinya : etiologis, sumber dan cara

penularan

55

Sistem Surveilens diperlukan untuk :

* Untuk evaluasi terhadap tindakan penanggulangan yang dijalankan .

* Sistim surveilans penyakit di masyarakat (menggunakan tenaga masyarakat) biasanya lebih

dapat dipergunakan untuk memantau kasus baru dan komplikasinya.

SISTEM KEWASPADAAN DINI KEJADIAN LUAR BIASA (SKD)

Salah satu upaya mengurangi kerugian akibat yang ditimbulkan oleh letusan Kejadian

Luar Biasa (KLB) suatu penyakit adalah melakukan pengamatan yang intensif dan dikenal

dengan Sistem Kewaspaspadaan Dini (SKD) terhadap penyakit potensial KLB. Kegiatan

dalam SKD diarahkan terhadap pengendalian mata rantai dan faktor-faktor yang

memungkinkan timbulnya penyakit, serta cara intervensinya sehingga dapat mengurangi

kerugian. Pelaksanaan SKD KLB yang dilakukan paa tingkat Puskesmas akan memiliki

manfaat yang besar dalam pencegahan KLB penyakit.

Dalam pelaksanaan SKD-KLB ini secara legalitas ditunjang oleh Undang- Undang

Nomor 4 tahun 1984, PP Nomor 40 tahun 1991 serta Permenkes Nomor 560 tahun 1989 dan

Permenkes Nomor 453 Tahun 1983, sehingga perumusan SKD-KLB menggunakan

pendekatan legalitas, epidemiologi dan kesisteman(5).

1. Pengertian Sistem Kewaspaaan Dini KLB

Sistem Kewaspadaan Dini KLB adalah sutau tatanan pengamatan yang mendukung

sikap tanggap terhadap suatu perubahan dalam masyarakat atau penyimpangan. Persyaratan

yang berkaitan dengan kecenderungan terjadinya kesakitan/kematian atau pencemaran

makanan/lingkungan sehingga dapat segera melakukan tindakan dengan cepat dan tepat untuk

mencegah/mengurangi terjadinya jatuh korban.

SKD adalah suatu tatanan pengamatan yang cermat dan teliti terhadap distribusi dan

faktor-faktor risiko kejadian yang memungkinkan terbangunnya sikap tanggap terhadap

perubahan sehingga dapat dilakukan antisipasi seperlunya .

2. Indikator

Adalah faktor-faktor atau tanda-tanda yang berpengaruh terhadap terjadinya

kesakitan/kematian yang dipantau terus menerus untuk mengetahui terjadinya perubahan atau

penyimpangan persyaratan.

56

3. Variabel SKD

Dalam menerapkan SKD-KLB digunakan pendekatan resiko sebagai penyebab

timbulnya KLB penyakit. Beberapa variabel indikator faktor resiko dari penyakit adalah

sebagai berikut :

Upaya penanggulangan meliputi pencegahan KLB, termasuk pengawasan usaha

pencegahan tersebut dan pemberantasan penyakitnya.

• Inti SKD adalah surveilans

• Kegiatan SKD :Pengumpulan data, pengolahan, analisa data dan penyebarluasan informasi.

Tujuan SKD

1. Antisipasi/prediksi,sehingga KLB dapat dicegah

2. Deteksi dini : untuk mengetahui kapan ada masalah

3. Reaksi cepat : sebagai pedoman/ staff terlatih/bahan dan tersedia sebelum KLB

4. Effective Response : metoda penanggulangan yang tepat dan sumber daya dan logistik

yang memadai

Pelaksanaan SKD

1. Surveilans epidemiologi rutin

• Statistik morbiditas & mortalitas dikumpulkan oleh semua jenjang pelayanan kesehatan,

sehingga idealnya wabah dapat terdeteksi oleh jenjang pelayanan terkecil.

• Namun mungkin sulit karena jumlah pasien yang diperiksa sedikit dengan wilayah terbatas.

Mana kala ada satu atau dua pasien dengan gejala tertentu tidak memperoleh perhatian dan

tidak disadari sebenarnya wabah sedang mulai berlangsung.

• Biasanya terdeteksi pada level Kabupaten , sehingga perlu kriteria lokal dan tiap kasus

diplot bersama dengan data dasar dari surveilans rutin tahun sebelumnya misalnya saja variasi

musiman. Kriteria nilai ambang epidemik perlu ditetapkan , sehingga unit pelayanan

kesehatan di bawah tahu persis kapan harus lapor segera tentang adanya kejadian penyakit .

2. Surveilans epidemiologi aktif

57

Pencarian kasus-kasus tertentu secara tuntas.Pengaturan permanen diperlukan agar

kasus yang dicurigai dapat segera diselidiki lebih lanjut, dan harus dinilai dengan selang

waktu tertentu melalui pemeriksaan kasus, laboratorium atau reservoir.Hal ini penting dari

sisi kesehatan masyarakat yang berkaitan dengan endemisitas atau berkaitan fokus aktif di

wilayah lain. Juga pada daerah dimana dimungkinkan tingkat kekebalan penduduk belum

baik, atau adanya serangga penular yang berperan. Basis surveilans biasanya pada lembaga

kesehatan dan masyarakat. Contoh nyata pelaksanaan ini adalah SURVEILANS AKTIF AFP.

3.Surveilans epidemiologi Mobile / lapangan

Lazim dikenal sebagai penyelidikan epidemiologi.Pencarian kasus-kasus tambahan,

sifat-sifat penyebab,faktor yang mempengaruhi kejadian dan tindakan seperlunya

Instrumen SKD,Indikator yang diwujudkan dalam : Tabel,PWS,grafik.

Beberapa cara dalam penanggulangan KLB

1.Menghilangkan Sumber penularan

- Menjauhkan sumber penularan dari orang,membunuh bakteri pada sumber penularan,

melakukan isolasi atau pengobatan pada orang yang diduga sebagai sumber Penularan

2.Memutus rantai penularan

- Strelilisasi sumber pencemaran,mengendalikan vektor,dan peningkatan hygiene perorangan

3.Merubah respon orang terhadap penyakit

-Melakukan immunisasi dan mengadakan pengobatan

Hal-Hal yang dapat dilakukan untuk mencegah KLB adalah dengan jalan sebagai berikut 3):

1. Persiapan

a. Konfirmasi informasi

Informasi yang didapat kadang-kadang tidak lengkap bahkan tidak jelas, untuk itu

diperlukan upaya konfirmasi tentang kejelasan informasi.

- Sumber informasi dapat diperoleh dari masyarakat baik lisan maupun tulisan dan fasilitas

kesehatan.

58

- Gambaran tentang kasus meliputi gejala, pemeriksaan yang dilakukan untuk diagnosis dan

hasil konfirmasi ada tidaknya komplikasi, kecacatan, kelumpuhan bahkan kematian.

- Situasi geografi dan sarana transportasi yang ada.

b. Pembuatan rencana kerja

Kegiatan ini meliputi;

1. Definisi kasus

Definisi kasus sangat berguna untuk mengarahkan pencarian kasus, paling baik

ditentukan berdasarkan hasil konfirmasi laboratorium. Perumusan diagnosis kasus dalam

kalimat yang jelas merupakan hal yang penting oleh karena itu akan menjadi pedoman bagi

tim penyelidikan lapangan dalam penemuan kasus.

2. Hipotesis mengenai penyakit, penyebab, sumber dan cara penularan.

3. data /informasi yang diperlukan misalnya jumlah kasus, jumlah penduduk, kebiasaan

penduduk, data lingkungan.

4. cara memperoleh data/ informasi

kegiatan ini dapat dilakukan dengan mengunakan data fasilitas pelayanan kesehatan,

mencari informasi di instansi non kesehatan, dan melalui survey di masyarakat.

5. Tim dan sarana yang diperlukan sesuai dengan jenis KLB, misal sanitasi, entomolog, analis

dll

2. Pelaksanaan

a. Penegakan diagnosis

Penegakan diagnosis dilakukan dengan cara menghitung distribusi frekuensi dari

tanda dan gejala yang ditemukan pada kasus dengan membuat daftar gejala yang ada pada

kasus dan menghitung persentasenya. Susunan berdasarkan pada frekuensi gejala dan tanda

penderita kemudian dicocokan dengan tanda dan gejala klinis penderita penyakit tertentu,

sehingga kejadian ini dapat dikelompokan menjadi kasus atau bukan. Penentuan laboratorium

59

diperlukan untuk konfirmasi diagnosis dan menentukan type prganisme penyebab sakit serta

pengobatan yang cepat dan tepat. 

b. Penentuan KLB

Penentuan KLB bertujuan menetapkan apakah kejadian tesebut merupakan KLB atau

bukan, dilakukan dengan membandingkan insiden penyakit yang telah berjalan dengan

insiden penyakit dalam keadaan biasa pada populasi yang berisiko pada tempat dan waktu

tertentu. Hal ini dapat dilakukan dengan melihat pola maksimum dan minimum 5 tahunan

atan 3 tahunan, membandingkan penyakit pada minggu.bulan/tahun sebelumya. Untuk

memastikan KLB sebaiknya dilakukan pola analisis secara komperhensif tidak hanya kasus

tetapi termasuk informasi fektor, lingkungan dan prilaku penduduk.

c. Identifikasi kasus dan paparan

Identifikasi kasus yang paling baik adalah berdasarkan hasil konfirmasi laboratorium,

namun demikian berdasarkan gejala klinis dapat dipakai sebagai identifikasi kasus di

lapangan saat penyidikakan. Identifikasi paparan dapat ditentukan melalui analisis kurva

epidemic sehingga dapat diperkirakan indeks kasus (siapa yang pertama kali terkena) dan

waktu paparan (kapan penularan itu terjadi). Informasi yang penting adalah landasan teori

tentang cara penularan penyakit. Identifikasi paparan akan membantu mengidentifikasi

penularan serta membantu mendiagnosa dengan lebih baik.

d. Diskripsi menurut orang, tempat, dan waktu

Dari hasil pengumpulan data penderita kemudian dikelompokan. Pengelompokan

menurut tempat mengambarkan dimana mereka terkena, yang perlu mengelompokan tidak

harus tempat tinggal, bisa sekolah, tempat kerja, desa atau kota, gunung dan pantai dll.

Pengelompokan berdasarkan orang seperti umur, sex, jenis kelamin, jenis pekerjaan, perilaku.

e. Merumuskan hipotesis

Setelah di ketahui adanya laporan kemudian diambil hipotesis dengan merujuk teoro

yang telah ada.

VI. Kesimpulan

60

Dr. Bagus sebagai dokter di Puskesmas Maju tidak melakukan surveilans epidemiologi

secara rutin sehingga terjadi KLB (Kejadian Luar Biasa).

DAFTAR PUSTAKA

Nomor 1116 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem Surveilans Epidemiologi Kesehatan,

Jakarta : Departemen Kesehatan

Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2003, Keputusan Menteri Kesehatan Republik

Indonesia

Tjekyan, Suryadi. 2013. Pengantar Epidemiologi. Palembang: Unsri Press.

UU No.4 Th 1984 tentang Wabah Penyakit Menular

Peraturan Mentri Kesehatan RI, No, 560/MENKES/PER/VII/1989

61

John TJ, Samuel R.2000.Herd Immunity and Herd Effect: New Insights and Definitions. Eur. J.

Epidemiol. 16 (7): 601–6.

History and Epidemiology of Global Smallpox Eradication From the training course titled

“Smallpox: Disease, Prevention, and Intervention”. The CDC and the World Health

Organization. Slide 16-17.pdf

Budiarto, Eko.2003. Pengantar Epidemiologi, Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC

Bustan MN ( 2002 ). Pengantar Epidemiologi, Jakarta, Rineka Cipta

62