bell's palsy
DESCRIPTION
neuroTRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Bell’s palsy atau prosoplegia adalah kelumpuhan fasialis akibat paralisis
nervus fasial perifer yang terjadi secara akut dan penyebabnya tidak diketahui
(idiopatik) di luar sistem saraf pusat tanpa disertai adanya penyakit neurologis
lainnya.1
Paralisis fasial idiopatik atau Bell’s palsy, ditemukan oleh Sir Charles
Bell, dokter dari Skotlandia. Bell’s palsy sering terjadi setelah infeksi virus
(misalnya herpes simplex) atau setelah imunisasi, lebih sering terjadi pada wanita
hamil dan penderita diabetes serta penderita hipertensi Lokasi cedera nervus
fasialis pada Bell’s palsy adalah di bagian perifer nukleus nervus VII. Cedera
tersebut terjadi di dekat ganglion genikulatum.1
Salah satu gejala Bell’s palsy adalah kelopak mata sulit menutup dan saat
penderita berusaha menutup kelopak matanya, matanya terputar ke atas dan
matanya tetap kelihatan. Gejala ini disebut juga fenomena Bell. Pada observasi
dapat dilihat juga bahwa gerakan kelopak mata yang tidak sehat lebih lambat jika
dibandingkan dengan gerakan bola mata yang sehat (lagoftalmos).1
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Bell's Palsy (BP) ialah suatu kelumpuhan akut n. fasialis perifer yang tidak
diketahui sebabnya. Sir Charles Bell (1821) adalah orang yang pertama meneliti
beberapa penderita dengan wajah asimetrik, sejak itu semua kelumpuhan n.
fasialis perifer yang tidak diketahui sebabnya disebutBell's pals.2
Pengamatan klinik, pemeriksaan neurologik, laboratorium dan patologi
anatomi menunjukkan bahwa BP bukan penyakit tersendiri tetapi berhubungan
erat dengan banyak faktor dan sering merupakan gejala penyakit lain. Penyakit ini
lebih sering ditemukan pada usia dewasa, jarang pada anak di bawah umur 2
tahun. Biasanya didahului oleh infeksi saluran napas bagian atas yang erat
hubungannya dengan cuaca dingin.2
B. EPIDEMIOLOGI
Bell’s palsy menempati urutan ketiga penyebab terbanyak dari paralysis
fasial akut. Di dunia, insiden tertinggi ditemukan di Seckori, Jepang tahun 1986
dan insiden terendah ditemukan di Swedia tahun 1997. Di Amerika Serikat,
insiden Bell’s palsy setiap tahun sekitar 23 kasus per 100.000 orang, 63%
mengenai wajah sisi kanan. Insiden Bell’s palsy rata-rata 15-30 kasus per 100.000
populasi. Penderita diabetes mempunyai resiko 29% lebih tinggi, dibanding non-
diabetes. Bell’s palsy mengenai laki-laki dan wanita dengan perbandingan yang
sama. Akan tetapi, wanita muda yang berumur 10-19 tahun lebih rentan terkena
daripada laki-laki pada kelompok umur yang sama. Penyakit ini dapat mengenai
semua umur, namun lebih sering terjadi pada umur 15-50 tahun. Pada kehamilan
trisemester ketiga dan 2 minggu pasca persalinan kemungkinan timbulnya Bell’s
palsy lebih tinggi daripada wanita tidak hamil, bahkan bisa mencapai 10 kali lipat. 3, 4
Sedangkan di Indonesia, insiden Bell’s palsy secara pasti sulit ditentukan.
Data yang dikumpulkan dari 4 buah Rumah sakit di Indonesia didapatkan
frekuensi Bell’s palsy sebesar 19,55 % dari seluruh kasus neuropati dan terbanyak
3
pada usia 21 – 30 tahun. Lebih sering terjadi pada wanita daripada pria. Tidak
didapati perbedaan insiden antara iklim panas maupun dingin, tetapi pada
beberapa penderita didapatkan adanya riwayat terpapar udara dingin atau angin
berlebihan. 3, 4
C. ANATOMI
Saraf otak ke VII mengandung 4 macam serabut, yaitu : 5
1. Serabut somato motorik, yang mensarafi otot-otot wajah (kecuali m.
levator palpebrae (n.III), otot platisma, stilohioid, digastrikus bagian
posterior dan stapedius di telinga tengah).
2. Serabut visero-motorik (parasimpatis) yang datang dari nukleus
salivatorius superior. Serabut saraf ini mengurus glandula dan
mukosa faring, palatum, rongga hidung, sinus paranasal, dan
glandula submaksilaris serta sublingual dan lakrimalis.
3. Serabut visero-sensorik, yang menghantar impuls dari alat pengecap
di dua pertiga bagian depan lidah.
4. Serabut somato-sensorik, rasa nyeri (dan mungkin juga rasa suhu
dan rasa raba) dari sebagian daerah kulit dan mukosa yang
dipersarafi oleh nervus trigeminus.
Nervus fasialis (N.VII) terutama merupakan saraf motorik yang
menginervasi otot- otot ekspresi wajah. Di samping itu saraf ini membawa serabut
parasimpatis ke kelenjar ludah dan air mata dank ke selaput mukosa rongga mulut
dan hidung, dan juga menghantarkan sensasi eksteroseptif dari daerah gendang
telinga, sensasi pengecapan dari 2/3 bagian depan lidah, dan sensasi visceral
umum dari kelenjar ludah, mukosa hidung dan faring, dan sensasi proprioseptif
dari otot yang disarafinya. 5
Secara anatomis bagian motorik saraf ini terpisah dari bagian yang
menghantar sensasi dan serabut parasimpatis, yang terakhir ini sering dinamai
saraf intermedius atau pars intermedius Wisberg. Sel sensoriknya terletak di
ganglion genikulatum, pada lekukan saraf fasialis di kanal fasialis. Sensasi
pengecapan daru 2/3 bagian depan lidah dihantar melalui saraf lingual korda
timpani dan kemudian ke ganglion genikulatum. Serabut yang menghantar sensasi
4
ekteroseptif mempunyai badan selnya di ganglion genikulatum dan berakhir pada
akar desenden dan inti akar decenden dari saraf trigeminus (N.V). hubungan
sentralnya identik dengan saraf trigeminus. 5
Inti motorik nervus VII terletak di pons. Serabutnya mengitari nervus VI,
dan keluar di bagian leteral pons. Nervus intermedius keluar di permukaan lateral
pons, di antara nervus V dan nervus VIII. Nervus VII bersama nervus intermedius
dan nervus VIII memasuki meatus akustikus internus. Di sini nervus fasialis
bersatu dengan nervus intermedius dan menjadi satu berkas saraf yang berjalan
dalam kanalis fasialis dan kemudian masuk ke dalam os mastoid. Ia keluar dari
tulang tengkorak melalui foramen stilomastoid, dan bercabang untuk mersarafi
otot- otot wajah. 5
D. ETIOLOGI
Penyebab adalah kelumpuhan n. fasialis perifer. Umumnya dapat
dikelompokkan sebagai berikut: 1
1. Idiopatik
Sampai sekarang belum diketahui secara pasti penyebabnya yang disebut
bell’s palsy. Faktor-faktor yang diduga berperan menyebabkan Bell’s
Palsy antara lain : sesudah bepergian jauh dengan kendaraan, tidur di
tempat terbuka, tidur di lantai, hipertensi, stres, hiperkolesterolemi,
diabetes mellitus, penyakit vaskuler, gangguan imunologik dan faktor
genetik.
2. Kongenital
anomali kongenital (sindroma Moebius)
trauma lahir (fraktur tengkorak, perdarahan intrakranial .dll.)
3. Didapat
Trauma Penyakit tulang tengkorak (osteomielitis)
Proses intrakranial (tumor, radang, perdarahan dll)
Proses di leher yang menekan daerah prosesus stilomastoideus)
Infeksi tempat lain (otitis media, herpes zoster dll)
Sindroma paralisis n. fasialis familial
5
E. PATOFISIOLOGI
Para ahli menyebutkan bahwa pada Bell’s palsy terjadi proses inflamasi
akut pada nervus fasialis di daerah tulang temporal, di sekitar foramen
stilomastoideus. Bell’s palsy hampir selalu terjadi secara unilateral. Namun
demikian dalam jarak waktu satu minggu atau lebih dapat terjadi paralysis
bilateral. Penyakit ini dapat berulang atau kambuh. Patofisiologinya belum jelas,
tetapi salah satu teori menyebutkan terjadinya proses inflamasi pada nervus
fasialis yang menyebabkan peningkatan diameter nervus fasialis sehingga terjadi
kompresi dari saraf tersebut pada saat melalui tulang temporal. 6
Perjalanan nervus fasialis keluar dari tulang temporal melalui kanalis
fasialis yang mempunyai bentuk seperti corong yang menyempit pada pintu keluar
sebagai foramen mental. Dengan bentukan kanalis yang unik tersebut, adanya
inflamasi, demyelinisasi atau iskemik dapat menyebabkan gangguan dari
konduksi. Impuls motorik yang dihantarkan oleh nervus fasialis bisa mendapat
gangguan di lintasan supranuklear dan infranuklear. Lesi supranuklear bisa
terletak di daerah wajah korteks motorik primer atau di jaras kortikobulbar
ataupun di lintasan asosiasi yang berhubungan dengan daerah somatotropik wajah
di korteks motorik primer. Karena adanya suatu proses yang dikenal awam
sebagai “masuk angin” atau dalam bahasa inggris “cold”. Paparan udara dingin
seperti angin kencang, AC, atau mengemudi dengan kaca jendela yang terbuka
diduga sebagai salah satu penyebab terjadinya Bell’s palsy. Karena itu nervus
fasialis bisa sembab, ia terjepit di dalam foramen stilomastoideus dan
menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN. Pada lesi LMN bisa terletak di pons, di
sudut serebelo-pontin, di os petrosum atau kavum timpani, di foramen
stilomastoideus dan pada cabang-cabang tepi nervus fasialis. Lesi di pons yang
terletak di daerah sekitar inti nervus abdusens dan fasikulus longitudinalis
medialis. Karena itu paralisis fasialis LMN tersebut akan disertai kelumpuhan
muskulus rektus lateralis atau gerakan melirik ke arah lesi. Selain itu, paralisis
nervus fasialis LMN akan timbul bergandengan dengan tuli perseptif ipsilateral
dan ageusia (tidak bisa mengecap dengan 2/3 bagian depan lidah). Berdasarkan
beberapa penelitian bahwa penyebab utama Bell’s palsy adalah reaktivasi virus
herpes (HSV tipe 1 dan virus herpes zoster) yang menyerang saraf kranialis.
6
Terutama virus herpes zoster karena virus ini menyebar ke saraf melalui sel
satelit. Pada radang herpes zoster di ganglion genikulatum, nervus fasialis bisa
ikut terlibat sehingga menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN. Kelumpuhan pada
Bell’s palsy akan terjadi bagian atas dan bawah dari otot wajah seluruhnya
lumpuh. Dahi tidak dapat dikerutkan, fisura palpebra tidak dapat ditutup dan pada
usaha untuk memejam mata terlihatlah bola mata yang berbalik ke atas. Sudut
mulut tidak bisa diangkat. Bibir tidak bisa dicucukan dan platisma tidak bisa
digerakkan. Karena lagophtalmos, maka air mata tidak bisa disalurkan secara
wajar sehingga tertimbun disitu. 6
F. GEJALA KLINIK
Manifestasi klinik BP khas dengan memperhatikan riwayat penyakit dan
gejala kelumpuhan yang timbul. Pada anak 73% didahului infeksi saluran napas
bagian atas yang erat hubungannya dengan cuaca dingin. Perasaan nyeri, pegal,
linu dan rasa tidak enak pada telinga atau sekitarnya sering merupakan gejala awal
yang segera diikuti oleh gejala kelumpuhan otot wajah berupa : 1, 2
Kelopak mata tidak dapat menutupi bola mata pada sisi yang lumpuh
(lagophthalmos).
Gerakan bola mata pada sisi yang lumpuh lambat, disertai bola mata berputar
ke atas bila memejamkan mata, fenomena ini disebut Bell's sign.
Sudut mulut tidak dapat diangkat, lipat nasolabialis mendatar pada sisi yang
lumpuh dan mencong ke sisi yang sehat.
Selanjutnya gejala dan tanda klinik lainnya berhubungan dengan
tempat/lokasi lesi : 1, 2
a. Lesi di luar foramen stilomastoideus Mulut tertarik ke arah sisi mulut yang
sehat,makanan berkumpul di antar pipi dan gusi, dan sensasi dalam (deep
sensation) di wajah menghilang. lipatan kulit dahi menghilang. Apabila mata
yang terkena tidak tertutup atau tidak dilindungi maka air mata akan keluar
terus menerus.
b. Lesi di kanalis fasialis (melibatkan korda timpani) Gejala dan tanda klinik
seperti pada (a), ditambah dengan hilangnya ketajaman pengecapan lidah (2/3
bagian depan) dan salivasi di sisi yang terkena berkurang. Hilangnya daya
7
pengecapan pada lidah menunjukkan terlibatnya nervus intermedius,
sekaligus menunjukkan lesi di daerah antara pons dan titik di mana korda
timpani bergabung dengan nervus fasialis di kanalis fasialis.
c. Lesi di kanalis fasialis lebih tinggi lagi (melibatkan muskulus stapedius)
Gejala dan tanda klinik seperti pada (a), (b), ditambah dengan adanya
hiperakusis.
d. Lesi di tempat yang lebih tinggi lagi (melibatkan ganglion genikulatum)
Gejala dan tanda klinik seperti (a), (b), (c) disertai dengan nyeri di belakang
dan di dalam liang telinga. Kasus seperti ini dapat terjadi pasca herpes di
membran timpani dan konka. Ramsay Hunt adalah paralisis fasialis perifer
yang berhubungan dengan herpes zoster di ganglion genikulatum.Lesi
herpetik terlibat di membran timpani, kanalis auditorius eksterna dan pina.
e. Lesi di daerah meatus akustikus interna, Gejala dan tanda klinik seperti (a),
(b), (c), (d), ditambah dengan tuli sebagi akibat dari terlibatnya nervus
akustikus.
G. DIAGNOSA
1. Anamnesa 4
a. Rasa nyeri
b. Gangguan atau kehilangan pengecapan.
c. Riwayat pekerjaan dan adakah aktivitas yang dilakukan pada malam hari
di ruangan terbuka atau di luar ruangan.
d. Riwayat penyakit yang pernah dialami oleh penderita seperti infeksi
saluran pernafasan, otitis, herpes, dan lain-lain.
2. Pemeriksaan Fisik
Gerakan volunter yang diperiksa, dianjurkan minimal : 4
a. Mengerutkan dahi
b. Memejamkan mata
c. Mengembangkan cuping hidung
d. Tersenyum
e. Bersiul
8
f. Mengencangkan kedua bibir
3. Pemeriksaan Laboratorium.
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk menegakkan
diagnosis Bell’s palsy. 4
4. Pemeriksaan Radiologi.
Pemeriksaan radiologi bukan indikasi pada Bell’s palsy. Pemeriksaan CT-
Scan dilakukan jika dicurigai adanya fraktur atau metastasis neoplasma ke
tulang, stroke, sklerosis multipel dan AIDS pada CNS. Pemeriksaan MRI
pada pasien Bell’s palsy akan menunjukkan adanya penyangatan
(Enhancement) pada nervus fasialis, atau pada telinga, ganglion genikulatum. 4
H. DIAGNOSA BANDING
1. Infeksi herpes zoster pada ganglion genikulatum (Ramsay Hunt syndrom)
Ramsay Hunt Syndrome (RHS) adalah infeksi saraf wajah yang disertai
dengan ruam yang menyakitkan dan kelemahan otot wajah. 2
Tanda dan gejala RHS meliputi: 2
Ruam merah yang menyakitkan dengan lepuh berisi cairan di gendang
telinga, saluran telinga eksternal, bagian luar telinga, atap dari mulut
(langit-langit) atau lidah
Kelemahan (kelumpuhan) pada sisi yang sama seperti telinga yang
terkinfeksi
Kesulitan menutup satu mata
Sakit telinga
Pendengaran berkurang
Dering di telinga (tinnitus)
Sebuah sensasi berputar atau bergerak (vertigo)
Perubahan dalam persepsi rasa
9
2. Miller Fisher Syndrom
Miller Fisher syndrom adalah varian dari Guillain Barresyndrom yang
jarang dijumpai. Miiler Fisher syndrom atau Acute Disseminated
Encephalomyeloradiculopaty ditandai dengan trias gejala neurologis berupa
opthalmoplegi, ataksia, dan arefleksia yang kuat. Pada Miller Fisher syndrom
didapatakan double vision akibat kerusakan nervus cranial yang
menyebabkan kelemahan otot – otot mata. Selain itu kelemahan nervus
facialis menyebabkan kelemahan otot wajah tipe perifer. Kelumpuhan nervus
facialis tipe perifer pada Miller Fisher syndrom menyerang otot wajah
bilateral. Gejala lain bisa didapatkan rasa kebas, pusing dan mual. 2
I. PENATALAKSANAAN
1. Istirahat terutama pada keadaan akut
2. Medikamentosa
a. Pemberian kortikosteroid (perdnison dengan dosis 40 -60 mg/hari per
oral atau 1 mg/kgBB/hari selama 3 hari, diturunkan perlahan-lahan
selama 7 hari kemudian), dimana pemberiannya dimulai pada hari
kelima setelah onset penyakit, gunanya untuk meningkatkan peluang
kesembuhan pasien.
Dasar dari pengobatan ini adalah untuk menurunkan kemungkinan
terjadinya kelumpuhan yang sifatnya permanen yang disebabkan oleh
pembengkakan nervus fasialis di dalam kanal fasialis yang sempit. 1, 8
b. Penggunaan obat- obat antivirus. Acyclovir (400 mg selama 10 hari)
dapat digunakan dalam penatalaksanaan Bell’s palsy yang
dikombinasikan dengan prednison atau dapat juga diberikan sebagai
dosis tunggal untuk penderita yang tidak dapat mengkonsumsi
prednison. Penggunaan Acyclovir akan berguna jika diberikan pada 3
hari pertama dari onset penyakit untuk mencegah replikasi virus. 1, 8
c. Perawatan mata: 1, 8
Air mata buatan: digunakan selama masa sadar untuk
menggantikan lakrimasi yang hilang.
10
Pelumas digunakan saat tidur: Dapat digunakan selama masa
sadar jika air mata buatan tidak mampu menyedikan
perlindungan yang adekuat. Satu kerugiannya adalah
pandangan kabur.
Kacamata atau tameng pelindung mata dari trauma dan
menurunkan pengeringan dengan menurunkan paparan udara
langsung terhadap kornea
3. Fisioterapi
Sering dikerjakan bersama-sama pemberian prednison, dapat dianjurkan pada
stadium akut. Tujuan fisioterapi untuk mempertahankan tonus otot
yang lumpuh. Cara yang sering digunakan yaitu : mengurut/massage otot
wajah selama 5 menit pagi-sore atau dengan faradisasi. 1, 8
4. Operasi
Tindakan operatif umumnya tidak dianjurkan pada anak-anak karena dapat
menimbulkan komplikasi lokal maupun intracranial.
Tindakan operatif dilakukan apabila : 1, 8
tidak terdapat penyembuhan spontan
tidak terdapat perbaikan dengan pengobatan prednison
J. KOMPLIKASI
1. Crocodile tear phenomenon.
Yaitu keluarnya air mata pada saat penderita makan makanan. Ini timbul
beberapa bulan setelah terjadi paresis dan terjadinya akibat dari regenerasi
yang salah dari serabut otonom yang seharusnya ke kelenjar saliva tetapi
menuju ke kelenjar lakrimalis. Lokasi lesi di sekitar ganglion genikulatum. 2,
9,10
2. Synkinesis
Dalam hal ini otot-otot tidak dapat digerakkan satu per satu atau tersendiri.
selalu timbul gerakan bersama. Misal bila pasien disuruh memejamkan mata,
maka akan timbul gerakan (involunter) elevasi sudut mulut,kontraksi
platisma, atau berkerutnya dahi. Penyebabnya adalah innervasi yang salah,
11
serabut saraf yang mengalami regenerasi bersambung dengan serabut-serabut
otot yang salah. 2, 9,10
3. Tic Facialis sampai Hemifacial Spasme
Timbul “kedutan” pada wajah (otot wajah bergerak secara spontan dan tidak
terkendali) dan juga spasme otot wajah, biasanya ringan. Pada stadium awal
hanya mengenai satu sisi wajah saja, tetapi kemudian dapat mengenai pada
sisi lainnya. Kelelahan dan kelainan psikis dapat memperberat spasme ini.
Komplikasi ini terjadi bila penyembuhan tidak sempurna, yang timbul dalam
beberapa bulan atau 1-2 tahun kemudian. 2, 9,10
K. PROGNOSIS
Walaupun tanpa diberikan terapi, pasien Bell’s palsy cenderung memiliki
prognosis yang baik. Dalam sebuah penelitian pada 1.011 penderita Bell’s palsy,
85% memperlihatkan tanda-tanda perbaikan pada minggu ketiga setelah onset
penyakit. 15% kesembuhan terjadi pada 3-6 bulan kemudian. 3, 6, 7
Sepertiga dari penderita Bell’s palsy dapat sembuh seperti sedia kala tanpa
gejala sisa. 1/3 lainnya dapat sembuh tetapi dengan elastisitas otot yang tidak
berfungsi dengan baik. Penderita seperti ini tidak memiliki kelainan yang nyata.
1/3 sisanya cacat seumur hidup. 3, 6, 7
Penderita Bell’s palsy dapat sembuh total atau meninggalkan gejala
sisa. Faktor resiko yang memperburuk prognosis Bell’s palsy adalah: 3, 6, 7
1. Usia di atas 60 tahun
2. Paralisis komplit
3. Menurunnya fungsi pengecapan atau aliran saliva pada sisi yang lumpuh,
4. Nyeri pada bagian belakang telinga dan
5. Berkurangnya air mata.
Pada penderita kelumpuhan nervus fasialis perifer tidak boleh dilupakan
untuk mengadakan pemeriksaan neurologis dengan teliti untuk mencari gejala
neurologis lain.
Pada umumnya prognosis Bell’s palsy baik: sekitar 80-90 % penderita
sembuh dalam waktu 6 minggu sampai tiga bulan tanpa ada kecacatan. Penderita
yang berumur 60 tahun atau lebih, mempunyai peluang 40% sembuh total dan
12
beresiko tinggi meninggalkan gejala sisa. Penderita yang berusia 30 tahun atau
kurang, hanya punya perbedaan peluang 10-15 persen antara sembuh total dengan
meninggalkan gejala sisa. Jika tidak sembuh dalam waktu 4 bulan, maka penderita
cenderung meninggalkan gejala sisa, yaitu sinkinesis, crocodile tears dan kadang
spasme hemifasial. 3, 6, 7
Penderita diabetes 30% lebih sering sembuh secara parsial dibanding
penderita nondiabetik dan penderita DM lebih sering kambuh dibanding yang non
DM. Hanya 23 % kasus Bells palsy yang mengenai kedua sisi wajah. Bell’s palsy
kambuh pada 10-15 % penderita. Sekitar 30 % penderita yang kambuh ipsilateral
menderita tumor N. VII atau tumor kelenjar parotis. 3, 6, 7
13
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Bell’s palsy adalah kelumpuhan akut dari nervus fasialis VII yang
dapat menyebabkan gangguan pada indera pengecapan, yaitu pada dua per tiga
anterior lidah. Penyakit ini lebih sering ditemukan pada usia dewasa dan jarang
pada anak.
Diagnosis dapat ditegakkan secara klinik setelah kausa yang jelas untuk
lesi n. fasialis perifer disingkirkan. Terapi yang dianjurkan saat ini ialah
pemberian prednison, fisioterapi dan kalau perlu operasi
14
DAFTAR PUSTAKA
1. Djamil Y, A Basjiruddin. Paralisis Bell. Dalam: Harsono, ed. Kapita selekta
neurologi; Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.2009. hal 297-300
2. Dr P Nara, Dr Sukardi, Bell’s Palsy,
“http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/sPalsy.pdf/ sPalsy.html” (diakses
tanggal 23 agustus 2015)
3. Danette C Taylor, DO, MS. 2011, Bell
Palsy,“http://emedicine.medscape.com/article/1146903-overview#a0156”
(diakses tanggal 23 agustus 2015).
4. Annsilva, 2010, Bell’s Palsy,
“http://annsilva.wordpress.com/2010/04/04/bell’s-palsy-case-report/”
(diakses tanggal 23 agustus 2015)
5. Lumbantobing. 2007.Neurologi Klinik.Jakarta: Universitas Indonesia.
6. Irga, 2009, Bell’s Palsy, “http://www.irwanashari.com/260/bells-palsy.html”,
(diakses tanggal 23 agustus 2015)
7. Weiner HL, Levitt LP. Ataksia. Wita JS, editor. Buku Saku Neurologi. Ed 5.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2001. Hal. 174
8. Nurdin, Moslem Hendra, 2010, Bell Palsy,
http://coolhendra.blogspot.com/2010/08/bell-palsy.html (diakses tanggal 23
agustus 2015)
9. Sabirin J. Bell’s Palsy. Dalam : Hadinoto dkk. Gangguan Gerak. Cetakan I.
Semarang : Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, 1990 : 171-81 2
10. Sidharta P. Tata Pemeriksaan Klinis dalam Neurologi. Edisi ke-2.Jakarta :
Dian Rakyat, 1985 : 311-17