cerebral palsy

37

Upload: yulius-andi-ruslim

Post on 08-Aug-2015

171 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

cerebral palsy

TRANSCRIPT

Page 1: cerebral palsy
Page 2: cerebral palsy

DAFTAR ISI

PENDAHULUAN...........................................................................................................................................3

DEFINISI.......................................................................................................................................................4

EPIDEMIOLOGI............................................................................................................................................4

ETIOLOGI.....................................................................................................................................................5

NEUROPATOLOGI........................................................................................................................................7

PATOFISIOLOGI...........................................................................................................................................8

KLASIFIKASI..........................................................................................................................................13

DIAGNOSIS.............................................................................................................................................16

PEMERIKSAAN PENUNJANG.....................................................................................................................18

PENATALAKSANAAN.................................................................................................................................19

DERAJAT CEREBRAL PALSY.......................................................................................................................20

PROGNOSIS.............................................................................................................................................23

DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................................24

2

Page 3: cerebral palsy

PENDAHULUAN

Cerebral palsy (CP) merupakan salah satu kecacatan pada anak yang sering ditemukan

dalam masyarakat. Penderita CP sebagian besar mempunyai keterbatasan aktifitasnya seperti

manusia normal lainnya dan memberikan dampak sosial bagi penderita dan keluarganya.

Prevalensi CP bervariasi, kecenderungan peningkatan prevalensi pada dua dekade terakhir. Hal

ini disebabkan kemajuan penanganan obstetri dan perinatal, sehingga terdapat jumlah bayi

immatur, berat lahir rendah dan bayi prematur dengan komplikasi yang bertahan hidup.

3

Page 4: cerebral palsy

DEFINISI

Cerebral palsy atau disingkat dengan CP adalah sekelompok gangguan gerak atau postur

yang disebabkan oleh lesi yang tidak progresif yang menyerang otak yang sedang berkembang

(immatur). Lesi yang terjadi sifatnya menetap selama hidup, tetapi perubahan gejala bisa terjadi

sebagai akibat proses pertumbuhan dan maturasi otak. Kerusakan jaringan saraf yang tidak

progresif pada saat prenatal dan sampai 2 tahun post natal termasuk dalam kelompok CP.

Cerebral palsy bukanlah termasuk penyakit secara tersendiri, tetapi istilah yang diberikan untuk

sekelompok gejala motorik yang bervariasi akibat lesi otak yang tidak progresif. Gejala motorik

merupakan gejala yang menonjol dan memberikan pola gerakan abnormal tertentu. Meskipun

diagnosis terutama ditentukan berdasarkan kelainan motorik, gejala lain bisa menyertai penderita

CP sesuai dengan daerah kerusakan otak yang terjadi.

EPIDEMIOLOGI

Cerebral palsy merupakan penyebab kecatatan tersering pada anak. Prevalensi CP

bervariasi, pada umumnya banyak peneliti mendapatkan sekitar 2,0/1000 anak usia sekolah.

Didapatkan adanya kecenderungan peningkatan prevalensi pada dua dekade terakhir. Hal ini

disebabkan kemajuan penanganan obstetri dan perinatal, sehingga terdapat peningkatan bayi

immatur, berat lahir rendah dan bayi prematur dengan komplikasi yang bertahan hidup. Insiden

bervariasi antara 2-2,5/1000 bayi lahir hidup. Di USA perkiraan prevalensi pada yang sedang

atau berat antara 1,5-2,5/1000 kelahiran, kurang lebih mengenai 1.000.000 orang.

Kecenderungan peningkatan prevalensi pada kongenital CP dari 1,7 menjadi 2,0/1000 kelahiran

hidup pada periode 1975-1991. Peningkatan ini akibat sedikit peningkatan kasus CP pada bayi

dengan berat badan normal. Hal ini diduga akibat metode diagnostik yang berbeda dalam kurun

waktu tersebut. Peneliti lain mendapatkan prevalensi CP 2,1/1000 neonatus yang bertahan hidup.

Prevalensi menurut berat badan antara 1,1 neonatus dengan berat lahir >2500gr sampai 78,1 pada

bayi dengan berat lahir <1000gr.

4

Page 5: cerebral palsy

ETIOLOGI

Cerebral palsy terjadi akibat kerusakan otak saat periode prenatal, perinatal dan post

natal. Sekitar 70-80% terjadi akibat kerusakan otak saat prenatal. Bayi lahir prematur dan

gangguan pertumbuhan saat kehamilan baik pada bayi prematur maupun yang cukup bulan

sebagai penyebab yang sering didapatkan saat prenatal. Resiko terjadinya CP 25-31 kali lebih

tinggi pada bayi berat lahir kurang dari 1500gr dan didapatkan 1/3 bayi dengan gejala CP dengan

berat lahir kurang dari 2500gr. Bayi lahir prematur merupakan faktor tersering dan secara

konsisten berhubungan dengan CP. Bayi kecil menurut usia kehamilan (intra uterine growth

retardation) yang lahir setelah 32 minggu meningkatkan resiko menderita CP. Data terakhir

diduga disebabkan oleh intrauterine undernutrition dan hipoksia kronik, yang dapat dideteksi

pada pemeriksaan darah fetal, menunjukkan asidosis atau peningkatan konsentrasi eritropoetin

dan adanya redistribusi aliran darah fetal dengan pemeriksaan USG Doppler. Kehamilan multipel

meningkatkan resiko 9/1000 pada bayi kembar dua dan 30/1000 bayi kembar tiga. Kelainan

kongenital yang terjadi akibat gejala sisa infeksi cytomegalovirus sekitar 0,03% dari yang lahir

hidup, toksoplasmosis kongenital 1/10.000 kelahiran di Inggris. Infeksi bakteri yang terjadi pada

ibu hamil bermakna menunjukkan hubungan dengan peningkatan resiko terjadinya CP. Infeksi

maternal berpotensi menyebabkan persalinan prematur dan adanya resiko tambahan

berhubungan dengan terjadinya leukomalasia periventrikuler. Defisiensi iodium sudah menjadi

penyebab yang nyata terjadinya kerusakan otak dalam kehamilan. Adanya malnutrisi kalori dan

protein pada intrauterine growth retardation dan kelainan neurologi belum jelas, tetapi pada

kalangan sosial ekonomi rendah terdapat hubungan dengan kejadian CP dan pada banyak

penelitian menduga perhatian terhadap kecukupan nutrisi ibu hamil bisa bermanfaat. Ibu hamil

yang mengkonsumsi alkohol 40gr/hari meningkatkan terjadinya kelainan neurologi, tetapi tidak

jelas pada yang mengkonsumsi dalam jumlah sedang. Kokain menyebabkan kerusakan pada

otak, akibat mempunyai efek vasokonstriktor dan infark otak kadang terlihat dengan

pemeriksaan USG setelah lahir. Hipertensi dalam kehamilan berhubungan dengan meningkatnya

resiko CP pada bayi lahir lebih 32 minggu, diduga insufisiensi plasenta jangka lama

mengakibatkan kerusakan organ pada bayi lahir aterm. Studi terakhir menduga bahwa terapi

preeklamsia menggunakan magnesium memberikan hasil yang bermakna dalam menurunkan

insiden CP pada bayi lahir sebelum 32 minggu. Ion magnesium berfungsi menutup reseptor

5

Page 6: cerebral palsy

NMDA, sehingga dapat mencegah eksitasi neuron dan menghambat efek sitotoksik dari hipoksia

akut, merupakan mekanisme biologis yang bisa menjelaskan hubungan tersebut. Sekitar 10%

kasus Cerebral palsy disebabkan asfiksia saat melahirkan. Asfiksia akan menyebabkan proses

hipoksik-iskemik-ensefalopati. Meskipun asfiksia telah jelas berhubungan, faktor-faktor

abnormal prenatal (intra uterine growth retardation dan congenital malformation) mempunyai

kontribusi pada stres perinatal. Bayi mengalami asfiksia bisa diakibatkan adanya partus lama,

presentasi kepala abnormal, lilitan umbilikus pada leher dan bayi post matur. Bayi mengalami

asfiksia ditandai dengan nilai APGAR skor yang rendah, denyut jantung janin abnormal saat

persalinan dan dijumpai adanya asidosis. Pesentasi non vertek termasuk presentasi wajah

berhubungan dengan meningkatnya resiko CP. Interprestasi dari fakta tersebut, bahwa presentasi

abnormal bukan merupakan penyebab CP, tapi lebih merupakan pertanda akibat kesulitan

persalinan yang mungkin timbul. Pada anak yang lahir sebelum era perawatan intensif neonatal

yang modern, didapatkan perbedaan yang bermakna adanya khorionitis pada plasenta pada anak

dengan CP dibanding yang bukan CP. Pada saat ini khorionitis berhubungan dengan

prematuritas, dan kaitan antara keduanya sekarang dengan meningkatnya bayi yang bertahan

hidup dan adanya hubungan antara leukomalasia periventrikuler dan amnionitis (bisa diakibatkan

komplikasi khorionitis). Khorionitis baik secara langsung maupun tidak langsung mempunyai

kontribusi terhadap CP dengan meningkatkan resiko primaturitas. Meningitis atau ensefalitis

pada saat neonatal atau anak dapat menyebabkan gangguan fungsi saraf berat. Penurunan

terjadinya kernikterus sebagai akibat peningkatan panatalaksanaan penyakit rhesus telah berhasil

menurunkan terjadinya kelainan neurologis. Bagaimanapun juga ,hiperbilirubinemia merupakan

penyebab yang bermakna adanya kerusakan otak, pada 219 kasus distonik dan diskinetik,

didapatkan 57 kasus akibat hiperbilirubinemia berat. Pada penelitian lain dengan kadar bilirubin

2,3-22,5mg/100ml, tidak didapatkan bukti ada hubungan dengan keterlambatan perkembangan,

terbentuknya kista periventrikuler dan CP pada bayi prematur. Di Australia barat kecelakaan

lalulintas dan child abuse sebagai penyebab yang bermakna terjadinya gangguan perkembangan

saraf.

6

Page 7: cerebral palsy

NEUROPATOLOGI

Gambaran patologi Cerebral palsy bersifat komplek, area yang bisa terkena adalah kortek

motorik, regio periventrikuler, ganglia basalis, batang otak dan serebelum. Anak yang menderita

cacat berat cenderung mengalami atrofi yang luas, termasuk di area subkortikal, ganglia basalis,

hemisferium serebri atau forensefali. Pada keadaan yang berat tampak ensefalomalasia kistik

multipel atau iskemia yang menyeluruh. Pada keadaan yang lebih ringan terjadi nekrosis

didaerah periventrikel substansia alba dan terjadi atrofi yang difus pada substansia kortek serebri.

Kelainan tersebut dapat fokal atau menyeluruh tergantung tempat yang terkena. Pada CP

yang ringan kadang-kadang jaringan otak tampak normal tetapi dengan berat otak yang

berkurang. Tidak didapatkannya area yang abnormal membuat dukungan pada dugaan bahwa

sebagian CP mengalami abnormalitas gangguan perkembangan pada tingkatan mikroskopis.

Pada pemeriksaan neuroimaging bisa didapatkan kelainan berupa leukomalasia periventrikuler,

malformasi kongenital, atropi kortikal/subkortikal, kista forensefali atau adanya kista yang

multipel.

Kelainan di ganglia basalis akibat proses hipoksik-iskemik-ensefalopati saat neonatal,

pada gambaran mikroskopis didapatkan adanya gambaran pola marbled. Pada satu laporan kasus

pada 111 anak dengan CP tipe hemiplegi spastik, dengan pemeriksaan CT Scan, didapatkan 29%

normal, atrofi periventrikel 42%, malformasi kongenital 17%, kortikal-subkortikal atrofi 12%

dan kelainan lain 3%. Kragelohmann dengan pemeriksaan MRI pada tipe kuadriplegi spastik 9%

normal, 9% malformasi, 68% kerusakan pada substansia alba dan 14% kerusakan subkortikal.

Hayakawa melakukan pemeriksaan MRI pada tipe diplegi spastik, 21% normal, 0% malformasi,

70% kerusakan substansia alba dan 9% kerusakan subkortikal.

7

Page 8: cerebral palsy

PATOFISIOLOGI

Kerusakan otak saat prenatal, perinatal dan postnatal disebabkan oleh insufisiensi

vaskuler, infeksi, genetik, trauma maupun metabolik. Berbagai penelitian menunjukkan adanya

defisit neurologi yang terjadi disebabkan oleh malformasi serebral akibat murni kelainan gestasi.

Dengan kompleksnya jaringan otak dan kepekaan pada tiap tahap perkembangan otak,

memberikan kelainan yang berbeda. Iskemia serebral sebelum usia kehamilan 20 minggu akan

terjadi defisit migrasi neuronal, antara 26-34 minggu terjadi leukomalasia periventrikuler dan

antara 34-40 minggu terjadi kerusakan fokal atau multifokal. Kerusakan otak akibat insufisiensi

vaskuler sebelum aterm terjadi pada daerah periventrikel. Pada kehamilan 26-34 minggu, daerah

watersheath zone ini sangat peka dengan adanya proses hipoksik-iskemik-ensefalopati,

menyebabkan terjadinya infark yang diikuti terbentuknya daerah kistik, disusul terjadinya

dilatasi ventrikel.

Dapat juga terjadi perdarahan di matrik germinal maupun pada daerah subependimal

ventrikel. Perdarahan terjadi karena meningkatnya sirkulasi didaerah infark yang menyebabkan

rupturnya pembuluh darah akibat masih rapuhnya dinding pembuluh darah atau karena rupturnya

pembuluh darah dilapisan ependim ventrikel. Pada korona radiata bagian medial merupakan jaras

motorik untuk ekstremitas bawah, oleh karena itu sering terjadi kelainan tipe diplegi spastik.

Patogenesis dari leukomalasia periventrikuler sendiri masih belum jelas dan kemungkinan besar

bersifat multifaktorial. Terdapat 4 faktor yang diduga berperanan.

Faktor pertama karena tidak adekuatnya perfusi darah dan terjadinya infark didaerah

watersheath zones periventrikel. Yang kedua akibat terganggunya autoregulasi dengan

pemeriksaan doppler ultra sound, terutama pada bayi prematur yang pernah mengalami kejadian

hipoksik-iskemik. Faktor ketiga akibat pekanya terhadap neurotransmiter eksitatorik seperti

glutamat pada saat awal proses terjadinya deferensiasi oligodendroglia. Kepekaan ini mungkin

akibat tidak adekuatnya enzim antioksidan seperti katalase dan glutathion peroksidase selama

periode tersebut. Teraktifasinya pertukaran antara glutamat-sistein, terjadi penurunan sistein,

mengakibatkan terhambatnya sintesis gluthation. Yang terakhir citokine mempunyai peranan

penting dalam menginduksi kerusakan substansia alba. Studi retrospektif menunjukkan, dalam

darah neonatus menunjukkan tingginya kadar citokine dan TNF alfa pada anak lahir prematur

maupun matur dengan spastik diplegi dibanding kontrol. Diduga Citokine seperti interferon-γ,

8

Page 9: cerebral palsy

TNF-α, IL-6, IL-8 merusak substansia alba dengan terjadinya hipotensi atau induksi iskemia

melalui terjadinya intravaskuler koagulasi. Mekanisme utama kematian sel pada bayi prematur

akibat pekanya sel oligo- dendroglia deferensiasi awal pada iskemia terhadap paparan radikal

bebas.

Disamping itu juga terjadi akibat pembentukan reaktif oksigen, aktifitas sitokin dan

leukosit, ditambah dengan peningkatan kadar glutamat dan kadar glutathion yang rendah. Pada

penelitian dengan kultur oligodendrosit, didapatkan kerusakan lebih besar terjadi pada immatur

daripada matur oligodendrosit dan pada medium yang mengandung sistein mengalami kerusakan

lebih kecil pada paparan radikal bebas. Sistein diperlukan untuk membentuk glutathion

peroksidase yang merupakan antioksidan yang merubah H2O2 menjadi H20+O2.

Pada penelitian eksperimental diduga bahwa inflamasi-infeksi intrauterin maternal dan

sitokin berhubungan dengan terjadinya leukomalasia perventrikuler. Insiden leukomalasia

periventrikuler meningkat pada bayi lahir prematur yang didapatkan adanya peningkatan insiden

infeksi plasenta maternal, peningkatan IL-6 pada darah palsenta, peningkatan IL-6 dan 1 beta

pada cairan amnion, peningkatan interferon gamma, IL6, IL1 diantara sitokin yang lain pada

darah neonatus. Pada penelitian dengan kultur menunjukkan oligodendrosit yang imatur lebih

peka terhadap toksisitas interferon gama. TNF alfa meningkatkan toksisitas interferon gama.

Adanya iskemia menyebabkan aktifasi mikroglia, sekresi sitokin, migrasi makrofag, dan sel-sel

inflamasi. Infeksi dan sitokin bisa menyebabkan terjadinya iskemia. Endotoksin dapat merusak

endotel vaskuler dan menyebabkan hipotensi pada anjing yang baru lahir, untuk membentuk lesi

seperti leukomalasia periventrikuler. Sitokin mempunyai efek vasoaktif (seperti TNF alfa) akan

menyebabkan kaskade inflamasi dan gangguan regulasi serebrovaskuler. Insiden leukomalasia

periventrikuler lebih tinggi pada bayi yang terdapat perdarahan intraventrikuler. Perdarahan

merupakan sumber yang kaya Fe++ untuk terbentuknya radikal hidroxy. Pada kehamilan aterm,

di mana pembuluh darah hampir sama dengan orang dewasa, terjadinya infark pada daerah yang

mendapat vaskularisasi dari cabang utama pembuluh darah otak. Sering terjadi pada cabang A.

karotis media menyebabkan kelainan tipe hemiplegi spastik. Hal ini diduga akibat emboli yang

didapat dari infark plasenta, sepsis, material dari janin yang mati pada kehamilan kembar.

Pada serial kasus 22% terjadi setelah asfiksia perinatal dengan onset pada 3 hari pertama

kelahiran. Selama asfiksia perinatal terjadi 3 efek vaskuler pada fase awal dan 2 efek vaskuler

pada kondisi lanjut. Efek awal berupa terjadi peningkatan kardiak output, peningkatan aliran

9

Page 10: cerebral palsy

darah regional atau total dan hilangnya autoregulasi vaskuler. Pada tahap lanjut penurunan

kardiak output mengakibatkan hipotensi sistemik dan diikuti penurunan aliran darah otak.

Mekanisme peningkatan aliran darah serebral pada tahap awal akibat terjadinya vasodilatasi

pembuluh darah disebabkan oleh hipoksemia atau hiperkapnia atau akibat peningkatan ion

hidrogen perivaskuler. Akibat peningkatan aliran darah otak dapat terjadi perdarahan pada

pembuluh darah yang peka.

Terganggunya autoregulasi sensitif terjadi akibat perubahan kadar gas darah. Penurunan

PO2 yang menyebabkan saturasi O2 sampai dibawah 50%, dipertimbangkan sebagai ambang

hipoksia dalam mengakibatkan gangguan auotoregulasi. Cepat dan beratnya hipotensi yang

terjadi tergantung lama dan beratnya asfiksia. Penyebab ini terutama diakibatkan penurunan

kardiak output, mungkin diakibatkan efek sekunder dari terganggunya miokardium, hipoksia

menginduksi terjadinya bradikardi dan kemudian diikuti dengan penurunan aliran darak ke

otak/iskemia. Ensefalopati akibat hiperbilirubin menyebabkan kerusakan neuron yang spesifik

pada tempat tertentu. Daerah tersebut meliputi utamanya basal ganglia, bisa juga mengenai

globus palidus, nukleus subtalamikus, hipokampus, substansia nigra, nukleus vestibularis,

kokhlearis dan fasialis dan nukleus dentatus serebelum. Status marmoratus, merupakan lesi

terjarang, terjadi kerusakan di basal ganglia (thalamus, nukleus kaudatus, globus palidus dan

putamen).

Hal ini merupakan akibat dari proses hipoksik-iskemik-ensefalopati yang terjadi pada

neonatus dan lebih sering mengenai bayi aterm dengan gambaran seperti marbled akibat pola

mielin yang tidak normal. Alasan mengapa secara selektif terdapat kepekaan pada ganglia basalis

terhadap asfiksia belum sepenuhnya dimengerti. Terdapat dugaan bahwa daerah ini mempunyai

kadar O2 baseline yang tinggi dengan pemeriksaan positron emission tomograpy (PET). Data

eksperimental mendapatkan kepekaan daerah ini ditentukan oleh pola neurotransmiter. Tujuan

observasi efek primer glutamat pada kerusakan neuron di ganglia basalis, diduga ditentukan oleh

perbedaan fenotipe reseptor glutamat, maturitas neuron dan berat serta lamanya asfiksia. Kista

forensefali adalah kista intraparenkim besar yang berhubungan dengan ventrikel. Hal ini sering

terjadi akibat infark pada arteri besar, utamanya A. serebri media, meskipun juga bisa terjadi

akibat sekuele perdarahan intra ventrikel grade IV yang menyebabkan perluasan ventrikel kearah

daerah hematom yang sudah diabsorbsi.

10

Page 11: cerebral palsy

Patogenesis terjadinya perdarahan intraventrikuler tidak sepenuhnya dimengerti. Pada

bayi prematur terdapat padatnya vaskularisasi pada subependimal matrik germinal, dimana pada

bayi immatur sebagian besar suplai darah serebrum kedaerah tersebut. Disamping itu kapiler

pada bayi prematur mempunyai membran basalis yang tipis. Dan yang terakhir adanya hipoksia

menyebabkan tekanan arterial berfluktuasi mengenai kapiler periventrikel yang rapuh. Iskemia,

hipoksia dan trauma yang terjadi pada otak janin pada semeter kedua dan ketiga dapat

menyebabkan malformasi yang bukan terjadi primer akibat kelainan genetik. Akibat

perkembangan otak belum sempurna, lesi yang terjadi menyebabkan gangguan perkembangan

dan dapat menyebabkan hambatan migrasi neuroblast atau glioblast sebelum prosesnya lengkap.

Dapat menyebabkan fokal displasia atau laminasi kortikal dan heterotopia akibat neuron yang

berhenti dalam migrasinya.

Pada tahun 1995, postulat volpe membagi hipoksik-iskemik neuropatologi menjadi 5

subtipe dasar:

1. Nekrosis parasagital otak besar, terjadi pada bayi cukup bulan, manifestasi jangka

panjang berupa kuadriplegi spastik. Parasagital area merupakan daerah yang

mendapat vaskularisasi dari cabang paling perifer dari ketiga arteri besar serebral.

Pada penelitian eksperimental menunjukkan daerah para sagital kortek merupakan

daerah yang paling awal dan paling berat mengalami kerusakan setelah asfiksia yang

berkepanjangan. Kerusakan lebih maksimal pada regio parieto-oksipital posterior.

2. Leukomalasia periventrikuler, terjadi pada bayi prematur, lesi kecil menyebabkan

kelainan spastik diplegi dan lesi luas menyebabkan kelinanan tipe kuadriplegi dengan

defisit visual dan kognitif. Lesi lebih tampak nyata didaerah posterior horn ventrikel

lateral, optik radiasi bisa terlibat dan dapat menyebakan gangguan visual kortikal.

3. Nekrosis otak fokal atau multifokal, akibat infark pada daerah vaskularisasi pembuluh

darah. Dimana sering mengenai cabang A. serebri media menyebabkan kelainan tipe

hemiplegi spastik.

4. Status marmoratus, merupakan lesi terjarang, terjadi kerusakan di basal ganglia,

thalamus, nukleus kaudatus, globus palidus dan putamen. Hal ini merupakan akibat

dari proses hipoksik-iskemik-ensefalopati yang terjadi pada neonatus dan lebih sering

mengenai bayi aterm.

11

Page 12: cerebral palsy

5. Nekrosis neuronal selektif, merupakan cedera yang tersering terjadi. Terdapat neuron

spesifik yang peka termasuk CA 1 dan subkulum hipokampus, ganglion genikulatum

lateral dan thalamus, nukleus kaudatus, basal ganglia, putamen, nukleus N.V dan VII.

Gejala yang timbul jangka panjang menyebakan retardasi mental dan kejang.

12

Page 13: cerebral palsy

KLASIFIKASI

Klasifikasi klinis digunakan untuk menggambarkan masalah yang spesifik, untuk

memperkirakan prognosis dan penanganan yang diberikan. Dibagi menjadi tipe spastik

(piramidal), diskinetik (ekstrapiramidal), tipe atonik (hipotonik), tipe ataksik dan campuran. Tipe

spastik sering didapatkan, mengenai sekitar 75% anak dengan CP, sedang 25% terbagi pada tipe

diskinetik dan campuran. Pada tipe spastik berdasarkan distribusi topografi kelainan yang terjadi

dibagi menjadi monoplegia, diplegia, triplegi, kuadriplegi dan hemiplegi. Tipe monoplegi dan

triplegi sangat jarang ditemukan. Pada tipe diplegi sering terjadi pada bayi lahir prematur, pada

bayi aterm penyebabnya lebih komplek, pada 28% kasus tidak dapat diidentifikasi. Ekstremitas

atas mempunyai gangguan yang lebih ringan, gangguan lebih berat terjadi pada ekstremitas

bawah.

Gangguan kognitif didapatkan pada sekitar 30% pada tipe ini. Kelainan mata, 50%

berupa strabismus dan gangguan visus sekitar 63%. Epilepsi terjadi pada 20-25% kasus.

Pemeriksaan MRI didapatkan adanya leukomalasia periventrikuler atau post hemoragik

forensefali. Pada tipe kuadriplegi spastik kelainan terjadi pada keempat ekstremitas. Pada tipe ini

50% akibat faktor prenatal, 30% perinatal dan 20% postnatal. Lebih sering didapatkan kesulitan

menelan dan prosentase yang tinggi adanya gangguan kognitif. Tingginya kejadian kelainan

visual dan biasanya dengan derajat yang lebih berat. Sekitar separuh mengalami epilepsi. Pada

MRI anak lahir prematur didapatkan gambaran leukomalasia periventrikuler, anak lahir aterm

didapatkan berupa lesi untuk tipe aterm seperti lesi parasagital.

Multi kistik ensefalomalasia dan malformasi lebih sering didapatkan pada tipe ini. Tipe

hemiplegi spastik mengenai ektremitas satu sisi tubuh, dengan tangan biasanya lebih berat dari

kaki. Sebesar 70-90% kasus terjadi secara kongenital dan 10-30% bawaan dapat terjadi akibat

vaskuler, inflamasi atau trauma. Bila terjadi pada bayi prematur akibat adanya asimetri

leukomalasia periventrikuler. Bisa terjadi kelainan nervus kranialis, biasanya N.VII. Kelainan

visual terjadi pada 25% pada tipe ini, termasuk hemianopsia homonim dan strabismus

konvergen. Kelainan kognitif pada 28% kasus, epilepsi relatif lebih sering pada 23% kasus. Tipe

diskinetik ditandai dengan pola gerakan ekstrapiramidal.

13

Page 14: cerebral palsy

Kelainan ini akibat sekunder dari gangguan regulasi tonus, kontrol postural dan

koordinasi. Tipe ini dibagi lagi menjadi jenis khoreoathetosis, dan distonik. Tipe khoreoathetosis

adanya gerakan involunter yang kelihatan jelas dan umumnya yang dijumpai adalah athetosis.

Khorea terdapat dalam derajat yang bervariasi. Tremor, mioklonus dan distonia juga mungkin

tampak. Kombinasi gerakan khoreoathetosis menimbulkan pola gerakan diekstremitas bawah

yang hipertonus dan gerakan rotasi yang menggeliat pada anggota badan. Dapat terjadi kesulitan

dalam bicara dengan adanya kecepatan dan volume suara yang meledak-ledak.

Tipe distonik jarang ditemukan, gerakan yang lambat dan lama, pada kepala dan leher

yang tertarik kearah satu sisi. Rangka badan bisa memutar keberbagai posisi hingga tampak

aneh. Pada pemeriksaan MRI didaerah thalamus dan putamen nampak hiperinten pada T2 pada

tipe athetoid. Hiperbilirubinemia menyebabkan kerusakan pada ganglia basalis dengan

manifestasi klinik tipe diskinetik. Kondisi CP atonik tidak umum dibandingkan dengan bentuk

yang lain . CP atonik sering bersamaan dengan keterlambatan perkembangan motorik dengan

reflek tendon yang normal atau meningkat. Pada penderita CP sering awalnya hipotonik,

kemudian berubah menjadi hipertoni, pada tipe ini tidak mengalami perubahan menjadi spastik

dengan bertambahnya usia, tetapi tetap hipotonik.

Pada tipe ataksik gejala yang menonjol berupa ataksia. Manifestasi awal berupa hipotoni

dan mulai timbul gejala ataksia sejak umur 2-3 tahun. Anak berjalan dengan kaki melebar, sering

ditemukan adanya nistagmus dan dismetri hipotoni. Tes romberg positif dengan mata terbuka.

Hal ini menunjukkan tanda adanya keterlibatan fungsi serebelum. Manifestasi tipe

campuran terdiri dari tipe spastik, ekstrapiramidal dan sering kali ataksia didapatkan. Pasien

dengan gejala kuadriplegi yang menonjol dapat ditemukan khoreoathetosis derajat ringan.

Sebaliknya pasien khoreoathetosis yang menonjol, menunjukkan gejala-gejala upper motor

neuron. Pola gangguan motorik sebagai akibat dari sekuele yang luas didaerah otak terutama

didaerah ganglia basalis dan kortek.

Spastik ataksik diplegi merupakan bentuk campuran yang sering didapatkan dan

berhubungan dengan hidrosefalus. Retardasi mental adalah gangguan intelegensi yang

disebabkan gangguan dalam kandungan sampai masa perkembangan dini, usia 5 tahun. Secara

formal ditentukan dengan nilai IQ. Insiden mental retardasi pada penderita CP antara 30%-50%.

Sekitar 1/3 dengan retardasi mental ringan. Sering didapatkan pada tipe rigid, atonik dan tipe

14

Page 15: cerebral palsy

kuadriplegi. Pada Cerebral palsy, kelainan motorik dan postur merupakan ciri utama, tetapi

sering juga disertai dengan gangguan lain yang bukan motorik.

15

Page 16: cerebral palsy

Kelainan bukan motorik yang sering dijumpai pada CP:

1. Retardasi mental (75%).

2. Epilepsi (25-50%)

3. Gangguan visual: Strabismus (75%), Gangguan refraksi (25-50%), Hemianopsia

(<25%), Lain-lain (<25%)

4. Gangguan pendengaran (75%)

5. Disartria (<25%)

6. Defisit sensorik kortikal (25-50%)

7. Pertumbuhan ekstremitas yang tidak sama (unequal) (25-50%)

8. Skoliosis (75%)

9. Dental dismorfogenesis (25%)

10. Kontraktur sendi (75%)

16

Page 17: cerebral palsy

DIAGNOSIS

Diagnosis Cerebral palsy berdasarkan diagnosis klinis, berupa riwayat klinis pada ibu

maupun bayi dan hasil pemeriksaan neurologi dan pediatrik pada bayi atau anak. Perlu dilakukan

evaluasi mengenai riwayat keluarga, kesehatan ibu dan janin saat prenatal, riwayat sakit saat

kehamilan dan kesehatan saat bayi baru lahir dan saat post natal. Pemeriksaan neurologi dan

pediatrik dengan melihat adanya keterlambatan pencapaian milestones, tonus otot yang tidak

normal, menetapnya reflek primitif, keterlambatan reflek protektif, seperti pada neck righting

reflex dan parachute reflex, adanya gerakan involunter dan adanya postur yang abnormal.

Primitif reflek umumnya menghilang setelah 6 bulan, neck righting reflex biasanya timbul pada

usia 6 bulan dan parachute reflex biasanya pada usia 1 tahun, gerakan ekstrapiramidal biasanya

terlihat setelah 2 tahun.

Diagnosis Cerebral palsy tergantung atas 2 pedoman yang harus ditemukan.Yang

pertama adanya kejadian kerusakan otak yang tidak progresif yang terjadi pada saat otak sedang

berkembang. Yang kedua adanya tanda klinis yang timbul akibat kerusakan sistem yang

mengontrol fungsi motorik tubuh. Gejala klinis pada penderita CP tidak memburuk, tetapi dapat

berubah dengan bertambahnya umur anak. Hipotoni pada beberapa bulan awal umur bayi,

berubah menjadi spastik dan juga gerakan involunter yang timbul lambat. Juga pada

keterlambatan perkembangan yang terjadi awal, bisa menghilang kemudian (the child catches-

up). Sehingga pada banyak kasus membuat kebimbangan dari dokter untuk membuat diagnosis

CP, menunggu umur bayi mencapai 18-24 bulan.

Beberapa diagnosis awal digunakan seperti keterlambatan perkembangan, disfungsi

neuromotor, motor disability atau disfungsi susunan saraf pusat. Terdapat kriteria untuk

menegakkan diagnosis CP, yaitu dengan membagi kelainan motorik atas 6 katagori:

1. Posture and movement pattern.

2. Oral motor pattern.

3. Strabismus.

4. Tone of muscle

5. Evaluation of postural reactions and landmarks.

6. Deep tendon, infantile and plantar reflexes.

17

Page 18: cerebral palsy

Menurut Levine disimpulkan bahwa:

1. Diagnosis CP dapat ditegakkan, jika minimum terdapat 4 abnormalitas dari 6 katagori

diatas.

2. Dengan kriteria diatas dapat dibedakan apakah ini CP atau bukan.

3. Apabila terdapat hanya 1 katagori kelainan motorik diatas, bukan suatu diagnostik, hanya

kecurigaan CP.

18

Page 19: cerebral palsy

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan laboratorium dan neuroimaging membantu klinisi menentukan prediksi

kondisi klinis CP. Untuk mengevaluasi penyakit metabolik dan genetik, diperlukan pemeriksaan

darah dan urin. Pemeriksaan rutin meliputi fungsi tiroid, laktat, piruvat, asam amino dan

kromosom. Ph darah berguna untuk mengetahui adanya dan beratnya asfiksia perinatal.

Pemeriksaan LCS bisa untuk mengetahui adanya asfiksia. Kadar protein dalam LCS dapat

meningkat dengan adanya peningkatan rasio laktat-piruvat. Pemeriksaan USG digunakan untuk

skreening dan follow-up penderita dengan PVH (periventrikuler hemorrhage) atau IVH

(intraventrikuler hemorrhage). Skreening dilakukan pada usia 3-7 hari, sebab kebanyakan

perdarahan sering terjadi sebelum usia tersebut. Pada sekitar usia bayi 28 hari, untuk mengetahui

perdarahan yang timbul lambat atau adanya leukomalasia periventrikuler. USG sering digunakan

pada bayi prematur. Pemeriksaan CT Scan berguna untuk mengetahui adanya malformasi

kongenital, perdarahan intrakranial dan leukomalasia periventrikuler. Pemeriksaan MRI jarang

digunakan pada bayi prematur dan lebih menguntungkan digunakan setelah umur bayi lebih dari

2-3 minggu. MRI merupakan pilihan untuk mengetahui gambaran mielin pada T2 dan gambaran

sulki otak.

PET (Positron Emission Tomography) digunakan untuk mengetahui gambaran aliran

darah otak dan metabolisme glukosa, dimana bisa terjadi abnormalitas baik pada kondisi akut

maupun kronik. SPECT (Single Photon Emission Computed Tomography) untuk mengetahui

gambaran perfusi serebral, merupakan salah satu teknik terbaru untuk mengevaluasi adanya

asfiksia. MR Spectroscopy juga untuk mengetahui adanya indikasi terjadinya asfiksia. Evoked

potential untuk mengetahui respon otak akan adanya stimulasi eksternal. Digunakan untuk

mengevaluasi jaras anatomik auditori dan visual. EEG digunakan untuk mengevaluasi beratnya

proses hipoksik-iskemik, terdapatnya gambaran supresi gelombang dengan amplitudo rendah dan

gelombang lambat memberikan prognosis yang buruk.

19

Page 20: cerebral palsy

PENATALAKSANAAN

Penderita Cerebral palsy mempunyai banyak kelainan sesuai dengan lesi yang terjadi di

otak, bersama-sama dengan gangguan motorik. Dengan kondisi tersebut penanganan penderita

CP memerlukan kerjasama yang baik dan merupakan satu tim yang terdiri atas dokter anak,

neurolog, psikiater, dokter mata, dokter THT, ahli ortopedi, fisioterapis, okupasional terapis,

dokter gigi dan ahli gizi. Tujuan utama terapi adalah meminimalisasi kecacatan dan

meningkatkan kemampuan untuk beraktifitas mandiri, fungsi sosial dan intelektual. Terapi

menggunakan obat tergangtung dari gejala yang timbul. Pada spastisitas bisa menggunakan

pelemas otot golongan benzodiazepin dan baklofen. Botolinum toxin (Botox) intramuskuler bisa

mengurangi spastisitas untuk 3-6 bulan. Hal ini akan meningkatkan luas gerak sendi (ROM),

menurunkan deformitas, meningkatkan respon terhadap fisioterapi dan okupasional terapi dan

mengurangi tindakan operasi untuk spastisitas. Bila terdapat epilepsi, membutuhkan pemberian

obat anti epilepsi.

Obat antidepresan dan antiparkinson bisa diberikan, bila terdapat gejala depresi atau

gangguan gerakan ekstrapiramidal pada penderita. Dibutuhkan tim untuk penanganan nutrisi

pada pasien dengan kesulitan makan dan menelan. Terapi operasi dilakukan ahli orthopedi pada

kelainan seperti hip dislokasi, skoliosis dan spastisitas (tenotomy, tendone-lightening procedure).

Perlu dikonsulkan pada ahli genetika bila dengan gambaran dismorfik, kelainan organ multipel

dan riwayat keluarga dengan kelainan yang serupa. Konsul pulmonologi untuk penangan

penyakit paru kronik akibat bronkopulmonari displasia dan seringnya terjadi aspirasi. Terapi

rehabilitasi meliputi fisioterapi, okupasional terapi, terapi wicara, ortotik, nightsplinting dan

pemaikaian alat bantu.

Fisioterapi meliputi latihan gerak sendi, latihan penguatan dan peningkatan daya tahan

otot, latihan duduk, berdiri dan jalan. Okupasional terapi meliputi latihan fungsi tangan, aktifitas

bimanual, latihan aktifitas hidup sehari-hari, modifikasi tingkah laku dan sosialisasi. Terapi

wicara untuk mengembangkan anak dapat berbahasa secara pasif dan aktif. Ortotik dengan

penggunaan bracing, bertujuan untuk mengurangi beban aksial, stabilisasi serta untuk

pencegahan dan koreksi deformitas. Pemakaian nightsplint mengambil keuntungan dari tonus

yang menurun yang terjadi selama tidur untuk menambah regangan otot antagonis yang lemah.

Alat Bantu yang dipergunakan berupa kruk ketiak, rollator, walker dan kursi roda manual/listrik.

20

Page 21: cerebral palsy

DERAJAT CEREBRAL PALSY

Klasifikasi yang paling sederhana dalam menentukan derajat Cerebral Palsy dengan

pembagian menjadi ringan, sedang dan berat. Derajat ringan tidak ada keterbatasan dalam

aktifitas yang umum, yang sedang kesulitan dalam aktifitas sehari-hari dan membutuhkan alat

bantu atau bracing, dan yang berat ada keterbatasan sedang sampai berat dalam aktifitas sehari-

hari. Pembagian lain berdasarkan kemampuan fungsional:

1. Kelompok ringan. Anak dapat berjalan tanpa alat bantu, fungsi motorik halusnya tidak

terganggu, tingkat kecerdasan >70, dapat berbahasa cukup baik, dan umumnya tidak

tergantung orang lain.

2. Kelompok sedang. Anak jika berjalan perlu alat bantu atau merangkak, fungsi motorik

halusnya terbatas, tingkat kecerdasan 50-70, hanya dapat menyebut sepatah kata yang

jelas dan umunya tergantung orang lain.

3. Kelompok berat. Penderita tidak dapat berjalan sama sekali, fungsi motorik halusnya

belum mampu/tidak ada, tingkat kecerdasan <50, bicara tidak jelas dan sepenuhnya

tergantung orang lain.

Berdasarkan faktor dapat tidaknya beraktifitas/ambulation, Gross Motor Functional

Classification System (GMFCS) secara luas digunakan untuk menentukan derajat fungsional

penderita CP. Skala yang lain, Bimanual Fine Motor Function (BMMF) digunakan untuk menilai

fungsi dari ekstremitas, tetapi tidak secara luas digunakan seperti GMFCS. Berjalan merupakan

salah satu manifestasi fungsi motorik kasar dan dapat digunakan untuk menilai perkembangan

anak CP. GMFCS tidak untuk menilai kualitas dari gerakan atau memprediksi adanya kemajuan.

Pembagian derajat fungsional CP menurut GMFCS, dibagi menjadi 5 level dan berdasarkan

katagori umur dibagi menjadi 4 kelompok, kurang dari 2 tahun, antara 2-3 tahun, antara 4-6

tahun dan antara 6-12 tahun.

21

Page 22: cerebral palsy

Berikut ini klasifikasi pada 2 kelompok, 4-6 tahun dan 6-12 tahun:

Kelompok 4 – 6 tahun

Level 1: Anak dapat duduk dan bangkit dari duduk pada kursi, tanpa membutuhkan bantuan

tangan. Anak bergerak dari lantai dan dari kursi untuk berdiri tanpa bantuan obyek. Anak

berjalan baik dalam ruangan maupun diluar ruangan, dan dapat naik tangga. Terdapat

kemampuan untuk berlari atau melompat.

Level 2: Anak duduk di kursi dengan kedua tangan bebas memanipulasi obyek. Anak dapat

bergerak dari lantai untuk berdiri, tetapi seringkali membutuhkan obyek yang stabil untuk

menarik atau mendorong dengan tangannya. Anak berjalan tanpa alat bantu didalam ruangan

dan dengan jarak pendek pada permukaan yang rata diluar ruangan. Anak dapat berjalan naik

tangga dengan berpegangan pada tepi tangga., tetapi tidak dapat berlari atau melompat.

Level 3: Anak dapat duduk pada kursi, tetapi membutuhkan alat bantu untuk pelvis atau

badan untuk memaksimalkan fungsi tangan. Anak dapat duduk dan bangkit dari duduk

menggunakan permukaan yang stabil untuk menarik atau mendorong dengan tangannya.

Anak seringkali dibantu untuk mobilitas pada jarak yang jauh atau diluar ruangan dan untuk

jalan yang tak rata.

Level 4: Anak duduk di kursi tapi butuh alat bantu untuk kontrol badan untuk memaksimalkan fungsi tangan. Anak duduk dan bangkit dari duduk membutuhkan bantuan orang dewasa atau obyek yang stabil untuk dapat menarik atau mendorong dengan tangannya. Anak dapat berjalan pada jarak pendek dengan bantuan walker dan dengan pengawasan orang dewasa, tetapi kesulitan untuk jalan berputar dan menjaga keseimbangan pada permukaan yang rata. Anak dibantu untuk mobilitas ditempat umum. Anak bisa melakukan mobilitas dengan kursi roda bertenaga listrik

Level 5: Kelainan fisik membatasi kemampuan kontrol gerakan, gerakan kepala dan postur tubuh. Semua area fungsi motorik terbatas. Keterbatasan untuk duduk dan berdiri yang tidak dapat dikompensasi dengan alat bantu, termasuk yang menggunakan teknologi. Anak tidak dapat melakukan aktifitas mandiri dan dibantu untuk mobilisasi. Sebagian anak dapat melakukan mobilitas sendiri menggunakan kursi roda bertenaga listrik dengan sangat membutuhkan adaptasi.

22

Page 23: cerebral palsy

Kelompok 6 – 12 Tahun

Level 1: Anak berjalan didalam dan diluar ruangan, naik tangga tanpa keterbatasan. Anak menunjukkan performa fungsi motorik kasar termasuk lari dan lompat, tetapi kecepatan, keseimbangan dan koordinasi berkurang.

Level 2: Anak berjalan didalam dan diluar ruangan dan naik tangga dengan berpegangan di tepi tangga, tetapi terdapat keterbatasan berjalan pada permukaan yang rata dan mendaki, dan berjalan ditempat ramai atau tempat yang sempit. Anak dapat melakukan kemampuan motorik kasar, seperti berlari atau melompat yang minimal.

Level 3: Anak berjalan didalam dan diluar ruangan pada permukaan yang rata dengan bantuan alat bantu gerak. Anak masih mungkin dapat naik tangga dengan pegangan pada tepi tangga. Tergantung fungsi dari tangan, anak menggerakan kursi roda secara manual atau dibantu bila melakukan aktifitas jarak jauh atau diluar ruangan pada jalan yang tidak rata.

Level 4: Anak bisa dengan level fungsi yang sudah menetap dicapai sebelum usia 6 tahun atau lebih mengandalkan mobilitas menggunakan kursi roda dirumah, disekolah dan ditempat umum. Anak dapat melakukan mobilitas sendiri dengan kursi roda bertenaga listrik.

Level 5: Kelainan fisik membatasi kemampuan kontrol gerakan, gerakan kepala dan postur tubuh. Semua area fungsi motorik terbatas. Keterbatasan untuk duduk dan berdiri yang tidak dapat dikompensasi dengan alat bantu, termasuk yang menggunakan teknologi. Anak tidak dapat melakukan aktifitas mandiri dan dibantu untuk mobilitas. Sebagian anak dapat melakukan mobilitas sendiri menggunakan kursi roda bertenaga listrik dengan sangat membutuhkan adaptasi.

23

Page 24: cerebral palsy

PROGNOSIS

Beberapa faktor berpengaruh terhadap prognosis penderita CP seperti tipe klinis, keterlambatan dicapainya milestones, adanya reflek patologik dan adanya defisit intelegensi, sensoris dan gangguan emosional. Anak dengan hemiplegi sebagian besar dapat berjalan sekitar umur 2 tahun, kadang diperlukan short leg brace , yang sifatnya sementara. Didapatkannya tangan dengan ukuran lebih kecil pada bagian yang hemiplegi, bisa disebabkan adanya disfungsi sensoris di parietal dan bisa menyebabkan gangguan motorik halus pada tangan tersebut. Lebih dari 50% anak tipe diplegi belajar berjalan pada usia sekitar 3 tahun, tetapi cara berjalan sering tidak normal dan sebagian anak memerlukan alat bantu. Aktifitas tangan biasanya ikut terganggu, meskipun tidak tampak nyata.

Anak dengan tipe kuadriplegi, 25% memerlukan perawatan total, sekitar 33% dapat berjalan, biasanya setelah umur 3 tahun. Gangguan fungsi intelegensi paling sering didapatkan dan menyertai terjadinya keterbatasan dalam aktifitas. Keterlibatan otot-otot bulber, akan menambah gangguan yang terjadi pada tipe ini. Sebagian besar anak yang dapat duduk pada umur 2 tahun dapat belajar berjalan, sebaliknya anak yang tetap didapatkan reflek moro, asimetri tonic neck reflex, ekstensor thrust dan tidak munculnya reflek parasut biasanya tidak dapat belajar berjalan. Hanya sedikit anak yang tidak dapat duduk pada umur 4 tahun akan belajar berjalan. Pada penderita CP didapatkan memendeknya harapan hidup. Pada umur 10 tahun angka kematian sekitar 10% dan pada umur 30 tahun angka kematian sekitar 13%. Penelitian didapatkan harapan hidup 30 tahun pada gangguan motorik berat 42%, gangguan kognitif berat 62% dan gangguan penglihatan berat 38%.

Hasil tersebut lebih buruk dibanding gangguan yang ringan atau sedang. Jenis pekerjaan yang bisa dilakukan oleh penderita CP bervariasi seperti sheltered whorkshops, home based program, pekerjaan tradisional, pekerja pendukung. Hasil penelitian menunjukkan adanya prediktor sukses atau tidak suksesnya bekerja pada penderita CP. Dimana yang dapat bekeja secara kompetitif bila mempunyai IQ>80, dapat melakukan aktifitas dengan atau tanpa alat bantu, berbicara susah sampai normal dan dapat menggunakan tangan secara normal sampai membutuhkan bantuan.

24

Page 25: cerebral palsy

DAFTAR PUSTAKA

1. Freeman Miller, MD. Cerebral Palsy, Alfred I. duPont Hospital for Children Nemours Foundation Wilmington, DE 19899 USA

2. Septian, Bahri. Cerebral Palsy.3. Kremli, Mamoun. Principles of Cerebral Palsy. College of Medicine &

King Khalid University Hospital.4. Bates, Barbara. A Guide to Physical Examination and History Taking. 6th Edition. J.B.

Lippincott, 19955. Hay, W., Levin, M., Sondheimer, J., & Deterding, R. (eds). Current Pediatric Diagnosis

& Treatment. 17th Edition. McGraw-Hill, 20056. www.emedicine.com/pmr/topic24.htm (October 13, 2004) Cerebral Palsy. Authors:

Christine Thorogood, MD & Michael Alexander, MD, FAAP, FAPPMR.Departments of Physical Medicine and Rehabilitation and Pediatrics, Thomas Jefferson University Hospital.

7. Clinical Features and Diagnosis of Cerebral Palsy. Miller, Geoffrey. Up To Date 2009. www.uptodate.com.

8. Merck Manual.

25