bells palsy
DESCRIPTION
brosurTRANSCRIPT
BELL'S PALSY (referat)
Kamis, 28 Juni 2012
PENDAHULUAN (1)
Bell’s palsy atau prosoplegia adalah kelumpuhan fasialis akibat paralisis nervus fasial perifer yang
terjadi secara akut dan penyebabnya tidak diketahui (idiopatik) di luar sistem saraf pusat tanpa
disertai adanya penyakit neurologis lainnya.
Paralisis fasial idiopatik atau Bell’s palsy, ditemukan oleh Sir Charles Bell, dokter dari Skotlandia.
Bell’s palsy sering terjadi setelah infeksi virus ( misalnya herpes simplex) atau setelah imunisasi,
lebih sering terjadi pada wanita hamil dan penderita diabetes serta penderita hipertensi Lokasi
cedera nervus fasialis pada Bell’s palsy adalah di bagian perifer nukleus nervus VII. Cedera
tersebut terjadi di dekat ganglion genikulatum.
Salah satu gejala Bell’s palsy adalah kelopak mata sulit menutup dan saat penderita berusaha
menutup kelopak matanya, matanya terputar ke atas dan matanya tetap kelihatan. Gejala ini
disebut juga fenomena Bell. Pada observasi dapat dilihat juga bahwa gerakan kelopak mata yang
tidak sehat lebih lambat jika dibandingkan dengan gerakan bola mata yang sehat (lagoftalmos).
DEFINISI (2)
Bell's Palsy (BP) ialah suatu kelumpuhan akut n. fasialis perifer yang tidak diketahui
sebabnya. Sir Charles Bell (1821) adalah orang yang pertama meneliti beberapa penderita dengan
wajah asimetrik, sejak itu semua kelumpuhan n. fasialis perifer yang tidak diketahui sebabnya
disebut Bell's pals.
Pengamatan klinik, pemeriksaan neurologik, laboratorium dan patologi anatomi menunjukkan
bahwa BP bukan penyakit tersendiri tetapi berhubungan erat dengan banyak faktor dan sering
merupakan gejala penyakit lain. Penyakit ini lebih sering ditemukan pada usia dewasa, jarang
pada anak di bawah umur 2 tahun. Biasanya didahului oleh infeksi saluran napas bagian atas yang
erat hubungannya dengan cuaca dingin
EPIDEMIOLOGI (3, 4)
Bell’s palsy menempati urutan ketiga penyebab terbanyak dari paralysis fasial akut. Di dunia,
insiden tertinggi ditemukan di Seckori, Jepang tahun 1986 dan insiden terendah ditemukan di
Swedia tahun 1997. Di Amerika Serikat, insiden Bell’s palsy setiap tahun sekitar 23 kasus per
100.000 orang, 63% mengenai wajah sisi kanan. Insiden Bell’s palsy rata-rata 15-30 kasus per
100.000 populasi. Penderita diabetes mempunyai resiko 29% lebih tinggi, dibanding non-diabetes.
Bell’s palsy mengenai laki-laki dan wanita dengan perbandingan yang sama. Akan tetapi, wanita
muda yang berumur 10-19 tahun lebih rentan terkena daripada laki-laki pada kelompok umur yang
sama. Penyakit ini dapat mengenai semua umur, namun lebih sering terjadi pada umur 15-50
tahun. Pada kehamilan trisemester ketiga dan 2 minggu pasca persalinan kemungkinan timbulnya
Bell’s palsy lebih tinggi daripada wanita tidak hamil, bahkan bisa mencapai 10 kali lipat
Sedangkan di Indonesia, insiden Bell’s palsy secara pasti sulit ditentukan. Data yang dikumpulkan
dari 4 buah Rumah sakit di Indonesia didapatkan frekuensi Bell’s palsy sebesar 19,55 % dari
seluruh kasus neuropati dan terbanyak pada usia 21 – 30 tahun. Lebih sering terjadi pada wanita
daripada pria. Tidak didapati perbedaan insiden antara iklim panas maupun dingin, tetapi pada
beberapa penderita didapatkan adanya riwayat terpapar udara dingin atau angin berlebihan .
ANATOMI (5)
Saraf otak ke VII mengandung 4 macam serabut, yaitu :
1. Serabut somato motorik, yang mensarafi otot-otot wajah (kecuali m. levator palpebrae
(n.III), otot platisma, stilohioid, digastrikus bagian posterior dan stapedius di telinga tengah).
2. Serabut visero-motorik (parasimpatis) yang datang dari nukleus salivatorius superior.
Serabut saraf ini mengurus glandula dan mukosa faring, palatum, rongga hidung, sinus paranasal,
dan glandula submaksilaris serta sublingual dan lakrimalis.
3. Serabut visero-sensorik, yang menghantar impuls dari alat pengecap di dua pertiga bagian
depan lidah.
4. Serabut somato-sensorik, rasa nyeri (dan mungkin juga rasa suhu dan rasa raba) dari
sebagian daerah kulit dan mukosa yang dipersarafi oleh nervus trigeminus.
Nervus fasialis (N.VII) terutama merupakan saraf motorik yang menginervasi otot- otot ekspresi
wajah. Di samping itu saraf ini membawa serabut parasimpatis ke kelenjar ludah dan air mata
dank ke selaput mukosa rongga mulut dan hidung, dan juga menghantarkan sensasi eksteroseptif
dari daerah gendang telinga, sensasi pengecapan dari 2/3 bagian depan lidah, dan sensasi visceral
umum dari kelenjar ludah, mukosa hidung dan faring, dan sensasi proprioseptif dari otot yang
disarafinya.
Secara anatomis bagian motorik saraf ini terpisah dari bagian yang menghantar sensasi dan
serabut parasimpatis, yang terakhir ini sering dinamai saraf intermedius atau pars intermedius
Wisberg. Sel sensoriknya terletak di ganglion genikulatum, pada lekukan saraf fasialis di kanal
fasialis. Sensasi pengecapan daru 2/3 bagian depan lidah dihantar melalui saraf lingual korda
timpani dan kemudian ke ganglion genikulatum. Serabut yang menghantar sensasi ekteroseptif
mempunyai badan selnya di ganglion genikulatum dan berakhir pada akar desenden dan inti akar
decenden dari saraf trigeminus (N.V). hubungan sentralnya identik dengan saraf trigeminus.
Inti motorik nervus VII terletak di pons. Serabutnya mengitari nervus VI, dan keluar di bagian
leteral pons. Nervus intermedius keluar di permukaan lateral pons, di antara nervus V dan nervus
VIII. Nervus VII bersama nervus intermedius dan nervus VIII memasuki meatus akustikus
internus. Di sini nervus fasialis bersatu dengan nervus intermedius dan menjadi satu berkas saraf
yang berjalan dalam kanalis fasialis dan kemudian masuk ke dalam os mastoid. Ia keluar dari
tulang tengkorak melalui foramen stilomastoid, dan bercabang untuk mersarafi otot- otot wajah.
PATOFISIOLOGI (6)
Para ahli menyebutkan bahwa pada Bell’s palsy terjadi proses inflamasi akut pada nervus fasialis
di daerah tulang temporal, di sekitar foramen stilomastoideus. Bell’s palsy hampir selalu terjadi
secara unilateral. Namun demikian dalam jarak waktu satu minggu atau lebih dapat terjadi
paralysis bilateral. Penyakit ini dapat berulang atau kambuh. Patofisiologinya belum jelas, tetapi
salah satu teori menyebutkan terjadinya proses inflamasi pada nervus fasialis yang menyebabkan
peningkatan diameter nervus fasialis sehingga terjadi kompresi dari saraf tersebut pada saat
melalui tulang temporal.
Perjalanan nervus fasialis keluar dari tulang temporal melalui kanalis fasialis yang mempunyai
bentuk seperti corong yang menyempit pada pintu keluar sebagai foramen mental. Dengan
bentukan kanalis yang unik tersebut, adanya inflamasi, demyelinisasi atau iskemik dapat
menyebabkan gangguan dari konduksi. Impuls motorik yang dihantarkan oleh nervus fasialis bisa
mendapat gangguan di lintasan supranuklear dan infranuklear. Lesi supranuklear bisa terletak di
daerah wajah korteks motorik primer atau di jaras kortikobulbar ataupun di lintasan asosiasi yang
berhubungan dengan daerah somatotropik wajah di korteks motorik primer. Karena adanya suatu
proses yang dikenal awam sebagai “masuk angin” atau dalam bahasa inggris “cold”. Paparan
udara dingin seperti angin kencang, AC, atau mengemudi dengan kaca jendela yang terbuka
diduga sebagai salah satu penyebab terjadinya Bell’s palsy. Karena itu nervus fasialis bisa sembab,
ia terjepit di dalam foramen stilomastoideus dan menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN. Pada
lesi LMN bisa terletak di pons, di sudut serebelo-pontin, di os petrosum atau kavum timpani, di
foramen stilomastoideus dan pada cabang-cabang tepi nervus fasialis. Lesi di pons yang terletak di
daerah sekitar inti nervus abdusens dan fasikulus longitudinalis medialis. Karena itu paralisis
fasialis LMN tersebut akan disertai kelumpuhan muskulus rektus lateralis atau gerakan melirik ke
arah lesi. Selain itu, paralisis nervus fasialis LMN akan timbul bergandengan dengan tuli perseptif
ipsilateral dan ageusia (tidak bisa mengecap dengan 2/3 bagian depan lidah). Berdasarkan
beberapa penelitian bahwa penyebab utama Bell’s palsy adalah reaktivasi virus herpes (HSV tipe
1 dan virus herpes zoster) yang menyerang saraf kranialis. Terutama virus herpes zoster karena
virus ini menyebar ke saraf melalui sel satelit. Pada radang herpes zoster di ganglion genikulatum,
nervus fasialis bisa ikut terlibat sehingga menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN. Kelumpuhan
pada Bell’s palsy akan terjadi bagian atas dan bawah dari otot wajah seluruhnya lumpuh. Dahi
tidak dapat dikerutkan, fisura palpebra tidak dapat ditutup dan pada usaha untuk memejam mata
terlihatlah bola mata yang berbalik ke atas. Sudut mulut tidak bisa diangkat. Bibir tidak bisa
dicucukan dan platisma tidak bisa digerakkan. Karena lagophtalmos, maka air mata tidak bisa
disalurkan secara wajar sehingga tertimbun disitu.
ETIOLOGI (1)
Penyebab adalah kelumpuhan n. fasialis perifer. Umumnya dapat dikelompokkan sebagai berikut:
A. Idiopatik
Sampai sekarang belum diketahui secara pasti penyebabnya yang disebut bell’s palsy. Faktor-
faktor yang diduga berperan menyebabkan Bell’s Palsy antara lain : sesudah bepergian jauh
dengan kendaraan, tidur di tempat terbuka, tidur di lantai, hipertensi, stres, hiperkolesterolemi,
diabetes mellitus, penyakit vaskuler, gangguan imunologik dan faktor genetic.
B. Kongenital
a. anomali kongenital (sindroma Moebius)
b. trauma lahir (fraktur tengkorak, perdarahan intrakranial .dll.)
C. Didapat
Trauma Penyakit tulang tengkorak (osteomielitis)
Proses intrakranial (tumor, radang, perdarahan dll)
Proses di leher yang menekan daerah prosesus stilomastoideus)
Infeksi tempat lain (otitis media, herpes zoster dll)
Sindroma paralisis n. fasialis familial
GEJALA KLINIK (1, 2)
Manifestasi klinik BP khas dengan memperhatikan riwayat penyakit dan gejala kelumpuhan yang
timbul. Pada anak 73% didahului infeksi saluran napas bagian atas yang erat hubungannya dengan
cuaca dingin. Perasaan nyeri, pegal, linu dan rasa tidak enak pada telinga atau sekitarnya sering
merupakan gejala awal yang segera diikuti oleh gejala kelumpuhan otot wajah berupa :
· Kelopak mata tidak dapat menutupi bola mata pada sisi yang lumpuh (lagophthalmos).
· Gerakan bola mata pada sisi yang lumpuh lambat, disertai bola mata berputar zXke atas bila
memejamkan mata, fenomena ini disebut Bell's sign
· Sudut mulut tidak dapat diangkat, lipat nasolabialis mendatar pada sisi yang lumpuh dan
mencong ke sisi yang sehat.
Selanjutnya gejala dan tanda klinik lainnya berhubungan dengan tempat/lokasi lesi :
a. Lesi di luar foramen stilomastoideus Mulut tertarik ke arah sisi mulut yang sehat,makanan
berkumpul di antar pipi dan gusi, dan sensasi dalam (deep sensation) di wajah menghilang. lipatan
kulit dahi menghilang. Apabila mata yang terkena tidak tertutup atau tidak dilindungi maka air
mata akan keluar terus menerus.
b. Lesi di kanalis fasialis (melibatkan korda timpani) Gejala dan tanda klinik seperti pada (a),
ditambah dengan hilangnya ketajaman pengecapan lidah (2/3 bagian depan) dan salivasi di sisi
yang terkena berkurang. Hilangnya daya pengecapan pada lidah menunjukkan terlibatnya nervus
intermedius, sekaligus menunjukkan lesi di daerah antara pons dan titik di mana korda timpani
bergabung dengan nervus fasialis di kanalis fasialis.
c. Lesi di kanalis fasialis lebih tinggi lagi (melibatkan muskulus stapedius)
Gejala dan tanda klinik seperti pada (a), (b), ditambah dengan adanya hiperakusis.
d. Lesi di tempat yang lebih tinggi lagi (melibatkan ganglion genikulatum)
Gejala dan tanda klinik seperti (a), (b), (c) disertai dengan nyeri di belakang dan di dalam liang
telinga. Kasus seperti ini dapat terjadi pasca herpes di membran timpani dan konka. Ramsay Hunt
adalah paralisis fasialis perifer yang berhubungan dengan herpes zoster di ganglion genikulatum.
Lesi herpetik terlibat di membran timpani, kanalis auditorius eksterna dan pina.
e. Lesi di daerah meatus akustikus interna, Gejala dan tanda klinik seperti (a), (b), (c), (d),
ditambah dengan tuli sebagi akibat dari terlibatnya nervus akustikus.
DIAGNOSA (4)
A. Anamnesa
- Rasa nyeri
- Gangguan atau kehilangan pengecapan.
- Riwayat pekerjaan dan adakah aktivitas yang dilakukan pada malam hari di ruangan terbuka atau
di luar ruangan.
- Riwayat penyakit yang pernah dialami oleh penderita seperti infeksi saluran pernafasan, otitis,
herpes, dan lain-lain.
B. Pemeriksaan Fisik
Gerakan volunter yang diperiksa, dianjurkan minimal :
1. Mengerutkan dahi
2. Memejamkan mata
3. Mengembangkan cuping hidung
4. Tersenyum
5. Bersiul
6. Mengencangkan kedua bibir
C. Pemeriksaan Laboratorium.
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk menegakkan diagnosis Bell’s palsy.
D. Pemeriksaan Radiologi.
Pemeriksaan radiologi bukan indikasi pada Bell’s palsy. Pemeriksaan CT-Scan dilakukan jika
dicurigai adanya fraktur atau metastasis neoplasma ke tulang, stroke, sklerosis multipel dan AIDS
pada CNS. Pemeriksaan MRI pada pasien Bell’s palsy akan menunjukkan adanya penyangatan
(Enhancement) pada nervus fasialis, atau pada telinga, ganglion genikulatum.
DIAGNOSA BANDING (2)
1. Infeksi herpes zoster pada ganglion genikulatum (Ramsay Hunt syndrom)
Ramsay Hunt Syndrome (RHS) adalah infeksi saraf wajah yang disertai dengan ruam yang
menyakitkan dan kelemahan otot wajah.
Tanda dan gejala RHS meliputi:
· Ruam merah yang menyakitkan dengan lepuh berisi cairan di gendang telinga, saluran
telinga eksternal, bagian luar telinga, atap dari mulut (langit-langit) atau lidah
· Kelemahan (kelumpuhan) pada sisi yang sama seperti telinga yang terkinfeksi
· Kesulitan menutup satu mata
· Sakit telinga
· Pendengaran berkurang
· Dering di telinga (tinnitus)
· Sebuah sensasi berputar atau bergerak (vertigo)
· Perubahan dalam persepsi rasa
2. Miller Fisher Syndrom
Miller Fisher syndrom adalah varian dari Guillain Barre syndrom yang jarang dijumpai.Miiler
Fisher syndrom atau Acute Disseminated Encephalomyeloradiculopaty ditandai dengan trias
gejala neurologis berupa opthalmoplegi, ataksia, dan arefleksia yang kuat. Pada Miller Fisher
syndrom didapatakan double vision akibat kerusakan nervus cranial yang menyebabkan
kelemahan otot – otot mata . Selain itu kelemahan nervus facialis menyebabkan kelemahan otot
wajah tipe perifer. Kelumpuhan nervus facialis tipe perifer pada Miller Fisher syndrom menyerang
otot wajah bilateral. Gejala lain bisa didapatkan rasa kebas, pusing dan mual.
TATA LAKSANA (1, 8)
1. Istirahat terutama pada keadaan akut
2. Medikamentosa
a. Pemberian kortikosteroid (perdnison dengan dosis 40 -60 mg/hari per oral atau 1
mg/kgBB/hari selama 3 hari, diturunkan perlahan-lahan selama 7 hari kemudian), dimana
pemberiannya dimulai pada hari kelima setelah onset penyakit, gunanya untuk meningkatkan
peluang kesembuhan pasien.
Dasar dari pengobatan ini adalah untuk menurunkan kemungkinan terjadinya kelumpuhan yang
sifatnya permanen yang disebabkan oleh pembengkakan nervus fasialis di dalam kanal fasialis
yang sempit.
b. Penggunaan obat- obat antivirus . Acyclovir (400 mg selama 10 hari) dapat digunakan
dalam penatalaksanaan Bell’s palsy yang dikombinasikan dengan prednison atau dapat juga
diberikan sebagai dosis tunggal untuk penderita yang tidak dapat mengkonsumsi
prednison.Penggunaan Acyclovir akan berguna jika diberikan pada 3 hari pertama dari onset
penyakit untuk mencegah replikasi virus.
c. Perawatan mata:
· Air mata buatan: digunakan selama masa sadar untuk menggantikan lakrimasi yang hilang.
· Pelumas digunakan saat tidur: Dapat digunakan selama masa sadar jika air mata buatan
tidak mampu menyedikan perlindungan yang adekuat. Satu kerugiannya adalah pandangan kabur.
· Kacamata atau tameng pelindung mata dari trauma dan menurunkan pengeringan dengan
menurunkan paparan udara langsung terhadap kornea
3. Fisioterapi
Sering dikerjakan bersama-sama pemberian prednison, dapat dianjurkan pada stadium akut.
Tujuan fisioterapi untuk mempertahankan tonus otot yang lumpuh. Cara yang sering digunakan
yaitu : mengurut/massage otot wajah selama 5 menit pagi-sore atau dengan faradisasi.
4. Operasi
Tindakan operatif umumnya tidak dianjurkan pada anak-anak karena dapat menimbulkan
komplikasi lokal maupun intracranial.
Tindakan operatif dilakukan apabila :
· tidak terdapat penyembuhan spontan
· tidak terdapat perbaikan dengan pengobatan prednison
KOMPLIKASI (2, 9,10)
1. Crocodile tear phenomenon.
Yaitu keluarnya air mata pada saat penderita makan makanan. Ini timbul beberapa bulan setelah
terjadi paresis dan terjadinya akibat dari regenerasi yang salah dari serabut otonom yang
seharusnya ke kelenjar saliva tetapi menuju ke kelenjar lakrimalis. Lokasi lesi di sekitar ganglion
genikulatum.
2. Synkinesis
Dalam hal ini otot-otot tidak dapat digerakkan satu per satu atau tersendiri. selalu timbul gerakan
bersama. Misal bila pasien disuruh memejamkan mata, maka akan timbul gerakan (involunter)
elevasi sudut mulut,kontraksi platisma, atau berkerutnya dahi. Penyebabnya adalah innervasi yang
salah, serabut saraf yang mengalami regenerasi bersambung dengan serabut-serabut otot yang
salah.
3. Tic Facialis sampai Hemifacial Spasme
Timbul “kedutan” pada wajah (otot wajah bergerak secara spontan dan tidak terkendali) dan juga
spasme otot wajah, biasanya ringan. Pada stadium awal hanya mengenai satu sisi wajah saja,
tetapi kemudian dapat mengenai pada sisi lainnya. Kelelahan dan kelainan psikis dapat
memperberat spasme ini. Komplikasi ini terjadi bila penyembuhan tidak sempurna, yang timbul
dalam beberapa bulan atau 1-2 tahun kemudian.
PROGNOSIS (3, 6,7)
Walaupun tanpa diberikan terapi, pasien Bell’s palsy cenderung memiliki prognosis yang baik.
Dalam sebuah penelitian pada 1.011 penderita Bell’s palsy, 85% memperlihatkan tanda-tanda
perbaikan pada minggu ketiga setelah onset penyakit. 15% kesembuhan terjadi pada 3-6 bulan
kemudian.
Sepertiga dari penderita Bell’s palsy dapat sembuh seperti sedia kala tanpa gejala sisa. 1/3 lainnya
dapat sembuh tetapi dengan elastisitas otot yang tidak berfungsi dengan baik. Penderita seperti ini
tidak memiliki kelainan yang nyata. 1/3 sisanya cacat seumur hidup.
Penderita Bell’s palsy dapat sembuh total atau meninggalkan gejala sisa. Faktor resiko yang
memperburuk prognosis Bell’s palsy adalah:
1. Usia di atas 60 tahun
2. Paralisis komplit
3. Menurunnya fungsi pengecapan atau aliran saliva pada sisi yang lumpuh,
4. Nyeri pada bagian belakang telinga dan
5. Berkurangnya air mata.
Pada penderita kelumpuhan nervus fasialis perifer tidak boleh dilupakan untuk mengadakan
pemeriksaan neurologis dengan teliti untuk mencari gejala neurologis lain.
Pada umumnya prognosis Bell’s palsy baik: sekitar 80-90 % penderita sembuh dalam waktu 6
minggu sampai tiga bulan tanpa ada kecacatan. Penderita yang berumur 60 tahun atau lebih,
mempunyai peluang 40% sembuh total dan beresiko tinggi meninggalkan gejala sisa. Penderita
yang berusia 30 tahun atau kurang, hanya punya perbedaan peluang 10-15 persen antara sembuh
total dengan meninggalkan gejala sisa. Jika tidak sembuh dalam waktu 4 bulan, maka penderita
cenderung meninggalkan gejala sisa, yaitu sinkinesis, crocodile tears dan kadang spasme
hemifasial.
Penderita diabetes 30% lebih sering sembuh secara parsial dibanding penderita nondiabetik dan
penderita DM lebih sering kambuh dibanding yang non DM. Hanya 23 % kasus Bells palsy yang
mengenai kedua sisi wajah. Bell’s palsy kambuh pada 10-15 % penderita. Sekitar 30 % penderita
yang kambuh ipsilateral menderita tumor N. VII atau tumor kelenjar parotis.
KESIMPULAN (1)
Bell’s palsy adalah kelumpuhan akut dari nervus fasialis VII yang dapat menyebabkan gangguan
pada indera pengecapan , yaitu pada dua per tiga anterior lidah.Penyakit ini lebih sering ditemukan
pada usia dewasa dan jarang pada anak.
Diagnosis dapat ditegakkan secara klinik setelah kausa yang jelas untuk lesi n. fasialis perifer
disingkirkan. Terapi yang dianjurkan saat ini ialah pemberian prednison, fisioterapi dan kalau
perlu operasi
DAFTAR PUSTAKA
1. Djamil Y, A Basjiruddin. Paralisis Bell. Dalam: Harsono, ed. Kapita selekta neurologi;
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.2009. hal 297-300
2. Dr P Nara, Dr Sukardi, Bell’s Palsy, “http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/sPalsy.pdf/
sPalsy.html” (diakses tanggal 11 desember 2011)
3. Danette C Taylor, DO, MS. 2011, Bell Palsy,
“http://emedicine.medscape.com/article/1146903-overview#a0156” (diakses tanggal 22 Desember
2011).
4. Annsilva, 2010, Bell’s Palsy, “http://annsilva.wordpress.com/2010/04/04/bell’s-palsy-case-
report/” (diakses tanggal 11 desember 2011)
5. Lumbantobing. 2007.Neurologi Klinik.Jakarta: Universitas Indonesia.
6. Irga, 2009, Bell’s Palsy, “http://www.irwanashari.com/260/bells-palsy.html”, (diakses
tanggal 12 Desember 2011)
7. Weiner HL, Levitt LP. Ataksia. Wita JS, editor. Buku Saku Neurologi. Ed 5. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC; 2001. Hal. 174
8. Nurdin, Moslem Hendra, 2010, Bell Palsy, http://coolhendra.blogspot.com/2010/08/bell-
palsy.html (diakses tanggal 12 desember 2011)
9. Sabirin J. Bell’s Palsy. Dalam : Hadinoto dkk. Gangguan Gerak. Cetakan I. Semarang :
Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, 1990 : 171-81 2
10. Sidharta P. Tata Pemeriksaan Klinis dalam Neurologi. Edisi ke-2. Jakarta : Dian Rakyat,
1985 : 311-17