laporan pbl 1 rhinofaringitis

Upload: hayin-naila-nikmatika

Post on 19-Jul-2015

1.611 views

Category:

Documents


49 download

TRANSCRIPT

LAPORAN PBL 1 Epistaxis dan Rhinopharingitis Acute e/c Viral (Common Cold) BLOK RESPIRATORY SYSTEM

Tutor : dr. Vidya Dewantari

Disusun oleh : KELOMPOK 11 1. Pradani Eva A. 2. Rona Lintang Harini 3. Hesti Putri A. 4. Hayin Naila N. 5. Khoirur Rijal A. 6. Intan Puspita Hapsari 7. Dicky Bramantyo A.P. 8. Keyko Lampita Mariana S. 9. Khairisa Amrina Rosyada G1A010097 G1A010094 G1A010099 G1A010102 G1A010106 G1A010109 G1A010113 G1A010074 G1A010039

KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU ILMU KESEHATAN JURUSAN KEDOKTERAN PURWOKERTO 2012

Pbl/Cbl Kasus Ke Judul Skenario

:1 : Epistaxis dan Rhinopharingitis Acute e/c Viral Common Cold)

Kelompok Hari/Tgl Tutorial

: 11 : Rabu dan Kamis, 7-8 Maret 2012.

Info I Seorang anak laki-laki umur 10 tahun datang ke UGD di antar oleh ibunya dengan keluhan mimisan. Ibunya menceritakan bahwa sang anak mengalami panas sejak kemarin pagi, pusing, pilek, bersin-bersin, batuk, dan tenggorokan sakit.

I.

Klarifikasi Istilah a. Mimisan Mimisan atau epistaxis adalah perdarahan yang biasanya melibatkan pembuluh darah mukosa yang menutupi kartilago pada septum nasi. Penyebabnya yaitu trauma, suhu panas/mukosa hidung kering, infeksi, alergi, gangguan pembekuan, dan hipertensi yang menyebabkan robeknya pembuluh darah di lamina propria (Martini, 2009). b. Pusing Pusing adalah distorsi orientasi ruangan. Yang dimaksud distorsi adalah modalitas penglihatan sensoris primer,fungsi vestibulum, sensasi raba-tekan, dan pendengaran secara normal terintegrasi dengan cepat di susunan saraf pusat menjadi suatu sensasi gabungan; seseorang tetap mengetahui posisi tubuhnya (Schwartz, 2005). c. Pilek Selesma (pilek) dan Influenza merupakan hal yang berbeda. Orang masih sulit untuk membedakan keduanya. Selesma merupakan penyakit akut yang menyerang pernapasan bagian atas, disebabkan oleh lebih daari 200 jenis virus. Sedangkan influenza merupakan penyakit akut yang disebabkan virus influenza. Tanda-tanda klinis penyakit ini adalah terasa dingin dan demam yang membuat suhu badan naik disertai kepala pening,

nyeri di daerah pinggang dan badan terasa tidak enak (tidak nyaman) (Hadikusumo, 1996). d. Bersin Bersin adalah mekanisme refleks yang sering terjadi dimana merupakan suatu ekspulsi (pengeluaran) kuat berbagai benda sebagai usaha untuk menyingkirkan iritan dari hidung. Bersin juga merupakan bentuk pertahanan yang penting terhadap serangan bakteri yang terhirup melalui berbagai benda asing (Sherwood, 2001). e. Batuk Batuk merupakan salah satu upaya pertahanan tubuh (dalam hal ini saluran nafas) yang alamiah yaitu suatu reflek perlindungan yang primitive untuk membuang sekresi tracheobronchial yang berlebihan ataupun benda asing yang masuk ke saluran pernafasan (Lubis, 2005). f. Tenggorokan sakit Tenggorokan sakit atau yang sering disebut faringitis merupakan inflamasi faring akut yang biasanya disebabkan karena serangan virus akut seperti rhinovirus, influenza A dan B, herpes simpleks, herpes zoster, dan infeksi jaringan limfe. Biasanya terdapat kemerahan pada dinding posterior faring, namun hal ini bukan indikator pasti untuk mengkonfirmasi diagnosis faringitis (Ludman, 2007).

II.

Batasan Masalah Nama Usia Jenis kelamin Keluhan utama Onset Keluhan penyerta : Tidak diketahui : 10 tahun : Laki-laki : Mimisan : Tidak diketahui : pusing, pilek, bersin-bersin, batuk, dan tenggorokan sakit.

III. Analisis Masalah 1. Bagaimana mekanisme terjadinya reflek batuk?

Rangsang

Sensor taktil dan kemoreseptor afferen melalui n. vagus

Medulla oblongata

Pita suara menutup

Epiglottis menutup glotis

Inspirasi

Terjadi tekanan dalam alveoli

Otot abdomen dan intercostalis eksterna kontraksi dengan kuat

Secara mendadak terjadi ekspirasi yang kuat

Udara keluar Batuk untuk Epiglotis dan melewati mengeluarkan pita suara bronchus dan benda asing terbuka trachea Bagan 1. Mekanisme batuk (Soemantri, 2007). 2. Bagaimana mekanisme reflek bersin? Rangsang ditangkap reseptor taktil di hidung

Melalui n.trigeminus ke medulla oblongata

Mekanisme refleks sama, hanya uvula dikondisikan ke bawah

Aliran udara ekspirasi menjadi kuat

Keluar melalui rongga mulut dan hidung (bersin) sehingga benda asing keluar Bagan 2. Mekanisme bersin (Soemantri, 2007).

3. Bagaimana mekanisme demam? Infeksi/toksin --> pengeluaran Monosit, makrofag, limfosit B Sitoken pirogenik endogen (Il-1, TNF, IL-6, IFN)

Sirkulasi pusat termoregulasi hipotalamus

Prostaglandin E2

Thermal set point meningkat --> DEMAM Bagan 3. Mekanisme demam (Behrman, 2000). 4. Bagaimana mekanisme terjadinya pusing? Pusing adalah distorsi orientasi ruangan. Yang dimaksud distorsi adalah modalitas penglihatan sensoris primer,fungsi vestibulum, sensasi raba-tekan, dan pendengaran secara normal terintegrasi dengan cepat di susunan saraf pusat menjadi suatu sensasi gabungan; seseorang tetap mengetahui posisi tubuhnya (Schwartz, 2005). Apabila terjadi integrasi persepsi yang salah maka terjadi perubahan orientasi sehingga timbullah gejala pusing. Penyebab pusing yaitu (Eliastam, 1998) : a. Perifer 1) Penyakit meniere 2) Neurotinitis vestibular 3) Vertigo posisional benigna 4) Obat-obatan (aminoglikosida) b. Sentral 1) Insufisiensi arteri vertebrobasiller 2) Pusing pasca trauma

Info II Anak sudah diberi obat flu di warung tapi belum membaik. Mimisan dialami 1 jam yang lalu, jumlahnya kira-kira 1 sendok, dapat berhenti sendiri. Riwayat mimisan sebelumnya disangkal. Hasil pemeriksaan fisik : KU Berat badan Suhu Respirasi Nadi Kepala a. b. c. Hidung Faring Tonsil : baik, compos mentis : 25 kg : 37.80C : 20x/menit : 84x/menit : : Conchae edema (+), Hiperemi (+), discharge serous (+) : Hiperemi (+) : T1-1, hiperemi (+), discharge serous (+)

Thorax : a. b. c. d. Inspeksi : simetris, retraksi (-), tidak ada gerak dada yang tertinggal Palpasi Perkusi : hantaran paru kanan = kiri : sonor di kedua lapang paru

Auskultasi: suara dasar vesicular, ronchi (-) : suara dasar vesicular, ronchi (-) : dalam batas normal

Abdomen Ekstremitas

Info III Hasil pemeriksaan darah : Hb Ht Eritrosit Leukosit Trombosit PTT APTT : 12 g% : 42% : 4.2 juta : 6.800 : 190.000 : 10 detik : 35 detik

IV. Menentukan Diagnosis Differensial Batuk

Pusing

Pilek

Tenggorokan sakit

Bersin Mimisan

Rhinitis akut Rhinitis hipertrofi Rhinitis vasomotor

Sinusitis

Faringitis

Epistaxis

Bagan 4. Alur diagnosis diferensial V. Menentukan Sasaran Belajar dan Hasil Belajar Mandiri 1. Anatomi Hidung, Faring, Laring

Gambar 1. Anatomi hidung (Martini, 2009) Cavum nasal berisi: a. b. c. d. Nares anterior Concha superior, media, inferior Meatus superior, media, inferior Nares posterior

Faring terbagi atas 3 bagian: a. b. c. Nasofaring (atap nares posterior sampai uvula) Orofaring (uvula sampai epiglotis) Laringofaring (epiglottis sampai kartilago cricoid)

Histologi lapisan hidung, faring dan laring yaitu :

Gambar 2. Struktur histologi hidung (Martini, 2009).

Gambar 3. Struktur laring tampak anterior (Martini, 2009).

Gambar 4. Struktur laring tampak posterior (Martini, 2009).

Gambar 5. Struktur laring tampak samping (Martini, 2009).

Gambar 6.Plica vocalis (Martini, 2009). 2. Fisiologi Hidung, Faring, dan Laring A. Fisiologi Hidung Fungsi hidung secara umum yaitu (Marieb, 2007): 1) Jalan napas 2) Melembabkan dan menghangatkan udara 3) Menyaring dan membersihkan udara 4) Tempat bergemanya suara 5) Organ penghidu Di dalam rongga hidung terdapat vibrissae atau rambut-rambut hidung yang berfungsi untuk menyaring partikel yang kasar (debu

dan serbuk bunga). Selain itu, terdapat 2 macam mucosa di dalam cavum nasi yaitu (Marieb, 2007): 1) Mucosa olfactorius, yang berfungsi sebagai tempat reseptor bau 2) Mucosa respiratorius, yang tersusun dari epitel respirasi (kolumner pseudokompleks bersilia) dengan sel goblet. Sel goblet ini berfungsi untuk menyuplai glandula-glandula mucus dan serus. Sel-sel mucus menghasilkan mucus yang berfungsi menjebak debu, bakteri, dan berbagai benda asing lain. Sementara itu, sel-sel serus berfungsi menghasilkan cairan yang mengandung enzim (lysozim) yang berfungsi sebagai zat antibakteri. Epitel respirasi sendiri menghasilkan defensin, yakni sejenis antibiotik alami. Silia yang terletak di apical sel epitel berfungsi mendorong mucus yang sudah menangkap bendabenda asing ke faring, kemudian tertelan dan dicerna oleh cairan lambung. Proses ini tidak disadari saat kita sedang sehat. Dalam sehari, cairan mucus dan serus yang dihasilkan cavum nasi mencapai sekitar 1 L. Saat lapisan mucosa cavum nasi terserang virus, bakteri, atau allergen, hal tersebut akan menimbulkan rhinitis atau inflamasi pada mukosa cavum nasi. Rhinitis ditandai oleh 3 hal : produksi mucus berlebih, congesti nasal, dan postnasal drip. Karena lapisan mukosa bersambung sampai ke ductus nasolakrimalis dan sinus-sinus paranasal yang lain, akhirnya rhinitis juga bisa menyebar ke wilayah-wilayah tersebut. Banyaknya mucus menghambat saluran-saluran penghubung sinus dengan cavum nasi sehingga udara yang seharusnya mengisi sinus akan diserap. Hal ini menimbulkan keadaan yang disebut partial vacuum (ruang hampa udara) di dalam sinus sehingga menyebabkan sakit kepala pada sinus yang terlokalisir di daerah inflamasi. Adanya serabut saraf sensoris pada cavum nasi membuat suatu reflek bersin apabila mucosa cavum nasi kontak dengan benda asing. Plexus-plexus kapiler dan vena berdinding tipis

berfungsi untuk menghangatkan udara yang lewat. Karena letak plexus-plexus ini agak ke permukaan dan ukurannya kecil, maka jika terkena sedikit saja trauma atau perubahan lingkungan fisik (suhu) maka mudah sekali mengalami epistaksis (Marieb, 2007). Di dalam cavum nasi terdapat conchae dan meatus nasi yang berfungsi sebagai tempat perputaran udara (turbulensi). Partikel gas selanjutnya akan masuk ke faring, sedangkan partikel nongas akan berbelok ke permukaan mukosa dan ditangkap oleh cairan mucus (Marieb, 2007). Selain pada saat inspirasi, cavum nasi juga berfungsi pada saat ekspirasi. Saat kita menghirup udara yang dingin, maka plexus-plexus di dekat conchae akan menghangatkan udara tersebut sebelum masuk ke paru. Hal itu menyebabkan area conchae akan kehilangan panasnya dan menjadi dingin. Maka, saat ekspirasi berlangsung, udara yang telah dihangatkan tadi akan kembali melewati conchae dan membuat conchae menjadi hangat lagi. Hal ini-lah yang membuat manusia mampu bertahan di cuaca panas atau dingin (Marieb, 2007). B. Fisiologi Faring 1) Nasofaring Nasofaring berfungsi sebagai jalan nafas. Pada saat menelan, pallatum mole dan uvula terangkat untuk menutup nasofaring sehingga makanan tidak akan masuk ke cavum nasi. Namun, jika kita tertawa, proses fisiologis tersebut akan gagal dan mengakibatkan makanan bisa keluar dari hidung. Epitel bersilia yang ada di nasofaring berfungsi mendorong mucus. Selain itu, ada juga tonsila faringeal atau adenoid yang bertugas menangkap patogen dari udara. Jika adenoid bengkak atau terinfeksi, maka jalan masuk udara ke nasofaring akan terhambat sehingga harus bernafas lewat mulut. Jika hal ini berlangsung lama, dapat menimbulkan gangguan tidur dan berbicara. Tuba auditiva yang berfungsi menghubungkan nasofaring dengan telinga tengah

berfungsi untuk menyeimbangkan tekanan supaya sama dengan tekanan di atmosfer (Marieb, 2007). 2) Orofaring Orofaring berfungsi sebagai jalan nafas dan makanan. Karena itulah sel epitel penyusunnya berubah menjadi epitel skuamous komplek sebagai cara beradaptasi menghadapi substansi yang melewatinya. Di dalam orofaring juga terdapat tonsila palatina dan sublingual yang juga berfungsi untuk menangkap patogen (Marieb, 2007). 3) Laringofaring Laringofaring berfungsi sebagai jalan nafas dan makanan (Marieb, 2007). C. Laring Laring memiliki 3 fungsi utama (Marieb, 2007): 1) Jalan nafas Jika ada yang melewati laring namun bukan udara, maka laring akan bertindak untuk menjalankan reflek batuk. 2) Katup Katup di sini diperankan oleh epiglottis, dimana pada saat menelan, laring akan tertarik ke atas, epiglottis akan menutup laring sehingga makanan tidak akan masuk ke saluran pernafasan. 3) Produksi suara Produksi suara diperankan oleh plica vocalis. Suara yang dihasilkan bergantung pada 3 faktor di plica vocalis (Marieb, 2007): a) Ketebalan Semakin tebal plica vocalis, maka suara yang dihasilkan akan bernada rendah. Hal ini yang dimiliki oleh laki-laki yang sudah pubertas. Sebaliknya, semakin tipis pita suara, nada yang dihasilkan akan semakin tinggi yang biasa dimiliki oleh perempuan.

b)

Tegangan Semakin besar tegangan yang dihasilkan plica vocalis, maka semakin tinggi pula nada yang dihasilkan.

c)

Ukuran glottis Ukuran glottis yang sempit akan menimbulkan nada tinggi, sedangkan ukuran glottis yang lebar akan menimbulkan nada rendah.

Sementara itu, keras lemahnya suara ditentukan oleh besarnya gaya yang melintas (udara). Jika gaya yang dihasilkan makin besar, maka getaran plica makin kuat sehingga suara yang dihasilkan akan semakin keras. Pada saat kita berteriak, plica akan bergetar hebat. Namun, pada saat berbisik, plica tidak bergerak. Sumber tenaga yang dipakai saat bersuara yakni otot-otot di region thorax, abdomen, dan dorsum. Struktur lain yang berperan yaitu labia oris, nasal, dan cavum sinus untuk resonansi, dan faring, lingua, palatum mole, dan labia oris untuk kejelasan ucapan (Marieb, 2007). Selain 3 fungsi di atas, laring juga bertindak sebagai sfingter, dimana yang berperan adalah plica vocalis. Peran ini biasanya dipakai saat mengejan (defekasi, mengangkat beban berat, dll) yang juga biasa disebut dengan Valsalvas maneuver. Plica vocalis akan mencegah udara melewati laring. Saat abdomen teregang, glottis akan menutup untuk mencegah ekspirasi. Otot-otot abdomen akan kontraksi sehingga tekanan di dalam abdomen akan meningkat (Marieb, 2007).

3. Rhinitis Vasomotor Definisi : terdapatnya gangguan fisiologik lapisan mukosa hidung yang disebabkan oleh bertambahnya aktivitas parasimpatis. Etiologi : Gangguan keseimbangan vasomotor Faktor-faktor yang mempengaruhi keseimbangan vasomotor antara lain: a. Obat-obatan yang menekan dan menghambat kerja saraf simpatis, seperti: obat anti hipertensi, kontrasepsi oral, dll.

b. Faktor fisik, seperti iritasi oleh asap rokok, udara dingin, udara lembab, bau yang merangsang, makanan yang pedas dan panas. c. Faktor endokrin, seperti keadaan kehamilan, pubertas,

hipotiroidisme. d. Faktor psikis, seperti rasa cemas, tegang. Manifestasi klinis : a. Hidung tersumbat, bergantian kiri kanan. b. Rinore mucus/serus c. Konka warna merah gelap/pucat d. Konka dapat licin/berbenjol Patogenesis & Patofisiologis : Gangguan keseimbangan vasomotor yang dipengaruhi oleh beberapa factor (obat-obatan, fisik, endokrin, psikis). Gangguan keseimbangan tersebut dapat merangsang saraf otonom yang ada di mukosa hidung (n. Vidianus), sehingga terjadi penurunan aktivitas saraf simpatis dan peningkatan aktivitas saraf parasimpatis. Sistem saraf otonom mengontrol suplai darah ke dalam mukosa nasal dan sekresi mukus. Diameter dari arteri hidung diatur oleh saraf simpatis sedangkan saraf parasimpatis mengontrol sekresi glandula dan mengurangi tingkat kekentalannya, serta menekan efek dari pembuluh darah kapasitan (kapiler). Efek dari hipoaktivitas saraf simpatis atau hiperaktivitas saraf parasimpatis bisa berpengaruh pada pembuluh darah tersebut yaitu menyebabkan terjadinya peningkatan edema interstisial dan akhirnya terjadi kongesti yang bermanifestasi klinis sebagai hidung tersumbat. Aktivasi dari saraf parasimpatis juga meningkatkan sekresi mukus yang menyebabkan terjadinya rinorea yang eksesif. Penatalaksanaan : 1. Menghindari penyebab / pencetus ( Avoidance therapy ) 2. Pengobatan konservatif ( Farmakoterapi ) : Dekongestan atau obat simpatomimetik digunakan untuk mengurangi keluhan hidung tersumbat. Contohnya :

Pseudoephedrine dan Phenylpropanolamine ( oral ) serta Phenylephrine dan Oxymetazoline (semprot hidung ). Anti histamin : paling baik untuk golongan rinore. Kortikosteroid topikal mengurangi keluhan hidung tersumbat, rinore dan bersin-bersin dengan menekan respon inflamasi lokal yang disebabkan oleh mediator vasoaktif. Biasanya digunakan paling sedikit selama 1 atau 2 minggu sebelum dicapai hasil yang memuaskan. Contoh steroid topikal : Budesonide, Fluticasone, Flunisolide atau Beclomethasone Anti kolinergik juga efektif pada pasien dengan rinore sebagai keluhan utamanya. Contoh : Ipratropium bromide ( nasal spray ) 3. Terapi operatif ( dilakukan bila pengobatan konservatif gagal ) : Kauterisasi konka yang hipertrofi dengan larutan AgNO3 25% atau triklorasetat pekat ( chemical cautery ) maupun secara elektrik ( electrical cautery ). Diatermi submukosa konka inferior ( submucosal diathermy of the inferior turbinate ) Bedah beku konka inferior ( cryosurgery ) Reseksi konka parsial atau total (partial or total turbinate resection) Turbinektomi dengan laser ( laser turbinectomy ) Neurektomi n. vidianus (vidian neurectomy ), yaitu dengan melakukan pemotongan pada n. vidianus, bila dengan cara diatas tidak memberikan hasil. Operasi sebaiknya dilakukan pada pasien dengan keluhan rinore yang hebat. Terapi ini sulit dilakukan, dengan angka kekambuhan yang cukup tinggi dan dapat menimbulkan berbagai komplikasi (FKUI, 2007).

4. Rhinitis akut simplex Rhinitis akut simpleks adalah iritasi pada hidung dimana terjadi inflamasi selama beberapa hari yang secara umum disebabkan oleh virus (Shiel, et al., 2008). Rhinitis akut simpleks dapat pula disebut sebagai

common cold, selesma, pilek, maupun flu. Etiologi yang umum pada rhinitis simpleks adalah Rhinovirus, namun dapat pula disebabkan oleh virus lain seperti Myxovirus, Adenovirus, virus Influenza, virus Parainfluenza, Coxsackie virus, ECHO virus dan lainnya. Gejala yang terjadi antara lain : panas, gatal dan kering pada hidung, bersin berulang, pilek, batuk, hidung merah dan bengkak serta nyeri kepala (FKUI, 2007). Patogenesis :Rhinovirus (RV) masuk ke dalam tubuh melalui direct contact dengan benda yang terkontaminasi

Apabila masuk ke mata, maka akan dihantarkan melalui ductus nasolacrimal. Sedangkan dari hidung, maka RV berserta partikel kontaminan masuk lebih dalam karena terhirup.

Baik dari mata dan hidung, RV tersebut dibawa ke nasofaring dan akan diikat oleh reseptor ICAM-1 (CD-54) pada sel epitel bersilia

RV bereplikasi dan menyebar menginfeksi sel epitel

Mengakibatkan Neutrofil, Sel Mast, Basofil, serta Limfosit (CD22+ dan CD57+) meningkat

Sel yang terinfeksi melepaskan sitokin dan kemokin (seperti IL-8, IL-6, dan IL-1)

Mengaktifkan mediator inflamasi (Kinin, Histamin, Leukotriene, Prostaglandin)

Terjadi simptom Rhinitis simpleks

Bagan 5. Patogenesis rhinitis akut (Mygind, et al., 1999).

Patofisiologi:Terjadi inflamasi di hidung Melepas kinin Teraktifkanny a mediator inflamasi Melepas Histamin Melepas Leukotriene Melepas Prostaglandin Permeabilitas pembuluh darah Hidung tersumbat dan sakit tenggorokan Bersin Mucus hypersecretio n dan hidung tersumbat Bersin dan batuk

Edema pada chonca nasal

Bagan 6. Patofisiologi rhinitis akut (Mygind, et al., 1999).

Penatalaksanaan : a. Interferon- : sebagai antiviral Rhinovirus yang bekerja menghambat penyebaran virus. b. Corticosteroid : berinteraksi dengan transcription factor sebagai antiinflamasi yang dapat mengurangi gejala. c. Vasoconstrictor : -adrenoceptor agonist mengurangi gejala seperti hidung tersumbat yang diakibatkan adanya vasodilatasi. d. Anticholinergic : menghentikan rhinorrhea dengan memblok inervasi kolinergik pada glandula submukosa (Mygind, et al., 1999).

5. Rhinitis hipertrofi Rinitis hipertrofi terjadi karena infeksi berulang pada hidung dan sinus, atau merupakan lanjutan dari rhinitis vasomotor kronik. Gejalanya meliputi hidung tersumbat sebagai keluhan utama kebanyakan pasien, secret berlebih yang mukopurulen, serta nyeri kepala. Konka menjadi hipertrofi dan biasanya konka nasalis inferior, permukaan benjol-benjol, serta mukosa yang hipertrofi. Hal ini menyebabkan saluran udara

menjadi sempit. Sekret mukopurulen berlebih biasanya terdapat di antara konka nasalis inferior, septum nasi dan dasar rongga hidung. Terapi pada Rinitis hipertrofi dengan mengetahui penyebabnya, apakah virus atau sudah terjadi infeksi sekunder oleh bakteri. Mengurangi sumbatan hidung dengan kauterisasi konka menggunakan zat kimia (nitras argenti/asam trikhlorasetat) atau dengan menggunakan kauter listrik (elektro kauter). Jika tidak terjadi perbaikan dapat dilakukan luksasi konka sampai konkotomi, tentunya dengan berbagai resiko (FKUI, 2007).

6. Sinusitis Merupakan radang sinus paranasal. Dibagi menjadi 3: a. Sinusitis akut : infeksi beberapa hari sampai beberapa minggu.

b. Sinusitis subakut: infeksi beberapa minggu sampai beberapa bulan. c. Sinusitis kronik : infeksi beberapa bulan sampai beberapa tahun. Etiologi: a. Virus (rhinovirus, adenovirus, influenza A dan B) b. Bakteri (Streptococcus pneumonia) c. Jamur Tanda dan gejala a. Pilek dan batuk b. Demam c. Lesu d. Hidung tersumbat e. Ingus kental f. Mukosa konka hiperemis dan edema (Mansjoer, 2001)

Patomekanismebakteri/ virus

infeksi

radang

edem osteomeatal (dinding hidung & sinus

mukosa yang berhadapan bertemu

silia tidak dapat bergerak

sekret tidak bisa dialirkan

gangguan drainase dan ventilasi dalam sinus

lendir kental

Sumbatan jalan nafas

Bakteri pathogen tumbuh. Reinfeksi dan reinokulasi virus

Hipoksia : Bakteri anaerob tumbuh Sianosis Penurunan gerakan silia dan aktivitas leukosit

Bagan 7. Patomekanisme sinusitis (Endang, 2000) Penatalaksanaan akut Antibiotik10-14 hari subakut Antibiotik 10-14 hari kronik Obat simtomatis Antibiotik 2-4 minggu

Dekongestan (topical Dekongestan

atau sistemik) Analgesik Mukolitik Analgesik Mukolitik Steroid nasal Operatif: mengambil mukosa yang patogen Steroid intranasal Irigasi nasal dengan NaCl (Mansjoer, 2001) Diatermi

7. Faringitis A. Definisi Faringitis adalah penyakit tenggorokan, merupakan reaksi inflamasi terhadap pathogen yang mengeluarkan toksin. Faringitis juga bisa merupakan gejala dari penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus, seperti penyakit flu (Pommeville, 2011). B. Etiologi Virus Rhinovirus Coronavirus Virus influenza Virus parainfluenza Adenovirus Bakteri Streptococcus pyogenes Streptococcus grup A Neisseria gonorrhea Corynebacterium diphteriae Yessinia enterocolitica

Herpes simpleks virus tipe 1 dan 2 Treponema pallidum Coxsaclevirus A, dll Vincent angina

Penyebab faringitis yang bersifat non infeksi yaitu sleep apneau, merokok, dan alergi (Fauci, 2008). C. Manifestasi klinik 1) Virus a. Rhinorrhea b. Batuk c. Konjungtivitis

d. Demam yang tidak terlalu tinggi e. Sakit kepala ringan f. Eritema pada faring dan arkus palatine g. Adenopati regional (Lipsky, 2010). 2) Bakteri a. Lelah b. Nyeri atau pegal tubuh c. Menggigil d. Demam > 38 derajat C e. Pembesaran nodus limfa di leher dan ketiak f. Tonsil membesar g. Sakit kepala h. Hilangnya nafsu makan i. Pembesaran limfa j. Inflamasi hati k. Faring eritema l. Tonsil pallatina membesar dan eritema (Lipsky, 2010; Fauci, 2008). D. Patogenesis dan patofisiologi Orang terinfeksi batuk/bersin hinggap pada sel sehat bermultiplikasi dan mensekresikan toksin kerusakan pada sel hidup dan inflamasi pada orofaring dan tonsil faringitis inflamasi demam Batuk sputum pembersihan jalan nafas tidak efektif mukosa kemerahan kesulitan menelan gangguan nutrisi nyeri edem mukosa Bagan 8. Patomekanisme faringitis (Lipsky, 2010).

E. Penatalaksanaan 1. Pencegahan a. Sup hangat atau minuman hangat; dapat meringankan gejala dan mencairkan mucus sehingga dapat mencegah hidung tersumbat. b. Probiotik (lactobacillus); untuk menghindari dan

mengurangi demam. c. Madu; mengurangi batuk. d. Vitamnin C; untuk menghindari demam. e. Seng; digunakan dalam fungsi optimal system imun karena dapat menghindari demam, dan penggunaan spray dapat digunakan untuk mengurangi hidung tersumbat (Lipsky, 2010). 2. Virus a. Obat-obatan seperti amantadine, rimantadine, aseltamivir, zanamivir, dan asiklovir. b. Istirahat cukup. c. Konsumsi air cukup d. Hindari konsumsi alcohol. e. Obat kumur; untuk menghilangkan nyeri pada tenggorokan (Fauci, 2008). 3. Bakteri Diberi obat-obatan seperti penicillin benzarhine, penicillin, etriromisin, dan penicillin profilaksis (Fauci, 2008). F. Prognosis Baik (Fauci, 2008).

8. Epistaxis A. Definisi Perdarahan dari hidung yang terjadi akibat sebab lokal ataupun sistemik, biasanya akibat pecahnya pembuluh darah kecil yang terletak di bagian anterior septum nasal kartilaginosa.

Sebab: 1) Lokal : trauma, neoplasma (benigna/maligna), infeksi, idiopatik terutama dari area little / vena retrocolumela, lingkungan (udara sangat kering, AC, asap industri). 2) Sistemik : a) Hipertensi (tidak langsung menyebabkan epistaksis, tetapi pada pasien hipertensi epistaksis bisa lebih lama dan lebih banyak sehingga perlu di opname), kelainan darah dan pembuluh darah, peningkatan tekanan vena. b) Koagulopati c) Gangguan pembekuan darah seperti hemofili d) Pemakaian obat antikoagulan e) Kanker darah Pemakaian aspirin dosis rendah sedikit meningkatkan insidensi yang menyebabkan hemorarrgic teleangiektasis (gangguan genetik) (Schlosser, 2009). Epistaksis merupakan gangguan umum sehingga tidak memerlukan penanganan ekstra, kecuali pada orang orang tua karena berhubungan dengan penyakit berbahaya dan dapat mengakibatkan kematian. Pada anak perdarahan di little area / mucocutaneous junction dan berhenti sendiri. Sedangkan pada dewasa cendering dari little area di 1/3 anterior septum (Ludman, 2007). Terdapat 2 sumber perdarahan: 1) Epsistaksis anterior Berasal dari pleksus kieselbach (yang paling sering terjadi pada anak anak) atau dari arteri etmoidalis anterior. Peradarahan tidak begitu hebat dan dapat berhenti sendiri atau mudah diatasi (Mansjoer, 2001). 2) Epistaksis posterior

Berasal dari arteri sphenopalatina dan arteri etmoidalis posterior. Biasanya terjadi pada usia lanjut yang menderita hipertensi, arteriosklerosis atau penyakit kardiovaskular. Perdarahannya biasanya hebat dan jarang berhenti spontan (Mansjoer, 2001). B. Mekanismesesuatu yang membahayakan lapisan cilia hidung

deviasi septum / tonjolan maxilla

gangguan pembersihan mukus

pergerakan udara minimal udara cepat mengering

meninggalkan area kulit yang luka

lapisan kulit kering dan telepas

berdarah

Bagan 9. Mekanisme epistaxis (Ludman, 2007).

Pasien dengan rhinitis alergi lebih sering epistaksis pada musim kering atau pada pasien yang memakai steroid nasal topical yang berlebihan. Bila akibat trauma => ada pembuluh darah pecah => perdarahan terjadi karena pembuluh darah kurang dapat berkontraksi: 1) 2) Pembuluh dari terletak antara periosteum dan mukosa tipis Tidak ada bantalan yang melindungi pembuluh darah.

C. Penatalaksanaan 3 prinsip utama dalam penanggulangan epistaksis: menghentikan perdarahan, mencegah komplikasi, mencegah berlangsung epistaksis. Penatalaksanaan pertama: 1) Menyiapkan alat dan bahan

Lampu kepala, speculum hidung, pinset bayonet, ujung suction, suction pump, penekan lidah, arteri klem, kateter nelaton. Larutan adrenalin 1: 100.000, larutan procain 2%, trichloracetic acid, tampon vaselin, kapas tampon, tampon Bellocq, 2) Keadaan umum penderita 3) Berusaha menentukan sumber perdarahan (kadang kadang sukar). Pertolongan segera: 1) Tekan bagian bawah hidung (tidak pada tulangnya) selama 20 menit. 2) Sandarkan ke depan dengan mulut terbuka di atas wadah untuk menaksir jumlah darah yang hilang. 3) Darah yang menetes dibelakang hidung => tertelan => muntah besar Nb: 1 cangkir penuh => peringatan => tidak bahaya untuk dewasa jika selama 7 hari => bahaya pada lansia. 4) Ukur tekanan darah dan nadi secara teratur

a) Epistaksis anterior Jika terlihat sumber perdarahan dikaustik dengan larutan nitras argenti 20 30% atau asam triklorasetat 10% atau elektrokauter. Sebelumnya diberi analgesic topical. Bila perdarahan masih berlangsung => perlu dipasang tampon anterior yaitu kapas atau kasa menyerupai pita dengan lebar cm, diberi vaselin / salep antibiotic agar tidak melekat sehinga tidak terjadi perdarahan ulang saat pencabutan. Tampon anterior dimasukkan melalui nares anterior, diletakkan berlapis mulai dari dasar sampai puncak rongga hidung dan harus menekan sumber perdarahan. Tampon dipertahankan selama 1-2 hari (Mansjoer, 2001). b) Epistaksis posterior Pemasangan tampon posterior (tampon bellocq) => punya 3 utas benang, 1 utas di tiap ujung dan 1 utas di tengah. Tampon harus menutup khoana. Tampon terbuat dari kasa padat berbentuk bulat atau kubus dengan diameter 3 cm.

Pertama kateter karet dimasukkan melalui salah satu 1 nares anterior sampai tampak di orofaring dan ditarik keluar melalui mulut. Ujung kateter diikat pada salah satu benang pada ujung tampon, dengan cara sama benang lain dikeluarkan lewat lubang hidung sebelahnya. Benang yang keluar kemudian ditarik dan dengan bantuan jari telunjuk tampon tersebut di dorong kea rah nasofaring. Kedua benang yang keluar dari nares anterior diikat pada gulungan kasa di depan hidung. Benang yang keluar dari mulut dilekatkan pada pipi. Pasien harus dirawat dan tampon dikeluarkan 2 3 hari setelah pemasangan (Mansjoer, 2001).

Gambar 7. Pemasangan tampon posterior (Corry, 2005)

9. Mekanisme berbisik Tipe fonasi seperti ini termasuk yang plica vocalisnya kaku dan menutup bersama. Ujung kartilago aritenoid tertarik dan saling memisah. Udara di dalam paru didorong melalui celah yang sempit, yang menghasilkan bunyi berdesis yang biasa disebut berbisik (Anonym, 2012). VI. Kesimpulan Diagnosis dan Penatalaksanaan Diagnosis : 1. Epistaxis 2. Rhinopharingitis acute e/c viral (common cold)

Terapi : 1. Antipiretik :

Paracetamol 150-300 mg per oral setiap kali pemberian, maksimal diberikan 1,2 gram per hari untuk menurunkan demam. 2. Dekongestan dan antihistamin Chlorpheniramine (CTM) 2 mg per oral 3-4x/hari untuk mengurangi efek alergi karena memiliki sifat kompetitif reversibel terhadap reseptor histamine 1 dan untuk menghilangkan hidung tersumbat. 3. Edukasi : a. Cukup istirahat b. Perbanyak cairan : sup hangat, untuk melegakan hidung tersumbat dan mengurangi sakit tenggorokan. Jus buah untuk meningkatkan daya tahan tubuh.

DAFTAR PUSTAKA Behrman, Richard E. Kliegman, Robert M. 2000. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta : EGC. Corry, J. Kucik, LT., Timothy, Clenney. 2005. Management of Epistaxis. American Family Physician. 71 : 310. Eliastam, Michael. 1998. Penuntun Kedaruratan Medis. Jakarta : EGC. Endang, Mangunkusumo, Rifki Nusjirwan. 2000. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok edisi 4. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Fauci AS, Kasper DL, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL, et al. 2008. Harrisons Principles of Internal Medicine. Edisi ke-17. Philadelphia: McGraw-Hill. FKUI. 2007. Buku Ajar Ilmu Kesehatan : Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher. Jakarta : Balai Pustaka FKUI. Lipsky MS, King MS. 2010. Blueprints Family Medicine. Philadelphia: Lippincott. Ludman, Harold. Patrick J. Bradley. 2007. ABC of Ear, Nose, and Throat 5th Ed. Blackwell Publishing. Mansjoer, Arif. 2001. Sinusitis, dalam Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius FKUI. Martini, Frederich H. Judi L. Nath. 2009. Fundamentals of Anatomy and Physiology, 8th edition. San Fransisco: Pearson International Education. Mygind, N., J.M. Gwaltney, et al. 1999. The common cold and asthma. Allergy, Vol. 54 : 146-159. Nuswantari, Dyah. 1998. Kamus Saku Kedokteran Dorland. Jakarta: EGC Pommeville JC. 2011. Alcamos Fundamentals of Microbiology Ed ke-9. Sudbury: Jones&Bartlett Publisher. Schlosser, Rodney J. 2009. Epistaxis. The New England Journal of Medicine. 360: 784. Schwartz, M. William. 2005. Pedoman Klinis Pediatri. Jakarta : EGC. Sherwood, Lauralee. 2001. Fisiologi Manusia : dari Sel ke Sistem. Jakarta : EGC.

Shiel, William C., Melissa Conrad Stoppler, et al. 2008. Websters New World : Medical Dictionary 3rd edition. New Jersey : Wiley Publishing Inc. Soemantri, Irman. 2007. Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Gangguan Sistem Pernafasan. Jakarta : Penerbit Salemba Medica.