laporan pbl kelompok 6

36

Click here to load reader

Upload: eccha-edogawa

Post on 29-Jun-2015

514 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: LAPORAN PBL KELOMPOK 6

LAPORAN KELOMPOKMODUL 3 SISTEM KARDIOVASKULER

PENYAKIT JANTUNG BAWAAN

Disusun oleh :

Kelompok 6

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2010

1

Page 2: LAPORAN PBL KELOMPOK 6

TUJUAN PEMBELAJARAN

Tujuan Instruksional Umum (TIU):

Setelah mempelajari modul ini, mahasiswa mampu memahami konsep dasar yang

berhubungan dengan penyakit jantung bawaan dan mampu menegakkan diagnosis beberapa

penyakit jantung bawaan tertentu.

Tujuan Instruksional Khusus (TIK):

1. Memahami konsep dasar penyakit jantung bawaan sianotik dan asianotik

2. Memahami hal – hal yang berhubungan dengan anamnesis dan pemeriksaan fisis

penderita penyakit jantung bawaan

3. Memahami patofisiologi terjadinya sianosis

4. Memahami perbedaan sianosis sentral (serebral, pulmonal dan kardial) dan sianosis

perifer

5. Memahami hubungan antara gejala sianosis dan gejala lainnya yang relevan dengan

diagnosis penyakit jantung bawaan tertentu

6. Menentukan jenis pemeriksaan dan prosedur diagnostik tertentu yang menunjang

diagnosis penyakit jantung bawaan

7. Memahami kemungkinan komplikasi yang mungkin timbul dari penyakit jantung

bawaan tertentu

8. Memahami prosedur tindakan dan terapi pada penderita dengan penyakit jantung

bawaan

9. Memahami prognosis penyakit – penyakit jantung bawaan tertentu.

2

Page 3: LAPORAN PBL KELOMPOK 6

SKENARIO 3

Seorang anak perempuan 10 tahun datang dengan keluhan nyeri dan bengkak pada

lutut kiri, demam, jantung terasa berdebar – debar. Hal ini dialami sejak 3 hari yang lalu.

Pada pemeriksaan fisis ditemukan : Sianosis (-), Nadi: 140 x/m, reguler. Tekanan darah

120/60 mmHg. Suhu: 380C DVS normal. Pemeriksaan toraks : Aktivitas ventrikel kiri

meningkat. Thrill teraba di apex. Batas – batas jantung membesar BJ: 1 & 2 murni, intensitas

normal. Terdengar bising sistol – diastole derajat 2 – 3/6, p.m. di apex A. Femoralis teraba

bounding. Tidak terdapat jari tabu. Terdapat tanda – tanda radang pada lutut kiri (+).

KATA/KALIMAT KUNCI

Perempuan 10 tahun

Nyeri dan bengkak lutut kiri, demam inflamasi lutut kiri

Jantung berdebar-debar

Onset 3 hari yang lalu

Sianosis (-)

Nadi : 140x/menit, reguler takikardi

BP 120/60 mmHg

Suhu 38°C demam

DVS normal

Aktivitas ventrikel kiri meningkat

Thrill teraba di apex

Batas jantung membesar

BJ: 1 & 2 murni, intensitas normal

Bising sistol – diastole derajat 2 -3/6, p.m. di apex

A. Femoralis teraba bounding

Jari tabu (-)

Tanda radang lutut kiri (+) inflamasi lutut kiri

KLARIFIKASI ISTILAH SULIT

Sianosis : perubahan warna menjadi kebiruan karena meningkatnya hemoglobin

terdeoksigenasi dalam darah yang masuk kedalam jaringan (Lecture Notes)

Thrill : sensasi getaran yang dirasakan oleh pemeriksa pada palpasi tubuh seperti

diatas jantung selama murmur jantung yang besar dan kasar (Kamus Dorland)

3

Page 4: LAPORAN PBL KELOMPOK 6

Thrill : vibrasi yang berfrekuensi rendah yang dihubungkan dengan bising jantung

yang keras. Bila teraba di apeks, kemungkinan stenosis mitral atau regurgitasi mitral.

Yang membedakannya adalah pada stenosis mitral, thrill teraba di apeks pada waktu

diastole. Sedangkan pada regurgitasi mitral, thril teraba di apeks pada waktu sistole

(Diktat Kuliah Sistem Kardiovaskuler)

Jari tabu: deformitas yang ditimbulkan karena proliferasi jaringan lemak sekitar

falang terminal jari tangan dan kaki tanpa perubahan oseosa yg konstan (Kamus

Dorland)

Bounding : kontur nadi (pulse) abnormal yang hiperdinamik disebabkan oleh

peningkatan tekanan nadi sebagai hasil regurgitasi aorta atau anemia. Terpalpasi

paling baik pada seperti arteri femoralis dan arteri radialis. (Atlas of Adult Physic

Diagnostic)

Bounding : A hyperkinetic pulse with a rapid large-amplitude upstroke and rapid

collapse is associated with increased stroke volume or decreased arterial

compliance. The classic “collapsing pulse” is found in aortic regurgitation, along

with the manifestations of diastolic murmur, pulsating retinal arteries, and nailbed

pulsations (Quincke pulses). It also occurs in thyrotoxicosis (a rapid and snapping

pulse), pregnancy, fever, anemia, patent ductus arteriosus, and arteriovenous fistula. A

slow, bounding pulse, which is caused by a prolonged ventricular filling time, may be

found in complete heart block. (Longmore M, Wilkinson I, Turmezei T, Cheung

CK (2007) Oxford Handbook of Clinical Medicine. 7th Edition. Oxford

University Press: New York)

Bounding pulse

IDENTIFIKASI MASALAH

1. Sebutkan anamnesis yang perlu ditambahkan untuk mengarah pada diagnosis!

2. Sebutkan beberapa diagnosis banding (DD) dari kasus tersebut!

3. Pemeriksaan apa yang diperlukan untuk menunjang diagnosis!

4. Sebutkan diagnosis klinis dari kasus tersebut!

5. Bagaimana mendiagnosis penyakit pada pasien?

4

Page 5: LAPORAN PBL KELOMPOK 6

6. Jelaskan patofisiologi dari penyakit pasien pada kasus!

7. Bagaimana penatalaksanaan penyakit?

8. Apa saja komplikasi yang dapat terjadi pada pasien ini?

9. Bagaimana prognosis penyakit?

ANALISIS MASALAH

1. Anamnesis Tambahan

Apakah pernah menderita nyeri dan bengkak pada sendi lain yang berpindah-pindah?

Apakah sudah pernah menderita penyakit yang sama sebelumnya?

Apakah beberapa minggu sebelumnya pernah mengalami demam dan radang

tenggorokan (faringitis)?

Apakah ada dirasakan gerakan-gerakan yang tidak terkendali?

Apakah ada anggota keluarga lain yang pernah menderita penyakit yang sama?

2. Diagnosis Banding

Gejala dan Tanda

pada Kasus

Rheumatic Fever VSD ASD

Nyeri&bengkak

lutut kiri

V X X

Febris V X X

Palpitasi V X X

Takikardi V X X

Asianosis V V V

DVS normal V

Peningkatan

akt.ventrikel kiri

V V X

Thrill teraba di

apex

V X X

Batas jantung

membesar

V V V

Bising sistole-

diastole p.m di

V X X

5

Page 6: LAPORAN PBL KELOMPOK 6

apex

Bounding a.

femoralis

V X X

3. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang untuk membantu menegakkan diagnosis demam reumatik

dengan biakan tenggorok, ASTO, DNAase B dan uji AH, LED, faktor rheumathoid, uji

adanya antibodi anti nuklear, dan penentuan kadar komplemen, gamma globulin serum,

elektrokardiogram dan rontgenogram dada.1

Apusan tenggorok

Biasanya kultur Streptococcus Grup A (SGA) negatif pada fase akut. Bila

positif inipun belum pasti membantu diagnosis sebab kemungkinan akibat

kekambuhan dari kuman atau infeksi Streptococcus dengan strain yang lain.

ASTO

Streptococcus diketahui dapat menghasilkan tidak kurang dari 20 produk

ekstrasel; yang terpenting diantaranya ialah streptolisin O, streptolisin S,

hialuronidase, streptokinase, disfosforidin nukleotidase, deoksiribonuklease serta

streptococcal erythrogenic toxin. Produk-produk tersebut merangsang timbulnya

antibodi6. ASTO (anti streptolisin O) merupakan antibodi yang paling dikenal dan

paling sering digunakan untuk indikator terdapatnya infeksi streptococcus. Lebih

kurang 80% penderita demam reumatik/penyakit jantung reumatik akut menunjukkan

kenaikan titer ASTO ini; bila dilakukan pemeriksaan atas 3 antibodi terhadap

Streptococcus, maka pada 95% kasus demam reumatik/penyakit jantung reumatik

didapatkan peninggian atau lebih antibodi terhadap Streptococcus.6

ESR (Erythrocyte Sedimentation Rate)/LED (Laju Endap Darah)

Terjadi peningkatan LED akibat adanya proses inflamasi. Sensitivitas tinggi,

namun spesifitasnya rendah untuk demam rematik.

CRP (C-Reactive Protein)

Terjadi peningkatan CRP akibat adanya proses inflamasi. Sama seperti tes

LED, CRP memiliki sensitivitas yang tinggi, namun spesifitas rendah untuk demam

rematik.

6

Page 7: LAPORAN PBL KELOMPOK 6

Foto Toraks

Pada foto toraks, tampak adanya kardiomegali, kongesti paru, dan penemuan

lain yang konsisten dengan gagal jantung. Ketika pasien ada demam dan respiratory

distress, maka foto toraks dapat menolong untuk membedakan gagal jantung kongesti

dan pneumonia rematik.

Pemeriksaan Histologik

Tampak adanya badan Aschoff, yaitu infiltrat perivaskular sel besar dengan

inti polimorf dan sitoplasma basofil tersusun dalam roset sekeliling pusat fibrinoid

yang avaskular. Ini merupakan lesi yang patognomonis pada DR jika terjadi karditis.

Elektrokardiogram

Tidak ada pola yang khas dari EKG pada DR dengan karditis. Adanya bising

sistolik dapat dibantu dengan kelainan EKG berupa pemanjangan interval PR atau

perubahan patern ST-T yang tidak spesifik.

Echocardiography

Pada DR dan PJR pemeriksaan ini juga memegang peranan, walaupun

pemeriksaan ini bukan pemeriksaan standard dalam menegakkan diagnosis.

Pemeriksaan 2D echo-Doppler dan colour flow Doppler echocardiography cukup

sensitif dan memberikan informasi yang spesifik terhadap kelainan jantung.

Pemeriksaan M-mode echocardiography dapat memberikan informasi mengenai

fungsi ventrikel. Pemeriksaan 2D echocardiography dapat memberikan informasi

mengenai gambaran struktur anatomi jantung secara realistic, sedangkan pemeriksaan

2-dimensional echo-Doppler dan colour flow Doppler echocardiography cukup

sensitive untuk mengenali adanya aliran darah yang abnormal dan regurgitasi katup

jantung. Pada pemeriksaan orang normal bisa didapati regurgitasi katup yang

fisiologis yang bervariasi: misalnya pada regurgitasi mitral didapati 2,4-45 persen,

regurgitasi aorta 0-33 persen, regurgitasi tricuspid 6,3-95 persen dan regurgitasi

pulmonal 21,9-92 persen. Memperhatikan hal tersebut untuk menghindarkan

misinterpretasi maka WHO mengemukakan peranan pemeriksaan ekokardiografi

dalam diagnosis karditis pada DR dan pemeriksaan regurgitasi katup. Pemeriksaan

ekokardiografi pada karditis rematik bisa diperoleh keadaan mengenai ukuran atrium,

ventrikel, penebalan katup, daun katup yang prolaps dan disfungsi ventrikel. Pada

karditis DR akut didapati nodul pada daun katup sekitar 25 persen dan dapat

menghilang pada follow-up. Gagal Jantung kongestif pada DR yang ada berhubungan

dengan insufisiensi katup mitral dan aorta dan disfungsi miokard. Pada mitral

7

Page 8: LAPORAN PBL KELOMPOK 6

regurgitasi didapati kombinasi valvulitis, dilatasi annulus mitral, prolaps daun katup,

dengan atau tanpa pemanjangan kordae tendinea. Pemeriksaan eko-doppler dan eko

berwarna dapat membantu diagnosis rematik karditis akut pada pasien dengan bising

jantung yang kurang jelas atau dengan poliartritis dan minor manifestasi yang kurang

jelas.

4. Diagnosis Klinis

Berdasarkan gejala dan tanda yang ada pada kasus, maka diagnosis klinisnya adalah

demam rematik

5. Diagnosis Demam Rematik

Gambaran klinis demam rematik bergantung pada sistem organ yang terlibat dan

manifestasi klinis yang tampak bisa tunggal atau merupakan gabungan sistem organ yang

terlibat. Berbagai komponen DR seperti artritis, karditis, korea, eritema marginatum, nodul

subkutan dan lainnya telah dijelaskan secara terpisah atau kolektif pada awal abad ke-17. De

Baillou dari Perancis adalah epidemiologis pertama yang menjelaskan rheumatism artikuler

akut dan membedakannya dari gout 1,7 dan kemudian Sydenham dari London menjelaskan

korea, tetapi keduanya tidak menghubungkan kedua gejala tersebut dengan penyakit jantung.

Pada tahun 1761 Morgagni, seorang patolog dari Itali menjelaskan adanya kelainan katup

pada penderita penyakit tersebut dan deskripsi klinis PJR dijelaskan setelah didapatinya

stetoskop pada tahun 1819 oleh Laennec. Pada tahun 1886 dan 1889 Walter Butletcheadle

mengemukakan “rheumatic fever syndrome” yang merupakan kombinasi artritis akut,

penyakit jantung, korea dan belakangan termasuk manifestasi yang jarang yaitu eritema

marginatum dan nodul subkutan sebagai komponen sindroma tersebut. Pada tahun 1931,

Coburn mengusulkan hubungan infeksi Streptokokus grup A dengan demam rematik dan

secara perlahan-lahan diterima oleh Jones dan peneliti lainnya.

Kombinasi kriteria diagnostik dari manifestasi “rheumatic fever syndrome” pertama

sekali diusulkan oleh T. Duckett Jones pada tahun 1944 sebagai kriteria untuk menegakkan

diagnosis DR setelah ia mengamati ribuan penderita DR selama beberapa dekade dan sebagai

panduan dalam penatalaksanaan DR dan atau RHD eksaserbasi akut. Terbukti kriteria yang

dikemukan Jones sangat bermanfaat bagi para dokter untuk menegakkan diagnosis DR dan

atau RHD eksaserbasi akut.

8

Page 9: LAPORAN PBL KELOMPOK 6

Berikutnya pada tahun 1956 atas saran Dr.Jones telah dilakukan modifikasiatas

kriteria Jones yang asli untuk penelitian “The Relative Effectiveness of ACTH, Cortisone and

Aspirin in the Treatment of Rheumatic Fever”.

Kurangnya pertimbangan klinis oleh para dokter dalam menerapkan Kriteria Jones

menyebabkan terjadinya overdiagnosis dalam menegakkan diagnosis DR. Pada tahun 1965

telah dilakukan revisi terhadap Kriteria Jones Modifikasi oleh “AdHoc Committee to revise

the Modified Jones Criteria of the Council on Rheumatic Fever and Congenital Heart

Disease of the American Heart Association (AHA)” yang diketuai oleh Dr. Gene

H.Stollerman. Revisi ini menekankan perlu ada bukti infeksi streptokokus sebelumnya

sebagai syarat mutlak untuk menegakkan diagnosis DR atau PJR aktif untuk menghindarkan

overdiagnosis, agar menghindarkan kecemasan pada pasien dan familinya. Juga akan efektif

dalam penatalaksanaan biaya medik karena akan mencegah pemakaian dan biaya

kemoprofilaksis jangka panjang untuk DR dan RHD aktif. Bukti adanya infeksi streptokokus

sebelumnya termasuk riwayat demam skarlet, kultur apus tenggorokan yang positip dan atau

ada bukti peningkatan infeksi streptokokus pada pasien dengan korea dan pasien dengan

“karditis subklinik atau derajat rendah”. AHA Committee juga memperbaiki beberapa

penjelasan berbagai manifestasi klinis DR akut tetapi tidak ada membuat perobahan.

Pada tahun 1984 telah dilakukan perbaikan Kriteria Jones yang dikenal sebagai

Kriteria Jones yang diedit yang isinya tidak banyak berbeda dari Kriteria Jones yang direvisi.

Pada tahun 1960 Roy mengemukakan pengamatan bahwa poliartritis jarang didapati diantara

populasi orang India dan artralgia sering didapati. Pengamatannya ternyata sama dengan yang

diamati di Boston yang memperlihatkan poliartritis sering didapati pada DR. Roy kemudian

merekomendasikan trias berupa sakit sendi, LED yang meningkat atau C-Reaktif Protein dan

titer ASTO > 400 unit untuk dipertimbangkan sebagai kriteria major untuk diagnosis DR. Ia

menyarankan trias tersebut merupakan manifestasi yang sering ditemui dinegara berkembang

dan diberi nama diagnosis “presumptive” dari DR akut dan dikonfirmasi atau ditolak setelah

observasi selama 4-6 minggu. Pengamatan ini memulai ide adanya Kriteria Jones yang

dirubah (Amended jones Criteria [1988]) yang diusulkan oleh Agarwal. Pada lampiran 5

dapat dilihat Kriteria Jones yang dirubah (Amended Jones Criteria [1988]).

Pada tahun 1992 “Special Writing Group of the Committee on Rheumatic Fever,

Endocarditis and Kawasaki Disease of the Council on Cardiovascular Disease in the Young

of the American Heart Association” melakukan update kriteria Jones yang telah dimodifikasi,

direvisi dan diedit selama beberapa tahun dan disebut sebagai Kriteria Jones Update dan

digunakan untuk menegakkan diagnosis demam rematik sampai saat ini. Kriteria update ini

9

Page 10: LAPORAN PBL KELOMPOK 6

menjelaskan alat yang tersedia dan perannya dalam mendiagnosis, mendeteksi infeksi

streptokokus sebelumnya. Kriteria update ini juga mempertahankan 2 gejala major dan 1

gejala major ditambah 2 minor untuk menegakkan diagnosis, tetapi kriteria ini menyebabkan

hanya dapat digunakan pada serangan awal DR akut 1,4. Riwayat DR atau adanya PJR

dikeluarkan dari kriteria minor. Alasan untuk merubahnya karena pada beberapa penderita

dengan riwayat DR atau PJR kurang memperlihatkan gejala dan tanda serangan berulang dan

karena itu tidak cukup memenuhi Kriteria Jones. Penggunaan ekokardiografi juga telah

didiskusikan dan mempunyai peran sebagai parameter diagnostik bila pada auskultasi tidak

didapati valvulitis pada pada DR akut.

Tabel 1. Kriteria Jones (Updated 1992)

Manifestasi mayor Manifestasi minor

Karditis

Poliartritis

Korea

Eritema marginatum

Nodulus subkutan

Klinis

- Artralgia

- Demam

Laboratorium

Peninggian reaksi fase akut

(LED meningkat dan atau C reactive protein)

Interval PR memanjang

Ditambah

Disokong adanya bukti infeksi Streptokokus sebelumnya berupa kultur apus tenggorok (+) atau

tes antigen streptokokus yang cepat atau titer ASTO yang meningkat.

Jika disokong adanya bukti infeksi Streptokokus sebelumnya, adanya 2 manifestasi

mayor atau adanya 1 manifestasi mayor ditambah 2 manifestasi minor menunjukkan

kemungkinan besar adanya demam rematik.

Pada negara berkembang di mana insidens dan prevalensi DR dan PJR masih tinggi

dibandingkan negara maju mempunyai gambaran dan presentasi klinis DR dan PJR yang

berbeda dibanding dinegara maju. Poliartritis, eritema marginatum dan nodul subkutan jarang

didapati dinegara berkembang dibandingkan dinegara maju, dan artralgia lebih sering ditemui

dinegara berkembang dibandingkan dengan poliartritis dinegara maju. Dua pengecualian

penggunaan Kriteria Jones disebutkan pada Revisi 1965 dan ditekankan lagi pada Update

1992 yaitu 1). Bila didapati adanya murmur regurgitasi mitral atau aorta yang baru tanpa

adanya kejadian rematik aktif seperti tanpa gejala, tanpa demam, dan mempunyai laju endap

10

Page 11: LAPORAN PBL KELOMPOK 6

darah yang normal dan 2). Pada korea sydenham tanpa manifestasi minor yang lain 15. Pada

2002–2003 WHO mengajukan kriteria untuk diagnosis DR dan PJR (berdasarkan kriteria

Jones yang telah direvisi).

Revisi kriteria WHO ini memfasilitasi diagnosis untuk:

— a primary episode of RF

— recurrent attacks of RF in patients without RHD

— recurrent attacks of RF in patients with RHD

— rheumatic chorea

— insidious onset rheumatic carditis

— chronic RHD.

Untuk menghindarkan overdiagnosis ataupun underdiagnosis dalam menegakkan

diagnosis.

11

Page 12: LAPORAN PBL KELOMPOK 6

12

Page 13: LAPORAN PBL KELOMPOK 6

6. Patofisiologi

Infeksi bakteri Streptococcus β hemolitik grup A diawali dengan ikatan permukaan

bakteri dan reseptor spesifik sel host dan melibatkan proses spesifik seperti perlekatan,

kolonisasi dan invasi. Ikatan permukaan dengan permukaan sel host adalah kejadian yang

penting dalam kolonisasi dan dimulai oleh fibronektin dan oleh streptococcal fibronectin-

binding proteins. Infeksi pada faring akan mengaktifkan proses imun. Antigen streptococcus (

protein M dan N asetil glukosamin) dipresentasikan pada sel T CD4+ naif di limponodus.

Sel T CD4+ akan berproliferasi menjadi Th2. Th2 akan mengeluarkan IL4 yang akan

merangsang sel B untuk membentuk antibodi, Th2 juga mengeluarkan IL4 dan IL10 untuk

mengaktifkan magrofag. Antibodi pertama yang dibentuk adalah IgG lalu diikuti dengan

pembentukan IgE. IgG, IgE dan makrofag ini akan menuju ke faring untuk memusnahkan

bakteri yang antigennya telah dipresentasikan (dikenali). Setelah itu, antibodi akan menyebar

keseluruh tubuh melalui sirkulasi darah untuk memusnahkan bakteri tersebut yang masih

tertinggal. Antigen streptococcus yaitu M protein dan N asetil glukosamin memiliki

kemiripan dengan bagian tubuh ( molecular mimicry) yaitu :

1. Miosin dan tropomiosin pada jantung

2. Laminin pada katup jantung

3. Vimentin pada sinovial (sendi)

4. Keratin pada kulit

5. Lysogangliosida pada subtalamikus

6. Caudate nuclei pada otak

Kesamaan molekul ini (baik reseptor maupun protein) akan dikenali oleh antibodi

menimbulkan reaksi imun. Reaksi imun atau proses inflamasi yang terjadi akan menyebabkan

kerusakan pada sel tersebut. Pajanan yang terus menerus menyebabkan makrofag akan

meningkatkan sitoplasma dan organellanya sehingga mirip seperti sel epitel. Sel epiteloid

akan terbentuk semakin banyak dan bergabung menjadi granuloma. Granuloma yang

terbentuk akan menjadi aschoff body. Sebagai kompensasi dari tubuh, Sel yang rusak akan

diganti dengan jaringan fibrosa.

13

Page 14: LAPORAN PBL KELOMPOK 6

14

Page 15: LAPORAN PBL KELOMPOK 6

7. Penatalaksanaan

Terapi demam reumatik akut dapat dibagi menjadi lima pendekatan :

2.1  Pengobatan Kausal

—Pengobatan kausal dilakukan dengan cara eradikasi kuman Streptokokus pada saat

serangan akut dan pencegahan sekunder demam rematik.

—Cara pemusnahan Streptokokus dari tonsil dan faring sama dengan pengobatan faringitis

Streptokokus, yakni pemberian penisilin benzatin intramuskuler dengan dosis 1,2 juta unit

untuk pasien dengan berat badan > 30 kg atau 600.000 sampai 900.000 unit untuk pasien

dengan berat badan < 30 kg. Penisilin oral 400.000 unit (250 mg) diberikan 4 kali sehari

selama 10 hari dapat digunakan sebagai alternatif. Eritromisin 50 mg/kgBB sehari dibagi 4

dosis yang sama, dengan maksimum 250 mg 4 kali sehari selama 10 hari dianjurkan untuk

pasien yang alergi penisilin. Obat lain seperti sefalosforin yang diberikan dua kali sehari

selama 10 hari juga efektif untuk pengobatan faringitis streptokokus, seperti pada tabel di

bawah ini :

Tabel 2.1 Pengobatan eradikasi kuman Streptokokus

Pemberian Jenis antibiotik Dosis Frekuensi

Intramuskuler Benzatin Penisilin G BB > 30 kg 1,2 juta

BB< 30 kg 600.000

Satu kali setiap 3-4

minggu

Oral -Penisilin V

-Eritromisin

-Yang lain seperti

Sefalosporin,

Klindamisin,

Nafsilin, Amoksisilin

400.000/250 mg

50 mg/kgBB/hari

Dosis bervariasi

4 x/hari selama 10 hari

4x/hari selama 10 hari

—Cara pencegahan sekunder yang diajukan The American Heart Association dan WHO

yaitu dengan pemberian suntikan penisilin berdaya lama setiap bulan. Pada keadaan-keadaan

khusus, atau pada pasien resiko tinggi, suntikan diberikan setiap 3 minggu. Meskipun nyeri

suntikan dapat berlangsung lama, tetapi pasien lebih suka dengan cara ini karena dapat

dengan mudah dan teratur melakukannya satu kali setiap 3 atau 4 minggu, dibandingkan

dengan tablet penisilin oral setiap hari. Preparat sulfa yang tidak efektif untuk pencegahan

primer terbukti lebih efektif dari pada penisilin oral untuk pencegahan sekunder. Dapat juga

15

Page 16: LAPORAN PBL KELOMPOK 6

digunakan sulfadiazin yang harganya lebih murah daripada eritromisin, seperti tertera pada

tabel dibawah ini.

Tabel 2.2 Pencegahan sekunder demam reumatik

Pemberian Jenis Antibiotik Dosis Frekuensi

Intramuskuler Benzatin Penisilin G BB>30 kg 1,2 juta

BB<30 kg 600.000Setiap 3-4 minggu

Oral Penisilin V

Eritromisin

Sulfadiazin

250 mg

250 mg

BB > 30 kg 1gr

BB< 30 kg 0,5 gr

2 kali sehari

2 kali sehari

Sekali sehari

Sekali sehari

—Lama pemberian pencegahan sekunder sangat bervariasi, bergantung pada berbagai faktor,

termasuk waktu serangan dan serangan ulang, umur pasien dan keadaan lingkungan. Makin

muda saat serangan, makin besar kemungkinan untuk kumat, setelah pubertas kemungkinan

kumat cenderung menurun. Sebagian besar kumat terjadi dalam 5 tahun pertama sesudah

serangan terakhir. Dengan mengingat faktor-faktor tersebut, maka lama pencegahan sekunder

disesuaikan secara individual. Pasien tanpa karditis pada serangan sebelumnya diberikan

profilaksis minimum lima tahun sesudah serangan terakhir, sekurangnya sampai berumur 18

tahun.

—Pencegahan sekunder harus dilanjutkan selama pasien hamil, akan tetapi sebaiknya tidak

dipakai sulfadiazin karena mendatangkan risiko terhadap janin. Remaja biasanya mempunyai

masalah khusus terutama dalam ketaatan minum obat, sehingga perlu upaya khusus terutama

dalam ketaatannya minum obat, sehingga perlu upaya khusus mengingat risiko terjadinya

kumat cukup besar. Untuk pasien penyakit jantung reumatik kronik, pencegahan sekunder

untuk masa yang lama, bahkan seumur hidup dapat diperlukan, terutama pada kasus yang

berat. Beberapa prinsip umum dapat dikemukakan pada tabel berikut.

Tabel 2.3 Durasi pencegahan sekunder demam reumatik

Kategori Durasi

Demam rematik dengan karditis

dan kelainan katup menetap

Demam rematik dengan karditis

tanpa kelainan katub yang

10 th sejak episode terakhir sampai usia

40 th. Kadang seumur hidup

10 th atau sampai berusia 25 th

16

Page 17: LAPORAN PBL KELOMPOK 6

menetap

Demam rematik tanpa karditis 5 th atau sampai berusia 18 th

-

2.2. Pengobatan suportif

2.2.1 Tirah Baring

—Semua pasien demam reumatik akut harus tirah baring, jika mungkin di rumah sakit. Tirah

baring di rumah sakit untuk pasien demam reumatik derajat 1 , 2, 3 dan 4 berturut-turut 2, 4,

6,12 minggu. Serta lama rawat jalan untuk pasien demam reumatik derajat 1,2,3 dan 4

berturut-turut 2, 4, 6, 12 minggu. Karditis hampir selalu terjadi dalam 2-3 minggu sejak dari

awal serangan, hingga pengamatan yang ketat harus dilakukan selama masa tersebut. Sesudah

itu lama dan tingkat tirah baring bervariasi. Tabel berikut merupakan pedoman umum untuk

mendukung rekomendasi tersebut.

Tabel 2.4 Pedoman umum tirah baring dan rawat jalan pada pasien demam reumatik

Status karditis Penatalaksanaan

Derajat 1

(tanpa karditis)

Derajat 2

(Karditis tanpa kardiomegali)

Derajat 3

(Karditis dengan kardiomegali)

Derajat 4

( Karditis dengan gagal jantung)

Tirah baring selama 2 minggu dan sedikit

demi sedikit rawat jalan selama 2 minggu

dengan salisilat

Tirah baring selama 4 minggu dan sedikit

demi sedikit rawat jalan selama 4 minggu

Tirah baring selama 6 minggu dan sedikit

demi sedikit rawat jalan selama 6 minggu

Tirah baring ketat selama masih ada

gejala gagal jantung dan sedikit demi

sedikit rawat jalan selama 12 minggu

2.2.2. Diet

—Tujuan diet pada penyakit jantung adalah memberikan makanan secukupnya tanpa

memberatkan kerja jantung, mencegah atau menghilangkan penimbunan garam atau air.

—Syarat-syarat diet penyakit jantung antara lain: energi yang cukup untuk mencapai dan

mempertahankan berat badan normal, protein yang cukup yaitu 0,8 gram/kgBB, lemak

sedang yaitu 25-30% dari kebutuhan energi total (10% berasal dari lemak jenuh dan 15% 

lemak tidak jenuh), Vitamin dan mineral cukup, diet rendah garam 2-3 gram perhari,

makanan mudah cerna dan tidak menimbulkan gas, serat cukup untuk menghindari

17

Page 18: LAPORAN PBL KELOMPOK 6

konstipasi, cairan cukup 2 liter perhari. Bila kebutuhan gizi tidak dapat dipenuhi melalui

makanan dapat diberikan tambahan berupa makanan enteral, parenteral atau sulemen gizi.

-

2.3. Pengobatan simptomatis

—Pengobatan anti radang amat efektif dalam menekan manifestasi radang akut demam

reumatik, sedemikian baiknya sehingga respon yang cepat dari artritis terhadap salisilat dapat

membantu diagnosis. Pengobatan anti radang yang lebih kuat seperti steroid amat bermanfaat

untuk mengendalikan perikarditis dan gagal jantung pada karditis akut, tetapi tidak

berpengaruh terhadap sekuele (gejala sisa) jangka lama demam reumatik aktif, yaitu insiden

penyakit jantung reumatik. Respon yang baik terhadap steroid tidak berarti memperkuat

diagnosis demam reumatik karena kebanyakan artritis, termasuk artritis septik, berespon baik

terhadap steroid, setidaknya pada stadium awal.

—Obat anti radang seperti salisilat dan steroid harus ditangguhkan bila artralgia atau artritis

yang meragukan merupakan satu-satunya manifestasi, terutama apabila diagnosis belum

pasti. Analgesik murni, seperti asetaminofen dapat digunakan karena dapat mengendalikan

demam dan membuat pasien merasa enak namun tidak sepenuhnya mengganggu

perkembangan poliartritis migrans. Munculnya poliartritis migrans yang khas dapat

menyelesaikan masalah diagnosis. Pasien dengan artritis yang pasti harus diobati dengan

aspirin dalam dosis terbagi 2 minggu, dan 75 mg/kgBB/hari selama 2 sampai 6 minggu

berikutnya. Kadang diperlukan dosis yang lebih besar.

—Pada pasien karditis, terutama jika ada kardiomegali atau gagal jantung, aspirin seringkali

tidak cukup mengendalikan demam, rasa tidak enak serta takikardi. Pasien ini harus ditangani

dengan steroid, prednison adalah steroid terpilih, mulai dengan dosis 2 mg/kgBB/hari dengan

dosis terbagi, maksimum 80 mg/hari. Pada kasus yang sangat akut dan parah, tetapi harus

dimulai dengan metil prednisolon intravena (10 sampai 40 mg), diikuti dengan prednison

oral. Sesudah 2 sampai 3 minggu prednison dapat dikurangi bertahap dengan pengurangan

dosis harian sebanyak 5 mg setiap 2 sampai 3 hari. Bila penurunan ini dimulai, aspirin

dengan dosis 75 mg/kgBB/hari harus ditambahkan dan dilanjutkan selama 6 minggu setelah

prednison dihentikan. Terapi tumpang tindih ini dapat mengurangi insiden rebound klinis

pasca terapi, yaitu munculnya kembali manifestasi klinis segera setelah terapi dihentikan.

Berikut merupakan terapi anti radang yang dianjurkan untuk mengendalikan manifestasi

demam rematik.

18

Page 19: LAPORAN PBL KELOMPOK 6

Tabel 2.5 Obat anti radang yang dianjurkan pada demam reumatik

Manifestasi Klinis Pengobatan

Artralgia Hanya analgesik (mis: asetaminofen)

Artritis Salisilat 100 mg/kgBB/hari selama 2 minggu dan 25

mg/kgBB/hari selama 4-6 minggu

Karditis Prednison 2 mg/kgBB/hari selama 2 minggu, tapering off 2

minggu, salisilat 75 mg/kg/BB/hari pada minggu kedua, dianjurkan

selama 6 minggu

—Penatalaksanaan demam reumatik dan reaktivasi penyakit jantung reumatik seperti pada

tabel di bawah ini :

Tabel 2.6 Tatalaksana demam reumatik dengan reaktivasi penyakit jantung reumatik

Manifestasi Klinis Tirah baring Obat anti

inflamasi

Kegiatan

Artritis

Tanpa Karditis

Total : 2 Minggu

Mobilisasi

bertahap 2 Minggu

Asetosal

100 mg/kgBB

selama 2 minggu

75mg/kgBB

selama 4minggu

berikutnya

Masuk sekolah

setelah 4 minggu,

bebas berolah raga

Artritis + Karditis tanpa

Kardiomegali

Total 4 Minggu

Mobilisasi

bertahap 4 minggu

Asetosal

100 mg/kgBB

selama 2 minggu

75mg/kgBB

4mgg berikutnya

Masuk sekolah

setelah 2 minggu,

bebas berolah

raga.

Artritis+kardiomegali Total 6 minggu

Mobilisasi

bertahap 6 minggu

Prednison

2mg/kgBB selama

2 minggu, tap off

selama 2 minggu

Asetosal

75 mg/kgBB

Mulai awal

minggu ke 3

Masuk sekolah

setelah 12

Minggu, jangan

olah raga berat

atau kompetitif

19

Page 20: LAPORAN PBL KELOMPOK 6

selama 6 minggu.

Artritis+Kardiomegali+

Dekomp. Kordis

Total selama

dekomp. Kordis

mobilisasi

bertahap

Prednison

2mg/kgBB selama

2 minggu, tap off

selama 2 minggu

Asetosal

75 mg/kgBB

Mulai awal

minggu ke 3

selama 6 minggu.

5 tahun

Masuk sekolah

setelah 12

Minggu, dekom

teratasi selama 17

minggu  dilarang

olah raga.

Pengobatan Karditis

—Pengobatan karditis masih kontroversial, terutama untuk pemilihan pengobatan pasien

dengan aspirin atau harus steroid. Digitalis diberikan pada pasien dengan karditis yang berat

dan gagal jantung. Dosis digitalisasi total adalah 0,04-0,06 mg/kg dengan dosis maksimum

1,5 mg. Dosis rumatnya adalah antara sepertiga sampai seperlima dosis digitalisasi total,

diberikan dua kali sehari. Pengobatan obat jantung alternatif dipertimbangkan bila pasien

tidak berespon terhadap digitalis.

Pengobatan Korea

—Pada kasus korea yang ringan pada umumnya hanya memerlukan tirah baring. Pada kasus

berat, obat antikonvulsan mungkin dapat mengendalikan korea. Obat yang sering

dipergunakan adalah fenobarbital dan haloperidol. Keberhasilan obat ini bervariasi.

Fenobarbital diberikan dalam dosis 15 sampai 30 mg tiap 6 sampai 8 jam, bergantung pada

respon klinis. Pada kasus berat, kadang diperlukan 0,5 mg setiap 8 jam. Obat antiradang tidak

diperlukan pada korea, kecuali pada kasus yang sangat berat, dapat diberikan steroid.

-

2.4. Pengobatan Rehabilitatif

—Pengobatan rehabilitatif untuk pasien demam reumatik sesuai dengan derajat penyakitnya.

Untuk pasien demam reumatik derajat 1, kegiatan olahraga dapat dilakukan setelah 4 minggu

pulang perawatan di rumah sakit. Untuk derajat 2, kegiatan olahraga bukan kompetisi dapat

dilakukan setelah 8 minggu pulang perawatan di rumah sakit. Untuk derajat 3, kegiatan

20

Page 21: LAPORAN PBL KELOMPOK 6

olahraga bukan kompetisi dapat dilakukan setelah 12 minggu pulang dari rumah sakit.

Sedangkan untuk derajat 4 tidak boleh melakukan kegiatan olahraga.

-

2.5. Pengobatan operatif

a. Mitral stenosis

—Prinsip dasar pengelolaan adalah melebarkan lubang katup mitral yang menyempit, tetapi

indikasi intervensi ini hanya untuk penderita kelas fungsional III ke atas. Intervensi dapat

bersifat bedah (valvulotomi, rekonstruksi aparat sub valvular, kommisurotomi atau

penggantian katup)

b.  Insufisiensi Mitral

—Penentuan waktu yang tepat untuk melakukan pembedahan katup pada penderita

insufisiensi mitral masih banyak diperdebatkan. Namun kebanyakan ahli sepakat bahwa

tindakan bedah hendaknya dilakukan sebelum timbul disfungsi ventrikel kiri. Jika mobilitas

katup masih baik, mungkin bisa dilakukan perbaikan katup (valvuloplasti, anuloplasti). Bila

daun katup kaku dan terdapat kalsifikasi mungkin diperlukan penggantian katup (mitral valve

replacement). Katup biologik (bioprotese) digunakan terutama digunakan untuk anak

dibawah umur 20 tahun, wanita muda yang masih menginginkan kehamilan dan penderita

dengan kontra indiksi pemakaian obat-obat antikoagulan. Katup mekanik misalnya Byork

Shiley, St.Judge dan lain-lain, digunakan untuk penderita lainnya dan diperlukan

antikoagulan untuk selamanya.

c.  Stenosis Aorta

—Pasien dengan gejala-gejala akibat stenosis aorta membutuhkan tindakan operatif. Pasien

tanpa gejala membutuhkan penanganan yang sangat hati-hati serta follow up untuk

menentukan kapan tindakan bedah dilakukan. Penanganan stenosis dengan pelebaran katup

aorta memakai balon mai diteliti. Pasien-pasien yang dipilih adalah pasien yang tidak

memungkinkan dilakukan penggantian katup karena usia, adanya penyakit lain yang berat,

atau menunjukkan gejala yang berat. Pasien-pasien dengan gradien sistolik 75 mmHg harus

dioperasi walaupun tanpa gejala. Pasien tanpa gejala tetapi perbedaan tekanan sistolik kurang

dari 75 mmhg harus dikontrol setiap 6 bulan. Tindakan operatif harus dilaksanakan bila

pasien menunjukkan gejala terjadi pembesaran jantung, peningkatan tekanan sistolik aorta

yang diukur denagn teknik doppler. Pada pasien muda bisa dilakukan valvulotomi aorta

sedangkan pada pasien tua membutuhkan penggantian katup. Risiko operasi valvulotomi

sangat kecil, 2% pada penggantian atup dan risiko meningkat menjadi 4% bila disertai bedah

pintas koroner. Pada pembesaran jantung dengan gaga jantung, risiko naik jadi 4 sampai 8%.

21

Page 22: LAPORAN PBL KELOMPOK 6

Pada pasien muda yang tidak bisa dilakukan valvulotomi penggantian katup perlu dilakukan

memakai katup sintetis. Ahli bedah bisa menggunakan katup jaringan (Porsin/pericardial)

untuk pasien-pasien lebih tua. Keuntungan katup jaringan ini adalah kemungkinan

tromboemboli jarang, tidak diperlukan antikoagulan, dan perburukan biasanya lebih lambat

bila dibandingkan dengan memakai katup sintetis.

d. Insufisiensi Aorta

—Pilihan utuk katup buatan ditentukan berdasarkan umur, kebutuhan, kontra indikasi untuk

koagulan, serta lamanya umur katup. Penderita dengan katup jaringan, baik porsin atau

miokardial mungkin tidak membutuhkan penggunaan antikoagulan jangka panjang. Risiko

operasi kurang lebih 2% pada penderita insufisiensi kronik sedang dengan arteri koroner

normal. Sedangkan risiko operasi pada penderita insufisiensi berta dengan gagal jantung, dan

pada penderita penyakit arteri, bervariasi antara 4  sampai 10%. Penderita dengan katup

buatan mekanis harus mendapat terapi antikoagulan jangka panjang.

-

8. Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi akibat demam rematik adalah gagal jantung kongestif

yang terjadi akibat valvulitis, keadaan yang menghasilkan insufisiensi katup (demam rematik

akut) atau stenosis (demam rematik kronik). Selain itu, komplikasi yang dapat terjadi adalah

endokarditis bakterial, aritmia atrium, edema paru, recurrent emboli paru, pembentukan

trombus, dan emboli sistemik.

9. Prognosis

Demam rematik tidak akan kambuh bila infeksi Streptococcus diatasi. Prognosis

demam rematik sangat baik bila karditis sembuh pada saat permulaan serangan akut DR.

Selama 5 tahun pertama perjalanan penyakit DR dan PJR tidak membaik bila bising organik

katup tidak menghilang. (Feinstein AR dkk, 1964). Prognosis memburuk bila gejala

karditisnya lebih berat, dan ternyata DR akut dengan payah jantung akan sembuh 30% pada 5

tahun pertama dan 40% setelah 10 tahun. Dari data penyembuhan ini akan bertambah bila

pengobatan pencegahan sekunder dilakukan secara baik. Ada penelitian melaporkan bahwa

stenosis mitralis sangat tergantung pada beratnya karditis, sehingga kerusakan katup mitral

selama 5 tahun pertama sangat mempengaruhi angka kematian DR ini. (Irvington House

Group & U.K and U.S 1965). Penelitian selama 10 tahun yang mereka lakukan menemukan

adanya kelompok lain terutama kelompok perempuan dengan kelainan mitral ringan yang

22

Page 23: LAPORAN PBL KELOMPOK 6

menimbulkan payah jantung yang berat tanpa diketahui adanya kekambuhan DR atau infeksi

Streptococcus. (Stresser, 1978).

Profilaksis sekunder yang efektif mencegah kumatnya demam reumatik akut hingga

mencegah perburukan status jantung. Pengamatan menunjukkan angka penyembuhan yang

tinggi penyakit katup bila profilaksis dilakukan secara teratur. Informasi ini harus

disampaikan kepada pasien, bahwa profilaksis dapat memberikan prognosis yang baik,

bahkan pada pasien dengan penyakit jantung yang berat8.

23

Page 24: LAPORAN PBL KELOMPOK 6

DAFTAR PUSTAKA

1. Lopez WL, de la Paz AG. Jones Criteria for Diagnosis of Rheumatic Fever. A Historical Review and Its Applicability in Developing Countries. In: Calleja HB, Guzman SV. Rheumatic fever and Rheumatic Heart Disease, epidemiology, clinical aspect, management and prevention and control programs. A publication of the Philipine Foundation for the prevetion and control of rheumatic fever/rheumatic heart disease: Manila, 2001; p. 17- 26

2. Behrman. Kliegman. Arvin. Ilmu Kesehatan Anak Nelson vol 2. Jakarta : EGC, 2000. 929-935

3. Pusponegoro D hardiono. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak Edisi 1. Jakarta : IDAI, 2004.149-153

4. Tambunan Taralan. Buku Panduan Tatalaksana & Prosedur Baku Pediatrik. Jakarta : FKUI, 141-142

5. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Buku Ajar Kardiologi. Jakarta : Binarupa Aksara, 1994. 307-313

6. Mansjoer Arif et al. Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3. Jakarta : FKUI, 2000.454-457

7. Pusponegoro HD. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak Edisi 1. Jakarta: Badan Penerbit IDAI, 2004. hal 149-153

8. Sastroasmoro S, Madiyono B. Buku Ajar Kardiologi Anak. Jakarta: Binarupa Aksara, 1994. Hal 279-314

9. Chin, TK. Rheumatic Heart Disease. 19 Mei 2006 (online). (http://www.emedicine.com, diakses 13 Maret 2008)

10. World Health Organization. Rheumatic Fever and Rheumatic Heart Disease WHO Technical Report Series 923. Report of a WHO Expert Consultation Geneva, 29 October–1 November 2001.

11. Longmore M, Wilkinson I, Turmezei T, Cheung CK (2007) Oxford Handbook of Clinical Medicine. 7th Edition. Oxford University Press: New York

12. Kamus Kedokteran Dorland

13. Gray, Huon H., dkk. 2005. Lecture Notes Kardiologi Edisi Keempat. Jakarta: Erlangga

24

Page 25: LAPORAN PBL KELOMPOK 6

25