laporan de fix
TRANSCRIPT
LAPORAN TUTORIAL
SKENARIO BLOK12
Disusunoleh : Kelompok6
Laode M. Hidayatullah 04111001025
Beuty Savitri 04111001031
Indri Pertiwi 04111001034
Tiara Eka M 04111001035
Desy Aryani 04111001085
Dimas Swarahanura 04111001087
Birgitta Fajarani 04111001090
M. Tafdhil Tardha 04111001102
Rio Yus Ramadhani 04111001103
Diva Zuniar Ritonga 0411100108
Terry Mukminah Sari 04111001124
Ramadhan A.D. 04111001129
Tutor:
Dr. Aisyah Gani
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
TAHUN 2012
KATA PENGANTAR
Puji syukur penyusun haturkan kepada Allah SWT karena atas ridho dan karunia-Nya
laporan tutorial scenario blok 12 ini dapat terselesaikan tepat waktu.
Laporan ini bertujuan untuk memaparkan hasil yang didapat dari proses belajar
tutorial, yang merupakan bagian dari system pembelajaran KBK di Fakultas Kedokteran
Universitas Sriwijaya.
Penyusun tak lupa mengucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang terlibat dalam
pembuatan laporan ini: tutor pembimbing, dr. Aisyah Gani dan anggota kelompok 6.
Seperti pepatah “tak ada gading yang tak retak”, penyusun menyadari bahwa dalam
pembuatan laporan ini masih terdapat kekurangan. Oleh karena itu, saran dan kritik akan
sangat bermanfaat bagi revisi yang senantiasa akan penyusun lakukan.
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
LAPORAN TUTORIAL..................................................................................i
KATA PENGANTAR....................................................................................ii
DAFTAR ISI..............................................................................................iii
1. SKENARIO........................................................................................1
2. KLARIFIKASI ISTILAH........................................................................1
3. IDENTIFIKASI MASALAH....................................................................2
4. ANALISIS MASALAH..........................................................................2
5. KERANGKA KONSEP.......................................................................18
6. LEARNING ISSUE............................................................................18
7.
KESIMPULAN……………………………………………………………………..47
DAFTAR
PUSTAKA……………………………………………………………………..48
iii
1. SKENARIO
Seseorang lelaki gendut (mild obesity), berusia 35 tahun, sudah satu
tahun mengalami disfungsi ereksi (DE). Penyuka makanan terolah
sejak sekolah dasar ini terdiagnosis hipertensi ketika berusia 33 tahun.
Mulai saat itu, dia secara rutin mengonsumsi bukan hanya preparat
anti hipertensi (atenolol), tetapi juga diuretika (furosemide) serta obat
pereduksi lemak darah (statin). Sebelum ketiga jenis obat itu dimakan,
kehidupan seksual bersama istrinya baik-baik saja. Sementara,
pengganggu berlatar masalah psokososial bisa diabaikan.
Riwayat Pangan (Makanan yang biasa disantap selama 3 bulan terakhir)
Pagi: Mie instan 2 bungkus dan kopi 1 gelas
Snack pukul 10.00 WIB: Crackers 2 porsi
Makan siang: nasi dan ayam goreng KFC 2 porsi, soft drink 2 kaleng
Snack pukul 16.00: Dunkin donat dan 1 kaleng soft drink
Makan malam: Pizza (ukuran medium), 1 kaleng soft drink
Tugas: lakukan eksplorasi untuk mencari pelatar-belakangan DE ini
2. KLARIFIKASI ISTILAH
Mild obesity : Nilai BMI 25.1-27 (IMT Depkes)
30-34.9 (BMI WHO)
Disfungsi Ereksi : Gangguan pada keadaan menjadi kaku
atau tegak
Hipertensi : Tingginya tekanan arteri secara persisten
Atenolol :Agen penyekat adrenergik beta-1, digunakan
dalam pengobatan hipertensi dan angina pectoris kronis serta adolaksis
dan terapi antimiocard.
1
Furosemide : Diuretik yng dipakai dalam pengobatan
edem dan hipertensi
Statin : Gol. Obat untuk menurunkan kadar
kolesterol dalam darah
Psikososial : Berkenaan dengan segi psikis maupun
sosial
Soft drink : Minuman ringan yang sangat kaya akan
fruktosa
Makanan terolah : Fast food (makanan cepat saji)
3. IDENTIFIKASI MASALAH
a. Seorang lelaki gendut (mild obesity), berusia 35 tahun, sudah
satu tahun mengalami disfungsi ereksi (DE).
b. Penyuka makanan terolah sejak sekolah dasar ini terdiagnosis
hipertensi ketika berumur 33 tahun.
c. Mulai sejak itu, pasien bukan hanya mengonsumsi preparat
antihipertensi (atenolol), tetapi juga diuretika (furoemide), serta
obat pereduksi lemak darah (statin). Sebelum ketiga jenis obat
itu dimakan, kehidupan seksual bersama istrinya baik-baik saja.
d. Gaya hidup dan pola makan pasien cenderung buruk (fast food)
4. ANALISIS MASALAH
a. Seorang lelaki gendut (mild obesity), berusia 35 tahun,
sudah satu tahun mengalami disfungsi ereksi (DE).
i. Apakah faktor penyebab dari disfungsi ereksi (DE)?
Banyak faktor yang berhubungan dengan terjadinya DE
ini. Walaupun secara garis besar faktor penyebabnya dibagi
menjadi penyebab psikogenik dan organik, tetapi belum
tentu salah satu faktor tersebut menjadi penyebab tunggal
DE. Yang termasuk penyebab organik adalah (i) penyakit
kronik (misalnya aterosklerosis, diabetes dan penyakit
jantung); (ii) obat-obatan, contoh antihipertensi (terutama
2
diuretik thiazid dan penghambat beta), antiaritmia
(digoksin), antidepresan dan antipsikotik (terutama
neuroleptik), antiandrogen, antihistamin II (simetidin),
(alkohol atau heroin); (iii) pembedahan/ operasi misal
operasi daerah pelvis dan prostatektomi radikal; (iv) trauma
(misal spinal cord injury) dan (v) radioterapi pelvis. Di
antara sekian banyak penyebab organik, gangguan vaskular
adalah penyebab yang paling umum dijumpai, sedangkan
faktor psikogenik meliputi depresi, stress, kepenatan,
kehilangan, kemarahan dan gangguan hubungan personal.
Pada pria muda, faktor psikogenik ini menjadi penyebab
tersering dari DE intermiten.
ii. Bagaimanakah patofisiologi dari disfungsi ereksi (DE)?
Vasculogenic: penyebab organic DE yang paling umum
adalah terjadinya disturbance aliran darah dari dan menuju
penis. Atherosklerosis atau penyakit trauma arteri lainnya
dapat menyebabkan penurunan aliran darah ke lacunar
space sehingga dapat menurunakan ketegangan penis dan
memperpanjang waktu untuk mencapai ereksi. Aliran keluar
melalui vena yang banyak, walaupun aliran masuknya
cukup, juga dapat berkontribusi terhadap terjadinya DE.
Perubahan struktur komponen fibroelastik corpora dapat
menyebabkan hilangnya (loss) compliance dan
ketidakmampuan untuk menekan tunikal vena. Kondisi ini
dapat disebabkan karena proses penuaan, hypoxia, atau
sintesis collagen yang terganggu (dipengaruhi) berkaitan
dengan hypercholesterolemia.
Psychogenic: dua mekanisme yang berkontribusi terhadap
inhibisi/hambatan terjadinya ereksi secara psikogenik.
Pertama, psychogenic stimuli ke segmen sacral (medulla
spinalis) dapat menghambat respon reflexogenik, yang
kemudian akan memblok aktivasi vasodilator pembuluh
darah yang menuju penis. Kedua, stimulasi sympathetic
3
yang berlebihan saat cemas/gelisah (anxious condition)
pada pria dapat meningkatkan tonus otot polos penis.
Medication-related: pengobatan yang dapat menginduksi
terjadinya DE diketahui terjadi pada 25% pria yang
melakukan pengobatan pada beberapa penyakit klinik.
iii. Apakah hubungan disfungsi ereksi (DE) dengan usia dan BB
pasien?
The diseases of smooth muscle that can result in
erectile dysfunction have already been alluded to above.
Aging results in reduced penile smooth muscle, as does
atherosclerosis, while renal failure results in smooth muscle
dysfunction. When the smooth muscle malfunctions, arterial
dilatation is incomplete, cavernosal relaxation fails to occur
and the veno-occlusive mechanism fails.
iv. Apa saja faktor predisposisi dari disfungsi ereksi (DE)?
- Umur: Disfungsi ereksi paling umum terjadi pada pria di
atas 65 tahun. Sekitar 5 persen dari pria usia 40-tahun
dan 15 sampai 25 persen dari pria 65-tahun mengalami
beberapa tingkat disfungsi ereksi.
- Faktor psikologi: psikis seseorang dapat memengaruhi
libido. Pada manisfestasi psikis yang buruk dapat
membuat disfungsi ereksi.
b. Pasien penyuka makanan terolah sejak sekolah dasar ini terdiagnosis
hipertensi ketika berumur 33 tahun.
i. Apakah hubungan pola makan pasien sejak Sekolah Dasar
dengan hipertensi yang dialaminya?
Kandungan makanan olahan pasien ini :
1. Tinggi kandungan garam (Sodium /Natrium)
Garam. Setiap 1 gram garam dapur mengandung
400 mg natrium. Apabila dikonversikan ke dalam
ukuran rumah tangga 4 gram garam dapur setara
4
dengan ½ sendok teh atau sekitar 1600 mg
natrium.
Semua makanan yang diawetkan dengan garam,
seperti ikan asin, telur asin, ikan pindang, ikan teri,
dendeng, abon, daging asap, asinan sayur, asinan
buah, manisan buah, serta buah dalam kaleng.
Makanan yang dimasak dengan garam dapur atau
soda kue (natrium bikarbonat), seperti biskuit,
kracker, cake dan kue-kue lainnya.
Bumbu-bumbu penyedap masakan. Sekarang ini,
sudah banyak penyedap masakan dengan berbagai
merk. Salah satu diantaranya yaitu vetsin/ motto/
micin/ MSG, yang masih sangat lazim digunakan
masyarakat untuk menambah cita rasa masakan.
Contoh lain yaitu kecap, terasi, petis, tauco, saos
sambal dan saos tomat.
Makanan kaleng. Makanan kaleng sebenarnya
terbuat dari bahan makanan segar, namun yang
perlu diperhatikan yaitu dalam proses
pembuatannya ditambahkan garam untuk lebih
awet. Contoh makanan yang dikalengkan yaitu
corned, dan sarden. Selain itu pada buah kaleng
yang diawetkan, juga mengandung pengawet
berupa natrium benzoat. Oleh karena itu pada
hipertensi dianjurkan untuk menghindari minuman
atau pun sari buah dalam kaleng.
Fast food (makanan cepat saji). Hal yang perlu
diwaspadai adalah makanan cepat saji komposisi
makanannya kurang berimbang. Makanan ini tinggi
kandungan lemak jenuh, kurang serat, kurang
vitamin, dan tinggi natrium. Salah satu hal yang
merupakan bumerang bagi penderita hipertensi
yaitu kandungan natrium yang terdapat di
dalamnya. Produk-produk fast food tersebut seperti
sosis, hamburger, fried chicken, pizza, dsb.
5
Contoh bahan makanan lain yang mengandung
tinggi natrium yaitu : keju, margarin, dan mentega.
2. Rendah kandungan Kalium / potassium
Suplemen kalium 2-4 gram perhari dapat membantu
menurunkan tekanan darah. Disini kalium berfungsi
sebagai diuretik sehingga pengeluaran natrium cairan
meningkat, hal tersebut dapat membantu menurunkan
tensi darah. Buah dan sayuran yang mengandung kalium
antara lain apel, papaya, peterseli, bayam, kapri,
semangka, alpukat, melon, buah pare, labu siam, bligo,
labu parang, mentimun, lidah buaya, seledri, bawang
merah, dan bawang putih.
3. Rendah kandungan Magnesium.
Magnesium merupakan mineral yang sangat penting
untuk sistem saraf, kesehatan jantung, ginjal, dan otot.
Kekurangan magnesium ditandai dengan gejala seperti
tekanan darah tinggi, retensi air dan depresi. Sumber
Magnesium: kacang-kacangan, polong-polongan, sayuran
berdaun hilau, gandum, jagung, tahu. Dosis yang
dianjurkan adalah 320mg/hari.
4. Tinggi kandungan kolesterol dan lemak.
Ketika penyumbatan terjadi pada pembuluh darah akibat
penumpukan plak dari timbunan kolesterol, kecepatan
aliran darah akan semakin meningkat.
Hal tersebut diakibatkan semakin sempitnya lumen
pembuluh darah yang dapat dilalui oleh darah. Darah
yang dibutuhkan jaringan tubuh harus terpenuhi secara
adekuat, sehingga untuk mempertahankan aliran darah
yang memadai, tekanan dalam pembuluh darah
ditingkatkan.
5. Rendah kandunganVitamin.
Vitamin B6 berguna untuk menstimulasi sistem syaraf
yang akan mempengaruhi tekanan darah.
Konsumsi tinggi natrium menyebabkan retensi cairan dan
konsumsi tinggi lemak dan kolesterol menyebabkan 6
viskositas darah meningkat dan lama kelamaan dapat
menyebabkan plaque pada pembuluh darah yang
berakibat menjadi aterosklerosis. selain itu, tahanan
perifer pun menjadi meningkat, sehingga untuk
memenuhi kebutuhan perifer, jantung memompa lebih
keras dan menyebabkan timbulnya hipertensi.
ii. Bagaimana patofisiologi dari hipertensi?
Hipertensi pada kasus ini disebabkan oleh obesitas. Jaringan lemak
yang berlebih menyebabkan kebutuhan metabolik dan oksigen meningkat.
Peningkatan kebutuhan metabolik dan oksigen oleh jaringan lemak ini
menyebabkan curah jantung dan volume darah total meningkat.
Peningkatan ini menyebabkan tekanan darah meningkat.
iii. Apa saja faktor predisposisi dari hipertensi?
Faktor predisposisi hipertensi adalah obesitas, jenis kelamin, usia,
kerusakan ginjal, dll.
iv. Apakah hubungan hipertensi dengan disfungsi ereksi (DE)?
Hipertensi yang tidak terkontol dapat menyebabkan
timbulnya komplikasi seperti penyakit jantung koroner,
gagal jantung, stroke, kerusakan ginjal, retinopati hipertensi
hingga disfungi ereksi. Beberapa penelitian melaporkan
insiden yang lebih tinggi disfungsi ereksi
pada hipertensi dibandingkan dengan subyek normotensif .
Angka kejadian disfungsi ereksi pada pasien hipertensi
ditemukan cukup bervariasi pada beberapa penelitian,
diantaranya Buchadt et al (2000) sebesar 68 %,Mittawae B
(2006) sebesar 43,2%, dan Bener et al ( 2007) sebesar
66,2%.
Insiden terjadinya DE meningkat seiring bertambahnya
usia, 4% pada usia 50 tahunana 17% pada usia 60 tahunan,
dan meningkat hingga 75% pada usia diatas 75 tahun. Hal
ini dapat dikaitkan dengan penurunan kadar testosteron,
berkurangnya metabolisme secara umum dan proses
7
degeneratif pada semua organ termasuk otot polos di
korpus kavernosum yang berhubungan dengan ereksi.
Pada penderita hipertensi terjadi disfungsi endothel,
menyebabkan penurunan produksi nitrit oxide (NO)
sehingga sel endotel tidak dapat relaksasi, akan
terjadi terus bervasokonstriksi, dan permeabelitasnya
menjadi berkurang sehingga lama kelamaan dinding
pembuluh darah menjadi kaku, sehingga lama kelamaan
lumen pembuluh akan menyempit. Kejadian ini tidak hanya
di bagian pembuluh darah jantung dan otak, melainkan juga
di bagian genital, akibatnya, aliran darah ke genital
berkurang, sehingga gangguan ereksi pun sangat mungkin
terjadi.
Lama menderita hipertensi juga secara signifikan
mempengaruhi angka kejadian disfungsi ereksi. Ditemukan
14% pada penderita hipertensi yang kurang dari 3 tahun,
28% pada pasien dengan hipertensi selama 3-6 tahun dan
60% pasien dengan durasi hipertensi lebih dari 6 tahun.
Keparahan hipertensi mempengaruhi fungsi seksual,
berdasarkan derajat hipertensi menurut JNC VII ditemukan
24% pada hipertensi tingkat 1 dan 44,6% pada hipertensi
tingkat 2, selain itu subyek dengan prehipertensi atau
tekanan darah tinggi yang normalmenunjukkan angka
disfungsi ereksi lebih sering dari pada subyek dengan
tekanan darah normal.
Hubungan antara hipertensi dan disfungsi ereksi
bahkan menjadi lebih kompleks dengan keterlibatan obat
antihipertensi. Insiden terjadinya disfungsi ereksi lebih
sering pada penderita hipertensi yang menjalani terapi
kombinasi dibandingkan pasien dengan monoterapi.
Diuretik dan beta-blocker dilaporkan memiliki efek negatif
terhadap berbagai macam fungsi ereksi. Diuretik
menyebabkan DE karena efeknya yang dapat menurunkan
aliran darah ke penis dan penurunan jumlah jumlah zink
dalam tubuh yang diperlukan untuk pembentukan hormon
testosteron. Beta blocker berpengaruh terhadap disfungsi 8
ereksi karena kerjanya yang mempengaruhi sistem saraf
sehingga terjadi penurunan impuls saraf ke penis.
c. Setelah mengonsumsi kombinasi dari obat preparat anti hipertensi (atenolol),
diuretika (furoemide), serta obat pereduksi lemak darah (statin) pasien
mengalami disfungsi ereksi (DE).
i. Apakah fungsi, cara kerja, dan efek samping dari atenolol?
Fungsi atenolol adalah memblok beta 1-adrenoreseptor. Atenolol
mengisi reseptor cathecolamine, sehingga cathecolamine tidak dapat
memasuki reseptor dan peningkatan denyut nadi tidak terjadi. Efek samping
dari atenolol lesu dan malas.
ii. Apakah fungsi, cara kerja, dan efek samping dari
furosemide?
Furosemide merupakan obat yang digunakan untuk menurunkan
tekanan darah dengan cara menghambat reabsorpsi sodium pada daerah
awal tubulus ginjal, meningkatkan ekskresi sodium dan volume urin, serta
vasodilatasi pada arteriol sehingga efek antihipertensi dapat bertahan. Efek
samping furosemide ialah hipokalemi, hiponatremi, hipomagnesemia,
hiperkalsemia, dehidrasi, dan meningkatkan kadar gula darah dan asam
urat, mual, diare, pusing, fotophobia, dll.
iii. Apakah fungsi, cara kerja, dan efek samping dari statin?
HMG CoA reductase inhibitors (golongan statin).
Obat golongan statin saat ini menjadi pilihan utama
(first line drug) bagi pengobatan hiperkolesterolemia karena
sifatnya yang mampu menekan kadar LDL. Cara kerjanya
adalah dengan menghambat enzim HMG CoA reduktase;
enzim utama dalam biosintesis kolesterol dan LDL. Inhibisi
sintesis kolesterol, terutama di hati, akan menurunkan
kolesterol intrasel dan meningkatan kebutuhan kolesterok
ekstrasel (eksogen). Kebutuhan ini diatasi dengan
peningkatan uptake LDL yang kaya akan kolesterol. Dengan
demikian kadar LDL dalam plasma menurun. Inhibisi
sintesis kolesterol, terutama di hati, akan menurunkan
9
kolesterol intrasel dan meningkatan kebutuhan kolesterok
ekstrasel (eksogen). Kebutuhan ini diatasi dengan
peningkatan uptake LDL yang kaya akan kolesterol. Dengan
demikian kadar LDL dalam plasma menurun. Efek
sampingnya yang utama adalah gangguan pada otot,
namun kondisi ini umumnya baru ditemukan pada konsumsi
statin dalam dosis tinggi.
Efek samping statin
Peningkatan yang sifatnya minor pada kadar enzim hati
sering dijumpai pada 5 bulan pertama terapi statin yang
biasanya akan sembuh/normal kembali dengan sendirinya.
Peningkatan yang bermakna terjadi pada 2% pasien pada
awal terapi tergantung pada dosis statin yang digunakan,
dan akaqn normal kembali jika dosis statin diturunkan
anatau dihentikan. Pemantauan enzim hati secara teratur
selama penggunaan statin, yaitu pada 1‐bulan, 3 bulan dan
6 bulan setelah terapi statin dimulai, dan kemudian sekali
setiap tahun. Walaupun tertulis ada pembatasan
penggunaan statin, hanya ada sedikit bukti yang
menunukkan bahwa satin berbahaya untuk pasien dengan
penyakit hati kronik seperti hepattis B dan C atau
kholestasis (penghentian aliran empedu).
Efek samping lain yang dijumpai pada 5% pasien adalah
miopati , muncul sebagai gejala nyeri pada otot dan
persendian tanpa adanya perubahan kadar kreatin kinase
(CK). Miopati yang parah (rhaddomiolisis fatal) dialami oleh
0,2% pasien, disertai dengan peningkatan CK (10 kali batas
atas kadar normal, CK normal adalah 10‐150 IU/L), dan
dalam hal ini penggunaan statin harus segera dihentikan.
Jika CK berkisar antara 3‐10 kali batas atas normal, statin
tetap dilanjutkan tetapi CK harus terusdipantau sampai
diketahui apakah keadaan membaik atau memburuk
(sehingga memerlukan penghentian statin). Jika perlu dosis
statin diturunkan untuk meredakan efeksamping tersebut.
Gejala efek samping pada otot ini bisanya lebih banyak
10
terjadi pada pasien yang menggunakan kombinasi obat
penurun kadar lipid, misalnya kombinasi statin dan fibrat
atau asam nikotinat. Pasien harus diberitahu untuk segera
melapor jika gejala nyeri otot atau lemas dialami selama
penggunaan statin sehingga dapat dikonsulkan untu cek
kadar CK. EFek samping lain adalh gangguan saluran cerna,
ruam dan insomnia.
Indikasi:
- Terapi dengan "lipid-altering agent" dapat
dipertimbangkan enggunaannya pada individu yang
mengalami peningkatan risiko aterosklerosis vaskular yang
disebabkan oleh hiperkolesterolemia.
-Terapi dengan "lipid-altering agent" merupakan penunjang
data diet ketat, bila respon terhadap diet dan pengobatan
non-farmakologi tunggal lainnya tidak memadai.
-Penyakit jantung koroner Pada penderita dengan penyakit
jantung koroner dan hiperkolesterolemia simvastatin
diindikasikan untuk:
-Mengurangi risiko mortalitas total dengan mengurangi
kematian akibat jantung koroner.
-Mengurangi risiko ifark miokard non fatal.
-Mengurangi risiko pada pasien yang menjalani prosedur
revaskularisasi miokardial.
- Hiperkolesterolemia
Menurunkan kadar kolesterol total dan LDL pada penderita
hiperkolesterolemia primer
iv. Bagaimana interaksi dari ketiga obat tersebut?
Sebenarnya tidak ada interaksi antar obat tersebut,
namun ada kerja sinergis antara Furosemide dan Atenolol
(B-1 blocker). Furosemide menyebabkan peningkatan
ekskresi garam (natrium, magnesium dsb) serta di ikuti
dengan peningkatan ekskresi air oleh ginjal, namun lambat
laun tubuh akan berkompensasi dengan meningkatkan
retensi natrium dan air dengan mensekresi rennin, tetapi
penggunaan atenolol (B-1 blocker di jantung dan ginjal) 11
menyebabkan penurunan sekresi rennin, akibatnya terjadi
interaksi sinergis antara Furosemide dan atenolol dalam
meningkatkan eksresi natrium dan air.
v. Bagaimana hubungan antara pengonsumsian obat terhadap
disfungsi ereksi (DE)?
Obat hipertensi golongan diuretik
Obat hipertensi golongan diuretik merupakan obat
pertama pilihan dokter untuk menurunkan tekanan darah
tinggi apabila tekanan darah tinggi tidak dapat diturunkan
hanya dengan olahraga ataupun pengaturan pola makan
saja.
Obat hipertensi golongan diuretik dapat menyebabkan
terjadinya disfungsi ereksi karena dapat menurunkan aliran
darah termasuk ke penis. Obat hipertensi golongan ini juga
dapat menyebabkan penurunan jumlah zink dalam tubuh,
sedangkan zink diperlukan tubuh untuk pembentukan
hormon testosterone (suatu hormon pria yang berperan
dalam peningkatan gairah seksual).
Jika anda mengkonsumsi obat hipertensi golongan
diuretik, sebaiknya teruskan pengobatan sampai tekanan
darahnya terkontrol. Jika mengalami masalah disfungsi
ereksi atau tekanan darah kembali tinggi dapat
berkonsultasi dengan dokter, sehingga dokter dapat
merubah jenis obat yang diberikan. Kombinasi obat
hipertensi juga dapat diberikan, sehingga tekanan darah
dapat lebih terkontrol dan mengurangi resiko terjadinya
disfungsi ereksi.
Contoh obat hipertensi golongan diuretik :
hydrochlorothiazide, spironolactone, furosemide.
Obat hipertensi golongan beta blocker
Obat hipertensi golongan beta blocker mengurangi
impulse syaraf yang dapat menyebabkan terjadinya
disfungsi ereksi. Obat golongan ini juga dapat menyebabkan
pembuluh arteri susah untuk melebar supaya darah dapat
12
masuk. Apabila anda mengkonsumsi obat hipertensi
golongan beta blocker dan mengalami masalah disfungsi
ereksi, sebaiknya berkonsultasi dengan dokter untuk
mendapatkan terapi yang tepat. Contoh obat hipertensi
golongan beta blocker : acebutolol, atenolol, alprenolol.
Diatas adalah contoh 2 jenis obat hipertensi yang dapat
menyebabkan terjadinya masalah disfungsi ereksi. Akan
tetapi tidak semua obat hipertensi dapat menyebabkan
terjadinya masalah disfungsi ereksi. Beberapa obat
hipertensi tertentu malah dapat memperbaiki disfungsi
ereksi yang terjadi. Untuk itu sebaiknya konsultasikan
dengan dokter setiap keluhan yang dialami.
Statin
Penggunaan statin yang bekerja sebagai inhibitor HMG-CoA reduktase
sebagai penurun kolesterol darah, selain memblokir produksi kolesterol
juga menghambat biosintesis koenzim Q10 (yatu dengan menghambat
prekusor nya yaitu fouresil pirodovat). Dengan demikian, pada beberapa
kasus dengan gagal jantung, kondisi ini dapat berbahaya sehingga
mengharuskan suplementasi koenzim Q10 oral. Koenzim Q-10 adalah
kofaktor yang penting pada proses rantai transpor elektron di mitokondria,
di mana koenzim Q-lO menerima elektron dari kompleks I dan II yang
merupakan aktivitas yang penting pada produksi ATP. Koenzim Q-lO juga
mempunyai aktivitas antioksidan di mitokondria dan membran sel, vang
melindungi dari peroksidasi membran lipid. Koenzim Q-10 juga
menghambat oksidaxi LDL-kolesterol, dimana LDL kolesterol adalah
faktor yang merupakan pencetus atherosklerosis. Sehingga kekurangan
koenzim Q-10 menyebabkan atherosclerosis pada pembuluh darah, apabila
terjadi di pembuluh darah corpora cavernosa ( arteri cavernosa akan
mengakibatkan pengerasan pembuluh darah sehngga aliran darah ke rongga
lacuna corpora cavernosa berkurang dan menyebabkan disfungsi ereksi.
d. Gaya hidup dan pola makan pasien cenderung buruk (fast food dan soft drink).
i. Bagaimana kandungan dan interpretasi kandungan dari
makanan yang biasa dikonsumsi pasien?
Mie instan : Takaran saji = 88 g
13
Energi total = 390 kkal (140 kkal dari lemak)
Lemak total = 15 g
Lemak jenuh = 8 g
Kolesterol = 0 mg
Protein = 10 g
Karbohidrat = 54
Serat pangan = 2 g
Gula = 3 g
Natrium = 1030 mg
Karena 2 bungkus maka dikali 2
Kopi : Takaran saji = 273 g
Energi total = 2 kkal
Lemak total = 0 g
Lemak jenuh = 0 g
` Lemak Trans = 0 g
Kolesterol = 0 mg
Protein = 0 g
Karbohidrat = 0 g
Serat pangan = 0 g
Gula = 0 g
Natrium = 5 mg
Caffein = 94,8 mg
Air = 236 g
Kalium = 116 mg
Snack crackers: Takaran saji = 70 g
Energi total = 295 kkal (55 kkal dari lemak)
Lemak total = 6 g
Lemak jenuh = 1 g
` Lemak Trans = 0 g
Kolesterol = 0 mg
Protein = 7 g
Karbohidrat = 52 g
Serat pangan = 2 g
Gula = 2 g
Natrium =781 mg
Karena 2 porsi maka di kali 2
14
Nasi : Kandungan utama nasi adalah karbohidrat, dengan sangat
sedikit protein, lemak, dan kandungan lainnya.
Ayam goreng KFC: Takaran saji: 160 g
Energi total : 550 kkal
Lemak total : 35 g
Lemak jenuh : 6 g
Lemak Trans : 0 g
Karbohidrat : 30 g
Natrium : 1600 mg
Soft drink: Takaran saji : 12 fl oz (1 kaleng soft drink)
Energi toal : 140 kkal
Lemak total : 0,07 g
Lemak jenuh : 0 g
Karbohidrat : 36,09 g
Serat : 0 g
Gula : 33,73 g
Protein : 0,26 g
Dunkin Donut, kandungan nutrisi tergantung jenis donut yang di
makan, sebagai contoh Chocolate Coconut Cake Donut :
Kalori : 550 kkal
Lemak total : 39 g
Lemak jenuh : 25 g
Lemak Trans : 0 g
Kolesterol : 0 mg
Natrium : 390 mg
Karbohidrat : 47 g
Serat : 2 g
Gula : 22 g
Protein : 5 g
Pizza (dengan daging) ukuran medium (diameter 13 inci)
Energi total : 2477 kkal
Lemak total : 113,57 g
Lemak jenuh : 45,191 g
Karbohidrat : 258,83 g
Serat :13.17 g
Gula : 16,54 g
15
Protein : 99.5 g
Interpretasi
Makanan yang dikonsumsi oleh tuan dalam skenario merupakan
makanan yang tinggi kalori, karbohidrat, protein, lemak, gula, serta
caffeine, akan tetapi rendah akan serat, vitamin dan mineral. Hal ini
menyebabkan banyak kerusakan pada tubuh pria tersebut.
Makanan yang tinggi karbohidrat, protein, dan lemak dapat
meningkatkan kadungan glukosa darah. Selain itu makanan yang
mengandung kadar gula sederhana tinggi, seperti soft drink, juga dapat
meningkatkan kadar glukosa darah secara langsung. Peningkatan kadar
glukosa darah ini dapat merusak endotel pembuluh darah. Kerusakan
endothel pembuluh darah dapat mengganggu produksi NO.
Terganggunya produksi NO ini dapat menyebabkan terganggunya
kinerja otot polos, salah satunya otot yang terdapat pada penis. Hal ini
dapat menyebabkan defisiensi erektil.
Selain itu, makanan yang tinggi kalori, karbohidrat, protein, serta
lemak juga dapat meningkatkan penimbunan lemak dalam tubuh
apabila orang tersebut kurang beraktivitas. Hal inilah yang
menyebabkan seseorang dapat menderita obesitas, dalam kasus ini,
mild obesity.
Makanan yang mengandung protein tinggi apabila dikonsumsi
dengan beta bloker dapat meningkatkan bioavailibilitas beta bloker,
sehingga dapat menyebabkan peningkatan penyerapan beta bloker oleh
tubuh.
Makanan yang dikonsumsi oleh tokoh pada skenario juga banyak
mengandung natrium. Meningkatnya jumlah natrium tubuh berbanding
lurus dengan peningkatan volume cairan tubuh. Hal ini merupakan
salah satu penyebab hipertensi.
Selain itu, kopi yang biasa dikonsumsi oleh tokoh pada skenario
juga memiliki kandungan caffein yang tinggi. Kadar kafein yang tinggi
ini dapat menyebabkan peningkatan pengeluaran urin dengan kata lain
memiliki efek diuresis. Caffein juga dapat menyebabkan vasokostriksi
pembuluh darah. Hal ini, di duga memiliki peranan dalam terjadinya
disfungsi erektil yang dialami oleh tokoh.
16
Tokoh dalam skenario tidak banyak mengkonsumsi buah maupun
sayuran, sehingga makanan yang dimakan tokoh mengandung sangat
sedikit serat, vitamin, maupun mineral. Hal ini akan menyebabkan
defisiensi nutrien tertentu pada tokoh, ditambah lagi konsumsi
furosemide yang berfungsi sebagai diuresis dapat menyebabkan
deplesi berbagai jenis mineral, termasuk zinc, vitamin B6, asam folat,
magnesium, kalium, dan lain sebagainya. Kekurangan zat-zat
tersebutdapat menyebabkan banyak kelainan. Defisiensi zinc yang
merupakan prekursor terstosteron serta defisiensi magnesium dan
vitamin B6 yang merupakan bahan pembentuk L-arginin yang
merupakan prekursor NO dapat menyebabkan terjadinya disfungsi
erektil yang dialami tokoh pada skenario.
ii. Bagaimana interaksi antara kandungan makanandengan
obat:
- Atenolol
Beberapa beta-adrenergik blocker ( disebut beta bloker
“nonselective”)mengurangi pengambilan kalium dari darah ke sel, yang
menyebakan peningkatan berlebih kalium dalam darah, suatu kondisi
berbahaya yang disebut hiperkalemia. Maka dari itu pasien yang
mengkonsumsi beta-blocker harus menghindari konsumsi suplemen kalium,
atau mengkonsumsi buah (seperti pisang) kecuali diperintahkan oleh dokter.
Alkohol dapat meningkatkan efek mengantuk, pusing, nyeri kepala,
dan pandangan kabur, dan meningkatkan resiko kesalahan yang tidak
disengaja.
Selain itu, berdasarkan penelitian double-blind, pasien dengan angina
yang tidak merokok dan mendapat terapi dengan atenolol, dalam satu
minggu, angina berkurang secara singnifikan dibandingkan dengan pasien
yang merokok.
- Furosemide
Furosemide dapat mengalami interaksi dengan makanan. Makanan
yang dapat mengalami interaksi dengan furosemide adalah berbagai jenis
mineral. Furosemide akan meningkatkan pengeluaran mineral melalui urin.
Oleh sebab itu, pada pemberian furosemide hendaknya dilakukan
penambahan buah dan sayuran segar dalam makanan pasien.
17
Pada penggunaan furosemide, pasien harus menghindari alkohol.
Selain itu pasien juga harus menghindari konsumsi garam atau natrium
berlebih, karena dengan mengeluarkan natrium dari tubuh, diuretik juga
menyebabkan penurunan cairan tubuh, sehingga tidak ada alasan untuk
mengganti kehilangan natrium. Selain itu pasien juga harus meningkatkan
pemasukan kalium.
Furosemide merupakan loop diuretics, yaitu potassium-depleting
diuretic (potassium=kalium). Cara kerja furosemide ini meyebabkan tubuh
kehilangan kalium. Loop diuretic juga dapat menyebabkan deplesi
magnesium sel, walaupun defisiensi ini mungkin tidak tergambarkan dari
rendahnya magnesium darah. Kehilangan magnesium biasanya
menyebabkan peningkatan kehilangan kalium. Oleh karena itu, pasien yang
mengkonsumsi potassium-depletion diuretics sebaiknya mendapatkan
suplemen kalium dan magnesium
Sebuah penelitian menunjukkan bahwa orang yang mengkonsumsi
diuretik lebih dari enam bulan mengalami penurunan kadar asam folat
secara dramatis dan mengalami peningkatan kadar homosistein
dibandingkan orang yang tidak mengkonsumsi diuretik. Homosistein,
produk sisa asam amino beracun, yang berhubungan dengan
atherosklerosis. Oleh karena itu, pasien yang mengkonsumsi diuretik lebih
dari enam bulan sebaiknya diberi suplemen asam folat.
Penggunaan furosemide jangka panjang berhubungan dengan defisiensi
vitamin B1 yang signifikan secara klinis yang disebabkan oleh pengeluaran
melalui urin.
Furosemide paling efektif dikonsumsi dalam keadaan perut kosong,
satu jam sebelum makan. Akan tetapi, furosemide juga dapat dikonsumsi
dengan makanan untuk mengurangi rasa nyri atau tidak nyaman pada
gastrointestinal (gastrointestinal upset).
- Statin
Pada pasien dengan kolesterol tinggi, terapi dengan simvastatin atau
statinmenyebabkan penurunan kadar coenzym Q10 (CoQ10) serum.
Beberapa trials termasuk double-blind trials, telah membuktikan efek dari
statin dan HMG-CoA reductase lainnya ini.
Asam lemak omega-3 EPA yang terdapat dalam minyak ikan, dapat
meningkatkan efek penurunan kolesterol dan trigliserida yang dimiliki
18
statin. Pada preliminary trial, pasien dengan kolesterol tinggi yang telah
mengkonsumsi statin selama tiga tahun dapat mengalami penurunan kadar
triglicerida yang signifikan dan peningkatan HDL dengan mengkonsumsi
suplemen baik 900 mg atau 1800 mg EPA selama tiga bulan sebagai
tambahan statin.
Selain itu, konsumsi suplemen sitostanol 1,8 g setiap hari selama enam
minggu dapat meningkatkan efek menurunkan kolesterol dari berbagai jenis
statin.
Vitamin B3 (niacin) memiliki fungsi, salah satunya, menurunkan
kolesterol. Konsumsi niasin dalam jumlah besar bersamaan dengan HMG-
CoA reductase inhibitor dapat menyebabkan kelainan otot (myopathy) yang
dapat menjadi serius (rhabdomyolisis). Selain itu, penggunaan niasin
dilaporkan dapat meningkatkan efek penurunan kolesterol yang dimiliki
HMG-CoA reductase inhibitors.
Selain itu, pada penelitian pada 37 orang dengan kadar kolesterol tinggi
yang diterapi dengan pengaturan makanan dan HMG-CoA reductase
inhibitor ditemukan kadar vitamin A darah meningkat dalam waktu 2 tahun
terapi.
Dalam penelitian pada tuju pasien dengan hipercholesterolemia,
delapan minggu penggunaan simvastatin ditambah dengan vitamin E 300
IU meningkatkan elastisitas pembuluh darah lebih daripada penggunaan
simvastatin saja.
Dalam penelitian lainnya, seuplementasi harian dengan kombinasi
antioksidan menghambat efek menguntukngak simvastatin dan niasi pada
level HDL.
Buah anggur atau jus anggur memiliki substansi yang dapat
menghambat kemampuan tubuh untuk memecah simvastatin, maka dari itu,
mengkonsumsi buah anggur atau jus anggur dengan obat dapat
meningkatkan toksisitas obat. Pada suatu penelitian, seseorang yang sehat
diberikan simvastatin bersamaan dengan 200 ml jus anggur, terjadi
peningkatan kadar simvastatin dalam darah.
19
5. KERANGKA KONSEP
6. LEARNING ISSUE
a. DISFUNGSI EREKSI
ETIOLOGI
Disfungsi ereksi bukan merupakan bagaian normal dari proses penuaan,
namun lebih berkaitan dengan perubahan kondisi psikologis dan fisiologis karena
proses penuaan. Angka kejadiaan DE ini lebih tinggi pada pria dengan penyakit
tertentu seperti diabetes mellitus, obesitas, heart disease, hipertensi, dan penurunan
kadar HDL. Merokok juga merupakan factor resiko (lingkungan/gaya hidup) yang
dapat meningkatkan kemungkinan terkena DE. Pengobatan yang dilakukan untuk
mengobati penyakit cardiovascular atau diabetes mellitus juga merupakan salah satu
factor resiko. Sedangkan penyebab psychologis DE termasuk depresi,
kemarahan/emosi, dan stress (tekanan) akibat berbagai factor, seperti pekerjaan, dll.
20
Secara garis besar, faktor penyebab DE dibagi menjadi
penyebab psikogenik dan organik, tetapi belum tentu salah satu
faktor tersebut menjadi penyebab tunggal DE. Yang termasuk
penyebab organik adalah (i) penyakit kronik (misalnya
aterosklerosis, diabetes dan penyakit jantung); (ii) obat-obatan,
contoh antihipertensi (terutama diuretik thiazid dan penghambat
beta), antiaritmia (digoksin), antidepresan dan antipsikotik
(terutama neuroleptik), antiandrogen, antihistamin II (simetidin),
(alkohol atau heroin); (iii) pembedahan/ operasi misal operasi
daerah pelvis dan prostatektomi radikal; (iv) trauma (misal spinal
cord injury) dan (v) radioterapi pelvis. Di antara sekian banyak
penyebab organik, gangguan vaskular adalah penyebab yang
paling umum dijumpai, sedangkan faktor psikogenik meliputi
depresi, stress, kepenatan, kehilangan, kemarahan dan gangguan hubungan
personal. Pada pria muda, faktor psikogenik ini menjadi penyebab tersering dari DE
intermiten.
FISIOLOGI EREKSI
Ereksi merupakan hasil dari suatu interaksi yang kompleks dari faktor
psikologik,
neuroendokrin dan mekanisme vaskular yang bekerja pada jaringan ereksi
penis. Organ erektil
penis terdiri dari sepasang korpora kavernosa dan korpus spongiosum yang
ditengahnya berjalan
urethra dan ujungnya melebar membentuk glans penis. Korpus spongiosum ini
terletak di bawah
kedua korpora kavernosa. Ketiga organ erektil ini masing-masing diliputi oleh
tunika albuginea, suatu lapisan jaringan kolagen yang padat, dan secara keseluruhan
ketiga silinder erektil ini di luar tunika albuginea diliputi oleh suatu selaput kolagen
yang kurang padat yang disebut fasia Buck. Di bagian anterior kedua korpora
kavernosa terletak berdampingan dan menempel satu sama lain di bagian medialnya
sepanjang 3/4 panjang corpora tersebut. Pada bagian posterior yaitu pada radix krura
korpora kavernosa terpisah dan menempel pada permukaan bawah kedua ramus
iskiopubis. Korpora kavernosa ini menonjol dari arkus pubis dan membentuk pars
pendularis penis. Permukaan medial dari kedua korpora kavernosa menjadi satu
21
membentuk suatu septum inkomplit yang dapat dilalui darah. Radix penis
bulbospongiosum diliputi oleh otot bulbokavernosus sedangkan corpora kavernosa
diliputi oleh otot iskhiokavernosus.
Jaringan erektil yang diliputi oleh tunika albuginea tersebut terdiri dari ruang-
ruang kavernus yang dapat berdistensi. Struktur ini dapat digambarkan sebagai
trabekulasi otot polos yang di dalamnya terdapat suatu sistim ruangan yang saling
berhubungan yang diliputi oleh lapisan endotel vaskular dan disebut sebagai
sinusoid atau rongga lakunar. Pada keadaan lemas, di dalam korpora kavernosa
terlihat sinusoid kecil, arteri dan arteriol yang berkonstriksi serta venula yang
terbuka ke dalam vena emisaria. Pada keadaan ereksi, rongga sinusoid dalam
keadaan distensi, arteri dan arteriol berdilatasi dan venula mengecil serta terjepit di
antara dinding-dinding sinusoid dan tunika albuginea. Tunika albuginea ini pada
keadaan ereksi menjadi lebih tipis. Glans penis tidak ditutupi oleh tunika albuginea
sedangkan rongga sinusoid dalam korpus spongiosum lebih besar dan mengandung
lebih sedikit otot polos dibandingkan korpus kavernosus.
Penis dipersarafi oleh sistem persarafan otonom (parasimpatik dan simpatik)
serta persarafan somatik (sensoris dan motoris). Serabut saraf parasimpatik yang
menuju ke penis berasal dari neuron pada kolumna intermediolateral segmen
kolumna vertebralis S2-S4. Saraf simpatik berasal dari kolumna vertebralis segmen
T4–L2 dan turun melalui pleksus preaortik ke pleksus hipogastrik, dan bergabung
dengan cabang saraf parasimpatik membentuk nervus kavernosus, selanjutnya
memasuki penis pada pangkalnya dan mempersarafi otot-otot polos trabekel. Saraf
sensoris pada penis yang berasal dari reseptor sensoris pada kulit dan glans penis
bersatu membentuk nervus dorsalis penis yang bergabung dengan saraf perineal lain
membentuk nervus pudendus. Kedua system persarafan ini (sentral/psikogenik dan
periferal/ refleksogenik) secara tersendiri maupun secara bersama-sama dapat
menimbulkan ereksi.
Sumber pendarahan ke penis berasal dari arteri pudenda interna yang
kemudian menjadi arteri penis komunis dan kemudian bercabang tiga menjadi arteri
kavernosa (arteri penis profundus), arteri dorsalis penis dan arteri bulbouretralis.
Arteri kavernosa memasuki korpora kavernosa dan membagi diri menjadi arteriol-
arteriol helisin yang bentuknya seperti spiral bila penis dalam keadaan lemas. Dalam
keadaan tersebut arteriol helisin pada korpora berkontraksi dan menahan aliran darah
arteri ke dalam rongga lakunar. Sebaliknya dalam keadaan ereksi, arteriol helisin
tersebut berelaksasi sehingga aliran darah arteri bertambah cepat dan mengisi
22
rongga-rongga lakunar. Keadaan relaksasi atau kontraksi dari otot-otot polos
trabekel dan arteriol menentukan penis dalam keadaan ereksi atau lemas.
Selama ini dikenal adrenalin dan asetilkolin sebagai neurotransmiter pada
sistem adrenergik dan kolinergik, tetapi pada korpora kavernosa ditemukan adanya
neurotransmiter yang bukan adrenergik dan bukan pula kolinergik (non adrenergik
non kolinergik = NANC) yang ternyata adalah nitric oxide/NO. NO ini merupakan
mediator neural untuk relaksasi otot polos korpora kavernosa. NO menimbulkan
relaksasi karena NO mengaktifkan enzim guanilat siklase yang akan
mengkonversikan guanosine triphosphate (GTP) menjadi cyclic guanosine
monophosphate (cGMP). cGMP merangsang kalsium keluar dari otot polos korpora
kavernosa, sehingga terjadi relaksasi. NO dilepaskan bila ada rangsangan seksual.
cGMP dirombak oleh enzim phosphodiesterase (PDE) yang akan mengakhiri/
menurunkan kadar cGMP sehingga ereksi akan berakhir. PDE adalah enzim
diesterase yang merombak cyclic adenosine monophosphate (cAMP) maupun cGMP
menjadi AMP atau GMP. Ada beberapa isoform dari enzim ini, PDE 1 sampai
PDE7. Masing-masing PDE ini berada pada organ yang berbeda. PDE5 banyak
terdapat di corpora kavernosa.
b. HIPERTENSIHipertensi adalah tekanan darah darah yang berlebihan dan hampir
konstan pada arteri. Tekanan dihasilkan oleh kekuatan jantung
ketika memompa darah. WHO-ISH (1999) mengklasifikasikan derajat
tekanan darah tinggi yaitu :
a. Optimal bila tekanan darah 90/60-120/80 mmHg,
b. Normal bila tekanan darah 120/80-130/85 mmHg,
c. Normal tinggi bila tekanan darah sistolik 130-139 mmHg dan
tekanan darah diastolik 85-89 mmHg,
d. Hipertensi derajat 1 (ringan) bila tekanan darah sistolik 140-159
mmHg dan tekanan darah diastolik 90-99 mmHg,
e. Hipertensi derajat 2 (sedang) bila tekanan darah sistolik 160-179
mmHg dan tekanan darah diastolik 100-109 mmHg,
f. Hipertensi derajat 3 (berat) bila tekanan darah ≥ 180/110 mmHg,
g. Hipertensi sistolik (Isolated Systolic Hypertension) bila tekanan
darah sistolik ≥ 140 dan tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg.
23
Kaplan (1985) membedakan hipertensi berdasarkan usia dan jenis
kelamin, yaitu :
a. Laki-laki, usia ≤ 45 tahun dikatakan hipertensi apabila tekanan
darah ≥ 130/90 mmHg
b. Laki-laki, usia > 45 tahun dikatakan hipertensi apabila tekanan
darah ≥ 145/95 mmHg
c. Perempuan, dikatakan hipertensi apabila tekanan darah ≥ 160/95
mmHg
Hipertensi adalah salah satu penyebab kematian nomor satu.
Komplikasi pembuluh darah yang disebabkan hipertensi dapat
menyebabkan penyakit jantung koroner, infark (penyumbatan
pembuluh darah yang menyebabkan kerusakan jaringan) jantung,
stroke, dan gagal ginjal. Komplikasi pada organ tubuh menyebabkan
angka kematian yang tinggi. Gangguan kerja organ selain
menyebabkan penderita, keluarga dan negara harus mengeluarkan
lebih banyak biaya pengobatan dan perawatan, tentu pula
menurunkan kualitas hidup penderita.
Prevalensi hipertensi meningkat sejalan dengan perubahan
gaya hidup seperti merokok, obesitas, inaktivatas fisik, dan stres
psikososial. Hipertensi merupakan masalah kesehatan masyarakat
(public health problem) dan akan menjadi masalah yang lebih besar
jika tidak ditanggulangi sejak dini.
Klasifikasi Hipertensi
1. Berdasarkan Penyebab
a. Hipertensi Primer (Hipertensi Esensial)
Hipertensi primer atau hipertensi esensial adalah suatu
peningkatan persisten tekanan arteri yang dihasilkan oleh
ketidakteraturan mekanisme kontrol homeostatik normal tanpa
penyebab sekunder yang jelas. Hipertensi essensial meliputi lebih
kurang 95% dari seluruh penderita hipertensi dan 5% sisanya
disebabkan oleh hipertensi sekunder.
b. Hipertensi Sekunder (Hipertensi non Esensial)
24
Hipertensi sekunder atau hipertensi non esensial adalah
hipertensi yang dapat diketahui penyebabnya. Hipertensi
sekunder meliputi lebih kurang 5% dari total penderita hipertensi.
Contoh kelainan yang menyebabkan hipertensi sekunder adalah
sebagai hasil dari salah satu atau kombinasi dari akibat stres
yang parah, penyakit atau gangguan ginjal, kehamilan dan
pemakaian hormon pencegah kehamilan, pemakaian obat-obatan
seperti heroin, kokain, dan sebagainya, cedera di kepala atau
perdarahan di otak yang berat, dan tumor atau sebagai reaksi
dari pembedahan.
2. Berdasarkan TDS dan TDD
Menurut The Joint National Committee on Detection, Evaluation
and Treatment of High Blood Pressure (JNC-7) tahun 2003
hipertensi dibedakan berdasarkan Tekanan Darah Sistolik (TDS)
dan Tekanan Darah Diastolik (TDD) sebagai berikut :
a. Normal bila tekanan darah sistolik 90-120 mmHg dan diastolik 60-
80 mmHg
b. Prehypertension bila TDS 120-139 mmHg dan TDD 80- 89 mmHg
c. Hipertensi stadium 1 bila TDS 140-159 mmHg dan TDD 90-99
mmHg
d. Hipertensi stadium 2 bila TDS ≥ 160 mmHg dan TDD ≥ 100
mmHg
Bila tekanan darah penderita hipertensi berbeda dengan
klasifikasi sebagai contoh TDS 170 mmHg sedangkan TDD 90
mmHg maka derajat hipertensi ditentukan dari tekanan sistolik
(TDS) karena merupakan tekanan yang terjadi ketika jantung
berkontraksi memompakan darah.
3. Berdasarkan Gejala-gejala Klinik
a. Hipertensi Benigna
Pada hipertensi benigna, tekanan darah sistolik maupun diastolik
belum begitu meningkat, bersifat ringan atau sedang dan belum
tampak kelainan atau kerusakan dari target organ seperti mata,
otak, jantung, dan ginjal. Juga belum nampak kelainan fungsi dari
alat-alat tersebut yang sifatnya berbahaya.
25
b. Hipertensi Maligna
Disebut juga accelerated hypertension, adalah hipertensi berat
yang disertai kelainan khas pada retina, ginjal, dan kelainan
serebral. Pada retina terjadi kerusakan sel endotelial yang akan
menimbulkan obliterasi atau robeknya retina. Apabila diagnosis
hipertensi maligna ditegakkan, pengobatan harus segera
dilakukan. Diupayakan tekanan darah sistolik mencapai 120-139
mmHg. Hal ini perlu dilakukan karena insidensi terjadinya
perdarahan otak atau payah jantung pada hipertensi maligna
sangat besar.
c. Hipertensi ensefalopati
Merupakan komplikasi hipertensi maligna yang ditandai dengan
gangguan pada otak. Secara klinis bermanifestasi dengan sakit
kepala yang hebat, nausea, dan muntah. Tanda gangguan
serebral seperti kejang ataupun koma, dapat terjadi apabila
tekanan darah tidak segera diturunkan. Keadaan ini biasanya
timbul apabila tekanan diastolik melebihi 140 mmHg. Hipertensi
berat yang diikuti tanda-tanda payah jantung, perdarahan otak,
perdarahan pasca operasi merupakan keadaan kedaruratan
hipertensi yang memerlukan penanganan secara seksama.
Gejala Klinis
Hipertensi seringkali muncul tanpa gejala hingga menimbulkan
komplikasi lanjut yang berbahaya. Secara umum gejala yang
dikeluhkan oleh penderita hipertensi yaitu sakit kepala, rasa pegal
dan tidak nyaman pada tengkuk, perasaan berputar serasa ingin
jatuh, berdebar atau detak jantung terasa cepat, dan telinga
berdengung.
Pada survei hipertensi di Indonesia oleh Sugiri, dkk (1995), tercatat
gejala-gejala sebagai berikut : pusing, mudah marah, telinga
berdengung, sesak nafas, rasa berat ditengkuk, mudah lelah, dan
mata berkunang-kunang serta sukar tidur merupakan gejala yang
banyak dijumpai. Gejala lain akibat komplikasi hipertensi, seperti
gangguan penglihatan, gangguan saraf (neurology), gejala gagal
jantung, dan gejala lain akibat gangguan fungsi ginjal sering
dijumpai.26
Diagnosis
Seperti lazimnya pada penyakit lain, diagnosis hipertensi ditegakkan
berdasarkan data anamnese, pemeriksaan jasmani, pemeriksaan
laboratorium maupun pemeriksaan penunjang. Pada 70-80% kasus
hipertensi esensial didapatkan riwayat hipertensi di dalam keluarga,
walaupun hal ini belum dapat memastikan diagnosis hipertensi
esensial. Apabila riwayat hipertensi didapatkan pada kedua orang
tua maka dugaan hipertensi esensial lebih besar.
Pada wanita, keterangan mengenai hipertensi pada kehamilan,
riwayat persalinan, pengggunaan pil kontrasepsi, diperlukan dalam
anamnesis. Selain itu, data mengenai penyakit penyerta yang timbul
bersamaan seperti diabetes melitus (kencing manis), gangguan
hyperthyroid, rematik, gangguan ginjal, serta faktor resiko terjadinya
hipertensi seperti rokok, alkohol, stres, dan data obesitas
(kegemukan) perlu diberitahukan kepada dokter yang memeriksa.
Pemeriksaan yang lebih teliti, perlu dilakukan pada organ target,
untuk menilai komplikasi hipertensi. Identifikasi pembesaran
jantung, tanda payah jantung, pemeriksaan funduskopi, tanda
gangguan neurologi dapat membantu menegakkan diagnosis
komplikasi akibat hipertensi. Pemeriksaan fisik lain secara rutin perlu
dilakukan untuk mendapatkan tanda kelainan lain yang mungkin ada
hubungan dengan hipertensi.
Komplikasi
Pada umumnya komplikasi terjadi pada hipertensi berat apabila
terjadinya kenaikan tekanan darah yang mendadak tinggi. Beberapa
negara mempunyai pola komplikasi yang berbeda-beda. Di Jepang,
gangguan serebrovaskular lebih mencolok dibandingkan kelainan
organ yang lain, sedangkan di Amerika dan Eropa komplikasi jantung
lebih banyak ditemukan. Di Indonesia belum terdapat data mengenai
hal ini, akan tetapi komplikasi serebrovaskular dan komplikasi
jantung sering ditemukan.
Alat tubuh yang sering terserang hipertensi adalah mata, ginjal,
jantung, dan otak. Pada mata berupa perdarahan retina, gangguan
penglihatan sampai dengan kebutaan. Payah jantung merupakan 27
kelainan yang sering ditemukan pada hipertensi berat di samping
kelainan koroner dan miokard. Pada otak sering terjadi perdarahan,
akibat pecahnya mikroaneurisma yang dapat mengakibatkan
kematian. Kelainan yang lain yang dapat terjadi adalah proses
tromboemboli dan serangan iskemia otak sementara (transient
ischaemic attack).
Epidemiologi Hipertensi
1. Distribusi dan Frekuensi Hipertensi
a. Orang
Menurut Indonesian Society of Hypertension tahun 2007, secara
umum prevalensi hipertensi di Indonesia pada orang dewasa
berumur lebih dari 50 tahun adalah antara 15% dan 20%. Survei
faktor resiko penyakit kardiovaskuler oleh WHO di Jakarta
menunjukkan di Indonesia prevalensi hipertensi berdasarkan jenis
kelamin dengan tekanan darah 160/90 masing-masing pada pria
adalah pada tahun 1988 sebesar 13,6%, pada tahun 1993
sebesar 16,5%, dan pada tahun 2000 sebesar 12,1%. Sedangkan
pada wanita prevalensi pada tahun 1988 mencapai 16%, pada
tahun 1993 sebesar 17%, dan pada tahun 2000 sebesar 12,2%.
b. Tempat
Prevalensi terendah hipertensi adalah pada suku Asmat di
Lembah Balim Jaya (0,6%) kemungkinan karena suku Asmat
tinggal di daerah pegunungan dan pola hidup dan konsumsi
pangan yang masih bersifat alami dan tertinggi pada suku Sunda
di Sukabumi, Jawa Barat kemungkinan karena pola hidup
masyarakat yang banyak mengonsumsi makanan cepat saji (fast
food). Dikawasan Jawa Bali sedikit lebih tinggi (17%)
dibandingkan dengan sumatera dan kawasan timur Indonesia.
Menurut penelitian Susalit E. (1991) menunjukkan bahwa
masyarakat perkotaan lebih banyak menderita hipertensi
dibandingkan masyarakat pedesaan. Dalam laporannya
menunjukkan prevalensi hipertensi pada masyarakat pinggiran
28
kota Jakarta sebesar 14,2%, sedangkan prevalensi hipertensi di
Sukabumi sebesar 28,6%.
Penduduk yang tinggal di daerah pesisir lebih rentan terhadap
penyakit hipertensi karena tingkat mengonsumsi garam lebih
tinggi dibandingkan daerah pegunungan yang lebih banyak
mengonsumsi sayur-sayuran dan buah-buahan.
c. WaktuSKRT tahun 1995 mencatat prevalensi hipertensi di Indonesia
adalah 8,3%. SKRT tahun 2001 mencatat jumlah kematian akibat
penyakit jantung dan pembuluh darah di Indonesia sebesar
26,3%.
Survei Kesehatan Nasional (Surkesnas) 2001 mencatat proporsi
hipertensi pada pria sebesar 27% dan wanita sebesar 29%.
Sedangkan hasil SKRT 2004 menunjukkan proporsi hipertensi
pada pria sebesar 12,2% dan wanita 15,5%.
2. Faktor Risiko Hipertensi
a. Faktor Risiko yang Tidak Dapat Diubah
Umur
Penderita hipertensi esensial sebagian besar timbul pada usia
24-45 tahun hanya 20% yang menimbulkan kenaikan tekanan
darah di bawah usia 20 tahun dan di atas 50 tahun. Menurut
Kaplan (1991) prevalensi penderita hipertensi umumnya paling
tinggi dijumpai pada usia > 40 tahun. Penderita kemungkinan
mendapat komplikasi (kelainan) pembuluh darah otak 6-10 kali
lebih besar pada usia 30-40 tahun.
Jenis Kelamin
Prevalensi penderita hipertensi lebih sering ditemukan pada
kaum pria daripada kaum wanita, hal ini disebabkan secara
hormonal laki-laki lebih berisiko terjadi hipertensi. Pada saat
mengatasi masalah pria cenderung emosi dan mencari jalan
pintas seperti merokok, mabuk minum-minuman alkohol, dan
pola makan yang tidak baik sehingga tekanan darahnya dapat
meningkat. Sedangkan pada wanita dalam mengatasi masalah
atau stres, masih dapat mengatasinya dengan tenang dan
lebih stabil. Sugiri (1990) dalam penelitiannya menemukan di
29
Sumatera Barat lebih banyak penderita hipertensi pada pria
(18,6%) daripada wanita (17,4%)
Dari umur 55 s/d 74 tahun, perempuan lebih banyak menderita
hipertensi dibanding laki-laki. Tekanan darah cenderung
meningkat pada wanita setelah menopause daripada sebelum
menopause, hal ini disebabkan oleh faktor psikologis dan
adanya perubahan dalam diri wanita tersebut.
Genetika
Faktor-faktor genetika telah lama dikatakan penting dalam
genesis dari hipertensi. Salah satu tindakan penyelidikan yang
dilakukan adalah menilai korelasi tekanan darah dalam
keluarga (familial aggregation) individu dengan orang tua yang
menderita hipertensi. Beevers dan O’Brien (1994) menyatakan
bahwa faktor keturunan akan menyumbang sebesar 60%
untuk terjadinya hipertensi. Lebih jauh diutarakan bahwa
apabila salah satu saudaranya hipertensi maka resiko
hipertensi sebesar 30%.
Ras atau suku bangsa
Orang berkulit hitam dari semua umur lebih besar peluang
terjadi hipertensi daripada orang berkulit putih. Perbedaan ini
paling besar terjadi pada umur 55-64 tahun. Pada kelompok
umur ini prevalensi dari hipertensi pada orang berkulit hitam
dua kali lebih besar daripada orang berkulit putih. Pada umur≥
75 tahun 54% orang berkulit hitam terjadi hipertensi, berbeda
halnya hanya 38% kejadian hipertensi pada orang berkulit
putih.
b. Faktor Risiko Hipertensi yang Dapat Dihindarkan atau Diubah Lemak dan kolesterol
Pola makan penduduk yang tinggal di kota-kota besar berubah
dimana fastfood dan makanan yang kaya kolesterol menjadi
bagian yang dikonsumsi sehari- hari. Mengurangi diet lemak
dapat menurunkan tekanan darah 6/3 mmHg dan bila
dikombinasikan dengan meningkatkan konsumsi buah dan
sayuran dapat menurunkan tekanan darah sebesar 11/6
mmHg. Makan ikan secara teratur sebagai cara mengurangi
30
berat badan akan meningkatkan penurunan tekanan darah
pada penderita gemuk dan memperbaiki profil lemak.
Konsumsi Garam
Diet tinggi garam dihubungkan dengan peningkatan tekanan
darah dan prevalensi hipertensi. Efek diperkuat dengan diet
kalium yang rendah. Penurunan diet natrium dari 180 mmol
(10,5 gr) perhari menjadi 80-100 mmol (4,7-5,8 perhari)
menurunkan tekanan darah sistolik 4-6 mmHg. Tetapi
pengaruh lebih kuat pada orang kulit hitam, obesitas dan umur
tua. WHO-ISH (1999) membuat tujuan diet rendah natrium
ialah sampai < 100 mmol (5,8 gr) perhari atau < 6 gr NaCl
perhari.
Minuman beralkohol
Terdapat hubungan linier antara konsumsi alkohol, tingkat
tekanan darah dan prevalensi hipertensi pada masyarakat.
Alkohol menurunkan efek obat antihipertensi, tetapi efek
presor ini menghilang dalam 1-2 minggu dengan mengurangi
minum alkohol sampai 80%. Pada penderita hipertensi
konsumsi alkohol dibatasi 20-30 gr etanol perhari untuk pria
dan 10-20 gr etanol perhari pada wanita.
Kelebihan Berat Badan (Overweight)
Dari data observasional WHO tahun 1996, regresi multivariat
dari tekanan darah menunjukkan sebuah peningkatan 2-3
mmHg tekanan darah sistolik dan 1-3 mmHg tekanan darah
diastolik pada setiap 10 kg kenaikan berat badan. Mereka yang
memiliki lemak yang bertumpuk di daerah sekitar pinggang
dan perut (bentuk buah apel) lebih mungkin terkena tekanan
darah tinggi bila dibandingkan dengan mereka yang memiliki
kelebihan lemak di paha dan panggul.
Indeks Massa Tubuh (IMT) adalah kombinasi antara tinggi dan
berat badan untuk mengukur kadar kegemukan yang
melibatkan seluruh berat badan.
Perhitungannya adalah sebagai berikut :
31
Di mana dikatakan kurus bila IMT ≤ 20, berat badan sehat bila
IMT 20 -25, kawasan peringatan bila IMT 25-27 dan obesitas
bila IMT ≥ 27.
Rokok dan Kopi
Berhenti merokok merupakan perubahan gaya hidup yang
paling kuat untuk mencegah penyakit kardiovaskuler dan
nonkardiovaskuler pada penderita hipertensi. Merokok dapat
menghapuskan efektifitas beberapa obat antihipertensi,
misalnya pengobatan hipertensi yang menggunakan terapi
beta blocker dapat menurunkan risiko penyakit jantung dan
stroke hanya bila pemakainya tidak merokok.
Kopi juga berakibat buruk pada jantung. Kopi mengandung
kafein yang meningkatkan debar jantung dan naiknya tekanan
darah. Meminum kopi lebih dari empat cangkir kopi sehari
dapat meningkatkan tekanan darah sistolik sekitar 10 mmHg
dan tekanan darah diastolik sekitar 8 mmHg.
Stres
Hubungan antara stres dengan hipertensi diduga melalui
aktivitas saraf simpatik yang dapat meningkatkan tekanan
darah secara intermitten. Apabila stres menjadi
berkepanjangan dapat berakibat tekanan darah menetap
tinggi. Hal ini secara pasti belum terbukti, akan tetapi pada
binatang percobaan dibuktikan bahwa pemaparan terhadap
stres membuat binatang menjadi hipertensi.
Olahraga
Olahraga lebih banyak dihubungkan dengan pengobatan
hipertensi karena olahraga isotonik (seperti bersepeda,
jogging, aerobik) yang teratur dapat menurunkan tahanan
perifer yang akan dapat menurunkan tekanan darah. Olahraga
juga dikaitkan dengan peran obesitas pada hipertensi. Dengan
kurangnya olahraga kemungkinan timbulnya obesitas akan
meningkat dan apabila asupan garam bertambah akan mudah
timbul hipertensi.
32
Pencegahan Hipertensi
Pencegahan Premordial
Pencegahan premordial yaitu upaya pencegahan munculnya faktor
predisposisi terhadap hipertensi dimana belum tampak adanya
faktor yang menjadi risiko. Upaya ini dimaksudkan dengan
memberikan kondisi pada masyarakat yang memungkinkan
pencegahan terjadinya hipertensi mendapat dukungan dasar dari
kebiasaan, gaya hidup dan faktor lainnya, misalnya menciptakan
kondisi sehingga masyarakat merasa bahwa rokok itu suatu
kebiasaan yang kurang baik dan masyarakat mampu bersikap positif
terhadap bukan perokok, merubah pola konsumsi masyarakat yang
sering mengonsumsi makanan cepat saji.
Pencegahan Primer
Pencegahan primer dilakukan dengan pencegahan terhadap faktor
risiko yang tampak pada individu atau masyarakat. Sasaran pada
orang sehat yang berisiko tinggi dengan usaha peningkatan derajat
kesehatan yakni meningkatkan peranan kesehatan perorangan dan
masyarakat secara optimal dan menghindari faktor resiko timbulnya
hipertensi.
Pencegahan primer penyebab hipertensi adalah sebagai berikut :
Mengurangi/menghindari setiap perilaku yang memperbesar
resiko, yaitu menurunkan berat badan bagi yang kelebihan
berat badan dan kegemukan, menghindari meminum minuman
beralkohol, mengurangi/membatasi asupan natrium/garam,
berhenti merokok bagi perokok, mengurangi/menghindari
makanan yang mengandung makanan yang berlemak dan
kolesterol tinggi
Peningkatan ketahanan fisik dan perbaikan status gizi, yaitu
melakukan olahraga secara teratur dan terkontrol seperti
senam aerobik, jalan kaki, berlari, naik sepeda, berenang, dan
lain-lain, diet rendah lemak dan memperbanyak mengonsumsi
buah-buahan dan sayuran, mengendalikan stres dan emosi.
33
Pencegahan Sekunder
Sasaran utama adalah pada mereka terkena penyakit hipertensi
melaluidiagnosis dini serta pengobatan yang tepat dengan tujuan
mencegah proses penyakit lebih lanjut dan timbulnya komplikasi.
Pencegahan bagi mereka yang terancam dan menderita hipertensi
adalah sebagai berikut :
a. Pemeriksaan berkala
Pemeriksaan/pengukuran tekanan darah secara berkala oleh
dokter secara teratur merupakan cara untuk mengetahui
apakah kita menderita hipertensi atau tidak
Mengendalikan tensi secara teratur agar tetap stabil dengan
atau tanpa obat- obatan anti hipertensi
b. Pengobatan/perawatan Pengobatan yang segera sangat penting dilakukan sehingga
penyakit hipertensi dapat segera dikendalikan
Menjaga agar tidak terjadi komplikasi akibat
hiperkolesterolemia, diabetes melitus dan lain-lain
Menurunkan tekanan darah ke tingkat yang wajar sehingga
kualitas hidup penderita tidak menurun
Memulihkan kerusakan organ dengan obat antihipertensi, baik
tungggal maupun majemuk
Memperkecil efek samping pengobatan
Menghindari faktor resiko penyebab hipertensi seperti yang
disebutkan di atas
Mengobati penyakit penyerta seperti diabetes melitus,
kelainan pada ginjal, hipertiroid, dan sebagainya yang dapat
memperberat kerusakan organ.
Pencegahan Tersier
Tujuan utama adalah mencegah proses penyakit lebih lanjut dan
mencegah cacat/kelumpuhan dan kematian karena penyakit
hipertensi. Pencegahan tersier penyakit hipertensi adalah sebagai
berikut :
Menurunkan tekanan darah ke tingkat yang normal sehingga
kualitas hidup penderita tidak menurun
34
Mencegah memberatnya tekanan darah tinggi sehingga tidak
menimbulkan kerusakan pada jaringan organ otak yang
mengakibatkan stroke dan kelumpuhan anggota badan
Memulihkan kerusakan organ dengan obat antihipertensi.
c. PREPARAT ANTIHIPERTENSI
Golongan obat antihipertensi yang banyak digunakan adalah diuretik tiazid (misalnya
bendroflumetiazid), beta‐bloker, (misalnya propanolol, atenolol,) penghambat
angiotensin converting enzymes (misalnya captopril, enalapril), antagonis angiotensin
II (misalnya candesartan, losartan), calcium channel blocker (misalnya amlodipin,
nifedipin) dan alphablocker (misalnya doksasozin). Yang lebih jarang digunakan
adalah vasodilator dan antihipertensi kerja sentral dan yang jarang dipakai, guanetidin,
yang diindikasikan untuk keadaan krisis hipertensi.
Beta-blocker
Beta blocker memblok beta‐adrenoseptor. Reseptor ini diklasifikasikan menjadi
reseptorbeta‐1 dan beta‐2. Reseptor beta‐1 terutama terdapat pada jantung sedangkan
reseptor beta‐2 banyak ditemukan di paru-paru, pembuluh darah perifer, dan otot
lurik. Reseptor beta‐2 juga dapat ditemukan di jantung, sedangkan reseptor beta‐1
juga dapat dijumpai pada ginjal. Reseptor beta juga dapat ditemukan di otak.
Stimulasi reseptor beta pada otak dan perifer akan memacu penglepasan
neurotransmitter yang meningkatkan aktivitas system saraf simpatis. Stimulasi
reseptor beta‐1 pada nodus sino‐atrial dan miokardiak meningkatkan heart rate dan
kekuatan kontraksi. Stimulasi reseptor beta pada ginjal akan menyebabkan
penglepasan rennin, meningkatkan aktivitas system renninangiotensin aldosteron.
Efek akhirnya adalah peningkatan cardiac output, peningkatan tahanan perifer dan
peningkatan sodium yang diperantarai aldosteron dan retensi air. Terapi menggunakan
beta-blocker akan mengantagonis semua efek tersebut sehingga terjadi penurunan
tekanan darah. Beta‐blocker yang selektif (dikenal juga sebagai cardioselective beta‐blockers), misalnya bisoprolol, bekerja pada reseptor beta‐1, tetapi tidak spesifik
untuk reseptor beta‐1 saja oleh karena itu penggunaannya pada pasien dengan riwayat
asma dan bronkhospasma harus hatihati. Beta‐blocker yang non‐selektif (misalnya
propanolol) memblok reseptor beta‐1 dan beta-2. Beta-blocker yang mempunyai
aktivitas agonis parsial (dikenal sebagai aktivitas simpatomimetik intrinsic), misalnya
acebutolol, bekerja sebagai stimulan beta pada saat aktivitas adrenergik minimal
35
(misalnya saat tidur) tetapi akan memblok aktivitas beta pada saat aktivitas adrenergik
meningkat (misalnya saat berolah raga). Hal ini menguntungkan karena mengurangi
bradikardi pada siang hari. Beberapa beta‐blocker, misalnya labetolol, dan carvedilol,
juga memblok efek adrenoseptoralfa perifer. Obat lain, misalnya celiprolol,
mempunyai efek agonis beta‐2 atau vasodilator. Beta-blocker diekskresikan lewat hati
atau ginjal tergantung sifat kelarutan obat dalam air atau lipid. Obat‐obat yang
diekskresikan melalui hati biasanya harus diberikan beberapa kali dalam sehari
sedangkan yang diekskresikan melalui ginjal biasanya mempunyai waktu paruh yang
lebih lama sehingga dapat diberikan sekalidalam sehari. Beta‐blocker tidak boleh
dihentikan mendadak melainkan harus secara bertahap, terutama pada pasien dengan
angina, karena dapat terjadi fenomena rebound.
Efek samping
Blokade reseptor beta-2 pada bronkhi dapat mengakibatkan bronkhospasme, bahkan
jika digunakan beta-bloker kardioselektif. Efek samping lain adalah bradikardia,
gangguan kontraktil miokard, dan tangan dan kaki terasa dingin karena vasokonstriksi
akibat blokade reseptor beta-2 pada otot polos pembuluh darah perifer. Kesadaran
terhadap gejala hipoglikemia pada beberapa pasien DM tipe 1 dapat berkurang. Hal
ini karena beta‐blocker memblok sistem saraf simpatis yang bertanggung jawab untuk
“memberi peringatan“ jika terjadi hipoglikemia. Berkurangnya aliran darah simpatetik
juga menyebabkan rasa malas pada pasien. Mimpi buruk kadang dialami, terutama
pada penggunaan beta‐blocker yang larut lipid seperti propanolol. Impotensi juga
dapat terjadi. Beta‐blockers non‐selektif juga menyebabkan peningkatan kadar
trigilserida serum dan penurunan HDL.
ACE inhibitor
Angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEi) menghambat secara kompetitif
pembentukan angiotensin II dari prekursor angiotensin I yang inaktif, yang terdapat
pada darah, pembuluh darah, ginjal, jantung, kelenjar adrenal dan otak. Angitensin II
merupakan vaso‐konstriktor kuat yang memacu penglepasan aldosteron dan aktivitas
simpatis sentral dan perifer. Penghambatan pembentukan angiotensin iI ini akan
menurunkan tekanan darah. Jika sistem angiotensin‐renin‐aldosteron teraktivasi
(misalnya pada keadaan penurunan sodium, atau pada terapi diuretik) efek
antihipertensi ACEi akan lebih besar. ACE juga bertanggungjawab terhadap degradasi
kinin, termasuk bradikinin, yang mempunyai efek vasodilatasi. Penghambatan
degradasi ini akan menghasilkan efek antihipertensi yang lebih kuat. Beberapa
perbedaan pada parameter farmakokinetik obat ACEi. Captopril cepat diabsorpsi
36
tetapi mempunyai durasi kerja yang pendek, sehingga bermanfaat untuk menentukan
apakah seorang pasien akan berespon baik pada pemberian ACEi. Dosis pertama
ACEii harus diberikan pada malam hari karena penurunan tekanan darah mendadak
mungkin terjadi; efek ini akan meningkat jika pasien mempunyai kadar sodium
rendah.
Antagonis Angiotensin II
Reseptor angiotensin II ditemukan pada pembuluh darah dan target lainnya.
Disubklasifikasikan menjadi reseptor AT1 dan AT2. Reseptor AT1 memperantarai
respon farmakologis angiotensin II, seperti vasokonstriksi dan penglepasan
aldosteron. Dan oleh karenanya menjadi target untuk terapi obat. Fungsi reseptor AT2
masih belum begitu jelas. Banyak jaringan mampu mengkonversi angiotensin I
menjadi angiotensin II tanpa melalui ACE. Oleh karena itu memblok sistem renin‐angitensin melalui jalur antagonis reseptor AT1 dengan pemberianantagonis reseptor
angiotensin II mungkin bermanfaat. Antagonis reseptor angiotensin II
(AIIRA)mempunyai banyak kemiripan dengan ACEi, tetapi AIIRA tidak
mendegradasi kinin. Karena efeknya pada ginjal, ACEi dan AIIRA
dikontraindikasikan pada stenosis arteri ginjal bilateral dan pada stenosis arteri yang
berat yang mensuplai ginjal yang hanya berfungsi satu.
Efek samping ACEi dan AIIRA
Sebelum mulai memberikan terapi dengan ACEi atau AIIRA fungsi ginjal dan kadar
elektrolit pasien harus dicek. Monitoring ini harus terus dilakukan selama terapi
karena kedua golongan obat ini dapat mengganggu fungsi ginjal. Baik ACEi dan
AIIRA dapat menyebabkan hiperkalemia karena menurunkan produksi aldosteron,
sehingga suplementasi kalium dan penggunaan diuretik hemat kalium harus dihindari
jika pasien mendapat terapiACEI atau AIIRA. Perbedaan anatar ACEi dan AIIRA
adalah batuk kering yang merupakan efek samping yang dijumpai pada 15% pasien
yang mendapat terapi ACEi. AIIRA tidak menyebabkan batuk
Alpha-blocker
Alpha‐blocker (penghambat adreno‐septor alfa‐1) memblok adrenoseptor alfa‐1
perifer, mengakibatkan efek vasodilatasi karena merelaksaasi otot polos pembuluh
darah.Diindikasikan untuk hipertensi yang resisten.
Efek samping
37
Alpha‐blocker dapat menyebabkan hipotensi postural, yang sering terjadi pada
pemberian dosis pertama kali. Alpha‐blocker bermanfaat untuk pasien laki‐laki lanjut
usia karena memperbaiki gejala pembesaran prostat.
Golongan lain
Antihipertensi vasodilator (misalnya hidralazin, minoksidil) menurunkan tekanan
darah dengan cara merelaksasi otot polos pembuluh darah. Antihipertensi kerj a
sentral (misalnya klonidin, metildopa, monoksidin) bekerja pada adrenoseptor alpha‐2
atau reseptor lain pada batang otak, menurunkan aliran simpatetik ke jantung,
pembuluh darah dan ginjal, sehingga efek ahirnya menurunkan tekanan darah.
Efek samping
Antihipertensi vasodilator dapat menyebabkan retensi cairan. Tes fungsi hati harus
dipantau selama terapi dengan hidralazin karena ekskresinya melalui hati. Hidralazin
juga diasosiakan dengan sistemiklupus eritematosus. Minoksidil diasosiasikan dengan
hipertrikosis (hirsutism) sehingga kkurang sesuai untuk pasien wanita. Obat‐obat
kerja sentral tidak spesifik atau tidak cukup selektif untuk menghindari efek samping
sistem saraf pusat seperti sedasi, mulut kering dan mengantuk, yang sering terjadi.
Metildopa mempunyai mekanisme kerja yang mirip dengan konidin tetapi dapat
memnyebabkan efek samping pada sistem imun, termasuk pireksia, hepatitis dan
anemia hemolitik.
Calcium channel blocker
Calcium channel blockers (CCB) menurunkan influks ion kalsium ke dalam sel
miokard, sel‐sel dalam sistem konduksi jantung, dan sel‐sel otot polos pembuluh
darah. Efek ini akan menurunkan kontraktilitas jantung, menekan pembentukan dan
propagasi impuls elektrik dalam jantung dan memacu aktivitas vasodilatasi,
interferensi dengan konstriksi otot polos pembuluh darah. Semua hal di atas adalah
proses yang bergantung pada ion kalsium. Terdapat tiga kelas CCB: dihidropiridin
(misalnya nifedipin dan amlodipin); fenilalkalamin (verapamil) dan benzotiazipin
(diltiazem). Dihidropiridin mempunyai sifat vasodilator perifer yang merupakan kerja
antihipertensinya, sedangkan verapamil dan diltiazem mempunyai efek kardiak dan
digunakan untuk menurunkan heart rate dan mencegah angina. Efek samping yang
umum lainnya adalah hiperlipidemia, menyebabkan peningkatan LDL dan trigliserida
dan penurunan HDL. 25% pria yang mendapat diuretic tiazid mengalami impotensi,
tetapi efek ini akan hilang jika pemberian tiazid dihentikan
Efek samping
38
Pemerahan pada wajah, pusing dan pembengkakan pergelangan kaki sering dijumpai,
karena efek vasodilatasi CCB dihidropiridin. Nyeri abdomendan mual juga sering
terjadi. Saluran cerna juga sering terpengaruh oleh influks ion kalsium, oleh karena itu
CCB sering mengakibatkan gangguan gastro‐intestinal, termasuk konstipasi.
Diuretik tiazid
Diuretik tiazid adalah diuretic dengan potensi menengah yang menurunkan tekanan
darah dengan cara menghambat reabsorpsi sodium pada daerah awal tubulus distal
ginjal, meningkatkan ekskresi sodium dan volume urin. Tiazid juga mempunyai efek
vasodilatasi langsung pada arteriol, sehingga dapat mempertahankan efek
antihipertensi lebih lama. Tiazid diabsorpsi baik pada pemberian oral, terdistribusi
luas dan dimetabolisme di hati. Efek diuretik tiazid terjadi dalam waktu 1‐2 jam
setelah pemberian dan bertahan sampai 12‐24 jam, sehingga obat ini cukup diberikan
sekali sehari. Efek antihipertensi terjadi pada dosis rendah dan peningkatan dosis
tidak memberikan manfaat pada tekanan darah, walaupun diuresis meningkat pada
dosis tinggi.
Efek samping
Peningkatan eksresi urin oleh diuretik tiazid dapat mengakibatkan hipokalemia,
hiponatriemi, dan hipomagnesiemi. Hiperkalsemia dapat terjadi karena penurunan
ekskresi kalsium. Interferensi dengan ekskresi asam urat dapat mengakibatkan
hiperurisemia, sehingga penggunaan tiazid pada pasien gout harus hati-hati. Diuretik
tiazid juga dapat mengganggu toleransi glukosa (resisten terhadap insulin) yang
mengakibatkan peningkatan resiko diabetes mellitus tipe 2. karena tidak
mendegaradasi bradikinin.
d. OBAT PEREDUKSI LEMAK DARAH
Penggunaan obat-obat penurun kolesterol
Jika ketiga upaya di atas gagal mengendalikan kadar
kolesterol, dapat dipertimbangkan pemberian obat-obatan penurun
kolesterol.
Menurut NCEP ATP III (2002), obat-obat yang dianjurkan
dalam terapi hiperkolesterolemia terdiri atas tiga golongan utama :
1 HMG CoA reductase inhibitors (golongan statin).
Obat golongan statin saat ini menjadi pilihan utama (first line drug) bagi
pengobatan hiperkolesterolemia karena sifatnya yang mampu menekan kadar LDL.
39
Cara kerjanya adalah dengan menghambat enzim HMG CoA reduktase; enzim utama
dalam biosintesis kolesterol dan LDL. Inhibisi sintesis kolesterol, terutama di hati,
akan menurunkan kolesterol intrasel dan meningkatan kebutuhan kolesterok ekstrasel
(eksogen). Kebutuhan ini diatasi dengan peningkatan uptake LDL yang kaya akan
kolesterol. Dengan demikian kadar LDL dalam plasma menurun. Inhibisi sintesis
kolesterol, terutama di hati, akan menurunkan kolesterol intrasel dan meningkatan
kebutuhan kolesterok ekstrasel (eksogen). Kebutuhan ini diatasi dengan peningkatan
uptake LDL yang kaya akan kolesterol. Dengan demikian kadar LDL dalam plasma
menurun.Efek sampingnya yang utama adalah gangguan pada otot, namun kondisi ini
umumnya baru ditemukan pada konsumsi statin dalam dosis tinggi.21
2. Bile acid sequestrants (pengikat asam empedu atau penghambat
absorpsi lemak)
Sebagai contoh, ialah kolestipol. Kolestipol dari golongan resin pengikat
asam empedu (2 ion-exchange resin), bekerja dengan mengikat asam empedu
yang mengandung banyak kolesterol dan dikeluarkan lewat tinja. Disamping itu
ternyata obat-obat ini juga meningkatkan jumlah reseptor LDL hingga uptake LDL
oleh sel-sel hati (internalisasi) menjadi lebih baik. Jadi dengan demikian lebih
banyak LDL yang mengalami internalisasi di dalam hepatosit dengan akibat kadar
LDL di dalam plasma akan turun, menurunkan LDL sekitar 15-30% dan
meningkatkan HDL 3-5%, dengan dosis 5-30 gr perhari dalam dosis tunggal atau 2
dosis terbagi, ditelan sebagai larutan dalam sari buah untuk mengurangi rasa dan
iritasi yang mengganggu dan pemberian 1 jam setelah pemberian obat-obatan lain
untuk mengurangi gangguan absorbsi obat tersebut. Efek samping penggunaan
kolestipol paling sering adalah konstipasi dan akan berkurang setelah beberapa
waktu dan dapat dikurangi dengan makan makanan berserat. Begitu juga kolestipol
akan menyebabkan warna tinja seperti dempul karena obat tersebut menghambat
absorbsi lemak.22 Biasanya digunakan bersama statin, akan tetapi obat ini, memiliki
kontraindikasi pada pasien dengan peningkatan kadar trigliserida sebagai gejala utama
(buku farmakologi). Hal ini disebabkan obat ini memiliki kecenderungan menaikkan
kadar trigliserida. Di samping itu pula obat ini dapat menimbulkan efek samping
gangguan saluran cerna. Cara kerja obat ini adalah mengikat asam empedu menjadi
tidak aktif, sehingga kolesterol lebih banyak digunakan untuk membuat asam empedu
baru.
3 Asam nikotinat (Niasin)
Asam nikotinat dapat mempengaruhi semua jenis lipoprotein; baik LDL, HDL,
maupun trigliserida. Cara kerja obat ini ialah, menurunkan uptake asam lemak bebas
40
oleh hati dan menurunkan sintesis VLDL. Selain itu, kilomikron dan VLDL dari
plasma meningkat. Mekanisme pada manusia belum jelas, akan tetapi pada tikus
diketahui dapat meningkatkan aktivitas lipoprotein lipase. Peningkatan katabolisme
VLDL, mengakibatkan penurunan LDL dan peningkatan HDL yang mengandung
ApoA. Juga terjadi inhibisi pelepasan asam lemak bebas dari cadangan lemak
jaringan. Niasin biasa dikombinasi dengan resin, dapat menurunkan LDL sebesar 60-
70%.17 Obat ini paling efektif untuk meningkatkan kadar HDL dibanding ketiga
golongan lainnya. Cara kerjanya dengan menghambat sintesis lipoprotein secara
umum dan menghambat sekresi VLDL dari hati. Efek samping umumnya berupa kulit
yang memerah, gangguan saluran cerna, dan meningkatnya kadar gula darah.
Pada tahap awal penggunaan obat, berikan terlebih dahulu statin, atau bile-acid
sequestrzant, atau asam nikotinat kemudian kontrol kadar kolesterol setiap 6 bulan. 14
Gambar 5. Skema pengobatan hiperkolesterolemia14
Seseorang dengan kadar kolesterol LDL ≥ 130 mg/dl biasanya
memerlukan obat penurun kadar kolesterol LDL agar mencapai
kadar kolesterol LDL mencapai < 100 mg/dl. Selain itu obat tersebut
harus dimulai secara bersama-sama dengan therapeutic lifestyle
changes (TLC) dan mengendalikan faktor resiko. Jika kolesterol LDL
turun hingga 100-129 mg/dl setelah diterapi dengan obat penurun
kadar kolesterol LDL, dapat dilakukan beberapa pilihan terapi
lanjutan tergantung keadaan.
- Penurunan kadar LDL bisa diintensifkan dengan terapi diet agar
mencapai kadar kolesterol LDL <100 mg/dl
- Penurunan kadar LDL bisa diintensifkan dengan pemberian terapi
obat-obatan agar mencapai kadar kolesterol LDL <100 mg/dl
- Jika pada saat terapi kadar kolesterol LDL mendekati tujuan dari
terapi, terapi bias dilanjutkan dan tidak perlu diganti
- Jika terdapat sindroma metabolik, terapi diet diintensifkan dengan cara
melakukan pengurangan penambahan berat badan dan peningkatan aktivitas
41
- Jika kadar trigliserida meningkat dan kadar HDL rendah, bias
dipertimbangkan menggunakan obat penurun kolesterol lain untuk dikombinasikan
dengan obat penurun kadar kolesterol LDL 14
e. INTERAKSI OBAT DENGAN OBAT
Interaksi obat adalah perubahan efek suatu obat akibat pemakaian obat lain
(interaksi obat-obat) atau oleh makanan, obat tradisional dan senyawa kimia lain.
Interaksi obat yang signifikan dapat terjadi jika dua atau lebih obat digunakan
bersama-sama.
Interaksi obat dan efek samping obat perlu mendapat perhatian. Sebuah studi
di Amerika menunjukkan bahwa setiap tahun hampir 100.000 orang harus masuk
rumah sakit atau harus tinggal di rumah sakit lebih lama dari pada seharusnya, bahkan
hingga terjadi kasus kematian karena interaksi dan/atau efek samping obat. Pasien
yang dirawat di rumah sakit sering mendapat terapi dengan polifarmasi (6-10 macam
obat) karena sebagai subjek untuk lebih dari satu dokter, sehingga sangat mungkin
terjadi interaksi obat terutama yang dipengaruhi tingkat keparahan penyakit atau usia.
Interaksi obat secara klinis penting bila berakibat peningkatan toksisitas
dan/atau pengurangan efektivitas obat. Jadi perlu diperhatikan terutama bila
menyangkut obat dengan batas keamanan yang sempit (indeks terapi yang rendah),
misalnya glikosida jantung, antikoagulan dan obat-obat sitostatik. Selain itu juga perlu
diperhatikan obat-obat yang biasa digunakan bersama-sama.
Kejadian interaksi obat dalam klinis sukar diperkirakan karena :
a. dokumentasinya masih sangat kurang
b. seringkali lolos dari pengamatan, karena kurangnya pengetahuan akan
mekanisme dan kemungkinan terjadi interaksi obat. Hal ini mengakibatkan interaksi
obat berupa peningkatan toksisitas dianggap sebagai reaksi idiosinkrasi terhadap salah
satu obat, sedangkan interaksi berupa penurunakn efektivitas dianggap diakibatkan
bertambah parahnya penyakit pasien
c. kejadian atau keparahan interaksi obat dipengaruhi oleh variasi individual,
di mana populasi tertentu lebih peka misalnya pasien geriatric atau berpenyakit parah,
dan bisa juga karena perbedaan kapasitas metabolisme antar individu. Selain itu faktor
penyakit tertentu terutama gagal ginjal atau penyakit hati yang parah dan faktor-faktor
lain (dosis besar, obat ditelan bersama-sama, pemberian kronik).
Mekanisme Interaksi Obat
42
Interaksi diklasifikasikan berdasarkan keterlibatan dalam proses
farmakokinetik maupun farmakodinamik. Interaksi farmakokinetik ditandai dengan
perubahan kadar plasma obat, area di bawah kurva (AUC), onset aksi, waktu paro dsb.
Interaksi farmakokinetik diakibatkan oleh perubahan laju atau tingkat absorpsi,
distribusi, metabolisme dan ekskresi. Interaksi farmakodinamik biasanya dihubungkan
dengan kemampuan suatu obat untuk mengubah efek obat lain tanpa mengubah sifat-
sifat farmakokinetiknya. Interaksi farmakodinamik meliputi aditif (efek obat A =1,
efek obat B = 1, efek kombinasi keduanya = 2), potensiasi (efek A = 0, efek B = 1,
efek kombinasi A+B = 2), sinergisme (efek A = 1, efek B = 1, efek kombinasi A+B =
3) dan antagonisme (efek A = 1, efek B = 1, efek kombinasi A+B = 0). Mekanisme
yang terlibat dalam interaksi farmakodinamik adalah perubahan efek pada jaringan
atau reseptor.
Interaksi farmakokinetik
1. Absorpsi
Obat-obat yang digunakan secara oral bisaanya diserap dari saluran cerna ke
dalam sistem sirkulasi. Ada banyak kemungkinan terjadi interaksi selama obat
melewati saluran cerna. Absorpsi obat dapat terjadi melalui transport pasif maupun
aktif, di mana sebagian besar obat diabsorpsi secara pasif. Proses ini melibatkan difusi
obat dari daerah dengan kadar tinggi ke daerah dengan kadar obat yang lebih rendah.
Pada transport aktif terjadi perpindahan obat melawan gradien konsentrasi (contohnya
ion-ion dan molekul yang larut air) dan proses ini membutuhkan energi. Absorpsi obat
secara transport aktif lebih cepat dari pada secara tansport pasif. Obat dalam bentuk
tak-terion larut lemak dan mudah berdifusi melewati membran sel, sedangkan obat
dalam bentuk terion tidak larut lemak dan tidak dapat berdifusi. Di bawah kondisi
fisiologi normal absorpsinya agak tertunda tetapi tingkat absorpsinya biasanya
sempurna.
Bila kecepatan absorpsi berubah, interaksi obat secara signifikan akan lebih
mudah terjadi, terutama obat dengan waktu paro yang pendek atau bila dibutuhkan
kadar puncak plasma yang cepat untuk mendapatkan efek. Mekanisme interaksi akibat
gangguan absorpsi antara lain :
a. Interaksi langsung
Interaksi secara fisik/kimiawi antar obat dalam lumen saluran cerna sebelum
absorpsi dapat mengganggu proses absorpsi. Interaksi ini dapat dihindarkan atau
sangat dikuangi bila obat yang berinteraksi diberikan dalam jangka waktu minimal 2
jam.
43
b. perubahan pH saluran cerna
Cairan saluran cerna yang alkalis, misalnya akibat adanya antasid, akan
meningkatkan kelarutan obat yang bersifat asam yang sukar larut dalam saluran cerna,
misalnya aspirin. Dengan demikian dipercepatnya disolusi aspirin oleh basa akan
mempercepat absorpsinya. Akan tetapi, suasana alkalis di saluran cerna akan
mengurangi kelarutan beberapa obat yang bersifat basa (misalnya tetrasiklin) dalam
cairan saluran cerna, sehingga mengurangi absorpsinya. Berkurangnya keasaman
lambung oleh antasida akan mengurangi pengrusakan obat yang tidak tahan asam
sehingga meningkatkan bioavailabilitasnya.
Ketokonazol yang diminum per oral membutuhkan medium asam untuk
melarutkan sejumlah yang dibutuhkan sehingga tidak memungkinkan diberikan
bersama antasida, obat antikolinergik, penghambatan H2, atau inhibitor pompa proton
(misalnya omeprazol). Jika memang dibutuhkan, sebaiknya abat-obat ini diberikan
sedikitnya 2 jam setelah pemberian ketokonazol.
c. pembentukan senyawa kompleks tak larut atau khelat, dan adsorsi
Interaksi antara antibiotik golongan fluorokinolon (siprofloksasin, enoksasin,
levofloksasin, lomefloksasin, norfloksasin, ofloksasin dan sparfloksasin) dan ion-ion
divalent dan trivalent (misalnya ion Ca2+ , Mg2+ dan Al3+ dari antasida dan obat lain)
dapat menyebabkan penurunan yang signifikan dari absorpsi saluran cerna,
bioavailabilitas dan efek terapetik, karena terbentuknya senyawa kompleks. Interaksi
ini juga sangat menurunkan aktivitas antibiotik fluorokuinolon. Efek interaksi ini
dapat secara signifikan dikurangi dengan memberikan antasida beberapa jam sebelum
atau setelah pemberian fluorokuinolon. Jika antasida benar-benar dibutuhkan,
penyesuaian terapi, misalnya penggantian dengan obat-pbat antagonis reseptor H2 atau
inhibitor pompa proton dapat dilakukan.
Beberapa obat antidiare (yang mengandung atapulgit) menjerap obat-obat lain,
sehingga menurunkan absorpsi. Walaupun belum ada riset ilmiah, sebaiknya interval
pemakaian obat ini dengan obat lain selama mungkin.
d. obat menjadi terikat pada sekuestran asam empedu (BAS : bile acid
sequestrant)
Kolestiramin dan kolestipol dapat berikatan dengan asam empedu dan
mencegah reabsorpsinya, akibatnya dapat terjadi ikatan dengan obat-obat lain
terutama yang bersifat asam (misalnya warfarin). Sebaiknya interval pemakaian
kolestiramin atau kolestipol dengan obat lain selama mungkin (minimal 4 jam).
44
e. perubahan fungsi saluran cerna (percepatan atau lambatnya pengosongan
lambung, perubahan vaksularitas atau permeabilitas mukosa saluran cerna, atau
kerusakan mukosa dinding usus).
2. Distribusi
Setelah obat diabsorpsi ke dalam sistem sirkulasi, obat di bawa ke tempat kerja
di mana obat akan bereaksi dengan berbagai jaringan tubuh dan atau reseptor. Selama
berada di aliran darah, obat dapat terikat pada berbagai komponen darah terutama
protein albumin. Obat-obat larut lemak mempunyai afinitas yang tinggi pada jaringan
adiposa, sehingga obat-obat dapat tersimpan di jaringan adiposa ini. Rendahnya aliran
darah ke jaringan lemak mengakibatkan jaringan ini menjadi depot untuk obat-obat
larut lemak. Hal ini memperpanjang efek obat. Obat-obat yang sangat larut lemak
misalnya golongan fenotiazin, benzodiazepin dan barbiturat.
Sejumlah obat yang bersifat asam mempunyai afinitas terhadap protein darah
terutama albumin. Obat-obat yang bersifat basa mempunyai afinitas untuk berikatan
dengan asam-α-glikoprotein. Ikatan protein plasma (PPB : plasma protein binding)
dinyatakan sebagai persen yang menunjukkan persen obat yang terikat. Obat yang
terikat albumin secara farmakologi tidak aktif, sedangkan obat yang tidak terikat,
biasa disebut fraksi bebas, aktif secara farmakologi. Bila dua atau lebih obat yang
sangat terikat protein digunakan bersama-sasam, terjadi kompetisi pengikatan pada
tempat yang sama, yang mengakibatkan terjadi penggeseran salah satu obat dari
ikatan dengan protein, dan akhirnya terjadi peninggatan kadar obat bebas dalam
darah. Bila satu obat tergeser dari ikatannya dengan protein oleh obat lain, akan
terjadi peningkatan kadar obat bebas yang terdistribusi melewati berbagai jaringan.
Pada pasien dengan hipoalbuminemia kadar obat bebas atau bentuk aktif akan lebih
tinggi.
Asam valproat dilaporkan menggeser fenitoin dari ikatannya dengan protein
dan juga menghambat metabolisme fenitoin. Jika pasien mengkonsumsi kedua obat
ini, kadar fenitoin tak terikat akan meningkat secara signifikan, menyebabkan efek
samping yang lebih besar. Sebaliknya, fenitoin dapat menurunkan kadar plasma asam
valproat. Terapi kombinasi kedua obat ini harus dimonitor dengan ketat serta
dilakukan penyesuaian dosis.
Obat-obat yang cenderung berinteraksi pada proses distribusi adalah obat-obat
yang :
a. persen terikat protein tinggi ( lebih dari 90%)
b. terikat pada jaringan
c. mempunyai volume distribusi yang kecil
45
d. mempunyai rasio eksresi hepatic yang rendah
e. mempunyai rentang terapetik yang sempit
f. mempunyai onset aksi yang cepat
g. digunakan secara intravena.
Obat-obat yang mempunyai kemampuan tinggi untuk menggeser obat lain dari
ikatan dengan protein adalah asam salisilat, fenilbutazon, sulfonamid dan anti-
inflamasi nonsteroid.
3. Metabolisme
Untuk menghasilkan efek sistemik dalam tubuh, obat harus mencapai reseptor,
berarti obat harus dapat melewati membran plasma. Untuk itu obat harus larut lemak.
Metabolisme dapat mengubah senyawa aktif yang larut lemak menjadi senyawa larut
air yang tidak aktif, yang nantinya akan diekskresi terutama melalui ginjal. Obat dapat
melewati dua fase metabolisme, yaitu metabolisme fase I dan II. Pada metabolisme
fase I, terjadi oksidasi, demetilasi, hidrolisa, dsb. oleh enzim mikrosomal hati yang
berada di endothelium, menghasilkan metabolit obat yang lebih larut dalam air. Pada
metabolisme fase II, obat bereaksi dengan molekul yang larut air (misalnya asam
glukuronat, sulfat, dsb) menjadi metabolit yang tidak atau kurang aktif, yang larut
dalam air. Suatu senyawa dapat melewati satu atau kedua fasemetabolisme di atas
hingga tercapai bentuk yang larut dalam air. Sebagian besar interaksi obat yang
signifikan secara klinis terjadi akibat metabolisme fase I dari pada fase II.
a. Peningkatan metabolisme
Beberapa obat bisa meningkatkan aktivitas enzim hepatik yang terlibat dalam
metabolisme obat-obat lain. Misalnya fenobarbital meningkatkan metabolisme
warfarin sehingga menurunkan aktivitas antikoagulannya. Pada kasus ini dosis
warfarin harus ditingkatkan, tapi setelah pemakaian fenobarbital dihentikan dosis
warfarin harus diturunkan untuk menghindari potensi toksisitas. Sebagai alternative
dapat digunakan sedative selain barbiturate, misalnya golongan benzodiazepine.
Fenobarbital juga meningkatkan metabolisme obat-obat lain seperti hormone steroid.
Barbiturat lain dan obat-obat seperti karbamazepin, fenitoin dan rifampisin
juga menyebabkan induksi enzim.
Piridoksin mempercepat dekarboksilasi levodopa menjadi metabolit aktifnya,
dopamine, dalam jaringan perifer. Tidak seperti levodopa, dopamine tidak dapat
melintasi sawar darah otak untuk memberikan efek antiparkinson. Pemberian
karbidopa (suatu penghambat dekarboksilasi) bersama dengan levodopa, dapat
mencegah gangguan aktivitas levodopa oleh piridoksin,
b. Penghambatan metabolisme
46
Suatu obat dapat juga menghambat metabolisme obat lain, dengan dampak
memperpanjang atau meningkatkan aksi obat yang dipengaruhi. Sebagai contoh,
alopurinol mengurangi produksi asam urat melalui penghambatan enzim ksantin
oksidase, yang memetabolisme beberapa obat yang potensial toksis seperti
merkaptopurin dan azatioprin. Penghambatan ksantin oksidase dapat secara bermakna
meningkatkan efek obat-obat ini. Sehingga jika dipakai bersama alopurinol, dosis
merkaptopurin atau azatioprin harus dikurangi hingga 1/3 atau ¼ dosis biasanya.
Simetidin menghambat jalur metabolisme oksidatif dan dapat meningkatkan
aksi obat-obat yang dimetabolisme melalui jalur ini (contohnya karbamazepin,
fenitoin, teofilin, warfarin dan sebagian besar benzodiazepine). Simetidin tidak
mempengaruhi aksi benzodiazein lorazepam, oksazepam dan temazepam, yang
mengalami konjugasi glukuronida. Ranitidin mempunyai efek terhadap enzim
oksidatif lebih rendah dari pada simetidin, sedangkan famotidin dan nizatidin tidak
mempengaruhi jalur metabolisme oksidatif.
Eritromisin dilaporkan menghambat metabolisme hepatik beberapa obat
seperti karbamazepin dan teofilin sehingga meningkatkan efeknya. Obat golongan
fluorokuinolon seperti siprofloksasin juga meningkatkan aktivitas teofilin, diduga
melalui mekanisme yang sama.
4. Ekskresi
Kecuali obat-obat anestetik inhalasi, sebagian besar obat diekskresi lewat
empedu atau urin. Darah yang memasuki ginjal sepanjang arteri renal, mula-mula
dikirim ke glomeruli tubulus, dimana molekul-molekul kecil yang cukup melewati
membran glomerular (air, garam dan beberapa obat tertentu) disaring ke tubulus.
Molekul-molekul yang besar seperti protein plasma dan sel darah ditahan. Aliran
darah kemudian melewati bagian lain dari tubulus ginjal dimana transport aktif yang
dapat memindahkan obat dan metabolitnya dari darah ke filtrat tubulus. Sel tubulus
kemudian melakukan transport aktif maupun pasif (melalui difusi) untuk
mereabsorpsi obat. Interaksi bis terjadi karena perubahan ekskresi aktif tubuli ginjal,
perubahan pH dan perubahan aliran darah ginjal.
a. Perubahan ekskresi aktif tubuli ginjal
b. perubahan pH urin
c. Perubahan aliran darah ginjal
f. INTERAKSI OBAT DENGAN MAKANAN
Makanan dapat menurunkan atau meningkatkan efek obat. Interaksi
antara obat dan makanan dapat terjadi ketika makanan yang kita
47
makan mempengaruhi obat yang sedang kita gunakan. Untuk
menghindari terjadinya interaksi antara obat dan makanan, bukan
berarti penggunaan obat dan makanan dalam waktu yang
bersamaan tidak dapat dilakukan melainkan perlu pengaturan
waktu minum obat dan makanan yang tepat. Hal-hal yang dapat
mempengaruhi besar kecilnya interaksi obat pada seseorang
:
1. Usia
2. Berat Badan
3. Jenis Kelamin
4. Kondisi Pengobatan
5. Dosis Obat
6. Obat lain yang diterima
7. Vitamin, Herbal, suplemen serat yang sedang digunakan
Akibat interaksi obat dan makanan
1. Dapat menghambat kerja obat
2. Muncul efek samping obat yang merugikan atau menguntungkan
3. Muncul Efek samping baru.
Beberapa contoh Interaksi obat dan makanan (IM) dan
perhatian waktu minum obat yang tepat (T) :
Alendronic Acid (Alovell) :
(IM) : Makanan dapat menyebabkan terbentuknya ikatan kompleks
yang susah diabsorpsi.
(T) : Obat diminum pada saat perut kosong, minimal 30 menit
sebelum makan dan dalam posisi duduk tegak selama minimal 30
menit. Hindari pemberian obat bersama makanan dan susu.
Ampicillin (Viccillin) :
(IM) : Makanan dapat memperlambat absorpsi obat
(T) : Ampicillin diminum pada saat perut kosong, 1 jam sebelum
atau 2 jam sesudah makan.
Antikoagulan, contoh Warfarin (Simarc-2) :
(IM) : Makanan yang banyak mengandung vitamin K dapat
menurunkan efektifitas dari Warfarin.48
(T) : Obat tidak boleh diminum bersama dengan makanan yang
banyak mengandung Vitamin K, seperti brokoli, bayam dan rebung
(bambu muda).
Bisacodyl (Dulcolax) :
(IM) : Makanan yang mengandung susu dapat melarutkan
lapisan/salut gula, tablet bisacodyl dilapisi oleh salut enterik yang
bertujuan untuk mencegah obat mengiritasi lambung.
(T) : Obat diminum pada saat perut kosong. Setelah minum obat,
dalam waktu 1 jam tidak boleh makan makanan atau minuman yang
mengandung susu.
Captopril (Capoten, Captesin) :
(IM) : Makanan dapat menurunkan absorpsi Captopril sekitar 42%-
56%.
(T) : Obat diminum pada saat perut kosong, 1 jam sebelum atau 2
jam sesudah makan. Captopril dapat meningkatkan Kalium. Hindari
makanan yang mengandung tinggi Kalium, seperti : Pisang, Jeruk,
dan sayuran hijau. Peningkatan Kalium didalam tubuh dapat
menyebabkan kecepatan denyut jantung menjadi tidak teratur.
Ciprofloxacin (Ciproxin) :
(IM) : Makanan yang mengandung kalsium dapat menyebabkan
terbentuknya ikatan kompleks yang susah di absorpsi.
(T) : Obat tidak boleh diminum bersama makanan yang banyak
mengandung kalsium, contoh : susu, yogurt
Cisapride (Guaporside, Predisia-5) :
(IM) : Makanan dapat meningkatkan jumlah obat yang diabsorpsi
tetapi tidak meningkatkan kecepatan absopsi obat.
(T) : Cisapride diminum pada saat perut kosong atau diminum 15
menit sebelum makan.
Isosorbide dinitrate (Farsorbid, Cedocard) :
(IM) : Makanan dapat menurunkan absopsi obat
49
(T) : Isosorbide dinitrate diminum pada saat perut kosong, 1 jam
sebelum atau 2 jam sesudah makan.
Omeprazole (Losec, OMZ) :
(IM) : Makanan dapat menghambat absopsi Omeprazole
(T) : Obat diminum sebelum makan
Propranolol (Inderal) :
(IM) : Makanan yang banyak mengandung protein dapat
meningkatkan jumlah obat di dalam darah.
(T) : Propranolol diminum pada saat perut kosong. Hindari makanan
yang banyak mengandung protein seperti putih telur.
Perindopril (Bioprexum) :
(IM) : Makanan dapat menurunkan perindoprilat (bahan aktif obat)
sekitar 43%
(T) : Perindopril diminum pada saat perut kosong.
Rifampicin (Rifamtibi, Rimactane) :
(IM) : Makanan dapat menghambat absopsi obat
(T) : Rifampicin diminum 1 jam sebelum atau 2 jam sesudah
makan
Sucralfat (Inpepsa) :
(IM) : Makanan dapat menurunkan efek obat
(T) : Obat diminum pada saat perut kosong, 1 jam sebelum atau 2
jam sesudah makan atau pada malam sebelum tidur
Tetracycline (Tetrin) :
(IM) : Makanan dapat menurunkan absopsi obat sekitar 46%. Produk
susu dapat menyebabkan terbentuknya ikatan kompleks yang susah
diabsopsi sehingga menurunkan absopsi obat sekitar 20-75%.
(T) : Obat diminum 1 jam sebelum atau 2 jam sesudah makan.
Hindari penggunaan Tetracycline bersama dengan makanan atau
produk susu.
50
Theophylline (Theobron) :
(IM) : Absopsi obat meningkat apabila diminum bersama makanan
yang mengandung tinggi lemak. Hal ini dapat beresiko
toksik/berbahaya di dalam tubuh.
(T) : Hindari minum obat bersama makanan yang mengandung
lemak tinggi
Meskipun tidak semua obat dipengaruhi atau dapat berinteraksi
dengan makanan, sangatlah penting untuk memperhatikan aturan
minum dari setiap obat yang digunakan agar tujuan penggunaan
obat dapat tercapai secara maksimal.
Hal-hal yang perlu dilakukan untuk menghindari terjadinya
Interaksi obat dan makanan:
1. Jagalah obat tetap berada di dalam wadah / tempat aslinya
sehingga memudahkan untuk mendapatkan informasi mengenai
obat pada label obat.
2. Bacalah label obat dengan teliti, apabila kurang memahami dapat
ditanyakan kepada apoteker atau dokter
3. Baca aturan pakai, perhatian dan peringatan interaksi obat yang
tercantum dalam label dan wadah obat.
4. Sebaiknya minum obat dengan segelas air putih
5. Tanyakan kepada apoteker atau dokter mengenai informasi
tentang makanan, minuman dan suplemen serta yang harus
dihindari ketika meminum obat.
7. KESIMPULAN
Seorang lelaki gendut (mild obesity), berusia 35 tahun,
mengalami disfungsi ereksi (DE) diakibatkan oleh konsumsi obat
atenolol, furosemide, dan statin. Selain itu, pasien memang sudah
lama mengidap hipertensi dan memiliki pola hidup konsumsi yang
buruk, yang berpengaruh penting pada disfungsi ereksi.
51
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. Disfungsi Ereksi Pada Pria. Available from:
http://www.klikdokter.com/
sexandrologi/read/2010/07/05/14/disfungsi-ereksi-pada-pria.
[Accessed 6 December 2012].
52
Anonim. Erectile Dysfunction: Overview and Risk Factors. Available from:
http://www.nutritionmd.org/consumers/renal/erectile.html. [Accessed 6December
2012].
Anonim. Prognosis Disfungsi Ereksi. Available from:
http://www.healthcentral.com/erectile-dysfunction/risks-000015_5-
145.html. [Accessed 6 December 2012].
Anurogo, Dito. Referensi Lengkap Disfungsi Ereksi (Bagian II). Available
from: http://www.kabarindonesia.com/berita.php?
pil=3&jd=Referensi+Lengkap+Disfungsi+Ereksi+
(Bagian+II)&dn=20080223174715. [Accessed 6 December 2012].
Basha, Adnil. 1994. Jurnal Kardiologi Indonesia/vol XVII No. 2, April-Juni. Staff Kardiologi
FKUI: Jakarta.
Bella, Anthony J. dan Tom F. Lue. Male Sexual Dysfunction. Emil A.
Tanagho dan Jack W. Aninch. Smith’s General Urology. United
Stated of America : Lange. 589-608.
Dorland,W.A.Newman.Erection.Lia Astika Sari,A.Md dan Sonta
F.Manalu,A.Md.Kamus Kedokteran Dorland edisi
29.Jakarta:EGC.758.
Fanani, M. Stress dan Disfungsi Seksual. Available from:
http://psks.lppm.uns.ac.id/ 2010/02/25/makalah-3/. [Accessed 6
December 2012].
Fauci, dkk. 2008. Harrison’s internal medicine. Pdf
Fazio, Luke dan Gerald Brock. Erectile dysfunction: management update.
Available from: JAMC • 27 AVR. 2004; 170 (9).
Gormer, Beth. 2007. Hypertension Pharmacology. (diterjemahkan oleh Diana Lyrawati,
2008)
Lie T Merijanti Susanto. Sildenafil dalam penatalaksanaan disfungsi ereksi. Pdf
Mac Vary, Kevin T. Erectile Dysfunction. Available from: n engl j med
357;24 www.nejm.org 2472 december 13, 2007. [Accessed 6
December 2012].
Setiadji, V. Sutarmo. Hemodinamika Ereksi, Neuroanatomi dan
Neurofisiologi Ereksi. Neurofisiologi Ereksi. Jakarta: Penerbit
Universitas Indonesia.13-15.16.
53
Siwi, Yuli Ratika. Penggunaan Sildenafil pada Pasien Disfungsi Ereksi
(Impotensi). Available from:
http://yosefw.files.wordpress.com/2007/12/silde1.pdf. [Accessed 6
December 2012].
Watts, Gerald F., Kew Kim Chew, Bronwyn GA Stuckey. The erectile–
endothelial dysfunction nexus: new opportunities for cardiovascular
risk prevention. Available from:
www.nature.com/clinicalpractice/cardio.
54