asuhan keperawatan klien dengan bell palsy

24
ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN BELL’S PALSY A. DESKRIPSI Nervus fasialis atau saraf kranial VII sebenarnya adalah saraf motorik, tetapi dalam perjalanannya ke tepi, nervus intermedius menggabungkan diri pada nervus ini. Nervus intemedius itu tersusun oleh serabut sekretomotorik untuk glandula salivatorius dan serabut sensorik khusus yang menghantarkan impuls pengecapan dari 2/3 bagian depan lidahke nukleus traktus solitarius Walaupun nervus fasialis hanya memiliki inti motorik, berkas serabut saraf yang dikenal sebagai nervus fasialis diikuti oleh serabut aferen somatosensorik, serabut aferen viserosensorik, dan serabut eferen viseromotorik. Oleh karena itu, manifestasi lesi yang merusak nervus fasialis bersifat motorik dan sensorik khusus. Kawasan motorik nervus fasialis adalah wajah. Bagian tubuh ini merupakan bagian penting dan menonjol sekalipada wajah. Asimetri yang timbul akibat kelumpuhan salah satu otot wajah mencolok sekali, sehingga pada observasiselayang pandang saja sudah dapat diketahui. Namun demikian, kesan yang diperoleh dengan inspeksi saja bukan merupakan tanda pasti, terutama jika asimetri wajah sebagai gejala sisa hemiparalisis fasialis lama ialah infeksi streptokokus mukosus oleh karena kuman tersebut mudah dan cepat menimbulkan perusakan di tulang-tulang yang berada di kavum timpani. Pada otitis media akut membran timpani 1

Upload: sarii

Post on 28-Nov-2015

76 views

Category:

Documents


11 download

DESCRIPTION

ASKEP DENGAN KASUS PASIEN BELS PALSY

TRANSCRIPT

Page 1: Asuhan Keperawatan Klien Dengan Bell Palsy

ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN BELL’S PALSY

A. DESKRIPSI

Nervus fasialis atau saraf kranial VII sebenarnya adalah saraf motorik, tetapi dalam

perjalanannya ke tepi, nervus intermedius menggabungkan diri pada nervus ini. Nervus

intemedius itu tersusun oleh serabut sekretomotorik untuk glandula salivatorius dan serabut

sensorik khusus yang menghantarkan impuls pengecapan dari 2/3 bagian depan lidahke

nukleus traktus solitarius

Walaupun nervus fasialis hanya memiliki inti motorik, berkas serabut saraf yang

dikenal sebagai nervus fasialis diikuti oleh serabut aferen somatosensorik, serabut aferen

viserosensorik, dan serabut eferen viseromotorik. Oleh karena itu, manifestasi lesi yang

merusak nervus fasialis bersifat motorik dan sensorik khusus. Kawasan motorik nervus

fasialis adalah wajah. Bagian tubuh ini merupakan bagian penting dan menonjol sekalipada

wajah. Asimetri yang timbul akibat kelumpuhan salah satu otot wajah mencolok sekali,

sehingga pada observasiselayang pandang saja sudah dapat diketahui. Namun demikian,

kesan yang diperoleh dengan inspeksi saja bukan merupakan tanda pasti, terutama jika

asimetri wajah sebagai gejala sisa hemiparalisis fasialis lama ialah infeksi streptokokus

mukosus oleh karena kuman tersebut mudah dan cepat menimbulkan perusakan di tulang-

tulang yang berada di kavum timpani. Pada otitis media akut membran timpani

memperlihatkan tanda-tanda imflamasi tanpa perforasi dan karena itu sekresi tertimbun di

kavum timpani. Dalam keadaan itu, proses infeksi dapat melibatkan perios dan kemudian

menimbulkan pengrusakan tulang. Bila dilakukan paresentesis, cairan berdarah encer yang

meredakan/menghilangkan nyeri di dalam telinga, dapat dikeluarkan

Otitis media akut yang disebabkan kuman-kuman non-streptokokus mukosus pada

umumnya jarang menimbulkan komplikasi paresis fasialis. Namun demikian, otitis media

akut dapat berkembang menjadi otitis media kronis atau mastoiditis. Jika setelah diadakan

evakuasi sekresi dari kavum timpani masih terdapat demam dan nyeri tekan di tulang

mastoideus, kendatipun antibiotik diberikan, maka mastoiditis harus dicurigai. Melalui atrum,

proses radang berpindah dari kavum timpani ke mastoid yang mempunyai banyak

pneumatisasi, sehingga pengrusakan tulang mudah dan cepat terjadi. Melalui dinding kanalis

1

Page 2: Asuhan Keperawatan Klien Dengan Bell Palsy

fasialis yang ikut rusak oleh proses mastoiditis, nervus fasialis mengalami gangguan dan

timbullah paresis fasialis

Ganglion genikuli dapat terkena infeksi herpes zoster. Saraf fasialis dan olfaktorius

dapat terlibat dalam infeksi tersebut. Gambaran penyakit dikuasai diseluruhnya oleh adanya

gelembung herpes di daun telinga. Beberapa hari setelah vesikel-vesikel tersebut timbul,

tanda-tanda paresis fasialis perifer dan tinitus serta tuli perseptif dapat dijumpai pada sisi

ipsilateral juga.

Saraf otak yang paling sering jejas atau putus karena trauma kapitis ialah saraf

olfaktorius. Nomor dua dalm urutan ialah saraf fasialis. Lesi traumatik tersebut hampir

selamanya mengenai kanalis fasialis, yaitu fraktur os temporal, yang tidak selalu dapat

diperlihatkan oleh foto rongent. Perdarahan dan liquor mengiringi paresis fasialis perifer

treumatik. Dengan jalan auroskopi dapat disaksikan adanya hematotimpani dengan/tanpa

tersobeknya membran timpani.

Pada leukimia, paresis fasialis biasanya timbul setelah orang sakit megeluh tentang

lesu-letih dan demam yang bersifat hilang timbul dengan masa bebas demam selama

beberapa minggu. Gejala-gejala awal tersebut sering berlangsung lama sebelum leukimia

diketahui. Baru setelah pemeriksaan darah dilakukan leukimia akan dikenal. Gajela-gejala

yang mempercepat dilakukan pemeriksaan darah ialah perdarahan, pembengkakan kelenjar-

kelenjar limfa dan splenohepatomegalia. Infiltrasi dan perdarahan dapat terjadi susunan saraf

dan tulang tengkorak.

Pada karsinoma nasofaring, paresis fasialis jarang menjadi manifestasi awal karena

lokasinya, karsinoma nasofaring menimbulkan sindrom penyumbatan tuba dengan tuli

konduktif sebagai keluhan, peluasan infiltratif karsinoma nasofaring berikutnya

membangkitkanperdarah dan penuymbatan jalanlintasan nafas melalui hidung. Stelah itu,

pada tahap berikutnya dapat timbul gangguan menelan dan kelumpuhan otot mata luar

(paralisis okular)

Tumor intrakranial yang paling sering menimbulkan paresis fasialis ialah tumor

disudut serebelopontin, yaitu neurinoma akustikus. Gejala awal tumor tersebut ialah tuli

sesisi yang bersifat tuli perseptif yang hampir selalu disertai tinitus dan gangguan vestibular.

Kemudian timbul getaran akibat gangguan terhadap traktus desendens saraf trigeminus yang

2

Page 3: Asuhan Keperawatan Klien Dengan Bell Palsy

dapat berupa hemihipestesia ipsilateral atau neuralgia trigeminus. Paresis fasialis yang dapat

timbul pada tahap berikutnya jarang bersifat berat. Yang paling sering dijumpai ialah

kombinasi parelis fasialis yang ringan sekali dengan ‘kedutan’ fasialis.

B. ETIOLOGI

Penyebab adalah kelumpuhan n. fasialis perifer. Umumnya dapat dikelompokkan sebagai

berikut:

1. Idiopatik

Sampai sekarang belum diketahui secara pasti penyebabnya yang disebut bell’s palsy. Faktor-

faktor yang diduga berperan menyebabkan Bell’s Palsy antara lain : sesudah bepergian jauh

dengan kendaraan, tidur di tempat terbuka, tidur di lantai, hipertensi, stres,

hiperkolesterolemi, diabetes mellitus, penyakit vaskuler, gangguan imunologik dan faktor

genetic.

2. Kongenital

a. anomali kongenital (sindroma Moebius)

b.   trauma lahir (fraktur tengkorak, perdarahan intrakranial .dll.)

3. Didapat

a. Trauma Penyakit tulang tengkorak (osteomielitis)

b. Proses intrakranial (tumor, radang, perdarahan dll)

c. Proses di leher yang menekan daerah prosesus stilomastoideus)

d. Infeksi tempat lain (otitis media, herpes zoster dll)

C. MANIFESTASI KLINIS

Manifestasi klinik BP khas dengan memperhatikan riwayat penyakit dan gejala

kelumpuhan yang timbul. Pada anak 73% didahului infeksi saluran napas bagian atas yang

erat hubungannya dengan cuaca dingin. Perasaan nyeri, pegal, linu dan rasa tidak enak pada

telinga atau sekitarnya sering merupakan gejala awal yang segera diikuti oleh gejala

kelumpuhan otot wajah berupa :

a. Kelopak mata tidak dapat menutupi bola mata pada sisi yang lumpuh

(lagophthalmos).

b. Gerakan bola mata pada sisi yang lumpuh lambat, disertai bola mata berputar zXke

atas bila memejamkan mata, fenomena ini disebut Bell's sign

3

Page 4: Asuhan Keperawatan Klien Dengan Bell Palsy

c. Sudut mulut tidak dapat diangkat, lipat nasolabialis mendatar pada sisi yang lumpuh

dan mencong ke sisi yang sehat.

D. PATOFISIOLOGI

Para ahli menyebutkan bahwa pada Bell’s palsy terjadi proses inflamasi akut pada

nervus fasialis di daerah tulang temporal, di sekitar foramen stilomastoideus. Bell’s palsy

hampir selalu terjadi secara unilateral. Namun demikian dalam jarak waktu satu minggu

atau lebih dapat terjadi paralysis bilateral. Penyakit ini dapat berulang atau kambuh.

Patofisiologinya belum jelas, tetapi salah satu teori menyebutkan terjadinya proses

inflamasi pada nervus fasialis yang menyebabkan peningkatan diameter nervus fasialis

sehingga terjadi kompresi dari saraf tersebut pada saat melalui tulang temporal.

Perjalanan nervus fasialis keluar dari tulang temporal melalui kanalis fasialis yang

mempunyai bentuk seperti corong yang menyempit pada pintu keluar sebagai foramen

mental. Dengan bentukan kanalis yang unik tersebut, adanya inflamasi, demyelinisasi

atau iskemik dapat menyebabkan gangguan dari konduksi. Impuls motorik yang

dihantarkan oleh nervus fasialis bisa mendapat gangguan di lintasan supranuklear dan

infranuklear. Lesi supranuklear bisa terletak di daerah wajah korteks motorik primer atau

di jaras kortikobulbar ataupun di lintasan asosiasi yang berhubungan dengan daerah

somatotropik wajah di korteks motorik primer. Karena adanya suatu proses yang dikenal

awam sebagai “masuk angin” atau dalam bahasa inggris “cold”. Paparan udara dingin

seperti angin kencang, AC, atau mengemudi dengan kaca jendela yang terbuka diduga

sebagai salah satu penyebab terjadinya Bell’s palsy. Karena itu nervus fasialis bisa

sembab, ia terjepit di dalam foramen stilomastoideus dan menimbulkan kelumpuhan

fasialis LMN. Pada lesi LMN bisa terletak di pons, di sudut serebelo-pontin, di os

petrosum atau kavum timpani, di foramen stilomastoideus dan pada cabang-cabang tepi

nervus fasialis. Lesi di pons yang terletak di daerah sekitar inti nervus abdusens dan

fasikulus longitudinalis medialis. Karena itu paralisis fasialis LMN tersebut akan disertai

kelumpuhan muskulus rektus lateralis atau gerakan melirik ke arah lesi. Selain itu,

paralisis nervus fasialis LMN akan timbul bergandengan dengan tuli perseptif ipsilateral

dan ageusia (tidak bisa mengecap dengan 2/3 bagian depan lidah). Berdasarkan beberapa

penelitian bahwa penyebab utama Bell’s palsy adalah reaktivasi virus herpes (HSV tipe 1

dan virus herpes zoster) yang menyerang saraf kranialis. Terutama virus herpes zoster

4

Page 5: Asuhan Keperawatan Klien Dengan Bell Palsy

karena virus ini menyebar ke saraf melalui sel satelit. Pada radang herpes zoster di

ganglion genikulatum, nervus fasialis bisa ikut terlibat sehingga menimbulkan

kelumpuhan fasialis LMN. Kelumpuhan pada Bell’s palsy akan terjadi bagian atas dan

bawah dari otot wajah seluruhnya lumpuh. Dahi tidak dapat dikerutkan, fisura palpebra

tidak dapat ditutup dan pada usaha untuk memejam mata terlihatlah bola mata yang

berbalik ke atas. Sudut mulut tidak bisa diangkat. Bibir tidak bisa dicucukan dan platisma

tidak bisa digerakkan. Karena lagophtalmos, maka air mata tidak bisa disalurkan secara

wajar sehingga tertimbun disitu.

E. PATHWAY

F. PENGKAJIAN

Pengkajian keperawatn klien dengan Bell’s Palsy meliputi anamnesis riwayat

penyakit, pemeriksaan fisik, pemeriksaan diagnostik, dan pengkajian psikososial.

5

Page 6: Asuhan Keperawatan Klien Dengan Bell Palsy

G. ANAMNESIS

Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien meminta pertolongan kesehatan

adalah berhubungan dengan kelumpuhan otot wajah terjadi pada satu sisi.

H. RIWAYAT PENYAKIT SAAT INI

Faktor riwayat penyakit sangat penting diketahui karena untuk menunjang keluhan

utama klien. Disini harus ditanya dengan jelas tentang gejala yang timbul seperti kapan mulai

serangan, sembuh, atau bertambah buruk. Pada pengkajian klien Bell’s Palsy biasanya

didapat keluhan kelumpuhan otot wajah pada satu sisi

Kelumpuhan fasialis ini melibatkan semua otot wajah seisi. Bila dahi dikerutkan,

lipatan kulit dahi hanya tampak pada sisi yang sehat saja. Bila klien disuruh memejamkan

kedua matanya, maka pada sisi yang tidak sehat, kelopak mata tidak dapat menutupi bola

mata dan berputarnya bola mata ke ats dapat disaksikan . fenomena tersebut dikenal sebagai

tanda bell

I. RIWAYAT PENYAKIT DAHULU

Pengkajian penyakit yang pernah dialami klien yang memungkinkan adanya

hubungan atau menjadi predisposisis keluhan sekarang meliputi pernahkah klien mengalami

penyakit iskemia vaskular, otitis media, tumor intrakranial, trauma kapitis, penyakit virus

(herpes simpleks, herpes zoster), penyakit autoimun, atau kombinasi semua faktor ini.

Pengkajian pemakaian obat-obatan yang sering digunakan klien, pengkajian kemana klien

sudah meminta pertolongan dapat mendukung pengkajian dari riwayat penyakit sekarang dan

merupakan data dasar untuk mengkaji lebih jauh dan untuk memberikan tindakan

selanjutnya.

J. PENGKAJIAN PSIKO-SOSIO-SPIRITUAL

Pengkajian psikologis klien Bell’s Palsy meliputi beberapa penilaian yang

memungkinkan perawat untuk memperoleh persepsi yang jelas menganai status emosi,

kognitif, dan perilaku klien. Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien juga

penting untuk menilai respons emosi klien terhadap kelumpuhan otot wajah seisi dan

perubahan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respons atau pengaruhnya dalam

kehidupan sehari-hari baik dalam keluarga atau masyarakat. Apakah ada dampak yang timbul

6

Page 7: Asuhan Keperawatan Klien Dengan Bell Palsy

pada klien, yaitu timbul ketakutan akan kecacatan, rasa cemas, rasa ketidakmampuanuntuk

melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan

citra tubuh). Pengkajian mengenai mekanisme koping yang secara sadar biasa digunakan

klien selama masa stres meliputi kemampuan klien untuk mendiskusikan masalah kesehatan

saat ini yang telah diketahui dan perubahan perilaku akibat stres.

Karena klien harus menjalani rawat inap maka apakah keadaan ini memberi dampak

pada status ekonomi klien, karena biaya perawatan dan pengobatan memerlukan dana yang

tidak sedikit. Perawat juga memasukkan pengkajian terhadap fungsi neurologis dengan

dampak gangguan neurologis yang akan terjadi pada gaya hidup individu . perspektif

keperawatan dalam mengkaji terdiri dari dua masalah , yaitu keterbatasan yang di akibatkan

oleh defisit neurologis dalam hubungannya dengan peran sosial klien dan rencana pelayanan

yang akan mendukung adaptasi pada gangguan neurologis di dalam sistem dukungan

individu.

K. PEMERIKSAAN FISIK

Setelah melakukan anamnesis yang mengarah pada keluhan-keluhan klien, pemeriksaan

fisik sangat berguna untuk mendukung data dari pengkajian anamnesis. Pemeriksaan fisik

sebaiknya dilakukan per sistem (B1-B6) dengan fokus pemeriksaan fisik pada pemeriksaan

B3 (Brain) yang terarah dan dihubungkan dengan keluhan-keluhan dari klien. Pada klien

Bell’s palsy biasanya didapatkan tanda-tanda vital dalam batas normal.

a. B1 (BREATHING)

Bila tidak ada penyakit lain yang menyertai pemeriksaan inspeksi didapatkan klien tidak

batuk, tidak sesak napas, tidak ada penggunaan otot bantu napas, dan frekuensi pernapasan

dalam batas normal. Palapasi biasanya taktil premitus seimbang kanan dan kiri. Perkusi

didapatkan resonan pada seluruh lapangan paru. Auskultasi tidak terdengar bunyi napas

tambahan.

b. B2 (BLOOD)

Bila tidak ada penyakit lain yang menyertai pemeriksaan nadi dengan frekuensi dan irama

yang normal. TD dalam batas normal dan tidak terdengar bunyi jantung tambahan.

7

Page 8: Asuhan Keperawatan Klien Dengan Bell Palsy

c. B3 (BRAIN)

Pengkajian B3 (Brain) merupakan pemeriksaan fokus dan lebih lengkap dibandingkan

pengkajian pada sisitem lainnya.

d. Tingkat Kesadaran

Pada Bell’s palsy biasanya kesadaran klien compos mentis.

e. Fungsi Serebri

Status mental : observasi penampilan klien dan tingkah lakunya, nilai bicara klien, obsevasi

ekspresi wajah, dan aktivitas motorik yang pada klien Bell’s palsy biasanya status mental

klien mengalami perubahan.

f. Pemeriksaan Saraf Kranial

Saraf I : Biasanya pada klien Bell’s palsy tidak ada kelainan dan fungsi penciuman tidak ada

kelainan

Saraf II : Tes ketajaman penglihatan pada kondisi normal.

Saraf III, IV, dan VI : Penurunan gerakan kelopak mata pada sisi yang sakit (lagoftalmos).

Saraf V : Kelumpuhan seluruh otot wajah sesisi,lipatan nasolabial pada sisi kelumpuhan

mendatar, adanya gerakan sinkinetik

Saraf VII : Berkurangnya ketajaman pengecapan, mungkin sekali edema nervus fasialis di

tingkat foramen stilomastoideus meluas sampai bagian nervus fasialis, di mana khorda

timpani menggabungkan diri padanya.

Saraf VIII : Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi

Saraf XI dan X : Paralisis otot orofaring, kesukaran berbicara,mengunyah, dan menelan.

Kemampuan menelan kurang baik, sehingga mengganggu pemenuhan nutrisi via oral

Saraf XI : Tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius. Kemampuan mobilisasi

leher baik.

8

Page 9: Asuhan Keperawatan Klien Dengan Bell Palsy

Saraf XII : Lideh simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak ada fasikulasi. Indra

pengecapan mengalami kelumpuhan dan pengecapan pada 2/3 lidah sisi kelumpuhan kurang

tajam.

g. Sistem Motorik

Bila tidak melibatkan disfungsi neurologis lain, kekuatan otot normal, kontrol keseimbangan

dan koordinasi pada Bell’s palsy tidak ada kelainan.

h. Pemeriksaan Refleks

Pemeriksaan refleks dalam, pengetukan pada tendon, ligamentum atau periosteum derajat

refleks pada respon normal.

Gerakan involunter

Tidak ditemukan adanya tremor, kejang, dan distonia. Pada beberapa keadaan sering

ditemukan Tic fasialis

Sistem sensorik

Kemampuan penilaian sensorik raba, nyeri,dan suhu tidak ada kelainan.

i. B4 (BLADDER)

Pemeriksaan pada sistem perkemihan biasanya didapatkan berkurangnya volume haluaran

urine, hal ini berhubungan dengan penurunan perfusi dan penuruna curah jantung ke ginjal.

j. B5 (BOWEL)

Mual sampai muntah dihubungkan dengan peningkatan produksi asam lambung. Pemenuhan

nutrisi pada klien Bell’s palsy menurun karena anoreksia dan kelemahan otot-otot pengunyah

serta gangguan proses menelan menyebabkan pemenuhan via oral menjadi berkurang.

k. B6 (BONE)

Penurunan kekuatan otot dan penurunan tingkat kesadaran menurunkan mobilitas klien secara

umum. Dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari klien lebih banyak dibantu oleh orang lain.

9

Page 10: Asuhan Keperawatan Klien Dengan Bell Palsy

L. PENATALAKSANAAN MEDIS

Tujuan penatalaksanaan medis adalah untuk mempertahankan tonus otot wajah dan

untuk mencegah atau meminimalkan denervasi. Klien harus diyakinkan bahwa keadaan yang

terjadi bukan stroke dan pulih dengan spontan dalam 3-5 minggu pada kebanyakan klien.

Terapi kortikosteroid (prednison) dapat diberikan untuk menurunkan radang dan

edema, yang pada gilirannya mengurangi kompresi vascular dan memungkinkan perbaikan

sirkulasi darah ke saraf tersebut. Pemberian awal kortikosteroid ditujukan untuk mengurangi

penyakit semakin berat, mengurangi nyeri, dan membantu mencegah atau meminimalkan

denervasi.

Nyeri wajah dikontrol dengan analgesic. Kompres panas pada sisi wajah yang sakit

dapat diberikan untuk meningkatkan kenyamanan dan aliran darah sampe ke otot tersebut.

Stimulasi listrik dapat diberikan untuk mencegah otot wajah menjadi atrofi. Walaupun

banyak klien pulih dengan pengobatan konservatif, namun eksplorasi pembedahan pada saraf

wajah dapat dilakukan pada klien yang cenderung mempunyai tumor atau untuk dekompresi

saraf wajah melalui pembedahan dan pembedahan untuk merehabilitasi keadaan paralisis

wajah.

Pendidikan klien. Mata harus dilindungi karena paralisis lanjut dapat menyerang

mata. Sering kali, mata klien tidak dapat menutup dengan sempurna, dan reflex berkedip

terbatas sehingga mata mudah diserang binatang kecildan benda-benda asing. Iritasi kornea

dan luka adalah komplikasi potensial pada klien ini. Kadang-kadang keadaan ini

mengakibatkan keluarnya air mata yang berlebihan (epifora) karena keratitis yang disebabkan

oleh kornea kering dan tidak ada reflex berkedip. Penutup mata bagian bawah menjadi lemah

akibat pengeluaran airmata. Untuk menangani masalah ini, mata harus ditutup dengan

melindunginya dari cahaya silau pada malam hari. Potongan mata dapat merusak kornea,

meskipun hal ini dapat disebabkan beberapa kerusakan dalam mempertahankan mata tertutup

akibat paralisis parsial. Benda-benda yang dapat digunakan pada mata pada saat tidur dapat

diletakkan di atas mata agar kelopak mata menempel satu dengan yang lainnya dan tetap

tertutup selama tidur.

Klien diajarkan untuk menutup kelopak mata yang mengalami paralisis secara manual

sebelum tidur. Gunakan penutup mata dengan kacamata hitam untuk menurunkan penguapan

normal dari mata. Jika saraf tidak terlalu sensitive, wajah dapat dimasase beberapa kali sehari

untuk mempertahankan tonus otot. Teknik untuk masase wajah adalah dengan gerakan

10

Page 11: Asuhan Keperawatan Klien Dengan Bell Palsy

lembut ke atas. Latihan wajah seperti mengerutkan dahi, mengembangkan pipi keluar dan

bersiul dapat dilakukan dengan mengunakan cermin dan dilakukan teratur untuk mencegah

atrofi otot. Hindari wajah terkena udara dingin.

M. DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. Gangguan konsep diri (citra diri) yang berhubungan dengan perubahan bentuk wajah

karena kelumpuhan satu sisi pada wajah.

2. Cemas yang berhubungan dengan prognosisi penyakit dan perubahan kesehatan.

3. Kurangnya pengetahuan perawatan diri sendiri yang berhubungan dengan informasi

yang tidak adekuat mengenai proses penyakit dan pengobatan.

N. RENCANA INTERVENSI

Gangguan konsep diri (citra diri) yang berhubungan dengan perubahan bentuk wajah

karena kelumpuhan satu sisi pada wajah.

Data penunjang :

Ds : merasa malu karena adanya kelumpuhan otot wajah yang terjadi pada satu sisi

Ds : dahi di kerutkan, lipatan kulit dahi hanya tampak pada sisi yang sehat saja

Tujuan : konsep diri klien meningkat

Criteria hasil: klien mampu menggunakan koping yang positif

Intervensi Rasionalisasi

1. Kaji dan jelaskan kepada klien

tentang keedaan paralisis wajahnya

.

Intervensi awal bisa mencegah distress

psikologi pada klien

2. Bantu klien menggunakan koping

yang positif .

Nekanisme koping yang positif dapat

membantu klien lebih percaya diri , lebih

kooperatif terhadap tindakan yang akan

di lakukan dan mencegah terjadinya

kecemasan tambahan

3. Orientasi klien terhadap prosedur

rutin dan aktifitas yang di

Orientasi dapat menurunkan kecemasan

11

Page 12: Asuhan Keperawatan Klien Dengan Bell Palsy

harapkan

4. libatkan system pendukung dalam

perawatan klien

Kehadiran system pendukung

meningkatkan percaya diri kien

Cemas yang berhubungan dengan prognosisi penyakit dan perubahan kesehatan.

Tujuan: kecemasan hilang atau berkurang

Criteria hasil : mengenal perasanya , dapt mengidentifikasi penyebab atau factor yang

mempengaruhinya,dan menyatakan ansietas berkurang atau hilang

Intervensi rasionalisasi

1. kaji tanda verbal dan non verbal

kecemasan, damping klien , dan

lakukan tindakan bila

menunjukkan perilaku merusak

Reaksi verbal atau non verbal dapat

menunjukkan rasa agitasi, marah, dan

gelisah.

2. Mulai melakukan tindakan untuk

mengurangi kecemasan . beri

lingkungan yang tenang dan

suasana penuh istirahat

Mengurangi rangsangan eksternal yang

tidak perlu

3. Tingkatkan control sensasi klien Control sensasi klien (dan dalam

menurunkan ketakutan) dengan cara

memberikan informasi tentang keadaan

klien, menekankan pada penghargaan

terhadap sumber-sumber koping

(pertahanan diri), yang positif,

membantu klien latihan relaksasi dan

teknik-teknik pengalihan dan

memberikan respon balik yang positif

4. Beri kesempatan pada klien untuk

menggungkapkan kecemasannya .

Dapat menghilangkan keteganngan

terhadap kekhawatiran yang tidak di

ekspresikan.

5. Berikan privasi untuk klien dan

orang terdekat

Member waktu untuk mengekspresikan

perasaan , menghilangkan cemas , dan

12

Page 13: Asuhan Keperawatan Klien Dengan Bell Palsy

perilaku adaptasi. Adanya keluarga dan

teman-teman yang di pilih klien

melayani aktivitas dan pengalihan

(misalnya membaca) akan menurunka

perasaan terisolosi.

Kurangnya pengetahuan perawatan diri sendiri yang berhubungan dengan informasi

yang tidak adekuat mengenai proses penyakit dan pengobatan.

Tujuan : dalam jangka waktu 1 x 30 menit klien akan memperlihatkan kemampuan

pemahaman yang adekuat tentang penyakit dan pengobatannya .

Criteria hasil : klien mampu secara subyektif menjelaskan ulang secara sederhana

terhadap apa yang telah di diskusikan

Intervensi Rasionalisasi

Kaji kemampuan belajar , tingkat

kecemasan , partisipasi, media yang

sesuai untuk belajar

Indikasi progresif atau reaktifasi panyakit

atau efeksampibng pengobatan , serta

untuk evaluasi lebih lanjud.

Identifikasi tanda dan gejala yang perlu di

laporkan ke perawat

Meningkatkan kesadaran kebutuhan

tentang perawatan diri untuk

meinimalkan kelemahan

Jelaskan instruksi dan informasi misalnya

pengobatan .

Meningkatkan kerja sama / partisipasi

terapuetik dan mencegah putus obat

Kaji ulang resiko efek samping

pengobatan

Dapat mengurangi rasa kurang nyaman

dari pengobatan untuk perbaikan kondisi

klien

Dorong klien mengekspresikan

ketidaktahuan / kecemasan dan beri

informasi yang di butuhkan.

Member kesempatan untuk mengoreksi

persepsi yang salah dan mengurangi

kecemasan

13

Page 14: Asuhan Keperawatan Klien Dengan Bell Palsy

TUGAS KELOMPOK DISKUSI / SEMINAR

Seorang wanita usia 30 tahun hamil trimester 3 tiba-tiba saat bercermin menemukan wajah

yang tidak simetris dan kelemahan otot sebelah kanan. Ia sangat cemas sehingga datang ke

klinik dan oleh dokter didiagnosa Bell’s Palsy.

1. Pasien bertanya apa penyakit Bell’s Palsy dan adakah kaitannya antara Bell’s Palsy

dengan kehamilannya serta siapa saja yang bisa terkena Bell’s Palsy?

2. Apakah penyakit tersebut bersifat permanen atau bisa disembuhkan?

3. Bagaimana manajemen medis pasien dengan Bell’s Palsy

4. Masalah keperawatan apakah yang dapat terjadi pada pasien dengan Bell’s Palsy?

Jawaban :

1. Ya, ibu hamil berpotensi 3 kali terkena Bell’s Palsy. Biasanya pada kehamilan

trimester ketiga atau menjelang kelahiran. Salah satu teori penyebab ibu hamil terkena

Bell’s Palsy adalah peningkatan cairan Ekstra stisial pada pada ibu hamil dapat

menyebabkan pembengkakan pada saraf wajah dimana mengarah pada saraf ketujuh.

Serta semua orang bisa terkena Bell’s Palsy

2. Walaupun tanpa diberikan terapi, pasien Bell’s palsy cenderung memiliki prognosis

yang baik. Dalam sebuah penelitian pada 1.011 penderita Bell’s palsy, 85%

memperlihatkan tanda-tanda perbaikan pada minggu ketiga setelah onset penyakit.

15% kesembuhan terjadi pada 3-6 bulan kemudian. Sepertiga dari penderita Bell’s

palsy dapat sembuh seperti sedia kala tanpa gejala sisa. 1/3 lainnya dapat sembuh

tetapi dengan elastisitas otot yang tidak berfungsi dengan baik. Penderita seperti ini

tidak memiliki kelainan yang nyata. 1/3 sisanya cacat seumur hidup.

3. Tujuan penatalaksanaan medis adalah untuk mempertahankan tonus otot wajah dan

untuk mencegah atau meminimalkan denervasi. Klien harus diyakinkan bahwa

keadaan yang terjadi bukan stroke dan pulih dengan spontan dalam 3-5 minggu pada

kebanyakan klien.

Terapi kortikosteroid (prednison) dapat diberikan untuk menurunkan radang

dan edema, yang pada gilirannya mengurangi kompresi vascular dan memungkinkan

perbaikan sirkulasi darah ke saraf tersebut. Pemberian awal kortikosteroid ditujukan

untuk mengurangi penyakit semakin berat, mengurangi nyeri, dan membantu

mencegah atau meminimalkan denervasi.

14

Page 15: Asuhan Keperawatan Klien Dengan Bell Palsy

Nyeri wajah dikontrol dengan analgesic. Kompres panas pada sisi wajah yang sakit

dapat diberikan untuk meningkatkan kenyamanan dan aliran darah sampe ke otot

tersebut.

Stimulasi listrik dapat diberikan untuk mencegah otot wajah menjadi atrofi.

Walaupun banyak klien pulih dengan pengobatan konservatif, namun eksplorasi

pembedahan pada saraf wajah dapat dilakukan pada klien yang cenderung mempunyai

tumor atau untuk dekompresi saraf wajah melalui pembedahan dan pembedahan

untuk merehabilitasi keadaan paralisis wajah.

Pendidikan klien. Mata harus dilindungi karena paralisis lanjut dapat

menyerang mata. Sering kali, mata klien tidak dapat menutup dengan sempurna, dan

reflex berkedip terbatas sehingga mata mudah diserang binatang kecildan benda-

benda asing. Iritasi kornea dan luka adalah komplikasi potensial pada klien ini.

Kadang-kadang keadaan ini mengakibatkan keluarnya air mata yang berlebihan

(epifora) karena keratitis yang disebabkan oleh kornea kering dan tidak ada reflex

berkedip. Penutup mata bagian bawah menjadi lemah akibat pengeluaran airmata.

Untuk menangani masalah ini, mata harus ditutup dengan melindunginya dari cahaya

silau pada malam hari. Potongan mata dapat merusak kornea, meskipun hal ini dapat

disebabkan beberapa kerusakan dalam mempertahankan mata tertutup akibat paralisis

parsial. Benda-benda yang dapat digunakan pada mata pada saat tidur dapat

diletakkan di atas mata agar kelopak mata menempel satu dengan yang lainnya dan

tetap tertutup selama tidur.

Klien diajarkan untuk menutup kelopak mata yang mengalami paralisis secara

manual sebelum tidur. Gunakan penutup mata dengan kacamata hitam untuk

menurunkan penguapan normal dari mata. Jika saraf tidak terlalu sensitive, wajah

dapat dimasase beberapa kali sehari untuk mempertahankan tonus otot. Teknik untuk

masase wajah adalah dengan gerakan lembut ke atas. Latihan wajah seperti

mengerutkan dahi, mengembangkan pipi keluar dan bersiul dapat dilakukan dengan

mengunakan cermin dan dilakukan teratur untuk mencegah atrofi otot. Hindari wajah

terkena udara dingin.

15

Page 16: Asuhan Keperawatan Klien Dengan Bell Palsy

4. a.Gangguan konsep diri (citra diri) yang berhubungan dengan perubahan bentuk

wajah karena kelumpuhan satu sisi pada wajah.

b.Cemas yang berhubungan dengan prognosisi penyakit dan perubahan kesehatan.

c.Kurangnya pengetahuan perawatan diri sendiri yang berhubungan dengan informasi

yang tidak adekuat mengenai proses penyakit dan pengobatan.

16