jalan-jalan, antara eskapisme dan gaya hidup

Upload: hifatlobrain-travel-institute

Post on 14-Apr-2018

225 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 7/30/2019 Jalan-Jalan, Antara Eskapisme Dan Gaya Hidup

    1/13

    Jalan-Jalan: Antara Eskapisme dan Gaya Hidup

    Sarani Pitor Pakan

    Abstract

    Travel is one of the integral part of human life. As an ancient part of life of man, travel is

    changing in the context of modern world. Where is its place in the modern urban society? This

    text mention two possible place of travel in modern urban society. First, travel as escapism

    which makes people seeking something they dont find in the routine of social world. Second,

    travel as lifestyle in which people consume it to gain social status or position, or something else.

    Keywords: travel, modernity, urban society, escapism, lifestyle

    I. PendahuluanPerjalanan adalah hal yang esensial dalam peradaban umat manusia. Tidak ada

    satu manusia pun yang tidak pernah melakukan perjalanan dalam hidupnya. Catatan

    sejarah membuktikan bahwa sejak dahulu kala manusia ditakdirkan sebagai makhluk

    yang bergerak melakukan perpindahan dari satu tempat ke tempat lain.

    Pada berbagai kitab suci agama-agama besar di dunia dikisahkan bagaimana

    tokoh-tokoh didalamnya menempuh berbagai perjalanan. Nabi Muhammad melakukan

    perjalanan dari Mekkah ke Madinah, demikian pula Yesus yang berjalan dari Nazareth

    ke Galilea. Buddhisme pun menceritakan bagaimana Siddharta Gautama melakukan

    melakukan perjalanan yang sangat jauh dan melelahkan sebelum akhirnya menjadi

    seorang Buddha.

    Catatan jaman prasejarah menunjukkan bahwa manusia purba hidup nomaden.

    Mereka berpindah dari satu tempat ke tempat lain dan tidak memiliki tempat tinggal

    yang permanen. Demikian pula teori yang menyebutkan bahwa manusia purba di

    Indonesia berasal dari Cina, itu berarti ada mobilitas geografis yang dilakukan manusia

    purbakala.

  • 7/30/2019 Jalan-Jalan, Antara Eskapisme Dan Gaya Hidup

    2/13

    Selanjutnya saat manusia mulai menegenal tulisan, mereka tidak berubah dan

    tetap melakukan perjalanan sebagai sebuah ritus yang mau tak mau dialami. Bangsa-

    bangsa Eropa rela menempuh perjalanan berbulan-bulan lamanya lewat jalur laut demi

    menuju benua lain. Mereka ada yang berkepentingan untuk membuktikan bahwa bumi

    itu bundar maupun bertujuan untuk menjajah negeri lain yang jauh dari negara asal

    mereka.

    Tentu akan ada banyak sekali contoh yang bisa ditambahkan untuk disebut demi

    menggambarkan bagaimana perjalanan telah mengakar dalam kehidupan manusia sejak

    lama. Beragam alasan dan motivasi melatari perjalanan setiap orang. Beragam cara

    berpergian pun dilakukan oleh masing-masing orang. Beragam hal pun didapat oleh

    manusia dalam dan setelah menempuh perjalanan.

    Tidak dapat dipungkiri, meski kadang perjalanan dipandang sebagai hal yang

    remeh bahkan tidak diperhatikan, ia melingkupi kehidupan manusia secara sadar dan tak

    sadar. Maka, perjalanan rasanya perlu diberi tempat khusus dalam ruang-ruang

    pemikiran dan kontemplasi individual maupun dalam obrolan dan diskusi kelompok.

    Mempertanyakan perjalanan secara kritis sama artinya dengan merenungi

    kehidupan yang tiap hari bergulir di depan mata.

    II. Perjalanan dalam ruang modernitasMeskipun terbuka pada perubahan, manusia nyatanya sering terperangkap dalam

    kebiasaan dan akhirnya ke dalam ketidakberubahan. Memasuki jaman modern, kita

    tetap saja melakukan mobilitas dari satu ruang ke ruang lain, dari kolong langit yang

    satu ke kolong langit yang lain. Tapi perjalanan modern punya alasan dan motivasi yang

    semakin kompleks dan beragam. Kompleksitas manusia tercermin disini: di satu sisi ia

    tidak berubah, di sisi lain ia berubah.

    Salah satu alasan dan motivasi yang berbeda dengan masa sebelumnya itu

    adalah untuk berwisata. Manusia kini melakukan perjalanan ke tempat lain untuk

    sejenak keluar dari rutinitas yang mereka jalani sehari-hari dan bertujuan agar

    sepulangnya ke tempat asal mereka mendapatkan kembali pikiran yang lebih segar.

  • 7/30/2019 Jalan-Jalan, Antara Eskapisme Dan Gaya Hidup

    3/13

    Franklin (2003:2) mengatakan bahwa perjalanan wisata adalah komponen sentral dalam

    formasi kehidupan sosial modern.

    Perjalanan wisata pada mulanya didominasi oleh kalangan tertentu yang mampumengakses aktivitas tersebut (Bennett 2005:141). Hal itu wajar karena untuk

    melakukan perjalanan wisata membutuhkan biaya yang tidak murah, terlebih perjalanan

    jarak jauh, misalnya antarnegara atau antarkontinen. Selain itu, melakukan perjalanan

    wisata juga bukan kebutuhan primer manusia. Ia hanyalah kebutuhan sekunder bahkan

    tersier. Wajar apabila tak semua orang yang melakukannya karena hanya orang-orang

    yang telah memenuhi kebutuhan primer (dan sekunder) dengan baik yang kemudian

    melakukannya.

    Seiring berjalannya waktu, perjalanan wisata tak hanya dinikmati oleh kalangan

    tertentu saja. Berbagai lapisan masyarakat mulai bisa mengakses untuk melakukannya.

    Perjalanan wisata tak lagi menjadi barang yang eksklusif meski tetap saja ada hirarki di

    dalamnya. Dalam hal ini perjalanan wisata mulai meninggalkan jejak paradoksnya. Di

    satu sisi ia menghindarkan manusia sejenak dari kehidupannya tapi di sisi yang lain

    perjalanan wisata mulai disadari dan diterima menjadi salah satu aspek penting dalam

    kehidupan manusia.

    Adalah modernitas yang sanggup menghadirkan itu semua, membuat perjalanan

    menjadi sebuah kebutuhan yang kalau bisa harus dipenuhi. Ia tak lagi dipandang sambil

    lalu, kehadirannya mulai mendapat tempat. Tapi sebenarnya dimanakah tempatnya pada

    modernitas?

    III.Perjalanan sebagai eskapisme urbanSebagai sebuah gejala modern, perjalanan lahir dan tumbuh di kota, karena

    modern memang identik dengan perkotaan. Maka perjalanan hari ini dapat pula

    dikategorikan sebagai fenomena urban. Dalam konteks Indonesia saat ini, dapat

    disetujui bahwa maraknya fenomena jalan-jalanmengambil tempat lahir dalam suasana

    urban. Gejala itu jelas tidak muncul dari desa.

  • 7/30/2019 Jalan-Jalan, Antara Eskapisme Dan Gaya Hidup

    4/13

    Kehadiran fenomena tersebut di konteks masyarakat kota tentu memiliki alasan

    tersendiri. Dalam studinya mengenai backpacking, McCannell (Richards, 2004:50)

    berpendapat bahwa fenomena backpacking, yang merupakan salah satu gaya dan varian

    perjalanan, dipengaruhi alienasi yang dialami masyarakat modern. Sebagai proses

    pencarian nilai dan pengalaman yang tidak didapatkan di kehidupan sosial sehari-

    harinya, manusia melakukan perjalanan dan meninggalkan rutinitas yang dihidupinya

    untuk mendapatkan nilai dan pengalaman yang hilang tersebut.

    Penjelasan di atas menggambarkan bagaimana proses kelahiran gejala perjalanan

    sebagai aspek penting kehidupan modern perkotaan. Perjalanan diadakan demi

    kebutuhan untuk mencari apa yang tidak ditemui dalam rutinitas. Manusia modern

    memang seringkali terjebak dalam kehidupan di dalam rutinitasnya yang kaku dan

    penuh sekat-sekat yang pada akhirnya justru menjauhkan dirinya dari dirinya sendiri.

    Dalam rutinitas yang memenjara itu, manusia terkadang berjalan sebagai robot yang

    telah tersistem. Di tengah usaha menghidupi diri, manusia justru kehilangan dirinya

    sendiri.

    Perjalanan datang bagai secercah cahaya di ujung terowongan yang mengundang

    individu, kelompok, atau bahkan masyarakat untuk keluar dari kegelapan yangmenaunginya dalam hidup sehari-hari. Melihat cahaya tersebut, kita lalu tersadar bahwa

    selama ini di hidup kita ada sesuatu yang hilang yang tak menemukan penyaluran

    dalam kehidupan yang tenang1. Perjalanan akhirnya menjadi semacam eskapisme alias

    usaha untuk melarikan diri dan merasakan kebebasan.

    Ada apa di kota kita?

    Masyarakat urban, berbeda dengan masyarakat rural, menekankan hubungan

    sosial antarpenghuninya pada sesuatu yang besifat kontraktual. Individu diformalisasi

    menjadi semacam mesin yang dituntut untuk memenuhi obligasi-obligasi sistemik yang

    dibebankan padanya. Hal itu harus dilakukan demi terciptanya tatanan sosial yang

    stabil. Karena pada dasarnya, masyarakat kota tergantung satu sama lain secara

    fungsional karena spesialisasi pembagian kerja yang terdapat didalamnya.

    1Dituliskan Leo Tolstoy dalam Family Happiness.

  • 7/30/2019 Jalan-Jalan, Antara Eskapisme Dan Gaya Hidup

    5/13

    Dalam panggulan tanggung jawab yang terletak di punggungnya, individu

    seperti telah disebutkan sebelumnya merasakan apa yang pernah disebut Karl Marx

    sebagai alienasi. Saat itu Marx mengapungkan konsep itu dalam konteks buruh-buruh di

    pabrik yang membanting tulang bekerja demi sebuah benda, sepatu misalnya, tapi tidak

    pernah merasakan produk yang diciptakannya itu. Sang proletar terasing dari apa yang

    dikerjakannya.

    Pada konteks masyarakat kota hari ini, alienasi secara tidak sadar juga menjadi

    awan hitam yang menaungi kehidupan yang mungkin mewah, gemerlap, dengan lampu-

    lampu kota yang memincingkan mata. Di tengah senyum dan tawa dalam kehidupan di

    kota, manusia-manusia urban sebenarnya sedang terasing dari apa yang diperbuatnya

    setiap hari. Lebih parah lagi terasing dari dirinya sendiri akibat terlalu asyik hidup

    dalam sistem. Persis seperti buruh-buruh dalam konsepsi Marx.

    Tidak seperti masyarakat pedesaan yang umumnya lebih intim, integratif, dan

    komunal, masyarakat kota cenderlung individual, kompetitif, dan artifisial dalam

    berhubungan secara sosial. Kondisi seperti itu dapat menghadirkan situasi yang

    membuat kota seperti pabrik berukuran raksasa dimana tiap orang tak perlu mengenal

    orang lain karena yang terpenting adalah kebutuhan untuk tetap hidup.

    Dalam sebuah kuliah sosiologi perkotaan dijelaskan bahwa salah satu

    karakteristik urbanisme adalah individu di dalamnya cenderung teralienasi, sendiri, dan

    terapung-apung pada lautan kompetisi norma dan nilai. Alienasi, kesepian, dan

    keterapungan yang menjadi ciri masyarakat kota itulah yang secara sadar maupun tak

    sadar menjadi salah satu faktor pendorong masyarakat kota memilih menjadi turis,

    traveler, backpacker, atau apapun sebutannya.

    Perjalanan memang hanya menjadi salah satu akses untuk menyingkir dari kota

    beserta hidup yang ada di dalamnya. Tapi sebagai sebuah pelarian diri, perjalanan

    merupakan kendaraan paling romantik. Dalam kegundahan dan keresahan akibat

    kehidupan yang terasa sia-sia hari demi hari, bukankah terasa indah bila berpergian ke

    tempat yang asing, melihat matahari dari sudut yang berbeda, belajar dari masyarakat

    lokal, dan menemukan perspektif baru tentang kehidupan saat kembali ke rutinitas

    kelak?

  • 7/30/2019 Jalan-Jalan, Antara Eskapisme Dan Gaya Hidup

    6/13

    Seperti yang diungkapkan W.Somerset Maugham dalam bukunya The Summing

    Up:

    "To me England has been a country where I had obligations that I did not want to fulfilland responsibilities that irked me. I have never felt entirely myself till I had put at least

    the channel between my native country and me."2

    Mencari makna, mencari jati diri, menghapus lara

    Alasan klasik dari perjalanan adalah untuk mencari jati diri dan makna

    kehidupan lewat pengalaman yang dikoleksi selama berpergian ke tempat-tempat asing.

    Sekali lagi, tujuan tersebut ada karena ketiadaannya pada kehidupan sehari-hari. Atau

    mungkin ada, tapi terselip dalam setiap kerja yang kita hasilkan dalam rutinitas.

    Ketersembunyian itu membuat manusia mencari cara lain untuk mendapatkan jati diri

    dan makna kehidupan itu.

    Keterasingan yang dialami manusia modern dari dirinya sendiri kadang

    membuat ia terpaksa mencarinya jati dirinya sendiri lewat berbagai cara. Perjalanan

    adalah salah satu mediumnya. Dalam hal ini berpergian ke tempat lain bukanlah

    kegiatan untuk hura-hura dan bersenang-senang, maknanya lebih kontemplatif.

    Berpergian dan kadang tersesat membuat orang menemukan siapa dirinya yang

    sebenarnya dan juga makna kehidupan baginya. Keterasingan membuat orang perlu

    mengasingkan dirinya dari masyarakatnya dan berjalan ke tempat yang asing untuk

    menjadi tidak asing pada diri dan hidupnya sendiri. Dari pembelajaran selama

    perjalanan, jati diri dan makna hidup bisa saja ditemukan. Tapi tidak hanya itu.

    Bukan rahasia lagi jika perjalanan kadang menjadi alat sempurna untuk

    menghapuskan beban hidup yang dialami seseorang. Dalam kebudayaan Barat, sebuah

    perjalanan biasanya dilakukan saat seseorang berada dalam fase krisis kehidupannya

    atau pun dalam masa transisi.

    2

    Theroux, Paul. 2011. The Tao of Travel : Enlightenments from Lives on The Road. New York:Houghton Mifflin Harcourt Publishing.

  • 7/30/2019 Jalan-Jalan, Antara Eskapisme Dan Gaya Hidup

    7/13

    Misalkan, individu melakukan perjalanan setelah lulus kuliah dan sebelum

    masuk ke dunia kerja. Perjalanan bisa dianggap sebagai sarana untuk menggapai

    kemampuan yang dibutuhkan seseorang di dunia kerja nanti, misalkan kemampuan

    menghadapi beragam situasi yang tentu bisa dipelajari lewat perjalanan. Mungkin juga

    perjalanan dalam masa transisi ini diadakan karena kejenuhan atas masa kuliah, maka

    untuk memberi waktu bagi diri sendiri untuk menikmati dirinya sebagai komoditi

    pribadi, orang melakukan perjalanan. Buku dan film Into The Wild yang mengisahkan

    perjalanan Christopher McCandless mungkin bisa menjelaskan hal tersebut.

    Sementara tentang masa krisis dalam hidup, orang melakukan perjalanan setelah

    mengalami cerai atau diputus pekerjaannya, misalnya. Dalam hal ini perjalanan

    menemukan fungsinya sebagai tempat bagi individu untuk berpikir kembali akan

    kehidupan yang telah dijalani, untuk merenungi apa yang sedang terjadi, dan

    membayangkan apa yang akan dilakukan sepulangnya nanti. Hal itu tercermin dengan

    jelas dalam kisah Elizabeth Gilbert dalam buku dan film berjudul Eat, Pray, Love. Oleh

    karena itu, perjalanan dimaknai sebagai rite de passage, sebagaimana yang dikatakan

    Erik Cohen dalam studinya tentang backpacking(dalam Richards 2004:52).

    Untuk merenunginya dalam konteks yang lebih kita mungkin dapat dijelaskandengan fakta bahwa seringkali perjalanan yang dilakukan oleh orang-orang muda di

    Indonesia dilakukan atas dasar-dasar seperti di atas. Seseorang yang baru kehilangan

    orang tuanya merasa perlu untuk mencari arti hidup dalam keguncangan seperti itu

    melalui perjalanan. Beberapa yang lain bosan dan muak dengan kehidupan kampus lalu

    menyingkir beberapa waktu dan melakukan petualangannya. Terakhir, mungkin ini

    contoh yang paling mudah dimengerti, seseorang melakukan perjalanan untuk

    menghapus patah hatinya.

    Semua alasan dan motivasi itu membuat orang merasa perlu untuk melarikan

    diri sejenak dari kehidupan di masyarakat yang ditinggalinya. Sepulangnya, pada

    umumnya perjalanan membuat orang menjadi pribadi yang lebih baru. Mereka lalu

    menjalani rutinitas seperti biasa di kehidupannya dan pada suatu waktu mereka akan

    kembali perlu meretas perjalanan lagi.

  • 7/30/2019 Jalan-Jalan, Antara Eskapisme Dan Gaya Hidup

    8/13

    IV.Perjalanan sebagai gaya hidupDalam suasana urban, perjalanan bukan hanya berfungsi sebagai jalan keluar

    untuk melarikan diri dari kesesakan dalam suasana itu. Formasi sosial masyarakatmodern perkotaan menghendaki perjalanan bertransformasi menjadi salah satu bentuk

    gaya hidup. Perjalanan bukan lagi sekedar tentang kebutuhan untuk menyingkir sejenak

    dari rutinitas.

    Sebagai suatu gaya hidup yang dikonsumsi masyarakat, perjalanan mendapatkan

    nama barunya. Masyarakat melabeli perjalanan sebagai gaya hidup dengan nama

    traveling atau jalan-jalan. Traveling biasanya dilakukan seseorang pada waktu

    luangnya. Aktivitas yang dilakukan pada waktu luang tersebut merupakan salah satu

    aspek yang signifikan untuk menggambarkan gaya hidup seseorang.

    Menurut Chaney (2009), gaya hidup merupakan ciri dari modernitas. Gaya

    hidup digunakan masyarakat modern untuk menggambarkan tindakannya sendiri

    maupun tindakan orang lain. Gaya hidup sangat berkaitan dengan bagaimana seseorang

    membentuk citra di mata orang lain. Dalam hal ini perjalanan tidak mempunyai urusan

    dengan pencarian jati diri, makna hidup, atau eskapisme. Perjalanan adalah konsumsi

    yang dilakukan orang untuk menempatkan dirinya dalam posisi sosial yang

    diinginkannya dalam masyarakat.

    Chaney juga menyebutkan bahwa perjalanan dalam masyarakat modern harus

    dilihat sebagai salah satu aspek gaya hidup, yaitu aktivitas yang terhubung dengan

    pilihan dan preferensi gaya hidup lainnya. Perjalanan telah menjadi gaya hidup karena

    telah adanya kesadaran diri untuk menampilkan sesuatu yang konsisten dengan

    cerminan kesadaran terhadap gaya hidup. Sedangkan, Chaik menyebutkan bahwa

    perjalanan telah menjadi satu dengan leisure dan konsumsi kultural (dalam Bennett

    2005:149).

    Alih-alih menjadi ruang perenungan, gaya hidup jalan-jalan justru lebih

    berhubungan pada sesuatu yang bersifat hura-hura semata. Ketika seseorang

    menyatakan ingin jalan-jalan ke suatu tempat, maka akan mudah ditangkap bahwa

    orang tersebut akan melakukan sesuatu yang menyenangkan dan memberinya kepuasan,

  • 7/30/2019 Jalan-Jalan, Antara Eskapisme Dan Gaya Hidup

    9/13

    meski terkadang kesenangan itu didapat dengan cara yang susah, misalnya jalan-jalan

    ala backpacker.

    Dalam konteks masyarakat Indonesia, belakangan ini istilah traveling sedangmarak. Perkembangan jaman beserta perkembangan lain semisal teknologi informasi,

    transportasi, dan sebagainya menjadi pendorong kemunculan gaya hidup tersebut.

    Ramai-ramai masyarakat mengonsumsinya demi kepentingan untuk mendapatkan atau

    mempertahankan posisi sosial yang ingin ditempatinya.

    Sebuah artikel di situs National Geographic Indonesia diawali dengan kalimat

    jalan-jalan bukan lagi dianggap pemborosan, tapi sebuah pemenuhan gaya hidup.3

    Artikel itu menjelaskan bahwa jalan-jalan menunjukkan pernyataan pencapaian

    seseorang. Dalam hal ini jalan-jalan mengandung dimensi kelas, seseorang melakukan

    perjalanan untuk bisa masuk ke kelas tertentu. Tapi pernyataan melalui jalan-jalan

    tidak hanya soal kelas sosial, tapi juga mengandung makna sosial lainnya.

    Menjadi keren, menjadi penganut setia tren

    Mengapa masyarakat semakin banyak yang melakukan aktivitas gaya hidup

    jalan-jalan mengundang kecurigaan. Perjalanan memiliki makna yang dapat dipamerkan

    sebagai bagian identitas diri seseorang. Individu yang melakukan traveling

    mendapatkan kesan-kesan tertentu yang melekat pada dirinya, sebut saja salah satunya

    berkesan keren. Bagi laki-laki, berjalan menyandang ransel dengan wajah tertampar

    matahari memang terkesan macho. Sedangkan untuk perempuan, menjadi traveler

    pasti juga menimbulkan kesan-kesan tertentu yang diharapkan akan melekat padanya.

    Sekali lagi situasi sosial yang ada mau tak mau membuat traveling menjadi

    sebuah tren yang diikuti. Sebutlah keberadaan media sosial sebagai salah satunya.

    Dengan Facebook dan Twitter, kemudahan-kemudahan yang tidak ada pada masa

    sebelumnya menjadi mungkin tercipta. Dalam hal jalan-jalan, media sosial

    3Christiantiowati. Gaya Jajan dan Pelesir Menunjukkan Pernyataan.

    http://nationalgeographic.co.id/berita/2012/10/gaya-jajan-dan-pelesir-menunjukkan-pernyataan. Diaksespada 4 November 2012, 22.00 WIB

  • 7/30/2019 Jalan-Jalan, Antara Eskapisme Dan Gaya Hidup

    10/13

    menghadirkan kecepatan dan ketepatan informasi yang murah dan juga menyediakan

    promosi-promosi jalan-jalan yang bisa dibeli oleh penikmatnya.

    Tak hanya itu, media sosial menguatkan kecurigaan bahwa orang-orangmelakukan traveling hanya atas nama kekerenan. Memasang profile picture dengan

    latar belakang bangunan ikonik di luar negeri, di bibir pantai yang cantik, maupun di

    puncak gunung tentu mewujudkan hasrat narsistik yang dipunyai hampir setiap orang.

    Menyebartwitpic suatu lokasi wisata, memasang status difoursquare saat sedang jalan-

    jalan, men-tweetinformasi sedang berada di suatu tempat yang indah, memamer foto di

    Instagram, semuanya menjadikan jalan-jalan menjadi semakin terkenal, massal,

    sekaligus banal.

    Seiring dengan aktualisasi diri sebagai traveler melalui media sosial, orang-

    orang lalu berlomba-lomba untuk melakukan perjalanan-perjalanan, memotret diri

    sendiri, dan memasangnya di dunia maya agar semua orang tahu bahwa dirinya pernah

    ke tempat A dibanding orang lain yang hanya ke tempat B. Jadilah perjalanan menjadi

    semacam kompetisi teselubung. Bukankah masyarakat urban identik dengan kompetisi?

    Terseret arus budaya massa?

    Untuk mempertanyakan ulang mengenai praktik gaya hidup jalan-jalan,

    konsepsi tentang budaya massa tampaknya patut untuk dicermati. Budaya massa lahir

    dari industri budaya yang merupakan struktur rasional dan birokratis, misalnya televisi,

    yang mengontrol kehidupan modern. Budaya massa sendiri dianggap bukan real thing

    dan lebih dimaknai sebagai budaya yang diberikan, tidak spontan, tereifikasi, dan palsu.

    Para pemikir teori kritis mengkhawatirkan dua hal tentang budaya massa. Pertama,

    kebohongannya yang berisi seperangkat ide yang telah disiapkan dan kemudian

    disebarkan secara masif ke massa melalui media massa. Kedua, efeknya kepada

    masyarakat yang seolah menenangkan, represif, dan memesona (Ritzer 2008:147).

    Budaya massa ini erat kaitannya dengan upaya kapitalisme untuk menghimpun massa

    agar terseret arusnya.

  • 7/30/2019 Jalan-Jalan, Antara Eskapisme Dan Gaya Hidup

    11/13

    Mengenai traveling dewasa ini di Indonesia, siapa yang memungkiri bahwa

    salah satu yang mempengaruhi perkembangannya adalah kehadiran acara-acara televisi

    bertemakan perjalanan dan semacamnya? Siapa pula yang tak setuju bahwa hal tersebut

    dipengaruhi keberadaan buku-buku tentang travelingyang hari demi hari makin banyak

    di toko buku? Teks televisi maupun buku-buku perjalanan secara sadar maupun tidak

    sadar membangun hasrat untuk jalan-jalan pada masyarakat. Simbol-simbol traveling

    yang ditangkap dari acara televisi maupun buku perjalanan itu mempengaruhi pula gaya

    masing-masing orang dalam berpergian.

    Dalam penelitian tentang backpacking yang pernah dilakukan penulis, yang

    berjudul Mempertanyakan Backpacking dan Backpacker: Studi Mengenai Sebuah

    Gaya Perjalanan (Pakan, 2012) seorang informan mengakui bahwa salah satu hal yang

    mendorongnya menjadi seorang backpacker (atau dia menyebut dirinya sendiri

    independent traveler) adalah buku tentang perjalanan yang memang menjadi hits

    berjudul The Naked Traveler. Selain itu, informan mengakui bahwa maraknya

    fenomena travelingdi Indonesia salah satunya disebabkan banyaknya program televisi

    bertema wisata. Tak hanya dua hal itu, semakin bertambahnya majalah atau tabloid

    tentang perjalanan kemungkinan juga memegang andil dalam maraknya jalan-jalan

    belakangan ini.

    Jalan-jalan sebagai budaya massa memberi kesan yang dangkal bagi

    pelakunya karena mereka terseret arus untuk mengkonsumsi yang memang telah

    disusun sedemikian rupa oleh struktur kapitalisme dan kemudian disebarkan ke

    masyarakat melalui media massa yang bermacam rupa. Masyarakat terbawa kesadaran

    palsu untuk mempraktikkan gaya hidup jalan-jalan sebagai bagian hidupnya,

    menganggapnya keren, trendi, dan sebagainya. Dalam hal ini yang tersenyum adalahpara kapitalis itu.

    Budaya massa memang menjadikan masyarakat banyak sebagai makhluk yang

    mau tak mau terperangah dan terpesona oleh suatu produk budaya, yaitu gaya hidup

    jalan-jalan tersebut. Dengan menonton televisi dan membaca buku atau majalah

    masyarakat secara tak sadar dipengaruhi keinginan untuk melakukan perjalanan dan

    lambat laun mengubahnya menjadi sebuah kebutuhan yang harus dilakukan demi

  • 7/30/2019 Jalan-Jalan, Antara Eskapisme Dan Gaya Hidup

    12/13

    mencapai posisi sosial di masyarakat atau memperoleh identitas diri yang terkesan

    keren dan trendi.

    V. PenutupPerjalanan dalam masyarakat modern mengambil tempat dalam rupa eskapisme

    dan gaya hidup. Keduanya merupakan saluran yang berbeda bentuk dan nilai. Meski

    begitu, keduanya bisa saja berjalan beriringan dan tak saling lepas. Individu atau

    kelompok bukan tidak mungkin meresapi perjalanan yang dilakukannya sebagai

    konsumsi gaya hidup sekaligus upaya melarikan diri.

    Eskapisme dari kesemrawutan sekaligus kehampaan kehidupan sosial menuntun

    orang untuk keluar darinya dan melakukan perjalanan ke latar-latar sosial lainnya.

    Disini perjalanan bukan sekedar hobi yang dilakukan pada waktu luang. Perjalanan

    adalah keperluan yang tidak terlalu mendesak tapi berarti penting untuk dilakukan.

    Dalam proses escaping tersebut, masyarakat sekaligus melakukan pencarian terhadap

    jati diri, makna kehidupan, atau menjalani rite de passage dalam hidupnya.

    Sementara itu, gaya hidup jalan-jalan merupakan komponen integral dalam

    tatanan sosial modern. Konsumsi lifestyle tersebut menyangkut kepentingan untuk

    menempatkan diri di posisi sosial tertentu. Selain itu, status sosial dan identitas diri

    yang digapai melalui gaya hidup jalan-jalan pun menjadi salah satu bahan pertimbangan

    masyarakat untuk mengonsumsinya secara masif. Meski begitu, masyarakat harus mulai

    memikirkan kembali untuk menyadari bahwa gaya hidup yang mereka beli itu

    mungkin saja merupakan skenario yang telah disusun suprastruktur tertentu yang

    mengontrol kehidupan modern dan menjadikan praktik gaya hidup masyarakat sebagai

    budaya massa.

    Akhirnya, penting rasanya untuk berulang kali mempertanyakan kembali makna

    perjalanan dalam modernitas yang tiap hari digeluti. Kesadaran untuk memahaminya

    sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan akan menuntun dalam pencarian

    esensi dari perjalanan di setiap jaman.

  • 7/30/2019 Jalan-Jalan, Antara Eskapisme Dan Gaya Hidup

    13/13

    Daftar Acuan

    Buku

    Bennett, Andy. 2005. Culture and Everyday Life. London: Sage Publications.

    Chaney, David. 2009. Gaya Hidup (Lifestyle): Sebuah Pengantar Komprehensif.

    Yogyakarta: Jalasutra.

    Richards, Greg dan Wilson, Julie. 2004. The Global Nomad: Backpacker Travel in

    Theory and Practice. Clevedon: Channel View Publications.

    Ritzer, George. 2008.Modern Sociological Theory. New York: McGraw-Hill.

    Theroux, Paul. 2011. The Tao of Travel : Enlightenments from Lives on The Road. New

    York: Houghton Mifflin Harcourt Publishing.

    Sumber internet

    Christiantiowati. Gaya Jajan dan Pelesir Menunjukkan Pernyataan.

    http://nationalgeographic.co.id/berita/2012/10/gaya-jajan-dan-pelesir-menunjukkan-

    pernyataan. Diakses pada 4 November 2012, 22.00 WIB

    Makalah

    Pakan, Sarani. 2012. Mempertanyakan Backpacking dan Backpacker: Studi Mengenai

    Sebuah Gaya Perjalanan. Makalah Mata Kuliah Metode Penelitian Sosial Kualitatif.