81437969-case-lpr

40
BAB I PENDAHULUAN Laryngopharyngeal reflux (LPR) adalah jejas pada laringofaring yang diakibatkan aliran balik isi lambung ke daerah laringofaring. Karakteristik gejala berupa suara serak, mendehem, sekret di belakang hidung, kesulitan dalam proses menelan, batuk setelah makan atau berbaring, tersedak, batuk kronik, dan perasaan mengganjal di tenggorok. Lebih dari 50% pasien dengan keluhan LPR tidak mengalami keluhan rasa terbakar di dada dan regurgitasi, keluhan tersebut merupakan tanda khas gejala gastroesophageal reflux disease (GERD). 1,2,3,4,5,6,7 Beberapa literatur menyatakan bahwa GERD tidak sama dengan LPR karena kedua mekanismenya berbeda, pada GERD kejadian refluks terjadi pada malam hari, adanya nyeri pada epigastrium, periode terpapar cairan asam lambung lebih lama, serta adanya gangguan dismotilitas esophagus, juga terdapat defek terdapat di LES (lower esophageal spinchter).. Pada pasien LPR kejadian refluks terjadi siang hari, tidak terdapat nyeri epigastrium, periode terpapar cairan asam lambung lebih singkat serta tidak adanya gangguan dismotilitas esophagus, defek terdapat di LES (lower esophageal spinchter). Perbedaan ini kemungkinan karena mekanisme dan pola gejala serta manifestasi yang berbeda sehingga beberapa 1

Upload: clikgo

Post on 02-Jan-2016

99 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

Laryngopharyngeal reflux (LPR) adalah jejas pada laringofaring yang diakibatkan aliran

balik isi lambung ke daerah laringofaring. Karakteristik gejala berupa suara serak, mendehem,

sekret di belakang hidung, kesulitan dalam proses menelan, batuk setelah makan atau berbaring,

tersedak, batuk kronik, dan perasaan mengganjal di tenggorok. Lebih dari 50% pasien dengan

keluhan LPR tidak mengalami keluhan rasa terbakar di dada dan regurgitasi, keluhan tersebut

merupakan tanda khas gejala gastroesophageal reflux disease (GERD).1,2,3,4,5,6,7

Beberapa literatur menyatakan bahwa GERD tidak sama dengan LPR karena kedua

mekanismenya berbeda, pada GERD kejadian refluks terjadi pada malam hari, adanya nyeri pada

epigastrium, periode terpapar cairan asam lambung lebih lama, serta adanya gangguan

dismotilitas esophagus, juga terdapat defek terdapat di LES (lower esophageal spinchter).. Pada

pasien LPR kejadian refluks terjadi siang hari, tidak terdapat nyeri epigastrium, periode terpapar

cairan asam lambung lebih singkat serta tidak adanya gangguan dismotilitas esophagus, defek

terdapat di LES (lower esophageal spinchter). Perbedaan ini kemungkinan karena mekanisme

dan pola gejala serta manifestasi yang berbeda sehingga beberapa pasien LPR tidak mempunyai

gejala GERD atau beberapa pasien mempunyai kedua gejala tersebut.1,2,8,9

Laryngopharyngeal reflux (LPR) terdapat manifestasi ekstraesofageal yang lebih sering

daripada gastroesophageal reflux disease (GERD). Keadaan ini dilaporkan sebanyak 10% dari

pasien yang datang ke tempat praktek ahli THT, dan lebih dari 50% pasien dengan suara serak

didapatkan penyakit yang berhubungan dengan refluks. Merupakan hal yang berbahaya apabila

tidak mengetahui adanya LPR, keterlambatan dalam menegakkan diagnosis LPR dapat

menyebabkan biaya pengobatan yang tidak perlu, dan kesalahan diagnosis, yang pada akhirnya

berakibat keterlambatan pada penyembuhan pasien. 10,11

Kesalahan dalam mendiagnosis LPR dapat memicu terjadinya keadaan overdiagnosis

dikarenakan gejala-gejala LPR antara lain; batuk, suara serak, dan globus pharyngeus (sensasi

1

tenggorok terasa mengganjal) tidaklah spesifik dan juga dapat disebabkan karena infeksi, vocal

abuse, alergi, merokok, iritasi dari polusi udara, dan alcohol abuse.10

Dilaporkan seorang pasien laki-laki umur 40 tahun datang ke poli THT dengan keluhan

suara serak yang dialami sejak 3 tahun yang lalu, pasien juga mengeluh sering mendehem serta

batuk yang lama. Sebelumnya pasien mempunyai riwayat sering minum alkohol dan merokok.

Tujuan dari laporan kasus ini adalah untuk menambah pengetahuan kita tentang

larygopharyngeal reflux yang angka kejadiannya di klinik cukup tinggi. Sehingga kita dapat

melakukan manajemen yang baik terhadap pasien yang datang dengan penyakit tersebut.

2

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.ANATOMI LARING 12,13

Laring merupkan suatu pipa fibrokartilaginea, membentang dari trachea hingga radix

linguae. Laring terletak di bagian anterior leher setinggi corpus vertebrae cervicales III-VI,

menghubungkan antara bagian inferior faring dengan trachea. Laring berfungsi sebagai katup

untuk melindungi jalan napas dan menjaga supaya jalan napas selalu terbuka, terutama sewaktu

menelan. Laring juga berfungsi sebagai mekanisme fonasi yang dirancang untuk pembentukan

suara. Laring terdiri atas beberapa cartilago yang dihubungkan oleh beberapa ligamentum,

digerakan oleh otot dan dilingkupi oleh membran mucosa dari faring sampai trachea.

Kerangka laring terdiri dari sembilan cartilago. Sembilan cartilago ini terdiri atas tiga

tulang rawan tunggal yaitu: cartilago thyroidea, cartilago cricoidea, dan cartilago epiglottica

dan tiga tulang rawan berpasangan yaitu: cartilago arytenoidea, cartilago corniculata, dan

cartilago cuneiformis. Pada laring terdapat 2 buah sendi, yaitu artikulasi krikotiroid dan

artikulasi krikoaritenoid.

Gbr 2.1. Anatomi laring

3

2.1.1 OTOT-OTOT LARING

Otot-otot ekstrinsik

Otot-otot ekstrinsik adalah otot-otot yang salah satunya perlekatannya berada pada laring

sedangkan perlekatan yang lain berada pada luar laring, otot-otot ini dibagi dalam dua

kelompok yaitu: terletak di atas tulang hioid (suprahioid) dan ada yang terletak dibawah

tulang hioid (infrahioid). Otot ekstrinsik yang suprahioid ialah m.digastrikus,

m.geniohioid, m.stilohioid dan m. milohioid. Otot yang infrahioid ialah m. sternohioid,

m.omohioid, m. tirohioid. Otot–otot ekstrinsik laring yng suprahioid berfungsi menarik

laring ke bawah, sedangkan yang infrahioid ialah menarik laring ke atas.

Otot-otot intrinsik

Otot intrinsik merupakan otot-otot yang origo maupun insertionya berada dalam larynx.

Otot-otot intrinsik ini merupakan derivat dari arcus pharyngeus IV dan VI. Otot-otot

intinsik laring ialah m.krikoaritenod lateral, m.tiroepiglotika, m. Vokalis, m.tiroaritenoid,

m.ariepiglotika dan m.krikotiroid. Otot-otot ini terletak di bagian lateral laring. Otot-otot

intrinsik laring yang terletak di bagian posterior, ialah m.aritenoid transversum,

m.aritenoid oblik dan m.krikoaritenoid posterior. Sebagian besar otot-otot intrinsik adalah

adduktor(kontraksinya akan mendekatkan kedua pita suara ke tengah) kecuali

m.krikoaritenoid posterior yang merupakan otot abduktor (kontraksinya akan

menjauhkan kedua pita suara ke lateral).

2.1.2. Ruang dalam laring (cavum laring)

Aditus laryngis

Vestibulum laryngis

Plica vestibularis (pita suara palsu)

Rima vestibuli

Ventriculus laryngis (kantung morgagni)

Plica vocalis (pita suara sejati)

Rima glottidis

Cavitas infraglottica

4

2.1.2 NEUROVASCULARISASI LARING

1. Inervasi laring

Saraf-saraf laring berasal dari nervus vagus (nervus cranialis X) melalui ramus internus dan

externus nervus laryngeus superior dan nervus laryngeus recurrens.

A. Motorik:

Semua otot intrinsik laring diinervasi oleh n. laryngeus recurrens kecuali m.

cricothyroideus yang mendapat inervasi dari n. laryngeus externus (ramus externus n.

laryngeus superior)

B. Sensoris :

n. laryngeus internus membawa serabut sensoris dari mukosa larynx di atas plica vocalis

termasuk permukaan superior plica vocalis.

n. laryngeus recurrens membawa serabut sensoris dari mukosa larynx di bawah plica

vocalis

2. Pembuluh-pembuluh larynx.:

A. Arteria

a. a. laryngea superior cabang dari a. thyroidea superior, berjalan bersama

nervus laryngeus internus menembus membrana thyrohyoidea memvascularisasi

permukaan dalam larynx

b. a. laryngea inferior cabang dari a. thyroidea inferior, berjalan bersama nervus

laryngeus inferior memvacularisasi membran mukosa dan otot-otot di aspek inferior

larynx

B. Vena : Vena-vena larynx mengikuti arteri-arteri larynx, vena laryngea superior biasanya

bermuara pada vena thyroidea superior, lalu bermuara ke dalam vena jugularis interna.

Vena laryngea inferior bermuara pada vena thyroidea inferior. Kemudian bermuara ke

vena brachiocephalica sinistra

5

C. Limfe : Pembuluh limfe yang berasal dari larynx diatas plica vocalis ditampung oleh nodi

lymphoidei cervicales posteriores profundi. Pembuluh limfe dari larynx di bawah plica

vocalis ditampung oleh nodi lymphoidei cervicales profundi inferiores.

2.2 LARYNGOPHARYNGEAL REFLUX

2.2.1 DEFINISI

Laryngopharyngeal reflux (LPR) adalah jejas pada laringofaring yang diakibatkan aliran

balik isi lambung ke daerah laringofaring, dengan karakteristik gejala suara serak, mendehem,

sekret di belakang hidung, kesulitan dalam proses menelan, batuk setelah makan/berbaring,

tersedak, batuk kronik, dan perasaan mengganjal di tenggorok.1,2,3,4,5,6,7

2.2.2 ETIOLOGI

LPR secara etiologi dapat disebabkan karena faktor fisik yaitu adanya gangguan

fungsional dari sphincter esophagus, hiatal hernia, abnormalitas kontraksi esophagus, lambatnya

pengosongan dari lambung, sedangkan dapat juga disebabkan karena infeksi, vocal abuse, alergi,

merokok, iritasi dari polusi udara, alcohol abuse dan gaya hidup, misalnya, diet makanan

berlemak, kopi, coklat, NSAID, makanan pedas, merokok, minuman beralkohol.18

2.2.3 SINONIM

Beberapa istilah yang mempunyai arti sama dengan Laryngopharyngeal reflux (LPR),

reflux laryngitis, laryngeal reflux, pharngoesophageal reflux, supraesophageal reflux,

extraesophageal reflux, atypical reflux. Sinonim LPR yang paling sering digunakan adalah

refluks ekstraesophageal.15

2.2.4 PREVALENSI

Prevalensi baik LPR maupun GERD sampai saat ini belum diketahui secara pasti, tetapi

Koufman pernah melaporkan pada tahun 1988 dari 10% pasien dengan keluhan gangguan suara

menderita LPR. Dan pada tahun 2002 pernah dilakukan penelitian yang menyebutkan juga

prevalensi pasien dengan keluhan LPR berkisar antara 15-20% dan lebih dari 15% pasien

tersebut berobat ke dokter spesialis THT dengan manifestasi keluhan LPR.14,18

2.2.5 PATOFISIOLOGI

6

Secara fisiologis terdapat 4 pertahanan untuk melindungi saluran aerodigestivus dari cedera

refluks yaitu : 15,16,17

1. Gastroesophageal Junction (GEJ)

2. Fungsi motorik esofagus dan klirens asam

3. Resistensi jaringan mukosa esofagus

4. Upper esophageal sphincter (UES)

1. Gastroesophageal Junction (GEJ)

Mekanisme pertama pada pertahanan anti refluks adalah gastroesophageal junction.

Pertahanan ini terdiri dari sphincter dengan elemen otot dari lower esophageal sphincter (LES)

dan otot lurik dari diafragma bagian bawah, yang berkombinasi untuk menjaga tekanan GEJ, hal

ini penting untuk menahan tekanan intra-abdominal, dan mencegah isi lambung melewati

esofagus. Secara fisiologis LES merupakan sphicnter dengan panjang 3-4 cm dengan otot yang

dapat berkontraksi di distal esofagus. Sphincter akan relaksasi setelah terjadi proses menelan

makanan dan memasukkan ke dalam lambung, secara anatomi daerah ini mempunyai ketebalan

2-3 kali lebih tebal dibanding bagian dinding proksimal esofagus.

Gmb 1. gambar gastroesophageal junction dan lokasi LES

2. Fungsi motorik esofagus dan Klirens Asam

7

Pertahanan anti refluks kedua adalah fungsi motorik normal dari esofagus. bolus

makanan dan minuman akan didorong oleh kekuatan dari gerak peristaltik dari

pharyngoesophageal junction turun kebawah sampai ke gastroesophageal junction dan ke dalam

lambung. Gerak peristaltik secara primer di rangsang oleh proses menelan di faring atau secara

sekunder dengan stimulasi langsung pada mukosa esofagus. Gerakan peristaltik ini penting untuk

membersihkan refluks ke dalam lambung. Adanya gangguan gerakan esofagus akan

meningkatkan refluk dengan melewati esofagus sampai ke laryngopharyng. Dengan pengukuran

manometric, pada pasien LPR didapatkan 75% mengalami kelainan motilitas.

Gmb 3. gerakan peristaltik normal dari proksimal esofagus sampai distal esofagus, dan berakhir terjadinya relaksasi LES

Gmb 4. gmb e-g memperlihatkan adanya gangguan motilitas esofagus, gmb h memperlihatkan LES relaksasi inkomplit,

kombinasi tsb dpt meningkatkan resiko terjadinya refluks.

3.Upper Esophageal Sphincter

Pertahanan antirefluks yang ketiga adalah Upper Esophageal sphincter (UES).

Terjadinya kelemahan pada mekanisme ini yang membedakan antara GERD dan LPR. UES

didefinisikan sebagai daerah yang dapat berkonstriksi secara tonik di pharyngoesofageal

junction. Seperti pada LES, UES akan berelaksasi pada saat makanan atau minuman akan masuk

pada proses menelan. Secara anatomi UES merupakan serabut distal dari otot cricopharyngeus

dan bagian proksimal dari esofagus. Dimana otot cricopharyngeus memegang peranan penting

8

pada tekanan di UES. Fungsi utama dari UES adalah menjaga masuknya udara masuk kedalam

esofagus selama respirasi dan menjaga sekresi gaster masuk ke faring sewaktu refluks. Adanya

penyimpangan pada fungsi yang kedua tersebut diyakini sebagai penyebab kerusakan primer

pada LPR, yang bermanifestasi terjadinya refluks yang mencapai laryngopharyng.

Gmb 5. Laring dan letak dari Upper Esophageal Sphinter

4. Resistensi Mukosa Faring dan Laring

Pada saat refluks yang melewati UES dan mencapai daerah laryngopharyng akan

menyebar di sepanjang mukosa yang berbatasan di daerah kepala leher. Pada keadaan ini hanya

ada satu pertahanan untuk mencegah inflamasi dan kerusakan dari komponen korosif refluks

yaitu resistensi dari mukosa faring dan laring.

Gmbr 6. Lapisan epitel skuamos pada mukosa kepala-leher

9

Dengan adanya empat penghalang fisiologis yang melindungi saluran jalan napas bagian

atas dari trauma akibat refluks, yaitu: spingter esofagus bawah, pembersihan asam dengan motor

esofagus, resistensi jaringan mukosa esofagus, dan spingter esofagus atas maka epitel respiratori

bersilia di laring yang normalnya berfungsi untuk membersihkan mukus dari cabang

trakeobronkial, akan meningkat jumlahnya bila keempat sistem penghalang ini gagal dan

disfungsi dari silia ini akan menyebabkan pengumpulan mukus sehingga terjadi sensasi postnasal

drip dan merangsang pengeluaran dahak. Iritasi cairan refluks secara langsung menyebabkan

terjadinya batuk dan tersedak (laringospasme) akibat sensitivitas saraf sensoris laring terangsang

dengan inflamasi lokal. Kombinasi faktor-faktor ini menyebabkan terjadinya edema plika

vokalis, ulkus kontak, dan granuloma yang menyebabkan timbulnya gejala LPR: suara serak,

globus pharyngeus, dan nyeri tenggorok. 1,3,5

Beberapa penelitian melaporkan adanya penurunan kadar bikarbonat yang memproduksi

enzim carbonic anhidrase subtipe III pada epitel laryng pasien dengan LPR dibandingkan dengan

kadar yang tinggi pada epitel laryng individu normal. Salah satu penelitian juga menunjukan

adanya peran dari refluks bilier yang menyebabkan LPR. Pada penelitian terkini disebutkan

bahwa jaringan laring yang sangat rentan terhadap refluk dilindungi oleh efek regulasi ph dari

carbonic anhydrase pada mukosa laring posterior. Carbonic anhydrase mengkatalisis hidrasi dari

karbonhidrosida menjadi bikarbonate, yang akan melindungi dari refluks asam. Di esofagus

terdapat produksi aktif dari bicarbonate pada ruang ekstraseluler yang berfungsi untuk

menetralisir refluks asam lambung. Lapisan esofagus merupakan jaringan innate dengan

resistensi terhadap refluks fisiologis. Lapisan mukus pada lumen esofagus menghambat penetrasi

molekul – molekul besar seperti pepsin. “Unstirred water layer” dibawahnya kaya akan

bikarbonat dan merupakan buffer lingkungan sekitar sel mukosa esofagus. Selain itu, epitel

esofagus itu sendiri mampu memblok asam dan pepsin pada membran sel dan jembatan

intraseluler. saat terjadi jejas pada esofagus, aliran darah lokal mengalami peningkatan untuk

mempercepat pemulihan.

Kontras dengan esofagus, laryng tidak terlindungi dengan baik dari jejas akibat refluksasi

gaster, terutama asam dan pepsin. Saluran napas bagian atas sangat sensitif terhadap asam dan

pepsin yang teraktivasi. Pepsin terbukti mengalami aktivasi pada pH diatas 4, hal ini menunjukan

bahwa penurunan pH lebih mengakibatkan jejas pada larynx dibandingkan pada esofagus.

10

Seperti disebutkan di atas, episode refluks pharynx yang hanya berlangsung sangat jarang (tiga

kali dalam satu minggu) dapat merusak larynx melalui jejas pada mukosanya. Larynx tidak

dilindungi oleh bikarbonat saliva, buffer endogen jaringan, atau peristaltik. Larynx juga memiliki

pertahanan intrinsik jaringan yang buruk. Carbonic anhydrase isoenzyme III (CA III) merupakan

enzim dengan kemampuan buffer yang akan meningkat saat esofagus berespon terhadap asam.

Namun, CA III akan menurun pada jaringan laryng yang rusak akibat asam dan pepsin, hal ini

akan semakin memperburuk proteksi laryng.

2.2.6 PERBEDAAN ANTARA GERD DAN LPR

Table 1. Perbedaan antara GERD dan LPR

2.2.7 DIAGNOSIS

Riwayat penyakit, hal ini penting bagi klinisi untuk menilai potensi dari suara

serak dan adanya laringitis non spesifik. Laringitis secara non spesifik ditandai oleh adanya

inflamasi dari laring, seringkali keluhan ini ringan dan dapat sembuh secara spontan. Apabila

keluhan ini menetap, laringitis harus dicari penyebabnya yang bisa disebabkan infeksi virus atau

bakteri, alergi, trauma vokal, postnasal discharge atau LPR. 4,21,22

11

Pada suara serak yang persisten atau progresif lebih dari 2-3 minggu, perlu

pemeriksaan laryngopharyng untuk menyingkirkan adanya kanker dan kondisi serius lainnya.

Adanya dugaan LPR ketika didapatkan kecurigaan riwayat klinis dan penemuan yang mengarah

ke LPR. Sering terjadi kesalahan diagnosis antara LPR dan GERD. Koufman pertama kali yang

dapat membedakan secara jelas antara LPR dan GERD, dari laporan kasus berseri sebanyak 899

pasien, yang melaporkan keluhan mendehem 87% pada pasien LPR sedangkan hanya 3% pada

pasien GERD, dan keluhan dada terasa panas pada pasien LPR hanya 20% sedangkan pada

GERD sebanyak 83%. 1,2,8 Survey internasional oleh American Bronchoesophagological

Association memaparkan gejala yang tersering dari LPR, yaitu mendehem(98%), batuk lama

(97%), globus faringeus (95%) dan suara serak (95%). Belafsky dkk, telah mengenalkan Indeks

Gejala Refluks yang dapat membantu klinisi untuk menilai derajat gejala LPR pada awal

evaluasi dan setelah pengobatan.12,14 Pasien di anamnesis menggunakan skala 0-5 untuk derajat

gejala-gejala dalam tabel 2. Skor Indeks Gejala Refluks lebih dari 13, adalah abnormal.23

Tabel 2. Refluks Symptom Indeks

12

Laringoskopi, tidak ada tanda yang spesifik dari iritasi laring dan inflamasi yang dapat

dilihat, tetapi beberapa penemuan dapat meningkatkan dugaan ke LPR. Meskipun tidak khas,

adanya penebalan, kemerahan dan edema terutama di posterior laring (laringitis posterior) paling

sering ditemukan. Adanya perlekatan granuloma yang mempunyai hubungan dengan monitoring

pH, dijumpai pada kasus LPR 65%-74% pasien, seringnya terletak di tepi tengah dari pita suara

dan juga terdapat edema infraglotis. 4,19

Tidak adanya tanda yang khas dari LPR, maka Belafsky dkk, mengembangkan 8 macam

skala klinis yang ditemukan berdasarkan laringoskopi, dikenal dengan Skor Temuan Refluk

(Reflux Finding Score). Dari 8 temuan yang berhubungan dengan LPR diukur dengan skala 0-4,

temuannya antara lain : (tabel 3). Dan skornya dapat berkisar antara 0 (normal) sampai 26, dan

berdasarkan analisis pasien mempunyai kemungkinan 95% apabila skornya 7 atau lebih.4,23

Tabel 3. Refluks Finding Score

13

2.2.8 Penegakan diagnosis Refluks

Terdapat 3 pendekatan untuk menegakkan diagnosis yaitu respon dari gejala kebiasaan dan

pengobatan secara empirik, observasi endoskopi pada mukosa, dan bukti adanya refluks dengan

multichannel impedance dan studi monitor pH. Pemeriksaan monitoring pH merupakan gold

standard serta sangat sensitif dan spesifik untuk pemeriksaan LPR tetapi biaya pemeriksaanya

mahal, invasif, pasien tidak nyaman, serta tidak semua pusat pelayanan kesehatan tersedia untuk

monitoring pH.2,4,5 Pemeriksaan tambahan seperti radiografi, esophageal manometry, pengukuran

spectrophometric dari cairan refluks dan biopsi mukosa dapat memberikan informasi yang

bermanfaat untuk terapi. 4,11

2.2.9 DIFFRENTIAL DIAGNOSIS

Larinigtis akut dan laryngitis kronik yang dapat disebabkan infeksi bakteri,virus dan

jamur

Alergi

Tumor dapat berupa tumor jinak yaitu laring papiloma, hemangioma, tumor ganas

berupa squamous cel carcinoma, tiroid carcinoma,

Trauma dapat berupa vokal abuse, tercekik, inhalasi, intubasi, radioterapi

Immunocompromised

Granulomatous diseases

Autoimmune diseases

2.2.10 PENATALAKSANAAN

Pada saat riwayat penyakit dan pemeriksaan klinis mengarah ke LPR, pasien diinstruksikan

untuk merubah gaya hidup dan pola makanan. Terapi Proton pump inhibitor (PPI) pada awal

diberikan dan pasien dinilai kembali setelah 3 bulan terapi. Apabila terapi tidak respon maka

akan dilakukan pemeriksaan lain dan monitor yang berkelanjutan. Apabila terapi

memperlihatkan kemajuan maka gejala akan mereda dan pengobatan PPI akan diturunkan

dosisnya. 4,11,24

14

Gmbr 7. Algoritma Penilaian dan Manajemen LPR

a. Edukasi pasien dan perubahan kebiasaan

Pasien dengan LPR diberikan edukasi dan disarankan untuk merubah kebiasaan-

kebiasaan, meliputi berhenti merokok, penurunan berat badan dan menghindari alkohol.

Perubahan ideal dari makanan meliputi, pembatasan coklat, makanan berlemak, buah-buahan

yang asam, minuman berkarbonasi, anggur merah, kafein, dan tidak makan 2-3 jam sebelum

tidur malam. Hal ini untuk menugurangi jumlah lemak yang ada dalam perut ketika berbaring.

Dimana untuk mencegah aliran balik asam ke esofagus dan tenggorok akibat kelemahan sfingter.

15

Menaikan posisi kepala lebih tinggi dari badan dengan dengan benda keras seperti batu,

kayu yang disusun. Dengan meninggikan posisi kepala membantu menurunkan terpaparnya asam

pada daerah tenggorok. Untuk edukasi pasien termasuk tentang jadwal pemberian obat PPI

(omeperazole, esomeprazole, rabeprazole, lansoprazole, dan pantoprazole) yang bekerja optimal

bila diberikan 30-60 menit sebelum makan.4,19,24,25

b. Manajemen Obat-obatan 4,19,24,26

Obat-obatan yang digunakan untuk LPR terdiri dari 4 kategori yaitu : PPI, antagonis

reseptor H2, agent prokinetik, dan mucosal cytoprotectans. (tabel 4)

Proton pump inhibitor (PPI) merupakan obat utama dari pengobatan LPR, diberikan dua

kali sehari selama 3 bulan. Antogonis reseptor H2 yaitu ranitidin telah terbukti lebih poten untuk

menghambat sekresi gaster dibanding simetidin, meskipun ini masih mempunyai keterbatasan

dalam terapi LPR. Agen prokinetik mempunyai efek mempercepat klirens esofagus dan

meningkatkan tekanan LES, akan tetapi mempunyai efek samping yang aritmia ventrikuler dan

diare, penggunaan cisapride sudah tidak direkomendasikan, karena efek sampingnya. Tegaserod

merupakan agen prokinetik yang saat ini dapat digunakan untuk menurunkan refluks.Obat

tambahan lain yang dapat melindungi mukosa dari iritasi pepsin dan asam adalah sukralfat,

sedangkan penggunaan antasida (sodium bicarbonat-aluminum dan magnesium) mungkin dapat

mengurangi gejala pada GERD tetapi untuk LPR kurang bermanfaat.

16

Tabel 5

c.Pembedahan 4,11,19,24,25

Apabila manajemen dengan obat-obatan gagal, maka pasien dengan refluks cairan

dengan volume yang tinggi dan adanya inkompetensi dari LES perlu dilakukan intervensi

pembedahan. Dan hasil yang diharapkan dari pembedahan adalah mengembalikan kompetensi

dari LES yang pada akhirnya berkurangnya episode refluks ke faring.

2.2.11 PROGNOSIS

Prognosis dari laryngopharyngeal reflux dapat berdasarkan durasi dari lamanya penyakit,

komplikasi yang dapat terjadi, prospek penyembuhan, lamanya penyembuhan. Faktor umur bisa

dijadikan faktor prognosis yang menentukan keberhasilan refluks laringofaring. Pada usia di atas

40 tahun terjadi perubahan mukosa laring yaitu edema lapisan superfisial pada lamina propria

terutama pada wanita setelah menopause. Perubahan terjadi pada kelenjar di laring menyebabkan

17

produksi mukus berkurang, secara histologis pada usia tua sedikit ditemukan granular retikulum

endoplasmik dan aparatus Golgi di mukus dan serosa laring, sehingga secara kualitas dan

kuantitas sekresinya berkurang. Perubahan juga terjadi pada mukosa epitel vokal fold menjadi

lebih tipis, menyebabkan pada usia di atas 40 tahun keadaan laring menjadi rentan apabila

terpapar zat asam sehingga meningkatkan angka kejadian kasus LPR.19

18

BAB III

LAPORAN KASUS

Pasien laki-laki 40 th datang ke poli THT dengan keluhan suara serak yang sudah dialami

sejak 3 tahun yang lalu. Keluhan suara serak tidak dirasakan semakin bertambah parah ataupun

hilang timbul. Pasien mengeluh tenggorok terasa mengganjal, sering mendehem dan kadang-

kadang batuk untuk menghilangkan riak yang terasa mengganjal di tenggorok. Pasien tidak

merasa sesak napas, tidak mengeluh nyeri menelan ataupun nyeri tenggorok. Pasien kadang-

kadang merasakan nyeri ulu hati tapi tidak menganngu aktifitas pasien. Pasien masih bisa makan

dan minum dengan baik. Pasien tidak mengeluh pilek maupun nyeri kepala. Berat badan pasien

juga tidak mengalami penurunan.

Sebelumnya pasien mempunyai riwayat minuman alcohol yang dikomsumsi hampir

setiap hari sebanyak 1-2 botol sehari. Saat ini pasien tidak lagi menkomsumsi minuman yang

berakohol. Pasien juga mempunyai riwayat merokok dua bungkus sehari selama lebih kurang 30

tahun. Pasien mengaku sangat sulit untuk tidak merokok lagi. Pasien bekerja sebagai supir

angkutan umum sehingga pola makan tidak teratur, senang makanan pedas. Pasien tidak

mempunyai kebiasaan berteriak-teriak ataupun berusaha mengeluarkan suara yang keras.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan :

KU compos mentis, tekanan darah 130/80 mmHg, nadi 72 kali permenit, pernapasan 24 kali

permenit, dan suhu 36,50C. BB : 70 kg TB : 168

Status THT :

Telinga kanan: LT lapang, secret(-), serumen (-), membran timpani utuh, reflek cahaya (+)

Telinga kiri : LT lapang, secret(-), serumen (-), membran timpani utuh, reflek cahaya (+)

Hidung kanan: cavum nasi lapang, secret (-), konka inferior eutrofi, septum deviasi (-).

Hidung kiri: cavum nasi lapang, secret (-), konka inferior eutrofi, septum deviasi (-).

19

Tenggorokan : Arcus faring simetris, tenang, tonsil T1 - T1 tenang, uvula ditengah, dinding

faring posterior tenang.

Pembesaran kelenjar leher juga tidak ditemukan.

Laringoskopi indirect : pangkal lidah dbn, epiglottis tenang, plika ariepiglotika dbn, aritenoid

edema, hiperemis, plika ventrikularis dbn, plika vokalis gerakan simetris, discharge positip.

Kesan: aritenoid edema.

Pemeriksaan penunjang:

Hasil laboratorium Hb 11,9 g/dL, Leukosit 9,3 103/ ml, Trombosit 313.103/mL.

Rontgen cervical soft tissue kesan tidak tampak adanya tanda-tanda obstruksi jalan napas.

Rontgen thorax kesan : cor dan pulmo dalam batas normal

gbr.1 Rontgen Cervical AP/LAT Soft tissue20

Fiberendoskopi : pangkal lidah dbn, valekula dbn, epiglottis tenang, plika ariepiglotika

dbn, aritenoid edema, hiperemis, fossa piriformis dbn, plika ventrikularis dbn, plika vokalis

gerakan simetris, approksimasi baik massa tidak tampak, lain-lain discharge positip. Kesan:

aritenoid edema. Saran : operasi direct laringoskopi.

Pasien dikonsulkan ke bagian interna dan diagnosis dari interna gastroesophageal refluks

disease. Dan mendapat terapi omeprazole 2x1, ranitidine 2x1. Disarankan kontrol tiap selasa

atau jumat ke bagian gastro.

Pada tanggal 6 september 2010 pasien direncanakan untuk direct laringoskopi. Dari hasil

direct laringoskopi didapatkan plika ventrikularis dbn, plika vokalis dbn, discharge positip,

tampak penebalan di posterior laring, tidak tampak massa, kesan aritenoid edema, hiperemis.

Pada tanggal 7 september 2010 pasien direncanakan pulang. Pada saat pasien pulang

pasien mendapat terapi ambroxol 3x1, ranitidine 2x1. Omeprazole 2x1 antecunam. Pasien

dianjurkan untuk control ke poli THT setelah 1 minggu.

Pada tanggal 15 september 2010 pasien control ke poli THT dengan keluhan suara serak

belum ada perubahan. Pasien dimotivasi untuk sering control ke poli THT karena akan mendapat

terapi selama 6 bulan. Pasien diberikan edukasi dan disarankan untuk merubah kebiasaan-

kebiasaan, meliputi berhenti merokok, makan yang teratur 3 kali sehari dan menghindari alkohol.

Perubahan ideal dari makanan meliputi, pembatasan coklat, makanan berlemak, buah-buahan

yang asam, minuman berkarbonasi, anggur merah, kafein, dan makan tengah malam. Menaikan

posisi kepala lebih tinggi dari badan dengan dengan benda keras seperti batu, kayu yang disusun.

21

BAB IV

DISKUSI

Dilaporkan satu kasus seorang pria 40 tahun dengan diagnosis laryngopharyngeal reflux.

Berdasarkan anamnesis pasien dengan keluhan suara serak yang sudah dialami sejak 3 tahun

yang lalu sehingga sulit untuk berbicara. Keluhan suara serak tidak dirasakan semakin bertambah

berat. Pasien mengeluh tenggorok terasa mengganjal, sering mendehem dan kadang-kadang

batuk untuk menghilangkan riak yang terasa mengganjal di tenggorok. Hal ini sesuai dengan

Koufman dan Survey internasional oleh American Bronchoesophagological Association 1,2,8

yang memaparkan gejala yang tersering dari LPR, yaitu mendehem(98%), batuk lama (97%),

globus faringeus (95%) dan suara serak (95%).

Akibat terdapat empat penghalang fisiologis yang melindungi saluran jalan napas bagian

atas dari trauma akibat refluks, epitel respiratori bersilia di laring yang normalnya berfungsi

untuk membersihkan mukus dari cabang trakeobronkial, akan meningkat jumlahnya bila

keempat sistem penghalang ini gagal dan disfungsi dari silia ini akan menyebabkan

pengumpulan mukus sehingga terjadi sensasi postnasal drip dan merangsang pengeluaran dahak.

Iritasi cairan refluks secara langsung menyebabkan terjadinya batuk dan tersedak

(laringospasme) akibat sensitivitas saraf sensoris laring terangsang dengan inflamasi lokal.

Kombinasi faktor-faktor ini menyebabkan terjadinya edema plika vokalis, ulkus kontak, dan

granuloma yang menyebabkan timbulnya gejala LPR: suara serak, globus pharyngeus, dan nyeri

tenggorok sesuai dengan pendapat Koufman dkk.

Pada pasien ini mempunyai riwayat minum-minuman alcohol yang dikomsumsi hampir

setiap hari sebanyak 1-2 botol sehari, riwayat merokok dua bungkus sehari selama lebih kurang

30 tahun, bekerja sebagai supir angkutan umum sehingga pola makan tidak teratur, senang

makanan pedas. Keadaan- keadaan ini ada hubungannya dengan faktor hormonal yang dapat

meningkatkan produksi asam di lambung. Hal ini sesuai dengan teori bahwa pengaruh faktor

psikis yang dipersarafi sistem saraf otonom yang menstimulasi saraf vagus melalui persarafan

parasimpatis di hipotalamus, akan menghasilkan asetilkolin. Asetilkolin merangsang histamin

22

yang menstimulasi sel parietal untuk mensekresi asam. Faktor hormonal pada sekresi asam dapat

secara langsung menstimulasi sel parietal dan kelenjar peptik tanpa intervensi sistem saraf. Jalur

hormonal ini diperantarai mulai dari hipotalamus, kelenjar pituitari anterior, dan ACTH

mempengaruhi kelenjar adrenal menghasilkan kortison dan adrenal yang akan menstimulasi sel

parietal dan kelenjar peptik untuk menghasilkan HCl dan pepsin.18

Pasien berusia 40 tahun dimana diketahui 6 Park dkk7, pada penelitiannya mendapatkan

faktor umur bisa dijadikan faktor prognosis yang menentukan keberhasilan refluks laringofaring.

Pada usia di atas 40 tahun terjadi perubahan mukosa laring yaitu edema lapisan superfisial pada

lamina propria terutama pada wanita setelah menopous. Perubahan terjadi pada kelenjar di laring

menyebabkan produksi mukus berkurang, secara histologis pada usia tua sedikit ditemukan

granular retikulum endoplasmik dan aparatus Golgi di mukus dan serosa laring, sehingga secara

kualitas dan kuantitas sekresinya berkurang. Perubahan juga terjadi pada mukosa epitel vokal

fold menjadi lebih tipis, menyebabkan pada usia di atas 40 tahun keadaan laring menjadi rentan

apabila terpapar zat asam sehingga meningkatkan angka kejadian kasus LPR.19kan.1-3,5

Berdasarkan Refluks simptom indeks dari Belafsky dkk dengan anamnesis suara serak 5,

mendehem 3, post nasal drip 2,kesulitan menelan makanan, cairan atau pil 0, batuk setelah

makan atau berbaring 0, kesulitan bernapas atau episode tercekik 1, merasa ada sesuatu yang

lengket di tenggorokan 2, rasa panas atau nyeri dada 0. Pasien termasuk dalam score 13. Skor

Indeks Gejala Refluks lebih atau sama dengan 13, pasien ini masuk dalam kategori abnormal.

Pada pasien ini dilakukan direct laringoskopi kesan aritenoid edema, hiperemis. Plika

ventrikularis dbn, plika vokalis dbn, discharge positip, tampak penebalan di posterior laring,

tidak tampak massa. Menurut ford dan kawan-kawan Laringoskopi, tidak ada tanda yang

spesifik dari iritasi laring dan inflamasi yang dapat dilihat, tetapi beberapa penemuan dapat

meningkatkan dugaan ke LPR. Meskipun tidak khas, adanya penebalan, kemerahan dan edema

terutama di posterior laring (laringitis posterior) paling sering ditemukan.

Keadaan ini didukung oleh analisis para peneliti yang menyatakan bahwa gejala

tersebut spesifik untuk kelainan yang disebabkan oleh iritasi dan inflamasi laring, keadaan

tersebut menunjang diagnosis LPR. Meskipun tidak patognomonis, laringitis posterior yang

23

ditandai laring yang menebal, kemerahan, dan edema, merupakan gejala yang sering ditemukan

pada penderita LPR. Eritema/hiperemis pada laring bukan merupakan tanda yang patognomonis

untuk LPR tetapi lebih dari 50% pasien LPR terdapat eritema/hiperemis.6 Berdasarkan analisis

warna, Hanson dkk20 ,Koufman dkk,6 menyatakan bahwa edema laring (bukan eritema) adalah

merupakan penemuan laring yang paling sering dihubungkan dengan refluks.

Skor Temuan Refluk (Reflux Finding Score). Dari 8 temuan yang berhubungan dengan

LPR diukur dengan skala 0-4, temuannya antara lain : (tabel 3). Pada pasien yang ditemukan

hanya eritem pada aritenoid 2, hipertropi komisura posterior 3, mukus pada endolaryngeal yang

tebal 2.Dan total skor dapat berkisar 7 dan berdasarkan analisis pasien mempunyai kemungkinan

95%. 1,14

Pasien diberikan edukasi dan disarankan untuk merubah kebiasaan-kebiasaan, meliputi

berhenti merokok, penurunan berat badan dan menghindari alkohol. Perubahan ideal dari

makanan meliputi, pembatasan coklat, makanan berlemak, buah-buahan yang asam, minuman

berkarbonasi, anggur merah, kafein, dan makan tengah malam. Hal ini sesuai dengan penelitian

ford dan kawan-kawan.

Pada saat pasien pulang pasien mendapat terapi ambroxol 3x1, ranitidine 2x1.

Omeprazole 2x1 antecunam. DelGaudio dan Waring16 melaporkan bahwa penderita LPR yang

diterapi dengan omeprazol 40 mg selama 8 minggu memberikan hasil perbaikan sekitar 60-90%.

Consensus Conference Report on LPR (1997) merekomendasikan pemberian PPI sehari dua kali

dan pemberian diteruskan sampai enam bulan.16 Park dkk,7 menyatakan bahwa respons

pengobatan PPI pada penderita LPR bervariasi sekitar 60-98%. Proton pump inhibitor (PPI) saat

ini merupakan obat anti-LPR yang paling poten. PPI juga dapat menekan produksi asam

lambung. Pada beberapa penelitian menunjukkan bahwa PPI lebih efektif pada pengobatan LPR

jika dibandingkan dengan H2 reseptor antagonis. Obat PPI mempunyai efek langsung terhadap

H+, K+, ATPase yang merupakan enzim sebagai pompa proton di dalam jalur produksi asam di

sel parietal yang menyebabkan penghambatan enzim tersebut. PPI mengeliminasi dan

mengurangi produksi asam dengan cara mengurangi aktivitas pepsin dan mengurangi

terpaparnya jaringan oleh produksi asam.7

24

DAFTAR PUSTAKA

1. Sidhu H, Shaker R, Hogan JW. Gastroesophageal reflux laryngitis. Dalam: Castel OD,

Richer JE, penyunting. The esophagus. Edisi ke-4. Philadelphia: Lippincott Williams and

Wilkins; 2004. h. 518-28.

2. Postma GN, McGuirt Jr WF, Clyne SB. Role of reflux. Dalam: Ossoff RH, Shapshay

SM, Woodson GE, Netterville JL, penyunting. The larynx. Edisi ke-1. Philadelphia:

Lippincott Williams and Wilkins; 2003. h. 499-511.

3.Tauber S, Gross M, Wolfgang J. Association of laryngopharyngeal symptoms with

gastroesophageal reflux disease. Laryngoscope. 2002;112:879–86.

4.Ford CN. Evaluation and management of laryngopharyngeal reflux. JAMA.

2005;294:1534-40.

5. Tutuian R, Castell DO. Diagnosis of laryngopharyngeal reflux. Curr Opin Otolaryngol

Head Neck Surg. 2004;12:174–9.

6. Koufman JA, Belafsky P, Postma GN. Laryngopharyngeal reflux symptoms improve

before changes in physical findings. Laryngoscope. 2001;111:979–81.

7. Park W, Hicks DM, Khandwala F, Richter JE, Abelson TI, Milstein C, dkk.

Laryngopharyngeal reflux: prospective cohort study evaluating optimal dose of proton-

pump inhibitor therapy and pretherapy predictors of response. Laryngoscope.

2005;115:1230–8.

8. Poelmans J, Tack J. Extraesophageal manifestations of gastroesophageal reflux. Gut.

2005 54:1492–9.

9. Qadeer M, Swoger J, Milstein C, Hicks DM, Ponsky J, Richter JE, dkk. Correlation

between symptoms and laryngeal signs in laryngopharyngeal reflux. Laryngoscope.

2005;115:1947–52.

25

10. Ford CN, MD. Evaluation dan Management of Laryngopharyngeal Reflux. JAMA,

September 2005 Vol 294;1534-154011. Koufman, James A. Laryngopharyngeal reflux

2002: a new paradigm of airway disease.Ear Nose and Throat Journal.September 2002

12. Snell, Richard S . Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran Edisi ke-6 /Richard

S. Snell ; alih bahasa, Liliana Sugiharto ; editor edisi bahasa Indonesia, Huriawati

Hartanto, dr …(et al.) . Jakarta : EGC , 2006

13. Snell, Richard S . Neuroanatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran Edisi ke-5

/Richard S. Snell ; alih bahasa, Liliana Sugiharto ; editor edisi bahasa Indonesia, Alifa

Dimanti, dr …(et al.) . Jakarta : EGC , 2006

14. Lee, DR. Laryngopharyngeal Reflux (LPR) and Vocal Difficulty. Loyola Medicine.

2006

15. Lipan MJ, et al. Anatomy of Reflux: A Growing Health Problem Affecting Structures

of the Head and Neck. The Anatomical Record (part B: New Anat, 2006 vol 289B:261-

270

16. Ahuja V, MD, et al. Head and Neck Manifestations of Gastroesophageal Reflux

disease. American Family Physician. 1999 vol 60.

17. Clouse RE, Diamant NE. Eshopageal Motor and Sensory Function and Motor

Disorders of the Esophagus, In:Feldman:Sleisenger & Fordtran’s Gastrointestinal and

Liver Disease, 7th ed. Elsevier.2002

18. Zulka E. Laryngopharyngeal Reflux. Simposium & Demo Sulit Telan (Dysphagia).

Semarang. 2008.

19. Koffman, et al. Controversies in Laryngology, in: Bailey Byron J. Head & Neck

Surgery Otolaryngology 3th edition. Philadelphia, Lippincott Williams & Wilkins. 2001:

642-647

20. Leonard R, Kendall K, Laryngopharyngeal reflux, in Dysphagia Assessment and

Treatment Planning, United Kingdom, plural publishing, 2008: 71-84

26

21. Tauber S, Gross M, Issing WJ. Association of Laryngopharyngeal symptoms with

gastroesophageal reflux disease. Laryngoscope. 2002;112:879-886

22.Carrau RL MD, et al. Validation of a Quality of Life Instrument for

Laryngopharyngeal Reflux. Arch Otolaryngol Head Neck Surg, April 2005 Vol 131:315-

320

23.Belafsky PC, Postma GN, Koufman JA. The validity and reliability if the Reflux

Finding Score (RFS). Laryngoscope. 2001;111:1313-1317

24.Postma GN, et al. Treatment of Laryngopharyngeal reflux. Ear, Nose & Throat

Journal, September 2002

25.Lenderking WR, Phd, et al. The Clinical Characteristics and Impact of

Laryngopharyngeal reflux Disease on Health-Related Quality on Life. Value in Health,

2003 Vol 6 no 5:560-565

26.Richter JE, Gastroesophageal Reflux Disease, in : Yamada’s Textbook of

Gastroenterology 4th Ed. Philadelphia, Lippincott Williams & Wilkins. 2003.

27