case urtikaria
TRANSCRIPT
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Urtikaria merupakan suatu reaksi vaskular di kulit akibat bermacam-macam sebab, biasanya
ditandai dengan edema setempat yang cepat timbul dan menghilang perlahan-lahan, berwarna pucat
dan kemerahan, meninggi di permukaan kulit, dan sekitarnya dapat dikelilingi halo.1
Angioedema adalah urtikaria yang mengenai lapisan kulit yang lebih dalam daripada dermis,
dapat di submukosa, subkutis, ataupun saluran nafas, saluran cerna, dan organ kardiovaskular.1
Urtikaria dan angioedema merupakan edema nonpitting yang dapat terjadi secara tersendiri
atau bersamaan. Episode urtikaria/ angioedema yang berlangsung kurang dari 6 minggu disebut
urtikaria/ angioedema akut. Di lain pihak, bila proses tersebut cenderung menetap lebih dari 6 minggu
disebut kronik.4
B. EPIDEMIOLOGI1,2
Urtikaria dan angioedema sering dijumpai pada semua umur, orang dewasa lebih banyak
mengalami urtikaria dibandingkan dengan usia muda. Ditemukan 40% bentuk urtikaria saja, 49%
urtikaria bersama-sama dengan angioedema dan 11% angioedema saja. Lama serangan berlangsung
bervariasi, ada yang lebih dari satu tahun bahkan lebih dari 20 tahun.
Penderita atopi lebih mudah mengalami urtikaria dibandingkan dengan orang normal. Tidak ada
perbedaan frekuensi jenis kelamin, baik laki-laki maupun perempuan. Umur, ras, aktivitas, letak
geografis dan perubahan musim dapat mempengaruhi hipersensitivitas yang diperankan oleh IgE.
Penisilin tercatat sebagai obat yang lebih sering menimbulkan urtikaria.
C. ETIOLOGI DAN FAKTOR RESIKO1,2
Pada penyelidikan ternyata hampir 80% penyebab urtikaria tidak diketahui. Namun diduga
penyebab urtikaria sangat bermacam-macam, diantaranya : obat, makanan, gigitan atau sengatan
1
serangga, fotosensitizer, inhalan, kontaktan, trauma fisik, infeksi, dan infestasi parasit, psikis, genetic,
dan penyakit sistemik.1
1. Obat
Bermacam-macam obat dapat menimbulkan urtikaria baik secara imunologik maupun
nonimunologik. Hampir semua obat sistemik menimbulkan urtikaria secara imunologi tipe I atau
tipe II. Contohnya adalah obat-obat golongan penisilin, sulfonamide, analgesic, pencahar,
hormon dan diuretic. Ada pula obat yang secara langsung dapat merangsang sel mast untuk
melepaskan histamine, misalnya kodein, opium, dan zat kontras. Aspirin menimbulkan urtikaria
karena menghambat sintesis prostaglandin dari asam arakhidonat. Selain itu aspirin dapat
mencetuskan terjadinya urtikaria kronik pada 30% pasien.
2. Makanan
Peranan makanan ternyata lebih penting pada urikaria yang akut, umumnya akibat reaksi
imunologi. Makanan berupa protein atau bahan lain yang dicampurkan kedalamnya seperti zat
warna penyedap rasa, atau bahan pengawet, sering menimbulkan urtikaria alergi. Contoh
makanan yang sering menimbulkan urtikaria ialah telur, ikan kacang, udang, coklat, tomat,
arbei, babi, keju, bawang, dan semangka. Bahan yang dicampurkan dalam makanan seperti
asam nitrat, asm benzoat, ragi, salisilat dan penisilin. Jika urtikaria bersifat akut dan rekuren, hal
ini dapat dicetuskan oleh kandungan makanan itu sendiri, untuk itu dapat dilakukan tes IgE, dan
dilakukan diet eliminasi.
3. Gigitan atau sengatan serangga
Gigitan atau sengatan serangga dapat menyebabkan urtikaria lebih diakibatkan karena peranan
IgE (reaksi tipe I) dan tipe seluler (tipe IV). Tetapi toksin bakteri bisa juga mengaktifkan
komplemen.
4. Bahan fotosensitizer
Bahan semacam ini misalnya griseovulvin, fenotiazin, sulfonamide, bahan kosmeitik dan sabun
germisid sering menimbulkan urtikaria.
5. Inhalan
2
Inhalan yang berupa serbuk sari bunga (pollen), spora jamur, debu bulu binatang, dan aerosol
umumnya lebih mudah menimbulkan urtikaria alergik (tipe I). Reaksi ini sering dijumpai pada
penderita atopi dan disertai gangguan pernapasan.
6. Kontaktan
Kontaktan yang sering menimbulkan urtikaria ialah kutu binatang, serbuk tekstil, air liur
binatang, tumbuh-tumbuhan, buah-buahan bahan kimia misalnya insect repellent (pembasmi
serangga), dan bahan kosmetik. Keadaan ini disebabkan bahan tersebut menembus kulit dan
menimbulkan urtikaria.
7. Trauma fisik
Trauma fisik dapat siakibatkan oleh faktor dingin., yakni berenang atau memegang benda
dingin. Faktor panas misalnya sinar matahari, sinar UV, radiasi atau panas akibat pembakaran.
Faktor tekanan yaitu goresan, pakaian ketat, ikat pinggang, semprotan air, vibrasi dan tekanan
berulang-ulang, contohnya pijatan, keringat, pekerjaan berat, demam dan emosi menyebabkan
urtikaria fisik, baik secara imunologik ataupun nonimunologik. Klinis biasanya terjadi di tempat
yang mudah terkena trauma. Dapat timbul urtikaria beberapa menit atau jam setelah digores
benda tumpul. Fenomena ini disebut fenomena demografisme atau fenomena darier.
8. Infeksi dan infestasi
Bermacam-macam infeksi dapat menyebabkan urtikaria misalnya infeksi bakteri, virus, jamur,
maupun infestasi parasit. Infeksi bakteri contohnya tonsillitis, infeksi gigi dan sinusitis. Masih
merupakan pertanyaan besaraapakah urtikaria timbul karena toksin bakteri atau karena
sensitisasi. Infeksi virus hepatitis, mononucleosis dan infeksi coxsackiae pernah dilaporkan
sebagai factor penyebab. Karena itu pada urtikaria yang ideopatik harus dipikirkan adanya
infeksi virus subklinis. Infeksi jamur kandida dan dermatofita sering dilaporkan sebagai
penyebab urtikaria. Infestasi cacing pita, cacing tambang, cacing gelang juga schistosoma atau
echinococcus dapat menyebabkan urtikaria.
9. Psikis/ stress emosional
Tekanan jiwa dapat memacu sel mast atau langsung menyebabkan peningkatan permeabilitas
dan vasodilatasi kapiler. Ternyata hampir 11,5% penderita urtikaria menunjukan gangguan
3
psikis. Penyelidikan memperlihatkan bahwa hypnosis dapat menghambat eritema dan urtika.
Pada percobaan induksi psikis, ternyata suhu kulit dan ambang rangsang eritema meningkat.
10. Genetik
Faktor genetic berperan penting pada urtikaria walaupun jarang menunjukan penurunan
autosomal dominan. Diantaranya adalah familial cold urtikaria, familial localized heat urtikaria,
heredo-familial syndrome of urtikaria deafness and amyloidosis. Selain itu dikatakan bahwa
polimorfisme dari gen reseptor β2 adrenergik (ADRB2) ditemukan pada pasien dengan urtikaria
akut akibat intoleransi aspirin.
11. Penyakit sistemik
Beberapa penyakit kolagen dan keganasan dapat menimbulkan urtikaria, reaksi lebih sering
disebabkan reaksi antigen-antibodi. Penyakit vesiko-bulosa, misalnya pemfigus dan dermatitis
hervetiformis during sering menimbulkan urtikaria. Sejumlah 7-9% penderita lupus eritomatosus
sistemik dapat mengalami urtikaria. Beberapa penyakit sistemik yang sering disertai urtikaria
antara lain limfoma, hipertiroid, hepatitis, urtikaria pigmentosa, arthritis pada demam rheumatic
dan arthritis rheumatoid juvenilis.
12. Neoplasma
Urtikaria sering dihubungkan dengan keganasan dan penyakit Hodgkin, serta leukemia.
13. Alkohol
Urtikaria bisa dipicu oleh konsumsi alcohol, dimana mekanisme terjadinya stimulasi sel mast
secara tidak langsung oleh alcohol masih belum diketahui. Wine secara umum mengandung
sulfite, yang dapat menyebabkan urtikaria.
14. Menthol
Pada kasus yang jarang, menthol dapat memicu terjadinya urtikaria. Menthol dapat ditemukan
pada rokok, permen, obat batuk, sprai aerosol, dan pengobatan topical.
15. Hormonal
Urtikaria kronis terjadi dua kali lipat lebih sering pada wanita dibandingkan pria dan telah
ditemukan pada kasus ini terdapat rendahnya kadar dehidroepiandosteron (DHEA)-S yang
berperan terhadap ketidakseimbangan hormone.
D. KLASIFIKASI1
4
Terdapat bermacam-macam paham penggolongan urtikaria, berdasarkan lamanya serangan
berlangsung dibedakan urtikaria akut dan kronik. Disebut akut apabila serangan berlangsung kurang dari
6 minggu, atau berlangsung selama 4 minggu tapi berlangsung setiap hari. Bila melebihi waktu tersebut
digolongkan sebagai urtikaria kronik. Urtikaria akut sering terjadi pada usia muda, umumnya laki-laki
lebih sering daripada perempuan. Urtikaria kronik lebih sering pada wanita usia pertengahan. Penyebab
urtikaria akut lebih mudah diketahui, sedangkan urtikaria kronik lebih sulit ditemukan. Ada
kecenderungan urtikaria lebih sering diderita oleh penderita atopik.
Berdasarkan morfologi klinis, urtikaria dibedakan menurut bentuknya yaitu:
Urtikaria popular
Urtikaria gutata
Urtikaria girata
Urtikaria anular
Urtikarai arsinar
Menurut luasnya dan dalamnya jaringan yang terkena dapat dibedakan menjadi:
Urtikaria local
Urtikaria general
Angioedema
Namun yang paling menarik perhatian adalah penggolongan berdasarkan penyebab urtikaria
dan mekanisme terjadinya urtikaria, maka dikenal urtikaria imunologik, urtikaria nonimunologik, dan
idiopatik sebagai berikut:
I. Urtikaria atas dasar reaksi imunologik
a. Bergantung pada IgE (reaksi alergik tipe I)
1.Pada penderita atopi
2.Antigen Spesifik (pollen, obat)
b. Ikut sertanya komplemen
1.Pada reaksi sitotoksik (reaksi alergik tipe II)
2.Pada reaksi kompleks imun (reaksi alergi tipe III)
3.Defisiensi C1 esterase inhibitor (genetic)
II. Urtikaria atas dasar reaksi nonimunologik
5
a. Langsung memacu sel mas sehingga terjadi pelepasan mediator-mediator alergi (misalnya obat
golongan opiate dan bahan kontras)
b. Bahan yang menyebabkan perubahan metabolisme asam arakhidonat (misalnya aspirin dan obat
anti-inflamasi nonsteroid)
c. Trauma fisik
Urtikaria solar : karena paparan cahaya
Urtikaria dingin : karena udara dingin
Urtikaria dermatografisme : karena gesekan atau tekanan
Urtikatia kolinergik : karena pengeluaran keringat
III. Urtikaria Idiopatik
Urtikaria yang tidak diketahui penyebabnya dimasukan dalam golongan urtikaria idiopatik.
E. PATOGENESIS/PATOFISIOLOGI1
Urtikaria terjadi karena vasodilatasi disertai permeabilitas kapiler yang meningkat, sehingga
terjadi transudasi cairan yang mengakibatkan terjadinya pengumpulan cairan setempat, sehingga secara
klinis tampak edema setempat disertai kemerahan.
Vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas kapiler dapat terjadi akibat pelepasan mediator-
mediator misalnya histamin, kinin, serotonin, slow reacting substance of anaphylaxis (SRSA), dan
prostaglandin oleh sel mast dan atau basofil. Selain itu terjadi pula inhibisi proteinase oleh enzim
proteolitik misalnya kalikrin, tripsin, plasmin, dan hemotripsin di dalam sel mast.
Baik faktor imunologik maupun non-imunologik mampu merangsang sel mas atau basofil untuk
melepaskan mediator-mediator tersebut. Pada yang non-imunologik, mungkin sekali siklik AMP
(Adenosine Mono Phosphate) memegang peranan penting pada pelepasan mediator. Beberapa bahan
kimia seperti golongan amin dan derivat amidin, obat-obatan seperti kodein, morfin, polimiksin dan
beberapa antibiotik berperan pada keadaan ini. Bahan kolinergik seperti asetilkolin dilepaskan oleh saraf
kolinergik kulit, dengan mekanisme yang belum diketahui dapat mempengaruhi sel mast untuk
melepaskan mediator.
6
Faktor fisik misalnya panas, dingin, trauma tumpul, sinar X, dan pemijatan dapat secara langsung
merangsang sel mas. Beberapa keadaan, misalnya demam, panas, emosi, dan alkohol dapat merangsang
langsung pembuluh darah kapiler sehingga terjadi vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas.
Faktor imunologik lebih berperan pada urtikaria akut daripada kronik, biasanya IgE terikat pada
permukaan sel mas dan atau sel basofil karena adanya reseptor Fc. Bila ada antigen yang sesuai
berikatan dengan IgE, maka terjadi degranulasi sel, sehingga terjadi pelepasan mediator. Keadaan ini
jelas tampak pada reaksi tipe I (anafilaksis), misalnya alergi obat dan makanan. Komplemen juga ikut
berperan. Aktivasi komplemen secara klasik maupun alternatif menyebabkan pelepasan anafilatoksin
(C3a, C5a) yang mampu merangsang sel mas dan basofil. Hal ini terjadi pada urtikaria akibat venom atau
toksin bakteri.
Ikatan dengan komplemen juga terjadi pada urtikaria akibat reaksi sitotoksik dan kompleks
imun. Pada keadaan ini, juga dilepaskan zat anafilatoksin. Urtikaria akibat kontak juga terjadi, misalnya
setelah pemakaian bahan penangkis serangga (insect repelent), bahan kosmetik, dan penggunaan obat-
obatan golongan sefalosporin. Kekurangan C1 esterase inhibitor secara genetik menyebabkan edema
angioneurotik yang herediter.
7
Gambar 1. Diagram Faktor Imunologik dan Non-imunologik yang Menimbulkan Urtikaria
8
Sel Mas
Basofil
FAKTOR NON-IMUNOLOGIK FAKTOR IMUNOLOGIK
Bahan kimia pelepas mediator (morfin, kodein)
Reaksi Tipe I (IgE) inhalan, obat, makanan, infeksi
Faktor fisik (panas, dingin, trauma, sinar X, cahaya
Reaksi Tipe IV (kontaktan)
Efek Kolinergik
Pengaruh komplemen
Aktivasi komplemen
(Ag-Ab, venom, toksin)
Reaksi Tipe II
Reaksi Tipe III
Faktor Genetik:
Defisiensi C1 esterase inhibitor
Familial cold urticaria
Familial heat urticaria
Pelepasan Mediator:
H1, SRSA, serotonin, kinin, PEG, PAF
Vasodilatasi, Peningkatan Permeabilitas Kapiler
Urtikaria
Alkohol, Emosi, Demam
Idiopatik
F. MANIFESTASI KLINIS
Gambaran klinis urtikaria yaitu berupa munculnya ruam atau lesi kulit berupa biduran yaitu kulit
kemerahan dengan penonjolan atau elevasi berbatastegas dengan batas tepi yang pucat disertai dengan
rasa gatal (pruritus) sedangsampai berat, pedih, dan atau sensasi panas seperti terbakar. Lesi dari
urtikariadapat tampak pada bagian tubuh manapun, termasuk wajah, bibir, lidah,tenggorokan, dan
telinga. Bentuknya dapat papular seperti pada urtikaria akibatsengatan serangga, besarnya dapat
lentikular, numular sampai plakat. Bilamengenai jaringan yang lebih dalam sampai dermis dan jaringan
submukosa atau subkutan, maka ia disebut angioedema.
Pada dermografisme lesi sering berbentuk linear di kulit yang terkena goresan benda tumpul,
timbul dalam waktu lebih kurang 30 menit. Pada urtikaria solar lesi terdapat pada bagian tubuh yang
terbuka. Pada urtikaria dingin dan panas lesi akan terlihat pada daerah yang terkena dingin dan panas.
Urtikaria akibat penyinaran biasanya pada gelombang 400-500 nm, klinis berbentuk urtikaria popular.
Lesi urtikaria kolinergik adalah kecil-kecil dengan diameter 1-3 mm dikelilingi daerah warna
merah namun dapat pula nummular dan berknfluen membentuk plakat. Biasanya terdapat pada daerah
yang berkeringat. Dapat timbul pada peningkatan suhu tubuh, emosi, makanan yang merangsang dan
pekerjaan berat. Unutuk urtikaria akibat obat atau makanan ummnya timbul secara akut dan
generalisata. Lesi individual urtikaria timbul mendadak, jarang persisten melebihi 24-48 jam, dan dapat
berulang untuk periode yang tidak tentu.1,4
G. DIAGNOSA
Diagnosis urtikaria ditegakkan melalui anamnesis yang teliti, pemeriksaan klinis yang cermat,
dan pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan. Beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk
membuktikan penyebab dari urtikaria, seperti :
Pemeriksaan darah, urin, feses rutin untuk menilai adanya infeksi yang tersembunyi atau kelainan
pada alat dalam. Cryoglobulin dan cold hemolysin perlu diperiksa untuk dugaan urtikaria dingin.
Pemeriksaan kadar IgE, eosinophil, dan komplemen.
Tes kulit, seperti uji gores, uji tusuk, serta tes intradermal dapat digunakan untuk mencari allergen
inhalan, makanan dermatofit, dan candida.
Pemeriksaan gigi, telinga-hidung-tenggorokan, serta usapan vagina perlu untuk menyingkirkan
infeksi fokal.
9
Tes eliminasi makanan.
Pada urtikaria fisik akibat sinar dapat dilakukan tes foto tempel.
Tes dengan es (ice cube test).
Tes dengan air hangat.1
Ketika serangan muncul kurang dari enam minggu, digolongkan urtikaria akut. Pertimbangan
utama penyebab adalah reaksi alergi yang dimediasi oleh IgE, melalui makanan maupun obat-obatan.
Pada urtikaria kronik (> 6 minggu), dapat dibagi menjadi idiopatik (penyebab belum ditemukan) dan
autoimun. Urtikaria kronik disertai angioedema sering ditemukan pada 40% kasus dan kebanyakan
termasuk masalah yang berhubungan dengan autoimun.3
H. TATALAKSANA
Tatalaksana yang tepat berupa mengatasi penyebab atau jika mungkin menghindari penyebab
yang dicurigai. Pengobatan dengan antihistamin terbukti bermanfaat dengan cara kerja menghambat
histamine pada reseptornya. Jika pengobatan dengan satu jenis antihistamin gagal hendaknya
dipergunakan antihistamin grup lain. Hiroksizin lebih efektif disbanding antihistamin lain untuk
mencegah urtikaria,dermografisme, dan urtikaria kolinergik. Kadang golongan beta adrenergik seperti
epinefrin dan kortikosteroid dapat mengatasi urtikaria.
Pengobatan dengan cara desensitisasi, misalnya pada urtikaria dingin dengan melakukan
sensitisasi air pada suhu 100C (1-2 menit) dua kali sehari selama 2 hingga 3 minggu. Pada alergi debu,
serbuk sari bunga, dan jamur, desensitisasi mula-mula dengan dosis kecil 1 minggu dua kali, dosis
dinaikkan dan dijarangkan perlahan-lahan sampai batas yang tepat yang dapat ditoleransi pasien.
Eliminasi diet dapat dicoba pada yang sensitif terhadap makanan. Pengobatan lokal di kulit dapat
diberikan secara simptomatik, misalnya antipruritus di dalam bedak atau bedak kocok.1
Urtikaria Akut
Tatalaksana dengan antihistamin terbukti bermanfaat. Antihistamin nonsedasi sering menjadi
pilihan baru-baru ini. Jika penyebab dari episode akut ditemukan, menghindari penyebab sangat
ditekankan. Jika pasien tidak berespon terhadap antihistamin, kortikosteroid sistemik terbukti efektif.2
Jika reaksi lebih berat, termasuk anafilaksis, 0,3 ml dosis dalam 1:1000 pengenceran epinefrin
diberikan setiap 10 hingga 20 menit jika dibutuhkan. Terapi tambahan termasuk antihistamin
intramuscular (25-50 mg hidroksizin atau difenhidramin setiap 6 jam jika dibutuhkan dan kortikosteroid
sistemik (250 mg hidrokortison atau 50 mg metilprednisolon secara intravena setiap 6 jam selama 2
hingga 4 dosis).2
10
Berikut nama golongan antihistamin yang digunakan:4,5
Tabel 1: Pengobatan dengan menggunakan antihistamin
Urtikaria Kronik
11
Golongan Obat Dosis Frekuensi
Antihistamin H1 (generasi ke-1, sedatif)
Hydroxizine 0,5-2 mg/kg/kali (dewasa 25-100 mg)
Setiap 6-8 jam
Diphenhydramin 1-2 mg/kg/kali (dewasa 50-100 mg)
Setiap 6-8 jam
Chlorpheniramin Maleat
0,25 mg/kg/hari, dibagi 3 dosis(dewasa 4 mg)
Setiap 8 jam
Antihistamin H1 (generasi ke-2, nonsedatif)
Setirizin 0,25 mg/kg/kali(dewasa 10 mg)
6-24 bulan: 2 kali/hari>24 bulan: 1 kali/hari
Fexofenadin 6-11 tahun: 30 mg> 12 tahun: 60 mg(dewasa : 120 mg)
2 kali/hari
1 kali/hari
Loratadin 2-5 tahun: 5 mg> 6 tahun: 10 mg
1 kali/hari
Desloratadin 6-11 bulan: 1 mg1-5 tahun: 1,25 mg6-11 tahun: 2,5 mg>12 tahun: 5 mg
1 kali/hari
Antihistamin H2
Cimetidine Bayi: 10-20 mg/kg/hariAnak: 20-40 mg/kg/hari(dewasa 400 mg)
Tiap 6-12 jam (terbagi 2-4 dosis)
Ranitidine 1 bln-16 tahun: 5-10 mg/kg/hari(dewasa 150 mg)
Tiap 12 jam (terbagi dalam 2 dosis)
Tatalaksana juga menggunakan antihistamin dengan basis harian, bukan digunakan hanya saat
dibutuhkan. Penggunaan antihistamin generasi pertama hingga dosis maksimal dibutuhkan jika
antihistamin nonsedasi tidak bermanfaat sebelum ditambahkan dengan kortikosteroid. Beberapa pasien
membutuhkan terapi lain seperti terapi imunosupresi kronik, plasma feresis, atau immunoglobulin
intravena.2
Pengobatan immunomodulatory agent antara lain Cyclosporine 3-5 mg/kg/hari, tacrolimus,
methotrexate, cyclophosphamide, mycophenolate mofetil dan intravenous immunoglobulins.
Sedangkan obat lain 3 diluar immunomodulatory agent antara lain plasmaharesis, colchicines, dapsone,
albuterol(salbotamol), tranexamic acid, terbutaline, sulfasalazine, hydroxychloroquine dan warfarin.4,5
I. PROGNOSA
Urtikaria akut prognosisnya lebih baik karena penyebabnya dapat diatasi disbanding urtikaria
kronik yang penyebabnya kadang sulit dicari.1
12
BAB II
PRESENTASI KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama : AR
Umur : 7 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Pelajar
Alamat : Jati, Padang
Seorang pasien laki-laki berusia 7 tahun datang ke Poli Kulit & Kelamin pada tanggal 25 Juni 2013
dengan keluhan utama:
Bercak merah di punggung yang terasa gatal sejak 12 jam yang lalu
Riwayat penyakit sekarang :
Bercak merah pada punggung yang terasa gatal sejak 12 jam yang lalu. Bercak awalnya
ditemukan pada punggung bagian atas, berwarna kemerahan, berukuran kurang lebih sebesar
koin, lalu menyebar ke punggung bagian bawah serta pinggang, dan ukuran bertambah besar.
Tidak ditemukan bercak di bagian tubuh lain.
Pasien sebelumnya mengkonsumsi kepiting saat makan malam sebanyak 2 ekor, lalu tidak lama
setelah makan punggung terasa gatal dan perih.
13
Riwayat alergi makanan sebelumnya tidak ada, pasien baru pertama kalinya mengkonsumsi
kepiting
Riwayat digigit serangga tidak ada
Riwayat demam, sakit gigi, dan batuk pilek tidak ada
Riwayat meminum obat-obatan tidak ada
Riwayat memakai baju baru atau mengganti sabun mandi dalam 2 hari terakhir tidak ada
Riwayat mata merah berair-air, alergi serbuk bunga, bersin-bersin dan hidung berair tidak ada
Riwayat Penyakit Dahulu :
Tidak pernah menderita sakit atau keluhan seperti ini sebelumnya
Riwayat Penyakit Keluarga :
Tidak ada anggota keluarga yang memiliki keluhan yang serupa, atau alergi terhadap makanan
tertentu
Ayah pasien menderita asma
PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalisata
Keadaan umum : Tidak tampak sakit
Kesadaran : Composmentis cooperatif
14
Status gizi : BB : 34 kg IMT : 18,65 kg/m2
TB : 135 cm Keadaan gizi : baik
Pemeriksaan thorak : Tidak diperiksa. Diharapkan tidak ditemukan kelainan
Pemeriksaan abdomen : Tidak diperiksa. Diharapkan tidak ditemukan kelainan
Status Dermatologikus
Lokasi : Punggung hingga pinggang
Distribusi : Regional
Bentuk : Tidak khas
Susunan : Tidak khas
Batas : Tegas
Ukuran : Plakat
Efloresensi : Urtikaeritema yang konfluens dengan ukuran girata
15
Status venereologikus : tidak diperiksa
Kelainan selaput lendir : tidak ditemukan kelainan
Kelainan kuku : tidak ditemukan kelainan
Kelainan rambut : tidak ditemukan kelainan
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Darah
Hb : 12 g/dl
16
Leukosit : 7500/mm3
Hitung jenis : 1/2/4/54/31/3
LED : 15 mm/jam
Urin
Warna kuning, protein tidak ada, sediment tidak ada
Feces : tidak diperiksa
Makroskopis : warna kuning kecoklatan, konsistensi lunak, darah dan lendir tidak ada
Mikroskopis : Eritrosit dan leukosit tidak ada, telur cacing tidak ada, parasite lain tidak ada
DIAGNOSIS
Urtikaria akut
PEMERIKSAAN ANJURAN
Pemeriksaan IgE
Tes eliminasi makanan
TATALAKSANA
Umum : menghindari makanan yang dapat memicu terjadinya urtikaria
Khusus: loratadin tablet 1 x 10 mg
PROGNOSIS
17
Quo ad sanam : bonam
Quo ad vitam : bonam
Quo ad kosmetikum : bonam
Quo ad fungsionam : bonam
18
DAFTAR PUSTAKA
1. Siti Aisah. Urtikaria. Dalam : Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Edisi Kelima. Jakarta : Balai Penerbit
FK UI.2007.Hal 169-75.
2. William D James. Elston, Dirk M. Berger, Timothy G. Andrew’s Diseases of The Skin Clinical
Dermatology Eleventh Edition.China : Elsevier.2011.Hal 147-54
3. Allen P. Kaplan. Urticaria and Angioedema. Dalam : Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine
Seventh Edition. New York : Mc Graw Hill.2008.Chapter 37.Hal 330-43.
4. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jakarta :
Balai Penerbit FKUI, 2006 : 235-241
5. Matondang, Soepriyadi, Setiabudiawan. 2007. Urtikaria-Angioedema. Buku Ajar Alergi-Imunologi Anak Edisi Kedua. Disunting oleh Akib, Munash dan Kurniati. Ikatan Dokter Anak Indonesia.
19