sindroma nefrotik

16
Sindroma Nefrotik Pendahuluan Sindrom nefrotik (SN) adalah sekumpulan manifestasi klinis yang ditandai oleh proteinuria masif (lebih dari 3,5 g/1,73 m 2 luas permukaan tubuh per hari), hipoalbuminemia (kurang dari 3 g/dl), edema, hiperlipidemia, lipiduria, hiperkoagulabilitas. Berdasarkan etiologinya, SN dapat dibagi menjadi SN primer (idiopatik) yang berhubungan dengan kelainan primer glomerulus dengan sebab tidak diketahui dan SN sekunder yang disebabkan oleh penyakit tertentu. Saat ini gangguan imunitas yang diperantarai oleh sel T diduga menjadi penyebab SN. Hal ini didukung oleh bukti adanya peningkatan konsentrasi neopterin serum dan rasio neopterin/kreatinin urin serta peningkatan aktivasi sel T dalam darah perifer pasien SN yang mencerminkan kelainan imunitas yang diperantarai sel T. 1 Anamnesis Pada anamnesis pada sindroma nefrotik, hal pertama yang ditanyakan adalah onset dari gejala (gejala yang paling tampak pada pemeriksaan klinis adalah edema). Setelah itu kita tanyakan ada atau tidaknya gejala lain sebelum terjadinya edema karena pada perlu dicuragai kemungkinan sindroma nefrotik sekunder, misalnya misalnya nyeri tenggorokan disertai demam (post streptococcal infection), bintik- bntik merah pada kulit (henoch schonlein). Perlu juga ditanyakan mengenai peningkatan berat badan secara cepat untuk membedakan pertumbuhan dan edema. Perlu juga ditelusuri mengenai keluhan penyerta lainnya misalnya sesak napas (edema paru) ataupun 1

Upload: chandra-franata

Post on 27-Jan-2016

68 views

Category:

Documents


13 download

DESCRIPTION

Sindroma nefrotik

TRANSCRIPT

Page 1: Sindroma Nefrotik

Sindroma Nefrotik

PendahuluanSindrom nefrotik (SN) adalah sekumpulan manifestasi klinis yang ditandai oleh

proteinuria masif (lebih dari 3,5 g/1,73 m2 luas permukaan tubuh per hari), hipoalbuminemia (kurang dari 3 g/dl), edema, hiperlipidemia, lipiduria, hiperkoagulabilitas. Berdasarkan etiologinya, SN dapat dibagi menjadi SN primer (idiopatik) yang berhubungan dengan kelainan primer glomerulus dengan sebab tidak diketahui dan SN sekunder yang disebabkan oleh penyakit tertentu. Saat ini gangguan imunitas yang diperantarai oleh sel T diduga menjadi penyebab SN. Hal ini didukung oleh bukti adanya peningkatan konsentrasi neopterin serum dan rasio neopterin/kreatinin urin serta peningkatan aktivasi sel T dalam darah perifer pasien SN yang mencerminkan kelainan imunitas yang diperantarai sel T.1

Anamnesis

Pada anamnesis pada sindroma nefrotik, hal pertama yang ditanyakan adalah onset dari gejala (gejala yang paling tampak pada pemeriksaan klinis adalah edema). Setelah itu kita tanyakan ada atau tidaknya gejala lain sebelum terjadinya edema karena pada perlu dicuragai kemungkinan sindroma nefrotik sekunder, misalnya misalnya nyeri tenggorokan disertai demam (post streptococcal infection), bintik- bntik merah pada kulit (henoch schonlein). Perlu juga ditanyakan mengenai peningkatan berat badan secara cepat untuk membedakan pertumbuhan dan edema. Perlu juga ditelusuri mengenai keluhan penyerta lainnya misalnya sesak napas (edema paru) ataupun diare (edema usus). Penulusuran mengenai konsumsi obat tertetu dan riwyat alergi obat juga penting untuk menyingkirkan diagnosa banding.

Pemeriksaan fisik

Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan edema. Edema pitting biasanya ditemukan di wajah, ekstremitas bawah dan daerah periorbital, skrotum atau labia dan perut (asites). Pada anak-anak dengan asites, kesulitan bernapas dapat terjadi, dan sebagai kompensasi terjadilah takipneu. Edema paru dan efusi juga dapat menyebabkan gangguan pernapasan. Nyeri tekan pada abdomen mungkin menunjukan peritonitis.3

1

Page 2: Sindroma Nefrotik

Pemeriksaan penunjang

Histopatologi

Pemeriksaan untuk klasifikasi pada sindroma nefrotik penting untuk menentukan prognosis adalah dengan pemeriksaan histopatologis, walaupun tidak selalu dilakukan, misalnya pada anak yang kurang dari delapan tahun tidak perlu dilakukan biopsi ginjal kecuali tidak responsif terhadap steroid. Berdasarkan histopatologi, sindroma nefrotik primer dapat diklasifikasi menjadi,2 yaitu:

Sindroma nefrotik perubahan minimal (MCNS- Minimal Change Nephrotic Syndrome) memperlihakan morfologi yang pada pemeriksaan mikroskop cahaya memperlihatkan sedikit perubahan dibandingkan glomerulus normal. Mungkin tampak sedikit perubahan pada mesangeal, tapi imunoglobulin biasanya tidak ada, dan pada mikroskop elekrton tidak tampak ada endapan. Satu-satunya perubahan yang tampak pada tahap ini adalah fusi kaki podosit. Pada populasi tidak diseleksi, 77% penderita sindroma nefrotik memiliki gambaran histologik ini. Klas ini juga memiliki prognosis paling baik.4

Glomerulosklerosis global fokal (FGGS- Focal Global Glomerulosclerosis) adalah glomerulus yang mengalami sklerosi global di beberapa fokus daerah, dengan glomerulus sisa yang normal.4

Glomerulosklerosis segmental fokal (FSGS- Focal Segmental Glomerulosclerosis) menggambarakan lesi yang sejumlah glomerulusnya terkena sklerosis segmental (satu lobulus atau bagian di dalam glomerulus), denga glomerulus sisa yang normal. Karena hanya bersifat fokal dan sering hanya terbatas pada nefron juxtamedular, lesi ini dapat luput dari pemeriksaan biopsi ginjal. Mikroskop imunofluoresesn memperlihatkan beberapa gambaran: pada beberapa pasien semua imunoglobulih dan komplemen tampak terdeposit di dalam sklerotik tersebut. Sekitar 7% dari anak yang diseleksi pada awitan sindrom nefrotik memiliki lesi ini, dan 80% tidak responsif terhadap terapi steroid standar.4

Glomerulonefritis proliperatif mesangeal (MPN- Mesangeal Proliferative Glomerulonephritis) Terjadi pada 8% dari kasus sindrom nefrotik, dan >95% tidak responsif terhadap terapi stereoid standar.4

Glomerulonefritis membranosa (MGN, Membranous Glomerulonephritis) hanya pada 1-2% sindroma nefrotik pada anak. Pada pasien yang mempunyai lesi ini memiliki onset klinis mirip dengan MCNS, tetapi tidak responsif terhadap terapis steroid.4

Pemeriksaan Laboratorium

Urin, pada urin ditemukan proteinuria masif, yaitu >3,5 gr /24 jam. Hematuia mikroskopik terjadi pada 20% anak MCNS atau FSGS dan pada 4% akan mengalami hematurai makroskopik.4

Darah, Hiperkolesterolemia jauh lebih sering pada MCNS, walaupun dapat juga sering pada MPGN. Konsentrasi C3 serum akan normal pada hampir pada semua anak dengan MCNS dan FSGS, tetapi akan menurun pada MPGN. Kadar albumin serum yang rendah akibat albuminuria yang masif juga diagnostik pada sindroma

2

Page 3: Sindroma Nefrotik

nefrotik. (Kadar albumin serum kurang dari 2,5 g/ dl. Azotemia juga ditemukan serin pada MPGN dan sepertiga kasus MCNS pada anak.4

Diagnosis banding

Pasien dengan edema, perlu didiadgnosa banding dengan gagal jantung kongestif, sirosis hepatis, sindroma nefrotik, gomerulonefritis akut, septikemia serta alergi obat.5

Pada penderita gagal jantung kongestif pada anak, pada umumnya merupakan sekuel dari penyakit jantung kogenital. Yang berujung pada gagal jantung kanan, yaitu ketidakmampuan jantung kanan untunk memompa darah ke paru. Penderita gagal jantung kongestif biasanya akan mengalami edema pada tungkai, distensi vena jugularis, dan bisa juga menyebabkan asites, tetapi tidak menyebabkan edema facial.

Pada penderrita Sirosis hepatis terjadi edema pada tungkai dan asites. Hal ini disebabkan penurunan faal sintesis hati, yaitu penurunan sintesis albumin sehingga akan terjadi penurunan tekanan onkotik intrakapiler, serta terjadinya hipertensi porta yang menyebabkan peningkatan tekanan hidrostatik kapiler-kapiler di sekitar abdomen, yang mengakibatkan kebocoran plasma ke rongga peritonium. Pada penderita sirosis hepatis tidak menderita edema facial. Dengan anamnesis yang cermat tentang riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik, edema dan asites pada sirosis hepatis dapat dibedakan dari penyebab lainnya.

Pada glomerulonefritis akut(GNA), terdapat edema pada tungkai dan tidak disertai asites karena albuminuria pada GNA tidak semasif pada SN. Selain itu, GNA lebih cenderung mengalami hipertensi dibandingkan SN. Pada SN biasanya normotensi/ hipotensi. Hematuria makroskopik juga lebih sering ditemukan pada GNA dibanding SN. Pada pemeriksaan lab dapat ditemukan penurunan komplemen dan tidak terjadi peningkatan kolesterol, hal ini penting untuk membedakan GNA dan SN.

Angioedema mirip dengan urtikaria yang merupakan gatal-gatal, bekas merah (pembengkakan atau bercak) dari berbagai ukuran, yang tiba-tiba muncul dan menghilang pada kulit. Angioedema merupakan jenis bengkak, bilur-bilur besar dan melibatkan lapisan kulit yang lebih dalam, terutama di dekat bibir dan mata. Peradangan di kulit dapat mengakibatkan gatal-gatal dan angioedema. Gatal-gatal dan angioedema dipicu ketika sel mast melepaskan histamin ke dalam aliran darah dan kulit. Pada reaksi alergi ini, tidak terjadi edema pada tungkai, dengan anamnesis tentang riwayat konsumsi obat dan riwayat alergi dapat membedakannya dari edema yang disebabkan penyebab lainnya.

Septikemia juga dapat menjadi diagnosa banding dan dapat dibedakan dengan penyebab edema lainnyadengan anamnesis yang cermat, misalnya mengenai riwayat infeksi, ataupun pemeriksaan fisik, misalnya hipotensi.

Diagnosis kerja

Diagnosa SN harus ditegakkan secara cermat berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemriksaan laboratorium, termasuk pemeriksaan urin. Anamnesis riwayat pemakaian obat, kemungkinan berbagai infeksi, dan riwayat penyakit sistemik. Pemeriksaan lab seperti kadar albumin dalam serum, kadar koleserol, dan trigliserida, serta protein dalam urin 24 jam. Untuk mengetahui jenis SN primer, maka perlu dilakukan biosi ginjal.6

3

Page 4: Sindroma Nefrotik

Pemeriksaan Fisik yang paling tampak pada SN adalah edema, edema dapat mengenai facial, tungkai bawah, asites, ataupun anasarka. Pasien dengan SN dapat menunjukkan normotensi ataupun hipertensi, dan jarang menunjukkan hipertensi. Anamnesis mengenai riwayat infeksi, konsumsi obat-obat tertentu, dan riwayat alergi, dapat menyingkirkan diagnosa banding lainnya.

Pemeriksaan laboratorium seperti kadar kolesterol,hipoalbuminemi (<3 g/dl), hiperlipidemia, dan hiperkoagulabilitas.merupakan temuan sugestif mengacu pada SN, walaupun tidak diagnostik.1 Kadar komplemen yang normal pada serum membedakan SN dengan GNA, walaupun pada SN dengan lesi histologis MPGN juga dapat ditemukan penurunan komplemen serum.4 Pada urinalisis dapat ditemukan albuminuria masif (lebih dari

3,5 g/1,73 m2 luas permukaan tubuh per hari. Dapat ditemukan juga oval fat bodies, dan hematuria mikroskopi (terkadang makroskopik).

Etiologi

Etiologi SN secara garis besar dapat dibagi 3, yaitu kongenital, glomerulopati primer/idiopatik dan sekunder akibat penyakit sistemik, seperti pada purpura Henoch-Schonlein dan lupus eritematosus sistemik. Sindrom nefrotik pada tahun pertama kehidupan, terlebih pada bayi berusia kurang dari 6 bulan, merupakan kelainan congenital (umumnya herediter) dan mempunyai prognosis buruk.1

Berdasarkan gambaran histopatologi ginjal, sebagian besar (80%) SN idiopatik pada anak merupakan sindrom nefrotik kelainan minimal (MCNS), umumnya terjadi usia 1-6 tahun, dengan median umur onset 3 tahun. Kemungkinan MCNS sebagai etiologi, menurun dengan meningkatnya usia onset. Sedangkan kemungkinan etiologi lain, seperti glomerulonefritis membranoproliferatif dan nefropati membranosa, meningkat.2

Dalam prakteknya, sebagian besar anak tidak menjalani biopsy ginjal pada manifestasi klinis SN pertama kali. Namun, mereka langsung mendapat terapi empiris kortikosteroid. Penderita SN yang responsif terhadap pengobatan kortikosteroid, sangant jarang menjalani diagnosis patologi anatomis. Karenanya, saat ini klasifikasi SN lebih didasarkan pada respons klinik, yaitu SN sensitive steroid (SNSS) dan SN resisten steroid (SNRS).7

Epidemiologi

Jika onset di bawah lima tahun, kemungkinan lebih dari 90% adalah MCNS, resiko FSGS dan MPGN masing-masing adalah 7% dan 1%. Sebaliknya pada usia lebih dari 10 tahun resiko MCNS menurun dan lesi lain meningkat.4 Pada orang dewasa lebih banyak nefropati membranosa (30%-50%), umur rata-rata 30-50 tahun dan perbandingan laki-laki dan perempuan adalah 2:1. Kejadian SN idiopatik 2-3 kasus / 100.000 kelahiran / tahun, sedangkan pada dewasa 3 / 1.000.000 / tahun.3

Patofisiologi

4

Page 5: Sindroma Nefrotik

Kapiler glomerulus dibatasi oleh sel endotel yang mengandung banyak lubang yang disebut fenestra. Membran basalis membentuk satu lapisan yang berkesinambungan antara sel endotel dan sel epitel di bagian luar. Membran basalis terdiri dari tiga lapisan yaitu lamina rara interna, lamina densa, dan lamina rara eksterna. Sel epitel viseralis kapsula Bowman menutupi kapiler dan membentuk tonjolan sitoplasma yang disebut foot process yang berhubungan dengan lamina rara eksterna. Di antara tonjolan tersebut terdapat celah filtrasi yang disebut slit pore dan ditutupi oleh suatu membran yaitu slit diafragma.2 Pada glomerulus, sawar filtrasi glomerulus terdiri dari fenestra endotelium, membran basalis glomerulus, dan sel epitel viseralis. Membran basalis glomerulus merupakan jaringan yang terdiri dari kolagen tipe IV, laminin, nidogen, dan proteoglikan. Membran basalis ini berfungsi sebagai sawar size- and charge selective (sawar muatan dan ukuran).2 Slit diafragma yang terdapat di antara foot process epitel turut berperan dalam sawar size-selective. Molekul utama yang menentukan anionic site yang merupakan size- and charge selective pada glomerulus adalah proteoglikan heparan sulfat membran basalis terutama lamina rara eksterna, serta sialoglikolipid dan sialoglikoprotein pada sel endotel dan permukaan sel podosit epitel viseralis. Selain heparan sulfat, terdapat juga kelompok anionik lain seperti residu karboksil yang merupakan glikoprotein membran basalis glomerulus, dan glikoprotein kondroitin sulfat. Patogenesis sindrom nefrotik pada anak terjadi berdasarkan mekanisme imunologis berupa abnormalitas sintesis globulin dan respons mitogen limfosit.2

Adanya defek pada fungsi sel T atau produknya akan menyebabkan disfungsi glomerulus terhadap protein serum. Pada sindrom nefrotik terdapat peningkatan pengeluaran heparan sulfat dan kondroitin sulfat urin. Pengeluaran proteoglikan heparan sulfat dalam urin ini akan menyebabkan penurunan muatan anionik dan hilangnya sawar elektrostatik yang mengakibatkan peningkatan permeabilitas membran basalis glomerulus dan menimbulkan proteinuria.

Proteinuria akan menyebabkan hipoalbuminemia dan selanjutnya terjadi edema, hiperkolesterolemia, dan manifestasi lain sindrom nefrotik. Vermylen dkk. (1989) melaporkan penurunan heparan sulfat pada membran basalis glomerulus sindrom nefrotik jenis sklerosis mesangial difus dan peningkatan ekskresi heparan sulfat dalam urin pasien SN lebih berat dibandingkan pengeluaran kondroitin sulfat. Nephrin diproduksi sel epitel dan berperan dalam perkembangan atau terpeliharanya sawar filtrasi glomerulus. Nephrin merupakan protein transmembran superfamili imunoglobulin yang mempunyai berat molekul 135 kD. Bagian ekstraselular nephrin mengandung 8 domain immunoglobulin-like dan 1 domain fibronectin tipe III like module. Bagian ini diikuti oleh 1 domain transmembran tunggal dan 1 cytosolic C- terminal. Protein ini dapat berinteraksi dengan protein membran atau dengan komponen membran basalis glomerulus. Kelainan pada interaksi ini dapat menyebabkan disintegrasi sawar filtrasi.2

Proteinuria

Proteinuria merupakan kelainan dasar SN. Proteinuria sebagian besar berasal dari kebocoran glomerulus (proteinuraia glomerular) dan hanya sebagian kecil berasal dari sekresi tubulus (proteinuri tubular). Perubahan integritas membrana basalis glomerulus menyebabkan

5

Page 6: Sindroma Nefrotik

peningkatan permeabilitas glomerulus terhadap protein plasma dan protein utama yang diekskresikan dalam urin adalah albumin.6

Derajat proteinuria tidak berhubungan langsung dengan keparahan kerusakan glomerulus. Pasase protein plasma yang lebih besar dari 70 kD melalui membrana basalis glomerulus normalnya dibatasi oleh charge selective barrier (suatu polyanionic glycosaminoglycan) dan size selective barrier. Pada nefropati lesi minimal, proteinuri disebabkan terutama oleh hilangnya charge selectivity sedangkan pada nefropati membranosa disebabkan terutama oleh hilangnya size selectivity.1

Hipoalbuminemia

Hipoalbuminemia disebabkan oleh hilangnya albumin melalui urin dan peningkatan katabolisme albumin di ginjal. Sintesis protein di hati biasanya meningkat (namun tidak memadai untuk mengganti kehilangan albumin dalam urin), tetapi mungkin normal atau

menurun.1

Hiperlipidemia

Kolesterol serum, very low density lipoprotein (VLDL), low density lipoprotein (LDL), trigliserida meningkat sedangkan high density lipoprotein (HDL) dapat meningkat, normal atau menurun. Hal ini disebabkan peningkatan sintesis lipid di hepar dan penurunan katabolisme di perifer (penurunan pengeluaran lipoprotein, VLDL, kilomikron dan intermediate density lipoprotein dari darah). Peningkatan sintesis lipoprotein lipid distimulasi oleh penurunan albumin serum dan penurunan tekanan onkotik.1

Lipiduria

Lemak bebas (oval fat bodies) sering ditemukan pada sedimen urin. Sumber lemak ini berasal dari filtrat lipoprotein melalui membrana basalis glomerulus yang permeabel.1

Edema

Dahulu diduga edema disebabkan penurunan tekanan onkotik plasma akibat hipoalbuminemi dan retensi natrium (teori underfill). Hipovolemi menyebabkan peningkatan renin, aldosteron, hormon antidiuretik dan katekolamin plasma serta penurunan atrial natriuretic peptide (ANP). Pemberian infus albumin akan meningkatkan volume plasma, meningkatkan laju filtrasi glomerulus dan ekskresi fraksional natrium klorida dan air yang menyebabkan edema berkurang. Peneliti lain mengemukakan teori overfill. Bukti adanya ekspansi volume adalah hipertensi dan aktivitas renin plasma yang rendah serta peningkatan ANP.1

Beberapa penjelasan berusaha menggabungkan kedua teori ini, misalnya disebutkan bahwa pembentukan edema merupakan proses dinamis. Didapatkan bahwa volume plasma menurun secara bermakna pada saat pembentukan edema dan meningkat selama fase diuresis.6

Hiperkoagulabilitas

6

Page 7: Sindroma Nefrotik

Keadaan ini disebabkan oleh hilangnya antitrombin (AT) III, protein S, C dan plasminogen activating factor dalam urin dan meningkatnya faktor V, VII, VIII, X, trombosit, fibrinogen, peningkatan agregasi trombosit, perubahan fungsi sel endotel serta menurunnya faktor zimogen (faktor IX, XI).1

Kerentanan terhadap infeksi

Penurunan kadar imunoglobulin Ig G dan Ig A karena kehilangan lewat ginjal, penurunan sintesis dan peningkatan katabolisme menyebabkan peningkatan kerentanan terhadap infeksi bakteri berkapsul seperti Streptococcus pneumonia, Klebsiella,

Haemophilus. Pada SN juga terjadi gangguan imunitas yang diperantarai sel T. Sering terjadi bronkopneumoni dan peritonitis.6

Manifestasi klinis

Terlepas dari histopatologik yang terjadi, manifestasi utama SN adalah edema, tanda yang ditemukan pada 95% anak. Edema pada awal awitan dapat tersembunyi, sehinga para orangtua hanya mengira anak merekea tumbuh dengan cepat, pada banyak anak, edema mucul secara intermiten. Edema biasanya tampak mula-mula pada preorbital, serta daerah skrotm, labi amyora, dan akhirnya dapat menyeluruh. Edema pada SN bersifat pitting edema. Pasien juga biasanya mengalami anoreksia irritabilitas, lelash, dispepesia, diare, serta distres pernapasan. Pada beberapa anak, hipertensi agaknya merupakan respon fisisologis terhadap penurunan volume plasma.4

Pada pemeriksaan laboratorium terdapat proteinuria berat, mikrohematuria, dan leukosituria. Selain albumin, banyak protein yang keluar melalui urin seperti imunoglobulin G (IgG), transferin, apoprotein, lipoprotein lipase, antitrombin III (ATIII), seruloplasmin, protein pengikat vitamin D (vitamin D binding protein), 25 OH kolekalsiferol, dan thyroid binding globulin. Hal ini akan menyebabkan kadar protein tersebut dalam serum rendah dan dapat menyebabkan anemia defisiensi besi, pertumbuhan terhambat, ossifikasi terlambat, dan hipotiroidism. Tiroksin yang rendah akan menyebabkan peningkatan hormon thyroid stimulating hormon (TSH). IgG serum yang rendah dan pengeluaran komplemen faktor B dan D melalui urin menyebabkan meningkatnya risiko infeksi. Ekskresi plasminogen dan ATIII melalui urin akan menimbulkan kompensasi berupa sintesis protein yang menyebabkan peningkatan makroglobulin, fibrinogen, tromboplastin, factor II, V, VII, VIII, X, XII, dan XIII yang dapat menyebabkan koagulopati. Albumin serum yang rendah, dan konsentrasi asam lemak bebas yang meningkat menyebabkan hipertrigliseridemia. Kadar kolesterol total dan kolesterol low density lipoprotein (LDL) meningkat tetapi high density lipoprotein (HDL) rendah. Kelainan lemak dan perubahan arteriol dapat merupakan risiko arteriosklerosis.2

Penatalaksanaan

Penatalaksanaan medika mentosa

Penatalaksanaan SN meliputi terapi spesifik untuk kelainan dasar ginjal atau penyakit penyebab (pada SN sekunder), mengurangi atau menghilangkan proteinuria, memperbaiki

7

Page 8: Sindroma Nefrotik

hipoalbuminemi serta mencegah dan mengatasi penyulit. Nefropati lesi minimal dan nefropati membranosa adalah dua kelainan yang memberikan respon terapi yang baik terhadap steroid. Peneliti lain menemukan bahwa pada glomerulosklerosis fokal segmental sampai 40% pasien memberi respon yang baik terhadap steroid dengan remisi lengkap.

Schieppati dkk menemukan bahwa pada kebanyakan pasien nefropati membranosa idiopatik, dengan terapi simptomatik fungsi ginjalnya lebih baik untuk jangka waktu lama dan dapat sembuh spontan. Oleh karena itu mereka tidak mendukung pemakaian glukokortikoid dan imunosupresan pada nefropati jenis ini.1

SN masih responsif terhadap kortikosteroid dan imunosupresan lainnya. Tatalaksana SN biasanya ditujukan untuk menjamin pertumbuhan fisik dengan pemberian protein dan energi yang seimbang, mengatasi edema, mencegah dan mengobati infeksi, mencegah hipotiroid, dan mencegah komplikasi tromboemboli sehingga pasien dapat tumbuh dan berkembang sebagaimana anak pada umumnya.Beberapa SN sekunder responsif terhadap pengobatan spesifik seperti sifilis dengan antibiotik, toksoplasmosis dengan antimikroba dan steroid, dan lupus eritematosus sistemik dengan imunosupresan. Prednison diberikan dengan dosis 60 mg/m2 luas permukaan tubuh/hari atau 2 mg/kg berat badan/hari selama 4-6 minggu yang dilanjutkan dengan prednison 40 mg/m2 luas permukaan tubuh/ hari atau 2/3 dosis awal yang diberikan secara intermiten(tiga hari berturut-turut) atau selang sehari (alternating) selama 4-8 minggu. Pada keadaan tertentu seperti sindrom nefrotik respons inkomplit, sindrom nefrotik resisten steroid, atau sindrom nefrotik dependen steroid dapat diberikan siklofosfamid dengan dosis 2 mg/kg berat badan/hari atau klorambusil 0,1-0,2 mg/kg berat badan/hari selama 8 minggu. Selain obat tersebut di atas, beberapa obat lain dapat diberikan antara lain siklosporin, levamisol, dan azathioprim.2

Pasien juga perlu mendapat vitamin D2 (2000 IU/hari), vitamin E atau vitamin yang larut dalam air sesuai dengan kebutuhan anak sehat, suplementasi magnesium (40-60 mg/hari) dan kalsium (umur < 6 bulan: 500 mg/hari, 6-12 bulan : 750 mg/hari; > 12 bulan : 1000 mg/hari). Pada kebanyakan kasus, edema sulit dikontrol. Untuk mengurangi edema, dapat diberikan diuretik (furosemid dan spironolakton)dan infus albumin. Pengeluaran plasminogen dan AT III melalui urin akan menyebabkan defisiensi faktor koagulasi. Sebagai kompensasi akan terjadi peningkatan sintesis protein yang menyebabkan hiperkoagulopati sehingga risiko komplikasi tromboemboli meningkat. Jika terdapat hiperkoagulopati atau manifestasi klinis trombosis, dapat diberikan aspirin atau dipiridamol. Pasien SN sangat rentan terhadap infeksi bakteri seperti pneumokokus dan bakteri berkapsul karena globulin gamma dan komplemen faktor B dan D keluar melalui urin. Di beberapa rumah sakit, ada kebiasaan memberikan imunoglobulin per infus baik saat episode sepsis maupun sebagai profilaksis dengan dosis 200-300 mg/kgbb,14 tetapi pemberian infus imunoglobulin ini tidak dapat mencegah infeksi karena imunoglobulin akan segera keluar melalui urin. Agar pemberian infus imunoglobulin lebih efektif, maka dianjurkan untuk meningkatkan dosis infus imunoglobulin menjadi 500 mg/kgbb setiap 2-3 hari, namun cara inipun tetap tidak dapat mencegah infeksi stafilokokus dan beberapa kuman lainnya. Manfaat pemberian kaptopril dan indometasin pada SN untuk mengurangi proteinuria masih belum jelas.7

Menurut Pomeranz dkk. (1995), kaptopril dan indometasin dapat menurunkan proteinuria sedangkan menurut Birnbacher dkk. (1995) kaptopril tidak mempunyai efek terhadap

8

Page 9: Sindroma Nefrotik

ekskresi protein dalam urin, bahkan dapat menyebabkan penurunan laju filtrasi glomerulus, hipervolemia, gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit. Pada SN dapat terjadi defisiensi thyroid-binding globulin dan tiroksin serta peningkatan thyroid stimulating hormon (TSH). Tiroksin selalu rendah pada permulaan dan kadar TSH biasanya normal kemudian meningkat selama bulan pertama. Oleh sebab itu, perlu pemberian tiroksin dengan dosis 25-50 ug per hari dan tidak bergantung pada kadar TSH. Pemberian vaksinasi tidak dianjurkan selama nefrosis.

Penatalaksanaan Non Medika Mentosa

Asupan nutrisi dilakukan dengan pemberian protein dan kalori yang adekuat. Pada keadaan tertentu dapat diberikan nutrisi parenteral tetapi sebaiknya hal ini dihindari karena meningkatkan risiko infeksi. Jika perlu pemberian makanan dilakukan dengan pipa nasogastrik agar kebutuhan nutrisi terpenuhi.2

Diet untuk pasien SN adalah 35 kal/kgbb./hari, sebagian besar terdiri dari karbohidrat. Dianjurkan diet protein normal 0,8-1 g/kgbb./hari. Giordano dkk memberikan diet protein 0,6 g/kgbb./hari ditambah dengan jumlah gram protein sesuai jumlah proteinuri hasilnya proteinuri berkurang, kadar albumin darah meningkat dan kadar fibrinogen menurun.8

Pada pasien SN, tirah barring tidak diperlukan, dan aktivitas penuh biasanya dapat dilakukan, kecuali terdapat edema yang mengganggu.4

Anak dengan SN merupakan kandidat utama untuk infeksi, oleh karena itu perlu dilakukan pengamatan yang ketat selama beberapa hari sementara dilakukan pemeriksaan lab yang sesuai.4

Pencegahan

Sindoma Nefrotik sering tidak dapat dicegah, walaupun pengobatan yang adekuat terhadap penyakit sistemik dan infeksi dapat mengurangi resiko sindroma nefrotik karena sindroma nefrotik sekunder dapat disebabkan oleh penyakit sistemik seperti SLE aataupun infeksi bakteri, virus, dan parasit.7

Prognosis

Hasil akhir pada pasien NS dipengaruhi oleh sejumlah factor, tetapi factor terpenting tampaknya adalah gambaran histologik glomerulus dan, akibatnya, respons awal terhadap terapi steroid. Pasien dengan MCNS biasanya berespons baik terhadap perjalanan awal pemberian prednisone dan biasanya paling sering memperlihatkan respons seperti itu dalam 2-3 minggu terapi harian. Kurang dari 10% anak yang ternyata menderita MCNS pada pemeriksaan mikroskop cahaya serta tidak mempunyai endapan immunoglobulin di mesangium melalui mikroskop imunofluoresen gagal berespons terhadap pengobatan awal. Pada pasien MCNS yang mengalami perubahan IgM-mesangium terdapat angka respons awal yang cukup tinggi, berkisar 75%-80%. Sebaliknya, pada pasien dengan FSGS, angka respons awal akan kurang dari 50%, dan pada MPGN, kurang dari 10%.2

Oleh karena itu, untuk MCNS, kurang dari 15% pasien gagal berespons dalam 8 minggu pertama terapi. Untuk mereka yang berspons, perjalanan berikutnya berbeda-beda:

9

Page 10: Sindroma Nefrotik

sekitar 20% mendapatkan remisi “permanen” tetapi sekitar 80% cenderung mengalami eksaserbasi rekuren.8

Kesimpulan

Sindrom nefrotik (SN) merupakan sekumpulan manifestasi klinis yang ditandai oleh proteinuri masif, hipoalbuminemi, edema, hiperlipidemi, lipiduri dan hiperkoagulabilitas yang disebabkan oleh kelainan primer glomerulus dengan etiologi yang tidak diketahui atau berbagai penyakit tertentu. Pemahaman patogenesis dan patofisiologi merupakan pedoman pengobatan rasional sebagian besar pasien SN. Penatalaksanaan SN meliputi terapi spesifik untuk kelainan dasar ginjal atau penyakit penyebab, menghilangkan /mengurangi proteinuria, memperbaiki hipoalbuminemi serta mencegah dan mengatasi penyulit.

Daftar Pustaka

1. Gunawan CA. Sindroma nefrotik patogenesis dan penatalaksanaan. Cermin Dunia Kedokteran 2006; 150: 50-3.

2. Pardede SO. Sindrom nefrotik infantil. Cermin Dunia Kedokteran 2002; 134: 32-7.3. Lane JC. Pediatric nephrotic syndrome presentation. 2011 [disitasi 18 agustus 2014].

Diunduh dari: http://emedicine.medscape.com/article/982920-clinical#a0256 . 4. Rudolph AM, Hoffman JIE, Rudolph CD, editor. Buku ajar pediatri rudolph. Edisi ke-20.

Jakarta: EGC; 2007.h.1503-7. 5. Field M, Pollock C, Harris D. The renal system basic scienece and clinical conditions.

China: Elsevier; 2010.p.69-88.6. Djuanita E, Joseph E. Sindroma nefrotik patofisiologi dan penatalaksanaannya. Maj

Kedokt Damianus 2008; 7(3): 151-8.7. Sindrom nefrotik pada anak. Ethical Digest 2009; 67: 25-36.8. Appel Gerard. Improved outcome in nephrotic syndrome. Cliveland Clinic Journal of

Medicine 2006; 73: 161-6.

10