sindroma steven johnson
TRANSCRIPT
SINDROMA STEVEN JOHNSON
PENDAHULUAN
Sindroma Steven Johnson (SSJ) adalah kumpulan gejala yang ditandai dengan trias
kelainan pada kulit, mukosa orifisium dan mata, disertai gejala umum dari ringan sampai
berat. Pertama kali dilaporkan pada tahun 1922 oleh dua dokter ahli anak Amerika, Albert
Mason Stevens and Frank Chambliss Johnson. Sinonimnya antara lain : Sindroma de
Friessinger-Rendu, Eritema Eksudativum Multiform Mayor, Eritema Poliform Bulosa,
Sindroma Muko-kutaneo-okular dan Dermatostomatitis. Kelainan ini termasuk dalam
kelompok Eritema Multiforme Mayor, bersama dengan Toksik Epidermal Nekrolisis
(TEN). Sampai saat ini kedua kelainan tersebut masih rancu dan sulit dibedakan, sehingga
para ahli sepakat untuk memakai istilah SSJ/TEN.1,2
Insiden SSJ sebenarnya cukup jarang, yaitu berkisar dari 2,6 – 6,1 kasus / 1 juta
orang / tahun. Di Amerika Serikat dilaporkan terjadi 300 kasus baru tiap tahunnya.
Kelainan ini lebih sering mengenai perempuan dibanding laki-laki dengan rasio 2:1, dan
usia terbanyak pada dekade 2 – 4 dibanding anak-anak.2,3
Etiologi SSJ sukar ditentukan dengan pasti, karena penyebabnya berbagai faktor.
Namun secara umum etiologinya sering berkaitan dengan respon imun terhadap obat dan
infeksi. Obat yang paling sering menyebabkan SSJ adalah antibiotik golongan sulfa dan
analgetik golongan NSAID. Sedangkan infeksi yang tersering adalah Herpes simplex dan
Mycoplasma pneumoniae. 1,2,3
SSJ menyebabkan mortalitas dan morbiditas yang cukup signifikan. Mortalitasnya
seiring dengan luasnya permukaan kulit yang terlibat, bila lebih dari 30% luas permukaan
tubuh (LPT) maka mortalitasnya bisa mencapai 50%. Sementara itu lesi-lesi pada organ /
area tertentu dapat menyebabkan sequele yang berat, seperti kebutaan, striktur esofagus
dan trakeobronkial, stenosis vagina dan penis.3
Sampai saat ini penatalaksanaan SSJ masih kontroversi dan sebagian besar masih
bersifat konservatif.3
1
ETIOLOGI
Etiologi SSJ masih belum diketahui secara pasti, namun berkaitan erat dengan obat-
obatan dimana sekitar 50% SSJ disebabkan oleh obat. Secara umum etiologi SSJ dapat
dikategorikan menjadi 4 kelompok yakni (1) obat-obatan, (2) infeksi, (3) keganasan dan
(4) idiopatik.1,2
Dilaporkan terdapat lebih dari 100 jenis obat yang berpotensi menjadi faktor
penyebab. Penelitian case control multinasional di Eropa mendapatkan sekitar 14 macam
obat mempunyai resiko tinggi menyebabkan SSJ (Tabel 1). Obat dengan resiko tinggi
tersebut antara lain antibiotik golongan sulfonaminde, antikonvulsan aromatik, allopurinol,
NSAID oxicam, lamotrigine dan nevirapine. Risiko terjadi pada 8 minggu pertama terapi.
Banyak obat NSAID yang dicurigai dapat menyebabkan SSJ, namun yang paling utama
adalah turunan oxicam dan diklofenak. Antibiotik golongan aminopenisilin, quinolon,
sefalosporin, dan tetrasiklin juga berpotensi namun dengan resiko lebih rendah.3
Tabel 1. Daftar obat dan Risiko SSJ
Risiko Tinggi Risiko Rendah Risiko MeragukanAllopurinol NSAID Gol. Asam Asetat ParasetamolSulfametoksazol Aminopenisilin Analegesik pirazolonSulfadiazin Sefalosporin KortikosteroidSulfapiridin Kuinolon NSAID lainnyaSulfadoksin Siklin Sertralin Sulfasalazin MakrolidaKarbamazepinLamotriginFenobarbitalFenitoinFenilbutazonNevirapinNSAID Gol. OxicamThiacetazon
Peranan penyakit infeksi terhadap timbulnya SSJ masih belum jelas, namun
beberapa kasus SSJ dilaporkan berkaitan dengan infeksi bakteri (streptokokus β
hemolitikus grup A, difteri, Brucellosis, Mycoplasma pneumoniae, mikobakterium dan
tifoid); infeksi virus (Herpes simplex, influenza, hepatitis dan mumps)); infeksi jamur
(Coccidioidomycosis, dermatophytosis, dan histoplasmosis); infeksi parasit (malaria dan
trikomoniasis). Imunisasi dilaporkan juga dapat menginduksi SSJ. Fakta tersebut
menunjukkan bahwa obat-obatan bukanlah penyebab tunggal dari SSJ.2,3
2
Berbagai macam karsinoma dan limfoma juga disebut dapat menginduksi SSJ. SSJ
pernah dilaporkan terjadi setelah transplantasi sumsum tulang, walaupun mungkin yang
terjadi adalah reaksi acute graft vs host disease yang berat. Hubungan antara SSJ dengan
graft vs host disease masih sulit dinilai karena gambaran lesi dan histologi kulit yang
terkena sulit dibedakan.3
Terakhir, mekanisme fisik seperti radioterapi disertai dengan terapi obat
antiepileptik seperti phenitoin, carbamazepin dan fenobarbital juga dapat menyebabkan
SSJ pada lokasi penyinaran.3
PATOGENESIS
Meskipun belum diketahui secara pasti, beberapa penelitian telah menunjukkan
hasil yang membantu menjelaskan pathogenesis SSJ. Sampai saat ini patogenesis SSJ
disangka akibat reaksi hipersensitivitas tipe IV. Pada fase awal timbulnya lesi, terjadi
reaksi sitotoksik yang diperantarai oleh sel (cell mediated cytotoxicity) terhadap keratinosit
yang menyebabkan apoptosis masif. Penelitian imunopatologis menunjukkan adanya
limfosif T CD8+ di epidermis dan dermis kulit yang terkena. Limfosit tersebut mempunyai
aktivitas seperti NK sel pada awal lesi. Sedangkan pada fase lanjut cenderung didominasi
oleh aktivitas monosit. Limfosit T CD8+ ini mengekspresikan reseptor T α dan β
dipermukaan sel sehingga mampu menghancurkan sel melalui perforin dan granzyme B.
Saat ini diketahui terdapat ekspansi oligoklonal limfosit CD8+ spesifik yang hanya
mempunyai aktivitas sitotoksik terhadap keratinosit.2,3
Limfosit T regulator CD4+CD25+ mempunyai peran yang penting dalam mencegah
kerusakan epidermis akibat reaksi sitotoksik limfosit T. Beberapa sitokin penting seperti
interleukin 6, TNF-α dan Fas ligand (Fas-L) juga ditemukan pada lesi kulit penderita SSJ.
Viard dkk menyatakan bahwa apoptosis keratinosit di lesi kulit berkaitan dengan
peningkatan ekspresi Fas dipermukaan membran dan dapat dihambat oleh human
imunoglobulin konsentrai tinggi yang mengganggu interaksi antara Fas dan Fas-L. TNF-α
kemungkinan juga berperan karena ditemukan pada lesi epidermis, cairan bulla dan sel-sel
mononuklear dan makrofag perifer.2,3
Teori lain menyebutkan adanya reaksi imunologis terhadap metabolit reaktif,
terutama metabolit obat golongan sulfonamid, pada individu dengan asetilasi lambat.
Namun reaksi imunologis cenderung terjadi langsung terhadap obat aktif dibanding
metabolitnya.2,3
3
Faktor genetik juga berperan penting, hal ini dapat diamati pada orang Cina suku
Han yang mempunyai HLA-B1502 dengan kejadian SSJ akibat karbamazepin dan HLA-
B5801 dengan kejadian SSJ akibat allourinol. Namun begitu hubungan antara SSJ akibat
karbamazepin dengan HLA-B1502 tidak tampak pada pasien Eropa yang tidak mempunyai
keturunan Asia.2,3
DIAGNOSIS
Amamnesis
SSJ secara klinis muncul dalam waktu 8 minggu (biasanya 4 s/d 30 hari) setelah
onset pemberian obat. Namun pada beberapa kasus dimana sebelumnya ada riwayat
terpapar obat yang sama dapat terjadi lebih cepat dalam waktu beberapa jam saja. Gejala-
gejala non spesifik seperti demam, sakit kepala, rhinitis, myalgia biasanya muncul 1 - 3
hari sebelum muncul kelainan dikulit. Kemudian muncul keluhan nyeri telan dan rasa
terbakar di mata, ini merupakan tanda-tanda adanya lesi dimukosa. Kira-kira sepertiga
kasus SSJ muncul dengan gejala non spesifik, sepertiga dengan gejala di membran mukosa
dan sepertiganya lagi muncul dengan eksantema kulit. Apapun gejala awalnya, adanya
keluhan yang progresif disertai dengan munculnya gejala baru dikulit dan / atau mukosa,
nyeri berat disertai gejala sistemik sudah harus membuat kita waspada akan suatu SSJ.1,2,3
Lesi Kulit
Erupsi dikulit pada awalnya simetris dengan predileksi didaerah wajah, dada dan
punggung atas serta ekstrimitas proksimal. Ekstrimitas distal biasanya jarang terlibat pada
awal penyakit, namun lesi dapat menyebar cepat keseluruh tubuh dalam waktu beberapa
hari, bahkan bisa dalam hitungan jam. Lesi awal biasanya berupa makula eritematosa
dengan bentuk ireguler dan dapat dengan cepat menyatu. Seringkali ditemukan lesi target
dengan tengah kehitaman (Gambar 1a). Pada SSJ juga ditemukan Nikolsky sign, yakni
berupa lepasnya epidermis karena penekanan di lateralnya, terutama di zona eritematosa.
(Gambar 1b). Pada tahap ini dapat ditemukan bulla lunak yang dapat meluas dengan
penekanan serta mudah dipecahkan (Gambar 1c). Epidermis yang mengalami nekrotik
dapat dengan mudah terlepas karena tekanan atau gesekan, dan meninggalkan area dermias
terbuka berwarna kemerahan.2,3
Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa SSJ dan TEN merupakan kelainan
yang mirip dan sulit dibedakan sehingga pada ahli membuat klasifikasi sebagai berikut :
1. SSJ bila pelepsan epidermis < 10% dari luas permukaan tubuh (LPT).
4
2. Overlaping SSJ/TEN bila pelepsan epidermis antara 10-30% LPT
3. TEN bila pelepasan epidermis > 30% LPT
Gambar 1a. Lesi target; 1b. Nikolsky sign; 1c. Bulla yang pecah
Untuk mengukur derajat ringan berat SSJ digunakan indeks pengukuran Score for TEN
(SCORTEN) (Tabel 2). SCORTEN terbukti sangat akurat sebagai alat untuk
memperkirakan mortalitas pasien. Parameter klinik lainnya yang penting adalah
trombositopenia, leukopenia, kelambatan untuk dirawat dan pemberian pengobatan
antibiotik dan kortikosteroid sebelum dirawat.3
Tabel 2. SCORTEN. Sistem skor untuk menilai prognosis SSJ
SCORTENFaktor prognostik Poin
Usia > 40 th 1Denyut jantung > 120 x/mnt 1Karsinoma atau keganasan hematologi 1Luas permukaan tubuh yang terlibat > 10% 1Kadar ureum darah > 28 mg/dL 1Kadar bikarbonat darah < 20 mEq/L 1Kadar glukosa darah > 252 mg/dL 1
SCORTEN Mortalitas (%)0-1 3,22 12,13 35,84 58,3> 5 90
Lesi mukosa
Pada 90% kasus SSJ membran mukosa hampir selalu terlibat paling tidak pada 2
tempat berbeda. Munculnya lesi mukosa bisa sebelum atau sesudah lesi kulit. Lesi dimulai
dengan eritema yang nyeri dimukosa bukal, mata atau genital. Hal ini menyebabkan
5
gangguan makan, fotophobia, sinekia konjungtiva dan nyeri saat miksi. Mukosa oral dan
bibir merupakan area yang paling sering terkena dengan gambaran berupa lesi erosi
hemoragik yang dilapisi pseudomembran atau krusta serta terasa nyeri (Gambar 2). Hampir
85% kasus ditemukan lesi konjungtiva berupa hiperemia, erosi, kemosis, fotophobia dan
lakrimasi. Kadang juga ditemukan lepasnya bulu mata. Pada lesi berat dapat terjadi
ulserasi kornea, uveitis anterior, konjungtivitis purulenta, sinekia antara palpebra dengan
konjungtiva.3
Gambar 2a. Erosi hemoragik dan krusta perioral; 2b. Lepasnya bulu mata
Gejala ekstra kulit
SSJ biasanya disertai keluhan demam, nyeri dan malaise. Lesi di organ visceral
juga dapat ditemukan, terutama saluran pencernaan dan paru-paru. Komplikasi paru terjadi
pada 25% kasus, ditandai dengan dispnea, hipoksia, hipersekresi bronkus, dan hemoptisis.
Lesi bronkus pada SSJ tidak berkaitan dengan luasnya lesi dikulit dan jenis agent
pencetusnya. Pada sebagian besar kasus menunjukka x-foto thorak normal pada saat masuk
namun dapat dengan cepat terjadi sindroma interstisial. Timbulnya gagal nafas akut setelah
onset lesi kulit menunjukkan prognosis yang buruk. Pada kasus dengan gagal nafas dapat
dilakukan bronkoskopi fiberoptik untuk membedakan adanya pelepasan epitel yang khas
pada SSJ dari pneumonitis infeksi, dimana pada pneumonitis mempunyai prognosis lebih
baik.3
Lesi disaluran cerna lebih jarang terlibat, biasanya ditandai dengan nekrosis epitel
esophagus, usus halus atau kolon dengan gejala berupa diare profuse, melena atau bahkan
perforasi kolon.
Lesi di ginjal juga dapat terjadi, dengan tanda berupa protenuria, hematuria,
mikroalbuminuria, dan azotemia. Hal tersebut terjadi karena nekrosis sel tubulus proksimal
seperti yang terjadi pada epidermis kulit.3
6
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium
Langkah awal yang harus diperhatikan pada pasien SSJ di ruang emergensi adalah
evaluasi respiratory rate dan oksigenasi. Setiap ada perubahan yang signifikan sebaiknya
dicek ulang dengan pemeriksaan analisa gas darah. Konsentrasi Natrium Bikarbonat
kurang dari 20 mEq/L menunjukkan prognosis yang buruk. Hal ini biasanya disebabkan
oleh alkalosis respiratorik akibat terlibatnya saluran pernafasan.3
Kehilangan cairan transdermal masif dapat menyebabkan gangguan elektrolit,
insufisiensi renal ringan, azotemia prerenal, hipoalbuminemia dan hipoproteinemia.
Peningkatan kadar ureum darah juga merupakan tanda beratnya penyakit. Gambaran darah
tepi biasanya didapatkan anemia, lekositosis ringan dan trombositopenia. Limfopenia
CD4+ transien hampir selalu ditemukan, dan ini berkaitan dengan penurunan fungsi sel T.
Kadang ditemukan peningkatan ringan enzim-enzim hepar dan amilase namun ini tidak
mempengaruhi prognosis. Hiperglikemia sering ditemukan akibat status hiperkatabolik dan
resistensi insulin perifer. Kadar gula darah lebih dari 252 mg/dL merupakan salah satu
penanda beratnya penyakit.3
Histopatologi
Biopsi kulit dan pemeriksaan immunoflouresense sebainya dilakukan pada setiap
kasus SSJ untuk menegakkan diagnosis meskipun secara klinis sudah cukup
mencurigakan. Pada tahap awal munculnya lesi kulit ditandai oleh gambaran apoptosis
keratinosit dilapisan suprabasal yang melanjut menjadi nekrosis epidermal dan pelepsan
epidermis. (Gambar 3).3
Gambar 3. Lepasnya epidermis dari dermis.
Infilrasi sel mononuklear di papila dermis sering ditemukan, terutama sel-sel
limfosit dan makrofag. Diantara populasi sel T tersebut banyak ditemukan limfosit T
7
CD8+ dengan aktivitas sitotoksik. Hal tersebut menunjukkan adanya reaksi imunologis
yang diperantarai sel (cell mediated cytotoxicity). Sel eosinofil jarang ditemukan pada SSJ
berat. Hasil pemeriksaan imunofloresence biasanya menunjukkan hasil negatif.2,3
DIAGNOSIS BANDING
Pada lesi yang terbatas dikulit tanpa keterlibatan mukosa perlu dipertimbangkan
alternatif diagnosis banding lainnya seperti : Staphylococcus scalded skin syndrome,
Dermatitis eksfoliativa, Toksik syok sindrom, Purpura fulminan pada anak, Eksantema
pustulosis generaliata akut, Luka bakar, Fototoksisitas atau Pressure blister pada dewasa.
Seringkali dijumpai overdiagnosis SSJ karena tidak bisa membedakan antara deskuamasi
dan pelepasan epidermis, serta antara membran mukosa dengan kulit periorifisium.2,3
PENATALAKSANAAN
Anamnesis berperan sangat penting dan harus dilakukan dengan teliti agar dapat
menggali kemungkinan penyebab SSJ apakah termasuk erupsi obat akibat alergi atau non
alergi. Seperti pada penyakit immunologis lainnya, pengobatan alergi obat adalah dengan
menetralkan atau mengeluarkan obat tersebut dari dalam tubuh, epinephrine adalah ‘drug
of choice’ pada reaksi anafilaksis. Untuk alergi obat jenis lainnya, dapat digunakan
pengobatan simptomatik dengan antihistamin dan kortikosteroid. Penghentian obat yang
dicurigai menjadi penyebab harus dilakukan secepat mungkin.4,5
Prinsip pengobatan
Bila disebabkan alergi obat, maka yang paling penting adalah penghentian
pengobatan yang diminum. Anamnesis yang teliti sangat membantu meneliti kemungkinan
obat yang dicurigai sambil melihat obat yang diminum sebelumnya atau resep yang
diberikan. Makin cepat menghentikan obat penyebab, makin baik prognosisnya, meskipun
agak kurang bermakna pada obat-obat yang mempunyai waktu paruh yang lama.6
Terapi simptomatik utamanya sama dengan penatalaksanaan pada luka bakar, yaitu
kontrol temperatur lingkungan, penanganan aseptik dan teliti, sterilisasi luka, penghindaran
material adesif, pengawasan pemberian cairan intravena jauh dari area luka, inisiasi nutrisi
oral dengan NGT, antikoagulasi, pencegahan stress ulcer dan pemberian obat untuk nyeri
dan gelisah.7
Terapi suportif ditujukan untuk menghindari atau membatasi terjadinya komplikasi
yang timbul. Perhatian dan ketelitian ditujukan pada kelainan mata, traktus respiratorius,
8
balans elektrolit, nutrisi, infeksi dan nyeri. Biakan kulit, kencing dan darah dikerjakan
periodik. Pemberian cairan sangat tergantung dengan luasnya lesi dan membran mukosa
yang diserang. Monitoring ketat terutama terhadap kemungkinan sepsis yang sering
disebabkan oleh stafilokokus aureus dan pseudomonas aeruginosa. Pemberian nutrisi
dengan kalori dan protein tinggi lewat NGT pada penderita dengan gangguan mukosa
akibat lesi atau karena keadaan umum yang buruk.8
Pemberian antibiotik baik dan kuratif maupun profilaksi tidak bermanfaat, justru
menjadi resisten dan meningkatkan mortalitas. Antibiotik diberikan bila sudah ada tanda-
tanda sepsis, yaitu perubahan status mental, menggigil, hipotermia, oliguri, keadaan klinis
memburuk. Eksudasi masif dari daerah lesi erosi, sehingga pemberian antibiotik harus
lebih tinggi dosisnya karena sebagian hilang akibat eksudasi.8
Manajemen Sistemik
Penatalaksanaan pulmonal termasuk aerosol, aspirasi bronchial dan terapi fisik.
Jika trakea dan bronkus terlibat, maka diperlukan intubasi dan ventilasi mekanik. Nutrisi
enteral awal dan berlanjut menurunkan resiko ‘stress ulcer’ , mengurangi translokasi
bakteri dan infeksi enterogenik dan memungkinkan diskontinuitas jalur vena.6 Level fosfor
harus diperiksa dan diperbaiki, jika perlu. Hipofosforemia yang parah sering terjadi dan
menimbulkan perubahan regulasi glikemia dan disfungsi muscular. Kebanyakan penulis
tidak menggunakan anibiotik profilaksis. Kateter diganti dan dikultur secara teratur.
Sampel bakteri dari lesi kulit dilakukan pada hari pertama dan setiap 48 jam. Indikasi
terapi antibiotik termasuk adanya peningkatan jumlah bakteri kultur dari lesi kulit dengan
strain tunggal, adanya penurunan suhu dan kemunduran kondisi pasien. Temperatur
lingkungan ditingkatkan hingga 30-32 derajat Celcius. Hal ini mengurangi kehilangan
kalori melalui kulit dan akibat menggigil dan stress. Hilangnya panas juga dibatasi dengan
meningkatkan temperature dengan bath antiseptic hingga 35-38 (C dan dengan
menggunakan penahan panas, lampu infrared dan tempat tidur yang lembab. Beberapa obat
diperlukan. Thromboembolism merupakan penyebab penting morbiditas dan kematian;
antikoagulasi efektif dengan heparin direkomendasikan selama perawatan. Walaupun hal
ini meningkatkan perdarahan kulit, hal ini biasanya terbatas pada jumlah dan tidak
membutuhkan transfusi. Antasid mengurangi insidensi perdarahan lambung. Dukungan
emosi dan psikiatri harus dilakukan. Transquilizers seperti diazepam dan morfin dapat
digunakan bila status respiratori memungkinkan.10
9
Manajemen Topikal
Tidak ada konsesus mengenai perawatan topikal. Pendekatan yang memungkinkan
dapat konservatif ataupun lebih agresif (operasi debridement luas). Berdasarkan
pengalaman bahwa dengan perawatan konservatif, area dengan Nikolski positif, secara
potensial terbentuk oleh setiap trauma sembuh lebih cepat dimana masih terdapat
epidermis pada lokasi luka dibandingkan dengan epidermis yang dilekatkan. Epidermis
yang terlibat tetap dipertahankan dan hanya menggunakan dressing untuk melindunginya.
Antiseptik topikal (0.5% perak nitrat atau 0.05% chlorhexidine) digunakan untuk
mengecat, bilas atau oleskan pada pasien. Dressing dapat menggunakan petrolatum, perak
nitrat, polyiodine atau hidrogel.11
Pencegahan terhadap sekuele pada mata membutuhkan pemeriksaan harian oleh
ophthalmologist. Tetes mata, saline fisiologis atau antbiotik bila dibutuhkan, diberikan
setiap 2 jam dan pencegahan sinekhia dengan peralatan tumpul. Disarankan untuk
menggunakan lensa kontak sclera permeabilitas udara mengurangi fotofobia dan
ketidaknyamanan, lensa ini memperbaiki akuitas visual dan menyembuhkan defek epitel
kornea pada sebagian pasien. Krusta nasal dan oral diangkat dan mulut diberikan spray
dengan antiseptik beberapa kali sehari.12
Pengobatan Ajuvan
Hingga saat ini belum ada obat spesifik yang terbukti efektif. Dasar pengobatan
SJS tetap pengobatan suportif di unit luka bakar serta pemberian ajuvan sebagai pelengkap.
Antihistamin
Antihistamin digunakan untuk mengatasi gejala pruritus/gatal, bisa dipakai feniramin
hydrogen maleat (Avil), difenhidramin hidroklorida (Benadril), dan cetirizin.4
Kortikosteroid
Dexametason dosis awal 1mg/kg BB IV dilanjutkan 0,2-0,5 mg/kg BB tiap 6 jam.
Penggunaan kortikosteroid sistemik masih kontroversi. Beberapa peneliti setuju
menggunakan kortikosteroid sistemik dengan alas an dapat menurunkan beratnya
penyakit, mempercepat konvalensi, mencegah komplikasi berat, menghentikan
progresifitas penyakit, mencegah kekambuhan. Beberapa literatur menyatakan
pemberian kortikosteroid sistemik dapat mengurangi inflamasi dengan cara
memperbaiki integritas kapiler, memacu sintesa lipokortin, menekan ekspresi
molekul adesi. Selain itu, kortikosteroid dapat meregulasi respon imun melalui down
regulation ekspresi gen sitokin. Mereka yang tidak setuju pemberian kortikosteroid
10
berargumentasi bahwa kortikosteroid akan menghambat penyembuhan luka,
meningkatkan resiko infeksi, menutupi tanda awal sepsis, perdarahan gastrointestinal
dan meningkatkan mortalitas. Faktor lain yang harus dipertimbangkan yaitu harus
tapering off 1-3 minggu. Bila tidak ada perbaikan dalam 3-5 hari, maka sebaiknya
pemberian kortikosteroid dihentikan. Lesi mulut diberi kenalog in orabase.4
Intravenous immune globulin (IVIG)
Intravenous IgG (IVIG) mengandung berbagai antibodi termasuk autoantibody
terhadap protein Fas.10 IVIG mempengaruhi interaksi Fas-FasL. Keratinosit manusia
sensitif terhadap rekombinan human sFasL. Invitro IVIG memblok rhsFasL sehingga
keratinosit tidak apoptosis. IVIG mengandung anti Fas IgG yang akan menempel
pada reseptor FasL, sehingga akan menghalangi perlekatan rhsFasL pada reseptor.
Pengobatan IVIG meningkatkan tingkat kelangsungan hidup menjadi 88%. Dosis
yang diberikan 1 g/kg/hari selama 3 hari.14
Plasmaferesis
Plasmaferesis adalah pengobatan dengan menggunakan transfuse darah yang telah
dihilangkan plasmanya kemudian ditambahkan dengan albumin (atau bank plasma)
dan kemudian diinfuskan kembali. Tujuannya adalah untuk menghilangkan bahan
pathogen dalam plasma seperti obat, racun, bahan metabolic, antibody, imun
komplek atau penyakit yang memicu sitokin. Plasmaferesis telah berhasil digunakan
untuk TEN dengan prosedur yang relative sederhana dengan menggunakan 1-8 kali
transfusi. Pemberian 1 seri plasmaferesis dikombinasikan dengan IgG intravenous
(IVIG). Survival rate meningkat sampai 77-100%.14
KOMPLIKASI
Sindroma Steven Johnson sering menimbulkan komplikasi pada mata berupa
simblefaron dan ulkus kornea. Komplikasi lainnya adalah timbulnya sembab, demam atau
malahan hipotermia dan yang terberat adalah sepsis.4
PROGNOSIS
Pada kasus yang tidak berat, prognosisnya baik, dan penyembuhan terjadi dalam
waktu 2-3 minggu. Kematian berkisar antara 5-15% pada kasus berat dengan berbagai
komplikasi atau pengobatan terlambat dan tidak memadai. Prognosis lebih berat bila terjadi
purpura yang lebih luas. Kematian biasanya disebabkan oleh gangguan keseimbangan
cairan dan elektrolit, bronkopneumonia, serta sepsis.4
11
RINGKASAN
Diagnosis Sindroma Steven Johnson terutama dengan anamnesis dan pemeriksaan
fisik. Pada umumnya merupakan bagian dari reaksi alergi obat dan mempunyai gejala dari
ringan samapai berat. Penatalaksanaan lebih bersifat konservatif dan sumptomatik, kecuali
lesi terbuka perlu koordinasi dengan unit luka bakar.
12
DAFTAR PUSTAKA
1. Harsono A. Sindroma Steven Johnson : Diagnosis dan Penatalaksanaan. Kapita Selekta Ilmu Kesehatan Anak VI. Surabaya. 2006.
2. Steven J Parrillo SJ. Stevens-Johnson Syndrome in Emergency Medicine. Aviable on http://emedicine.medscape.com/article/756523-overview
3. Ramon PF, Maldonado R. Erythema Multiforme, Stevens-Johnson Syndrome, and Toxic Epidermal Necrolysis. In : Freedberg IM, Eisen AZ, Wolff K, Austen F, Goldsmith LA, Katz S (Editor). Fitzpatrick's Dermatology In General Medicine 6th edition. New York: McGraw-Hill Professional Pub; 2003.
4. Harry W.U., Kurniawan D. Erupsi Obat Alergik. Palembang. FK Universitas Sriwijaya. 2007
5. Schultz JT. Sheridan RL, Ryan CM, Mackool B, Tompkins RG.; A 10-year experience with toxic epidermal necrolysis.; J Burn Care Rehabil; 2000:21:199-204
6. Ghislain P.D., Roujeau J.C. Treatment of severe drug reactions: Stevens-Johnson Syndrome, Toxic Epidermal Necrolysis and Hypersensitivity syndrome. Dermatology Online Journal 8(1):5. Paris.2002.
7. Spies M, Sanford AP, Aili Low JF, Wolf SE, Herndon DN.; Treatment of extensive toxic epidermal necrolysis in children; Pedriatics ; 2001; 108:1162-1168.
8. Peng YZ, Yuan ZQ, Xiao, GX. Effects of early enteral feeding on the prevention of enterogenic infection in severely burned patients. Burns 2001;27:145-149.
9. Kelemen JJ, Cioffii WG, McManus WF, Mason ADJ, Pruitt BAJ. Bum center care for patients with toxic epidermal necrolysis. JAm Coll Surg 1995;180:273-278.
10. Fu X, Shen Z, Chen Y, et al. Randomised placebo-controlled trial of use of topical recombinant bovine basic fibroblast growth factor for second-degree burns. Lancet 1998;352:1661-1664.
11. Romero-Rangel T, Stavrou P, Cotter J, Rosenthal P, Baltatzis S, Foster CS. Gaspermeable scleral contact lens therapy in ocular surface disease. Am J Ophthalmol 2000;130:25-32.
12. Abe R, Shimizu T, Shibaki A, Nakamura H, Watanabe H & Shimizu H; Toxic Epidermal Necrolysis and Stevens-Johnson Syndrome Are Induced by Soluble Fas Ligand; American Journal of Pathology ; 2003; 162.121-125.
13. Chave TA, Mortimer NJ, Sladden MJ, Hall AP, Hutchinson PE.; Toxic epidermal necrolysis; current evidence, practical management and future directions; Br J Dermatol; 2005;153:241-53.
14. Yamada H, Takamori K, Yaguchi H, Ogawa H,: A study of the efficacy of plasmapheresis for the treatment of drug induced toxic epidermal necrolysis.; Ther Apher; 1998; 2:153-156.
13