sindroma steven johnson

21
SINDROMA STEVEN JOHNSON PENDAHULUAN Sindroma Steven Johnson (SSJ) adalah kumpulan gejala yang ditandai dengan trias kelainan pada kulit, mukosa orifisium dan mata, disertai gejala umum dari ringan sampai berat. Pertama kali dilaporkan pada tahun 1922 oleh dua dokter ahli anak Amerika, Albert Mason Stevens and Frank Chambliss Johnson. Sinonimnya antara lain : Sindroma de Friessinger-Rendu, Eritema Eksudativum Multiform Mayor, Eritema Poliform Bulosa, Sindroma Muko-kutaneo-okular dan Dermatostomatitis. Kelainan ini termasuk dalam kelompok Eritema Multiforme Mayor, bersama dengan Toksik Epidermal Nekrolisis (TEN). Sampai saat ini kedua kelainan tersebut masih rancu dan sulit dibedakan, sehingga para ahli sepakat untuk memakai istilah SSJ/TEN. 1,2 Insiden SSJ sebenarnya cukup jarang, yaitu berkisar dari 2,6 – 6,1 kasus / 1 juta orang / tahun. Di Amerika Serikat dilaporkan terjadi 300 kasus baru tiap tahunnya. Kelainan ini lebih sering mengenai perempuan dibanding laki-laki dengan rasio 2:1, dan usia terbanyak pada dekade 2 – 4 dibanding anak-anak. 2,3 Etiologi SSJ sukar ditentukan dengan pasti, karena penyebabnya berbagai faktor. Namun secara umum etiologinya sering berkaitan dengan respon imun terhadap obat dan infeksi. Obat yang paling sering menyebabkan SSJ adalah antibiotik golongan sulfa dan analgetik golongan NSAID. 1

Upload: ukhuholic

Post on 25-Jul-2015

204 views

Category:

Documents


7 download

TRANSCRIPT

Page 1: Sindroma Steven Johnson

SINDROMA STEVEN JOHNSON

PENDAHULUAN

Sindroma Steven Johnson (SSJ) adalah kumpulan gejala yang ditandai dengan trias

kelainan pada kulit, mukosa orifisium dan mata, disertai gejala umum dari ringan sampai

berat. Pertama kali dilaporkan pada tahun 1922 oleh dua dokter ahli anak Amerika, Albert

Mason Stevens and Frank Chambliss Johnson. Sinonimnya antara lain : Sindroma de

Friessinger-Rendu, Eritema Eksudativum Multiform Mayor, Eritema Poliform Bulosa,

Sindroma Muko-kutaneo-okular dan Dermatostomatitis. Kelainan ini termasuk dalam

kelompok Eritema Multiforme Mayor, bersama dengan Toksik Epidermal Nekrolisis

(TEN). Sampai saat ini kedua kelainan tersebut masih rancu dan sulit dibedakan, sehingga

para ahli sepakat untuk memakai istilah SSJ/TEN.1,2

Insiden SSJ sebenarnya cukup jarang, yaitu berkisar dari 2,6 – 6,1 kasus / 1 juta

orang / tahun. Di Amerika Serikat dilaporkan terjadi 300 kasus baru tiap tahunnya.

Kelainan ini lebih sering mengenai perempuan dibanding laki-laki dengan rasio 2:1, dan

usia terbanyak pada dekade 2 – 4 dibanding anak-anak.2,3

Etiologi SSJ sukar ditentukan dengan pasti, karena penyebabnya berbagai faktor.

Namun secara umum etiologinya sering berkaitan dengan respon imun terhadap obat dan

infeksi. Obat yang paling sering menyebabkan SSJ adalah antibiotik golongan sulfa dan

analgetik golongan NSAID. Sedangkan infeksi yang tersering adalah Herpes simplex dan

Mycoplasma pneumoniae. 1,2,3

SSJ menyebabkan mortalitas dan morbiditas yang cukup signifikan. Mortalitasnya

seiring dengan luasnya permukaan kulit yang terlibat, bila lebih dari 30% luas permukaan

tubuh (LPT) maka mortalitasnya bisa mencapai 50%. Sementara itu lesi-lesi pada organ /

area tertentu dapat menyebabkan sequele yang berat, seperti kebutaan, striktur esofagus

dan trakeobronkial, stenosis vagina dan penis.3

Sampai saat ini penatalaksanaan SSJ masih kontroversi dan sebagian besar masih

bersifat konservatif.3

1

Page 2: Sindroma Steven Johnson

ETIOLOGI

Etiologi SSJ masih belum diketahui secara pasti, namun berkaitan erat dengan obat-

obatan dimana sekitar 50% SSJ disebabkan oleh obat. Secara umum etiologi SSJ dapat

dikategorikan menjadi 4 kelompok yakni (1) obat-obatan, (2) infeksi, (3) keganasan dan

(4) idiopatik.1,2

Dilaporkan terdapat lebih dari 100 jenis obat yang berpotensi menjadi faktor

penyebab. Penelitian case control multinasional di Eropa mendapatkan sekitar 14 macam

obat mempunyai resiko tinggi menyebabkan SSJ (Tabel 1). Obat dengan resiko tinggi

tersebut antara lain antibiotik golongan sulfonaminde, antikonvulsan aromatik, allopurinol,

NSAID oxicam, lamotrigine dan nevirapine. Risiko terjadi pada 8 minggu pertama terapi.

Banyak obat NSAID yang dicurigai dapat menyebabkan SSJ, namun yang paling utama

adalah turunan oxicam dan diklofenak. Antibiotik golongan aminopenisilin, quinolon,

sefalosporin, dan tetrasiklin juga berpotensi namun dengan resiko lebih rendah.3

Tabel 1. Daftar obat dan Risiko SSJ

Risiko Tinggi Risiko Rendah Risiko MeragukanAllopurinol NSAID Gol. Asam Asetat ParasetamolSulfametoksazol Aminopenisilin Analegesik pirazolonSulfadiazin Sefalosporin KortikosteroidSulfapiridin Kuinolon NSAID lainnyaSulfadoksin Siklin Sertralin Sulfasalazin MakrolidaKarbamazepinLamotriginFenobarbitalFenitoinFenilbutazonNevirapinNSAID Gol. OxicamThiacetazon

Peranan penyakit infeksi terhadap timbulnya SSJ masih belum jelas, namun

beberapa kasus SSJ dilaporkan berkaitan dengan infeksi bakteri (streptokokus β

hemolitikus grup A, difteri, Brucellosis, Mycoplasma pneumoniae, mikobakterium dan

tifoid); infeksi virus (Herpes simplex, influenza, hepatitis dan mumps)); infeksi jamur

(Coccidioidomycosis, dermatophytosis, dan histoplasmosis); infeksi parasit (malaria dan

trikomoniasis). Imunisasi dilaporkan juga dapat menginduksi SSJ. Fakta tersebut

menunjukkan bahwa obat-obatan bukanlah penyebab tunggal dari SSJ.2,3

2

Page 3: Sindroma Steven Johnson

Berbagai macam karsinoma dan limfoma juga disebut dapat menginduksi SSJ. SSJ

pernah dilaporkan terjadi setelah transplantasi sumsum tulang, walaupun mungkin yang

terjadi adalah reaksi acute graft vs host disease yang berat. Hubungan antara SSJ dengan

graft vs host disease masih sulit dinilai karena gambaran lesi dan histologi kulit yang

terkena sulit dibedakan.3

Terakhir, mekanisme fisik seperti radioterapi disertai dengan terapi obat

antiepileptik seperti phenitoin, carbamazepin dan fenobarbital juga dapat menyebabkan

SSJ pada lokasi penyinaran.3

PATOGENESIS

Meskipun belum diketahui secara pasti, beberapa penelitian telah menunjukkan

hasil yang membantu menjelaskan pathogenesis SSJ. Sampai saat ini patogenesis SSJ

disangka akibat reaksi hipersensitivitas tipe IV. Pada fase awal timbulnya lesi, terjadi

reaksi sitotoksik yang diperantarai oleh sel (cell mediated cytotoxicity) terhadap keratinosit

yang menyebabkan apoptosis masif. Penelitian imunopatologis menunjukkan adanya

limfosif T CD8+ di epidermis dan dermis kulit yang terkena. Limfosit tersebut mempunyai

aktivitas seperti NK sel pada awal lesi. Sedangkan pada fase lanjut cenderung didominasi

oleh aktivitas monosit. Limfosit T CD8+ ini mengekspresikan reseptor T α dan β

dipermukaan sel sehingga mampu menghancurkan sel melalui perforin dan granzyme B.

Saat ini diketahui terdapat ekspansi oligoklonal limfosit CD8+ spesifik yang hanya

mempunyai aktivitas sitotoksik terhadap keratinosit.2,3

Limfosit T regulator CD4+CD25+ mempunyai peran yang penting dalam mencegah

kerusakan epidermis akibat reaksi sitotoksik limfosit T. Beberapa sitokin penting seperti

interleukin 6, TNF-α dan Fas ligand (Fas-L) juga ditemukan pada lesi kulit penderita SSJ.

Viard dkk menyatakan bahwa apoptosis keratinosit di lesi kulit berkaitan dengan

peningkatan ekspresi Fas dipermukaan membran dan dapat dihambat oleh human

imunoglobulin konsentrai tinggi yang mengganggu interaksi antara Fas dan Fas-L. TNF-α

kemungkinan juga berperan karena ditemukan pada lesi epidermis, cairan bulla dan sel-sel

mononuklear dan makrofag perifer.2,3

Teori lain menyebutkan adanya reaksi imunologis terhadap metabolit reaktif,

terutama metabolit obat golongan sulfonamid, pada individu dengan asetilasi lambat.

Namun reaksi imunologis cenderung terjadi langsung terhadap obat aktif dibanding

metabolitnya.2,3

3

Page 4: Sindroma Steven Johnson

Faktor genetik juga berperan penting, hal ini dapat diamati pada orang Cina suku

Han yang mempunyai HLA-B1502 dengan kejadian SSJ akibat karbamazepin dan HLA-

B5801 dengan kejadian SSJ akibat allourinol. Namun begitu hubungan antara SSJ akibat

karbamazepin dengan HLA-B1502 tidak tampak pada pasien Eropa yang tidak mempunyai

keturunan Asia.2,3

DIAGNOSIS

Amamnesis

SSJ secara klinis muncul dalam waktu 8 minggu (biasanya 4 s/d 30 hari) setelah

onset pemberian obat. Namun pada beberapa kasus dimana sebelumnya ada riwayat

terpapar obat yang sama dapat terjadi lebih cepat dalam waktu beberapa jam saja. Gejala-

gejala non spesifik seperti demam, sakit kepala, rhinitis, myalgia biasanya muncul 1 - 3

hari sebelum muncul kelainan dikulit. Kemudian muncul keluhan nyeri telan dan rasa

terbakar di mata, ini merupakan tanda-tanda adanya lesi dimukosa. Kira-kira sepertiga

kasus SSJ muncul dengan gejala non spesifik, sepertiga dengan gejala di membran mukosa

dan sepertiganya lagi muncul dengan eksantema kulit. Apapun gejala awalnya, adanya

keluhan yang progresif disertai dengan munculnya gejala baru dikulit dan / atau mukosa,

nyeri berat disertai gejala sistemik sudah harus membuat kita waspada akan suatu SSJ.1,2,3

Lesi Kulit

Erupsi dikulit pada awalnya simetris dengan predileksi didaerah wajah, dada dan

punggung atas serta ekstrimitas proksimal. Ekstrimitas distal biasanya jarang terlibat pada

awal penyakit, namun lesi dapat menyebar cepat keseluruh tubuh dalam waktu beberapa

hari, bahkan bisa dalam hitungan jam. Lesi awal biasanya berupa makula eritematosa

dengan bentuk ireguler dan dapat dengan cepat menyatu. Seringkali ditemukan lesi target

dengan tengah kehitaman (Gambar 1a). Pada SSJ juga ditemukan Nikolsky sign, yakni

berupa lepasnya epidermis karena penekanan di lateralnya, terutama di zona eritematosa.

(Gambar 1b). Pada tahap ini dapat ditemukan bulla lunak yang dapat meluas dengan

penekanan serta mudah dipecahkan (Gambar 1c). Epidermis yang mengalami nekrotik

dapat dengan mudah terlepas karena tekanan atau gesekan, dan meninggalkan area dermias

terbuka berwarna kemerahan.2,3

Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa SSJ dan TEN merupakan kelainan

yang mirip dan sulit dibedakan sehingga pada ahli membuat klasifikasi sebagai berikut :

1. SSJ bila pelepsan epidermis < 10% dari luas permukaan tubuh (LPT).

4

Page 5: Sindroma Steven Johnson

2. Overlaping SSJ/TEN bila pelepsan epidermis antara 10-30% LPT

3. TEN bila pelepasan epidermis > 30% LPT

Gambar 1a. Lesi target; 1b. Nikolsky sign; 1c. Bulla yang pecah

Untuk mengukur derajat ringan berat SSJ digunakan indeks pengukuran Score for TEN

(SCORTEN) (Tabel 2). SCORTEN terbukti sangat akurat sebagai alat untuk

memperkirakan mortalitas pasien. Parameter klinik lainnya yang penting adalah

trombositopenia, leukopenia, kelambatan untuk dirawat dan pemberian pengobatan

antibiotik dan kortikosteroid sebelum dirawat.3

Tabel 2. SCORTEN. Sistem skor untuk menilai prognosis SSJ

SCORTENFaktor prognostik Poin

Usia > 40 th 1Denyut jantung > 120 x/mnt 1Karsinoma atau keganasan hematologi 1Luas permukaan tubuh yang terlibat > 10% 1Kadar ureum darah > 28 mg/dL 1Kadar bikarbonat darah < 20 mEq/L 1Kadar glukosa darah > 252 mg/dL 1

SCORTEN Mortalitas (%)0-1 3,22 12,13 35,84 58,3> 5 90

Lesi mukosa

Pada 90% kasus SSJ membran mukosa hampir selalu terlibat paling tidak pada 2

tempat berbeda. Munculnya lesi mukosa bisa sebelum atau sesudah lesi kulit. Lesi dimulai

dengan eritema yang nyeri dimukosa bukal, mata atau genital. Hal ini menyebabkan

5

Page 6: Sindroma Steven Johnson

gangguan makan, fotophobia, sinekia konjungtiva dan nyeri saat miksi. Mukosa oral dan

bibir merupakan area yang paling sering terkena dengan gambaran berupa lesi erosi

hemoragik yang dilapisi pseudomembran atau krusta serta terasa nyeri (Gambar 2). Hampir

85% kasus ditemukan lesi konjungtiva berupa hiperemia, erosi, kemosis, fotophobia dan

lakrimasi. Kadang juga ditemukan lepasnya bulu mata. Pada lesi berat dapat terjadi

ulserasi kornea, uveitis anterior, konjungtivitis purulenta, sinekia antara palpebra dengan

konjungtiva.3

Gambar 2a. Erosi hemoragik dan krusta perioral; 2b. Lepasnya bulu mata

Gejala ekstra kulit

SSJ biasanya disertai keluhan demam, nyeri dan malaise. Lesi di organ visceral

juga dapat ditemukan, terutama saluran pencernaan dan paru-paru. Komplikasi paru terjadi

pada 25% kasus, ditandai dengan dispnea, hipoksia, hipersekresi bronkus, dan hemoptisis.

Lesi bronkus pada SSJ tidak berkaitan dengan luasnya lesi dikulit dan jenis agent

pencetusnya. Pada sebagian besar kasus menunjukka x-foto thorak normal pada saat masuk

namun dapat dengan cepat terjadi sindroma interstisial. Timbulnya gagal nafas akut setelah

onset lesi kulit menunjukkan prognosis yang buruk. Pada kasus dengan gagal nafas dapat

dilakukan bronkoskopi fiberoptik untuk membedakan adanya pelepasan epitel yang khas

pada SSJ dari pneumonitis infeksi, dimana pada pneumonitis mempunyai prognosis lebih

baik.3

Lesi disaluran cerna lebih jarang terlibat, biasanya ditandai dengan nekrosis epitel

esophagus, usus halus atau kolon dengan gejala berupa diare profuse, melena atau bahkan

perforasi kolon.

Lesi di ginjal juga dapat terjadi, dengan tanda berupa protenuria, hematuria,

mikroalbuminuria, dan azotemia. Hal tersebut terjadi karena nekrosis sel tubulus proksimal

seperti yang terjadi pada epidermis kulit.3

6

Page 7: Sindroma Steven Johnson

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Laboratorium

Langkah awal yang harus diperhatikan pada pasien SSJ di ruang emergensi adalah

evaluasi respiratory rate dan oksigenasi. Setiap ada perubahan yang signifikan sebaiknya

dicek ulang dengan pemeriksaan analisa gas darah. Konsentrasi Natrium Bikarbonat

kurang dari 20 mEq/L menunjukkan prognosis yang buruk. Hal ini biasanya disebabkan

oleh alkalosis respiratorik akibat terlibatnya saluran pernafasan.3

Kehilangan cairan transdermal masif dapat menyebabkan gangguan elektrolit,

insufisiensi renal ringan, azotemia prerenal, hipoalbuminemia dan hipoproteinemia.

Peningkatan kadar ureum darah juga merupakan tanda beratnya penyakit. Gambaran darah

tepi biasanya didapatkan anemia, lekositosis ringan dan trombositopenia. Limfopenia

CD4+ transien hampir selalu ditemukan, dan ini berkaitan dengan penurunan fungsi sel T.

Kadang ditemukan peningkatan ringan enzim-enzim hepar dan amilase namun ini tidak

mempengaruhi prognosis. Hiperglikemia sering ditemukan akibat status hiperkatabolik dan

resistensi insulin perifer. Kadar gula darah lebih dari 252 mg/dL merupakan salah satu

penanda beratnya penyakit.3

Histopatologi

Biopsi kulit dan pemeriksaan immunoflouresense sebainya dilakukan pada setiap

kasus SSJ untuk menegakkan diagnosis meskipun secara klinis sudah cukup

mencurigakan. Pada tahap awal munculnya lesi kulit ditandai oleh gambaran apoptosis

keratinosit dilapisan suprabasal yang melanjut menjadi nekrosis epidermal dan pelepsan

epidermis. (Gambar 3).3

Gambar 3. Lepasnya epidermis dari dermis.

Infilrasi sel mononuklear di papila dermis sering ditemukan, terutama sel-sel

limfosit dan makrofag. Diantara populasi sel T tersebut banyak ditemukan limfosit T

7

Page 8: Sindroma Steven Johnson

CD8+ dengan aktivitas sitotoksik. Hal tersebut menunjukkan adanya reaksi imunologis

yang diperantarai sel (cell mediated cytotoxicity). Sel eosinofil jarang ditemukan pada SSJ

berat. Hasil pemeriksaan imunofloresence biasanya menunjukkan hasil negatif.2,3

DIAGNOSIS BANDING

Pada lesi yang terbatas dikulit tanpa keterlibatan mukosa perlu dipertimbangkan

alternatif diagnosis banding lainnya seperti : Staphylococcus scalded skin syndrome,

Dermatitis eksfoliativa, Toksik syok sindrom, Purpura fulminan pada anak, Eksantema

pustulosis generaliata akut, Luka bakar, Fototoksisitas atau Pressure blister pada dewasa.

Seringkali dijumpai overdiagnosis SSJ karena tidak bisa membedakan antara deskuamasi

dan pelepasan epidermis, serta antara membran mukosa dengan kulit periorifisium.2,3

PENATALAKSANAAN

Anamnesis berperan sangat penting dan harus dilakukan dengan teliti agar dapat

menggali kemungkinan penyebab SSJ apakah termasuk erupsi obat akibat alergi atau non

alergi. Seperti pada penyakit immunologis lainnya, pengobatan alergi obat adalah dengan

menetralkan atau mengeluarkan obat tersebut dari dalam tubuh, epinephrine adalah ‘drug

of choice’ pada reaksi anafilaksis. Untuk alergi obat jenis lainnya, dapat digunakan

pengobatan simptomatik dengan antihistamin dan kortikosteroid. Penghentian obat yang

dicurigai menjadi penyebab harus dilakukan secepat mungkin.4,5

Prinsip pengobatan

Bila disebabkan alergi obat, maka yang paling penting adalah penghentian

pengobatan yang diminum. Anamnesis yang teliti sangat membantu meneliti kemungkinan

obat yang dicurigai sambil melihat obat yang diminum sebelumnya atau resep yang

diberikan. Makin cepat menghentikan obat penyebab, makin baik prognosisnya, meskipun

agak kurang bermakna pada obat-obat yang mempunyai waktu paruh yang lama.6

Terapi simptomatik utamanya sama dengan penatalaksanaan pada luka bakar, yaitu

kontrol temperatur lingkungan, penanganan aseptik dan teliti, sterilisasi luka, penghindaran

material adesif, pengawasan pemberian cairan intravena jauh dari area luka, inisiasi nutrisi

oral dengan NGT, antikoagulasi, pencegahan stress ulcer dan pemberian obat untuk nyeri

dan gelisah.7

Terapi suportif ditujukan untuk menghindari atau membatasi terjadinya komplikasi

yang timbul. Perhatian dan ketelitian ditujukan pada kelainan mata, traktus respiratorius,

8

Page 9: Sindroma Steven Johnson

balans elektrolit, nutrisi, infeksi dan nyeri. Biakan kulit, kencing dan darah dikerjakan

periodik. Pemberian cairan sangat tergantung dengan luasnya lesi dan membran mukosa

yang diserang. Monitoring ketat terutama terhadap kemungkinan sepsis yang sering

disebabkan oleh stafilokokus aureus dan pseudomonas aeruginosa. Pemberian nutrisi

dengan kalori dan protein tinggi lewat NGT pada penderita dengan gangguan mukosa

akibat lesi atau karena keadaan umum yang buruk.8

Pemberian antibiotik baik dan kuratif maupun profilaksi tidak bermanfaat, justru

menjadi resisten dan meningkatkan mortalitas. Antibiotik diberikan bila sudah ada tanda-

tanda sepsis, yaitu perubahan status mental, menggigil, hipotermia, oliguri, keadaan klinis

memburuk. Eksudasi masif dari daerah lesi erosi, sehingga pemberian antibiotik harus

lebih tinggi dosisnya karena sebagian hilang akibat eksudasi.8

Manajemen Sistemik

Penatalaksanaan pulmonal termasuk aerosol, aspirasi bronchial dan terapi fisik.

Jika trakea dan bronkus terlibat, maka diperlukan intubasi dan ventilasi mekanik. Nutrisi

enteral awal dan berlanjut menurunkan resiko ‘stress ulcer’ , mengurangi translokasi

bakteri dan infeksi enterogenik dan memungkinkan diskontinuitas jalur vena.6 Level fosfor

harus diperiksa dan diperbaiki, jika perlu. Hipofosforemia yang parah sering terjadi dan

menimbulkan perubahan regulasi glikemia dan disfungsi muscular. Kebanyakan penulis

tidak menggunakan anibiotik profilaksis. Kateter diganti dan dikultur secara teratur.

Sampel bakteri dari lesi kulit dilakukan pada hari pertama dan setiap 48 jam. Indikasi

terapi antibiotik termasuk adanya peningkatan jumlah bakteri kultur dari lesi kulit dengan

strain tunggal, adanya penurunan suhu dan kemunduran kondisi pasien. Temperatur

lingkungan ditingkatkan hingga 30-32 derajat Celcius. Hal ini mengurangi kehilangan

kalori melalui kulit dan akibat menggigil dan stress. Hilangnya panas juga dibatasi dengan

meningkatkan temperature dengan bath antiseptic hingga 35-38 (C dan dengan

menggunakan penahan panas, lampu infrared dan tempat tidur yang lembab. Beberapa obat

diperlukan. Thromboembolism merupakan penyebab penting morbiditas dan kematian;

antikoagulasi efektif dengan heparin direkomendasikan selama perawatan. Walaupun hal

ini meningkatkan perdarahan kulit, hal ini biasanya terbatas pada jumlah dan tidak

membutuhkan transfusi. Antasid mengurangi insidensi perdarahan lambung. Dukungan

emosi dan psikiatri harus dilakukan. Transquilizers seperti diazepam dan morfin dapat

digunakan bila status respiratori memungkinkan.10

9

Page 10: Sindroma Steven Johnson

Manajemen Topikal

Tidak ada konsesus mengenai perawatan topikal. Pendekatan yang memungkinkan

dapat konservatif ataupun lebih agresif (operasi debridement luas). Berdasarkan

pengalaman bahwa dengan perawatan konservatif, area dengan Nikolski positif, secara

potensial terbentuk oleh setiap trauma sembuh lebih cepat dimana masih terdapat

epidermis pada lokasi luka dibandingkan dengan epidermis yang dilekatkan. Epidermis

yang terlibat tetap dipertahankan dan hanya menggunakan dressing untuk melindunginya.

Antiseptik topikal (0.5% perak nitrat atau 0.05% chlorhexidine) digunakan untuk

mengecat, bilas atau oleskan pada pasien. Dressing dapat menggunakan petrolatum, perak

nitrat, polyiodine atau hidrogel.11

Pencegahan terhadap sekuele pada mata membutuhkan pemeriksaan harian oleh

ophthalmologist. Tetes mata, saline fisiologis atau antbiotik bila dibutuhkan, diberikan

setiap 2 jam dan pencegahan sinekhia dengan peralatan tumpul. Disarankan untuk

menggunakan lensa kontak sclera permeabilitas udara mengurangi fotofobia dan

ketidaknyamanan, lensa ini memperbaiki akuitas visual dan menyembuhkan defek epitel

kornea pada sebagian pasien. Krusta nasal dan oral diangkat dan mulut diberikan spray

dengan antiseptik beberapa kali sehari.12

Pengobatan Ajuvan

Hingga saat ini belum ada obat spesifik yang terbukti efektif. Dasar pengobatan

SJS tetap pengobatan suportif di unit luka bakar serta pemberian ajuvan sebagai pelengkap.

Antihistamin

Antihistamin digunakan untuk mengatasi gejala pruritus/gatal, bisa dipakai feniramin

hydrogen maleat (Avil), difenhidramin hidroklorida (Benadril), dan cetirizin.4

Kortikosteroid

Dexametason dosis awal 1mg/kg BB IV dilanjutkan 0,2-0,5 mg/kg BB tiap 6 jam.

Penggunaan kortikosteroid sistemik masih kontroversi. Beberapa peneliti setuju

menggunakan kortikosteroid sistemik dengan alas an dapat menurunkan beratnya

penyakit, mempercepat konvalensi, mencegah komplikasi berat, menghentikan

progresifitas penyakit, mencegah kekambuhan. Beberapa literatur menyatakan

pemberian kortikosteroid sistemik dapat mengurangi inflamasi dengan cara

memperbaiki integritas kapiler, memacu sintesa lipokortin, menekan ekspresi

molekul adesi. Selain itu, kortikosteroid dapat meregulasi respon imun melalui down

regulation ekspresi gen sitokin. Mereka yang tidak setuju pemberian kortikosteroid

10

Page 11: Sindroma Steven Johnson

berargumentasi bahwa kortikosteroid akan menghambat penyembuhan luka,

meningkatkan resiko infeksi, menutupi tanda awal sepsis, perdarahan gastrointestinal

dan meningkatkan mortalitas. Faktor lain yang harus dipertimbangkan yaitu harus

tapering off 1-3 minggu. Bila tidak ada perbaikan dalam 3-5 hari, maka sebaiknya

pemberian kortikosteroid dihentikan. Lesi mulut diberi kenalog in orabase.4

Intravenous immune globulin (IVIG)

Intravenous IgG (IVIG) mengandung berbagai antibodi termasuk autoantibody

terhadap protein Fas.10 IVIG mempengaruhi interaksi Fas-FasL. Keratinosit manusia

sensitif terhadap rekombinan human sFasL. Invitro IVIG memblok rhsFasL sehingga

keratinosit tidak apoptosis. IVIG mengandung anti Fas IgG yang akan menempel

pada reseptor FasL, sehingga akan menghalangi perlekatan rhsFasL pada reseptor.

Pengobatan IVIG meningkatkan tingkat kelangsungan hidup menjadi 88%. Dosis

yang diberikan 1 g/kg/hari selama 3 hari.14

Plasmaferesis

Plasmaferesis adalah pengobatan dengan menggunakan transfuse darah yang telah

dihilangkan plasmanya kemudian ditambahkan dengan albumin (atau bank plasma)

dan kemudian diinfuskan kembali. Tujuannya adalah untuk menghilangkan bahan

pathogen dalam plasma seperti obat, racun, bahan metabolic, antibody, imun

komplek atau penyakit yang memicu sitokin. Plasmaferesis telah berhasil digunakan

untuk TEN dengan prosedur yang relative sederhana dengan menggunakan 1-8 kali

transfusi. Pemberian 1 seri plasmaferesis dikombinasikan dengan IgG intravenous

(IVIG). Survival rate meningkat sampai 77-100%.14

KOMPLIKASI

Sindroma Steven Johnson sering menimbulkan komplikasi pada mata berupa

simblefaron dan ulkus kornea. Komplikasi lainnya adalah timbulnya sembab, demam atau

malahan hipotermia dan yang terberat adalah sepsis.4

PROGNOSIS

Pada kasus yang tidak berat, prognosisnya baik, dan penyembuhan terjadi dalam

waktu 2-3 minggu. Kematian berkisar antara 5-15% pada kasus berat dengan berbagai

komplikasi atau pengobatan terlambat dan tidak memadai. Prognosis lebih berat bila terjadi

purpura yang lebih luas. Kematian biasanya disebabkan oleh gangguan keseimbangan

cairan dan elektrolit, bronkopneumonia, serta sepsis.4

11

Page 12: Sindroma Steven Johnson

RINGKASAN

Diagnosis Sindroma Steven Johnson terutama dengan anamnesis dan pemeriksaan

fisik. Pada umumnya merupakan bagian dari reaksi alergi obat dan mempunyai gejala dari

ringan samapai berat. Penatalaksanaan lebih bersifat konservatif dan sumptomatik, kecuali

lesi terbuka perlu koordinasi dengan unit luka bakar.

12

Page 13: Sindroma Steven Johnson

DAFTAR PUSTAKA

1. Harsono A. Sindroma Steven Johnson : Diagnosis dan Penatalaksanaan. Kapita Selekta Ilmu Kesehatan Anak VI. Surabaya. 2006.

2. Steven J Parrillo SJ. Stevens-Johnson Syndrome in Emergency Medicine. Aviable on http://emedicine.medscape.com/article/756523-overview

3. Ramon PF, Maldonado R. Erythema Multiforme, Stevens-Johnson Syndrome, and Toxic Epidermal Necrolysis. In : Freedberg IM, Eisen AZ, Wolff K, Austen F, Goldsmith LA, Katz S (Editor). Fitzpatrick's Dermatology In General Medicine 6th edition.  New York: McGraw-Hill Professional Pub; 2003.

4. Harry W.U., Kurniawan D. Erupsi Obat Alergik. Palembang. FK Universitas Sriwijaya. 2007

5. Schultz JT. Sheridan RL, Ryan CM, Mackool B, Tompkins RG.; A 10-year experience with toxic epidermal necrolysis.; J Burn Care Rehabil; 2000:21:199-204

6. Ghislain P.D., Roujeau J.C. Treatment of severe drug reactions: Stevens-Johnson Syndrome, Toxic Epidermal Necrolysis and Hypersensitivity syndrome. Dermatology Online Journal 8(1):5. Paris.2002.

7. Spies M, Sanford AP, Aili Low JF, Wolf SE, Herndon DN.; Treatment of extensive toxic epidermal necrolysis in children; Pedriatics ; 2001; 108:1162-1168.

8. Peng YZ, Yuan ZQ, Xiao, GX. Effects of early enteral feeding on the prevention of enterogenic infection in severely burned patients. Burns 2001;27:145-149.

9. Kelemen JJ, Cioffii WG, McManus WF, Mason ADJ, Pruitt BAJ. Bum center care for patients with toxic epidermal necrolysis. JAm Coll Surg 1995;180:273-278.

10. Fu X, Shen Z, Chen Y, et al. Randomised placebo-controlled trial of use of topical recombinant bovine basic fibroblast growth factor for second-degree burns. Lancet 1998;352:1661-1664.

11. Romero-Rangel T, Stavrou P, Cotter J, Rosenthal P, Baltatzis S, Foster CS. Gaspermeable scleral contact lens therapy in ocular surface disease. Am J Ophthalmol 2000;130:25-32.

12. Abe R, Shimizu T, Shibaki A, Nakamura H, Watanabe H & Shimizu H; Toxic Epidermal Necrolysis and Stevens-Johnson Syndrome Are Induced by Soluble Fas Ligand; American Journal of Pathology ; 2003; 162.121-125.

13. Chave TA, Mortimer NJ, Sladden MJ, Hall AP, Hutchinson PE.; Toxic epidermal necrolysis; current evidence, practical management and future directions; Br J Dermatol; 2005;153:241-53.

14. Yamada H, Takamori K, Yaguchi H, Ogawa H,: A study of the efficacy of plasmapheresis for the treatment of drug induced toxic epidermal necrolysis.; Ther Apher; 1998; 2:153-156.

13