pustaka sindroma nefrotik

39

Click here to load reader

Upload: anindhito-kurnia-pratama

Post on 25-Nov-2015

44 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

SINDROMA NEFROTIK

PENDAHULUANSindroma nefrotik (SN) dicirikan oleh albuminuria, hipoalbuminemia, hiperlipidemia, dan edema. Kelainan ini adalah akibat dari kebocoran glomerulus yang luar biasa dari protein plasma ke dalam urin. Defek muatan atau sawar yang selektif-ukuran dari dinding kapiler glomerulus yang membawahi filtrasi protein plasma yang berlebihan dapat meningkat sebagai akibat variasi proses penyakit, termasuk penyakit imunologik, cedera toksik, kelainan metabolik, defek biokimiawi, dan penyakit vaskuler. Oleh karena itu, sindroma nefrotik merupakan titik akhir yang umum terjadi pada berbagai proses penyakit yang mengubah keadaan permeabilitas dinding kapiler glomerulus.

PATOFISIOLOGIProteinuria ialah tanda keadaan nefrotik. Secara berubah-ubah laju ekskresi protein urin total lebih banyak dari 3,5 g setiap 1,73 m daerah permukaan tiap hari [ atau konsentrasi protein urin yang lebih besar dari 0.4 mg/mmol (3,5 mg/mg) kreatinin] dianggap adalah dalam batas nefrotik, terutama karena proteinuira yang sebesar ini jarang diperiksa pada penyakit yang mengenai tubulointerstisial dan vaskuler ginjal. Proteinuria hebat yang bertahan adalah sering, tetapi tidak bervariasi, disertai oleh hipoalbuminemia. Kehilangan berlebihan melalui urin, katabolisme renal meningkat, dan sintesis hepatik albumin yang tidak memadai semua memperbesar penurunan albumin plasma. Pengurangan yang diakibatkan dalam tekanan onkotik plasma menyebabkan gangguan tenaga Starling melewati kepiler perifer. Cairan intravaskuler berpindah kedalam jaringan interstisial (yaitu, edema),terutama pada daerah dengan tekanan jaringan yang rendah. Gangguan ini dipostulasikan menyebabkan kurangnya pengisiandalam sirkulasi, yang sebaliknya memulakan rangkaian penyesuaian hemostatik yang dirancang untuk memperbaiki kekurangan volume plasma. Hal ini mencakup pengaktifan system-renin-angitensin-aldosteron, sekresi vasopressin yang bertambah, perangsangan system saraf simpatik, dan mungkin perubahan sekresi atau respon ginjal terhadap peptide natriuretik atrium. Hal ini dan penyesuaian lain yang kurang diketahui menyebabkan retensi natium dan air oleh ginjal, terutama disebabkan karena reabsorpsi yang tinggi pada segmen nefron distal, mengakibatkan edema yang keras. Pada rumusan ini, ginjal dipandang responsnya maladaptive terhadap gangguan volume arteri yang efektif. Namun, skenario pengisian yang kurang bukan merupakan penjelasan yang lengkap mengenai retensi garam dan air pada sindroma nefrotik. Kenyataannya, ukuran volume plasma, renin, dan aldosteron, serta penentuan peristiwa yang mendasari reabsorbsi garam dan air oleh ginjal telah mencatat adanya heterogenitas pada patofisiologi hemostasis volume cairan pada sindroma nefrotik. Beberapa pasien telah menambah volume cairan intravaskuler dan menekan sumbu rennin-aldosteron, rupanya diperantarai oleh retensi cairan dan garam yang primer tidak tergantung pada aldosteron, menyerupai patofisiologi nefritis akut. Pasien ini sering mengalami penurunan LFG dan lesi pada struktur glomerulusnya, walaupun tidak bervariasi. Pada ujung lain dari spectrum adalah pasien dengan hipervolemia jelas, hipereninemia, dan retensi garam renal sekunder. Kadar albumin serum rendah, volume cairan ekstraseluler bertambah, dan biasanya terdapat pada kedua kelompok. Seperti diduga, hebatnya edema berkolerasi dengan derajat penurunan albumin plasma (dan dengan demikian tekanan onkotik plasma); namun, hubungannya tidak dapat dipastikan kemungkinan mencerminkan bagian retensi primer dari natriumdan air pada banyak pasien (Richard dan Barry, 2000).Tampaknya, penurunan tekanan onkotik plasma juga merangsang sintesis lipoprotein hati, dan hiperlipidemia sering menyertai status nefrotik. Lipoprotein densitas-rendah dan kolestrol paling sering dijumpai meningkat, tetapi dengan penurunan tekanan onkotik plasma yang lebih lanjut, lipoprotein densitas sangat rendah dan trigliserida juga meningkat. Kehilangan yang berlebihan dari factor protein plasma yang menatur sintesis dan pembuangan lipoprotein dalam urin juga dapat mempengaruhi keadaan hiperlipidemik. Apakah kelainan lipid ini berperan dalam aterosklerosis yang dipercepat tetap controversial. Butiran lipid (silinder lemak, badan lemak yang oval) biasanya muncul dalam urin (Richard dan Barry, 2000).Hilangnya protein plasma di dalam urin selain albumin juga penting diperhatikan. Hilangnya globulin pengikat tiroksin dapat menyebabkan kelainan dalam tes fungsi tiroid, termasuk suatu ambilan tiroksin yang rendah dan ambilan tiiodoyironin yang bertambah. Kehilangan protein pengikat kolekalsiferon dapat menyebabkan defisiensi vitamin D dan hiperparatiroidisme dan dapat menyokong hipokalsemia dan hiperkasiuria yang umum dijumpai. Ekskresitransferin dalam urin yang bertambah dapat menyebabkan anemiahipokrom mikrositik, yang resisten terhadap besi. Defisiensi seng (Zn) dan tembaga (Cu) dapat menyebabkan kehilangan protein pengikat logam melalui urin. Keadaan hiperkoagulabilitas sering menyertai sindroma nefrotik yang berat [albumin serum kurang dari 20g/L (2g/dL)]. Variasi factor memperbesar kecenderungan untuk trombosit pada pasien nefrotik termasuk defisiensi antitrombin III (karena kehilangan urin), kadar atau aktivitas protein C atau protein S yang berkurang, hiperfibrinogenemia, fibrinolisis yang terganggu, agregasi trombosit yang bertambah dan hiperlipidemia (Richard dan Barry, 2000).Pada beberapa pasien berkembang defisiensi IgG hebat,sebagian akibat kehilangan melalui urin dan hiperkatabolisme. Komponen komplemen yang berat molekulnya rendah juga dapat hilang ke dalam urin dan menyebabkan defek pada opsonisasi bakteri. Berbagai protein pengikat-obat (terutama albumin) mungkin berkurang, yang mengubah farmakokinetika dan toksisitas banyak obat. Di samping kadar albumin yang berkurang, elektroforesis serum mengungkapkan adanya peningkatan glogulin alfa dan beta (Richard dan Barry, 2000).

PATOGENESIS SINDROM NEFROTIK

Glomerulonefritis primer :GN lesi minimal- GN membranoproliferatif- GN membranosaGlomerulosklerosis fokal- GN proliferatif yang lainGlomerulonefritis sekunder :Infeksi- Keganasan- Penyakit jaringan penghubung- Efek obat&toksik- lain-lainDefek muatan/sawar selektif-ukuran dari dinding kapiler glomerulusFiltrasi albumin Retensi Na ginjal primerEkspansi vol ekstraselulerKatabolisme di tubulusSintesis albumin hati sub-optimalAlbuminuriaSINDROM NEFROTIKTek. Hidrostatik kapiler HipoalbuminemiaedemaTek onkotik Sintesis lipid dan lipoprotein Hiperkolesterolemia dan lipiduriaKompensasiKompensasiSindrom nefrotik merupakan salah satu manifestasi klinik glomerulonefritis ditandai dengan edema anasarka, proteinuria masif 3,5 g/hari, hipoalbuminemia 3,5 g/hr, hipoalbuminemia, edema (bisa anasarka), hiperlipidemia, lipiduria, penurunan Ig G dan globulin, sedangkan dan globulin relatif meningkat, hipokalsemia.2. Diagnosis penyebab SN:a. Pada langkah pertama, cari kemungkinan penyebab SN sekunder (DM, SLE, dll)b. Biopsi ginjal (bila sarana memadai) sangat dianjurkan untuk penderita SN dewasa dengan tujuan untuk diagnosis histologikal, pemeriksaan lebih lanjut, terapi, prognosis. 3. Pengobatan penyebab: tergantung penyakit yang mendasari4. Pengobatan SN

PENGOBATAN SNPada prinsipnya terapi untuk SN terdiri dari terapi umum dan terapi spesifik (Yogiantoro dkk, 2007).Terapi Umum:1. Pengobatan untuk edema:a. Dapat diberikan diuretika loop (Furosemid) oral, bila belum ada respon dosis ditingkatkan sampai terjadi diuresis, bila perlu bisa dikombinasi dengan Hidroklorotiasid oral (bekerja sinergistik dengan Furosemid). Bila tetap tidak respon, beri Furosemid secara IV, bila perlu disertai pemberian infus albumin, dan bila tetap belum ada respon perlu dipertimbangkan ultrafiltrasi mekanik (terutama untuk kasus insufisiensi ginjal).b. Pembatasan diet garam 1-2 g/hr dan pembatasan cairan.c. Bila perlu tirah baring, terutama untuk orang tua dengan edema tungkai berat karena kemungkinan adanya insufisiensi venous. d. Pengukuran berat badan (BB) setiap hari untuk mengevaluasi edema dan keseimbangan cairan harus dicatat. BB diharapkan turun 0,5-1 kg/hr.2. Pengobatan untuk proteinuria:a. ACE inhibitor paling sering digunakan, cara kerjanya menghamabat terjadinya vasokonstriksi pada arteriol eferen.b. Angiotensin II Receptor Antagonis (ARB) mempunyai efektivitas yang sama dengan ACE inhibitor, tetapi tidak didapatkan efek batuk seperti pada ACE inhibitor.3. Koreksi hipoproteinemiaUntuk memelihara keseimbangan nitrogen yang positif dibutuhkan peningkatan kadar protein serum. Tetapi pemberian diet tinggi protein selain sulit dipenuhi penderita (anoreksia) juga terbukti justru meningkatkan ekskresi protein urin. Untuk penderita SN diberikan diet tinggi kalori/karbohidrat 9untuk memaksimalkan penggunaan protein yang dimakan) dan cukup protein (0,8-1 mg/kgBB/hr.4. Terapi hiperlipidemiaWalaupun belum ada bukti yang jelas bahwa hiperlipidemia pada SN meningkatkan resiko penyakit kardiovaskuler, tetapi apa yang terjadi pada populasi umum perlu dipakai sebagai pertimbangan untuk menurunkan kadar lipid pada penderita SN. Dapat digunakan golongan HMG-Co A reduktase inhibitor (statin).5. HypercoagulabilityMasih terdapat sialng pendapat mengenai perlunya pemberian antikoagulasi jangka panjang untuk semua penderita SN guna mencegah terjadinya trombosis. Tetapi bila sudah terjadi trombosis atau emboli paru, maka perlu dipertimbangkan antikoagulasi jangka panjang.6. Pengobatan infeksi: antibiotik yang tepat7. Pengobatan hipertensiBila didapatkan hipertensi, bisa diberikan ACE inhibitor, ARB, Non-Dihydropyridinca Channel Blocker (CCB). Pemberian diuretika dan pemberian diet garam juga ikut berperan dalam pengelolaan hipertensi.

Terapi spesifik:Patogenesis sebagian besar penyakit gromeruler dikaitkan dengan gangguan imun, dengan demikian terapi spesifiknya adalah pemberian imunosupresif. Untuk penderita SN dewasa dianjurkan untuk melakukan biopsi ginjal sebelum memulai terapi spesifik.1. SteroidPrednison 1 mg/kgBB/hr atau 60 mg/hr dapat diberikan antara 4-12 minggu, selanjutnya diturunkan secara bertahap dalam 2-3 bulan. Steroid memberikan respon yang baik untuk minimal change, walaupun pada orang dewasa responnya lebih lambat dibandingkan pada anak.2. CyclophosphamideUntuk penderita yang mengalami relaps setelah steroid dihentikan (steroid-dependent) atau mengalami relaps >3 kali dalam setahun (frequently relapsing) bisa diberikan Cyclophosphamide 2 mg/kgBB/hr selama 8-12 minggu. Pada penggunaan Cyclophosphamide perlu diwaspadai terjadinya efek samping berupa infertilitas, cystitis, alopecia, infeksi, malignansi.3. ChlorambucilDigunakan dengan alasan yang sama dengan Cyclophosphamid. Dosis 0,1-0,2/kgBB/hr selama 8-12 minggu.4. Cyclosporine A (CyA)Pada penderita yang mengalami relaps setelah pemberian Cyclophosphamid, diberikan CyA dengan dosis awal 4-5 mg/kgBB/hr, dimana dosis selanjutnya perlu disesuaikan dengan kadar CyA dalam darah. Pemberian berlangsung dalam 1 tahun kemudian diturunkan pelan-pelan. Mengingat CyA mempunyai efek nefrotoksik, perlu memonitor fungsi ginjal.

5. AzathioprineAzathioprine dengan dosis 2-2,5 mg/kgBB/hr digunakan untuk Nefritis Lupus. Penggunaan, kombinasi obat, dosis, dan lama pemberian imunosupresif tersebut bervariasi, tergantung pada diagnosis histologinya. Obat-obat yang lebih baru adalah FK 506 atau Takrolimus dan Mycophenolate Mofetil (MMF).

KOMPLIKASI SNKeseimbangan NitrogenProteinuria masif pada SN akan menyebabkan keseimbangan nitrogen menjadi negatif. Penurunan massa otot sering ditemukan tetapi gejala ini tertutup oleh gejala edema anasarka dan baru tampak setelah edema menghilang. Kehilangan massa otot sebesar 10-20% dari massa tubuh (mean body mass) tidak jarang dijumpai pada SN.

Hiperlipidemia dan LipiduriaHiperlipidemia merupakan keadaan yang menyertai SN. Kadar kolesterol umumnya meningkat sedangkan trigliserid bervariasi dari normal sampai sedikit meninggi. Peningkatan kadar kolesterol disebabkan oleh meningkatnya LDL, lipoprotein utama pengangkut kolesterol. Kadar trigliserid yang tinggi dikaitkan dengan peningkatan VLDL. Selain itu ditemukan pula peningkatan IDL dan lipoprotein (Lp)a, sedangkan HDL cenderung normal atau rendah. Mekanisme hiperlipidemia pada SN dihubungkan dengan peningkatan sintesis lipid dan lipoprotein hati dan menurunnya katabolisme. Semula diduga hiperlipidemia merupakan hasil stimulasi non-spesifik terhadap sintesis protein oleh hati. Oleh karena sintesis protein tidak berkorelasi dengan hiperlipidemia disimpulkan bahwa hiperlipidemia tidak langsung diakibatkan oleh hipoalbuminemia. Hiperlipidemia dapat ditemukan pada SN dengan kadar albumin mendekati normal dan sebaliknya pada pasien dengan hipoalbuminemia kadar kolesterol dapat normal.Tingginya kadar LDL pada SN disebabkan peningkatan sintesis hati tanpa gangguan katabolisme. Peningkatan sintesis hati dan dan gangguan konversi VLDL dan IDL menjadi LDL menyebabkan kadar VLDL tinggi pada SN. Menurunnya aktivitas enzim LPL (lipoprotein lipase) diduga merupakan penyebab berkurangnya katabolisme VLDL pada SN. Peningkatan sintesis lipoprotein hati terjadi akibat tekanan osmotik plasma atau viskositas yang menurun. Penurunan kadar HDL pada SN diduga akibat berkurangnya aktivitas enzim LCAT (lecithin cholesterol acyltransferase) yang berfungsi katalisasi pembentukan HDL. Enzim ini juga berperan mengangkut kolesterol dari sirkulasi menuju hati untuk katabolisme. Penurunan aktivitas enzim tersebut diduga terkait dengan hipoalbuminemia yang terjadi pada SN. Lipiduria sering ditemukan pada SN dan ditandai dengan akumulasi lipid pada debris sel dan cast seperti badan lemak berbentuk oval (oval fat bodies) dan fatty cast. Lipiduria lebih dikaitkan dengan proteinuria daripada dengan hiperlipidemia.

HiperkoagulasiKomplikasi tromboemboli sering ditemukan pada SN akibat peningkatan koagulasi intravaskuler. Pada SN akibat GNMN kecenderungan terjadinya trombosis vena renalis cukup tinggi sedangkan SN pada GNLM dan GNMP frekuensinya kecil. Emboli paru dan trombosis vena dalam sering dijumpai pada SN. Kelainan tersebut disebabkan oleh perubahan tingkat dan aktivitas berbagai faktor koagulasi intrinsik dan ekstrinsik. Mekanisme hiperkoagulasi pada SN cukup komplek meliputi peningkatan fibrinogen, hiperagregasi trombosit, dan penurunan fibrinolisis. Gangguan koagulasi yang terjadi disebabkan peningkatan sintesis protein oleh hati dan kehilangan protein melalui urin.

Metabolisme Kalsium dan TulangVitamin D merupakan unsur penting dalam metabolisme kalsium dan tulang pada manusia. Vitamin D yang terikat protein akan diekskresikan melalui urin sehingga menyebabkan penurunan kadar plasma. Kadar 25(OH)D dan 1,25 (OH)2D palsma juga ikut menurun sedangkan kadar vitamin D bebas tidak mengalami gangguan. Oleh karena fungsi ginjal pada SN umumnya normal maka osteomalasi atau hiperparatiroidisme yang tak terkontrol jarang dijumpai. Pada SN juga terjadi kehilanga hormon tiroid yang terikat protein (thyroid-binding protein) melalui urin dan penurunan kadar tiroksin plasma. Tiroksin yang bebas dan hormon yang menstimulasi tiroksin (thyroxine-stimulating hormon) tetap normal sehingga secara klinis tidak menimbulkan gangguan.

InfeksiSebelum era antibiotik, infeksi sering merupakan penyebab kematian pada SN terutama oleh organisme berkapsul (encapsulated organisms). Infeksi pada SN terjadi akibat defek imunitas humoral, seluler, dan gangguan sistem komplemen. Penurunan IgG, IgA, dan gamma globulin sering ditemukan pada pasien SN oleh karena sintesis yang menurun atau katabolisme yang meningkat dan bertambah banyaknya yang terbuang melalui urin. Jumlah sel T dalam sirkulasi berkurang yang menggambarkan gangguan imunitas seluler. Hal ini dikaitkan dengan keluarnya transferin dan zink dibutuhkan oleh sel T agar dapat berfungsi dengan normal.

Gangguan Fungsi GinjalPasien SN mempunyai potensi untuk timbul gagal ginjal akut melalui berbagai mekanisme. Penurunan volume plasma dan atau sejenis sering menyebabkan timbulnya nekrosis tubular akut. Mekanisme lain yang diperkirakan menjadi penyebab gagal ginjal akut terjadinya edema intrarenal yang menyebabkan kompresi pada tubulus ginjal.Sindrom nefrotik dapat progresif dan berkembang menjadi PGTA. Proteinuria merupakan faktor resiko penentu terhadap progresivitas SN. Progresivitas kerusakan glomerulus, perkembangan glomerulosklerosis, dan kerusakan tubulointerstisium dikaitkan dengan proteinuria. Hiperlipidemia juga dihubungkan dengan mekanisme terjadinya glomerulosklerosis dan fibrosis tubulointerstisium pada SN, walaupun peran terhadap progresivitas penyakitnya belum diketahui dengan pasti.Komplikasi Lain pada SNProtein kalori malnutrisi dapat terjadi pada SN dewasa terutama apabila disertai proteinuria masif, asupan oral yang kurang, dan proses katabolisme yang tinggi. Kemungkinan efek toksik obat yang terikat protein akan meningkat karena hipoalbuminemia menyebabkan kadar obat bebas dalam plasma lebih tinggi. Hipertensi tidak jarang ditemukan sebagai komplikasi SN terutama dikaitkan dengan retensi sodium dan air (Prodjosudjadi, 2006).

EFUSI PLEURA

PENGERTIANefusi pleura adalah adanya cairan di rongga pleura > 15 ml, akibat ketidakseimbangan gaya Starling, abnormalitas struktur endotel dan mesotel, drainase limfatik terganggu, dan abnormalitas site of entry (defek diafragma).

Tipe Efusi Pleura:1) Efusi transudat : cairan pleura bersifat transudat (kandungan konsentrasi protein atau molekul besar lain rendah). Transudat terjadi karena perubahan faktor sistemik yang mempengaruhi pembentukan dan absorpsi cairan pleura.Penyebab : gagal jantung kongestif sindroma nefrotik sirosis hati sindrom Meigs hidronefrosis dialysis peritoneal efusi pleura maligna/paramaligna : karena atelektasis pada obstruksi bronchial, atau stadium awal obstruksi limfatik.2) Efusi eksudatif : cairan pleura berisi eksudat (konsentrasi protein lebih tinggi dari transudat). Efusi eksudatif terjadi karen perubahan faktor local yang mempengaruhi pembentukan dan absorpsi cairan pleura.Penyebab : tuberculosis efusi parapneumonia keganasan : metastasis karsinoma paru, aknker mammae, limfoma, ovarium, dll), mesothelioma. emboli paru penyakit abdomen : penyakit pancreas, abses intraabdominal, hernia diafragmatika. penyakit kolagen (LES, dll) trauma Chylothorax : timbul bila terjadi disrupsi ductus thoracicus dan akumulasi chylus di rongga pleura, keadaan ini disebabkan trauma, atau mediastinum. uremia radiasi sindrom Dressler pasca CABG penyakit pleura diinduksi obat : aminodarone, bromocriptine penyakit perikardiumHemothorax : cairan pleura mengandung darah, dan Ht cairan pleura >50% Ht darah tepi, keadaan ini disebabkan trauma atau ruptur pembuluh darah atau tumor.Efusi pleura maligna : dapat ditemukan sel-sel ganas yang terbawa pada cairan pleura atau ditemukan pada jaringan pleura saat biopsi pleura.Efusi paramaligna : efusi yang disebabkan keganasan, tetapi sel-sel neoplasma tidak dapat ditemukan pada cairan pleura atau cairan pleura. Efusi paramaligna dapat berupa cairan transudat.DIAGNOSISAnamnesis : nyeri, sesak, demamPemeriksaan fisik : restriksi ipsilateral pada pergerakan dinding dada bila cairan >300ml cairan : Bagian bawah / daerah cairan : perkusi : redup fremitus taktil dan fokal : menghilang suara napas: melemah s.d. menghilang, fremitus (saat awal) trakea: terdorong ke kontralateralDiatas dari cairan : penekanan paru/konsolidasiFoto Thorax PA : sudut costofrenikus tumpul (bila >500ml cairan) Lateral : sudut costofrenicus tumpul (>200ml cairan) PA/Lateral : gambaran perselubungan homogen menutupi struktur paru bawah, biasanya relative radioopak, permukaan atas cekung.USG : menentukan adanya dan lokasi cairan di pleura, membimbing aspirasi efusi terlokulasi (terutama bila efusi 0,63) kadar LDH >200 IU atau > 2/3 batas atas nilai normal serum jika efusi pleura eksudat, selanjutnya diperiksakan :1) kadar glukosa2) kadar amylase3) pH4) hitung jenis5) kadar lipid : trigliserid6) pemeriksaan mikrobiologi dan sitologi7) amylase8) tes bakteriologi : pewarnaan Gram, kultur MOR, pemeriksaan BTA, langsung dan kultur BTA9) sitologi

DIAGNOSIS BANDINGTransudat, eksudat, chylothorax, empiema

PEMERIKSAAN PENUNJANG foto toraks PA, lateral, dan lateral dekubitus analisis cairan pleura pemeriksaan cairan pleura : BTA langsung, kultur BTA, kultur mikroorganisme + resistensi sitologi cairan pleura (dengan atau tanpa cytospin) USG toraks CT scan

TERAPI1. Efusi karena gagal jantung Diuretik Torakosentesis diagnostik bila : Efusi menetap dengan terapi diuretic Efusi unilateral Efusi bilateral, ketinggian cairan berbeda bermakna Efusi + febris Efusi + nyeri dada pleuritik2. Efusi parapneumonia/empiemaTorakosentesis + antibiotika drainase 3. Efusi pleura karena pleuritis tuberculosisObat antituberkulosis (minimal 9 bulan) + kortikosteroid dosis 0,75-1 mg/kgBB/hari selama 2-3 minggu, setelah ada respon diturunkan bertahap + torakosentesis terapeutik, bila sesak atau efusi > tinggi dari sela iga III.4. Efusi pleura keganasan Draianse dengan chest tube + pleurodesis kimiawi. Kandidat yang baik untuk pleurodesis5. Chylotoraks : Chest tube/thoracostomy sementara, selanjutnya dipasang pleuroperitoneal shunt6. Hemotoraks : Chest tube/thoracostomy, bila perdarahan>200ml/jam, pertimbangkan torakotomi.7. Efusi karena penyakit lain : atasi penyakit primer

KOMPLIKASIEfusi pleura berulang, efusi pleura terlokalisir, empiema, gagal napas.

PROGNOSISDubia : tergantung penyebab, dan penyakit komorbidPrognosis buruk pada efusi pleura maligna

ANEMIAAnemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah massa eritrosit sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer. Secara laboratorik anemia ditunjukkan oleh penurunan kadar hemoglobin, hematokrit, atau hitung eritrosit. Anemia harus dibedakan dengan oligemia, oligositemia, dan oligokromemia.Cut off point yang umum dipakai untuk dinyatakan anemia menurut kriteria WHO 1968, yaitu:Laki-laki dewasaHb < 13g/dlPerempuan dewasa tak hamilHb < 12 g/dlPerempuan hamilHb < 11 g/dlAnak usia 6-14 tahunHb < 12 g/dlAnak usia 6 bulan 6 tahunHb < 11 g/dlUntuk alasan praktis kriteria anemia yang dipakai di Indonesia pada umumnya adalah Hb < 10 g/dl, Hct < 30 %, jumlah eritrosit < 2,8 juta/ul.Derajat anemia antaralain ditentukan oleh kadar hemoglobin. Derajat anemia perlu disepakati sebagai dasar pengelolaan kasus anemia. Klasifikasi derajat anemia yang umum dipakai adalah sebagai berikut:RinganHb 10 g/dl cut off pointSedangHb 8 g/dl 9,9 g/dlBeratHb 6 g/dl 7,9 g/dlGravis / mengancam jiwaHb < 6 g/dlKlasifikasi anemia berdasarkan morfologi eritrosit: 1. Anemia Mikrositik Hipokromik ( MCV < 80 Fl, MCH 95 Fl)a) Anemia Megaloblastik1) anemia defisiensi asam folat2) anemia defisiensi vitamin B12b) Anemia Non-Megaloblastik1) anemia pada penyakit hati kronik2) anemia pada hipotiroid3) anemia pada sindrom mielodisplastik

Pengaruh Anemia Terhadap Sistem KardiovaskulerAnemia berat ( HB < 7 g/dl) menyebabkan perubahan hemodinamik dan neurohormonal untuk menjaga distribusi oksigen ke organ vital. Perubahan hemodinamik yang dapat kita temukan pada penderita anemia adalah meningkatnya cardiac output, heart rate, dan stroke volume serta menurunkan resistensi perifer, mean arterial pressure, dan circulatory transit time. Perubahan neurohormonal meliputi aktivasi system renin angiotensin aldosteron dan meningkatkan pelepasan vasopressin dan norepinefrin. Perubahan ini dapat diatasi jika anemianya teratasi. Gejala lemas, lemah (fatigue) dapat timbul pada anemia dan akan hilang dengan transfusi.Cardiac output yang meningkat pada anemia disebabkan resistensi perifer yang menurun dan peningkatan heart rate. Heart rate meningkat karena turunnya tonus parasimpatetik basal. Resistensi perifer yang menurun pada anemia disebabkan karena menurunnya viskositas darah dan vasodilatasi. Salah satu hipotesis mekanisme vasodilatasi yang menghasilkan penurunan resistensi perifer adalah adanya EDRF (endothelium-derived relaxing factor) yang dipacu oleh anemia. Hemoglobin, sebagai inhibitor poten terhadap EDRF, sangat menurun pada anemia sehingga tidak ada efek inhibitor terhadap EDRF.

Anemia Mikrositik HipokromikDalam mengarahkan diagnosis anemia setelah mengetahui morfologinya kita dapat berpedoman pada algoritma di bawah ini.

ANEMIA HIPOKROMIK MIKROSITIKElektroforesis HbMeningkatBesi SerumMenurunFeritin normalBesi sumsum Tulang positifBesi sumsum Tulang negatifAnemiadefesiensi besiAnemia akibatPenyakit kronisTIBCFeritin TIBC Feritin N/Ring sideroblastDalam susmsum tulangHbA2 HbF Thalasemia betaAnemia sideroblastik

Anemia Defisiensi BesiBesi terdapat dalam jaringan tubuh berupa senyawa besi fungsional, besi cadangan, dan besi transpor. Yang dimaksud senyawa besi fungsional yaitu besi yang membentuk senyawa yang berfungsi dalam tubuh yaitu hemoglobin, mioglobin, da n enzim-enzim. Besi dalam tubuh kita ditemukan dalam bentuk heme terutama hemoglobin dan mioglobin. Total besi yang dikandung dalam hemoglobin seorang dewasa adalah sekitar 2 gram tergantung dari jenis kelamin dan ukuran tubuh.Yang dimaksud dengan besi cadangan adalah senyawa besi yang dipersiapkan bila masukan besi berkurang. Terdapat dalam dua bentuk yaitu feritin dan hemosiderin. Feritin adalah protein penyimpan besi yang larut air. Ketika sel membutuhkan besi cadangan besi dari apoferitin akan dilepaskan dan masuk kedalam sel. Hemosiderin adalah derivat dari feritin yang tidak larut air. Pelepasan besi hemosiderin diperkirakan lebih lambat dibandingkan feritin.Yang dimaksud dengan besi transpor adalah besi yang berikatan dengan protein tertentu dalam fungsinya mengangkut besi dari satu kompartemen ke kompartemen lain. Protein pengikat besi ini disebut tranferin yang berada dalam plasma. Konsentrasi trasferin dalam plasma biasanya diperkirakan dengan mengukur Total Iron Binding Capacity (TIBC).Jika dilihat dari beratnya kekurangan besi dalam tubuh, maka defisiensi besi dibagi menjadi tiga tingkatan3, yaitu:1. Depresi besi (iron depleted state) yaitu cadanganbesi menurun tetapi penyediaan besi untuk eritropoesis belum terganggu.2. Eritropoesis defisiensi besi (iron deficient erythropoiesis) yaitu cadangan besi kosong penyedian besi untuk eritropoesis terganggu tetapi belum timbul anemia secara laboratorik.3. Anemia defisiensi besi yaitu cadangan besi kososng disertai anemia defisiensi besi.Anemia defisiensi besi dapat disebabkan oleh:1. Kehilangan besi sebagai akibat perdarahan menahun yang dapa berasal dari:a. saluan cerna: akibat dari tukak peptik, kanker lambung, kanker kolon, divertikulosis, hemoroid, dan infeksi cacing tambang.b. Saluran genitalia wanit: menorrhagia atau metrorhagiac. Saluran kemih: hematuria d. Saluran nafas: hemoptoe2. Faktor nutrisi: akibat berkurangnya jumlah besi total dalam makanan atau kualitas besi yang tidak baik (makanan banyak serat, rendah vitamin C, dan rendah daging)3. Kebutuhan besi meningkat: seperti pada prematuritas, anak dalam masa pertumbuhan dan kehamilan.4. Gangguan absorbsi besi: gastrektomi, tropical sprue atau kolitis kronikPada orang dewasa anemia defisiensi besi yang dijumpai di klinik hampir identik dengan perdarahan menahun. Faktor nutrisi atau peningkatan kebutuhan besi jarang sebagai penyebab utama. Penyebab perdarahan paling sering pada laki-laki adalah perdarahan gastrointestinal, di negara tropik paling sering adalah infeksi cacing tambang1.Gejala anemia defisiensi besi dapat digolongkan menjadi tiga golongan besar yaitu:1. Gejala umum anemiadisebut juga sebagai sindrom anemia, dijumpai pada anemia defisiensi besi apabila kadar hemoglobin turun dibawah 7-8 g/dl. Gejala ini berupa badan lemah, lesu, cepat lelah, mata berkunang-kunang, serta telinga berdenging. Pada anemia defisiensi besi, karena penurunan kadar hemoglobin yang terjadi secara perlahan-lahan, seringkali sindroma anemia tidak terlalu mencolok dibandingkan dengan anemia lain yang penurunan kadar hemoglobinnya terjadi lebih cepat.2. Gejala khas anemia defisiensi besigejala khas pada anemia defisiensi besi yang tidak dijumpai pada anemia jenis lain, yaitu: Koilonychia: kuku sendok (spoon nail) Atrofi papil lidah Stomatitis angularis Disfagia Atrofi mukosa gaster sehingga menyebabkan akhloridia.Sindroma plummer-vinson atau disebut juga sindrom paterson-kelly adalah kumpulan gejala dari anemia hipokromik-mikrositik, atrofi papil lidah, dan disfagia.3. Gejala akibat penyakit dasarpada anemia defisiensi besi dapat dijumpai gejala-gejala penyakit yang menjadi penyeba anemia defisiensi besi tersebut. Misalnya pada anemia akibat penyakit cacing tambang dijumpai dispepsia, parotis membesar, dan kulit telapak tangan berwarna kuning seperti jerami. Pada anemia perdarahan karena perdarahan kronik akibat kanker dijumpai gejala tergantung pada lokasi kanker tersebut.

Terapi1. Terapi kausal: tergantung penyebab. Terapi kausal harus dilakukan agar tidak terjadi kekambuhan. 2. Pemberian preparat besi untuk mengganti kekurangan besi dalam tubuh.a. Besi oral, preparat yang tersedia adalah ferous sulfat, ferous gluconate, ferous fumarat, ferous lactate, dan ferous succinate. Pilihan pertama adalah ferous sulfat dengan dosis 3 x 200 mg. Pengobatan diberikan sampai 6 bulan setelah kadar hemoglobin normal.b. Besi parenteral, indikasinya yaitu intoleransi oral berat, kepatuhan berobat kurang, colitis ulseratif, perlu peningkatan hb secara cepat.3. Pengobatan lainnyaa. Diet, sebaiknya diberikan makanan bergizi dengan tinggi protein terutama yang berasal dari protein hewani.b. Vitamin c: diberikan 3 x 100 mg per hari untuk meningkatkan absorbsi besi.c. Transfusi darah, indikasinya adalah penyakit jantung anemik dengan ancaman payah jantung, anemia yang sangat simtomatik, penderita memerlukan peningkatan kadar Hb yang cepat. Jenis darah yang diberikan adalah PRC untuk mengurangi bahaya overload. Sebagai premedikasi dapat diberikan furosemid intravena.

DAFTAR PUSTAKA

A. Azis Rani. 2006. Panduan Pelayanan Medik, Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal: 82-85.Guntur, A. H. 2006. Bed Site Teaching. Surakarta. Sebelas Maret University Press Harrison, T. R., dkk. 2001. Harrisons Principles of Internal Medicine 15th Edition. USA: The McGraw-Hill Companies.Prodjosudjadi. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jlild I edisi IV, Editor: Aru W. Sudoyo dkk. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal: 558-560.Tjokroprawiro, Askandar, Setiawan, Poernomo Budi. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Surabaya : Airlangga University PressRichard dan Barry.2000. Harrison Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 13 Volume 3. Editor: Ahmad H. Asdie. Jakarta: EGC. Hal: 1462-1465Yogiantoro, dkk. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Editor: Askandar Tjokroprawiro dkk. Surabaya: Airlangga University Press. Hal: 204-205.Yogiantoro, 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jlild I edisi IV, Editor: Aru W. Sudoyo dkk. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal: 604-606.