referat sindrom nefrotik

Upload: ibnu-sina

Post on 10-Jul-2015

2.296 views

Category:

Documents


53 download

TRANSCRIPT

REFERAT

Pembimbing : Dr. Hami Zulkifli Abbas Sp.PD, MH.Kes Dr. Sianne A. Wahyudi, Sp.PD Dr. Sri Agustini K, Sp.PD Dr. Sunhadi

Disusun Oleh : Elsa Ana Purika 110.2005.079

UNIVERSITAS YARSI

KEPANITERAAN KLINIK PENYAKIT DALAM RSUD ARJAWINANGUN

KATA PENGANTARSegala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menyusun Referat yang berjudul Sindroma Nefrotik. Penyusunan tugas ini masih jauh dari sempurna baik isi maupun penyajiaannya sehingga diharapkan saran dan kritik yang membangun dari berbagai pihak agar dikesempatan yang akan datang penulis dapat membuatnya lebih baik lagi. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Hami Zulkifli Abbas, Sp.PD, MH.Kes; Dr. Sianne A. Wahyudi, Sp.PD; Dr. Sri Agustini K, Sp.PD; dan Dr. Sunhadi serta berbagai pihak yang telah membantu penyelesaikan presentasi kasus ini. Semoga tugas ini dapat bermanfaat untuk kita semua.

Arjawinangun, 05-05-2010

Penyusun

2

DAFTAR ISIHalaman KATA PENGANTAR ......................................................................... DAFTAR ISI ...................................................................................... BAB I. BAB II. PENDAHULUAN ........................................................... ANATOMI DAN FISIOLOGI DINJAL ............................. II.1. Anatomi Ginjal ...................................................... II.2. Fisiologi Dasar Ginjal ............................................ BAB III. SINDROMA NEFROTIK ................................................ III.1. Definisi .................................................................. III.2. Insidens ................................................................ III.3. Etiologi .................................................................. III.4. Patofisiologi .......................................................... III.5. Manifestasi Klinis .................................................. III.6. Klasifikasi Histopatologis ...................................... III.7. Komplikasi ............................................................ III.8. Penatalaksanaan .................................................. III.9. Prognosis .............................................................. BAB IV. KESIMPULAN ............................................................... DAFTAR PUSTAKA I ii 1 2 2 3 5 5 5 6 8 16 18 32 34 38 40

3

BAB I PENDAHULUAN Sindroma Nefrotik merupakan penyakit yang sering ditemukan dari beberapa penyakit ginjal dan saluran kemih. Sindroma Nefrotik (SN) dapat terjadi secara primer dan sekunder, primer apabila tidak menyertai penyakit sistemik. Sekunder apabila timbul sebagai bagian daripada penyakit Sistemik atau yang berhubungan dengan obat / Toksin. Pada anak-anak kira-kira 90% disebabkan oleh panyakit Glomerulus primer dan 10% adalah sekunder disebabkan oleh penyakit Sistemik. Resiko penyakit jantung koroner atau Aterosklerosis pada penderita Sindroma Nefrotik anak belum diketahui dengan jelas. Dalam laporan-laporan pemeriksaan post mortem pada anak-anak dan dewasa yang menderia Sindroma Nefrotik Idiopatik tercatat adanya Ateroma yang awal. Sampai pertengahan abad ke 20 Mordibitas SN pada anak masih tinggi, yaitu melebihi 50% pasien-pasien ini dirawat untuk jangka waktu lama karena Edema Anasarka dengan disertai Uiserasi dan Interaksi kulit. Dengan ditemukannya obat Sulfonamid dan Penisillin tahun 1940 dan dipakainya hormon Adreno Kortikotropik (ACTH) dan Kortikosteroid pada tahun 1950, mortilitas penyakit ini diperkirakan mencapai 67% yagn sering disebabkan oleh komplikasi Peritonitis dan Sepsis. Kematian menurun kembali mencapai 35% setelah obat penisilin mulai digunakan tahun 1946-1950. Pada awal 1950-an kematian menurun mencapai 20% setelah pemakaian ACTH atau Kortison. Diantara pasien SN yang selamat dari infeksi sebelum Era Sulfonamid umumnya kematian disebabkan oleh gagal ginjal kronik.

4

BAB II ANATOMI DAN FISIOLOGI GINJAL II. 1. Anatomi Ginjal Ginjal terletak di dalam ruang retroperitoneum sedikit di atas ketinggian umbilikus dan kisaran panjang serta beratnya berturut-turut dari kira-kira 6 cm dan 24 g pada bayi cukup bulan sampai 12 cm atau lebih dari 150 g pada orang dewasa. Ginjal mempunyai lapisan luar, korteks yang berisi glomeruli, tubulus kontortus proksimalis dan distalis dan dukturs koletivus, serta di lapisan dalam, medula yang mengandung bagian-bagian tubulus yang lurus, lengkung (ansa) Henie, vasa rekita dan duktus koligens terminal. Pasokan darah pada setiap ginjal biasanya terdiri dari arteri renalis utama yang keluar dari aorta ; arteri renalis multipel bukannya tidak lazim dijumpai. Arteri renalis utama membagi menjadi medula ke batas antara korteks dan medula. Pada daerah ini, arteri interlobaris bercabang membentuk arteri arkuata, dan membentuk arteriole aferen glomerulus. Sel-sel otot yagn terspesialisasi dalam dinding arteriole aferen, bersama dengan sel lacis dan bagian distal tubulus (mukula densa) yang berdekatan dengan glomerulus, membentuk aparatus jukstaglomeruler yagn mengendalikan sekresi renin. Arteriole aferen membagi menjadi anyaman kapiler glomerulus, yang kemudian bergabung menjadi arteriole eferen. Arteriole eferen glomerulus dekat medula (glomerulus jukstamedullaris) lebih besar dari pada arteriole di korteks sebelah luar dan memberikan pasokan darah (vasa rakta) ke tubulus dan medula. Setiap ginjal mengandung sekitar satu juga neron (glomerulus dan tubulus terkait). Pada manusia, pembentukan nefron telah sempurna pada saat lahir, tetapi maturasi fungsional belum terjadi sampai di kemudian

5

hari. Karena tidak ada nefron baru yagn dapat dibentuk sesudah lahir, hilangnya nefron secara progresif dapat menyebabkan insufisiensi ginjal. Anyaman kapiler glomerulus yang terspesialisasi berperan sebagai mekanisme penyaringan ginjal. Kapiler glomerulus dilapisi oleh endotelium yagn mempunyai sitoplasma sangat tipis yagn berisi banyak lubang (fenestrasi). Membrana basalis glomerulus (BMG) membentuk lapisan berkelanjutan antara endotel dan sel mesangium pada satu sisi dengan sel epitel pada sisi yang lain. Membran mempunyai 3 lapisan. (1) lamina densa yang sentralnya padat-elektron, (2) lamina rara interna, yagn terletak di antara lamina densa dan sel-sel endotelian ; dan (3) lamina rara eksterna, yang terletak di antara lamina densa dan sel-sel epitel. Sel epitel viteviscera menutupi kapiler dan menonjolkan tonjolan kaki sitplasma, yagn melekat pada lamina rara eksternal. Di antara tonjolan kaki ada ruangan atau celah filtrasi. Mesangium (sel mesangium dan matriks) teletak di antara kapiler-kapiler glomerulus pada sisi endotel membrana basalis dan menbentuk bagian tengah dinding kapiler. Mesangium dapat berperan sebagai struktur pendukung pada kepiler glomerulus dan mungkin memainkan peran dalam pengaturan aliran darah glomerulus, filtrasi dan pembangunan makromolekul (seperti kompleks imun) dari glomerulius, melalui fagositosis intraseluler atau dengna pengakutan melalui saluran interseluler ke daerah jukstagomerulus. Kapsula Bowman, yagn mengelilingi glomerulus, terdiri dari (1) membrana basalis, yagn merupakan kelanjutan dari membrana basalis kapiler glomerulus dan tubulus proksimalis, dan (2) sel-sel epitel parietalis, yang merupakan kelanjutan sel-sel epitel viscera. III.2. FISIOLOGI DASAR GINJAL Fungsi primer ginjal adalah mempertahankan volumer dan komposisi cairan ekstrasel dalam batas-batas normal. Komposisi dan volume cairan ekstrasel ini dikotnrol oleh filtrasi glomerulus, reabsorpasi dan sekresi tubulus.

6

Fungsi Utama Ginjal Fungsi Ekskresi Mempertahankan osmolalitis plasma sekitar 258 m osmol dengna mengubah-ubah ekresi air. Mempertahankan pH plasma skitar 7,4 dengna mengeluarkan kelebihan H + dan membentuk kembali HCO3. Mengekskresikan produk akhir nitrogen dari metabolisme protein, terutama urea, asam urat dan kreatinin. Fungsi Non-ekskresi Menghasilkan renin-penting untuk pengaturan tekanan darah. Menghasilkan eritropoietin-faktor penting dalam stimulasi produk sel darah merah oleh sumsum tulang. Metabolisme vitamin D menjadi bentuk aktifnya. Degenerasi insulin Menghasilkan prostaglandin

7

BAB III SINDROM NEFROTIK III.1. DEFINISI Sindrom nefrotik bukan suatu penyakit tersendiri, melainkan merupakan komplex gejala klinik yang dapat disebabkan oleh berbagai penyakit, dengan ciri-ciri sebagai berikut : edema umum (anasarka), terutama jelas pada muka dan jaringan periorbital. Proteinuria, termasuk albuminuria ; sebagai batas biasanya ialah bila kadar protein plasma total kurang dari 6 gram per 100 ml dan fraksi albumin kurang dari 3 gram per 100 ml. Hiperlipidemi, khususnya hiperchlolesterolemi ; sebagai batas biasanya ialah bila kadar cholesterol plasma total lebih dari 300 miligram per 100 ml. Lipiduria ; dapat berupa lemak bebas, sel epitel bulat yang mengandung lemak (ovel fat bodies), torak lemak. Kadang-kadang tidak semua gejala tersebut di atas ditemukan. Ada yagn berpendapat bahwa proteinuria, terutama albuminuria yagn masif serta hipoalbuminemi sudah cukup untuk menegakkan diagnosis sindrom nefrotik. III.2. INSIDENS Sindrom nefrotik yang tidak meneyrtai penyakit sistemik disebut sindrom nefrotik primer. Penyakit ini ditemukan 90% pada kasus-kasus ini adalah SN tipe Finlandia, suatu penyakit yang diturunkan secara resesif autosom. Kelompok responsif steroid sebagai besar terdiri dari anak-anak dengan sindrom nefrotik kelainan minimal (SNKM). Pada penelitian di jakarta di antara 364 pasien SN yang dibiopsi 44,2% menunjukkan KM.

8

Kelompok tidak responsif steroid atau resisten steroid terdiri dari anakanak dengan kelainan glomerulus lain. Disebut sindrom nefrotik sekunder apabila penyakit dasarnya adalah penyakit sistemik karena, obat-obatan, alergen dan toksin, dll. Sindrom nefrotik dapat timbul dan bersifat sementara pada tiap penyakit glomerulus dengan keluarnya protein dalam jumlah yang cukup banyak dan cukup lama. III.3. ETIOLOGI Sebab yang pasti belum diketahui ; akhir-akhir ini dianggap sebagai satu penyakit autoimun. Jadi merupakan suatu reaksi antigen-antibodi. Umumnya para ahli membagi etiologinya menjadi : I. Sindrom nefrotik bawaan Dirurunkan sebagai resesif autosomal atau karena reaksi maternofetal. Resisten terhaap semua pengobatan. Gejala adalah edema pada masa neonatus. Pencangkokan ginjal pada masa neonatus telah dicoba, tapi tidak berhasil. Prognosis buruk dan biasanya penderita meninggal dalam bulan-bulan pertama kehidupannya. II. Sindrom nefrotik sekunder 1. Malaria kuartana atau parasit lain 2. Penyakit kolagen seperti lupus eritematosus diseminata, purpura anafilaktoid. 3. Glomerulonefritis akut atau glomerulonefritis kronis, trombosisis vena renalis. 4. Bahan kimia seperti trimetadion, paradion, penisilamin, garam emas, sengatan lebah, racun oak, air raksa. 5. Amilodisosis, penyakit sel sabit, hiperprolinemia, nefritis membrano proliferatif hipokomplementamik.

9

III. Sindrom nefrotik idiopatik (tidak diketahui sebabnya). Berdasarkan histopatologis yang tampak pada biopsi ginjal dengan pemeriksaan mikroskop biasa dan mikroskop elektron, Churg dkk. Membangi dalam 4 golongan yaitu : 1. Kelainan minimal Dengan mikrospok biasa glomerulus tampak normal, sedangkan dengan mikroskop elektron terdapat IgG atau imunoglobulin bet-1C pada dinding kapiler glomerulus. Golongan ini lebih banyak terdapat pada anak daripada orang dewasa. 2. Nefropati membranosa Semua glomerulus menunjukkan penebalan dinding kapiler yang tersebar tanpa proliferasi set. Tidak sering ditemukan pada anak. Prognosis kurang baik. 3. Glomerulonefritis proliferatif a. Glomerulonefritis proliferatif eksudatif difus. Terdapat proliferasi sel mesangial dan infiltrasi endotel sel yang polimorfonukleus. Pembengkakan sitoplasma

menyebabkan kapiler tersumbat. Kelainan ini sering ditemukan pada nefritis yang timbul setelah infeksi dengan Streptococcus yang berjalan progresif dan pada sindrom nefrotik. Prognosis jarang baik, tetapi kadang-kadang terdapat penyembuhan setelah pengobatan yang lama. b. Dengan penebalan batang lobular (lobular stalk thickening) Terdapat proliferasi sel mesangial dan proliferasi sel epitel simpai (kapsular) dan viseral. c. Dengan bulan sabit (crescent) Didapatkan proliferasi sel mesangial dan proliferasi sel epitel simpai (simpai (kapsular) dan viseral.

10

d. Glomerulonefritis membranopliferatif. Proliferasi sel mesangial dan penempaan fibrin yang menyerupai membrana basalis di mesangium. Titer globulin beta-1C atau beta 1A rendah. e. Lain-lain. Misalnya perubahan proliferasi yang tidak khas. IV. Glomeruloksklerosis fokal segmental. Pada kelainan ini yang menyolok sklerosis glomerulus. Sering disertai dengan atrofi tubulus. Prognosis buruk. III.4. PATOFISIOLOGI Proteinuria Proteinuria umunya diterima kelainan utama pada SN, sedangkan gejala klinis lainnya dianggap sebagai manifestasi sekunder. Proteinuria dinyatakan berat untuk membedakan dengan proteinuria yang lebih ringan pada pasien yang bukan sindrom nefrotik. Eksresi protein sama atau lebih besar dari 40 mg/jam/m2 luas permukaan badan, dianggap proteinuria berat. Selektivitas protein Jenis protein yang keluar pada sindrom nefrotik bervariasi bergantung pada kelainan dasar glomerulus. Pada SNKM protein yang keluar hampir seluruhnya terdiri atas albimin dan disebut sebagai proteinuria selektif. Derajat selektivitas proteinuria dapat ditetapkan secara sederhana dengan membagi rasio IgG urin terhadap plasma (BM 150.000) dengan rasio urin plasma transferin (BM 88.000). Rasio yang kurang dari 0.2 menunjukkan adanya proteinuria selektif. Pasien SN dengan rasio rendah umumnya berkaitan dengan KM dan responsif terhadap steroid.

11

Namun karena selektivitas protein pada SN sangat bervariasi maka agak sulit untuk membedakan jenis KM dan BKM (Bukan kelainan minimal) dengan pemeriksaan ini dianggap tidak efisien. Perubahan pada filter kapiler glomerulus Umumnya karakteristik perubahan permeabilitas membran basal bergantung pada tipe kelainan glomerulus pada SN. Pada SNKM terdapat penurunan klirens protein netral dengan semua berat molekul, namun terdapat peningkatan klirens protein bermuatan negatif seperti albumin. Keadaan ini menunjukkan bahwa di samping hilangnya sawar muatan negatif juga terdapat perubahan pada sawar ukuran celah pori atau kelainan pada kedua-duanya. Proteoglikan sulfat heparan yang menimbulkan muatan negatif pada lamina rara interna dan eksterna merupakan sawar utama penghambat keluarnya molekul muatan negatif, seperti albumin. Dihilangkannya proteoglikan sulfat heparan dengan hepartinase

mengakibatkan timbulnya albuminaria. Di samping itu sialoprotein glomerulus yaitu polianion yang terdapat pada tonjolan kaki sel epitel, tampaknya berperan sebagai muatan negatif di daerah ini yang penting untuk mengatur sel viseral epitel dan pemisahan tonjolan-tonjolan kaki sel epitel. Suatu protein dengan berat molekul 140.000 dalton, yang disebut podocalyxin rupanya mengandung asam sialat ditemukan terbanyak kelainan pada model eksperimenal nefrosisis aminonkleosid. Pada SNKM, kandungan sialoprotein kembali normal sebagai respons pengobatan steroid yang menyebabkan hilangnya proteinuria.

12

Hipoalbuminemia Jumlah albumin di dalam ditentukan oleh masukan dari sintesis hepar dan pengeluaran akibat degradasi metabolik, eksresi renal dan gastrointestinal. Dalam keadaan seimbang, laju sintesis albumin, degradasi ini hilangnya dari badan adalah seimbang. Pada anak dengan SN terdapat hubungan terbalik antara laju sekresi protein urin dan derajat hipoalbuminemia. Namun keadaan ini tidak responsif steroid, albumin serumnya dapat kembali normal atau hampri normal dengan atau tanpa perubahan pada laju ekskresi protein. Laju sintesis normal. Jumlah albumin absolut yagn didegradasi masih normal atau di bawah normal, walaupun apabila dinyatakan terhadap pool albumin intravaskular secara relatif, maka katabolisme pool fraksional yagn menurun ini sebetulnya meningkat. Meningkatnya katabolisme albumin di tubulus renal dan menurunnya katabolisme ekstrarenal dapat menyebabkan keadaan laju katabolisme absolut yagn normal albumin plasma yang rendah tampaknya disebabkan oleh meningkatnya eksresi albumin dalam urin dan meningkatnya katabolisme fraksi pool albumin (terutama disebabkan karena meningkatnya degradasi di dalam tubulus renal) yang melampaui daya sintesis hati. Gangguan protein lainnya di dalam plasma adalah menurunnya - 1 globulin, (normal atau rendah), dan - 2-globulin, B globulin dna figrinogen meningkat secara relatif atau absolut. Meningkatnya - 2 globulin disebabkan oleh retensi selektif protein berberat molekul tinggi oleh ginjal dengan adanya laju sintesis yang normal. Pada beberapa pasien, terutama mereka dengan SNKM, IgM dapat meningkat dan IgG menurun. albumin pada SN dalam keadaan seimbang ternyata tidak menurun, bahkan meningkat atau

13

Kelainan metabolisme lipid Pada pasien SN primer timbul hiperkolesterolemia dan kenaikan ini tampak lebih nyata pada pasien dengan KM. Umumnya terdapat korelasi tebalik antara konsentrasi albumin serum dan kolesterol. Kadar trigliserid lebih bervariasi dan bahkan dapat normal pada pasien dengan hipoalbuminemia ringan. Pada pasien dengan analbuminemia kongenital dapat juga timbul hiperlipidemia yang menunjukkan bahwa kelainan lipid ini tidak hanya disebabkan oleh penyakti ginjalnya sendiri. Pada pasien SN konsentrasi lipoprotein densitas sangat rendah (VLDL) dan lipoprotien densitas rendah (LDL) meningkat, dan kadang-kadang sangat mencolok. Lipoprotein densitas tinggi (HDL) umumnya normal atau meningkat pada anak-anak dengan SN walaupun rasio kolesterol-HDL terhadap kolesterol total tetap rendah. Seperti pada hipoalbuminemia, hiperlipidemia dapat disebabkan oleh sintesis yang meningkat atau karena degradasi yang menurun. Bukti menunjukkan bahwa keduanya abnormal. Meningkatnya produksi lipoprotein di hati, diikuti dengan meningkatnya sintesis albumin dan sekudner terhadap lipoprotein, melalui jalur yang berdekatan. Namun meningkatnya kadar lipid dapat pula terjadi pada laju sintesis albumin yang normal. Menurunnya aktivitas ini mungkin sekunder akibat hilangnya glikoprotein asam sebagai perangsang lipase. Apabila albumin serum kembali normal, baik secara spontan ataupun dengan pemberian infus albumin, maka umumnya kelainan lipid ini menjadi normal kembali. Gejala ini mungkin akibat tekanan onkotik albumin serumnya, karena ofek yang sama dapat ditimbulkan dengan pemberian infus pilivinilpirolidon tanpa mengubah keadaan hipoalbuminemianya. Pada beberapa pasien, HDL tetap meningkat walaupun terjadi remisi pada SN-nya pada pasien lain VLDL dan LDL tetap meningkat pada SN relaps frekuensi yang menetap bahkan selama remisi. Lipid dapt juga ditemukan di dalam urin dalam

14

bentuk titik lemak oval dan maltase cross. Titik lemak itu merupakan tetesan lipid di dalam sel tubulus yang berdegenerasi. Maltese cross tersebut adalah ester kolesterol yang berbentuk bulat dengan palang di tengah apbila dilihat dengan cahaya polarisal. Edema Keterangan klinik pembentukan edema pada sidnrom nefrotik sudah dianggap jelas dan secara fisiologik memuaskan, namun beberapa data menunjukkan bahwa mekanisme hipotesis ini tidak memberikan penjelasan yang lengkap. Teori klasik mengenai pembentukan edema ini (underfilled theory) adalah menurunnya tekanan onkotik intravaskular yang menyebabkan meningkatnya cairan merembes kapiler keruang interstisial. albumin Dengan keluar permealiblitas glomerulus,

menimbulkan albuminuria dan hipoalbuminemia. Hipoalbuminemia menyebabkan menurunya tekanan onkitik koloid plasma intravaskular. Keadaan ini menyebabkan meningkatnya cairan transudat melewati dinding kapiler dari ruagn intravaskular ke ruang interstial yang menyebabkan terbentuknya edema.

15

Kelainan glomerulus Albuminuria Hipoalbuminemia Tekanan onkotik hidorpatik koloid plasma Volume plasma Retensi Na renal sekunder Edema Terbentuknya edema menurut teori underfilled Sebagai akibat pergeseran cairan volume plasma total dan volume darah arteri dalam peredaran menurun dibanding dengan volume sirkulasi efektif. Menurunnya volume plasma atau volume sirkulasi efektif merupakan stimulasi timbulnya retensi air dan natrium renal. Retensi natrium dan air ini timbul sebagai usaha badan untuk menjaga volume dan tekanan intravaskular agar tetap normal dan dapat dianggap sebagai peristiwa kompensasi sekunder. Retensi cairan, yang secara terusmenerus menjaga volume plasma, selanjutnya akan mengencerkan protein plasma dan dengan demikian menurunkan tekanan onkotik plasma dan akhirnya mempercepat gerak cairan masuk ke ruang interstisial. Keadaan ini jelas memperberat edema sampai terdapat keseimbangan hingga edema stabil.

16

Dengan teori underfilled ini diduga terjadi terjadi kenaikan kadar renin plasma dan aldosteron sekunder terhadap adanya hipovolemia. Hal ini tidak ditemukan pada semua pasien dengan SN. Beberapa pasien SN menunjukkan meningkatnya volume plasma dengan tertekannya aktivitas renin plasma dan kadar aldosteron, sehingga timbul konsep teori overfilled. Menurut teori ini retensi natrium renal dan air terjadi karena mekanisme intrarenal primer dan tidak bergantung pada stimulasi sistemik perifer. Retensi natrium renal primer mengakibatkan ekspansi volume plasma dan cairan ekstraseluler. Pembentukan edema terjadi sebagai akibat overfilling cairan ke dalam ruang interstiasial. Teori overfilled ini dapat menerangkan adanya volume plasma yang tinggi dengan kadar renin plasma dan aldosteron menurun seukunder terhadap hipervolemia. Kelainan glomerulus Retensi Na renal primeri Volume plasma Edema Terjadinya edema menurut teori overfilled Melzer dkk mengusulkan 2 bentuk patofisologi SN, yaitu tipe nefrotik dan tipe nefritik. Tipe nefrotik ditandai dengan volume plasma rendah dan vasokonstriksi perifer denan kadar renin plasma dan aldosteron yang tinggi. Laju filtrasi glomerulus (LFG) masih baik dengan kadar albumin yang rendah dan biasanya terdapat pada SNKM. Albuminuria Hipoalbuminemia

17

Karakteristik patofisiologi kelompok ini sesuai dengan teori tradisional underfilled yaitu retensi natrium dan air merupakan fenomena sekunder. Di pihak lain, kelompok kedua atau tipe nefritik, ditandai dengan volume plasma tinggi, tekanan aldosteron rendah yang darah tinggi dan kadar renin plasma dan meningkat sesudah persediaan natrium habis.

kelompok kedua ini dijumpai pada glomerulonefritis kronik dengan LFG yang relatif lebih rendah dan albumin plasma lebih tinggi dari kelompok petama. Karakteristik patofisiologi kelompok keduaini sesuai dengan teori overfilled pada SN dengan retensi air dan natrium yang fenomena primer intrarenal. Pembentukan edema pada SN merupakan suatu proses yang dinamis dan mungkin saja kedua proses underfilled berlangsung bersamaan atau pada waktu berlainan pada individu yang sama, karena patogenesis penyakit glomerulus mungkin suatu kombinasi rangsangan yang lebih dari satu dan ini dapat menimbulkan gambaran nefrotik dan nefritis. Akibat mengecilnya volume intravaskular akan merangsang kelarnya renin dan menimbulkan rangsangan non osmotik untuk keluarnya hormon volume urin yang sedikit dan pekat dengan sedikit natrium. Karena pasien dengan hipovolemia disertai renin dan aldosteron yang tinggi umumnya menderita penyakit SNKM dan responsif steroid, sedangkan mereka dengan volume darah normal atau meningkat disertai renin dan aldosteron rendah umumnya menderita kelainan BKM dan tidak responsif steroid, maka pemeriksaan renin dapat merupakan petanda yang berguna untuk menilai seorang anak dengan SN responsif terhadap steroid atau tidak disamping adanya SNKM. Namun derajat tumpang tindihya terlalu besar, sehingga sukar untuk membedakan pasien antara kedua kelompok histologis tersebut atas dasar pemeriksaan renin. Peran peptida natriuretik atrial (ANP) dalam pembentukan edema dan diuresis masih belum pasti. merupakan

18

III.5. MANISFESTASI KLINIS EDEMA Di masa lalu orangtua menganggap penyakit SN ini adalah edema. Nafsu makan yang kurang. Mudah terangsang adanya gangguan gastrointestinal dan sering terkena infeksi berat merupakan keadaan yang sangat erat hubungannya dengan beratnya edema, sehingga dianggap gejala-gejala ini sebagai akibat edema. Walaupun proteinuria kambuh pada hampir 2/3 kasus, kambuhnya edema dapat dicegah pada umumnya dengan pengobatan segera. Namun edema persisten dengan komplikasi yang menggangu merupakan masalah klinik utama bagi mereka yang menjadi non responden dan pada mereka yang edemanya tidak dapat segera diatasi. Edema umumnya terlihat pada kedua kelopak mata. Edema minimal terlihat oleh orangtua atau anak yang besar sebelum kedokter melihat pasien untuk pertama kali dan memastikan kelainan ini. Edema dapat menetap atau bertabah, baik lambat atau cepat atau dapat menghilangkan dan timbul kembali. Selama periode ini edema periorbital sering disebabkan oleh cuaca dingin atau alergi. Lambat laun edema menjadi menyeluruh, yaitu ke pinggang, perut dan tungkai bawah sehingga penyakit yang sebenarnya menjadi tambah nyata. Edema berpindah dengan perubahan posisi dan akan lebih jelas dalam posisi berdiri. Kadang-kadang pada edema yang robekan pada kulit secara spontan dengan keluarnya masif terjadi cairan. Pada

keadaan ini, edema telah mengenai semua jaringan dan menimbulkan asites, pembengkakan skrotum atau labia, bahkan efusi plerura. Muka dan tungkai pada pasien ini mungkin bebas dari edema dan memperlihatkan jaringan seperti malnustrisi sebagai tanda adanya edema menyeluruh sebelumnya.

19

Gangguan gastrointestinal Gangguan ini sering ditemukan dalam perjalanan penyakit SN. Diare sering dialami pasien dalam keadaan edema yang masif dan keadaan ini rupanya tidak berkaitan dengan infeksi namun diduga penyebabnya adalah edema submukosa di mukosa usus. Hepatomegali dapat ditemukan pada pemeriksaan fisik, mungkin disebabkan sintesis albumin yang meningkat, atau edema atau keduanya. Pada beberapa pasien, nyeri di perut yang kadang-kadang berat, dapat terjadi pada keadaan SN yang kambuh. Kemungkinan adanya abdomen akut atau peritonitis harus disingkirkan dengan pemeriksaan fisik dan pemeriksan lainnya. Bila komplikasi ini tidak ada, kemungkinan penyebab nyeri tidak diketahui namun dapat disebabkan karena edema dinding perut atau pembengkakan hati. Kadang nyeri dirasakan terbatas pada daerah kuadran atas kanan abdomen. Nafsu makan kurang berhubungan erat dengan beratnya edema yang diduga sebagai akibatnya. Anoreksia dan hilangnya protein di dalam urin mengakibatkan malnutrisi berat yang kadang ditemukan pada pasien SN non-responsif steroid dan persisten. Pada keadaan asites terjadi hernia umbilikalis dan prolaps ani. Gangguan pernapasan Oleh karena adanya distensi abdomen dengan atau tanpa efusi pelura maka pernapasan sering terganggu, bahkan kadang-kadang menjadigawat. Keadaan ini dapat diatasi dengan pemberian infus albumin dan obat furosemid.

20

Gangguan fungsi psikososial Keadaan ini sering ditemukan pada pasien SN, seperti halnya pada penyakit berat umumnya yang merupakan stres nonspesifik .Perasaan-perasaan ini memerlukan diskusi, penjelasan dan kepastian untuk mengatasinya. III.6. KLASIFIKASI HISTOPATOLOGIS Klasifikasi kelainan histopatologis glomerulus pada SN yang digunakan sesuai dengan rekomendasi Komisi Internasional (1982). Kelainan glomerulus ini sebagian besar ditegakkan dengan pemeriksaaan mikroskop cahaya, ditambah dengan pemeriksaan mikroskop elektron dan imunofluoresensi. Pada tabel di bawah ini dipakai istilah / terminologi yang sesuai dengan laporan ISKDC (1970) dan Habib dan Kleinknecht (1971). Tabel 6.1 KLASIFIKASI KELAINAN GLOMERULUS PADA SN PRIMER Kelainan minimal (KM) Glomerulosklerosis (GS) Glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS) Glomerulosklerosis fokal global (GSFG) Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus (GNPMD) Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus EKSUDATIF Glomerulonefritis kresentik (GNK) Glomerulonefritis membrano-proliferatif (GNMP) GNMP tipe I dengan deposit subendotlial GNMP tipe II dengan deposit intramembran GNMP tipe IIi dengan deposit subendotlial transmembran/subepitelial Glomerulopati membranosa (GM) Glomerulonefritis kronik lanjut (GNKL)

21

MORFOLOGI KELAINAN GLOMERULUS PRIMER A. Penyakitkelainan minimal (KM) ISKDC (1978) malaporkan pada penelitiannya diantara 521 pasien SN, 76,4% menderita KM. Pada penelitian di Jakarta (Wila Eirya, 1992) diantara 364 pasien yang dibiopsi 44,2% menunjukkan Km. B. Glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS) Penyakit glomerulus fokal merupakan suatu proses penyakit yang mengenai hanya beberapa glomerulus, sedang yang lainnya tampak normal. Penyakit glomerular segmental menyatakan beberapa lobus gloemrulus terkena, sedangkan yang lain masih normal. Kelainan ini dapat dijumpai pada beberapa kelainan glomerulus atau bahkan pada kelainan tubulo interstisial. Namun kelainan ini ditemukan tersendiri pada pasien dengan SN. Apakah kelainan ini merupakan penyakit tersendiri atau suatu progresivitas penyakit KM belum dapat dipastikan. Kemungkinan ialah bahwa keduanya dapat terjadi keadaan klinis yang berbeda. C. Glomerulunefritis proliferatif mesangial (GNPM) Secara histologis kelainan ini menunjukkan pembesaran merata dan pertambahan selularitas didaerah mesangial yang mengandung masing-masing 4 sel. Dibawah mikroskop cahaya tidak mungkin untuk menetapkan adanya pertambahan selularitas sebagai akibat proliferasi monosit atau proliferasi sel meangial glomerulus atau keduanya. Dieprlukan pemulasan khusus untuk membedakan terdapat didalam monosit. hiperselularitas ini yaitu dengan esterase monospesifik atau enzim lisosomal lainnya yang

22

D.

Glomerulonefritis membranoproliferatif (GNMP) Dikenal 3 subtipe pada kelainan ini yaitu tipe I yang merupakan tipe klasik dan tipe III yang erat hubungannya, hanya berbeda paada letak deposit imunnya. Sedang tipe II, atau penyakit deposit padat (denso-deposit disease) walpun klinis hampir serupa, namun menunjukkan kelainanmorfologis dan imunologis yang sangat berbeda, sehingga suatu penyakit yang berbeda.

E.

Glomerulopati Membranosa (GM) Kelainan ini untuk pertama kali dilaporkan oleh Bill dalam tahun 1950. Dibedakan 2 jenis bentuk klinik yaitu yang didiopatik dan sekudner. Penyakit GM ditandai dengan kelainan dinding kapiler glomerulus yang progresif dan kompleks. Berdasarkan ME, kelainan ini terdiri atas deposit padat electron dan spikes yang tampak menonjol dair membran basal. Deposit ini homogen, berdekatan dan dipisahkan oleh sikes.

III.7. KOMPLIKASI Komplikasi yang timbul pada penderit SN tergangung faktor-faktor sebagai 1. Infeksi Infeksi terjadi karena terjadinya penurunan mekanisme pertahanan tubuh yaitu gama globulin serum, penurunan konsetnrasi IgG, abnormalitas komplemen, penurunan konsentrasi transferin dan seng, serta pungsi lekosit yang berkurang. Infeksi yang serign terjadi berupa pertonitis primer, selulitas infeksi saluran kemih, bronkpneumonia dan infeksi virus. 2. Tromboemboli dan gangguan koagulasi berikut : histopatologi renal, lamanya sakit, umur dan jenis kelamin penderita.

23

pada penderita SN terjadi hiperkoagulasi dan dapat menimbulkan tromboemboli baik pada pembuluh darah vena maupun arteri. Keadaan ini disebabkan oleh faktor-faktor : perubahan zymogen dan kofaktor dalam hal ini penignkatan fakto V.X.VII. Fibrinogen dan fakto von Willebrand. perubahan fungsi platelet karena hipoalbuminemai, hiperlipodemia perubahan fungsi sel endotelial karena perubahan sirkulasi lipid Peran obat kortikosteroid : yakni meningkatkan konsentrasi Fc. VIII dan memperpendek Protrombin time dan PTT Namun dalam dosisi besar kostikosteroid akan menignkatkan AT III dan mencegah agregasi trombost. Diuretik akan menurunkan voluem plasma sehingga meninggikan angka hematokrit dengan demikian viskositas darah dan konsentrasi fibrinogen akan meningkat.

3. Perubahan metabolisme lemak, karbohidrat dan protein Pada penderita SN terjadi peningkatan total kolesterol, LDL dan VLDL seta apolipoprotein di dalam plasma sementara HDL dapt normal atau turun khususnya HDL 2. Hiperlipidemia ini berlangsung lama dan tidak terkontrol dapat mempercepat proses aterosklerosis pembuluh darah koroner. Aorta dan arteria renalis. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya penyakti jantung eskemik ataupun trombosis arteri Renalis. Tidak sepeti pada lemak, penelitian mengenai perubahan metabolisme karbohidrat belum komprehensif. Namun telah diketahui pada hati yang mensintesis protein lebih besar akan meningkatkan ptikogenolisis, selain itu didapatkan penignkatan ambang vespin terhadap insulin dan glukosa. Hal ini dapat terjadi hipoalbuminemia pada keadaan malnutrisi

24

kronik. Sejumlah protein plasma yang penting pada transport besi, hormon dan obat-obatan, karena molekulnya kacil, dengan mudah keluar melalui urin, kehilangan zat-zat tersebut akan mengakibatkan hal-hal sebagai berikut : Transferin ion yang menurun menyebabkan anemia Penurunan seruloplasmin belum dilaporkan akibat klinisnya Berkurangnya albumin pengikat seng dan besi menyebabkan hipogensia dan penurunan sel-sel imunitas. Berhubungan protein pengikat vitamin D akan mempengaruhi metabolisme kalsium sehingga terjadi osteomalasia dan hiper paratiroid. Berkurangnya protein pengikat kostisol menyebabkan dibutuhkannay dosis lebih besar terhadap kortikosteroid. Kehilangan sejumlah besar protein ini akan menyebabkan penderita jatuh dalam keadaan malnutrisi. Karena itu dilanjutkan diet tinggi protein diberikan 2-3 5 gram/kg/24 jam untuk mempertahankan keseimbangan nitrogen. Diet rendha protein, meski dapat mengurangi proteinuria dalam jangka penek mempunyai risiko kesimbangan negatif di masa mendatang.

4. Gagal Ginjal Akut (GGA) Komplikasi ini mekanismenya belum jelas. Namun banyak ditemukan pada penderita SN dengan lesi minimal dan gromerulosklerosis fokal. diperkirakan akibat hipovelemia dan penurunan perfusi ke ginjal. akibat dari GG pada penderita SN cukup serius. 18% meninggal. 20% dapt bertahan tapi tidak ada perbaikan fungsi ginjal dan memerlukan dialisis.

25

III.8. PENATALAKSANAAN Kasus SNP dengan KM pada pemeriksaan histologisnya dapat sembuh dengan pengobatan prednison dalam waktu sebulan atau dapat meninggal dalam waktu setahun. Sebenarnya kalau anak sembuh atau apabila penyakitnya berlangsung progresif cepat dan mengakibatkan kematian tidak merupakan masalah. Namun akan menimbulkan masalah psikologis apabila manifestasi klinis penyakitnya hilang timbul, kambuh berulang, disertai gejala edema, asites dan proteinuria. Di samping itu pemberian obat yang lama dapat menimbulkan efek samping seperti muka rembulan, obesitas, hipertensi, katarak, osteoporosis, dan gangguan pertumbuhan. Efek samping yang paling seirng dijumpai adalah obesitas, habitus, cushingoid, katarak, hipertensi, osteopororis, gangguan pertumbuhan dan gangguan psiko-emosi. Sebetulnya semua sistem di dalam tubuh dapat terkena efek samping obat tersebut. Banyak peneliti yang melaporkan hasil yang dapat menurunkan frekuensi dengan obat sitostatika, steroid jangka lama dengan dosis rendah, atau pemberian levamisol.

1. Kortikosteroid Pengobatan baku kortikosteroid menurut ISKDC (1978) adalah prednison atau prenisolon dengan dosis 60 mg/m2/hari (2 mg/kgBB) setiap hari selama 4 minggu, dilanjutkan denan 40 mg/m2/hari secara intermiten (3 hari dalam 1 minggu) atau dosis alternating (selang sehari) selama 4 minggu. Studi kolaboratif Jerman (1990) melaporkan bahwa dengan memperpanjang cara pemberian sehari seperti yang

26

dilaporkan ISKDC didapatkan penurunan angka relaps 12 bulan setelah obat dihentikan 36% kasus pada pemberian 12 minggu dibandingkan dengan 81% kasus dengan cara pemberian baku ISKDC 8 minggu. Bila terjadi kambuh setelah pengobatan dihentikan, maka pengobatan diulang dengan cara buku ISKDC yaitu dosis penuh tiap hari sampel terjadi remisi dan dilanjutkan dengan 4 minggu dosis intermiten atau selang sehari. Menurut Ehrich dkk. dengan memperpanjang pemberian prednison tersebut diharapkan akan mengurangi terjadinya kambuh sering, tanpa menambah risiko efek samping steroid. 2. Sitostatika Penggunaan obat sitostatika pada kasus SNP-KS dan SNP-DS telah dilaporkan oleh beberapa peneliti dan dapat memperpanjang remisi, bahkan pada beberapa penderita menimbulkan remisi permanen. Apabila dibandingkan pengobatan sitostatika pada penderita SNP-DS dengan SNP-KS, hasilnya lebih baik pada kambuh sering daripada yang dependen steroid.

Siklosfosfamid dan klorambusil merupakan obat yang banyak dipakai dengan efek yang hampir sama. a. Siklofosfamid Siklofosfamid diberikan dengan dosis 2-3 mg/kgBB selama 8 minggu dilaporkan efektif dalam mengurangi jumlah kambuh pada SNP-KS. Sekitar 60% kasus yang diberi siklofosfamid tetap remisi selama 2 tahun setelah obat dihendikan dan 40% kasus tetap remisi selama 5 tahun.

27

b. Klorambusil Klorombusil mempunyai efek sama dengan siklofosfamid dalam memperpanjang masa remisi SNP-KS dan SNP-DS. Studi kolaboratif Jerman mendaptkan remisi 87% kasus selama 30 bulan pada penderita kambuh sering. Alatas dkk. dalam suatu studi kontrol pada 20 kasus SNP-KS melaporkan pada kelompok yang diberi klorambusil (8 minggu) dengan prednison interminten selama pengobatan 12 bulan hanya 12% kasus yang mengalami kekambuhan, sedangkan pada kelompok kontrol yang diberi plasebo dengan prednison intermiten, 88% kasus mengalami kekambuhan. 3. Siklosporin A Siklosporin A (Si A) adalah suatu imunosupresan yang banyak digunakan pada transplantasi ginjal, merupakan obat alternatif lain di samping steroid. SiA besifat menghambatr generasi dan aktival sel T sitotoksik. Akhir-akhir ini SiA dicoba pada SNP-KS dan resisten steroid. Pada kasus SNP-KS dan SNP-DS. Tejani dkk melaporkan 11 dari 13 kasus mengalami remisi dengan pemberian SiA selam 8 minggu. Niaudet dkk memberikan SiA 2-8 bulan, 80% dilaporkan mengalami remisi. Namun bila obat dihentikan akan terjadi kekambuhan kembali, sehingga dikatakan obat ini menimbulkan efek dependen SiA. Pada kasus SNP-RS pemberian SiA tidak memberiakn hasil memuaskan. Dosis yang dipakai adalah 5 mg/kgBB/hari, disesuaikan dengan kadar SiA darah 200-400 /ml. Obat ini dapat menimbulkan nefritis interstisialis sehingga pada pemberian jangka panjang perlu dilakukan pemantauan denan biopsi ginjal. karena obat ini mahal harganya dan

28

hasilnya kurang memuaskan, pemakaian obat ini pada kasus SN belum dapat diterima sebagai pengobatan alternatif. Jika SiA akan dipakai sebaiknya untuk kasus yang sudah tidak mempan dengan obat sitostatika lainnya.

4. Levamisol Levamisol adalah suatu anti hemintik yang ternyata mempunyai efek imunologis menstimuloasi sel T. sesuai dengan teori Shalhoub pada sindrom nefrotik ditemukan adanya gangguan fungsi sel T. akhir-akhir perhatian pada levamisol muncul kembali dengan waktu pemberian yang lebih lama. Perhimpunan Nefrologi Pediatri Inggris melakukan uji klinis dengan kontrol pada kasus SNP-DS dan melaporkan bahwa levamisol dapat memperpanjang masa remisi. Efek samping yang dilaporkan hanya sedikit dan sebagaian besar penderita adalah SNP-KM. Dosis yang dipakai adalah 2-3 hari (+ 4 bulan) pada 61 kasus SNP-DS. Pada kasus yang diberi levamisol, 14 orang anak tetap dalam remisi sedangkan pada yang tidak diberi levamisol hanya 4 orang anak yang tetap remisi. Efek samping yang dapat ditemukan adalah gejala gastrointestinal, mual dan muntah, serta agranulositosis yang bersifat reversibel apabila obat dihentikan. III.9. PROGNOSIS Prognosis sindroma nefrotik tergantung dari beberapa factor antara lain umur, jenis kelamin, penyulit pada saat pengobatan dan kelainan histopatologi ginjal. prognosis pada umur muda lebih baik daripada umur lebih tua, pada wanita lebih baik daripada laki-laki. Makin dini terdapat penyulitnya, biasanya prognosisnya lebih buruk. Kelainan minimal mempunyai respons terahdap kortikosteroid lebih baik dibandingkan

29

dengan lesi dan mempunyai prognosis paling buruk pada glomerulonefritis proliferatif. Sebab kematian pada sindroma nefrotik berhubungan dengan gagal ginjal kronis disertai sindroma uremia, infeksi sekunder (misalnya pneumonia).

30

BAB IV KESIMPULAN Telah dibicarakan penyakit sindroma nefrotik yang merupakan penyakit ginjal yang terbanyak. Umumnya menegakkan diagnosis diperlukan pemeriksaan klinis dan pemeriksaan laboratorium terhadap sindroma nefrotik tersebut. Penyebab yang paling sering dijumpai adalah sindroma nefrotik primer. Kelainan minimal memberikan respons yang baik terhadap pengobatan dan mempunyai prognosis baik. Untuk memperoleh hasil pengobatan yang optimum perlu kerja sama antara penderita dan dokter yang mengobatinya.

31

DAFTAR PUSTAKA

1. Purnawan Junadi, Atiek. S. Soemasto, Gusna Amelz. Kapita Selekta Kedokteran, Edisi Kedua, Penerbit Media Aescullapius, FKUI, 1982. 2. Prof. DR. Dr. A. Halim Mubin, SpPD, MSc, KPTI, Ilmu Penyakit Dalam, Diagnosis dan Terapi. p : 19 - 23 3. M.W. Haznam, Terapi Standard Bagian Ilmu Penyakit Dalam, FKUP RSHS. 4. Rani,azis A, Soegondo,sidartawan, Uyainah Z,Anna. Panduan Pelayanan Medik Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia.edisi 3. Jakarta : Departemen Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 5. Persatuan Ahli Penyakit Dalam Indonesia. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. Edisi IV. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.

i

32