pbl anemia hemolitik autoimun
DESCRIPTION
Anemia Hemolitik AutoimunTRANSCRIPT
Diagnosis dan Penatalaksanaan Pasien Anemia Hemolitik Autoimun
Kelompok F-5Ketylne Lawra Hutajulu – 10.2009. 22Ayu Anas Silvya – 10.2010.072Maria Natalia MFL - 10.2011.052Tegar Gemilang Watari – 10.2011.114 Julianti D Ranbayar - 10.2011.167 Raditia Kurniawan – 10.2011.219Olivia – 10.2011.232Jelita Septiwati Sitanggang – 10.2011.385Bio Swadi Ghutama – 10.2011.388
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida WacanaJl. Arjuna Utara No.6, Jakarta Barat 11510
No. Telp (021) 5694-2061Fax: (021) 563-1731
I. Pendahuluan
Anemia merupakan masalah medic yang paling sering dijumpai diklinik di seluruh dunia,
disamping sebagai masalah kesehatan masyarakat, terutama di negara berkembang. Oleh karena
frekuensinya yang demikian sering, anemia, terutama anemia ringan seringkali tidak mendapat
perhatian dan dilewati oleh para dokter dipraktek klinik. Anemia secara fungsional didefinisikan
sebagai penurunan jumlah masa eritrosit sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk
membawa oksigen dalam yang cukup ke jaringan perifer. Secara praktis anemia ditunjukan oleh
penurunan kadar hemoglobin, hematokrit, atau hitung eritrosit. Tetapi yang paling lazim dipakai
adalah kadar hemoglobin, kemudian hematokrit. Harus diingat bahwa terdapat keadaan-keadaan
tertentu dimana ketiga parameter tersebut tidak sejalan dengan masa eritrosit, seperti pada
dehidrasi, perdarahan akut dan kehamilan. Kadar hemoglobin dan eritrosit sangat bervariasi
tergantung usia, jenis kelamin, ketinggian tempat tinggal serta keadaan fisiologis tertentu seperti
kehamilan.1
Anemia bukanlah suatu kesatuan penyakit tersendiri, tetapi merupakan gejala berbagai
macam penyakit dasar. Oleh karena itu dalam diagnosis anemia tidaklah cukup hanya sampai
kepada label anemia tetapi harus dapat ditegakan penyakit dasar yang menyebabkan anemia
tersebut. Hal ini penting karena seringkali penyakit dasar tersebut tersembunyi, sehingga apabila
1
hal ini dapat diungkap akan menuntun para klinisi ke arah penyakit berbahaya yang tersembunyi.
Penentuan penyakit dasar juga penting dalam pengelolaan kausa anemia, karena tanpa
mengetahui penyebab yang mendasari anemia tidak dapat diberikan terapi yang tuntas pada
kasus anemia tersebut. Kelainan ini merupakan penyebab debilitas kronik yang mempunyai
dampak besar terhadap kesejahteraan sosial dan ekonomi, serta kesehatan fisik.1
II. Pembahasan
Parameter yang paling umum dipakai untuk menunjukan penurunan massa eritrosit
adalah kadar hemoglobin diikuti oleh hematokrit dan hitung eritrosit. Yang menjadi masalah
adalah berapakah kadar hemoglobin yang dianggap abnormal. Harga normal hemoglobin sangat
bervariasi tergantung usia, jenis kelamin, adanya kehamilan dan ketinggian tempat tinggal. Di
negara barat kadar hemoglobin paling rendah untuk pria 14 g/dl dan 12 g/dl pada perempuan.
Untuk keperluan klinik di Indonesia dan negara berkembang lainnya memakai kriteria
hemoglobin kurang dari 10 g/dl sebagai awal dari work up anemia. Pada dasarnya anemia
disebabkan oleh karena : 1.) gangguan pembentukan eritrosit oleh sumsum tulang; 2.) kehilangan
darah keluar tubuh (perdarahan); 3.) proses penghancuran eritrosit dalam tubuh sebelum
waktunya (hemolisis). Gejala umum anemia adalah gejala yang timbul pada setiap kasus anemia,
apapun penyebabnya, apabila kadar hemoglobin turun dibawah harga tertentu. Gejala umum
anemia ini timbul karena: 1.) anoksia organ; 2.) mekanisme kompensasi tubuh terhadap
berkurangnya oksigen ke jaringan.1
Gejala umum anemia menjadi jelas apabila kadar hemoglobin telah turun < 7 g/dl. Berat
ringannya anemia bergantung pada derajat penurunan hemoglobin, kecepatan penurunan
hemoglobin, usia, adanya kelainan jantung atau paru sebelumnya. Gejala anemia dapat
digolongkan menjadi tiga jenis gejala yaitu :
1. Gejala umum anemia : lemah, lesu, cepat lelah, tinnitus, mata berkunang, akral dingin,
sesak napas, dan dyspepsia. Pada pemeriksaan pasien tampak pucat, yang mudah dilihat
pada konjungtiva, mukosa mulut, telapak tangan dan jaringan dibawah kuku.
2. Gejala khas masing-masing anemia. Gejala ini spesifik untuk masing-masing jenis
anemia. Sebagai contoh :
Anemia defisiensi besi : disfagia, atrofi papil lidah, stomatitis angularis, dan kuku sendok
(koilonikia)
Anemia megaloblastik : glositis, gangguan neurologis pada defisiensi vit B12.
2
Anemia hemolitik : ikterus, splenomegali, dan hepatomegali
Anemia aplastik : perdarahan dan tanda-tanda infeksi
3. Gejala penyakit dasar. Gejala yang timbul akibat penyakit dasar yang menyebabkan
anemia sangat bervariasi tergantung dari penyebab anemia tersebut. Misalnya gejala
akibat infeksi cacing tambang yaitu sakit perut, pembengkakan parotis, dan warna kuning
pada telapak tangan. Pada kasus tertentu sering gejala penyakit dasar lebih dominan,
seperti misalnya pada anemia akibat penyakit kronik oleh karena arthritis reumatoid.1
Anemia hemolitik adalah anemia yang disebabkan oleh proses hemolisis. Hemolisis
adalah pemecahan eritrosit dalam pembuluh darah sebelum waktunya (sebelum masa hidup rata-
rata eritrosit yaitu 120 hari). Hemolisis berbeda dengan proses penuaan, yaitu pemecahan eritrosit
karena memang sudah cukup umurnya. Hemolisis dapat terjadi dalam pembuluh darah
(ekstravaskular) yang membawa konsekuensi patofisiologik yang berbeda. Pada orang dengan
sumsum tulang yang normal, hemolisis pada darah tepi akan direspons oleh tubuh dengan
peningkatan eritropoiesis dalam sumsum tulang. Kemampuan maksimum sumsum tualng untuk
meningkatkan eritropoiesis adalah 6-8 kali normal. Apabila derajat hemolisis tidak terlalu berat
(pemendekan masa hidup eritrosit sekitar 50 hari) maka sumsum tulang masih mampu melakukan
kompensasi sehingga tidak timbul anemia. Akan tetapi, jika kemampuan kompensasi sumsum
tulang dilampaui maka akan terjadi anemia yang dikenal sebagai anemia hemolitik.1,2
Anemia hemolitik merupakan anemia yang jarang dijumpai, tetapi bila dijumpai
memerlukan pendekatan diagnosis yang tepat. Anemia hemolitik merupakan 6 % dari kasus
anemia, menempati urutan ketiga setelah anemia aplastik dan anemia sekunder karena keganasan
hematologik. Gambaran klinik anemia hemolitik sangat bervariasi disebabkan disebabkan oleh
perjalanan penyakit (akut atau kronik) dan tempat kejadian hemolisis (intravaskuler atau
ekstravaskuler) sehingga pada umumnya dilihat dari gejala kliniknya anemia hemolitik dibagi
dapat dibagi menjadi 2 golongan besar, yaitu :
Anemia hemolitik karena factor didalam eritrosit sendiri (intrakorpuskular), yang
sebagian besar bersifat herediter-familiar.
Anemia hemolitik karena factor diluar eritrosit (ekstrakorpuskuler), yang sebagian besar
bersifat didapat.
3
Kedua jenis hemolisis ini mempunyai gambaran yang berbeda, dimana anemia hemolitik
kronik herediter-familier didominasi oleh gejala akibat hemolisis ekstravaskuler yang
berlangsung perlahan, sedangkan pada anemia hemolitik akut didapat terjadi hemolisis
ekstravaskuler massif atau intravaskuler. Di klinik, khususnya penyakit dalam, anemia hemolitik
yang paling banyak dijumpai adalah anemia hemolitik autoimun. Agaknya, anemia hemolitik
herediter-familier hanya sebagian kecil yang dapat mencapai usia dewasa, sehingga lebih banyak
dijumpai di bagian anak. Anemia hemolitik autoimun ditandai oleh hasil yang positif pada uji
antiglobulin langsung (direct antiglobulin test, DAT) yang juga dikenal sebagai uji Coombs dan
dibagi menjadi tipe ‘hangat’ (warm) dan ‘dingin’ (cold) menurut reaksi antibody yang lebih kuat
pada eritrosit yang dilakukan pada suhu 37oC atau 4oC.2,3
Anamnesis
Anamnesis yang baik membawa kita menempuh setengah jalan ke arah diagnosis yang
tepat. Keluhan yang dikeluhkan penderita perlu digali lebih lanjut untuk mendapatkan
keterangan lebih terarah pada penyakit sehingga lebih mudah menegakkan serta memberikan
keterangan pada pasien mengenai penyakitnya. Perlu dicatat kelengkapan status yang sering
sudah menjadi baku, seperti: nama, usia, jenis kelamin, pekerjaan, dan anamnesis mengenai
perjalanan penyakitnya.4
Identiras pasien : nama, usia, jenis kelamin, pekerjaan, alamat dsb.
Keluhan utama : mudah lelah sejak 3 minggu
R.penyakit sekarang : pasien merasa mudah lelah sejak 3 minggu terakhir ini, wajahnya
terlihat pucat. Demam, mual, dan muntah disangkal pasien. Begitu juga dengan BAK &
BAB tidak ada keluhan.
R.penyakit dahulu : -
Alergi : -
R.pengobatan : -
Alcohol : -
Merokok : -
R.keluarga : -
R.sosial : -
4
Pada pasien dengan kemungkinan anemia dapat ditanyakan perasaan lelah bersifat akut atau
kronis, artinya baru-baru ini dirasakan atau memang sudah berlangsung cukup lama. Kemudian
ditanyakan adakah riwayat perdarahan, jika ada akut atau kronis. Lalu adakah disfagia, gangguan
neurologis, atau tanda-tanda infeksi. Adakah kelainan pada BAK dan BAB, seperti BAK
berwarna gelap.1
Pemeriksaan fisik
Diawali dengan pemeriksaan keadaan umum pasien apakah baik, tampak sakit ringan
atau sakit berat. Keadaan umum pasien dinilai sejak pasien masuk ruang periksa. Kemudian
periksa tanda-tanda vital (TTV) pasien seperti tekanan darah, suhu, nadi, dan pernapasan. Pada
pasien anemia biasanya didapatkan keadaan umum seperti pucat, akral dingin, berdebar, sesak,
konjungtiva dan mukosa mulut tampak pucat. Setelah itu periksa secara lebih terarah keluhan
utama pasien. Pada pemeriksaan fisik agar tidak ada yang terlewat, dimulai dari kepala hingga
ekstermitas bawah. Pada pemeriksaan fisik didapatkan konjungtiva pasien anemis, sclera ikterik,
dan limpa teraba schufner II. Berikut secara garis besar pemeriksaan fisik yang sistemis :
Kepala dan leher : konjungtiva anemis, sclera ikterik
Thorak : -
Abdomen : limpa teraba schufner II
Ekstremitas : -
Pemeriksaan fisik pada pasien dengan anemia dapat ditemukan letih, lesu, cepat lelah, tinnitus,
mata berkunang, akral dingin, sesak napas, dan dyspepsia. Pada pemeriksaan pasien tampak
pucat, yang mudah dilihat pada konjungtiva, mukosa mulut, telapak tangan dan jaringan dibawah
kuku.1
Pemeriksaan penunjang
Untuk menyingkirkan kemungkinan lain dan untuk memastikan diagnosis yang tepat
dapat dilakukan pemeriksaan penunjang. Tentu saja untuk memastikan bahwa pasien benar-
benar anemia pemeriksaan sederhana untuk mengetauinya yaitu cek darah rutin atau cek darah
lengkap. Dimana dari pemeriksaan darah itu didapatkan parameter anemia yaitu keadaan
hemoglobin, hematokrit, dan hitung eritrosit. Tetapi pemeriksaan darah hanya sejauh mengenai
anemia, belum kepada penyebab yang mendasari terjadinya anemia. Maka dari itu dapat
dilakukan pemeriksaan yang lebih spesifik. Pemeriksaan ini terdiri dari : pemeriksaan penyaring
5
(screening test), pemeriksaan darah seri anemia, pemeriksaan sumsum tulang, dan pemeriksaan
khusus.
Pemeriksaan penyaring : pengukuran kadar hemoglobin, indeks eritrosit dan hapusan
darah tepi. Dari sini dapat dipastikan adanya anemia serta jenis morfologi anemia
tersebut, yang sangat berguna untuk pengarahan diagnosis lebih lanjut.
Pemeriksaan darah seri anemia : meliputi hitung leukosit, trombosit, hitung retikulosit
dan laju endap darah. Sekarang sudah banyak dipakai automatic hematology analyzer
yang dapat memberikan presisi hasil yang lebih baik.
Pemeriksaan sumsum tulang : pemeriksaan ini dibutuhkan untuk diagnosis definitive
pada beberapa jenis anemia. Pemeriksaan sumsum tualng mutlak diperlukan untuk
diagnosis anemia aplastik, anemia megaloblastik, serta pada kelainan hematologic yang
dapat mensupresi system eritroid.
Pemeriksaan khusus hanya dikerjakan atas indikasi khusus, misalnya pada anemia
defisiensi besi yang diperiksa seperti serum iron (SI), total iron binding capacity (TIBC),
saturasi transferin, protoporfirin eritrosit, feritin serum. Anemia megaloblastik yang
diperiksa seperti folat serum, vit B12 serum, tes supresi deoksiuridin dann tes Schiling.
Anemia hemolitik yang diperiksa seperti bilirubin serum, tes Coomb, elektroforesis
hemoglobin.
Juga diperlukan pemeriksaan non-hematologik tertentu seperti permeriksaan faal hati,
faal ginjal atau faal tiroid. Karena kasus pasien lebih mengarah pada anemia hemolitik autoimun
maka pemeriksaan yang dapat meyakinkan ke arah tersebut adalah tes Coomb (Direct
antiglobulin test). Tes Coombs bertujuan untuk mendeteksi adanya antibody tidak lengkap atau
komplemen yang terdapat pada permukaan sel darah merah. Bila sel yang telah diliputi zat anti
tidak lengkap (mengalami sensitisasi) ditambahkan serum Coombs (serum antiglobulin) maka
akan terjadi aglutinasi. Hasil tes Coombs direk positif dijumpai pada Hemolitik Disease of the
Newborn (HDN), anemia hemolitik autoimun, anemia hemolitik imun karena obat dan reaksi
hemolitik pada transfuse darah. Sedangkan uji antiglobulin indirect digunakan sebagai bagian
dari penapisan antibody rutin pada serum resipien sebelum transfusi dan untuk mendeteksi
antibody golongan darah pada wanita hamil.1,3,5
6
Diagnosis kerja
Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang dapat disimpulkan
bahwa pasien yang datang dengan keluhan mudah lelah tersebut menderita anemia hemolitik
autoimun. Anemia hemolitik autoimun (AHA) merupakan suatu kelainan dimana terdapat
autoantibody terhadap eritrosit sendiri sehingga menimbulkan destruksi (hemolisis) eritrosit dan
usia eritrosit memendek. Berdasarkan sifat reaksi antibody, anemia hemolitik autoimun dibagi
dalam 2 golongan, yaitu :
1. AHA tipe panas (Warm AIHA) : reaksi antigen-antibodi terjadi maksimal pada suhu
tubuh (37oC), antibody tersebut biasanya adalah immunoglobulin G (IgG).
2. AHA tipe dingin (Cold AIHA) : reaksi antigen-antibodi terjadi maksimal pada suhu
rendah (4oC), antibody tersebut biasanya adalah immunoglobulin M (IgM).
Jika digabungkan dengan etiologinya, didapatkan klasifikasi sebagai berikut :
1. Tipe panas (warm autoantibody type) autoantibody aktif maksimal pada suhu tubuh (37oC).
a. Idiopatik
b. Sekunder
i. Penyakit limfoproliferatif, seperti leukemia limfositik kronik dan limfoma maligna.
ii. Penyakit kolagen, seperti SLE, dan lain-lain
iii. Penyakit-penyakit lain
iv. Obat (tipe hapten; penisilin; tipe kompleks imun; tipe autoantibody; metildopa)
2. Tipe dingin (cold autoantibody type) autoantibodi aktif pada suhu <37oC
a. Idiopatik
b. Sekunder
i. Penyakit limfoproliferatif
ii. Infeksi : Mycoplasma pneumonia, infectious mononucleosis, EBV, dan lain-lain
iii. Lain-lain
3. Paroxysmal Cold Hemoglobinuria
a. Pada sifilis stadium III
b. Pasca infeksi virus (self limited)
4. Campuran tipe panas dan tipe dingin2
7
Anemia Hemolitik Tipe Hangat
Anemia hemolitik tipe panas sekitar 70%, dimana autoantibody bereaksi secara optimal
pada suhu 37oC. Lebih sering terjadi wanita muda. Kurang lebih 50% pasien AIHA tipe hangat
disertai penyakit lain. Eritrosit biasanya dilapisi oleh IgG saja atau dengan komplemen, dan
karena itu, diambil oleh makrofag RE yang mempunyai reseptor untuk fragmen Fc IgG. Gejala
anemia terjadi perlahan-lahan, ikterik, demam, limpa membesar. Urin berwarna gelap karena
terjadi hemoglobinuri. Ikterik terjadi pada 40%. Gejala tersebut dapat hilang timbul. Temuan lab
yang sering dijumpai adalah Hb < 7 g/dl, tes Coombs positif, bilirubin serum meningkat 2-4
mg/dl dengan bilirubin indirek lebih tinggi daripada bilirubin direk. Diagnosis AHA tipe hangat
dapat ditegakan jika dijumpai 1.) tanda anemia hemolitik didapat (gejala klinik, anemia
normositik normokrom, hemolisis ekstravaskular, kompensasi sumsum tulang) 2.) Tes Coombs
direct positif, hanya sebagian kecil penderita menunjukan hasil negative.1-3
Anemia Hemolitik Tipe Dingin
AHA tipe dingin lebih jarang dijumpai dibandingkan dengan AHA tipe panas. Terjadinya
hemolisis diperantarai antibody dingin yaitu aglutinin dingin dan antibody Donath-Landsteiner.
Kelainan ini secara karakteristik memiliki agglutinin dingin IgM monoclonal, dapat juga
poliklonal pada yang post infeksi. Pada AHA tipe dingin autoantibody IgM mengikat antigen
membrane eritrosit (terutama ‘I antigen’) dan membawa C1q ketika melewati bagian yang
dingin, kemudian terbentuk kompleks penyerang membrane (MAC). Kompleks penyerang ini
menimbulkan kerusakan membran eritrosit apabila terjadi kerusakan membran yang hebat akan
terjadi hemolisis intravascular jika kerusakan minimal terjadi fagositosis oleh makrofag dalam
RES sehingga terjadi hemolisis ekstravaskular.1,2
Diagnosis banding
A. Sferositosis herediter
Kelainan ini adalah anemia hemolitik yang paling sering dijumpai di Eropa Utara
(Skandinavia). Kelainan ini khas.1.) diturunkan secara autosomal dominan dengan ekspresi
bervariasi 2.) dijumpai makrosferosit pada hapusan darah tepi 3.) memberi respon yang baik
terhadap splenektomi. Kelainan dasar sferositosis herediter terletak pada protein structural
membran eritrosit. Timbul karena defek protein yang berfungsi dalam interaksi vertical antara
8
membran skeleton dengan lipid bilayer membrane eritrosit, antara lain karena defek pada
ankyrin, spectrin atau pallidin. Hal ini mengakibatkan membran eritrosit menjadi longgar
sehingga eritrosit berubah bentuk dari bikonkaf menjadi sferis. Perubahan bentuk menjadi bulat
dan rigid (deformabilitas) menyebabkan kerusakan membrane eritrosit saat melewati kapiler
yang berdiameter kecil pada lien. Eritrosit dengan defek membran ini akan dikenal dan kemudian
difagosit oleh makrofag, sehingga terjadilah hemolisis ekstravaskular yang kronis. Gambaran
klinik berupa anemia dari bayi hingga tua. Dijumpai ikterus yang berfluktuasi. Splenomegali
hampir selalu dijumpai. Pada sebagian besar penderita dijumpai batu empedu.1,2
B. Anemia defisiensi G6PD
Pada sel eritrosit terjadi metabolism glukosa untuk menghasilkan energy (ATP), yang
digunakan untuk kerja pompa ionic dalam rangka mempertahankan milieu ionic yang cocok bagi
eritrosit. Pembentukan ATP tersebut melalui proses glikolisis Emden Meyerhof yang melibatkan
sejumlah enzim seperti glukosa fosfat isomerase dan piruvat kinase. Glukosa mengalami
metabolisme dalam eritrosit melalui jalur heksosa monofosfat dengan bantuan enzim glukosa 6
fosfat dehidrogenase (G6PD) untuk menghasilkan glutation yang penting untuk melindungi
hemoglobin dan membran eritrosit dari oksidan. Defisiensi enzim tersebut dapat mempermudah
dan mempercepat hemolisis. Kejadian defisiensi enzim G6PD lebih sering terjadi pada pria
karena enzim ini dikode oleh gen yang terletak di kromosom X. Ketika hemolisis akut Ht turun
dengan cepat diiringi oleh peningkatan hemoglobin dan bilirubin indirek dan penurunan
haptoglobin. Hemoglobin mengalami oksidasi dan membentuk Heinz Bodies. Diagnosis
defisiensi G6PD dipikirkan jika ada episode akut pada laki-laki keturunan Afrika dan
Mediterania. Pada anamnesis perlu ditanyakan tentang kemungkinan terpajan dengan zat-zat
oksidan. Gambaran lab normal, hanya aktivitas enzim G6PD menurun, dapat ditemukan tanda-
tanda hemolisis intravascular.1,2
C. Thalasemia
Suatu sindrom yang ditandai oleh penurunan kecepatan sintesis atau absennya
pembentukan satu atau lebih rantai globin sehingga mengurangi sintesis hemoglobin normal.
Sebagai akibatnya timbul ketidakseimbangan sintesis suatu rantai, salah satu rantai disintesis
berlebihan sehingga mengalami presipitasi, membentuk Heinz bodies dan eritrosit mengalami
9
hemolisis intrameduler sehingga terjadi eritropoiesis inefektif yang disertai pemendekan usia
eritrosit. Sering diikuti kompensasi pembentukan rantai globin lain sehingga membentuk
konfigurasi lain. Misalnya, pada thalasemia beta, rantai beta tidak terbentuk. Sehingga rantai alfa
mengalami ekses yang mengakibatkan presipitasi rantai ini. Untuk mengurangi ekses rantai alfa
maka dibentuk rantai gama yang mengikat rantai alfa berlebihan sehingga terjadi konfigurasi
baru sebagai HbF. Dimana sifat HbF memiliki afinitas yang tinggi sehingga sulit melepaskan
oksigen dan jaringan menjadi hipoksia. Penderita umumnya mengalami hepatosplenomegali,
menunjukan anemia mikrositik hipokrom, facies cooley (facies thalasemia), pucat, gangguan
pertumbuhan tulang, bisa ikterik atau tidak.1,2
Etiologi
Etiologi pasti dari penyakit autoimun belum jelas atau idiopatik, kemungkinan terjadi
karena gangguan central tolenrance, dan gangguan pada proses limfosit autoreaktif residual.
Secara garis besar AHA tipe hangat penyebabnya dapat dibagi menjadi 2 golongan yaitu
idiopatik ( dari 50% kasus AHA), dan sekunder akibat penyakit kronis seperti SLE, multiple
myeloma, limfoma dan setelah menggunakan obat metildopa. Sedangkan penyebab AHA tipe
dingin dapat digolongkan menjadi idiopatik, sekunder yaitu akibat penyakit kronis seperti infeksi
bakteri atau virus dan juga paroxysmal cold hemoglobinuri (PCH).1,2
Patofisiologi
Karena sebab yang belum diketahui, mungkin akibat gangguan regulasi imun, terbentuk
antibody terhadap eritrosit sendiri (autoantibody). Eritrosit yang diselimuti antibody ini (sering
disertai komplemen, terutama C3b) akan mudah difagosit oleh makrofag terutama pada lien dan
juga hati oleh adanya reseptor Fc dari antibody. Hemolisis terjadi terutama dalam bentuk
ekstravaskular yang akan menimbulkan anemia dan ikterus hemolitik. Pada AHA tipe dingin
juga terbentuk krioglobulin.2
Gambaran klinis
Gambaran klinis dibagi menjadi gejala anemia umum, gejala khas masing-masing
anemia, dan gejala penyakit dasar. Gejala anemia umum seperti pucat, lelah, tinnitus, mata
berkunang-kunang, kaki terasa dingin, sesak nafas, dan bisa ada jari tabuh jika sudah hipoksia
10
berat. Lalu gejala khas pada masing-masing anemia berbeda. Pada anemia hemolitik dapat
ditemukan ikterus, splenomegali, dan hepatomegali. Sedangkan gejala penyakit dasar sangat
bervariasi tergantung dari penyebab anemia tersebut.1
Epidemiologi
Anemia merupakan kelainan yang sangat sering dijumpai baik diklinik maupun di
lapangan. Di klinik, khususnya penyakit dalam, anemia hemolitik yang paling banyak dijumpai
adalah anemia hemolitik autoimun. Diperkirakan lebih dari 30% penduduk dunia atau 1500 juta
orang menderita anemia dengan sebagian besar tinggal di daerah tropic. Untuk Indonesia anak
prasekolah 30%, wanita dewasa 25%, ibu hamil 70%, pria dewasa 30%, pekerja 30%.1,2
Penatalaksanaan
Terapi inisial dengan menggunakan prednisone 1-2mg/kg BB/hari dalam dosis terbagi.
Jika terjadi anemia yang mengancam jiwa dapat dilakukan transfuse darah dengan hati-hati. Bila
ada respon baik terhadap steroid, dosis diturunkan tiap minggu sampai mencapai dosis 10-
20mg/hari. Tetapi jika tidak respon terhadap steroid, maka dianjurkan untuk dilakukan
splenektomi. Apabila keduanya tidak menolong, maka dilakukan terapi menggunakan obat
imunosupresan seperti azatioprin 50-200mg/hari atau siklofosfamid 50-150mg/hari.
Immunoglobulin dosis tinggi intravena 500mg/kg BB/hari selama 1-4 hari mungkin mempunyai
efektivitas tinggi dalam mengontrol hemolisis. Namun efeknya hanya sebentar 1-3 minggu dan
sangat mahal harganya.1,6
Pencegahan
Tidak ada tindakan untuk melakukan pencegahan dalam kasus anemia autoimun, sebab
penyakit autoimun saja sulit untuk dicari penyebabnya dan tubuh sendiri yang membentuk
antibody terhadap eritrosit. Tetapi untuk kasus teretntu seperti anemia defisiensi besi, asam folat,
vit B12 dapat dicegah dengan mengonsumsi zat-zat tersebut dengan cukup agar tidak terjadi
defisiensi. Pada beberapa kasus anemia hemolitik autoimun (AHA) ada yang disebabkan oleh
penggunaan obat seperti metildopa maka dari itu untuk pencegahan dapat hindari obat tersebut.
Ada juga AHA tipe dingin akibat infeksi maka dari itu hindari infeksi dengan menjaga kesehatan
tubuh, dan juga hindari suhu dingin sebab AHA tipe dingin bisa dipicu oleh suhu dingin.1,2
11
Komplikasi
Komplikasi dapat dari ringan hingga berat dan bahkan kematian. Dapat berupa hipoksia
jaringan, gangguan neurologis, infark miokard, gagal jantung, gagal ginjal. Semua itu terjadi
didasarkan akibat eritrosit yang hancur sehingga fungsi eritrosit sebagai pembawa oksigen
hilang. Maka dari itu jaringan dan organ tidak mendapat oksigen, yang lebih berbahaya jika otak
tidak mendapat oksigen dapat menyebabkan serangan stroke dsb. Bahkan komplikasi yang
sangat berbahaya yaitu hingga menimbulkan kematian.1
Prognosis
Prognosis jangka panjang pada pasien penyakit ini adalah baik. Splenektomi sering dapat
mengontrol penyakit ini atau paling tidak memperbaikinya. Hanya sebagian kecil pasien yang
mengalami penyembuhan komplit dan sebagian besar memiliki perjalanan penyakit yang
berlangsung kronis, namun terkendali. Survival 10 tahun berkisar 70%. Mortalitas selama 5-10
tahun sebesar 15-25%. Prognosis pada anemia hemolitik autoimun sekunder tergantung penyakit
yang mendasari.1
III. Kesimpulan
Anemia merupakan kelainan yang sering dijumpai. Untuk penelitian lapangan umumnya
dipakai criteria anemia menurut WHO, sedangkan untuk keperluan klinis dipakai kriterai Hb <
10 g/dl atau hematokrit < 30%. Anemia dapat diklasifikasi menurut etipatogenesisnya ataupun
berdasarkan morfologi eritrosit. Dalam pemeriksaan anemia diperlukan pemeriksaan klinis dan
pemeriksaan labratorium yang terdiri dari pemeriksaan penyaring, seri anemia, pemeriksaan
sumsum tulang. Anemia hanyalah suatu kumpulan gejala maka dari itu harus dicari penyebab
pastinya dan atasi penyebab tersebut.
12
Daftar pustaka :
1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Setiati S, Simadibrata KM, Parjono E. Buku ajar ilmu
penyakit dalam. Jakarta : Interna Publishing; 2009.h.1105-1164
2. Bakta IM. Hematologi klinik ringkas. Jakarta : EGC; 2012.h.50-96
3. Moss PAH, Pettit JE, Hoffbrand AV. Kapita selekta hematologi. Edisi 4. Jakarta :EGC;
2005.h.51-63
4. Thomas J, Monaghan T. Buku saku oxford pemeriksaan fisik & keterampilan praktis.
Jakarta: EGC; 2012
5. Sudiono H, Iskandar I, Edward H, Halim SL, Santoso R. Penuntun patologi klinik
hematologi. Jakarta : Biro Publikasi FK UKRIDA; 2009
6. Mansjoer A, Triyanti K, Savitri R, Wardani WI, Setiowulan W. Kapita selekta
kedokteran. Edisi 3. Jilid 1. Jakarta: Media Aesculapius. 2008.h.553
13