pbl anemia hemolitik autoimun

20
Diagnosis dan Penatalaksanaan Pasien Anemia Hemolitik Autoimun Kelompok F-5 Ketylne Lawra Hutajulu – 10.2009. 22 Ayu Anas Silvya – 10.2010.072 Maria Natalia MFL - 10.2011.052 Tegar Gemilang Watari – 10.2011.114 Julianti D Ranbayar - 10.2011.167 Raditia Kurniawan – 10.2011.219 Olivia – 10.2011.232 Jelita Septiwati Sitanggang – 10.2011.385 Bio Swadi Ghutama – 10.2011.388 Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jl. Arjuna Utara No.6, Jakarta Barat 11510 No. Telp (021) 5694-2061 Fax: (021) 563-1731 I. Pendahuluan Anemia merupakan masalah medic yang paling sering dijumpai diklinik di seluruh dunia, disamping sebagai masalah kesehatan masyarakat, terutama di negara berkembang. Oleh karena frekuensinya yang demikian sering, anemia, terutama anemia ringan seringkali tidak mendapat perhatian dan dilewati oleh para dokter dipraktek klinik. Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah masa eritrosit sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen dalam yang cukup ke jaringan perifer. Secara praktis anemia ditunjukan oleh penurunan kadar hemoglobin, hematokrit, atau hitung eritrosit. Tetapi yang paling 1

Upload: notageek

Post on 28-Dec-2015

84 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

Anemia Hemolitik Autoimun

TRANSCRIPT

Page 1: PBL Anemia Hemolitik Autoimun

Diagnosis dan Penatalaksanaan Pasien Anemia Hemolitik Autoimun

Kelompok F-5Ketylne Lawra Hutajulu – 10.2009. 22Ayu Anas Silvya – 10.2010.072Maria Natalia MFL - 10.2011.052Tegar Gemilang Watari – 10.2011.114 Julianti D Ranbayar - 10.2011.167 Raditia Kurniawan – 10.2011.219Olivia – 10.2011.232Jelita Septiwati Sitanggang – 10.2011.385Bio Swadi Ghutama – 10.2011.388

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida WacanaJl. Arjuna Utara No.6, Jakarta Barat 11510

No. Telp (021) 5694-2061Fax: (021) 563-1731

I. Pendahuluan

Anemia merupakan masalah medic yang paling sering dijumpai diklinik di seluruh dunia,

disamping sebagai masalah kesehatan masyarakat, terutama di negara berkembang. Oleh karena

frekuensinya yang demikian sering, anemia, terutama anemia ringan seringkali tidak mendapat

perhatian dan dilewati oleh para dokter dipraktek klinik. Anemia secara fungsional didefinisikan

sebagai penurunan jumlah masa eritrosit sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk

membawa oksigen dalam yang cukup ke jaringan perifer. Secara praktis anemia ditunjukan oleh

penurunan kadar hemoglobin, hematokrit, atau hitung eritrosit. Tetapi yang paling lazim dipakai

adalah kadar hemoglobin, kemudian hematokrit. Harus diingat bahwa terdapat keadaan-keadaan

tertentu dimana ketiga parameter tersebut tidak sejalan dengan masa eritrosit, seperti pada

dehidrasi, perdarahan akut dan kehamilan. Kadar hemoglobin dan eritrosit sangat bervariasi

tergantung usia, jenis kelamin, ketinggian tempat tinggal serta keadaan fisiologis tertentu seperti

kehamilan.1

Anemia bukanlah suatu kesatuan penyakit tersendiri, tetapi merupakan gejala berbagai

macam penyakit dasar. Oleh karena itu dalam diagnosis anemia tidaklah cukup hanya sampai

kepada label anemia tetapi harus dapat ditegakan penyakit dasar yang menyebabkan anemia

tersebut. Hal ini penting karena seringkali penyakit dasar tersebut tersembunyi, sehingga apabila

1

Page 2: PBL Anemia Hemolitik Autoimun

hal ini dapat diungkap akan menuntun para klinisi ke arah penyakit berbahaya yang tersembunyi.

Penentuan penyakit dasar juga penting dalam pengelolaan kausa anemia, karena tanpa

mengetahui penyebab yang mendasari anemia tidak dapat diberikan terapi yang tuntas pada

kasus anemia tersebut. Kelainan ini merupakan penyebab debilitas kronik yang mempunyai

dampak besar terhadap kesejahteraan sosial dan ekonomi, serta kesehatan fisik.1

II. Pembahasan

Parameter yang paling umum dipakai untuk menunjukan penurunan massa eritrosit

adalah kadar hemoglobin diikuti oleh hematokrit dan hitung eritrosit. Yang menjadi masalah

adalah berapakah kadar hemoglobin yang dianggap abnormal. Harga normal hemoglobin sangat

bervariasi tergantung usia, jenis kelamin, adanya kehamilan dan ketinggian tempat tinggal. Di

negara barat kadar hemoglobin paling rendah untuk pria 14 g/dl dan 12 g/dl pada perempuan.

Untuk keperluan klinik di Indonesia dan negara berkembang lainnya memakai kriteria

hemoglobin kurang dari 10 g/dl sebagai awal dari work up anemia. Pada dasarnya anemia

disebabkan oleh karena : 1.) gangguan pembentukan eritrosit oleh sumsum tulang; 2.) kehilangan

darah keluar tubuh (perdarahan); 3.) proses penghancuran eritrosit dalam tubuh sebelum

waktunya (hemolisis). Gejala umum anemia adalah gejala yang timbul pada setiap kasus anemia,

apapun penyebabnya, apabila kadar hemoglobin turun dibawah harga tertentu. Gejala umum

anemia ini timbul karena: 1.) anoksia organ; 2.) mekanisme kompensasi tubuh terhadap

berkurangnya oksigen ke jaringan.1

Gejala umum anemia menjadi jelas apabila kadar hemoglobin telah turun < 7 g/dl. Berat

ringannya anemia bergantung pada derajat penurunan hemoglobin, kecepatan penurunan

hemoglobin, usia, adanya kelainan jantung atau paru sebelumnya. Gejala anemia dapat

digolongkan menjadi tiga jenis gejala yaitu :

1. Gejala umum anemia : lemah, lesu, cepat lelah, tinnitus, mata berkunang, akral dingin,

sesak napas, dan dyspepsia. Pada pemeriksaan pasien tampak pucat, yang mudah dilihat

pada konjungtiva, mukosa mulut, telapak tangan dan jaringan dibawah kuku.

2. Gejala khas masing-masing anemia. Gejala ini spesifik untuk masing-masing jenis

anemia. Sebagai contoh :

Anemia defisiensi besi : disfagia, atrofi papil lidah, stomatitis angularis, dan kuku sendok

(koilonikia)

Anemia megaloblastik : glositis, gangguan neurologis pada defisiensi vit B12.

2

Page 3: PBL Anemia Hemolitik Autoimun

Anemia hemolitik : ikterus, splenomegali, dan hepatomegali

Anemia aplastik : perdarahan dan tanda-tanda infeksi

3. Gejala penyakit dasar. Gejala yang timbul akibat penyakit dasar yang menyebabkan

anemia sangat bervariasi tergantung dari penyebab anemia tersebut. Misalnya gejala

akibat infeksi cacing tambang yaitu sakit perut, pembengkakan parotis, dan warna kuning

pada telapak tangan. Pada kasus tertentu sering gejala penyakit dasar lebih dominan,

seperti misalnya pada anemia akibat penyakit kronik oleh karena arthritis reumatoid.1

Anemia hemolitik adalah anemia yang disebabkan oleh proses hemolisis. Hemolisis

adalah pemecahan eritrosit dalam pembuluh darah sebelum waktunya (sebelum masa hidup rata-

rata eritrosit yaitu 120 hari). Hemolisis berbeda dengan proses penuaan, yaitu pemecahan eritrosit

karena memang sudah cukup umurnya. Hemolisis dapat terjadi dalam pembuluh darah

(ekstravaskular) yang membawa konsekuensi patofisiologik yang berbeda. Pada orang dengan

sumsum tulang yang normal, hemolisis pada darah tepi akan direspons oleh tubuh dengan

peningkatan eritropoiesis dalam sumsum tulang. Kemampuan maksimum sumsum tualng untuk

meningkatkan eritropoiesis adalah 6-8 kali normal. Apabila derajat hemolisis tidak terlalu berat

(pemendekan masa hidup eritrosit sekitar 50 hari) maka sumsum tulang masih mampu melakukan

kompensasi sehingga tidak timbul anemia. Akan tetapi, jika kemampuan kompensasi sumsum

tulang dilampaui maka akan terjadi anemia yang dikenal sebagai anemia hemolitik.1,2

Anemia hemolitik merupakan anemia yang jarang dijumpai, tetapi bila dijumpai

memerlukan pendekatan diagnosis yang tepat. Anemia hemolitik merupakan 6 % dari kasus

anemia, menempati urutan ketiga setelah anemia aplastik dan anemia sekunder karena keganasan

hematologik. Gambaran klinik anemia hemolitik sangat bervariasi disebabkan disebabkan oleh

perjalanan penyakit (akut atau kronik) dan tempat kejadian hemolisis (intravaskuler atau

ekstravaskuler) sehingga pada umumnya dilihat dari gejala kliniknya anemia hemolitik dibagi

dapat dibagi menjadi 2 golongan besar, yaitu :

Anemia hemolitik karena factor didalam eritrosit sendiri (intrakorpuskular), yang

sebagian besar bersifat herediter-familiar.

Anemia hemolitik karena factor diluar eritrosit (ekstrakorpuskuler), yang sebagian besar

bersifat didapat.

3

Page 4: PBL Anemia Hemolitik Autoimun

Kedua jenis hemolisis ini mempunyai gambaran yang berbeda, dimana anemia hemolitik

kronik herediter-familier didominasi oleh gejala akibat hemolisis ekstravaskuler yang

berlangsung perlahan, sedangkan pada anemia hemolitik akut didapat terjadi hemolisis

ekstravaskuler massif atau intravaskuler. Di klinik, khususnya penyakit dalam, anemia hemolitik

yang paling banyak dijumpai adalah anemia hemolitik autoimun. Agaknya, anemia hemolitik

herediter-familier hanya sebagian kecil yang dapat mencapai usia dewasa, sehingga lebih banyak

dijumpai di bagian anak. Anemia hemolitik autoimun ditandai oleh hasil yang positif pada uji

antiglobulin langsung (direct antiglobulin test, DAT) yang juga dikenal sebagai uji Coombs dan

dibagi menjadi tipe ‘hangat’ (warm) dan ‘dingin’ (cold) menurut reaksi antibody yang lebih kuat

pada eritrosit yang dilakukan pada suhu 37oC atau 4oC.2,3

Anamnesis

Anamnesis yang baik membawa kita menempuh setengah jalan ke arah diagnosis yang

tepat. Keluhan yang dikeluhkan penderita perlu digali lebih lanjut untuk mendapatkan

keterangan lebih terarah pada penyakit sehingga lebih mudah menegakkan serta memberikan

keterangan pada pasien mengenai penyakitnya. Perlu dicatat kelengkapan status yang sering

sudah menjadi baku, seperti: nama, usia, jenis kelamin, pekerjaan, dan anamnesis mengenai

perjalanan penyakitnya.4

Identiras pasien : nama, usia, jenis kelamin, pekerjaan, alamat dsb.

Keluhan utama : mudah lelah sejak 3 minggu

R.penyakit sekarang : pasien merasa mudah lelah sejak 3 minggu terakhir ini, wajahnya

terlihat pucat. Demam, mual, dan muntah disangkal pasien. Begitu juga dengan BAK &

BAB tidak ada keluhan.

R.penyakit dahulu : -

Alergi : -

R.pengobatan : -

Alcohol : -

Merokok : -

R.keluarga : -

R.sosial : -

4

Page 5: PBL Anemia Hemolitik Autoimun

Pada pasien dengan kemungkinan anemia dapat ditanyakan perasaan lelah bersifat akut atau

kronis, artinya baru-baru ini dirasakan atau memang sudah berlangsung cukup lama. Kemudian

ditanyakan adakah riwayat perdarahan, jika ada akut atau kronis. Lalu adakah disfagia, gangguan

neurologis, atau tanda-tanda infeksi. Adakah kelainan pada BAK dan BAB, seperti BAK

berwarna gelap.1

Pemeriksaan fisik

Diawali dengan pemeriksaan keadaan umum pasien apakah baik, tampak sakit ringan

atau sakit berat. Keadaan umum pasien dinilai sejak pasien masuk ruang periksa. Kemudian

periksa tanda-tanda vital (TTV) pasien seperti tekanan darah, suhu, nadi, dan pernapasan. Pada

pasien anemia biasanya didapatkan keadaan umum seperti pucat, akral dingin, berdebar, sesak,

konjungtiva dan mukosa mulut tampak pucat. Setelah itu periksa secara lebih terarah keluhan

utama pasien. Pada pemeriksaan fisik agar tidak ada yang terlewat, dimulai dari kepala hingga

ekstermitas bawah. Pada pemeriksaan fisik didapatkan konjungtiva pasien anemis, sclera ikterik,

dan limpa teraba schufner II. Berikut secara garis besar pemeriksaan fisik yang sistemis :

Kepala dan leher : konjungtiva anemis, sclera ikterik

Thorak : -

Abdomen : limpa teraba schufner II

Ekstremitas : -

Pemeriksaan fisik pada pasien dengan anemia dapat ditemukan letih, lesu, cepat lelah, tinnitus,

mata berkunang, akral dingin, sesak napas, dan dyspepsia. Pada pemeriksaan pasien tampak

pucat, yang mudah dilihat pada konjungtiva, mukosa mulut, telapak tangan dan jaringan dibawah

kuku.1

Pemeriksaan penunjang

Untuk menyingkirkan kemungkinan lain dan untuk memastikan diagnosis yang tepat

dapat dilakukan pemeriksaan penunjang. Tentu saja untuk memastikan bahwa pasien benar-

benar anemia pemeriksaan sederhana untuk mengetauinya yaitu cek darah rutin atau cek darah

lengkap. Dimana dari pemeriksaan darah itu didapatkan parameter anemia yaitu keadaan

hemoglobin, hematokrit, dan hitung eritrosit. Tetapi pemeriksaan darah hanya sejauh mengenai

anemia, belum kepada penyebab yang mendasari terjadinya anemia. Maka dari itu dapat

dilakukan pemeriksaan yang lebih spesifik. Pemeriksaan ini terdiri dari : pemeriksaan penyaring

5

Page 6: PBL Anemia Hemolitik Autoimun

(screening test), pemeriksaan darah seri anemia, pemeriksaan sumsum tulang, dan pemeriksaan

khusus.

Pemeriksaan penyaring : pengukuran kadar hemoglobin, indeks eritrosit dan hapusan

darah tepi. Dari sini dapat dipastikan adanya anemia serta jenis morfologi anemia

tersebut, yang sangat berguna untuk pengarahan diagnosis lebih lanjut.

Pemeriksaan darah seri anemia : meliputi hitung leukosit, trombosit, hitung retikulosit

dan laju endap darah. Sekarang sudah banyak dipakai automatic hematology analyzer

yang dapat memberikan presisi hasil yang lebih baik.

Pemeriksaan sumsum tulang : pemeriksaan ini dibutuhkan untuk diagnosis definitive

pada beberapa jenis anemia. Pemeriksaan sumsum tualng mutlak diperlukan untuk

diagnosis anemia aplastik, anemia megaloblastik, serta pada kelainan hematologic yang

dapat mensupresi system eritroid.

Pemeriksaan khusus hanya dikerjakan atas indikasi khusus, misalnya pada anemia

defisiensi besi yang diperiksa seperti serum iron (SI), total iron binding capacity (TIBC),

saturasi transferin, protoporfirin eritrosit, feritin serum. Anemia megaloblastik yang

diperiksa seperti folat serum, vit B12 serum, tes supresi deoksiuridin dann tes Schiling.

Anemia hemolitik yang diperiksa seperti bilirubin serum, tes Coomb, elektroforesis

hemoglobin.

Juga diperlukan pemeriksaan non-hematologik tertentu seperti permeriksaan faal hati,

faal ginjal atau faal tiroid. Karena kasus pasien lebih mengarah pada anemia hemolitik autoimun

maka pemeriksaan yang dapat meyakinkan ke arah tersebut adalah tes Coomb (Direct

antiglobulin test). Tes Coombs bertujuan untuk mendeteksi adanya antibody tidak lengkap atau

komplemen yang terdapat pada permukaan sel darah merah. Bila sel yang telah diliputi zat anti

tidak lengkap (mengalami sensitisasi) ditambahkan serum Coombs (serum antiglobulin) maka

akan terjadi aglutinasi. Hasil tes Coombs direk positif dijumpai pada Hemolitik Disease of the

Newborn (HDN), anemia hemolitik autoimun, anemia hemolitik imun karena obat dan reaksi

hemolitik pada transfuse darah. Sedangkan uji antiglobulin indirect digunakan sebagai bagian

dari penapisan antibody rutin pada serum resipien sebelum transfusi dan untuk mendeteksi

antibody golongan darah pada wanita hamil.1,3,5

6

Page 7: PBL Anemia Hemolitik Autoimun

Diagnosis kerja

Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang dapat disimpulkan

bahwa pasien yang datang dengan keluhan mudah lelah tersebut menderita anemia hemolitik

autoimun. Anemia hemolitik autoimun (AHA) merupakan suatu kelainan dimana terdapat

autoantibody terhadap eritrosit sendiri sehingga menimbulkan destruksi (hemolisis) eritrosit dan

usia eritrosit memendek. Berdasarkan sifat reaksi antibody, anemia hemolitik autoimun dibagi

dalam 2 golongan, yaitu :

1. AHA tipe panas (Warm AIHA) : reaksi antigen-antibodi terjadi maksimal pada suhu

tubuh (37oC), antibody tersebut biasanya adalah immunoglobulin G (IgG).

2. AHA tipe dingin (Cold AIHA) : reaksi antigen-antibodi terjadi maksimal pada suhu

rendah (4oC), antibody tersebut biasanya adalah immunoglobulin M (IgM).

Jika digabungkan dengan etiologinya, didapatkan klasifikasi sebagai berikut :

1. Tipe panas (warm autoantibody type) autoantibody aktif maksimal pada suhu tubuh (37oC).

a. Idiopatik

b. Sekunder

i. Penyakit limfoproliferatif, seperti leukemia limfositik kronik dan limfoma maligna.

ii. Penyakit kolagen, seperti SLE, dan lain-lain

iii. Penyakit-penyakit lain

iv. Obat (tipe hapten; penisilin; tipe kompleks imun; tipe autoantibody; metildopa)

2. Tipe dingin (cold autoantibody type) autoantibodi aktif pada suhu <37oC

a. Idiopatik

b. Sekunder

i. Penyakit limfoproliferatif

ii. Infeksi : Mycoplasma pneumonia, infectious mononucleosis, EBV, dan lain-lain

iii. Lain-lain

3. Paroxysmal Cold Hemoglobinuria

a. Pada sifilis stadium III

b. Pasca infeksi virus (self limited)

4. Campuran tipe panas dan tipe dingin2

7

Page 8: PBL Anemia Hemolitik Autoimun

Anemia Hemolitik Tipe Hangat

Anemia hemolitik tipe panas sekitar 70%, dimana autoantibody bereaksi secara optimal

pada suhu 37oC. Lebih sering terjadi wanita muda. Kurang lebih 50% pasien AIHA tipe hangat

disertai penyakit lain. Eritrosit biasanya dilapisi oleh IgG saja atau dengan komplemen, dan

karena itu, diambil oleh makrofag RE yang mempunyai reseptor untuk fragmen Fc IgG. Gejala

anemia terjadi perlahan-lahan, ikterik, demam, limpa membesar. Urin berwarna gelap karena

terjadi hemoglobinuri. Ikterik terjadi pada 40%. Gejala tersebut dapat hilang timbul. Temuan lab

yang sering dijumpai adalah Hb < 7 g/dl, tes Coombs positif, bilirubin serum meningkat 2-4

mg/dl dengan bilirubin indirek lebih tinggi daripada bilirubin direk. Diagnosis AHA tipe hangat

dapat ditegakan jika dijumpai 1.) tanda anemia hemolitik didapat (gejala klinik, anemia

normositik normokrom, hemolisis ekstravaskular, kompensasi sumsum tulang) 2.) Tes Coombs

direct positif, hanya sebagian kecil penderita menunjukan hasil negative.1-3

Anemia Hemolitik Tipe Dingin

AHA tipe dingin lebih jarang dijumpai dibandingkan dengan AHA tipe panas. Terjadinya

hemolisis diperantarai antibody dingin yaitu aglutinin dingin dan antibody Donath-Landsteiner.

Kelainan ini secara karakteristik memiliki agglutinin dingin IgM monoclonal, dapat juga

poliklonal pada yang post infeksi. Pada AHA tipe dingin autoantibody IgM mengikat antigen

membrane eritrosit (terutama ‘I antigen’) dan membawa C1q ketika melewati bagian yang

dingin, kemudian terbentuk kompleks penyerang membrane (MAC). Kompleks penyerang ini

menimbulkan kerusakan membran eritrosit apabila terjadi kerusakan membran yang hebat akan

terjadi hemolisis intravascular jika kerusakan minimal terjadi fagositosis oleh makrofag dalam

RES sehingga terjadi hemolisis ekstravaskular.1,2

Diagnosis banding

A. Sferositosis herediter

Kelainan ini adalah anemia hemolitik yang paling sering dijumpai di Eropa Utara

(Skandinavia). Kelainan ini khas.1.) diturunkan secara autosomal dominan dengan ekspresi

bervariasi 2.) dijumpai makrosferosit pada hapusan darah tepi 3.) memberi respon yang baik

terhadap splenektomi. Kelainan dasar sferositosis herediter terletak pada protein structural

membran eritrosit. Timbul karena defek protein yang berfungsi dalam interaksi vertical antara

8

Page 9: PBL Anemia Hemolitik Autoimun

membran skeleton dengan lipid bilayer membrane eritrosit, antara lain karena defek pada

ankyrin, spectrin atau pallidin. Hal ini mengakibatkan membran eritrosit menjadi longgar

sehingga eritrosit berubah bentuk dari bikonkaf menjadi sferis. Perubahan bentuk menjadi bulat

dan rigid (deformabilitas) menyebabkan kerusakan membrane eritrosit saat melewati kapiler

yang berdiameter kecil pada lien. Eritrosit dengan defek membran ini akan dikenal dan kemudian

difagosit oleh makrofag, sehingga terjadilah hemolisis ekstravaskular yang kronis. Gambaran

klinik berupa anemia dari bayi hingga tua. Dijumpai ikterus yang berfluktuasi. Splenomegali

hampir selalu dijumpai. Pada sebagian besar penderita dijumpai batu empedu.1,2

B. Anemia defisiensi G6PD

Pada sel eritrosit terjadi metabolism glukosa untuk menghasilkan energy (ATP), yang

digunakan untuk kerja pompa ionic dalam rangka mempertahankan milieu ionic yang cocok bagi

eritrosit. Pembentukan ATP tersebut melalui proses glikolisis Emden Meyerhof yang melibatkan

sejumlah enzim seperti glukosa fosfat isomerase dan piruvat kinase. Glukosa mengalami

metabolisme dalam eritrosit melalui jalur heksosa monofosfat dengan bantuan enzim glukosa 6

fosfat dehidrogenase (G6PD) untuk menghasilkan glutation yang penting untuk melindungi

hemoglobin dan membran eritrosit dari oksidan. Defisiensi enzim tersebut dapat mempermudah

dan mempercepat hemolisis. Kejadian defisiensi enzim G6PD lebih sering terjadi pada pria

karena enzim ini dikode oleh gen yang terletak di kromosom X. Ketika hemolisis akut Ht turun

dengan cepat diiringi oleh peningkatan hemoglobin dan bilirubin indirek dan penurunan

haptoglobin. Hemoglobin mengalami oksidasi dan membentuk Heinz Bodies. Diagnosis

defisiensi G6PD dipikirkan jika ada episode akut pada laki-laki keturunan Afrika dan

Mediterania. Pada anamnesis perlu ditanyakan tentang kemungkinan terpajan dengan zat-zat

oksidan. Gambaran lab normal, hanya aktivitas enzim G6PD menurun, dapat ditemukan tanda-

tanda hemolisis intravascular.1,2

C. Thalasemia

Suatu sindrom yang ditandai oleh penurunan kecepatan sintesis atau absennya

pembentukan satu atau lebih rantai globin sehingga mengurangi sintesis hemoglobin normal.

Sebagai akibatnya timbul ketidakseimbangan sintesis suatu rantai, salah satu rantai disintesis

berlebihan sehingga mengalami presipitasi, membentuk Heinz bodies dan eritrosit mengalami

9

Page 10: PBL Anemia Hemolitik Autoimun

hemolisis intrameduler sehingga terjadi eritropoiesis inefektif yang disertai pemendekan usia

eritrosit. Sering diikuti kompensasi pembentukan rantai globin lain sehingga membentuk

konfigurasi lain. Misalnya, pada thalasemia beta, rantai beta tidak terbentuk. Sehingga rantai alfa

mengalami ekses yang mengakibatkan presipitasi rantai ini. Untuk mengurangi ekses rantai alfa

maka dibentuk rantai gama yang mengikat rantai alfa berlebihan sehingga terjadi konfigurasi

baru sebagai HbF. Dimana sifat HbF memiliki afinitas yang tinggi sehingga sulit melepaskan

oksigen dan jaringan menjadi hipoksia. Penderita umumnya mengalami hepatosplenomegali,

menunjukan anemia mikrositik hipokrom, facies cooley (facies thalasemia), pucat, gangguan

pertumbuhan tulang, bisa ikterik atau tidak.1,2

Etiologi

Etiologi pasti dari penyakit autoimun belum jelas atau idiopatik, kemungkinan terjadi

karena gangguan central tolenrance, dan gangguan pada proses limfosit autoreaktif residual.

Secara garis besar AHA tipe hangat penyebabnya dapat dibagi menjadi 2 golongan yaitu

idiopatik ( dari 50% kasus AHA), dan sekunder akibat penyakit kronis seperti SLE, multiple

myeloma, limfoma dan setelah menggunakan obat metildopa. Sedangkan penyebab AHA tipe

dingin dapat digolongkan menjadi idiopatik, sekunder yaitu akibat penyakit kronis seperti infeksi

bakteri atau virus dan juga paroxysmal cold hemoglobinuri (PCH).1,2

Patofisiologi

Karena sebab yang belum diketahui, mungkin akibat gangguan regulasi imun, terbentuk

antibody terhadap eritrosit sendiri (autoantibody). Eritrosit yang diselimuti antibody ini (sering

disertai komplemen, terutama C3b) akan mudah difagosit oleh makrofag terutama pada lien dan

juga hati oleh adanya reseptor Fc dari antibody. Hemolisis terjadi terutama dalam bentuk

ekstravaskular yang akan menimbulkan anemia dan ikterus hemolitik. Pada AHA tipe dingin

juga terbentuk krioglobulin.2

Gambaran klinis

Gambaran klinis dibagi menjadi gejala anemia umum, gejala khas masing-masing

anemia, dan gejala penyakit dasar. Gejala anemia umum seperti pucat, lelah, tinnitus, mata

berkunang-kunang, kaki terasa dingin, sesak nafas, dan bisa ada jari tabuh jika sudah hipoksia

10

Page 11: PBL Anemia Hemolitik Autoimun

berat. Lalu gejala khas pada masing-masing anemia berbeda. Pada anemia hemolitik dapat

ditemukan ikterus, splenomegali, dan hepatomegali. Sedangkan gejala penyakit dasar sangat

bervariasi tergantung dari penyebab anemia tersebut.1

Epidemiologi

Anemia merupakan kelainan yang sangat sering dijumpai baik diklinik maupun di

lapangan. Di klinik, khususnya penyakit dalam, anemia hemolitik yang paling banyak dijumpai

adalah anemia hemolitik autoimun. Diperkirakan lebih dari 30% penduduk dunia atau 1500 juta

orang menderita anemia dengan sebagian besar tinggal di daerah tropic. Untuk Indonesia anak

prasekolah 30%, wanita dewasa 25%, ibu hamil 70%, pria dewasa 30%, pekerja 30%.1,2

Penatalaksanaan

Terapi inisial dengan menggunakan prednisone 1-2mg/kg BB/hari dalam dosis terbagi.

Jika terjadi anemia yang mengancam jiwa dapat dilakukan transfuse darah dengan hati-hati. Bila

ada respon baik terhadap steroid, dosis diturunkan tiap minggu sampai mencapai dosis 10-

20mg/hari. Tetapi jika tidak respon terhadap steroid, maka dianjurkan untuk dilakukan

splenektomi. Apabila keduanya tidak menolong, maka dilakukan terapi menggunakan obat

imunosupresan seperti azatioprin 50-200mg/hari atau siklofosfamid 50-150mg/hari.

Immunoglobulin dosis tinggi intravena 500mg/kg BB/hari selama 1-4 hari mungkin mempunyai

efektivitas tinggi dalam mengontrol hemolisis. Namun efeknya hanya sebentar 1-3 minggu dan

sangat mahal harganya.1,6

Pencegahan

Tidak ada tindakan untuk melakukan pencegahan dalam kasus anemia autoimun, sebab

penyakit autoimun saja sulit untuk dicari penyebabnya dan tubuh sendiri yang membentuk

antibody terhadap eritrosit. Tetapi untuk kasus teretntu seperti anemia defisiensi besi, asam folat,

vit B12 dapat dicegah dengan mengonsumsi zat-zat tersebut dengan cukup agar tidak terjadi

defisiensi. Pada beberapa kasus anemia hemolitik autoimun (AHA) ada yang disebabkan oleh

penggunaan obat seperti metildopa maka dari itu untuk pencegahan dapat hindari obat tersebut.

Ada juga AHA tipe dingin akibat infeksi maka dari itu hindari infeksi dengan menjaga kesehatan

tubuh, dan juga hindari suhu dingin sebab AHA tipe dingin bisa dipicu oleh suhu dingin.1,2

11

Page 12: PBL Anemia Hemolitik Autoimun

Komplikasi

Komplikasi dapat dari ringan hingga berat dan bahkan kematian. Dapat berupa hipoksia

jaringan, gangguan neurologis, infark miokard, gagal jantung, gagal ginjal. Semua itu terjadi

didasarkan akibat eritrosit yang hancur sehingga fungsi eritrosit sebagai pembawa oksigen

hilang. Maka dari itu jaringan dan organ tidak mendapat oksigen, yang lebih berbahaya jika otak

tidak mendapat oksigen dapat menyebabkan serangan stroke dsb. Bahkan komplikasi yang

sangat berbahaya yaitu hingga menimbulkan kematian.1

Prognosis

Prognosis jangka panjang pada pasien penyakit ini adalah baik. Splenektomi sering dapat

mengontrol penyakit ini atau paling tidak memperbaikinya. Hanya sebagian kecil pasien yang

mengalami penyembuhan komplit dan sebagian besar memiliki perjalanan penyakit yang

berlangsung kronis, namun terkendali. Survival 10 tahun berkisar 70%. Mortalitas selama 5-10

tahun sebesar 15-25%. Prognosis pada anemia hemolitik autoimun sekunder tergantung penyakit

yang mendasari.1

III. Kesimpulan

Anemia merupakan kelainan yang sering dijumpai. Untuk penelitian lapangan umumnya

dipakai criteria anemia menurut WHO, sedangkan untuk keperluan klinis dipakai kriterai Hb <

10 g/dl atau hematokrit < 30%. Anemia dapat diklasifikasi menurut etipatogenesisnya ataupun

berdasarkan morfologi eritrosit. Dalam pemeriksaan anemia diperlukan pemeriksaan klinis dan

pemeriksaan labratorium yang terdiri dari pemeriksaan penyaring, seri anemia, pemeriksaan

sumsum tulang. Anemia hanyalah suatu kumpulan gejala maka dari itu harus dicari penyebab

pastinya dan atasi penyebab tersebut.

12

Page 13: PBL Anemia Hemolitik Autoimun

Daftar pustaka :

1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Setiati S, Simadibrata KM, Parjono E. Buku ajar ilmu

penyakit dalam. Jakarta : Interna Publishing; 2009.h.1105-1164

2. Bakta IM. Hematologi klinik ringkas. Jakarta : EGC; 2012.h.50-96

3. Moss PAH, Pettit JE, Hoffbrand AV. Kapita selekta hematologi. Edisi 4. Jakarta :EGC;

2005.h.51-63

4. Thomas J, Monaghan T. Buku saku oxford pemeriksaan fisik & keterampilan praktis.

Jakarta: EGC; 2012

5. Sudiono H, Iskandar I, Edward H, Halim SL, Santoso R. Penuntun patologi klinik

hematologi. Jakarta : Biro Publikasi FK UKRIDA; 2009

6. Mansjoer A, Triyanti K, Savitri R, Wardani WI, Setiowulan W. Kapita selekta

kedokteran. Edisi 3. Jilid 1. Jakarta: Media Aesculapius. 2008.h.553

13