seorlogi penyakit autoimun miastenia gravis

23
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Miastenia gravis adalah salah satu karakteristik penyakit autoimun pada manusia. Selama beberapa dekade terakhir telah dilakukan penelitian tentang gejala miastenia gravis yang diimunisasi dengan acetylcholine receptor (AchR) pada kelinci. Sedangkan pada manusia yang menderita miastenia gravis, ditemukan kelainan pada neuromuscular junction akibat defisiensi dari acetylcholine receptor (AchR). Pada hampir 90% penderita miastenia gravis, transfer pasif IgG pada beberapa bentuk penyakit dari manusia ke tikus yang diperantarai demonstrasi tentang sirkulasi antibodi AchR, sehingga lokalisasi imun kompleks (IgG dan komplemen) pada membran post sinaptik dari plasmaparesis. Kelainan miastenik yang terjadi secara genetik atau kongenital, dapat terjadi karena berbagai faktor. Salah satu diantaranya adalah kelainan pada transmisi neuromuskular yang berbeda dari miastenia gravis yaitu The Lambert-Eaton Myasthenic Syndrome ternyata juga merupakan kelainan yang berbasis autoimun. Pada sindrom ini, zona partikel aktif dari membran presinaptik merupakan target dari autoantibodi yang patogen baik 1

Upload: adeazizazalika

Post on 09-Jul-2016

23 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Penyakit autoimun

TRANSCRIPT

Page 1: seorlogi penyakit autoimun miastenia gravis

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Miastenia gravis adalah salah satu karakteristik penyakit autoimun pada

manusia. Selama beberapa dekade terakhir telah dilakukan penelitian tentang

gejala miastenia gravis yang diimunisasi dengan acetylcholine receptor (AchR)

pada kelinci. Sedangkan pada manusia yang menderita miastenia gravis,

ditemukan kelainan pada neuromuscular junction akibat defisiensi dari

acetylcholine receptor (AchR). Pada hampir 90% penderita miastenia gravis,

transfer pasif IgG pada beberapa bentuk penyakit dari manusia ke tikus yang

diperantarai demonstrasi tentang sirkulasi antibodi AchR, sehingga lokalisasi

imun kompleks (IgG dan komplemen) pada membran post sinaptik dari

plasmaparesis.

Kelainan miastenik yang terjadi secara genetik atau kongenital, dapat

terjadi karena berbagai faktor. Salah satu diantaranya adalah kelainan pada

transmisi neuromuskular yang berbeda dari miastenia gravis yaitu The Lambert-

Eaton Myasthenic Syndrome ternyata juga merupakan kelainan yang berbasis

autoimun. Pada sindrom ini, zona partikel aktif dari membran presinaptik

merupakan target dari autoantibodi yang patogen baik secara langsung

maupun tidak langsung. Sehingga tidak dapat diragukan bahwa terapi

imunomodulasi dan imunosupresif dapat memberikan prognosis yang baik

pada penyakit ini.

Walaupun terdapat banyak penelitian tentang terapi miastenia gravis

yang berbeda-beda. Akan tetapi, beberapa dari terapi ini justru diperkenalkan

saat pengetahuan dan pengertian tentang imunopatogenesis masih sangat

kurang.

1

Page 2: seorlogi penyakit autoimun miastenia gravis

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa itu penyakit Miastenia Gravis?

2. Bagaimana epidemiologi dari penyakit Miastenia Gravis?

3. Bagimana manifestasi dari penyakit Miastenia Gravis?

4. Bagaimana patofisiologi dari penyakit Miastenia Gravis?

5. Bagaimana penanganan atau pengobatan untuk penyakit Miastenia Gravis?

1.3. Tujuan / Manfaat

1. Untuk menambah pengetahuan dan lebih mendalami mengenai penyakit

Miastenia Gravis.

2. Untuk mengetahui bagaimana epidemiologi penyakit Miastenia Gravis.

3. Untuk mengetahui bagaimana manifestasi dari penyakit Miastenia Gravis.

4. Untuk mengetahui bagaimana patofisiologi dari penyakit Miastenia Gravis.

5. Untuk mengetahui dan mempelajari bagaimana pengobatan atau

penanganan dari penyakit Miastenia Gravis.

2

Page 3: seorlogi penyakit autoimun miastenia gravis

BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Definisi

Miastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh

suatu kelemahan abnormal dan progresif pada otot rangka yang

dipergunakan secara terus-menerus dan disertai dengan kelelahan saat

beraktivitas. Penyakit ini timbul karena adanya gangguan dari synaptic

transmission atau pada neuromuscular junction. Dimana bila penderita

beristirahat, maka tidak lama kemudian kekuatan otot akan pulih kembali.

Klasifikasi Miastenia Gravis :

Menurut Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA), miastenia gravis

dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

a. Kelas I

Adanya kelemahan otot-otot okular, kelemahan pada saat menutup mata, dan

kekuatan otot-otot lain normal.

b. Kelas II

Terdapat kelemahan otot okular yang semakin parah, serta adanya kelemahan

ringan pada otot-otot lain selain otot okular.

Kelas IIa

Mempengaruhi otot-otot aksial, anggota tubuh, atau keduanya. Juga terdapat

kelemahan otot-otot orofaringeal yang ringan.

Kelas IIb

Mempengaruhi otot-otot orofaringeal, otot pernapasan atau keduanya.

Kelemahan pada otot-otot anggota tubuh dan otot-otot aksial lebih ringan

dibandingkan klas IIa.

3

Page 4: seorlogi penyakit autoimun miastenia gravis

c. Kelas III

Terdapat kelemahan yang berat pada otot-otot okular. Sedangkan otot-otot lain

selain otot-otot ocular mengalami kelemahan tingkat sedang.

Kelas IIIa

Mempengaruhi otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya secara

predominan. Terdapat kelemahan otot orofaringeal yang ringan.

Kelas IIIb

Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan, atau keduanya secara

predominan. Terdapat kelemahan otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial,

atau keduanya dalam derajat ringan.

d. Kelas IV

Otot-otot lain selain otot-otot okular mengalami kelemahan dalam derajat

yang berat, sedangkan otot-otot okular mengalami kelemahan dalam berbagai

derajat.

Kelas IVa

Secara predominan mempengaruhi otot-otot anggota tubuh dan atau otot-otot

aksial. Otot orofaringeal mengalami kelemahan dalam derajat ringan.

Kelas IVb

Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan atau keduanya secara

predominan. Selain itu juga terdapat kelemahan pada otot-otot anggota tubuh,

otot-otot aksial, atau keduanya dengan derajat ringan. Penderita menggunakan

feeding tube tanpa dilakukan inkubasi.

e. Kelas V

Penderita terinkubasi, dengan atau tanpa ventilasi mekanik.

4

Page 5: seorlogi penyakit autoimun miastenia gravis

Miastenia gravis juga dapat dikelompokkan secara lebih sederhana seperti

dibawah ini :

a. Miastenia gravis dengan ptosis atau diplopia ringan.

b. Miastenia gravis dengan ptosis, diplopi, dan kelemahan otot-otot untuk untuk

mengunyah, menelan, dan berbicara. Otot-otot anggota tubuhpun dapat ikut

menjadi lemah. Pernapasan tidak terganggu.

c. Miastenia Gravis yang berlangsung secara cepat dengan kelemahan otot-otot

okulobulbar. Pernapasan tidak terganggu. Penderita dapat meninggal dunia.

2.2. Epidemiologi Penyakit

Miastenia gravis merupakan penyakit yang jarang ditemui. Angka

kejadiannya 20 dalam 100.000 populasi. Biasanya penyakit ini lebih sering

tampak pada umur diatas 50 tahun. Wanita lebih sering menderita penyakit ini

dibandingkan pria dan dapat terjadi pada berbagai usia. Pada wanita, penyakit ini

tampak pada usia yang lebih muda, yaitu sekitar 28 tahun, sedangkan pada pria,

penyakit ini sering terjadi pada usia 60 tahun.

2.3. Manifestasi Penyakit

Gambaran klinisnya bervariasi, di antaranya :

Kelemahan otot proksimal simetris dengan rasa lelah pada saat bekerja.

Keterlibatan ekstraokular yang menonjol, menyebabkan diplopia dan

ptosis. Kelemahan tungkai yang signifikan tanpa keterlibatan mata jarang

terjadi. Sebaliknya, miastenia gravis yang terbatas pada mata saja

(miastenia ocular) merupakan kondisi yang berdiri sendiri dimana pasien

mungkin tidak memiliki antibody terhadap reseptor asetilkolin dan

perjalanan penyakitnya lebih jinak.

Keterlibatan batang otak dengan disfagia, dan resiko terjadi aspirasi.

5

Page 6: seorlogi penyakit autoimun miastenia gravis

Kritis miastenia dengan kelemahan neuromuscular yang memburuk

dengan cepat, menyebabkan kegawatan pernapasan.

Berhubungan dengan timoma pada pasien yang lebih tua, dan hyperplasia

timus pada pasien berusia lebih muda.

Terapinya adalah dengan terapi imunomodulasi (kortikosteroid, azatioprin,

pertukaran plasma), timektomi dan obat yang memperpanjang kerja asetilkolin

pada hubungan neuromuscular. (Glance, 2006).

2.4 Patofisiologi Penyakit

Dalam kasus Myasthenia Gravis terjadi penurunan jumlah Acetyl Choline

Receptor (AChR). Kondisi ini mengakibakan Acetyl Choline (ACh) yang tetap

dilepaskan dalam jumlah normal tidak dapat mengantarkan potensial aksi menuju

membran post-synaptic. Kekurangan reseptor dan kehadiran ACh yang tetap pada

jumlah normal akan mengakibatkan penurunan jumlah serabut saraf yang

diaktifkan oleh impuls tertentu, inilah yang kemudian menyebabkan rasa sakit

pada pasien.

Pengurangan jumlah AChR ini dipercaya disebabkan karena proses auto-

immun di dalam tubuh yang memproduksi anti-AChR bodies, yang dapat

memblok AChR dan merusak membran post-synaptic. Menurut Shah pada tahun

2006, anti-AChR bodiesditemukan pada 80%-90% pasien Myasthenia Gravis.

Percobaan lainnya, yaitu penyuntikan mencit dengan Immunoglobulin G

(IgG) dari pasien penderita Myasthenia Gravis dapat mengakibatkan gejala-

gejala Myasthenic pada mencit tersebut, ini menujukkan bahwa faktor

immunologis memainkan peranan penting dalam etiology penyakit ini.

Alasan mengapa pada penderita Myasthenia Gravis, tubuh menjadi

kehilangan toleransi terhadap AChR sampai saat ini masih belum diketahui.

Sampai saat ini, Myasthenia Gravis dianggap sebagai penyakit yang disebabkan

oleh sel B, karena sel B lah yang memproduksi anti-AChR bodies. Namun,

penemuan baru menunjukkan bahwa sel T yang diproduksi oleh Thymus,

6

Page 7: seorlogi penyakit autoimun miastenia gravis

memiliki peranan penting pada patofisiologis penyakit Myasthenia Gravis. Hal ini

ditunjukkan dengan banyaknya penderita Myasthenic mengalami

hiperplasia thymic dan thymoma.

Observasi klinik yang mendukung hal ini mencakup timbulnya kelainan

autoimun yang terkait dengan pasien yang

menderita miastenia gravis, misalnya autoimun

tiroiditis, sistemik lupus eritematosus, arthritis

rheumatoid, dan lain-lain. Sehingga mekanisme

imunogenik memegang peranan yang sangat

penting pada patofisiologi miastenia gravis.

Hal inilah yang memegang peranan penting pada

melemahnya otot penderita dengan miatenia

gravis.

Sejak tahun 1960, telah didemonstrasikan bagaimana autoantibodi pada

serum penderita miastenia gravis secara langsung melawan konstituen pada otot.

Tidak diragukan lagi, bahwa antibody pada reseptor nikotinik asetilkolin

merupakan penyebab utama kelemahan otot pasien dengan miastenia gravis.

Autoantibodi terhadap asetilkolin reseptor (anti-AChRs), telah dideteksi pada

serum 90% pasien yang menderita acquired myasthenia gravis generalisata.

Miastenia gravis dapat dikatakan sebagai “penyakit terkait sel B”,

dimana antibodi yang merup akan produk dari sel B justru melawan reseptor

asetilkolin. Peranan sel T pada pathogenesis miastenia gravis mulai semakin

menonjol. Walaupun mekanisme pasti tentang hilangnya toleransi imunologik

terhadap reseptor asetilkolin pada penderita miastenia gravis belum

sepenuhnya dapat dimengerti. Timus merupakan organ sentral terhadap

imunitas yang terkait dengan sel T, dimana abnormalitas pada timus seperti

hyperplasia timus atau timoma, biasanya muncul lebih awal pada pasien dengan

gejala miastenik.

Subunit alfa juga merupakan binding site dari asetilkolin. Sehingga

pada pasien miastenia gravis, antibodi IgG dikomposisikan dalam berbagai

7

Page 8: seorlogi penyakit autoimun miastenia gravis

subklas yang berbeda, dimana satu antibodi secara langsung melawan area

imunogenik utama pada subunit alfa. Ikatan antibodireseptor asetilkolin pada

reseptor asetilkolin akan mengakibatkan terhalangnya transmisi neuromuskular

melalui beberapa cara, antara lain : ikatan silang reseptor asetilkolin

terhadap antibodi anti-reseptor asetilkolin dan mengurangi jumlah reseptor

asetilkolin pada neuromuscular junction dengan cara menghancurkan sambungan

ikatan pada membrane post sinaptik, sehingga mengurangi area permukaan

yang dapat digunakan untuk insersi reseptor-reseptor asetilkolin yang baru

disintesis (Gambar 2).

2.5. Penatalaksanaan / Terapi / Pengobatan

PENATALAKSANAAN

Mastenia gravis merupakan kelainan neurologik yang paling

dapat diobati. Antikolinesterase (asetilkolinesterase inhibitor) dan terapi

imunomudulasi merupakan penatalaksanaan utama pada miastenia gravis.

Antikolinesterase biasanya digunakan pada miastenia gravis yang ringan.

Sedangkan pada pasien dengan miastenia gravis generalisata, perlu dilakukan

terapi imunomudulasi yang rutin. Penatalaksanaan miastenia gravis dapat

dilakukan dengan obat-obatan, timomektomi ataupun dengan

imunomodulasi dan imunosupresif terapi yang dapat memberikan prognosis

yang baik pada kesembuhan miastenia gravis (Gambar5).

8

Page 9: seorlogi penyakit autoimun miastenia gravis

TERAPI

Terapi pemberian antibiotic yang dikombainasikan dengan imunosupresi

dan imunomodulasi yang ditunjang dengan penunjang ventilasi, mampu

menghambat terjadinya mortalitas dan menurunkan morbiditas. Pengobatan ini

dapat digolongkan menjadi terapi yang dapat memulihkan kekuatan otot

secara cepat dan tepat yang memiliki onset lebih lambat tetapi memiliki

efek yang lebih lama sehingga dapat mencegah terjadinya kekambuhan.

Plasma Exchange (PE)

PE paling efektif digunakan pada situasi dimana terapi jangka pendek

yang menguntungkan menjadi prioritas. Dasar terapi dengan PE adalah

pemindahan anti-asetilkolin secara efektif. Respon dari terapi ini adalah

menurunnya titer antibodi. Dimana pasien yang mendapat tindakan berupa

9

Page 10: seorlogi penyakit autoimun miastenia gravis

hospitalisasi dan intubasi dalam waktu yang lama serta trakeostomi,

dapat diminimalisasikan karena efek dramatis dari PE.

Terapi ini digunakan pada pasien yang akan memasuki atau sedang

mengalami masa krisis. PE dapat memaksimalkan tenaga pasien yang akan

menjalani timektomi atau pasien yang kesulitan menjalani periode pasca

operasi.

Belum ada regimen standar untuk terapi ini, tetapi banyak pusat kesehatan

yang mengganti sekitar satu volume plasma tiap kali terapi untuk 5 atau 6

kali terapi setiap hari.Albumin (5%) dengan larutan salin yang

disuplementasikan dengan kalsium dan natrium dapat digunakan untuk

replacement. Efek PE akan muncul pada 24 jam pertama dan dapat bertahan

hingga lebih dari 10 minggu.

Efek samping utama dari terapi PE adalah terjadi retensi kalsium,

magnesium, dan natriumyang dapat menimbulkan terjadinya hipotensi. Ini

diakibatkan terjadinya pergeseran cairan selama pertukaran berlangsung.

Trombositopenia dan perubahan pada berbagai factor pembekuan darah

dapat terjadi pada terapi PE berulang. Tetapi hal itu bukan merupakan suatu

keadaan yang dapat dihubungkan dengan terjadinya perdarahan, dan pemberian

fresh-frozen plasma tidak diperlukan.

Intravena Immunoglobulin (IVIG)

Mekanisme kerja dari IVIG belum diketahui secara pasti, tetapi IVIG

diperkirakan mampu memodulasi respon imun. Reduksi dari titer antibody

tidak dapat dibuktikan secara klinis, karena pada sebagian besar pasien tidak

terdapat penurunan dari titer antibodi. Produk tertentu dimana 99% merupakan

IgG adalah complement-activating aggregates yang relative aman untuk diberikan

secara intravena. Efek dari terapi dengan IVIG dapat muncul sekitar 3-4 hari

setelah memulai terapi.

Tetapi berdasarkan pengalaman dan beberapa data, tidak terdapa t respon

yang sama antara terapi PE dengan IVIG, sehingga banyak pusat kesehatan

10

Page 11: seorlogi penyakit autoimun miastenia gravis

yang tidak menggunakan IVIG sebagai terapi awal untuk pasien dalam

kondisi krisis. Sehingga IVIG diindikasikan pada pasien yang juga

menggunakan terapi PE, karena kedua terapi ini memiliki onset yang cepat

dengan durasi yang hanya beberapa minggu.

Dosis standar IVIG adalah 400 mg/kgbb/hari pada 5 hari

pertama, dilanjutkan 1 gram/kgbb/hari selama 2 hari. IVIG dilaporkan

memiliki keuntungan klinis berupa penurunan level anti-asetilkolin reseptor

yang dimulai sejak 10 hingga 15 hari sejak dilakukan pemasangan infus.

Efek samping dari terapi dengan menggunakan IVIG adalah flulike

symdrome seperti demam, menggigil, mual, muntah, sakit kepala, dan malaise

dapat terjadi pada 24 jam pertama. Nyeri kepala yang hebat, serta rasa mual

selama pemasangan infus, sehingga tetesan infus menjadi lebih lambat.

Intravena Metilprednisolone (IVMp)

IVMp diberikan dengan dosis 2 gram dalam waktu 12 jam. Bila

tidak ada respon, maka pemberian dapat diulangi 5 hari kemudian. Jika

respon masih juga tidak ada, maka pemberian dapat diulangi 5 hari kemudian.

Sekitar 10 dari 15 pasien menunjukkan respon terhadap IVMp pada terapi kedua,

sedangkan 2 pasien lainnya menunjukkan respon pada terapi ketiga. Efek

maksimal tercapai dalam waktu sekitar 1 minggu setelah terapi. Penggunaan

IVMp pada keadaan krisisakan dipertimbangkan apabila terpai lain gagal atau

tidak dapat digunakan.

Kortikosteroid

Kortikosteroid adalah terapi yang paling lama digunakan dan

paling murah untuk pengobatan miastenia gravis. Kortikosteroid memiliki efek

yang kompleks terhadap system imun dan efek terapi yang pasti terhadap

miastenia gravis masih belum diketahui. Durasi kerja kortikosteroid dapat

berlangsung hingga 18 bulan, dengan rata-rata selama 3 bulan. Dimana respon

terhadap pengobatan kortikosteroid akan mulai tampak dalam waktu 2-3 minggu

setelah inisiasi terapi.

11

Page 12: seorlogi penyakit autoimun miastenia gravis

Pasien yang berespon terhadap kortikosteroid akan mengalami penurunan dari

titer antibodinya. Karena kortikosteroid diperkirakan memiliki efek pada

aktivasi sel T helper dan pada fase proliferasi dari sel B. Sel t serta

antigen-presenting cell yang teraktivasi diperkirakan memiliki peran yang

menguntungkan dalam memposisikan kortikosteroid di tempat kelainan imun

pada miastenia gravis.

Kortikosteroid diindikasikan pada penderita dengan gejala klinis yang

sangat menggangu, yang tidak dapat di kontrol dengan antikolinesterase.

Dosis maksimal penggunaan kortikosteroid adalah 60 mg/hari kemudian

dilakukan tapering pada pemberiannya. Pada penggunaan dengan dosis diatas

30 mg setiap harinya, maka timbul efek samping berupa osteoporosis,

diabetes, dan komplikasi obesitas serta hipertensi.

Azathioprine

Azathioprine dapat dikonversi menjadi merkaptopurin, suatu analog

dari purin yang memiliki efek terhadap penghambatan sintesis

nukleotida pada DNA dan RNA. Azathioprine merupakan obat yang

secara relatif dapat ditoleransi dengan baik oleh tubuh dan secara umum

memiliki efek samping yang lebih sedikit dibandingkan dengan obat

imunosupresif lainnya. Azathioprine biasanya digunakan pada pasien miastenia

gravis yang secara relatif terkontrol tetapi menggunakan kortikosteroid dengan

dosis tinggi.

Azathioprine diberikan secara oral dengan dosis pemeliharaan 2-3

mg/kgbb/hari.Pasien diberikan dosis awal sebesar 25-50 mg/hari hingga dosis

optimal tercapai.

Respon Azathioprine sangat lambat, dengan respon maksimal

didapatkan dalam 12-36 bulan. Kekambuhan dilaporkan terjadi pada sekitar

50% kasus, kecuali penggunaannya juga dikombinasikan dengan obat

imunomodulasi yang lain.

12

Page 13: seorlogi penyakit autoimun miastenia gravis

Cyclosporine

Respon terhadap Cyclosporine lebih cepat dibandingkan

azathio prine. Dosis awal pemberian Cyclosporine sekitar 5 mg/kgbb/hari

terbagi dalam dua atau tiga dosis. Cyclosporine berpengaruh pada

produksi dan pelepasan interleukin-2 dari sel T-helper. Supresi terhadap

aktivasi sel T-helper, menimbulkan efek pada produksi antibodi.

Cyclosporine dapat menimbulkan efek samping berupa nefrotoksisitas

dan hipertensi.

Cyclophosphamide (CPM)

Secara teori CPM memiliki efek langsung terhadap produksi antibodi

dibandingkan obat lainnya. CPM adalah suatu alkilating agent yang berefek pada

proliferasi sel B, dan secara tidak langsung dapat menekan sintesis imunoglobulin.

Timektomi (Surgical Care)

Telah banyak dilakukan penelitian tentang hubungan antara kelenjar timus

dengan kejadian miastenia gravis. Germinal center hiperplasia timus dianggap

sebagai penyebab yang 16 mungkin bertanggungjawab terhadap kejadian

miastenia gravis . Banyak ahli saraf memiliki pengalaman meyakinkan

bahwa timektomi memiliki peranan yang penting untuk terapi miastenia gravis,

walaupun kentungannya bervariasi, sulit untuk dijelaskan dan masih tidak dapat

dibuktikan oleh standar yang seksama.

Timektomi telah digunakan untuk mengobati pasien dengan miastenia

gravis sejak tahun 1940 dan untuk pengobatan timoma denga atau tanpa

miastenia gravis sejak awal tahun 1900. Tujuan utama dari timektomi ini

adalah tercapainya perbaikan signifikan dari kelemahan pasien, mengurangi

dosis obat yang harus dikonsumsi pasien, dimana beberapa ahli percaya

besarnya angka remisi setelah pembedahan adalah antara 20-40% tergantung

dari jenis timektomi yang dilakukan. Ahli lainnya percaya bahwa remisi

yang tergantung dari semakin banyaknya prosedur ekstensif adalah antara 40-

60% pada lima hingga sepuluh tahun setelah pembedahan adalah kesembuhan

13

Page 14: seorlogi penyakit autoimun miastenia gravis

yang permanen dari pasien. Secara umum, kebanyakan pasien mulai

mengalami perbaikan dalam waktu satu tahun setelah timektomi dan tidak

sedikit yang menunjukkan remisi yang permanen (tidak ada lagi kelemahan

serta obat-obatan).

PENGOBATAN

Memberi obat-obatan yang bisa menekan reaksi autoimun atau antibodi

yang menyerang acetylcholine.

Cuci darah atau hemodialisis, dengan menyaring antibodi dan

membuatnya tidak aktif lagi.

Pada penderita thymoma, maka tumor pada kelenjar thymus harus

dioperasi.

Obat yang dapat meningkatkan jumlah asetilkolin dipakai untuk

melakukan pengujian guna memperkuat diagnosis. Yang paling sering

digunakan untuk pengujian adalah edrofonium. Jika obat ini disuntikkan

intravena, maka untuk sementara waktu akan memperbaiki kekuatan otot

pada penderita miastenia gravis.

14

Page 15: seorlogi penyakit autoimun miastenia gravis

BAB III

PENUTUP

A. Simpulan

Miastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh

suatu kelemahan abnormal dan progresif pada otot rangka yang

dipergunakan secara terus-menerus dan disertai dengan kelelahan saat

beraktivitas. Walaupun terdapat banyak penelitian tentang terapi miastenia

gravis yang berbeda-beda, tetapi tidak dapat diragukan bahwa terapi

imunomodulasi dan imunosupresif dapat memberikan prognosis yang baik

pada penyakit ini.

Pada pasien miastenia gravis, antibodi IgG dikomposisikan dalam

berbagai subklas yang berbeda, dimana satu antibodi secara langsung melawan

area imunogenik utama pada subunit alfa.Subunit alfa juga merupakan binding

sitedari asetilkolin. Ikatan antibody reseptor asetilkolin pada reseptor

asetilkolin akan mengakibatkan terhalangnya transmisi neuromuscular.

Miastenia gravis biasanya selalu disertai dengan adanya kelemahan pada otot

wajah. Kelemahan otot wajah bilateral akan menyebabkan timbulnya ptosis

dan senyum yang horizontal.

B. Saran

Dengan ditulisnya makalah yang menjelaskan mengenai penyakit

autoimun Miastenia Gravis, diharapkan semoga kita semua baik penulis dan

pembaca bisa benar-benar mengetahui, menerapkan serta bisa mendapatkan

informasi lebih banyak lagi mengenai penjelasan serta penatalaksaanan dan

pengobatan dari penyakit Miastenia Gravis.

15

Page 16: seorlogi penyakit autoimun miastenia gravis

DAFTAR PUSTAKA

Davey, Patrick. 2003. Medicine at a Glance. Jakarta : Erlangga.

https://allergycliniconline.com/2012/03/17/penyakit-autoimun-miastenia-gravis-

manifestasi-klinis-dan-pengobatan/

http://download.portalgaruda.org/article.php?article=82552&val=970

http://www.alodokter.com/myasthenia-gravis

16