naskah akademik -...

34
NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG UNDANG TENTANG KEMENTERIAN NEGARA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

Upload: others

Post on 31-Oct-2020

21 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: NASKAH AKADEMIK - berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20191206-052843-6611.pdftugas, fungsi dan wewenang setiap kementerian, proses pembentukan, ... Sementara

NASKAH AKADEMIK

RANCANGAN UNDANG UNDANG

TENTANG

KEMENTERIAN NEGARA

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

Page 2: NASKAH AKADEMIK - berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20191206-052843-6611.pdftugas, fungsi dan wewenang setiap kementerian, proses pembentukan, ... Sementara

NASKAH AKADEMIK

RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG KEMENTERIAN NEGARA

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kementerian negara memiliki kedudukan penting dalam sistem

pemerintahan modern karena ia menjadi inti dari kekuasaan pemerintahan

yang bernarna eksekutif. Kehadiran kementerian negara jug a merupakan

konsekuensi dari adanya pembagian atau pemisahan kekuasaan dalam

sistem politik demokratis dimana kedudukannya sebagai bagian dari

eksekutif dalam konteks trias politika bertugas melaksanakan urusan-urusan

atau serangkaian kebijakan atau undang-undang yang telah ditetapkan oleh

suatu badan legislatif.

Dalam sejarah terbentuknya kementerian negara, organisasi

kementerian negara terus mengambil peran yang semakin penting dari

posisinya sebagai pembantu atau penasehat raja/kepala negara pada awal

abad ke-17 sampai menjadi salah satu penentu alternatif kebijakan dalam

proses pembuatan keputusan-keputusan politik penting.

Dalam sistem pemerintahan modern cabang eksekutif dapat

didefinisikan sebagai orang atau sekumpulan orang yang memiliki tanggung

jawab untuk mengajukan serangkaian usulan kebijakan dan berupaya

mendapatkan dukungan untuk mengamankan serangkaian usulan kebijakan

tersebut. Termasuk di dalamnya, tanggung jawab terhadap

pelaksanaannya. Batasan yang jelas antara eksekutif dengan personel

administratif yang lebih rendah sulit dilakukan tetapi satu kriteria dapat

dipakai bahwa eksekutif memiliki diskresi penting dalam hal pembuatan dan

pelaksanaan berbagai keputusan kebijakan tingkat atas.

Di kebanyakan negara kewenangan eksekutif pemerintahan terbagi

antara seorang kepala negara dan kepala pemerintahan dengan berbagai

sebutan seperti perdana menteri, premier atau konselir. Kepala negara,

biasanya seorang raja secara turun temurun atau seorang presiden yang

1

Page 3: NASKAH AKADEMIK - berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20191206-052843-6611.pdftugas, fungsi dan wewenang setiap kementerian, proses pembentukan, ... Sementara

dipilih oleh sebuah badan legislatif, bertindak sebagai simbol kesatuan

bangsa dan tokoh terhadap mana semua tindakan pemerintah dilakukan.

Diskresi kepala negara sangat dibatasi, dan hampir semua tindakan penting

pemerintah harus diambil dan menjadi tanggung jawab kepala

pemerintahan atau para pemimpin yang diberi tanggung jawab secara

politik. Dewan legislatif masih tetap berkuasa menolak serangkaian usulan

kebijakan eksekutif bersama-sama dengan kewenangan untuk memecat

eksekutif dalam situasi krisis berat, baik dengan impeachment atau mosi

tidak percaya.

Landasan konstitusional kekuasan eksekutif berbeda-beda untuk

setiap negara. Di lnggris, sebagai contoh, hak prerogatif tradisional raja

masih menjadi sumber utama kewenangan eksekutif. Beberapa kekuasaan

presiden di AS didasarkan pada suatu argumen bahwa semua kekuasan

yang ada adalah kekuasaan inheren eksekutif yang te/ah ditransfer secara

langsung dari raja kepada otoritas eksekutif yang baru pada waktu

kemerdekaan. Di Indonesia, dipakainya sistem presidensial dengan

kedudukan presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan

sekaligus, konstitusi negara memberikan kekuasaan yang begitu besar

kepada presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif dalam

menjalankan pemerintahan negara termasuk dalam hal kewenangan

pembentukan dan penggantian kementerian negara, sebuah kewenangan

yang secara legal dimaknai sebagai hak prerogatif presiden.

Lahirnya amandemen UUD 1945 melahirkan sejumlah pembatasan

baru bagi kekuasaan eksekutif sehingga kekuasaannya semakin tidak tak

terbatas. Dengan kata lain, besarnya kekuasaan sebagai akibat dari

besarnya tugas/fungsi dan kewenangan eksekutif tetap memiliki

keterbatasan. Benar bahwa eksekutif memiliki sejumlah kekuasaan yang

sangat mungkin tidak memiliki rujukan yang tegas baik dalam konstitusi

maupun ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya tetapi batasan­

batasan tertentu terhadap eksekutif masih tetap berlangsung.

2

Page 4: NASKAH AKADEMIK - berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20191206-052843-6611.pdftugas, fungsi dan wewenang setiap kementerian, proses pembentukan, ... Sementara

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

mengamanatkan penyelenggaraan pemerintahan negara khususnya dalam

cabang kekuasaan eksekutif diarahkan pada upaya mencapai tujuan

nasional sebagaimana termaktub dalam Pembukaannya. Konstitusi Negara

tersebut selanjutnya menegaskan bahwa dalam lingkup sistem presidensial,

Presiden memegang kekuasaan pemerintahan negara menurut Undang­

Undang Dasar. Dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan negara,

Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara yang pengangkatan dan

pemberhentiannya sepenuhnya menjadi wewenang Presiden. Dengan

demikian sistem pemerintahan yang berjalan sejak kemerdekaan, presiden

dapat menentukan sendiri struktur dan jumlah kementerian negara. Oleh

karena itu, dalam setiap periode pemerintahan sejak kemerdekaan sampai

sekarang praktek pembentukan, pengubahan dan pembubaran kementerian

negara selalu berubah-ubah atau tidak baku setiap periode pemerintahan

berdasarkan kondisi lingkungan politik yang berkembang pada saat itu.

Dalam sistem ini, Presiden bebas tanpa intervensi atau campur tangan

kekuatan politik manapun dalam mengangkat para menteri dan sekaligus

memberhentikannya jika dianggap tidak mampu melaksanakan tugas dan

kewajibanynya.

Dalam masa pra-demokrasi terpimpin dari bu Ian November 1945 s.d.

Juni 1959, Indonesia menggunakan sistem parlementer dan sistem

presidensial di mana sebagian menteri di bawah PM dan Wakil Presiden

Moh. Hatta. Jumlah menteri dalam masa sebelum 27 Desember 1949

berkisar antara 16 orang (Kabinet Syahrir ke-1) dan 37 orang (Kabinet Amir

Syariffudin ke-2). Jumlah menteri pada masa sesudahnya berkisar antara

18 (Kabinet Wilopo) dan 25 orang (Kabinet Ali Sastroamidjojo ke-2). Para

menteri dibagi dalam beberapa golongan yakni menteri inti, menteri negara,

dan menteri muda terutama dalam masa sebelum Desember 1949.

Kemudian, dalam masa yang dikenal sebagai periode demokrasi liberal,

misalnya, 7 kabinet dari pemerintahan Natsir s.d. Djuanda selalu jatuh

bangun sehingga program pemerintahan praktis tidak dapat berjalan akibat

kesibukan kabinet dalam mempertahankan diri dari rongrongan politik.

3

Page 5: NASKAH AKADEMIK - berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20191206-052843-6611.pdftugas, fungsi dan wewenang setiap kementerian, proses pembentukan, ... Sementara

Sejak juni 1959, dengan berlakunya kembali sistem presidensial,

dinamika susunan kabinetnya sangat tergantung pada keinginan presiden.

Perubahan konstelasi kementerian negara yang sangat tidak baku terjadi

dalam masa demokrasi terpimpin di mana jumlah menteri lebih dari 100

orang. Hal ini terjadi karena pimpinan MPRS dan DPR Gotong Royong dan

Ketua MA diberi status menteri. Berkuasanya Orde Baru sejak 1968,

kementerian negara sepenuhnya menjadi kewenangan presiden dan

jumlahnya juga bervariatif dan tidak ada rangkap jabatan sehingga jumlah

menteri tidak lebih dari 30 orang.

Kondisi demikian tidak mendorong terciptanya suatu pemerintahan

yang efektif dan efisien dan untuk sebagian terutama masa-masa sebelum

Orde Baru telah mengarah kepada persoalan instabilitas sosial dan politis.

Sebagai contoh, perubahan struktur kementerian negara yang dampaknya

dapat dirasakan tidak hanya pada masa-masa awal kemerdekaan baik

dalam sistem parlementer maupun presidensial tetapi juga pada masa­

masa pemerintahan penerusnya sampai sekarang.

Dasar sosiologis tersebut menjadi momentum politis penting bagi

para perumus amandemen Undang-Undang Dasar 1945 untuk memberikan

landasan yuridis dalam bentuk suatu peraturan perundang-undangan bagi

presiden dalam melaksanakan kewenangannya dalam pembentukan,

pengubahan dan pembubaran kementrian negara. Pemberian landasan

yuridis tersebut tentunya tidak mengurangi makna sistem pemerintahan

presidensial. Sebaliknya hal ini justru diarahkan dalam rangka memperkuat

sistem presidensial itu sendiri yang pada gilirannya dapat mengarah pada

terciptanya suatu pemerintahan yang stabil, efektif dan efisien dari sisi

keuangan negara serta bertanggung jawab dalam mewujudkan tujuan

pembangunan nasional. Dalam kerangka pemikiran ini, kiranya dirasakan

mendesak untuk menginisiatifkan suatu undang-undang tentang

kementerian negara.

4

Page 6: NASKAH AKADEMIK - berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20191206-052843-6611.pdftugas, fungsi dan wewenang setiap kementerian, proses pembentukan, ... Sementara

Pasal 17 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

hasil amandemen keempat menjadi dasar hukum perlunya bagi pengaturan

kementerian negara dalam sebuah bingkai sistem presidensial. Namun

demikian, menyadari bahwa pengaturan kata "dalam" pada Pasal 17 ayat

(4) yang berbunyi "Pembentukan, pengubahan, dan pembubaran

kementerian negara diatur dalam undang-undang" tidak harus merujuk pada

suatu undang-undang tersendiri maka judul dan ruang lingkup

pengaturannya masih memungkinkan untuk diakomodasikan atau

diintegrasikan ke dalam undang-undang yang mengatur tentang lembaga

eksekutif.

1.2. Maksud dan Tujuan

Maksud dibuatnya naskah akademik ini adalah untuk memberikan

landasan berpikir secara akademis atas desain RUU yang dijabarkan ke

dalam serangkaian klausul yang saling berkaitan satu dengan yang lain.

Sementara itu, tujuan yang ingin dicapai adalah bahwa naskah akademik ini

benar-benar dapat menjadi pedoman dalam memahami dasar filosofis dan

suasana bathin dari setiap pengaturan yang terjabarkan dalam pasal-pasal

di dalam batang tubuh dan penjelasan RUU Kementerian Negara.

1.3. Metode Pendekatan

Naskah akademik ini dipersiapkan dengan menggunakan

pendekatan sosiologis dan politis.

1.4. Konsep Kementerian Negara

Kementerian Negara merujuk pada semua lembaga kementerian

sebagaimana dipakai dalam praktek pemerintahan RI sampai dengan

terbentuknya Kabinet Dwikora yang disempurnakan pada tahun 1966. Sejak

terbentuknya Kabinet tersebut dan memasuki Orde Baru, semua lembaga

kementerian yang selanjutnya dipakai dengan sebutan "kementerian" diganti

dengan sebutan "departemen".

5

Page 7: NASKAH AKADEMIK - berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20191206-052843-6611.pdftugas, fungsi dan wewenang setiap kementerian, proses pembentukan, ... Sementara

II. RUANG LINGKUP RUU KEMENTERIAN NEGARA

RUU Kementerian Negara ini pada dasarnya bersifat komprehensif

yakni mencoba mengatur segala hal yang berkaitan dengan aspek-aspek

kementerian negara sebagai bagian dari kekuasaan eksekutif, mulai dari

posisi kementerian negara sebagai pembantu atau pelaksana pemerintahan

yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada presiden, pengaturan

tentang penyeragaman nomenklatur atau penamaan baik untuk kementerian

portofolio dan kementerian non-portofolio dalam menangani urusan tertentu

pemerintahan.

Kemudian, susunan dan kedudukan kedua jenis kementerian tersebut,

tugas, fungsi dan wewenang setiap kementerian, proses pembentukan,

pengubahan dan pembubarannya yang dibedakan untuk kategori

kementerian yang secara sosiologis dan politis akan terus dibutuhkan oleh

semua jenis pemerintahan dan kementerian strategis berdasarkan kebutuhan

dan fokus program pemerintah, kondisi fisik dan nonfisik negara seperti

faktor-faktor sosial-ekonomi, politik, hukum dan HAM dan pertahanan dan

keamanan; derajat peran atau posisi DPR dalam pembentukan setiap

kelompok kementerian tertentu, pengangkatan dan pemberhentian menteri,

larangan rangkap jabatan, dan hubungan fungsional kementerian dengan

Lembaga Pemerintah Non-Kementerian (LNKN) yang semakin diarahkan

untuk lebih memudahkan koordinasi dengan setiap kementerian terkait dan

penegasan perlunya pertanggungjawaban LNKN melalui kementerian terkait.

Untuk menghindari ketidakpastian bagi presiden dan untuk menyesuaikan

dengan aturan ini, diatur tentang waktu jeda yang tercantum dalam aturan

peralihan.

Sejalan dengan kuatnya momentum pelaksanaan otonomi daerah

berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 sementara di sisi lain pelaksanaannya di

lapangan masih belum konsisten atas sejumlah hal seperti pelimpahan

wewenang sejumlah urusan kepada daerah, masih terjadinya tumpah tindih

sejumlah pelaksanaan urusan antara pemerintah daerah dengan instansi

vertikal serta lemahnya koordinasi antara pusat dan daerah, RUU ini juga

6

Page 8: NASKAH AKADEMIK - berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20191206-052843-6611.pdftugas, fungsi dan wewenang setiap kementerian, proses pembentukan, ... Sementara

mengatur tentang hubungan antara kementerian negara dengan pemerintah

daerah.

Selain itu, RUU ini juga diupayakan setuntas dan sekomprehensif

mungkin sehingga tidak diperlukan lagi peraturan pelaksanaan lainnya.

Namun demikian, karena adanya suatu konsensus politik di antara para

perumusnya untuk membatasi RUU ini pada aspek-aspek kementerian

negara sebagai pembantu presiden dan menghindari ketidakfokusan ruang

lingkup pengaturannya maka tetap dibuka peluang pengaturan lebih lanjut

melalui peraturan yang lebih rendah lainnya yakni Peraturan Presiden.

Untuk mengetahui secara lengkap hal-hal tersebut naskah akademik

ini mencoba memaparkannya secara objektif dan runtut bagaimana pokok­

pokok pengaturan tersebut berdasarkan pada berbagai masukan yang telah

diterima yang akhirnya dirumuskan dalam bagian berikutnya.

111. PENGATURAN TENTANG KEMENTERIAN NEGARA

3.1. Penetapan Masalah

Sejarah pembentukan lembaga kementerian negara di Indonesia

dimulai sejak masa kemerdekaan. Dalam perjalanannya, format atau desain

lembaga kementerian negara selalu berubah-ubah berdasarkan konstelasi

politik yang berkembang, dalam hal ini sistem demokrasi yang dianut, dan

kebutuhan dan kepentingan politik rezim yang ada baik yang menggunakan

sistem parlementer maupun presidensial.

Pada masa sistem pemerintahan parlementer, pembentukan kabinet

ditarik dari konfigurasi kekuatan-kekuatan politik yang terrepresentasikan

dalam parlemen. Sementara itu, dalam sistem presidensial, terdapat dua

varian dalam setiap pembentukan kementerian. Ketika Indonesia

menggunakan sistem demokrasi terpimpin, kementerian dibentuk

berdasarkan kekuatan politik yang ada. Sementara itu, ketika Orde Baru

berkuasa, desain lembaga kementerian didasarkan salah satu kekuatan

politik tertentu.

Sejak era reformasi, desain lembaga kementerian negara yang

bertumpu pada semua kekuatan politik, terutama sejumlah kekuatan politik

7

Page 9: NASKAH AKADEMIK - berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20191206-052843-6611.pdftugas, fungsi dan wewenang setiap kementerian, proses pembentukan, ... Sementara

yang dominan. Namun demikian, satu fenomena politik, sebagian dianggap

sebagai sesuatu yang wajar karena desain lembaga kementerian

sepenuhnya menjadi wilayah eksekutif, bahwa pembentukan lembaga

kementerian masih mencerminkan kekuasaan presiden sepenuhnya dalam

menentukan jumlah dan komposisi kementerian negara. Dengan kata lain

tidak terlihat adanya mekanisme perimbangan kekuatan dari lembaga

negara lainnya. Dengan demikian tidak ada pembatasan sama sekali dalam

penentuan jumlah dan komposisinya atau lazim disebut menjadi wilayah

prerogatif presiden.

Secara yuridis dan politis, tidak adanya pembatasan tersebut sebagai

sesuatu yang memang semestinya karena landasan yuridisnya,

kementerian negara menjadi kewenangan penuh presiden berdasarkan

ketentuan UUD 1945. Namun demikian, kondisi seperti ini dinilai dapat

menghambat bagi terciptanya sistem check and balances, suatu kondisi

yang dapat berakibat pada lemahnya sistem presidensial dan demokrasi itu

sendiri. Sementara di sisi lain, tidak adanya mekanisme perimbangan

tersebut dalam penyusunan lembaga kementerian dapat mengarah pada

terjadinya inefisiensi penyelenggaraan pemerintahan bahkan instabilitas

politik dan resiko sosial lainnya. Kebijakan yang didasarkan pada 'argumen'

hak prerogatif presiden atas pembubaran Departemen Penerangan dan

Departemen Sosial pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid

tidak lama setelah pengangkatannya, misalnya, adalah kasus empiris yang

mendorong para perumus amandemen UUD 1945 untuk melakukan

pembatasan terhadap presiden dalam melaksanakan kekuasaan

pemerintahannya.

Era reformasi ke depan belum menjamin bahwa kondisi perpolitikan

kita akan lebih kondusif untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih untuk

mendorong dan melahirkan pemimpin politik yang melakukan tindakannya

secara rasional, efisien dan bertanggung jawab serta menciptakan stabilitas

sosial dan politik. Sementara itu pada saat yang sama kita masih

menggunkan sistem presidensial yang menempatkan posisi presiden begitu

kuat.

8

Page 10: NASKAH AKADEMIK - berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20191206-052843-6611.pdftugas, fungsi dan wewenang setiap kementerian, proses pembentukan, ... Sementara

Lahirnya amandemen Pasal 17 ayat (4) kiranya menyiratkan

kekhawatiran ini sehingga perlu adanya mekanisme check and balances

meskipun hak prerogatif dalam menetapkan menteri sebagai 'hak

prerogatifnya' masih tetap berjalan hanya saja berjalan dalam suasana yang

lebih demokratis, efektif dan efisien.

Dengan demikian, latar belakang adanya upaya untuk menguatkan

sistem demokrasi dan sistem presidensial didasarkan pada keinginan untuk

membuat rambu-rambu terhadap kewenangan presiden dalam menentukan

para pembantunya dalam lembaga kementerian. Oleh karena itu, pada

akhirnya dapat dipahami bahwa kehadiran suatu undang-undang yang

mengatur tentang kementerian negara memiliki semangat untuk

membangun sistem penyelenggaraan pemerintahan yang legitimate, efektif

dan efisien serta memenuhi kepentingan stabilitas politik dalam

penyelenggaraan pemerintahan negara.

Dengan kata lain, memperkuat sistem presidensial itu sendiri.

Dengan demikian, dalam konteks pemikiran ini Presiden akan terdorong

untuk tidak mengambil keputusan dalam pembentukan, penggabungan dan

pembubaan kementerian yang cenderung subjektif atau berdasarkan

interpretasi sepihak yang menguntungkan kelompok atau golongan tertentu.

Suatu undang-undang tentang kementerian negara dapat menjadi landasan

bagi sebuah sistem yang sebenarnya bertujuan untuk lebih memudahkan

presiden dalam menjalankan hak dan kewenanganannya secara rasional

dan efisien dan bahkan dalam batas tertentu dapat 'melindungi' presiden

dari kerepotan-kerepotan yang tidak perlu.

Berangkat dari konstelasi sosiologis dan kesadaran politis inilah

sebagai upaya tindaklanjut terhadap amanat Pasal 17 ayat (4) UUD 1945

inisiatif pengaturan tentang kementerian negara menjadi sebuah agenda

kelembagaan DPR rnelalui hak usul inisiatif RUU Kementerian Negara

dilakukan yang secara kronologis dapat disarikan berikut ini.

9

Page 11: NASKAH AKADEMIK - berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20191206-052843-6611.pdftugas, fungsi dan wewenang setiap kementerian, proses pembentukan, ... Sementara

Secara non-kelembagaan atau wacana publik (stream of problem),

pengajuan kedua RUU ini tidak terlepas dari lahirnya reformasi politik

dengan konsekuensi adanya kebutuhan bagi terciptanya sebuah

mekanisme perimbangan kekuasan (check and balances) dalam

penyelenggaraan pemerintahan negara. Dalam lingkup kekuasaan

eksekutif, lahirnya reformasi politik juga merupakan insentif politik bagi

perlunya sebuah landasan hukum bagi pengaturan tentang lembaga

eksekutif yang pada era-era sebelumnya tidak tersentuh. Dalam ranah

publik, misalnya hal ini ditindaklanjuti dengan berkembangnya wacana

pengaturan tentang Lembaga Kepresidenan dalam sebuah undang-undang.

Lahirnya Pasal 17 ayat (4) hasil amandemen UUD 1945 merupakan

landasan hukum bagi sebuah pengaturan tentang lembaga eksekutif secara

khusus lembaga Kementerian Negara. Dengan dasar inilah wacana publik

yang berkembang tentang perlunya pengaturan tentang lembaga eksekutif

dijadikan sebagai agenda kelembagaan yang secara resmi digulirkan

melalui inisiatif DPR RI atas RUU tentang Kementerian Negara.

Secara kelembagaan, kronologi penangangan RUU tentang

Kementerian Negara dapat diruntut melalui serangkaian keputusan politik

penting a.I. sebagai berikut:

1. Kuatnya wacana publik tentang keperluan perimbangan kekuatan dalam

penyelenggaraan pemerintahan negara dalam sebuah sistem

pemerintahan presidensial yang stabil, efektif dan efisien di satu sisi dan

di sisi lain lahirnya Pasal 17 ayat (4) hasil amandemen UUD 1945

menjadi rujukan yuridis bagi sejumlah anggota Parlemen untuk

mengajukan usul inisiatif RUU tentang Kementerian Negara. Sebelum

diajukan secara resmi menjadi agenda legislasi DPR RI, faktor

pendorong yuridis lainnya adalah lahirnya Program Legislasi Nasional

(Prolegnas) Tahun 2005 - 2009 yakni sebuah instrumen perencanaan

program pembentukan undang-undang yang disusun secara berencana,

terpadu dan sistematis. Program ini merupakan amanat Pasal 15 ayat

(1) UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang­

undangan yang mengatur bahwa "perencanaan penyusunan undang-

10

Page 12: NASKAH AKADEMIK - berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20191206-052843-6611.pdftugas, fungsi dan wewenang setiap kementerian, proses pembentukan, ... Sementara

undang dilakukan dalam suatu Prolegnas". Dalam Prolegnas Tahun

2005 - 2009, RUU tentang Kementerian Negara ditetapkan sebagai

salah satu dari sejumlah 55 RUU yang menjadi prioritas jangka pendek

untuk dibahas.

2. RUU tentang Kementerian Negara bersama-sama dengan RUU tentang

Dewan Penasihat Presiden diputuskan menjadi usul lnisiatif dari BALEG

dan sebagai tindaklanjut keputusan ini, kedua RUU ini diberitahukan

dalam Rapat Paripurna DPR RI pada tanggal 28 Juni 2005.

3. Rapat Paripurna DPR RI tanggal 30 Agustus 2005 memutuskan kedua

RUU dimaksud menjadi RUU Usul lnisiatif DPR RI. Untuk mempercepat

kelancaran penanganan kedua RUU ini, Rapat BAMUS tanggal 8

September 2005 memutuskan kedua RUU dimaksud ditangani oleh satu

Panitia Khusus (Pansus) dengan jumlah Anggota 50 orang mewakili

semua unsur fraksi yang pembentukannya disahkan oleh Rapat

Paripurna DPR RI tanggal 13 September 2005. Dengan dasar

pembentukan Pansus beserta Pimpinan dan Keanggotaan Pansus yang

dikukuhkan melalui KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT

REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 05/DPR Rl/1/2005-2006 tentang

Pembentukan Panitia Khusus DPR RI mengenai RUU tentang Dewan

Penasihat Presiden dan RUU tentang Kementerian Negara selanjutnya

menjadi dasar mulai bekerjanya Pansus.

4. Rapat intern Pansus RUU tentang Kementerian Negara dan RUU

Dewan Penasehat Presiden DPR RI pada tanggal 15 Februari 2006

menyepakati tahapan-tahapan penyiapan dan penggodokan kedua RUU

tersebut sebelum diajukan kepada pemerintah a.I.:

(a) Tahapan menghimpun saran dan masukan publik melalui mekanisme

RDP/RDPU dengan sejumlah narasumber. Dalam rangka mendesain

suatu peraturan perundang-undangan yang lebih komprehensif dan

memenuhi semua keinginan pemangku kepentingan, upaya

penyempurnaan substansi RUU Kementerian Negara diadakan

penjaringan saran dan pendapat, masukan, pikiran dan sejumlah

gagasan konstruktik lainnya dari serangkaian pemangku kepentingan

11

Page 13: NASKAH AKADEMIK - berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20191206-052843-6611.pdftugas, fungsi dan wewenang setiap kementerian, proses pembentukan, ... Sementara

baik secara publik maupun swasta serta dari pihak-pihak baik

perseorangan maupun lembaga yang sifatnya lintas-politik, agama

dan sosial melalui serangkaian RDPU DPR-RI yang terbagi ke dalam

dua Masa Sidang DPR RI berjalan kira-kira 7 bulan. Dalam satu

Masa Sidang DPR RI, Pansus DPR RI RUU Kementerian Negara

telah mengadakan sejumlah RDPU dengan sejumlah pakar hukum

tata negara, pakar politik, tokoh atau mantan pejabat politik, lembaga

publik seperti LAN, Lemhannas, UPI, lembaga kajian/LSM seperti

Forum Konstitusi (mantan anggota PAH I MPR RI), Partnership for

Governance Reform, lembaga keagamaan seperti PB NU, PP

Muhammadiyah, PGI, KWI, PHDI, WALUBI dan sejumlah perwakilan

perguruan tinggi negeri dan swasta yang dipilih berdasarkan sebaran

wilayah bagian Barat sampai dengan Timur Indonesia seperti

Universitas Sumatera Utara, Universitas Andalas, Universitas

Padjajaran, Universitas Diponegoro, Universitas Gadjah Mada,

Universitas Tanjung Pura, Universitas Mulawarman. Perguruan

Tinggi Swasta mencakup Universitas Trisakti, Universitas Muslim

Indonesia Ujung Pandang. Dalam Masa Sidang berikutnya, untuk

mensinkronkan dengan momentum otonomi daerah, proses

penyempurnaan draf selanjutnya dilakukan dengan cara penjaringan

kembali saran dan pendapat, masukan dan serangkaian gagasan

konstruktif melalui RDPU dengan sejumlah pakar administrasi

negara, perencanaan pembangunan dan lembaga kajian ekonomi

serta sejumlah pemangku kepentingan terutama yang terkait dengan

persoalan otonomi daerah yakni asosiasi pemerintahan daerah

seperti Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI),

Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (APEKSI), Sadan

Kerjasama Kabupaten Seluruh Indonesia (BKKSI) dan Asosiasi

DPRD Kabupaten Seluruh Indonesia (ADKASI). Setelah

diakomodasikan dengan pikiran, saran dan pendapat sejumlah pakar

dan lembaga pemangku kepentingan lainnya, draf hasil revisi untuk

selanjutnya dilakukan melalui uji publik menjelang akhir Juni 2006 di

12

Page 14: NASKAH AKADEMIK - berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20191206-052843-6611.pdftugas, fungsi dan wewenang setiap kementerian, proses pembentukan, ... Sementara

lima ibukota provinsi yang diharapkan dapat mewakili sebaran

wilayah Republik Indonesia yakni di Provinsi Sumatera Utara,

Kalimantan Barat, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, dan Provinsi

Maluku. Proses penyempurnaan draf ini juga dilakukan dengan suatu

seminar bersama Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia

(APPSI). Kegiatan penghimpunan ini dilakukan dari akhir Januari

2005 s.d. pertengahan Juni 2006.

(b) Tahapan penyempurnaan kedua RUU yang dilakukan melalui 2 (dua)

langkah yakni:

(1) Langkah pemetaan agenda/subtansi materi berdasarkan hasil

masukan dari sejumlah narasumber dalam forum RDP/RDPU.

Dalam tahapan ini, proses penyempurnaan draf dilakukan

dengan mengakomodasi semua saran dan pendapat, kritik dan

sejumlah gagasan konstruktif dari narasumber dalam RDPU.

(2) Menyajikan dalam bentuk draf RUU dengan melibatkan ahli

bahasa dan legal drafter. Selanjutnya draf RUU ini dikirimkan

kembali kepada seluruh narasumber yang diundang (baik yang

hadir maupun yang tidak hadir) untuk dimintakan kembali

tanggapan tertulis. Sejumlah lembaga seperti LAN,

LEMHANNAS, Universitas Padjadjaran, Universitas Sriwijaya,

Universitas Mulawarman, Universitas Muslim Indonesia,

Universitas Katolik Parahyangan, Universitas Trisakti dan PHDI

dan sejumlah tokoh politik, pakar dan mantan pejabat negara

memberikan tanggapan tertulisnya.

(3) Tahapan uji publik/sosialisasi ke sejumlah daerah yang dipilih

berdasarkan sebaran wilayah geografis dari wilayah Indonesia

Barat ke Timur sebagai upaya memperkaya saran, pendapat

masukan dan sejumlah gagasan konstruktif dalam rangka

menyempurnakan draf akhir sebelum dikirim kepada

pemerintah.

13

Page 15: NASKAH AKADEMIK - berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20191206-052843-6611.pdftugas, fungsi dan wewenang setiap kementerian, proses pembentukan, ... Sementara

(4) Tahapan sinkronisasi/finalisasi dengan tujuan untuk

harmonisasi, pembulatan dan pemantapan desain rancang

bangun kedua RUU dimaksud di Badan Legislasi DPR RI

sebelum dikirim ke pemerintah.

Untuk mengetahui secara lengkap hal-hal tersebut naskah akademik

ini mencoba memaparkannya secara objektif dan runtut bagaimana pokok­

pokok pengaturan tersebut berdasarkan berbagai masukan yang ada

akhirnya dirumuskan dalam bagian berikutnya.

3.2. Perumusan Kebijakan

Rumusan RUU Kementerian Negara bersama-sama dengan RUU

Penasehat Presiden telah digulirkan secara internal DPR RI di lingkungan

Sadan Legislasi DPR RI sejak tahun 2003 tidak lama sejak pemerintahan

Presiden Abdurahman Wahid. Namun demikian, memasuki pemerintahan

baru hasil Pemilu tahun 2004 RUU Kementerian Negara tidak masuk lagi

dalam Prolegnas. Mulai tahun 2005, RUU ini diputuskan sebagai RUU yang

mendapat prioritas untuk dibahas berdasarkan Prolegnas 2005-2009.

Sebagai sebuah RUU yang secara substansial bertabrakan secara

konvensional dengan praktek pemerintahan di negara-negara di dunia,

rumusannya yang tersebar ke dalam 8 Bab dan 22 Pasal RUU,

substansinya secara ringkas dapat disarikan sebagai berikut :

Judul

RUU tersebut diberi judul "Kementerian Negara". Secara umum

rumusan judul ini mengakomodasi semua pandangan yang berkembang

dalam setiap forum RDPU untuk tetap menggunakan kata-kata itu. Alasan

penguat lainnya adalah peraturan yang menjadi dasar dari lahirnya RUU ini

yakni Pasal 17 UUD 1945 yakni rumusan kata-kata "menteri-menteri

negara". Karena RUU ini mengatur segala aspek yang berkaitan dengan

susunan, tugas dan kedudukan menteri-menteri negara dalam

penyelenggaraan urusan tertentu maka rumusan judulnya menggunakan

14

Page 16: NASKAH AKADEMIK - berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20191206-052843-6611.pdftugas, fungsi dan wewenang setiap kementerian, proses pembentukan, ... Sementara

kata "kementerian negara" sebagai merujuk pada hal--hal tersebut di atas.

Namun demikian, penentuan judul ini sifatnya masih fleksibel karena dua

hal penting. Pertama, pertimbangan dari sisi kebahasaan dan isi yang

terkandung dalam batang tubuhnya sehingga masih memungkinkan adanya

perubahan judul. Kedua, dalam upaya mengakomodasi ketentuan Pasal 17

(4) bahwa apa yang dimaksud kata "dalam" dalam bunyi Pasal tersebut

dipahami bahwa undang-undang yang mengatur tentang kementerian

negara tidak harus diwujudkan ke dalam suatu undang-undang tersendiri

tetapi sangat dimungkinkan menjadi bagian dari undang-undang yang

mengatur tentang eksekutif atau yang secara konvensional telah

diwacanakan sebagai undang-undang tentang (lembaga) kepresidenan.

Dengan demikian, sekiranya mengakomodasi hal kedua ini, maka judul pun

dapat menyesuaiakan dan sebagai konsekuensinya cakupan isinya pun

lebih luas.

Konsideran

Konsideran menimbang memuat tiga unsur yang menjadi landasan

dasar urgensi undang-undang tentang kementerian negara ini dilihat dari

aspek filosofis, sosilogis dan yuridis. Landasan filosofis diilhami oleh

kesadaran bahwa pelaksanaan kekuasaan pemerintahan oleh presiden

diarahkan pada upaya memenuhi tujuan nasional sebagaimana dirumuskan

ke dalam Pembukaan UUD 1945. Dalam rangka itu, pelaksanaan

pemerintahan negara harus dilakukan secara efektif, efisien dan

bertanggung jawab serta diarahkan dalam memperkuat sistem presidensial

itu sendiri. Sementara itu, landasan sosiologisnya dilandasi oleh praktek

atau pengalaman sejarah pelaksanaan pemerintahan yang cenderung

diwarnai oleh kuatnya kontrol dan peran presiden dalam menentukan

struktur kementerian negara tanpa campur tangan pihak lembaga negara

lainnya yang berdampak pada keuangan negara, dan resiko sosial dan

politik. Dan landasan yuridisnya adalah amanat atau perintah UUD 1945

secara khusus Pasal 17 ayat (4) yang mengatur bahwa pembentukan,

15

Page 17: NASKAH AKADEMIK - berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20191206-052843-6611.pdftugas, fungsi dan wewenang setiap kementerian, proses pembentukan, ... Sementara

pengubahan dan pembubaran kementerian negara diatur dalam undang­

undang.

Ketentuan Umum

Bab Ketentuan Umum terdiri dari satu pasal yang menetapkan

beberapa nomenklatur atau istilah yang akan dijabarkan ke dalam pasal­

pasal bagian berikutnya. Sejumlah nomenklatur atau istilah itu adalah

"kementerian negara" yang selanjutnya disebut "kementerian" saja mewakili

untuk semua jenis kementerian baik kementerian portofolio maupun non­

portofolio, baik yang memiliki maupun yang tidak memiliki perangkat teknis

atau hirarki ke bawah yang selama ini dibedakan antara departemen untuk

kementerian portofolio dan kementerian negara untuk kementerian non­

portofolio. lstilah lain adalah penyebutan kata menteri untuk semua menteri

negara sebagai konsekuensi dari pemakaian istilah kementerian.

Sementara itu, dalam ketentuan bab ini juga ada kehendak untuk

mengkategorikan semua badan-badan non-departemen atau yang selama

ini dikenal sebagai LPND ke dalam istilah baru yakni Lembaga Pemerintah

Non-Kementerian yang selanjutnya disingkat LPNK dengan penegasan

bahwa pertanggungjawaban mereka terhadap Presiden harus melalui

menteri terkait.

Susunan dan Kedudukan

Dalam Bab ini dibagi ke dalam dua bagian dan terdiri dari 9 pasal.

Bagian Pertama (Pasal 2 s.d. Pasal 6) mengatur tentang dikotomi antara

kementerian yang secara umum dikenal sebagai kementerian portofolio

atau yang biasa disebut sebagai kementerian departemental (departemen)

dan kementerian non-portofolio atau yang biasa disebut sebagai

kementerian non-departemental (kementerian). Dalam RUU ini

diperkenalkan dengan penggunaan nomeklatur baru bagi kedua jenis

kementerian yakni 'kementerian yang memiliki perangkat teknis' untuk

kementerian departemental dan 'kementerian yang tidak memiliki perangkat

teknis' untuk kementerian non-departemental. Dasar dari penetapan

16

Page 18: NASKAH AKADEMIK - berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20191206-052843-6611.pdftugas, fungsi dan wewenang setiap kementerian, proses pembentukan, ... Sementara

istilah/nomenklatur ini adalah kejelasan istilah dan terkait dengan upaya

untuk tidak membedakan derajat urgensi dari kedua jenis kementerian itu

sebagaimana halnya ketika ditetapkan sebutan 'menteri' saja untuk semua

menteri apapun. Dalam proses perumusannya, persoalan nomenklatur ini

mendapatkan sejumlah masukan seperti pengusulan istilah/nomenklatur

"kementerian portofolio versus kementerian non-portofolio",

istilah/nomenklatur "departemen versus kementerian negara". Usulan lain

adalah misalnya "kementerian yang memiliki hirarkhi ke bawah" untuk

kementerian yang memiliki perangkat teknis versus kementerian yang tidak

memiliki hirarkhi ke bawah" untuk kementerian yang tidak memiliki

perangkat teknis. Usulan-usulan tersebut tidak hanya didasarkan pada

konvensi nasional tetapi juga aspek kelazimannya bagi masyarakat. Alasan

lain untuk menghindari masyarakat terjebak dengan. istilah "yang memiliki

perangkat teknis" dan "yang tidak memiliki perangkat teknis" karena pada

dasarnya kedua jenis kementerian itu tetap memiliki perangkat teknis dalam

menjalankan tugasnya.

Dalam lingkup susunan dan kedudukan ini susunan organisasi setiap

kementerian (Pasal 3) yang membatasi hanya sampai jabatan eselon 1.

Langkah pengaturan ini dimaksudkan sebagai upaya menghindari

pengaturan dalam UU ini supaya tidak terlalu teknis. Dengan demikian,

susunan organisasi di bawahnya bisa dilakukan dengan sebuah peraturan

di bawahnya seperti peraturan presiden.

Pengaturan kementerian yang memiliki perangkat teknis (Pasal 4)

disinkronkan dengan keberadaan UU No. 32 Tahun 2004 tentang otonomi

daerah yang membagi kewenangan pusat dan daerah. Kementerian yang

memiliki perangkat teknis dirinci menjadi kementerian yang memiliki kantor

wilayah/perwakilan dan kementerian yang tidak memiliki kantor

wilayah/perwakilan. Kementerian yang memiliki kantor wilayah/perwakilan

ini mengurusi urusan yang menjadi kewenangan pemerintahan pusat

sebagaimana dimaksud dalam UU No. 32 tahun 2004 dan urusan-urusan

lainnya yang kewenangan pelaksanaannya dilakukan pemerintahan daerah

17

Page 19: NASKAH AKADEMIK - berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20191206-052843-6611.pdftugas, fungsi dan wewenang setiap kementerian, proses pembentukan, ... Sementara

menjadi bidang kerja kementerian yang tidak memiliki kantor

wilayah/perwakilan.

Hal lain (Pasal 5) mengatur tentang pembatasan kepada kementerian

yang memiliki perangkat teknis untuk mengangkat sekelompok staf ahli atau

staf khusus sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang yang tugas pokok dan

fungsinya serta kewenangannya diatur oleh setiap kementerian yang

bersangkutan. Dasar dari penetapan ketentuan pembatasan ini adalah

bahwa pengangkatan staf khusus atau staf ahli menteri harus didasarkan

pada kebutuhan dan pertimbangan konsekuensi anggaran jika jumlahnya

tidak dibatasi. Dengan adanya ketentuan ini 1 menteri dilarang untuk

mengangkat staf lain yang biaya operasionalnya dibebankan pada anggaran

negara. Namun demikian, sepanjang seorang menteri membutuhkan

dukungan keahlian staf khusus yang di luar lima staf khusus yang

dimungkinkan oleh Pasal ini, seorang menteri dapat merekrut staf khusus

lainnya dengan biaya sendiri dan bukan titipan dari sektor lain yang memiliki

kaitan hubungan kerja dengan kementerian dimaksud.

Sebagai upaya untuk menghindari pengaturan UU kementerian ini

masuk ke dalam hal-hal yang terlalu teknis dan terlalu luasnya ruang

lingkupnya menjadi dasar bagi pengaturan (Pasai 6) tentang perlunya

penetapan ketentuan-ketentuan Pasal 2, Pasal 3 1 Pasal 4 dan Pasal 5 untuk

diatur lebih lanjut dalam Peraturan Presiden.

Bagian Kedua (Pasal 7 1 Pasal 8) mengatur tentang keharusan bagi

kementerian berkedudukan di ibukota negara. Dasar dari pengaturan ini

adalah bahwa untuk efektifitas dan efisiensi pelaksanaan tugas-tugas

kementerian negara, sebagai pembantu presiden yang berada di bawah dan

bertanggung jawab kepada residen, kementerian harus memiliki kedudukan

yang sama dengan tempat kedudukan presiden. Dengan demikian,

pengertian kedudukan di sini dimaksudkan sebagai kedudukan sebagai

lembaga dan tempat kedudukan.

18

Page 20: NASKAH AKADEMIK - berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20191206-052843-6611.pdftugas, fungsi dan wewenang setiap kementerian, proses pembentukan, ... Sementara

I

I KPU I

Digambarkan dalam bentuk bagan, kedudukan kementerian negara

dalam sistem ketatanegaraan beradasarkan UUD 1945 adalah sebagai

berikut::

BPK

Bank Sentral

Bagan Kedudukan Kementerian Negara dalam Sistem Ketatanegaraan RI berdasarkan UUD 1945

UUD 1945

Presiden/W akil DPR MPR DPD MA Presiden

Badan-badan

Kementerian Jain yang

Negara fungsinya berkaitan dengan

DPP kekuasaan kehakiman

TNI/Polri

KY

Sumber: Bahan Tayangan Materi Sosialisasi UUD RI Tahun 1945, Setjen MPR RI, 2005, hal.

Tugas, Fungsi dan Wewenang Kementerian

Lingkup tugas, fungsi dan wewenang kementerian negara dibagi ke

dalam tiga bagian pengaturan. Bagian Pertama (Pasal 9) mengatur tentang

tugas kementerian negara sebagai pembantu presiden dalam

penyelenggaraan urusan tertentu dalam pemerintahan. Dasar dari

pengaturan ini bersumber dari ketentuan Pasal 17 UUD 1945 dan prinsip

sistem pemerintahan presidensial di mana presiden merangkap sebagai

kepala negara dan kepala pemerintahan sekaligus. Dengan demikian,

dalam menjalankan tugasnya sebagai kepala pemerintahan, presiden

dibantu oleh menteri-menteri negara.

19

Page 21: NASKAH AKADEMIK - berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20191206-052843-6611.pdftugas, fungsi dan wewenang setiap kementerian, proses pembentukan, ... Sementara

Bagian Kedua (Pasal 10) mengatur tentang fungsi dari kementerian

negara yang merupakan penjabaran dari tugas sebagaimana diatur dalam

tugas kementerian sebagaimana diatur dalam Pasal 9 baik untuk

kementerian negara yang memiliki maupun tidak memiliki perangkat teknis.

Kedua jenis kementerian pada dasarnya sama yakni fungsi perumusan,

pembinaan dan pengawasan. Perbedaannya hanya terletak pada fungsi

pelaksanaan urusan pemerintahan di mana fungsi ini hanya dimiliki oleh

kementerian yang memiliki perangkat teknis.

Bagian Ketiga (Pasal 11) mengatur tentang wewenang kementerian

baik yang memiliki maupun yang tidak memiliki perangkat teknis

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10. Wewenang mereka pada dasarnya

sama yakni kewenangan dalam membuat perencanaan, perumusan,

pelaksanaan dan melakukan pengawasan kebijakan. Perbedaannya terletak

pada fungsi pelaksanaan kebijakan yang hanya menjadi kewenangan

kementerian yang memiliki perangkat teknis.

Sama seperti halnya pengaturan tentang susunan organisasi setiap

kementerian yang berusaha menghindari ketidakfokusan pengaturan dalam

UU ini, pengaturan lebih lanjut mengenai tugas, fungsi dan wewenang

kementerian (Pasal 12) ditegaskan untuk diatur dalam sebuah Peraturan

Presiden.

Pembentukan, Pengubahan dan Pembubaran Kementerian

Ruang lingkup pengaturan tentang pembentukan, pengubahan dan

pembubaran kementerian negara dalam UU ini masuk dalam Bab IV. Dalam

Bab ini dibagi ke dalam tiga bagian dan terdiri dari 4 pasal di mana dua

pasal dalam bagian pertama mengatur tentang pembentukan kementerian

negara, untuk kemudian dua bagian berikutnya masing-masing terdiri dari

satu pasal mengatur tentang pengubahan dan pembubaran kementerian

negara. Terkait dengan judul sub-bab, penamaan judul sub-bab ini

disamakan dengan isi Pasal 17 ayat (4) UUD 1945. Beberapa hal penting

mendasari pengaturan dalam Bab IV ini. Untuk penentuan jenis-jenis urusan

kementerian misalnya faktor konvensi atau kebiasaan menjadi alasan

20

Page 22: NASKAH AKADEMIK - berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20191206-052843-6611.pdftugas, fungsi dan wewenang setiap kementerian, proses pembentukan, ... Sementara

penentuan jenis urusan kementerian, kemudian keterkaitannya dengan

semangat otonomi daerah sebagaimana diatur dalam UU No. 32 Tahun

2004, dan pertimbangan konteks sumber daya nasional dan tujuan

pembangunan nasional.

Sementara itu, dalam bagian pengubahan dan pembubaran

kementerian, meskipun hal ini diakui menjadi salah satu karakteristik yang

unik dalam praktek pemerintahan yakni adanya peran kontrol lembaga

perwakilan dalam hal yang secara konvensional dianggap menjadi hak

prerogatif presiden, adanya penegasan pengawasan lembaga DPR dalam

pengubahan dan pembubaran beberapa jenis kementerian negara. Alasan

yang mendasarinya adalah adanya kehendak untuk menghindari gejolak

sosial dan dampak politik lainnya, pertimabnagn efektiftifatas dan efisisensi

keuangan negara dan kepentingan kesinambungan pelaksanaan urusan

pemerintahan.

Bagian Pertama terdiri dari dua pasaf yakni Pasal 13 dan Pasal 14

masing-masing mengatur tentang kewajiban pemerintahan siapa pun

rezimnya untuk membentuk sebuah lembaga kementerian yang secara

konvensional dan praktek sistem pemerintahan di mana pun menjadi

lembaga kementerian yang sifatnya wajib dan jenis-jenis kementerian yang

sifatnya fakultatif.

Pasal 13 secara eksplisit mengatur tentang jenis-jenis urusan

kementerian yang memiliki perangkat teknis dan memiliki kantor

wilayah/perwakilan yang harus ada pada setiap pemerintahan sehingga

tidak dapat diubah maupun digabungkan (kementerian dalam negeri, luar

negeri, pertahanan, hukum, keuangan dan agama), maupun kementerian

yang memiliki perangkat teknis dan tidak memiliki kantor wilayah/perwakilan

yang harus ada pada setiap pemerintahan tetapi presiden diberi ruang untuk

mengubah atau mengabungkan urusannya dengan persetujuan DPR

(kementerian pendidikan dan kebudayaan, kesehatan, pertanian,

kehutanan, dan kelautan, industri dan perdagangan, pekerjaan umum,

pertambangan dan sumber daya alam, perhubungan, tenaga kerja dan

21

Page 23: NASKAH AKADEMIK - berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20191206-052843-6611.pdftugas, fungsi dan wewenang setiap kementerian, proses pembentukan, ... Sementara

transmigrasi, dan sosial) sebagai bentuk mekanisme pengimbangan

kekuasaan.

Dalam konteks sistem politik di Indonesia, jenis-jenis kementerian

yang dikategorikan dalam Pasal 13 (1) juga disesuaikan dengan

keberadaan otonomi daerah berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah di mana terdapat 6 (enam) urusan yang menjadi

kewenangan pemerintah pusat. Sementara itu, pertimbangan konteks

potensi sumber daya nasional, kondisi kewilayahan dan tujuan

pembangunan nasional mendasari kebutuhan jenis-jenis kementerian

seperti tercantum dalam Pasal 13 ayat 2.

Pasal 14 mengatur tentang sejumlah urusan yang dimasukkan dalam

kategori kementerian yang tidak memiliki perangkat teknis yang dapat

dibentuk oleh presiden yang pembentukkannya harus dengan pertimbangan

DPR seperti kementerian perencanaan pembangunan, pendayagunaan

aparatur negara, riset, ilmu pengetahuan dan teknologi, lingkungan hidup,

pembangunan pedesaan, pariwisata, seni dan budaya, koperasi, dan usaha

kecil dan menengah dan lain-lain. Dalam pasal ini juga diatur tentang

pembatasan jumlah kementerian sebanyak-banyaknya 10 (sepuluh)

kementerian.

Bagian Kedua terdiri dari 1 pasal dan 3 ayat yakni Pasal 15 ayat (1 ),

(2), (3). Pasal ini mengatur tentang pengaturan pengubahan kementerian

dengan memberikan derajat limitasi yang berbeda-beda untuk setiap

kelompok kementerian yang diatur dalam Pasal 13 ayat ( 1), ayat (2) dan

Pasal 14 ayat ( 1) dan (2). Untuk kelompok kementerian sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) tidak dapat diubah. Sementara untuk

kelompok kementerian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2),

presiden diberi ruang untuk mengubah jenis kernenterian tersebut dengan

persetujuan DPR. Pembatasan yang lebih longgar dikenakan terhadap

kelompok kementerian yang diatur dalam Pasal 14 ayat (1) dan (2) bahwa

pengubahan terhadap kementerian tersebut dapat dilakukan dengan

pertimbangan DPR. Pembedaan derajat limitasi untuk pengubahan setiap

kelompok kementerian didasarkan pada alasan praktek penyelenggaran

22

Page 24: NASKAH AKADEMIK - berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20191206-052843-6611.pdftugas, fungsi dan wewenang setiap kementerian, proses pembentukan, ... Sementara

pemerintahan secara umum di mana terdapat kementerian yang selalu ada

dalam pemerintahan manapun serta dikaitkan dengan aspek era otonomi

daerah, pertimbangan konteks geostrategi dan sumber daya yang tersedia

secara nasional, upaya pencapaian tujuan nasional dan adanya kesadaran

tentang kebutuhan atau prioritas pembangunan nasional. Pertimbangan lain

adalah keperluan terciptanya stabilitas pelaksanaan pemerintahan.

Bagian Ketiga terdiri dari 1 pasal dan 3 ayat yakni Pasal 16 ayat (1),

(2), (3). Sama halnya dengan pengaturan tentang pengubahan kementerian

negara, pengaturan tentang mekanisme pembubaran kementerian juga

dibedakan untuk setiap kelompok kementerian sebagaimana diatur dalam

Pasal 13 ayat (1 ), ayat (2) dan Pasal 14 ayat (1) dan (2). Untuk kelompok

kementerian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) tidak dapat

dibubarkan. Sementara untuk kelompok kementerian sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2), presiden diberi ruang untuk

membubarkan jenis kementerian tersebut dengan persetujuan DPR.

Pembatasan yang lebih longgar dikenakan terhadap kelompok kementerian

yang diatur dalam Pasal 14 ayat (1) dan (2) bahwa pembubaran terhadap

kementerian tersebut dapat dilakukan dengan pertimbangan DPR.

Pembedaan derajat limitasi untuk pembubaran setiap kelompok

kementerian didasarkan pada alasan praktek penyelenggaran pemerintahan

secara umum di mana terdapat kementerian yang selalu ada dalam

pemerintahan manapun serta dikaitkan dengan aspek era otonomi daerah.

Pertimbangan lain adalah keperluan terciptanya stabilitas pelaksanaan

pemerintahan dan menghindari terganggunya pelaksanaan program

pemerintah dan mengurangi instabilitas sosial, ekonomi dan politik sebagai

akibat terjadinya pembubaran suatu kementerian_ secara bebas oleh

presiden.

Pengangkatan dan Pemberhentian Menteri

Bab V mengatur tentang pengangkatan dan pemberhentian menteri.

Dalam Bab ini dibagi ke dalam tiga bagian dan terdiri dari 3 pasal yang

masing-masing mengatur tentang pengangkatan, larangan rangkap jabatan

23

Page 25: NASKAH AKADEMIK - berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20191206-052843-6611.pdftugas, fungsi dan wewenang setiap kementerian, proses pembentukan, ... Sementara

dan pemberhentian menteri. Beberapa hal penting mendasari pengaturan

dalam Bab V ini. Untuk Bagian Pertama yakni bagian pengangkatan, pasal

ini mengatur tentang penetapan hak presiden sebagai kepala pemerintahan

untuk mengangkat para menteri negara sebagai pembantunya dalam

menjalankan pemerintahan. Dalam bagian ini, juga dimasukkan pengaturan

tentang persyaratan seorang warga negara Indonesia menjadi menteri

dengan melihat pada persyaratan yang secara umum ada dalam setiap

pengangkatan jabatan publik. Menyadari bahwa sebagai pembantu presiden

menteri memiliki peran yang sangat penting dalam melaksanakan

pemerintahan segari-hari maka ditegaskan tidak hanya perlunya

persyaratan norrnatif dan formal tetapi juga persyaratan profesionalitas

seperti kamarnpuan managerial dan memiliki kompetensi serta sanggup dan

dapat bekerja sama sebagai pembantu presiden. Persyaratan kompetensi di

sini tidak harus terkait langsung dengan ke-kompetensi-an seorang calon

menteri dengan bidang tugas kementerian yang akan diembannya. Dengan

demikian seseorang menjadi menteri dalam suatu kementerian tidak harus

memiliki latar belakang keahlian/pendidikan yang sama persis dengan

bidang atau tugas kementerian yang diembannya karena menteri lebih

mendasarkan pada peran managerial, pembuatan kebijakan, pengawasan,

prudent dan memiliki integritas dalam mengelola kementeriannya.

Bagian Kedua mengatur tentang larangan jabatan bagi seorang

menteri pada jabatan/kepengurusan pada lembaga negara lainnya,

organisasi politik, pimpinan perusahaan dan organisasi lainnya yang

dibiayai negara. Alasan yang mendasari pengaturan ini adalah adanya

keyakinan atas penting dan strategisnya jabatan menteri dalam

menjalankan pemerintahan sehingga rangkap jabatan tidak diperbolehkan

tidak hanya karena alasan supaya menteri tersebut dapat sepenuhnya

mengabdikan diri terhadap bidang tugasnya tetapi menghindari terjadinya

resiko penyalahgunaan wewenang dan penggunaan fasilitas negara untuk

kepentingan pada jabatan publik lainnya. Namun demikian, dalam

pengaturan ini seorang menteri masih diberi ruang untuk menduduki

24

Page 26: NASKAH AKADEMIK - berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20191206-052843-6611.pdftugas, fungsi dan wewenang setiap kementerian, proses pembentukan, ... Sementara

organisasi sosial dan kemasyarakatan lainnya sepanjang organisasi

tersebut tidak dibiayai oleh anggaran negara.

Bagian Ketiga mengatur tentang pemberhentian seorang menteri dari

jabatannya. Secara umum pengaturan ini tidak berbeda dengan mekanisme

pemberhentian pada jabatan publik lainnya secara umum. Namun demikian 1

satu hal yang membedakan dengan pengaturan pemberhentian jabatan

publik lainnya adalah adanya hak presiden untuk memberhentiakn apabila

presiden menghendaki. Alasan dari pengaturan ini adalah bahwa sebagai

pembantu presiden yang berdasarkan ketentuan konstitusi diangkat dan

diberhentikan oleh presiden, masa jabatan menteri negara sangat

tergantung dengan penilaian subjektif presiden. Dengan · demikian,

kewenangan presiden untuk tetap mempertahankan atau memberhentikan

para pembantunya akan sangat tergantung pada penilaian pribadi/subjektif

presiden dan tidak dapat dicampuri oleh kekuatan lembaga negara lainnya.

Hubungan Fungsional Kementerian dan Lembaga Pemerintah Non­Kementerian (LPNK).

Bab VI mengatur tentang hubungan fungsional kementerian dan

lembaga pemerintah non-kementerian (LPNK). Bab ini yang terdiri satu

pasal dan empat ayat mengatur tentang kedudukan lembaga non­

departemental yang dalam RUU ini disebut LPNK terhadap kementerian

negara yang memiliki keterkaitan urusan dan mekanisme tugas dan

wewenang serta pembentukannya. Namun demikian, untuk menghindari

hal-hal yang terlalu teknis, ketentuan mengenai hubungan fungsional LPNK

dengan kementerian diatur dengan Peraturan Presiden. Beberapa hal

penting mendasari pengaturan dalam Bab V ini. Pertama, adanya

kebutuhan untuk membatasi jumlah LPNK sehingga dapat menghindari

adanya pemborosan anggaran negara dan menciptakan eflsiensi dan

efektifitas penyelenggaraan urusan-urusan pemerintahan. Otonomi daerah

menjadi salah satu alasan mengapa penyelenggaraan urusan pemerintahan

oleh LPNK benar-benar sesuai dengan kebutuhan dengan demikian

keberadaan LNPK harus didasarkan pada prinsip penyelenggaraan urusan

25

Page 27: NASKAH AKADEMIK - berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20191206-052843-6611.pdftugas, fungsi dan wewenang setiap kementerian, proses pembentukan, ... Sementara

yang sifatnya sangat penting tetapi terlalu kecil bila diselenggarakan oleh

sebuah kementerian. Kedua, adanya kebutuhan untuk mengembalikan

kedudukan kementerian terkait dengan tugas LPNK sebagai pihak yang

menjadi pintu pertanggungjawaban LPNK kepada Presiden dalam rangka

menciptakan efektifitas dan efisiensi serta koordinasi yang mantap dalam

penyelenggaraan urusan pemerintahan. Dengan demikian, ke depan

diharapkan terjadi sinergi hubungan kerja antara kementerian terkait dengan

LPNK sehingga setiap kebijakan yang diambil tidak tumpang tindih dan

saling mendukung. Adanya pengaturan tentang keharusan untuk

mengikutsertakan menteri yang memiliki tugas dan wewenang yang terkait

dengan urusan LPNK dalam pembentukan LPNK diarahkan dalam rangka

mencapai misi ini.

Ketentuan Peralihan

Bab VII mengatur tentang Ketentuan Peralihan. Salah satu persoalan

yang ingin diatur dalam bab ini adalah adanya kebutuhan kepastian hukum

bagi Presiden apabila RUU ini disahkan menjadi UU. Disadari bahwa

pergantian sejumlah nomenklatur kementerian dan penyesuaian jenis-jenis

kementerian akan membawa konsekuensi anggaran dan terganggunya

penyelenggaran urusan-urusan tertentu pemerintahan maka Ketentuan

Peralihan perlu menegaskan keberadaan setiap kementerian yang sudah

ada sebelumnya sampai dengan terbentuknya kementerian berdasarkan U U

ini. Hal ini dilakukan sebagai jalan tengah dalam menyikapi pro dan kontra

terhadap perlunya pemberlakuan UU ini setelah pemilihan presiden tahun

2009 dan perlunya memberlakukan UU ini segera tanpa harus menunggu

pemilihan presiden tahun 2009. Namun demikian, khusus untuk LPNK yang

sudah ada apapaun namanya diwajibkan untuk segera menyesuaikan

dengan ketentuan UU ini dengan pertimbangan bahwa penyesuain LPNK

tidak akan membawa konsekuensi personel dan pengganggaran yang

besar.

26

Page 28: NASKAH AKADEMIK - berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20191206-052843-6611.pdftugas, fungsi dan wewenang setiap kementerian, proses pembentukan, ... Sementara

Ketentuan Penutup

Bab VIII Ketentuan Penutup. Sama seperti pengaturan dalam

Ketentuan Peralihan, alasan kepastian hukum bagi pemerintah, menjaga

efektifitas dan efisiensi penyelenggaraan urusan tertentu pemerintahan dan

perlunya waktu bagi Presiden dalam menyesuaikan bentuk dan jumlah

kementerian yang sudah ada dengan yang diatur dalam UU ini menilai

bahwa waktu satu tahun dianggap cukup.

IV. PRINSIP-PRINSIP UMUM PENGATURAN KEMENTERIAN NEGARA

Prinsip-prinsip umum pengaturan tentang kementerian negara adalah

sebagai berikut::

4.1. Pengimbangan Hak Prerogatif

Secara umum, istilah 'prerogatif, merujuk pada sebuah hak yang

diberikan kepada seorang pemegang jabatan/pejabat untuk melaksanakan

suatu fungsi atau privelese khusus. Secara khusus, konsep ini merujuk

pada suatu hak turunan atau resmi (seperti halnya kedaulatan seorang raja)

yang dapat dilaksanakan tanpa adanya keberatan dari pihak manapun

terhadap hak mana secara teori tidak ada pertanggungjawaban terhadap

cara pelaksanaan dari hak itu secara faktual meskipun secara praktis hak ini

biasanya dibatasi oleh kekuatan dari suatu pendapat publik atau oleh

sebuah statuta atau peraturan lainnya dan secara umum hak ini

dilaksanakan berdasarkan (seperti halnya dalam praktek di lnggris) nasehat

para menteri yang bertanggung jawab kepada suatu badan legislatif.

Konsepsi lain terhadap istilah prerogatif merujuk pada suatu hak

berdaulat yang diwariskan kepada suatu negara atau kepala negara,

sebagai contoh dalam hal pemberian pengampunan bagi terdakwa dan lain­

lain. Dengan kata lain, hak ini merujuk pada privelese, keuntungan atau

keutamaan yang diberikan kepada seseorang yang memegang suatu

posisi/jabatan

Dalam konteks politik modern pelaksanaan kekuasaan pemerintahan

dalam semua bentuk pemerintahan, tidak ada hak prerogatif yang dimiliki

seorang kepala negara/pemerintahan atau raja yang sifatnya tidak dibatasi.

27

Page 29: NASKAH AKADEMIK - berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20191206-052843-6611.pdftugas, fungsi dan wewenang setiap kementerian, proses pembentukan, ... Sementara

Pemahaman dibatasi diwujudkan dalam bentuk aturan legal yang sifatnya

ekspisit. Hal ini _ bermuara pada sebuah argumen legal bahwa "prerogative

rights end when a law begins". Sebaliknya pemahaman bahwa hak

prerogatif tidak tak terbatas dapat dilihat dari munculnya kekuatan

pengimbang baru dalam pemerintahan yakni arah pendapat publik terhadap

arah dan preferensi kebijakan yang diambil oleh seorang pemegang hak

prerogatif. Lebih jauh, arah pendapat publik bisa terwakili pada suara para

penasehat atau pembantu dekat pejabat pemegang hak prerogatif dalam

proses pemilihan kebijakan publik.

Dalam konteks pemerintahan klasik seperti halnya di lnggris

misalnya, sebenarnya keberadaan hak prerogatif raja bahkan secara praktis

telah hilang sejak akhir abad ke-17 ketika mulai munculnya sebuah sistem

kabinet menggantikan dewan privy (Privy Council) sebagai kelompok kecil

yang bertugas memberikan nasehat bagi raja dalam menjalankan

pemerintahan atau mempertimbangkan untuk mengambil suatu kebijakan.

Dalam konteks sistem pemerintahan republik Amerika, para pendukung hak

prerogatif penuh mendasarkan diri pada satu klaim bahwa semua hak raja

dilimpahkan kepada presiden sejak negara ini mendapatkan

kemerdekaannya dari lnggris. Namun demikian, lahirnya Senat dalam

sistem parlemen AS menjadi argumen dasar bahwa klaim inipun tidak dapat

dipraktekkan karena kuatnya Senat dalam mengkontrol preferensi kebijakan

yang diambil presiden.

Dalam masa-masa sekarang, hampir mayoritas negara menganut

pemahaman bahwa hak prerogatif pada pejabat negara bukanlah hak yang

tidak tak terbatas dalam sistem politiknya meskipun pembatasannya sangat

bergantung pada konvensi dan sistem politik yang dianut. Namun demikian,

harus diakui bahwa pembatasan terhadap hak prerogatif ini sifatnya lebih

merujuk pada persoalan derajat (a matter of degree) dan kelembagaan

bukan sebaliknya individual. Dengan demikian, dalam pelaksanaannya,

suatu kewenangan tetap memiliki unsur 'keprerogatifan' hanya saja

kadarnya tidak mutlak.

28

Page 30: NASKAH AKADEMIK - berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20191206-052843-6611.pdftugas, fungsi dan wewenang setiap kementerian, proses pembentukan, ... Sementara

4.2. Memperkuat Sistem Presidensial

Lahirnya suatu pengaturan tentang kementerian negara dimaksudkan

untuk memperkuat sistem pemerintahan presidensial itu sendiri. Hal ini

terlihat dalam pengaturan RUU yang menegaskan bahwa kementerian

negara berkedudukan berada dan bertanggung jawab kepada presiden.

Dengan demikian, presiden yang dipilih secara langsung oleh rakyat masih

memiliki kebebasan dalam menentukan rancang bangun kementerian

negara kecuali sejumlah kementerian wajib yang sifatnya menjadi

kebutuhan yang selalu ada dalam sistem pemerintahan manapun sesuai

dengan program kerja yang dibangun ketika kampanye pemilihan presiden.

Adanya pengaturan tentang pembatasan dalam pembentukan, pengubahan

dan pembubaran yang memerlukan persetujuan atau pertimbangan

lembaga lain seperti DPR didasari oleh kepentingan pelaksanaan

pemerintahan yang stabil, efektif dan efisien serta demokratis sehingga

dalam batas tertentu pengaturan pembatasan kewenangan Presiden dalam

pembentukan, pengubahan dan pembubaran kementerian strategis dapat

menjadi membantu presiden ketika dalam perjalanan pemerintahannya,

presiden mengalami persoalan dalam mengoptimalkan kinerja

kementeriannya.

4.3. Memperkuat Mekanisme Checks and Balances

Adanya kebutuhan terselenggaranya pemerintahan yang semakin

demokratis, menuntut terciptanya mekanisme pengimbangan kekuasaan

(checks and balances) di antara lembaga-lembaga negara yang terbagi ke

dalam kewenangan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Dengan demikian,

pelaksanaan kekuasaan pemerintahan negara diupayakan tidak mengarah

pada satu kekuatan lembaga negara tertentu kondisi mana pada gilirannya

dapat mendorong terciptanya pemerintahan yang selalu dalam koridor

masing-masing kekuasaan.

Secara filosofis, kebutuhan untuk memperkuat mekanisme checks

and balances dapat ditinjau berdasarkan argumen Lord Acton bahwa

"power tends to currupt, corrupt power corrupts absolutely". Diturunkan

29

Page 31: NASKAH AKADEMIK - berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20191206-052843-6611.pdftugas, fungsi dan wewenang setiap kementerian, proses pembentukan, ... Sementara

dalam konteks perjalanan politik Indonesia, dasar filosofis tersebut terbukti

memiliki implikasi empiris ketika terjadi kondisi di mana tidak terjadi

mekanisme tersebut pada era demokrasi terpimpin dan beberapa

penggalan terakhir pemerintahan Orde Baru. Lebih jauh, momentum

penguatan mekanisme pengimbangan kekuasaan semakin kuat ketika

Indonesia memasuki era demokratisasi yang ditandai dengan adanya

amandemen UUD 1945 secara khusus Pasal 17 ayat (4) dengan

konsekuensi terjadinya perubahan praktek ketatanegaraan. Dalam format

pemikiran dasar sosiologis seperti inilah beserta dasar yuridisnya, urgensi

pengimbangan kekuasaan dalam bentuk keterlibatan lembaga negara

tertentu dalam membantu presiden mendesain suatu kementerian negara

dapat ditemukan.

4.4. Memperkuat dan Mengefektifkan Otonomi Daerah

Momentum tuntutan pelaksanaan otonomi daerah sebagaimana

diatur berdasarkan dalam UU No. 32 Tahun 2004 menjadi faktor lain yang

turut memberikan warna tersendiri dalam pengaturan tentang pembentukan,

pengubahan dan pembubaran kementerian negara. Dengan adanya

pelimpahan wewenang sejumlah urusan pusat ke daerah tidak hanya

memberikan implikasi bagi terjadinya perubahan hubungan pusat dan

daerah tetapi juga kebutuhan kelembagaan perangkat kementerian dan

lembaga non-kementerian yang ramping dan tidak tumpang-tindih di pusat.

Dalam kondisi demikian, pelaksanaan otonomi daerah dapat dioptimalkan.

Tuntutan bagi terciptanya suatu desain rancang kementerian negara

yang mengakomodasi tuntutan bagi penguatan pelaksanaan otonomi

daerah juga dapat mendorong pemerintah pusat untuk segera melimpahkan

sejumlah urusan kepada daerah berdasarkan UU No. 32 tahun 2004

tentang Pemerintahan Daerah. Sebagaimana diketahui bahwa sejumlah

urusan selama ini belum semuanya dilimpahkan kepada daerah sementara

pada saat yang sama ada kecenderungan munculnya sejumlah kebijakan

pusat yang mengurangi derajat keotonomian daerah atas urusan tertentu.

Kondisi demikian, pada gilirannya dapat memicu sahwat politik pemerintah

30

Page 32: NASKAH AKADEMIK - berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20191206-052843-6611.pdftugas, fungsi dan wewenang setiap kementerian, proses pembentukan, ... Sementara

pusat untuk memunculkan resentralisasi. Dengan adanya penegasan

pengaturan hubungan antara lembaga kementerian dengan pemerintahan

daerah dalam undang-undang tentang kementerian negara sedikit banyak

akan dapat memperkuat dan mengefektifkan pelaksanaan otonomi daerah.

4.5. Penyelenggaraan Pemerintahan yang Efektif, Efisien, dan

Bertanggung Jawab

Berbicara masalah desain lembaga kementerian negara akan

berbanding lurus dengan kebutuhan anggaran negara, SOM dan kebutuhan

akan perangkat lunak dan keras lainnya. Semakin besar jumlah

kementerian dan urusannya, akan semakin besar beban keuangan negara

sementara pada saat yang sama sejumlah urusan tertentu telah

dilimpahkan ke daerah melalui instrumen otonomi daerah. Dengan

demikian, sejalan dengan satu argumen bahwa money follows function

maka desain kementerian negara diarahkan pada upaya efisiensi dan

efektifitas urusan pemerintahan. Undang-undang kementerian negara

nantinya diharapkan dapat memperkuat bagi terciptanya paradigma tata

urusan pemerintahan yang "miskin struktur kaya fungsi". Dengan kata lain,

desain undang-undang tersebut didasarkan pada visi dan misi menciptakan

minimal state sehingga UU ini dapat menjadi salah satu pilar reformasi

kelembagaan negara.

Sejalan dengan pemikiran di atas jumlah dan jenis kementerian akan

dibatasi sehingga pelaksanaan prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan

yang baik, bersih dan bertanggung jawab serta efektif dan efisien sesuai

dengan paradigma managemen publik baru (new public management)

dapat tercapai. Dalam konteks ini pula, dalam rangka memperkuat

demokratisasi ke daerah dan efisiensi, kementerian negara sejauh mungkin

akan diarahkan menjadi policy agencies dan daerah sebagai implementing

agencies.

Hal yang sama terjadi terhadap kebutuhan bagi pengaturan tentang

kedudukan lembaga-lembaga atau badan-badan non-kementerian yang

selama ini terlihat tumpang-tindih dengan kementerian terkait sehingga

31

Page 33: NASKAH AKADEMIK - berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20191206-052843-6611.pdftugas, fungsi dan wewenang setiap kementerian, proses pembentukan, ... Sementara

mengakibatkan adanya duplikasi pelaksanaan urusan tertentu, kewenangan

dan besarnya beban keuangan negara untuk gaji para penyelenggaraoya.

Oleh karena itu, pengaturan tentang kedudukan LPNK dan hubungannya

dengan kementerian tertentu dalam undang-undang tersebut dapat

membantu mengatasi persoalan di atas.

4.6. Susunan Rancangan Undang-Undang Kementerian Negara

Rancangan Undang-Undang Kementerian Negara disusun dengan

sistimatika sebagai berikut: :

Judul RUU

Konsideran

Menimbang

Mengingat

I. KETENTUAN UMUM

II. SUSUNAN DAN KEDUDUKAN

a. Bagian Pertama, Susunan.

b. Bagian Kedua, Kedudukan

Ill. TUGAS, FUNGSI, DAN WEWENANG

a. Bagian Pertama, Tugas.

b. Bagian Kedua, Fungsi.

c. Bagian Ketiga, Wewenang

IV. PEMBENTUKAN, PENGUBAHAN, DAN PEMBUBARAN

KEMENTERIAN

a. Bagian Pertama, Pembentukan.

b. Bagian Kedua, Pengubahan.

c. Bagian Ketiga, Pembubaran

V. PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN MENTER!

a. Bagian Pertama, Pengangkatan.

b. Bagian Kedua, Larangan Rangkap Jabatan.

c. Bagian Ketiga, Pemberhentian

32

Page 34: NASKAH AKADEMIK - berkas.dpr.go.idberkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20191206-052843-6611.pdftugas, fungsi dan wewenang setiap kementerian, proses pembentukan, ... Sementara

VI. HUBUNGAN FUNGSIONAL KEMENTERIAN DAN LEMBAGA

PEMERINTAH NON-KEMENTERIAN

VII. KETENTUAN PERALIHAN

VIII. KETENTUAN PENUTUP

Daftar Pustaka

Budiardjo, Miriam. Oasar-Dasar I/mu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004

Encyclopedia Americana, Vol. 5, USA: Grolier Incorporated, 1996.

Gove, Philip Babcock (ed), Webster 3rd New International Dictionary, G&C Merriam Co.,

1966.

Pahlevi, Indra. "Kementerian Negara dalam Sistem Presidensiil di Indonesia", Kajian Vol.

8, No. 4 (Desember 2003): 257-274.

Ramesh, M and Michael Howlett, Studying Public Policy, Policy Cycles and Policy

Subsystem, NY: Oxford Univ. Press., 1995.

Sumber Lain

Risa/ah Rapat Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR, Buku Kedua, Jilid 7 A, Sekretariat

Jenderal MPR RI, Jakarta 2001.

Sumbang Saran RUU KN Universitas Airlangga, Makalah RDPU, 6 Juli 2006. Yayasan

Jetra RI, Indonesia Menyongsong Era Kebangkitan Nasional Kedua, Jakarta:

Yayasan Jetra RI.

Kumpulan Risalah Hasil RDPU Pansus RUU Kementerian Negara dan RUU Dewan

Penasehat Presiden dengan sejumlah Nara Sumber pada Masa Sidang Ill dan IV

(Januari-Juli 2006).

Bahan Tayangan Materi Sosialisasi UUD RI Tahun 1945, Sekretariat Jenderal MPR RI,

2005

V. Lampiran :

1. Draf RUU tentang Kementerian Negara

2. Keterangan DPR-RI

33