naskah akademik -...
TRANSCRIPT
NASKAH AKADEMIK
RANCANGAN UNDANG UNDANG
TENTANG
KEMENTERIAN NEGARA
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
NASKAH AKADEMIK
RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG KEMENTERIAN NEGARA
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kementerian negara memiliki kedudukan penting dalam sistem
pemerintahan modern karena ia menjadi inti dari kekuasaan pemerintahan
yang bernarna eksekutif. Kehadiran kementerian negara jug a merupakan
konsekuensi dari adanya pembagian atau pemisahan kekuasaan dalam
sistem politik demokratis dimana kedudukannya sebagai bagian dari
eksekutif dalam konteks trias politika bertugas melaksanakan urusan-urusan
atau serangkaian kebijakan atau undang-undang yang telah ditetapkan oleh
suatu badan legislatif.
Dalam sejarah terbentuknya kementerian negara, organisasi
kementerian negara terus mengambil peran yang semakin penting dari
posisinya sebagai pembantu atau penasehat raja/kepala negara pada awal
abad ke-17 sampai menjadi salah satu penentu alternatif kebijakan dalam
proses pembuatan keputusan-keputusan politik penting.
Dalam sistem pemerintahan modern cabang eksekutif dapat
didefinisikan sebagai orang atau sekumpulan orang yang memiliki tanggung
jawab untuk mengajukan serangkaian usulan kebijakan dan berupaya
mendapatkan dukungan untuk mengamankan serangkaian usulan kebijakan
tersebut. Termasuk di dalamnya, tanggung jawab terhadap
pelaksanaannya. Batasan yang jelas antara eksekutif dengan personel
administratif yang lebih rendah sulit dilakukan tetapi satu kriteria dapat
dipakai bahwa eksekutif memiliki diskresi penting dalam hal pembuatan dan
pelaksanaan berbagai keputusan kebijakan tingkat atas.
Di kebanyakan negara kewenangan eksekutif pemerintahan terbagi
antara seorang kepala negara dan kepala pemerintahan dengan berbagai
sebutan seperti perdana menteri, premier atau konselir. Kepala negara,
biasanya seorang raja secara turun temurun atau seorang presiden yang
1
dipilih oleh sebuah badan legislatif, bertindak sebagai simbol kesatuan
bangsa dan tokoh terhadap mana semua tindakan pemerintah dilakukan.
Diskresi kepala negara sangat dibatasi, dan hampir semua tindakan penting
pemerintah harus diambil dan menjadi tanggung jawab kepala
pemerintahan atau para pemimpin yang diberi tanggung jawab secara
politik. Dewan legislatif masih tetap berkuasa menolak serangkaian usulan
kebijakan eksekutif bersama-sama dengan kewenangan untuk memecat
eksekutif dalam situasi krisis berat, baik dengan impeachment atau mosi
tidak percaya.
Landasan konstitusional kekuasan eksekutif berbeda-beda untuk
setiap negara. Di lnggris, sebagai contoh, hak prerogatif tradisional raja
masih menjadi sumber utama kewenangan eksekutif. Beberapa kekuasaan
presiden di AS didasarkan pada suatu argumen bahwa semua kekuasan
yang ada adalah kekuasaan inheren eksekutif yang te/ah ditransfer secara
langsung dari raja kepada otoritas eksekutif yang baru pada waktu
kemerdekaan. Di Indonesia, dipakainya sistem presidensial dengan
kedudukan presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan
sekaligus, konstitusi negara memberikan kekuasaan yang begitu besar
kepada presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif dalam
menjalankan pemerintahan negara termasuk dalam hal kewenangan
pembentukan dan penggantian kementerian negara, sebuah kewenangan
yang secara legal dimaknai sebagai hak prerogatif presiden.
Lahirnya amandemen UUD 1945 melahirkan sejumlah pembatasan
baru bagi kekuasaan eksekutif sehingga kekuasaannya semakin tidak tak
terbatas. Dengan kata lain, besarnya kekuasaan sebagai akibat dari
besarnya tugas/fungsi dan kewenangan eksekutif tetap memiliki
keterbatasan. Benar bahwa eksekutif memiliki sejumlah kekuasaan yang
sangat mungkin tidak memiliki rujukan yang tegas baik dalam konstitusi
maupun ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya tetapi batasan
batasan tertentu terhadap eksekutif masih tetap berlangsung.
2
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
mengamanatkan penyelenggaraan pemerintahan negara khususnya dalam
cabang kekuasaan eksekutif diarahkan pada upaya mencapai tujuan
nasional sebagaimana termaktub dalam Pembukaannya. Konstitusi Negara
tersebut selanjutnya menegaskan bahwa dalam lingkup sistem presidensial,
Presiden memegang kekuasaan pemerintahan negara menurut Undang
Undang Dasar. Dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan negara,
Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara yang pengangkatan dan
pemberhentiannya sepenuhnya menjadi wewenang Presiden. Dengan
demikian sistem pemerintahan yang berjalan sejak kemerdekaan, presiden
dapat menentukan sendiri struktur dan jumlah kementerian negara. Oleh
karena itu, dalam setiap periode pemerintahan sejak kemerdekaan sampai
sekarang praktek pembentukan, pengubahan dan pembubaran kementerian
negara selalu berubah-ubah atau tidak baku setiap periode pemerintahan
berdasarkan kondisi lingkungan politik yang berkembang pada saat itu.
Dalam sistem ini, Presiden bebas tanpa intervensi atau campur tangan
kekuatan politik manapun dalam mengangkat para menteri dan sekaligus
memberhentikannya jika dianggap tidak mampu melaksanakan tugas dan
kewajibanynya.
Dalam masa pra-demokrasi terpimpin dari bu Ian November 1945 s.d.
Juni 1959, Indonesia menggunakan sistem parlementer dan sistem
presidensial di mana sebagian menteri di bawah PM dan Wakil Presiden
Moh. Hatta. Jumlah menteri dalam masa sebelum 27 Desember 1949
berkisar antara 16 orang (Kabinet Syahrir ke-1) dan 37 orang (Kabinet Amir
Syariffudin ke-2). Jumlah menteri pada masa sesudahnya berkisar antara
18 (Kabinet Wilopo) dan 25 orang (Kabinet Ali Sastroamidjojo ke-2). Para
menteri dibagi dalam beberapa golongan yakni menteri inti, menteri negara,
dan menteri muda terutama dalam masa sebelum Desember 1949.
Kemudian, dalam masa yang dikenal sebagai periode demokrasi liberal,
misalnya, 7 kabinet dari pemerintahan Natsir s.d. Djuanda selalu jatuh
bangun sehingga program pemerintahan praktis tidak dapat berjalan akibat
kesibukan kabinet dalam mempertahankan diri dari rongrongan politik.
3
Sejak juni 1959, dengan berlakunya kembali sistem presidensial,
dinamika susunan kabinetnya sangat tergantung pada keinginan presiden.
Perubahan konstelasi kementerian negara yang sangat tidak baku terjadi
dalam masa demokrasi terpimpin di mana jumlah menteri lebih dari 100
orang. Hal ini terjadi karena pimpinan MPRS dan DPR Gotong Royong dan
Ketua MA diberi status menteri. Berkuasanya Orde Baru sejak 1968,
kementerian negara sepenuhnya menjadi kewenangan presiden dan
jumlahnya juga bervariatif dan tidak ada rangkap jabatan sehingga jumlah
menteri tidak lebih dari 30 orang.
Kondisi demikian tidak mendorong terciptanya suatu pemerintahan
yang efektif dan efisien dan untuk sebagian terutama masa-masa sebelum
Orde Baru telah mengarah kepada persoalan instabilitas sosial dan politis.
Sebagai contoh, perubahan struktur kementerian negara yang dampaknya
dapat dirasakan tidak hanya pada masa-masa awal kemerdekaan baik
dalam sistem parlementer maupun presidensial tetapi juga pada masa
masa pemerintahan penerusnya sampai sekarang.
Dasar sosiologis tersebut menjadi momentum politis penting bagi
para perumus amandemen Undang-Undang Dasar 1945 untuk memberikan
landasan yuridis dalam bentuk suatu peraturan perundang-undangan bagi
presiden dalam melaksanakan kewenangannya dalam pembentukan,
pengubahan dan pembubaran kementrian negara. Pemberian landasan
yuridis tersebut tentunya tidak mengurangi makna sistem pemerintahan
presidensial. Sebaliknya hal ini justru diarahkan dalam rangka memperkuat
sistem presidensial itu sendiri yang pada gilirannya dapat mengarah pada
terciptanya suatu pemerintahan yang stabil, efektif dan efisien dari sisi
keuangan negara serta bertanggung jawab dalam mewujudkan tujuan
pembangunan nasional. Dalam kerangka pemikiran ini, kiranya dirasakan
mendesak untuk menginisiatifkan suatu undang-undang tentang
kementerian negara.
4
Pasal 17 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
hasil amandemen keempat menjadi dasar hukum perlunya bagi pengaturan
kementerian negara dalam sebuah bingkai sistem presidensial. Namun
demikian, menyadari bahwa pengaturan kata "dalam" pada Pasal 17 ayat
(4) yang berbunyi "Pembentukan, pengubahan, dan pembubaran
kementerian negara diatur dalam undang-undang" tidak harus merujuk pada
suatu undang-undang tersendiri maka judul dan ruang lingkup
pengaturannya masih memungkinkan untuk diakomodasikan atau
diintegrasikan ke dalam undang-undang yang mengatur tentang lembaga
eksekutif.
1.2. Maksud dan Tujuan
Maksud dibuatnya naskah akademik ini adalah untuk memberikan
landasan berpikir secara akademis atas desain RUU yang dijabarkan ke
dalam serangkaian klausul yang saling berkaitan satu dengan yang lain.
Sementara itu, tujuan yang ingin dicapai adalah bahwa naskah akademik ini
benar-benar dapat menjadi pedoman dalam memahami dasar filosofis dan
suasana bathin dari setiap pengaturan yang terjabarkan dalam pasal-pasal
di dalam batang tubuh dan penjelasan RUU Kementerian Negara.
1.3. Metode Pendekatan
Naskah akademik ini dipersiapkan dengan menggunakan
pendekatan sosiologis dan politis.
1.4. Konsep Kementerian Negara
Kementerian Negara merujuk pada semua lembaga kementerian
sebagaimana dipakai dalam praktek pemerintahan RI sampai dengan
terbentuknya Kabinet Dwikora yang disempurnakan pada tahun 1966. Sejak
terbentuknya Kabinet tersebut dan memasuki Orde Baru, semua lembaga
kementerian yang selanjutnya dipakai dengan sebutan "kementerian" diganti
dengan sebutan "departemen".
5
II. RUANG LINGKUP RUU KEMENTERIAN NEGARA
RUU Kementerian Negara ini pada dasarnya bersifat komprehensif
yakni mencoba mengatur segala hal yang berkaitan dengan aspek-aspek
kementerian negara sebagai bagian dari kekuasaan eksekutif, mulai dari
posisi kementerian negara sebagai pembantu atau pelaksana pemerintahan
yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada presiden, pengaturan
tentang penyeragaman nomenklatur atau penamaan baik untuk kementerian
portofolio dan kementerian non-portofolio dalam menangani urusan tertentu
pemerintahan.
Kemudian, susunan dan kedudukan kedua jenis kementerian tersebut,
tugas, fungsi dan wewenang setiap kementerian, proses pembentukan,
pengubahan dan pembubarannya yang dibedakan untuk kategori
kementerian yang secara sosiologis dan politis akan terus dibutuhkan oleh
semua jenis pemerintahan dan kementerian strategis berdasarkan kebutuhan
dan fokus program pemerintah, kondisi fisik dan nonfisik negara seperti
faktor-faktor sosial-ekonomi, politik, hukum dan HAM dan pertahanan dan
keamanan; derajat peran atau posisi DPR dalam pembentukan setiap
kelompok kementerian tertentu, pengangkatan dan pemberhentian menteri,
larangan rangkap jabatan, dan hubungan fungsional kementerian dengan
Lembaga Pemerintah Non-Kementerian (LNKN) yang semakin diarahkan
untuk lebih memudahkan koordinasi dengan setiap kementerian terkait dan
penegasan perlunya pertanggungjawaban LNKN melalui kementerian terkait.
Untuk menghindari ketidakpastian bagi presiden dan untuk menyesuaikan
dengan aturan ini, diatur tentang waktu jeda yang tercantum dalam aturan
peralihan.
Sejalan dengan kuatnya momentum pelaksanaan otonomi daerah
berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 sementara di sisi lain pelaksanaannya di
lapangan masih belum konsisten atas sejumlah hal seperti pelimpahan
wewenang sejumlah urusan kepada daerah, masih terjadinya tumpah tindih
sejumlah pelaksanaan urusan antara pemerintah daerah dengan instansi
vertikal serta lemahnya koordinasi antara pusat dan daerah, RUU ini juga
6
mengatur tentang hubungan antara kementerian negara dengan pemerintah
daerah.
Selain itu, RUU ini juga diupayakan setuntas dan sekomprehensif
mungkin sehingga tidak diperlukan lagi peraturan pelaksanaan lainnya.
Namun demikian, karena adanya suatu konsensus politik di antara para
perumusnya untuk membatasi RUU ini pada aspek-aspek kementerian
negara sebagai pembantu presiden dan menghindari ketidakfokusan ruang
lingkup pengaturannya maka tetap dibuka peluang pengaturan lebih lanjut
melalui peraturan yang lebih rendah lainnya yakni Peraturan Presiden.
Untuk mengetahui secara lengkap hal-hal tersebut naskah akademik
ini mencoba memaparkannya secara objektif dan runtut bagaimana pokok
pokok pengaturan tersebut berdasarkan pada berbagai masukan yang telah
diterima yang akhirnya dirumuskan dalam bagian berikutnya.
111. PENGATURAN TENTANG KEMENTERIAN NEGARA
3.1. Penetapan Masalah
Sejarah pembentukan lembaga kementerian negara di Indonesia
dimulai sejak masa kemerdekaan. Dalam perjalanannya, format atau desain
lembaga kementerian negara selalu berubah-ubah berdasarkan konstelasi
politik yang berkembang, dalam hal ini sistem demokrasi yang dianut, dan
kebutuhan dan kepentingan politik rezim yang ada baik yang menggunakan
sistem parlementer maupun presidensial.
Pada masa sistem pemerintahan parlementer, pembentukan kabinet
ditarik dari konfigurasi kekuatan-kekuatan politik yang terrepresentasikan
dalam parlemen. Sementara itu, dalam sistem presidensial, terdapat dua
varian dalam setiap pembentukan kementerian. Ketika Indonesia
menggunakan sistem demokrasi terpimpin, kementerian dibentuk
berdasarkan kekuatan politik yang ada. Sementara itu, ketika Orde Baru
berkuasa, desain lembaga kementerian didasarkan salah satu kekuatan
politik tertentu.
Sejak era reformasi, desain lembaga kementerian negara yang
bertumpu pada semua kekuatan politik, terutama sejumlah kekuatan politik
7
yang dominan. Namun demikian, satu fenomena politik, sebagian dianggap
sebagai sesuatu yang wajar karena desain lembaga kementerian
sepenuhnya menjadi wilayah eksekutif, bahwa pembentukan lembaga
kementerian masih mencerminkan kekuasaan presiden sepenuhnya dalam
menentukan jumlah dan komposisi kementerian negara. Dengan kata lain
tidak terlihat adanya mekanisme perimbangan kekuatan dari lembaga
negara lainnya. Dengan demikian tidak ada pembatasan sama sekali dalam
penentuan jumlah dan komposisinya atau lazim disebut menjadi wilayah
prerogatif presiden.
Secara yuridis dan politis, tidak adanya pembatasan tersebut sebagai
sesuatu yang memang semestinya karena landasan yuridisnya,
kementerian negara menjadi kewenangan penuh presiden berdasarkan
ketentuan UUD 1945. Namun demikian, kondisi seperti ini dinilai dapat
menghambat bagi terciptanya sistem check and balances, suatu kondisi
yang dapat berakibat pada lemahnya sistem presidensial dan demokrasi itu
sendiri. Sementara di sisi lain, tidak adanya mekanisme perimbangan
tersebut dalam penyusunan lembaga kementerian dapat mengarah pada
terjadinya inefisiensi penyelenggaraan pemerintahan bahkan instabilitas
politik dan resiko sosial lainnya. Kebijakan yang didasarkan pada 'argumen'
hak prerogatif presiden atas pembubaran Departemen Penerangan dan
Departemen Sosial pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid
tidak lama setelah pengangkatannya, misalnya, adalah kasus empiris yang
mendorong para perumus amandemen UUD 1945 untuk melakukan
pembatasan terhadap presiden dalam melaksanakan kekuasaan
pemerintahannya.
Era reformasi ke depan belum menjamin bahwa kondisi perpolitikan
kita akan lebih kondusif untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih untuk
mendorong dan melahirkan pemimpin politik yang melakukan tindakannya
secara rasional, efisien dan bertanggung jawab serta menciptakan stabilitas
sosial dan politik. Sementara itu pada saat yang sama kita masih
menggunkan sistem presidensial yang menempatkan posisi presiden begitu
kuat.
8
Lahirnya amandemen Pasal 17 ayat (4) kiranya menyiratkan
kekhawatiran ini sehingga perlu adanya mekanisme check and balances
meskipun hak prerogatif dalam menetapkan menteri sebagai 'hak
prerogatifnya' masih tetap berjalan hanya saja berjalan dalam suasana yang
lebih demokratis, efektif dan efisien.
Dengan demikian, latar belakang adanya upaya untuk menguatkan
sistem demokrasi dan sistem presidensial didasarkan pada keinginan untuk
membuat rambu-rambu terhadap kewenangan presiden dalam menentukan
para pembantunya dalam lembaga kementerian. Oleh karena itu, pada
akhirnya dapat dipahami bahwa kehadiran suatu undang-undang yang
mengatur tentang kementerian negara memiliki semangat untuk
membangun sistem penyelenggaraan pemerintahan yang legitimate, efektif
dan efisien serta memenuhi kepentingan stabilitas politik dalam
penyelenggaraan pemerintahan negara.
Dengan kata lain, memperkuat sistem presidensial itu sendiri.
Dengan demikian, dalam konteks pemikiran ini Presiden akan terdorong
untuk tidak mengambil keputusan dalam pembentukan, penggabungan dan
pembubaan kementerian yang cenderung subjektif atau berdasarkan
interpretasi sepihak yang menguntungkan kelompok atau golongan tertentu.
Suatu undang-undang tentang kementerian negara dapat menjadi landasan
bagi sebuah sistem yang sebenarnya bertujuan untuk lebih memudahkan
presiden dalam menjalankan hak dan kewenanganannya secara rasional
dan efisien dan bahkan dalam batas tertentu dapat 'melindungi' presiden
dari kerepotan-kerepotan yang tidak perlu.
Berangkat dari konstelasi sosiologis dan kesadaran politis inilah
sebagai upaya tindaklanjut terhadap amanat Pasal 17 ayat (4) UUD 1945
inisiatif pengaturan tentang kementerian negara menjadi sebuah agenda
kelembagaan DPR rnelalui hak usul inisiatif RUU Kementerian Negara
dilakukan yang secara kronologis dapat disarikan berikut ini.
9
Secara non-kelembagaan atau wacana publik (stream of problem),
pengajuan kedua RUU ini tidak terlepas dari lahirnya reformasi politik
dengan konsekuensi adanya kebutuhan bagi terciptanya sebuah
mekanisme perimbangan kekuasan (check and balances) dalam
penyelenggaraan pemerintahan negara. Dalam lingkup kekuasaan
eksekutif, lahirnya reformasi politik juga merupakan insentif politik bagi
perlunya sebuah landasan hukum bagi pengaturan tentang lembaga
eksekutif yang pada era-era sebelumnya tidak tersentuh. Dalam ranah
publik, misalnya hal ini ditindaklanjuti dengan berkembangnya wacana
pengaturan tentang Lembaga Kepresidenan dalam sebuah undang-undang.
Lahirnya Pasal 17 ayat (4) hasil amandemen UUD 1945 merupakan
landasan hukum bagi sebuah pengaturan tentang lembaga eksekutif secara
khusus lembaga Kementerian Negara. Dengan dasar inilah wacana publik
yang berkembang tentang perlunya pengaturan tentang lembaga eksekutif
dijadikan sebagai agenda kelembagaan yang secara resmi digulirkan
melalui inisiatif DPR RI atas RUU tentang Kementerian Negara.
Secara kelembagaan, kronologi penangangan RUU tentang
Kementerian Negara dapat diruntut melalui serangkaian keputusan politik
penting a.I. sebagai berikut:
1. Kuatnya wacana publik tentang keperluan perimbangan kekuatan dalam
penyelenggaraan pemerintahan negara dalam sebuah sistem
pemerintahan presidensial yang stabil, efektif dan efisien di satu sisi dan
di sisi lain lahirnya Pasal 17 ayat (4) hasil amandemen UUD 1945
menjadi rujukan yuridis bagi sejumlah anggota Parlemen untuk
mengajukan usul inisiatif RUU tentang Kementerian Negara. Sebelum
diajukan secara resmi menjadi agenda legislasi DPR RI, faktor
pendorong yuridis lainnya adalah lahirnya Program Legislasi Nasional
(Prolegnas) Tahun 2005 - 2009 yakni sebuah instrumen perencanaan
program pembentukan undang-undang yang disusun secara berencana,
terpadu dan sistematis. Program ini merupakan amanat Pasal 15 ayat
(1) UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang
undangan yang mengatur bahwa "perencanaan penyusunan undang-
10
undang dilakukan dalam suatu Prolegnas". Dalam Prolegnas Tahun
2005 - 2009, RUU tentang Kementerian Negara ditetapkan sebagai
salah satu dari sejumlah 55 RUU yang menjadi prioritas jangka pendek
untuk dibahas.
2. RUU tentang Kementerian Negara bersama-sama dengan RUU tentang
Dewan Penasihat Presiden diputuskan menjadi usul lnisiatif dari BALEG
dan sebagai tindaklanjut keputusan ini, kedua RUU ini diberitahukan
dalam Rapat Paripurna DPR RI pada tanggal 28 Juni 2005.
3. Rapat Paripurna DPR RI tanggal 30 Agustus 2005 memutuskan kedua
RUU dimaksud menjadi RUU Usul lnisiatif DPR RI. Untuk mempercepat
kelancaran penanganan kedua RUU ini, Rapat BAMUS tanggal 8
September 2005 memutuskan kedua RUU dimaksud ditangani oleh satu
Panitia Khusus (Pansus) dengan jumlah Anggota 50 orang mewakili
semua unsur fraksi yang pembentukannya disahkan oleh Rapat
Paripurna DPR RI tanggal 13 September 2005. Dengan dasar
pembentukan Pansus beserta Pimpinan dan Keanggotaan Pansus yang
dikukuhkan melalui KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT
REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 05/DPR Rl/1/2005-2006 tentang
Pembentukan Panitia Khusus DPR RI mengenai RUU tentang Dewan
Penasihat Presiden dan RUU tentang Kementerian Negara selanjutnya
menjadi dasar mulai bekerjanya Pansus.
4. Rapat intern Pansus RUU tentang Kementerian Negara dan RUU
Dewan Penasehat Presiden DPR RI pada tanggal 15 Februari 2006
menyepakati tahapan-tahapan penyiapan dan penggodokan kedua RUU
tersebut sebelum diajukan kepada pemerintah a.I.:
(a) Tahapan menghimpun saran dan masukan publik melalui mekanisme
RDP/RDPU dengan sejumlah narasumber. Dalam rangka mendesain
suatu peraturan perundang-undangan yang lebih komprehensif dan
memenuhi semua keinginan pemangku kepentingan, upaya
penyempurnaan substansi RUU Kementerian Negara diadakan
penjaringan saran dan pendapat, masukan, pikiran dan sejumlah
gagasan konstruktik lainnya dari serangkaian pemangku kepentingan
11
baik secara publik maupun swasta serta dari pihak-pihak baik
perseorangan maupun lembaga yang sifatnya lintas-politik, agama
dan sosial melalui serangkaian RDPU DPR-RI yang terbagi ke dalam
dua Masa Sidang DPR RI berjalan kira-kira 7 bulan. Dalam satu
Masa Sidang DPR RI, Pansus DPR RI RUU Kementerian Negara
telah mengadakan sejumlah RDPU dengan sejumlah pakar hukum
tata negara, pakar politik, tokoh atau mantan pejabat politik, lembaga
publik seperti LAN, Lemhannas, UPI, lembaga kajian/LSM seperti
Forum Konstitusi (mantan anggota PAH I MPR RI), Partnership for
Governance Reform, lembaga keagamaan seperti PB NU, PP
Muhammadiyah, PGI, KWI, PHDI, WALUBI dan sejumlah perwakilan
perguruan tinggi negeri dan swasta yang dipilih berdasarkan sebaran
wilayah bagian Barat sampai dengan Timur Indonesia seperti
Universitas Sumatera Utara, Universitas Andalas, Universitas
Padjajaran, Universitas Diponegoro, Universitas Gadjah Mada,
Universitas Tanjung Pura, Universitas Mulawarman. Perguruan
Tinggi Swasta mencakup Universitas Trisakti, Universitas Muslim
Indonesia Ujung Pandang. Dalam Masa Sidang berikutnya, untuk
mensinkronkan dengan momentum otonomi daerah, proses
penyempurnaan draf selanjutnya dilakukan dengan cara penjaringan
kembali saran dan pendapat, masukan dan serangkaian gagasan
konstruktif melalui RDPU dengan sejumlah pakar administrasi
negara, perencanaan pembangunan dan lembaga kajian ekonomi
serta sejumlah pemangku kepentingan terutama yang terkait dengan
persoalan otonomi daerah yakni asosiasi pemerintahan daerah
seperti Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI),
Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (APEKSI), Sadan
Kerjasama Kabupaten Seluruh Indonesia (BKKSI) dan Asosiasi
DPRD Kabupaten Seluruh Indonesia (ADKASI). Setelah
diakomodasikan dengan pikiran, saran dan pendapat sejumlah pakar
dan lembaga pemangku kepentingan lainnya, draf hasil revisi untuk
selanjutnya dilakukan melalui uji publik menjelang akhir Juni 2006 di
12
lima ibukota provinsi yang diharapkan dapat mewakili sebaran
wilayah Republik Indonesia yakni di Provinsi Sumatera Utara,
Kalimantan Barat, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, dan Provinsi
Maluku. Proses penyempurnaan draf ini juga dilakukan dengan suatu
seminar bersama Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia
(APPSI). Kegiatan penghimpunan ini dilakukan dari akhir Januari
2005 s.d. pertengahan Juni 2006.
(b) Tahapan penyempurnaan kedua RUU yang dilakukan melalui 2 (dua)
langkah yakni:
(1) Langkah pemetaan agenda/subtansi materi berdasarkan hasil
masukan dari sejumlah narasumber dalam forum RDP/RDPU.
Dalam tahapan ini, proses penyempurnaan draf dilakukan
dengan mengakomodasi semua saran dan pendapat, kritik dan
sejumlah gagasan konstruktif dari narasumber dalam RDPU.
(2) Menyajikan dalam bentuk draf RUU dengan melibatkan ahli
bahasa dan legal drafter. Selanjutnya draf RUU ini dikirimkan
kembali kepada seluruh narasumber yang diundang (baik yang
hadir maupun yang tidak hadir) untuk dimintakan kembali
tanggapan tertulis. Sejumlah lembaga seperti LAN,
LEMHANNAS, Universitas Padjadjaran, Universitas Sriwijaya,
Universitas Mulawarman, Universitas Muslim Indonesia,
Universitas Katolik Parahyangan, Universitas Trisakti dan PHDI
dan sejumlah tokoh politik, pakar dan mantan pejabat negara
memberikan tanggapan tertulisnya.
(3) Tahapan uji publik/sosialisasi ke sejumlah daerah yang dipilih
berdasarkan sebaran wilayah geografis dari wilayah Indonesia
Barat ke Timur sebagai upaya memperkaya saran, pendapat
masukan dan sejumlah gagasan konstruktif dalam rangka
menyempurnakan draf akhir sebelum dikirim kepada
pemerintah.
13
(4) Tahapan sinkronisasi/finalisasi dengan tujuan untuk
harmonisasi, pembulatan dan pemantapan desain rancang
bangun kedua RUU dimaksud di Badan Legislasi DPR RI
sebelum dikirim ke pemerintah.
Untuk mengetahui secara lengkap hal-hal tersebut naskah akademik
ini mencoba memaparkannya secara objektif dan runtut bagaimana pokok
pokok pengaturan tersebut berdasarkan berbagai masukan yang ada
akhirnya dirumuskan dalam bagian berikutnya.
3.2. Perumusan Kebijakan
Rumusan RUU Kementerian Negara bersama-sama dengan RUU
Penasehat Presiden telah digulirkan secara internal DPR RI di lingkungan
Sadan Legislasi DPR RI sejak tahun 2003 tidak lama sejak pemerintahan
Presiden Abdurahman Wahid. Namun demikian, memasuki pemerintahan
baru hasil Pemilu tahun 2004 RUU Kementerian Negara tidak masuk lagi
dalam Prolegnas. Mulai tahun 2005, RUU ini diputuskan sebagai RUU yang
mendapat prioritas untuk dibahas berdasarkan Prolegnas 2005-2009.
Sebagai sebuah RUU yang secara substansial bertabrakan secara
konvensional dengan praktek pemerintahan di negara-negara di dunia,
rumusannya yang tersebar ke dalam 8 Bab dan 22 Pasal RUU,
substansinya secara ringkas dapat disarikan sebagai berikut :
Judul
RUU tersebut diberi judul "Kementerian Negara". Secara umum
rumusan judul ini mengakomodasi semua pandangan yang berkembang
dalam setiap forum RDPU untuk tetap menggunakan kata-kata itu. Alasan
penguat lainnya adalah peraturan yang menjadi dasar dari lahirnya RUU ini
yakni Pasal 17 UUD 1945 yakni rumusan kata-kata "menteri-menteri
negara". Karena RUU ini mengatur segala aspek yang berkaitan dengan
susunan, tugas dan kedudukan menteri-menteri negara dalam
penyelenggaraan urusan tertentu maka rumusan judulnya menggunakan
14
kata "kementerian negara" sebagai merujuk pada hal--hal tersebut di atas.
Namun demikian, penentuan judul ini sifatnya masih fleksibel karena dua
hal penting. Pertama, pertimbangan dari sisi kebahasaan dan isi yang
terkandung dalam batang tubuhnya sehingga masih memungkinkan adanya
perubahan judul. Kedua, dalam upaya mengakomodasi ketentuan Pasal 17
(4) bahwa apa yang dimaksud kata "dalam" dalam bunyi Pasal tersebut
dipahami bahwa undang-undang yang mengatur tentang kementerian
negara tidak harus diwujudkan ke dalam suatu undang-undang tersendiri
tetapi sangat dimungkinkan menjadi bagian dari undang-undang yang
mengatur tentang eksekutif atau yang secara konvensional telah
diwacanakan sebagai undang-undang tentang (lembaga) kepresidenan.
Dengan demikian, sekiranya mengakomodasi hal kedua ini, maka judul pun
dapat menyesuaiakan dan sebagai konsekuensinya cakupan isinya pun
lebih luas.
Konsideran
Konsideran menimbang memuat tiga unsur yang menjadi landasan
dasar urgensi undang-undang tentang kementerian negara ini dilihat dari
aspek filosofis, sosilogis dan yuridis. Landasan filosofis diilhami oleh
kesadaran bahwa pelaksanaan kekuasaan pemerintahan oleh presiden
diarahkan pada upaya memenuhi tujuan nasional sebagaimana dirumuskan
ke dalam Pembukaan UUD 1945. Dalam rangka itu, pelaksanaan
pemerintahan negara harus dilakukan secara efektif, efisien dan
bertanggung jawab serta diarahkan dalam memperkuat sistem presidensial
itu sendiri. Sementara itu, landasan sosiologisnya dilandasi oleh praktek
atau pengalaman sejarah pelaksanaan pemerintahan yang cenderung
diwarnai oleh kuatnya kontrol dan peran presiden dalam menentukan
struktur kementerian negara tanpa campur tangan pihak lembaga negara
lainnya yang berdampak pada keuangan negara, dan resiko sosial dan
politik. Dan landasan yuridisnya adalah amanat atau perintah UUD 1945
secara khusus Pasal 17 ayat (4) yang mengatur bahwa pembentukan,
15
pengubahan dan pembubaran kementerian negara diatur dalam undang
undang.
Ketentuan Umum
Bab Ketentuan Umum terdiri dari satu pasal yang menetapkan
beberapa nomenklatur atau istilah yang akan dijabarkan ke dalam pasal
pasal bagian berikutnya. Sejumlah nomenklatur atau istilah itu adalah
"kementerian negara" yang selanjutnya disebut "kementerian" saja mewakili
untuk semua jenis kementerian baik kementerian portofolio maupun non
portofolio, baik yang memiliki maupun yang tidak memiliki perangkat teknis
atau hirarki ke bawah yang selama ini dibedakan antara departemen untuk
kementerian portofolio dan kementerian negara untuk kementerian non
portofolio. lstilah lain adalah penyebutan kata menteri untuk semua menteri
negara sebagai konsekuensi dari pemakaian istilah kementerian.
Sementara itu, dalam ketentuan bab ini juga ada kehendak untuk
mengkategorikan semua badan-badan non-departemen atau yang selama
ini dikenal sebagai LPND ke dalam istilah baru yakni Lembaga Pemerintah
Non-Kementerian yang selanjutnya disingkat LPNK dengan penegasan
bahwa pertanggungjawaban mereka terhadap Presiden harus melalui
menteri terkait.
Susunan dan Kedudukan
Dalam Bab ini dibagi ke dalam dua bagian dan terdiri dari 9 pasal.
Bagian Pertama (Pasal 2 s.d. Pasal 6) mengatur tentang dikotomi antara
kementerian yang secara umum dikenal sebagai kementerian portofolio
atau yang biasa disebut sebagai kementerian departemental (departemen)
dan kementerian non-portofolio atau yang biasa disebut sebagai
kementerian non-departemental (kementerian). Dalam RUU ini
diperkenalkan dengan penggunaan nomeklatur baru bagi kedua jenis
kementerian yakni 'kementerian yang memiliki perangkat teknis' untuk
kementerian departemental dan 'kementerian yang tidak memiliki perangkat
teknis' untuk kementerian non-departemental. Dasar dari penetapan
16
istilah/nomenklatur ini adalah kejelasan istilah dan terkait dengan upaya
untuk tidak membedakan derajat urgensi dari kedua jenis kementerian itu
sebagaimana halnya ketika ditetapkan sebutan 'menteri' saja untuk semua
menteri apapun. Dalam proses perumusannya, persoalan nomenklatur ini
mendapatkan sejumlah masukan seperti pengusulan istilah/nomenklatur
"kementerian portofolio versus kementerian non-portofolio",
istilah/nomenklatur "departemen versus kementerian negara". Usulan lain
adalah misalnya "kementerian yang memiliki hirarkhi ke bawah" untuk
kementerian yang memiliki perangkat teknis versus kementerian yang tidak
memiliki hirarkhi ke bawah" untuk kementerian yang tidak memiliki
perangkat teknis. Usulan-usulan tersebut tidak hanya didasarkan pada
konvensi nasional tetapi juga aspek kelazimannya bagi masyarakat. Alasan
lain untuk menghindari masyarakat terjebak dengan. istilah "yang memiliki
perangkat teknis" dan "yang tidak memiliki perangkat teknis" karena pada
dasarnya kedua jenis kementerian itu tetap memiliki perangkat teknis dalam
menjalankan tugasnya.
Dalam lingkup susunan dan kedudukan ini susunan organisasi setiap
kementerian (Pasal 3) yang membatasi hanya sampai jabatan eselon 1.
Langkah pengaturan ini dimaksudkan sebagai upaya menghindari
pengaturan dalam UU ini supaya tidak terlalu teknis. Dengan demikian,
susunan organisasi di bawahnya bisa dilakukan dengan sebuah peraturan
di bawahnya seperti peraturan presiden.
Pengaturan kementerian yang memiliki perangkat teknis (Pasal 4)
disinkronkan dengan keberadaan UU No. 32 Tahun 2004 tentang otonomi
daerah yang membagi kewenangan pusat dan daerah. Kementerian yang
memiliki perangkat teknis dirinci menjadi kementerian yang memiliki kantor
wilayah/perwakilan dan kementerian yang tidak memiliki kantor
wilayah/perwakilan. Kementerian yang memiliki kantor wilayah/perwakilan
ini mengurusi urusan yang menjadi kewenangan pemerintahan pusat
sebagaimana dimaksud dalam UU No. 32 tahun 2004 dan urusan-urusan
lainnya yang kewenangan pelaksanaannya dilakukan pemerintahan daerah
17
menjadi bidang kerja kementerian yang tidak memiliki kantor
wilayah/perwakilan.
Hal lain (Pasal 5) mengatur tentang pembatasan kepada kementerian
yang memiliki perangkat teknis untuk mengangkat sekelompok staf ahli atau
staf khusus sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang yang tugas pokok dan
fungsinya serta kewenangannya diatur oleh setiap kementerian yang
bersangkutan. Dasar dari penetapan ketentuan pembatasan ini adalah
bahwa pengangkatan staf khusus atau staf ahli menteri harus didasarkan
pada kebutuhan dan pertimbangan konsekuensi anggaran jika jumlahnya
tidak dibatasi. Dengan adanya ketentuan ini 1 menteri dilarang untuk
mengangkat staf lain yang biaya operasionalnya dibebankan pada anggaran
negara. Namun demikian, sepanjang seorang menteri membutuhkan
dukungan keahlian staf khusus yang di luar lima staf khusus yang
dimungkinkan oleh Pasal ini, seorang menteri dapat merekrut staf khusus
lainnya dengan biaya sendiri dan bukan titipan dari sektor lain yang memiliki
kaitan hubungan kerja dengan kementerian dimaksud.
Sebagai upaya untuk menghindari pengaturan UU kementerian ini
masuk ke dalam hal-hal yang terlalu teknis dan terlalu luasnya ruang
lingkupnya menjadi dasar bagi pengaturan (Pasai 6) tentang perlunya
penetapan ketentuan-ketentuan Pasal 2, Pasal 3 1 Pasal 4 dan Pasal 5 untuk
diatur lebih lanjut dalam Peraturan Presiden.
Bagian Kedua (Pasal 7 1 Pasal 8) mengatur tentang keharusan bagi
kementerian berkedudukan di ibukota negara. Dasar dari pengaturan ini
adalah bahwa untuk efektifitas dan efisiensi pelaksanaan tugas-tugas
kementerian negara, sebagai pembantu presiden yang berada di bawah dan
bertanggung jawab kepada residen, kementerian harus memiliki kedudukan
yang sama dengan tempat kedudukan presiden. Dengan demikian,
pengertian kedudukan di sini dimaksudkan sebagai kedudukan sebagai
lembaga dan tempat kedudukan.
18
I
I KPU I
Digambarkan dalam bentuk bagan, kedudukan kementerian negara
dalam sistem ketatanegaraan beradasarkan UUD 1945 adalah sebagai
berikut::
BPK
Bank Sentral
Bagan Kedudukan Kementerian Negara dalam Sistem Ketatanegaraan RI berdasarkan UUD 1945
UUD 1945
Presiden/W akil DPR MPR DPD MA Presiden
Badan-badan
Kementerian Jain yang
Negara fungsinya berkaitan dengan
DPP kekuasaan kehakiman
TNI/Polri
KY
Sumber: Bahan Tayangan Materi Sosialisasi UUD RI Tahun 1945, Setjen MPR RI, 2005, hal.
Tugas, Fungsi dan Wewenang Kementerian
Lingkup tugas, fungsi dan wewenang kementerian negara dibagi ke
dalam tiga bagian pengaturan. Bagian Pertama (Pasal 9) mengatur tentang
tugas kementerian negara sebagai pembantu presiden dalam
penyelenggaraan urusan tertentu dalam pemerintahan. Dasar dari
pengaturan ini bersumber dari ketentuan Pasal 17 UUD 1945 dan prinsip
sistem pemerintahan presidensial di mana presiden merangkap sebagai
kepala negara dan kepala pemerintahan sekaligus. Dengan demikian,
dalam menjalankan tugasnya sebagai kepala pemerintahan, presiden
dibantu oleh menteri-menteri negara.
19
Bagian Kedua (Pasal 10) mengatur tentang fungsi dari kementerian
negara yang merupakan penjabaran dari tugas sebagaimana diatur dalam
tugas kementerian sebagaimana diatur dalam Pasal 9 baik untuk
kementerian negara yang memiliki maupun tidak memiliki perangkat teknis.
Kedua jenis kementerian pada dasarnya sama yakni fungsi perumusan,
pembinaan dan pengawasan. Perbedaannya hanya terletak pada fungsi
pelaksanaan urusan pemerintahan di mana fungsi ini hanya dimiliki oleh
kementerian yang memiliki perangkat teknis.
Bagian Ketiga (Pasal 11) mengatur tentang wewenang kementerian
baik yang memiliki maupun yang tidak memiliki perangkat teknis
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10. Wewenang mereka pada dasarnya
sama yakni kewenangan dalam membuat perencanaan, perumusan,
pelaksanaan dan melakukan pengawasan kebijakan. Perbedaannya terletak
pada fungsi pelaksanaan kebijakan yang hanya menjadi kewenangan
kementerian yang memiliki perangkat teknis.
Sama seperti halnya pengaturan tentang susunan organisasi setiap
kementerian yang berusaha menghindari ketidakfokusan pengaturan dalam
UU ini, pengaturan lebih lanjut mengenai tugas, fungsi dan wewenang
kementerian (Pasal 12) ditegaskan untuk diatur dalam sebuah Peraturan
Presiden.
Pembentukan, Pengubahan dan Pembubaran Kementerian
Ruang lingkup pengaturan tentang pembentukan, pengubahan dan
pembubaran kementerian negara dalam UU ini masuk dalam Bab IV. Dalam
Bab ini dibagi ke dalam tiga bagian dan terdiri dari 4 pasal di mana dua
pasal dalam bagian pertama mengatur tentang pembentukan kementerian
negara, untuk kemudian dua bagian berikutnya masing-masing terdiri dari
satu pasal mengatur tentang pengubahan dan pembubaran kementerian
negara. Terkait dengan judul sub-bab, penamaan judul sub-bab ini
disamakan dengan isi Pasal 17 ayat (4) UUD 1945. Beberapa hal penting
mendasari pengaturan dalam Bab IV ini. Untuk penentuan jenis-jenis urusan
kementerian misalnya faktor konvensi atau kebiasaan menjadi alasan
20
penentuan jenis urusan kementerian, kemudian keterkaitannya dengan
semangat otonomi daerah sebagaimana diatur dalam UU No. 32 Tahun
2004, dan pertimbangan konteks sumber daya nasional dan tujuan
pembangunan nasional.
Sementara itu, dalam bagian pengubahan dan pembubaran
kementerian, meskipun hal ini diakui menjadi salah satu karakteristik yang
unik dalam praktek pemerintahan yakni adanya peran kontrol lembaga
perwakilan dalam hal yang secara konvensional dianggap menjadi hak
prerogatif presiden, adanya penegasan pengawasan lembaga DPR dalam
pengubahan dan pembubaran beberapa jenis kementerian negara. Alasan
yang mendasarinya adalah adanya kehendak untuk menghindari gejolak
sosial dan dampak politik lainnya, pertimabnagn efektiftifatas dan efisisensi
keuangan negara dan kepentingan kesinambungan pelaksanaan urusan
pemerintahan.
Bagian Pertama terdiri dari dua pasaf yakni Pasal 13 dan Pasal 14
masing-masing mengatur tentang kewajiban pemerintahan siapa pun
rezimnya untuk membentuk sebuah lembaga kementerian yang secara
konvensional dan praktek sistem pemerintahan di mana pun menjadi
lembaga kementerian yang sifatnya wajib dan jenis-jenis kementerian yang
sifatnya fakultatif.
Pasal 13 secara eksplisit mengatur tentang jenis-jenis urusan
kementerian yang memiliki perangkat teknis dan memiliki kantor
wilayah/perwakilan yang harus ada pada setiap pemerintahan sehingga
tidak dapat diubah maupun digabungkan (kementerian dalam negeri, luar
negeri, pertahanan, hukum, keuangan dan agama), maupun kementerian
yang memiliki perangkat teknis dan tidak memiliki kantor wilayah/perwakilan
yang harus ada pada setiap pemerintahan tetapi presiden diberi ruang untuk
mengubah atau mengabungkan urusannya dengan persetujuan DPR
(kementerian pendidikan dan kebudayaan, kesehatan, pertanian,
kehutanan, dan kelautan, industri dan perdagangan, pekerjaan umum,
pertambangan dan sumber daya alam, perhubungan, tenaga kerja dan
21
transmigrasi, dan sosial) sebagai bentuk mekanisme pengimbangan
kekuasaan.
Dalam konteks sistem politik di Indonesia, jenis-jenis kementerian
yang dikategorikan dalam Pasal 13 (1) juga disesuaikan dengan
keberadaan otonomi daerah berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah di mana terdapat 6 (enam) urusan yang menjadi
kewenangan pemerintah pusat. Sementara itu, pertimbangan konteks
potensi sumber daya nasional, kondisi kewilayahan dan tujuan
pembangunan nasional mendasari kebutuhan jenis-jenis kementerian
seperti tercantum dalam Pasal 13 ayat 2.
Pasal 14 mengatur tentang sejumlah urusan yang dimasukkan dalam
kategori kementerian yang tidak memiliki perangkat teknis yang dapat
dibentuk oleh presiden yang pembentukkannya harus dengan pertimbangan
DPR seperti kementerian perencanaan pembangunan, pendayagunaan
aparatur negara, riset, ilmu pengetahuan dan teknologi, lingkungan hidup,
pembangunan pedesaan, pariwisata, seni dan budaya, koperasi, dan usaha
kecil dan menengah dan lain-lain. Dalam pasal ini juga diatur tentang
pembatasan jumlah kementerian sebanyak-banyaknya 10 (sepuluh)
kementerian.
Bagian Kedua terdiri dari 1 pasal dan 3 ayat yakni Pasal 15 ayat (1 ),
(2), (3). Pasal ini mengatur tentang pengaturan pengubahan kementerian
dengan memberikan derajat limitasi yang berbeda-beda untuk setiap
kelompok kementerian yang diatur dalam Pasal 13 ayat ( 1), ayat (2) dan
Pasal 14 ayat ( 1) dan (2). Untuk kelompok kementerian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) tidak dapat diubah. Sementara untuk
kelompok kementerian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2),
presiden diberi ruang untuk mengubah jenis kernenterian tersebut dengan
persetujuan DPR. Pembatasan yang lebih longgar dikenakan terhadap
kelompok kementerian yang diatur dalam Pasal 14 ayat (1) dan (2) bahwa
pengubahan terhadap kementerian tersebut dapat dilakukan dengan
pertimbangan DPR. Pembedaan derajat limitasi untuk pengubahan setiap
kelompok kementerian didasarkan pada alasan praktek penyelenggaran
22
pemerintahan secara umum di mana terdapat kementerian yang selalu ada
dalam pemerintahan manapun serta dikaitkan dengan aspek era otonomi
daerah, pertimbangan konteks geostrategi dan sumber daya yang tersedia
secara nasional, upaya pencapaian tujuan nasional dan adanya kesadaran
tentang kebutuhan atau prioritas pembangunan nasional. Pertimbangan lain
adalah keperluan terciptanya stabilitas pelaksanaan pemerintahan.
Bagian Ketiga terdiri dari 1 pasal dan 3 ayat yakni Pasal 16 ayat (1),
(2), (3). Sama halnya dengan pengaturan tentang pengubahan kementerian
negara, pengaturan tentang mekanisme pembubaran kementerian juga
dibedakan untuk setiap kelompok kementerian sebagaimana diatur dalam
Pasal 13 ayat (1 ), ayat (2) dan Pasal 14 ayat (1) dan (2). Untuk kelompok
kementerian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) tidak dapat
dibubarkan. Sementara untuk kelompok kementerian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2), presiden diberi ruang untuk
membubarkan jenis kementerian tersebut dengan persetujuan DPR.
Pembatasan yang lebih longgar dikenakan terhadap kelompok kementerian
yang diatur dalam Pasal 14 ayat (1) dan (2) bahwa pembubaran terhadap
kementerian tersebut dapat dilakukan dengan pertimbangan DPR.
Pembedaan derajat limitasi untuk pembubaran setiap kelompok
kementerian didasarkan pada alasan praktek penyelenggaran pemerintahan
secara umum di mana terdapat kementerian yang selalu ada dalam
pemerintahan manapun serta dikaitkan dengan aspek era otonomi daerah.
Pertimbangan lain adalah keperluan terciptanya stabilitas pelaksanaan
pemerintahan dan menghindari terganggunya pelaksanaan program
pemerintah dan mengurangi instabilitas sosial, ekonomi dan politik sebagai
akibat terjadinya pembubaran suatu kementerian_ secara bebas oleh
presiden.
Pengangkatan dan Pemberhentian Menteri
Bab V mengatur tentang pengangkatan dan pemberhentian menteri.
Dalam Bab ini dibagi ke dalam tiga bagian dan terdiri dari 3 pasal yang
masing-masing mengatur tentang pengangkatan, larangan rangkap jabatan
23
dan pemberhentian menteri. Beberapa hal penting mendasari pengaturan
dalam Bab V ini. Untuk Bagian Pertama yakni bagian pengangkatan, pasal
ini mengatur tentang penetapan hak presiden sebagai kepala pemerintahan
untuk mengangkat para menteri negara sebagai pembantunya dalam
menjalankan pemerintahan. Dalam bagian ini, juga dimasukkan pengaturan
tentang persyaratan seorang warga negara Indonesia menjadi menteri
dengan melihat pada persyaratan yang secara umum ada dalam setiap
pengangkatan jabatan publik. Menyadari bahwa sebagai pembantu presiden
menteri memiliki peran yang sangat penting dalam melaksanakan
pemerintahan segari-hari maka ditegaskan tidak hanya perlunya
persyaratan norrnatif dan formal tetapi juga persyaratan profesionalitas
seperti kamarnpuan managerial dan memiliki kompetensi serta sanggup dan
dapat bekerja sama sebagai pembantu presiden. Persyaratan kompetensi di
sini tidak harus terkait langsung dengan ke-kompetensi-an seorang calon
menteri dengan bidang tugas kementerian yang akan diembannya. Dengan
demikian seseorang menjadi menteri dalam suatu kementerian tidak harus
memiliki latar belakang keahlian/pendidikan yang sama persis dengan
bidang atau tugas kementerian yang diembannya karena menteri lebih
mendasarkan pada peran managerial, pembuatan kebijakan, pengawasan,
prudent dan memiliki integritas dalam mengelola kementeriannya.
Bagian Kedua mengatur tentang larangan jabatan bagi seorang
menteri pada jabatan/kepengurusan pada lembaga negara lainnya,
organisasi politik, pimpinan perusahaan dan organisasi lainnya yang
dibiayai negara. Alasan yang mendasari pengaturan ini adalah adanya
keyakinan atas penting dan strategisnya jabatan menteri dalam
menjalankan pemerintahan sehingga rangkap jabatan tidak diperbolehkan
tidak hanya karena alasan supaya menteri tersebut dapat sepenuhnya
mengabdikan diri terhadap bidang tugasnya tetapi menghindari terjadinya
resiko penyalahgunaan wewenang dan penggunaan fasilitas negara untuk
kepentingan pada jabatan publik lainnya. Namun demikian, dalam
pengaturan ini seorang menteri masih diberi ruang untuk menduduki
24
organisasi sosial dan kemasyarakatan lainnya sepanjang organisasi
tersebut tidak dibiayai oleh anggaran negara.
Bagian Ketiga mengatur tentang pemberhentian seorang menteri dari
jabatannya. Secara umum pengaturan ini tidak berbeda dengan mekanisme
pemberhentian pada jabatan publik lainnya secara umum. Namun demikian 1
satu hal yang membedakan dengan pengaturan pemberhentian jabatan
publik lainnya adalah adanya hak presiden untuk memberhentiakn apabila
presiden menghendaki. Alasan dari pengaturan ini adalah bahwa sebagai
pembantu presiden yang berdasarkan ketentuan konstitusi diangkat dan
diberhentikan oleh presiden, masa jabatan menteri negara sangat
tergantung dengan penilaian subjektif presiden. Dengan · demikian,
kewenangan presiden untuk tetap mempertahankan atau memberhentikan
para pembantunya akan sangat tergantung pada penilaian pribadi/subjektif
presiden dan tidak dapat dicampuri oleh kekuatan lembaga negara lainnya.
Hubungan Fungsional Kementerian dan Lembaga Pemerintah NonKementerian (LPNK).
Bab VI mengatur tentang hubungan fungsional kementerian dan
lembaga pemerintah non-kementerian (LPNK). Bab ini yang terdiri satu
pasal dan empat ayat mengatur tentang kedudukan lembaga non
departemental yang dalam RUU ini disebut LPNK terhadap kementerian
negara yang memiliki keterkaitan urusan dan mekanisme tugas dan
wewenang serta pembentukannya. Namun demikian, untuk menghindari
hal-hal yang terlalu teknis, ketentuan mengenai hubungan fungsional LPNK
dengan kementerian diatur dengan Peraturan Presiden. Beberapa hal
penting mendasari pengaturan dalam Bab V ini. Pertama, adanya
kebutuhan untuk membatasi jumlah LPNK sehingga dapat menghindari
adanya pemborosan anggaran negara dan menciptakan eflsiensi dan
efektifitas penyelenggaraan urusan-urusan pemerintahan. Otonomi daerah
menjadi salah satu alasan mengapa penyelenggaraan urusan pemerintahan
oleh LPNK benar-benar sesuai dengan kebutuhan dengan demikian
keberadaan LNPK harus didasarkan pada prinsip penyelenggaraan urusan
25
yang sifatnya sangat penting tetapi terlalu kecil bila diselenggarakan oleh
sebuah kementerian. Kedua, adanya kebutuhan untuk mengembalikan
kedudukan kementerian terkait dengan tugas LPNK sebagai pihak yang
menjadi pintu pertanggungjawaban LPNK kepada Presiden dalam rangka
menciptakan efektifitas dan efisiensi serta koordinasi yang mantap dalam
penyelenggaraan urusan pemerintahan. Dengan demikian, ke depan
diharapkan terjadi sinergi hubungan kerja antara kementerian terkait dengan
LPNK sehingga setiap kebijakan yang diambil tidak tumpang tindih dan
saling mendukung. Adanya pengaturan tentang keharusan untuk
mengikutsertakan menteri yang memiliki tugas dan wewenang yang terkait
dengan urusan LPNK dalam pembentukan LPNK diarahkan dalam rangka
mencapai misi ini.
Ketentuan Peralihan
Bab VII mengatur tentang Ketentuan Peralihan. Salah satu persoalan
yang ingin diatur dalam bab ini adalah adanya kebutuhan kepastian hukum
bagi Presiden apabila RUU ini disahkan menjadi UU. Disadari bahwa
pergantian sejumlah nomenklatur kementerian dan penyesuaian jenis-jenis
kementerian akan membawa konsekuensi anggaran dan terganggunya
penyelenggaran urusan-urusan tertentu pemerintahan maka Ketentuan
Peralihan perlu menegaskan keberadaan setiap kementerian yang sudah
ada sebelumnya sampai dengan terbentuknya kementerian berdasarkan U U
ini. Hal ini dilakukan sebagai jalan tengah dalam menyikapi pro dan kontra
terhadap perlunya pemberlakuan UU ini setelah pemilihan presiden tahun
2009 dan perlunya memberlakukan UU ini segera tanpa harus menunggu
pemilihan presiden tahun 2009. Namun demikian, khusus untuk LPNK yang
sudah ada apapaun namanya diwajibkan untuk segera menyesuaikan
dengan ketentuan UU ini dengan pertimbangan bahwa penyesuain LPNK
tidak akan membawa konsekuensi personel dan pengganggaran yang
besar.
26
Ketentuan Penutup
Bab VIII Ketentuan Penutup. Sama seperti pengaturan dalam
Ketentuan Peralihan, alasan kepastian hukum bagi pemerintah, menjaga
efektifitas dan efisiensi penyelenggaraan urusan tertentu pemerintahan dan
perlunya waktu bagi Presiden dalam menyesuaikan bentuk dan jumlah
kementerian yang sudah ada dengan yang diatur dalam UU ini menilai
bahwa waktu satu tahun dianggap cukup.
IV. PRINSIP-PRINSIP UMUM PENGATURAN KEMENTERIAN NEGARA
Prinsip-prinsip umum pengaturan tentang kementerian negara adalah
sebagai berikut::
4.1. Pengimbangan Hak Prerogatif
Secara umum, istilah 'prerogatif, merujuk pada sebuah hak yang
diberikan kepada seorang pemegang jabatan/pejabat untuk melaksanakan
suatu fungsi atau privelese khusus. Secara khusus, konsep ini merujuk
pada suatu hak turunan atau resmi (seperti halnya kedaulatan seorang raja)
yang dapat dilaksanakan tanpa adanya keberatan dari pihak manapun
terhadap hak mana secara teori tidak ada pertanggungjawaban terhadap
cara pelaksanaan dari hak itu secara faktual meskipun secara praktis hak ini
biasanya dibatasi oleh kekuatan dari suatu pendapat publik atau oleh
sebuah statuta atau peraturan lainnya dan secara umum hak ini
dilaksanakan berdasarkan (seperti halnya dalam praktek di lnggris) nasehat
para menteri yang bertanggung jawab kepada suatu badan legislatif.
Konsepsi lain terhadap istilah prerogatif merujuk pada suatu hak
berdaulat yang diwariskan kepada suatu negara atau kepala negara,
sebagai contoh dalam hal pemberian pengampunan bagi terdakwa dan lain
lain. Dengan kata lain, hak ini merujuk pada privelese, keuntungan atau
keutamaan yang diberikan kepada seseorang yang memegang suatu
posisi/jabatan
Dalam konteks politik modern pelaksanaan kekuasaan pemerintahan
dalam semua bentuk pemerintahan, tidak ada hak prerogatif yang dimiliki
seorang kepala negara/pemerintahan atau raja yang sifatnya tidak dibatasi.
27
Pemahaman dibatasi diwujudkan dalam bentuk aturan legal yang sifatnya
ekspisit. Hal ini _ bermuara pada sebuah argumen legal bahwa "prerogative
rights end when a law begins". Sebaliknya pemahaman bahwa hak
prerogatif tidak tak terbatas dapat dilihat dari munculnya kekuatan
pengimbang baru dalam pemerintahan yakni arah pendapat publik terhadap
arah dan preferensi kebijakan yang diambil oleh seorang pemegang hak
prerogatif. Lebih jauh, arah pendapat publik bisa terwakili pada suara para
penasehat atau pembantu dekat pejabat pemegang hak prerogatif dalam
proses pemilihan kebijakan publik.
Dalam konteks pemerintahan klasik seperti halnya di lnggris
misalnya, sebenarnya keberadaan hak prerogatif raja bahkan secara praktis
telah hilang sejak akhir abad ke-17 ketika mulai munculnya sebuah sistem
kabinet menggantikan dewan privy (Privy Council) sebagai kelompok kecil
yang bertugas memberikan nasehat bagi raja dalam menjalankan
pemerintahan atau mempertimbangkan untuk mengambil suatu kebijakan.
Dalam konteks sistem pemerintahan republik Amerika, para pendukung hak
prerogatif penuh mendasarkan diri pada satu klaim bahwa semua hak raja
dilimpahkan kepada presiden sejak negara ini mendapatkan
kemerdekaannya dari lnggris. Namun demikian, lahirnya Senat dalam
sistem parlemen AS menjadi argumen dasar bahwa klaim inipun tidak dapat
dipraktekkan karena kuatnya Senat dalam mengkontrol preferensi kebijakan
yang diambil presiden.
Dalam masa-masa sekarang, hampir mayoritas negara menganut
pemahaman bahwa hak prerogatif pada pejabat negara bukanlah hak yang
tidak tak terbatas dalam sistem politiknya meskipun pembatasannya sangat
bergantung pada konvensi dan sistem politik yang dianut. Namun demikian,
harus diakui bahwa pembatasan terhadap hak prerogatif ini sifatnya lebih
merujuk pada persoalan derajat (a matter of degree) dan kelembagaan
bukan sebaliknya individual. Dengan demikian, dalam pelaksanaannya,
suatu kewenangan tetap memiliki unsur 'keprerogatifan' hanya saja
kadarnya tidak mutlak.
28
4.2. Memperkuat Sistem Presidensial
Lahirnya suatu pengaturan tentang kementerian negara dimaksudkan
untuk memperkuat sistem pemerintahan presidensial itu sendiri. Hal ini
terlihat dalam pengaturan RUU yang menegaskan bahwa kementerian
negara berkedudukan berada dan bertanggung jawab kepada presiden.
Dengan demikian, presiden yang dipilih secara langsung oleh rakyat masih
memiliki kebebasan dalam menentukan rancang bangun kementerian
negara kecuali sejumlah kementerian wajib yang sifatnya menjadi
kebutuhan yang selalu ada dalam sistem pemerintahan manapun sesuai
dengan program kerja yang dibangun ketika kampanye pemilihan presiden.
Adanya pengaturan tentang pembatasan dalam pembentukan, pengubahan
dan pembubaran yang memerlukan persetujuan atau pertimbangan
lembaga lain seperti DPR didasari oleh kepentingan pelaksanaan
pemerintahan yang stabil, efektif dan efisien serta demokratis sehingga
dalam batas tertentu pengaturan pembatasan kewenangan Presiden dalam
pembentukan, pengubahan dan pembubaran kementerian strategis dapat
menjadi membantu presiden ketika dalam perjalanan pemerintahannya,
presiden mengalami persoalan dalam mengoptimalkan kinerja
kementeriannya.
4.3. Memperkuat Mekanisme Checks and Balances
Adanya kebutuhan terselenggaranya pemerintahan yang semakin
demokratis, menuntut terciptanya mekanisme pengimbangan kekuasaan
(checks and balances) di antara lembaga-lembaga negara yang terbagi ke
dalam kewenangan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Dengan demikian,
pelaksanaan kekuasaan pemerintahan negara diupayakan tidak mengarah
pada satu kekuatan lembaga negara tertentu kondisi mana pada gilirannya
dapat mendorong terciptanya pemerintahan yang selalu dalam koridor
masing-masing kekuasaan.
Secara filosofis, kebutuhan untuk memperkuat mekanisme checks
and balances dapat ditinjau berdasarkan argumen Lord Acton bahwa
"power tends to currupt, corrupt power corrupts absolutely". Diturunkan
29
dalam konteks perjalanan politik Indonesia, dasar filosofis tersebut terbukti
memiliki implikasi empiris ketika terjadi kondisi di mana tidak terjadi
mekanisme tersebut pada era demokrasi terpimpin dan beberapa
penggalan terakhir pemerintahan Orde Baru. Lebih jauh, momentum
penguatan mekanisme pengimbangan kekuasaan semakin kuat ketika
Indonesia memasuki era demokratisasi yang ditandai dengan adanya
amandemen UUD 1945 secara khusus Pasal 17 ayat (4) dengan
konsekuensi terjadinya perubahan praktek ketatanegaraan. Dalam format
pemikiran dasar sosiologis seperti inilah beserta dasar yuridisnya, urgensi
pengimbangan kekuasaan dalam bentuk keterlibatan lembaga negara
tertentu dalam membantu presiden mendesain suatu kementerian negara
dapat ditemukan.
4.4. Memperkuat dan Mengefektifkan Otonomi Daerah
Momentum tuntutan pelaksanaan otonomi daerah sebagaimana
diatur berdasarkan dalam UU No. 32 Tahun 2004 menjadi faktor lain yang
turut memberikan warna tersendiri dalam pengaturan tentang pembentukan,
pengubahan dan pembubaran kementerian negara. Dengan adanya
pelimpahan wewenang sejumlah urusan pusat ke daerah tidak hanya
memberikan implikasi bagi terjadinya perubahan hubungan pusat dan
daerah tetapi juga kebutuhan kelembagaan perangkat kementerian dan
lembaga non-kementerian yang ramping dan tidak tumpang-tindih di pusat.
Dalam kondisi demikian, pelaksanaan otonomi daerah dapat dioptimalkan.
Tuntutan bagi terciptanya suatu desain rancang kementerian negara
yang mengakomodasi tuntutan bagi penguatan pelaksanaan otonomi
daerah juga dapat mendorong pemerintah pusat untuk segera melimpahkan
sejumlah urusan kepada daerah berdasarkan UU No. 32 tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah. Sebagaimana diketahui bahwa sejumlah
urusan selama ini belum semuanya dilimpahkan kepada daerah sementara
pada saat yang sama ada kecenderungan munculnya sejumlah kebijakan
pusat yang mengurangi derajat keotonomian daerah atas urusan tertentu.
Kondisi demikian, pada gilirannya dapat memicu sahwat politik pemerintah
30
pusat untuk memunculkan resentralisasi. Dengan adanya penegasan
pengaturan hubungan antara lembaga kementerian dengan pemerintahan
daerah dalam undang-undang tentang kementerian negara sedikit banyak
akan dapat memperkuat dan mengefektifkan pelaksanaan otonomi daerah.
4.5. Penyelenggaraan Pemerintahan yang Efektif, Efisien, dan
Bertanggung Jawab
Berbicara masalah desain lembaga kementerian negara akan
berbanding lurus dengan kebutuhan anggaran negara, SOM dan kebutuhan
akan perangkat lunak dan keras lainnya. Semakin besar jumlah
kementerian dan urusannya, akan semakin besar beban keuangan negara
sementara pada saat yang sama sejumlah urusan tertentu telah
dilimpahkan ke daerah melalui instrumen otonomi daerah. Dengan
demikian, sejalan dengan satu argumen bahwa money follows function
maka desain kementerian negara diarahkan pada upaya efisiensi dan
efektifitas urusan pemerintahan. Undang-undang kementerian negara
nantinya diharapkan dapat memperkuat bagi terciptanya paradigma tata
urusan pemerintahan yang "miskin struktur kaya fungsi". Dengan kata lain,
desain undang-undang tersebut didasarkan pada visi dan misi menciptakan
minimal state sehingga UU ini dapat menjadi salah satu pilar reformasi
kelembagaan negara.
Sejalan dengan pemikiran di atas jumlah dan jenis kementerian akan
dibatasi sehingga pelaksanaan prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan
yang baik, bersih dan bertanggung jawab serta efektif dan efisien sesuai
dengan paradigma managemen publik baru (new public management)
dapat tercapai. Dalam konteks ini pula, dalam rangka memperkuat
demokratisasi ke daerah dan efisiensi, kementerian negara sejauh mungkin
akan diarahkan menjadi policy agencies dan daerah sebagai implementing
agencies.
Hal yang sama terjadi terhadap kebutuhan bagi pengaturan tentang
kedudukan lembaga-lembaga atau badan-badan non-kementerian yang
selama ini terlihat tumpang-tindih dengan kementerian terkait sehingga
31
mengakibatkan adanya duplikasi pelaksanaan urusan tertentu, kewenangan
dan besarnya beban keuangan negara untuk gaji para penyelenggaraoya.
Oleh karena itu, pengaturan tentang kedudukan LPNK dan hubungannya
dengan kementerian tertentu dalam undang-undang tersebut dapat
membantu mengatasi persoalan di atas.
4.6. Susunan Rancangan Undang-Undang Kementerian Negara
Rancangan Undang-Undang Kementerian Negara disusun dengan
sistimatika sebagai berikut: :
Judul RUU
Konsideran
Menimbang
Mengingat
I. KETENTUAN UMUM
II. SUSUNAN DAN KEDUDUKAN
a. Bagian Pertama, Susunan.
b. Bagian Kedua, Kedudukan
Ill. TUGAS, FUNGSI, DAN WEWENANG
a. Bagian Pertama, Tugas.
b. Bagian Kedua, Fungsi.
c. Bagian Ketiga, Wewenang
IV. PEMBENTUKAN, PENGUBAHAN, DAN PEMBUBARAN
KEMENTERIAN
a. Bagian Pertama, Pembentukan.
b. Bagian Kedua, Pengubahan.
c. Bagian Ketiga, Pembubaran
V. PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN MENTER!
a. Bagian Pertama, Pengangkatan.
b. Bagian Kedua, Larangan Rangkap Jabatan.
c. Bagian Ketiga, Pemberhentian
32
VI. HUBUNGAN FUNGSIONAL KEMENTERIAN DAN LEMBAGA
PEMERINTAH NON-KEMENTERIAN
VII. KETENTUAN PERALIHAN
VIII. KETENTUAN PENUTUP
Daftar Pustaka
Budiardjo, Miriam. Oasar-Dasar I/mu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004
Encyclopedia Americana, Vol. 5, USA: Grolier Incorporated, 1996.
Gove, Philip Babcock (ed), Webster 3rd New International Dictionary, G&C Merriam Co.,
1966.
Pahlevi, Indra. "Kementerian Negara dalam Sistem Presidensiil di Indonesia", Kajian Vol.
8, No. 4 (Desember 2003): 257-274.
Ramesh, M and Michael Howlett, Studying Public Policy, Policy Cycles and Policy
Subsystem, NY: Oxford Univ. Press., 1995.
Sumber Lain
Risa/ah Rapat Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR, Buku Kedua, Jilid 7 A, Sekretariat
Jenderal MPR RI, Jakarta 2001.
Sumbang Saran RUU KN Universitas Airlangga, Makalah RDPU, 6 Juli 2006. Yayasan
Jetra RI, Indonesia Menyongsong Era Kebangkitan Nasional Kedua, Jakarta:
Yayasan Jetra RI.
Kumpulan Risalah Hasil RDPU Pansus RUU Kementerian Negara dan RUU Dewan
Penasehat Presiden dengan sejumlah Nara Sumber pada Masa Sidang Ill dan IV
(Januari-Juli 2006).
Bahan Tayangan Materi Sosialisasi UUD RI Tahun 1945, Sekretariat Jenderal MPR RI,
2005
V. Lampiran :
1. Draf RUU tentang Kementerian Negara
2. Keterangan DPR-RI
33