naskah akademik rancangan undang·undang...
TRANSCRIPT
NASKAH AKADEMIK
RANCANGAN UNDANG·UNDANG
MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN
RAKYAT,DEWAN PERWAKILAN DAERAH DAN DEWAN PERWAKILAN
RAKYAT DAERAH
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
I. Pendahuluan
MENUJU SISTEM
PEMERINTAHAN PRESIDENSIAL
YANG DEMOKRA TIS, KUAT DAN EFEKTIF
Sejak reformasi 1998 bangsa Indonesia telah berhasill menyelenggarakan dua momentum pemilihan
umum (pemilu) yang bebas dan demokratis, yakni pada 1999 dan 2004. Pada pemilu terakhir (2004)
untuk pertama kalinya sepanjang sejarah politik Indonesia moderen bahkan telah diselenggarakan
pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat. Sejak Juni 2005, lebih dari 250
kabupaten, kota, dan propinsi telah menyelenggarakan pemilihan kepala dan wakil kepala daerah
secara langsung. Kemampuan bangsa kita menyelenggarakan Pemilu 2004 yang begitu kompleks dan
rumtt bahkan dipuji dunia internasional sebagai pemilu yang sangat berhasil, sehingga Indonesia disebut
sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia sesudah India dan Amerika Serikat.
Namun demikian, alih-alih sebuah Indonesia baru yang lebih adil dan sejahtera yang dirasakan
mayoritas rakyat, bangsa kita justru terperangkap ke dalam transisi politik berkepanjangan yang tak
kunjung mengarah pada suatu demokrasi substansial yang terkonsolidasi. Bangunan sistem politik dan
pemerintahan produk reformasi 1998 dan empat tahap perubahan (amandemen) UUD 1945 pada 1999-
2002, tidak kunjung menghasilkan pemerintahan yang bersih dan efektif, serta para penyelenggara
negara yang lebih amanah dan akuntabel.
Persoalannya, pemilu yang berlangsung secara bebas dan demokratis hanya sekadar pembeda
antara sistem demokrasi dan sistem otoriter. Untuk sebagian sarjana seperti Larry Diamond (1999)1,
pemilu bebas dan adil yang dilakukan berkala, meskipun memenuhi aspek kompetisi dan partisipasi,
hanya menjanjikan "demokrasi elektoral" {electoral democracy) yang secara kategoris berbeda dengan
"demokrasi liberal" (liberal democracy), ataupun demokrasi substansial. Lebih jauh Diamond
merumuskan bahwa "demokrasi elektoral adalah sebuah s1istem konstitusional yang menyelenggarakan
pemilu multipartai yang kompetitif dan teratur dengan hak pilih universal untuk memilih anggota legislatif
dan kepala eksekutif'. Mengutip Coller dan Levitsky, Diamond mengidentifikasi sistem demikian
sebagai "demokrasi prosedural" yang diperluas2.
Bangunan sistem politik dan pemerintahan yang tidak efektif memang bukan semata-mata produk
reformasi 1998 dan amandemen konstitusi 1999-2002. la sebagian berakar pada tiga warisan persoalan
besar masa lalu, yaitu struktur ekonomi-politik kolonial Belanda yang sangat menindas, sistem monarki-
1 Larry Diamond, Developing Democracy: Toward Consolidation, Baltimore and London: The John Hopkins University Press, 1999.
2 Diamond, Ibid, hal 11.
feodal yang memperhambakan rakyat kepada periguasa feodalistik, dan struktur politik otoriter
peninggalan Demokrasi Terpimpin (1959-1965) dan Orde Baru (1966-1998) yang menafikan kedaulatan
rakyat. Ketiga warisan persoalan tersebut secara bersama-sama dan akumulatif tak hanya
melembagakan tidak adanya saling percaya di antara berbagai elemen bangsa dan minimnya tradisi
konsensus, melainkan juga berdampak pada munculnya pilihan-pilihan politik yang bersifat ambigu
serta tidak konsisten, sehingga sejarah politik bangsa hampir selalu terperangkap ke dalam pencariari
yang bersifat trial and error. Hal ini tercermin dalam tarik-menarik tak berkesudahan antara pilihan
bentuk negara kesatuan vs federal, sistem ekonomi pasar vs ekonomi sosialis-kerakyatan, sistem
pemerintahan presidensial vs parlementer, dan seterusnya.
Reformasi 1998-1999 semestinya merupakan momentum emas bagi bangsa Indonesia untuk
menata kembali arah kehidupan bangsa sesuai semangat proklamasi dan amanat Pembukaan UUD
1945, yaitu cita-cita persatuan, demokrasi, keadilan dan kesejahteraan rakyat. Begitu pula empat tahap
amandemen atas UUD 1945 seharusnya menjadi kesempatan strategis bagi wakil-wakil rakyat hasil
Pemilu 1999 untuk menata ulang sistem politik dan pemerintahan ke dalam suatu bangunan politik yang
kokoh, efektif, dan produktif.
Namun ironisnya, sistem politik dan pemerintahan produk amandemen konstitusi bukan saja
masih melembagakan kerancuan pilihan formal presidensialisme di satu pihak dan praktik
parlementarianisme di pihak lain, melainkan juga mewariskan tata-kelola pemerintahan yang ternyata
tidak efektif. Dalam kaitan ini, paling kurang ada tiga kelemahan mendasar pada hasil amandemen yang
dilakukan Sadan Pekerja MPR atas UUD 1945. Pertama, proses amandemen cenderung terjebak pada
kepentingan jangka pendek dari elite partai-partai di parlemen. Kedua, kualitas dan substansi
perubahan cenderung inkonsisten dan tambal-sulam satu sama lain. Dan ketiga, format legal drafting
perubahan yang tidak sistemik dan tak terpola serta membingungkan sehingga menyulitkan
pemahaman atasnya sebagai hukum dasar3.
Dalam konteks substansi hasil amandemen, di satu pihak hendak dibangun sistem pemerintahan
presidensiil yang kuat, stabil, dan efektif, namun di sisi lain obsesi besar tersebut tidak didukung oleh
struktur perwakilan bicameral yang kuat pula. Kedudukan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang
semestinya merupakan salah satu "kamar" dari sistem perwakilan dua-kamar, bahkan tak jelas karena
kekuasaan dan hak-haknya yang sangat terbatas. Tidak mengherankan jika para anggota DPD dewasa
ini mempertanyakan relevansi keberadaan mereka dalam sistem yang berlaku jika tidak ada komitmen
3 Lihat misalnya Mochtar Pabottingi "Memburuknya Krisis Konstitusi Kila: Meng~ UUD 1945 dan Proses serta HC5il .Amandemen AlasnyaTanpaKonstitusionalitas dan Batal Demi Nasion"; Bambang Widjojanto, "Kapita SelektaAmandemen (Problematik Perubahan UUD 1945)", masing-masing dalam Riza Sihbudi dan Moch. Nurhasim, ed., Amandemen Konstitusi dan Strategi Penyelesaian Krisis Politik Indonesia, hal. 447-474 dan hal. 475-484; juga Saldi lsra, "Keniscayaan Komisi Konstitusi", dalam Kompas, 23 April 2002.
politik untuk mengubahnya secara mendasar4. Sebaliknya, para politisi di Panitia Ad-Hoc I MPR selaku
penyusun konstitusi justru makin memperkuat posisi, kedudukan, kekuasaan, dan hak-hak DPR melebihi
yang seharusnya dimiliki oleh DPR dalam konteks sistem presidensial.
Selain itu, UUD 1945 hasil amandemen tidak melembagakan berlakunya mekanisme checks and
balances di antara cabang-cabang kekuasaan pemerintahan utama, yakni lembaga eksekutif-legislatif
pada khususnya dan eksekutif-legislatif-yudikatif pada umumnya. Di satu pihak, suatu UU dapat tetap
berlaku apabila dalam waktu 30 hari tidak disahkan oleh Presiden, namun di pihak lain Presiden tidak
memiliki semacam hak veto untuk menolak UU yang telah disetujui DPR. Padahal tegaknya prinsip
checks and balances bersifat mutlak karena menjadi salah satu fondasi utama bagi stabilitas dan
efektifitas sistem pemerintahan presidensi,al. Urgensi prinsip saling mengawasi secara seimbang itu
diabaikan pula oleh konstitusi hasil amandemen dalam hal relasi DPR sebagai representasi rakyat dan
DPD sebagai representasi wilayah.
Sehubungan dengan itu, penataan kembali sistem politik dan pemerintahan secara komprehensif,
koheren, dan konsisten satu sama lain, merupakan suatu keniscayaan bagi bangsa Indonesia.
Dalam jangka menengah dan atau panjang, diperlukan amandemen kembali atas konstitusi agar
penataan secara menyeluruh bisa dilakukan, sedangkan dalam jangka pendek dibutuhkan
penyempumaan atas segenap produk perundang-undangan bidang politik sehingga tidak hanya
komprehensif, koheren, dan konsisten satu sama lain, tetapi juga dapat mengkondisikan penguatan dan
efektifitas sistem pemerintahan presidensial.
II. Arah dan Visi Penyempumaan UU Bidang Politik
Seperti diuraikan sebelumnya, penataan kembali sistem politik dan pemerintahan yang mengarah pada
terwujudnya cita-cita demokrasi, persatuan, keadilan dan kesejahteraan seluruh rakyat, sebenarnya
membutuhkan amandemen kembali terhadap UUD 1945 yang telah mengalami empat kali perubahan
pada 1999 hingga 2002. Namun demikian penting sekali disadari bahwa agenda amandemen kembali
konstitusi bagaimana pun memerlukan kesepakatan atau konsensus yang luas dari berbagai elemen
bangsa mengenai apa saja yang perlu diamandemen, kapan waktu yang tepat, dan seterusnya.
Persoalannya, amandemen kembali konstitusi tanpa kesepakatan dan konsensus yang luas mengenai
substansinya dikhwatirkan justru berdampak pada munculnya gejolak dan berbagai risiko serta cost
politik di satu pihak, dan di pihak lain berpeluang menghasilkan konstitusi hasil amandemen yang juga
tambal-sulam seperti sebelumnya.
Oleh karena itu naskah ini berpandangan bahwa amandemen konstitusi tetap diperlukan sebagai
4 Untuk Apa DPD RI, Jakarta: Kelompok DPD di MPR RI, 2006
prasyarat berlangsungnya penataan sistem politik dan pemerintahan secara mendasar. Namun demikian
agenda tersebut sangat riskan dilakukan tanpa persiapan yang matang, situasi politik yang kondusif, dan
konsensus yang luas mengenai substansinya, sehingga ia harus dipandang sebagai agenda jangka
menengah dan atau panjang. Oleh karena itu dalam jangka pendek, upaya maksimal paling mungkin
yang bisa dilakukan untuk memperbaiki sistem politik dan pemerintahan yang berlaku dewasa ini
adalah penyempumaan dan atau revisi terhadap UU Bidang Politik, dalam hal ini UU Partai Politik, UU
Pemilihan Umum, UU Pemilu Presiden, dan UU Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD.
Problematik utama UU Bidang Politik yang disusun menjelang Pemilu 2004 yang lalu adalah
ketidakmampuannya melembagakan sistem pemerintahan presidensial yang kuat dan efektif. Meskipun
arah sistem pemerintahan menurut UUD 1945 hasil amandemen adalah presidensialisme, namun
segenap UU Bidang Politik yang ada dewasa ini belum sepenuhnya didesain untuk mendukung pilihan
politik tersebut. UU Bidang Politik yang berlaku bahkan cenderung membuka peluang bagi
berlangsungnya praktik dan perilaku parlementarianisme di kalangan politisi partai di DPR. Realitas
politik semacam ini antara lain karena sistem dan proses pemilu presiden dan wapres sebagaimana
terlihat dalam UU Pemilu Presiden memungkinkan terpilihnya kandidat dari partai relatif kecil,
sedangkan sistem dan proses pemilu legislatif tetap menghasilkan peta kekuatan politik yang sangat
terpolarisasi dan fragmentatif di parlemen, bahkan tanpa partai mayoritas. Akibatnya, presidensialisme
yang seharusnya merupakan suatu sistem pemerintahan yang "simpel" dan "ringkas"5, akhirnya
terpenjara oleh negosiasi-negosiasi antarpartai yang sebagian di antaranya berorientasi jangka pendek.
Di sisi lain sistem keparlemenan -seperti tercermin dalam UU Susduk- yang seharusnya
mensinergikan efektifitas kerja keparlemenan antara DPR dan DPD lebih merupakan pengaturan
kelembagaan masing-masing Dewan secara terpisah ketimbang sebagai satu kesatuan pariemen, yakni
DPR sebagai representasi penduduk di satu pihak, dan DPD representasi wilayah di pihak lain.
Sementara itu UU Partai Politik tak kunjung bisa mendorong dan mengkondisikan berlangsungnya
pelembagaan partai dan sistem kepartaian yang mendukung efektifitas sistem perwakilan dan juga
sistem pemerintahan presidensial. Selain itu, seperti diindikasikan berbagai hasil penelitian, survei, dan
polling, citra publik partai-partai politik cenderung semakin menurun bersamaan dengan meningkatnya
prosedur demokrasi6.
5 Tentang sistem presidensial dibandingkan sistem parlementer, lihat antara lain Arend Lijphart, Sistem Pemerintahan Parlementer dan Presidensial, Jakarta: PT RajaGrafindo Persad a, 1995.
6 Lihat misalnya, Syamsuddin Haris, ed., Pemilu Langsung di Tengah Oligarki Partai, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005; Lili Romli, ed., Potret Partai Politik Pasca-Orde Baru, Jakarta: Pusat Penelitian Politik UPI, 2003; juga Syamsuddin Haris, ed., Partai dan Pariemen Lokal Era Transisi Demokrasi di Indonesia, Jakarta: UPI Press, 2007.
Dalam kaitan tersebut maka penyempumaan dan atau revisi terhadap UU Bidang Politik
tampaknya merupakan kebutuhan jangka pendek yang sulit dielakkan sebagai bagian dari upaya tak
berkesudahan membenahi sistem politik dan pemerintahan dalam rangka terwujudnya cita-cita nasional
sebagaimana termaktub di dalam pembukaan UUD 1945. Dalam rangka penyempumaan sistem politik
dan pemerintahan, paling kurang ada empat agenda penataan dan penyempumaan yang perlu
dilakukan untuk mewujudkan sistem politik yang demokratis serta presidensialisme yang kuat, stabil
dan efektif, yaitu (1) penguatan dan peningkatan efektifitas sistem pemerintahan presidensial; (2)
penguatan sistem perwakilan dan keparlemenan; (3) penyempumaan sistem dan proses pemilu; dan (4)
penyempumaan sistem kepartaian. Ruang lingkup, sistematika dan alur penyempumaan ini disusun
dengan asumsi bahwa penyempumaan atas sistem kepartaian, sistem dan proses pemilu, serta sistem
perwakilan dan keparlemenan, pada akhirnya bermuara pada penguatan dan peningkatan efektifitas
sistem presidensial. Dalam kaitan ini maka desain atas arah dan visi penyempumaan UU Bidang Politik
hendaknya tidak hanya koheren dan konsisten satu sama lain, tetapi juga dapat mendukung
terbangunnya sistem pemerintahan presidensial yang demokratis, kuat, stabil, dan efektif.
1. Penguatan dan Peningkatan Efektifitas Sistem Pemerintahan
Reformasi 1998-1999 semestinya merupakan momentum emas bagi bangsa Indonesia untuk menata
kembali arah kehidupan bangsa sesuai semangat proklamasi dan amanat Pembukaan UUD 1945, yaitu
cita-cita persatuan, demokrasi, keadilan dan kesejahteraan rakyat. Begitu pula empat tahap amandemen
atas UUD 1945 seharusnya menjadi kesempatan strategis bagi wakil-wakil rakyat hasil Pemilu 1999
untuk menata ulang sistem politik dan pemerintahan ke dalam suatu bangunan politik yang kokoh,
efektif, dan produktif.
Namun ironisnya, sistem politik dan pemerintahan produk amandemen konstitusi bukan saja
masih melembagakan kerancuan pilihan formal presidensialisme di satu pihak dan praktik
parlementarianisme di pihak lain, melainkan juga mewariskan tata-kelola pemerintahan yang ternyata
tidak efektif. Dalam kaitan ini, paling kurang ada tiga kelemahan mendasar pada hasil amandemen yang
dilakukan Sadan Pekerja MPR atas UUD 1945. Pertama, proses amandemen cenderung terjebak pada
kepentingan jangka pendek dari elite partai-partai di parlemen. Kedua, kualitas dan substansi
perubahan cenderung inkonsisten dan tambal-sulam satu sama lain. Dan ketiga, format legal drafting
perubahan yang tidak sistemik dan tak terpola serta membingungkan sehingga menyulitkan
pemahaman atasnya sebagai hukum dasar7.
7 Lihat misalnya Mochtar Pabottingi "Memburuknya Krisis Konstitusi Kita: Mengapa UUD 1945 dan Proses serta Hasil Amandemen Atasnya Tanpa Konstitusionalitas dan Batal Demi N:asion"; juga Bambang Widjojanto.
Dalam konteks substansi hasil amandemen, di satu pihak hendak dibangun sistem
pemerintahan presidensiil yang kuat, stabil, dan efektif, namun di sisi lain obsesi besar tersebut tidak
didukug oleh struktur perwakilan bicameral yang kuat pula. Kedudukan Dewan Perwakilan Daerah
(DPD) yang semestinya merupakan salah satu "kamar' dari system perwakilan dua-kamar, bahkan tak
jelas karena hak-haknya yang sangat te~batas. Tidak mengherankan jika Anggota DPD dewasa ini
mempertanyakan relevansi keberadaan mereka dalam system yang berlaku jika tidak komitmen politik
untuk mengubahnya secara mendasar (DPD RI, 2006). Sebaliknya para politisi di Pantia Ad Hoc MPR
selaku penyusun konstitusi justru makin memperkuat posisi, kedudukan, kekuasaan, dan hak-hak DPR
melebihi yang seharusnya dimiliki oleh DPR dalam konsteks sistem presidensial.
Selain itu, UUD 1945 hasil amandemen tidak melembagakan berlakunya mekanisme checks and
balances di antara cabang-cabang kekuasaan pemerintahan utama, yakni lembaga eksekutif-legislatif
pada khususnya dan eksekutif-legislatif-yudikatif pada umumnya. Di satu pihak, suatu UU dapat tetap
berlaku apabila dalam waktu 30 hari tidak disahkan oleh Presiden, namun di pihak lain Presiden tidak
memiliki semacam hak veto untuk menolak UU yang telah disetujui DPR. Padahal tegaknya prinsip
checks and balances bersifat mutlak karena menjadi salah satu fondasi utama bagi stabilitas dan
efektifitas sistem pemerintahan presidensial. Urgensi prinsip saling mengawasi secara seimbang itu
diabaikan pula oleh konstitusi hasil amandemen dalam hal relasi DPR sebagai representasi rakyat dan
DPD sebagai representasi wilayah.
Terlepas dari berbagai kelemahan konstitusi hasil empat kali amandemen pada 1999-2002,
sistem pemerintahan presidensial sebenarnya merupakan pilihan politik yang sudah tepat jika dikaitkan
dengan rentang geografis Indonesia yang begitu luas, sangat heterogen secara politik dan kultural, serta
obsesi desentralisasi pemerintahan dan otonomi luas bagi daerah. Apalagi jika dihubungkan dengan
pengalaman sejarah bangsa yang hampir selalu diwarnai instabilitas politik, dan kebutuhan bangsa akan
mekanisme dan sirkulasi kepemimpinan yang 'lebih pasti dan terukur.
Setiap sistem pemerintahan, presidensial ataupun parlementer, memiliki kelebihan dan
kekurangan pada dirinya. Stabilitas eksekutif yang disebabkan oleh masa jabatan presiden yang tetap,
legitimasi politik presiden yang dipilih secara langsung oleh rakyat, dan pemisahan kekuasaan yang
relatif tegas, adalah tiga di antara sejumlah kelebihan utama sistem presidensial. Sementara itu tiga
kelemahan presidensialisme yang pokok adalah (1) kemungkinan munculnya kelumpuhan ataupun jalan
buntu politik akibat konflik eksekutif-legislatif -sebagai akibat independensi masing-masing lembaga; (2)
kekakuan sistemik akibat masa jabatan eksekutif dan legislatif yang beraifat tetap; dan (3) prinsip
"Kapita Selekta Amandemen (Problematik Perubahan UUD 1945)", masing-masing dalam Riza Sihbudi dan Moch. Nurhasim, ed., Amandemen Konstitusi dan Strategi Penyefesaian Krisis Pofitik Indonesia, hal. 447-474 dan hal. 475-484. Juga tentang ini lihat, Saldi lsra, "Keniscayaan Komisi Konstitusi", dalam Kompas, 23 April 2002.
"pemenang mengambil semua" yang inheren di dalam sistem presidensial. Kelemahan-kelemahan ini
presidensialisme ini sekaligus merupakan kelebihan sistem parlementer karena eksekutif tidak terpisah
secara jelas dari legislatif, pergantian pemerintahan bersifat elastis karena dapat dilakukan setiap
waktu, dan prinsip "pemenang mengambil semua" tidak berlaku lantaran eksekutif tidak semata-mata
berasal dari partai pemenang pemiluB.
Namun dalam konteks Indonesia berbagai kelebihan teoritis sistem parlementer tersebut justru
menjadi penyebab diakhirinya parlementarianisme menjelang akhir 1950-an. Dalam hubungan ini paling
kurang ada tiga argumen lain mengapa presidensialisme lebih tepat sebagai pilihan ketimbang
parlementarianisme. Pertama, semangat UUD 1945 sejak disepakati oleh para pendiri bangsa adalah
presidensialisme meskipun formatnya tidak sebagaimana seharusnya sistem presidensial, antara lain
karena presiden dipilih oleh MPR sebagai pemegang kedaulatan rakyat. Kedua, bangsa Indonesia
mempunyai pengalaman traumatis dengan instabilitas politik sistem parlementer periode 1950-an
meskipun sumber ketidakstabilan itu sebenarnya berakar pada faktor yang beragam. Ketiga, bangsa.
Indonesia memiliki stigma negatif terhadap sistem parlementer sebagai praktik demokrasi yang
dianggap "liberal" kendati stigma ini pun bersumber pada kekecewaan Soekamo dan golongan militer
terhadap partai-partai di DPR hasil Pemilu 11955.
Walaupun demikian format presidensialisme bukan tanpa kelemahan sama sekali. Konsentrasi
kekuasaan yang besar pada lembaga kepresidenan -apalagi dengan hak veto yang dimilikinya
berpeluang mengancam kehidupan demokrasi. Pengalaman negara-negara Amerika Latin
memperlihatkan bahwa konsentrasi kekuasaan yang besar pada presiden berdampak pada munculnya
otoritarianisme9. Pengalaman sejarah bangsa Indonesia di bawah rejim Demokrasi Terpimpin (1959-
1965) dan Orde Barn (1966-1998) menunjukkan bahwa presidensialisme pun berpeluang menjadi sistem
pemerintahan otoriter. Peluang otoritarianisme itu menjadi lebih besar lagi bagi Indonesia
karena presidensialisme diberlakukan dalam konteks negara kesatuan.
Oleh karena itu, meskipun format presidensialisme telah diperbaiki melalui amandemen konstitusi
-antara lain dengan meniadakan kekuasaan MPR dan mengintrodusir pemilihan langsung oleh rakyat
dengan masa jabatan presiden yang tetap-namun tetap perlu ditata kembali. Presidensialisme yang
berlaku dewasa ini perlu disempumakan agar dapat menghasilkan sistem pemerintahan yang kuat,
stabil, dan efektif di satu pihak, dan terhindar dari perangkap otoritarianisme di pihak lain. Efektifitas
8 Arend Lijphart, Sistem Pemerintahan 9 Lihat Harry Kantor, "Usaha-usaha yang Dilakukan oleh Sejumlah Negara Amerika Latin untuk Membatasi Kekuasaan Presiden", dalam Lijphart, Sistem Pemerintahan, hal. 106-114; juga Juan J. Linz, "Risiko dari Presidensialisme", dalam Lijphart, hal. 124-133.
pemerintahan presidensial antara lain dapat dicapai melalui penyederhanaan sistem kepartaian dan
pengelompokan politik di parlemen, sedangkan perangkap otoritarianisme bisa dihindari melalui
pelembagaan kekuatan oposisi. Selain itu, menurut Leslie Lipson, mekanisme oposisi yang terlembaga
diperlukan untuk mengurangi kemungkinan munculnya tirani mayoritas -yang notabene berpeluang
muncul jika format presidensialisme didukung oleh suatu koalisi besar partai pendukung pemerintah10.
Dalam kaitan tersebut, arah penyempumaan yang perlu diagendakan dalam rangka penguatan
dan peningkatan efektifitas presidensialisme adalah, pertama, penyempumaan presidensialisme melalui
pelembagaan mekanisme checks and balances dalam relasi Presiden-Parlemen. Apabila suatu UU
dapat tetap berlaku kendati tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu 30 hari, maka semestinya
dilembagakan pula hak veto Presiden atas suatu UU yang telah disepakati pemerintah dan Dewan.
Mengingat bahwa introduksi hak veto Presiden atas UU membutuhkan amandemen kembali konstitusi,
maka yang dapat dilakukan dalam jangka pendek adalah penyempuhlaan relasi presiden dan
parlemen melalui perubahan pola relasi antara eksekutif dan legislatif, dari pola dominasi
(Presiden atas DPR atau sebaliknya) menuju pola relasi keseimbangan kekuasaan di antara keduanya
dengan cara penguatan lembaga kepresidenan yang diimbangi dengan penyederhanaan
pengelompokan politik di parlemen melalui pelembagaan koalisi -yakni koalisi partai pendukung
pemerintah di satu pihak, dan koalisi partai oposisi di pihak lain. Dalam rangka penguatan lembaga
kepresidenan maka perlu dibentuk suatu dewan pertimbangan/penasehat presiden yang lebih
berorientasi keahlian. Sedangkan dalam rangka mendorong terbentuknya pengelompokan politik yang
lebih sederhana di parlemen maka pencalonan preside11 hanya bisa dilakukan oleh koalisi partai-partai
yang melembagakan komitmen koalisi mereka secara publik untuk jangka waktu sekurang-kurangnya
selama lima tahun jika pasangan calon presiden/wapres terpilih dalam pemilihan umum. Kedua,
penyempumaan presidensialisme melaiui pembentukan sistem perwakilan bicameral yang kuat dengan
pelembagaan hak dan fungsi legislasi pada DPD kendati cakupannya tidak hams sama dengan hak
legislasi yang dimiliki oleh DPR. Mengingat perubahan sistem perwakilan menuju sistem bicameral
yang kuat tersebut membutuhkan amandemen kembali konstitusi, maka yang bisa dilakukan dalam
jangka pendek melalui revisi UU Bidang Politik adalah memaksimalkan kerjasama dan kemitraan DPR
DPD sebagai satu kesatuan parlemen. Ketiga, penyempumaan presidensialisme melalui pelembagaan
oposisi di parlemen sebagai wadah bagi koalisi partai-partai yang kalah dalam pemilu presiden dan
tidak duduk di dalam pemerintahan dan atau kabinet hasil pemilu. Pelembagaan oposisi diperlukan
untuk menghindari kemungkinan munculnya sikap dan tindakan dari presiden yang memiliki kekuasaan
10 Leslie Lipson, The Democratic Civilization, New York: Reffer and Simons Inc., 1964, terutama hal. 237-251
dan legitimasi politik yang begitu kuat lantaran dipilih secara langsung oleh rakyat.
Keempat, penyempumaan presidensialisme melalui penataan kembali sistem dan mekam'sme
pemilu legislatif serta sistem dan mekam'sme pemilu presiden yang mengarah pada pelembagaan
koalisi partai secara permanen, baik sebelum pemilu maupun sesudah pemilu. Seperti dik~mukakan
sebelumnya, sistem dan mekam'sme pemilu, baik pemilu legislatif maupun pemilu presiden, hendaknya
mengkondisikan berlangsungnya koalisi partai sebelum pemilu yang tetap berlanjut sesudaH pemilu,
sehingga pemerintahan hasil pemilu bekerja di atas prinsip checks and balances antara koalisi partai
pendukung pemerintah di satu pihak, koalisi partai oposisi di pihak lain.
Kelima, penyempumaan presidensialisme melalui pengurangan distorsi pada sistem kepartaian.
Seperti ditunjukkan oleh pengalaman negara-negara Amerika Latin, kegagalan presidensialisrine pada
umumnya disebabkan oleh keberadaan sistem multipartai karena presidensialisme dan sistem
multipartai adalah kombinasi yang sulit sehingga cenderung melahirkan instabilitas demokrasi11. Oleh
karena itu perlu penataan sistem kepartaian yang mendorong terbentuknya sistem multipartai
sederhana, baik dalam pengertian jumlah partai maupun pengelompokan ideologisnya.
2. Penguatan Sistem Perwakilan dan Efektifitas Keparlemenan
Apabila sistem pemerintahan presidensial yang kuat, stabil, dan efektif menjadi obsesi kolektif kita
sebagai bangsa, maka penataan kembali hakikat, posisi atau kedudukan pol'itik, kekuasaan dan/atau
kewenangan, serta hak-hak Dewan Perwakilan Daerah {DPD), jelas bersifat mutlak12. DPD hams
dipandang sebagai "Senat" ataupun "Majelis Tinggi" yang jug a memiliki kewenangan legislasi: kendati
tidak harus seluas kekuasaan legislasi yang dimillki DPR sebagai "Majelis Rendah", sehingga kedua
Dewan adalah kamar-kamar parlemen di dalam suatu sistem perwakilan bicameral yang kuat (strong
bicameral). Di sisi lain, apabila Majelis Permusyaratan Rakyat {MPR) sebagai sebuah majelis rnasional
dalam sistem perwakilan hendak dipertahankan, maka posisi konstitusionalnya adalah joint session
antara DPR dan DPD, sehingga kepermanenan MPR lebih pada fungsi, bukan pada struktur organisasi
dan kepemimpinannya.
Salah satu ciri sistem presidensial adalah berlaku dan tegaknya prinsip pemisahan kekuasaan di
antara tiga cabang kekuasaan utama yakni eksekutif-legislatif-yudikatif dan terutama antara lembaga
11 Scott Mainwaring, "Presidensialisme di Amerika Latin", dalam Lijphart, Sistem Pemerintahan, hal.117-123. 12 Apabila amandemen kembali konstitusi dipandang tidak feasible untuk desain perubahan yang bersifat jangk~ pendek, mengingat berbagai risiko dan cost politik yang diakibatkannya, maka agenda tersebut tentu dapat didesain untuk ~rubahan yang bersifat jangka menengah atau pun panjang. Yang paling penting adalah adanya pengakuan jujur terutama dari para po1itisi partai besar bahwa substansi hasil empat kali amandemen atas UUD 1945 yang lalu cenderung tambal-sulam, tidak koheren dan konsisten dalam melembagakan obsesi sistem pemerintahan presidensial lantaran proses amandemen yang cenderung terperangkap kompromi politik yang bersifat jangka pendek.
eksekutif dan legislatif13. Melalui pemisahan kekuasaan tersebut diharapkan dapat ditegakkan prinsip
check and balances di antara cabang-cabang kekuasaan pemerintahan.. Problematik sistem
presidensial hasil amandemen atas konstitusi kita dewasa ini adalah bahwa prinsip checks and
balances itu sulit ditegakkan karena presiden yang memperoleh mandat dan legitimasi langsung dari
rakyat tidak memiliki semacam hak veto untuk menolak UU yang telah disepakati oleh DPR. Di sisi lain,
UU yang telah disepakati oleh pemerintah dan DPR tetap bisa berlaku sebagai hukum positif
meskipun tidak disahkan oleh
Apabila amandemen kembali konstitusi dipandang tidak feasible untuk desain perubahan yang
bersifat jangka pendek, mengingat berbagai risiko dan cost politik yang diakibatkannya, maka agenda
tersebut tentu dapat didesain untuk perubahan yang bersifatjangka menengah atau pun panjang. Yang paling
penting adalah adanya pengakuan jujur terutama dari para politisi partai besar bahwa substansi hasil empat kali
amandemen atas UUD 1945 yang lalu cenderung tambal-sulam, tidak koheren dan konsisten dalam
melembagakan obsesi sistem pemerintahan presidensial lantaran proses amandemen yang cenderung
terperangkap kompromi politik yang bersifat jangka pendek.
Presiden dalam waktu 30 hari. Selain itu, konstitusi semestinya pula mengakomodasi prinsip checks
and balances yang sama dalam relasi intra-parlemen,, yaitu antara DPR dan DPD. Jelas sekali bahwa
penataan relasi presiden dan par1emen (dalam hal ini DPR dan DPD), dan relasi DPR-DPD seperti diamanatkan
oleh konstitusi hasil amandemen, cenderung tidak akan menghasilkan sistem presidensial yang kuat, stabil,
dan efektif. Sebaliknya, yang muncul adalah praktik tata-kelola pemerintahan yang cenderung
parlementer dan atau campur-aduk antara obsesi presidensialisme di satu pihak dan praktik
parlementarianisme di pihak lain.
Oleh karena itu pembentukan sistem pemerintahan presidensial yang kuat dan efektif pada dasamya
tak bisa dipisahkan dari kontribusi sistem legislatif atau kepar1emenan yang sinergis dan efektif pula. Paling
tidak ada empat argumen kesaling-keterkaitan antara sistem pemerintahan di satu pihak dan sistem
perwakilan di pihak lain. Pertama, berbeda dengan sistem parlementer di mana fokus segenap proses
politik berpusat pada parlemen, maka di dalam sistem presidensial lembaga eksekutif berbagi peranan dan
fungsi secara relatif tegas dan jelas dengan lembaga legislatif. Kedua, konsisten dengan argumen
pertama, presiden dan parlemen masing-masing memiliki tanggung jawab secara terpisah sekaligus secara
bersama-sama dalam penguatan dan efektifitas sistem pemerintahan presidensial. Ketiga, konsisten
dengan dua argumen sebelumnya, tanggung jawab secara terpisah -dalam fungsinya masing-masing
sekaligus bersama-sama tersebut hanya dapat ditegakkan apabila relasi antara presiden dan parlemen
dibangun di atas prinsip checks and balances. Keempat, sistem legislatif yang dapat melembagakan
13 Arend Lijphart, Sistem Pemerintahan Parlementerdan Presidensial, hal. 47.
tanggung jawab secara bersama-sama, sinergis dan efektif hanya dapat diwujudkan apabila terbangun
pola relasi dan kerjasama yang sinergis di antara bagian-bagian parlemen.
Dalam kaitan ini, penguatan sistem perwakilan dimaksudkan sebagai upaya membangun sistem
perwakilan yang tidak hanya koheren dan konsisten dengan pilihan sistem pemerintahan presidensial,
melainkan juga mendukung dan memperkuatnya. T ampak di sini bahwa terdapat em pat konsep utama
yang saling terkait satu satu lain untuk membangun sistem perwakilan demikian, yaitu sinergitas,
efektifitas, akuntabilitas, dan produktifitas. Sistem perwaki1lan yang sinergis diperlukan bukan saja dalam
rangka efektifitas fungsi setiap lembaga parlemen (DPR dan DPD), melainkan juga untuk meningkatkan
kualitas akuntabilitas di satu pihak dan produktifitas di pihak lain.
Akuntabilitas adalah konsep yang tak terpisahkan dari keberadaan setiap lembaga perwakilan.
DPR sebagai parlemen yang mewakili rakyat, DPD yang mewakili wilayah (propinsi), dan para
anggotanya yang memperoleh mandat tersebut dapat dikatakan akuntabel apabila dalam melaksanakan
fungsi, kewenangan, dan hak-haknya berorientasi kepada kepentingan rakyat selaku pemberi mandat
melalui melalui pemilihan umum. Sedangkan produktifitas berhubungan dengan tingkat pencapaian
kinerja keparlemenan dalam hitungan produk kebijakan yang dihasilkan selama masa kerja parlemen.
Dewasa ini sinergitas parlemen belum terbangun karena DPR dan DPD cenderung bekerja sendiri
sendiri. Konstitusi memang membatasi kewenangan DPD, namun peran dan kontribusi DPD sebenarnya
dapat dioptimalkan melalui mekanisme relasi dan kerjasama yang lebih baik antara DPR dan DPD.
Efektifitas DPR dan DPD sebagai bagian dari lembaga parlemen nasional relatif belum optimal karena
struktur alat kelengkapan kedua Dewan belum mendukung efektifitas kerja keparlemenan.
Berkaitan dengan kebutuhan penyempumaan siistem perwakilan, maka dalam jangka pendek
paling kurang ada empat arah sekaligus tujuan yang hendak dicapai untuk memperkuat sistem
perwakilan yang masih bersifat "semi-bikameral yang berlaku dewasa ini, yaitu: (1) pem'ngkatan
efektifitas keparlemenan DPR; (2) penguatan akuntabilitas lembaga dan anggota parlemen; (3) penataan
hubungan kerja DPR dan DPD; dan (4) peningkatan efektifitas fungsi MPR sebagai sidang bersama
DPR-DPD.
3. Penyempumaan Sistem dan Proses Pemilu
Amandemen terhadap UUD 1945 yang diikuti penyempumaan paket UU Bidang Politik menjelang
Pemilu 2004 telah berhasil membentuk segenap unsur penyelenggara negara mulai dan presiden dan
wakil presiden hasil pilihan rakyat, DPR, DPD, dan DPRD (propinsi, kabupaten/kota). Pemilu 2004
bahkan dipuji dunia intemasional sebagai pemilu paling rumit dan kompleks namun berhasil
diselenggarakan dengan relatif kondusif, bahkan hampir tanpa gejolak14. Indonesia pun kemudian
dikenal sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia sesudah India dan Amerika Serikat. ·
Namun demikian keberhasilan Pemilu 2004 secara prosedural ternyata belum diikuti pe~'ngkatan
kualitas keterwakilan dan kinerja anggota-anggota legislatif, baik di tingkat nasional (DPR}' maupun
tingkat propinsi dan kabupaten/kota (DPRD}. Kecenderungan yang hampir sama tampak pada kualitas
kinerja partai-partai politik pasca-Pemilu 2004 yang tidak lebih baik dibandingkan produk Pemilw 1999.
Kualitas kinerja para wakil rakyat tak hanya berkaitan dengan komitmen individual setiap! anggota
legislatif, melainkan juga berhubungan dengan pola dan mekanisme rekrutmen para calon 1 legislatif
(caleg} sebelum mereka menjadi anggota Dewan. Lebih jauh lagi, kualitas keterwakilan dan kinerja
anggota legislatif berkaitan dengan format pemilu, sistem perwakilan, dan struktur kepartaian yang
berlaku dewasa ini. Untuk meningkatkan kualitas anggota legislatif, kualitas lembaga perwakilan dan
institusi partai, serta juga berlangsungnya praktik demokrasi secara lebih substansial, maka diperlukan
perbaikan dan penyempumaan secara serius dan menyeluruh atas berbagai regulasi mengenailhal itu.
Berkenaan dengan itu muncul pula wacana mengenai perlunya penyederhanaan penyelerlggaraan
pemilu ke arah yang lebih efisien dari aspek waktu dan dana, serta produktif dari segi demokrasi.
Argumennya, demokrasi dibangun bukanlah semata-mata untuk dan demi demokrasi. Sistem demokrasi
justru dibangun sebagai sarana untuk mewujudkan cita-cita keadilan dan kesejahteraan rakyat.
Demokrasi tidak bermanfaat apabila tidak memberikan kontribusi yang signifikan bagi peningkatan
kualitas keadilan dan kesejahteraan bagi rakyat. Dengan kata lain, demokrasi, keadilan dan
kesejahteraan rakyat mestinya bisa dicapai secara bersama-sama tanpa harus mengorbankan salah satu
daripadanya.
Penyempumaan terhadap sistem dan proses pemilu sebenarnya telah dilakukan menjelang
Pemilu 2004 yang lalu. Perbaikan dan penyempumaan sistem dan proses pemilu tersebut bukan hanya
menghasilkan banyak wajah baru anggota DPR dan DPD, melainkan juga -melalui pemerapan
ketentuan electoral threshold-berhasil mengurangi jumlah partai peserta pemilu secara signifikan.
Akan tetapi, meskipun sistem dan proses pemilu pada 2004 berhasil mengurangi jumlah partai
peserta pemilu dari 48 partai (1999} menjadi 24 partai (2004}, tingkat fragmentasi dan polarisasi politik
DPR hasil pemilu masih tinggi. Hal ini tercermin dalam keberadaan tak kurang dari 10 fraksi p01itik. Di
14 Begitu kompleks dan rumitnya Pemilu 2004 tldak hanya tercermin dari tlga sistem pemilu yang berbeda -yaitu sistem proporsional (proportional representation) untuk DPR, DPRD propinsi dan DPRD kabupaten/kota, sistem dua putaran (plural majority-two round systems) untuk pemilihan presiden, dan sistem distrik berwakil banyak (FPTP-mu~member district) untuk pemilihan DPD-melainkan juga terlihat dari fakta bahwa untuk pemilu legislatlf saja terdapat 2.05• daerah pemilihan, yang berarti pula terdapat 2.054 jenis surat suara yang berbeda-beda untuk setiap daerah pemilihanl Jumlah tempat pemungutan suara (TPS) sebanyak 556.059 unit untuk melayani 145,6 juta pemilih -belum terhitung TPp di luar negeri untuk melayani 1,9 juta pemilih yang berdomisili di berbagai negara. Sementara itu jumlah personil pelaksa$ pemilu sebanyak 5,4 juta orang (mulai dari anggota KPU di tlngkat nasional hingga tingkat TPS). Data resmi dari KPU, Pemilu Legis/atif 2004, Jakarta: Komisi Pemilihan Umum, 2005.
satu pihak, ketentuan electoral threshold (ET) dua persen berhasil mengurangi jumlah partai peserta
pemilu secara signifikan, namun di pihak lain cenderung tidak mengurangi minat para elite politik untuk
membentuk partai baru, termasuk oleh para pengurus partai yang gagal memenuhi batas ET untuk
pemilu berikutnya. Dengan memanfaatkan relatif longgarnya persyaratan pembentukan partai baru,
persyaratan bagi partai peserta pemilu, dan kelemahan format ET yang berlaku, maka sebagian partai
baru yarg muncul dalam pemilu berikutnya tidak lebih dari "dacir ulang" atas partai-partai yang gagal ET
pada pemilu sebelumnya.
Berdasarkan pengalaman pemilu legislatif 2004, sistem pemilu yang berlaku cenderung tidak adil
karena mendistorsikan salah satu fungsi penting pemilu yaitu mengubah suara rakyat menjadi kursi
kursi legislatif. Para kandidat atau caleg yang memperoleh dukungan suara rakyat lebih banyak harus
dikalahkan oleh kandidat yang memperoleh dukungan suara rakyat lebih sedikit lantaran terlalu ketatnya
persyaratan pemenuhan angka bilangan pembagi pemilihan (BPP) bagi setiap kandidat. Sebagai
akibatnya, kualitas akuntabilitas para wakil rakyat pun relatif masih sama seperti DPR hasil Pemilu
1999. Salah satu faktor penting di balik rendahnya kualitas akuntabilitas para wakil ini adalah
berlakunya sistem perwakilan proporsional yang cenderung masih tertutup, sehingga keterpilihan para
wakil lebih ditentukan oleh pimpinan partai ketimbang oleh dukungan konstituennya. Sebagai
konsekuensi logis berikutnya, para anggota legislatlf terpilih lebih loyal kepada partai politik ketimbang
kepada rakyat yang diwakilinya karena para anggota Dewan merasa lebih merupakan wakil partai
ketimbang wakil-wakil rakyat yang sesungguhnya.
Sementara itu dalam konteks pemilu presiden, partai-partai politik yang semula bersepakat
bergabung untuk mengusung pasangan calon presiden/wapres cenderung "mempermainkan" dukungan
itu ketika kandidat presiden/wapres yang diusungnya terpilih. Hal ini kemudian tidak hanya berdampak
pada munculnya inkonsistensi perilaku politik gabungan partai pengusung kandidat presiden/wapres,
melainkan juga lebih jauh lagi berakibat pada diabaikannya etika politik dan etika berdemokrasi yang
meniscayakan para politisi partai konsisten dengan pilihannya. Persyaratan pengajuan pasangan calon
oleh gabungan partai yang relatif longgar, tidak begitu jelasnya dasar kerjasama antarpartai atau
gabungan partai dengan pasangan kandidat, serta tidak adanya dasar kesepakatan yang jelas antara
kandidat presiden dan kandidat wapres, tampaknya merupakan gabungan faktor penyebab dari
munculnya inkonsistensi partai-partai dan disharmoni da~am relasi presiden-wapres terpilih.
Problematik sistem dan proses pemilu tersebut pada gilirannya berimplikasi pada rendahnya
kualitas akuntabilitas wakil-wakil rakyat dan partai politik di satu pihak, dan kurang efektifnya sistem
presidensial di pihak lain karena terjadinya ketegangan politik antara lembaga kepresidenan dan
parlernen, serta berlangsungnya disharmoni dalam relasi Presiden dan Wakil Presiden. Realitas politik
semacam ini meniscayakan urgensi peninjauan kembali dan penataan ulang sistem dan proses pemilu,
baik pemilu legislatlf maupun pemilu presiden.
Selain itu, urgensi penyempurnaan sistem dan proses pemilu berkaitan dengan kebutuhan
penyederhanaan sistem kepartaian yang mengarah pada pembentukan sistem multipartai sederhana,
baik sederhana dalam pengertian jumlah partai maupun pengelompokan ideologisnya. Sistem
multipartai dengan tingkat fragmentasi dan polarisasi partai yang relatif tinggi seperti dialami bangsa
kita bukan hanya merupakan kombinasi yang sulit bagi tegaknya presidensialisme yang kuat dan efektif,
melainkan juga cenderung menjadi kendala bagi efektif itas kerja keparlemenan yang dihasilkan pemilu.
4. Penyempumaan Sistem Kepartaian
Setelah reformasi 1998 dan pemilihan umum pertama pasca-Orde Baru pada 1999, terbentuk sistem
kepartaian yang bersifat multipartai. Terbentuknya sistem multipartai tersebut sebenarnya merupakan
konsekuensi logis dari berlakunya sistem pemilu perwakilan proporsional (proportional
representation/PR system) yang dianut UU Pemilu 1999. Sesungguhnya tidak ada yang salah pada
berlakunya sistem pemilu proporsional dan terbentuknya sistem multipartai jika seandainya pada saat
yang sama berlaku pula sistem pemerintahan parlementer.
Namun demikian amanat konstitusi hasil perubahan (amandemen) terhadap UUD 1945 temyata
makin melembagakan sistem pemerintahan presidensial dengan sistem perwakilan semi-bikameral
sebagaimana tercermin dalam kelembagaan DPR dan DPD sebagai unsur-unsur parlemen atau majelis
(MPR). Pilihan sistem pemerintahan presidensial tidak hanya meniscayakan berlakunya lembaga
kepresidenan dan sistem perwakilan yang kuat dan otonom pada dirinya, melainkan juga pelembagaaan
prinsip checks and balances di antara tiga cabang kekuasaan pemerintahan, yakni lembaga eksekutif,
legislatif, dan yudikatif, serta terutama antara eksekutif dan legislatif.
Problematiknya adalah bahwa meskipun ketentuan electoral threshold dua persen diberlakukan
dan peserta Pemilu 2004 berkurang dari 48 partai (Pemilu 1999) menjadi 24 partai, ternyata format
DPR hasil Pemilu 2004 diisi oleh 16 partai politik15 yang akhirnya tergabung ke dalam 10 fraksi. Realitas
ini pada gilirannya menghasilkan proses politik yang bertele-tele di DPR dan berdampak pada
rendahnya produk legislasi, lemahnya fungsi pengawasan, serta tidak begitu efektifnya kerja
keparlemenan secara umum. Sebagian energi DPR terkuras untuk memperdebatkan isu-isu yang
sifatnya elementer dan tidak substantif. Secara teoritis, tingkat fragmentasi partai -dalam hal ini jumlah
partai-merupakan faktor yang menentukan struktur persaingan antarpartai, interaksi dan stabilitas
pemerintahan. Sementara itu tingkat polarisasi partai -yakni jarak ideologis antarpartai-menentukan
15 Semula ada 17 partai yang memperoleh kursi, namun berdasarkan keputusan Mahkamah Konstitusi tentang sengketa hasil pemilu, PNBK akhirnya tidak memperoleh satu pun kursi DPR.
kualitas stabilitas P()litik, konflik, dan loyalitas pemilih terhadap partai. Denga demikian tingkat
fragmentasi dan polarisasi partai yang rendah cenderung menjadikan tata-kelola pemerintahan lebih
mudah dan efektif bagi eksekutif, dan sebaliknya tingkat fragmentasi dan polarisasi partai yang tinggi
cenderung memperlemah tata-kelola pemerintahan, serta mempersulit dicapainya konsensus, baik di
antara partai-partai, maupun antara parlemen dan pemerintah16.
Dalam rangka mewujudkan sistem pemerintahan presidensial dan sistem perwakilan yang kuat,
maka sistem pemilu harus mendorong terbentuknya sistem multipartai dengan tingkat fragmentasi
uumlah partai) dan polarisasi uarak dan pengelompokan ideologis antarpartai) yang rendah, atau
sekurang-kurangnya tingkat fragmentasi dan polarisasi partai sedang. Selain faktor sistem kepartaian,
kualitas institusionalisasi partai-partai secara internal dan kualitas kepemimpinan partai juga sangat
menentukan efektifitas kerja partai dan sistem kepartaian di dalam sistem demokrasi. Oleh karena itu
penyempumaan sistem kepartaian harus dipandang sebagai agenda tak terpisahkan dari upaya
memperkuat sistem pemerintahan presidensial di satu pihak dan penguatan sistem perwakilan di lain
pihak.
Di samping itu untuk mendukung presidensialisme yang kuat dan efektif maka sistem kepartaian
yang dihasilkan pemilu semestinya mengkondisikan terjadinya koalisi antarpartai dengan basis ideologi
dan atau platform politik yang sama atau mendekati sama, sehingga di lembaga parlemen terbentuk
koalisi partai pendukung pemerintah di satu pihak, dan koalisi partai oposisi di pihak lain. Sementara itu
sebelum pemilu legislatif berlangsung, UU kepartaian dan UU pemilu hendaknya mendorong partai
partai saling bergabung dan atau saling berkoalisi dengan kompensasi politik yang disepakati melalui
perjanjian kerjasama dan atau penggabungan di antara partai-partai.
Sehubungan dengan kebutuhan dukungan sistem kepartaian untuk memperkuat dan
mengefektifkan sistem presidensial, paling kurang ada tiga arah sekaligus tujuan penyempumaan sistem
kepartaian melalui UU Partai Politik, yaitu: (1) mengkondisikan terbentuknya sistem multipartai
sederhana; (2) mendorong terciptanya pelembagaan partai yang efektif dan kredibel; (3)
mengkondisikan terbentuknya kepemimpinan partai yang demokratis dan akuntabel; dan (4) mendorong
penguatan basis dan struktur kepartaian pada tingkat akar-rnmput.
Ill. Ruang Lingkup dan Pokok-pokok Revisi UU Bidang Politik
1. Ruang Lingkup Revisi UU Pi/pres
16 Lihat Suatu Kerangka Keifa Pengembangan Partai Politik yang Demokratis, Netherlands Institute for Multiparty Democracy (IMO), 2006, hal. 7.
1.1. Latar Belakang
Pada tanggal 9 November 2001 dan 10 Agustus 2002 MPR RI telah mengesahkan perubahan
(amandemen) ketiga dan keempat UUD 1945, setelah sebelumnya pada 1999 dan 2000 mensahkan
amandemen pertama dan kedua. Melalui empat tahap amandemen tersebut sistem pemerintahan
negara Indonesia lebih dipertegas kembali dengan memilih sistem presidensial. Perubahan itu antara
lain diatur dalam Pasal 6A ayat (1) yang menetapkan, "Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu
pasangan secara langsung oleh rakyat", dan juga Pasal 7 yang berbunyi, "Presiden dan wakil presiden
memegang masa jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang
sama, hanya untuk satu kali masa jabatan". Pasal-pasal tersebut menunjukkan jelasnya pilihan terhadap
sistem pemerintahan presidensial.
Pilihan politik untuk kembali pada sistem pemerintahan presidensial ini sekaligus merupakan
koreksi terhadap otoritarianisme era Orde Baru. Seperti diketahui, presidensialisme pada masa Orde
Baru tidak didukung oleh pemilihan presiden secara demoktratis. Presiden dipilih oleh MPR yang
susunan dan keanggotaannya didesain sedemikian rupa dalam rangka melanggengkan atau
melestarikan kekuasan presiden. Melaiui aturan-aturan politik sistemik, presiden dapat melanggengkan
kekuasaannya dengan mengkooptasi lembaga ini. lmplikasi dari mekanisme yang demikian adalah,
pertama, rendahnya tingkat legitimasi yang dimiliki oleh Presiden terpilih; dan kedua, bangunan politik
yang dihasilkan melalui mekanisme pemilihan yang bersifat kolutif tersebut cenderung otokratik
ketimbang demokratik.
Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat merupakan suatu langkah
dan bagian yang sangat penting serta fundamental dalam proses perubahan politik yang berlangsung
sejak reformasi 1998. Suatu transformasi struktur kekuasaan sangat mendasar yang menandai
perubahan dari bangunan kekuasaan otoritarian menuju ke suatu tatanan politik demokratis. Filosofi
dasar dari prinsip demokrasi adalah siapapun yang akan menjadi pemegang kekuasaan, pada tingkat
apapun dan cabang kekuasaan manapun harus mendapat mandat dari rakyat, karena rakyat adalah
pemegang kedaulatan tertinggi.
Sistem pemilihan presiden secara langsung dengan dua putaran yang berlaku dewasa ini jelas
jauh lebih baik dibandingkan sebelumnya kendati belum merupakan sistem yang ideal karena acapkali
pemilih dihadapkan bukan pada pilihan pasangan calon pemimpin yang baik atau yang buruk, tetapi
cenderung pada munculnya kandidat yang ~ebih populer dan kurang populer. Namun demikian sistem
semacam ini menjadi pilihan banyak negara lantaran dianggap lebih baik dari berbagai pilihan sistem
lainnya karena memungkinkan terpilihnya pemimpin yang mendapatkan mandat dan dukungan rakyat
secara langsung dan luas dari sebagian besar wilayah negara untuk jangka waktu tertentu.
Makna penting lainnya dari sistem pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung adalah
untuk mewujudkan mekanisme keseimbangan kekuasaan (checks and balances) di antara cabang
cabang kekuasaan yang ada. Dalam kaitan itu, pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung
diharapkan cabang kekuasaan eksekutif memiliki basis kekuasaannya sendiri yang terpisah dari basis
kekuasaan parlemen. Dengan demikian, presiden memiliki kekududukan yang kuat, dan oleh sebab itu
parlemen tidak dapat menjatuhkan presiden karena kebijakannya, begitu juga sebaliknya, presiden
tidak dapat membubarkan parlemen.
Seperti dikemukakan di atas, amandemen konstitusi sebenarnya dimaksudkan untuk menata
ulang dan mengoreksi otoritarianisme pemerintahan Orde Baru. Namun seperti diketahui, sebagai
akibat kentalnya kompromi politik yang berorientasi jangka pendek, maka yang cenderung terjadi
pasca-amandemen konstitusi adalah kerancuan sistemik antara pilihan formal presidensialisme di satu
pihak dan praktik serta perilaku parlementarianisme di pihak lain. Praktik parlementarianisme ini antara
lain tercermin dari realitas politik yang menunjukkan bahwa pengangkatan atau usulan pemberhentian
sejumlah menteri dalam kabinet yang disusun oleh presiden cenderung berdasarkan pengaruh dari
partai-partai yang duduk di parlemen, meskipun partai-partai tersebut tidak mendukung pasangan calon
presiden-wapres yang akhirnya terpilih.
Sehubungan dengan itu, naskah ini bermaksud mengusulkan penataan ulang sistem dan proses
pemilihan presiden langsung pada masa mendatang yang memungkinkan terbentuknya pemerintahan
yang kuat, efektif, stabil selama lima tahun, serta terbangunnya cheks and balances. Untuk itu
diperlukan revisi UU Pilpres guna memperkuat dan meningkatkan efektifitas sistem presidensial.
Agenda tersebut antara lain perubahan persyaratan partai/gabungan partai yang berhak mengajukan
pasangan calon presiden-wapres, penataan kampanye, pelembagaan pidato kekalahan dari pasangan
kandidat, dan perubahan tata cara pelantikan pasangan presiden-wapres terpilih.
12.Problematika UU Pemilihan Presiden
1.2.1. Hubungan Presiden-Wapres dan Presiden-DPR
Sejak tahun 2004 Indonesia memasuki tahap baru dengan telah berjalannya proses pilpres secara
langsung dan demokratis, namun dalam praktiknya masih ada kendala yang terjadi kemudian. Sistem
pemilihan presiden yang sekarang cenderung menyulitkan kerja sama antara presiden dan wakil
presiden di satu pihak, maupun antara presiden dan parlemen di pihak lain. Hal ini disebabkan oleh
sistem pilpres yang ada sekarang pada satu sisi masih memungkinkan munculnya kandidat presiden
berasal dari partai kecil, tapi sangat populer dan memenangkan pemilihan, namun di sisi lain parlemen
(badan legislatiD dikuasai oleh mayoitas partai politik yang kalah dalam pilpres. Akibatnya, peluang
munculnya instabilitas atau kemacetan politik tidak dapat dihindarkan dan pemerintahan yang ada
cenderung tidak efektif. Hal itu terjadi karena terlalu rendahnya persyaratan bagi partai/gabungan partai
dalam pencalonan presiden-wapres, serta belum dilembagakannya koalisi permanen antar partai
pendukung pasangan kandidat.
Selain itu, penggabungan dan atau koalisi partai pengusung pada Pilpres 2004 lebih didasarkan
pada pragmatisme politik, ketimbang diikat oleh kesamaan visi dan landasan politik dalam rangka masa
depan bangsa yang lebih baik. Koalisi yang bersifat cair dan dibangun sesaat tersebut cenderung
menjadikan rentannya dukungan atas pasangan calon presiden terpilih oleh partai-parta~
pengusungnya. Dengan fondasi yang sangat rapuh ini, maka tidak mengherankan jika acapkali terjadi
perbedaan yang tajam antara parlemen dan pemerintah terpilih di satu pihak dan di antara sesama
pendukung pemerintah di pihak lain.
Selain itu, problematik lain dari UU Pilpres dewasa ini adalah belum konsistennya tata cara
pelantikan pasangan calon presiden terpilih sesuai prinsip yang berlaku dalam presidensialisme.
Pelantikan pasangan presiden-wapres terpilih masih dilakukan di gedung parlemen, padahal mereka
adalah pasangan hasil pemilihan langsung oleh rakyat yang tidak bertanggung jawab kepada parlemen.
Pelantikan kepala negara di gedung parlemen menyiratkan bahwa sistem yang berjalan adalah
parlementer, padahal sistem pemerintahan yang di1gunakan sesuai perubahan konstitusi adalah
penegasan kembali pada presidensialisme.
1.2.2. Dilerna Pencalonan dan Posisi Kader Non-Partai
Adapun problematika UU Pilpres lainnya adalah kualifikasi kandidat presiden dan wakil belum diatur
secara rinci sehingga mekanisme rekruitmen yang demokratis belum disepakati oleh semua partai yang
berhak mengajukan pasangan kandidat presiden-wapres. Proses seleksi yang terjadi cenderung belum
kompetitif dan belum transparan. Begitu juga asal pasangan calon apakah harus dari kader internal
partai, kedua pasangan calon presiden dan wakil harus dari partai yang sama atau bisa berbeda dan
apakah boleh dibuka untuk publik/nonkader yaitu dari calon independen atau harus kader partai
tersebut, masih menghasilkan dilema.
Kriteria calon yang akan dimajukan apakah memerlukan pengaturan sebaiknya harus kader partai
atau boleh membuka pintu untuk calon independen tampaknya menjadi permasalahan tersendiri.
Keberatan itu antara lain berkaitan dengan persoalan belum terbangunnya sistem kaderisasi yang baik
di dalam partai-partai politik. Begitu juga syarat pengusungan calon nonpartai akan bermasalah bila
dikaitkan berapa biaya yang wajar yang harus ditanggung oleh calon independen agar namanya bisa
diusung menjadi kandidat dari partai tersebut. Hanya calon yang kaya yang bisa maju dan calon yang
memiliki integritas dan pengalaman tetapi tidak memiliki dana yang cukup, tentu tipis kemungkinannya
bisa berkompetisi dalam pilpres.
Dari lima pasangan kandidat presiden dan wakil presiden yang bersaing dalam Pilpres 2004,
hanya seorang kandidat yang telah melalui proses konvensi yang dilakukan oleh partai pengusung, yakni
Wiranto yang dicalonkan oleh Partai Golkar. Sedangkan partai lain tidak membuat keputusan
pencalonan melewati proses tatacara pemilihan internal partai yang berjenjang dan melibatkan
perwakilan pengurus di tingkat daerah. Namun demikian ada juga penilaian bawah proses konvensi
tersebut cenderung masih berlangsung tertutup, elitis dan belum melibatkan publik secara terbuka.
Di sisi lain, bila calon yang diusung bukanlah kader yang berjuang dan dipersiapkan oleh partai
yang bersangkutan untuk menjadi kandidat yang akan dimajukan sebagai pasangan presiden, bisa jad~
dalam proses seleksinya akan menjadi dilema tersendiri bagi pengurus dan anggota partai atau
gabungan partai. Calon dari luar adalah pihak lain yang mengambil peluang para kader untuk
mobilitasnya, dan ini tentu menyalahi asas kaderisasi partai. Namun jika kemungkinan calon dari luar
untuk dimajukan oleh partai ditutup maka kemungkinan partai memenangkan calon yang populer dan
didukung oleh masa bisa pula hilang. Partai tersebut bisa jadi akan dianggap tidak mengakomodir
agenda demokratisasi dan sirkulasi elite secara terbu1ka. Belum lagi bila ada kepentingan sebagian
pengurus partai yang % membuka kemungkinan calon lain ikut konvensi partai tersebut sebatas
formalitas, tetapi tujuan utamanya untuk mengumpulkan dana politik dari yang bersangkutan.
1.2.3 Problematik AkuntabWtas Kampanye dan Pendanaan
Selain probelematik di atas, pencalonan presiden dan wapres pun belum disertai dengan persyaratan
proyeksi komposisi kabinet yang akan dibentuk apabila pasangan kandidat terpilih. Selama ini hak
pemilih untuk mendapatkan informasi transparan tentang komposisi menteri yang akan dibentuk oleh
pasangan kandidat jika menang, belum diatur oleh UU Pilpres. Akibatnya ketika penyusunan kabinet,
banyak pemilih yang kecewa, karena tidak pernah membayangkan orang tertentu yang dianggap kurang
berkualitas, malah masuk menjadi menteri ketika pasangan calon tertentu terpilih.
Di sisi lain, dalam visi dan misi yang diajukan oleh pasangan kandidat presiden belum memuat
rencana pembangunan jangka menengah dan panjang yang menjadi prioritas pemerintahan jika terpilih.
Selama ini pasangan kandidat hanya menyampaikan visi dan misi yang bersifat umum dan cenderung
seragam antara satu pasangan dengan pasangan lainnya. Masa kampanye yang terlalu singkat (30 hari)
mengakibatkan pemilih tidak mempunyai waktu yang cukup untuk mengenali kinerja dan kapasitas
pasangan kandidat. Akibatnya, pasangan kandidat tidak mempunyai cukup waktu untuk berinteraksi
dengan konstituennya, serta memperkenalkan program-programnya.
Pendeknya masa kampanye cenderung mendorong partai politik dan/atau pasangan calon untuk
mengambil jalan pintas melakukan money politics maupun cara-cara manipulatif lainnya, demi
memenangkan pilpres. Pembatasan waktu kampanye sedikit banyak bisa menyumbang kondisi
penghalalan segala cara. Hal yang sebaliknya akan terjadi bila waktu kampanye tidak dibatasi waktunya
hingga masa tenang seminggu sebelum hari pemilihan. Sehingga cara-cara normal dan rasional akan
bisa dilakukan oleh para calon baik yang memili dana yang banyak atau calon yang memiliki dana
terbatas tetapi mempunyai integritas dan inovasi perbaikan untuk disosialisasikan, dibuktikan dan
kemudian bisa dipersandingkan antarpasangan kandidat dalam kurun waktu yang relatif panjang, guna
pertimbangan dan sekaligus menarik dukungan pemilih.
Begitu pula penggunaan media massa untuk kampanye secara tak terkontrol (pemberitaan,
blocking time, dan iklan kampanye), cenderung hanya menguntungkan pasangan calon yang
memiliki modal besar. lni akan terjadi karena waktu kampanye sangat pendek sehingga tim sukses
akan menonjolkan figur dan menaikkan popularitas calonnya melalui media massa. Selain itu ada
problematik yang lain menyangkut akuntabiltas dana kampanye. Publik tidak bisa mengetahui
kemungkinan munculnya penyimpangan yang dilakukan kandidat dalam hal sumber dana kampanye
maupun penggunaannya karena tidak ada kewajiban bagi KPU untuk mengumumkannya.
Selain itu, regulasi tentang dana kampanye pada undang-undang pilpres juga tidak menjelaskan
jumlah sumbangan yang wajib dicatat oleh bendahara dari partai politik dan/atau gabungan partai
mengenai bentuk, jumlah sumbangan dan identitas lengkap pemberi sumbangan. Sebaiknya KPU hanya
membuat peraturan bahwa sumbangan lebih dari lima juta rupiah wajib dicatat dengan menggunakan
formulir standar penerimaan.
Kedua, meskipun dalam rangka pengumpulan dana kampanye partai politik dan atau gabungan
partai harus berpegang pada batas maksimal sumbangan kampanye, akan tetapi tidak ada pengaturan
lebih Ian jut mengenai larangan untuk mentrasfer dana dari rekening partai politik ke rekening dana
kampanye. Hal ini pada akhirnya tidak mampu menjamin prinsip kesetaraan politik di mana partai yang
memiliki sumber daya dan dana yang besar, tinggal menggunakan untuk keperluan kampanye. Donatur
dapat menyumbang jauh-jauh hari sebelum pemilu sehingga akumulasi sumbangan dapat melampaui
ketentuan batas sumbangan bagi kampanye.
Ketiga, undang-undang yang ada juga tidak menjelaskan mengenai penggunaan dana
kampanye. Tidak ada difinisi mengenai aktivitas yang boleh didanai, bagaimana pencatatan
pengeluaran dana kampanye serta batas maksimal pengeluaran. lni mengakibatkan akuntabilitas
pengeluaran untuk kampanye menjadi tidak ada. Selain itu, akan terjadi kesenjangan antara partai
besar dan partai kecil dalam hal belanja untuk kampanye terutama penggunaan iklan dalam media
massa yang pada akhirnya menjadikan kompetisi antarpasangan calon menjadi tidak seimbang.
Begitu pula belum ada definisi yang jelas perihal badan hukum dan perseorangan, apakah
mencakup 'partai politik', 'pasangan calon', 'anggota dan pengurus partai politik', dan 'anggota tim
kampanye'. Ketentuan ini juga tidak mengatur mengenai utang dari parpol, individu, badan hukum dan
pihak ke-3, seperti utang iklan di TV swasta. Tidak adanya pengaturan yang jelas perihal sumbangan
dari badan hukum swasta apakah mencakup induk perusahaan dan anak-anak perusahaannya.11
1.2.4. Be/um Diantisipasi Potensi Konflik Pascapilpres
Belum dilembagakannya pidato kekalahan secara formal di negeri kita bisa menyebabkan munculnya
gejolak di lapangan saat pengumuman hasil akhir pilpres. Bagaimana mengatur agar ada keberadaban
politik dan ada semacam tindakan sportif dari pasangan calon dan tim sukses bila mereka kalah dalam
kompetisi pilpres agar tidak menimbulkan huru-hara di tingkat massa pendukung. Tiadanya
pelembagaan pidato kekalahan ini berpeluang untuk dimanipulasi oleh pihak yang tidak sportif untuk
meragukan hasil akhir pilpres yang kemudian berdampak pada munculnya konflik dan gejolak politik.
Sebagai contoh kasus saat pengumuman Pilpres 2004, kekalahan atau tidak terpilihnya Megawati
menjadi presiden telah menimbulkan kemarahan sebagian besar massa pendukungnya di Bali
dan Lampung. Dalam kaitan ini, peran pasangan calon yang kalah untuk menenangkan massa
pendukungnya melalui pidato (pengakuan) kekalahan secara sportif menjadi penting untuk
dilembagakan pada masa mendatang.
1.3.Cakupan Revisi UU Pemilihan Presiden
Ada sejumlah langkah penataan yang perlu dilakukan berkaitan dengan revisi UU Pilpres yaitu antara
lain: perubahan persyaratan pencalonan pasangan kandidat, penataan tim kampanye dan tim sukses,
penataan materi kampanye, perubahan batas waktu kampanye, pengaturan penggunaan media massa
dalam kampanye, pengaturan soal larangan dan dana kampanye, pelembagaan pidato kekalahan dan
perubahan tata cara pelantikan calon terpilih. Penjelasannya secara lebih lengkap diuraikan berikut ini:
1.3.1.Perubahan Persyaratan Penca/onan
Berdasarkan pengalaman Pilpres 2004, terjadi disharmoni dalam hubungan presiden dan wakil presiden
terpilih yang antara lain disebabkan oleh rentang waktu dalam proses pembentukan koalisi yang sangat
pendek. Pembentukan koalisi tersebut cenderung hanya berdasarkan kepentingan pragmatis jangka
pendek dari kandidat dan partai/gabungan partai pengusung. Koalisi permanen dan kuat sulit akan
terbangun di waktu yang akan datang jika tidak ditata secara seksama dari sekarang ini. Apalagi dalam
regulasi yang ada dewasa ini UU Pilpres hanya mensyaratkan prosentase perolehan kursi minimal
sebesar 15% atau 20% perolehan suara secara nasional hasil Pemilu DPR bagi partai/gabungan partai
yang hendak mengusung pasangan kandidatnya.
Persyaratan tersebut menjadikan jumlah pasangan calon yang muncul pada Pilpres 2009 bisa
mencapai tiga hingga lima pasangan calon. Akibatnya proses pemilihan presiden dapat berlangsung
17 Lihat pula executive summary "Perubahan Pasal Dana Politik di dalam Paket Undang-undang Politik" oleh Tim Cetro, Til, ICW, Perludem dan IAl-KSAP, Desember 2006.
dalam dua putaran. Konsekuensi dari hal ini adalah munculnya ekonomi biaya tinggi dalam pelaksanaan
pemilihan presiden, serta kemungkinan potensi konflik yang lebih panjang yang terbangun atas
perbedaan pilihan yang dapat mengakibatkan fragmentasi hubungan sosial pada aras masyarakat.
Untuk membangun sistem presidens.ial yang kuat dan efektif, maka diperlukan penataan kembali
mekanisme pencalonan melalui pengaturan sbb: (1) pemberlakuan syarat pembentukan koalisi partai
secara permanen atas dasar platform politik yang sama sebagai kriteria pengajuan pencalonan
pasangan Presiden-Wapres di masa mendatang; (2) pencalonan pasangan Presiden-Wapres hams
dilakukan oleh partai/koalisi partai yang memperoleh suara minimal 30% dalam Pemilu DPR; (3)
pasangan calon berasal dari satu partai/koalisi partai yang sama. Pengaturan tersebut penting dilakukan
untuk mendorong terbangunnya beberapa kondisi yang diperlukan bagi terlembaganya
presidensialisme yang kuat dan efektif yakni:
1) Adanya stabilitas dan efektifitas kabinet presiidensial, sehingga risiko terjadinya penarikan
dukungan menteri-menteri relatif bisa dikurangi. Hal ini terjadi karena adanya pengawalan bersama
dan ikatan koalisi partai dari sejak awal dan bukan pada saat pencalonan saja;
2) Memungkinkan terbentuknya dua kekuatan di parlemen, yakni antara koalisi partai yang berkuasa
dan koalisi partai yang beroposisi, sehingga terbangun hubungan partai pemerintah dan partai
oposisi sebagai bagian checks and balances antara eksekutif dan legislatif. Kekuatan oposisi yang
terbangun adalah oposisi yang bersifat konstruktif-demokratis yang lebih menekankan penegakan
nilai-nilai demokrasi dengan meletakkan kehendak bersama di atas kepentingan kelompok
atau golongan, dan bukan oposisi destruktif-oportunis maupun oposisi fundamental-ideologis.1a
3) Membuka peluang yang lebih besar bagi terdapatnya dua pasangan calon dan pemilihan
presiden satu putaran saja.
1.3.2. Pelembagaan Konvensi Pra-pencalonan
Untuk memperoleh pasangan calon presiden-wapres terbaik, menghindari penentuan calon secara
oligarkis oleh pimpinan partai/koalisi partai, dan memberi kesempatan bagi publik berpartisipasi dalam
proses pencalonan, maka perlu pelembagaan proses konvensi partai/koalisi partai mendahului
pencalonan secara resmi. Proses konvensi tersebut hendaknya berlangsung secara demokratis dan
transparan secara publik. Mekanisme konvensi adalah ruang bagi perseorangan non-partai untuk turut
serta berkompetisi sebagai kandidat presiden-wapres kendati tetap hams mematuhi prosedur internal
18 Oposisi desktruktif-oportunis adalah oposisi yang dibangun oleh kelompok yang kalah dalam pemilu yang bertujuan untuk merugikan pemenntahan. Oposisi fundamental-ideologis, adalah oposisi yang dibangun tidak hanya ingin meraih kekuasaan, tetapi menggantikan sistem ketatanegaraan yang ada.
dan platform partai/koalisi partai pengusung.
1. 3.3.Penataan Kampanye
1.3.3.1. Komposisi Galon Menteri Diumumkan
Dalam sistem presidensial para menteri adalah pembantu presiden yang diangkat dan bertanggung
jawab kepada presiden, bukan pada parlemen. Untuk mengarah ke sana maka perlu dirancang agar
komposisi para calon menteri telah diumumkan secara resmi dan diproyeksikan sebagai "kabinet
tersusun" yang akan diangkat menjadi tim menteri bila pasangan calon tertentu terpilih. Dengan
demikian masyarakat bisa menilai "kabinet" yang direncanakan oleh pasangan calon dan menjadi dasar
untuk menentukan pilihan dalam pemilu. Menjadi di1lema bagi pemilih bila tim sukses tidak jelas
orangnya atau jelas orangnya tapi malah orang lain yang bukan dari koalisi yang mengusung presiden
malah masuk dalam kementerian.
1.3.3.2. Pengaturan Tim Kampanye dan Tim Sukses
Untuk bisa dinilai integritasnya oleh konstituen, tim kampanye dan tim sukses yang disusun pasangan
calon hams diumumkan secara resmi melalui media massa. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan
informasi yang cukup tentang siapa saja yang menjadi pendukung presiden. Siapa saja yang secara
resmi mengumpulkan dana kampanye untuk menghindari tindak penipuan para pelaku yang mungkin
'mengail di air keruh'.
Untuk itu meknismenya tim kampanye dan tim sukses hams terdaftar di KPU atau Panitia
Penyelanggara Pemilu. Tim kampanye dan tim sukses yang tidak terdaftar dan tidak memiliki bukti
sertifikasi dilarang melakukan kegiatan kampanye dan kegiatan lainnya yang bertujuan menyukseskan
kemenangan kandidat. Tim kampanye yang diumumkan tersebut aktor utamanya bisa saja atau
sebaiknya merupakan representasi komposisi kabinet tersusun yang akan dibentuk apabila pasangan
kandidat memenangkan pemilu. Hal iini bisa menjadi salah satu pertimbangan bagi pemilih untuk
memilih komposisi yang terbaik dari pasangan kandidat yang bertarung.
Pada intinya, langkah perbaikan mekanisme kampanye bisa diatur lewat penataan kembali aturan
main bagi tim kampanye dan tim sukses. Adapun hal-hal yang perlu dipertimbangkan antara lain: (1) tim
kampanye dan tim sukses yang disusun pasangan calon hams diumumkan secara resmi melalui media
publik; (2) tim kampanye dan tim sukses hams terdaftar di KPU; (3) tim kampanye dan tim sukses yang
tidak terdaftar dilarang melakukan kegiatan kampanye dan kegiatan lainnya yang bertujuan
menyukseskan kemenangan kandidat; (4) tim kampanye yang diumumkan tersebut bisa saja
merupakan representasi komposisi kabinet yang akan dibentuk atau tersusun apabila pasangan kandidat
menang.
1.3.3.3.Penataan Materi dan Mekanisme Kampanye
Pilpres mendatang dibayangkan akan diikuti oleh para calon yang semakin berkualitas. Kualitas itu
antara lain dilihat dari kemampuan mereka menyusun materi kampanye yang tidak lagi abstrak dan sulit
diukur implementasinya. Pasangan calon wajib menyampaikan visi, misi dan program kerja
pemerintahan yang akan dilakukan. Program kerja pasangan calon merupakan perwujudan konkrit dari
visi dan misi yang harus disertai rincian cara pencapaiian program, indikator capaian dan target waktu
program tersebut. Hal tersebut wajib disampaikan pada saat kampanye sebagai agenda pembangunan
institusi lembaga kepresidenan dan kementerian negara.
Persoalan lain yang perlu diatur dalam mekanisme kampanye adalah pengaturan mengenai debat
publik. Debat publik harus dilakukan secara terbuka yang wajib dihadiri oleh pasangan calon. Hal ini
untuk menunjukkan kesungguhan dan tanggung jawabnya sebagai calon pemimpin nasional. Untuk itu
apabila ada pasangan calon yang mencari-cari alasan untuk tidak hadir, perlu dikenakan sanksi. Debat
publik wajib diliput secara nasional oleh media massa.
Dari uraian di atas maka, upaya untuk penataan materi kampanye pilpres bisa dilakukan melalui:
(1) penguatan kualitas materi dan cara kampanye. Materi kampanye perlu terukur dan bisa diverifikasi
oleh berbagai pihak; (2) debat publik terbuka yang wajib dihadiri oleh pasangan calon untuk diliput oleh
media secara nasional dan interaktif. Jika ada calon yang tidak hadir maka bisa saja pasangan
bersangkutan dikenakan sanksi akan didiskualifikasi; (3) pasangan calon sebaiknya wajib pula
menyampaikan visi, misi dan program kerja pemerintahan yang akan dilakukan. Program kerja
pasangan calon merupakan perwujudan nyata dan operasional dari visi dan misi yang hams disertai
rincian cara pencapaian program, indikator capaian dan target waktu program tersebut; (4) perlu pula
pengaturan payung hukum lewat UU ini, agar substansi kampanye yang berupa program yang
operasional tersebut wajib untuk menjadi program kerja kabinet yang tersusun dari pasangan kandidat
terpilih. Hal ini perlu dirancang agar hasil pilpres yang ada, bukan hanya sukses menurut kriteria
demokrasi prosedural, tetapi juga sukses atau gaga! menurut hakikat demokrasi substansial.
1.3.3.4.Pengaturan Larangan dan Dana Kampanye
Hal-hal yang memuat pelarangan kampanye perlu disertai dengan sanksi yang operasional dan pihak yang
akan menegakkannya di lapangan. Pasangan calon yang melanggar ketentuan larangan kampanye
dapat dikenai sanksi administratif sampai ke yang terberat yakni pembatalan sebagai pasangan calon.
Jika pelanggaran bersifat administratif, kandidat dan tim suksesnya (sesuai kasusnya di tingkat
pusat/daerah) akan dikenai denda yang ditetapkan oleh pengadilan. Pilpres yang tidak disertai
penegakkan hukum di lapangan akan menghasilkan pilpres yang cacat secara prosedural.
Transparansi dan akuntabilitas dana kampanye oleh tim sukses perlu pula ditegakkan. Tim
sukses dan kandidat dilarang menerima bantuan dana melebihi nominal tertentu yang dikhawatirkan
akan mengikat presiden terpilih melakukan tindakan KKN (Kolusi, Korupsi dan Nepotisme)
pascaterpilih. Hal ini dikarenakan regulasi yang ada tidak mengatur secara jelas sumbangan yang
berasal dari partai politik (untuk setiap tingkatan), gabungan antarpartai maupun pasangan kandidat,
khususnya terkait dengan sumbangan yang berbentuk bukan tunai (in natura), seperti diskon,
penggunaan faslitas, dll.
Sumbangan dana kampanye pemilu yang diatur dalam undang-undang dewasa ini hanyalah dalam
bentuk uang dan hutang. Sedangkan sumbangan natl.Ira (barang), bantuan dalam bentuk jasa, diskon
ataupun fasilitas dari perseorangan atau badan hukum swasta tidak disebutkan sama sekali. Akibatnya
donatur bisa saja memberian bantuan yang melebihi ketentuan dengan mengggunakan bentuk
sumbangan seperti pemberian fasiiitas trasnportasi, memberikan bahan-bahan cetakan untuk
kampanye ataupun diskon untuk penggunakan fasilitas seperti hotel dan sebagainya. Bantuan dalam
jumlah besar dan tidak tercatat tersebut, sangat pote11sial untuk dilanggar oleh partai politik peserta
pemilu.
Untuk meningkatkan kualitas transparansi dan akuntabilitas dana kampanye Pilpres di dalam UU
perlu diatur lebih rinci mengenai ketentuan dana kampanye. Hal ini diperlukan untuk membangun
proses pilpres yang baik secara prosedural, agar transparan dan bisa diketahui oleh publik sehingga
mendorong terbangunnya good governance pascapemilu antara lain19:
• Ada ketentuan yang mewajibkan audit terhadap pengeluaran dana kampanye Pilpres;
• Laporan penggunaan dana kampanye (sumber maupun pengeluaran) perlu diumumkan pada
publik melalui media massa seminggu sebelum hari pemberian suara;
• Adanya konfirmasi tentang kelayakan penyumbang di dalam proses audit;
• Harus ada ketentuan baku tata cara serta tindak lanjut dan sanksi yang jelas terhadap temuan
permasalahan yang dihasilkan dari proses audit;
• Pengaturan bahwa sumbangan dari perorangan yang berasal dari pengurus partai atau kandidat
disamakan statusnya dengan penyumbang perorangan. Sumbangan in natura yang diterima tim
kampanye maupun pasangan calon harus dihitung dalam uang dan terikat batasan sumbangan
untuk individu dan badan hukum;
• Sumbangan partai politik dikenai ketentuan seperti halnya ketentuan untuk badan hukum;
• Utang dari individu, badan hukum dan partai politik kepada kandidat dan tim sukses harus dihitung
sesuai dengan batasan sumbangan individu dan badan hukum;
19 Lihat, "Perubahan Pasal Dana Politik di dalam Paket Undang-undang Politik" oleh Tim Cetro, Til, ICW, Perludem dan IAlKSAP, Desember 2006.
• Sumbangan pengusaha hanya dapat dilakukan satu kali dari induk perusahaan. Aliran dana harus
lewat perbankan nasional untuk diverifikasi oleh pihak berwenang dan sesuai pengaturan tentang
antimoney laundring;
•
•
Adanya aturan secara rinci mengenai identitas penyumbang. Kewajiban mencatat sumbangan di
bawah Rp. 5 juta yang dilakukan lebih dari satu kali dan menyimpan catatannya lewat bendahara
partai politik. Batas bawah pencatatan perlu diturunkan;
Aturan yang tegas bagi pihak-pihak yang digunakan namanya atau perusahannya untuk
menyumbang padahal tidak memiliki kemampuan;
• Penelusuran kewajaran kemampuan menyumbang dari NPWP individu maupun badan usaha;
• Perlu ada kejelasan tentang definisi 'pihak asing' terutama perusahaan asing apakah domisilinya di
luar Indonesia atau karena kepemilikan saham maksimum (di atas 50%) oleh pihak asing. Perlu
juga diatur batasan sumbangan dari NGO asing, baik jenis NGO atau jenis pembiayaannya, ke
partai politik atau kandidat;
• Perlu dijelaskan secara jelas kapan rekening dana kampanye dapat dibuka dan berapa ketentuan
saldo awal yang wajar dalam membuka rekening khusus dana kampanye;
• Saldo awal dapat berasal dari rekening partai politik yang diatur batasan besarnya saldo awal;
• Ketentuan mengenai utang hams dikenakan bai'k jumlah maupun kategori penyumbangnya
dengan ketentuan yang diterapkan untuk penyumbang perorangan dan badan hukum;
• Adanya ketentuan kewajiban membuka laporan dana kampanye dan hasil audit laporan dana
kampanye ke publik lewat media nasional;
• Rekening dana kampanye yang dibuka hams dikoordinasikan oleh satu orang yang ditunjuk untuk
bertanggungjawab terhadap pencatatan dan pelaporan dana kampanye. Orang yang ditunjuk juga
bertanggungjawab mengkonsolidasikan semua rekening tersebut pada saat penyusunan laporan
dana kampanye ke KPU/KPUD;
• Sanksi administratif pelanggaran dana kampanye memerlukan model atau standar operasi baku
penanganan yang jelas dan cepat atas pelanggaran administratif;
• Sanksi pidana pelanggaran dana kampanye perlu ada definisi yang jelas mengenai politik uang dan
manipulasi dana kampanye. Perlu ada penanganan lebih cepat atas kasus-kasus politik uang yang
terjadi. Perlu ada percepatan proses penanganan kasus politik uang sehingga sanksi dapat segera
diterapkan kepada orang atau pihak-pihak yang tertibat.
1.3.3.4. Pelonggaran Batas Waktu Kampanye
Waktu kampanye yang begitu pendek menyebabkan para calon memakai cara pintas untuk meraih
dukungan pemilih. Cara-cara itu antara lain politik uang, mobilisasi dan kooptasi kelembagaan birokrasi
dan kemasyarakatan yang mendorong pembusukan politik. Untuk mengatasi hal tersebut bisa dicari
jalan keluar berupa perubahan batas jadwal kampanye dari hanya ttga minggu menjadi relatif lebih
panjang atau lebih longgar, kecuali seminggu sebelum pemilihan sebagai minggu tenang. Dengan
demikian, kekhawatiran 'curi start' tidak perlu terjadi, penggunaan politik uang juga akan berkurang
akibat waktu kampanye yang tidak dibatasi terlalu ketat.
Waktu kampanye yang lebih leluasa ini berma11faat bagi pemilih, tim kampanye dan kandidat
untuk saling berinteraksi dalam waktu yang relatif lama. Materi kampanye, performance dan kapabilitas
calon pasangan presiden dapat dengan cermat dinilai dan diuji keberpihakannya oleh konstituen secara
tidak terburu-buru. Ada pemikiran bahwa jika waktu kampanye diperpanjang diharapkan bisa menekan
praktik money politics, kooptasi lembaga birokrasi dan TNl/Polri, kecenderungan "menjual" agama untuk
kekuasaan dan sejenisnya, untuk kemudian berubah menjadi penilaian atas track records pasangan
calon. Perubahan batas jadwal kampanye dari tiga minggu menjadi lebih panjang lagl bisa
dimanfaatkan untuk berkampanye dengan cara yang lebih etis dan rasional.
1.3.3.5.Pengaturan Media Kampanye
Kampanye melalui media massa pemerintah dan swasta, cetak maupun elektronik dalam bentuk berita
maupun iklan, perlu pengaturan dan pembatasan yang adil dalam frekuensi penayangan, penerbitan
dan jumlah halaman. Untuk pengaturan hal ini diawasi oleh Panwas dan melibatkan partisipasi tim
pemantau pemilu. Alasan pengaturan ini adalah agar pasangan calon yang memiliki uang banyak dan
memiliki saham di perusahan media tidak memonopoli publikasi dalam berkampanye melalui media
massa. Prinsip pilpres yang adil akan ditegakkan dalam pengaturan ini.
Untuk itu, penggunaan penggunaan media massa dalam kampanye perlu diatur antara lain: (1)
kampanye melalui media massa pemerintah dan swasta, cetak maupun elektronik dalam bentuk berita
maupun iklan, perlu pembatasan dalam frekuensi penayangan, penerbitan dan jumlah halaman; (2)
untuk pengaturan hal ini diawasi oleh Panwas dengan berkoordinasi deng~n Komisi Penyiaran Indonesia
dan lembaga pemantau pemilu yang bersifat independen dengan menyertakan bukti rekaman ulang
dan saksi ahli yang kuat secara integritas; (3) pelanggaran media untuk kampanye yang terjadi harus
cepat disikapi dan diberi sanksi denda atau diskualifikasi berdasarkan keputusan Mahkamah
Konstitusi/Mahkamah Agung sebagai perkara cepat yang harus didahulukan.
1.3.4.Pelembagaan Pidato Kekalahan
Untuk meredam potensi konflik dan fragmentasi kelompok masyarakat akibat kekalahan pasangan
kandidat yang mereka dukung, perlu mekanisme dan i1novasi politik untuk mengatasinya. Salah satu
bentuknya adalah mengatur ketentuan agar ada penegakan budaya politik demokratis. Caranya adalah
melembagakan pidato kekalahan dari pasangan kandidat yang kalah pada saat pengumuman resmi
hasil Pilpres di kantor Komisi Pemilihan Umum yang disampaikan melalui televisi secara nasional.
Adanya tradisi politik penyampaian pidato kekalahan akan meningkatkan prinsip sportifitas
berkompetisi dalam Pilpres di Indonesia. Hal ini akan mendorong bagi pasangan kandidat maupun bagi
para pendukungnya untuk menjadi good winner and good loser. Selain itu, tradisi penyampaikan pidato
kekalahan diharapkan mampu meminimalisir mobilisasi massa oleh pasangan calon dan atau tim
sukses yang kalah, yang mengarah pada konflik horizontal dengan tujuan menggagalkan hasil pemilu.
Sengketa-sengketa politik yang masih mengganjal diharapkan mampu diakhiri oleh elite dengan
memperhatikan kepentingan bangsa yang lebih luas. Langkah ini akan menyatupadukan masyarakat
kembali pascapilpres untuk menerima dan mendukung pasangan terpilih.
Pelembagaan pidato kekalahan merupakan upaya struktural dan kultural membangun demokrasi
yang sehat. Upaya ini diharapkan menjadi janji dan kesepakatan bersama semua tim sukses dan para
pasangan kandidat untuk meminimalisir konflik dan fragmentasi kelompok masyarakat akibat
perbedaan pilihan selama proses Pilpres. Caranya antara lain ketika calon mendaftarkan diri mereka ke
kantor KPU hams bersedia menerima syarat ketentuan wajib untuk memberikan pidato kekalahan
dengan standar materi yang telah ditetapkan.
1. 3. 5. Perubahan Tata Cara Pelantikan
UUD 1945 menunjukkan kecenderungan ke arah sistem presidensial dengan pengaturan posisi presiden
sebagai kepala pemerintahan sekaligus sebagai kepala negara. Hal ini tampak dalam Pasal 4 ayat (1)
UUD 1945 yang menyatakan bahwa presiden adalah kepala pemerintahan dan penjelasan Pasal 10
sampai 15 yang mengungkapkan bahwa presiden adalah kepala negara.
Dengan demikian lembaga kepresidenen lewat UU Piplres yang juga mengatur soal lokasi
pelantikan pasangan calon terpilih sebaiknya dibuat untuk mampu memancarkan pilihan sistem
presidensial. Pelantikan pasangan presiden langsung didisain diadakan di lstana Negara (lstana
Merdeka). Dalam sistem presidensial, presiden dipilih melalui pemilihan langsung oleh seluruh rakyat
maka pelantikannya di "istana rakyat". lni penting u1ntuk meningkatkan unsur simbolik pasangan
presiden hasil pemilihan langsung oleh rakyat, maka sebaiknya pasangan terpilih dilantik oleh Ketua
Mahkamah Agung di lstana Negara, bukan di gedung MPH atau parlemen.
Hal itu sejalan dengan upaya untuk membangun penguatan tradisi pemerintahan dan oposisi
dalam sistem presidensialisme. Sejak dini lembaga kepresidenan bukan dilantik oleh ketua MPR karena
kedudukan MPR dan presiden adalah sejajar. Selain dipilih langsung, presiden terpilih akan memegang
jabatannya untuk jangka waktu lima tahun. Posisi presiden amat kuat sebab ia tidak bisa dihentikan di
tengah jalan oleh MPR karena alasan politik yang multitafsir. UUD 1945 hasil amandemen ketiga
mengatur, presiden dan/atau wakilnya hanya dapat diberhentikan dalam masa jabatannya bila (i)
melakukan pelanggaran hukum berat, (ii) perbuatan tercela, atau (iii) tidak memenuhi syarat sebagai
presiden dan/atau wakil presiden. Melihat hasil amandemen UUD 1945, tampak sistem pemerintahan
Indonesia kian mendekati ciri-ciri presidensialisme murni.
Diharapkan bahwa revisi UU Pilpres ini bisa menghasilkan sistem presidensial yang lebih efektif
dan produktif, melalui hubungan legislatif dan eksekutif yang sehat dan konstruktif dalam kerangka
presidensialisme. Dengan demikian dalam jangka menengah dan panjang bisa terbangun demokrasi
yang tidak semata-mata prosedural, melaikan juga sekaligus substansial.
1.4. Matriks Revisi UU Pemilu Presiden
No Arah dan Agenda Usulan Pengaturan Argumentasi Tujuan Penyempumaan
1 Pelembagaan Perubahan S)rarat • Pencalonan pasangan • Membuka peluang yang
koalisi partai partal/gabungan partai Presiden-Wapres lebih besar bagi
dalam proses pengusung pasangan dilakukan oleh terdapatnya dua pasangan
Pilpres (Urgensi calon Pilpres partai/koalisi partai calon dan satu putaran
pembentukan yang memperoleh Pilpres, sehingga akan
koalisi besar dan suara minimal 25-30% menghemat anggaran
permanen atas dalam pemilihan negara.
dasar platform legislatif. • Memungkinkan
politikdalam • Pendaftaran paket terbentuknya dua
pencalonan pilpres wajib melalui kekuatan politik di
pasangan proses konvensi/pemilihan partemen, yakni koalisi partai
Pres id en- intemal/koalisi partai secara yang berkuasa dan yang
Wapres) demokratis dan transparan. beroposisi.
Proses tersebut wajib • Adanya koalisi permanen
terbuka akan memperkuat dan
untukdiiliputolehpublik mengefektifkan sistem
secara langsung dan melalui presidensial.
media.
2 Perbaikan • Penataan tim • Tim kampanye dan tim sukses • Hak pemilih untuk
mekanisme kampanye dan tim yang disusun pasangan calon mendapatkan infonnasi dan
kampanye sukses. harus diumumkan secara transparansi tentang
• Penataan materi resmi melalui media publik. komposisi menteri yang
kampanye • Tim kampanye dan tim sukses akan dibentuk oleh kandidat
harus terdaftardi KPU. jika menang Pilpres, dijamin
• Tim kampanye dan tim oleh UU ini lewat
sukses yang tidak terdaftar keharusan mengumumkan
di KPU dilarang melakukan nama-nama tim sukses.
kegiatan kampanye dan • Sebagaibahan
kegiatan lainnya yang pertimbangan bagi pemilih
bertujuan menyukseskan untuk melihat soliditas dan
kemenangan kandidat. kapasitas kabinet
• Tim kampanye yang mendatang.
diumumkan tersebut • Tim sukses yang
bisa menjadi representasi berkeringat mendapatkan
komposisi kabinet yang haknya menjadi menteri dan
akan dibentuk apabila pejabat publik lainnya.
pasangan kandidat • Kehadiran kandidat dalam
menang. debat publik merupakan
• Per1unya pengaturan forum yang tepat untuk
mengenai debat publik menilai kapasitas setiap
terbuka yang wajib dihadiri calon karena ketidakhadiran
oleh pasangan calon. calon menunjukkan
• Komposisi "cabinet tersusun" rendahnya komitmen
yang akan dibentuk oleh yang bersangkutan dalam
kandidat wajib disampaikan pilpres.
pada saat kampanye. • Visi, misi, program para
• Pasangan calon wajib kandidat sering hanya berisi
menyampaikan visi, misi dan cita-cita retorikdan kadang
program kerja pemerintahan kala hampir sama
yang akan dilakukan. antarcalon
• Program kerja pasangan • Visi, misi dan program
calon merupakan yang tanpa disertai detail
perwujudan kongkrit dari rencana operasional,
visi dan misi yang harus cenderung menghasilkan
disertai rincian cara fenomena 'membeli kucing
pencapaian program, dalam karung'
indikator capaian dan • Ada janji kampanye tapi
target waktu program tanpa detail cara
terse but. pencapaianya merupakan
kekaburan yang menjurus
pada kebohongan terhadap
publik.
• Kampanye tanpa disertai
cara operasional
pencapaian program yang
rinci merupakan indikasi
kegagalan pembangunan
demokrasi substansial.
Perubahan batas waktu Perubahan batas jadwal • Agar pemilih dan kandidat
kampanye kampanye dari 3 minggu punya waktu yang panjang
menjadi lebih longgar untuk saling berinteraksi
(diperpanjang). soal materi kampanye,
performance dan
kapabilitas calon
pasangan presiden.
• Menekan praktik
money politics dan
sejenisnya.
Pengaturan Kampanye melalui media Agar pasangan calon yang
penggunaan media massa pemerintah dan swasta, memiliki uang banyak dan
massa dalam cetak maupun elektronik dalam memiliki saham di perusahaan
kampanye bentuk berita maupun iklan, media tidak mernonopoli
perlu pembatasan publikasi
dalam frekuensi penayangan, dalam berkampanye melalui
penerbitan dan jumlah media massa.
halaman. Untuk pengaturan
hal ini diawasi oleh
Banwas/Panwas.
Larangan kampanye • Hal-hal yang memuat Pelanggaran Pilpres yang
& law-enforcement pelarangan kampanye perlu tidak disertai penegakan
disertai dengan sanksi yang hukum di lapangan akan
jelas. Pasangan calon yang menghasilkan pilpres yang
melanggar ketentuan cacad secara prosedural.
larangan kampanye dapat
dikenai sanksi pembatalan
sebagaii pasangan calon.
• Jika pelanggaran bersifat
administratif, kandidat dan
tim suksesnya (sesuai
kasusnya di tingkat
pusat/daerah) akan dikenai
denda yang ditetapkan oleh
pengadlilan.
• Banwas/Panwas
mempunyai hak elakukan
pembatalan pasangan calon
apabila pelanggaran
tersebut masuk kategori
berat (pelanggaran
pengaturan dana
kampanye).
3 Mendorong Pelembagaan Laporan penggunaan dana • Membangun proses Pilpres
transparansi transparansi kampanye (sumber maupun yang baik secara prosedural,
dan penggunaan, pengeluaran) diumumkan pada untuk mendorong
akuntabilitas pengelolaan, dan publik melalui media massa terbangunnya good
dana pelaporan dana seminggu sebelum hari governance pascapemilu.
kampanye kampanye pemberian suara. • Sanksi pelanggaran perlu
dicantumkan, termasuk siapa
yang akan melakukan
peneggakan hukumnya di
lapangan.
• Ada tatacara baku dalam
menangani dan mengadili
pelanggaran dalam proses
Pilpres yang disepakati
semua tim sukses Pilpres.
4 Meminimalisir Pelembagaan pidato Penetapan pasangan terpilih • Meningkatkan sportivitas
konftik dan kekalahan bagi wajib disertai dengan pidato dalam proses demokrasi
fragmentasi pasangan calon yang kekalahan dari pasangan calon baik bagi pasangan maupun
kelompok kalah yang mengikuti pilpres di bagi para pendukungnya
masyarakat kantor KPU (yang juga dihadiri (menjadi good winner and
akibat pasangan calon yang good loser).
perbedaan menang). • Meminilmalisir mobilisasi
pilihan massa oleh pasangan calon
yang kalah, yang
mengarah pada konflik
horisontal dengan tujuan
menggagalkan hasil
pemilu.
• Menyatu padukan kembali
masyarakat kembali
pascapilpres untuk
menerima dan
mendukung pasangan
terpilih.
5 Penegakan dan Perubahan tata cara Pelantikan Presiden-Wapres Pelantikan di lstana
konsistem tempat pelantikan terpilih dilakukan di lstana memberikan makna
presidensial presiden Negara bukan di gedung simbolik format
Parlemen. pemerintahan presidensial,
karena presiden dipilih
langsung oleh rakyat, tidak
dipilih oleh dan bukan
bertanggung jawab pada
parlemen.
2. Ruang Lingkup Revisi UU Susduk
2.1. Latar Belakang
Belajar dari sejarah kelemahan pariemen di Indonesia dan kerapnya kisruh serta rendahnya
produktifitas pariemen era sebelumnya, maka bangsa kita kini dituntut untuk memikirkan suatu
bangunan pariemen yang memungkinkan adanya kontrol serta dukungan yang efektif bagi
terselenggaranya tugas-tugas dan agenda pemerintahan. Dalam kaitan tersebut, hingga saat ini bangsa
Indonesia terus berupaya melakukan perbaikan/penataan sistem perwakilan baik melalui amandemen
konstitusi20 maupun melalui revisi undang-undang tentang susunan dan kedudukan lembaga-lembaga
perwakilan.21 Perbaikan yang telah diupayakan hingga kini antara lain menyangkut sistem kelembagaan
pariemen, kedudukan kelembagaan di antara lembaga-lembaga negara lainnya, dan lebih sempit dari itu
adalah pengaturan mengenai penguatan akuntabilitas lembaga dan anggota pariemen serta penataan
hubungan kerja antarlembaga di dalam pariemen itu sendiri.
Penataan sistem perwakilan di Indonesia tampak mulai sejalan dengan sistem pemerintahan
presidensial kendati belum sepenuhnya koheren satu sama lain. Terkait dengan sistem perwakilan yang
saat ini berlaku, ada beberapa hal yang mengarah pada sistem pemerintahan presidensial. Pertama,
anggota pariemen tidak boleh merangkap jabatan sebagai pejabat di lembaga negara lainnya
termasuk dalam kabinet. Kedua, parlemen sebagai wakil rakyat tidak bisa memaksa memberhentikan
presiden pilihan rakyat dart jabatannya, begltu pula sebaliknya. Presiden tidak bertanggungjawab
kepada majelis atau parlemen, melainkan bertanggung jawab kepada konstitusi dan rakyat yang
memilihnya. Oleh sebab itu, mekanisme kontrol yang dilakukan oleh parlemen kepada Presiden selalu
diarahkan kepada aturan konstitusi. Parle men memiliki wewenang mengusulkan impeachment terhadap
Presiden jika terjadi praktik pelanggaran konstitusi, namun wewenang penilaian atas pelanggaran
tersebut dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi. Ketiga, parlemen tidak berada dalam posisi lebih tinggi
dibanding lembaga-lembaga negara lainnya. Kedudukan tertinggi dalam sistem ini adalah konstitusi.
Meskipun demikian, parlemen -dengan dukungan suara mayoritas mutlak-dapat mengubah UUD tanpa
persetujuan dari presiden22.
Sistem perwakilan dan keparlemenan Indonesia telah beranjak semakin membaik dengan
pembentukan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang diatur secara eksplisit dalam UUD 1945 hasil
20 Dimulai dari UUD 1945 sebelum perubahan/amandemen, dilanjutkan dengan Konstitusi RIS, UUDS 1950, dan terkini adalah UUD 1945 hasil empat kali amandemen. 21 Undang-undang yang mengatur susunan dan kedudukan lembaga-lembaga perwakilan di Indonesia diawali dengan UU No. 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Setelah itu berturut-turut diubah dengan UU No.5 Tahun 1975, UU No.2 Tahun 1985, UU No.5 Tahun 1995, UU No.4 Tahun 1999, dan terkini adalah UU No.22 Tahun 2003 22 Mengenai perbandingan antara sistem pemerintahan presidensial dengan sistem pemerintahan parlementer dapat dilihat lebih jelas dalam Arend Lijphart, Sistem Pemerintahan Par/ementer dan Presidensia/, Jakarta: PT Grafindo Persada, 1995.
amandemen ketiga. DPD sebagai bagian dari MPR diperkenalkan untuk menggantikan wakil utusan daerah
dan golongan yang sebagian anggotanya diangkat oleh presiden. Kehadiran DPD di samping DPR sebagai
bagian dari MPR memperlihatkan keinginan bangsa ini menganut sistem parlemen bikameral.
Sebenarnya terlalu dim' untuk mengatakan bahwa sistem parlemen kita saat ini disebut bicameral
kendati UUD 1945 hasil amandemen menyebutkan lembaga MPR terdiri atas DPR dan DPD. Kenyataannya
MPR kini masih dipertahankan sebagai lembaga permanen23 dan belum semata-mata menjadi wadah
sidang gabungan (Joint session) bagi DPR dan DPD. Selain itu, posisi DPR yang terlalu dominan daripada
posisi DPD membuat mekanisme checks and balances di antara bagian-bagian parlemen menjadi sangat
timpang. Untuk membangun sistem parlemen "dua kamar" yang kuat, maka MPR tidak lagi bisa
dipertahankan sebagai lembaga tersendiri yang seolah-olah terpisah, dan DPD perlu diberikan fungsi
legislasi, agar hak dan kewajibannya tidak terlalu jauh dengan hak dan kewajiban DPR. Paling tidak, DPD
diberi fungsi dan hak legislasi dalam hal-hal yang menyangkut hubungan pusat-daerah, persoalan
otonomi daerah, pengawasan, dan anggaran negara.
Pemberlakukan sistem parlemen bikameral diperlukan karena beberapa alasan, yakni pertama,
sebagai konsekuensi logis dari pemurnian sistem pemerintahan presidensial hasil amandemen
konstitusi. Kedua, sebagai bagian dari penegasan dan pelembagaan mekanisme checks and balances
antara lembaga eksekutif dan legislatif di satu pihak, dan antara bagian-bag1ian parlemen itu sendiri.
Ketiga, sebagai upaya penguatan lembaga legislatif agar kinerja keparlemenannya lebih efektif. Oleh
karena itu, jika hakikat MPR adalah sebagai joint session antara DPR dan DPD, maka MPR semestinya
tidak berbentuk lembaga parmanen seperti tercermin dalam UU Susduk yang berlaku dewasa ini.
Dengan demikian sistem parlemen yang akan dibangun ke depan adalah sistem bikameral yang kuat
{strong bicameral).
Di samping melakukan penataan sistem parlemen ke arah bikameral penuh, peningkatan kapasitas
lembaga parlemen dan kualitas anggota parlemen juga mutlak diupayakan untuk menegaskan
rasionalitas demokrasi dan keteraturan pemerintahan. Meskipun reformasi telah membuka 'belenggu'
hak Dewan untuk bersuara secara kritis, seringkali sikap kritis DPR itu lebih banyak digunakan untuk
kepentingan politik sempit dan bersifat jangka pendek, ketimbang untuk kepentingan publik. Acapkali
mereka kritis untuk menaikkan posisi tawar terhadap pemerintah dalam rangka menambah kursi di
kabinet atau dalam posisi politik lainnya. Cara-cara seperti itu biasanya berlaku dalam sistem
parlementer, di mana pihak eksekutif yang dipimpin oleh perdana menteri dapat dijatuhkan oleh
parlemen bila kebijakan-kebijakannya dianggap berbeda dengan sikap mayoritas anggota parlemen.
23 Disebut permanen karena lembaga MPR yang didesain di dalam UU Susduk No. 22/2003 bersifat permanan dengan kepemimpinan permanen. Pula, padahal Pimpinan MPR misalnya, tidak akan pernah berfungsi secara efektif selama tidak ada siding gabungan antara DPRdan DPD
Oleh karena itu, susunan dan kedudukan lembaga parlemen perlu ditata kembali untuk
mendukung kemurnian dan efektivitas sistem presidensial, serta demi kestabilan dan kelancaran
agenda pemerintahan. Parlemen dapat mengkritisi kebijakan-kebijakan pemerintah namun ia tidak
boleh menghambat kelancaran dan efekti~itas pemerintahan. Untuk mencapai sistem bikameral yang
kuat diperlukan penguatan DPD melalui amandemen kembali konstitusi, namun dalam jangka pendek
meskipun tidak maksimal, penguatan sistem perwakilan dapat dilakukan melalui penyempumaan
danlatau revisi UU Susduk.
2.2. Problematik UU Susduk
2.2.1. Kapasitas Lembaga Legisiatif yang Lemah
DPR saat ini masih didominasi oleh kekuasaan fraksi-fraksi, sehingga DPR bukannya menjadi "dewan
perwakilan rakyat" tetapi cenderung sebagai "dewan perwakilan partai." Di dalam Peraturan Tata Tertib
(T atib) DPR Pasal 1, disebutkan bahwa fraksi adalah pengelompokkan anggota DPR sesuai dengan
konfigurasi partai politik hasil pemilihan umum. Fraksi bukanlah merupakan alat kelengkapan DPR
seperti layaknya Pimpinan DPR, Badan Musyawarah (Bamus), Komisi, Panitia Anggaran maupun
Panitia Khusus (Pansus). Berdasarkan Tatib DPR, pembentukan fraksi bertujuan mengoptimalkan dan
mengefektifkan pelaksanaan rangkaian tugas, wewenang, dan hak DPR. Meskipun demikian, dalam
kenyataannya fraksi tak jarang melahirkan kebuntuan-kebuntuan persoalan politik sebab peraturan
Tatib Dewan memberinya peran yang sangat menentukan dalam pengambilan keputusan di Dewan.
Dalam proses legislasi, misalnya, pemandangan umum fraksi selalu dilakukan sebelum sebuah
rancangan undang-undang disahkan atas nama DPR bersama pemerintah. Seo rang politisi dalam
Dewan tidak memiliki kekuatan untuk menolak hasil kesepakatan fraksinya. Dia hanya dapat
menyampaikan keberatan -tanpa mengubah keputusan yang sudah disepakati fraksinya apalagi oleh
semua fraksi- dan akan dicatat dalam risalah sidang yang disebut "minderheidsnota".
Peran fraksi yang terlalu besar dalam menentukan keputusan-keputusan di DPR jelas
menghambat kedaulatan anggota sebagai wakil rakyat di DPR. lndependensi atau otonomi seorang
politisi di Dewan praktis selalu dimentahkan oleh pendirian atau pendapat fraksi. Kekuatan fraksi
sebagai kepanjangan tangan dari partai politik membuat kedaulatan anggota di dalam Dewan menjadi
terbelenggu. Anggota Dewan yang berlawanan dengan suara fraksinya biasanya akan terancam
recalling atau pergantian antar waktu (PAW).
Sistem recall yang diberlakukan kembali pada Pemilu 2004, telah mengurangi hak anggota
parlemen sebagai wakil rakyat. Anggota Dewan cenderung hanya menjadi kaki tangan parpol, bukan
lagi wakil rakyat. Padahal anggota DPR semestinya mewakili rakyat yang menjadi konstituennya, bukan
hanya mewakili parpol yang mengusungnya. Untuk itu, sistem recall oleh partai politik perlu dihapuskan.
Anggota DPR dan juga DPD yang dianggap bersalah dan/atau melanggar kode etik sebagai wakil rakyat
(DPR) dan wakil wilayah (DPD) semestinya diberhentikan hanya melalui mekanisme Sadan Kehormatan
yang kewenangannya lebih diperluas.
Anggota DPR hasil Pemilu 2004 pemah mengelompok dalam dua koalisi besar, yaitu: Koalisi
Kebangsaan dan Koalisi Kerakyatan.24 Koalisi Kebangsaan terbentuk pada awalnya untuk mendukung
pasangan Capres Megawati-Hasyim pada pemilu putaran kedua. Setelah pasangan tersebut gagal
memperoleh kursi eksekutif, maka Koalisi Kebangsaan lberusaha untuk menguasai pimpinan DPR dan juga
pimpinan MPR. Untuk menghadapi koafisi tersebut, kelompok partai di DPR yang mendukung
pasangan Presiden terpilih Susilo Bambang Yudoyono-Jusuf Kalla, membentuk Koalisi Kerakyatan.
Sejarah mencatat, Koalisi Kebangsaan menguasai pimpinan DPR dan Koalisi Kerakyatan menguasai
pimpinan MPR. Kedua koalisi tersebut akhirnya membubarkan diri setelah pimpinan Golkar dikuasai
oleh Jusuf Kalla.
Belajar dari pengalaman tersebut, pada masa mendatang, di parlemen perlu ada suatu koalisi
partai yang permanen untuk memperkuat pemerintahan presidensial. Koalisi partai ini sekaligus dapat
dipakai untuk mengkondisikan penyederhanaan sistem kepartaian yang ada. Dengan penyederhanaan
ini, akan terdapat pengelompokan partai pendukung pemerintah, oposisi pemerintah, maupun kelompok
yang lebih 'cair.'
2.2.2. Akuntabilitas Lembaga dan Anggota Parlemen yang Lemah
Fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan yang dimiliki oleh DPR saat ini masih belum
optimal dipergunakan dalam sistem keparlemenan. Produk kebijakan berupa UU masih ban yak yang
saling tumpang tindih dan tidak konsisten satu dengan lainnya. Demikian juga dengan penggunaan hak
berkaitan dengan fungsi pengawasan dilakukan tanpa melalui prosedur yang jelas. Selain itu, masyarakat
juga sering menilai bahwa fungsi anggaran yang dimiliki Dewan hanya untuk memperkaya anggotanya.
Banyaknya anggota Dewan yang melakukan pelanggaran norma, etika, maupun memiliki kinerja
yang buruk temyata membuat citra lembaga wakil rakyat menjadi tidak berwibawa di mata masyarakat.
Meskipun di dalam Dewan sendiri telah dibentuk Sadan Kehormatan (BK), tetapi Sadan ini tampak tidak
memiliki taring untuk menindak 'teman atau kelompok sendiri'. BK tampak tidak memiliki kekuatan
memberikan sanksi karena ada fraksi atas nama partai politik yang lebih berkuasa memberikan sanksi
kepada politisinya yang duduk di DPR. Politisi yang masuk menjadi anggota BK masih belum terlepas
24 Koalisi Kebangsaan didukung oleh fraksi Partai Golkar (F-PG), fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (F-PDIP yang terdiri atas PDIP dan PDS), dan fraksi Partai Bintang Reformasi (F-PBR). Sedangkan Koalisi Kerakyatan didukung ole fraksi Partai Persatuan Pembangunan (F-PPP), fraksi Partai Demokrat (F-PD), fraksi Partai Amanat Nasional (F-PAN), fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS), dan fraksi Bintang Pelopor Demokrasi (F-BPD yang terdiri atas PBB, PPDK, PP, PNI Marhaenisme, PPDI).
dari 'solidaritas' fraksinya. Oleh karena itu, ada kebutuhan untuk meningkatkan peran dan kewenangan
BK, demi menjaga berlangsungnya etika politik yang benar di DPR dan DPD.
Terlepas dari persoalan kinerja politisi di Dewan yang buruk, partai politik seringkali menggunakan
hak recall yang berlebihan kepada anggotanya yang tidak 'patuh' terhadap kebijakan partai. Tentu saja
kondisi ini membelenggu anggota Dewan meskipun kebijakannya berpihak kepada rakyat atau
konstituennya.
Di samping persoalan akuntabilitas lembaga dan anggota DPR di atas, yang tidak kalah penting
untuk diungkapkan adalah persoalan akuntabilitas lembaga dan anggota DPD sebagai kamar kedua
parlemen. Seperti diketahui bahwa Pemilu 2004 juga menghasilkan DPD yang diharapkan mampu
mengagregasikan dan memperjuangkan aspirasi daerah yang diwakilinya. Persoalannya, hingga saat ini
desain institusi DPD belum jelas arah dan tujuannya. Sebagai lembaga baru bagian dari parlemen, DPD
belum memfokuskan pada peran dan fungsi utamanya sebagai wakil daerah. Energinya kini hanya
habis untuk menata sistem kelembagaan DPD agar efektif dan efisien. Kesadaran anggota DPD terhadap
fungsi dan kewenangan DPD yang masih timpang dengan fungsi dan kewenangan DPR membuat mereka
terjebak pada tuntutan amandemen UUD 1945 semata. Padahal banyak ketentuan perundangan di bawah
UUD 1945 yang bisa diperbaiki bersamaan dengan desakan amandemen kembali atas UUD 1945.25
Persoalan yang demikian diperparah dengan kualitas anggota DPD yang belum memahami konsep
representasi dan akuntabilitas sebagai wakil daerah. Masa reses yang seharusnya dipergunakan anggota
DPD untuk memberikan pertanggungjawaban secara moral dan politis kepada para konstituennya,
temyata belum dipergunakan secara efektif. Akibatnya masyarakat di daerah masih mempertanyakan
mengenai akuntabilitas DPD sebagai wakil daerah karena persoalan daerah justru semakin menumpuk
meskipun telah ada lembaga DPD. lronisnya, banyak anggota DPD yang mencoba alih profesi menjadi
kepala daerah melalui pilkada secara langsung.
2.2.3. Ketimpangan Hubungan Kerja DPR dengan DPD
Pada prinsipnya anggota DPR merupakan perwakilan orang (bukan wilayah} yang terdiri atas para wakil
rakyat yang menang dalam pemilu legislatif melalui partai politik. DPD merupakan lembaga mitra DPR
bertindak sebagai wakil daerah. Anggota DPD tersusun dari pemilu yang lebih personal, artinya pemilu
25 Misalnya saja bagaimana DPD ikut serta dalam membahas RUU tidak jelas diatur dalam UU Susduk. Justru di dalam Pasal 32 ayat 2 dan 3 UU No. 10/2004 tentang Pemberitukan Pe(aturan Perundang-undangan ketentuan itu disebutkan bahwa DPD ikut membahas RUU yang berkaitan dengan bidang tertentu hanya pada rapat komisVpanitia/alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi tertentu. Selain itu di dalam tatib DPR cfisebulkal bct1wd DPR mengundang DPD untuk l'l1EllTbims RUU (usum DPD) dalam rapat konsultasi dan hasilnya baru dilaporkan dalam sidang paripuma DPR. Ketentuan tersebut jelas-jelas menempatkan DPD pada posisi inferior dalam sistem keparlemenan. Ketentuan semacam inilah yang semestinya juga diperhatikan DPD untuk meningkatkan peran dan fungsinya sebagai bagian dari parlemen.
DPD adalah pemilu perseorangan dan bukan melalui partai politik. Jika mencermati fungsi dan
kewenangan dari DPR dan DPD saat ini maka akan terlihat sangat timpang. DPR bersama pemerintah
memiliki kewenangan membuat UU, sedangkan DPD tidak memiliki fungsi legislasi. DPD hanya berfungsi
sebagai 'corong' daerah untuk membahas dan mengartikulasikan kepentingan dan persoalan daerah
untuk kemudian dibahas lebih lanjut dalam DPR. Praktik seperti itu sering disebut sebagai "soft
bicameral". Dalam sistem strong bicameral, kedua kamar (chambers) memiliki hak dan fungsi yang
hampir sama.
Posisi DPD dapat dikatakan 'mandul' karena tidak bisa berbuat banyak sebagai mitra DPR. Untuk
urusan Daerah pun DPD hanya bisa mengusulkan kebijakan tanpa bisa ikut mempersiapkan, membahas,
dan menetapkannya. Fungsi DPD tidak lebih dari fungsi yang dimiliki Dewan Pertimbangan Otonomi
Daerah (DPOD). Selain itu, pembatasan jumlah anggota DPD sebagaimana yang disebutkan dalam UUD
1945 (amandemen) tidak memiliki dasar yang kuat. Jika asumsinya perwakilan daerah maka yang
menjadi pijakan adalah titik berat otonomi daerah. Penekanan basis propinsi sebagai perwakilan DPD
bisa dipahami jika wakil masing-masing propinsi memahami betul wilayahnya termasuk kebutuhan
kabupaten/kota setempat.
2.2.4.. lnefisiensi dan lnefektivitas Kelembagaan MPR
Masalah lain yang masih mengganjal pada UU Susduk dewasa ini adalah pengaturan yang cenderung
ambivalen, di satu pihak kita mencoba menggunakan sistem semi-bikameral yang terdiri atas DPR dan
DPD, sementara di pihak lain kita juga masih mempertahankan MPR sebagai lembaga yang permanen
dengan kepemimpinan yang permanen pula. Ambivalens~ ini mengesankan bahwa bangsa kita belum
memiliki konsep atau desain ketatanegaraan yang jelas mengenai format arah dan tujuan yang hendak
dicapai melalui serangkaian amandemen konstitusi yang telah dilakukan.26 Keadaan ini antara lain tidak
hanya menyebabkan ketidak-efisienan parlemen tetapi juga kerancuan ststem perwakilan.
Kepermanenan lembaga MPR saat ini bisa dilihat dalam beberapa hal; pertama, kelengkapan
administrasi dan organisasi anggota yang mengarah pada rangkap jabatan permanen yaitu anggota
DPR sekaligus anggota MPR, atau anggota DPD sekaligus anggota MPR. Kedua, terdapatnya sekretariat
jenderal tersendiri dengan dukungan administratur untuk menjalankan fungsinya sebagai lembaga yang
mandiri. Ketiga, terdapatnya kode etik dan badan kehormatan sendiri. Jika mekam'sme pemberhentian
anggota berlaku, maka akan terjadi kekisruhan status keanggotaan di kedua lembaga, karena anggota
MPR sekaligus anggota DPR/DPD. Keempat, sistem penggajian anggota. Anggota DPR/DPD tentu akan
26 Adnan Buyung Nasution, "Kembali ke UUD 1945, Antidemokrasi", Kompas, 10 juli 2006
menerima gaji rangkap karena sekaligus menjadi anggota MPR.27
Persoalan kepermanenan lembaga tentu tidak sinergi dengan agenda sidang untuk melaksanakan
tugas dan wewenang MPR yang tidak bersifat reguler.2a Sebut saja wewenang MPR untuk mengubah dan
menetapkan UUD serta wewenang melakukan impeachment merupakan kejadian yang belum tentu
terjadi sekali dalam lima tahun. Secara faktual, organ MPR baru dinyatakan ada pada saat kewenangan
atau /uncVe-nya sedang dilaksanakan.29 Oleh karena itu terlihat rancu dan tidak efisien jika MPR diatur
sebagai lembaga yang permanen dengan kepemimpinan permanen pula.
Jika merujuk pada ketentuan tentang kewenangan MPR, maka lembaga ini tidak hanya bersifat
permanen tetapi juga bersifat mandiri. Keempat kewenangan yang dimiliki MPR sama sekali tidak
tercakup dan terkait dengan kewenangan DPR dan DPD, sehingga sidang MPR untuk mengambil keputusan
terkait dengan keempat kewenangan tadi bukan merupakan sidang gabungan antara DPR dengan DPD,
melainkan sidang MPR sebagai lembaga tersendiri. Oleh karena itu bisa dikatakan bahwa eksistensi MPR
merupakan institusi ketiga - selain DPR dan DPD - dalam struktur parlemen Indonesia.Jo
2.3. Cakupan dan Pokok-Pokok Revisi UU Susduk
Empat problematika sebagaimana tersebut di atas memerlukan suatu perubahan yang komprehensif.
Kapasitas lembaga legislatif yang lemah tidak akan dapat menghasilkan suatu produk kebijakan yang
sesuai dengan kebutuhan publik, karena mereka sendiri mempunyai masalah secara kelembagaan.
Kelemahan kelembagaan itu semakin diperparah dengan adanya kelemahan anggota Dewan. Apalagi
kemudian ada hubungan yang timpang antara DPR dengan DPD, serta adanya inefisiensi dan inefektivitas
lembaga MPR. Untuk mengatasi berbagai hal tersebut, maka cakupan revisi UU Susduk adalah
sebagai berikut:
2.3.1. Peningkatan Efektivitas Keparlemenan
Penataan format kelembagaan yang terus dilakukan dalam diri parlemen adalah berkaitan dengan
internal
27 Reni Dwi Purnomowati, lmplementasi Sistem Bikameral dalamParlemen Indonesia, Rajawali Pers, 2005, hal. 175. 28 Berdasarkan ketentuan Pasal 3 juncto Pasal 8 ayat (2) dan (3) UUD 1945 hasil amandemen, MPR mempunyai kewenangan untuk (1) mengubah dan menetapkan UUD; (2) memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut UUD; (3) memilih Presiden dan/atau Wakil Presiden untuk mengisi kekosongan dafam jcbatan Presiden dan/atau wakil Presiden menurut UUD; dan (4) mengadakan sidang MPR untuk pelantikan atau pengucapan sumpah~anji jabatan Presiden dan/atau Wakil Presiden. 29 Jimly Asshidiqie, Perkembangan St Konsotidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Konstitusi Press, Jakarta, 2006, hal. 146. ao Kenyataan seperti ini disebut oleh Jimly Asshiddiqie sebagai praktik trikameralisme (sistem parlemen tiga kamar). /bid, hal. 148.
parlemen dan hubungannya dengan lembaga lain di luar parlemen. Perbaikan intra parlemen mencakup
sistem parlemen, etika politisi, fungsi dan mekanisme lembaga, serta pengelompokan politik dalam
parlemen. Perbaikan hubungan dengan lembaga lain di luar parlemen terutama berkaitan dengan
mekanisme check and balances dalam sistem pemerintahan.
2.3.1.1. Penyederhanaan Pengelompokan Politik di DPR
Untuk mencegah dominasi dan intervensi partai politik yang berlebihan terhadap suara anggota di
Dewan, maka altematif solusi jangka pendek yang bisa dilakukan adalah; pertama, pengurangi peran
fraksi yang berlebihan di dalam Tatib; dan kedua, meningkatkan persyaratan minimal keanggotaan
pembentukan sebuah fraksi atau pengelompokan politik di DPR. Penyederhanaan yang ingin dicapai
melalui usulan perubahan ini adalah terbentuknya pengelompokan politik anggota Dewan berdasarkan
pada blok pendukung pemerintah di satu pihak, dan blok oposisi loyal di pihak lain. Melalui
penyederhanaan pengelompokan politik demikian diharapkan bahwa kinerja keparlemenen lebih efektif
dan produktif dibandingkan sebelumnya.
2.3.1.2. Optimalisasi Fungsi dan Penataan Kembali Hak DPR
Beberapa altematif solusi yang bisa menjadi pilihan perbaikan fungsi dan hak DPR, yaitu: pertama,
sebisa mungkin badan legislasi membuat format UU lebih detail untuk menghindari manipulasi dan
multi-interpretasi dalam implementasi atau pelaksanaannya. Kedua, Penggunaan hak Dewan yang
terkait dengan fungsi pengawasan dilakukan secara berjenjang, dari yang teringan ke terberat, mulai
dari hak menyatakan pendapat, interpelasi, dan terakhir adalah hak angket. Penggunaan hak tersebut
harus mengacu kepada kepentingan urn urn, dan bukan sekadar bargaining politik antarpartai. Ketiga,
menata kembali kunjungan anggota parlemen diwaktu reses supaya berkunjung langsung ke daerah
pemilihannya dan berkomunikasi intensif dengan konstituennya. Persoalan ini perlu diatur dalam UU
Susduk dan bukan hanya diatur dalam Tata Tertib.
2.3.1.3. Efektivitas Mat Kelengkapan DPR
Mat kelengkapan Dewan sangat penting kedudukannya dalam kelembagaan Dewan. Selama ini alat
kelengkapan Dewan hanya diatur dalam Tatib, sehingga berpotensi memunculkan manipulasi oleh
partai-partai. Kondisi ini tentu saja meresahkan masyarakat karena politisi terlalu sibuk berkompetisi
merebut posisi di Dewan untuk kepentingan pribadi dan golongan semata. Salah satu persoalan yang
sering muncul dalam hubungan ini adalah efektivitas Pimpinan Dewan. Sebagaimana disebutkan dalam
Tatib, Pimpinan DPR dipilih dalam satu periode (lima tahun).31 Dalam praktiknya, kinerja Pimpinan
Dewan pilihan para anggota ternyata tidak selalu sesuai dengan harapan bersama. Beberapa kasus yang
ditemui, antara lain, Pimpinan Dewan melakukan pelanggaran susila, rangkap jabatan, dan bisa
melaksanakan tugasnya dengan baik karena keterbatasan skill. Kondisi ini yang kemudian memunculkan
wacana 'kocok ulang' Pimpinan Dewan. Usulan kocok ulang pimpinan komisi juga sering mengganggu
kinerja DPR.
Untuk mengatasi persoalan di atas, solusi yang bisa diambil antara lain; pertama, mengubah
pengaturan tentang struktur dan mekanisme pembentukan alat kelengkapan Dewan yang selama ini di
dalam Tatib, menjadi ke dalam UU Susduk. Kedua, mengefektifkan laporan pertanggungjawaban
tahunan Pimpinan Dewan. Sidang paripuma bisa mengganti Pimpinan Dewan di awal masa persidangan
tahun yang bersangkutan, jika temyata kinerja pimpinan buruk. Pemilihan ulang pimpinan Dewan tidak
harus dilakukan secara satu paket (ketua dan para wakil ketua), tetapi hendaknya secara perorangan.
Pimpinan Dewan yang terdiri dari seorang Ketua dan tiga orang Wakil Ketua (masing-masing
membidangi politik, ekonomi, dan kesra) dipilih langsung oleh anggota Dewan.
2.3.2. Peningkatan AkuntabiUtas Lembaga dan Anggota Parlemen
2.3.2.1. Peningkatan AkuntabiUtas DPD
Kehadiran lembaga DPD dalam sistem politik Indonesia sangat terkait dengan agenda desentralisasi dan
otonomi daerah. Konsekuensi logis dari hal ini adalah bahwa setiap anggota DPD semestinya paham dan
peka temadap persoalan dan keinginan daerah yang diwakilinya. Oleh karena itu dalam rangka
meningkatkan kepekaan dan kapasitas anggota DPD dalam memperjuangkan kepentingan daerah
perlu dibentuk Kantor Perwakilan DPD di setiap propinsi di Indonesia. Kantor ini difungsikan sebagai
pusat pelayanan terpadu bagi konstituen atau lembaga daerah dan stake-holders lainnya yang memiliki
persoalan dengan kebijakan Pusat dalam pengaturan Daerah.
Di samping itu, konsultasi antara DPD dengan stakeholders di daerah pemilihannya
propinsi/kabupaten/kota) terutama dengan DPRD dan Pemda perlu diformalkan melalui pertemuan
khusus untuk membicarakan persoalan daerah. Dalam hal ini momentum pertemuan di satu pihak
menjadi sarana bagi anggota DPD untuk mensosialisasikan kebijakan nasional yang berkaitan dengan
Daerah -sebagai bagian dari kewajibannya, dan di pihak lain DPRD beserta Pemda memberikan semacam
daftar inventarisasi masalah (DIM) daerah kepada DPD.
2.3.2.2. Peningkatan Akuntabilitas DPR
31 Tatib DPR, pasal 20, ayat (2), menyatakan: "Masa jabatan Pimpinan DPR sama dengan masa keanggotaan DPR"
DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat semesttnya dapat menunjukkan kinerja mereka di hadapan
rakyat. Untuk itu, semua persidangan mesti dilakukan secara terbuka, sehingga masyarakat dapat
melihat dan menilai apakah aspirasi mereka telah diperjuangkan oleh Dewan. Oleh karena itu, hasil
penyerapan aspirasi dari konstituen yang dilakukan selama reses oleh anggota Dewan harus dilaporkan
secara transparan dalam persidangan berikutnya.
Selain itu, setiap pengambilan keputusan akhir di DPR hendaknya dilakukan secara terbuka, yakni
melalui sidang paripuma. Pimpinan Dewan tidak boleh membuat suatu keputusan yang seolah-olah
mengatasnamakan Dewan yang cenderung dilakukan seusai konsultasi dengan Presiden32. Sementara
itu untuk meningkatkan akuntabilitas anggota DPR sebagai wakil rakyat maka para anggota Dewan yang
berasal dari koalisi partai pendukung pemerintah tetap boleh berbeda pendapat dengan pemerintah
dalam proses pembahasan suatu RUU.
2.3.2.3. Pelembagaan Staf Ahli secara Permanen
Keberadaan staf ahli saat ini cenderung bersifat ad hoc, sehingga tidak sesuai dengan kebutuhan
anggota Dewan. Para staf ahli yang bekerja untuk fraksi, komisi, dan anggota Dewan secara individu
cenderung bukanlah para ahli yang profesional di bidangnya karena tidak melalui mekanisme seleksi
yang tranparan dan profesional. Juga, tidak semua anggota Dewan memiliki staf ahli. Rekrutmen staf
ahli cenderung dilakukan melalui rekrutmen yang cenderung bersifat politis dan nepotis, sehingga tidak
menunjang profesionalitas anggota Dewan secara individual dan DPR secara institusi33.
Penguatan kapasitas parlemen dalam fungsi legislasi, pengawasan, dan anggaran jelas tidak
mungkin dilakukan tanpa didukung oleh pelembagaan staf ahli prefesional secara permanen. Rekrutmen
staf ahli harus diatur lebih jelas dalam UU Susduk, demikian juga sistem penggajian dan fasilitas
pendukungnya.
Keberadaan staf ahli profesional yang bersifat permanen dibutuhkan pula untuk mendukung
kinerja DPD, sehingga benar-benar bisa menjadi lembaga perwakilan daerah di tingkat nasional.
2.3.2.4. Perbaikan Kualitas Anggota DPR
Pengaturan perbaikan kualitas anggota DPR yang perlu diakomodasi dalam UU Susduk meliputi;
pertama, standarisasi tentang kode etik anggota parlemen perlu diatur dalam UU. Kedua,
32 Mekanisme konsulitasi Pimpinan DPR dan pimpinan fraksi serta komisi dengan Presiden sebenamya tidak konsisten dengan penguatan sistem presidensial. · 33 Sej~ 2006 Sadan Legislasi DPR mulai merekrut sekitar 18 orang stat ahli yang profesional melafui mekanisme yang lransparan, namun menurut pimpinan Baleg keberadaan stat ahli tersebut belum bersifat permanen sepenuhnya karena tidak didukung pendanaan dafam struklur anggaran DPR.
pemberhentian atau pergantian antarwaktu (PAW) anggota Dewan tidak bisa langsung dilaksanakan
hanya karena usulan dari partai politik. Ketiga, proses PAW melalui hendaknya hanya dilakukan oleh
Sadan Kehormatan, dan PAW semestinya berbasis penilaian terhadap kinerja para anggota. Keempat,
anggota Dewan yang bersalah berdasarkan putusan pengadilan akibat tindak pidana sebaiknya
langsung diberhentikan, tidak perlu didasarkan persyaratan ancaman hukuman minimal 5 tahun
penjara.
2.3.2.5. Perluasan Kewenangan Sadan Kehormatan
Sadan Kehormatan (BK) sudah terbentuk di parlemen untuk menjaga kewibawaan dan kepatutan, serta
pelanggaran terhadap kode etik sebagai anggota parlemen. Untuk menjaga independensi BK,
maka keanggotaannya harus terbebas dari pengaruh fraksi atau kelompok politik tertentu. Ketua dan
anggota BK bukan merupakan representasi fraksi atau kelompok politik, melainkan dipilih langsung
dalam sidang paripuma, setelah sebelumnya melalui tahap uji integritas oleh para anggota Dewan
sendiri. Selain itu, kewenangan BK perlu lebih diperluas, sehingga meliputi pula wewenang pemecatan
atas anggota -bukan sekadar rekomendasi-yang kemudian disahkan dalam rapat paripurna.
2.3.3. Penataan Hubungan Kerja antara DPR dan DPD
DPD sebagai lembaga yang mewakili daerah diasumsikan lebih mengetahui persoalan daerah dan
membawa aspirasi masyarakat Daerah. Oleh karena itu, DPD berhak ikut menetapkan - tidak sekedar
mengusulkan -kebijakan yang berkaitan dengan kepentingan Daerah yang diwakilinya melalui
mekanisme sidang Panitia Bersama DPR dan DPD.
Memang di dalam UUD 1945 hasil amandemen tidak terdapat aturan mengenai sidang-sidang
gabungan DPR dan DPD yang dapat diselenggarakan setiap saat. Bahkan, istilah-istilah "dua kamar",
"sidang gabungan" atau "pengambilan keputusan" oleh MPR itu pun tidak ada di dalam amandemen.
DPD seharusnya menjadi eerste kamer dengan peran strategis, termasuk peran investigasi dalam
impeachment terhadap Presiden, investasi asing dan penjualan sumberdaya alam dan aset negara, dan
bukan sekedar Dewan embel-embel.34 ldealnya, sidang gabungan MPR, atau bahkan sidang DPD saja,
seharusnya juga bisa memanggil Presiden dan menteri-menterinya setiap kali dibutuhkan dalam
persoalan-persoalan penting yang menjadi wilayah kewenangannya.
Selain itu, untuk kepentingan peningkatan peran DPD dalam sistem keparlemenan di Indonesia,
maka diperlukan adanya pembentukan Panitia Bersama ljoint committee) antara DPR dan DPD. Panitia
ini membahas hal-hal di luar sidang gabungan paripuma untuk membahas dan melakukan perubahan
34 Sri Bintang Pamungkas, "Kegagalan Sistem MPR Pasca-Amandemen", Sinar Harapan, 14 Januari 2003.
UUD, melantik Presiden dan Wapres, memberhentikan Presiden dan atau Wapres sesuai mekanisme Pasal
78 UUD1945, serta mendengarkan pidato Presiden pada penyampaian nota keuangan dan RAPBN.
Secara khusus, panitia ini membahas dan memutuskan (legislasi) secara bersama-sama (DPR, DPD,
dan Presiden) terhadap RUU yang terkait dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah,
pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan
sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Jika terjadi deadlock atau ketidaksepakatan antara DPR dan DPD di dalam Rapat Panitia
Bersama, perlu dibentuk forum Panitia Kerja Bersama (conference committe). Conference committee
adalah forum konsultasi antara DPD dan DPR untuk menyelesaikan perbedaan pandangan tentang suatu
isu atau kasus yang tidak dapat diselesaikan pada sesi Panitia Bersama.
Dalam jangka menengah dan atau panjang perlu diterapkan sistem strong bicameralism
(bikameral penuh) dengan memberikan hak dan fungsi legislasi kepada DPD. Penerapan bikameral
penuh akan mencerminkan adanya keterwakilan yang menyeluruh, di mana DPR mewakili dan
menyuarakan aspirasi orang, sedangkan DPD mewakili dan menyuarakan aspirasi wilayah.
2.3.4. Penataan Kelembagaan MPR
Dalam sistem pemerintahan yang demokratis, dibutuhkan adanya mekanisme checks and balances antara
lembaga eksekutif dan legislatif. Sejak reformasi, Indonesia mengenal apa yang disebut soft bicameral, di
mana DPD sebagai perwakilan wilayah tidak mempunyai hak legislasi, sebagaimana DPR sebagai
perwakilan orang. Bila Indonesia akan menganut "bikamarel penuh" {strong bicameral), maka perlu ada
pembenahan dengan meningkatkan fungsi DPD. Dengan demikian, MPR akan menjadi majelis nasional
{national assembly) yang di dalamnya ada DPR dan DPD. Hal itu akan lebih sesuai dengan agenda
penguatan dan efektifitas sistem pemerintahan presidensial.
Dengan perubahan fungsi MPR tersebut, maka tidak dibutuhkan lagi pimpinan MPR yang
permanen. Kepemimpinan MPR bersifat adhoc untuk memimpin sidang gabungan antara DPR dan DPR.
Pemimpin MPR dijabat secara bergiliran antara pimpinan DPR dan pimpinan DPD dalam setiap masa
sidang. Mereka tidak memperoleh fasilitas tambahan sebagai pimpinan MPR. Posisi MPR sendiri adalah
sebagai wadah joint session antara DPR dan DPD untuk (1) membahas dan melakukan perubahan UUD;
(2) melantik Presiden dan Wapres; (3) memberhentikan Presiden dan atau Wapres sesuai mekanisme
Pasal 78 UUD1945; 4) memilih Presiden dan atau wakil Presiden untuk menggantikan Presiden dan atau
Wapres yang berhalangan tetap; (5) mendengarkan pidato kenegaraan tahunan Presiden pada setiap
tanggal 16 Agustus (penyampaian nota keuangan dan RAPBN).
Selain itu, untuk kepentingan efisiensi dan efektivitas kerja lembaga parlemen, maka perlu
adanya penggabungan sekretariat jenderal MPR, DPR, dan DPD menjadi satu kesekjenan yang mencakup
kerja keparlemenan yang berorientasi bikameral. Sementara itu untuk membantu tugas MPR dalam
fungsi perubahan konstitusi, maka dalam jangka waktu menengah dan atau panjang diperlukan
pembentukan suatu Komisi Konstitusi yang dibentuk dan bertanggung kepada MPR.
2.4. Matriks Revisi UU Susduk
No Arah dan Agenda Usulan Pengaturan Argurnentasi Tujuan Penyempumaan
1 Peningkatan • Mendorong • Mengatur struktur dan • Alat kelengkapan Dewan
efektifitas penyederhanaan mekanisme alat kelengkapan sangat penting
kepartemenan pengelom pokan DPR dan DPD di dalam UU, kedudukannya dalam
Politik (fraksi) di dan meniadakan aturan dalam kelembagaan Dewan.
DPR; tatib. Selama ini hanya diatur
• Mendorong • Suara fraksi {blocking vote) dalam Tatib, sehingga
terjadinya koalisi tidak diformalkan dalam berpotensi
antarpartai atas mekanisme pengambilan memunculkan
dasar kesamaan keputusan. manipulasi oleh partai-
platform politik • Anggota-anggota DPR yang partai.
di DPR (partai-partai) berasal dari koalisi pemerintah • Prinsip demokrasi yang
mengelompok ke boleh berbeda pendapat harus dibangun dalam
dalam blok dengan pemerintah dalam parlemen seharusnya
pendukung proses pernbahasan, tetapi one person- one vote,
pemerintah, blok harus tunduk pada etika dan bukan one faction-
oposisi loyal, dan berkoaliisi. one vote-one value.
blok independen); • Pemberian batas waktu yang faction-one vote lebih
• Setiap pengambilan jelas terhadap usulan menempatkan dominasi
keputusan akhir di pemberhentian kepala daerah suara partai di dalam
DPR di lakukan oleh DPRD kepada Presiden parlemen daripada
melalui pemungutan melalui Menteri Dalam Negeri. suara individu sebagai
suara secara terbuka. • Format UU lebih detail untuk wakil dari konstituennya
• Penataan kembali menghindari manipulasi dan • Format UU saat ini
kunjungan anggota multi-interpretasi. hanya mengatur secara
parlemen (DPR-DPD) • Penggunaan hak Dewan yang garis besar sehingga
diwaktu reses supaya terkait dengan fungsi diperlukan yang lebih
lebih intens dan pengawasan dilakukan secara detail untuk menghindari
efektif. diubah dari berjenjang, dari yang teringan manipulasi dan multi
T atib ke UU Susduk ke terberat. (Hak menyatakan interpretasi.
pendapat, interpelasi, angket). • Meminimalisir munculnya
Penggunaan hak tersebut harus kepentingan individu dan
mengacu kepada kepentingan kelompok di balik
umum, dan bukan sekedar penggunaan hak-hak
bargaining politik. Dewan
2 Peningkatan • Memperbaiki kualitas • Pembentukan Kantor Perwakilan • Kehadiran DPD dalam
akuntabilitas anggota DPR/DPD. DPD di daerah pemilihannya. sistem politik Indonesia
lembagadan • Mendorong • Mengefektifkan/memformalkan sangat terkait dengan
anggota pendalaman konsultasi DPD dengan stake- diperkuatnya sistem
parlemen pemahaman anggota holders setempat (propinsi/ pemerintahan daerah.
DPD terhadap kabupaten/kota) terutama dengan Konsekuensi logis dari
persoalan daerah. DPRD dan Pemda. DPD pembentukan DPD sangat
• Pengadaan tim/staf mensosialisasikan kebijakan, dan terkait dengan titik berat
ahli secara DPRD serta Pemda memberikan (kewenangan) otonomi
permanent DIM daerah kepada DPD. daerah, yaitu apakah di
• Peningkatan kontrol • Memperkuat kapasitas propinsi atau kabupaten/
terhadap efektifitas parlemen dalam fungsi legislasi kota.
kerja pimpinan dengan mewajibkan lembaga Selayaknya anggota DPD
legislatif untuk membentuk staf paham dan peka
ahli dengan sistem rekrutmen terhadap persoalan dan
dan penggajian yang jelas; keinginan daerah yang
• Mengefektffikan laporan diwakilinya.
pertanggungjawaban tahunan • Keberadaan staf ahli
pimpinan Dewan. Sidang saat ini tidak sesuai
paripuma bisa mengganti dengan kebutuhan
pimpinan Dewan di awal tahun anggota dewan, tidak
program legislasi, jika temyata profesional dan
kinerja pimpinan buruk. cenderung politis dan
Pemilihan ulang pimpinan nepotis.
Dewan tidak harus bersifat
paket
• Standarisasi tentang kode etik • Meningkatkan kualitas
anggota partemen pertu diatur pimpinan dewan dan
dalam UU memberi kesempatan
• Pemberhentian antarwaktu kepada anggota yang
anggota dewan (PAW) tidak bisa lain untuk bisa menjadi
dilaksanakan hanya karena pimpinan dewan.
usulan partai. Mengefektifkan program
• Proses PAW melalui Sadan kerja Dewan.
Kehormatan dan berbasis kinerja. • Perlu adanya payung
• Anggota Dewan yang bersalah hukum yang mengikat
berdasarkan putusan etika anggota Parlemen
pengadilan akibat pidana (termasuk pimpinan).
sebaiknya langsung • Dengan mekanisme
diberhentikan, tidak pertu syarat recalling oleh parpol,
minimal 5 tahun penjara. anggota dewan lebih
loyal kepada partai
ketimbang kepada
konstituen
3 Penataan • Mengatur • Pembahasan hal-hal di luar • DPD juga sebagai
hubungan mekanisme joint sidang gabungan paripuma DPR- lembaga wakil rakyat
kerja DPR commission antara DPD untuk membahas dan (Daerah) diasumsikan
denganDPD DPR dan DPD untuk melakukan perubahan UUD, lebih mengetahui
membahas secara melantik Presiden dan Wapres, persoalan daerah dan
bersama-sama RUU membementikan Presiden dan atau membawa aspirasi
yang terkait dengan Wapres sesuai mekanisme pasal masyarakat daerah.
5 bidang. 78 UUD1945, serta Oleh karena itu, DPD
• Rapat bersama mendengarkan pidato berhak ikut menetapkan
membentuk komisi/ Kenegaraan Presiden pada 16 -tidak sekedar
panitia bersama DPR- Agustus untuk penyampaian nota mengusulkan- kebijakan
DPD; keuangan, pertu dibentuk Panitia yang berkaitan dengan
• Memformalkan Bersama ljoint committee). kepentingan daerah
sidang gabungan Panitia ini berfungsi untuk RUU yang diwakilinya.
DPR-DPD dalam yang menjadi wilayah membahas
rangka Pidato kewenangan bersama antara DPR • Fungsi dan kewenangan
Kenegaraan Presiden dan DPD. antara DPR dan DPD
tiap tgl 16 Agustus • Jika terjadi deadlock atau tidak seimbang DPR
untuk menyampaikan ketidaksepakatan antara DPR dan bersama Pemerintah
Nata Keuangan tahun DPD di dalam Rapat panitia memiliki kewenangan
anggaran berikutnya bersama, perlu dibentuk forum membuat UU, sedangkan
• Memperkuat DPD Panitia Kerja Bersama DPD tidak memiliki
dengan memberi (conference committee). fungsi legislasi. DPD
fungsi legislasi. Conference committee adalah hanya berfungsi
forum konsultasi antara DPD sebagai corong daerah
dengan DPR untuk menyelesaikan untuk membahas dan
perbedaan pandangan tentang mengartikulas ikan
suatu isu atau kasus yang tidak kepentingan dan
dapat diselesaikan pad a joint persoalan daerah untuk
session kemudian dibahas lebih
• DPD tidak hanya diberi hak lanjut dalam DPR.
mengusulkan RUU (bidang Praktik seperti itu sering
otonomi daerah; hubungan disebut sebagai "soft
pusatdandaerah; pembentukan, bicameral".
pernekaran, dan penggabungan • Dalam sistem strong
daerah; pengelolaan SDA dan bicameral, kedudukan
sumber daya ekonomi lainnya kedua kamar[chambers)
serta yang berkaitan dengan pada prinsipnya setara,
perimbangan keuangan pusat dan kendati fungsi legislasi
daerah) dan membahasnya lebih banyak dimiliki
bersama DPR dan Presiden, DPD oleh DPR ketimbang
diberi hak yang sama dengan DPR DPD.
dan Presiden menetapkan RUU
menjadi UU terkait dengan bidang
kewenangannya
4 Penataan • Menghapuskan • Memperkuat substansi fungsi • Hakikat MPR sebagai
kelembagaan lembaga Pimpinan MPR sebagai joint session antara majelis nasional sesuai
MPR MPR yang permanen DPR dan DPD. Sidang gabungan dengan system
dan paripuma diadakan untuk: pemerintahan
menggantikannya 1 )membahasdan melakukan Presidensial
dengan perubahan UUD; 2) melantik • Penegasan fungsi MPR
kepemimpinan yang Presiden dan Wapres; 3) sebagai joint session
bersifat ad hoc, yaitu memberhentikan Presiden dan atau tidak memerlukan
untuk memimpin Wapres sesuai mekanisme pasal amandemen konstitusi.
sidang 78 UUD1945;4) memilih • Sebagai joint session,
gabungan(Joint Presiden dan atau wakil MPR tidak
Session) DPR-DPD Presiden untuk menggantikan membutuhkan
• Dalam jangka Presiden dan atau wakil Kepemimpinan yang
panjang menjadikan Presiden yang berhalangan tetap; bersifat permanen
MPR sebagai majelis dan 5) mendengarkan pidato • Pimpinan yang bersifat
nasional (national kenegaraan tahunan Presiden pada permanen saat ini bukan
assembly) dengan setiap tanggal 16 Agustus hanya tidak efisien dan
sistem bikameral (penyampaian nota keuangan dan terkesan seremonial,
pen uh RAPBN). tetapi jug a tidak sesuai
• Kepemimpinan MPR dijabat semangat
secara bergiliran antara presidensialisme
pimpinan DPR dan pimpinan DPD
dalam setiap masa sidang.
• Penggabungan sekjen MPR,
DPR dan DPD yang ada menjadi
satu kesekjenan.
• Pimpinan MPR tidak mendapat
fasilitas tambahan
3. Ruang Lingkup Revisi UU Pemilu (Legislatin
3.1. Latar Belakang
Pemilihan umum (pemilu) yang dianut dan diselenggarakan oleh suatu negara merupakan instrumen
normatif bagi demokrasi yang amat mendasar dan penting. Seperti diketahui, pemilu bukan hanya
merupakan sarana perwujudan dan penegakan kedaulatan rakyat, melainkan juga berfungsi sebagai
sarana untuk memilih para wakil dan mengganti pemerintahan secara damai dan teratur. Melalui
pemilu, rakyat secara langsung memilih wakil-wakilnya di parlemen, sekaligus memberikan legitimasi
kepada siapa yang berhak dan mampu untuk memerintah di lembaga eksekutif. Oleh karena itu format
pemilu tidak hanya terkait dengan sistem perwakilan yang dihasilkannya, tetapi juga sistem
pemerintahan serta sistem kepartaian suatu negara demokrasi. Pemilu dengan demikian merupakan
seperangkat aturan atau metode bagi warga negara untuk menentukan masa depan pemerintahan
secara absah {legitimate).
Namun demikian patut digarisbawahi bahwa sistem pemilihan {electoral laws) dan aturan-aturan
teknis pemilu {electoral process) masih belum mencerminkan tegaknya kedaulatan rakyat. Pemilu yang
di dalamnya mencakup sistem pemilihan, dan mengatur aturan-aturan teknis yang kerapkali justru
dimanipulasi. Praktik seperti itu pernah terjadi pada masa Orde Baru. Pemilu tidak sepenuhnya
dirancang untuk menegakkan kedaulatan rakyat, karena aturan-aturan teknis pemilu seringkali
dimanipulasi demi kepentingan bertahannya kekuasaan. Pemilu hanyalah sebatas instrumen untuk
mengatakan bahwa Indonesia telah menyelenggarakan pemilihan wakil-wakil rakyat secara teratur.
Secara prosedural saja -apalagi substansial-pemilu selama Orde Baru belum mencerminkan nilai-nilai
demokrasi atas dasar prinsip kompetisi yang bebas, adil dan demokratis. Pemilu hanya berfungsi
sebagai sarana untuk mengabsahkan status quo pemerintahan otoriter35.
Kelemahan-kelemahan pemilu di masa Orba tersebut, akhirnya diperbaiki pada masa transisi.
Pada tahun 1999 telah dilakukan perubahan paket UU Politik warisan Orde Baru. Transisi telah
mendorong pemerintah dan parlemen untuk mengubah paket UU Politik warisan masa lalu, dengan
tujuan pengaturan pemilihan umum yang lebih baik, jujur, adil dan demokratis.
Reformasi menjadi pijakan untuk memperbaiki paket UU Politik, yang diharapkan dapat
membawa perubahan yang lebih baik. Namun pada kenyataannya, setelah Pemilu 1999 berjalan, wakil
yang terpilih belum sepenuhnya mencerminkan dirinya sebagai wakil konstituen. Gejala seperti itu
masih pula dirasakan pada Pemilu 2004, padahal dari segi pengaturannya telah dilakukan revisi atas
35 Lihat misalnya, Syamsuddin Haris, ed., Menggugat Pemilihan Umum Orde Baru, Jakarta: Yayasan Obor, 1999; juga
Syamsuddin Haris, "General Election under the New Order", dalam Hans Antlov dan Sven Cederroth, ed., Election in
Indonesia: the New Order and Beyond, London and New York: RoutledgeCurzon, 2004, hal. 18-37.
UU No. 3/1999 menjadi UU No. 12/2003. Alih-alih menghasilkan wakil rakyat yang memperjuangkan
kepentingan masyarakat, yang terjadi justru sebaliknya, mereka lebih memperjuangkan kelompoknya.
Dengan kata lain, kedua pemilu yang berlangsung pada masa transisi pun belum dapat menciptakan
dan mendorong perwakilan politik yang bertanggungjawab kepada konstituen, memiliki kemampuan
fungsional, pengetahuan politik yang memadai, dan integritas serta profesionalitas.
Meskipun demikian, harus diakui bahwa Pemilu 2004 berhasil diselenggarakan secara demokratis
di satu sisi dan di sisi lain dapat memperkecil jumlah kontestan atau partai peserta pemilu dari 48 partai
menjadi 24 partai. Terlepas dari keberhasilan tersebut, secara umum Pemilu 2004 masih belum
berdampak pada perbaikan sistem politik secara kualitatif, dan belum mampu mengubah demokrasi
prosedural menjadi demokrasi substansial.
Di sinilah urgensi untuk penyempurnaan UU No. 12/2003 tentang Pemilu, yakni agar sistem,
mekanisme dan proses pemilu memberikan kontribusi terhadap peningkatan kualitas keterwakilan dan
akuntabilitas politik di satu pihak, dan penguatan serta peningkatan efektifitas sistem pemerintahan
presidensial di lain pihak. Selain itu, penyempurnaan dan atau revisi atas UU Pemilu diperlukan agar
menghasilkan sistem perwakilan dan juga sistem kepartaian yang mendukung penguatan dan efektifitas
presidensialisme tersebut.
3.2. Problematik UU Pemilu
Dalam sejarah pemilu di Indonesia, sistem perwakilan proporsional {proportional representation/PR
system) tampaknya telah menjadi pilihan yang dianggap paling mungkin (feasible). Pertimbangan
penggunaan sistem proporsional yang selama ini dominan adalah agar suara rakyat tidak terbuang dan
proporsionalitas keterwakilan politik mencerminkan hetegonitas keberagamaan masyarakat dari segi
etnik dan budaya serta agama. Selain itu, tingkat pendidikan masyarakat yang masih rendah adalah
pertimbangan lain di balik pilihan terhadap sistem proporsional.
Sistem proporsional yang diterapkan sejak Orde Baru hingga era transisi belum sepenuhnya
dapat menghasilkan wakil-wakil rakyat yang murni mewakili kepentingan rakyat. Kelemahan-kelemahan
tersebut secara bertahap diperbaiki pada masa transisi sejak Pemilu 1999 dan Pemilu 2004. Pada
Pemilu 1999, kendati telah diperbaiki dibandingkan pemilu-pemilu Orde Baru, sistem pemilu masih
belum dapat menghasilkan wakil rakyat yang benar-benar representatif karena sistem proporsional
yang berlaku bersifat tertutup. Kelemahan ini diperbaiki relatif agak mendasar pada UU No. 12/2003,
dengan ditetapkannya sistem proporsional terbuka. Akan tetapi kehendak untuk menerapkan sistem
proporsional terbuka tersebut cenderung bersifat simbolik karena dalam praktiknya hampir semua caleg
terpilih atas dasar nomor urut yang ditetapkan oleh pimplnan partainya masing-masing.
3.2.1. lnkonsistensi Sistem Proporsional Tebuka
Sistem proporsional terbuka pada Pemilu 2004 cenderung diberlakukan secara inkonsisten dan
"setengah hati", sehingga masih belum dapat memperbaiki kelemahan dan problem keterwakilan pada
pemilu-pemilu sebelumnya. Penentuan calon jadi atas dasar nomor urut merupakan dilema paling
mendasar dari sistem proporsional terbuka pada Pemilu 2004. Sebagaimana diketahui, pemilih dapat
mencoblos tanda gambar partai dan mencoblos nama calon legislatif. Karena sifatnya masih belum
terbuka secara penuh, maka sistem ini cenderung membingungkan pemilih, karena suara dianggap sah
apabila pemilih memilih tanda gambar saja, dan/atau tanda gambar sekaligus nama caleg. Namun
demikian apabila pemilih hanya memilih nama caleg saja, maka suara dianggap tidak sah.
Dengan tata cara pemilihan seperti itu, maka secara formal sebenarnya sistem yang berlaku
masih cenderung pada sistem porporsional tertutup ketimbang sistem proporsional terbuka. Akibat dari
penerapan sistem seperti itu adalah: pertama, pemilih pada kenyataannya lebih memilih tanda gambar
partai karena memang lebih mudah ketimbang memilih nama calon. Secara formal memang sistem
yang dianut adalah sistem proporsional terbuka, namun dalam praktiknya terjadi penyimpangan ke arah
sistem proposional tertutup, ketika sebagian besar pemilih lebih memilih tanda gambar yang tidak
disertai dengan memilih nama calon. Kedua, para pengurus atau elite partai masih mendominasi nomor
urut calon, meskipun yang bersangkutan kurang dikenal oleh masyarakat. Di sinilah letak oligarki partai
dalam penentuan calon anggota dewan semakin diperkuat. Ketiga, dengan mekanisme pemilihan
seperti di atas, maka terbukanya peluang bagi partai-partai politik yang sudah mapan untuk menggiring
para pemilih hanya mencoblos tanda gambar partai tanpa pilihan atas nama calon. Keempat, terdapat
dua basis penentuan calon jadi yang tidak proporsional, di satu sisi didasarkan atas nomor urut tetapi di
sisi lain didasarkan atas BPP (Bilangan Pembagi Pemilihan). Bagi calon yang menempati nomor urut
potensial terpilih, dengan cara pemilihan seperti itu kompetisinya tidak terlalu berat, akan tetapi bagi
calon yang berada pada urutan bawah, mereka harus berjuang keras agar memperoleh dukungan pemilih
sehingga melampaui BPP. Dengan demikian, calon yang memperoleh suara paling besar dan tidak
memenuhi BPP gagal terpilih, sementara calon yang menempati nomor urut potensial dengan tingkat
dukungan yang lebih kecil justru terpilih sebagai anggota legislatif.
Sistem pemilihan ini berakibat pada kurang adiilnya kompetisi, sebab calon yang menempati
nomor urut atas (potensi untuk terpilih), meski yang bersangkutan hanya "diam," lebih berpeluang besar
terpilih, sementara calon yang menempati nomor urut bawah harus berjuang keras agar memperoleh
dukungan dari konstituen. Di samping itu, pada kenyataannya, daftar nomor urut yang potensial terpilih
sebagai calon jadi lebih ditempati oleh pengurus-pengurus partai, sementara yang bersangkutan belum
tentu dikenal oleh konstituen dan memiliki kapabilitas yang memadai. Dengan sistem pemilihan seperti
itu, ada gejala bahwa partai-partai dan para pengurus partai lebih diuntungkan, karena merekalah yang
potensial terpilih sebagai wakil rakyat kendati tidak mampu memperoleh suara secara signifikan.
Di sisi yang lain, sistem proporsional terbuka setengah hati yang dianut UU No. 12/2003 belum
sepenuhnya dapat mendekatkan antara para wakil dengan terwakil atau konstituennya. Sebagai
akibatnya, akuntabilitas para waktl terhadap konstituen cenderung lemah karena loyalitas mereka
cenderung ditujukan untuk partai politik. Akibatnya, para wakil yang terpilih cenderung hanya menjadi
wakil partai ketimbang wakil rakyat. Lebih jauh lagi, praktik sistem proporsional setengah hati seperti ini
pada akhirnya menciptakan sistem perwakilan yang kurang mendukung penguatan dan efektifitas
sistem pemerintahan presidensial.
3.2.2. Mekanisme Pencalonan Mengabaikan Kualitas dan KapabWtas Ca/eg
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, akibat mekanisme pencoblosan yang masih mengabsahkan
pemilihan pada tanda gambar partai politik, maka mekanisme pencalonan anggota legislatif kurang
kompetitif, karena posisi strategis (nomor urut yang potensial terpilih) ditempati oleh para elite atau
pengurus partai. Kurang tegasnya mekanisme pencalonan dalam UU No. 12/2003 yang hanya
menekankan proses dilakukan secara terbuka dan demokratis -tanpa kejelasan tentang konsep "terbuka
dan demokratis" itu sendiri-menyebabkan para pengurus partai masih dominan dalam pencalonan
anggota legislatif36.
Selain itu, mekanisme pencalonan masih memberikan peluang terjadinya money politics dan
prosesnya kurang transparan secara publik. Meskipun UU No. 12 tahun 2003 telah mengatur bahwa
pencalonan wakil rakyat hanya dilakukan ol,eh atau melalui partai politik dengan memenuhi persyaratan
dan dilakukan secara terbuka dan demokratis, namun dalam praktiknya, secara terselubung sering
terjadi penyimpangan. Partai-partai yang tel.ah mapan pola rekrutmennya cenderung lebih dikuasai oleh
elite dan pengurus partai, sementara partai-partai kecilkesulitan dalam mencari kader yang akan
dicalonkan. Belum lagi terjadinya manipulasi data calon atau kecurangan lain dalam penempatan nomor
unit pada daftar calon tetap.
Salah satu faktor penyebab dari kecenderungan manipulasi proses pencalonan ini adalah kriteria
rekrutmen pencalonan anggota legislatif oleh partai-partai politik yang masih cenderung bersifat
administratif belaka. ldealnya ada kaitan antara syarat-syarat menjadi calon anggota legislatif dengan
fungsi dan tugas keparlemenan yang akan diemban oleh caleg. Persyaratan-persyaratan yang ada
cenderung mengabaikan aspek kualitas dan kapabilitas calon serta belum mengarah pada persyaratan
yang bersifat fungsional, dalam arti profesionalitas caleg terhadap fungsi-fungsi yang akan dilaksanakan
36 Tentang dominasi para elite atau pengurus partai dalam proses pencalonan lihat misalnya, Syamsuddin Haris, ed., Pemilu
Langsung di Tengah Oligarki Partai, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005.
setelah menjadi anggota legislatif.
Meskipun UU No. 12/2003 yang diterapkan pada Pemilu 2004 yang lalu telah menghasilkan
sebagian besar wajah baru anggota legislatif, namun hasilnya belum menunjukkan peningkatan kualitas
anggota legislatif dari hasil pemilu sebelumnya. Persyaratan calon yang sifatnya masih administratif,
abstrak dan sulit diukur menjadi faktor penting di balik kecenderungan ini. Sebagai contoh adalah
persyaratan bahwa seorang calon anggota legislatif harus mempunyai ijazah SL TA atau yang sederajat.
Ukuran akademis yang dipakai sebagai syarat latar belakang pendidikan calon wakil rakyat hanya
pendidikan formal setingkat SL TA. Sementara itu, keahlian, pengalaman berorganisasi maupun
kecakapan teknis lain yang diperlukan sebagai faktor pendukung suksesnya kerja sebagai wakil rakyat,
sama sekali tidak menjadi bahan pertimbangan. Dampaknya, pemilu masih belum dapat menghasilkan
calon-calon yang memiliki performance dan kapabilitas yang lebih memadai, berkaitan dengan tugas,
fungsi, dan tanggung jawabnya sebagai wakil rakyat.
3.2.3. Ketentuan Electoral Threshold Cenderung Dipermainkan
Upaya untuk memperketat persyaratan partai peserta pemilu melalui ketentuan electoral threshold (ET)
telah diberlakukan sejak Pemilu 1999. Namun pada kenyataannya, ketentuan ET ini masih cenderung
dipermainkan oleh partai-partai politik. Praktik yang berlaku pada Pemilu 2004 memperlihatkan
kenyataan sejumlah partai yang gagal ET memanfaatkan kelonggaran ketentuan ET untuk "lahir
kembali" sebagai partai baru agar dapat mengikuti pemilu berikutnya. Artinya, sepanjang ketentuan
administratif sebagai parpol peserta pemilu dapat terpenuhi sesuai UU, maka partai politik yang gaga!
ET tersebut tetap akan menjadi peserta pemilu. Partai politik yang pernah ikut Pemilu 1999 tetapi gaga!
memenuhi ketentuan ET dengan mudah menjadi peserta Pemilu 2004. Dengan demikian ketentuan
electoral threshold dengan mudah dimanipulasi dengan cara penggantian nama dan identitas partai
menjelang pemilu. Penggantian nama ini menjadi jalan pintas, sehingga yang terjadi adalah seolah-olah
lahir partai baru peserta pemilu, padahal partai tersebut hanyalah metamorfosis partai lama yang tidak
memenuhi electoral threshold pada pemilu sebelumnya.
Penerapan ET yang terlalu longgar dan cenderung dimanipulasi pada akhirnya justru akan tetap
menciptakan tingkat fragmentasi partai yang relatif tinggi di parlemen dan kurang dapat mendorong
upaya penyederhanaan partai politik. Dengan kata lain, walaupun jumlah partai peserta Pemilu 2004
berkurang dibandingkan partai peserta Pemilu 1999, namun UU No. 12/2003 kurang dapat mendorong
terjadinya pembatasan partai-partai yang memperoleh kursi di parlemen, sehingga kebutuhan akan
hadimya partai mayoritas tidak terjadi.
Masih adanya peluang bagi partai-partai yang tidak ~olos ET untuk membentuk partai politik baru
karena lemahnya pengaturan UU berdampak pada berlomba-lombanya para pengurus partai lama untuk
mendirikan partai politik baru dengan berubah nama, bendera dan simbol-simbol partai lainnya namun
dengan sebagian besar orang yang sama. Kecenderungan seperti ini pada dasamya inkonsisten dengan
tujuan penerapan ET karena semestinya partai yang telah gagal ET tidak memiliki peluang untuk
mengikuti pemilu selanjutnya.
Untuk mencapai tujuan pemberlakukan ET, maka perlu dipertimbangkan bahwa partai yang tidak
lolos ET yang kemudian membentuk partai politik baru tidak secara langsung dapat mengikuti pemilu
berikutnya, tetapi baru diperbolehkan ikut dalam pemilu setelah sekurang-kurangnya satu periode
pemilu sesudahnya (lima tahun), kecuali bergabung atau meleburkan diri dengan partai-partai yang
lolos ET. Pengaturan yang ketat seperti ini diperlukan dengan harapan akan terciptanya penguatan
sistem kepartaian di satu pihak dan efektititas sistem presidensial di pihak lain.
3.2.4. Nilai Kursi Legislatif dan Besaran Daerah Pemilihan Tidak Proporsional
Dalam penentuan nilai kursi bagi anggota DPR, UU No. 12/2003 belum sepenuhnya memperhatikan
aspek proporsionalitas jumlah penduduk, antara daerah yang padat penduduknya dengan daerah yang
jarang penduduknya. Hal ini menimbulkan ketimpangan nilai kursi, karena dalam praktiknya ada "kursi
mahal" di daerah-daerah pemilihan di Jawa, dan "kursi murah" di daerah-daerah pemilihan luar Jawa.
Apabila dasar penentuan nilai kursi adalah jumlah penduduk, maka perlu dikembalikan pada prinsip
dasar yang sama, yakni one person one vote. Dengan kata lain, nilai kursi semim'mal mungkin tidak
terlalu lebar kesenjanganya antara wilayah yang padat dengan wilayah yang jarang penduduknya.
Karena pada dasarnya, DPR mewakili rakyat dari segi Qumlah) penduduk, bukan mewakili wilayah,
sehingga daerah yang jumlah penduduknya lebih padat memiliki perwakilan politik yang lebih besar
ketimbang daerah yang jarang penduduknya.
Selain itu, penentuan besaran daerah pemilihan kurang mempertimbangkan perbandingan luas
wilayah dengan jumlah penduduk. Dampaknya, terjadi ketimpangan besaran daerah pemilihan antara
Jawa dengan luar Jawa. Meskipun kelemahan ini dikompensasi melalui keberadaan lembaga DPD yang
didasarkan pada perwakilan wilayah, namun tetap tidak dapat menyetarakan nilai kursi legislatif nasional
antara Jawa-luar Jawa. Basis penghitungan nilai kursi yang tidak mencerminkan keadilan antardaerah
yang padat dan jarang penduduknya ini pe~u dikembalikan pada prinsip yang semestinya, yaitu jumlah
penduduk sebagai dasar dalam menentukan nilai kursi pada setiap daerah pemilihan.
3.2.5. Kerumitan Mekanisme Penghitungan Suara
Meskipun mekanisme penghitungan suara pada Pemillu 2004 relatif lebih baik dibandingkan Pemilu
1999, namun prosedur admnistratif yang terlalu rumit dan kompleks menyebabkan KPPS kesulitan
dalam mengisi formulir dokumen penghitungan suara yang terlalu banyak. Prosedur administratif yang
terlalu rumit juga menyebabkan sulitnya menyusun rekapitulasi penghitung.an untuk dipindahkan ke
dalam format dokumen penghitungan suara, karena dokumen yang harus diisi terlalu banyak.
Dalam hal tabulasi data, di beberapa tempat juga mengalami kesulitan teknis, dari soal komputer
yang rusak, maupun SOM yang dikontrak hanya dalam waktu singkat. Dalam hal ini, UU Pemilu
cenderung mengabaikan pertimbangan-pertimbanga11 teknis, kerumitan-kerumitan yang diakibatkan
dari1 kompleksitas administratif, dan kemampuan petugas pelaksana yang tidak sama, serta luas dan
besaran wilayah yang berbeda-beda.
3.2.6. Keterwakilan Perempuan Masih Rendah
Meskipun UU Pemilu No. 12 Tahun 2003 telah mengakomodasi upaya peningkatan keterwakila11
perempuan di legislatif melalui pencalonan minimal 30 persen bagi perempuan, namun di dalam
struktur keanggotaan DPR hasil Pemilu 2004 hanya terdapat sekitar 11 persen anggota legislatif
perempuan. Kondisi ini masih memprihatinkan dibandingkan banyak negara sedang berkembang
lainnya, apalagi dibandingkan negara-negara maju. Karena itu penyempurnaan atas UU Pemilu
hendaknya semakin meningkatkan keterwakilan perempuan di parlemen agar kualitas keterwakilan,
kualitas kebijakan yang dihasilkan, dan juga kualitas demokrasi pada umumnya lebih meningkat
dibandingkan pemilu-pemilu sebelumnya.
3.2. 7. Penundaan Penggunaan Hak Pilih TNllPOLRI
Meskipun setiap Warga Negara Republik Indonesia yang telah berumur 17 tahun dan/atau sudah kawin
memiliki hak untuk memilih dan dipilih, namun khusus untuk TNI dan POLRI pada Pemilu 2009, perlu
dipertimbangkan untuk ditunda pemulihan hak pilihnya. Ada kekhawatiran bahwa jika hak pilih anggota
TNl/Polri dipulihkan pada Pemilu 2009 ketika konsolidasi demokrasi belum berfangsung dan juga
reformasi internal TNl/POLRI belum tuntas, dapat mengembalikan institusi TNl/POLRI kembali terlibat
dalam politik. Padahal, salah satu tujuan reformasi adalah untuk mengakhiri peran sosial politik ABRI
(baca: TNl/POLRI) agar kedua institusi ini lebih profesional di bidangnya, dan tidak terlibat dalam politik
praktis sebagaimana terjadi pada masa Orde Baru. Kuatnya fragmentasi kekuatan-kekuatan politik di
masa transisi di satu sisi dan pemberian hak pilih TNl/POLRI di sisi lain, tidak menutup
kemungkinan dapat menyeret institusi TNl/POLRI ke dalam perbedaan ideologis yang lebih tajam.
Pengalaman politik pada 1950-an memperjelas, ketika TNl/POLRI diberi hak pilih, justru kedua institusi
ini terkotak-kotak secara ideologis sehingga terjadi gontok-gontokan di antara mereka sendiri. Kondisi
ini tentu bukanlah pilihan yang terbaik, karena lahirnya reformasi justru ingin meletakkan fondasi yang
kokoh bagi profesionalisme TNl/POLRI secara institusional dan individual.
3.3. Cakupan Revisi UU Pemilu
3.3.1. Penerapan Si stem Proporsional Terbuka Penuh
Untuk meningkatkan kuaiitas keterwakilan di satu pihak dan kuaiitas akuntabilitas para wakil di lain
pihak, maka sistem pemilu legislatif yang berlaku pada Pemilu 2004 perlu ditata dan disempurnakan
kembali, yaitu menuju sistem proporsional dengan daftar terbuka sepenuhnya -tidak "setengah
terbuka". Penataan ulang sistem pemilu ke arah sistem yang memperkuat akuntabilitas para wakil
dengan sistem proporsional terbuka dilandasi oleh beberapa argumen berikut: (1) anggota DPR/DPRD
mencerminkan perwakilan rakyat dengan tingkat proporsionalitas yang tinggi; (2) mendorong kompetisi
calon secara terbuka; (3) mencerminkan rasa keadilan bagi calon-calon yang memperoleh suara
terbanyak meskipun nomor urutnya berada di bawah; (4) membuka peluang bagi meningkatnya
keterwakilan kaum perempuan di badan-badan perwakilan; dan (5) mendekatkan hubungan para wakil
dengan rakyat yang diwakilinya.
Selain itu, arah dan tujuan penyelenggaran pemilu yang memperkuat pilihan konstituen atas
wakil-wakilnya diharapkan dapat memperbaiki praktik pemerintahan yang ambivalen, lebih cenderung
pada praktik pemerintahan parlementer, padahal system pemerintahan yang dianut adalah sistem
pemerintahan presidensial. Untuk memperkuat sistem pemerintahan tersebut dibutuhkan partai politik
yang memiliki dukungan yang besar, sehingga dapat menjalankan pemerintahan yang lebih efektif.
Oleh karena itu, untuk memperkokoh sistem presidensial dan memperbaiki sistem perwakilan,
perlu penegasan bahwa sistem proporsional yang diberlakukan adalah sistem proporsional terbuka
penuh. Sistem ini pada hakikatnya mengandung prinsip-prinsip sebagai berikut: (1) penentu terpilihnya
seorang calon legislatif adalah jumlah suara yang diperolehnya; (2) mencoblos nama calon dan partai
politik (yang dianggap sah); (3) kursi dibagi berdasarkan partai terlebih dahulu, baru setelah masing
masing partai memperoleh kursi, maka calon yang memperoleh suara terbanyak di masing-masing
partai dinyatakan langsung terpilih sebagai anggota Dewan; dan (4) nomor urut hanya berfungsi
administratif, tidak menentukan urutan kemenangan seorang calon.
3.3.2. Peningkatan Persyaratan Partai Peserta Pemilu
Apabila disepakati bahwa sistem kepartaian perlu ditata ulang menuju sistem multipartai sederhana -
agar mendukung efektifitas presidensialisme-maka perlu persyaratan yang lebih ketat bagi calon
partai peserta pemilu. Selain itu, upaya ini dilakukan untuk mendorong terbentuknya koalisi besar partai
dalam sistem pemerintahan presidensial, sehingga dapat menciptakan pemerintahan yang lebih kuat
dan efektif. Argumentasi perlunya pengetatan persyaratan tersebut adalah agar: (1) hanya partai-partai
yang memiliki basis dukungan yang jelas dan memiliki kepengurusan yang luas secara nasional yang
dapat mengikuti pemilu; (2) mendorong agar partai melakukan penataan kelembagaan dan
menjalankan fungsinya di luar agenda meraih kekuasaan; (3) mendorong dan mengkondisikan
terjadinya penggabungan dan atau koalisi partai; dan (4) mendorong terjadinya kompetisi internal partai
untuk memilih calon-calon berkuatas yang akan berkompetisi di dalam bursa pencalonan pemilu
Dalam kaitan tersebut perubahan yang perlu dilakukan di antaranya adalah dengan memperbesar
electoral threshold (ET) dan memperketat prosedumya melalui ketentuan: (1) hanya partai yang
memperoleh electoral threshold minimal 5 persen dari jumlah kursi di DPR yang dapat mengikuti Pemilu
2014; (2) partai yang tidak mencapai ET tidak boleh mengikuti pemilu berikutnya walaupun dengan
mengganti nama parpol dengan nama baru, dan/atau mengganti pengurus dengan wajah baru; (3) jika
akan mengikuti pemilu, partai-partai tersebut wajib bergabung dengan partai yang mencapai atau tidak
mencapai ET hingga memenuhi ET; dan (4) memberlakukan kewajiban deposit dana dalam jumlah
tertentu bagi partai baru yang telah memenuhi syarat untuk mengikuti pemilu.
3.3.3. Peningkatan Kualitas Ca/on Legislatif (Ca/eg)
Seiring dengan tujuan untuk memperkuat kualitas sistem perwakilan dan juga kualitas keterwakilan,
maka peningkatan kualitas para calon legislatif diharapkan dapat mernperbaiki performance, integritas,
dan akuntabilitas calon-calon yang akan terpilih. Untuk mendorong hal itu, maka selain syarat-syarat
yang sifatnya administratif, perlu persyaratan yang sifatnya fungsional -yang memiliki relevansi dengan
pekerjaan yang akan dilakukan para caleg di parlemen. Syarat-syarat tersebut di antaranya adalah
integritas, memiliki visi ke depan yang jelas, kompetensi sebagai politisi sekaligus negarawan, dan syarat
kemampuan managerial yang bersifat transformatif.
Persyaratan-persyaratan kualitatif tersebut perlu diwajibkan bagi para caleg yang direkrut oleh
partai politik selain persyaratan yang bersifat administratif -yang semestinya dikurangi dibandingkan
pemilu sebelumnya. Selain itu, syarat-syarat pencalonan yang bersifat kualitatif diperlukan agar para
caleg tidak terperangkap untuk melakukan manipulasi administratif seperti fenomena ijazah palsu yang
marak pada Pemilu 2004.
3.3.4. Penataan U/ang Nilai Kursi Legislatif dan Besaran Daerah Pemilihan
Dalam rangka penataan ulang nilai kursi legislatif, perubahan UU No. 12/2003 perlu menekankan,
pertama, keseimbangan yang lebih proporsional antara daerah yang padat dengan yang jarang
penduduknya. Jumlah penduduk harus menjadi dasar dalam menentukan jatah kursi masing-masing
daerah pemilihan karena pada prinsipnya sistem proporsional adalah mewakili penduduk (orang) bukan
mewakili wilayah (ruang). Di sisi yang lain dengan adanya daerah pemilihan, maka dimungkinkan
adanya perubahan struktur kepartaian di daerah mengikuti daerah pemilihan, bukan wilayah
administratif.
Kedua, BPP hanya untuk menentukan kuota perolehan kursi partai di daerah pemilihan dan
bukan untuk menentukan kuota perolehan suara calon terpilih. lni dilakukan untuk menghindari
terjadinya pergeseran dari sistem proporsional terbuk.a ke arah sistem proporsional tertutup. Adanya
BPP dengan bilangan yang terlalu tinggi, sehingga hampir mustahil dicapai, menyebabkan sistem
proporsional terbuka berubah menjadi sistem proporsional tertutup. Oleh karena perlu perubahan fungsi
BPP, yakni hanya untuk menentukan kuota kursi di setiap daerah pemilihan.
Ketiga, sebagai konsekuensi logis usulan perubahan di atas maka besaran daerah pemilihan
(district magnitude-jumlah wakil rakyat yang terpilih dalam satu distrik) perlu ditata ulang atas dasar
proporsional jumlah penduduk dengan bertolak pada prinsip one person one vote. Untuk mengarah
ke sana, maka perubahan yang dapat dilakukan adalah bahwa pola penentuan daerah pemilihan
relatif sama dengan Pemilu 2004 dengan penyempurnaan pada kuota kursi yang disesuaikan dengan
proporsi jumlah penduduk.
3.3.5.Penguatan Keterwakilan dan Basis DPD
Sementara untuk penguatan dan perluasan basis keanggotaan DPD, penataan yang diusulkan adalah
meningkatkan basis perwakilan DPD dan mendorong terjadinya pengelompokkan di parlemen. Oleh
karena itu perlu adanya perluasan basis keterwakilan calon DPD, yang tidak hanya berasal dari calon
perorangan/independen, tetapi juga berasai dari anggotra partai politik secara perseorangan. Perluasan
basis keanggotaan DPD bagi anggota partai politik ini tridak mengurangi esensi DPD sebagai lembaga
perwakilan wilayah di satu pihak, dan prinsip keterwakilan yang bersifat perseorangan di lain pihak.
Dengan demikian DPD akan memiliki basis dukungan yang lebih kuat sekaligus sebagai "modal" bagi
sistem perwakilan yang mengarah pada strong bicameralism sehingga secara bertahap kedudukannya
hampir sama dengan DPR.
Untuk mengarahkan pada penguatan basis keanggotaan DPD maka setiap calon anggota DPD
diharuskan memperoleh dukungan awal 3% dari jumlah pemilih di daerah yang akan diwakilinya.
Sedangkan untuk mendekatkan hubungan antara anggota DPD dengan daerah yang diwakilinya maka
propinsi sebagai daerah pemilihan DPD perlu di bagi ke dalam empat sub-daerah pemilihan sesuai
dengan jumlah wakil DPD pada setiap propinsi. Melalui pembagian ke dalam empat sub-daerah
pemilihan pada setiap propinsi ini maka keterwakilan setiap anggota DPD iebih jelas dibandingkan
sebelumnya.
3. 3. 6. Perbaikan Akuntabilitas Dana Kampanye
Untuk meningkatkan kualitas transparansi dan akuntabilitas dana kampanye di dalam UU Pemilu perlu
diatur lebih rinci mengenai ketentuan dana kampanye .. Hal ini diperlukan untuk membangun proses
pilpres yang baik secara prosedural, agar transparan dan bisa diketahui oleh publik sehingga
mendorong terbangunnya good governance pascapemilu antara lain 37 :
• Ada ketentuan yang mewajibkan audit terhadap pengeluaran dana kampanye;
• Laporan penggunaan dana kampanye (sumber maupun pengeluaran) perlu diumumkan pada publik
melalui media massa seminggu sebelum hari pemberian suara;
• Adanya konfirmasi tentang kelayakan penyumbang di dalam proses audit;
• Harus ada ketentuan baku tata cara serta tindak lanjut dan sanksi yang jelas terhadap temuan
permasalahan yang dihasilkan dari proses audit;
• Sumbangan pengusaha hanya dapat dilakukan satu kali dari induk perusahaan. Aliran dana harus
lewat perbankan nasional untuk diverifikasi oleh pihak berwenang dan sesuai pengaturan tentang
antimoney laundring;
• Adanya aturan secara rinci mengenai identitas penyumbang. Kewajiban mencatat sumbangan di
bawah Rp. 5 juta yang dilakukan lebih dari satu kali dan menyimpan catatannya lewat bendahara
partai politik. Batas bawah pencatatan perlu diturunkan;
• Aturan yang tegas bagi pihak-pihak yang digunakan namanya atau perusahaannya untuk
menyumbang padahal tidak memiliki kemampuan;
• Penelusuran kewajaran kemampuan menyumbang dari NPWP individu maupun badan usaha;
• Perlu dtjelaskan secara jelas kapan rekening dana kampanye dapat dibuka dan berapa ketentuan
saldo awal yang wajar dalam membuka rekening khusus dana kampanye;
• Saldo awal dapat berasal dari rekening partai politik yang diatur batasan besarnya saldo awal;
• Ketentuan mengenai utang hams dikenakan baik jumlah maupun kategori penyumbangnya dengan
ketentuan yang diterapkan untuk penyumbang perorangan dan badan hukum;
• Adanya ketentuan kewajiban membuka laporan dana kampanye dan hasil audit laporan dana
kampanye ke publik lewat media nasional;
• Rekening dana kampanye yang dibuka hams dikoordinasikan oleh satu orang yang ditunjuk untuk
bertanggungjawab terhadap pencatatan dan pelaporan dana kampanye. Orang yang ditunjuk juga
bertanggungjawab mengkonsolidasikan semua rekening tersebut pada saat penyusunan laporan dana
kampanye ke KPU/KPUD;
• Sanksi administratif pelanggaran dana kampanye memerlukan model atau standar operasi baku
penanganan yang jelas dan cepat atas pelanggaran administratif;
• Sanksi pidana pelanggaran dana kampanye perlu ada definisi yang jelas mengenai politik uang dan
manipulasi dana kampanye. Perlu ada penanganan lebih cepat atas kasus-kasus politik uang yang
37 Diolah kembali dari "Perubahan Pasal Dana Politik di dalam Paket Undang-undang Politik" oleh Tim Cetro, Til, ICW, Perludem dan IAlKSAP, Desember 2006.
terjadi. Perlu ad~ percepatan proses penanganan kasus politik uang sehingga sanksi dapat segera
diterapkan kepada orang atau pihak-pihak yang terliibat.
3.3. 7. Pelembagaan Transparansi dan Akuntabilitas Penghitungan Suara
Untuk meningkatkan kualitas transparansi dan akuntabilitas penghitungan suara, maka perlu dilakukan
penyederhanaan format dokumen penghitungan suara (terutama di tingkat KPPS) dan peningkatan
pengawasan penghitungan suara di tingkat PPS (desa/kelurahan) dan PPK (kecamatan). Hal ini
diperlukan bukan hanya untuk memudahkan KPPS dalam melakukan penghitungan dan mengurangi
tingkat akurasi akibat tekanan waktu dan kelelahan petugas, melainkan juga untuk mempercepat
proses rekapitulasi hasil pemilu pada tahap selanjutnya.
3.3.8.Peningkatan Keterwakilan Perempuan
Dalam rangka peningkatan keterwakilan perempuan di lembaga legislatif, serta juga untuk
meningkatkan kualitas produk kebijakan agar lebih berperspektif gender, perlu penegasan sanksi bagi
partai poiitik peserta pemilu yang tidak mematuhi persyaratan mencalonkan minimal 30 persen
perempuan. Penegasan sanksi tersebut perlu diatur dalam penyempumaan UU Pemilu sehingga tidak
bersifat anjuran belaka.
3.4. Matriks Revisi U_U Pemilu Legislatif
No Arah dan Tujuan Agenda Usulan Pengaturan Argumentasi
Penyempurnaan
1 Penataan ulang • Perubahan • Mencoblos nama calon • Anggota DPR/DPRD
sistem pemilu system proporsional dan partai politik mencerminkan perwakilan
DPRke arah terbuka "setengah- (ya11g dianggap sah). rakyat dengan tingkat
sistem yang hati" menjadi sistem • Kursi dibagi proporsionalitas yang
memperkuat proporsional berdasarkan partai tinggi.
akuntabilitas para terbuka sepenuhnya. terlebih dahulu, • Mendorong kompetisi
wakil. • Penentuan caleg atas bam setelah calon secara terbuka.
dasar suara terbanyak masing-masing • Mencerminkan rasa
bukan atas dasar partai memperoieh keadilan bagi calon-calon
ranking partai. kursi, maka calon yang memperoieh suara
yang memperoieh terbanyak meskipun
suara terbanyak nomor urutnya berada di
dinyatakan langsung bawah.
terpilih sebagai • Mendekatkan hubungan
anggota dewan (1) wakil dengan yang
• Nomor urut tidak diwakili.
menentukan
terpilihnya seorang
calon;
• Yang menentukan
terpilihnya seorang
calo11 adalah jumlah
perolehan suaranya;
2 Penataan ulang • Konsistensi • BPP hanya untuk
menentukan kuota kursi
disetiap daerah
pemilihan.
3
niiai kursi legislatif
atas dasar
prinsip yang
sama-> one
penerapan basis
penghitungan nilai
kursi;
• Penataan kembali
person one vote. besaran daerah
pemilihan (district
magnitude- jumlah
wakil rakyat yang
terpilih dalam satu
distrik)
• Daerah pemilihan
sama dengan Pemilu
2004 dengan
penyempumaan kuota
kursisesuaidengan
jumlah penduduknya.
Peningkatan
kualitas wakil
rakyat
Memperkuat Perlu penambahan
performance dan syarat yang sifatnya
integritas calon-calon fungsional:
yang akan dipilih • lntegritas;
• Memiliki visi ke depan
yangjeias;
• Menghindari terjadinya
pergeseran dari sistem
proporsional terbuka ke
arah proporsional
tertutup. Adanya BPP
dengan bilangan yang
tinggi menyebabkan
sistem proporsional
terbuka berubah
menjadi sistem
proporsional tertutup.
• Jumlah penduduk harus
menjadi dasar dalam
menentukan jatah kursi
masing-masing daerah
pemilihan. Karena pada
prinsipnya sistem
proporsional adalah
mewakili penduduk (orang)
bukan mewakili wilayah
(ruang).
Mendorong agar
kapabilitas calon-calon
terpilih mempunyai
pengetahuan yang sesuai
dengan pekerjaan (fungsi)
dan tanggung jawabnya
• Kompetensi (sebagai sebagai wakil rakyat;
politisi, negarawan);
dan
• Syarat managerial
yang bersifat
transformatif
4. Pelembagaan • Penyederhanaan Serita Acara dokumen • Untuk memudahkan
transparansi, format dokumen penghitungan suara KPPS dalam
akuntabilitas, penghitungan disederhanakan terdiri melakukan penghitungan.
dan efisiensi suara (terutama atas: • Efisiensi dan menghindari
penghitungan di KPPS); • Berita Acara Surat kesalahan dalam
suara • Peningkatan Suara penghitungan.
pengawasan • Serita Acara Hasil • Mempercepat
penghitungan Penghitungan Suara proses penyerahan
suara di tingkat (suara sah, abstain dan hasil pemilu.
PPSdanPPK; suara tidak sah, serta
sisa suara).
• Serita Acara
penyerahan Hasil
Penghitungan
Suara dari KPPS
ke PPK).
5. Penguatan dan • Pengetatan • Seseorang dan/atau • Karena DPD harus
perluasan basis persyaratan kader partai dapat mewakili daerah secara
keanggotaan pencalonan DPD atas menjadi calon DPD bersama, maka pemilih
DPD dasar dukungan awal apabila dapat selayaknya mengenal
minimal 3% dari memperoleh dukungan wakil- wakilnya serta
jumlah pemilih di awal 3% dari jumlah mengkondisikan kerjasama
daerah yang akan pemillih di daerah antar mereka.
diwakilinya yang akan diwakilinya. • Penguatan basis calon
• Perluasan basis • Pembentukan Kantor anggota DPD yang setara
keterwakilan calon Perwakiian DPD di dengan electoral threshold
anggota DPD bagi daerah pemilihannya. DPR pada Pemilu 2009.
anggota partai politik • Mendorong adanya
yang memenuhi mekanisme kontrol daerah
syarat sebagai terhadap DPD.
peserta pemilu • DPD didorong untuk lebih
legislatif; dekat menyerap aspirasi
daerah dengan adanya
kantor perwakilan DPD di
daerah pemilihannya.
6. Pengetatan Memperbesar • Partai yang • Untuk mengikuti pemilu
persyaratan partai electoral threshold memeperoleh berikutnya, syarat peserta
yang boleh ikut untuk pemilu electoral threshold (ET) pemilu lebih ditingkatkan
pemilu berikutnya berikutnya 5 persen dapat ikut dan yang menjadi ukuran
Pemilu 2014. adalah perolehan 5 persen
• Partai yang tidak suara secara nasional.
mencapai ET tidak Karena sifat dari partai
boleh mengikuti politik adalah nasional,
pemilu berikutnya bukan partai lokal,
dengan mengganti sehingga syarat yang
nama parpol. bertingkat-tingkat untuk
• Jika akan mengikuti perolehan kursi di DPRD
pemilu, partai-partai Provinsi, DPRD
tersebut wajib Kabupaten/Kota dihapuskan.
bergabung dengan • Mendorong agar partai
partai yang mencapai melakukan penataan
atau tidak mencapai kelembagaan.
ET hingga memenuhi • Mendorong terjadinya koalisi
ET. dan kerjasama antarpartai.
• Mendorong agar partai
menjalankan fungsinya
sehingga partai bisa
mempersiapkan untuk ikut
pemilu selanjutnya
• Mendorong terjadinya
kompetisi internal partai untuk
memilih calon-calonnya yang
akan uncul di dalam bursa
pencalonan pemilu
4. Ruang Lingkup Revisi UU Partai Politik
4.1. Latar Belakang
Hasil amandemen konstitusi (UUD 1945) yang menegaskan kembali tentang prinsip pemerintahan
berdasarkan sistem presidensial, sebenamya merupakan pUihan yang tepat dengan kondisi obyektif
bangsa kita. lni mengingat bahwa di dalam sistem presidensial terkandung beberapa kelebihan, di
antaranya: pertama, terciptanya stabilitas eksekutif yang didasarkan atas masa jabatan presiden yang
bersifat tetap. Stabilitas eksekutif ini berlawanan dengan instabiUtas eksekutif yang terdapat pada
sistem parlementer. Kedua, pemilihan kepala pemerintahan oleh rakyat secara langsung dapat
dipandang lebih demokratis daripada pemilihan tidak langsung di dalam sistem parlementer. Ketiga,
pemerintahan presidensial merupakan sebuah sistem yang cenderung bersifat "ringkas" dan
"sederhana", sehingga cocok dengan keinginan untuk mencapai pemerintahan yang kuat dan efektif.
Persoalannya kemudian, untuk mewujudkan sistem presidensial yang efektif dan kuat diperlukan
dukungan dari sistem kepartaian yang lebih sederhana agar menghasilkan tingkat fragmentasi yang
relatif rendah pula di parlemen. lni pada gilirannya diharapkan dapat mengkondisikan terciptanya
proses pembuatan kebijakan dan pengambilan keputusan di parlemen yang relatif tidak berlarut-larut.
Dengan lebih sederhananya sistem kepartaian sekaligus diharapkan akan meningkatkan pula
kerjasama antara partai-partai dan mempermudah terbentuknya pemerintahan yang kuat, stabil, dan
efektif.
Dalam sejarah kepartaian semenjak kemerdekaan hingga era reformasi, Indonesia telah
mempraktikkan sistem multipartai, meski dalam derajat dan kualitas yang berbeda. Pada masa
Demokrasi Parlementer (1945-1959) penerapan sistem multipartai menghasilkan tingkat kompetisi yang
tinggi dan instabilitas politik yang tinggi pula. Di masa Derrokrasi Terpimpin (1959-1965), rneski mempraktikkan
sistem multipartai, kompetisi tidak lagi terlihat dan hanya sekadar banyak dalam jumlah. Sebagai akibat
dari dominasi presiden, telah membuat partai-partai politik hampir tidak memiliki peran apapun. Begitu pula
masa Orde Barn dengan jumlah tiga partai politik, masih disebut sebagai sistem multipartai (sederhana),
karena pada masa itu terdapat partai pollitik dominan (yakni Golkar) yang terus berkuasa sepanjang masa
Orde Baru, sehingga kerap disebut sebagai sistem partai hegemonik.
Pada masa transisi, Indonesia juga menerapkan sistem multipartai namun ternyata dalam jumlah
yang sangat ekstrim. Pada Pemilu 1999 tidak kurang dari 148 partai mendaftarkan din, di mana 48 partai di
antaranya menjadi partai peserta pemilu. Dalam Pemilu 2004 memang jumlah partai peserta pemilu
berkurang, tetapi pada sisi lain tidak mengurangi jumlah partai politik yang didirikan kembali setiap
menjelang pemilu. Kendati banyak partai politik yang tidak memperoleh suara signifikan, partai-partai
politik baru terus saja bermunculan. Partai-partai politik yang didirikan itu berasal dari, antara lain, (1)
partai~partai yang tidak lolos electoral threshold pada pemilu sebelumnya; (2) partai baru yang muncul
akibat konflik internal atau perpecahan partai; dan (3) pendirian partai baru yang tidak ada kaitannya
dengan kedua hal sebelumnya.
Akibat banyaknya partai peserta pemilu membuat sistem multipartai yang berjalan di Indonesia
dewasa ini mengalami perluasan fragmentasi, sehingga cenderung memperpanjang proses pengambilan
keputusan di lembaga legislatif. Proses pengambilan keputusan kerap diwarnai oleh negosiasi-negosiasi
politik berorientasi jangka pendek yang cenderung mengabaikan kepentingan publik. Beberapa contoh kasus
yang dipertontonkan oleh anggota Dewan dalam usul penggunaan hak interpelasi dan hak angket, serta
penarikan kembali atasnya memperlihatkan adanya negosiasi-negosiasi politik berorientasi jangka
pendek tersebut. Hal ini akhirnya berdampak pada munculnya kecenderungan perilaku
parlementarianisme di kalangan anggota parlemen di satu pihak, dan tidak efektifnya sistem
presidensial di pihak lain.
Belum terwujudnya sistem pemerintahan presidensial yang efektif antara lain lantaran sistem ini
dikombinasikan dengan sistem pemilu proporsional yang memang memiliki kecenderungan
menghasilkan sistem multipartai. Meskipun sistem distrik diakui dapat menyederhanakan jumlah partai
politik secara alamiah, dewasa ini belum dianggap sebagai pilihan yang tepat bagi bangsa lndonesia.3a
Oleh karena itu, jika diasumsikan bahwa sistem pemilu proporsional masih diberlakukan, naskah
akademik ini merekomendasikan penyempurnaan UU Partai Politik dalam rangka mendesain sistem
multipartai sederhana -dalam pengertian jumlah maupun pengelompokan ideologisnya-dengan tujuan
utama memperkuat dan mengefektifkan sistem pemerintahan presidensial. Salah satu cara utama untuk
mewujudkan sistem multipartai sederhana tersebut adalah dengan menyempumakan sejumlah regulasi
di dalam UU Partai Politik sehingga dapat mengkondisikan partai-partai bisa saling bergabung serta
melakukan koalisi dan kerjasama, baik atas dasar kedekatan ideologi 'dan' platform politik maupun atas
dasar kepentingan pragmatis (winning coalition).
4.2. Problematik UU Partai Politik
4.2.1. Fragmentasi Sistem Kepartaian
Harus diakui bahwa sistem presidensial di Indonesia belum dapat mewujudkan pemerintahan
yang kuat dan efektif. Persoalan lain yang dihadapi dalam sistem kepartaian kita adalah jumlah partai
38 Sistem proposional cenderung meningkatkan fragmentasi partai karena memang sistem ini akan mendorong tumbuhnya partai-partai politik baru sehingga tetap memperbanyak jumlah partai. lni berbeda dengan sistem distrik yang secara alamiah dapat lebih mendorong ke arah integrasi partai-partai politik dan ke arah penyederhanaan partai secara alamiah. lni karena kursi yang diperebutkan dalam setiap distrik hanya satu, sehingga memaksa partai-partai menyisihkan perbedaan-perbedaan yang ada dan mengadakan kerjasama. Meskipun sistem distrik diakui dapat menyederhanakan jumlah partai politik, saat ini belum dianggap sebagai pilihan yang tepat bagi Indonesia, di mana ini terkait dengan kondisi sosio-kultural bangsa Indonesia yang sangat heterogen. Pada kondisi seperti itu, bila menerapkan sistem distrik maka akan membuat golongan-golongan yang ada, terutama kalangan minoritas, akan merasa kurang terakomodir.
politik yang terlalu banyak menimbulkan dilema bagi efektifitas sistem demokrasi, sebab banyaknya
peserta pemilu pada gilirannya mempersulit tercapainya pemenang mayoritas, sementara ketiadaan
partai yang mampu menguasai mayoritas di parlemen merupakan kendala spesifik bagi terciptanya
pememrintahan dan politik yang stabil (stabilitas pemerintahan dan stabilitas politik). sementara itu
diketahui bahwa salah satu kelemahan dari sistem presidensial yang berlangsung pada masa transisi
demokrasi dewasa ini ialah keatiadaan koalisi besar yang permanen di parlemen, sehingga setiap
pengambilan keputusan oleh pemerintah hampr senantiasa mendapat hambatan dan tantangan dari
parlemen yang acapkali hanya merupakan politik "dagang sapi". Dengan demikian strategi penting yang
perlu diambil ialah bagaimana mendorong terbentuknya gabungan atau koalisi partai politik yang
bertindak sebagai oposisi. lni sekaligus sebagai upaya agar sistem ini bisa tetap sejalan dengan prinsip
prinsip checks and balances dan presidensialisme39. Koalisi yang dipraktikkan oleh partai-partai politik
kita dewasa ini cenderung bersifat instant karena lebih berdasarkan kepentingan politik jangka pendek
dan belum berdasarkan platform dan program politik yang disepakati bersama.
Upaya membangun sebuah koalisi partai secara permanen dalam sistem presidensial amat
penting guna membentuk pola hubungan yang sehat antara presiden dengan parlemen pasca pemilu
dalam hal ini presiden akan dijamin dengan dukungan mayoritas di parlemen, selain itu dalam
penentuan kabinet, presiden tidak akan digoyang atau dipaksa melakukan tawar menawar dengan
partai-partai di luar koalisi partai pendukungnya. Kesemuanya itu akan memungkinkan terbentuknya
sebuah pemerintahan presidensial yan kuat dan efektif.
Persoalannya adalah bagaimana cara menciptakan sistem multipartai sederhana agar dalam
prosesnya berjalan secara alami dan tidak sebagaimana terjadi dan dilakukan oleh rezim demokrasi
terpimpin dan orde baru. Salah satu desain untuk dapat menciptakan sistem kepartaian sederhana
adalah dengan tetap memberlakukan electoral treshold (ET). Pada Pemilu 1999 melalui UU No. 2
Tahun 1999 diterapkan ET sebesar 2 persen lalu pada Pemilu 2004 berdasarkan UU No. 12 tahun 2003
batas ET dinaikkan menjadi 3 persen sehingga hanya partai-partai yang memenuhi ketentuan tersebut
yang dapat mengikuti pemilu berikutnya.
Meski batasan ET belum dinaikkan, ternyata belum dapat menyederhanakan sistem kepartaian.
Sebagaimana diketahui jumlah partai politik yang duduk di DPR maupun kontestan pemilu berikutnya
tetap, relatif banyak karena partai-partai yang tidak mempunyai ET masih dimungkinkan untuk mengikuti
pemilu berikutnya dengan cara membentuk partai-partai baru.
39 Tentu saja kita mesti menyadari pula bahwa sistem presidensial mengandung bahaya dapat menjurus ke arah otoritarianisme bila tanpa dibarengi dengan terbangunnya sistem oposisi. Pengalaman Indonesia masa Demokrasi Terpimpin dan masa Orde Baru, cukuplah sebagai pelajaran berharga agar kesalahan serupa tidak terulang kembali, di mana otoritarianisme berkembang akibat penindasan dan pengharaman terhadap oposisi.
Peningkatan ET bertujuan untuk menciptakan penyederhanaan sistem kepartaian dan stabilitas
pemerintahan, sebab bila ET terlalu mndah dianggap menyulitkan partai untuk mencapai mayoritas
suara. Untuk itu perlu di desain formulasi ketentuan ET yang tidak terlalu rendah dan tidak terlalu tinggi,
yakni yang diperkirakan akan menyisakan sekitar lima sampai dengan sepuluh partai yang ikut pemilu
sehingga lebih membuka peluang partai peserta pemilu untuk merebut msyotitas suara di parlemen.
Menyangkut aturan ET ini sebenarnya terdapat dua varian: (i) electoral treshold dalam
pengertian dukungan suara minimal yang mesti diraih oleh partai untuk dapat mendudukan wakilnya di
parlemen, (ii) electoral treshold dalam pengertian dukungan suara minimal yang mesti diraih oleh partai
politik untuk dapat tetap ikut serta dalam pemilu berikutnya. Aturan treshold terakhir yang diterapkan di
Indonesia.
Setiap varian sistem ET yang dipilih mengandung kelebihan dan kekurangan. ET dalam
pengertian pembatasan di parlemen memiliki keuntungan, pertama partai yang gagal ET masih bisa
tidak dibubarkan, dan tetap dapat ikut dalam pemilu berikutnya, kedua mengurangi fragmentasi di
parlemen. Akan tetapi ketentuan ET di parlemen juga mengandung sejumlah kelemahan, diantaranya
ialah dapat berimplikasi pada peningkatan disproposionalitas di dalam sistem perwakilan. lni akibatdari
banyaknya suara terbuang atau tidak terhitung dari partai-partai yang gagal memenuhi ET yang
kursinya diserahkan kepada partai-partai yang berhasil memenuhi ET. Di Polandia misalnya yang
menerapkan ET 5% pada pemilu 1993 telah menyebabkan 34% suara yang terbuang, yakni dari suara
yang dimiliki oleh partai-partai yang memperoleh dukungan kurangdari 5%.40
Kelemahan berikutnya bila sistem ini hendak diterapkan di Indonesia ialah dapat meningkatkan
peluang terjadinya chaos pasca pemilu. Hal ini terkait dengan belum memadainya kedewasaan elite
politik dan masyarakat. Partai-partai yang gagal mencapai ET mungkin akan merasa kerja kerasnya sia
sia karena tidak dapat "menikmati" kursinya di parlemen, sehingga elite semacam itu akan tergoda
untuk memobilisasi massa demi sekadar prates atau memanaskan situasi untuk menciptakan
kestabilan politik. Pertimbangan-pertimbangan inilah yang menyebabkan ET di parlemen agaknya
belum cocok untuk diterapkan di Indonesia.
Sementara ET sebagaimana diterapkan di lndonsia selama ini sebenarnya sudah relatif cocok, namun
kelemahan utamanya ialah partai-partai yang gagal ET masih dapat mengganti nama, sehingga sistem
ini dijadikan semacam "olok-olok", karena partai gagal ET pun pada kenyataannya masih dapat
mengikuti pemilu berikutnya dengan mendirikan partai partai baru dengan berubah nama. Untuk
mencegah hal tersebut maka di masa datang aturannya perlu ditambah dengan melarang partai gagal
4° Kacung Marijan, "Partai Baru, Electoral Threshold dan Masa Depan Sistem Multipartai, Jumal Politika, Vol.2 No.2
Tahun 2006, him. 47-50.
ET untuk berganti nama, sehingga partai tersebut secara permanen tidak dapat berdiri lagi dan tidak
dapat ikut dalam pemilu. Selain itu bermunculannya banyak partai selama ini juga dikarenakan
ketentuan pembentukan partai politik yang terlalu mud ah. Persyaratan pembentukan partai yang terlalu
mudah jelas akan mendorong para elite politik tetap membentuk partai-partai baru setiap menjelang
pemilu.
4.2.2. Lemahnya Pelembagaan Partai Politik
Salah satu problematik partai-partai politik di Indonesia dewasa ini adalah belum terlembaganya
partai sebagai organisasi moderen. Yang dimaksud dengan pelembagaan partai politik, adalah proses
pemantapan sikap dan perilaku partai politik yang terpola atau sistemik sehingga terbentuk suatu
budaya politik yang mendukung prinsip-prinsip dasar siistem demokrasi. Dalam konteks pembangunan
politik, yang terpenting bukanlah jumlah partai yang ada, melainkan sejauh mana kekokohan dan
adaptabilitas sistem kepartaian yang berlangsung. Suatu sistem kepartaian disebut kokoh dan
adaptabel kalau ia mampu menyerap dan menyatukan semua kekuatan sosial barn yang muncul
sebagai akibat modemisasi. Dari sudut pandang ini, jumlah partai hanya akan menjadi penting bila ia
mempengaruhi kapasitas sistem untuk membentuk saluran-saluran kelembagaan yang diperlukan guna
menampung partisipasi politik.
Sistem kepartaian yang kokoh sekurang-kurangnya hams memiliki dua kapasitas. Pertama,
melancarkan partisipasi politik melalui jalur partai, sehingga dapat mengalihkan segala bentuk aktivitas
politik anomik dan kekerasan dari jalanan ke dalam partai politik. Kedua, mencakup dan menyalurkan
partisipasi sejumlah kelompok yang barn dimobilisasi, yang dimaksudkan untuk mengurangi kadar
tekanan yang dihadapi oleh sistem politik. Dengan demikian, sistem kepartaian yang kuat menyediakan
organisasi-organisasi partai yang mengakar dan prosedur yang melembaga guna mengasimilasikan
kelompok-kelompok barn ke dalam sistem politik.
Persoalan lain yang dihadapi sistem kepartaian adalah belum berjalannya secara maksimal
fungsi-fungsi yang dimiliki oleh partai politik, baik fungsi partai politik terhadap negara maupun fungsi
partai politik terhadap masyarakat. Di antara fungsi partai terhadap negara adalah jaminan menciptakan
pemerintahan yang efektif dan adanya kekuatan kontrol (oposisi) terhadap pemerintahan yang
berkuasa. Sementara fungsi partai politik terhadap masyarakat, antara lain, adalah memperjuangkan
kepentingan, aspirasi, dan nilai-nilai pada masyarakat serta memberikan perlindungan dan rasa aman.
Partai politik juga belum memberikan pendidikan politik yang baik dan melakukan pengkaderan serta
rekruitmen politik yang demokratis sehingga menghasilkan keder-kader calon pemimpin yang memiliki
kemampuan.
Sistem kepartaian yang ada juga masih menghadapi derajat kesisteman yang rendah serta kurang
mengakar dalam masyarakat, struktur organisasi partai yang tidak stabil yang tidak mengacu pada
AD/ART, dan citra partai di mata publik yang masih relatif buruk. Selain itu, partai politik yang ada pada
umumnya cenderung pada tipe partai politik kharismatik dan klientelistik ketimbang partai programatik.
Lemahnya pelembagaan partai politik di Indonesia, terutama disebabkan oleh belum munculnya
pola partai kader. Dalam sejarahnya sebagian besar partai di Indonesia belum terbiasa dengan
peng,embangan partai kader. Partai politik cenderung tergoda untuk membangun partai massa yang
memiliki ciri-ciri: hanya sibuk menjelang pemilu, menganut sistem keanggotaan yang amat longgar
sekaligus berarti tidak memiliki sistem seleksi dan rekruitmen kenggotaan yang ketat, tidak memiliki
sistem pengembangan kaderisasi dan kepemimpinan yang kuat.
Partai massa memiliki kelemahan menyolok menyangkut kurang intensifnya kerja partai.
Sepanjang tahun sebagian besar kantor partai hampir tidak memiliki agenda kegiatan yang berarti.
Padahal, partai politik semestinya merupakan suatu kelompok terorganisir yang anggota-anggotanya
mempunyai orientasi, nilai-nilai, serta cita-cita yang sama, dan yang mempunyai tujuan untuk
memperoleh kekuasaan politik dan melalui kekuasaan politik itu memperjuangkan kepentingan
rakyat. lni membuat partai tidak memiliki program yang jelas dalam hal bagaimana melakukan pendidikan
politik bagi masyarakat, melakukan artikulasi kepentingan, melakukan agregasi kepentingan, dan
membangun sosialisasi politik dan komunilkasi politik untuk menjembatani rakyat dengan pemerintah.
Partai politik dengan demikian seolah hanya terfokus pada fungsi rekruitmen politik dan sekaligus hanya
sibuk mengumpulkan massa bila mendekati pemilu. Keanggotaan yang terlalu longgar pada partai massa
akan menyebabkan partai politik sering kali gagal membangun kader-kader yang berdedikasi kuat sekaligus
memiliki karakter, sehingga tidak jarang kita melihat anggota partai yang tidak memiliki disiplin, atau
mungkin pengurus partai yang dengan mudahnya lompat pagar ke partai politik lain.
Belum munculnya kemandirian partai juga terkait dengan ketiadaan sumber pendanaan yang
memadai di luar iuran anggota dan subsidi negara. luran anggota pada sebagian besar partai relatif
tidak berjalan karena partai umumnya bersifat massa dan juga lemahnya mekanisme hadiah dan
ganjaran di dalam internal partai. lni mengakibatkan partai-partai senantiasa tergantung atau berharap
sumbangan dari pihak lain, baik pribadi atau perusahaan. Akibatnya, partai-partai yang memperoleh
jabatan publik lebih sibuk mencari dana bagi pundi-pundi partai ketimbang memperjuangkan kepentingan
rakyat.
Hal lain yang turut serta menyokong lemahnya pelembagaan partai politik adalah mudahnya syarat
bagi pembentukan partai politik. UU No. 31 Tahun 2002 menyebutkan bahwa "Partai politik didirikan dan
dibentuk oleh sekurang-kurangnya 50 (limapuluh) orang warga negara Republik Indonesia yang telah
berusia 21 (dua puluh satu) tahun dengan akte notaris". Dari ketentuan itu terlihat bahwa pendirian
atau pembentukan partai mudah dilakukan karena cukup mengumpulkan 50 orang, sehingga
mendorong setiap orang atau kelompok untuk mendirikan partai politik.
Untuk diketahui bahwa partai politik berdiri menjelang Pemilu 1999 mencapai 184 partai. Dari
juml1ah tersebut, 148 mendaftarkan diri ke Departemen Hukum dan HAM, dan 141 di antaranya
memperoleh pengesahan sebagai partai politik. Dari jumlah tersebut, setelah melalui seleksi, yang
memenudi syarat ikut Pemilu 1999 hanya 48 partai politik41. Dalam rangka menghadapi Pemilu 2004,
pendirian partai politik semakin menjamur. Tercatat kurang lebih 200 partai yang berdiri, yang
merupakan akumulasi dari jumlah partai politik yang didirikan semenjak awal reformasi. Dari jumlah
tersebut, tercatat hanya 50 partai politik yang memperoleh pengesahan sebagai partai politik,
sedangkan sebagian besar tidak lolos sebagai partai politik yang berbadan hukum. Dari jumlah 50
partai politik tersebut, yang lolos sebagai peserta Pemilu 2004 hanya 24 partai politik.42
4.2.3. Kepemimpinan Partai yang Sentralistis dan Tidak Akuntabel
Hampir sebagian besar partai politik menghadapi masalah sentralisasi yang terlalu kuat di dalam
organisasi partai. lni antara lain ditandai oleh sentralisasi dalam pengambilan keputusan di tingkat
pengurus pusat (OPP) dan pemimpin partai, khususnya ketergantungan kepada figur ketua umum
partai. Hal demikian sekaligus telah membuat kedaulatan dan wibawa pengurus partai di daerah
menjadi lemah, sehingga kepengurusan partai di daerah sering kali tidak memiliki otonomi dan harus
rela menghadapi berbagai bentuk intervensi dari pengurus pusat partai.
Masalah kredibilitas kepemimpinan partai menjadi semakin kompleks tatkala pada kenyataannya
banyak pimpinan partai gagal mengembangkan asas kolegial dan profesionalitas dalam
kepemimpinannya. Banyak pimpinan partai masih berlaku sebagai manajer dan belum sebagai leader,
sehingga banyak di antaranya yang hanya sibuk menjelang pemilu atau pilkada. Selain itu, persoalan
profesionalitas kerap kali diganggu pula oleh kasus rangkap jabatan ketua umum partai dengan jabatan
sebagai pejabat publik, sehingga telah menimbulkan problem konflik kepentingan yang akhirnya
merugikan kepentingan publik.
Problem lain yang dihadapi oleh partai politik di Indonesia adalah masih sedikitnya keterwakilan
perempuan dalam kepengurusan partai politik. Sedikitnya keterwakilan perempuan tersebut, antara lain,
disebabkan oleh faktor kultural dan struktural. Faktor kultural berkaitan dengan kuatnya budaya patriaki
di mana kehidupan politik praktis merupakan domain llaki-laki, sementara di lain pihak juga terdapat
kenyataan mengenai tidak cukup banyak perempuan yang tertarik memasuki bidang politik. Sedangkan
41 Lihat Tim Kompas, Partai Politik Indonesia: ldeologi, Strategi, dan Program, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 1999.
42 Lihat Tim Kompas, Partai Politik Indonesia: ldeologi dan Program 2004-2009, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2004.
faktor struktural berkaitan dengan masih belum mendukungnya sistem yang ada untuk memberikan
kesempatan bagi perempuan untuk terlibat secara optimal dalam politik.
UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilu sebenarnya sudah lebih maju yakni dengan
mencantumkan aturan bahwa partai politik dapat mencalonkan 30% calon anggota legislatif perempuan
di parlemen43. Namun problem yang dihadapi oleh partai-partai politik adalah kurangnya ketersediaan
sumberdaya caleg perempuan
dari internal kepengurusan partai politik sehingga partai politik lalu mengambilnya dari luar partai politik.
Salah satu penyebabnya ialah karena di dalam kepengurusan partai tingkat keterwakilan perempuan
masih relatif rendah. Oleh karena itu, dalam rangka mengatasi hal tersebut perlu peningkatan
keterwakilan perempuan secara proporsional, baik sejak pembentukan partai maupun di dalam
kepengurusannya.
4.3. Cakupan Revisi UU Partai Politik
4.3.1. Pembentukan Sistem Multipartai Sederhana
Dalam rangka menciptakan pemerintahan yang kuat, stabil dan efektif maka desain sistem
kepartaian semestinya mengarah pada sistem multipartai sederhana. Salah satu alasan terpenting ialah
bahwa di dalam sistem multipartai sederhana dapat dihasilkan tingkat fragmentasi yang relatif rendah
pula di parlemen, yang pada gilirannya dapat mengkondisikan terciptanya proses pengambilan
kebijakan/keputusan yang relatif tidak berlarut-larut.
Untuk dapat menyederhanakan sistem kepartaian dapat dilakukan melalui beberapa cara, yakni:
memperberat aturan pembentukan partai politik baru; memperketat persyaratan bagi partai peserta
pemilu; dan mengkondisikan pelembagaan koalisi partaL
4.3.1.1. Memperberat Persyaratan Pembentukan Partai Baru
Upaya menyederhanakan sistem kepartaian antara lain dapat dilakukan dengan memperberat
ketentuan pembentukan partai politik baru, yakni peningkatan persyaratan jumlah warga negara yang
dapat membentuk partai, dan pemberlakuan larangan bagi partai gaga! ET untuk berganti nama
sebagai partai baru.
UU Partai Politik No. 31 Tahun 2002 mengatur bahwa "Partai politik didirikan dan dibentuk oleh
sekurang-kurangnya 50 (limapuluh) orang warga negara Republik Indonesia yang telah berusia 21 (dua
puluh satu) tahun dengan akte notaris" .. Syarat minimal 50 orang untuk mendirikan partai tersebut tentu
terlalu ringan untuk negara seperti Indonesia yang berpenduduk lebih dari 220 juta jiwa. Oleh karena itu
43 Meski aturan keterwakilan perempuan untuk menjadi calon legislatif ditentukan minimal 30%, ternyata mereka yang terpilih menjadi anggota dewan masih kecil. Hal ini terlihat dari jumlah keterwakilan perempuan di DPR yang hanya sekitar 11 %.
perlu ditingkatkan menjadi minimal 500 (lima ratus) orang bila ingin mendirikan partai. Perlunya
peningkatan persyaratan tersebut dalam rangka untuk mengurangi "nafsu" politisi untuk membentuk
partai-partai baru yang acapkali sekadar "papan nama" saja.
Sementara itu, UU No. 12/2003 tentang Pemilu telah mematok angka ET tiga persen, sehingga
hanya partai yang meraih suara tiga persen dalam Pemilu 2004 yang bisa mendapat 'tiket' untuk
mengikuti Pemilu 2009 tanpa perlu lagi menjalani proses verifikasi. Namun pengalaman dari ketentuan
ET pada pemilu sebelumnya, partai yang tidak lolos biasanya hanya berganti nama, lalu mengajukan
pendirian partai baru dengan terdiri dari para politisi partai lama yang sebelumnya gagal ET. Dengan
demikian, aturan baru hendaknya memperketat praktik manipulasi semacam ini. Hal itu dapat dilakukan
antara lain dengan melarang partai gaga! ET untuk berganti nama dan pengurusnya juga dilarang
membentuk partai baru untuk mengikuti pemilu berikutnya.
4.3.1.2. Memperketat Syarat Partai Peserta Pemilu
Dalam rangka membangun sistem multipartai sederhana maka UU Partai Politik semestinya
makin memperketat persyaratan bagi partai peserta pemilu, antara lain dengan meningkatkan
persyaratan ET, memberlakukan tenggat pendirian partai, dan deposit dana bagi partai baru.
Salah satu instrumen untuk mendorong terbentuknya sistem kepartaian sederhana ialah dengan
meningkatkan atau memperketat ketentuan electoral threshold (ET) dari 3% menjadi 5% pada Pemilu
2014. Angka ET 5% sekaligus sebenarnya relatif moderat. Patokan angka ET yang terlalu tfnggi akan
bertentangan dengan filosofi sistem proporsional yang cenderung memberi ruang bagi partai-partai
kecil. Selain itu, aturan ET yang terlampau tinggi juga akan menimbulkan "potensi suara hilang" dalam
sistem proporsional, yakni dalam bentuk peningkatan angka "golput". Hal ini mengingat sistem
proporsional tidak berkemampuan menyederhanakan kelompok-kelompok masyarakat yang heterogen,
sehingga bagi konstituen yang merasa tidak memiliki pilihan maka mereka akan cenderung mengambil
sikap golput.
Di sisi lain, secara logis setiap partai yang baru dibentuk memerlukan waktu yang cukup untuk
mensosialisasikan kepentingan-kepentingan yang diperjuangkannya, begitu pula keanggotaan dan
dukungan yang diperlukannya. Oleh karena itu hendaknya setiap partai baru hanya dapat mengikuti
pemilu jika telah terbentuk lima tahun sebelumnya. lni penting bukan hanya menghindari munculnya
partai-partai instant, melainkan juga agar partai-partai politik baru tersebut memiliki waktu dan
persiapan yang cukup sehingga benar-benar siap untuk berkompetisi dalam pemilu.
Sementara itu dalam rangka mendorong lahirnya partai-partai yang mandiri dan mengurangi
"nafsu" politisi untuk membentuk partai-partai baru, maka perlu ada kewajiban bagi partai baru peserta
pemilu untuk menyerahkan dana deposit sebesar Rp 50 miliar kepada negara melalui KPU. Apabila
partai peserta pemilu tersebut memenuhi ET maka dana deposit tersebut dikembalikan kepada partai
yang bersangkutan, namun bila tidak maka dana tersebut menjadi milik negara.
4.3.1.3. Pelembagaan Koalisi/Gabungan Partai
Selama ini koalisi yang terbangun di parlemen atau dalam pencalonan presiden dan wakil
presiden tidak bersifat permanen karena lebih didasarkan pada kebutuhan pencalonan belaka. Untuk
itu di masa datang perlu pembentukan koalisi permanen, di mana partai-partai yang berkoalisi
membuat konsensus atau kontrak tertulis yang bersifat notariat dan berisi kesepakatan tentang platform
bersama, prioritas program bersama, pembagian kekuasaan intra dan ekstra organisasi koalisi, dan
sebagainya. Kontrak tersebut bersifat mengikat secara politik bagi pihak-pihak yang bersepakat,
sehingga perlu pula keharusan pengaturan jika salah satu pihak menarik dirt dari kesepakatan.
Oleh karena itu perlu dibuat aturan yang dapat mengkondisikan partai-partai politik melakukan
koalisi secara formal. Aturan itu di antamya ialah: (i) Partai-partai harus memikirkan mitra koalisinya
jauh-jauh hari sebelum pemilihan legislatif dan atau pemilihan presiden dilangsungkan; (ii) Koalisi
dibangun berdasarkan kedekatan ideologi dan platform serta pertimbangan pragmatis kepentingan
(winning coalition). Pembentukan koal1isi permanen yang dilakukan sebelum pemilu perlu dilakukan
agar sistem multipartai tidak terjebak pada executive-power sharing yang menjurus pada demokrasi
konsensus (baca: kompromistis). Dengan mengkondisikan partai untuk mencari mitra koalisinya sebelum
pemilu sekaligus akan menghindari terjadinya politik dagang sapi pasca-pemilu yang berakibat pada
ketidakstabilan pemerintahan di kemudian hari.
4.3.2. Pelembagaan Partai Politik yang Efektif dan Kredibel
4.3.2.1. Mendorong Pengembangan Partai Kader
Partai politik perlu didorong untuk lebih membangun partai kader, setidaknya kombinasi partai
kader dan partai massa. Selain itu, sistem keanggotaan partai politik perlu didorong agar lebih ketat
sehingga terbangun disiplin internal partai. Guna lebih memantapkan pembentukan partai kader, maka
underbouw partai politik -yang biasanya berfungsi sebagai alat mobilisasi massa-tidak tidak dibutuhkan
lagi, sehingga terdapat pembatasan yang jelas antara political society dengan civil society. Underbouw
memang merupakan fenomena tersendiri dalam sejarah partai politik di Indonesia. lni karena dahulu
partai-partai dibentuk, dimulai dari ormas-ormas yang kemudian berubah menjadi partai politik.
Selain itu, partai politik juga semestinya dilarang memiliki Satuan Tugas (Satgas) yang menyerupai
simbol-simbol dan atribut militer dan atau aparat negara. Penggunaan simbol-simbol dan atribut militer
oleh partai politik justru cenderung makin memperburuk citra partai seolah-olah sebagai organisasi yang
diperkenankan menggunakan kekerasan, padahal kegiatan seperti itu bukan esensi aktivitas partai
politik.
4.3.2.2. Kewajiban Merealisasikan Fungsi Partai Poliitik
Dalam upaya untuk mendorong agar partai politik melaksanakan fungsinya secara maksimal,
maka partai-partai sebenarnya wajib mereasliasasikan fungsi-fungsi yang diembanya. Di antara
kewajiban partai politik untuk menjalankan fungsi-fungsinya tersebut di antaranya meliputi fungsi
pendidikan politik, artikulasi dan agregasi kepentingan, komunikasi politik, serta pengkaderan dan
rekruitmen politik.
4.3.2.3. Pendanaan Partai
Guna mendorong partai-partai untuk memiliki sumber pendanaan yang memadai di luar subsidi
yang diberikan negara, barangkali sudah waktunya memperkenankan partai memiliki perusahaan
sendiri ataupun kepemilikan saham dalam perusahaan. Dengan demikian pula secara berangsur untuk
jangka menengah dan panjang maka subsidi negara bagi partai dapat dikurangi.
Namun demikian pemberian peluang kepemilikan perusahaan atau saham perusahaan ini tentu
perlu disertai dengan batasan dan kontrol yang sangat ketat. Oleh karena itu dalam rangka untuk
menghindari penyalahgunaan sumbangan perusahaan dan simpatisan perlu diaudit oleh Akuntan Publik
dan diawasi oleh PPATK dan KPPU atas permintaan KPU. Selain itu juga perusahaan (badan usaha}
yang dimiliki oleh partai politik wajib diaudit oleh Akuntan Publik dan diawasi oleh PPATK dan KPPU atas
permintaan KPU. Dalam hal ini perlu kewenangan lebi!h luas kepada KPU dalam pemberian sanksi
termasuk dalam menindaklanjuti potensi manipulasi keuangan politik dengan melibatkan eksternal
auditor atau BPK. Selain itu perlu ada peran koordinatif antara KPU, Depdagri serta instansi terkait
seperti BPK, KPK, Kejaksaan, Kepolisian dan Kehakiman dalam rangka menindaklanjuti pelanggaran
partai terkait keuangan politik.
4.3.3. Kepemimpinan Partai yang Demokratis dan Akuntabel
4.3.3.1. Otonomi dan Desentralisasi Partai
Dalam rangka mengurangi sentralisasi pengambilan keputusan di tingkat pengurus pusat (OPP}
dan/atau pemimpin partai, perlu ada otonomi dari desentralisasi partai politik. Otonomi dan
desentralisasi akan membantu meningkatkan kedaulatan dan wibawa pengurus partai di daerah
sekaligus untuk mengurangi sentralisasi dan ketergantungan partai pada figur ketua umum. Di sisi lain,
hal ini juga akan mengurangi munculnya figur pemimpin yang klientelistik dan kharismatis, dan
sebaliknya mendorong muncul pimpinan partai yang institusional dan berbasis pada program.
Otonomi dan desentralisasi organisasi partai dapat dilakukan di antarnya dengan: (i) menegakkan
kedaulatan anggota atas partai dalam menentukan kepemimpinan partai serta pengambilan
kebijakan/keputusan partai; (ii) memberikan kewenangan kepada pengurus partai di daerah untuk
menentukan kebijakan daerah; dan (iii) memberikan kewenangan kepada pengurus partai di daerah
untuk menentukan caleg, calon kepala daerah, dan kepengurusan partai.
4.3.3.2. Profesionalisme Pimpinan Partai
Untuk mendorong terwujudnya profesionalisme pimpinan partai dan menghindari conflict of
interest maka perlu dibuat aturan larangan bagi pengurus partai untuk merangkap jabatan sebagai
pejabat publik. Di tingkat pusat, pimpinan partai dilarang merangkap jabatan untuk posisi sebagai
presiden, wapres, menteri negara, jaksa agung, Ketua MA, Kepala BIN, dan jabatan-jabatan lain di
dalam lingkup jajaran eksekutif. Sedangkan untuk pengurus partai di tingkat Provinsi, Kabupaten/Kota
dilarang merangkap menjabat sebagai gubemur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil
walikota.
4.3.4. Peningkatan Keterwakilan Perempuan
Dalam rangka meningkatkan keterwakilan perempuan dalam parlemen, langkah awal yang
mesti dilakukan adalah terlebih dahulu dengan meningkatkan keterwakilan perempuan, baik dalam
pembentukan, kepengurusan, maupun dalam pencalonan legislatif. UU Partai Politik semestinya mulai
mengatur keterwakilan minimal 30 persen perempuan sejak pembentukan partai. Begitu pula di dalam
kepengurusan partai, baik di tingkat pusat (OPP Partai Politik) maupun di tingkat daerah (kepengurusan
di tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota). lni perlu dilakukan karena selama ini tingkat keterwakilan
perempuan dalam kepengurusan partai masih rendah. Sedangkan keterwakilan 30 persen perempuan
dalam pencalonan legislatif yang sudah diakomodasi di dalam UU Pemilu sebelumnya perlu disertai
dengan sanksi yang jelas bagi partai-partai yang tidak mematuhinya.
4.4. Matriks Revisi UU Partai Politik
No Arah dan Agenda Usulan Pengaturan Argumentasi Tujuan Penyempumaan
1. Penyederhanaan Pembentukan • Partai baru minimal harus • Berbagai pengetatan
sistem sistem multipartai didirikan oleh 500 orang. dalam aturan
kepartaian sederhana, yakni • Kepengurusan partai pembentukan partai
sederhana dalam pusat da11 daerah minimal baru dimaksudkan untuk
jumlah partai, dan terdiri dari: ketua, sekretaris, rnengurangi "nafsu"
sederhana dalam bendahara, dan ketua- politisi untuk membentuk
pengelompokan ketua departemen. partai-partai baru setiap
ideologis Partai politik yang baru menjelang pemilu.
boleh ikut pemilu bila • T erlalu banyaknya partai
minimal sudah berusia 5 peserta pemilu
tahun dari sejak didirikan mempersulit munculnya
atau dibentuk. partai yang mampu
• Partai peserta pemilu menguasai mayoritas di
diharuskan menyerahkan parlemen, sehingga
deposit dana sebesar Rp5 menjadi kendala bagi
miliar kepada negara terciptanya pemerintahan
yang dititipkan melalui dan politik yang stabil
KPU. Dana tersebut • ET 5 persen diharapkan
dikembalikan bila partai lebih efektif, karena
memenuhi ET. Bagi partai masih ada sekitar 5-6
yang tidak mencapai ET, peserta pemilu dan lebih
deposit tersebut menjadi membuka peluang bagi
milik negara partai untuk merebut
mayoritas suara.
• Mendorong terjadinya
koalisi partai di daerah-
daerah yang sama
dengan koalisi partai di
tingkat nasional.
• Dalamjangka panjang
idealnya terbentuk sistem
I dwi oartai
2. Penguatan Mendorong • Pelembagaan kewajiban • Pola partai massa
pelembagaan lahirnya partai parpol untuk menjalankan hanya sibuk menjelang
partai politik kader - setidaknya fungsi-fungsi pendidikan pemilu, sistem
kombinasi partai politik, artikulasl/agregasi keanggotaan yang amat
kader-massa- yang kepentingan, komunikasi longgar, tak ada seleksi
memahami dan politik, pengkaderan dan ketat dalam rekruitmen
melaksanakan rekruitmen. kenggotaan, tak memiliki
fungsi-fungsinya • Sebagai konsekuensi partai sistem pengembangan
dengan baik, serta kader, partai dilarang kaderisasi dan pemimpin
memiliki memiliki u11derbouw. yang kuat. Akibatnya,
kemandirian dana. • Partai hanya boleh partai gagal
mengefektifkan cabang dan membangun kader-
ranting-rantingnya. kader yg berdedikasi
• Satgas partai dilarang sekaligus berkarakter.
menyerupai simbol-simbol dan • Guna lebih mengarah
atribut militer. pada sistem partai
• Partai dituntut untuk kader, maka underbouw
memperketat sistem dan pola partai politik tak
rekruitmen keanggotaan dibutuhkan lagi, agar
partai; terdapat pembatasan
• Membangun sistem yang jelas antara
kaderisasi dan political society dengan
kepemimpinan; civil society. Parpol
• Partai dituntut memiliki harus dibedakan dengan
program yang jelas dalam ormas.
memenuhi fungsi-fungsinya; • Dengan memiliki
• Mendorong partai-partai kemandirian dana, partai
memiliki sumber pendanaan juga tak lagi disibukkan
yang memadai di luar subsidi oleh kebutuhan mencari
yang diberikan negara; "cantolan" ke penguasa
sehingga intervensi
pepengurusan partai
oleh penguasa juga
daoat dioerkecil.
• Sumbangan ~ Di sisi lain,kehidupan
perusahaan dan demokrasi akan
simpatisan diaudit oleh terancam bila parpol
Akuntan Publik dan lebih terikat kepada
diawasi oleh PPATKdan kepentingan donatur
KPPU atas permintaan parpol.
KPU. • Adanya sumber
• Partai atau caleg tidak keuangan partai yang
boleh menggunakan berasal dari bantuan
dana diluar dana negara, mendorong
kampanye partai politik; orang-orang tertentu
• Audit meliputi rnembuat partai semata-
pemasukan maupun mata untuk mendapat
pengeluaran bantuan dana saja.
partai/caleg;
• Segenap aturan mesti
diikuti dengan
pemberian sanksi
yang tegas &
dilaksanakan: baik
berupa sanksi denda,
sanksi administratif
(termasuk sampai
ke pembubaran
partai) oleh Panwas, I maupun sanksi pidana.
3. Membangun • Oesentraliasi • Meningkatkan • Mengurangi sentralisasi
kepemimpinan kewenangan kedaulatan anggota dan ketergantungan
partai yang partai atas partai dalam partai pada figur ketua
demokratis, • Pelembagaan menentukan umum .
akuntabel, dan demokratisasi kepemimpinan partai • Mengurangi munculnya
berkarakter internal partai serta pengambilan figur pemimpin yang
• Peningkatan kebijakan/keputusan clientelistik dan oligarkis,
keterwakilan partai. sebaliknya mendorong
perempuan • Melarang pengurus muncul pimpinan partai
partai untuk yangberbasis pada
merangkap jabatan program.
sebagai pejabat • Ketergantungan pada
publik (Presiden, OPP dan khususnya
wapres, menteri ketua umum telah
negara, Jaksa menyebabkan berbagai
Agung, Ketua MA, kasus intervensi pusat
Kepala BIN, dan ke daerah, dan
jabatan-jabatan di sekaligus enghambaU
lingkungan lembaga melecehkan aspirasi
eksekuti~. daerah.
Pengurus partai di • Adanya rangkap
tingkat Provinsi, jabatan dapat
Kabupaten/Kota menimbulkan conflict of
dilarang merangkap interest Selain itu,
menjadi larangan rangkap jabatan
Gubemur/Wakil dapat meningkatkan
Gubemur, Bupati!Wakil profesionalitas pimpinan
Bupati, dan partai.
WalikotaMlakil Walikota. • lntervensi oleh OPP
• Peningkatan telah membuat
keterwakilan mandeknya demokrasi
perempuan dalam partaididaerah,serta
pembentukan partai dan meningkatkan perasaan
keoenaurusan oartai kekecewaan dan frustrasi
• Desentralisasi yang berujung pada
sebagian kewenangan perpecahan internal
partai ke pengurus partai partai.
tingkat daerah: (i) • Desentralisasi
Memberikan kewenangan akan
kewenangan kepada memperkuat basis partai
pengurus partai di dantanggungjawab
daerah untuk pengurusa lokal;
menentukan kebijakan • Untuk meningkatkan
daerah; (ii) keterwakilan perempuan
Memberikan dalam parlemen, salah
kewenangan kepada satu langkah awal yang
pengurus partai di dilakukan adalah
daerah untuk dengan meningkatkan
menentukan Penentuan keterwakilan 30%
caleg, penentuan calon perempuan dalam
kepala daerah, dan pembentukan dan
kepengurusan partai; kepengurusan partai di
• Perlu meningkatkan semua tingkat.
keterwakilan
perempuan dalam-
pembentukan dan
kepengurusan partai
minima~ 30% baik
pengurus di tingkat
pusat maupun
daerah(propinsi dan
kabupaten/kota).