naskah akademik rancangan undang·undang...

86
NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG·UNDANG MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT,DEWAN PERWAKILAN DAERAH DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

Upload: others

Post on 08-Dec-2020

19 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG·UNDANG ...berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200812...2020/08/12  · peninggalan Demokrasi Terpimpin (1959-1965) dan Orde Baru (1966-1998)

NASKAH AKADEMIK

RANCANGAN UNDANG·UNDANG

MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN

RAKYAT,DEWAN PERWAKILAN DAERAH DAN DEWAN PERWAKILAN

RAKYAT DAERAH

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

Page 2: NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG·UNDANG ...berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200812...2020/08/12  · peninggalan Demokrasi Terpimpin (1959-1965) dan Orde Baru (1966-1998)

I. Pendahuluan

MENUJU SISTEM

PEMERINTAHAN PRESIDENSIAL

YANG DEMOKRA TIS, KUAT DAN EFEKTIF

Sejak reformasi 1998 bangsa Indonesia telah berhasill menyelenggarakan dua momentum pemilihan

umum (pemilu) yang bebas dan demokratis, yakni pada 1999 dan 2004. Pada pemilu terakhir (2004)

untuk pertama kalinya sepanjang sejarah politik Indonesia moderen bahkan telah diselenggarakan

pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat. Sejak Juni 2005, lebih dari 250

kabupaten, kota, dan propinsi telah menyelenggarakan pemilihan kepala dan wakil kepala daerah

secara langsung. Kemampuan bangsa kita menyelenggarakan Pemilu 2004 yang begitu kompleks dan

rumtt bahkan dipuji dunia internasional sebagai pemilu yang sangat berhasil, sehingga Indonesia disebut

sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia sesudah India dan Amerika Serikat.

Namun demikian, alih-alih sebuah Indonesia baru yang lebih adil dan sejahtera yang dirasakan

mayoritas rakyat, bangsa kita justru terperangkap ke dalam transisi politik berkepanjangan yang tak

kunjung mengarah pada suatu demokrasi substansial yang terkonsolidasi. Bangunan sistem politik dan

pemerintahan produk reformasi 1998 dan empat tahap perubahan (amandemen) UUD 1945 pada 1999-

2002, tidak kunjung menghasilkan pemerintahan yang bersih dan efektif, serta para penyelenggara

negara yang lebih amanah dan akuntabel.

Persoalannya, pemilu yang berlangsung secara bebas dan demokratis hanya sekadar pembeda

antara sistem demokrasi dan sistem otoriter. Untuk sebagian sarjana seperti Larry Diamond (1999)1,

pemilu bebas dan adil yang dilakukan berkala, meskipun memenuhi aspek kompetisi dan partisipasi,

hanya menjanjikan "demokrasi elektoral" {electoral democracy) yang secara kategoris berbeda dengan

"demokrasi liberal" (liberal democracy), ataupun demokrasi substansial. Lebih jauh Diamond

merumuskan bahwa "demokrasi elektoral adalah sebuah s1istem konstitusional yang menyelenggarakan

pemilu multipartai yang kompetitif dan teratur dengan hak pilih universal untuk memilih anggota legislatif

dan kepala eksekutif'. Mengutip Coller dan Levitsky, Diamond mengidentifikasi sistem demikian

sebagai "demokrasi prosedural" yang diperluas2.

Bangunan sistem politik dan pemerintahan yang tidak efektif memang bukan semata-mata produk

reformasi 1998 dan amandemen konstitusi 1999-2002. la sebagian berakar pada tiga warisan persoalan

besar masa lalu, yaitu struktur ekonomi-politik kolonial Belanda yang sangat menindas, sistem monarki-

1 Larry Diamond, Developing Democracy: Toward Consolidation, Baltimore and London: The John Hopkins University Press, 1999.

2 Diamond, Ibid, hal 11.

Page 3: NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG·UNDANG ...berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200812...2020/08/12  · peninggalan Demokrasi Terpimpin (1959-1965) dan Orde Baru (1966-1998)

feodal yang memperhambakan rakyat kepada periguasa feodalistik, dan struktur politik otoriter

peninggalan Demokrasi Terpimpin (1959-1965) dan Orde Baru (1966-1998) yang menafikan kedaulatan

rakyat. Ketiga warisan persoalan tersebut secara bersama-sama dan akumulatif tak hanya

melembagakan tidak adanya saling percaya di antara berbagai elemen bangsa dan minimnya tradisi

konsensus, melainkan juga berdampak pada munculnya pilihan-pilihan politik yang bersifat ambigu

serta tidak konsisten, sehingga sejarah politik bangsa hampir selalu terperangkap ke dalam pencariari

yang bersifat trial and error. Hal ini tercermin dalam tarik-menarik tak berkesudahan antara pilihan

bentuk negara kesatuan vs federal, sistem ekonomi pasar vs ekonomi sosialis-kerakyatan, sistem

pemerintahan presidensial vs parlementer, dan seterusnya.

Reformasi 1998-1999 semestinya merupakan momentum emas bagi bangsa Indonesia untuk

menata kembali arah kehidupan bangsa sesuai semangat proklamasi dan amanat Pembukaan UUD

1945, yaitu cita-cita persatuan, demokrasi, keadilan dan kesejahteraan rakyat. Begitu pula empat tahap

amandemen atas UUD 1945 seharusnya menjadi kesempatan strategis bagi wakil-wakil rakyat hasil

Pemilu 1999 untuk menata ulang sistem politik dan pemerintahan ke dalam suatu bangunan politik yang

kokoh, efektif, dan produktif.

Namun ironisnya, sistem politik dan pemerintahan produk amandemen konstitusi bukan saja

masih melembagakan kerancuan pilihan formal presidensialisme di satu pihak dan praktik

parlementarianisme di pihak lain, melainkan juga mewariskan tata-kelola pemerintahan yang ternyata

tidak efektif. Dalam kaitan ini, paling kurang ada tiga kelemahan mendasar pada hasil amandemen yang

dilakukan Sadan Pekerja MPR atas UUD 1945. Pertama, proses amandemen cenderung terjebak pada

kepentingan jangka pendek dari elite partai-partai di parlemen. Kedua, kualitas dan substansi

perubahan cenderung inkonsisten dan tambal-sulam satu sama lain. Dan ketiga, format legal drafting

perubahan yang tidak sistemik dan tak terpola serta membingungkan sehingga menyulitkan

pemahaman atasnya sebagai hukum dasar3.

Dalam konteks substansi hasil amandemen, di satu pihak hendak dibangun sistem pemerintahan

presidensiil yang kuat, stabil, dan efektif, namun di sisi lain obsesi besar tersebut tidak didukung oleh

struktur perwakilan bicameral yang kuat pula. Kedudukan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang

semestinya merupakan salah satu "kamar" dari sistem perwakilan dua-kamar, bahkan tak jelas karena

kekuasaan dan hak-haknya yang sangat terbatas. Tidak mengherankan jika para anggota DPD dewasa

ini mempertanyakan relevansi keberadaan mereka dalam sistem yang berlaku jika tidak ada komitmen

3 Lihat misalnya Mochtar Pabottingi "Memburuknya Krisis Konstitusi Kila: Meng~ UUD 1945 dan Proses serta HC5il .Amandemen AlasnyaTanpaKonstitusionalitas dan Batal Demi Nasion"; Bambang Widjojanto, "Kapita SelektaAmandemen (Problematik Perubahan UUD 1945)", masing-masing dalam Riza Sihbudi dan Moch. Nurhasim, ed., Amandemen Konstitusi dan Strategi Penyelesaian Krisis Politik Indonesia, hal. 447-474 dan hal. 475-484; juga Saldi lsra, "Keniscayaan Komisi Konstitusi", dalam Kompas, 23 April 2002.

Page 4: NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG·UNDANG ...berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200812...2020/08/12  · peninggalan Demokrasi Terpimpin (1959-1965) dan Orde Baru (1966-1998)

politik untuk mengubahnya secara mendasar4. Sebaliknya, para politisi di Panitia Ad-Hoc I MPR selaku

penyusun konstitusi justru makin memperkuat posisi, kedudukan, kekuasaan, dan hak-hak DPR melebihi

yang seharusnya dimiliki oleh DPR dalam konteks sistem presidensial.

Selain itu, UUD 1945 hasil amandemen tidak melembagakan berlakunya mekanisme checks and

balances di antara cabang-cabang kekuasaan pemerintahan utama, yakni lembaga eksekutif-legislatif

pada khususnya dan eksekutif-legislatif-yudikatif pada umumnya. Di satu pihak, suatu UU dapat tetap

berlaku apabila dalam waktu 30 hari tidak disahkan oleh Presiden, namun di pihak lain Presiden tidak

memiliki semacam hak veto untuk menolak UU yang telah disetujui DPR. Padahal tegaknya prinsip

checks and balances bersifat mutlak karena menjadi salah satu fondasi utama bagi stabilitas dan

efektifitas sistem pemerintahan presidensi,al. Urgensi prinsip saling mengawasi secara seimbang itu

diabaikan pula oleh konstitusi hasil amandemen dalam hal relasi DPR sebagai representasi rakyat dan

DPD sebagai representasi wilayah.

Sehubungan dengan itu, penataan kembali sistem politik dan pemerintahan secara komprehensif,

koheren, dan konsisten satu sama lain, merupakan suatu keniscayaan bagi bangsa Indonesia.

Dalam jangka menengah dan atau panjang, diperlukan amandemen kembali atas konstitusi agar

penataan secara menyeluruh bisa dilakukan, sedangkan dalam jangka pendek dibutuhkan

penyempumaan atas segenap produk perundang-undangan bidang politik sehingga tidak hanya

komprehensif, koheren, dan konsisten satu sama lain, tetapi juga dapat mengkondisikan penguatan dan

efektifitas sistem pemerintahan presidensial.

II. Arah dan Visi Penyempumaan UU Bidang Politik

Seperti diuraikan sebelumnya, penataan kembali sistem politik dan pemerintahan yang mengarah pada

terwujudnya cita-cita demokrasi, persatuan, keadilan dan kesejahteraan seluruh rakyat, sebenarnya

membutuhkan amandemen kembali terhadap UUD 1945 yang telah mengalami empat kali perubahan

pada 1999 hingga 2002. Namun demikian penting sekali disadari bahwa agenda amandemen kembali

konstitusi bagaimana pun memerlukan kesepakatan atau konsensus yang luas dari berbagai elemen

bangsa mengenai apa saja yang perlu diamandemen, kapan waktu yang tepat, dan seterusnya.

Persoalannya, amandemen kembali konstitusi tanpa kesepakatan dan konsensus yang luas mengenai

substansinya dikhwatirkan justru berdampak pada munculnya gejolak dan berbagai risiko serta cost

politik di satu pihak, dan di pihak lain berpeluang menghasilkan konstitusi hasil amandemen yang juga

tambal-sulam seperti sebelumnya.

Oleh karena itu naskah ini berpandangan bahwa amandemen konstitusi tetap diperlukan sebagai

4 Untuk Apa DPD RI, Jakarta: Kelompok DPD di MPR RI, 2006

Page 5: NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG·UNDANG ...berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200812...2020/08/12  · peninggalan Demokrasi Terpimpin (1959-1965) dan Orde Baru (1966-1998)

prasyarat berlangsungnya penataan sistem politik dan pemerintahan secara mendasar. Namun demikian

agenda tersebut sangat riskan dilakukan tanpa persiapan yang matang, situasi politik yang kondusif, dan

konsensus yang luas mengenai substansinya, sehingga ia harus dipandang sebagai agenda jangka

menengah dan atau panjang. Oleh karena itu dalam jangka pendek, upaya maksimal paling mungkin

yang bisa dilakukan untuk memperbaiki sistem politik dan pemerintahan yang berlaku dewasa ini

adalah penyempumaan dan atau revisi terhadap UU Bidang Politik, dalam hal ini UU Partai Politik, UU

Pemilihan Umum, UU Pemilu Presiden, dan UU Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD.

Problematik utama UU Bidang Politik yang disusun menjelang Pemilu 2004 yang lalu adalah

ketidakmampuannya melembagakan sistem pemerintahan presidensial yang kuat dan efektif. Meskipun

arah sistem pemerintahan menurut UUD 1945 hasil amandemen adalah presidensialisme, namun

segenap UU Bidang Politik yang ada dewasa ini belum sepenuhnya didesain untuk mendukung pilihan

politik tersebut. UU Bidang Politik yang berlaku bahkan cenderung membuka peluang bagi

berlangsungnya praktik dan perilaku parlementarianisme di kalangan politisi partai di DPR. Realitas

politik semacam ini antara lain karena sistem dan proses pemilu presiden dan wapres sebagaimana

terlihat dalam UU Pemilu Presiden memungkinkan terpilihnya kandidat dari partai relatif kecil,

sedangkan sistem dan proses pemilu legislatif tetap menghasilkan peta kekuatan politik yang sangat

terpolarisasi dan fragmentatif di parlemen, bahkan tanpa partai mayoritas. Akibatnya, presidensialisme

yang seharusnya merupakan suatu sistem pemerintahan yang "simpel" dan "ringkas"5, akhirnya

terpenjara oleh negosiasi-negosiasi antarpartai yang sebagian di antaranya berorientasi jangka pendek.

Di sisi lain sistem keparlemenan -seperti tercermin dalam UU Susduk- yang seharusnya

mensinergikan efektifitas kerja keparlemenan antara DPR dan DPD lebih merupakan pengaturan

kelembagaan masing-masing Dewan secara terpisah ketimbang sebagai satu kesatuan pariemen, yakni

DPR sebagai representasi penduduk di satu pihak, dan DPD representasi wilayah di pihak lain.

Sementara itu UU Partai Politik tak kunjung bisa mendorong dan mengkondisikan berlangsungnya

pelembagaan partai dan sistem kepartaian yang mendukung efektifitas sistem perwakilan dan juga

sistem pemerintahan presidensial. Selain itu, seperti diindikasikan berbagai hasil penelitian, survei, dan

polling, citra publik partai-partai politik cenderung semakin menurun bersamaan dengan meningkatnya

prosedur demokrasi6.

5 Tentang sistem presidensial dibandingkan sistem parlementer, lihat antara lain Arend Lijphart, Sistem Pemerintahan Parlementer dan Presidensial, Jakarta: PT RajaGrafindo Persad a, 1995.

6 Lihat misalnya, Syamsuddin Haris, ed., Pemilu Langsung di Tengah Oligarki Partai, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005; Lili Romli, ed., Potret Partai Politik Pasca-Orde Baru, Jakarta: Pusat Penelitian Politik UPI, 2003; juga Syamsuddin Haris, ed., Partai dan Pariemen Lokal Era Transisi Demokrasi di Indonesia, Jakarta: UPI Press, 2007.

Page 6: NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG·UNDANG ...berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200812...2020/08/12  · peninggalan Demokrasi Terpimpin (1959-1965) dan Orde Baru (1966-1998)

Dalam kaitan tersebut maka penyempumaan dan atau revisi terhadap UU Bidang Politik

tampaknya merupakan kebutuhan jangka pendek yang sulit dielakkan sebagai bagian dari upaya tak

berkesudahan membenahi sistem politik dan pemerintahan dalam rangka terwujudnya cita-cita nasional

sebagaimana termaktub di dalam pembukaan UUD 1945. Dalam rangka penyempumaan sistem politik

dan pemerintahan, paling kurang ada empat agenda penataan dan penyempumaan yang perlu

dilakukan untuk mewujudkan sistem politik yang demokratis serta presidensialisme yang kuat, stabil

dan efektif, yaitu (1) penguatan dan peningkatan efektifitas sistem pemerintahan presidensial; (2)

penguatan sistem perwakilan dan keparlemenan; (3) penyempumaan sistem dan proses pemilu; dan (4)

penyempumaan sistem kepartaian. Ruang lingkup, sistematika dan alur penyempumaan ini disusun

dengan asumsi bahwa penyempumaan atas sistem kepartaian, sistem dan proses pemilu, serta sistem

perwakilan dan keparlemenan, pada akhirnya bermuara pada penguatan dan peningkatan efektifitas

sistem presidensial. Dalam kaitan ini maka desain atas arah dan visi penyempumaan UU Bidang Politik

hendaknya tidak hanya koheren dan konsisten satu sama lain, tetapi juga dapat mendukung

terbangunnya sistem pemerintahan presidensial yang demokratis, kuat, stabil, dan efektif.

1. Penguatan dan Peningkatan Efektifitas Sistem Pemerintahan

Reformasi 1998-1999 semestinya merupakan momentum emas bagi bangsa Indonesia untuk menata

kembali arah kehidupan bangsa sesuai semangat proklamasi dan amanat Pembukaan UUD 1945, yaitu

cita-cita persatuan, demokrasi, keadilan dan kesejahteraan rakyat. Begitu pula empat tahap amandemen

atas UUD 1945 seharusnya menjadi kesempatan strategis bagi wakil-wakil rakyat hasil Pemilu 1999

untuk menata ulang sistem politik dan pemerintahan ke dalam suatu bangunan politik yang kokoh,

efektif, dan produktif.

Namun ironisnya, sistem politik dan pemerintahan produk amandemen konstitusi bukan saja

masih melembagakan kerancuan pilihan formal presidensialisme di satu pihak dan praktik

parlementarianisme di pihak lain, melainkan juga mewariskan tata-kelola pemerintahan yang ternyata

tidak efektif. Dalam kaitan ini, paling kurang ada tiga kelemahan mendasar pada hasil amandemen yang

dilakukan Sadan Pekerja MPR atas UUD 1945. Pertama, proses amandemen cenderung terjebak pada

kepentingan jangka pendek dari elite partai-partai di parlemen. Kedua, kualitas dan substansi

perubahan cenderung inkonsisten dan tambal-sulam satu sama lain. Dan ketiga, format legal drafting

perubahan yang tidak sistemik dan tak terpola serta membingungkan sehingga menyulitkan

pemahaman atasnya sebagai hukum dasar7.

7 Lihat misalnya Mochtar Pabottingi "Memburuknya Krisis Konstitusi Kita: Mengapa UUD 1945 dan Proses serta Hasil Amandemen Atasnya Tanpa Konstitusionalitas dan Batal Demi N:asion"; juga Bambang Widjojanto.

Page 7: NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG·UNDANG ...berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200812...2020/08/12  · peninggalan Demokrasi Terpimpin (1959-1965) dan Orde Baru (1966-1998)

Dalam konteks substansi hasil amandemen, di satu pihak hendak dibangun sistem

pemerintahan presidensiil yang kuat, stabil, dan efektif, namun di sisi lain obsesi besar tersebut tidak

didukug oleh struktur perwakilan bicameral yang kuat pula. Kedudukan Dewan Perwakilan Daerah

(DPD) yang semestinya merupakan salah satu "kamar' dari system perwakilan dua-kamar, bahkan tak

jelas karena hak-haknya yang sangat te~batas. Tidak mengherankan jika Anggota DPD dewasa ini

mempertanyakan relevansi keberadaan mereka dalam system yang berlaku jika tidak komitmen politik

untuk mengubahnya secara mendasar (DPD RI, 2006). Sebaliknya para politisi di Pantia Ad Hoc MPR

selaku penyusun konstitusi justru makin memperkuat posisi, kedudukan, kekuasaan, dan hak-hak DPR

melebihi yang seharusnya dimiliki oleh DPR dalam konsteks sistem presidensial.

Selain itu, UUD 1945 hasil amandemen tidak melembagakan berlakunya mekanisme checks and

balances di antara cabang-cabang kekuasaan pemerintahan utama, yakni lembaga eksekutif-legislatif

pada khususnya dan eksekutif-legislatif-yudikatif pada umumnya. Di satu pihak, suatu UU dapat tetap

berlaku apabila dalam waktu 30 hari tidak disahkan oleh Presiden, namun di pihak lain Presiden tidak

memiliki semacam hak veto untuk menolak UU yang telah disetujui DPR. Padahal tegaknya prinsip

checks and balances bersifat mutlak karena menjadi salah satu fondasi utama bagi stabilitas dan

efektifitas sistem pemerintahan presidensial. Urgensi prinsip saling mengawasi secara seimbang itu

diabaikan pula oleh konstitusi hasil amandemen dalam hal relasi DPR sebagai representasi rakyat dan

DPD sebagai representasi wilayah.

Terlepas dari berbagai kelemahan konstitusi hasil empat kali amandemen pada 1999-2002,

sistem pemerintahan presidensial sebenarnya merupakan pilihan politik yang sudah tepat jika dikaitkan

dengan rentang geografis Indonesia yang begitu luas, sangat heterogen secara politik dan kultural, serta

obsesi desentralisasi pemerintahan dan otonomi luas bagi daerah. Apalagi jika dihubungkan dengan

pengalaman sejarah bangsa yang hampir selalu diwarnai instabilitas politik, dan kebutuhan bangsa akan

mekanisme dan sirkulasi kepemimpinan yang 'lebih pasti dan terukur.

Setiap sistem pemerintahan, presidensial ataupun parlementer, memiliki kelebihan dan

kekurangan pada dirinya. Stabilitas eksekutif yang disebabkan oleh masa jabatan presiden yang tetap,

legitimasi politik presiden yang dipilih secara langsung oleh rakyat, dan pemisahan kekuasaan yang

relatif tegas, adalah tiga di antara sejumlah kelebihan utama sistem presidensial. Sementara itu tiga

kelemahan presidensialisme yang pokok adalah (1) kemungkinan munculnya kelumpuhan ataupun jalan

buntu politik akibat konflik eksekutif-legislatif -sebagai akibat independensi masing-masing lembaga; (2)

kekakuan sistemik akibat masa jabatan eksekutif dan legislatif yang beraifat tetap; dan (3) prinsip

"Kapita Selekta Amandemen (Problematik Perubahan UUD 1945)", masing-masing dalam Riza Sihbudi dan Moch. Nurhasim, ed., Amandemen Konstitusi dan Strategi Penyefesaian Krisis Pofitik Indonesia, hal. 447-474 dan hal. 475-484. Juga tentang ini lihat, Saldi lsra, "Keniscayaan Komisi Konstitusi", dalam Kompas, 23 April 2002.

Page 8: NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG·UNDANG ...berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200812...2020/08/12  · peninggalan Demokrasi Terpimpin (1959-1965) dan Orde Baru (1966-1998)

"pemenang mengambil semua" yang inheren di dalam sistem presidensial. Kelemahan-kelemahan ini

presidensialisme ini sekaligus merupakan kelebihan sistem parlementer karena eksekutif tidak terpisah

secara jelas dari legislatif, pergantian pemerintahan bersifat elastis karena dapat dilakukan setiap

waktu, dan prinsip "pemenang mengambil semua" tidak berlaku lantaran eksekutif tidak semata-mata

berasal dari partai pemenang pemiluB.

Namun dalam konteks Indonesia berbagai kelebihan teoritis sistem parlementer tersebut justru

menjadi penyebab diakhirinya parlementarianisme menjelang akhir 1950-an. Dalam hubungan ini paling

kurang ada tiga argumen lain mengapa presidensialisme lebih tepat sebagai pilihan ketimbang

parlementarianisme. Pertama, semangat UUD 1945 sejak disepakati oleh para pendiri bangsa adalah

presidensialisme meskipun formatnya tidak sebagaimana seharusnya sistem presidensial, antara lain

karena presiden dipilih oleh MPR sebagai pemegang kedaulatan rakyat. Kedua, bangsa Indonesia

mempunyai pengalaman traumatis dengan instabilitas politik sistem parlementer periode 1950-an

meskipun sumber ketidakstabilan itu sebenarnya berakar pada faktor yang beragam. Ketiga, bangsa.

Indonesia memiliki stigma negatif terhadap sistem parlementer sebagai praktik demokrasi yang

dianggap "liberal" kendati stigma ini pun bersumber pada kekecewaan Soekamo dan golongan militer

terhadap partai-partai di DPR hasil Pemilu 11955.

Walaupun demikian format presidensialisme bukan tanpa kelemahan sama sekali. Konsentrasi

kekuasaan yang besar pada lembaga kepresidenan -apalagi dengan hak veto yang dimilikinya­

berpeluang mengancam kehidupan demokrasi. Pengalaman negara-negara Amerika Latin

memperlihatkan bahwa konsentrasi kekuasaan yang besar pada presiden berdampak pada munculnya

otoritarianisme9. Pengalaman sejarah bangsa Indonesia di bawah rejim Demokrasi Terpimpin (1959-

1965) dan Orde Barn (1966-1998) menunjukkan bahwa presidensialisme pun berpeluang menjadi sistem

pemerintahan otoriter. Peluang otoritarianisme itu menjadi lebih besar lagi bagi Indonesia

karena presidensialisme diberlakukan dalam konteks negara kesatuan.

Oleh karena itu, meskipun format presidensialisme telah diperbaiki melalui amandemen konstitusi

-antara lain dengan meniadakan kekuasaan MPR dan mengintrodusir pemilihan langsung oleh rakyat

dengan masa jabatan presiden yang tetap-namun tetap perlu ditata kembali. Presidensialisme yang

berlaku dewasa ini perlu disempumakan agar dapat menghasilkan sistem pemerintahan yang kuat,

stabil, dan efektif di satu pihak, dan terhindar dari perangkap otoritarianisme di pihak lain. Efektifitas

8 Arend Lijphart, Sistem Pemerintahan 9 Lihat Harry Kantor, "Usaha-usaha yang Dilakukan oleh Sejumlah Negara Amerika Latin untuk Membatasi Kekuasaan Presiden", dalam Lijphart, Sistem Pemerintahan, hal. 106-114; juga Juan J. Linz, "Risiko dari Presidensialisme", dalam Lijphart, hal. 124-133.

Page 9: NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG·UNDANG ...berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200812...2020/08/12  · peninggalan Demokrasi Terpimpin (1959-1965) dan Orde Baru (1966-1998)

pemerintahan presidensial antara lain dapat dicapai melalui penyederhanaan sistem kepartaian dan

pengelompokan politik di parlemen, sedangkan perangkap otoritarianisme bisa dihindari melalui

pelembagaan kekuatan oposisi. Selain itu, menurut Leslie Lipson, mekanisme oposisi yang terlembaga

diperlukan untuk mengurangi kemungkinan munculnya tirani mayoritas -yang notabene berpeluang

muncul jika format presidensialisme didukung oleh suatu koalisi besar partai pendukung pemerintah10.

Dalam kaitan tersebut, arah penyempumaan yang perlu diagendakan dalam rangka penguatan

dan peningkatan efektifitas presidensialisme adalah, pertama, penyempumaan presidensialisme melalui

pelembagaan mekanisme checks and balances dalam relasi Presiden-Parlemen. Apabila suatu UU

dapat tetap berlaku kendati tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu 30 hari, maka semestinya

dilembagakan pula hak veto Presiden atas suatu UU yang telah disepakati pemerintah dan Dewan.

Mengingat bahwa introduksi hak veto Presiden atas UU membutuhkan amandemen kembali konstitusi,

maka yang dapat dilakukan dalam jangka pendek adalah penyempuhlaan relasi presiden dan

parlemen melalui perubahan pola relasi antara eksekutif dan legislatif, dari pola dominasi

(Presiden atas DPR atau sebaliknya) menuju pola relasi keseimbangan kekuasaan di antara keduanya

dengan cara penguatan lembaga kepresidenan yang diimbangi dengan penyederhanaan

pengelompokan politik di parlemen melalui pelembagaan koalisi -yakni koalisi partai pendukung

pemerintah di satu pihak, dan koalisi partai oposisi di pihak lain. Dalam rangka penguatan lembaga

kepresidenan maka perlu dibentuk suatu dewan pertimbangan/penasehat presiden yang lebih

berorientasi keahlian. Sedangkan dalam rangka mendorong terbentuknya pengelompokan politik yang

lebih sederhana di parlemen maka pencalonan preside11 hanya bisa dilakukan oleh koalisi partai-partai

yang melembagakan komitmen koalisi mereka secara publik untuk jangka waktu sekurang-kurangnya

selama lima tahun jika pasangan calon presiden/wapres terpilih dalam pemilihan umum. Kedua,

penyempumaan presidensialisme melaiui pembentukan sistem perwakilan bicameral yang kuat dengan

pelembagaan hak dan fungsi legislasi pada DPD kendati cakupannya tidak hams sama dengan hak

legislasi yang dimiliki oleh DPR. Mengingat perubahan sistem perwakilan menuju sistem bicameral

yang kuat tersebut membutuhkan amandemen kembali konstitusi, maka yang bisa dilakukan dalam

jangka pendek melalui revisi UU Bidang Politik adalah memaksimalkan kerjasama dan kemitraan DPR­

DPD sebagai satu kesatuan parlemen. Ketiga, penyempumaan presidensialisme melalui pelembagaan

oposisi di parlemen sebagai wadah bagi koalisi partai-partai yang kalah dalam pemilu presiden dan

tidak duduk di dalam pemerintahan dan atau kabinet hasil pemilu. Pelembagaan oposisi diperlukan

untuk menghindari kemungkinan munculnya sikap dan tindakan dari presiden yang memiliki kekuasaan

10 Leslie Lipson, The Democratic Civilization, New York: Reffer and Simons Inc., 1964, terutama hal. 237-251

Page 10: NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG·UNDANG ...berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200812...2020/08/12  · peninggalan Demokrasi Terpimpin (1959-1965) dan Orde Baru (1966-1998)

dan legitimasi politik yang begitu kuat lantaran dipilih secara langsung oleh rakyat.

Keempat, penyempumaan presidensialisme melalui penataan kembali sistem dan mekam'sme

pemilu legislatif serta sistem dan mekam'sme pemilu presiden yang mengarah pada pelembagaan

koalisi partai secara permanen, baik sebelum pemilu maupun sesudah pemilu. Seperti dik~mukakan

sebelumnya, sistem dan mekam'sme pemilu, baik pemilu legislatif maupun pemilu presiden, hendaknya

mengkondisikan berlangsungnya koalisi partai sebelum pemilu yang tetap berlanjut sesudaH pemilu,

sehingga pemerintahan hasil pemilu bekerja di atas prinsip checks and balances antara koalisi partai

pendukung pemerintah di satu pihak, koalisi partai oposisi di pihak lain.

Kelima, penyempumaan presidensialisme melalui pengurangan distorsi pada sistem kepartaian.

Seperti ditunjukkan oleh pengalaman negara-negara Amerika Latin, kegagalan presidensialisrine pada

umumnya disebabkan oleh keberadaan sistem multipartai karena presidensialisme dan sistem

multipartai adalah kombinasi yang sulit sehingga cenderung melahirkan instabilitas demokrasi11. Oleh

karena itu perlu penataan sistem kepartaian yang mendorong terbentuknya sistem multipartai

sederhana, baik dalam pengertian jumlah partai maupun pengelompokan ideologisnya.

2. Penguatan Sistem Perwakilan dan Efektifitas Keparlemenan

Apabila sistem pemerintahan presidensial yang kuat, stabil, dan efektif menjadi obsesi kolektif kita

sebagai bangsa, maka penataan kembali hakikat, posisi atau kedudukan pol'itik, kekuasaan dan/atau

kewenangan, serta hak-hak Dewan Perwakilan Daerah {DPD), jelas bersifat mutlak12. DPD hams

dipandang sebagai "Senat" ataupun "Majelis Tinggi" yang jug a memiliki kewenangan legislasi: kendati

tidak harus seluas kekuasaan legislasi yang dimillki DPR sebagai "Majelis Rendah", sehingga kedua

Dewan adalah kamar-kamar parlemen di dalam suatu sistem perwakilan bicameral yang kuat (strong

bicameral). Di sisi lain, apabila Majelis Permusyaratan Rakyat {MPR) sebagai sebuah majelis rnasional

dalam sistem perwakilan hendak dipertahankan, maka posisi konstitusionalnya adalah joint session

antara DPR dan DPD, sehingga kepermanenan MPR lebih pada fungsi, bukan pada struktur organisasi

dan kepemimpinannya.

Salah satu ciri sistem presidensial adalah berlaku dan tegaknya prinsip pemisahan kekuasaan di

antara tiga cabang kekuasaan utama yakni eksekutif-legislatif-yudikatif dan terutama antara lembaga

11 Scott Mainwaring, "Presidensialisme di Amerika Latin", dalam Lijphart, Sistem Pemerintahan, hal.117-123. 12 Apabila amandemen kembali konstitusi dipandang tidak feasible untuk desain perubahan yang bersifat jangk~ pendek, mengingat berbagai risiko dan cost politik yang diakibatkannya, maka agenda tersebut tentu dapat didesain untuk ~rubahan yang bersifat jangka menengah atau pun panjang. Yang paling penting adalah adanya pengakuan jujur terutama dari para po1itisi partai besar bahwa substansi hasil empat kali amandemen atas UUD 1945 yang lalu cenderung tambal-sulam, tidak koheren dan konsisten dalam melembagakan obsesi sistem pemerintahan presidensial lantaran proses amandemen yang cenderung terperangkap kompromi politik yang bersifat jangka pendek.

Page 11: NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG·UNDANG ...berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200812...2020/08/12  · peninggalan Demokrasi Terpimpin (1959-1965) dan Orde Baru (1966-1998)

eksekutif dan legislatif13. Melalui pemisahan kekuasaan tersebut diharapkan dapat ditegakkan prinsip

check and balances di antara cabang-cabang kekuasaan pemerintahan.. Problematik sistem

presidensial hasil amandemen atas konstitusi kita dewasa ini adalah bahwa prinsip checks and

balances itu sulit ditegakkan karena presiden yang memperoleh mandat dan legitimasi langsung dari

rakyat tidak memiliki semacam hak veto untuk menolak UU yang telah disepakati oleh DPR. Di sisi lain,

UU yang telah disepakati oleh pemerintah dan DPR tetap bisa berlaku sebagai hukum positif

meskipun tidak disahkan oleh

Apabila amandemen kembali konstitusi dipandang tidak feasible untuk desain perubahan yang

bersifat jangka pendek, mengingat berbagai risiko dan cost politik yang diakibatkannya, maka agenda

tersebut tentu dapat didesain untuk perubahan yang bersifatjangka menengah atau pun panjang. Yang paling

penting adalah adanya pengakuan jujur terutama dari para politisi partai besar bahwa substansi hasil empat kali

amandemen atas UUD 1945 yang lalu cenderung tambal-sulam, tidak koheren dan konsisten dalam

melembagakan obsesi sistem pemerintahan presidensial lantaran proses amandemen yang cenderung

terperangkap kompromi politik yang bersifat jangka pendek.

Presiden dalam waktu 30 hari. Selain itu, konstitusi semestinya pula mengakomodasi prinsip checks

and balances yang sama dalam relasi intra-parlemen,, yaitu antara DPR dan DPD. Jelas sekali bahwa

penataan relasi presiden dan par1emen (dalam hal ini DPR dan DPD), dan relasi DPR-DPD seperti diamanatkan

oleh konstitusi hasil amandemen, cenderung tidak akan menghasilkan sistem presidensial yang kuat, stabil,

dan efektif. Sebaliknya, yang muncul adalah praktik tata-kelola pemerintahan yang cenderung

parlementer dan atau campur-aduk antara obsesi presidensialisme di satu pihak dan praktik

parlementarianisme di pihak lain.

Oleh karena itu pembentukan sistem pemerintahan presidensial yang kuat dan efektif pada dasamya

tak bisa dipisahkan dari kontribusi sistem legislatif atau kepar1emenan yang sinergis dan efektif pula. Paling

tidak ada empat argumen kesaling-keterkaitan antara sistem pemerintahan di satu pihak dan sistem

perwakilan di pihak lain. Pertama, berbeda dengan sistem parlementer di mana fokus segenap proses

politik berpusat pada parlemen, maka di dalam sistem presidensial lembaga eksekutif berbagi peranan dan

fungsi secara relatif tegas dan jelas dengan lembaga legislatif. Kedua, konsisten dengan argumen

pertama, presiden dan parlemen masing-masing memiliki tanggung jawab secara terpisah sekaligus secara

bersama-sama dalam penguatan dan efektifitas sistem pemerintahan presidensial. Ketiga, konsisten

dengan dua argumen sebelumnya, tanggung jawab secara terpisah -dalam fungsinya masing-masing­

sekaligus bersama-sama tersebut hanya dapat ditegakkan apabila relasi antara presiden dan parlemen

dibangun di atas prinsip checks and balances. Keempat, sistem legislatif yang dapat melembagakan

13 Arend Lijphart, Sistem Pemerintahan Parlementerdan Presidensial, hal. 47.

Page 12: NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG·UNDANG ...berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200812...2020/08/12  · peninggalan Demokrasi Terpimpin (1959-1965) dan Orde Baru (1966-1998)

tanggung jawab secara bersama-sama, sinergis dan efektif hanya dapat diwujudkan apabila terbangun

pola relasi dan kerjasama yang sinergis di antara bagian-bagian parlemen.

Dalam kaitan ini, penguatan sistem perwakilan dimaksudkan sebagai upaya membangun sistem

perwakilan yang tidak hanya koheren dan konsisten dengan pilihan sistem pemerintahan presidensial,

melainkan juga mendukung dan memperkuatnya. T ampak di sini bahwa terdapat em pat konsep utama

yang saling terkait satu satu lain untuk membangun sistem perwakilan demikian, yaitu sinergitas,

efektifitas, akuntabilitas, dan produktifitas. Sistem perwaki1lan yang sinergis diperlukan bukan saja dalam

rangka efektifitas fungsi setiap lembaga parlemen (DPR dan DPD), melainkan juga untuk meningkatkan

kualitas akuntabilitas di satu pihak dan produktifitas di pihak lain.

Akuntabilitas adalah konsep yang tak terpisahkan dari keberadaan setiap lembaga perwakilan.

DPR sebagai parlemen yang mewakili rakyat, DPD yang mewakili wilayah (propinsi), dan para

anggotanya yang memperoleh mandat tersebut dapat dikatakan akuntabel apabila dalam melaksanakan

fungsi, kewenangan, dan hak-haknya berorientasi kepada kepentingan rakyat selaku pemberi mandat

melalui melalui pemilihan umum. Sedangkan produktifitas berhubungan dengan tingkat pencapaian

kinerja keparlemenan dalam hitungan produk kebijakan yang dihasilkan selama masa kerja parlemen.

Dewasa ini sinergitas parlemen belum terbangun karena DPR dan DPD cenderung bekerja sendiri­

sendiri. Konstitusi memang membatasi kewenangan DPD, namun peran dan kontribusi DPD sebenarnya

dapat dioptimalkan melalui mekanisme relasi dan kerjasama yang lebih baik antara DPR dan DPD.

Efektifitas DPR dan DPD sebagai bagian dari lembaga parlemen nasional relatif belum optimal karena

struktur alat kelengkapan kedua Dewan belum mendukung efektifitas kerja keparlemenan.

Berkaitan dengan kebutuhan penyempumaan siistem perwakilan, maka dalam jangka pendek

paling kurang ada empat arah sekaligus tujuan yang hendak dicapai untuk memperkuat sistem

perwakilan yang masih bersifat "semi-bikameral yang berlaku dewasa ini, yaitu: (1) pem'ngkatan

efektifitas keparlemenan DPR; (2) penguatan akuntabilitas lembaga dan anggota parlemen; (3) penataan

hubungan kerja DPR dan DPD; dan (4) peningkatan efektifitas fungsi MPR sebagai sidang bersama

DPR-DPD.

3. Penyempumaan Sistem dan Proses Pemilu

Amandemen terhadap UUD 1945 yang diikuti penyempumaan paket UU Bidang Politik menjelang

Pemilu 2004 telah berhasil membentuk segenap unsur penyelenggara negara mulai dan presiden dan

wakil presiden hasil pilihan rakyat, DPR, DPD, dan DPRD (propinsi, kabupaten/kota). Pemilu 2004

bahkan dipuji dunia intemasional sebagai pemilu paling rumit dan kompleks namun berhasil

Page 13: NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG·UNDANG ...berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200812...2020/08/12  · peninggalan Demokrasi Terpimpin (1959-1965) dan Orde Baru (1966-1998)

diselenggarakan dengan relatif kondusif, bahkan hampir tanpa gejolak14. Indonesia pun kemudian

dikenal sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia sesudah India dan Amerika Serikat. ·

Namun demikian keberhasilan Pemilu 2004 secara prosedural ternyata belum diikuti pe~'ngkatan

kualitas keterwakilan dan kinerja anggota-anggota legislatif, baik di tingkat nasional (DPR}' maupun

tingkat propinsi dan kabupaten/kota (DPRD}. Kecenderungan yang hampir sama tampak pada kualitas

kinerja partai-partai politik pasca-Pemilu 2004 yang tidak lebih baik dibandingkan produk Pemilw 1999.

Kualitas kinerja para wakil rakyat tak hanya berkaitan dengan komitmen individual setiap! anggota

legislatif, melainkan juga berhubungan dengan pola dan mekanisme rekrutmen para calon 1 legislatif

(caleg} sebelum mereka menjadi anggota Dewan. Lebih jauh lagi, kualitas keterwakilan dan kinerja

anggota legislatif berkaitan dengan format pemilu, sistem perwakilan, dan struktur kepartaian yang

berlaku dewasa ini. Untuk meningkatkan kualitas anggota legislatif, kualitas lembaga perwakilan dan

institusi partai, serta juga berlangsungnya praktik demokrasi secara lebih substansial, maka diperlukan

perbaikan dan penyempumaan secara serius dan menyeluruh atas berbagai regulasi mengenailhal itu.

Berkenaan dengan itu muncul pula wacana mengenai perlunya penyederhanaan penyelerlggaraan

pemilu ke arah yang lebih efisien dari aspek waktu dan dana, serta produktif dari segi demokrasi.

Argumennya, demokrasi dibangun bukanlah semata-mata untuk dan demi demokrasi. Sistem demokrasi

justru dibangun sebagai sarana untuk mewujudkan cita-cita keadilan dan kesejahteraan rakyat.

Demokrasi tidak bermanfaat apabila tidak memberikan kontribusi yang signifikan bagi peningkatan

kualitas keadilan dan kesejahteraan bagi rakyat. Dengan kata lain, demokrasi, keadilan dan

kesejahteraan rakyat mestinya bisa dicapai secara bersama-sama tanpa harus mengorbankan salah satu

daripadanya.

Penyempumaan terhadap sistem dan proses pemilu sebenarnya telah dilakukan menjelang

Pemilu 2004 yang lalu. Perbaikan dan penyempumaan sistem dan proses pemilu tersebut bukan hanya

menghasilkan banyak wajah baru anggota DPR dan DPD, melainkan juga -melalui pemerapan

ketentuan electoral threshold-berhasil mengurangi jumlah partai peserta pemilu secara signifikan.

Akan tetapi, meskipun sistem dan proses pemilu pada 2004 berhasil mengurangi jumlah partai

peserta pemilu dari 48 partai (1999} menjadi 24 partai (2004}, tingkat fragmentasi dan polarisasi politik

DPR hasil pemilu masih tinggi. Hal ini tercermin dalam keberadaan tak kurang dari 10 fraksi p01itik. Di

14 Begitu kompleks dan rumitnya Pemilu 2004 tldak hanya tercermin dari tlga sistem pemilu yang berbeda -yaitu sistem proporsional (proportional representation) untuk DPR, DPRD propinsi dan DPRD kabupaten/kota, sistem dua putaran (plural majority-two round systems) untuk pemilihan presiden, dan sistem distrik berwakil banyak (FPTP-mu~member district) untuk pemilihan DPD-melainkan juga terlihat dari fakta bahwa untuk pemilu legislatlf saja terdapat 2.05• daerah pemilihan, yang berarti pula terdapat 2.054 jenis surat suara yang berbeda-beda untuk setiap daerah pemilihanl Jumlah tempat pemungutan suara (TPS) sebanyak 556.059 unit untuk melayani 145,6 juta pemilih -belum terhitung TPp di luar negeri untuk melayani 1,9 juta pemilih yang berdomisili di berbagai negara. Sementara itu jumlah personil pelaksa$ pemilu sebanyak 5,4 juta orang (mulai dari anggota KPU di tlngkat nasional hingga tingkat TPS). Data resmi dari KPU, Pemilu Legis/atif 2004, Jakarta: Komisi Pemilihan Umum, 2005.

Page 14: NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG·UNDANG ...berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200812...2020/08/12  · peninggalan Demokrasi Terpimpin (1959-1965) dan Orde Baru (1966-1998)

satu pihak, ketentuan electoral threshold (ET) dua persen berhasil mengurangi jumlah partai peserta

pemilu secara signifikan, namun di pihak lain cenderung tidak mengurangi minat para elite politik untuk

membentuk partai baru, termasuk oleh para pengurus partai yang gagal memenuhi batas ET untuk

pemilu berikutnya. Dengan memanfaatkan relatif longgarnya persyaratan pembentukan partai baru,

persyaratan bagi partai peserta pemilu, dan kelemahan format ET yang berlaku, maka sebagian partai

baru yarg muncul dalam pemilu berikutnya tidak lebih dari "dacir ulang" atas partai-partai yang gagal ET

pada pemilu sebelumnya.

Berdasarkan pengalaman pemilu legislatif 2004, sistem pemilu yang berlaku cenderung tidak adil

karena mendistorsikan salah satu fungsi penting pemilu yaitu mengubah suara rakyat menjadi kursi­

kursi legislatif. Para kandidat atau caleg yang memperoleh dukungan suara rakyat lebih banyak harus

dikalahkan oleh kandidat yang memperoleh dukungan suara rakyat lebih sedikit lantaran terlalu ketatnya

persyaratan pemenuhan angka bilangan pembagi pemilihan (BPP) bagi setiap kandidat. Sebagai

akibatnya, kualitas akuntabilitas para wakil rakyat pun relatif masih sama seperti DPR hasil Pemilu

1999. Salah satu faktor penting di balik rendahnya kualitas akuntabilitas para wakil ini adalah

berlakunya sistem perwakilan proporsional yang cenderung masih tertutup, sehingga keterpilihan para

wakil lebih ditentukan oleh pimpinan partai ketimbang oleh dukungan konstituennya. Sebagai

konsekuensi logis berikutnya, para anggota legislatlf terpilih lebih loyal kepada partai politik ketimbang

kepada rakyat yang diwakilinya karena para anggota Dewan merasa lebih merupakan wakil partai

ketimbang wakil-wakil rakyat yang sesungguhnya.

Sementara itu dalam konteks pemilu presiden, partai-partai politik yang semula bersepakat

bergabung untuk mengusung pasangan calon presiden/wapres cenderung "mempermainkan" dukungan

itu ketika kandidat presiden/wapres yang diusungnya terpilih. Hal ini kemudian tidak hanya berdampak

pada munculnya inkonsistensi perilaku politik gabungan partai pengusung kandidat presiden/wapres,

melainkan juga lebih jauh lagi berakibat pada diabaikannya etika politik dan etika berdemokrasi yang

meniscayakan para politisi partai konsisten dengan pilihannya. Persyaratan pengajuan pasangan calon

oleh gabungan partai yang relatif longgar, tidak begitu jelasnya dasar kerjasama antarpartai atau

gabungan partai dengan pasangan kandidat, serta tidak adanya dasar kesepakatan yang jelas antara

kandidat presiden dan kandidat wapres, tampaknya merupakan gabungan faktor penyebab dari

munculnya inkonsistensi partai-partai dan disharmoni da~am relasi presiden-wapres terpilih.

Problematik sistem dan proses pemilu tersebut pada gilirannya berimplikasi pada rendahnya

kualitas akuntabilitas wakil-wakil rakyat dan partai politik di satu pihak, dan kurang efektifnya sistem

presidensial di pihak lain karena terjadinya ketegangan politik antara lembaga kepresidenan dan

parlernen, serta berlangsungnya disharmoni dalam relasi Presiden dan Wakil Presiden. Realitas politik

Page 15: NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG·UNDANG ...berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200812...2020/08/12  · peninggalan Demokrasi Terpimpin (1959-1965) dan Orde Baru (1966-1998)

semacam ini meniscayakan urgensi peninjauan kembali dan penataan ulang sistem dan proses pemilu,

baik pemilu legislatlf maupun pemilu presiden.

Selain itu, urgensi penyempurnaan sistem dan proses pemilu berkaitan dengan kebutuhan

penyederhanaan sistem kepartaian yang mengarah pada pembentukan sistem multipartai sederhana,

baik sederhana dalam pengertian jumlah partai maupun pengelompokan ideologisnya. Sistem

multipartai dengan tingkat fragmentasi dan polarisasi partai yang relatif tinggi seperti dialami bangsa

kita bukan hanya merupakan kombinasi yang sulit bagi tegaknya presidensialisme yang kuat dan efektif,

melainkan juga cenderung menjadi kendala bagi efektif itas kerja keparlemenan yang dihasilkan pemilu.

4. Penyempumaan Sistem Kepartaian

Setelah reformasi 1998 dan pemilihan umum pertama pasca-Orde Baru pada 1999, terbentuk sistem

kepartaian yang bersifat multipartai. Terbentuknya sistem multipartai tersebut sebenarnya merupakan

konsekuensi logis dari berlakunya sistem pemilu perwakilan proporsional (proportional

representation/PR system) yang dianut UU Pemilu 1999. Sesungguhnya tidak ada yang salah pada

berlakunya sistem pemilu proporsional dan terbentuknya sistem multipartai jika seandainya pada saat

yang sama berlaku pula sistem pemerintahan parlementer.

Namun demikian amanat konstitusi hasil perubahan (amandemen) terhadap UUD 1945 temyata

makin melembagakan sistem pemerintahan presidensial dengan sistem perwakilan semi-bikameral

sebagaimana tercermin dalam kelembagaan DPR dan DPD sebagai unsur-unsur parlemen atau majelis

(MPR). Pilihan sistem pemerintahan presidensial tidak hanya meniscayakan berlakunya lembaga

kepresidenan dan sistem perwakilan yang kuat dan otonom pada dirinya, melainkan juga pelembagaaan

prinsip checks and balances di antara tiga cabang kekuasaan pemerintahan, yakni lembaga eksekutif,

legislatif, dan yudikatif, serta terutama antara eksekutif dan legislatif.

Problematiknya adalah bahwa meskipun ketentuan electoral threshold dua persen diberlakukan

dan peserta Pemilu 2004 berkurang dari 48 partai (Pemilu 1999) menjadi 24 partai, ternyata format

DPR hasil Pemilu 2004 diisi oleh 16 partai politik15 yang akhirnya tergabung ke dalam 10 fraksi. Realitas

ini pada gilirannya menghasilkan proses politik yang bertele-tele di DPR dan berdampak pada

rendahnya produk legislasi, lemahnya fungsi pengawasan, serta tidak begitu efektifnya kerja

keparlemenan secara umum. Sebagian energi DPR terkuras untuk memperdebatkan isu-isu yang

sifatnya elementer dan tidak substantif. Secara teoritis, tingkat fragmentasi partai -dalam hal ini jumlah

partai-merupakan faktor yang menentukan struktur persaingan antarpartai, interaksi dan stabilitas

pemerintahan. Sementara itu tingkat polarisasi partai -yakni jarak ideologis antarpartai-menentukan

15 Semula ada 17 partai yang memperoleh kursi, namun berdasarkan keputusan Mahkamah Konstitusi tentang sengketa hasil pemilu, PNBK akhirnya tidak memperoleh satu pun kursi DPR.

Page 16: NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG·UNDANG ...berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200812...2020/08/12  · peninggalan Demokrasi Terpimpin (1959-1965) dan Orde Baru (1966-1998)

kualitas stabilitas P()litik, konflik, dan loyalitas pemilih terhadap partai. Denga demikian tingkat

fragmentasi dan polarisasi partai yang rendah cenderung menjadikan tata-kelola pemerintahan lebih

mudah dan efektif bagi eksekutif, dan sebaliknya tingkat fragmentasi dan polarisasi partai yang tinggi

cenderung memperlemah tata-kelola pemerintahan, serta mempersulit dicapainya konsensus, baik di

antara partai-partai, maupun antara parlemen dan pemerintah16.

Dalam rangka mewujudkan sistem pemerintahan presidensial dan sistem perwakilan yang kuat,

maka sistem pemilu harus mendorong terbentuknya sistem multipartai dengan tingkat fragmentasi

uumlah partai) dan polarisasi uarak dan pengelompokan ideologis antarpartai) yang rendah, atau

sekurang-kurangnya tingkat fragmentasi dan polarisasi partai sedang. Selain faktor sistem kepartaian,

kualitas institusionalisasi partai-partai secara internal dan kualitas kepemimpinan partai juga sangat

menentukan efektifitas kerja partai dan sistem kepartaian di dalam sistem demokrasi. Oleh karena itu

penyempumaan sistem kepartaian harus dipandang sebagai agenda tak terpisahkan dari upaya

memperkuat sistem pemerintahan presidensial di satu pihak dan penguatan sistem perwakilan di lain

pihak.

Di samping itu untuk mendukung presidensialisme yang kuat dan efektif maka sistem kepartaian

yang dihasilkan pemilu semestinya mengkondisikan terjadinya koalisi antarpartai dengan basis ideologi

dan atau platform politik yang sama atau mendekati sama, sehingga di lembaga parlemen terbentuk

koalisi partai pendukung pemerintah di satu pihak, dan koalisi partai oposisi di pihak lain. Sementara itu

sebelum pemilu legislatif berlangsung, UU kepartaian dan UU pemilu hendaknya mendorong partai­

partai saling bergabung dan atau saling berkoalisi dengan kompensasi politik yang disepakati melalui

perjanjian kerjasama dan atau penggabungan di antara partai-partai.

Sehubungan dengan kebutuhan dukungan sistem kepartaian untuk memperkuat dan

mengefektifkan sistem presidensial, paling kurang ada tiga arah sekaligus tujuan penyempumaan sistem

kepartaian melalui UU Partai Politik, yaitu: (1) mengkondisikan terbentuknya sistem multipartai

sederhana; (2) mendorong terciptanya pelembagaan partai yang efektif dan kredibel; (3)

mengkondisikan terbentuknya kepemimpinan partai yang demokratis dan akuntabel; dan (4) mendorong

penguatan basis dan struktur kepartaian pada tingkat akar-rnmput.

Ill. Ruang Lingkup dan Pokok-pokok Revisi UU Bidang Politik

1. Ruang Lingkup Revisi UU Pi/pres

16 Lihat Suatu Kerangka Keifa Pengembangan Partai Politik yang Demokratis, Netherlands Institute for Multiparty Democracy (IMO), 2006, hal. 7.

Page 17: NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG·UNDANG ...berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200812...2020/08/12  · peninggalan Demokrasi Terpimpin (1959-1965) dan Orde Baru (1966-1998)

1.1. Latar Belakang

Pada tanggal 9 November 2001 dan 10 Agustus 2002 MPR RI telah mengesahkan perubahan

(amandemen) ketiga dan keempat UUD 1945, setelah sebelumnya pada 1999 dan 2000 mensahkan

amandemen pertama dan kedua. Melalui empat tahap amandemen tersebut sistem pemerintahan

negara Indonesia lebih dipertegas kembali dengan memilih sistem presidensial. Perubahan itu antara

lain diatur dalam Pasal 6A ayat (1) yang menetapkan, "Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu

pasangan secara langsung oleh rakyat", dan juga Pasal 7 yang berbunyi, "Presiden dan wakil presiden

memegang masa jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang

sama, hanya untuk satu kali masa jabatan". Pasal-pasal tersebut menunjukkan jelasnya pilihan terhadap

sistem pemerintahan presidensial.

Pilihan politik untuk kembali pada sistem pemerintahan presidensial ini sekaligus merupakan

koreksi terhadap otoritarianisme era Orde Baru. Seperti diketahui, presidensialisme pada masa Orde

Baru tidak didukung oleh pemilihan presiden secara demoktratis. Presiden dipilih oleh MPR yang

susunan dan keanggotaannya didesain sedemikian rupa dalam rangka melanggengkan atau

melestarikan kekuasan presiden. Melaiui aturan-aturan politik sistemik, presiden dapat melanggengkan

kekuasaannya dengan mengkooptasi lembaga ini. lmplikasi dari mekanisme yang demikian adalah,

pertama, rendahnya tingkat legitimasi yang dimiliki oleh Presiden terpilih; dan kedua, bangunan politik

yang dihasilkan melalui mekanisme pemilihan yang bersifat kolutif tersebut cenderung otokratik

ketimbang demokratik.

Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat merupakan suatu langkah

dan bagian yang sangat penting serta fundamental dalam proses perubahan politik yang berlangsung

sejak reformasi 1998. Suatu transformasi struktur kekuasaan sangat mendasar yang menandai

perubahan dari bangunan kekuasaan otoritarian menuju ke suatu tatanan politik demokratis. Filosofi

dasar dari prinsip demokrasi adalah siapapun yang akan menjadi pemegang kekuasaan, pada tingkat

apapun dan cabang kekuasaan manapun harus mendapat mandat dari rakyat, karena rakyat adalah

pemegang kedaulatan tertinggi.

Sistem pemilihan presiden secara langsung dengan dua putaran yang berlaku dewasa ini jelas

jauh lebih baik dibandingkan sebelumnya kendati belum merupakan sistem yang ideal karena acapkali

pemilih dihadapkan bukan pada pilihan pasangan calon pemimpin yang baik atau yang buruk, tetapi

cenderung pada munculnya kandidat yang ~ebih populer dan kurang populer. Namun demikian sistem

semacam ini menjadi pilihan banyak negara lantaran dianggap lebih baik dari berbagai pilihan sistem

lainnya karena memungkinkan terpilihnya pemimpin yang mendapatkan mandat dan dukungan rakyat

secara langsung dan luas dari sebagian besar wilayah negara untuk jangka waktu tertentu.

Makna penting lainnya dari sistem pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung adalah

Page 18: NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG·UNDANG ...berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200812...2020/08/12  · peninggalan Demokrasi Terpimpin (1959-1965) dan Orde Baru (1966-1998)

untuk mewujudkan mekanisme keseimbangan kekuasaan (checks and balances) di antara cabang­

cabang kekuasaan yang ada. Dalam kaitan itu, pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung

diharapkan cabang kekuasaan eksekutif memiliki basis kekuasaannya sendiri yang terpisah dari basis

kekuasaan parlemen. Dengan demikian, presiden memiliki kekududukan yang kuat, dan oleh sebab itu

parlemen tidak dapat menjatuhkan presiden karena kebijakannya, begitu juga sebaliknya, presiden

tidak dapat membubarkan parlemen.

Seperti dikemukakan di atas, amandemen konstitusi sebenarnya dimaksudkan untuk menata

ulang dan mengoreksi otoritarianisme pemerintahan Orde Baru. Namun seperti diketahui, sebagai

akibat kentalnya kompromi politik yang berorientasi jangka pendek, maka yang cenderung terjadi

pasca-amandemen konstitusi adalah kerancuan sistemik antara pilihan formal presidensialisme di satu

pihak dan praktik serta perilaku parlementarianisme di pihak lain. Praktik parlementarianisme ini antara

lain tercermin dari realitas politik yang menunjukkan bahwa pengangkatan atau usulan pemberhentian

sejumlah menteri dalam kabinet yang disusun oleh presiden cenderung berdasarkan pengaruh dari

partai-partai yang duduk di parlemen, meskipun partai-partai tersebut tidak mendukung pasangan calon

presiden-wapres yang akhirnya terpilih.

Sehubungan dengan itu, naskah ini bermaksud mengusulkan penataan ulang sistem dan proses

pemilihan presiden langsung pada masa mendatang yang memungkinkan terbentuknya pemerintahan

yang kuat, efektif, stabil selama lima tahun, serta terbangunnya cheks and balances. Untuk itu

diperlukan revisi UU Pilpres guna memperkuat dan meningkatkan efektifitas sistem presidensial.

Agenda tersebut antara lain perubahan persyaratan partai/gabungan partai yang berhak mengajukan

pasangan calon presiden-wapres, penataan kampanye, pelembagaan pidato kekalahan dari pasangan

kandidat, dan perubahan tata cara pelantikan pasangan presiden-wapres terpilih.

12.Problematika UU Pemilihan Presiden

1.2.1. Hubungan Presiden-Wapres dan Presiden-DPR

Sejak tahun 2004 Indonesia memasuki tahap baru dengan telah berjalannya proses pilpres secara

langsung dan demokratis, namun dalam praktiknya masih ada kendala yang terjadi kemudian. Sistem

pemilihan presiden yang sekarang cenderung menyulitkan kerja sama antara presiden dan wakil

presiden di satu pihak, maupun antara presiden dan parlemen di pihak lain. Hal ini disebabkan oleh

sistem pilpres yang ada sekarang pada satu sisi masih memungkinkan munculnya kandidat presiden

berasal dari partai kecil, tapi sangat populer dan memenangkan pemilihan, namun di sisi lain parlemen

(badan legislatiD dikuasai oleh mayoitas partai politik yang kalah dalam pilpres. Akibatnya, peluang

munculnya instabilitas atau kemacetan politik tidak dapat dihindarkan dan pemerintahan yang ada

cenderung tidak efektif. Hal itu terjadi karena terlalu rendahnya persyaratan bagi partai/gabungan partai

Page 19: NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG·UNDANG ...berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200812...2020/08/12  · peninggalan Demokrasi Terpimpin (1959-1965) dan Orde Baru (1966-1998)

dalam pencalonan presiden-wapres, serta belum dilembagakannya koalisi permanen antar partai

pendukung pasangan kandidat.

Selain itu, penggabungan dan atau koalisi partai pengusung pada Pilpres 2004 lebih didasarkan

pada pragmatisme politik, ketimbang diikat oleh kesamaan visi dan landasan politik dalam rangka masa

depan bangsa yang lebih baik. Koalisi yang bersifat cair dan dibangun sesaat tersebut cenderung

menjadikan rentannya dukungan atas pasangan calon presiden terpilih oleh partai-parta~

pengusungnya. Dengan fondasi yang sangat rapuh ini, maka tidak mengherankan jika acapkali terjadi

perbedaan yang tajam antara parlemen dan pemerintah terpilih di satu pihak dan di antara sesama

pendukung pemerintah di pihak lain.

Selain itu, problematik lain dari UU Pilpres dewasa ini adalah belum konsistennya tata cara

pelantikan pasangan calon presiden terpilih sesuai prinsip yang berlaku dalam presidensialisme.

Pelantikan pasangan presiden-wapres terpilih masih dilakukan di gedung parlemen, padahal mereka

adalah pasangan hasil pemilihan langsung oleh rakyat yang tidak bertanggung jawab kepada parlemen.

Pelantikan kepala negara di gedung parlemen menyiratkan bahwa sistem yang berjalan adalah

parlementer, padahal sistem pemerintahan yang di1gunakan sesuai perubahan konstitusi adalah

penegasan kembali pada presidensialisme.

1.2.2. Dilerna Pencalonan dan Posisi Kader Non-Partai

Adapun problematika UU Pilpres lainnya adalah kualifikasi kandidat presiden dan wakil belum diatur

secara rinci sehingga mekanisme rekruitmen yang demokratis belum disepakati oleh semua partai yang

berhak mengajukan pasangan kandidat presiden-wapres. Proses seleksi yang terjadi cenderung belum

kompetitif dan belum transparan. Begitu juga asal pasangan calon apakah harus dari kader internal

partai, kedua pasangan calon presiden dan wakil harus dari partai yang sama atau bisa berbeda dan

apakah boleh dibuka untuk publik/nonkader yaitu dari calon independen atau harus kader partai

tersebut, masih menghasilkan dilema.

Kriteria calon yang akan dimajukan apakah memerlukan pengaturan sebaiknya harus kader partai

atau boleh membuka pintu untuk calon independen tampaknya menjadi permasalahan tersendiri.

Keberatan itu antara lain berkaitan dengan persoalan belum terbangunnya sistem kaderisasi yang baik

di dalam partai-partai politik. Begitu juga syarat pengusungan calon nonpartai akan bermasalah bila

dikaitkan berapa biaya yang wajar yang harus ditanggung oleh calon independen agar namanya bisa

diusung menjadi kandidat dari partai tersebut. Hanya calon yang kaya yang bisa maju dan calon yang

memiliki integritas dan pengalaman tetapi tidak memiliki dana yang cukup, tentu tipis kemungkinannya

bisa berkompetisi dalam pilpres.

Dari lima pasangan kandidat presiden dan wakil presiden yang bersaing dalam Pilpres 2004,

Page 20: NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG·UNDANG ...berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200812...2020/08/12  · peninggalan Demokrasi Terpimpin (1959-1965) dan Orde Baru (1966-1998)

hanya seorang kandidat yang telah melalui proses konvensi yang dilakukan oleh partai pengusung, yakni

Wiranto yang dicalonkan oleh Partai Golkar. Sedangkan partai lain tidak membuat keputusan

pencalonan melewati proses tatacara pemilihan internal partai yang berjenjang dan melibatkan

perwakilan pengurus di tingkat daerah. Namun demikian ada juga penilaian bawah proses konvensi

tersebut cenderung masih berlangsung tertutup, elitis dan belum melibatkan publik secara terbuka.

Di sisi lain, bila calon yang diusung bukanlah kader yang berjuang dan dipersiapkan oleh partai

yang bersangkutan untuk menjadi kandidat yang akan dimajukan sebagai pasangan presiden, bisa jad~

dalam proses seleksinya akan menjadi dilema tersendiri bagi pengurus dan anggota partai atau

gabungan partai. Calon dari luar adalah pihak lain yang mengambil peluang para kader untuk

mobilitasnya, dan ini tentu menyalahi asas kaderisasi partai. Namun jika kemungkinan calon dari luar

untuk dimajukan oleh partai ditutup maka kemungkinan partai memenangkan calon yang populer dan

didukung oleh masa bisa pula hilang. Partai tersebut bisa jadi akan dianggap tidak mengakomodir

agenda demokratisasi dan sirkulasi elite secara terbu1ka. Belum lagi bila ada kepentingan sebagian

pengurus partai yang % membuka kemungkinan calon lain ikut konvensi partai tersebut sebatas

formalitas, tetapi tujuan utamanya untuk mengumpulkan dana politik dari yang bersangkutan.

1.2.3 Problematik AkuntabWtas Kampanye dan Pendanaan

Selain probelematik di atas, pencalonan presiden dan wapres pun belum disertai dengan persyaratan

proyeksi komposisi kabinet yang akan dibentuk apabila pasangan kandidat terpilih. Selama ini hak

pemilih untuk mendapatkan informasi transparan tentang komposisi menteri yang akan dibentuk oleh

pasangan kandidat jika menang, belum diatur oleh UU Pilpres. Akibatnya ketika penyusunan kabinet,

banyak pemilih yang kecewa, karena tidak pernah membayangkan orang tertentu yang dianggap kurang

berkualitas, malah masuk menjadi menteri ketika pasangan calon tertentu terpilih.

Di sisi lain, dalam visi dan misi yang diajukan oleh pasangan kandidat presiden belum memuat

rencana pembangunan jangka menengah dan panjang yang menjadi prioritas pemerintahan jika terpilih.

Selama ini pasangan kandidat hanya menyampaikan visi dan misi yang bersifat umum dan cenderung

seragam antara satu pasangan dengan pasangan lainnya. Masa kampanye yang terlalu singkat (30 hari)

mengakibatkan pemilih tidak mempunyai waktu yang cukup untuk mengenali kinerja dan kapasitas

pasangan kandidat. Akibatnya, pasangan kandidat tidak mempunyai cukup waktu untuk berinteraksi

dengan konstituennya, serta memperkenalkan program-programnya.

Pendeknya masa kampanye cenderung mendorong partai politik dan/atau pasangan calon untuk

mengambil jalan pintas melakukan money politics maupun cara-cara manipulatif lainnya, demi

memenangkan pilpres. Pembatasan waktu kampanye sedikit banyak bisa menyumbang kondisi

penghalalan segala cara. Hal yang sebaliknya akan terjadi bila waktu kampanye tidak dibatasi waktunya

Page 21: NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG·UNDANG ...berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200812...2020/08/12  · peninggalan Demokrasi Terpimpin (1959-1965) dan Orde Baru (1966-1998)

hingga masa tenang seminggu sebelum hari pemilihan. Sehingga cara-cara normal dan rasional akan

bisa dilakukan oleh para calon baik yang memili dana yang banyak atau calon yang memiliki dana

terbatas tetapi mempunyai integritas dan inovasi perbaikan untuk disosialisasikan, dibuktikan dan

kemudian bisa dipersandingkan antarpasangan kandidat dalam kurun waktu yang relatif panjang, guna

pertimbangan dan sekaligus menarik dukungan pemilih.

Begitu pula penggunaan media massa untuk kampanye secara tak terkontrol (pemberitaan,

blocking time, dan iklan kampanye), cenderung hanya menguntungkan pasangan calon yang

memiliki modal besar. lni akan terjadi karena waktu kampanye sangat pendek sehingga tim sukses

akan menonjolkan figur dan menaikkan popularitas calonnya melalui media massa. Selain itu ada

problematik yang lain menyangkut akuntabiltas dana kampanye. Publik tidak bisa mengetahui

kemungkinan munculnya penyimpangan yang dilakukan kandidat dalam hal sumber dana kampanye

maupun penggunaannya karena tidak ada kewajiban bagi KPU untuk mengumumkannya.

Selain itu, regulasi tentang dana kampanye pada undang-undang pilpres juga tidak menjelaskan

jumlah sumbangan yang wajib dicatat oleh bendahara dari partai politik dan/atau gabungan partai

mengenai bentuk, jumlah sumbangan dan identitas lengkap pemberi sumbangan. Sebaiknya KPU hanya

membuat peraturan bahwa sumbangan lebih dari lima juta rupiah wajib dicatat dengan menggunakan

formulir standar penerimaan.

Kedua, meskipun dalam rangka pengumpulan dana kampanye partai politik dan atau gabungan

partai harus berpegang pada batas maksimal sumbangan kampanye, akan tetapi tidak ada pengaturan

lebih Ian jut mengenai larangan untuk mentrasfer dana dari rekening partai politik ke rekening dana

kampanye. Hal ini pada akhirnya tidak mampu menjamin prinsip kesetaraan politik di mana partai yang

memiliki sumber daya dan dana yang besar, tinggal menggunakan untuk keperluan kampanye. Donatur

dapat menyumbang jauh-jauh hari sebelum pemilu sehingga akumulasi sumbangan dapat melampaui

ketentuan batas sumbangan bagi kampanye.

Ketiga, undang-undang yang ada juga tidak menjelaskan mengenai penggunaan dana

kampanye. Tidak ada difinisi mengenai aktivitas yang boleh didanai, bagaimana pencatatan

pengeluaran dana kampanye serta batas maksimal pengeluaran. lni mengakibatkan akuntabilitas

pengeluaran untuk kampanye menjadi tidak ada. Selain itu, akan terjadi kesenjangan antara partai

besar dan partai kecil dalam hal belanja untuk kampanye terutama penggunaan iklan dalam media

massa yang pada akhirnya menjadikan kompetisi antarpasangan calon menjadi tidak seimbang.

Begitu pula belum ada definisi yang jelas perihal badan hukum dan perseorangan, apakah

mencakup 'partai politik', 'pasangan calon', 'anggota dan pengurus partai politik', dan 'anggota tim

kampanye'. Ketentuan ini juga tidak mengatur mengenai utang dari parpol, individu, badan hukum dan

pihak ke-3, seperti utang iklan di TV swasta. Tidak adanya pengaturan yang jelas perihal sumbangan

Page 22: NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG·UNDANG ...berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200812...2020/08/12  · peninggalan Demokrasi Terpimpin (1959-1965) dan Orde Baru (1966-1998)

dari badan hukum swasta apakah mencakup induk perusahaan dan anak-anak perusahaannya.11

1.2.4. Be/um Diantisipasi Potensi Konflik Pascapilpres

Belum dilembagakannya pidato kekalahan secara formal di negeri kita bisa menyebabkan munculnya

gejolak di lapangan saat pengumuman hasil akhir pilpres. Bagaimana mengatur agar ada keberadaban

politik dan ada semacam tindakan sportif dari pasangan calon dan tim sukses bila mereka kalah dalam

kompetisi pilpres agar tidak menimbulkan huru-hara di tingkat massa pendukung. Tiadanya

pelembagaan pidato kekalahan ini berpeluang untuk dimanipulasi oleh pihak yang tidak sportif untuk

meragukan hasil akhir pilpres yang kemudian berdampak pada munculnya konflik dan gejolak politik.

Sebagai contoh kasus saat pengumuman Pilpres 2004, kekalahan atau tidak terpilihnya Megawati

menjadi presiden telah menimbulkan kemarahan sebagian besar massa pendukungnya di Bali

dan Lampung. Dalam kaitan ini, peran pasangan calon yang kalah untuk menenangkan massa

pendukungnya melalui pidato (pengakuan) kekalahan secara sportif menjadi penting untuk

dilembagakan pada masa mendatang.

1.3.Cakupan Revisi UU Pemilihan Presiden

Ada sejumlah langkah penataan yang perlu dilakukan berkaitan dengan revisi UU Pilpres yaitu antara

lain: perubahan persyaratan pencalonan pasangan kandidat, penataan tim kampanye dan tim sukses,

penataan materi kampanye, perubahan batas waktu kampanye, pengaturan penggunaan media massa

dalam kampanye, pengaturan soal larangan dan dana kampanye, pelembagaan pidato kekalahan dan

perubahan tata cara pelantikan calon terpilih. Penjelasannya secara lebih lengkap diuraikan berikut ini:

1.3.1.Perubahan Persyaratan Penca/onan

Berdasarkan pengalaman Pilpres 2004, terjadi disharmoni dalam hubungan presiden dan wakil presiden

terpilih yang antara lain disebabkan oleh rentang waktu dalam proses pembentukan koalisi yang sangat

pendek. Pembentukan koalisi tersebut cenderung hanya berdasarkan kepentingan pragmatis jangka

pendek dari kandidat dan partai/gabungan partai pengusung. Koalisi permanen dan kuat sulit akan

terbangun di waktu yang akan datang jika tidak ditata secara seksama dari sekarang ini. Apalagi dalam

regulasi yang ada dewasa ini UU Pilpres hanya mensyaratkan prosentase perolehan kursi minimal

sebesar 15% atau 20% perolehan suara secara nasional hasil Pemilu DPR bagi partai/gabungan partai

yang hendak mengusung pasangan kandidatnya.

Persyaratan tersebut menjadikan jumlah pasangan calon yang muncul pada Pilpres 2009 bisa

mencapai tiga hingga lima pasangan calon. Akibatnya proses pemilihan presiden dapat berlangsung

17 Lihat pula executive summary "Perubahan Pasal Dana Politik di dalam Paket Undang-undang Politik" oleh Tim Cetro, Til, ICW, Perludem dan IAl-KSAP, Desember 2006.

Page 23: NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG·UNDANG ...berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200812...2020/08/12  · peninggalan Demokrasi Terpimpin (1959-1965) dan Orde Baru (1966-1998)

dalam dua putaran. Konsekuensi dari hal ini adalah munculnya ekonomi biaya tinggi dalam pelaksanaan

pemilihan presiden, serta kemungkinan potensi konflik yang lebih panjang yang terbangun atas

perbedaan pilihan yang dapat mengakibatkan fragmentasi hubungan sosial pada aras masyarakat.

Untuk membangun sistem presidens.ial yang kuat dan efektif, maka diperlukan penataan kembali

mekanisme pencalonan melalui pengaturan sbb: (1) pemberlakuan syarat pembentukan koalisi partai

secara permanen atas dasar platform politik yang sama sebagai kriteria pengajuan pencalonan

pasangan Presiden-Wapres di masa mendatang; (2) pencalonan pasangan Presiden-Wapres hams

dilakukan oleh partai/koalisi partai yang memperoleh suara minimal 30% dalam Pemilu DPR; (3)

pasangan calon berasal dari satu partai/koalisi partai yang sama. Pengaturan tersebut penting dilakukan

untuk mendorong terbangunnya beberapa kondisi yang diperlukan bagi terlembaganya

presidensialisme yang kuat dan efektif yakni:

1) Adanya stabilitas dan efektifitas kabinet presiidensial, sehingga risiko terjadinya penarikan

dukungan menteri-menteri relatif bisa dikurangi. Hal ini terjadi karena adanya pengawalan bersama

dan ikatan koalisi partai dari sejak awal dan bukan pada saat pencalonan saja;

2) Memungkinkan terbentuknya dua kekuatan di parlemen, yakni antara koalisi partai yang berkuasa

dan koalisi partai yang beroposisi, sehingga terbangun hubungan partai pemerintah dan partai

oposisi sebagai bagian checks and balances antara eksekutif dan legislatif. Kekuatan oposisi yang

terbangun adalah oposisi yang bersifat konstruktif-demokratis yang lebih menekankan penegakan

nilai-nilai demokrasi dengan meletakkan kehendak bersama di atas kepentingan kelompok

atau golongan, dan bukan oposisi destruktif-oportunis maupun oposisi fundamental-ideologis.1a

3) Membuka peluang yang lebih besar bagi terdapatnya dua pasangan calon dan pemilihan

presiden satu putaran saja.

1.3.2. Pelembagaan Konvensi Pra-pencalonan

Untuk memperoleh pasangan calon presiden-wapres terbaik, menghindari penentuan calon secara

oligarkis oleh pimpinan partai/koalisi partai, dan memberi kesempatan bagi publik berpartisipasi dalam

proses pencalonan, maka perlu pelembagaan proses konvensi partai/koalisi partai mendahului

pencalonan secara resmi. Proses konvensi tersebut hendaknya berlangsung secara demokratis dan

transparan secara publik. Mekanisme konvensi adalah ruang bagi perseorangan non-partai untuk turut

serta berkompetisi sebagai kandidat presiden-wapres kendati tetap hams mematuhi prosedur internal

18 Oposisi desktruktif-oportunis adalah oposisi yang dibangun oleh kelompok yang kalah dalam pemilu yang bertujuan untuk merugikan pemenntahan. Oposisi fundamental-ideologis, adalah oposisi yang dibangun tidak hanya ingin meraih kekuasaan, tetapi menggantikan sistem ketatanegaraan yang ada.

Page 24: NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG·UNDANG ...berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200812...2020/08/12  · peninggalan Demokrasi Terpimpin (1959-1965) dan Orde Baru (1966-1998)

dan platform partai/koalisi partai pengusung.

1. 3.3.Penataan Kampanye

1.3.3.1. Komposisi Galon Menteri Diumumkan

Dalam sistem presidensial para menteri adalah pembantu presiden yang diangkat dan bertanggung

jawab kepada presiden, bukan pada parlemen. Untuk mengarah ke sana maka perlu dirancang agar

komposisi para calon menteri telah diumumkan secara resmi dan diproyeksikan sebagai "kabinet

tersusun" yang akan diangkat menjadi tim menteri bila pasangan calon tertentu terpilih. Dengan

demikian masyarakat bisa menilai "kabinet" yang direncanakan oleh pasangan calon dan menjadi dasar

untuk menentukan pilihan dalam pemilu. Menjadi di1lema bagi pemilih bila tim sukses tidak jelas

orangnya atau jelas orangnya tapi malah orang lain yang bukan dari koalisi yang mengusung presiden

malah masuk dalam kementerian.

1.3.3.2. Pengaturan Tim Kampanye dan Tim Sukses

Untuk bisa dinilai integritasnya oleh konstituen, tim kampanye dan tim sukses yang disusun pasangan

calon hams diumumkan secara resmi melalui media massa. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan

informasi yang cukup tentang siapa saja yang menjadi pendukung presiden. Siapa saja yang secara

resmi mengumpulkan dana kampanye untuk menghindari tindak penipuan para pelaku yang mungkin

'mengail di air keruh'.

Untuk itu meknismenya tim kampanye dan tim sukses hams terdaftar di KPU atau Panitia

Penyelanggara Pemilu. Tim kampanye dan tim sukses yang tidak terdaftar dan tidak memiliki bukti

sertifikasi dilarang melakukan kegiatan kampanye dan kegiatan lainnya yang bertujuan menyukseskan

kemenangan kandidat. Tim kampanye yang diumumkan tersebut aktor utamanya bisa saja atau

sebaiknya merupakan representasi komposisi kabinet tersusun yang akan dibentuk apabila pasangan

kandidat memenangkan pemilu. Hal iini bisa menjadi salah satu pertimbangan bagi pemilih untuk

memilih komposisi yang terbaik dari pasangan kandidat yang bertarung.

Pada intinya, langkah perbaikan mekanisme kampanye bisa diatur lewat penataan kembali aturan

main bagi tim kampanye dan tim sukses. Adapun hal-hal yang perlu dipertimbangkan antara lain: (1) tim

kampanye dan tim sukses yang disusun pasangan calon hams diumumkan secara resmi melalui media

publik; (2) tim kampanye dan tim sukses hams terdaftar di KPU; (3) tim kampanye dan tim sukses yang

tidak terdaftar dilarang melakukan kegiatan kampanye dan kegiatan lainnya yang bertujuan

menyukseskan kemenangan kandidat; (4) tim kampanye yang diumumkan tersebut bisa saja

merupakan representasi komposisi kabinet yang akan dibentuk atau tersusun apabila pasangan kandidat

menang.

Page 25: NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG·UNDANG ...berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200812...2020/08/12  · peninggalan Demokrasi Terpimpin (1959-1965) dan Orde Baru (1966-1998)

1.3.3.3.Penataan Materi dan Mekanisme Kampanye

Pilpres mendatang dibayangkan akan diikuti oleh para calon yang semakin berkualitas. Kualitas itu

antara lain dilihat dari kemampuan mereka menyusun materi kampanye yang tidak lagi abstrak dan sulit

diukur implementasinya. Pasangan calon wajib menyampaikan visi, misi dan program kerja

pemerintahan yang akan dilakukan. Program kerja pasangan calon merupakan perwujudan konkrit dari

visi dan misi yang harus disertai rincian cara pencapaiian program, indikator capaian dan target waktu

program tersebut. Hal tersebut wajib disampaikan pada saat kampanye sebagai agenda pembangunan

institusi lembaga kepresidenan dan kementerian negara.

Persoalan lain yang perlu diatur dalam mekanisme kampanye adalah pengaturan mengenai debat

publik. Debat publik harus dilakukan secara terbuka yang wajib dihadiri oleh pasangan calon. Hal ini

untuk menunjukkan kesungguhan dan tanggung jawabnya sebagai calon pemimpin nasional. Untuk itu

apabila ada pasangan calon yang mencari-cari alasan untuk tidak hadir, perlu dikenakan sanksi. Debat

publik wajib diliput secara nasional oleh media massa.

Dari uraian di atas maka, upaya untuk penataan materi kampanye pilpres bisa dilakukan melalui:

(1) penguatan kualitas materi dan cara kampanye. Materi kampanye perlu terukur dan bisa diverifikasi

oleh berbagai pihak; (2) debat publik terbuka yang wajib dihadiri oleh pasangan calon untuk diliput oleh

media secara nasional dan interaktif. Jika ada calon yang tidak hadir maka bisa saja pasangan

bersangkutan dikenakan sanksi akan didiskualifikasi; (3) pasangan calon sebaiknya wajib pula

menyampaikan visi, misi dan program kerja pemerintahan yang akan dilakukan. Program kerja

pasangan calon merupakan perwujudan nyata dan operasional dari visi dan misi yang hams disertai

rincian cara pencapaian program, indikator capaian dan target waktu program tersebut; (4) perlu pula

pengaturan payung hukum lewat UU ini, agar substansi kampanye yang berupa program yang

operasional tersebut wajib untuk menjadi program kerja kabinet yang tersusun dari pasangan kandidat

terpilih. Hal ini perlu dirancang agar hasil pilpres yang ada, bukan hanya sukses menurut kriteria

demokrasi prosedural, tetapi juga sukses atau gaga! menurut hakikat demokrasi substansial.

1.3.3.4.Pengaturan Larangan dan Dana Kampanye

Hal-hal yang memuat pelarangan kampanye perlu disertai dengan sanksi yang operasional dan pihak yang

akan menegakkannya di lapangan. Pasangan calon yang melanggar ketentuan larangan kampanye

dapat dikenai sanksi administratif sampai ke yang terberat yakni pembatalan sebagai pasangan calon.

Jika pelanggaran bersifat administratif, kandidat dan tim suksesnya (sesuai kasusnya di tingkat

pusat/daerah) akan dikenai denda yang ditetapkan oleh pengadilan. Pilpres yang tidak disertai

penegakkan hukum di lapangan akan menghasilkan pilpres yang cacat secara prosedural.

Page 26: NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG·UNDANG ...berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200812...2020/08/12  · peninggalan Demokrasi Terpimpin (1959-1965) dan Orde Baru (1966-1998)

Transparansi dan akuntabilitas dana kampanye oleh tim sukses perlu pula ditegakkan. Tim

sukses dan kandidat dilarang menerima bantuan dana melebihi nominal tertentu yang dikhawatirkan

akan mengikat presiden terpilih melakukan tindakan KKN (Kolusi, Korupsi dan Nepotisme)

pascaterpilih. Hal ini dikarenakan regulasi yang ada tidak mengatur secara jelas sumbangan yang

berasal dari partai politik (untuk setiap tingkatan), gabungan antarpartai maupun pasangan kandidat,

khususnya terkait dengan sumbangan yang berbentuk bukan tunai (in natura), seperti diskon,

penggunaan faslitas, dll.

Sumbangan dana kampanye pemilu yang diatur dalam undang-undang dewasa ini hanyalah dalam

bentuk uang dan hutang. Sedangkan sumbangan natl.Ira (barang), bantuan dalam bentuk jasa, diskon

ataupun fasilitas dari perseorangan atau badan hukum swasta tidak disebutkan sama sekali. Akibatnya

donatur bisa saja memberian bantuan yang melebihi ketentuan dengan mengggunakan bentuk

sumbangan seperti pemberian fasiiitas trasnportasi, memberikan bahan-bahan cetakan untuk

kampanye ataupun diskon untuk penggunakan fasilitas seperti hotel dan sebagainya. Bantuan dalam

jumlah besar dan tidak tercatat tersebut, sangat pote11sial untuk dilanggar oleh partai politik peserta

pemilu.

Untuk meningkatkan kualitas transparansi dan akuntabilitas dana kampanye Pilpres di dalam UU

perlu diatur lebih rinci mengenai ketentuan dana kampanye. Hal ini diperlukan untuk membangun

proses pilpres yang baik secara prosedural, agar transparan dan bisa diketahui oleh publik sehingga

mendorong terbangunnya good governance pascapemilu antara lain19:

• Ada ketentuan yang mewajibkan audit terhadap pengeluaran dana kampanye Pilpres;

• Laporan penggunaan dana kampanye (sumber maupun pengeluaran) perlu diumumkan pada

publik melalui media massa seminggu sebelum hari pemberian suara;

• Adanya konfirmasi tentang kelayakan penyumbang di dalam proses audit;

• Harus ada ketentuan baku tata cara serta tindak lanjut dan sanksi yang jelas terhadap temuan

permasalahan yang dihasilkan dari proses audit;

• Pengaturan bahwa sumbangan dari perorangan yang berasal dari pengurus partai atau kandidat

disamakan statusnya dengan penyumbang perorangan. Sumbangan in natura yang diterima tim

kampanye maupun pasangan calon harus dihitung dalam uang dan terikat batasan sumbangan

untuk individu dan badan hukum;

• Sumbangan partai politik dikenai ketentuan seperti halnya ketentuan untuk badan hukum;

• Utang dari individu, badan hukum dan partai politik kepada kandidat dan tim sukses harus dihitung

sesuai dengan batasan sumbangan individu dan badan hukum;

19 Lihat, "Perubahan Pasal Dana Politik di dalam Paket Undang-undang Politik" oleh Tim Cetro, Til, ICW, Perludem dan IAl­KSAP, Desember 2006.

Page 27: NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG·UNDANG ...berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200812...2020/08/12  · peninggalan Demokrasi Terpimpin (1959-1965) dan Orde Baru (1966-1998)

• Sumbangan pengusaha hanya dapat dilakukan satu kali dari induk perusahaan. Aliran dana harus

lewat perbankan nasional untuk diverifikasi oleh pihak berwenang dan sesuai pengaturan tentang

antimoney laundring;

Adanya aturan secara rinci mengenai identitas penyumbang. Kewajiban mencatat sumbangan di

bawah Rp. 5 juta yang dilakukan lebih dari satu kali dan menyimpan catatannya lewat bendahara

partai politik. Batas bawah pencatatan perlu diturunkan;

Aturan yang tegas bagi pihak-pihak yang digunakan namanya atau perusahannya untuk

menyumbang padahal tidak memiliki kemampuan;

• Penelusuran kewajaran kemampuan menyumbang dari NPWP individu maupun badan usaha;

• Perlu ada kejelasan tentang definisi 'pihak asing' terutama perusahaan asing apakah domisilinya di

luar Indonesia atau karena kepemilikan saham maksimum (di atas 50%) oleh pihak asing. Perlu

juga diatur batasan sumbangan dari NGO asing, baik jenis NGO atau jenis pembiayaannya, ke

partai politik atau kandidat;

• Perlu dijelaskan secara jelas kapan rekening dana kampanye dapat dibuka dan berapa ketentuan

saldo awal yang wajar dalam membuka rekening khusus dana kampanye;

• Saldo awal dapat berasal dari rekening partai politik yang diatur batasan besarnya saldo awal;

• Ketentuan mengenai utang hams dikenakan bai'k jumlah maupun kategori penyumbangnya

dengan ketentuan yang diterapkan untuk penyumbang perorangan dan badan hukum;

• Adanya ketentuan kewajiban membuka laporan dana kampanye dan hasil audit laporan dana

kampanye ke publik lewat media nasional;

• Rekening dana kampanye yang dibuka hams dikoordinasikan oleh satu orang yang ditunjuk untuk

bertanggungjawab terhadap pencatatan dan pelaporan dana kampanye. Orang yang ditunjuk juga

bertanggungjawab mengkonsolidasikan semua rekening tersebut pada saat penyusunan laporan

dana kampanye ke KPU/KPUD;

• Sanksi administratif pelanggaran dana kampanye memerlukan model atau standar operasi baku

penanganan yang jelas dan cepat atas pelanggaran administratif;

• Sanksi pidana pelanggaran dana kampanye perlu ada definisi yang jelas mengenai politik uang dan

manipulasi dana kampanye. Perlu ada penanganan lebih cepat atas kasus-kasus politik uang yang

terjadi. Perlu ada percepatan proses penanganan kasus politik uang sehingga sanksi dapat segera

diterapkan kepada orang atau pihak-pihak yang tertibat.

1.3.3.4. Pelonggaran Batas Waktu Kampanye

Waktu kampanye yang begitu pendek menyebabkan para calon memakai cara pintas untuk meraih

Page 28: NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG·UNDANG ...berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200812...2020/08/12  · peninggalan Demokrasi Terpimpin (1959-1965) dan Orde Baru (1966-1998)

dukungan pemilih. Cara-cara itu antara lain politik uang, mobilisasi dan kooptasi kelembagaan birokrasi

dan kemasyarakatan yang mendorong pembusukan politik. Untuk mengatasi hal tersebut bisa dicari

jalan keluar berupa perubahan batas jadwal kampanye dari hanya ttga minggu menjadi relatif lebih

panjang atau lebih longgar, kecuali seminggu sebelum pemilihan sebagai minggu tenang. Dengan

demikian, kekhawatiran 'curi start' tidak perlu terjadi, penggunaan politik uang juga akan berkurang

akibat waktu kampanye yang tidak dibatasi terlalu ketat.

Waktu kampanye yang lebih leluasa ini berma11faat bagi pemilih, tim kampanye dan kandidat

untuk saling berinteraksi dalam waktu yang relatif lama. Materi kampanye, performance dan kapabilitas

calon pasangan presiden dapat dengan cermat dinilai dan diuji keberpihakannya oleh konstituen secara

tidak terburu-buru. Ada pemikiran bahwa jika waktu kampanye diperpanjang diharapkan bisa menekan

praktik money politics, kooptasi lembaga birokrasi dan TNl/Polri, kecenderungan "menjual" agama untuk

kekuasaan dan sejenisnya, untuk kemudian berubah menjadi penilaian atas track records pasangan

calon. Perubahan batas jadwal kampanye dari tiga minggu menjadi lebih panjang lagl bisa

dimanfaatkan untuk berkampanye dengan cara yang lebih etis dan rasional.

1.3.3.5.Pengaturan Media Kampanye

Kampanye melalui media massa pemerintah dan swasta, cetak maupun elektronik dalam bentuk berita

maupun iklan, perlu pengaturan dan pembatasan yang adil dalam frekuensi penayangan, penerbitan

dan jumlah halaman. Untuk pengaturan hal ini diawasi oleh Panwas dan melibatkan partisipasi tim

pemantau pemilu. Alasan pengaturan ini adalah agar pasangan calon yang memiliki uang banyak dan

memiliki saham di perusahan media tidak memonopoli publikasi dalam berkampanye melalui media

massa. Prinsip pilpres yang adil akan ditegakkan dalam pengaturan ini.

Untuk itu, penggunaan penggunaan media massa dalam kampanye perlu diatur antara lain: (1)

kampanye melalui media massa pemerintah dan swasta, cetak maupun elektronik dalam bentuk berita

maupun iklan, perlu pembatasan dalam frekuensi penayangan, penerbitan dan jumlah halaman; (2)

untuk pengaturan hal ini diawasi oleh Panwas dengan berkoordinasi deng~n Komisi Penyiaran Indonesia

dan lembaga pemantau pemilu yang bersifat independen dengan menyertakan bukti rekaman ulang

dan saksi ahli yang kuat secara integritas; (3) pelanggaran media untuk kampanye yang terjadi harus

cepat disikapi dan diberi sanksi denda atau diskualifikasi berdasarkan keputusan Mahkamah

Konstitusi/Mahkamah Agung sebagai perkara cepat yang harus didahulukan.

1.3.4.Pelembagaan Pidato Kekalahan

Untuk meredam potensi konflik dan fragmentasi kelompok masyarakat akibat kekalahan pasangan

kandidat yang mereka dukung, perlu mekanisme dan i1novasi politik untuk mengatasinya. Salah satu

bentuknya adalah mengatur ketentuan agar ada penegakan budaya politik demokratis. Caranya adalah

Page 29: NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG·UNDANG ...berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200812...2020/08/12  · peninggalan Demokrasi Terpimpin (1959-1965) dan Orde Baru (1966-1998)

melembagakan pidato kekalahan dari pasangan kandidat yang kalah pada saat pengumuman resmi

hasil Pilpres di kantor Komisi Pemilihan Umum yang disampaikan melalui televisi secara nasional.

Adanya tradisi politik penyampaian pidato kekalahan akan meningkatkan prinsip sportifitas

berkompetisi dalam Pilpres di Indonesia. Hal ini akan mendorong bagi pasangan kandidat maupun bagi

para pendukungnya untuk menjadi good winner and good loser. Selain itu, tradisi penyampaikan pidato

kekalahan diharapkan mampu meminimalisir mobilisasi massa oleh pasangan calon dan atau tim

sukses yang kalah, yang mengarah pada konflik horizontal dengan tujuan menggagalkan hasil pemilu.

Sengketa-sengketa politik yang masih mengganjal diharapkan mampu diakhiri oleh elite dengan

memperhatikan kepentingan bangsa yang lebih luas. Langkah ini akan menyatupadukan masyarakat

kembali pascapilpres untuk menerima dan mendukung pasangan terpilih.

Pelembagaan pidato kekalahan merupakan upaya struktural dan kultural membangun demokrasi

yang sehat. Upaya ini diharapkan menjadi janji dan kesepakatan bersama semua tim sukses dan para

pasangan kandidat untuk meminimalisir konflik dan fragmentasi kelompok masyarakat akibat

perbedaan pilihan selama proses Pilpres. Caranya antara lain ketika calon mendaftarkan diri mereka ke

kantor KPU hams bersedia menerima syarat ketentuan wajib untuk memberikan pidato kekalahan

dengan standar materi yang telah ditetapkan.

1. 3. 5. Perubahan Tata Cara Pelantikan

UUD 1945 menunjukkan kecenderungan ke arah sistem presidensial dengan pengaturan posisi presiden

sebagai kepala pemerintahan sekaligus sebagai kepala negara. Hal ini tampak dalam Pasal 4 ayat (1)

UUD 1945 yang menyatakan bahwa presiden adalah kepala pemerintahan dan penjelasan Pasal 10

sampai 15 yang mengungkapkan bahwa presiden adalah kepala negara.

Dengan demikian lembaga kepresidenen lewat UU Piplres yang juga mengatur soal lokasi

pelantikan pasangan calon terpilih sebaiknya dibuat untuk mampu memancarkan pilihan sistem

presidensial. Pelantikan pasangan presiden langsung didisain diadakan di lstana Negara (lstana

Merdeka). Dalam sistem presidensial, presiden dipilih melalui pemilihan langsung oleh seluruh rakyat

maka pelantikannya di "istana rakyat". lni penting u1ntuk meningkatkan unsur simbolik pasangan

presiden hasil pemilihan langsung oleh rakyat, maka sebaiknya pasangan terpilih dilantik oleh Ketua

Mahkamah Agung di lstana Negara, bukan di gedung MPH atau parlemen.

Hal itu sejalan dengan upaya untuk membangun penguatan tradisi pemerintahan dan oposisi

dalam sistem presidensialisme. Sejak dini lembaga kepresidenan bukan dilantik oleh ketua MPR karena

kedudukan MPR dan presiden adalah sejajar. Selain dipilih langsung, presiden terpilih akan memegang

jabatannya untuk jangka waktu lima tahun. Posisi presiden amat kuat sebab ia tidak bisa dihentikan di

tengah jalan oleh MPR karena alasan politik yang multitafsir. UUD 1945 hasil amandemen ketiga

Page 30: NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG·UNDANG ...berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200812...2020/08/12  · peninggalan Demokrasi Terpimpin (1959-1965) dan Orde Baru (1966-1998)

mengatur, presiden dan/atau wakilnya hanya dapat diberhentikan dalam masa jabatannya bila (i)

melakukan pelanggaran hukum berat, (ii) perbuatan tercela, atau (iii) tidak memenuhi syarat sebagai

presiden dan/atau wakil presiden. Melihat hasil amandemen UUD 1945, tampak sistem pemerintahan

Indonesia kian mendekati ciri-ciri presidensialisme murni.

Diharapkan bahwa revisi UU Pilpres ini bisa menghasilkan sistem presidensial yang lebih efektif

dan produktif, melalui hubungan legislatif dan eksekutif yang sehat dan konstruktif dalam kerangka

presidensialisme. Dengan demikian dalam jangka menengah dan panjang bisa terbangun demokrasi

yang tidak semata-mata prosedural, melaikan juga sekaligus substansial.

Page 31: NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG·UNDANG ...berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200812...2020/08/12  · peninggalan Demokrasi Terpimpin (1959-1965) dan Orde Baru (1966-1998)

1.4. Matriks Revisi UU Pemilu Presiden

No Arah dan Agenda Usulan Pengaturan Argumentasi Tujuan Penyempumaan

1 Pelembagaan Perubahan S)rarat • Pencalonan pasangan • Membuka peluang yang

koalisi partai partal/gabungan partai Presiden-Wapres lebih besar bagi

dalam proses pengusung pasangan dilakukan oleh terdapatnya dua pasangan

Pilpres (Urgensi calon Pilpres partai/koalisi partai calon dan satu putaran

pembentukan yang memperoleh Pilpres, sehingga akan

koalisi besar dan suara minimal 25-30% menghemat anggaran

permanen atas dalam pemilihan negara.

dasar platform legislatif. • Memungkinkan

politikdalam • Pendaftaran paket terbentuknya dua

pencalonan pilpres wajib melalui kekuatan politik di

pasangan proses konvensi/pemilihan partemen, yakni koalisi partai

Pres id en- intemal/koalisi partai secara yang berkuasa dan yang

Wapres) demokratis dan transparan. beroposisi.

Proses tersebut wajib • Adanya koalisi permanen

terbuka akan memperkuat dan

untukdiiliputolehpublik mengefektifkan sistem

secara langsung dan melalui presidensial.

media.

Page 32: NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG·UNDANG ...berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200812...2020/08/12  · peninggalan Demokrasi Terpimpin (1959-1965) dan Orde Baru (1966-1998)

2 Perbaikan • Penataan tim • Tim kampanye dan tim sukses • Hak pemilih untuk

mekanisme kampanye dan tim yang disusun pasangan calon mendapatkan infonnasi dan

kampanye sukses. harus diumumkan secara transparansi tentang

• Penataan materi resmi melalui media publik. komposisi menteri yang

kampanye • Tim kampanye dan tim sukses akan dibentuk oleh kandidat

harus terdaftardi KPU. jika menang Pilpres, dijamin

• Tim kampanye dan tim oleh UU ini lewat

sukses yang tidak terdaftar keharusan mengumumkan

di KPU dilarang melakukan nama-nama tim sukses.

kegiatan kampanye dan • Sebagaibahan

kegiatan lainnya yang pertimbangan bagi pemilih

bertujuan menyukseskan untuk melihat soliditas dan

kemenangan kandidat. kapasitas kabinet

• Tim kampanye yang mendatang.

diumumkan tersebut • Tim sukses yang

bisa menjadi representasi berkeringat mendapatkan

komposisi kabinet yang haknya menjadi menteri dan

akan dibentuk apabila pejabat publik lainnya.

pasangan kandidat • Kehadiran kandidat dalam

menang. debat publik merupakan

• Per1unya pengaturan forum yang tepat untuk

mengenai debat publik menilai kapasitas setiap

terbuka yang wajib dihadiri calon karena ketidakhadiran

oleh pasangan calon. calon menunjukkan

• Komposisi "cabinet tersusun" rendahnya komitmen

yang akan dibentuk oleh yang bersangkutan dalam

kandidat wajib disampaikan pilpres.

pada saat kampanye. • Visi, misi, program para

• Pasangan calon wajib kandidat sering hanya berisi

menyampaikan visi, misi dan cita-cita retorikdan kadang

program kerja pemerintahan kala hampir sama

yang akan dilakukan. antarcalon

Page 33: NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG·UNDANG ...berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200812...2020/08/12  · peninggalan Demokrasi Terpimpin (1959-1965) dan Orde Baru (1966-1998)

• Program kerja pasangan • Visi, misi dan program

calon merupakan yang tanpa disertai detail

perwujudan kongkrit dari rencana operasional,

visi dan misi yang harus cenderung menghasilkan

disertai rincian cara fenomena 'membeli kucing

pencapaian program, dalam karung'

indikator capaian dan • Ada janji kampanye tapi

target waktu program tanpa detail cara

terse but. pencapaianya merupakan

kekaburan yang menjurus

pada kebohongan terhadap

publik.

• Kampanye tanpa disertai

cara operasional

pencapaian program yang

rinci merupakan indikasi

kegagalan pembangunan

demokrasi substansial.

Perubahan batas waktu Perubahan batas jadwal • Agar pemilih dan kandidat

kampanye kampanye dari 3 minggu punya waktu yang panjang

menjadi lebih longgar untuk saling berinteraksi

(diperpanjang). soal materi kampanye,

performance dan

kapabilitas calon

pasangan presiden.

• Menekan praktik

money politics dan

sejenisnya.

Pengaturan Kampanye melalui media Agar pasangan calon yang

penggunaan media massa pemerintah dan swasta, memiliki uang banyak dan

massa dalam cetak maupun elektronik dalam memiliki saham di perusahaan

kampanye bentuk berita maupun iklan, media tidak mernonopoli

perlu pembatasan publikasi

Page 34: NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG·UNDANG ...berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200812...2020/08/12  · peninggalan Demokrasi Terpimpin (1959-1965) dan Orde Baru (1966-1998)

dalam frekuensi penayangan, dalam berkampanye melalui

penerbitan dan jumlah media massa.

halaman. Untuk pengaturan

hal ini diawasi oleh

Banwas/Panwas.

Larangan kampanye • Hal-hal yang memuat Pelanggaran Pilpres yang

& law-enforcement pelarangan kampanye perlu tidak disertai penegakan

disertai dengan sanksi yang hukum di lapangan akan

jelas. Pasangan calon yang menghasilkan pilpres yang

melanggar ketentuan cacad secara prosedural.

larangan kampanye dapat

dikenai sanksi pembatalan

sebagaii pasangan calon.

• Jika pelanggaran bersifat

administratif, kandidat dan

tim suksesnya (sesuai

kasusnya di tingkat

pusat/daerah) akan dikenai

denda yang ditetapkan oleh

pengadlilan.

• Banwas/Panwas

mempunyai hak elakukan

pembatalan pasangan calon

apabila pelanggaran

tersebut masuk kategori

berat (pelanggaran

pengaturan dana

kampanye).

Page 35: NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG·UNDANG ...berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200812...2020/08/12  · peninggalan Demokrasi Terpimpin (1959-1965) dan Orde Baru (1966-1998)

3 Mendorong Pelembagaan Laporan penggunaan dana • Membangun proses Pilpres

transparansi transparansi kampanye (sumber maupun yang baik secara prosedural,

dan penggunaan, pengeluaran) diumumkan pada untuk mendorong

akuntabilitas pengelolaan, dan publik melalui media massa terbangunnya good

dana pelaporan dana seminggu sebelum hari governance pascapemilu.

kampanye kampanye pemberian suara. • Sanksi pelanggaran perlu

dicantumkan, termasuk siapa

yang akan melakukan

peneggakan hukumnya di

lapangan.

• Ada tatacara baku dalam

menangani dan mengadili

pelanggaran dalam proses

Pilpres yang disepakati

semua tim sukses Pilpres.

Page 36: NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG·UNDANG ...berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200812...2020/08/12  · peninggalan Demokrasi Terpimpin (1959-1965) dan Orde Baru (1966-1998)

4 Meminimalisir Pelembagaan pidato Penetapan pasangan terpilih • Meningkatkan sportivitas

konftik dan kekalahan bagi wajib disertai dengan pidato dalam proses demokrasi

fragmentasi pasangan calon yang kekalahan dari pasangan calon baik bagi pasangan maupun

kelompok kalah yang mengikuti pilpres di bagi para pendukungnya

masyarakat kantor KPU (yang juga dihadiri (menjadi good winner and

akibat pasangan calon yang good loser).

perbedaan menang). • Meminilmalisir mobilisasi

pilihan massa oleh pasangan calon

yang kalah, yang

mengarah pada konflik

horisontal dengan tujuan

menggagalkan hasil

pemilu.

• Menyatu padukan kembali

masyarakat kembali

pascapilpres untuk

menerima dan

mendukung pasangan

terpilih.

5 Penegakan dan Perubahan tata cara Pelantikan Presiden-Wapres Pelantikan di lstana

konsistem tempat pelantikan terpilih dilakukan di lstana memberikan makna

presidensial presiden Negara bukan di gedung simbolik format

Parlemen. pemerintahan presidensial,

karena presiden dipilih

langsung oleh rakyat, tidak

dipilih oleh dan bukan

bertanggung jawab pada

parlemen.

Page 37: NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG·UNDANG ...berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200812...2020/08/12  · peninggalan Demokrasi Terpimpin (1959-1965) dan Orde Baru (1966-1998)

2. Ruang Lingkup Revisi UU Susduk

2.1. Latar Belakang

Belajar dari sejarah kelemahan pariemen di Indonesia dan kerapnya kisruh serta rendahnya

produktifitas pariemen era sebelumnya, maka bangsa kita kini dituntut untuk memikirkan suatu

bangunan pariemen yang memungkinkan adanya kontrol serta dukungan yang efektif bagi

terselenggaranya tugas-tugas dan agenda pemerintahan. Dalam kaitan tersebut, hingga saat ini bangsa

Indonesia terus berupaya melakukan perbaikan/penataan sistem perwakilan baik melalui amandemen

konstitusi20 maupun melalui revisi undang-undang tentang susunan dan kedudukan lembaga-lembaga

perwakilan.21 Perbaikan yang telah diupayakan hingga kini antara lain menyangkut sistem kelembagaan

pariemen, kedudukan kelembagaan di antara lembaga-lembaga negara lainnya, dan lebih sempit dari itu

adalah pengaturan mengenai penguatan akuntabilitas lembaga dan anggota pariemen serta penataan

hubungan kerja antarlembaga di dalam pariemen itu sendiri.

Penataan sistem perwakilan di Indonesia tampak mulai sejalan dengan sistem pemerintahan

presidensial kendati belum sepenuhnya koheren satu sama lain. Terkait dengan sistem perwakilan yang

saat ini berlaku, ada beberapa hal yang mengarah pada sistem pemerintahan presidensial. Pertama,

anggota pariemen tidak boleh merangkap jabatan sebagai pejabat di lembaga negara lainnya

termasuk dalam kabinet. Kedua, parlemen sebagai wakil rakyat tidak bisa memaksa memberhentikan

presiden pilihan rakyat dart jabatannya, begltu pula sebaliknya. Presiden tidak bertanggungjawab

kepada majelis atau parlemen, melainkan bertanggung jawab kepada konstitusi dan rakyat yang

memilihnya. Oleh sebab itu, mekanisme kontrol yang dilakukan oleh parlemen kepada Presiden selalu

diarahkan kepada aturan konstitusi. Parle men memiliki wewenang mengusulkan impeachment terhadap

Presiden jika terjadi praktik pelanggaran konstitusi, namun wewenang penilaian atas pelanggaran

tersebut dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi. Ketiga, parlemen tidak berada dalam posisi lebih tinggi

dibanding lembaga-lembaga negara lainnya. Kedudukan tertinggi dalam sistem ini adalah konstitusi.

Meskipun demikian, parlemen -dengan dukungan suara mayoritas mutlak-dapat mengubah UUD tanpa

persetujuan dari presiden22.

Sistem perwakilan dan keparlemenan Indonesia telah beranjak semakin membaik dengan

pembentukan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang diatur secara eksplisit dalam UUD 1945 hasil

20 Dimulai dari UUD 1945 sebelum perubahan/amandemen, dilanjutkan dengan Konstitusi RIS, UUDS 1950, dan terkini adalah UUD 1945 hasil empat kali amandemen. 21 Undang-undang yang mengatur susunan dan kedudukan lembaga-lembaga perwakilan di Indonesia diawali dengan UU No. 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Setelah itu berturut-turut diubah dengan UU No.5 Tahun 1975, UU No.2 Tahun 1985, UU No.5 Tahun 1995, UU No.4 Tahun 1999, dan terkini adalah UU No.22 Tahun 2003 22 Mengenai perbandingan antara sistem pemerintahan presidensial dengan sistem pemerintahan parlementer dapat dilihat lebih jelas dalam Arend Lijphart, Sistem Pemerintahan Par/ementer dan Presidensia/, Jakarta: PT Grafindo Persada, 1995.

Page 38: NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG·UNDANG ...berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200812...2020/08/12  · peninggalan Demokrasi Terpimpin (1959-1965) dan Orde Baru (1966-1998)

amandemen ketiga. DPD sebagai bagian dari MPR diperkenalkan untuk menggantikan wakil utusan daerah

dan golongan yang sebagian anggotanya diangkat oleh presiden. Kehadiran DPD di samping DPR sebagai

bagian dari MPR memperlihatkan keinginan bangsa ini menganut sistem parlemen bikameral.

Sebenarnya terlalu dim' untuk mengatakan bahwa sistem parlemen kita saat ini disebut bicameral

kendati UUD 1945 hasil amandemen menyebutkan lembaga MPR terdiri atas DPR dan DPD. Kenyataannya

MPR kini masih dipertahankan sebagai lembaga permanen23 dan belum semata-mata menjadi wadah

sidang gabungan (Joint session) bagi DPR dan DPD. Selain itu, posisi DPR yang terlalu dominan daripada

posisi DPD membuat mekanisme checks and balances di antara bagian-bagian parlemen menjadi sangat

timpang. Untuk membangun sistem parlemen "dua kamar" yang kuat, maka MPR tidak lagi bisa

dipertahankan sebagai lembaga tersendiri yang seolah-olah terpisah, dan DPD perlu diberikan fungsi

legislasi, agar hak dan kewajibannya tidak terlalu jauh dengan hak dan kewajiban DPR. Paling tidak, DPD

diberi fungsi dan hak legislasi dalam hal-hal yang menyangkut hubungan pusat-daerah, persoalan

otonomi daerah, pengawasan, dan anggaran negara.

Pemberlakukan sistem parlemen bikameral diperlukan karena beberapa alasan, yakni pertama,

sebagai konsekuensi logis dari pemurnian sistem pemerintahan presidensial hasil amandemen

konstitusi. Kedua, sebagai bagian dari penegasan dan pelembagaan mekanisme checks and balances

antara lembaga eksekutif dan legislatif di satu pihak, dan antara bagian-bag1ian parlemen itu sendiri.

Ketiga, sebagai upaya penguatan lembaga legislatif agar kinerja keparlemenannya lebih efektif. Oleh

karena itu, jika hakikat MPR adalah sebagai joint session antara DPR dan DPD, maka MPR semestinya

tidak berbentuk lembaga parmanen seperti tercermin dalam UU Susduk yang berlaku dewasa ini.

Dengan demikian sistem parlemen yang akan dibangun ke depan adalah sistem bikameral yang kuat

{strong bicameral).

Di samping melakukan penataan sistem parlemen ke arah bikameral penuh, peningkatan kapasitas

lembaga parlemen dan kualitas anggota parlemen juga mutlak diupayakan untuk menegaskan

rasionalitas demokrasi dan keteraturan pemerintahan. Meskipun reformasi telah membuka 'belenggu'

hak Dewan untuk bersuara secara kritis, seringkali sikap kritis DPR itu lebih banyak digunakan untuk

kepentingan politik sempit dan bersifat jangka pendek, ketimbang untuk kepentingan publik. Acapkali

mereka kritis untuk menaikkan posisi tawar terhadap pemerintah dalam rangka menambah kursi di

kabinet atau dalam posisi politik lainnya. Cara-cara seperti itu biasanya berlaku dalam sistem

parlementer, di mana pihak eksekutif yang dipimpin oleh perdana menteri dapat dijatuhkan oleh

parlemen bila kebijakan-kebijakannya dianggap berbeda dengan sikap mayoritas anggota parlemen.

23 Disebut permanen karena lembaga MPR yang didesain di dalam UU Susduk No. 22/2003 bersifat permanan dengan kepemimpinan permanen. Pula, padahal Pimpinan MPR misalnya, tidak akan pernah berfungsi secara efektif selama tidak ada siding gabungan antara DPRdan DPD

Page 39: NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG·UNDANG ...berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200812...2020/08/12  · peninggalan Demokrasi Terpimpin (1959-1965) dan Orde Baru (1966-1998)

Oleh karena itu, susunan dan kedudukan lembaga parlemen perlu ditata kembali untuk

mendukung kemurnian dan efektivitas sistem presidensial, serta demi kestabilan dan kelancaran

agenda pemerintahan. Parlemen dapat mengkritisi kebijakan-kebijakan pemerintah namun ia tidak

boleh menghambat kelancaran dan efekti~itas pemerintahan. Untuk mencapai sistem bikameral yang

kuat diperlukan penguatan DPD melalui amandemen kembali konstitusi, namun dalam jangka pendek

meskipun tidak maksimal, penguatan sistem perwakilan dapat dilakukan melalui penyempumaan

danlatau revisi UU Susduk.

2.2. Problematik UU Susduk

2.2.1. Kapasitas Lembaga Legisiatif yang Lemah

DPR saat ini masih didominasi oleh kekuasaan fraksi-fraksi, sehingga DPR bukannya menjadi "dewan

perwakilan rakyat" tetapi cenderung sebagai "dewan perwakilan partai." Di dalam Peraturan Tata Tertib

(T atib) DPR Pasal 1, disebutkan bahwa fraksi adalah pengelompokkan anggota DPR sesuai dengan

konfigurasi partai politik hasil pemilihan umum. Fraksi bukanlah merupakan alat kelengkapan DPR

seperti layaknya Pimpinan DPR, Badan Musyawarah (Bamus), Komisi, Panitia Anggaran maupun

Panitia Khusus (Pansus). Berdasarkan Tatib DPR, pembentukan fraksi bertujuan mengoptimalkan dan

mengefektifkan pelaksanaan rangkaian tugas, wewenang, dan hak DPR. Meskipun demikian, dalam

kenyataannya fraksi tak jarang melahirkan kebuntuan-kebuntuan persoalan politik sebab peraturan

Tatib Dewan memberinya peran yang sangat menentukan dalam pengambilan keputusan di Dewan.

Dalam proses legislasi, misalnya, pemandangan umum fraksi selalu dilakukan sebelum sebuah

rancangan undang-undang disahkan atas nama DPR bersama pemerintah. Seo rang politisi dalam

Dewan tidak memiliki kekuatan untuk menolak hasil kesepakatan fraksinya. Dia hanya dapat

menyampaikan keberatan -tanpa mengubah keputusan yang sudah disepakati fraksinya apalagi oleh

semua fraksi- dan akan dicatat dalam risalah sidang yang disebut "minderheidsnota".

Peran fraksi yang terlalu besar dalam menentukan keputusan-keputusan di DPR jelas

menghambat kedaulatan anggota sebagai wakil rakyat di DPR. lndependensi atau otonomi seorang

politisi di Dewan praktis selalu dimentahkan oleh pendirian atau pendapat fraksi. Kekuatan fraksi

sebagai kepanjangan tangan dari partai politik membuat kedaulatan anggota di dalam Dewan menjadi

terbelenggu. Anggota Dewan yang berlawanan dengan suara fraksinya biasanya akan terancam

recalling atau pergantian antar waktu (PAW).

Sistem recall yang diberlakukan kembali pada Pemilu 2004, telah mengurangi hak anggota

parlemen sebagai wakil rakyat. Anggota Dewan cenderung hanya menjadi kaki tangan parpol, bukan

lagi wakil rakyat. Padahal anggota DPR semestinya mewakili rakyat yang menjadi konstituennya, bukan

hanya mewakili parpol yang mengusungnya. Untuk itu, sistem recall oleh partai politik perlu dihapuskan.

Page 40: NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG·UNDANG ...berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200812...2020/08/12  · peninggalan Demokrasi Terpimpin (1959-1965) dan Orde Baru (1966-1998)

Anggota DPR dan juga DPD yang dianggap bersalah dan/atau melanggar kode etik sebagai wakil rakyat

(DPR) dan wakil wilayah (DPD) semestinya diberhentikan hanya melalui mekanisme Sadan Kehormatan

yang kewenangannya lebih diperluas.

Anggota DPR hasil Pemilu 2004 pemah mengelompok dalam dua koalisi besar, yaitu: Koalisi

Kebangsaan dan Koalisi Kerakyatan.24 Koalisi Kebangsaan terbentuk pada awalnya untuk mendukung

pasangan Capres Megawati-Hasyim pada pemilu putaran kedua. Setelah pasangan tersebut gagal

memperoleh kursi eksekutif, maka Koalisi Kebangsaan lberusaha untuk menguasai pimpinan DPR dan juga

pimpinan MPR. Untuk menghadapi koafisi tersebut, kelompok partai di DPR yang mendukung

pasangan Presiden terpilih Susilo Bambang Yudoyono-Jusuf Kalla, membentuk Koalisi Kerakyatan.

Sejarah mencatat, Koalisi Kebangsaan menguasai pimpinan DPR dan Koalisi Kerakyatan menguasai

pimpinan MPR. Kedua koalisi tersebut akhirnya membubarkan diri setelah pimpinan Golkar dikuasai

oleh Jusuf Kalla.

Belajar dari pengalaman tersebut, pada masa mendatang, di parlemen perlu ada suatu koalisi

partai yang permanen untuk memperkuat pemerintahan presidensial. Koalisi partai ini sekaligus dapat

dipakai untuk mengkondisikan penyederhanaan sistem kepartaian yang ada. Dengan penyederhanaan

ini, akan terdapat pengelompokan partai pendukung pemerintah, oposisi pemerintah, maupun kelompok

yang lebih 'cair.'

2.2.2. Akuntabilitas Lembaga dan Anggota Parlemen yang Lemah

Fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan yang dimiliki oleh DPR saat ini masih belum

optimal dipergunakan dalam sistem keparlemenan. Produk kebijakan berupa UU masih ban yak yang

saling tumpang tindih dan tidak konsisten satu dengan lainnya. Demikian juga dengan penggunaan hak

berkaitan dengan fungsi pengawasan dilakukan tanpa melalui prosedur yang jelas. Selain itu, masyarakat

juga sering menilai bahwa fungsi anggaran yang dimiliki Dewan hanya untuk memperkaya anggotanya.

Banyaknya anggota Dewan yang melakukan pelanggaran norma, etika, maupun memiliki kinerja

yang buruk temyata membuat citra lembaga wakil rakyat menjadi tidak berwibawa di mata masyarakat.

Meskipun di dalam Dewan sendiri telah dibentuk Sadan Kehormatan (BK), tetapi Sadan ini tampak tidak

memiliki taring untuk menindak 'teman atau kelompok sendiri'. BK tampak tidak memiliki kekuatan

memberikan sanksi karena ada fraksi atas nama partai politik yang lebih berkuasa memberikan sanksi

kepada politisinya yang duduk di DPR. Politisi yang masuk menjadi anggota BK masih belum terlepas

24 Koalisi Kebangsaan didukung oleh fraksi Partai Golkar (F-PG), fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (F-PDIP yang terdiri atas PDIP dan PDS), dan fraksi Partai Bintang Reformasi (F-PBR). Sedangkan Koalisi Kerakyatan didukung ole fraksi Partai Persatuan Pembangunan (F-PPP), fraksi Partai Demokrat (F-PD), fraksi Partai Amanat Nasional (F-PAN), fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS), dan fraksi Bintang Pelopor Demokrasi (F-BPD yang terdiri atas PBB, PPDK, PP, PNI Marhaenisme, PPDI).

Page 41: NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG·UNDANG ...berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200812...2020/08/12  · peninggalan Demokrasi Terpimpin (1959-1965) dan Orde Baru (1966-1998)

dari 'solidaritas' fraksinya. Oleh karena itu, ada kebutuhan untuk meningkatkan peran dan kewenangan

BK, demi menjaga berlangsungnya etika politik yang benar di DPR dan DPD.

Terlepas dari persoalan kinerja politisi di Dewan yang buruk, partai politik seringkali menggunakan

hak recall yang berlebihan kepada anggotanya yang tidak 'patuh' terhadap kebijakan partai. Tentu saja

kondisi ini membelenggu anggota Dewan meskipun kebijakannya berpihak kepada rakyat atau

konstituennya.

Di samping persoalan akuntabilitas lembaga dan anggota DPR di atas, yang tidak kalah penting

untuk diungkapkan adalah persoalan akuntabilitas lembaga dan anggota DPD sebagai kamar kedua

parlemen. Seperti diketahui bahwa Pemilu 2004 juga menghasilkan DPD yang diharapkan mampu

mengagregasikan dan memperjuangkan aspirasi daerah yang diwakilinya. Persoalannya, hingga saat ini

desain institusi DPD belum jelas arah dan tujuannya. Sebagai lembaga baru bagian dari parlemen, DPD

belum memfokuskan pada peran dan fungsi utamanya sebagai wakil daerah. Energinya kini hanya

habis untuk menata sistem kelembagaan DPD agar efektif dan efisien. Kesadaran anggota DPD terhadap

fungsi dan kewenangan DPD yang masih timpang dengan fungsi dan kewenangan DPR membuat mereka

terjebak pada tuntutan amandemen UUD 1945 semata. Padahal banyak ketentuan perundangan di bawah

UUD 1945 yang bisa diperbaiki bersamaan dengan desakan amandemen kembali atas UUD 1945.25

Persoalan yang demikian diperparah dengan kualitas anggota DPD yang belum memahami konsep

representasi dan akuntabilitas sebagai wakil daerah. Masa reses yang seharusnya dipergunakan anggota

DPD untuk memberikan pertanggungjawaban secara moral dan politis kepada para konstituennya,

temyata belum dipergunakan secara efektif. Akibatnya masyarakat di daerah masih mempertanyakan

mengenai akuntabilitas DPD sebagai wakil daerah karena persoalan daerah justru semakin menumpuk

meskipun telah ada lembaga DPD. lronisnya, banyak anggota DPD yang mencoba alih profesi menjadi

kepala daerah melalui pilkada secara langsung.

2.2.3. Ketimpangan Hubungan Kerja DPR dengan DPD

Pada prinsipnya anggota DPR merupakan perwakilan orang (bukan wilayah} yang terdiri atas para wakil

rakyat yang menang dalam pemilu legislatif melalui partai politik. DPD merupakan lembaga mitra DPR

bertindak sebagai wakil daerah. Anggota DPD tersusun dari pemilu yang lebih personal, artinya pemilu

25 Misalnya saja bagaimana DPD ikut serta dalam membahas RUU tidak jelas diatur dalam UU Susduk. Justru di dalam Pasal 32 ayat 2 dan 3 UU No. 10/2004 tentang Pemberitukan Pe(aturan Perundang-undangan ketentuan itu disebutkan bahwa DPD ikut membahas RUU yang berkaitan dengan bidang tertentu hanya pada rapat komisVpanitia/alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi tertentu. Selain itu di dalam tatib DPR cfisebulkal bct1wd DPR mengundang DPD untuk l'l1EllTbims RUU (usum DPD) dalam rapat konsultasi dan hasilnya baru dilaporkan dalam sidang paripuma DPR. Ketentuan tersebut jelas-jelas menempatkan DPD pada posisi inferior dalam sistem keparlemenan. Ketentuan semacam inilah yang semestinya juga diperhatikan DPD untuk meningkatkan peran dan fungsinya sebagai bagian dari parlemen.

Page 42: NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG·UNDANG ...berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200812...2020/08/12  · peninggalan Demokrasi Terpimpin (1959-1965) dan Orde Baru (1966-1998)

DPD adalah pemilu perseorangan dan bukan melalui partai politik. Jika mencermati fungsi dan

kewenangan dari DPR dan DPD saat ini maka akan terlihat sangat timpang. DPR bersama pemerintah

memiliki kewenangan membuat UU, sedangkan DPD tidak memiliki fungsi legislasi. DPD hanya berfungsi

sebagai 'corong' daerah untuk membahas dan mengartikulasikan kepentingan dan persoalan daerah

untuk kemudian dibahas lebih lanjut dalam DPR. Praktik seperti itu sering disebut sebagai "soft

bicameral". Dalam sistem strong bicameral, kedua kamar (chambers) memiliki hak dan fungsi yang

hampir sama.

Posisi DPD dapat dikatakan 'mandul' karena tidak bisa berbuat banyak sebagai mitra DPR. Untuk

urusan Daerah pun DPD hanya bisa mengusulkan kebijakan tanpa bisa ikut mempersiapkan, membahas,

dan menetapkannya. Fungsi DPD tidak lebih dari fungsi yang dimiliki Dewan Pertimbangan Otonomi

Daerah (DPOD). Selain itu, pembatasan jumlah anggota DPD sebagaimana yang disebutkan dalam UUD

1945 (amandemen) tidak memiliki dasar yang kuat. Jika asumsinya perwakilan daerah maka yang

menjadi pijakan adalah titik berat otonomi daerah. Penekanan basis propinsi sebagai perwakilan DPD

bisa dipahami jika wakil masing-masing propinsi memahami betul wilayahnya termasuk kebutuhan

kabupaten/kota setempat.

2.2.4.. lnefisiensi dan lnefektivitas Kelembagaan MPR

Masalah lain yang masih mengganjal pada UU Susduk dewasa ini adalah pengaturan yang cenderung

ambivalen, di satu pihak kita mencoba menggunakan sistem semi-bikameral yang terdiri atas DPR dan

DPD, sementara di pihak lain kita juga masih mempertahankan MPR sebagai lembaga yang permanen

dengan kepemimpinan yang permanen pula. Ambivalens~ ini mengesankan bahwa bangsa kita belum

memiliki konsep atau desain ketatanegaraan yang jelas mengenai format arah dan tujuan yang hendak

dicapai melalui serangkaian amandemen konstitusi yang telah dilakukan.26 Keadaan ini antara lain tidak

hanya menyebabkan ketidak-efisienan parlemen tetapi juga kerancuan ststem perwakilan.

Kepermanenan lembaga MPR saat ini bisa dilihat dalam beberapa hal; pertama, kelengkapan

administrasi dan organisasi anggota yang mengarah pada rangkap jabatan permanen yaitu anggota

DPR sekaligus anggota MPR, atau anggota DPD sekaligus anggota MPR. Kedua, terdapatnya sekretariat

jenderal tersendiri dengan dukungan administratur untuk menjalankan fungsinya sebagai lembaga yang

mandiri. Ketiga, terdapatnya kode etik dan badan kehormatan sendiri. Jika mekam'sme pemberhentian

anggota berlaku, maka akan terjadi kekisruhan status keanggotaan di kedua lembaga, karena anggota

MPR sekaligus anggota DPR/DPD. Keempat, sistem penggajian anggota. Anggota DPR/DPD tentu akan

26 Adnan Buyung Nasution, "Kembali ke UUD 1945, Antidemokrasi", Kompas, 10 juli 2006

Page 43: NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG·UNDANG ...berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200812...2020/08/12  · peninggalan Demokrasi Terpimpin (1959-1965) dan Orde Baru (1966-1998)

menerima gaji rangkap karena sekaligus menjadi anggota MPR.27

Persoalan kepermanenan lembaga tentu tidak sinergi dengan agenda sidang untuk melaksanakan

tugas dan wewenang MPR yang tidak bersifat reguler.2a Sebut saja wewenang MPR untuk mengubah dan

menetapkan UUD serta wewenang melakukan impeachment merupakan kejadian yang belum tentu

terjadi sekali dalam lima tahun. Secara faktual, organ MPR baru dinyatakan ada pada saat kewenangan

atau /uncVe-nya sedang dilaksanakan.29 Oleh karena itu terlihat rancu dan tidak efisien jika MPR diatur

sebagai lembaga yang permanen dengan kepemimpinan permanen pula.

Jika merujuk pada ketentuan tentang kewenangan MPR, maka lembaga ini tidak hanya bersifat

permanen tetapi juga bersifat mandiri. Keempat kewenangan yang dimiliki MPR sama sekali tidak

tercakup dan terkait dengan kewenangan DPR dan DPD, sehingga sidang MPR untuk mengambil keputusan

terkait dengan keempat kewenangan tadi bukan merupakan sidang gabungan antara DPR dengan DPD,

melainkan sidang MPR sebagai lembaga tersendiri. Oleh karena itu bisa dikatakan bahwa eksistensi MPR

merupakan institusi ketiga - selain DPR dan DPD - dalam struktur parlemen Indonesia.Jo

2.3. Cakupan dan Pokok-Pokok Revisi UU Susduk

Empat problematika sebagaimana tersebut di atas memerlukan suatu perubahan yang komprehensif.

Kapasitas lembaga legislatif yang lemah tidak akan dapat menghasilkan suatu produk kebijakan yang

sesuai dengan kebutuhan publik, karena mereka sendiri mempunyai masalah secara kelembagaan.

Kelemahan kelembagaan itu semakin diperparah dengan adanya kelemahan anggota Dewan. Apalagi

kemudian ada hubungan yang timpang antara DPR dengan DPD, serta adanya inefisiensi dan inefektivitas

lembaga MPR. Untuk mengatasi berbagai hal tersebut, maka cakupan revisi UU Susduk adalah

sebagai berikut:

2.3.1. Peningkatan Efektivitas Keparlemenan

Penataan format kelembagaan yang terus dilakukan dalam diri parlemen adalah berkaitan dengan

internal

27 Reni Dwi Purnomowati, lmplementasi Sistem Bikameral dalamParlemen Indonesia, Rajawali Pers, 2005, hal. 175. 28 Berdasarkan ketentuan Pasal 3 juncto Pasal 8 ayat (2) dan (3) UUD 1945 hasil amandemen, MPR mempunyai kewenangan untuk (1) mengubah dan menetapkan UUD; (2) memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut UUD; (3) memilih Presiden dan/atau Wakil Presiden untuk mengisi kekosongan dafam jcbatan Presiden dan/atau wakil Presiden menurut UUD; dan (4) mengadakan sidang MPR untuk pelantikan atau pengucapan sumpah~anji jabatan Presiden dan/atau Wakil Presiden. 29 Jimly Asshidiqie, Perkembangan St Konsotidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Konstitusi Press, Jakarta, 2006, hal. 146. ao Kenyataan seperti ini disebut oleh Jimly Asshiddiqie sebagai praktik trikameralisme (sistem parlemen tiga kamar). /bid, hal. 148.

Page 44: NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG·UNDANG ...berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200812...2020/08/12  · peninggalan Demokrasi Terpimpin (1959-1965) dan Orde Baru (1966-1998)

parlemen dan hubungannya dengan lembaga lain di luar parlemen. Perbaikan intra parlemen mencakup

sistem parlemen, etika politisi, fungsi dan mekanisme lembaga, serta pengelompokan politik dalam

parlemen. Perbaikan hubungan dengan lembaga lain di luar parlemen terutama berkaitan dengan

mekanisme check and balances dalam sistem pemerintahan.

2.3.1.1. Penyederhanaan Pengelompokan Politik di DPR

Untuk mencegah dominasi dan intervensi partai politik yang berlebihan terhadap suara anggota di

Dewan, maka altematif solusi jangka pendek yang bisa dilakukan adalah; pertama, pengurangi peran

fraksi yang berlebihan di dalam Tatib; dan kedua, meningkatkan persyaratan minimal keanggotaan

pembentukan sebuah fraksi atau pengelompokan politik di DPR. Penyederhanaan yang ingin dicapai

melalui usulan perubahan ini adalah terbentuknya pengelompokan politik anggota Dewan berdasarkan

pada blok pendukung pemerintah di satu pihak, dan blok oposisi loyal di pihak lain. Melalui

penyederhanaan pengelompokan politik demikian diharapkan bahwa kinerja keparlemenen lebih efektif

dan produktif dibandingkan sebelumnya.

2.3.1.2. Optimalisasi Fungsi dan Penataan Kembali Hak DPR

Beberapa altematif solusi yang bisa menjadi pilihan perbaikan fungsi dan hak DPR, yaitu: pertama,

sebisa mungkin badan legislasi membuat format UU lebih detail untuk menghindari manipulasi dan

multi-interpretasi dalam implementasi atau pelaksanaannya. Kedua, Penggunaan hak Dewan yang

terkait dengan fungsi pengawasan dilakukan secara berjenjang, dari yang teringan ke terberat, mulai

dari hak menyatakan pendapat, interpelasi, dan terakhir adalah hak angket. Penggunaan hak tersebut

harus mengacu kepada kepentingan urn urn, dan bukan sekadar bargaining politik antarpartai. Ketiga,

menata kembali kunjungan anggota parlemen diwaktu reses supaya berkunjung langsung ke daerah

pemilihannya dan berkomunikasi intensif dengan konstituennya. Persoalan ini perlu diatur dalam UU

Susduk dan bukan hanya diatur dalam Tata Tertib.

2.3.1.3. Efektivitas Mat Kelengkapan DPR

Mat kelengkapan Dewan sangat penting kedudukannya dalam kelembagaan Dewan. Selama ini alat

kelengkapan Dewan hanya diatur dalam Tatib, sehingga berpotensi memunculkan manipulasi oleh

partai-partai. Kondisi ini tentu saja meresahkan masyarakat karena politisi terlalu sibuk berkompetisi

merebut posisi di Dewan untuk kepentingan pribadi dan golongan semata. Salah satu persoalan yang

sering muncul dalam hubungan ini adalah efektivitas Pimpinan Dewan. Sebagaimana disebutkan dalam

Page 45: NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG·UNDANG ...berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200812...2020/08/12  · peninggalan Demokrasi Terpimpin (1959-1965) dan Orde Baru (1966-1998)

Tatib, Pimpinan DPR dipilih dalam satu periode (lima tahun).31 Dalam praktiknya, kinerja Pimpinan

Dewan pilihan para anggota ternyata tidak selalu sesuai dengan harapan bersama. Beberapa kasus yang

ditemui, antara lain, Pimpinan Dewan melakukan pelanggaran susila, rangkap jabatan, dan bisa

melaksanakan tugasnya dengan baik karena keterbatasan skill. Kondisi ini yang kemudian memunculkan

wacana 'kocok ulang' Pimpinan Dewan. Usulan kocok ulang pimpinan komisi juga sering mengganggu

kinerja DPR.

Untuk mengatasi persoalan di atas, solusi yang bisa diambil antara lain; pertama, mengubah

pengaturan tentang struktur dan mekanisme pembentukan alat kelengkapan Dewan yang selama ini di

dalam Tatib, menjadi ke dalam UU Susduk. Kedua, mengefektifkan laporan pertanggungjawaban

tahunan Pimpinan Dewan. Sidang paripuma bisa mengganti Pimpinan Dewan di awal masa persidangan

tahun yang bersangkutan, jika temyata kinerja pimpinan buruk. Pemilihan ulang pimpinan Dewan tidak

harus dilakukan secara satu paket (ketua dan para wakil ketua), tetapi hendaknya secara perorangan.

Pimpinan Dewan yang terdiri dari seorang Ketua dan tiga orang Wakil Ketua (masing-masing

membidangi politik, ekonomi, dan kesra) dipilih langsung oleh anggota Dewan.

2.3.2. Peningkatan AkuntabiUtas Lembaga dan Anggota Parlemen

2.3.2.1. Peningkatan AkuntabiUtas DPD

Kehadiran lembaga DPD dalam sistem politik Indonesia sangat terkait dengan agenda desentralisasi dan

otonomi daerah. Konsekuensi logis dari hal ini adalah bahwa setiap anggota DPD semestinya paham dan

peka temadap persoalan dan keinginan daerah yang diwakilinya. Oleh karena itu dalam rangka

meningkatkan kepekaan dan kapasitas anggota DPD dalam memperjuangkan kepentingan daerah

perlu dibentuk Kantor Perwakilan DPD di setiap propinsi di Indonesia. Kantor ini difungsikan sebagai

pusat pelayanan terpadu bagi konstituen atau lembaga daerah dan stake-holders lainnya yang memiliki

persoalan dengan kebijakan Pusat dalam pengaturan Daerah.

Di samping itu, konsultasi antara DPD dengan stakeholders di daerah pemilihannya

propinsi/kabupaten/kota) terutama dengan DPRD dan Pemda perlu diformalkan melalui pertemuan

khusus untuk membicarakan persoalan daerah. Dalam hal ini momentum pertemuan di satu pihak

menjadi sarana bagi anggota DPD untuk mensosialisasikan kebijakan nasional yang berkaitan dengan

Daerah -sebagai bagian dari kewajibannya, dan di pihak lain DPRD beserta Pemda memberikan semacam

daftar inventarisasi masalah (DIM) daerah kepada DPD.

2.3.2.2. Peningkatan Akuntabilitas DPR

31 Tatib DPR, pasal 20, ayat (2), menyatakan: "Masa jabatan Pimpinan DPR sama dengan masa keanggotaan DPR"

Page 46: NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG·UNDANG ...berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200812...2020/08/12  · peninggalan Demokrasi Terpimpin (1959-1965) dan Orde Baru (1966-1998)

DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat semesttnya dapat menunjukkan kinerja mereka di hadapan

rakyat. Untuk itu, semua persidangan mesti dilakukan secara terbuka, sehingga masyarakat dapat

melihat dan menilai apakah aspirasi mereka telah diperjuangkan oleh Dewan. Oleh karena itu, hasil

penyerapan aspirasi dari konstituen yang dilakukan selama reses oleh anggota Dewan harus dilaporkan

secara transparan dalam persidangan berikutnya.

Selain itu, setiap pengambilan keputusan akhir di DPR hendaknya dilakukan secara terbuka, yakni

melalui sidang paripuma. Pimpinan Dewan tidak boleh membuat suatu keputusan yang seolah-olah

mengatasnamakan Dewan yang cenderung dilakukan seusai konsultasi dengan Presiden32. Sementara

itu untuk meningkatkan akuntabilitas anggota DPR sebagai wakil rakyat maka para anggota Dewan yang

berasal dari koalisi partai pendukung pemerintah tetap boleh berbeda pendapat dengan pemerintah

dalam proses pembahasan suatu RUU.

2.3.2.3. Pelembagaan Staf Ahli secara Permanen

Keberadaan staf ahli saat ini cenderung bersifat ad hoc, sehingga tidak sesuai dengan kebutuhan

anggota Dewan. Para staf ahli yang bekerja untuk fraksi, komisi, dan anggota Dewan secara individu

cenderung bukanlah para ahli yang profesional di bidangnya karena tidak melalui mekanisme seleksi

yang tranparan dan profesional. Juga, tidak semua anggota Dewan memiliki staf ahli. Rekrutmen staf

ahli cenderung dilakukan melalui rekrutmen yang cenderung bersifat politis dan nepotis, sehingga tidak

menunjang profesionalitas anggota Dewan secara individual dan DPR secara institusi33.

Penguatan kapasitas parlemen dalam fungsi legislasi, pengawasan, dan anggaran jelas tidak

mungkin dilakukan tanpa didukung oleh pelembagaan staf ahli prefesional secara permanen. Rekrutmen

staf ahli harus diatur lebih jelas dalam UU Susduk, demikian juga sistem penggajian dan fasilitas

pendukungnya.

Keberadaan staf ahli profesional yang bersifat permanen dibutuhkan pula untuk mendukung

kinerja DPD, sehingga benar-benar bisa menjadi lembaga perwakilan daerah di tingkat nasional.

2.3.2.4. Perbaikan Kualitas Anggota DPR

Pengaturan perbaikan kualitas anggota DPR yang perlu diakomodasi dalam UU Susduk meliputi;

pertama, standarisasi tentang kode etik anggota parlemen perlu diatur dalam UU. Kedua,

32 Mekanisme konsulitasi Pimpinan DPR dan pimpinan fraksi serta komisi dengan Presiden sebenamya tidak konsisten dengan penguatan sistem presidensial. · 33 Sej~ 2006 Sadan Legislasi DPR mulai merekrut sekitar 18 orang stat ahli yang profesional melafui mekanisme yang lransparan, namun menurut pimpinan Baleg keberadaan stat ahli tersebut belum bersifat permanen sepenuhnya karena tidak didukung pendanaan dafam struklur anggaran DPR.

Page 47: NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG·UNDANG ...berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200812...2020/08/12  · peninggalan Demokrasi Terpimpin (1959-1965) dan Orde Baru (1966-1998)

pemberhentian atau pergantian antarwaktu (PAW) anggota Dewan tidak bisa langsung dilaksanakan

hanya karena usulan dari partai politik. Ketiga, proses PAW melalui hendaknya hanya dilakukan oleh

Sadan Kehormatan, dan PAW semestinya berbasis penilaian terhadap kinerja para anggota. Keempat,

anggota Dewan yang bersalah berdasarkan putusan pengadilan akibat tindak pidana sebaiknya

langsung diberhentikan, tidak perlu didasarkan persyaratan ancaman hukuman minimal 5 tahun

penjara.

2.3.2.5. Perluasan Kewenangan Sadan Kehormatan

Sadan Kehormatan (BK) sudah terbentuk di parlemen untuk menjaga kewibawaan dan kepatutan, serta

pelanggaran terhadap kode etik sebagai anggota parlemen. Untuk menjaga independensi BK,

maka keanggotaannya harus terbebas dari pengaruh fraksi atau kelompok politik tertentu. Ketua dan

anggota BK bukan merupakan representasi fraksi atau kelompok politik, melainkan dipilih langsung

dalam sidang paripuma, setelah sebelumnya melalui tahap uji integritas oleh para anggota Dewan

sendiri. Selain itu, kewenangan BK perlu lebih diperluas, sehingga meliputi pula wewenang pemecatan

atas anggota -bukan sekadar rekomendasi-yang kemudian disahkan dalam rapat paripurna.

2.3.3. Penataan Hubungan Kerja antara DPR dan DPD

DPD sebagai lembaga yang mewakili daerah diasumsikan lebih mengetahui persoalan daerah dan

membawa aspirasi masyarakat Daerah. Oleh karena itu, DPD berhak ikut menetapkan - tidak sekedar

mengusulkan -kebijakan yang berkaitan dengan kepentingan Daerah yang diwakilinya melalui

mekanisme sidang Panitia Bersama DPR dan DPD.

Memang di dalam UUD 1945 hasil amandemen tidak terdapat aturan mengenai sidang-sidang

gabungan DPR dan DPD yang dapat diselenggarakan setiap saat. Bahkan, istilah-istilah "dua kamar",

"sidang gabungan" atau "pengambilan keputusan" oleh MPR itu pun tidak ada di dalam amandemen.

DPD seharusnya menjadi eerste kamer dengan peran strategis, termasuk peran investigasi dalam

impeachment terhadap Presiden, investasi asing dan penjualan sumberdaya alam dan aset negara, dan

bukan sekedar Dewan embel-embel.34 ldealnya, sidang gabungan MPR, atau bahkan sidang DPD saja,

seharusnya juga bisa memanggil Presiden dan menteri-menterinya setiap kali dibutuhkan dalam

persoalan-persoalan penting yang menjadi wilayah kewenangannya.

Selain itu, untuk kepentingan peningkatan peran DPD dalam sistem keparlemenan di Indonesia,

maka diperlukan adanya pembentukan Panitia Bersama ljoint committee) antara DPR dan DPD. Panitia

ini membahas hal-hal di luar sidang gabungan paripuma untuk membahas dan melakukan perubahan

34 Sri Bintang Pamungkas, "Kegagalan Sistem MPR Pasca-Amandemen", Sinar Harapan, 14 Januari 2003.

Page 48: NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG·UNDANG ...berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200812...2020/08/12  · peninggalan Demokrasi Terpimpin (1959-1965) dan Orde Baru (1966-1998)

UUD, melantik Presiden dan Wapres, memberhentikan Presiden dan atau Wapres sesuai mekanisme Pasal

78 UUD1945, serta mendengarkan pidato Presiden pada penyampaian nota keuangan dan RAPBN.

Secara khusus, panitia ini membahas dan memutuskan (legislasi) secara bersama-sama (DPR, DPD,

dan Presiden) terhadap RUU yang terkait dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah,

pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan

sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah.

Jika terjadi deadlock atau ketidaksepakatan antara DPR dan DPD di dalam Rapat Panitia

Bersama, perlu dibentuk forum Panitia Kerja Bersama (conference committe). Conference committee

adalah forum konsultasi antara DPD dan DPR untuk menyelesaikan perbedaan pandangan tentang suatu

isu atau kasus yang tidak dapat diselesaikan pada sesi Panitia Bersama.

Dalam jangka menengah dan atau panjang perlu diterapkan sistem strong bicameralism

(bikameral penuh) dengan memberikan hak dan fungsi legislasi kepada DPD. Penerapan bikameral

penuh akan mencerminkan adanya keterwakilan yang menyeluruh, di mana DPR mewakili dan

menyuarakan aspirasi orang, sedangkan DPD mewakili dan menyuarakan aspirasi wilayah.

2.3.4. Penataan Kelembagaan MPR

Dalam sistem pemerintahan yang demokratis, dibutuhkan adanya mekanisme checks and balances antara

lembaga eksekutif dan legislatif. Sejak reformasi, Indonesia mengenal apa yang disebut soft bicameral, di

mana DPD sebagai perwakilan wilayah tidak mempunyai hak legislasi, sebagaimana DPR sebagai

perwakilan orang. Bila Indonesia akan menganut "bikamarel penuh" {strong bicameral), maka perlu ada

pembenahan dengan meningkatkan fungsi DPD. Dengan demikian, MPR akan menjadi majelis nasional

{national assembly) yang di dalamnya ada DPR dan DPD. Hal itu akan lebih sesuai dengan agenda

penguatan dan efektifitas sistem pemerintahan presidensial.

Dengan perubahan fungsi MPR tersebut, maka tidak dibutuhkan lagi pimpinan MPR yang

permanen. Kepemimpinan MPR bersifat adhoc untuk memimpin sidang gabungan antara DPR dan DPR.

Pemimpin MPR dijabat secara bergiliran antara pimpinan DPR dan pimpinan DPD dalam setiap masa

sidang. Mereka tidak memperoleh fasilitas tambahan sebagai pimpinan MPR. Posisi MPR sendiri adalah

sebagai wadah joint session antara DPR dan DPD untuk (1) membahas dan melakukan perubahan UUD;

(2) melantik Presiden dan Wapres; (3) memberhentikan Presiden dan atau Wapres sesuai mekanisme

Pasal 78 UUD1945; 4) memilih Presiden dan atau wakil Presiden untuk menggantikan Presiden dan atau

Wapres yang berhalangan tetap; (5) mendengarkan pidato kenegaraan tahunan Presiden pada setiap

tanggal 16 Agustus (penyampaian nota keuangan dan RAPBN).

Selain itu, untuk kepentingan efisiensi dan efektivitas kerja lembaga parlemen, maka perlu

Page 49: NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG·UNDANG ...berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200812...2020/08/12  · peninggalan Demokrasi Terpimpin (1959-1965) dan Orde Baru (1966-1998)

adanya penggabungan sekretariat jenderal MPR, DPR, dan DPD menjadi satu kesekjenan yang mencakup

kerja keparlemenan yang berorientasi bikameral. Sementara itu untuk membantu tugas MPR dalam

fungsi perubahan konstitusi, maka dalam jangka waktu menengah dan atau panjang diperlukan

pembentukan suatu Komisi Konstitusi yang dibentuk dan bertanggung kepada MPR.

2.4. Matriks Revisi UU Susduk

No Arah dan Agenda Usulan Pengaturan Argurnentasi Tujuan Penyempumaan

1 Peningkatan • Mendorong • Mengatur struktur dan • Alat kelengkapan Dewan

efektifitas penyederhanaan mekanisme alat kelengkapan sangat penting

kepartemenan pengelom pokan DPR dan DPD di dalam UU, kedudukannya dalam

Politik (fraksi) di dan meniadakan aturan dalam kelembagaan Dewan.

DPR; tatib. Selama ini hanya diatur

• Mendorong • Suara fraksi {blocking vote) dalam Tatib, sehingga

terjadinya koalisi tidak diformalkan dalam berpotensi

antarpartai atas mekanisme pengambilan memunculkan

dasar kesamaan keputusan. manipulasi oleh partai-

platform politik • Anggota-anggota DPR yang partai.

di DPR (partai-partai) berasal dari koalisi pemerintah • Prinsip demokrasi yang

mengelompok ke boleh berbeda pendapat harus dibangun dalam

dalam blok dengan pemerintah dalam parlemen seharusnya

pendukung proses pernbahasan, tetapi one person- one vote,

pemerintah, blok harus tunduk pada etika dan bukan one faction-

oposisi loyal, dan berkoaliisi. one vote-one value.

blok independen); • Pemberian batas waktu yang faction-one vote lebih

• Setiap pengambilan jelas terhadap usulan menempatkan dominasi

keputusan akhir di pemberhentian kepala daerah suara partai di dalam

DPR di lakukan oleh DPRD kepada Presiden parlemen daripada

melalui pemungutan melalui Menteri Dalam Negeri. suara individu sebagai

suara secara terbuka. • Format UU lebih detail untuk wakil dari konstituennya

• Penataan kembali menghindari manipulasi dan • Format UU saat ini

kunjungan anggota multi-interpretasi. hanya mengatur secara

parlemen (DPR-DPD) • Penggunaan hak Dewan yang garis besar sehingga

diwaktu reses supaya terkait dengan fungsi diperlukan yang lebih

lebih intens dan pengawasan dilakukan secara detail untuk menghindari

Page 50: NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG·UNDANG ...berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200812...2020/08/12  · peninggalan Demokrasi Terpimpin (1959-1965) dan Orde Baru (1966-1998)

efektif. diubah dari berjenjang, dari yang teringan manipulasi dan multi

T atib ke UU Susduk ke terberat. (Hak menyatakan interpretasi.

pendapat, interpelasi, angket). • Meminimalisir munculnya

Penggunaan hak tersebut harus kepentingan individu dan

mengacu kepada kepentingan kelompok di balik

umum, dan bukan sekedar penggunaan hak-hak

bargaining politik. Dewan

2 Peningkatan • Memperbaiki kualitas • Pembentukan Kantor Perwakilan • Kehadiran DPD dalam

akuntabilitas anggota DPR/DPD. DPD di daerah pemilihannya. sistem politik Indonesia

lembagadan • Mendorong • Mengefektifkan/memformalkan sangat terkait dengan

anggota pendalaman konsultasi DPD dengan stake- diperkuatnya sistem

parlemen pemahaman anggota holders setempat (propinsi/ pemerintahan daerah.

DPD terhadap kabupaten/kota) terutama dengan Konsekuensi logis dari

persoalan daerah. DPRD dan Pemda. DPD pembentukan DPD sangat

• Pengadaan tim/staf mensosialisasikan kebijakan, dan terkait dengan titik berat

ahli secara DPRD serta Pemda memberikan (kewenangan) otonomi

permanent DIM daerah kepada DPD. daerah, yaitu apakah di

• Peningkatan kontrol • Memperkuat kapasitas propinsi atau kabupaten/

terhadap efektifitas parlemen dalam fungsi legislasi kota.

kerja pimpinan dengan mewajibkan lembaga Selayaknya anggota DPD

legislatif untuk membentuk staf paham dan peka

ahli dengan sistem rekrutmen terhadap persoalan dan

dan penggajian yang jelas; keinginan daerah yang

• Mengefektffikan laporan diwakilinya.

pertanggungjawaban tahunan • Keberadaan staf ahli

pimpinan Dewan. Sidang saat ini tidak sesuai

paripuma bisa mengganti dengan kebutuhan

pimpinan Dewan di awal tahun anggota dewan, tidak

program legislasi, jika temyata profesional dan

kinerja pimpinan buruk. cenderung politis dan

Pemilihan ulang pimpinan nepotis.

Dewan tidak harus bersifat

paket

Page 51: NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG·UNDANG ...berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200812...2020/08/12  · peninggalan Demokrasi Terpimpin (1959-1965) dan Orde Baru (1966-1998)

• Standarisasi tentang kode etik • Meningkatkan kualitas

anggota partemen pertu diatur pimpinan dewan dan

dalam UU memberi kesempatan

• Pemberhentian antarwaktu kepada anggota yang

anggota dewan (PAW) tidak bisa lain untuk bisa menjadi

dilaksanakan hanya karena pimpinan dewan.

usulan partai. Mengefektifkan program

• Proses PAW melalui Sadan kerja Dewan.

Kehormatan dan berbasis kinerja. • Perlu adanya payung

• Anggota Dewan yang bersalah hukum yang mengikat

berdasarkan putusan etika anggota Parlemen

pengadilan akibat pidana (termasuk pimpinan).

sebaiknya langsung • Dengan mekanisme

diberhentikan, tidak pertu syarat recalling oleh parpol,

minimal 5 tahun penjara. anggota dewan lebih

loyal kepada partai

ketimbang kepada

konstituen

3 Penataan • Mengatur • Pembahasan hal-hal di luar • DPD juga sebagai

hubungan mekanisme joint sidang gabungan paripuma DPR- lembaga wakil rakyat

kerja DPR commission antara DPD untuk membahas dan (Daerah) diasumsikan

denganDPD DPR dan DPD untuk melakukan perubahan UUD, lebih mengetahui

membahas secara melantik Presiden dan Wapres, persoalan daerah dan

bersama-sama RUU membementikan Presiden dan atau membawa aspirasi

yang terkait dengan Wapres sesuai mekanisme pasal masyarakat daerah.

5 bidang. 78 UUD1945, serta Oleh karena itu, DPD

• Rapat bersama mendengarkan pidato berhak ikut menetapkan

membentuk komisi/ Kenegaraan Presiden pada 16 -tidak sekedar

panitia bersama DPR- Agustus untuk penyampaian nota mengusulkan- kebijakan

DPD; keuangan, pertu dibentuk Panitia yang berkaitan dengan

• Memformalkan Bersama ljoint committee). kepentingan daerah

sidang gabungan Panitia ini berfungsi untuk RUU yang diwakilinya.

DPR-DPD dalam yang menjadi wilayah membahas

Page 52: NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG·UNDANG ...berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200812...2020/08/12  · peninggalan Demokrasi Terpimpin (1959-1965) dan Orde Baru (1966-1998)

rangka Pidato kewenangan bersama antara DPR • Fungsi dan kewenangan

Kenegaraan Presiden dan DPD. antara DPR dan DPD

tiap tgl 16 Agustus • Jika terjadi deadlock atau tidak seimbang DPR

untuk menyampaikan ketidaksepakatan antara DPR dan bersama Pemerintah

Nata Keuangan tahun DPD di dalam Rapat panitia memiliki kewenangan

anggaran berikutnya bersama, perlu dibentuk forum membuat UU, sedangkan

• Memperkuat DPD Panitia Kerja Bersama DPD tidak memiliki

dengan memberi (conference committee). fungsi legislasi. DPD

fungsi legislasi. Conference committee adalah hanya berfungsi

forum konsultasi antara DPD sebagai corong daerah

dengan DPR untuk menyelesaikan untuk membahas dan

perbedaan pandangan tentang mengartikulas ikan

suatu isu atau kasus yang tidak kepentingan dan

dapat diselesaikan pad a joint persoalan daerah untuk

session kemudian dibahas lebih

• DPD tidak hanya diberi hak lanjut dalam DPR.

mengusulkan RUU (bidang Praktik seperti itu sering

otonomi daerah; hubungan disebut sebagai "soft

pusatdandaerah; pembentukan, bicameral".

pernekaran, dan penggabungan • Dalam sistem strong

daerah; pengelolaan SDA dan bicameral, kedudukan

sumber daya ekonomi lainnya kedua kamar[chambers)

serta yang berkaitan dengan pada prinsipnya setara,

perimbangan keuangan pusat dan kendati fungsi legislasi

daerah) dan membahasnya lebih banyak dimiliki

bersama DPR dan Presiden, DPD oleh DPR ketimbang

diberi hak yang sama dengan DPR DPD.

dan Presiden menetapkan RUU

menjadi UU terkait dengan bidang

kewenangannya

Page 53: NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG·UNDANG ...berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200812...2020/08/12  · peninggalan Demokrasi Terpimpin (1959-1965) dan Orde Baru (1966-1998)

4 Penataan • Menghapuskan • Memperkuat substansi fungsi • Hakikat MPR sebagai

kelembagaan lembaga Pimpinan MPR sebagai joint session antara majelis nasional sesuai

MPR MPR yang permanen DPR dan DPD. Sidang gabungan dengan system

dan paripuma diadakan untuk: pemerintahan

menggantikannya 1 )membahasdan melakukan Presidensial

dengan perubahan UUD; 2) melantik • Penegasan fungsi MPR

kepemimpinan yang Presiden dan Wapres; 3) sebagai joint session

bersifat ad hoc, yaitu memberhentikan Presiden dan atau tidak memerlukan

untuk memimpin Wapres sesuai mekanisme pasal amandemen konstitusi.

sidang 78 UUD1945;4) memilih • Sebagai joint session,

gabungan(Joint Presiden dan atau wakil MPR tidak

Session) DPR-DPD Presiden untuk menggantikan membutuhkan

• Dalam jangka Presiden dan atau wakil Kepemimpinan yang

panjang menjadikan Presiden yang berhalangan tetap; bersifat permanen

MPR sebagai majelis dan 5) mendengarkan pidato • Pimpinan yang bersifat

nasional (national kenegaraan tahunan Presiden pada permanen saat ini bukan

assembly) dengan setiap tanggal 16 Agustus hanya tidak efisien dan

sistem bikameral (penyampaian nota keuangan dan terkesan seremonial,

pen uh RAPBN). tetapi jug a tidak sesuai

• Kepemimpinan MPR dijabat semangat

secara bergiliran antara presidensialisme

pimpinan DPR dan pimpinan DPD

dalam setiap masa sidang.

• Penggabungan sekjen MPR,

DPR dan DPD yang ada menjadi

satu kesekjenan.

• Pimpinan MPR tidak mendapat

fasilitas tambahan

Page 54: NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG·UNDANG ...berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200812...2020/08/12  · peninggalan Demokrasi Terpimpin (1959-1965) dan Orde Baru (1966-1998)

3. Ruang Lingkup Revisi UU Pemilu (Legislatin

3.1. Latar Belakang

Pemilihan umum (pemilu) yang dianut dan diselenggarakan oleh suatu negara merupakan instrumen

normatif bagi demokrasi yang amat mendasar dan penting. Seperti diketahui, pemilu bukan hanya

merupakan sarana perwujudan dan penegakan kedaulatan rakyat, melainkan juga berfungsi sebagai

sarana untuk memilih para wakil dan mengganti pemerintahan secara damai dan teratur. Melalui

pemilu, rakyat secara langsung memilih wakil-wakilnya di parlemen, sekaligus memberikan legitimasi

kepada siapa yang berhak dan mampu untuk memerintah di lembaga eksekutif. Oleh karena itu format

pemilu tidak hanya terkait dengan sistem perwakilan yang dihasilkannya, tetapi juga sistem

pemerintahan serta sistem kepartaian suatu negara demokrasi. Pemilu dengan demikian merupakan

seperangkat aturan atau metode bagi warga negara untuk menentukan masa depan pemerintahan

secara absah {legitimate).

Namun demikian patut digarisbawahi bahwa sistem pemilihan {electoral laws) dan aturan-aturan

teknis pemilu {electoral process) masih belum mencerminkan tegaknya kedaulatan rakyat. Pemilu yang

di dalamnya mencakup sistem pemilihan, dan mengatur aturan-aturan teknis yang kerapkali justru

dimanipulasi. Praktik seperti itu pernah terjadi pada masa Orde Baru. Pemilu tidak sepenuhnya

dirancang untuk menegakkan kedaulatan rakyat, karena aturan-aturan teknis pemilu seringkali

dimanipulasi demi kepentingan bertahannya kekuasaan. Pemilu hanyalah sebatas instrumen untuk

mengatakan bahwa Indonesia telah menyelenggarakan pemilihan wakil-wakil rakyat secara teratur.

Secara prosedural saja -apalagi substansial-pemilu selama Orde Baru belum mencerminkan nilai-nilai

demokrasi atas dasar prinsip kompetisi yang bebas, adil dan demokratis. Pemilu hanya berfungsi

sebagai sarana untuk mengabsahkan status quo pemerintahan otoriter35.

Kelemahan-kelemahan pemilu di masa Orba tersebut, akhirnya diperbaiki pada masa transisi.

Pada tahun 1999 telah dilakukan perubahan paket UU Politik warisan Orde Baru. Transisi telah

mendorong pemerintah dan parlemen untuk mengubah paket UU Politik warisan masa lalu, dengan

tujuan pengaturan pemilihan umum yang lebih baik, jujur, adil dan demokratis.

Reformasi menjadi pijakan untuk memperbaiki paket UU Politik, yang diharapkan dapat

membawa perubahan yang lebih baik. Namun pada kenyataannya, setelah Pemilu 1999 berjalan, wakil

yang terpilih belum sepenuhnya mencerminkan dirinya sebagai wakil konstituen. Gejala seperti itu

masih pula dirasakan pada Pemilu 2004, padahal dari segi pengaturannya telah dilakukan revisi atas

35 Lihat misalnya, Syamsuddin Haris, ed., Menggugat Pemilihan Umum Orde Baru, Jakarta: Yayasan Obor, 1999; juga

Syamsuddin Haris, "General Election under the New Order", dalam Hans Antlov dan Sven Cederroth, ed., Election in

Indonesia: the New Order and Beyond, London and New York: RoutledgeCurzon, 2004, hal. 18-37.

Page 55: NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG·UNDANG ...berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200812...2020/08/12  · peninggalan Demokrasi Terpimpin (1959-1965) dan Orde Baru (1966-1998)

UU No. 3/1999 menjadi UU No. 12/2003. Alih-alih menghasilkan wakil rakyat yang memperjuangkan

kepentingan masyarakat, yang terjadi justru sebaliknya, mereka lebih memperjuangkan kelompoknya.

Dengan kata lain, kedua pemilu yang berlangsung pada masa transisi pun belum dapat menciptakan

dan mendorong perwakilan politik yang bertanggungjawab kepada konstituen, memiliki kemampuan

fungsional, pengetahuan politik yang memadai, dan integritas serta profesionalitas.

Meskipun demikian, harus diakui bahwa Pemilu 2004 berhasil diselenggarakan secara demokratis

di satu sisi dan di sisi lain dapat memperkecil jumlah kontestan atau partai peserta pemilu dari 48 partai

menjadi 24 partai. Terlepas dari keberhasilan tersebut, secara umum Pemilu 2004 masih belum

berdampak pada perbaikan sistem politik secara kualitatif, dan belum mampu mengubah demokrasi

prosedural menjadi demokrasi substansial.

Di sinilah urgensi untuk penyempurnaan UU No. 12/2003 tentang Pemilu, yakni agar sistem,

mekanisme dan proses pemilu memberikan kontribusi terhadap peningkatan kualitas keterwakilan dan

akuntabilitas politik di satu pihak, dan penguatan serta peningkatan efektifitas sistem pemerintahan

presidensial di lain pihak. Selain itu, penyempurnaan dan atau revisi atas UU Pemilu diperlukan agar

menghasilkan sistem perwakilan dan juga sistem kepartaian yang mendukung penguatan dan efektifitas

presidensialisme tersebut.

3.2. Problematik UU Pemilu

Dalam sejarah pemilu di Indonesia, sistem perwakilan proporsional {proportional representation/PR

system) tampaknya telah menjadi pilihan yang dianggap paling mungkin (feasible). Pertimbangan

penggunaan sistem proporsional yang selama ini dominan adalah agar suara rakyat tidak terbuang dan

proporsionalitas keterwakilan politik mencerminkan hetegonitas keberagamaan masyarakat dari segi

etnik dan budaya serta agama. Selain itu, tingkat pendidikan masyarakat yang masih rendah adalah

pertimbangan lain di balik pilihan terhadap sistem proporsional.

Sistem proporsional yang diterapkan sejak Orde Baru hingga era transisi belum sepenuhnya

dapat menghasilkan wakil-wakil rakyat yang murni mewakili kepentingan rakyat. Kelemahan-kelemahan

tersebut secara bertahap diperbaiki pada masa transisi sejak Pemilu 1999 dan Pemilu 2004. Pada

Pemilu 1999, kendati telah diperbaiki dibandingkan pemilu-pemilu Orde Baru, sistem pemilu masih

belum dapat menghasilkan wakil rakyat yang benar-benar representatif karena sistem proporsional

yang berlaku bersifat tertutup. Kelemahan ini diperbaiki relatif agak mendasar pada UU No. 12/2003,

dengan ditetapkannya sistem proporsional terbuka. Akan tetapi kehendak untuk menerapkan sistem

proporsional terbuka tersebut cenderung bersifat simbolik karena dalam praktiknya hampir semua caleg

terpilih atas dasar nomor urut yang ditetapkan oleh pimplnan partainya masing-masing.

Page 56: NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG·UNDANG ...berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200812...2020/08/12  · peninggalan Demokrasi Terpimpin (1959-1965) dan Orde Baru (1966-1998)

3.2.1. lnkonsistensi Sistem Proporsional Tebuka

Sistem proporsional terbuka pada Pemilu 2004 cenderung diberlakukan secara inkonsisten dan

"setengah hati", sehingga masih belum dapat memperbaiki kelemahan dan problem keterwakilan pada

pemilu-pemilu sebelumnya. Penentuan calon jadi atas dasar nomor urut merupakan dilema paling

mendasar dari sistem proporsional terbuka pada Pemilu 2004. Sebagaimana diketahui, pemilih dapat

mencoblos tanda gambar partai dan mencoblos nama calon legislatif. Karena sifatnya masih belum

terbuka secara penuh, maka sistem ini cenderung membingungkan pemilih, karena suara dianggap sah

apabila pemilih memilih tanda gambar saja, dan/atau tanda gambar sekaligus nama caleg. Namun

demikian apabila pemilih hanya memilih nama caleg saja, maka suara dianggap tidak sah.

Dengan tata cara pemilihan seperti itu, maka secara formal sebenarnya sistem yang berlaku

masih cenderung pada sistem porporsional tertutup ketimbang sistem proporsional terbuka. Akibat dari

penerapan sistem seperti itu adalah: pertama, pemilih pada kenyataannya lebih memilih tanda gambar

partai karena memang lebih mudah ketimbang memilih nama calon. Secara formal memang sistem

yang dianut adalah sistem proporsional terbuka, namun dalam praktiknya terjadi penyimpangan ke arah

sistem proposional tertutup, ketika sebagian besar pemilih lebih memilih tanda gambar yang tidak

disertai dengan memilih nama calon. Kedua, para pengurus atau elite partai masih mendominasi nomor

urut calon, meskipun yang bersangkutan kurang dikenal oleh masyarakat. Di sinilah letak oligarki partai

dalam penentuan calon anggota dewan semakin diperkuat. Ketiga, dengan mekanisme pemilihan

seperti di atas, maka terbukanya peluang bagi partai-partai politik yang sudah mapan untuk menggiring

para pemilih hanya mencoblos tanda gambar partai tanpa pilihan atas nama calon. Keempat, terdapat

dua basis penentuan calon jadi yang tidak proporsional, di satu sisi didasarkan atas nomor urut tetapi di

sisi lain didasarkan atas BPP (Bilangan Pembagi Pemilihan). Bagi calon yang menempati nomor urut

potensial terpilih, dengan cara pemilihan seperti itu kompetisinya tidak terlalu berat, akan tetapi bagi

calon yang berada pada urutan bawah, mereka harus berjuang keras agar memperoleh dukungan pemilih

sehingga melampaui BPP. Dengan demikian, calon yang memperoleh suara paling besar dan tidak

memenuhi BPP gagal terpilih, sementara calon yang menempati nomor urut potensial dengan tingkat

dukungan yang lebih kecil justru terpilih sebagai anggota legislatif.

Sistem pemilihan ini berakibat pada kurang adiilnya kompetisi, sebab calon yang menempati

nomor urut atas (potensi untuk terpilih), meski yang bersangkutan hanya "diam," lebih berpeluang besar

terpilih, sementara calon yang menempati nomor urut bawah harus berjuang keras agar memperoleh

dukungan dari konstituen. Di samping itu, pada kenyataannya, daftar nomor urut yang potensial terpilih

sebagai calon jadi lebih ditempati oleh pengurus-pengurus partai, sementara yang bersangkutan belum

tentu dikenal oleh konstituen dan memiliki kapabilitas yang memadai. Dengan sistem pemilihan seperti

itu, ada gejala bahwa partai-partai dan para pengurus partai lebih diuntungkan, karena merekalah yang

Page 57: NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG·UNDANG ...berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200812...2020/08/12  · peninggalan Demokrasi Terpimpin (1959-1965) dan Orde Baru (1966-1998)

potensial terpilih sebagai wakil rakyat kendati tidak mampu memperoleh suara secara signifikan.

Di sisi yang lain, sistem proporsional terbuka setengah hati yang dianut UU No. 12/2003 belum

sepenuhnya dapat mendekatkan antara para wakil dengan terwakil atau konstituennya. Sebagai

akibatnya, akuntabilitas para waktl terhadap konstituen cenderung lemah karena loyalitas mereka

cenderung ditujukan untuk partai politik. Akibatnya, para wakil yang terpilih cenderung hanya menjadi

wakil partai ketimbang wakil rakyat. Lebih jauh lagi, praktik sistem proporsional setengah hati seperti ini

pada akhirnya menciptakan sistem perwakilan yang kurang mendukung penguatan dan efektifitas

sistem pemerintahan presidensial.

3.2.2. Mekanisme Pencalonan Mengabaikan Kualitas dan KapabWtas Ca/eg

Sebagaimana telah dijelaskan di atas, akibat mekanisme pencoblosan yang masih mengabsahkan

pemilihan pada tanda gambar partai politik, maka mekanisme pencalonan anggota legislatif kurang

kompetitif, karena posisi strategis (nomor urut yang potensial terpilih) ditempati oleh para elite atau

pengurus partai. Kurang tegasnya mekanisme pencalonan dalam UU No. 12/2003 yang hanya

menekankan proses dilakukan secara terbuka dan demokratis -tanpa kejelasan tentang konsep "terbuka

dan demokratis" itu sendiri-menyebabkan para pengurus partai masih dominan dalam pencalonan

anggota legislatif36.

Selain itu, mekanisme pencalonan masih memberikan peluang terjadinya money politics dan

prosesnya kurang transparan secara publik. Meskipun UU No. 12 tahun 2003 telah mengatur bahwa

pencalonan wakil rakyat hanya dilakukan ol,eh atau melalui partai politik dengan memenuhi persyaratan

dan dilakukan secara terbuka dan demokratis, namun dalam praktiknya, secara terselubung sering

terjadi penyimpangan. Partai-partai yang tel.ah mapan pola rekrutmennya cenderung lebih dikuasai oleh

elite dan pengurus partai, sementara partai-partai kecilkesulitan dalam mencari kader yang akan

dicalonkan. Belum lagi terjadinya manipulasi data calon atau kecurangan lain dalam penempatan nomor

unit pada daftar calon tetap.

Salah satu faktor penyebab dari kecenderungan manipulasi proses pencalonan ini adalah kriteria

rekrutmen pencalonan anggota legislatif oleh partai-partai politik yang masih cenderung bersifat

administratif belaka. ldealnya ada kaitan antara syarat-syarat menjadi calon anggota legislatif dengan

fungsi dan tugas keparlemenan yang akan diemban oleh caleg. Persyaratan-persyaratan yang ada

cenderung mengabaikan aspek kualitas dan kapabilitas calon serta belum mengarah pada persyaratan

yang bersifat fungsional, dalam arti profesionalitas caleg terhadap fungsi-fungsi yang akan dilaksanakan

36 Tentang dominasi para elite atau pengurus partai dalam proses pencalonan lihat misalnya, Syamsuddin Haris, ed., Pemilu

Langsung di Tengah Oligarki Partai, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005.

Page 58: NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG·UNDANG ...berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200812...2020/08/12  · peninggalan Demokrasi Terpimpin (1959-1965) dan Orde Baru (1966-1998)

setelah menjadi anggota legislatif.

Meskipun UU No. 12/2003 yang diterapkan pada Pemilu 2004 yang lalu telah menghasilkan

sebagian besar wajah baru anggota legislatif, namun hasilnya belum menunjukkan peningkatan kualitas

anggota legislatif dari hasil pemilu sebelumnya. Persyaratan calon yang sifatnya masih administratif,

abstrak dan sulit diukur menjadi faktor penting di balik kecenderungan ini. Sebagai contoh adalah

persyaratan bahwa seorang calon anggota legislatif harus mempunyai ijazah SL TA atau yang sederajat.

Ukuran akademis yang dipakai sebagai syarat latar belakang pendidikan calon wakil rakyat hanya

pendidikan formal setingkat SL TA. Sementara itu, keahlian, pengalaman berorganisasi maupun

kecakapan teknis lain yang diperlukan sebagai faktor pendukung suksesnya kerja sebagai wakil rakyat,

sama sekali tidak menjadi bahan pertimbangan. Dampaknya, pemilu masih belum dapat menghasilkan

calon-calon yang memiliki performance dan kapabilitas yang lebih memadai, berkaitan dengan tugas,

fungsi, dan tanggung jawabnya sebagai wakil rakyat.

3.2.3. Ketentuan Electoral Threshold Cenderung Dipermainkan

Upaya untuk memperketat persyaratan partai peserta pemilu melalui ketentuan electoral threshold (ET)

telah diberlakukan sejak Pemilu 1999. Namun pada kenyataannya, ketentuan ET ini masih cenderung

dipermainkan oleh partai-partai politik. Praktik yang berlaku pada Pemilu 2004 memperlihatkan

kenyataan sejumlah partai yang gagal ET memanfaatkan kelonggaran ketentuan ET untuk "lahir

kembali" sebagai partai baru agar dapat mengikuti pemilu berikutnya. Artinya, sepanjang ketentuan

administratif sebagai parpol peserta pemilu dapat terpenuhi sesuai UU, maka partai politik yang gaga!

ET tersebut tetap akan menjadi peserta pemilu. Partai politik yang pernah ikut Pemilu 1999 tetapi gaga!

memenuhi ketentuan ET dengan mudah menjadi peserta Pemilu 2004. Dengan demikian ketentuan

electoral threshold dengan mudah dimanipulasi dengan cara penggantian nama dan identitas partai

menjelang pemilu. Penggantian nama ini menjadi jalan pintas, sehingga yang terjadi adalah seolah-olah

lahir partai baru peserta pemilu, padahal partai tersebut hanyalah metamorfosis partai lama yang tidak

memenuhi electoral threshold pada pemilu sebelumnya.

Penerapan ET yang terlalu longgar dan cenderung dimanipulasi pada akhirnya justru akan tetap

menciptakan tingkat fragmentasi partai yang relatif tinggi di parlemen dan kurang dapat mendorong

upaya penyederhanaan partai politik. Dengan kata lain, walaupun jumlah partai peserta Pemilu 2004

berkurang dibandingkan partai peserta Pemilu 1999, namun UU No. 12/2003 kurang dapat mendorong

terjadinya pembatasan partai-partai yang memperoleh kursi di parlemen, sehingga kebutuhan akan

hadimya partai mayoritas tidak terjadi.

Masih adanya peluang bagi partai-partai yang tidak ~olos ET untuk membentuk partai politik baru

karena lemahnya pengaturan UU berdampak pada berlomba-lombanya para pengurus partai lama untuk

Page 59: NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG·UNDANG ...berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200812...2020/08/12  · peninggalan Demokrasi Terpimpin (1959-1965) dan Orde Baru (1966-1998)

mendirikan partai politik baru dengan berubah nama, bendera dan simbol-simbol partai lainnya namun

dengan sebagian besar orang yang sama. Kecenderungan seperti ini pada dasamya inkonsisten dengan

tujuan penerapan ET karena semestinya partai yang telah gagal ET tidak memiliki peluang untuk

mengikuti pemilu selanjutnya.

Untuk mencapai tujuan pemberlakukan ET, maka perlu dipertimbangkan bahwa partai yang tidak

lolos ET yang kemudian membentuk partai politik baru tidak secara langsung dapat mengikuti pemilu

berikutnya, tetapi baru diperbolehkan ikut dalam pemilu setelah sekurang-kurangnya satu periode

pemilu sesudahnya (lima tahun), kecuali bergabung atau meleburkan diri dengan partai-partai yang

lolos ET. Pengaturan yang ketat seperti ini diperlukan dengan harapan akan terciptanya penguatan

sistem kepartaian di satu pihak dan efektititas sistem presidensial di pihak lain.

3.2.4. Nilai Kursi Legislatif dan Besaran Daerah Pemilihan Tidak Proporsional

Dalam penentuan nilai kursi bagi anggota DPR, UU No. 12/2003 belum sepenuhnya memperhatikan

aspek proporsionalitas jumlah penduduk, antara daerah yang padat penduduknya dengan daerah yang

jarang penduduknya. Hal ini menimbulkan ketimpangan nilai kursi, karena dalam praktiknya ada "kursi

mahal" di daerah-daerah pemilihan di Jawa, dan "kursi murah" di daerah-daerah pemilihan luar Jawa.

Apabila dasar penentuan nilai kursi adalah jumlah penduduk, maka perlu dikembalikan pada prinsip

dasar yang sama, yakni one person one vote. Dengan kata lain, nilai kursi semim'mal mungkin tidak

terlalu lebar kesenjanganya antara wilayah yang padat dengan wilayah yang jarang penduduknya.

Karena pada dasarnya, DPR mewakili rakyat dari segi Qumlah) penduduk, bukan mewakili wilayah,

sehingga daerah yang jumlah penduduknya lebih padat memiliki perwakilan politik yang lebih besar

ketimbang daerah yang jarang penduduknya.

Selain itu, penentuan besaran daerah pemilihan kurang mempertimbangkan perbandingan luas

wilayah dengan jumlah penduduk. Dampaknya, terjadi ketimpangan besaran daerah pemilihan antara

Jawa dengan luar Jawa. Meskipun kelemahan ini dikompensasi melalui keberadaan lembaga DPD yang

didasarkan pada perwakilan wilayah, namun tetap tidak dapat menyetarakan nilai kursi legislatif nasional

antara Jawa-luar Jawa. Basis penghitungan nilai kursi yang tidak mencerminkan keadilan antardaerah

yang padat dan jarang penduduknya ini pe~u dikembalikan pada prinsip yang semestinya, yaitu jumlah

penduduk sebagai dasar dalam menentukan nilai kursi pada setiap daerah pemilihan.

3.2.5. Kerumitan Mekanisme Penghitungan Suara

Meskipun mekanisme penghitungan suara pada Pemillu 2004 relatif lebih baik dibandingkan Pemilu

1999, namun prosedur admnistratif yang terlalu rumit dan kompleks menyebabkan KPPS kesulitan

dalam mengisi formulir dokumen penghitungan suara yang terlalu banyak. Prosedur administratif yang

Page 60: NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG·UNDANG ...berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200812...2020/08/12  · peninggalan Demokrasi Terpimpin (1959-1965) dan Orde Baru (1966-1998)

terlalu rumit juga menyebabkan sulitnya menyusun rekapitulasi penghitung.an untuk dipindahkan ke

dalam format dokumen penghitungan suara, karena dokumen yang harus diisi terlalu banyak.

Dalam hal tabulasi data, di beberapa tempat juga mengalami kesulitan teknis, dari soal komputer

yang rusak, maupun SOM yang dikontrak hanya dalam waktu singkat. Dalam hal ini, UU Pemilu

cenderung mengabaikan pertimbangan-pertimbanga11 teknis, kerumitan-kerumitan yang diakibatkan

dari1 kompleksitas administratif, dan kemampuan petugas pelaksana yang tidak sama, serta luas dan

besaran wilayah yang berbeda-beda.

3.2.6. Keterwakilan Perempuan Masih Rendah

Meskipun UU Pemilu No. 12 Tahun 2003 telah mengakomodasi upaya peningkatan keterwakila11

perempuan di legislatif melalui pencalonan minimal 30 persen bagi perempuan, namun di dalam

struktur keanggotaan DPR hasil Pemilu 2004 hanya terdapat sekitar 11 persen anggota legislatif

perempuan. Kondisi ini masih memprihatinkan dibandingkan banyak negara sedang berkembang

lainnya, apalagi dibandingkan negara-negara maju. Karena itu penyempurnaan atas UU Pemilu

hendaknya semakin meningkatkan keterwakilan perempuan di parlemen agar kualitas keterwakilan,

kualitas kebijakan yang dihasilkan, dan juga kualitas demokrasi pada umumnya lebih meningkat

dibandingkan pemilu-pemilu sebelumnya.

3.2. 7. Penundaan Penggunaan Hak Pilih TNllPOLRI

Meskipun setiap Warga Negara Republik Indonesia yang telah berumur 17 tahun dan/atau sudah kawin

memiliki hak untuk memilih dan dipilih, namun khusus untuk TNI dan POLRI pada Pemilu 2009, perlu

dipertimbangkan untuk ditunda pemulihan hak pilihnya. Ada kekhawatiran bahwa jika hak pilih anggota

TNl/Polri dipulihkan pada Pemilu 2009 ketika konsolidasi demokrasi belum berfangsung dan juga

reformasi internal TNl/POLRI belum tuntas, dapat mengembalikan institusi TNl/POLRI kembali terlibat

dalam politik. Padahal, salah satu tujuan reformasi adalah untuk mengakhiri peran sosial politik ABRI

(baca: TNl/POLRI) agar kedua institusi ini lebih profesional di bidangnya, dan tidak terlibat dalam politik

praktis sebagaimana terjadi pada masa Orde Baru. Kuatnya fragmentasi kekuatan-kekuatan politik di

masa transisi di satu sisi dan pemberian hak pilih TNl/POLRI di sisi lain, tidak menutup

kemungkinan dapat menyeret institusi TNl/POLRI ke dalam perbedaan ideologis yang lebih tajam.

Pengalaman politik pada 1950-an memperjelas, ketika TNl/POLRI diberi hak pilih, justru kedua institusi

ini terkotak-kotak secara ideologis sehingga terjadi gontok-gontokan di antara mereka sendiri. Kondisi

ini tentu bukanlah pilihan yang terbaik, karena lahirnya reformasi justru ingin meletakkan fondasi yang

kokoh bagi profesionalisme TNl/POLRI secara institusional dan individual.

Page 61: NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG·UNDANG ...berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200812...2020/08/12  · peninggalan Demokrasi Terpimpin (1959-1965) dan Orde Baru (1966-1998)

3.3. Cakupan Revisi UU Pemilu

3.3.1. Penerapan Si stem Proporsional Terbuka Penuh

Untuk meningkatkan kuaiitas keterwakilan di satu pihak dan kuaiitas akuntabilitas para wakil di lain

pihak, maka sistem pemilu legislatif yang berlaku pada Pemilu 2004 perlu ditata dan disempurnakan

kembali, yaitu menuju sistem proporsional dengan daftar terbuka sepenuhnya -tidak "setengah

terbuka". Penataan ulang sistem pemilu ke arah sistem yang memperkuat akuntabilitas para wakil

dengan sistem proporsional terbuka dilandasi oleh beberapa argumen berikut: (1) anggota DPR/DPRD

mencerminkan perwakilan rakyat dengan tingkat proporsionalitas yang tinggi; (2) mendorong kompetisi

calon secara terbuka; (3) mencerminkan rasa keadilan bagi calon-calon yang memperoleh suara

terbanyak meskipun nomor urutnya berada di bawah; (4) membuka peluang bagi meningkatnya

keterwakilan kaum perempuan di badan-badan perwakilan; dan (5) mendekatkan hubungan para wakil

dengan rakyat yang diwakilinya.

Selain itu, arah dan tujuan penyelenggaran pemilu yang memperkuat pilihan konstituen atas

wakil-wakilnya diharapkan dapat memperbaiki praktik pemerintahan yang ambivalen, lebih cenderung

pada praktik pemerintahan parlementer, padahal system pemerintahan yang dianut adalah sistem

pemerintahan presidensial. Untuk memperkuat sistem pemerintahan tersebut dibutuhkan partai politik

yang memiliki dukungan yang besar, sehingga dapat menjalankan pemerintahan yang lebih efektif.

Oleh karena itu, untuk memperkokoh sistem presidensial dan memperbaiki sistem perwakilan,

perlu penegasan bahwa sistem proporsional yang diberlakukan adalah sistem proporsional terbuka

penuh. Sistem ini pada hakikatnya mengandung prinsip-prinsip sebagai berikut: (1) penentu terpilihnya

seorang calon legislatif adalah jumlah suara yang diperolehnya; (2) mencoblos nama calon dan partai

politik (yang dianggap sah); (3) kursi dibagi berdasarkan partai terlebih dahulu, baru setelah masing­

masing partai memperoleh kursi, maka calon yang memperoleh suara terbanyak di masing-masing

partai dinyatakan langsung terpilih sebagai anggota Dewan; dan (4) nomor urut hanya berfungsi

administratif, tidak menentukan urutan kemenangan seorang calon.

3.3.2. Peningkatan Persyaratan Partai Peserta Pemilu

Apabila disepakati bahwa sistem kepartaian perlu ditata ulang menuju sistem multipartai sederhana -

agar mendukung efektifitas presidensialisme-maka perlu persyaratan yang lebih ketat bagi calon

partai peserta pemilu. Selain itu, upaya ini dilakukan untuk mendorong terbentuknya koalisi besar partai

dalam sistem pemerintahan presidensial, sehingga dapat menciptakan pemerintahan yang lebih kuat

dan efektif. Argumentasi perlunya pengetatan persyaratan tersebut adalah agar: (1) hanya partai-partai

yang memiliki basis dukungan yang jelas dan memiliki kepengurusan yang luas secara nasional yang

dapat mengikuti pemilu; (2) mendorong agar partai melakukan penataan kelembagaan dan

Page 62: NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG·UNDANG ...berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200812...2020/08/12  · peninggalan Demokrasi Terpimpin (1959-1965) dan Orde Baru (1966-1998)

menjalankan fungsinya di luar agenda meraih kekuasaan; (3) mendorong dan mengkondisikan

terjadinya penggabungan dan atau koalisi partai; dan (4) mendorong terjadinya kompetisi internal partai

untuk memilih calon-calon berkuatas yang akan berkompetisi di dalam bursa pencalonan pemilu

Dalam kaitan tersebut perubahan yang perlu dilakukan di antaranya adalah dengan memperbesar

electoral threshold (ET) dan memperketat prosedumya melalui ketentuan: (1) hanya partai yang

memperoleh electoral threshold minimal 5 persen dari jumlah kursi di DPR yang dapat mengikuti Pemilu

2014; (2) partai yang tidak mencapai ET tidak boleh mengikuti pemilu berikutnya walaupun dengan

mengganti nama parpol dengan nama baru, dan/atau mengganti pengurus dengan wajah baru; (3) jika

akan mengikuti pemilu, partai-partai tersebut wajib bergabung dengan partai yang mencapai atau tidak

mencapai ET hingga memenuhi ET; dan (4) memberlakukan kewajiban deposit dana dalam jumlah

tertentu bagi partai baru yang telah memenuhi syarat untuk mengikuti pemilu.

3.3.3. Peningkatan Kualitas Ca/on Legislatif (Ca/eg)

Seiring dengan tujuan untuk memperkuat kualitas sistem perwakilan dan juga kualitas keterwakilan,

maka peningkatan kualitas para calon legislatif diharapkan dapat mernperbaiki performance, integritas,

dan akuntabilitas calon-calon yang akan terpilih. Untuk mendorong hal itu, maka selain syarat-syarat

yang sifatnya administratif, perlu persyaratan yang sifatnya fungsional -yang memiliki relevansi dengan

pekerjaan yang akan dilakukan para caleg di parlemen. Syarat-syarat tersebut di antaranya adalah

integritas, memiliki visi ke depan yang jelas, kompetensi sebagai politisi sekaligus negarawan, dan syarat

kemampuan managerial yang bersifat transformatif.

Persyaratan-persyaratan kualitatif tersebut perlu diwajibkan bagi para caleg yang direkrut oleh

partai politik selain persyaratan yang bersifat administratif -yang semestinya dikurangi dibandingkan

pemilu sebelumnya. Selain itu, syarat-syarat pencalonan yang bersifat kualitatif diperlukan agar para

caleg tidak terperangkap untuk melakukan manipulasi administratif seperti fenomena ijazah palsu yang

marak pada Pemilu 2004.

3.3.4. Penataan U/ang Nilai Kursi Legislatif dan Besaran Daerah Pemilihan

Dalam rangka penataan ulang nilai kursi legislatif, perubahan UU No. 12/2003 perlu menekankan,

pertama, keseimbangan yang lebih proporsional antara daerah yang padat dengan yang jarang

penduduknya. Jumlah penduduk harus menjadi dasar dalam menentukan jatah kursi masing-masing

daerah pemilihan karena pada prinsipnya sistem proporsional adalah mewakili penduduk (orang) bukan

mewakili wilayah (ruang). Di sisi yang lain dengan adanya daerah pemilihan, maka dimungkinkan

adanya perubahan struktur kepartaian di daerah mengikuti daerah pemilihan, bukan wilayah

administratif.

Page 63: NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG·UNDANG ...berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200812...2020/08/12  · peninggalan Demokrasi Terpimpin (1959-1965) dan Orde Baru (1966-1998)

Kedua, BPP hanya untuk menentukan kuota perolehan kursi partai di daerah pemilihan dan

bukan untuk menentukan kuota perolehan suara calon terpilih. lni dilakukan untuk menghindari

terjadinya pergeseran dari sistem proporsional terbuk.a ke arah sistem proporsional tertutup. Adanya

BPP dengan bilangan yang terlalu tinggi, sehingga hampir mustahil dicapai, menyebabkan sistem

proporsional terbuka berubah menjadi sistem proporsional tertutup. Oleh karena perlu perubahan fungsi

BPP, yakni hanya untuk menentukan kuota kursi di setiap daerah pemilihan.

Ketiga, sebagai konsekuensi logis usulan perubahan di atas maka besaran daerah pemilihan

(district magnitude-jumlah wakil rakyat yang terpilih dalam satu distrik) perlu ditata ulang atas dasar

proporsional jumlah penduduk dengan bertolak pada prinsip one person one vote. Untuk mengarah

ke sana, maka perubahan yang dapat dilakukan adalah bahwa pola penentuan daerah pemilihan

relatif sama dengan Pemilu 2004 dengan penyempurnaan pada kuota kursi yang disesuaikan dengan

proporsi jumlah penduduk.

3.3.5.Penguatan Keterwakilan dan Basis DPD

Sementara untuk penguatan dan perluasan basis keanggotaan DPD, penataan yang diusulkan adalah

meningkatkan basis perwakilan DPD dan mendorong terjadinya pengelompokkan di parlemen. Oleh

karena itu perlu adanya perluasan basis keterwakilan calon DPD, yang tidak hanya berasal dari calon

perorangan/independen, tetapi juga berasai dari anggotra partai politik secara perseorangan. Perluasan

basis keanggotaan DPD bagi anggota partai politik ini tridak mengurangi esensi DPD sebagai lembaga

perwakilan wilayah di satu pihak, dan prinsip keterwakilan yang bersifat perseorangan di lain pihak.

Dengan demikian DPD akan memiliki basis dukungan yang lebih kuat sekaligus sebagai "modal" bagi

sistem perwakilan yang mengarah pada strong bicameralism sehingga secara bertahap kedudukannya

hampir sama dengan DPR.

Untuk mengarahkan pada penguatan basis keanggotaan DPD maka setiap calon anggota DPD

diharuskan memperoleh dukungan awal 3% dari jumlah pemilih di daerah yang akan diwakilinya.

Sedangkan untuk mendekatkan hubungan antara anggota DPD dengan daerah yang diwakilinya maka

propinsi sebagai daerah pemilihan DPD perlu di bagi ke dalam empat sub-daerah pemilihan sesuai

dengan jumlah wakil DPD pada setiap propinsi. Melalui pembagian ke dalam empat sub-daerah

pemilihan pada setiap propinsi ini maka keterwakilan setiap anggota DPD iebih jelas dibandingkan

sebelumnya.

3. 3. 6. Perbaikan Akuntabilitas Dana Kampanye

Untuk meningkatkan kualitas transparansi dan akuntabilitas dana kampanye di dalam UU Pemilu perlu

diatur lebih rinci mengenai ketentuan dana kampanye .. Hal ini diperlukan untuk membangun proses

Page 64: NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG·UNDANG ...berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200812...2020/08/12  · peninggalan Demokrasi Terpimpin (1959-1965) dan Orde Baru (1966-1998)

pilpres yang baik secara prosedural, agar transparan dan bisa diketahui oleh publik sehingga

mendorong terbangunnya good governance pascapemilu antara lain 37 :

• Ada ketentuan yang mewajibkan audit terhadap pengeluaran dana kampanye;

• Laporan penggunaan dana kampanye (sumber maupun pengeluaran) perlu diumumkan pada publik

melalui media massa seminggu sebelum hari pemberian suara;

• Adanya konfirmasi tentang kelayakan penyumbang di dalam proses audit;

• Harus ada ketentuan baku tata cara serta tindak lanjut dan sanksi yang jelas terhadap temuan

permasalahan yang dihasilkan dari proses audit;

• Sumbangan pengusaha hanya dapat dilakukan satu kali dari induk perusahaan. Aliran dana harus

lewat perbankan nasional untuk diverifikasi oleh pihak berwenang dan sesuai pengaturan tentang

antimoney laundring;

• Adanya aturan secara rinci mengenai identitas penyumbang. Kewajiban mencatat sumbangan di

bawah Rp. 5 juta yang dilakukan lebih dari satu kali dan menyimpan catatannya lewat bendahara

partai politik. Batas bawah pencatatan perlu diturunkan;

• Aturan yang tegas bagi pihak-pihak yang digunakan namanya atau perusahaannya untuk

menyumbang padahal tidak memiliki kemampuan;

• Penelusuran kewajaran kemampuan menyumbang dari NPWP individu maupun badan usaha;

• Perlu dtjelaskan secara jelas kapan rekening dana kampanye dapat dibuka dan berapa ketentuan

saldo awal yang wajar dalam membuka rekening khusus dana kampanye;

• Saldo awal dapat berasal dari rekening partai politik yang diatur batasan besarnya saldo awal;

• Ketentuan mengenai utang hams dikenakan baik jumlah maupun kategori penyumbangnya dengan

ketentuan yang diterapkan untuk penyumbang perorangan dan badan hukum;

• Adanya ketentuan kewajiban membuka laporan dana kampanye dan hasil audit laporan dana

kampanye ke publik lewat media nasional;

• Rekening dana kampanye yang dibuka hams dikoordinasikan oleh satu orang yang ditunjuk untuk

bertanggungjawab terhadap pencatatan dan pelaporan dana kampanye. Orang yang ditunjuk juga

bertanggungjawab mengkonsolidasikan semua rekening tersebut pada saat penyusunan laporan dana

kampanye ke KPU/KPUD;

• Sanksi administratif pelanggaran dana kampanye memerlukan model atau standar operasi baku

penanganan yang jelas dan cepat atas pelanggaran administratif;

• Sanksi pidana pelanggaran dana kampanye perlu ada definisi yang jelas mengenai politik uang dan

manipulasi dana kampanye. Perlu ada penanganan lebih cepat atas kasus-kasus politik uang yang

37 Diolah kembali dari "Perubahan Pasal Dana Politik di dalam Paket Undang-undang Politik" oleh Tim Cetro, Til, ICW, Perludem dan IAl­KSAP, Desember 2006.

Page 65: NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG·UNDANG ...berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200812...2020/08/12  · peninggalan Demokrasi Terpimpin (1959-1965) dan Orde Baru (1966-1998)

terjadi. Perlu ad~ percepatan proses penanganan kasus politik uang sehingga sanksi dapat segera

diterapkan kepada orang atau pihak-pihak yang terliibat.

3.3. 7. Pelembagaan Transparansi dan Akuntabilitas Penghitungan Suara

Untuk meningkatkan kualitas transparansi dan akuntabilitas penghitungan suara, maka perlu dilakukan

penyederhanaan format dokumen penghitungan suara (terutama di tingkat KPPS) dan peningkatan

pengawasan penghitungan suara di tingkat PPS (desa/kelurahan) dan PPK (kecamatan). Hal ini

diperlukan bukan hanya untuk memudahkan KPPS dalam melakukan penghitungan dan mengurangi

tingkat akurasi akibat tekanan waktu dan kelelahan petugas, melainkan juga untuk mempercepat

proses rekapitulasi hasil pemilu pada tahap selanjutnya.

3.3.8.Peningkatan Keterwakilan Perempuan

Dalam rangka peningkatan keterwakilan perempuan di lembaga legislatif, serta juga untuk

meningkatkan kualitas produk kebijakan agar lebih berperspektif gender, perlu penegasan sanksi bagi

partai poiitik peserta pemilu yang tidak mematuhi persyaratan mencalonkan minimal 30 persen

perempuan. Penegasan sanksi tersebut perlu diatur dalam penyempumaan UU Pemilu sehingga tidak

bersifat anjuran belaka.

Page 66: NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG·UNDANG ...berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200812...2020/08/12  · peninggalan Demokrasi Terpimpin (1959-1965) dan Orde Baru (1966-1998)

3.4. Matriks Revisi U_U Pemilu Legislatif

No Arah dan Tujuan Agenda Usulan Pengaturan Argumentasi

Penyempurnaan

1 Penataan ulang • Perubahan • Mencoblos nama calon • Anggota DPR/DPRD

sistem pemilu system proporsional dan partai politik mencerminkan perwakilan

DPRke arah terbuka "setengah- (ya11g dianggap sah). rakyat dengan tingkat

sistem yang hati" menjadi sistem • Kursi dibagi proporsionalitas yang

memperkuat proporsional berdasarkan partai tinggi.

akuntabilitas para terbuka sepenuhnya. terlebih dahulu, • Mendorong kompetisi

wakil. • Penentuan caleg atas bam setelah calon secara terbuka.

dasar suara terbanyak masing-masing • Mencerminkan rasa

bukan atas dasar partai memperoieh keadilan bagi calon-calon

ranking partai. kursi, maka calon yang memperoieh suara

yang memperoieh terbanyak meskipun

suara terbanyak nomor urutnya berada di

dinyatakan langsung bawah.

terpilih sebagai • Mendekatkan hubungan

anggota dewan (1) wakil dengan yang

• Nomor urut tidak diwakili.

menentukan

terpilihnya seorang

calon;

• Yang menentukan

terpilihnya seorang

calo11 adalah jumlah

perolehan suaranya;

Page 67: NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG·UNDANG ...berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200812...2020/08/12  · peninggalan Demokrasi Terpimpin (1959-1965) dan Orde Baru (1966-1998)

2 Penataan ulang • Konsistensi • BPP hanya untuk

menentukan kuota kursi

disetiap daerah

pemilihan.

3

niiai kursi legislatif

atas dasar

prinsip yang

sama-> one

penerapan basis

penghitungan nilai

kursi;

• Penataan kembali

person one vote. besaran daerah

pemilihan (district

magnitude- jumlah

wakil rakyat yang

terpilih dalam satu

distrik)

• Daerah pemilihan

sama dengan Pemilu

2004 dengan

penyempumaan kuota

kursisesuaidengan

jumlah penduduknya.

Peningkatan

kualitas wakil

rakyat

Memperkuat Perlu penambahan

performance dan syarat yang sifatnya

integritas calon-calon fungsional:

yang akan dipilih • lntegritas;

• Memiliki visi ke depan

yangjeias;

• Menghindari terjadinya

pergeseran dari sistem

proporsional terbuka ke

arah proporsional

tertutup. Adanya BPP

dengan bilangan yang

tinggi menyebabkan

sistem proporsional

terbuka berubah

menjadi sistem

proporsional tertutup.

• Jumlah penduduk harus

menjadi dasar dalam

menentukan jatah kursi

masing-masing daerah

pemilihan. Karena pada

prinsipnya sistem

proporsional adalah

mewakili penduduk (orang)

bukan mewakili wilayah

(ruang).

Mendorong agar

kapabilitas calon-calon

terpilih mempunyai

pengetahuan yang sesuai

dengan pekerjaan (fungsi)

dan tanggung jawabnya

• Kompetensi (sebagai sebagai wakil rakyat;

politisi, negarawan);

dan

• Syarat managerial

yang bersifat

transformatif

Page 68: NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG·UNDANG ...berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200812...2020/08/12  · peninggalan Demokrasi Terpimpin (1959-1965) dan Orde Baru (1966-1998)

4. Pelembagaan • Penyederhanaan Serita Acara dokumen • Untuk memudahkan

transparansi, format dokumen penghitungan suara KPPS dalam

akuntabilitas, penghitungan disederhanakan terdiri melakukan penghitungan.

dan efisiensi suara (terutama atas: • Efisiensi dan menghindari

penghitungan di KPPS); • Berita Acara Surat kesalahan dalam

suara • Peningkatan Suara penghitungan.

pengawasan • Serita Acara Hasil • Mempercepat

penghitungan Penghitungan Suara proses penyerahan

suara di tingkat (suara sah, abstain dan hasil pemilu.

PPSdanPPK; suara tidak sah, serta

sisa suara).

• Serita Acara

penyerahan Hasil

Penghitungan

Suara dari KPPS

ke PPK).

5. Penguatan dan • Pengetatan • Seseorang dan/atau • Karena DPD harus

perluasan basis persyaratan kader partai dapat mewakili daerah secara

keanggotaan pencalonan DPD atas menjadi calon DPD bersama, maka pemilih

DPD dasar dukungan awal apabila dapat selayaknya mengenal

minimal 3% dari memperoleh dukungan wakil- wakilnya serta

jumlah pemilih di awal 3% dari jumlah mengkondisikan kerjasama

daerah yang akan pemillih di daerah antar mereka.

diwakilinya yang akan diwakilinya. • Penguatan basis calon

• Perluasan basis • Pembentukan Kantor anggota DPD yang setara

keterwakilan calon Perwakiian DPD di dengan electoral threshold

anggota DPD bagi daerah pemilihannya. DPR pada Pemilu 2009.

anggota partai politik • Mendorong adanya

yang memenuhi mekanisme kontrol daerah

syarat sebagai terhadap DPD.

peserta pemilu • DPD didorong untuk lebih

legislatif; dekat menyerap aspirasi

Page 69: NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG·UNDANG ...berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200812...2020/08/12  · peninggalan Demokrasi Terpimpin (1959-1965) dan Orde Baru (1966-1998)

daerah dengan adanya

kantor perwakilan DPD di

daerah pemilihannya.

6. Pengetatan Memperbesar • Partai yang • Untuk mengikuti pemilu

persyaratan partai electoral threshold memeperoleh berikutnya, syarat peserta

yang boleh ikut untuk pemilu electoral threshold (ET) pemilu lebih ditingkatkan

pemilu berikutnya berikutnya 5 persen dapat ikut dan yang menjadi ukuran

Pemilu 2014. adalah perolehan 5 persen

• Partai yang tidak suara secara nasional.

mencapai ET tidak Karena sifat dari partai

boleh mengikuti politik adalah nasional,

pemilu berikutnya bukan partai lokal,

dengan mengganti sehingga syarat yang

nama parpol. bertingkat-tingkat untuk

• Jika akan mengikuti perolehan kursi di DPRD

pemilu, partai-partai Provinsi, DPRD

tersebut wajib Kabupaten/Kota dihapuskan.

bergabung dengan • Mendorong agar partai

partai yang mencapai melakukan penataan

atau tidak mencapai kelembagaan.

ET hingga memenuhi • Mendorong terjadinya koalisi

ET. dan kerjasama antarpartai.

• Mendorong agar partai

menjalankan fungsinya

sehingga partai bisa

mempersiapkan untuk ikut

pemilu selanjutnya

• Mendorong terjadinya

kompetisi internal partai untuk

memilih calon-calonnya yang

akan uncul di dalam bursa

pencalonan pemilu

Page 70: NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG·UNDANG ...berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200812...2020/08/12  · peninggalan Demokrasi Terpimpin (1959-1965) dan Orde Baru (1966-1998)

4. Ruang Lingkup Revisi UU Partai Politik

4.1. Latar Belakang

Hasil amandemen konstitusi (UUD 1945) yang menegaskan kembali tentang prinsip pemerintahan

berdasarkan sistem presidensial, sebenamya merupakan pUihan yang tepat dengan kondisi obyektif

bangsa kita. lni mengingat bahwa di dalam sistem presidensial terkandung beberapa kelebihan, di

antaranya: pertama, terciptanya stabilitas eksekutif yang didasarkan atas masa jabatan presiden yang

bersifat tetap. Stabilitas eksekutif ini berlawanan dengan instabiUtas eksekutif yang terdapat pada

sistem parlementer. Kedua, pemilihan kepala pemerintahan oleh rakyat secara langsung dapat

dipandang lebih demokratis daripada pemilihan tidak langsung di dalam sistem parlementer. Ketiga,

pemerintahan presidensial merupakan sebuah sistem yang cenderung bersifat "ringkas" dan

"sederhana", sehingga cocok dengan keinginan untuk mencapai pemerintahan yang kuat dan efektif.

Persoalannya kemudian, untuk mewujudkan sistem presidensial yang efektif dan kuat diperlukan

dukungan dari sistem kepartaian yang lebih sederhana agar menghasilkan tingkat fragmentasi yang

relatif rendah pula di parlemen. lni pada gilirannya diharapkan dapat mengkondisikan terciptanya

proses pembuatan kebijakan dan pengambilan keputusan di parlemen yang relatif tidak berlarut-larut.

Dengan lebih sederhananya sistem kepartaian sekaligus diharapkan akan meningkatkan pula

kerjasama antara partai-partai dan mempermudah terbentuknya pemerintahan yang kuat, stabil, dan

efektif.

Dalam sejarah kepartaian semenjak kemerdekaan hingga era reformasi, Indonesia telah

mempraktikkan sistem multipartai, meski dalam derajat dan kualitas yang berbeda. Pada masa

Demokrasi Parlementer (1945-1959) penerapan sistem multipartai menghasilkan tingkat kompetisi yang

tinggi dan instabilitas politik yang tinggi pula. Di masa Derrokrasi Terpimpin (1959-1965), rneski mempraktikkan

sistem multipartai, kompetisi tidak lagi terlihat dan hanya sekadar banyak dalam jumlah. Sebagai akibat

dari dominasi presiden, telah membuat partai-partai politik hampir tidak memiliki peran apapun. Begitu pula

masa Orde Barn dengan jumlah tiga partai politik, masih disebut sebagai sistem multipartai (sederhana),

karena pada masa itu terdapat partai pollitik dominan (yakni Golkar) yang terus berkuasa sepanjang masa

Orde Baru, sehingga kerap disebut sebagai sistem partai hegemonik.

Pada masa transisi, Indonesia juga menerapkan sistem multipartai namun ternyata dalam jumlah

yang sangat ekstrim. Pada Pemilu 1999 tidak kurang dari 148 partai mendaftarkan din, di mana 48 partai di

antaranya menjadi partai peserta pemilu. Dalam Pemilu 2004 memang jumlah partai peserta pemilu

berkurang, tetapi pada sisi lain tidak mengurangi jumlah partai politik yang didirikan kembali setiap

menjelang pemilu. Kendati banyak partai politik yang tidak memperoleh suara signifikan, partai-partai

politik baru terus saja bermunculan. Partai-partai politik yang didirikan itu berasal dari, antara lain, (1)

partai~partai yang tidak lolos electoral threshold pada pemilu sebelumnya; (2) partai baru yang muncul

Page 71: NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG·UNDANG ...berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200812...2020/08/12  · peninggalan Demokrasi Terpimpin (1959-1965) dan Orde Baru (1966-1998)

akibat konflik internal atau perpecahan partai; dan (3) pendirian partai baru yang tidak ada kaitannya

dengan kedua hal sebelumnya.

Akibat banyaknya partai peserta pemilu membuat sistem multipartai yang berjalan di Indonesia

dewasa ini mengalami perluasan fragmentasi, sehingga cenderung memperpanjang proses pengambilan

keputusan di lembaga legislatif. Proses pengambilan keputusan kerap diwarnai oleh negosiasi-negosiasi

politik berorientasi jangka pendek yang cenderung mengabaikan kepentingan publik. Beberapa contoh kasus

yang dipertontonkan oleh anggota Dewan dalam usul penggunaan hak interpelasi dan hak angket, serta

penarikan kembali atasnya memperlihatkan adanya negosiasi-negosiasi politik berorientasi jangka

pendek tersebut. Hal ini akhirnya berdampak pada munculnya kecenderungan perilaku

parlementarianisme di kalangan anggota parlemen di satu pihak, dan tidak efektifnya sistem

presidensial di pihak lain.

Belum terwujudnya sistem pemerintahan presidensial yang efektif antara lain lantaran sistem ini

dikombinasikan dengan sistem pemilu proporsional yang memang memiliki kecenderungan

menghasilkan sistem multipartai. Meskipun sistem distrik diakui dapat menyederhanakan jumlah partai

politik secara alamiah, dewasa ini belum dianggap sebagai pilihan yang tepat bagi bangsa lndonesia.3a

Oleh karena itu, jika diasumsikan bahwa sistem pemilu proporsional masih diberlakukan, naskah

akademik ini merekomendasikan penyempurnaan UU Partai Politik dalam rangka mendesain sistem

multipartai sederhana -dalam pengertian jumlah maupun pengelompokan ideologisnya-dengan tujuan

utama memperkuat dan mengefektifkan sistem pemerintahan presidensial. Salah satu cara utama untuk

mewujudkan sistem multipartai sederhana tersebut adalah dengan menyempumakan sejumlah regulasi

di dalam UU Partai Politik sehingga dapat mengkondisikan partai-partai bisa saling bergabung serta

melakukan koalisi dan kerjasama, baik atas dasar kedekatan ideologi 'dan' platform politik maupun atas

dasar kepentingan pragmatis (winning coalition).

4.2. Problematik UU Partai Politik

4.2.1. Fragmentasi Sistem Kepartaian

Harus diakui bahwa sistem presidensial di Indonesia belum dapat mewujudkan pemerintahan

yang kuat dan efektif. Persoalan lain yang dihadapi dalam sistem kepartaian kita adalah jumlah partai

38 Sistem proposional cenderung meningkatkan fragmentasi partai karena memang sistem ini akan mendorong tumbuhnya partai-partai politik baru sehingga tetap memperbanyak jumlah partai. lni berbeda dengan sistem distrik yang secara alamiah dapat lebih mendorong ke arah integrasi partai-partai politik dan ke arah penyederhanaan partai secara alamiah. lni karena kursi yang diperebutkan dalam setiap distrik hanya satu, sehingga memaksa partai-partai menyisihkan perbedaan-perbedaan yang ada dan mengadakan kerjasama. Meskipun sistem distrik diakui dapat menyederhanakan jumlah partai politik, saat ini belum dianggap sebagai pilihan yang tepat bagi Indonesia, di mana ini terkait dengan kondisi sosio-kultural bangsa Indonesia yang sangat heterogen. Pada kondisi seperti itu, bila menerapkan sistem distrik maka akan membuat golongan-golongan yang ada, terutama kalangan minoritas, akan merasa kurang terakomodir.

Page 72: NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG·UNDANG ...berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200812...2020/08/12  · peninggalan Demokrasi Terpimpin (1959-1965) dan Orde Baru (1966-1998)

politik yang terlalu banyak menimbulkan dilema bagi efektifitas sistem demokrasi, sebab banyaknya

peserta pemilu pada gilirannya mempersulit tercapainya pemenang mayoritas, sementara ketiadaan

partai yang mampu menguasai mayoritas di parlemen merupakan kendala spesifik bagi terciptanya

pememrintahan dan politik yang stabil (stabilitas pemerintahan dan stabilitas politik). sementara itu

diketahui bahwa salah satu kelemahan dari sistem presidensial yang berlangsung pada masa transisi

demokrasi dewasa ini ialah keatiadaan koalisi besar yang permanen di parlemen, sehingga setiap

pengambilan keputusan oleh pemerintah hampr senantiasa mendapat hambatan dan tantangan dari

parlemen yang acapkali hanya merupakan politik "dagang sapi". Dengan demikian strategi penting yang

perlu diambil ialah bagaimana mendorong terbentuknya gabungan atau koalisi partai politik yang

bertindak sebagai oposisi. lni sekaligus sebagai upaya agar sistem ini bisa tetap sejalan dengan prinsip­

prinsip checks and balances dan presidensialisme39. Koalisi yang dipraktikkan oleh partai-partai politik

kita dewasa ini cenderung bersifat instant karena lebih berdasarkan kepentingan politik jangka pendek

dan belum berdasarkan platform dan program politik yang disepakati bersama.

Upaya membangun sebuah koalisi partai secara permanen dalam sistem presidensial amat

penting guna membentuk pola hubungan yang sehat antara presiden dengan parlemen pasca pemilu

dalam hal ini presiden akan dijamin dengan dukungan mayoritas di parlemen, selain itu dalam

penentuan kabinet, presiden tidak akan digoyang atau dipaksa melakukan tawar menawar dengan

partai-partai di luar koalisi partai pendukungnya. Kesemuanya itu akan memungkinkan terbentuknya

sebuah pemerintahan presidensial yan kuat dan efektif.

Persoalannya adalah bagaimana cara menciptakan sistem multipartai sederhana agar dalam

prosesnya berjalan secara alami dan tidak sebagaimana terjadi dan dilakukan oleh rezim demokrasi

terpimpin dan orde baru. Salah satu desain untuk dapat menciptakan sistem kepartaian sederhana

adalah dengan tetap memberlakukan electoral treshold (ET). Pada Pemilu 1999 melalui UU No. 2

Tahun 1999 diterapkan ET sebesar 2 persen lalu pada Pemilu 2004 berdasarkan UU No. 12 tahun 2003

batas ET dinaikkan menjadi 3 persen sehingga hanya partai-partai yang memenuhi ketentuan tersebut

yang dapat mengikuti pemilu berikutnya.

Meski batasan ET belum dinaikkan, ternyata belum dapat menyederhanakan sistem kepartaian.

Sebagaimana diketahui jumlah partai politik yang duduk di DPR maupun kontestan pemilu berikutnya

tetap, relatif banyak karena partai-partai yang tidak mempunyai ET masih dimungkinkan untuk mengikuti

pemilu berikutnya dengan cara membentuk partai-partai baru.

39 Tentu saja kita mesti menyadari pula bahwa sistem presidensial mengandung bahaya dapat menjurus ke arah otoritarianisme bila tanpa dibarengi dengan terbangunnya sistem oposisi. Pengalaman Indonesia masa Demokrasi Terpimpin dan masa Orde Baru, cukuplah sebagai pelajaran berharga agar kesalahan serupa tidak terulang kembali, di mana otoritarianisme berkembang akibat penindasan dan pengharaman terhadap oposisi.

Page 73: NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG·UNDANG ...berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200812...2020/08/12  · peninggalan Demokrasi Terpimpin (1959-1965) dan Orde Baru (1966-1998)

Peningkatan ET bertujuan untuk menciptakan penyederhanaan sistem kepartaian dan stabilitas

pemerintahan, sebab bila ET terlalu mndah dianggap menyulitkan partai untuk mencapai mayoritas

suara. Untuk itu perlu di desain formulasi ketentuan ET yang tidak terlalu rendah dan tidak terlalu tinggi,

yakni yang diperkirakan akan menyisakan sekitar lima sampai dengan sepuluh partai yang ikut pemilu

sehingga lebih membuka peluang partai peserta pemilu untuk merebut msyotitas suara di parlemen.

Menyangkut aturan ET ini sebenarnya terdapat dua varian: (i) electoral treshold dalam

pengertian dukungan suara minimal yang mesti diraih oleh partai untuk dapat mendudukan wakilnya di

parlemen, (ii) electoral treshold dalam pengertian dukungan suara minimal yang mesti diraih oleh partai

politik untuk dapat tetap ikut serta dalam pemilu berikutnya. Aturan treshold terakhir yang diterapkan di

Indonesia.

Setiap varian sistem ET yang dipilih mengandung kelebihan dan kekurangan. ET dalam

pengertian pembatasan di parlemen memiliki keuntungan, pertama partai yang gagal ET masih bisa

tidak dibubarkan, dan tetap dapat ikut dalam pemilu berikutnya, kedua mengurangi fragmentasi di

parlemen. Akan tetapi ketentuan ET di parlemen juga mengandung sejumlah kelemahan, diantaranya

ialah dapat berimplikasi pada peningkatan disproposionalitas di dalam sistem perwakilan. lni akibatdari

banyaknya suara terbuang atau tidak terhitung dari partai-partai yang gagal memenuhi ET yang

kursinya diserahkan kepada partai-partai yang berhasil memenuhi ET. Di Polandia misalnya yang

menerapkan ET 5% pada pemilu 1993 telah menyebabkan 34% suara yang terbuang, yakni dari suara

yang dimiliki oleh partai-partai yang memperoleh dukungan kurangdari 5%.40

Kelemahan berikutnya bila sistem ini hendak diterapkan di Indonesia ialah dapat meningkatkan

peluang terjadinya chaos pasca pemilu. Hal ini terkait dengan belum memadainya kedewasaan elite

politik dan masyarakat. Partai-partai yang gagal mencapai ET mungkin akan merasa kerja kerasnya sia­

sia karena tidak dapat "menikmati" kursinya di parlemen, sehingga elite semacam itu akan tergoda

untuk memobilisasi massa demi sekadar prates atau memanaskan situasi untuk menciptakan

kestabilan politik. Pertimbangan-pertimbangan inilah yang menyebabkan ET di parlemen agaknya

belum cocok untuk diterapkan di Indonesia.

Sementara ET sebagaimana diterapkan di lndonsia selama ini sebenarnya sudah relatif cocok, namun

kelemahan utamanya ialah partai-partai yang gagal ET masih dapat mengganti nama, sehingga sistem

ini dijadikan semacam "olok-olok", karena partai gagal ET pun pada kenyataannya masih dapat

mengikuti pemilu berikutnya dengan mendirikan partai partai baru dengan berubah nama. Untuk

mencegah hal tersebut maka di masa datang aturannya perlu ditambah dengan melarang partai gagal

4° Kacung Marijan, "Partai Baru, Electoral Threshold dan Masa Depan Sistem Multipartai, Jumal Politika, Vol.2 No.2

Tahun 2006, him. 47-50.

Page 74: NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG·UNDANG ...berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200812...2020/08/12  · peninggalan Demokrasi Terpimpin (1959-1965) dan Orde Baru (1966-1998)

ET untuk berganti nama, sehingga partai tersebut secara permanen tidak dapat berdiri lagi dan tidak

dapat ikut dalam pemilu. Selain itu bermunculannya banyak partai selama ini juga dikarenakan

ketentuan pembentukan partai politik yang terlalu mud ah. Persyaratan pembentukan partai yang terlalu

mudah jelas akan mendorong para elite politik tetap membentuk partai-partai baru setiap menjelang

pemilu.

4.2.2. Lemahnya Pelembagaan Partai Politik

Salah satu problematik partai-partai politik di Indonesia dewasa ini adalah belum terlembaganya

partai sebagai organisasi moderen. Yang dimaksud dengan pelembagaan partai politik, adalah proses

pemantapan sikap dan perilaku partai politik yang terpola atau sistemik sehingga terbentuk suatu

budaya politik yang mendukung prinsip-prinsip dasar siistem demokrasi. Dalam konteks pembangunan

politik, yang terpenting bukanlah jumlah partai yang ada, melainkan sejauh mana kekokohan dan

adaptabilitas sistem kepartaian yang berlangsung. Suatu sistem kepartaian disebut kokoh dan

adaptabel kalau ia mampu menyerap dan menyatukan semua kekuatan sosial barn yang muncul

sebagai akibat modemisasi. Dari sudut pandang ini, jumlah partai hanya akan menjadi penting bila ia

mempengaruhi kapasitas sistem untuk membentuk saluran-saluran kelembagaan yang diperlukan guna

menampung partisipasi politik.

Sistem kepartaian yang kokoh sekurang-kurangnya hams memiliki dua kapasitas. Pertama,

melancarkan partisipasi politik melalui jalur partai, sehingga dapat mengalihkan segala bentuk aktivitas

politik anomik dan kekerasan dari jalanan ke dalam partai politik. Kedua, mencakup dan menyalurkan

partisipasi sejumlah kelompok yang barn dimobilisasi, yang dimaksudkan untuk mengurangi kadar

tekanan yang dihadapi oleh sistem politik. Dengan demikian, sistem kepartaian yang kuat menyediakan

organisasi-organisasi partai yang mengakar dan prosedur yang melembaga guna mengasimilasikan

kelompok-kelompok barn ke dalam sistem politik.

Persoalan lain yang dihadapi sistem kepartaian adalah belum berjalannya secara maksimal

fungsi-fungsi yang dimiliki oleh partai politik, baik fungsi partai politik terhadap negara maupun fungsi

partai politik terhadap masyarakat. Di antara fungsi partai terhadap negara adalah jaminan menciptakan

pemerintahan yang efektif dan adanya kekuatan kontrol (oposisi) terhadap pemerintahan yang

berkuasa. Sementara fungsi partai politik terhadap masyarakat, antara lain, adalah memperjuangkan

kepentingan, aspirasi, dan nilai-nilai pada masyarakat serta memberikan perlindungan dan rasa aman.

Partai politik juga belum memberikan pendidikan politik yang baik dan melakukan pengkaderan serta

rekruitmen politik yang demokratis sehingga menghasilkan keder-kader calon pemimpin yang memiliki

kemampuan.

Page 75: NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG·UNDANG ...berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200812...2020/08/12  · peninggalan Demokrasi Terpimpin (1959-1965) dan Orde Baru (1966-1998)

Sistem kepartaian yang ada juga masih menghadapi derajat kesisteman yang rendah serta kurang

mengakar dalam masyarakat, struktur organisasi partai yang tidak stabil yang tidak mengacu pada

AD/ART, dan citra partai di mata publik yang masih relatif buruk. Selain itu, partai politik yang ada pada

umumnya cenderung pada tipe partai politik kharismatik dan klientelistik ketimbang partai programatik.

Lemahnya pelembagaan partai politik di Indonesia, terutama disebabkan oleh belum munculnya

pola partai kader. Dalam sejarahnya sebagian besar partai di Indonesia belum terbiasa dengan

peng,embangan partai kader. Partai politik cenderung tergoda untuk membangun partai massa yang

memiliki ciri-ciri: hanya sibuk menjelang pemilu, menganut sistem keanggotaan yang amat longgar

sekaligus berarti tidak memiliki sistem seleksi dan rekruitmen kenggotaan yang ketat, tidak memiliki

sistem pengembangan kaderisasi dan kepemimpinan yang kuat.

Partai massa memiliki kelemahan menyolok menyangkut kurang intensifnya kerja partai.

Sepanjang tahun sebagian besar kantor partai hampir tidak memiliki agenda kegiatan yang berarti.

Padahal, partai politik semestinya merupakan suatu kelompok terorganisir yang anggota-anggotanya

mempunyai orientasi, nilai-nilai, serta cita-cita yang sama, dan yang mempunyai tujuan untuk

memperoleh kekuasaan politik dan melalui kekuasaan politik itu memperjuangkan kepentingan

rakyat. lni membuat partai tidak memiliki program yang jelas dalam hal bagaimana melakukan pendidikan

politik bagi masyarakat, melakukan artikulasi kepentingan, melakukan agregasi kepentingan, dan

membangun sosialisasi politik dan komunilkasi politik untuk menjembatani rakyat dengan pemerintah.

Partai politik dengan demikian seolah hanya terfokus pada fungsi rekruitmen politik dan sekaligus hanya

sibuk mengumpulkan massa bila mendekati pemilu. Keanggotaan yang terlalu longgar pada partai massa

akan menyebabkan partai politik sering kali gagal membangun kader-kader yang berdedikasi kuat sekaligus

memiliki karakter, sehingga tidak jarang kita melihat anggota partai yang tidak memiliki disiplin, atau

mungkin pengurus partai yang dengan mudahnya lompat pagar ke partai politik lain.

Belum munculnya kemandirian partai juga terkait dengan ketiadaan sumber pendanaan yang

memadai di luar iuran anggota dan subsidi negara. luran anggota pada sebagian besar partai relatif

tidak berjalan karena partai umumnya bersifat massa dan juga lemahnya mekanisme hadiah dan

ganjaran di dalam internal partai. lni mengakibatkan partai-partai senantiasa tergantung atau berharap

sumbangan dari pihak lain, baik pribadi atau perusahaan. Akibatnya, partai-partai yang memperoleh

jabatan publik lebih sibuk mencari dana bagi pundi-pundi partai ketimbang memperjuangkan kepentingan

rakyat.

Hal lain yang turut serta menyokong lemahnya pelembagaan partai politik adalah mudahnya syarat

bagi pembentukan partai politik. UU No. 31 Tahun 2002 menyebutkan bahwa "Partai politik didirikan dan

dibentuk oleh sekurang-kurangnya 50 (limapuluh) orang warga negara Republik Indonesia yang telah

berusia 21 (dua puluh satu) tahun dengan akte notaris". Dari ketentuan itu terlihat bahwa pendirian

Page 76: NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG·UNDANG ...berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200812...2020/08/12  · peninggalan Demokrasi Terpimpin (1959-1965) dan Orde Baru (1966-1998)

atau pembentukan partai mudah dilakukan karena cukup mengumpulkan 50 orang, sehingga

mendorong setiap orang atau kelompok untuk mendirikan partai politik.

Untuk diketahui bahwa partai politik berdiri menjelang Pemilu 1999 mencapai 184 partai. Dari

juml1ah tersebut, 148 mendaftarkan diri ke Departemen Hukum dan HAM, dan 141 di antaranya

memperoleh pengesahan sebagai partai politik. Dari jumlah tersebut, setelah melalui seleksi, yang

memenudi syarat ikut Pemilu 1999 hanya 48 partai politik41. Dalam rangka menghadapi Pemilu 2004,

pendirian partai politik semakin menjamur. Tercatat kurang lebih 200 partai yang berdiri, yang

merupakan akumulasi dari jumlah partai politik yang didirikan semenjak awal reformasi. Dari jumlah

tersebut, tercatat hanya 50 partai politik yang memperoleh pengesahan sebagai partai politik,

sedangkan sebagian besar tidak lolos sebagai partai politik yang berbadan hukum. Dari jumlah 50

partai politik tersebut, yang lolos sebagai peserta Pemilu 2004 hanya 24 partai politik.42

4.2.3. Kepemimpinan Partai yang Sentralistis dan Tidak Akuntabel

Hampir sebagian besar partai politik menghadapi masalah sentralisasi yang terlalu kuat di dalam

organisasi partai. lni antara lain ditandai oleh sentralisasi dalam pengambilan keputusan di tingkat

pengurus pusat (OPP) dan pemimpin partai, khususnya ketergantungan kepada figur ketua umum

partai. Hal demikian sekaligus telah membuat kedaulatan dan wibawa pengurus partai di daerah

menjadi lemah, sehingga kepengurusan partai di daerah sering kali tidak memiliki otonomi dan harus

rela menghadapi berbagai bentuk intervensi dari pengurus pusat partai.

Masalah kredibilitas kepemimpinan partai menjadi semakin kompleks tatkala pada kenyataannya

banyak pimpinan partai gagal mengembangkan asas kolegial dan profesionalitas dalam

kepemimpinannya. Banyak pimpinan partai masih berlaku sebagai manajer dan belum sebagai leader,

sehingga banyak di antaranya yang hanya sibuk menjelang pemilu atau pilkada. Selain itu, persoalan

profesionalitas kerap kali diganggu pula oleh kasus rangkap jabatan ketua umum partai dengan jabatan

sebagai pejabat publik, sehingga telah menimbulkan problem konflik kepentingan yang akhirnya

merugikan kepentingan publik.

Problem lain yang dihadapi oleh partai politik di Indonesia adalah masih sedikitnya keterwakilan

perempuan dalam kepengurusan partai politik. Sedikitnya keterwakilan perempuan tersebut, antara lain,

disebabkan oleh faktor kultural dan struktural. Faktor kultural berkaitan dengan kuatnya budaya patriaki

di mana kehidupan politik praktis merupakan domain llaki-laki, sementara di lain pihak juga terdapat

kenyataan mengenai tidak cukup banyak perempuan yang tertarik memasuki bidang politik. Sedangkan

41 Lihat Tim Kompas, Partai Politik Indonesia: ldeologi, Strategi, dan Program, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 1999.

42 Lihat Tim Kompas, Partai Politik Indonesia: ldeologi dan Program 2004-2009, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2004.

Page 77: NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG·UNDANG ...berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200812...2020/08/12  · peninggalan Demokrasi Terpimpin (1959-1965) dan Orde Baru (1966-1998)

faktor struktural berkaitan dengan masih belum mendukungnya sistem yang ada untuk memberikan

kesempatan bagi perempuan untuk terlibat secara optimal dalam politik.

UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilu sebenarnya sudah lebih maju yakni dengan

mencantumkan aturan bahwa partai politik dapat mencalonkan 30% calon anggota legislatif perempuan

di parlemen43. Namun problem yang dihadapi oleh partai-partai politik adalah kurangnya ketersediaan

sumberdaya caleg perempuan

dari internal kepengurusan partai politik sehingga partai politik lalu mengambilnya dari luar partai politik.

Salah satu penyebabnya ialah karena di dalam kepengurusan partai tingkat keterwakilan perempuan

masih relatif rendah. Oleh karena itu, dalam rangka mengatasi hal tersebut perlu peningkatan

keterwakilan perempuan secara proporsional, baik sejak pembentukan partai maupun di dalam

kepengurusannya.

4.3. Cakupan Revisi UU Partai Politik

4.3.1. Pembentukan Sistem Multipartai Sederhana

Dalam rangka menciptakan pemerintahan yang kuat, stabil dan efektif maka desain sistem

kepartaian semestinya mengarah pada sistem multipartai sederhana. Salah satu alasan terpenting ialah

bahwa di dalam sistem multipartai sederhana dapat dihasilkan tingkat fragmentasi yang relatif rendah

pula di parlemen, yang pada gilirannya dapat mengkondisikan terciptanya proses pengambilan

kebijakan/keputusan yang relatif tidak berlarut-larut.

Untuk dapat menyederhanakan sistem kepartaian dapat dilakukan melalui beberapa cara, yakni:

memperberat aturan pembentukan partai politik baru; memperketat persyaratan bagi partai peserta

pemilu; dan mengkondisikan pelembagaan koalisi partaL

4.3.1.1. Memperberat Persyaratan Pembentukan Partai Baru

Upaya menyederhanakan sistem kepartaian antara lain dapat dilakukan dengan memperberat

ketentuan pembentukan partai politik baru, yakni peningkatan persyaratan jumlah warga negara yang

dapat membentuk partai, dan pemberlakuan larangan bagi partai gaga! ET untuk berganti nama

sebagai partai baru.

UU Partai Politik No. 31 Tahun 2002 mengatur bahwa "Partai politik didirikan dan dibentuk oleh

sekurang-kurangnya 50 (limapuluh) orang warga negara Republik Indonesia yang telah berusia 21 (dua

puluh satu) tahun dengan akte notaris" .. Syarat minimal 50 orang untuk mendirikan partai tersebut tentu

terlalu ringan untuk negara seperti Indonesia yang berpenduduk lebih dari 220 juta jiwa. Oleh karena itu

43 Meski aturan keterwakilan perempuan untuk menjadi calon legislatif ditentukan minimal 30%, ternyata mereka yang terpilih menjadi anggota dewan masih kecil. Hal ini terlihat dari jumlah keterwakilan perempuan di DPR yang hanya sekitar 11 %.

Page 78: NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG·UNDANG ...berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200812...2020/08/12  · peninggalan Demokrasi Terpimpin (1959-1965) dan Orde Baru (1966-1998)

perlu ditingkatkan menjadi minimal 500 (lima ratus) orang bila ingin mendirikan partai. Perlunya

peningkatan persyaratan tersebut dalam rangka untuk mengurangi "nafsu" politisi untuk membentuk

partai-partai baru yang acapkali sekadar "papan nama" saja.

Sementara itu, UU No. 12/2003 tentang Pemilu telah mematok angka ET tiga persen, sehingga

hanya partai yang meraih suara tiga persen dalam Pemilu 2004 yang bisa mendapat 'tiket' untuk

mengikuti Pemilu 2009 tanpa perlu lagi menjalani proses verifikasi. Namun pengalaman dari ketentuan

ET pada pemilu sebelumnya, partai yang tidak lolos biasanya hanya berganti nama, lalu mengajukan

pendirian partai baru dengan terdiri dari para politisi partai lama yang sebelumnya gagal ET. Dengan

demikian, aturan baru hendaknya memperketat praktik manipulasi semacam ini. Hal itu dapat dilakukan

antara lain dengan melarang partai gaga! ET untuk berganti nama dan pengurusnya juga dilarang

membentuk partai baru untuk mengikuti pemilu berikutnya.

4.3.1.2. Memperketat Syarat Partai Peserta Pemilu

Dalam rangka membangun sistem multipartai sederhana maka UU Partai Politik semestinya

makin memperketat persyaratan bagi partai peserta pemilu, antara lain dengan meningkatkan

persyaratan ET, memberlakukan tenggat pendirian partai, dan deposit dana bagi partai baru.

Salah satu instrumen untuk mendorong terbentuknya sistem kepartaian sederhana ialah dengan

meningkatkan atau memperketat ketentuan electoral threshold (ET) dari 3% menjadi 5% pada Pemilu

2014. Angka ET 5% sekaligus sebenarnya relatif moderat. Patokan angka ET yang terlalu tfnggi akan

bertentangan dengan filosofi sistem proporsional yang cenderung memberi ruang bagi partai-partai

kecil. Selain itu, aturan ET yang terlampau tinggi juga akan menimbulkan "potensi suara hilang" dalam

sistem proporsional, yakni dalam bentuk peningkatan angka "golput". Hal ini mengingat sistem

proporsional tidak berkemampuan menyederhanakan kelompok-kelompok masyarakat yang heterogen,

sehingga bagi konstituen yang merasa tidak memiliki pilihan maka mereka akan cenderung mengambil

sikap golput.

Di sisi lain, secara logis setiap partai yang baru dibentuk memerlukan waktu yang cukup untuk

mensosialisasikan kepentingan-kepentingan yang diperjuangkannya, begitu pula keanggotaan dan

dukungan yang diperlukannya. Oleh karena itu hendaknya setiap partai baru hanya dapat mengikuti

pemilu jika telah terbentuk lima tahun sebelumnya. lni penting bukan hanya menghindari munculnya

partai-partai instant, melainkan juga agar partai-partai politik baru tersebut memiliki waktu dan

persiapan yang cukup sehingga benar-benar siap untuk berkompetisi dalam pemilu.

Sementara itu dalam rangka mendorong lahirnya partai-partai yang mandiri dan mengurangi

"nafsu" politisi untuk membentuk partai-partai baru, maka perlu ada kewajiban bagi partai baru peserta

Page 79: NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG·UNDANG ...berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200812...2020/08/12  · peninggalan Demokrasi Terpimpin (1959-1965) dan Orde Baru (1966-1998)

pemilu untuk menyerahkan dana deposit sebesar Rp 50 miliar kepada negara melalui KPU. Apabila

partai peserta pemilu tersebut memenuhi ET maka dana deposit tersebut dikembalikan kepada partai

yang bersangkutan, namun bila tidak maka dana tersebut menjadi milik negara.

4.3.1.3. Pelembagaan Koalisi/Gabungan Partai

Selama ini koalisi yang terbangun di parlemen atau dalam pencalonan presiden dan wakil

presiden tidak bersifat permanen karena lebih didasarkan pada kebutuhan pencalonan belaka. Untuk

itu di masa datang perlu pembentukan koalisi permanen, di mana partai-partai yang berkoalisi

membuat konsensus atau kontrak tertulis yang bersifat notariat dan berisi kesepakatan tentang platform

bersama, prioritas program bersama, pembagian kekuasaan intra dan ekstra organisasi koalisi, dan

sebagainya. Kontrak tersebut bersifat mengikat secara politik bagi pihak-pihak yang bersepakat,

sehingga perlu pula keharusan pengaturan jika salah satu pihak menarik dirt dari kesepakatan.

Oleh karena itu perlu dibuat aturan yang dapat mengkondisikan partai-partai politik melakukan

koalisi secara formal. Aturan itu di antamya ialah: (i) Partai-partai harus memikirkan mitra koalisinya

jauh-jauh hari sebelum pemilihan legislatif dan atau pemilihan presiden dilangsungkan; (ii) Koalisi

dibangun berdasarkan kedekatan ideologi dan platform serta pertimbangan pragmatis kepentingan

(winning coalition). Pembentukan koal1isi permanen yang dilakukan sebelum pemilu perlu dilakukan

agar sistem multipartai tidak terjebak pada executive-power sharing yang menjurus pada demokrasi

konsensus (baca: kompromistis). Dengan mengkondisikan partai untuk mencari mitra koalisinya sebelum

pemilu sekaligus akan menghindari terjadinya politik dagang sapi pasca-pemilu yang berakibat pada

ketidakstabilan pemerintahan di kemudian hari.

4.3.2. Pelembagaan Partai Politik yang Efektif dan Kredibel

4.3.2.1. Mendorong Pengembangan Partai Kader

Partai politik perlu didorong untuk lebih membangun partai kader, setidaknya kombinasi partai

kader dan partai massa. Selain itu, sistem keanggotaan partai politik perlu didorong agar lebih ketat

sehingga terbangun disiplin internal partai. Guna lebih memantapkan pembentukan partai kader, maka

underbouw partai politik -yang biasanya berfungsi sebagai alat mobilisasi massa-tidak tidak dibutuhkan

lagi, sehingga terdapat pembatasan yang jelas antara political society dengan civil society. Underbouw

memang merupakan fenomena tersendiri dalam sejarah partai politik di Indonesia. lni karena dahulu

partai-partai dibentuk, dimulai dari ormas-ormas yang kemudian berubah menjadi partai politik.

Selain itu, partai politik juga semestinya dilarang memiliki Satuan Tugas (Satgas) yang menyerupai

simbol-simbol dan atribut militer dan atau aparat negara. Penggunaan simbol-simbol dan atribut militer

oleh partai politik justru cenderung makin memperburuk citra partai seolah-olah sebagai organisasi yang

Page 80: NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG·UNDANG ...berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200812...2020/08/12  · peninggalan Demokrasi Terpimpin (1959-1965) dan Orde Baru (1966-1998)

diperkenankan menggunakan kekerasan, padahal kegiatan seperti itu bukan esensi aktivitas partai

politik.

4.3.2.2. Kewajiban Merealisasikan Fungsi Partai Poliitik

Dalam upaya untuk mendorong agar partai politik melaksanakan fungsinya secara maksimal,

maka partai-partai sebenarnya wajib mereasliasasikan fungsi-fungsi yang diembanya. Di antara

kewajiban partai politik untuk menjalankan fungsi-fungsinya tersebut di antaranya meliputi fungsi

pendidikan politik, artikulasi dan agregasi kepentingan, komunikasi politik, serta pengkaderan dan

rekruitmen politik.

4.3.2.3. Pendanaan Partai

Guna mendorong partai-partai untuk memiliki sumber pendanaan yang memadai di luar subsidi

yang diberikan negara, barangkali sudah waktunya memperkenankan partai memiliki perusahaan

sendiri ataupun kepemilikan saham dalam perusahaan. Dengan demikian pula secara berangsur untuk

jangka menengah dan panjang maka subsidi negara bagi partai dapat dikurangi.

Namun demikian pemberian peluang kepemilikan perusahaan atau saham perusahaan ini tentu

perlu disertai dengan batasan dan kontrol yang sangat ketat. Oleh karena itu dalam rangka untuk

menghindari penyalahgunaan sumbangan perusahaan dan simpatisan perlu diaudit oleh Akuntan Publik

dan diawasi oleh PPATK dan KPPU atas permintaan KPU. Selain itu juga perusahaan (badan usaha}

yang dimiliki oleh partai politik wajib diaudit oleh Akuntan Publik dan diawasi oleh PPATK dan KPPU atas

permintaan KPU. Dalam hal ini perlu kewenangan lebi!h luas kepada KPU dalam pemberian sanksi

termasuk dalam menindaklanjuti potensi manipulasi keuangan politik dengan melibatkan eksternal

auditor atau BPK. Selain itu perlu ada peran koordinatif antara KPU, Depdagri serta instansi terkait

seperti BPK, KPK, Kejaksaan, Kepolisian dan Kehakiman dalam rangka menindaklanjuti pelanggaran

partai terkait keuangan politik.

4.3.3. Kepemimpinan Partai yang Demokratis dan Akuntabel

4.3.3.1. Otonomi dan Desentralisasi Partai

Dalam rangka mengurangi sentralisasi pengambilan keputusan di tingkat pengurus pusat (OPP}

dan/atau pemimpin partai, perlu ada otonomi dari desentralisasi partai politik. Otonomi dan

desentralisasi akan membantu meningkatkan kedaulatan dan wibawa pengurus partai di daerah

sekaligus untuk mengurangi sentralisasi dan ketergantungan partai pada figur ketua umum. Di sisi lain,

hal ini juga akan mengurangi munculnya figur pemimpin yang klientelistik dan kharismatis, dan

sebaliknya mendorong muncul pimpinan partai yang institusional dan berbasis pada program.

Page 81: NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG·UNDANG ...berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200812...2020/08/12  · peninggalan Demokrasi Terpimpin (1959-1965) dan Orde Baru (1966-1998)

Otonomi dan desentralisasi organisasi partai dapat dilakukan di antarnya dengan: (i) menegakkan

kedaulatan anggota atas partai dalam menentukan kepemimpinan partai serta pengambilan

kebijakan/keputusan partai; (ii) memberikan kewenangan kepada pengurus partai di daerah untuk

menentukan kebijakan daerah; dan (iii) memberikan kewenangan kepada pengurus partai di daerah

untuk menentukan caleg, calon kepala daerah, dan kepengurusan partai.

4.3.3.2. Profesionalisme Pimpinan Partai

Untuk mendorong terwujudnya profesionalisme pimpinan partai dan menghindari conflict of

interest maka perlu dibuat aturan larangan bagi pengurus partai untuk merangkap jabatan sebagai

pejabat publik. Di tingkat pusat, pimpinan partai dilarang merangkap jabatan untuk posisi sebagai

presiden, wapres, menteri negara, jaksa agung, Ketua MA, Kepala BIN, dan jabatan-jabatan lain di

dalam lingkup jajaran eksekutif. Sedangkan untuk pengurus partai di tingkat Provinsi, Kabupaten/Kota

dilarang merangkap menjabat sebagai gubemur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil

walikota.

4.3.4. Peningkatan Keterwakilan Perempuan

Dalam rangka meningkatkan keterwakilan perempuan dalam parlemen, langkah awal yang

mesti dilakukan adalah terlebih dahulu dengan meningkatkan keterwakilan perempuan, baik dalam

pembentukan, kepengurusan, maupun dalam pencalonan legislatif. UU Partai Politik semestinya mulai

mengatur keterwakilan minimal 30 persen perempuan sejak pembentukan partai. Begitu pula di dalam

kepengurusan partai, baik di tingkat pusat (OPP Partai Politik) maupun di tingkat daerah (kepengurusan

di tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota). lni perlu dilakukan karena selama ini tingkat keterwakilan

perempuan dalam kepengurusan partai masih rendah. Sedangkan keterwakilan 30 persen perempuan

dalam pencalonan legislatif yang sudah diakomodasi di dalam UU Pemilu sebelumnya perlu disertai

dengan sanksi yang jelas bagi partai-partai yang tidak mematuhinya.

Page 82: NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG·UNDANG ...berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200812...2020/08/12  · peninggalan Demokrasi Terpimpin (1959-1965) dan Orde Baru (1966-1998)

4.4. Matriks Revisi UU Partai Politik

No Arah dan Agenda Usulan Pengaturan Argumentasi Tujuan Penyempumaan

1. Penyederhanaan Pembentukan • Partai baru minimal harus • Berbagai pengetatan

sistem sistem multipartai didirikan oleh 500 orang. dalam aturan

kepartaian sederhana, yakni • Kepengurusan partai pembentukan partai

sederhana dalam pusat da11 daerah minimal baru dimaksudkan untuk

jumlah partai, dan terdiri dari: ketua, sekretaris, rnengurangi "nafsu"

sederhana dalam bendahara, dan ketua- politisi untuk membentuk

pengelompokan ketua departemen. partai-partai baru setiap

ideologis Partai politik yang baru menjelang pemilu.

boleh ikut pemilu bila • T erlalu banyaknya partai

minimal sudah berusia 5 peserta pemilu

tahun dari sejak didirikan mempersulit munculnya

atau dibentuk. partai yang mampu

• Partai peserta pemilu menguasai mayoritas di

diharuskan menyerahkan parlemen, sehingga

deposit dana sebesar Rp5 menjadi kendala bagi

miliar kepada negara terciptanya pemerintahan

yang dititipkan melalui dan politik yang stabil

KPU. Dana tersebut • ET 5 persen diharapkan

dikembalikan bila partai lebih efektif, karena

memenuhi ET. Bagi partai masih ada sekitar 5-6

yang tidak mencapai ET, peserta pemilu dan lebih

deposit tersebut menjadi membuka peluang bagi

milik negara partai untuk merebut

mayoritas suara.

• Mendorong terjadinya

koalisi partai di daerah-

daerah yang sama

dengan koalisi partai di

tingkat nasional.

• Dalamjangka panjang

idealnya terbentuk sistem

I dwi oartai

Page 83: NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG·UNDANG ...berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200812...2020/08/12  · peninggalan Demokrasi Terpimpin (1959-1965) dan Orde Baru (1966-1998)

2. Penguatan Mendorong • Pelembagaan kewajiban • Pola partai massa

pelembagaan lahirnya partai parpol untuk menjalankan hanya sibuk menjelang

partai politik kader - setidaknya fungsi-fungsi pendidikan pemilu, sistem

kombinasi partai politik, artikulasl/agregasi keanggotaan yang amat

kader-massa- yang kepentingan, komunikasi longgar, tak ada seleksi

memahami dan politik, pengkaderan dan ketat dalam rekruitmen

melaksanakan rekruitmen. kenggotaan, tak memiliki

fungsi-fungsinya • Sebagai konsekuensi partai sistem pengembangan

dengan baik, serta kader, partai dilarang kaderisasi dan pemimpin

memiliki memiliki u11derbouw. yang kuat. Akibatnya,

kemandirian dana. • Partai hanya boleh partai gagal

mengefektifkan cabang dan membangun kader-

ranting-rantingnya. kader yg berdedikasi

• Satgas partai dilarang sekaligus berkarakter.

menyerupai simbol-simbol dan • Guna lebih mengarah

atribut militer. pada sistem partai

• Partai dituntut untuk kader, maka underbouw

memperketat sistem dan pola partai politik tak

rekruitmen keanggotaan dibutuhkan lagi, agar

partai; terdapat pembatasan

• Membangun sistem yang jelas antara

kaderisasi dan political society dengan

kepemimpinan; civil society. Parpol

• Partai dituntut memiliki harus dibedakan dengan

program yang jelas dalam ormas.

memenuhi fungsi-fungsinya; • Dengan memiliki

• Mendorong partai-partai kemandirian dana, partai

memiliki sumber pendanaan juga tak lagi disibukkan

yang memadai di luar subsidi oleh kebutuhan mencari

yang diberikan negara; "cantolan" ke penguasa

sehingga intervensi

pepengurusan partai

oleh penguasa juga

daoat dioerkecil.

Page 84: NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG·UNDANG ...berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200812...2020/08/12  · peninggalan Demokrasi Terpimpin (1959-1965) dan Orde Baru (1966-1998)

• Sumbangan ~ Di sisi lain,kehidupan

perusahaan dan demokrasi akan

simpatisan diaudit oleh terancam bila parpol

Akuntan Publik dan lebih terikat kepada

diawasi oleh PPATKdan kepentingan donatur

KPPU atas permintaan parpol.

KPU. • Adanya sumber

• Partai atau caleg tidak keuangan partai yang

boleh menggunakan berasal dari bantuan

dana diluar dana negara, mendorong

kampanye partai politik; orang-orang tertentu

• Audit meliputi rnembuat partai semata-

pemasukan maupun mata untuk mendapat

pengeluaran bantuan dana saja.

partai/caleg;

• Segenap aturan mesti

diikuti dengan

pemberian sanksi

yang tegas &

dilaksanakan: baik

berupa sanksi denda,

sanksi administratif

(termasuk sampai

ke pembubaran

partai) oleh Panwas, I maupun sanksi pidana.

Page 85: NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG·UNDANG ...berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200812...2020/08/12  · peninggalan Demokrasi Terpimpin (1959-1965) dan Orde Baru (1966-1998)

3. Membangun • Oesentraliasi • Meningkatkan • Mengurangi sentralisasi

kepemimpinan kewenangan kedaulatan anggota dan ketergantungan

partai yang partai atas partai dalam partai pada figur ketua

demokratis, • Pelembagaan menentukan umum .

akuntabel, dan demokratisasi kepemimpinan partai • Mengurangi munculnya

berkarakter internal partai serta pengambilan figur pemimpin yang

• Peningkatan kebijakan/keputusan clientelistik dan oligarkis,

keterwakilan partai. sebaliknya mendorong

perempuan • Melarang pengurus muncul pimpinan partai

partai untuk yangberbasis pada

merangkap jabatan program.

sebagai pejabat • Ketergantungan pada

publik (Presiden, OPP dan khususnya

wapres, menteri ketua umum telah

negara, Jaksa menyebabkan berbagai

Agung, Ketua MA, kasus intervensi pusat

Kepala BIN, dan ke daerah, dan

jabatan-jabatan di sekaligus enghambaU

lingkungan lembaga melecehkan aspirasi

eksekuti~. daerah.

Pengurus partai di • Adanya rangkap

tingkat Provinsi, jabatan dapat

Kabupaten/Kota menimbulkan conflict of

dilarang merangkap interest Selain itu,

menjadi larangan rangkap jabatan

Gubemur/Wakil dapat meningkatkan

Gubemur, Bupati!Wakil profesionalitas pimpinan

Bupati, dan partai.

WalikotaMlakil Walikota. • lntervensi oleh OPP

• Peningkatan telah membuat

keterwakilan mandeknya demokrasi

perempuan dalam partaididaerah,serta

pembentukan partai dan meningkatkan perasaan

keoenaurusan oartai kekecewaan dan frustrasi

Page 86: NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG·UNDANG ...berkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20200812...2020/08/12  · peninggalan Demokrasi Terpimpin (1959-1965) dan Orde Baru (1966-1998)

• Desentralisasi yang berujung pada

sebagian kewenangan perpecahan internal

partai ke pengurus partai partai.

tingkat daerah: (i) • Desentralisasi

Memberikan kewenangan akan

kewenangan kepada memperkuat basis partai

pengurus partai di dantanggungjawab

daerah untuk pengurusa lokal;

menentukan kebijakan • Untuk meningkatkan

daerah; (ii) keterwakilan perempuan

Memberikan dalam parlemen, salah

kewenangan kepada satu langkah awal yang

pengurus partai di dilakukan adalah

daerah untuk dengan meningkatkan

menentukan Penentuan keterwakilan 30%

caleg, penentuan calon perempuan dalam

kepala daerah, dan pembentukan dan

kepengurusan partai; kepengurusan partai di

• Perlu meningkatkan semua tingkat.

keterwakilan

perempuan dalam-

pembentukan dan

kepengurusan partai

minima~ 30% baik

pengurus di tingkat

pusat maupun

daerah(propinsi dan

kabupaten/kota).