laporan kel 1 b8m4

63
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Persalinan merupakan suatu tahapan penting dalam kehidupan manusia untuk lahir ke dunia. Dan dalam pelaksanaan proses persalinan, yang diutamakan selain kelahiran bayi ke dunia juga keselamatan ibu. Namun terkadang dapat terjadi beberapa kelainan yang dapat mengganggu kesehatan ibu, bahkan setelah kelahiran bayi. Kelainan-kelainan tersebut juga bahkan dapat merenggut nyawa sang ibu janin apabila tidak dilakukan identifikasi secara dini terhadap penyebab (etiologi) yang nantinya akan membahayakan kelangsungan hidup. Perdarahan post partum merupakan salah satu kelainan pasca persalinan yang dapat menyebabkan kematian ibu.. Dari hasil survei perdarahan post partum menempati peringkat pertama penyebab kematian ibu di Indonesia. Keadaan tersebut dapat diartikan bahwa pelaksanaan tindakan maupun pengawasan dalam persalinan masih belum dilakukan dengan baik. Perdarahan post partum ini memiliki beberapa penyabab (etiologi) antara lain yaitu karena atonia uteri, retensio plasenta, inversio uteri, robekan Blok VIII Modul 4 – Kelainan Pasca Persalinan 1

Upload: septylritonga

Post on 26-Sep-2015

21 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Persalinan merupakan suatu tahapan penting dalam kehidupan manusia untuk lahir ke dunia. Dan dalam pelaksanaan proses persalinan, yang diutamakan selain kelahiran bayi ke dunia juga keselamatan ibu. Namun terkadang dapat terjadi beberapa kelainan yang dapat mengganggu kesehatan ibu, bahkan setelah kelahiran bayi. Kelainan-kelainan tersebut juga bahkan dapat merenggut nyawa sang ibu janin apabila tidak dilakukan identifikasi secara dini terhadap penyebab (etiologi) yang nantinya akan membahayakan kelangsungan hidup.

Perdarahan post partum merupakan salah satu kelainan pasca persalinan yang dapat menyebabkan kematian ibu.. Dari hasil survei perdarahan post partum menempati peringkat pertama penyebab kematian ibu di Indonesia. Keadaan tersebut dapat diartikan bahwa pelaksanaan tindakan maupun pengawasan dalam persalinan masih belum dilakukan dengan baik. Perdarahan post partum ini memiliki beberapa penyabab (etiologi) antara lain yaitu karena atonia uteri, retensio plasenta, inversio uteri, robekan jalan lahir, dan gangguan dari faktor koagulan. Penyebab-penyebab ini membuat ibu mengalami perdarahan yang cukup besar, dan apabila tidak ditangani dengan baik maka dapat membuat ibu kekurangan darah, bahkan tak jarang berakhir dengan kematian.

Oleh karena itu dibutuhkan pengawasan yang baik untuk mengidentifikasi dan menangani secara tepat salah satu penyebab persarahan pada ibu pasca persalinan ini sehingga akan tercapai penurunan resiko kematian pada ibu dan tercapailah tujuan pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan ibu dan bayi.

B. Manfaat Modul

Adapun manfaat modul ini ialah diharapkan mahasiswa mampu menjelaskan mengenai definisi, etiologi, diagnosis, penatalaksanaan dan prognosis dari perdarahan post partum. Dengan demikian, setelah kita mampelajari tentang modul ini, diharapkan kita mampu sebagai seorang calon dokter untuk bisa memahami dengan baik tentang perdarahan post partum agar permasalahan ibu yang mengalami perdarahan post partum tersebut dapat tertangani dengan baik.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Skenario

Telah Melahirkan namun Masih Perdarahan

Dokter Isabella adalah dokter yang bertugas di Ruang Bersalin ketika menerima pasien Ny.Lydia (41 tahun) yang dirujuk dari bidan. Waktu dating pasien terlihat pucat dan lemas serta mengeluh pusing dan mual. Pemeriksaan tanda vital menunjukkan tekanan darah 90/60 mmHg, denyut nadi teraba kecil 100 x/menit, pernapasan 24 x/menit dan akral teraba dingin.

Dari pengantar rujukan diketahui Ny.Lydia telah melahirkan anaknya yang ke-6 melalui persalinan spontan pervaginam, dengan berat badan lahir 3500 gram dan panjang 50 cm. Namun setelah lahirnya plasenta hingga 1 jam pasca persalinan, pasien telah mengalami perdarahan sampai kira-kira 1000 cc. Bidan yang turut mengantar menyataka bahwa ia sudah melakukan penatalaksanaan dengan pemberian suntikan uterotonika dan masase uterus.

Dokter Isabella mendapatkan rahim teraba lembeka dan kontraksi uterus lemah. Saat melakukan pemeriksaan, tidak didapatkan adanya robekan jalan lahir maupun sisa plasenta. Dokter Isabella kemudian melakukan penatalaksanaan segera untuk mencegah terjadinya komplikasi perdarahan post partum.

B. Step I

Identifikasi Istilah Asing

Akral: Aliran darah ke daerah perifer atau ekstremitas bagian distal.

Suntikan Uterotonika: Suntikan atau injeksi yang dapat menimbulkan tonus otot pada uterus. (Dorland, 2010)

Suntikan yang merangsang kontraksi uterus, dan diberikan jika kontraksi uterus tidak adekuat.

Masase: penggosokan, pemukulan, dan pemijatan terapeutik tubuh yang sistematik. (Dorland, 2010)

Masase Uterus: pemijatan uterus, yang gunanya untuk merangsang kontraksi uterus, dan biasanya dilakukan di bagian fundus uteri secara sirkuler.

C. Step II

Identifikasi Masalah

1. Mengapa Ny.Lydia merasa pusing, mual, pucat, lemas, dan akralnya teraba dingin?

2. Apa saja penyebab perdarahan post partum? Dan apa jenis penyebab perdarahan yang dialami oleh Ny.Lydia?

3. Apa hubungan antara perdarahan dengan grande multipara?

4. Apa kegunaan diberikan suntikan uterotonika dan masase uterus?

5. Mengapa dokter masih menemukan uterus teraba lembek dan kontraksi lemah, meskipun sudah dilakukan penanganan oleh bidan?

D. Step III

Analisa Masalah (Brainstorming)

1. Karena Ny.Lydia telah mengalami perdarahan post partum dan kehilangan darah hingga 1000 cc, maka suplai darah dalam tubuh menurun.

Karena suplai darah yang berkurang ini menyebabkan Ny.Lydia menjadi pucat.

Karena suplai darah yang menurun ini juga menyebabkan tekanan darahnya menjadi menurun, sehingga Ny.Lydia merasa pusing. Karena tubuh yang mengalami kekurangan darah yang mengikat O2, jadi tubuh juga mengalami kekurangan O2, sehingga merasa pusing.

Suplai darah dan tekanan darah yang menurun juga dapat menyababkan peningkatan nadi, karena kerja jantung yang meningkat untuk memompa darah ke seluruh tubuh.

Perasaan mual Ny.Lydia disebabkan karena perasaan pusing yang merangsang di daerah trigger zone dan menyebabkan rasa mual. Dan juga juga karena penurunan suplai darah dan penurunan kadar O2 sehingga menyababkan perasaan mual. Selain itu, pemberian uterotonika juga diketahui dapat menimbulkan perasaan mual pada ibu.

Karena berkurangnya suplai darah ini terjadi kompensasi aliran darah dalam tubuh Ny.Lydia, yang menyebabkan aliran darah banyak dialirkan ke organ-organ penting seperti pada otak yang aliran darahnya harus dipertahankan normal, sehingga membuat daerah perifer kurang mendapat aliran darah, dan akhirnya daerah perifer atau bagian distal ekstremitas menjadi dingin.

2. Perdarahan post partum

Faktor resiko ibu yang mengalami perdarahan post partum yaitu:

Ibu grande multipara

Usia ibu yang ekstrem, 40 tahun

Proses persalinan yang terlalu lama, plasenta yang belum keluar

Kehamilan multi (gemelli)

Bayi besar (>2700 gram) overdistensi

Polihydromnion

Terjadi robekan jalan lahir saat persalinan

Kontraksi yang terlalu cepat / proses persalinan yang berlangsung singkat

Terjadi robekan pada episiotomy

Yang dikatakan sebagai perdarahan apabila:

Darah berkurang > 500 cc pada persalian pervaginam, atau > 1000 cc pada persalinan melalui seksio sesar (William, 2005)

Terjadi penurunan jumlah hematokrit sebanyak 10% dari jumlah awalnya

Terjadi perubahan tanda vital, seperti kesadaran menurun, pucat, limbung, berkeringat dingin, sesak napas, tekanan darah menurun, dan nadi meningkat >100 x/menit (Sarwono, 2009)

Terjadi perdarahan ringan jika volume darah yang berkurang sebanyak 50% (Sarwono, 2009)

Klasifikasi perdarahan post partum yang dibedakan berdasarkan waktu terjadinya, yaitu:

a. Perdarahan post partum primer / dini, yaitu yang terjadi pada 24 jam setelah persalinan. Penyebabnya antara lain yaitu atonia uteri, sisa plasenta yang tertinggal, robekan jalan lahir, inversi plasenta, rupture uteri, dan koagulapati.

b. Perdarahan post partum sekunder / lanjutan atau tertunda, yaitu yang terjadi setelah 24 jam persalinan. Penyebabnya yaitu infeksi, dan bias juga karena adanya sisa plasenta yang tertinggal yang juga dapat menyebabkan infeksi.

Penyebab-penyebab pada perdarahan post partum primer, yaitu:

a. Kelainan kontraksi uterus terjadi hipotoni sampai atonia uteri

Terjadi overdistensi (karena gemeli, bayi besar, ataupun polihydromnion)

Partus yang lama

Partus yang terlalu cepat / presipitatus

Multiparitas

Akibat anestesi

Persalinan yang diinduksi oksitosin

Riwayat atonia uteri sebelumnya

Kontraksi uterus lemah

Uterus teraba lembek, karena tidak ada kontraksi uterus

Darah berwarna merah kecoklatan dan bergumpal

b. Perdarahan dari tempat implantasi plasenta

Terdapat kotiledon atau selaput ketuban yang tersisa

Plasenta susenturiata

Implantasi plasenta yang terlalu dalam (melewati desidua basalis), antara lain yaitu:

Akreta, yaitu vili plasenta yang melekat ke miometrium

Inkreta, yaitu plasenta yang menginvasi miometrium

Perkreta, yaitu penetrasi plasenta melalui miometrium

c. Perdarahan karena terjadi robekan dari jalan lahir

Episiotemi yang melebar

Terjadi robekan pada perineum, vagina, ataupun serviks

Tindakan persalinan yang menggunakan alat bantu, seperti forceps

Rupture uteri

d. Inversi Uteri

Terjadinya atonia uterus yang tidak segera ditangani

Terjadi traksi tali pusat secara berlebihan

Plasentasi yang abnormal

Kelainan uterus

Pengangkatan plasenta secara manual

Terasa nyeri

e. Gangguan koagulasi

Anemia

Komplikasi obstetric, seperti preeclampsia, sindrom HELLP

(Sarwono, 2009)

Berdasarkan skenario, maka kemungkinan perdarahan post pasrtum pada Ny.Lydia disebabkan oleh atonia uteri, karena pemeriksaan pada Ny.Lydia didapatkan uterus teraba lembek, kontraksi melemah, tidak ada robekan jalan lahir, dan tidak ada sisa plasenta yang tertinggal.

3. Pada grande multipara, sudah pernah berimplantasi beberapa plasenta di dalam rahimnya. Sedangkan plasenta tidak dapat berimplantasi di tempat yang sama dalam satu rahim. Sehingga plasenta yang baru mencari tempat lagi yang belum ditempati oleh plasenta sebelumnya. Oleh karena itu, pada grande multipara, hampir semua tempat di uterus sudah pernah ditempati oleh plasenta.

Jadi, pada kehamilan kelima atau keenam atau lebih, implantasi plasenta lebih cenderung di daerah dimana lapisan desidua basalisnya tipis. Karena tipisnya lapisan desidua basalis ini dapat memungkinkan implantasi plasenta yang lebih dalam bahkan mencapai miometrium, dan dapat menyebabkan retensio plasenta, yang akhirnya menyebabkan perdarahan post partum.

4. Injeksi uterotonika dan masase uterus berguna untuk meningkatkan kontraksi uterus.

Terapi injeksi uterotonik ini dapat meningkatkan kontraksi rahim, karena bahan kandungannya yang dapat meningkatkan kontraksi, dan diberikan secara intravena ataupun intramuskular. Terapi uterotonik ini antara lain yaitu:

Infus oksitosin, yang berisi 1-40 unit dalam 1 liter, diberikan secara cepat melalui intramuskular atau intramiometrial

Metilergonovin 0,2 mg secara intramuskular, yang diberikan per 2 jam dan maksimum 3 dosis

Derivat prostaglandin yaitu 15-metil-prostaglandin F2 (Hemabate) 0,25 mg secara intramuscular atau intramiometrial, yang diberikan per 15-20 menit dengan maksimum 8 dosis

Masase uterus dilakukan untuk merangsang uterus agar berkontraksi sehingga menghentikan perdarahan yang berlebih, yang disebut juga bimanual compression.

Dilakukan pemijatan pada uterus

Menekan perdarahan pada uterus, terutama di bagian forniks anterior, agar terjadi vasokontriksi dan mengurangi perdarahan

Menekan uterus secara manual. Bimanual compression dapat dilakukan dengan cara interna maupun eksterna

5. Setelah dilakukan masase uterus dan pemberian injeksi uterotonika tetap terjadi perdarahan pada Ny.Lydia, kemungkinan karena kontraksi uterusnya yang terlalu lemah, dan belum langsung terangsang saat dilakukan penangan oleh bidan, apabila perdarahan pada Ny.Lydia benar-benar disebabkan oleh atonia uteri. Oleh karena itu, perlu diperhatikan juga diagnosis bandingnya, dan perlu dilakukan pemeriksaan yang lebih lanjut untuk lebih memastikan etiologi dari perdarahannya.

E. Step IV

Strukturisasi

F. Step V

Identifikasi Tujuan Belajar (Learning Objective)

1. Menjelaskan definisi, faktor predisposisi dan etiologi, diagnosis, penatalaksanaan, dan prognosis dari Perdarahan post partum, yang diklasifikasikan berdasarkan penyebabnya yaitu:

a. Atonia Uteri

b. Retensio Plasenta

c. Inversio Uteri

d. Robekan Jalan Lahir

e. Ruptur Uteri

f. Gangguan Koagulasi

G. Step VI

Belajar Mandiri

Pada tahap belajar mandiri ini, kami mencari bahan-bahan untuk mencapai sasaran pembelajaran dari referensi-referensi wajib dan beberapa referensi tambahan yang dicantumkan dalam daftar pustaka. Hasil pembelajaran mandiri ni digunakan untuk materi pada DKK II dan Pleno.

H. Step VII

Sintesis Masalah

1. PERDARAHAN POST PARTUM

Definisi dan Klasifikasi

Perdarahan post partum adalah perdarahan yang trejadi dalam 24 jam setelah persalinan berlangsung.

Perdarahan post partum dibagi menjadi 2 :

a. Perdarahan Post Partum Primer

Perdarahan Post Partum Primer terjadi dalam 24 jam pertama. Penyebab utama perdarahan Post Partum Primer: Atonia uteri, retentio plasenta, sisa plasenta dan robekan jalan lahir

b. Perdarahan Post Partum Sekunder

Perdarahan Post Partum Sekunder terjadi setelah 24 jam pertama. Penyebab utama perdarahan Post Partum Sekunder adalah robekan jalan lahir dan sisa plasenta atau mebran.

Faktor-Faktor

Faktor-faktor yang menyebabkan perdarahan post partum :

Grandemultipara

Jarak persalinan pendek kurang dari 2 tahun

Persalinan yang dilakukan dengan tindakan:

Pertolongan kala urin sebelum waktunya

Pertolongan persalinan oleh dukun

Persalinan dengan tindakan paksa

Persalinan dengan narkosa

(Sumber: Prof. Dr. Ida Bagus Gde Manuaba, Sp.OG.)

Faktor-faktor yang mempengaruhi perdarahan pascapersalinan

Perdarahan pascapersalinan dan usia ibu

Wanita yang melahirkan anak pada usia dibawah 20 tahun atau lebih dari 35 tahun merupakan faktor risiko terjadinya perdarahan pascapersalinan yang dapat mengakibatkan kematian maternal. Hal ini dikarenakan pada usia dibawah 20 tahun fungsi reproduksi seorang wanita belum berkembang dengan sempurna, sedangkan pada usia diatas 35 tahun fungsi reproduksi seorang wanita sudah mengalami penurunan dibandingkan fungsi reproduksi normal sehingga kemungkinan untuk terjadinya komplikasi pascapersalinan terutama perdarahan akan lebih besar. Perdarahan pascapersalinan yang mengakibatkan kematian maternal pada wanita hamil yang melahirkan pada usia dibawah 20 tahun 2-5 kali lebih tinggi daripada perdarahan pascapersalinan yang terjadi pada usia 20-29 tahun. Perdarahan pascapersalinan meningkat kembali setelah usia 30-35tahun.

Perdarahan pascapersalinan dan gravid

Ibu-ibu yang dengan kehamilan lebih dari 1 kali atau yang termasuk multigravida mempunyai risiko lebih tinggi terhadap terjadinya perdarahan pascapersalinan dibandingkan dengan ibu-ibu yang termasuk golongan primigravida (hamil pertama kali). Hal ini dikarenakan pada multigravida, fungsi reproduksi mengalami penurunan sehingga kemungkinan terjadinya perdarahan pascapersalinan menjadi lebih besar.

Perdarahan pascapersalinan dan paritas

Paritas 2-3 merupakan paritas paling aman ditinjau dari sudut perdarahan pascapersalinan yang dapat mengakibatkan kematian maternal. Paritas satu dan paritas tinggi (lebih dari tiga) mempunyai angka kejadian perdarahan pascapersalinan lebih tinggi. Pada paritas yang rendah (paritas satu), ketidaksiapan ibu dalam menghadapi persalinan yang pertama merupakan faktor penyebab ketidakmampuan ibu hamil dalam menangani komplikasi yang terjadi selama kehamilan, persalinan dan nifas.

Perdarahan pascapersalinan dan Antenatal Care

Tujuan umum antenatal care adalah menyiapkan seoptimal mungkin fisik dan mental ibu serta anak selama dalam kehamilan, persalinan dan nifas sehingga angka morbiditas dan mortalitas ibu serta anak dapat diturunkan. Pemeriksaan antenatal yang baik dan tersedianya fasilitas rujukan bagi kasus risiko tinggi terutama perdarahan yang selalu mungkin terjadi setelah persalinan yang mengakibatkan kematian maternal dapat diturunkan. Hal ini disebabkan karena dengan adanya antenatal care tanda-tanda dini perdarahan yang berlebihan dapat dideteksi dan ditanggulangi dengan cepat.

Perdarahan pascapersalinan dan kadar hemoglobin

Anemia adalah suatu keadaan yang ditandai dengan penurunan nilai hemoglobin dibawah nilai normal. Dikatakan anemia jika kadar hemoglobin kurang dari 8 gr%. Perdarahan pascapersalinan mengakibatkan hilangnya darah sebanyak 500 ml atau lebih, dan jika hal ini terus dibiarkan tanpa adanya penanganan yang tepat dan akurat akan mengakibatkan turunnya kadar hemoglobin dibawah nilai normal.

Gejala Klinis

Gejala klinis berupa pendarahan pervaginam yang terus-menerus setelah bayi lahir. Kehilangan banyak darah tersebut menimbulkan tanda-tanda syok yaitu penderita pucat, tekanan darah rendah, denyut nadi cepat dan kecil, ekstrimitas dingin, dan lain-lain. Penderita tanpa disadari dapat kehilangan banyak darah sebelum ia tampak pucat bila pendarahan tersebut sedikit dalam waktu yang lama.

Diagnosis

Perdarahan yang langsung terjadi setelah anak lahir tetapi plasenta belum lahir biasanya disebabkan oleh robekan jalan lahir. Perdarahan setelah plasenta lahir, biasanya disebabkan oleh atonia uteri. Atonia uteri dapat diketahui dengan palpasi uterus ; fundus uteri tinggi di atas pusat, uterus lembek, kontraksi uterus tidak baik. Sisa plasenta yang tertinggal dalam kavum uteri dapat diketahui dengan memeriksa plasenta yang lahir apakah lengkap atau tidak kemudian eksplorasi kavum uteri terhadap sisa plasenta, sisa selaput ketuban, atau plasenta suksenturiata (anak plasenta). Eksplorasi kavum uteri dapat juga berguna untuk mengetahui apakan ada robekan rahum. Laserasi (robekan) serviks dan vagina dapat diketahui dengan inspekulo. Diagnosis pendarahan pasca persalinan juga memerlukan pemeriksaan laboratorium antara lain pemeriksaan Hb, COT (Clot Observation Test), kadar fibrinogen, dan lain-lain.

Diagnosis pada perdarahan pasca persalinan dini yaitu:

Perdarahan banyak yang terus menerus setelah bayi lahir

Pucat, mungkin ada tanda-tanda shock, tekanan darah rendah, denyut nadi cepat, sefla ekstraminitas yang dingin, tampak keluar dari kemaluan terus menerus

Pemeriksaan obstetri mungkin kontraksi uterus lembek, uterus membesar, bila ada atonia uteri, bila kontraksi baik mungkin ada luka jalan lahir

Pemeriksaan dalam, dilakukan bila keadaan telah diperbaiki, dapat diketahui kontraksi uterus, luka jalan lahir, sisa plasenta

Adanya riwayat. (sumber Standar Pelayanan Medik Obstetri dan Ginekologi).

Komplikasi

Disamping menyebabkan kematian, perdarahan pascapersalinan memperbesar kemungkinan infeksi puerperal karena daya tahan penderita berkurang. Perdarahan banyak kelak bisa menyebabkan sindrom Sheehan sebagai akibat nekrosis pada hipofisisis pars anterior sehingga terjadi insufisiensi pada bagian tersebut. Gejalanya adalah asthenia, hipotensi, anemia, turunnya berat badan sampai menimbulkan kakeksia, penurunan fungsi seksual dengan atrofi alat alat genital, kehilangan rambut pubis dan ketiak, penurunan metabolisme dengan hipotensi, amenore dan kehilangan fungsi laktasi.

Penatalaksanaan

Penanganan perdarahan pasca persalinan pada prinsipnya adalah hentikan perdarahan, cegah/atasi syok, ganti darah yang hilang dengan diberi infus cairan (larutan garam fisiologis, plasma ekspander, Dextran-L, dan sebagainya), transfusi darah, kalau perlu oksigen. Walaupun demikian, terapi terbaik adalah pencegahan. Mencegah atau sekurang-kurangnya bersiap siaga pada kasus kasus yang disangka akan terjadi perdarahan adalah penting. Tindakan pencegahan tidak saja dilakukan sewaktu bersalin, namun sudah dimulai sejak ibu hamil dengan melakukan antenatal care yang baik. Ibu-ibu yang mempunyai predisposisi atau riwayat perdarahan post partum sangat dianjurkan untuk bersalin di rumah sakit. Di rumah sakit, diperiksa kadar fisik, keadaan umum, kadar Hb, golongan darah, dan bila mungkin tersedia donor darah. Sambil mengawasi persalianan, dipersiapkan keperluan untuk infus dan obat-obatan penguat rahim.

Anemia dalam kehamilan, harus diobati karena perdarahan dalam batas batas normal dapat membahayakan penderita yang sudah menderita anemia. Apabila sebelumnya penderita sudah pernah mengalami perdarahan post partum, persalinan harus berlangsung di rumah sakit. Kadar fibrinogen perlu diperiksa pada perdarahan banyak, kematian janin dalam uterus, dan solutio plasenta.

Dalam kala III, uterus jangan dipijat dan didorong kebawah sebelum plasenta lepas dari dindingnya. Penggunaan oksitosin sangat penting untuk mencegah perdarahan pascapersalinan. Sepuluh satuan oksitosin diberikan intramuskular segera setelah anak lahir untuk mempercepat pelepasan plasenta. Sesudah plasenta lahir, hendaknya diberikan 0,2 mg ergometrin, intramuskular. Kadang-kadang pemberian ergometrin setelah bahu depan bayi lahir pada presentasi kepala menyebabkan plasenta terlepas segera setelah bayi seluruhnya lahir; dengan tekanan pada fundus uteri, plasenta dapat dikeluarkan dengan segera tanpa banyak perdarahan. Namun salah satu kerugian dari pemberian ergometrin setelah bahu bayi lahir adalah terjadinya jepitan (trapping) terhadap bayi kedua pada persalinan gameli yang tidak diketahui sebelumnya. Pada perdarahan yang timbul setelah anak lahir, ada dua hal yang harus segera dilakukan, yaitu menghentikan perdarahan secepat mungkin dan mengatasi akibat perdarahan. Tetapi apabila plasenta sudah lahir, perlu ditentukan apakah disini dihadapi perdarahan karena atonia uteri atau karena perlukaan jalan lahir.

a. ATONIA UTERI

Definisi

Sebab terpenting perdarahan postpartum ialah atonia uteri. Atonia uteri dapat terjadi sebagai akibat dari partus yang lama, pembesaran uterus yang berlebihan pada waktu hamil (gemeli, hidramnion atau janin besar), multiparitas, anestesi yang dalam, dan salah penanganan pada kala III persalinan, yaitu memijat uterus dan mendorongnya ke bawah dalam usaha melahirkan plasenta meski sebenarnya plasenta belum terlepas dari uterus.

Atonia uteri dapat dicegah dengan :

Melakukan secara rutin manajemen kala III pada semua wanita yang bersalin karena hal ini dapat menurunkan insidens pendarahan pascapersalinan akibat atonia uteri

Pemberian misoprostol peroral 2 3 tablet (400 600 g) segera setelah bayi lahir.

Faktor Predisposisi

Grandemultipara

Uterus yang terlalu regang (hidramnion, hamil ganda, anak besar (BB > 4000 gr)

Kelainan uterus (uterus bicornis, mioma uteri, bekas operasi)

Plasenta previa dan solutio plasenta (perdarahan anteparturn)

Partus lama (exhausted mother)

Partus precipitatus

Hipertensi dalam kehamilan (Gestosis)

Infeksi uterus

Anemi berat

Penggunaan oksitosin yang berlebihan dalam persalinan (induksi partus)

Riwayat perdarahan pascapersalinan sebelumnya atau riwayat plasenta manual

Pimpinan kala III yang salah, dengan memijit-mijit dan mendorong-dorong uterus sebelum plasenta terlepas

IUFD yang sudah lama, penyakit hati, emboli air ketuban (koagulopati)

Tindakan operatif dengan anestesi umum yang terlalu dalam.

Diagnosis

Apabila timbul perdarahan banyak dalam waktu singkat, diagnosis mudah ditegakkan. Akan tetapi bila perdarahan sedikit dalam waktu lama, perlu penanganan cepat, karena tanpa disadari penderita akan kehilangan banyak darah. Gejala-gejala akan timbul setelah kehilangan 20% darah dari volume total. Jika perdarahan terus berlangsung, tidak menutup kemungkinan penderita akan menjadi syok. Diagnosis akan mudah ditegakkan apabila setelah anak lahir, secara rutin diukur pengeluaran darah dalam kala III dan satu jam sesudahnya.

Apabila terjadi perdarahan postpartum dan plasenta belum lahir, usahakan plasenta dilahirkan segera. Jika plasenta sudah lahir, perlu dibedakan akibat perdarahan, karena atonia atau perlukaan jalan lahir, sebagai contoh. Pada perdarahan karena atonia, uterus membesar dan lembek pada palpasi, sedangkan pada perlukaan, uterus berkontraksi dengan baik.

Tindakan

Sikap trendelenburg, yaitu memasang venous line dan memberikan oksigen

Merangsang kontraksi uterus dengan cara:

Masase fundus uteri dan merangsang puting susu

Pemberian oksitosin dan turunan ergot melalui suntikan i.m , i.v atau s.c

Memberikan derivate prostaglandin F2 yang kadang memberikan efek samping seperti diare, hipertensi, mual muntah, febris, dan takikardia

Pemberian misoprostal 800 1000 g per-rektal

Kompresi bimanual eksternal dan internal

Kompresi aorta abdominalis

Bila semua tindakan itu gagal, maka dipersiapkan untuk dilakukan tindakan operatif laparotomi dengan pilihan bedah konservatif atau melakukan histerektomi. Alteratifnya berupa:

Ligasi arteria uterine atau arteria ovarik

Operasi ransel B Lynch

Histerektomi supravaginal

Histerektomi total abdominal

Penanganan

Terapi yang paling baik adalah pencegahan. Sebelumnya jika diketahui bahwa penderita menderita anemia, tindakan awal adalah anemia harus diobati secepatnya karena membahayakan ibu dan bayi yang dikandungnya. Penanganan selanjutnya, kadar fibrinogen harus diperiksa, demi kekhawatiran akan terjadinya kematian janin dalam uterus dan solusio plasenta.

Dalam kala III ini, uterus jangan dipijat dan didorong sebelum plasenta lepas dari dindingnya. Berikut manajemen aktif kala III:

1. Menyuntikkan oksitosin

Periksa fundus uteri untuk memastikan kehamilan tunggal.

Pastikan ibu akan disuntik dan suntikkan oksitosin 10 unit secara IM pada bagian vastus lateralis 1/3 atas.

2. Penegangan Tali Pusat terkendali (PTT)

Tegangkan tali pusat dengan tangan kanan, sementara tangan kiri menekan uterus dengan hati-hati ke arah dorsokranial.

Adapun dikatakan bahwa sesudah plasenta lahir, langsung diberikan ergometrin 0,2 mg IM. Kadang-kadang pemberian ergometrin sesegera ini akan menyebabkan kontraksi pada fundus uteri dan plasenta mudah lepas dari dindingnya serta lahir dengan tanpa mengakibatkan perdarahan. Akan tetapi kerugiannya adalah mudah tertutupnya jalan lahir akibat kontraksi sehingga memberikan kekhawatiran pada kehamilan gemelliyang tidak diketahui.

Langkah-langkah rinci penatalaksanaan atonia uteri pascapersalinan

NO.

LANGKAH

KETERANGAN

1.

Lakukan masase fundus uteri segera setelah plasenta dilahirkan

Masase merangsang kontraksi uterus. Sambil melakukan masase sekaligus dapat dilaku-kan penilaian kontraksi uterus

2.

Bersihkan kavum uteri dari selaput ketuban dan gumpalan darah.

Selaput ketuban atau gumpalan darah dalam kavum uteri akan dapat menghalangi kontraksi uterus secara baik

3.

Mulai lakukan kompresi bimanual interna. Jika uterus berkontraksi keluarkan tangan setelah 1-2 menit. Jika uterus tetap tidak berkontraksi teruskan kompresi bimanual interna hingga 5 menit

Sebagian besar atonia uteri akan teratasi dengan tindakan ini. Jika kompresi bimanual tidak berhasil setelah 5 menit, diperlukan tindakan lain

4.

Minta keluarga untuk melakukan kompresi bimanual eksterna

Bila penolong hanya seorang diri, keluarga dapat meneruskan proses kompresi bimanual secara eksternal selama anda melakukan langkah-langkah selanjutnya.

5.

Berikan Metil ergometrin 0,2 mg intramuskular/ intra vena

Metil ergometrin yang diberikan secara intramuskular akan mulai bekerja dalam 5-7 menit dan menyebabkan kontraksi uterus

Pemberian intravena bila sudah terpasang infus sebelumnya

6.

Berikan infus cairan larutan Ringer laktat dan Oksitosin 20 IU/500 cc

Anda telah memberikan Oksitosin pada waktu penatalaksanaan aktif kala tiga dan Metil ergometrin intramuskuler. Oksitosin intravena akan bekerja segera untuk menyebabkan uterus berkontraksi.

Ringer Laktat akan membantu memulihkan volume cairan yang hilang selama atoni. Jika uterus wanita belum berkontraksi selama 6 langkah pertama, sangat mungkin bahwa ia mengalami perdarahan postpartum dan memerlukan penggantian darah yang hilang secara cepat.

7.

Mulai lagi kompresi bimanual interna atau

Pasang tampon uterovagina

Jika atoni tidak teratasi setelah 7 langkah pertama, mungkin ibu mengalami masalah serius lainnya.

Tampon uterovagina dapat dilakukan apabila penolong telah terlatih.

Rujuk segera ke rumah sakit

8.

Buat persiapan untuk merujuk segera

Atoni bukan merupakan hal yang sederhana dan memerlukan perawatan gawat darurat di fasilitas dimana dapat dilaksanakan bedah dan pemberian tranfusi darah

9.

Teruskan cairan intravena hingga ibu mencapai tempat rujukan

Berikan infus 500 cc cairan pertama dalam waktu 10 menit. Kemudian ibu memerlukan cairan tambahan, setidak-tidaknya 500 cc/jam pada jam pertama, dan 500 cc/4 jam pada jam-jam berikutnya. Jika anda tidak mempunyai cukup persediaan cairan intravena, berikan cairan 500 cc yang ketiga tersebut secara perlahan, hingga cukup untuk sampai di tempat rujukan. Berikan ibu minum untuk tambahan rehidrasi.

10.

Lakukan laparotomi :

Pertimbangkan antar tindakan mprtahankn uterus dgn ligasi arteri uterina/ hipogastrika atau histerektomi.

Pertimbangan antara lain paritas, kondisi ibu, jumlah perdarahan.

Kompresi Bimanual Interna

Letakan satu tangan anda pada dinding perut, dan usahakan untuk menahan bagian belakang uterus sejauh mungkin. Letakkan tangan yang lain pada korpus depan dari dalam vagina, kemudian tekan kedua tangan untuk mengkompresi pembuluh darah di dinding uterus. Amati jumlah darah yang keluar yang ditampung dalam pan. Jika perdarahan berkurang, teruskan kompresi, pertahankan hingga uterus dapat berkontraksi atau hingga pasien sampai di tempat rujukan. Jika tidak berhasil, cobalah mengajarkan pada keluarga untuk melakukan kompresi bimanual eksternal sambil penolong melakukan tahapan selanjutnya untuk penatalaksaan atonia uteri.

Kompresi Bimanual Eksternal

Letakkan satu tangan anda pada dinding perut, dan usahakan sedapat mungkin meraba bagian belakang uterus. Letakan tangan yang lain dalam keadaan terkepal pada bagian depan korpus uteri, kemudian rapatkan kedua tangan untuk menekan pembuluh darah di dinding uterus dengan jalan menjepit uterus di antara kedua tangan tersebut

b. RETENSIO PLASENTA

Definisi

Istilah retentio placentae dipergunakan, kalau plasenta belum lahir jam sesudah anak lahir.

Etiologi

I. Sebab fungsionil, yaitu:

His kurang kuat / hipotonia uteri.

Tempat insersi placenta di sudut tuba sehingga sulit untuk terlepas.

Placenta Membranacea jarang terjadi, suatu keadaan dimana semua atau sebagian besar dari membran amnion tertutup oleh villi chorialis. Placenta membranacea dapat menyebabkan perdarahan yang sangat serius karena berhubungan dengan placenta previa atau placenta acreta (Greenberg dan kolega, 1991).

Placenta Berbentuk Cincin (placenta anular) terjadi pada 1 bayi dalam 6000 kelahiran, placenta ini berbentuk anular, dan terkadang berbentuk seperti cincin yang utuh. Placenta jenis ini merupakan varian dari placenta membranacea. Karena jaringan pada bagian cincin mengalami atrofi, maka terbentuklah bentukan seperti tapal kuda. Keabnormalan yang muncul kemungkinan besar berhubungan dengan perdarahan ante dan postpartum dan IUGR. (Faye-Petersen dan kolega, 2006).

Plasenta yang sangat kecil .

Plasenta yang sukar lepas karena tempat insersi (di sudut tuba), bentuk plasenta (plasenta membranacea dan anular) dan ukuran plasenta (plasenta kecil) disebut Placenta Adhesiva.

Sebab patologi-anatomis

Placenta Accreta villi chorialis menempel pada batas atas miometrium.

Placenta accreta ini di bagi lagi berdasarkan banyaknya plasenta yang menempel pada miometrium:

Placenta accreta totalis seluruh plasenta menempel pada miometrium.

Placenta accreta parsialis hanya sebagian plasenta menempel pada miometrium.

Placenta accreta focalis hanya sebuah kotiledon yang menempel pada miometrium.

Placenta Increta villi chorialis masuk dan menginvasi daerah miometrium.

Placenta Percreta villi chorialis menginvasi lebih dalam lagi bagian miometrium hingga mencapai perimetrium.

Placenta acreta, increta, dan percreta terjadi karena ketidakadaan sebagian atau seluruh desidua basalis dan perkembangan yang tidak sempurna dari fibrinoid atau lapisan nitabuch, yang menyebabkan villi chorialis menempel ke daerah miometrium atau hingga perimetrium.

Faktor Predisposisi

Plasenta previa

Riwayat section cesarean

Riwayat kuretase

Paritas tinggi grande-multipara atau lebih

Janin dengan neural-tube defect

Janin dengan down syndrom

Diagnosis

Plasenta belum lahir 30 menit setelah bayi lahir.

Perdarahan pervaginam yang terjadi terus-menerus .

Kontraksi uterus baik.

Penatalaksanaan

Kalau plasenta dalam jam setelah anak lahir belum memperlihatkan gejala-gejala perlepasan, maka harus dilakukan pelepasan plasenta secara manual. Telah dijelaskan bahwa perdarahan banyak, maka mungkin plasenta dilepaskan secara manual lebih dulu, tetapi dalam hal ini atas indikasi perdarahan bukan atas indikasi retention plasenta.

Tekhnik pelepasan plasenta secara manual yaitu denga cara:

Perineum pasien di disinfeksi terlebih dahulu begitu pula tangan dan lengan penolong.

Gunakan handscoon.

Labia dibeberkan, dan tangan kanan di masukkan secara obstetric ke dalam vagina.

Tangan yang berada di luar (kiri), menahan fundus uteri.

Tangan yang berada di dalam menyusur tali pusat yang sedapat-dapatnya diregangkan oleh asisten.

Stelah tangan dalam sampai ke plasenta, maka tangan tersebut menuju ke pinggir plasenta dan mencari bagian plasenta yang sudah terlepas.

Kemudian dengan sisi tangan sebelah kelingking, plasenta dilepaskan yaitu diantara bagian plasenta yang sudah terlepas dan dinding rahim dengan gerakan yang sejajar dengan dinding rahim.

Setelah plasenta terlepas seluruhnya, plasenta dipegang dan dengan perlahan-lahan ditarik ke luar.

Pada penatalaksanaan placenta accreta parsialis masih dapat dilepaskan secara manual, namun pada plasenta accreta totalis, plasenta increta, dan plasenta percreta tidak boleh dilepaskan secara manual karena usaha ini dapat menimbulkan perforasi dinding rahim. Penatalaksanaan terbaik untuk ketiga jenis kelainan plasenta ini ialah dengan histerektomi.

Prognosis

Bila penderita segara mendapat penanganan yang baik dan benar sebelum kehilangan banyak darah maka akan diperoleh hasil yang baik, namun khususnya pada keadaan plasenta accreta totalis, plasenta increta, dan plasenta percreta harus dilakukan pengangkatan terhadap janinnya yang membuat pasien tidak dapat memiliki anak lagi (sterilitas).

c. INVERSI UTERUS

Definisi

Inversi uterus adalah keadaan dimana lapisan dalam uterus (endometrium) turun dan keluar lewat ostium uteri eksternum, yang dapat bersifat inkomplit maupun komplit.

Faktor Resiko

Atonia uteri

Serviks yang masih terbuka lebar.

Kekuatan yang menarik fundus kebawah.

Tekanan pada fundus uteri dari atas.

Tekanan intraabdominal yang keras dan tiba tiba.

Diagnosis

Syok karena kesakitan

Perdarahan banyak bergumpal

Di vulva tampak endometrium terbalik dengan atau tanpa plasenta yang masih melekat

Penatalaksanaan

1. Memanggil bantuan anestesi dan memasang infus untuk cairan / darah pengganti dan pemberian obat.

2. Beberapa senter memberikan tokolitik / MgSO4 untuk melemaskan uterus yang terbalik sebelum dilakukan reposisi manual yaitu mendorong endometrium ke atas masuk ke dalam vagina dan terus melewati serviks sampai tangan masuk ke dalam uterus pada posisi normalnya. Hal itu dapat dilakukan sewaktu plasenta sudah terlepas atau tidak.

3. Di dalam uterus, plasenta dilepaskan secara manual dan bila berhasil dikeluarkan dari rahin dan sambil memeberikan uterotonika lewat infus atau intramuskular . tangan tetap dipertahankan agar konfigurasi uterus kembali normal dan tangan operator baru dilepaskan.

4. Pemberian antibiotika dan transfusi darah sesuai dengan keperluannya.

5. Intervensi bedah dilakukan bila karena jepitan serviks yang keras menyebabkan manuver di atas tidak bisa dilakukan, maka dilakukan laparotomi untuk reposisi dan kalau terpaksa dilakukan histerektomi bila uterus sudah mengalami infeksi dan nekrosis.

Prognosis

Bila baru saja terjadi, maka prognosis cukup baik akan tetapi bila kejadiannya cukup lama, maka jepitan serviks yang mengecil akan membuat uterus mengalami iskemia, nekrosis, dan infeksi

Komplikasi

Tidak ada komplikasi yang terjadi jika uterus masih bisa ditangani dengan cepat. Komplikasi hanya terjadi jika kejadian inversio uteri lambat ditangani yang mengakibatkan nekrosis pada endometrium.

d. LASERASI JALAN LAHIR

Definisi

Robekan jalan lahir merupakan penyebab kedua tersering dari perdarahan pasca persalinan. Robekan dapat terjadi bersamaan dengan atonia uteri. Perdarahan pasca persalinan dengan uterus yang berkontraksi baik biasanya disebabkan oleh robekan serviks atau vagina. Setelah persalinan harus selalu dilakukan pemeriksaan vulva dan perineum. Pemeriksaan vagina dan serviks dengan spekulum juga perlu dilakukan setelah persalinan.

Patogenesis

a. Robekan vulva

Sebagai akibat persalinan, terutama pada seorang primipara, bisa timbul luka pada vulva di sekitar introitus vagina yang biasanya tidak dalam akan tetapi kadang-kadang bisa timbul perdarahan banyak, khususnya pada luka dekat klitoris.

b. Robekan perineum

Robekan perineum terjadi pada hampir semua persalinan pertama dan tidak jarang juga pada persalinan berikutnya. Robekan perineum umumnya terjadi di garis tengah dan menjadi luas apabila kepala janin lahir terlalu cepat, sudut arkus pubis lebih kecil daripada biasa, kepala janin melewati pintu bawah panggul dengan ukuran yang lebih besar dari sirkumferensia suboksipitobregmatika atau anak dilahirkan dengan pembedahan vaginal. Tingkatan robekan pada perineum:

Tingkat 1: hanya kulit perineum dan mukosa vagina yang robek

Tingkat 2: dinding belakang vagina dan jaringan ikat yang menghubungkan otot-otot diafragma urogenitalis pada garis tengah terluka.

Tingkat 3: robekan total m. Spintcher ani externus dan kadang-kadang dinding depan rektum.

Pada persalinan yang sulit, dapat pula terjadi kerusakan dan peregangan m. puborectalis kanan dan kiri serta hubungannya di garis tengah. Kejadian ini melemahkan diafragma pelvis dan menimbulkan predisposisi untuk terjadinya prolapsus uteri.

c. Perlukaan vagina

Perlukaan vagina yang tidak berhubungan dengan luka perineum jarang dijumpai. Kadang ditemukan setelah persalinan biasa, tetapi lebih sering terjadi sebagai akibat ekstraksi dengan cunam, terlebih apabila kepala janin harus diputar. Robekan terdapat pada dinding lateral dan baru terlihat pada pemeriksaan spekulum. Robekan atas vagina terjadi sebagai akibat menjalarnya robekan serviks. Apabila ligamentum latum terbuka dan cabang-cabang arteri uterina terputus, dapat timbul perdarahan yang banyak. Apabila perdarahan tidak bisa diatasi, dilakukan laparotomi dan pembukaan ligamentum latum. Jika tidak berhasil maka dilakukan pengikatan arteri hipogastika.

Kolpaporeksis

Adalah robekan melintang atau miring pada bagian atas vagina. Hal ini terjadi apabila pada persalinan yang disproporsi sefalopelvik terdapat regangan segmen bawah uterus dengan serviks uteri tidak terjepit antara kepala janin dengan tulang panggul, sehingga tarikan ke atas langsung ditampung oleh vagina. Jika tarikan ini melampaui kekuatan jaringan, terjadi robekan vagina pada batas antara bagian teratas dengan bagian yang lebih bawah dan yang terfiksasi pada jaringan sekitarnya. Kolpaporeksis juga bisa timbul apabila pada tindakan per vaginam dengan memasukkan tangan penolong ke dalam uterus terjadi kesalahan, dimana fundus uteri tidak ditahan oleh tangan luar untuk mencegah uterus naik ke atas.

Fistula

Fistula akibat pembedahan vaginal makin lama makin jarang karena tindakan vaginal yang sulit untuk melahirkan anak banyak diganti dengan seksio secarea. Fistula dapat terjadi mendadak karena perlukaan pada vagina yang menembus kandung kemih atau rektum, misalnya oleh perforator atau alat untuk dekapitasi, atau karena robekan serviks menjalar ke tempat menjalar ke tempat-tempat tersebut. Jika kandung kemih luka, urin segera keluar melalui vagina. Fistula dapat berupa fistula vesikovaginalis atau rektovaginalis.

d. Robekan serviks

Persalinan selalu mengakibatkan robekan serviks, sehingga serviks seorang multipara berbeda dari yang belum pernah melahirkan pervaginam. Robekan serviks yang luas menimbulkan perdarahan dan dapat menjalar ke segmen bawah uterus. Apabila terjadi perdarahan yang tidak berhenti meskipun plasenta sudah lahir lengkap dan uterus sudah berkontraksi baik, perlu dipikirkan perlukaan jalan lahir, khususnya robekan serviks uteri.

Penatalaksanaan

Apabila ada robekan, serviks perlu ditarik keluar dengan beberapa cunam ovum, supaya batas antara robekan dapat dilihat dengan baik. Apabila serviks kaku dan his kuat, serviks uteri dapat mengalami tekanan kuat oleh kepala janin, sedangkan pembukaan tidak maju. Akibat tekanan kuat dan lama ialah pelepasan sebagian serviks atau pelepasan serviks secara sirkuler. Pelepasan ini dapat dihindarkan dengan seksio secarea jika diketahui bahwa ada distosia servikalis.

Apabila sudah terjadi pelepasan serviks, biasanya tidak dibutuhkan pengobatan, hanya jika ada perdarahan, tempat perdarahan di lanjut. Jika bagian serviks yang terlepas masih berhubungan dengan jaringan lain, hubungan ini sebaiknya diputuskan

e. RUPTUR UTERI

Definisi

Adalah suatu keadaan dimana terjadi kerusakan pada uterus. Uterus yang rupture dapat langsung terhubung dengan rongga peritoneum (komplet) atau mungkin dipisahkan darinya oleh peritoneum visceralis yang menutupi uterus atau oleh ligamentum latum (inkomplet). Ruptur mengacu pada pemisahan insisi uterus lama di seluruh panjangnya disertai rupture selaput ketuban sehingga rongga uterus dan rongga peritoneum dapat berhubungan. Dalam keadaan tersebut, seluruh atau sebagian janin biasanya menonjol ke dalam rongga peritoneum. Selain itu dari tepi jaringan parut atau dari perluasan ke bagian uterus yang semula normal, terjadi perdarahan bermakna.

Etiologi

Ruptur uteri dapat terjadi akibat cedera atau anomaly yang sudah ada sebelumnya, atau dapat berkaitan dengan trauma, atau menjadi penyulit persalinan pada uterus yang sebelumnya tidak memiliki parut.

Cedera atau anomaly uterus yang terjadi sebelum kehamilan sekarang

Cedera atau kelainan uterus selama kehamilan sekarang

1. Pembedahan yang melibatkan moimetrium

Seksio sesarea atau histerektomi

Riwayat reparasi rupture uteri

Insisi miomektomi melalui atau sampai endometrium

Reseksi kornu dalam pada tuba fallopi interstisial

Metroplasti

1. Sebelum pelahiran

Kontraksi persisten, intens, spontan

Stimulasi persalinan

Instilasi intra amnion

Perforasi oleh kateter pengukur tekanan uterus internal

Trauma eksternal

Versi luar

2. Trauma uterus yang terjadi tanpa disengaja

Abortus dengan instrumentasi kuret, sondase

Trauma tajam atau tumpul

Ruptur asimtomatik

2.Saat pelahiran

- versi interna

- pelahiran dengan forceps yang sulit

- ekstraksi bokong

- Anomali janin yang meregangkan bagian bawah

3. Anomali Kongenital

4.Didapat

- plasenta inkreta atau perkreta

- neoplasia trofoblastik gestasional

- adenomiosis

Klasifikasi

Ruptur traumatic. Wanita hamil yang mengalami trauma tumpul pada abdomen harus mewaspadai adanya tanda-tanda rupture uteri. Trauma tumpul lebih besar kemungkinannya menyebabkan solusio plasenta. Dahulu, rupture traumatic sewaktu pelahiran sering disebabkan oleh ekstraksi atau versi politik interna. Dahulu, rupture traumatic sewaktu kelahiran sering disebabkan oleh akstraksi atau versi podalic interna. Kausa lain rupture traumatic anatara lain kelahiran forceps yang sulit, ekstraksi bokong dan pembesaran janin yang tidak lazim misalnya hidrosefalus.

Ruptur Spontan. Ruptur lebih besar kemungkinannya terjadi pada wanita dengan paritas tinggi. Stimulasi persalinan dengan oksitosin agak sering dikaitkan dengan rupture uteri, terutama pada wnita dengn paritas tinggi. Dari hasil penelitian melaporkan rupture uteri pada induksi persalianan yang menggunakal gel prostaglandin E2 atau tablet vagina prostaglandin E1. Karena itu pemberian oksitosin untuk stimulasi persalinan pada wanita dengan paritas tinggi harus dilakukan dengan sangat hati-hati. Demikian juga, pda wanita dengan peritas tinggi, partus percobaan pada kehamilan yang dicurigai mengalami disproporsi sefalopelvik atau presentasi abnormal seperti dahi, harus dilakukan dengan hati-hati.

Patologi

Ruptur pada uterus yang sebelumnya utuh saat persalinan paling sering mengenai segmen bawah uterus yang menipis. Robekan, apabila terletak dekat dengan serviks, sering meluas secara melintang atau oblik. Robekan biasanya longitudinal apabila terjadi di bagian uterus yang terletak dekat dengan ligamentum latum. Biasanya, kandung kemih juga mengalami laserasi. Setelah rupture komplet, isi uterus keluar dan memasuki rongga peritoneum, kecuali apabila bagian terbawah janin sudah benar-benar cakap, saat hanya sebagian janin yang mungkin keluar dari uterus.

Prognosis

Pada rupture dan ekspulsi janin ke dalam rongga peritoneum, kemungkinan kelangsungan hidup janin suram, dan angka kematian berdasarkan berbagai studi dilaporkan sebesar 50-70%. Apabila janin masih hidup saat rupture, satu-satunya cara untuk mempertahankan hidupnya hidup adalah dengan pelahiran segera.

f. GANGGUAN KOAGULASI

Definisi

Perdarahan yang disebabkan oleh kelainan faktor koagulasi sebenarnya jarang terjadi dan bukan merupakan faktor utama terjadinya perdarahan post partum, namun apabila terdapat gangguan koagulasi dapat menjadi penyulit proses patologis dan memperparah semua faktor predisposisi maupun penyebab perdarahan post partum itu sendiri. Gangguan koagulasi ini disebut juga dengan koagulopati.

Etiologi dan Faktor Predisposisi

Trombofilia

Sindrom HELLP

Preeklampsia

Solusio plasenta

Kematian janin dalam kandungan

Emboli air ketuban

Septikemia

Abortus septik

Patofisiologi

Pada pembahasan patofisiologi dan mekanisme penjalaran penyakit ini dijelaskan mulai dari perdarahan yang disebabkan oleh gangguan koagulasi ini serta dibahas berdasarkan masing masing faktor predisposisi maupun penyebabnya yang dapat terdiri dari definisi, patogenesis, diagnosis, penatalaksanaan hingga prognosisnya.

1. Kematian janin dan pelahiran yang tertunda

Patogenesis

Gangguan bermakna pada mekanisme pembekuan ibu jarang terjadi sebelum kurang dari 1 bulan setelah kematian janin. Namun apabila janin tertahan lebih lama , sekitar 25% wanita akan mengalami koagulopati. Koagulopati konsumtif yang terjadi mungkin diperantarai oleh tromboplastin dari produk hasil konsepsi yang meninggal.

Penatalaksanaan

Koreksi gangguan koagulasi pada wanita dengan sirkulasi yang utuh dengan pemberian heparin dosis rendah 5000 U dua sampai tiga kali sehari di bawah kondisi yang terkendali dengan baik. Heparin yang diberikan dengan sesuai dapat menghentikan konsumsi patologis lebih lanjut fibrinogen dan faktor pembekuan lain sehingga memperlambat atau untuk sementara membalikkan siklus konsumsi dan fibrinolisis.

2. Emboli cairan amnion

Definisi

Emboli cairan amnion adalah suatu gangguan kompleks yang ditandai oleh terjadinya, hipoksia, dan koagulopati konsumtif secara mendadak.

Patogenesis

Cairan amnion masuk ke dalam sirkulasi akibat rusaknya sawar fisiologis yang biasanya terdapat antara kompartemen ibu dan janin. Kejadian ini biasanya berlangsung dengan trofoblas dan skuama yang diduga berasal dari janin sering dijumpai di dalam sirkulasi ibu. Ibu mungkin terpajan ke berbagai elemen janin sewaktu terminasi kehamilan, setelah amniosentesis atau trauma, atau saat terbentuk laserasi laserasi kecil di segmen bawah uterus atau serviks selama persalinan. Selain itu, seksio sesarea memberikan banyak kesempatan terjadinya pencampuran darah ibu dan jaringan janin.

Pada sebagian besar kasus, kejadian ini tidak membahayakan. Namun, pada sebagian wanita, pemajanan ini memicu serangkaian reaksi fisiologis kompleks yang mirip dengan yang dijumpai pada anafilaksis dan sepsis. Kaskade patofisiologi mungkin disebabkan oleh sejumlah kemokin dan sitokin.

Diagnosis

Emboli cairan amnion dapat ditandai dengan ditemukannya sel skuamosa, trofoblas atau debris lain yang berasal dari janin di sirkulasi paru sentral.

Penatalaksanaan

Untuk mengatasi keadaan hipertensi sistemik dan pulmonal dapat dilakukan resusitasi jantung paru dan selanjutnya diberikan terapi oksigenase dan bantuan miokardium yang mengalami kegagalan. Wanita yang belum melahirkan dan mengalami henti jantung harus dipertimbangkan untuk dilakukan seksio sesarea perimortem darurat sebagai upaya menyelamatkan janin.

Prognosis

Prognosis emboli cairan amnion yang buruk kemungkinan besar disebabkan karena kurang terdiagnosis (underdiagnosed), kecuali pada kasus kasus yang sangat parah. Angka kematian ibu pada prognosis yang buruk sangat tinggi, berkisar 60 90 % dan kematian dapat terjadi dalam waktu 30 menit.

Pada wanita yang selamat sering terjadi kelainan neurologis yang parah, seperti henti jantung disertai gejala gejala awal. Hasil akhir juga buruk bagi janin dari para wanita yang selamat tersebut dan berkaitan dengan interval henti jantung sampai pelahiran. Angka kelahiran hidup neonatus keseluruhan adalah 70 %, tetapi hampir separuh menderita kelaianan neurologis residual.

3. Septikemia

Patogenesis

Infeksi yang menyebabkan bakteremia dan syok septik di bidang obstetri paling sering disebabkan oelh abortus septik, pielonefritis antepartum, atau sepsis puerperium. Sifat letal toksin bakteri, terutama endotoksin diperantarai terutama oleh kerusakan endotel vaskular. Kemungkinan, endotoksin mengaktifkan mekanisme pembekuan ekstrinsik melalui ekspresi faktor jaringan di permukaan monosit aktif yang dipicu oleh sitokin.

Penatalaksanaan

Apabila prosedur bedah dilakukan sebelum sepsis dikendalikan dan koagulopati diatasi, pemberian fresh frozen plasma dan trombosit biasanya dapat menghentikan perdarahan tersebut. Terapi heparin berbahaya dan jangan diberikan.

4. Abortus

Berbagai perubahan dalam koagulasi yang pernah dijumpai pada abortus yang diinduksi oleh larutan hipertonik mengisyaratkan bahwa terjadi pelepasan tromboplastin dari plasenta, janin, desidua atau ketiganya oleh efek nekrobiotik larutan hipertonik. Hal ini kemudian memicu koagulasi di dalam sirkulasi ibu. Defek koagulasi jarang terjadi pada abortus yang diinduksi oleh prostaglandin.

Diagnosis

Bioassay adalah metode yang sangat baik untuk mendeteksi atau mencurigai secara klinis adanya koagulopati yang bermakna. Perdarahan berlebihan di tempat trauma ringan merupakan tanda gangguan hemostasis. Perdarahan persisten dari tempat pungsi vena, luka sayat akibat irisan pada perineum atau abdomen, atau trauma akibat insersi kateter, dan perdarahan spontan dari gusi atau hidung adalah tanda tanda kemungkinan adanya defek pembekuan darah.

Adanya purpura di lokasi penekanan mungkin mengisyaratkan darah yang tidak dapat membeku atau trombositopenia yang bermakna. Prosedur bedah merupakan bioassay terakhir untuk mengetahui ada tidaknya gangguan koagulasi. Merembesnya darah secara terus menerus dari kulit, jaringan subkutis dan fasia, serta ruang retroperitoneum vaskular mungkin merupakan tanda koagulopati. Tanda ini juga dapat diperoleh dengan mengamati perembesan darah terus menerus dari insisi episiotomi atau laserasi perineum.

Penatalaksaan

Heparin

Infus heparin diberikan sebagai usaha untuk menghentikan koagulasi intravaskular akibat solusio palsenta atau situasi lain ketika integritas sistem vaskular terganggu.

Asam epsilon-aminokarproat

Senyawa ini diberikan sebagai upaya untuk mengendalikan fibronolisis dengan menghambat perubahan plasminogen menjadi plasmin pada fibrinogen, monomer fibrin, dan polimer fibrin (bekuan). Kegagalan membersihkan polimer fibrin dari mikrosirkulasi dapat menyebabkan iskemia dan infark organ, misalnya nekrosis korteks ginjal. Pemakaian obat ini pada sebagain besar koagulopati obstetri tidak dianjurkan.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Melalui hasil belajar mandiri yang telah didiskusikan pada diskusi kelompok kecil (DKK) ke-2 kelompok V modul 1 kami mendapatkan Learning Objective atau sasaran belajaran mengenai Perdarahan Post Paartum dapat kami simpulkan bahwa Perdarahan Post Partum merupakan keadaan berkuarangnya darah ibu secara berlebihan setelah melahirkan yang dapat mengganggu kelangsungan hidup ibu.

Penyebab dari perdarahan post partum ini bermacam-macam, antara lain yaitu karena atonia uteri atau melemahnya kontraksi uterus, karena retensio plasenta atau plasentasi abnormal, inversi uteri, rupture uterus, gangguan jalan lahir, ataupun gangguan koagulasi darah. Penyebab-penyebab lainnya juga antara lain bayi besar, panggul yang sempit, perlukaan jalan lahir, dan bentuk uterus yang abnormal.

Penatalaksanaan dari perdarahan post partum dilakukan sesuai dengan etiologinya. Oleh karena itu, penting untuk terlebih dahulu mendiagnosis etiologinya, lalu dilakukan penanganan dengan tepat, sehingga didapatkan prognosis yang baik. Penatalaksanaan dan prognosis yang baik ini dapat meningkatkan kesejahteraan ibu dan anak. Karena bayi yang sudah dilahirkan perlu berada di dampingan sang ibunya.

B. Saran

Perlu ditingkatkannya pengetahuan tentang kelahiran dan persalinan terutama dalam hal ini dikhususkan pada perdarahan post partum, baik etiologi maupun penatalaksanaannya, agar dapat berguna bagi kehidupan masyarakat untuk mencapai derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.

Semoga dengan pemaparan di atas dapat memudahkan dan membantu pembaca dalam mengatasi permasalahan yang ada kaitannya dengan tulisan ataupun kejadian tentang perdarahan post partum.

DAFTAR PUSTAKA

Cunningham F, Leveno, Bloom S, Hauth J, Gilstrap L, Wenstrom K. 2005. Williams Obstetrics 23rd Edition. McGraw-Hill.

Cunningham F, Leveno, Bloom S, Hauth J, Gilstrap L, Wenstrom K. 2005. Obstetri William Edisi 21. McGraw-Hill.

Wiknjosastro H. 2009. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirihardjo.

Wiknjosastro H. 2009. Ilmu Bedah Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirihardjo.

Bagian Obstetri & Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Bandung. Obstetri Patologi. Bandung: Elstar Offset

Perdarahan Pasca Persalinan

Primer

Atonia Uteri

Inversio Uteri

Sekunder

Retensio Plasenta

Robekan Jalan Lahir

Gangguan Koagulasi

Infeksi

Plasenta yang Tertinggal

Blok VIII Modul 4 Kelainan Pasca Persalinan 43