kel 6 laporan enzim
DESCRIPTION
enzimTRANSCRIPT
1
Jedul
Judul praktikum
Tujuan
Landasan Teori
KELAS B
KELAS D
Kelompok 6
Anggota :
FARADHILA NUR S. 1111102000038
TIARA APRILIA 1111102000044
EUIS CHODIDJAH 1111102000046
ARINI EKA PRATIWI 1111102000051
RIFDA NAILIL M. 1111102000130
EVI NURUL H. 1111102000131
AGENG HASNA F. 1111102000088
RIZKA NURBAITI 1111102000091
MAW. KHAIRURRIJAL 1111102000102
PUTRI NUR H. 1111102000104
RAFYAN WAHYU P. 1111102000112
PRAKTIKUM BIOKIMIA KLINIS
“Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Aktivitas Enzim”
Program Studi Farmasi
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
2013
FARMASI V BD
1
I. Judul Praktikum
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Aktivitas Enzim
II. Tujuan dan Landasan Teori
i. Tujuan :
Memperlihatkan kecepatan reaksi enzimatik sampai suhu tertentu sebanding
dengan kenaikan suhu. Reaksi enzimatik mempunyai suhu optimum.
Membuktikan bahwa keasaman (pH) mempengaruhi kecepatan reaksi
enzimatik.
Membuktikan bahwa kecepatan reaksi enzimatik berbanding lurus dengan
konsentrasi enzim.
ii. Landasan Teori :
Enzim
Enzim adalah suatu protein yang mengikat zat lain yang bukan protein. Zat
tersebut disebut kofaktor atau kokatalis. kofaktor dapat berupa organik atau kofaktor
ion logam. kofaktor yang terikat kuat dengan proteinnya disebut gugus prostetik,
sedangkan kofaktor yang mudah lepas dari proteinnya disebut koenzim. agar enzim
bekerja, harus terdapat holoenzim yang merupakan penggabungan dari bagian
protein enzim yang disebut apoenzim atau feron dan koenzim atau agon.
Enzim adalah protein yang berfungsi sebagai katalisator, senyawa yang
meningkatkan kecepatan reaksi kimia. Ezim katalisator berikatan dengan reaktan,
yang disebut substrat, mengubah reaktan menjadi produk, lalu melepaskan produk.
Walaupun enzim dapat mengalami modifikasi selama urutan tsb, namu pada akhir
reaksi enzim kembali ke bentuk asalanya.
Enzim sebagai katalisator . suatu enzim berikatan dengan substrat reaksi
menjadi produk. Substrat berikatan dengan tempat pengikatan substrat spesifik yang
terdapat pada enzim melalui interaksi dengan residu asam amino enzim. Geometri
ruang yang diperukan untuk semua interaksi antara substrat dan enzim menyebabkan
2
setiap enzim selektif bagi substratnya, dan memastikan bahwa yang dihasilkan
hanyalah produk spesifik.
Tempat pengikatan substrat tumpang tindih dengan tempat katalitik enzim,
daerah pada enzim dimana reaksi berlangsung. Dalam tempat aktif, gugus fungsional
residu asam amino enzim, senyawa yang disebut koenzim, dan logam erat yang
melekat erat berpartisipasi dalam reaksi. Gugus fungsional di tempat aktif enzim
mengaktifkan substrat dan menurunkan energi yang dibutuhkan untuk membentuk
stadium antara reaksi yang berenergi tinggi (stadium transisi). Sebagian strategi
katalitik yang digunakan enzim, misalnya katalis asam basa umum, pembentukan zat
antara kovalen, san stabilisasi stadium transisi.
Kecepatan suatu enzim dapat dipengaruhi oleh konsentrasi substrat, produk,
aktivator, dan inhibitor. Produk dan inhibitor fisiologis reversibel lainnya dapat
berkompetisi dengan substrat untuk berikatan pada tempat aktif, sehingga reaksi
menjadi lebih lambat.
Keberadaan enzim juga memungkinkan tubuh mengontrol kecepatan reaksi.
Horon dan faktor pengatur lainnya mengubah kecepatan langkah reaksi kunci pada
jalur metabolik dengan mempengaruhi aktifitas enzim. Kecepatan, spesifitas, dan
kendali pengaturan terhadapa reaksi enzim adalah akibat dari urutan asam amino
spesifik yang unik membentuk enzim serta mengikat dan mengaktifkan molekul
substrat.
Enzim dihasilkan oleh organ-organ hewan dan tanaman yang secara katlitik
menjalankan berbagai reaksi seerti pemecahan hidrolisis, oksidasi, reduksi,
isomerasi, adisi, transfer radikal dan kadang-kadang pemutusan rantai karbon.
Kebanyakan enzim yang terdaat di dalam alat-alat atau organ-organ organisme
hidup berupa larutan kolodial dalam cairan tubuh, seperti air ludah, darah,cairan
lambung dan caiiran pankreas. enzim terdapat di bagian dalam sel. Hal ini terkait erat
dengan protoplasma. Enzim juga ada di dalam mitokondria dan ribosom.
Beberapa enzim, seperti pepsin, tripsin, dan kimotripsin yang hanya terdiri
atas satu rantai polipeptida disebut enzim monomerik. Enzim lain, seperti
heksokinase, laktat dehidrogenase, enolase, dan piruvat kinase yang terdiri atas dua
atau lebih rantai polipeptida disebut enzim oligomerik. Seperti protein, enzim dpat
mengalami denaturasi, misalnya akibat pengaruh pemanasan, gelombang ultrasonik
dan radiasi ultraviolet atau pengaruh penambahan asam, basa dan pelarut organik
3
tertentu. Denaturasi ini menyebabkan enzim menjadi tidak aktif atau tidak dapat
bekerja.
Pati
Pati adalah salah satu senyawa cadangan di dalam tumbuhan. Pati alami terdiri
dari dua senyawa yang dapat dipisahkan, yaitu amilosa dan amilopektin. Amilosa
terdiri dari rantai panjang unit-unit glukosa yang tidak bercabang dan saling
berikatan melalui ikatan a-(1,4), sedangkan amilopektin terdiri dari rantai glukosa
yang bercabang pada ikatan a-(1,4) dan a-(1,6). Enzim yang dapat menghidrolisis
pati terdiri dari 3 kelompok. Enzim a-amilase (a-1,4-glucan glucanohydrolase),
disebut juga endoamilase. Enzim a-amilase menghidrolisis iktan a-1,4-glukosidik
pada amilosa dan amilopektin (tetapi bukan pada maltosa hasil hidrolisis) secara
random untuk menghasilkan dekstrin dan maltosa. selanjutnya produk tersebut akan
dihidrolisi lebih lanjut oleh enzim glukogenik lain menjadi glukosa : anzim a-amilase
(a-1,4- glucan maltohydrolase), disebut juga eksoamilase. Enzim tersebut
menghidrolisis rantai pada pilo sakarida melalui pemutusan rantai pada unit-unit
maltosa dari ujung nonpereduksi pada rantai. Enzim glukoamilase (a-1,4-glucan
glucohydrolase) diwakili oleh pullulanase dan isoamilase.
4
Amilum dalam kehidupan sehari-hari dikenal sebagi zat pati atau zat tepung,
yang merupakan suatu glukosan dan cadangan persediaan makanan bagi tanaman.
Dalam tanaman, amilum terutama terdapat pada akar, umbi, atau biji tanaman.
Poliosa ini merupakan sumber kalori yang sangat penting untuk tubuh, karena
sebagian besar karbohidrat dalam makanan terdapat dalam bentuk amilum. Rasa
amilum tidak manis dan terbentuk pada proses asimilasi dalam tanaman. Tanaman
yang banyak mengandung amilum antara lain ubi kayu, kentang, sagu, dan jenis
gandum.
Amilum praktis tidak larut dalam air dingin, tetapi apabila dipanaskan dengan
air yang cukup, ternyata zat terdiri dari dua fraksi. Fraksi yang larut air disebut
amilosa dan fraksi yang tidak larut air disebut amilopektin. Kadar amilosa dalam
berbagai jenis amilum umumnya tidak sama sekitar 10-25%.
Amilosa dengan penambahan iodium memberikan warna biru yang segera
hilang bila dipanaskan dan timbul kembali steleah didinginkan. Secara osmotik,
bobot molekul amilosa diketahui 10.000-50.000. Struktur kimia amilosa berupa
rantai tidak bercabang dan tersusun atas satuan a-D-glukopiranosa, dengan iktan
ikatan glikosida 1,4. Berdasarkan susunan tersebut, amilosa dapat dianggap sebagai
polimer glukosa atau polimer maltosa. Suatu penelitian membuktikan bahwa strukur
molekul amilosa buakan berbentuk rantai lurus, melainkan berupa polimer berantai
panjang berbentuk spiral (a-heliks).
Hidrolisis amilum dengan asam mineral encer akan menghasilkan molekul-
molekul glukosa. Namun, bila amilum dihidrolisi dengan amilase, bukan glukosa
yang diperoleh, tetapi maltosa. Hidrolisis amilum oleh pengaruh enzim amilase
menjadi molekul-molekul maltosa tidak berjalan spontan, tetapi bertahap dengan
hasil antar berua dekstrin. Tiga buah dekstrin yang penting sebagi hasil antar
hidrolisis amilum adalah amilodekstrin, yang dengan iodium memberikan warna
ungu; eritrodekstrin, yang dengan iodium memberikan warna merah; dan
akrodekstrin, yang dengan iodium tidak memberikan warna. Tidak seluruh amilum
dapat diubah menjadi maltosa oleh pengaruh enzim amilase.
5
Faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan enzim:
a. pH ( Derajat Keasaman)
Enzim sangat peka terhadap perubahan derajat keasaman dan kebasaan (pH)
lingkungannya. Enzim dapat nonaktif bila berada dalam asam kuat atau basa kuat.
Perubahan pH dapat mempengaruhi perubahan asam amino kunci pada sisi aktif
enzim, sehingga menghalangi sisi aktif bergabung dengan substratnya. Setiap enzim
dapat bekerja baik pada pH optimum, masing-masing enzim memiliki pH optimum
yang berbeda.
Pada umumnya, enzim intrasel bekerja efektif pada kisaran pH 7,0. Jika pH
dinaikkan atau diturunkan di luar pH optimumnya, maka aktivitas enzim akan
menurun dengan cepat. Tetapi, ada enzim yang memiliki pH optimum sangat asam,
seperti pepsin, dan agak basa, seperti amilase. Pepsin memiliki pH optimum sekitar 2
(sangat asam). Sedangkan, amilase memiliki pH optimum sekitar 7,5 (agak basa).
Seperti protein pada umumnya, struktur ion enzim tergantung pada pH
lingkungannya. Enzim dapat berbentuk ion positif, ion negatif, atau ion bermuatan
ganda. Dengan demikian perubahan pH lingkungan akan berpengaruh terhadap
efektivitas bagian aktif enzim dalam membentuk kompleks enzim substrat.
Disamping pengaruh terhadap struktur ion pada enzim, pH rendah, atau pH tinggi
dapat pula menyebabkan terjadinya proses denaturasi dan ini akan mengakibatkan
menurunnya aktifitas enzim. Terdapat suatu nilai pH tertentu atau daerah pH yang
6
dapat menyebabkan kecepatan reaksi paling tinggi. pH tersebut dinamakan pH
optimum.
b. Suhu
Tiap kenaikan suhu 10º C, kecepatan reaksi enzim menjadi dua kali lipat. Hal
ini berlaku dalam batas suhu yang wajar. Kenaikan suhu berhubungan dengan
meningkatnya energi kinetik pada molekul substrat dan enzim. Pada suhu yang
lebih tinggi, kecepatan molekul substrat meningkat. Sehingga, pada saat bertubrukan
dengan enzim, energi molekul substrat berkurang. Hal ini memudahkan molekul
substrat terikat pada sisi aktif enzim.
Peningkatan suhu yang ekstrim dapat menyebabkan atom-atom penyusun
enzim bergetar sehingga ikatan hidrogen terputus dan enzim terdenaturasi.
Denaturasi adalah rusaknya bentuk tiga dimensi enzim dan menyebabkan enzim
terlepas dari substratnya. Hal ini, menyebabkan aktivitas enzim menurun, denaturasi
bersifat irreversible (tidak dapat balik). Setiap enzim mempunyai suhu optimum,
sebagian besar enzim manusia mempunyai suhu optimum 37º C. Sebagian
besar enzim tumbuhan mempunyai suhu optimum 25º C.
Karena reaksi kimia dapat dipengaruhi oleh suhu, maka reaksi yang
menggunakan katalis enzim dapat dipengaruhi oleh suhu. Pada suhu rendah reaksi
kimia berlangsung lambat, sedangkan pada suhu yang lebih tinggi reaksi berlangsung
lebih cepat. Disamping itu, karena enzim itu adalah suatu protein, maka kenaikan
suhu dapat menyebabkan terjadinya proses denaturasi. Apabila terjadi proses
denaturasi, maka bagian aktif enzim akan terganggu dan dengan demikian
konsentrasi efektif enzim menjadi berkurang dan kecepatan reaksinya pun akan
menurun. Kenaikan suhu sebelum terjadinya proses denaturasi dapat menaikkan
kecepatan reaksi.
Peningkatan suhu meningkatkan reaksi enzim yang terkatalisis dan yang tidak
terkatalisis dengan cara meningkatkan energi kinetic dan frekuensi tubrukan dari
besarnya molekul. Bagaimanapun energy panas dapat meningkatkan energy kinetic
dari enzim ke titik yang mana kelebihan energy pelindung untuk dapat mengganggu
interaksi non-kovalen yang berfungsi mengatur struktur tiga dimensi dari enzim.
Cincin polipeptida kemudian mulai terbuka atau terdenaturasi, yang disertai dengan
pengurangan kecepatan dari aktivitas katalisis. Pada temperatur tertentu sebuah
enzim berada dalam keadaan stabil, konformasi, kompetensor katalisis tergantung
7
suhu normal sel, yang mana enzim itu berada. Enzim pada umumnya stabil pada
temperatur 45-55°C. Sebaliknya, enzim pada mikroorganisme termofilik yang berada
pada sumber mata air panas gunung berapi, atau pada lubang hidrotermal bawah laut
dapat stabil pada suhu kurang lebih 100°C.
Enzim tersusun oleh protein, sehingga sangat peka terhadap suhu. Peningkatan
suhu menyebabkan energi kinetik pada molekul substrat dan enzim meningkat,
sehingga kecepatan reaksi juga meningkat. Namun suhu yang terlalu tinggi dapat
menyebabkan rusaknya enzim yang disebut denaturasi, sedangkan suhu yang terlalu
rendah dapat menghambat kerja enzim. Pada umumnya enzim akan bekerja baik
pada suhu optimum, yaitu antara 30° – 40°C.
c. Konsentrasi
Pada reaksi dengan konsentrasi enzim yang jauh lebih sedikit daripada
substrat, penambahan enzim akan meningkatkan laju reaksi. Peningkatan laju reaksi
ini terjadi secara linier. Akan tetapi, jika konsentrasi enzim dan substrat sudah
seimbang, laju reaksi akan relatif konstan. Penambahan konsentrasi substrat pada
reaksi yang dikatalisis oleh enzim awalnya akan meningkatkan laju reaksi. Akna
tetapi, setelah konsentrasi substrat dinaikan lebih lanjut, laju reaksi akan mencapai
titk jenuh dan tidak bertambah lagi. Setelah mencapai titik jenuh, penambahan
kembali konsentrasi substrat tidak berpengaruh terhadap reaksi.
Pada keadaan laju reaksi oleh konsentrasi substrat, penambahan konsentrasi
enzim dapat meningkatkan laju reaksi. Peningkatan laju reaksi oleh peningkatan
konstrasi enzim akan meningkatkan laju reaksi hingga terbentuk titik jenuh baru.
Jumlah enzim menentukan lamanya waktu yang digunakan untuk mecapai
keseimbangan. bila menggunakan enzim yang masih murni dan belum rusak,
kecepatan reaksi atau aktivitas enzim berbanding lurus dengan konsentrasi enzimnya,
walaupun konsentrasi substrat dapat membatasi aktivitasnya.
Jika pH dan suhu suatu sistem enzim dalam keadaan konstan serta jumlah
substrat berlebihan, maka laju reaksi sebanding dengan jumlah enzim yang ada. jika
pH, suhu, dan konsentasi enzim dalam keadaan konstan, maka reaksi awal hingga
batas tertentu sebanding dengan jumlah substrat yang ada. Jika enzim emerlukan
suatu koenzim atau ion kofaktor, maka konsentrasi substrat dapat menentukan laju
reaksi.
8
III. Metodologi Praktikum
a. Pengenceran liur
Prosedur kerja
Membuat liur dengan pengenceran 100x :
Menampung air liur sebanyak 1 ml
Kemudian menambahkannya dengan aquades sebanyak 99 ml
Menghomogenkan campuran tersebut
Membuat liur dengan pengenceran 200x :
Mengambil 10 ml (dari pengenceran liur 100x)
Kemudian menambahkannya dengan aquades sebanyak 10 ml
Menghomogenkan campuran tersebut
Membuat liur dengan pengenceran 400x :
Mengambil 10 ml (dari pengenceran liur 200x)
Kemudian menambahkannya dengan aquades sebanyak 10 ml
Menghomogenkan campuran tersebut
Membuat liur dengan pengenceran 800x :
Mengambil 10 ml (dari pengenceran liur 400x)
Kemudian menambahkannya dengan aquades sebanyak 10 ml
Menghomogenkan campuran tersebut
b. Pengaruh suhu
Alat :
- Tabung reaksi
- Mikropipet
- Spektrofotometer
- Inkubator
- Pipet tetes
- Stopwatch
- Waterbath
- Beaker glass
- Gelas ukur
Bahan :
- Amilase liur, diencerkan 100 x
- Larutan pati 0,4 mg/ml dan Larutan Iodium
9
c. Pengaruh pH
Alat :
- Tabung reaksi
- Mikropipet
- Spektrofotometer
- Inkubator
- Pipet tetes
- Stopwatch
- Waterbath
- Beaker glass
- Gelas ukur
d. Pengaruh konsentrasi enzim
Alat :
- Tabung reaksi
- Mikropipet
- Spektrofotometer
- Inkubator
- Pipet tetes
- Stopwatch
- Waterbath
- Beaker glass
- Gelas ukur
Bahan :
- Amilase liur, diencerkan 100 x
- Larutan pati 0,4 mg/ml pada berbagai pH
(1, 3, 5, 7, 11)
- Larutan Iodium
Bahan :
- Liur dengan pengenceran 100x, 200x,
400x, dan 800x
- Larutan pati 0,4 mg/ml dan Larutan Iodium
10
IV. Skema Kerja
a. Pengaruh suhu
Menambahkan Aquades pada setiap tabung blangko dan uji sebanyak 8
ml dari tiap suhu
Membaca serapan (A) tiap tabung pada λ=680 nm
Blangko
Suhu 60°C Suhu 37°C
Blangko Uji
Suhu 100°C
Blangko Blangko Blangko Uji Uji Uji Uji
Menambahkan Pati 1 ml pada setiap tabung blangko dan uji dari setiap suhu
Menginkubasi pasangan tabung dari tiap suhu minimal 5 menit
Menambahkan liur dengan pengenceran 100x sebanyak 200 µl hanya
pada tabung uji dari setiap suhu
Mencampur baik-baik (pati ke dalam liur), kemudian menginkubasinya
selama 1 menit
Menambahkan Larutan Iodium pada setiap tabung blangko dan uji
sebanyak 1 ml dari tiap suhu (untuk suhu 60°C dan 100°C,
melakukannya di luar pengangas)
Suhu 25°C Suhu 0°C
11
b. Pengaruh pH
Menambahkan Aquades pada setiap tabung blangko dan uji sebanyak 8
ml pada berbagai pH
Membaca serapan (A) tiap tabung pada λ=680 nm
Blangko
pH 7 pH 5
Blangko Uji
pH 11
Blangko Blangko Blangko Uji Uji Uji Uji
Menambah Pati 1 ml berdasarkan pH pada setiap tabung blangko dan uji
Menginkubasi pasangan tabung pada suhu 37°C min. 5 menit
Menambahkan liur dengan pengenceran 100x sebanyak 200 µl hanya
pada tabung uji dari setiap suhu
Mencampur baik-baik (pati ke dalam liur), kemudian menginkubasinya
selama 1 menit
Menambahkan Larutan Iodium pada setiap tabung blangko dan uji
sebanyak 1 ml pada berbagai pH
pH 3 pH 1
12
c. pengaruh konsentrasi enzim
Blangko
Pengenceran liur
100x
Pengenceran liur
200x
Pengenceran liur
400x
Pengenceran liur
800x
Blangko Uji Blangko Blangko Uji Uji Uji
Menambahkan Larutan pati sebanyak 1 ml pada setiap tabung blangko dan uji
tiap pengenceran liur
Menginkubasi pasangan tabung pada suhu 37°C, minimal 5 menit
Mencampurkan baik-baik, kemudian menginkubasinya selama 1 menit
Menambahkan liur berdasarkan pengencerannya, hanya pada tabung uji sebanyak 200 µl
Menambahkan Larutan Iodium pada setiap tabung blangko dan uji
sebanyak 1 ml pada tiap pengenceran
Menambahkan Aquades pada setiap tabung blangko dan uji sebanyak 8 ml
pada tiap pengenceran
Membaca serapan (A) tiap tabung pada λ=680 nm
13
V. Hasil
Hasil Pengaruh Suhu Terhadap Reaksi Enzimatis
Suhu (°C) AB AU ∆A/ menit
(V)
0 0,000 0,000 0
28 0,000 0,008 -0,008
37 0,000 0,001 -0,001
60 0,000 -0,036 0,036
100 0,010 -0,003 0,013
Hasil Pengaruh pH terhadap reaksi Enzimatis
pH AB AU Δ A / menit (v)
1 0,474 0,473 0,001
3 0,839 0,704 0,135
5 0,044 0,018 0,026
7 0,037 0,025 0,012
11 0,201 0,167 0,034
-0.020
-0.010
0.000
0.010
0.020
0.030
0.040
0 50 100 150
∆A
/ m
en
it (
V)
Suhu (oC)
Kurva Hubungan Suhu Terhadap Kecepatan Reaksi Enzimatik
kurva hubungan suhuterhadap kecepatanreaksi enzimatik
Keterangan :
AB : serapan blangko
AU : serapan uji
∆A/ menit (v) = AB – AU
Keterangan :
AB : serapan blangko
AU : serapan uji
∆A/ menit (v) = AB – AU
14
Hasil Pengaruh konsentrasi terhadap reaksi Enzimatis
Pengenceran Konsentrasi AB AU Δ A / menit
(v)
100x 0,01 0,032 0,056 -0,024
200x 0.005 0,032 0,064 -0,032
400x 0,0025 0,032 0,064 -0,032
800x 0,00125 0,032 0,074 -0,042
0.000
0.020
0.040
0.060
0.080
0.100
0.120
0.140
0.160
0 5 10 15
∆A
/ m
en
it (
V)
pH
Kurva Hubungan PH Terhadap Kecepatan Reaksi Enzimatik
Kurva Hubungan PHTerhadap KecepatanReaksi Enzimatik
Keterangan :
∆A/ menit (v) = AB – AU
Konsentrasi =
-0.050
-0.040
-0.030
-0.020
-0.010
0.000
0 200 400 600 800 1000
∆A
/ m
enit
(V
)
Pengenceran (x)
Kurva Hubungan Konsentrasi Enzim Terhadap Kecepatan Reaksi Enzimatik
Kurva HubunganKonsentrasi EnzimTerhadap KecepatanReaksi Enzimatik
15
VI. Pembahasan
Pada praktikum ini kami melakukan percobaan terhadap faktor-faktor yang
mempengaruhi aktivitas enzim amylase yang terdapat pada air liur dalam memecah
larutan pati. Faktor yang mempengaruhi aktivitas enzim diantaranya adalah suhu,
konsentrasi pH, dan konsentrasi enzim.
Pengaruh Suhu
Suhu mempengaruhi aktivitas katalisis enzim. Suhu ini harus dalam keadaan
optimum agar terjadi benturan antara molekul enzim (E) dan substrat (S). Akibatnya
kompleks E-S yang sangat penting dalam reaksi enzimatik akan terbentuk, sehingga
produk (P) juga akan terbentuk.
Jika suhu jauh lebih tinggi dari suhu optimum, maka akan menyebabkan enzim
tersebut terdenaturasi. Meskipun benturan E dan S semakin sering, namun kompleks E-S
tidak terbentuk karena enzim terdenaturasi. Akibatnya, pembentukan P berkurang.
Denaturasi enzim dapat terjadi ireversibel teritama bila suhu lingkungan jauh melampaui
suhu optimum.
Pada percobaan mengenai pengaruh suhu terhadap aktivitas enzim, yang pertama
dilakukan adalah pengenceran air liur hingga 100 kali. Disini digunakan larutan ti
e i t n i nt me i t tivit en im m e t n ti im n e
m t n e i e n m n em i n iin i e m menit
n n m in -masng suhu dibuat blanko dan uji ete
iin i t n ti i m n e m m i i em i n iin i em i
e m menit n it m n t n i i m m m m e t m in -
m in t n nt n e i i i n i en ngas,
perlakuan tersebut bertujuan untuk menghindari terjadinya bumping selama proses
pemanasan. Setelah itu dilakukan pengukuran serapan dengan spektrofotometer pada
panjang gelombang 680 nm, dan dihitung kecepatan reaksi enzimatik serta dibuat kurva
yang menghubungkan kecepatan reaksi dengan suhu.
Berdasarkan data hasil pengamatan, perubahan absorbansi per menit yang
diperoleh dari absorbansi larutan blanko dan absorbansi larutan uji dapat dilihat dari
kurva tersebut. Adapun kurva hasil pecobaan memperli t n e i i en im
em in e t ei in e t m n ini te i t en i n i
16
in ini te i en n e te m in mi n e e n
mem ent m n en i n i in te i en n n
reaksi yang diakibatkan oleh benturan antara enzim dan substrat yang disebabkan karena
enzim mengalami denaturasi. Jika suhu jauh lebih dari suhu optimum, maka kompleks E-
S tidak terbentuk walapun sering terjadi benturan E dan S sehingga produk juga makin
sedikit dan ini terlihat dari kurva laju reaksi yang semakin menurun.
Dari hasil percobaan yang didapatkan, kami tidak dapat membuktikan bahwa
keasaman mempengaruhi kecepatan reaksi enzimatik. Hal ini dapat disebabkan karena
kurang ketelitian kami dalam melakukan prosedur pengerjaan praktikum ini. Selain itu
juga dapat disebabkan oleh spektrofotometri yang tidak sesuai atau error. Sehingga,
i t n i n i ni i ∆A/ menit n men i min
Pengaruh pH
Pada pencernaan, saliva berperan dalam membantu pencernaan karbohidrat.
Enzim amilase merupakan golongan enzim yang dapat merombak pati, glikogen dan
polisakarida lain. Enzim amilase dpat memecah karbohidrat dari bentuk majemuk
menjadi yang lebih sederhana. Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kerja
enzim, sehingga enzim tidak dapat melakukan akitivitasnya dengan baik. Faktor-faktor
tersebut yaitu : pH, konsentrasi, dan suhu.
Pada praktikum kali ini dilakukan pengujian aktivitas enzim terhadap pH. Enzim
yang digunakan yaitu enzim amilase yang terdapat di saliva atau air liur. Dilakukan
pengujian enzim amilase terhadap beberapa pH, yaitu pH 1, pH 3, pH 5, pH 7, pH 11.
Tiap pH dilakukan pengujian dengan dua tabung, yaitu tebung pertama sebagai
blanko dan tabung kedua sebagai uji. Tabung yang sebagai blanko dan uji di isi dengan
larutan pati berdasarkan pH nya. Lalu tabung tersebut di inkubasi pada suhu 37o
selama 5
menit. Setelah itu masing-masing tabung di tambahkan dengan air liur dengan
pengenceran 100x, menghasilkan larutan bening. Yang merupakan sebagai enzim
amilase. Lalu, di inkubasi pada suhu 37o
selama 1 menit. Dengan tujuan untuk
mengkondisikan enzim tersebut tetap berada seperti di dalam tubuh. Kemudian
ditambahkan larutan iodium ke dalam setiap tabung. Larutan iodium tersebut sebagai
indikator warna untuk menandai aktivitas enzim amilase pada larutan pati. Menghasilkan
warna kuning pada larutan uji dengan pH 5 dan pH 7, lalu pH 1,3,11 berwarna biru.
Warna kuning menandakan bahwa larutan pati tersebut sudah berubah menjadi maltosa.
Sedangkan warna biru menandakan bahwa larutan pati tetap menjadi polisakarida. Pada
17
larutan blanko setelah penambahan larutan iodium menghasilkan warna biu. Yang berarti
menandakan masih terdapatnya polisakarida. Selanjutnya ditambahkan aquadest di setiap
tabungnya. Dengan tujuan untuk menghidrolisis pati. Setelah itu dilakukan pembacaan
serapan tiap tabungnya menggunakan alat spektrofotometer UV-Vis bouble beem.
Hasil pembacaan tersebut menunjukkan bahwa pada pH 3 memiliki aktivitas
en im n i en n ∆A/menit v e n n ∆A/menit
∆A/menit ∆A/menit n ∆A/menit
0,034. Namun berdasarkan literatur pH yang optimum enzim amilase pada saliva yaitu
pH 6-7. pH tersebut enzim amilase bekerja dengan optimum.
Pengaruh Konsentrasi Enzim
Berdasarkan teori kecepatan reaksi enzimatik berbanding lurus dengan konsentrasi
enzim, sehingga peningkatan konsentrasi enzim akan meningkatkan kecepatan reaksi
enzimatik dan sebaliknya penurunan konsentrasi enzim dapat menurunkan kecepata
reaksinya. Teori ini diperkuat oleh teori yang mengatakan bahwa frekuensi tumbukan
molekul berbanding lurus dengan konsentrasi molekul-molekul yang bersangkutan.
Untuk dua molekul yang berbeda A dan B, ferkuensi tumbukan antara keduanya akan
menjadi dua kali lipat jika konsentrasi A atau B dinaikkan dua kali lipat. Jika konsentrasi
A dan B digandakan , kemungkinan tumbukan akan meningkatat empat kali lipat.
Untuk reaksi kimia yang berlangsung pada suhu tetap dan melibatkan satu
molekul A dan satu molekul B,
A + B P
Jumlah molekul yang memiliki energi kinetik memadai untuk mengatasi
hambatan energi aktivasi akan tetap. Dengan demikian, jumlah tumbukan dengan energi
yang memadai untuk menghasilkan produk P akan berbanding lurus dengan jumlah
tumbukan antara A dan B, dan karenanya, konsentrasi molar keduanya , yang ditandai
dengan tanda kurung besar,
Laju [ ][ ]
Pada percobaan pengaruh konsentrasi enzim ini, konsentrasi enzim amylase dari
air liur yang berbeda-beda didapatkan dari pengenceran larutan air liur. Larutan air liur
diencerkan menjadi 100x, 200x, 400x dan 800x. Konsentrasi yang di dapat yaitu 0,01;
0,005; 0,0025; dan 0,00125.
Dari hasil percobaan pengaruh konsentrasi enzim terlihat pada pergerakan laju
reaksi dari 0,0025 hingga 0,005 konstan dimana seharusnya laju reaksi semakin
18
meningkat seiring dengan peningkatan konsentrasi dari enzim. Ketidaksesuaian hasil
praktikum dengan teori tersebut dapat terjadi karena larutan uji maupun larutan blanko
telah terjai degradasi atau penguraian substrat yang lebih lama karena pengukuran
absorbansi pada larutan uji tersebut tidak dilakukan segera setelah metode persiapan
larutan uji telah selesai dilakukan. Kecepatan reaksi enzimatik secara keseluruhan dari
konsentrasi liur 0,00125 sampai 0,01 mengalami peningkatan seiring dengan peningkatan
konsentrasi enzim (liur). Kondisi tersebut sesuai dengan pernyataan yang tertera
diliteratur sehingga hasil pengujian pengaruh konsentrasi enzim yang kami lakukan dapat
membuktikan teori yang menyebutkan hubungan antara laju reaksi dengan konsentrasi
enzim adalah berbanding lurus. Jadi, makin besar konsentrasi enzim, maka makin cepat
laju reaksi yang tertera pada kurva .
Hasil absorbasi yang didapat bernilai minus, karena absorbasi dari blako
spektrometri (aquades) memilki daya serap yang lebih besar dari larutan yang dianalisis.
Hal ini terjadi akibat pengenceran liur yang dilakukan terlalu besar sehingga
absorbansinya terdeteksi sangat kecil.
Pada pengujian pengaruh konsentrasi enzim, semua larutan uji berubah menjadi
wana kuning setelah pemberian liur dan iodium namun memiliki perbedaan dalam
intensitas warnanya pada masing-masing konsentrasi, dimana warna kuning yang paling
pekat (kuning –kecoklatan) adalah liur dengan konsentrasi 0,00125 ml dan warnanya
semakin memudar seiring dengan peningkatan konsentrasi enzimnya. Hal tersebut sesuai
dengan teori yang menyatakan Semakin sedikit enzim yang berperan memecah amilum
maka akan semakin banyak amilum yang tidak terhidrolisis dan warna yang dihasilkan
juga akan semakin pekat.
Reaksi pada pengujian anatara pati dan liur (enzim amylase ) adalah sebagai
berikut:
Pati (amilum) + Enzim amylase hidrolisis
Disakarida (maltosa)
19
VII. Kesimpulan
Berdasarkan praktikum kali ini, dapat disimpulkan bahwa :
Laju reaksi dari enzim semakin cepat ei in e t m n m n
en i n i in te i en n n e i n
diakibatkan oleh benturan antara enzim dan substrat yang disebabkan karena enzim
mengalami denaturasi.
Hasil pengujian pengaruh konsentrasi terhadap aktivitas enzim tidak sesuai dengan
teori, seharusnya konsentrasi berbanding lurus dengan peningkatan aktivitas enzim.
Kemungkinan hal ini disebabkan oleh penguraian substrat karena pengukuran
absorbansi tidak dilakukan segera setelah penyiapan bahan uji.
Pada pengujian pengaruh pH kami tidak dapat membuktikan bahwa keasaman
mempengaruhi kecepatan reaksi enzimatik. Hal ini dapat disebabkan karena kekurang
telitian praktikan atau kemungkinan adanya error pada alat. PH optimum enzim
berdasarkan pengujian juga tidak sesuai dengan literatur yang ada.
20
LAMPIRAN FOTO
A. Pengaruh Suhu
Gambar 1. Pengadukan Air Liur yang Dicampur dengan Aquades
Gambar 2. Proses Pengenceran Air Liur
Gambar 3. Hasil Pengenceran Air Liur
Gambar 4. Pati Sebelum DItambahkan Air
Liur
Gambar 8. Proses Inkubasi Pati pada Suhu
00C
Gambar 9. Proses Inkubasi Pati pada Suhu
270C
Gambar 5. Alat Inkubasi 0oC (Termos)
Gambar 6. Alat Inkubasi 37oC
Gambar 7. Alat Inkubasi 60oC
21
Gambar 10. Proses Inkubasi Pati pada Suhu
370C
Gambar 11. Proses Inkubasi Pati pada Suhu
600C
Gambar 12. Proses Inkubasi Pati pada Suhu
1000C
Gambar 13. Pasca Penambahan Air Liur
Suhu 270C
Gambar 14. Pasca Penambahan Air Liur
Suhu 370C
Gambar 15. Pasca Penambahan Air Liur
Suhu 600C
Gambar 16. Pasca Penambahan Air Liur
Suhu 600C
Gambar 17. Sampel+Blanko 250C Siap Uji
dengan Spektrofotometer
Gambar 18. Sampel+Blanko 370C Siap diuji
dengan Spektrofotometer
22
Gambar 19.
Sampel+Blanko 600C Siap diuji dengan Spektrofotometer
Gambar 20.
Sampel+Blanko 1000C Siap diuji dengan Spektrofotometer
Gambar 21.
Sampel+Blanko 1000C Siap diuji dengan Spektrofotometer
Gambar 21. Alat Spektrofotometer
23
B. Pengaruh pH
Gambar 1. Hasil Pengenceran 100x Air Liur
Gambar 2. Larutan Pati dengan pH
1,3,5,7,11.
Gambar 6. Larutan Blanko+Aquades
Gambar 3. Proses Inkubasi
Gambar 5. Penambahan Larutan Iodium
Gambar 4. Penambahan Larutan Air Liur
Gambar 7.
Larutan Uji Siap Diuukur dengan Spektrofotometer
Gambar 8.
Pengukuran dengan Spektrofotometer
24
C. Pengaruh Konsentrasi
Gambar 1.
Hasil Pengenceran Air Liur (100x, 200x, 400x, 800x)
Gambar 2.
Pasca Injeksi Air Liur pada Larutan Pati berPH
Gambar 4.
Larutan Blanko dan Sampel Siap diuukur dengan
Spektrofotometer
Gambar 3.
Proses Penambahan Aquades pada Larutan Pati BerpH
Gambar 5.
Pengukuran dengan Spektrofotometer
25
Daftar Pustaka
Sumardjo, Damin. 2006. Pengantar Kimia: Buku Panduan Kuliah Mahasiswa Kedokteran
dan Program Strata I Fakultas Bioeksakta. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Brahm. 1996. Biokimia Kedokteran Dasaar : Sebuah Pendekatan Klinis. Jakarta : Penerbit
EGC.
Gandjar, Indrawati. 2006. Mikologi : Dasar dan Terapan. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
Aziz, Pradhana. 2008. Enzim dan factor-faktor yang mempengaruhi laju kerja enzim.
Biochemical Experiment .Thenawijaya, Maggy. 1988. Dasar-dasar Biokimia. Jakarta:
Erlangga.
Sadikin, Mohamad. 2002. Biokimia Enzim. Jakarta : Widya Medika