refarat hiv anak

Upload: ivana-lms

Post on 03-Jun-2018

255 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 8/12/2019 Refarat HIV Anak

    1/34

    1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    1.1 Latar BelakangPada penelitian mengenai pengobatan dan manajemen HIV ditemukan kenaikan

    insidensi penularan HIV pada anak, terutama pada negara berkembang seperti Indonesia.

    Diperkirakan pada tahun 2004, 640.000 anak dibawah 15 tahun sudah tertular HIV. Terlebih

    karena HIV/AIDS, ibu yang terinfeksi meninggal sehingga diperkirakan 13 juta anak

    menjadi yatim-piatu dan estimasi angka anak yang akan menjadi yatim-piatu karena

    HIV/AIDS pada tahun 2010 adalah 19 juta anak.

    Sebagian besar infeksi HIV pada anak (90%) didapatkan dari transmisi vertikal yaitu

    penularan dari ibu ke bayi yang dikandungnya (mother-to-child transmission/MTCT),

    selebihnya mendapatkan HIV dari penularan melalui transfusi darah, penggunaan alat

    kesehatan yang tidak steril, dan hubungan seks (pelecehan seksual) (WHO, 2003).

    Penularan dari ibu ke anak terjadi karena wanita yang menderita HIV/AIDS sebagian besar

    (85%) berusia subur (15-44 tahun) sehingga terdapat resiko penularan infeksi yang bisa

    terjadi saat kehamilan (5-10%), proses persalinan (10-20%), dan sesudah kelahiran melalui

    ASI (5-20%). Angka transmisi ini akan menurun sampai kurang dari 2% bila pasangan ibu

    dan anak menjalani program pencegahan/prevention of mother-to-child transmission

    (PMTCT) sejak saat kehamilan dengan penggunaan obat antiretroviral untuk ibu sampai

    dengan penanganan setelah kelahiran. Faktor resiko terjadinya transmisi adalah jumlahvirus, kadar limfosit CD4, adanya infeksi lain (hepatitis, sitomegalovirus), ketuban pecah

    dini, kelahiran spontan/melalui vagina, prematuritas, dan pemberian ASI atau mixed feeding

    (pemberian ASI dan susu formula bersama-sama).

    Infeksi HIV pada anak memiliki progresi yang lebih cepat daripada infeksi pada orang

    dewasa, dan anak yang terinfeksi tetapi tidak diobati akan meninggal kurang dari 2 tahun

    setelah kelahiran. Diagnosis yang akurat dan penanganan yang cepat dapat memberikan

    hasil yang cukup dramatis dalam mengontrol perjalanan HIV pada anak.

  • 8/12/2019 Refarat HIV Anak

    2/34

    2

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1. DefinisiHIV atau Human Immunodeficiency Virus, adalah virus yang menyerang sistem

    kekebalan tubuh manusia dan kemudian menimbulkan AIDS (Acquired Immunodeficiency

    Syndrome). AIDS dapat diartikan sebagai kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan

    oleh menurunnya kekebalan tubuh akibat infeksi HIV. AIDS merupakan tahap akhir dari

    infeksi HIV.

    2.2. EpidemiologiSampai tanggal 30 Juni 2010, menurut catatan Departemen Kesehatan di seluruh

    Indonesia tercatat ada 21.770 kasus AIDS. Daerah yang melaporkan jumlah kasus AIDS

    terbanyak adalah DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Papua, Bali, Jawa Tengah,

    Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, Sumatera Utara, Riau, dan Sumatera Barat. Rate

    kumulatif kasus AIDS nasional sampai dengan 30 Juni 2010 adalah 9,44 per 100.000

    penduduk (berdasarkan data BPS 2009, jumlah penduduk Indonesia 230.632.700 jiwa). Rasio

    kasus AIDS antara laki-laki dan Perempuan adalah 3 : 1. Saat ini, dilaporkan adanya

    pertambahan kasus baru setiap 2 jam, dan setiap hari minimal 1 pasien meninggal karena

    AIDS di Rumah Sakit Ketergantungan Obat dan di Rumah Tahanan. Dan di setiap propinsi

    ditemuka adanya ibu hamil dengan HIV dan anak yang HIV atau AIDS. Cara penularan kasus

    AIDS dilaporkan melalui Heteroseksual (34,0%), IDU (58,2%), Perinatal (3,0%), dan Lelaki

    Seks Lelaki (2,2%). Proporsi kasus AIDS tertinggi dilaporkan pada kelompok umur 30-39

    tahun (42,5%), disusul kelompok umur 20-29 tahun (37,2%) dan kelompok umur 40-49 tahun

    (11,8%).

    HIV ditularkan melalui :

    a. Lewat cairan darah:- Melalui transfusi darah / produk darah yang sudah tercemar HIV.

  • 8/12/2019 Refarat HIV Anak

    3/34

    3

    - Lewat pemakaian jarum suntik yang sudah tercemar HIV, yang dipakai bergantian

    tanpa disterilkan, misalnya pemakaian jarum suntik dikalangan pengguna narkotika

    suntikan.

    - Melalui pemakaian jarum suntik yang berulangkali dalam kegiatan lain, misalnya :

    peyuntikan obat, imunisasi, pemakaian alat tusuk yang menembus kulit, misalnya alat

    tindik, tato, dan alat facial wajah.

    b. Lewat cairan sperma dan cairan vagina :

    HIV dapat menular melalui hubungan seks penetratif yang tidak aman sehingga

    memungkinkan tercampurnya cairan sperma dengan cairan vagina (untuk hubungan seks

    lewat vagina) ; atau tercampurnya cairan sperma dengan darah, yang mungkin terjadi dalam

    hubungan seks anal. Hubungan seksual secara anal lebih berisiko menularkan HIV, karena

    epitel mukosa anus relatif tipis dan lebih mudah terluka dibandingkan epitel dinding vagina,

    sehingga HIV lebih mudah masuk ke aliran darah. Dalam berhubungan seks vaginal,

    perempuan lebih besar risikonya daripada pria karena selaput lendir vagina cukup rapuh.

    Disamping itu karena cairan sperma akan menetap cukup lama didalam vagina, kesempatan

    HIV masuk ke aliran darah menjadi lebih tinggi. HIV di cairan vagina atau darah tersebut,

    juga dapat masuk ke aliran darah melalui saluran kencing pasangannya.

    Dalam satu kali hubungan seks secara tidak aman dengan orang yang terinfeksi HIV

    dapat terjadi penularan. Walaupun secara statistik kemungkinan ini antara 0,1% hingga 1%

    (jauh dibawah risiko penularan HIV melalui transfusi darah) tetapi lebih dari 90% kasus

    penularan HIV/AIDS terjadi melalui hubungan seks yang tidak aman.

    c. Lewat Air Susu Ibu :

    Penularan ini dimungkinkan dari seorang ibu hamil yang HIV positif, dan melahirkan

    lewat vagina; kemudian menyusui bayinya dengan ASI. Kemungkinan penularan dari ibu ke

    bayi (Mother-to-Child Transmission) ini berkisar hingga 30%, artinya dari setiap 10

    kehamilan dari ibu HIV positif kemungkinan ada 3 bayi yang lahir dengan HIV positif.

  • 8/12/2019 Refarat HIV Anak

    4/34

    4

    Faktor -faktor risiko yang mempercepat meningkatnya prevalensi infeksi HIV adalah :

    1. Tingginya pecandu narkotika suntik (IDU)

    2. Industri seks

    3. Kemiskinan

    4. Migrasi penduduk

    5. Kurangnya pengetahuan mengenai IMS / HIV/ AIDS

    6. Rendahnya pemakaian kondom pada aktiftias seksual berisiko

    7. Tingginya hubungan seksual di luar nikah dan pra nikah

    Fakta yang paling mengkhawatirkan adalah bahwa peningkatan infeksi HIV yang

    semakin nyata pada pengguna narkotika. Padahal sebagian besar ODHA yang merupakan

    pengguna narkotika adalah remaja dan usia dewasa muda yang merupakan kelompok usia

    produktif.

  • 8/12/2019 Refarat HIV Anak

    5/34

    5

  • 8/12/2019 Refarat HIV Anak

    6/34

    6

  • 8/12/2019 Refarat HIV Anak

    7/34

    7

  • 8/12/2019 Refarat HIV Anak

    8/34

    8

    2.3. Etiologi

    HIV-1 dan HIV-2 adalah keluarga Retrovridae dan masuk dalam genus Lentivirus.

    Virus ini pertama kali diisolasi oleh Montagnier dan kawan-kawan di Prancis pada tahun

    1983 dengan nama Lymphadenopathy Associated Virus (LAV), sedangkan Gallo di

    Amerika Serikat pada tahun 1984 mengisolasi (HIV) III. Kemudian atas kesepakatan

    internasional pada tahun 1986 nama virus dirubah menjadi HIV.

    Human Immunodeficiency Virus dalam bentuknya yang asli merupakan partikel yang

    inert, tidak dapat berkembang atau melukai sampai ia masuk ke sel target. Sel target virus

    ini terutama sel Limfosit T, karena ia mempunyai reseptor untuk virus HIV yang disebut

    CD-4. Didalam sel Limfosit T, virus dapat berkembang dan seperti retrovirus yang lain,

  • 8/12/2019 Refarat HIV Anak

    9/34

    9

    dapat tetap hidup lama dalam sel dengan keadaan inaktif. Walaupun demikian virus dalam

    tubuh pengidap HIV selalu dianggap infectious yang setiap saat dapat aktif dan dapat

    ditularkan selama hidup penderita tersebut.

    Secara morfologis HIV terdiri atas 2 bagian besar yaitu bagian inti (core) dan bagian

    selubung (envelop). Bagian inti berbentuk silindris tersusun atas dua untaian RNA

    (Ribonucleic Acid). Enzim reverce transcriptase dan beberapa jenis prosein. Bagian

    selubung terdiri atas lipid dan glikoprotein (gp 41 dan gp 120). Gp 120 berhubungan dengan

    reseptor Limfosit (T4) yang rentan. Karena bagian luar virus (lemak) tidak tahan panas,

    bahan kimia, maka HIV termasuk virus sensitif terhadap pengaruh lingkungan seperti air

    mendidih, sinar matahari dan mudah dimatikan dengan berbagai disinfektan seperti eter,

    aseton, alkohol, jodium hipoklorit dan sebagainya, tetapi telatif resisten terhadap radiasi dan

    sinar utraviolet.

    Virus HIV hidup dalam darah, saliva, semen, air mata dan mudah mati diluar tubuh.

    HIV dapat juga ditemukan dalam sel monosit, makrotag dan sel glia jaringan otak.

    2.4. Patogenesis

    Dasar utama patogenesis HIV adalah kurangnya jenis limfosit T helper/induser yang

    mengandung marker CD 4 (sel T 4). Limfosit T 4 merupakan pusat dan sel utama yang

    terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam menginduksi fungsi-fungsi

    imunologik. Menurun atau hilangnya sistem imunitas seluler, terjadi karena HIV secara

    selektif menginfeksi sel yang berperan membentuk zat antibodi pada sistem kekebalantersebut, yaitu sel limfosit T4. Setelah HIV mengikat diri pada molekul CD 4, virus masuk

    kedalam target dan melepas bungkusnya kemudian dengan enzim reverse transcryptae

    merubah bentuk RNA agar dapat bergabung dengan DNA sel target. Selanjutnya sel yang

    berkembang biak akan mengundang bahan genetik virus. Infeksi HIV dengan demikian

    menjadi irreversibel dan berlangsung seumur hidup.

    Pada awal infeksi, HIV tidak segera menyebabkan kematian dari sel yang di

    infeksinya tetapi terlebih dahulu mengalami replikasi (penggandaan), sehingga ada

  • 8/12/2019 Refarat HIV Anak

    10/34

    10

    kesempatan untuk berkembang dalam tubuh penderita tersebut, yang lambat laun akan

    menghabiskan atau merusak sampai jumlah tertentu dari sel limfosit T4. setelah beberapa

    bulan sampai beberapa tahun kemudian, barulah pada penderita akan terlihat gejala klinis

    sebagai dampak dari infeksi HIV tersebut. Masa antara terinfeksinya HIV dengan timbulnya

    gejala-gejala penyakit (masa inkubasi) adalah 6 bulan sampai lebih dari 10 tahun, rata-rata

    21 bulan pada anak-anak dan 60 bulan pada orang dewasa.

    Infeksi oleh virus HIV menyebabkan fungsi kekebalan tubuh rusak yang

    mengakibatkan daya tahan tubuh berkurang atau hilang, akibatnya mudah terkena penyakit-

    penyakit lain seperti penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri, protozoa, dan jamur dan

    juga mudah terkena penyakit kanker seperti sarkoma kaposi. HIV mungkin juga secara

    langsung menginfeksi sel-sel syaraf, menyebabkan kerusakan neurologis.

    2.5. Gejala KlinisGejala klinik tidak spesifik,menyerupai gejala infeksi virus pada umumnya. Bila

    keadaan berlanjut dan terdapat defisiensi imun yang berat, maka yang terlihat adalah gejala

    penyakit sekunder, sesuai dengan mikroba penyebabnya.

    Tampak pada umur 1 tahun 23 % dan 4 tahun 40 %. Gejala klinik : BBLR, Infeksi

    saluran nafas berulang, PCP (Pneumocystis carinii Pneumonia), sinusitis, sepsis, moniliasis

    berulang, hepatosplenomegali febris yang tidak diketahui penyebabnya Encephalopati

    (50%-90% terjadi sebelum obat anti retrovirus dipergunakan). (PCP). PCP adalah penyebab

    kematian pada bayi yang terinfeksi HIV yang paling tinggi.

    2.6. DiagnosaBayi yang terlahir dari ibu terinfeksi HIV selalu akan menunjukkan hasil tes HIV

    positif pada awal. Hal ini terjadi karena bayi dilindungi pada awal hidup oleh antibodi yang

    diberikan oleh ibunya. Jika bayi tidak terinfeksi HIV, antibodi ini akan hilang, paling lambat

    setelah usia 18 bulan. Namun, bila bayi tidak terinfeksi HIV, antibodi ibu akan mulai hilang

    waktu bayi berusia sembilan bulan. Pada usia sembilan bulan 74% bayi yang tidak terinfeksi

    akan menunjukkan hasil tes HIV yang negatif, dan angka ini menjadi 96% pada usia satu

  • 8/12/2019 Refarat HIV Anak

    11/34

    11

    tahun. Oleh karena itu, sebaiknya bayi dites HIV pada usia sembilan bulan. Hasil tes negatif

    pada saat itu berarti bayi tidak terinfeksi HIV. Apabila hasil tes positif, tes lagi pada usia satu

    tahun. Sekali lagi hasil tes negatif saat itu berarti bayi tidak terinfeksi HIV, tetapi bila hasil

    tetap positif, tes lagi tiga bulan kemudian, dan pada usia 18 bulan bila hasil positif pada usia

    15 bulan. Hasil positif pada usia 18 bulan berarti bayi memang terinfeksi HIV.

    Untuk mengetahui status HIV bayi lebih dini, darahnya dapat dites dengan alat viral

    load. Tes ini dapat dilakukan saat bayi berusia enam minggu atau lebih. Bila hasil tes ini

    positif, diusulkan dikonfirmasi dengan tes ulang. Jelas ada masalah dengan biaya untuk tes

    ini, yang dapat melebihi Rp 850.000 untuk satu kali tes. Karena ASI dari ibu terinfeksi HIV

    mengandung HIV, bayi juga dapat tertular melalui menyusui. Jadi usulan tes di atas hanya

    berlaku bila bayi tidak disusui. Apabila bayi diberi ASI, tes harus dilakukan enam minggu

    setelah ASI dihentikan. Hasil tes negatif sebelum ASI dihentikan harus diulangi enam

    minggu setelah ASI dihentikan; hasil tes viral load positif tetap menunjukkan bayi terinfeksi,

    tidak terpengaruh oleh apakah bayi disusui atau tidak.

  • 8/12/2019 Refarat HIV Anak

    12/34

    12

    Anak-anak berusia lebih dari 18 bulan bisa didiagnosis dengan menggunakan

    kombinasi antara gejala klinis dan pemeriksaan laboratorium. Anak dengan HIV sering

    mengalami infeksi bakteri berulang (kumat), gagal tumbuh, limfadenopati menetap,

    keterlambatan berkembang, sariawan pada mulut dan faring yang sulit untuk diobati.

    Terdapat dua klasifikasi yang bisa digunakan untuk mendiagnosis bayi dan anak dengan

    HIV yaitu menurut CDC dan WHO.

    CDC mengembangkan klasifikasi HIV pada bayi dan anak berdasarkan hitung

    limfosit CD4+ dan manifestasi klinis penyakit. Pasien dikategorikan berdasarkan derajat

    imunosupresi (1, 2, atau 3) dan kategori klinis (N, A, B, C, E). Klasifikasi ini

    memungkinkan adanya surveilans serta perawatan pasien yang lebih baik. Klasifikasi klinis

    dan imunologis ini bersifat eksklusif, sekali pasien diklasifikasikan dalam suatu kategori,

    maka klasifikasi ini tidak berubah meskipun terjadi perbaikan status karena pemberian

    terapi atau faktor lain.

    Klasifikasi HIV pada Anak Kurang dari 13 Tahun Berdasarkan Jumlah CD4 dan

    Persentasi Total Limfosit Terhadap Usia

    DEFINISI STATUS

    IMUNOLOGIS

    KATEGORI IMUNOLOGIS

    JUMLAH CD4+ DAN PERSENTASI TOTAL LIMFOSIT

    TERHADAP USIA

    1-5 tahun 6-12 tahun

    L % L % L %

    1. Nonsuppressed 1500 25 1000 25 500 25

    2. Moderate suppression 750-1499 15-24 500-999 15-24 200-499 15-243. Severe suppression

  • 8/12/2019 Refarat HIV Anak

    13/34

    13

    Klasifikasi HIV menurut CDC pada Anak Kurang dari 13 Tahun Secara Klinis

    DEFINISI STATUS

    IMUNOLOGIS

    Klasifikasi Secara Klinis

    N : Tanpa

    Gejaladan

    Tanda

    A : Gejala

    danTanda

    Ringan

    B : Gejala

    danTanda

    Sedang

    C : Gejala

    danTanda

    Berat

    1. Nonsuppressed N1 A1 B1 C1

    2. Moderate suppression A2 C2 B2 C2

    3. Severe suppression A3 C3 B3 C3

    Kategori N: pasien-pasien asimptomatik. Tidak ditemukan tanda maupun gejala yang

    menunjukkan adanya infeksi HIV, atau pasien hanya dapat ditemukan satu

    bentuk kelainan berdasarkan kategori A.

    Kategori A: pada pasien dapat ditemukan dua atau lebih kelainan, tetapi tidak termasuk

    kategori B atau C :

    oLymphadenopathy ( 0.5 cm pada dua tempat atau lebih, dua KGB yang bilateral

    dianggap sebagai satu kesatuan).

    oHepatomegali

    oSplenomegali

    oDermatitis

    oParotitis

    oURTI berulang atau persisten

    Kategori B: moderately symptomatic. Pasien menunjukkan gejala-gejala yang tidak

    termasuk ke dalam keadaan-keadaan pada kategori A maupun C, dan gejala-

    gejala yang terjadi merupakan akibat dari terjadinya infeksi HIV

    oAnemia

    oMeningitis bakterial, pneumonia, atau sepsis (terjadi dalam satu episode).

    oCandidiasis orofaring yang terjadi lebih dari dua bulan pada anak-anak berusia enam

    bulan atau kurang.

    oKardiomiopati.

    oInfeksi CMVyang terjadi lebih dari satu bulan.

  • 8/12/2019 Refarat HIV Anak

    14/34

    14

    oDiare

    oHepatitis

    oStomatitis yang disebabkan oleh HSV (rekuren, minimal terjadi 2 kali dalam satu

    tahun).

    oBronkitis yang disebabkan oleh HSV, pneumonitis, atau esofagitis yang terjadi sebelum

    usia satu bulan.

    oHerpes zoster yang terjadi dalam dua episode berbeda pada satu dermatom.

    oLeiomyosarcoma

    oPneumonia limfoid interstitiel, atau hiperplasia kelenjar limfoid pulmonal kompleks.

    oNefropati.

    oNocardiosis.

    oDemam yang berlangsung selama satu bulan atau lebih.

    oToksoplasmosis yang timbul sebelum usia satu bulan.

    oVaricella diseminata atau dengan komplikasi.

    Kategori C: pasien-pasien dengan gejala-gejala penyakit yang parah dan ditemukan pada

    pasien AIDS.

    oKandidiasis bronki, trakea, dan paru

    oKandidiasis esofagus

    oKanker leher rahim invasif

    oCoccidiomycosis menyebar atau di paru

    oKriptokokus di luar paru

    oRetinitis virus sitomegalo

    oEnsefalopati yang berhubungan dengan HIV

    oHerpes simpleks dan ulkus kronis > 1 bulan

    oBronkhitis, esofagitis dan pneumonia

    oHistoplasmosis menyebar atau di luar paru

    oIsosporiasi intestinal kronis > 1 bulan

    oSarkoma Kaposi

    oLimfoma Burkitt

    oLimfoma imunoblastik

    oLimfoma primer di otak

  • 8/12/2019 Refarat HIV Anak

    15/34

    15

    oMycobacterium Avium Complex(MAC) atau M. Kansasii tersebar di luar paru

    oM. Tuberculosis dimana saja

    oIkobacterium jenis lain atau jenis yang tidak dikenal tersebar atau di luar paru

    oPneumoniaPneumoncystitis carinii

    oPneumonia berulang

    oLeukoensefalopati multifokal progresif

    oSeptikemia salmonella yang berulang

    oToksoplasmosis di otak

    WHO mengembangkan diagnosis HIV hanya berdasarkan penyakit klinis dengan

    mengelompokkan tanda dan gejala dalam kriteria mayor dan minor. Seorang anak yangmempunyai 2 gejala mayor dan 2 gejala minor bisa didiagnosis HIV meskipun tanpa

    pemeriksaan ELISA atau tes laboratorium lain.

    Menurut WHO ada 4 stadium klinis, yaitu:

    Stadium Klinis 1

    Tanpa gejala (asimtomatis)

    Limfadenopati generalisata persisten

    Stadium Klinis 2

    Hepatosplenomegali persisten tanpa alasan

    Erupsi papular pruritis

    Infeksi virus kutil yang luas

    Moluskum kontagiosum yang luas

    Infeksi jamur di kuku

    Ulkus mulut yang berulang

    Pembesaran parotid persisten tanpa alasan

    Eritema lineal gingival (LGE)

    Herpes zoster

    Infeksi saluran napas bagian atas yang berulang atau kronis (ototis media, otore, sinusitis,

    atau tonsilitis)

  • 8/12/2019 Refarat HIV Anak

    16/34

    16

    Stadium Klinis 3

    Malanutrisi sedang tanpa alasan jelas tidak membaik dengan terapi baku

    Diare terus-menerus tanpa alasan (14 hari atau lebih)

    Demam terus-menerus tanpa alasan (di atas 37,5C, sementara atau terus-menerus, lebihdari 1 bulan)

    Kandidiasis oral terus-menerus (setelah usia 6-8 minggu)

    Oral hairy leukoplakia (OHL)

    Gingivitis atau periodonitis nekrotising berulkus yang akut

    Tuberkulosis pada kelenjar getah bening

    Tuberkulosis paru

    Pneumonia bakteri yang parah dan berulang

    Pneumonitis limfoid interstitialis bergejala

    Penyakit paru kronis terkait HIV termasuk brokiektasis

    Anemia (

  • 8/12/2019 Refarat HIV Anak

    17/34

    17

    - Kriptosporidiosis kronis

    - Isosporiasis kronis

    - Infeksi mikobakteri non-TB diseminata

    - Limfoma serebral atau non-Hodgkin sel-B

    - Progressive multifocal leucoencephalopathy (PML)

    - Nefropati bergejala terkait HIV atau kardiomiopati bergejala terkait HIV

    i Tanpa alasan berarti keadaan tidak dapat diakibatkan oleh alasan lain.

    ii Beberapa penyakit khusus yang juga dapat dimasukkan pada klasifikasi wilayah (misalnya penisiliosis di

    Asia)

    2.7. Penatalaksanaan2.5.1 Penanganan untuk Ibu

    Bayi dari ibu dengan HIV/AIDS sebanyak kurang lebih 30% sudah terinfeksi HIV

    secara transmisi vertikal. Namun apabila pengobatan dengan obat antiretroviral diberikan

    beberapa lama sebelum persalinan dan diikuti dengan pencegahan cara lain seperti

    persalinan melalui bedah caesar dan pencucian jalan lahir, transmisi vertikal ini dapat

    diturunkan sampai menjadi 2%. Apabila ibu menyusui akan bertambah penularan melaluiASI sebanyak kurang lebih 11-15%, sehingga di negara maju terdapat angka kematian dan

    kesakitan bayi yang tidak mendapat ASI sudah rendah, ibu dianjurkan untuk tidak

    menyusui bayinya.

    Namun di negara berkembang masih banyak terdapat ibu yang tidak memberikan ASI

    akan mempunyai morbiditas dan mortalitas yang masih tinggi, maka ibu dianjurkan tetap

    memberi ASI. Apabila sudah diketahui sejak lahir bahwa bayi telah tertular (dengan

    pemeriksaan PCR) maka dianjurkan agar ibu tetap memberi ASI, karena ASI akan

    melindungi bayi dari infeksi lain yang menyertai AIDS atau statusnya tidak diketahui maka

    ibu tetap dianjurkan untuk memberikan ASI. Bila ibu diketahui mengidap HIV/AIDS ada

    beberapa alternatif yang dapat diberikan dan setiap keputusan ibu setelah mendapat

    penjelasan perlu didukung.

    Bila ibu memilih tidak memberikan ASI maka ibu diajarkan memberikan makanan

    alternatif yang benar dan di negara berkembang sewajarnya makanan alternatif inidisediakan secara cuma-cuma untuk 6 bulan.

  • 8/12/2019 Refarat HIV Anak

    18/34

    18

    Bila ibu memilih memberikan ASI maka dianjurkan untuk memberikan ASI secara

    eksklusif selama 3-4 bulan kemudian menghentikan ASI dan bayi diberi makanan

    alternatif. Perlu diusahakan agar puting susu jangan sampai terluka karena virus HIV dapat

    masuk melalui luka. Di samping itu jangan diberikan ASI bersama susu formula karena susu

    formula akan menyebabkan luka di dinding usus yang menyebabkan virus dalam ASI lebih

    mudah masuk.

    Maka WHO menganjurkan pada setiap wilayah/negara untuk memilih sendiri apakah

    akan melarang atau menganjurkan ibu dengan HIV + menyusui bayinya.

    2.5.2 Terapi ARV

    Bayi sebaiknya diberi ARV setelah lahir, setiap hari untuk tujuh hari atau untuk satu

    bulan, tergantung pada rejimen yang dipakai oleh ibunya sebelum lahir. Obat ini diberikan

    untuk mencegah infeksi HIV. Selain ARV, WHO mengusulkan semua bayi yang dilahirkan

    oleh ibu terinfeksi HIV sebaiknya menerima kotrimoksazol untuk mencegah beberapa infeksi

    oportunistik. Profilaksis ini sebaiknya dimulai pada usai 4-6 minggu dan diteruskan hingga

    dibuktikan anak tidak terinfeksi. Bila bayi ternyata terinfeksi HIV, profilaksis sebaiknya

    diteruskan. Bila bayi terinfeksi HIV, ART akan dipertimbangkan sesuai dengan kriteria yang

    berlaku, berdasarkan pedoman Depkes.

    Pemberian ARV profilaksis untuk bayi adalah pemberian zidovudin selama 4 minggu

    (enam minggu untuk bayi prematur) dan nevirapin dosis tunggal (IDAI, 2010).

    Obat Dosis

    Zidovudin

    Bayi dengan usia gestasi > 35 minggu 2 mg/kgBB/kali, setiap 6 jam, diberikan setelahlahir (6-12 jam setelah kelahiran)

    Bayi dengan usia gestasi 30-35

    minggu

    2 mg/kgBB/kali, setiap 12 jam (2 minggu

    pertama), kemudian setiap 8 jam (setelah usia 2

    minggu)

    Bayi dengan usia gestasi

  • 8/12/2019 Refarat HIV Anak

    19/34

    19

    Nevirapin 2 mg/kgBB, diberikan dosis tunggal, dalam 72 jam

    pertama setelah kelahiran

    Terapi saat ini tidak dapat mengeradikasi virus namun hanya untuk mensupres virus

    untuk memperpanjang waktu dan perubahan perjalanan penyakit ke arah yang kronis.

    Pengobatan infeksi virus HIV pada anak dimulai setelah menunjukkan adanya gejala klinis.

    Gejala klinis menurut klasifikasi CDC. Pengobatan ARV diberikan dengan

    pertimbangan :

    1. Adanya bukti supresi imun yang ditandai dengan menurunnya jumlah CD4 atau

    persentasenya.

    2. Usia. Bagi anak berusia > 1 tahun asimtomatis dengan status imunologi normal,

    terdapat 2 pilihan :

    a. Awali pengobatan tidak bergantung kepada gejala klinis.

    b. Tunda pengobatan pada keadaan resiko progresifitas perjalanan penyakit rendah

    atau adanya faktor lain misalnya pertimbangan lamanya respon pengobatan,

    keamanan dan kepatuhan.

    Pada kasus seperti ini faktor lain yang harus dipertimbangkan ialah :

    1. Peningkatan viral load

    2. Penurunan dengan cepat CD4 baik jumlah atau presentasi supresi imun

    3. Timbulnya gejala klinis

    Keputusan untuk memberikan terapi antiretrovirus harus memenuhi kriteria sebagai berikut :

    1. Tes HIV secara sukarela disertai konseling yang mudah dijangkau untuk mendiagnosis

    HIV secara dini.

    2. Tersedia dana yang cukup untuk membiayai Anti Retrovirus Terapi (ART) selama

    sedikitnya 1 tahun.

    3. Konseling bagi pasien dan pendamping untuk memberikan pengertian tentang ART,

    pentingnya kepatuhan pada terapi, efek samping yang mungkin terjadi.

    4. Konseling lanjutan untuk memberi dukungan psikososial dan mendorong kepatuhan serta

    untuk menghadapi masalah nutrisi yang dapat timbul akibat ART.

  • 8/12/2019 Refarat HIV Anak

    20/34

    20

    5. Laboratorium untuk memantau efek samping obat termasuk Hb, tes fungsi.

    6. Kemampuan untuk mengenal dan menangani penyakit umum dan infeksi oportunistik

    akibat HIV

    7. Tersedianya obat yang bermutu dengan jumlah yang cukup, termasuk obat untuk infeksi

    oportunistik dan penyakit yang berhubungan dengan HIV.

    8. Tersedianya tim kesehatan termasuk dokter, perawat, konselor, pekerja sosial, dukungan

    sebaya. Tim ini seharusnya membantu pembentukan kelompok dukungan Orang Dengan

    HIV/AIDS (ODHA) dan pendampingnya.

    9. Adanya pelatihan, pendidikan berkelanjutan, pemantauan dan umpan balik tentang

    penatalaksanaan penyakit HIV yang efektif termasuk sistem untuk menyebarluaskan

    informasi dan pedoman baru.

    10. Obat ARV digunakan secara rasional sesuai pedoman yang berlaku.

    Perjalanan penyakit infeksi HIV dan penggunaan ART pada anak adalah serupa

    dengan orang dewasa tetapi ada beberapa pertimbangan khusus yang dibutuhkan untuk bayi,

    balita, dan anak yang terinfeksi HIV.

    Efek obat berbeda selama transisi dari bayi ke anak. Oleh karena itu dibutuhkan

    perhatian khusus tentang dosis dan toksisitas pada bayi dan anak. Kepatuhan berobat pada

    anak menjadi tantangan tersendiri.

    Terapi ARV memberi manfaat klinis yang bermakna pada anak yang terinfeksi HIV

    yang menunjukkan gejala. Uji klinis terhadap anak sudah menunjukkan bahwa ART memberi

    manfaat serupa dengan pemberian ART pada orang dewasa.

    Saat ini ada 3 (tiga) golongan ART yang tersedia di Indonesia:

    1. Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors(NRTIs): Obat ini dikenal sebagai analog

    nukleosida yang menghambat proses perubahan RNA virus menjadi DNA. Proses ini

    diperlukan agar virus dapat bereplikasi. Obat dalam golongan ini termasuk Zidovudine

    (AZT), Lamivudine (3TC), Didanosine (ddl), Stavudine (d4T), Zalcitabin (ddC), Abacavir

    (ABC).

  • 8/12/2019 Refarat HIV Anak

    21/34

    21

    2. Non-Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibi tors(NNRTI): obat ini berbeda dengan

    NRTI walaupun juga menghambat proses perubahan RNA menjadi DNA. Obat dalam

    golongan ini termasuk nevirapine (NVP), Efavirenz (EFV), dan Delavirdine (DLV).

    3. Protease I nhibi tor (PI): Obat ini bekerja menghambat enzim protease yang memotong

    rantai panjang asam amino menjadi protein yang lebih kecil. Obat dalam golongan ini

    termasuk Indinavir (IDV), Nelfinavir (NFV), Saquinavir (SQV), Ritonavir (RTV),

    Amprenavir (APV), dan Lopinavir/ritonavir (LPV/r).

    Regimen obat yang diusulkan di Indonesia ialah :

    Salah satu dari Kolom A dan salah satu kombinasi dari Kolom B

    Kolom A Kolom B

    Nevirapine (NVP) AZT + ddl

    Nelfinavir (NVF) ddl+3TC

    d4T + ddl

    AZT + 3TC

    d4T + 3TC

    Regimen ART yang diusulkan di Indonesia

    Untuk neonatus, regimen obat yang diberikan berupa 2 nucleoside reverse

    transcriptase inhibitors (NRTIs) atau nevirapine dengan 2NRTIs atau protease

    inhibitordengan 2NRTIs. Selain itu, juga direkomendasikan pemberian zidovudine dengan

    didanosine atau zidovudine dengan lamivudine dikombinasi dengan nelfinavir atau ritonavir.

    Untuk bayi-bayi yang lebih tua dan anak-anak, direkomendasikan beberapa regimen

    antiretroviral.Protease inhibitorsebagai pilihan utama dengan 2NRTIs.Nonnucleoside

    reverse transcriptase inhibitoryang paling direkomendasikan untuk anak-anak berusia lebih

    dari tiga tahun adalah 2NRTIs dengan efavirenz (dapat disertai dengan atau tanpaprotease

    inhibitor). Untuk anak-anak berusia kurang dari tiga tahun yang belum dapat mendapat tablet,

    regimen nonnucleosideterpiliih adalah 2NRTIs dengan nevirapine. Alternatif pemberian

    regimen terapi nucleoside analogueadalah zidovudine dengan lamivudine dan abacavir.

  • 8/12/2019 Refarat HIV Anak

    22/34

    22

    2.5.4 Nutrisi

    Kekurangan gizi adalah keadaan lazim pada anak terinfeksi HIV dan menyumbang

    secara besar pada mortalitas di antara anak yang tidak terinfeksi HIV maupun pada mereka

    yang terinfeksinya.

    Pada anak terinfeksi HIV, wasting (yaitu kurang dari 70% berat/tinggi badan

    dibandingkan anak rata-rata atau kurang dari minus tiga standard deviation dari median)

    dikaitkan dengan jangka tahan hidup yang lebih pendek, sementara kehilangan berat badan

    menyebabkan peningkatan dalam penyakit menular pada anak dengan AIDS. Sebaliknya HIV

    dikaitkan dengan masalah gizi, dan status kekebalan serta tingkat replikasi virus dapat

    menjadi penting untuk memprediksikan hasil pertumbuhan.

    Pertumbuhan (yaitu kombinasi berat badan, panjang atau tingginya badan, dan garis

    keliling kepala) adalah indikator yang peka mengenai gizi optimal dan lanjutan penyakit

    HIV. Pada anak yang terinfeksi HIV, persoalan pertumbuhan yang parah (yaitu kegagalan

    untuk tumbuh sebagai kriteria penyakit klinis stadium 3 dan kekurangan gizi/wasting yang

    parah sebagai kriteria stadium 4) yang tidak diakibatkan oleh kurang masukan gizi dapat

    menunjukkan kebutuhan akan permulaan ART. Pertumbuhan juga berguna dalam penilaian

    tanggapan terhadap ART.

    Sebaliknya, efek buruk yang dapat diakibatkan oleh obat ARV atau infeksi

    oportunistik dapat mempengaruhi masukan makanan dan gizi secara umum, dengan kebaikan

    yang terbatas pada pertumbuhan dan/atau kepatuhan pada terapi sebagai akibat.

    Penilaian dan dukungan gizi

    Mengingat bahwa ada hubungan yang erat antara infeksi HIV, status gizi dan

    pertumbuhan, WHO mengusulkan bahwa intervensi gizi secara dini (yaitu penilaian dan

    dukungan gizi) harus menjadi bagian yang terpadu dari rencana perawatan untuk anak

    terinfeksi HIV.

    Penilaian gizi, yaitu evaluasi secara sistematis status gizi, diet dan gejala terkait gizisaat itu, adalah sangat penting untuk mengidentifikasikan kekurangan gizi dan pertumbuhan

  • 8/12/2019 Refarat HIV Anak

    23/34

    23

    yang buruk secara dini, serta untuk memantau kelanjutan penyakit HIV dan efektivitas terapi

    untuk anak yang memakai ART. Seperti untuk semua bayi, bayi terinfeksi HIV harus diukur

    setiap bulan, terbaik dengan memakai grafik pertumbuhan standar. Setelah itu anak

    seharusnya ditimbang pada setiap peninjauan dan penilaian gizi dilakukan secara penuh setiap

    tiga bulan kecuali kalau anak yang bersangkutan membutuhkan perhatian khusus karena

    masalah pertumbuhan atau kebutuhan gizi khusus.

    Pendekatan proaktif pada dukungan gizi untuk anak terinfeksi HIV adalah penting

    karena kebutuhan tenaga yang lebih tinggi terkait infeksi. Pada anak terinfeksi HIV tanpa

    gejala, energi yang dikeluarkan saat istirahat meningkat kurang lebih 10%, sementara

    peningkatan pada kebutuhan energi antara 50% dan 100% pernah dilaporkan pada anak

    terinfeksi HIV yang mengalami kegagalan tumbuhan. Penggunaan dan pengeluaran gizi yang

    lebih tinggi pada infeksi HIV dapat mengakibatkan kekurangan gizi mikro. Oleh karena itu,

    dukungan gizi harus termasuk upaya dini untuk meneruskan penyusuan bila mungkin,

    memastikan pemasukan gizi yang memadai berdasarkan makanan yang tersedia lokal dan

    terjangkau, serta pemasukan gizi.

    Pertimbangan untuk gizi pada bayi dan anak terinfeksi HIV

    Saat ini tidak jelas mengenai dampak suplemen gizi mikro pada penularan dan

    kelanjutan penyakit infeksi HIV. Namun bukti dari uji coba klinis yang dilakukan secara acak

    pada anak terinfeksi HIV mengkonfirmasikan hasil dari penelitian pada orang tidak terinfeksi

    HIV yang menunjukkan bahwa tambahan dosis tinggi vitamin A mengurangi morbiditas

    keseluruhan dan morbiditas akibat diare serta mortalitas semua penyebab.

    Tambahan vitamin A seharusnya diberikan sesuai dengan jadwal pencegahan dosis

    tinggi yang diusulkan oleh WHO untuk anak berisiko tinggi kekurangan vitamin A.

    Konseling ibu-ibu mengenai penyusuan dan semua anak dan pengasuhnya mengenai

    kebersihan makanan dan air adalah unsur kunci lanjut untuk dukungan gizi.

    Pada anak yang mengalami kegagalan pertumbuhan (yaitu kegagalan untuk

    menambah berat badan, atau kehilangan berat badan diantara pengukuran berkala) atau

    kesulitan makan, dukungan yang lebih terpusat mungkin dibutuhkan. Bila penyebab dasar

  • 8/12/2019 Refarat HIV Anak

    24/34

    24

    kegagalan pertumbuhan diketahui, hal ini dapat memberi informasi yang berharga mengenai

    strategi dukungan lanjutan.

    Strategi ini dapat meliputi pengobatan untuk penyakit yang mendasarinya (penyakit

    umum harus ditangani sesuai pedoman IMCI), penilaian kebutuhan untuk mulai atau

    mengalihkan ART. Bimbingan pada keluarga mengenai pilihan makanan yang tersedia lokal

    dan rujukan pada program makanan, terbaik dengan dukungan untuk keluarga keseluruhan.

    Lagi pula, pemilihan makanan khusus berenergi tinggi yang enak untuk anak dengan

    masalah yang mengganggu makan atau pencernaan yang normal (misalnya sakit tenggorokan

    atau mulut, kandidiasis mulut, diare) dapat meringankan gejala dan memastikan pemasukan

    energi yang cukup.

    ART pada bayi dan anak dengan kekurangan gizi yang parah

    Wasting syndrome adalah tanda klinis yang umum untuk infeksi HIV pada anak.

    Semua anak dengan kekurangan gizi yang parah berisiko terhadap berbagai masalah yang

    gawat dan membutuhkan makanan terapeutik secara mendesak. Fase pengobatan kekurangan

    gizi harus mulai walaupun fase pengobatan ART belum diketahui. Oleh karena itu pendapat

    para pakar memberi kesan bahwa anak terinfeksi HIV dengan kekurangan gizi yang parah

    sesuai dengan pedoman internasional atau nasional harus distabilkan sebelum diambil

    keputusan mengenai permulaan ART. Pengobatan awal kekurangan gizi yang parah

    melanjut sehingga anak stabil pada pengobatan tersebut dan nafsu makan sudah pulih. Pada

    anak tidak terinfeksi HIV, fase awal ini seharusnya tidak lebih dari 10 hari, tetapi para pakar

    menganggap bahwa pada anak terinfeksi HIV, tanggapan pada pengobatan awal untuk

    kekurangan gizi yang parah mungkin lebih lama atau sangat terbatas.

    Setelah pengobatan awal yang berhasil untuk kekurangan gizi yang parah dan infeksi

    atau masalah mendasar, keadaan klinis anak harus dinilai kembali. Permulaan ART dapat

    dipertimbangkan berdasarkan kriteria CDC atau WHO. Untuk anak terinfeksi HIV yang

    membaik secara lambat setelah pengobatan untuk kekurangan gizi, dapat diambil. Anak

    berisiko tinggi kekurangan vitamin A termasuk, antara lain, mereka dengan infeksi parah atau

    kekurangan gizi energi protein yang parah. WHO mendefinisikan kekurangan gizi yang parah

    sebagai wasting (yaitu kurang dari 70% berat/tinggi badan dibandingkan anak rata-rata atau

    kurang dari minus tigastandard deviation dari median) atau edema pada kedua kaki .

  • 8/12/2019 Refarat HIV Anak

    25/34

    25

    Makanan bayi

    Walaupun sampai 10% bayi dari ibu HIV-positif tertular melalui menyusui, tetapi

    jauh lebih baik bila bayi disusui secara eksklusif karena lebih dari 3% bayi di Indonesia

    meninggal akibat infeksi bakteri, yang sering disebabkan oleh makanan atau botol yang tidak

    bersih. Ada juga yang diberi pengganti ASI (PASI) dengan jumlah yang kurang sehingga bayi

    meninggal karena malnutrisi. ASI memberikan semua yang dibutuhkan oleh bayi untuk

    tumbuh dan melawan infeksi. Jadi sering kali bayi lebih berisiko bila diberi PASI daripada

    ASI dari ibu HIV-positif. Oleh karena itu usulan sekarang adalah agar bayi diberi ASI

    eksklusif untuk enam bulan pertama, kemudian disapih mendadak, kecuali bila dapat

    dipastikan bahwa PASI secara eksklusif dapat diberi dengan cara AFASS:

    A = Affordable (terjangkau)

    F = Feasible (praktis)

    A = Acceptable (diterima oleh lingkungan)

    S = Safe (aman)

    S = Sustainable (kesinambungan)

    ASI eksklusif berarti bayi hanya diberi ASI dari saat lahir tanpa makanan atau

    minuman lain, termasuk air. ASI sangat halus, mudah diserap oleh perut/usus. Makanan lain

    lebih keras sehingga lapisan perut/usus membuka agar diserap, membiarkan HIV dalam ASI

    menembus dan masuk darah bayi. Jadi risiko penularan tertinggi bila bayi diberi ASI yang

    mengandung HIV, bersamaan dengan makanan lain. Harus ada kesepakatan sebelum

    melahirkan antara ibu, ayah dan petugas medis agar bayi langsung disusui setelah lahir,

    sebelum diberi makanan/minuman lain. Setelah enam bulan, sebaiknya disapih secara

    mendadak (berhenti total menyusui).

    2.5.5 Imunisasi

    Setiap anak, termasuk yang terlahir dari ibu terinfeksi HIV, seharusnya diberi

    vaksinasi baku seperti anak lain. Jangan diberi vaksin hidup seperti BCG, OPV, Campak,

    MMR.Untuk vaksin BCG terhadap TB, yang dapat diberi pada anak beberapa hari setelah

    lahir. Namun, bila ditunda, sebaiknya vaksinasi BCG tidak diberikan pada anak yang

  • 8/12/2019 Refarat HIV Anak

    26/34

    26

    menunjukkan gejala penyakit HIV, misalnya kurang bertumbuh, atau sering terkena infeksi.

    Bila ibu juga terinfeksi virus hepatitis B, sangat penting bayi juga segera diberi vaksinasi

    terhadap infeksi ini. Dengan cara itu, ada harapan besar bayi tidak tertular oleh virus tersebut.

    2.8. PencegahanEdukasi dan konseling pasien yang terdeteksi terinfeksi HIV. Infeksi HIV yang

    muncul pada wanita biasanya karena pengguna obat-obatan dan pasangan seksual laki-laki

    yang resiko tinggi. Sehingga dibutuhkan pendidikan seks yang baik dan sehat. Konseling

    juga jangan hanya membahas tentang modifikasi stress namun juga memodifikasi perubahan

    gaya hidup melalui pesan-pesan budaya dan religi.

    Perlu dilakukan uji serologis bagi darah pendonor dan pengawasan serta perlakuan

    yang lebih ketat bagi bahan-bahan yang berasal dari darah, terutama yang akan diberikan

    pada anak yang perlu mendapat transfusi atau pemberian bahan yang berasal dari darah

    berulang-ulang atau daerah dengan prevalensi HIV yang tinggi.

    Program pendidikan kesehatan reproduksi untuk remaja, perlu dipikirkan strategi

    penerapannya di sekolah dan akademi dan untuk remaja yang berada di luar sekolah.

    Transmisi vertikal dapat dicegah dengan memberikan terapi antiretrovirus pada ibu

    selama kehamilan dan memberikan profilaksis pada bayinya yang baru lahir. Wanita hamil

    yang terinfeksi HIV sebaiknya diberikan terapi kombinasi 3 (tiga) obat. Terapi kombinasi

    dapat membuat supresi virus.

    Pencegahan

    Cara paling efisien dan efektif untuk menanggulangi infeksi HIV pada anak secara

    universal adalah mengurangi penularan dari ibu ke anak (mother-to-child transmission-

    MTCT). Upaya pencegahan transmisi HIV pada anak, menurut WHO, dilakukan melalui

    empat strategi, yaitu mencegah penularan HIV pada wanita usia subur, mencegah kehamilan

    yang tidak direncanakan pada wanita HIV, mencegah penularan HIV dari ibu HIV hamil ke

    anak yang akan dilahirkan, serta memberikan dukungan, layanan, dan perawatan

    berkesinambungan bagi pengidap HIV. Pemberian obat antiretroviral (ARV) untuk anak dan

  • 8/12/2019 Refarat HIV Anak

    27/34

    27

    bayi yang terinfeksi adalah satu jalan untuk menanggulangi pandemi HIV pada anak di

    samping upaya mencegah penularan infeksi HIV pada anak dan bayi.

    Orangtua atau ibu dari bayi yang terpapar HIV harus menyadari masalah yang

    dihadapi anaknya sejak awal. Penentuan diagnosis HIV yang akan dihadapi penderita sangat

    berpengaruh pada orangtua dan keluarga. Kepada ibu penderita harus diberikan informasi

    tentang seringnya evaluasi pemeriksaan, kesulitan diagnosis awal infeksi HIV pada bayi, dan

    manfaat pemeriksaan untuk menentukan status infeksi bayi. Pemberian ARV dalam

    mengurangi risiko penularan, modifikasi dalam rekomendasi imunisasi, rekomendasi untuk

    tidak memberikan ASI, dan kewaspadaan untuk mencegah penyebaran penyakit, sangat

    penting sebagai pencegahan.

    2.9. KomplikasiMenurut data Departemen Kesehatan pada tahun 2010, Infeksi oportunistik yang

    terbanyak dilaporkan adalah :

    TBC

    Diare kronis

    Kandidiasis oro-faringeal

    Dermatitis generalisata

    Limfadenopati generalisata persisten

  • 8/12/2019 Refarat HIV Anak

    28/34

    28

    TB

    Pengobatan TB pada anak dengan HIV belum ditetapkan secara pasti sampai saat ini.

    Kebanyakan ahli berpendapat untuk memberikan paling sedikit 3 macam obat, misalnya

    rifampisin, INH, dan pirazinamid pada 2 bulan pertama, diikuti dengan pemberian rifampisin

    dan INH. Total lama pemberian OAT adalah 9 bulan. Obat keempat yaitu etambutol atau

    streptomisin diberikan pada TB diseminata atau jika terdapat resistensi. Kebanyakan

    pedoman terapi saat ini merekomendasikan pemberian paduan OAT selama 6 bulan.

    Tetapi ternyata ditemukan bukti bahwa pada pasien dengan HIV terdapat respons yang

    lebih rendah terhadap OAT dan angka relaps lebih tinggi. Respons klinis, radiologis, dan

    mikrobiologis terhadap pengobatan sebaiknya dievaluasi sebelum pengobatan dihentikan

    pada akhir bulan ke 6. Jika respon klinis atau radiologis masih buruk, atau kultur

    M.tuberkulosis positif setelah fase intensif pengobatan, pemberian OAT harus diteruskan

    sampai minimal 9 bulan. Selain itu, harus diselidiki penyebab kegagalan terapi seperti

    ketidakteraturan berobat, absorbsi obat yang rendah, dan resistensi.

  • 8/12/2019 Refarat HIV Anak

    29/34

    29

    Efektivitas lama pengobatan 9 bulan dibandingkan dengan pengobatan 6 bulan saat ini

    masih dalam penelitian. Tatalaksana TB pada anak dengan HIV yang sedang atau akan

    mendapatkan pengobatan antiretroviral harus dilakukan lebih hati hati dan memperhatikan

    interaksi antara obatobat yang diberikan. Interaksi antara obat TB dan antiretroviral dapat

    menyebabkan pengobatan HIV ataupun TB menjadi tidak efektif serta bertambahnya resiko

    toksisitas.

    Rifampisin misalnya, obat ini berinteraksi dengan obat penghambat enzim reverse

    transkriptase non nukleosida ( non- nucleoside reverse transcriptase inhibitor, NNRTI ) dan

    penghambat enzim protease ( protease inhibitors,PI ). Rifampisin menurunkan konsentrasi PI

    hingga 80% atau lebih dan NNRTI hingga 2060%.

    Obat antiretroviral yang menurut rekomendasi dapat diberikan bersamaan dengan

    rifampisin adalah efavirenz ( suatu NNRTI ) ditambah dua NRTI. Reaksi simpang yang

    ditimbulkan oleh OAT hampir serupa dengan yang ditimbulkan oleh obat antiretroviral,

    sehingga dokter sulit membedakan ketika akan menghentikan obat yang menimbulkan reaksi.

    Isoniazid dapat menyebabkan neuropati perifer, begitu juga dengan NRTI ( didanosine,

    zalcitabine, dan stavudine ). Reaksi paradoks juga dapat terjadi jika pengobatan terhadap TB

    dan HIV mulai diberikan pada waktu bersamaan.

    Diare

    HIV pada anak khas ditandai dengan adanya disfungsi usus berupa diare, malabsorbsi

    besi, teatore, insufisiensi pankreas, malabsorbsi laktosa, berkurangnya absorbsi usus,

    kebocoran protein melalui usus dan permeabilitas usus yang meningkat. Biasanya disertai

    penyakit penyerta yaitu gizi buruk tipe marasmik ( 80%), TB Paru (30%), Pneumoniapneumosistis jiroveci / PCP (10%), dan diare kronik (55%). Diare kronik pada anak dengan

    HIV sebagian besar terjadi karena infeksi usus, sedangkan pada 15-46% kasus diare kronik

    anak dengan AIDS tidak ditemukan patogen penyebab.

    Diare adalah bertambahnya frekuensi defekasi lebih dari biasanya (> 3 kali dalam 24

    jam) disertai perubahan konsistensi tinja dengan / tanpa darah dan/ atau lendir. Berdasarkan

    lamanya diare dibedakan menjadi dua yaitu diare akut dan kronik. Diare akut (acute watery

    diarrhoea) didefinisikan sebagai buang air besar (defekasi) > 3 kali dalam 24 jam dengan

  • 8/12/2019 Refarat HIV Anak

    30/34

    30

    konsistensi cair dan berlangsung < 1 minggu. Dapat terjadi pada anak dengan infeksi HIV

    simtomatik. Diare akut umumnya disebabkan oleh infeksi virus (40-60%), hanya 10%

    disebabkan oleh infeksi bakteri yang rentan terhadap antibiotika. Penyebab lain adalah

    infeksi parenteral, salah makan, malabsorbsi, kadang oleh faktor kejiwaan. Diare kronik

    adalah diare yang berlangsung > 14 hari. Umumnya terjadi pada anak terinfeksi HIV.

    Terbanyak pada usia 1-5 tahun (80%).

    Tabel Etiologi diare kronik pada pasien AIDS

    Bakteri Virus Protozoa

    Salmonella Rotavirus Criptosporidium

    Escherichia coli Norovirus Microsporidium

    Clostridium perfringens Isospora

    Staphylococcus aureus Cyclospora

    Aeromonas hydrophylia Giardia lamblia

    Bacillus cereus Entamoeba hystolitica

    Vibrio cholera

    Campylobacter

    Shigella

    Clostridium difficile

    Yersinia

    Vibrio parahaemolyticus

    Enteroinvasive E.coli

    Plesiomonas shigelloides

    Klebsiella oxytica

  • 8/12/2019 Refarat HIV Anak

    31/34

    31

    Tata Laksana

    1. Pemberian cairan dan elektrolit

    Tanpa dehidrasi : cairan rumah tangga dan ASI diberikan semaunya, oralit diberikan

    sesuai usia setiap kali buang air besar dengan dosis :

    < 1tahun : 50-100 ml

    1-5 tahun : 100-200 ml

    >5 tahun : semaunya

    Dehidrasi ringan-sedang : rehidrasi dengan oralit 75 ml/kgbb. Dalam 3 jam pertama

    dilanjutkan dengan pemberian oralit sesuai kehilangan cairan yang sedang berlangsung

    sesuai umur seperti diatas setiap kali buang air besar

    Dehidrasi berat: Rehidrasi parenteral dengan cairan RL/RingAs 100 ml/kgbb.

    Cara pemberian :

    - 1 tahun : 30 ml/kgBB dalam jam pertama dilanjutkan dengan 70 ml/kgBB dalam 2 jam

    berikutnya.

    - Berikan minum jika anak sudah mau minum : 5 ml/kgBB selama proses rehidrasi.

    2. Pemberian nutrisi Nilai gizi seimbang,cukup karbohidrat,protein,vitamin dan mineral

    Bebas laktosa

  • 8/12/2019 Refarat HIV Anak

    32/34

    32

    Rendah lemak,rendah serat

    Pemberian ASI diteruskan

    Diberikan dalam porsi kecil tetapi denganfrekuensi yang sering (6x / hari).

    3. Terapi spesifik Salmonella : Ampisilin, Amoksisilin,TMP-SMX, Cefotaxim, Ceftriaxon

    Shigella : Ampisilin, Amoksisilin,TMP-SMX, Cefotaxim, Ceftriaxon, Cefixim,

    Ciprofloxacin, Ofloxcacin

    Campylobacter : Eritromisin, Ciprofloxacin

    Mycobacterium avium complex: Klaritromisin+ Etambutol + Rifabutin

    Mycobacterium tuberculosis : Terapi standar untuk tuberkulosis

    Yersinia enterocolica : TMP-SMX

    Giardia lamblia : Metronidazol

    E.hystolitica : Metronidazol

    C.difficile : Spiramisin, metronidazol,vankomisin

    C.parvum : Paromomisin

    Microsporidia : Albendazol

    Cytomegalovirus : Terapi suportif,Gansiklovir (mahal)

    Rotavirus : Terapi suportif, Hyperimmunebovine colostrum

    Keterangan : Ciprofloxacin tidak dapat diberikan pada bayi dan anak < 5 tahun, Rifabutin

    tidak tersedia di kawasan Asia Tenggara.

    4. Terapi lain Mikronutrien : vitamin A,B12, Asam folat, Zinc, Fe untuk regenerasi mukosa dan fungsi

    imunologis.

    Probiotik .

  • 8/12/2019 Refarat HIV Anak

    33/34

    33

    PCP

    Pneumocytis carinii pneumonia (PCP) menurut rekomendasi UNAIDS & WHO bayi

    dari ibu yang terinfeksi HIV sebaiknya diberikan Kotrimoksasol mulai usia 4-6 minggu,

    sampai anak tidak terbukti terinfeksi HIV dengan dosis: 4-6 mg/kg Trimetoprim, 1 kali/hari,setiap hari.

    Hepatitis C

    Bila ibu terinfeksi dengan virus hepatitis C (HCV) bersama terinfeks HIV infeksi ini

    mungkin diketahui melalui skrining waktu hamil risiko penularan HCV dari ibu-ke-bayi

    dapat setinggi 15%. Mengobati HIV-nya akan mengurangi risiko penularan HCV. Beberapa

    dokter mengusulkan persalinan dengan bedah sesar untuk perempuan yang terinfeksi HIV danHCV bersamaan. Namun belum ada penelitian yang menunjukkan bahwa bedah sesar

    mengurangi risiko pada ibu atau bayi.

    Hepatitis B

    Perempuan dengan virus hepatitis B (HBV) yang aktif kemungkinan besar (90%)

    akan menularkan pada bayinya. Namun penularan dapat dicegah bila bayi langsungdivaksinasi terhadap HBV setelah terlahir. Tenofovir dan 3TC mempunyai reaksi yang baik

    terhadap HBV. Jadi ART yang mengandung 3TC mungkin akan mengurangi risiko pada

    anak.

    2.10.PrognosisAngka transmisi jika pasangan ibu dan anak menjalani program PMTCT lengkap

    adalah kurang dari 2%. Viremia plasma dan hitung limfosit CD4 sesuai usia dapat

    menentukan resiko perjalanan penyakit dan komplikasi HIV. Prognosis yang buruk pada

    infeksi perinatal berhubungan dengan terjadinya ensefalopati, infeksi, perkembangan

    menjadi AIDS lebih awal, dan berkurangnya jumlah limfosit CD4 yang cepat. Tanpa terapi,

    kurang lebih 30% bayi yang terinfeksi berkembang menjadi gejala klinis berat kategori C

    atau kematian dalam 2 tahun kehidupan. Dengan terapi yang optimal angka mortalitas dan

    morbiditas menjadi rendah.

  • 8/12/2019 Refarat HIV Anak

    34/34

    DAFTAR PUSTAKA

    Ikatan Dokter Anak Indonesia. Pedoman Pelayanan Medis. 2010. IDAI

    Hassan, et al.Ilmu Kesehatan Anak. 1985. Jakarta. Infomedika

    Facing the Challenge of Infection and Emergency in Pediatrics. 2006. IDI cab. Sumatera

    Utara

    Depkes R.I. Pedoman Nasional Perawatan, Dukungan dan Pengobatan bagi ODHA.2003.

    www.depkes.go.id

    http://www.spiritia.com

    http://www.who.int/child-adolscent-health/publications/pubIMCI.htm

    http://www.pediatrik.com/buletin/06224114304-s45flw.htm

    http://www.depkes.go.id/http://www.spiritia.com/http://www.spiritia.com/http://www.spiritia.com/http://www.who.int/child-adolscent-health/publications/pubIMCI.htmhttp://www.pediatrik.com/buletin/06224114304-s45flw.htmhttp://www.pediatrik.com/buletin/06224114304-s45flw.htmhttp://www.who.int/child-adolscent-health/publications/pubIMCI.htmhttp://www.spiritia.com/http://www.depkes.go.id/