refarat mini i ssj (tri)

Upload: tri-kurniawan

Post on 06-Mar-2016

250 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

Dermatovenereology

TRANSCRIPT

SINDROM STEVENS-JOHNSON

I. DEFINISISindrom Stevens-Johnson (SSJ) adalah suatu sindrom kegawatdaruratan kulit yang mengancam nyawa yang mengenai kulit, selaput lendir (mukosa), dan mata, serta ditandai dengan nekrosis kulit yang luas, dan pengelupasan epidermis.1,2 Keadaan umum bervariasi dari ringan sampai berat, di mana efloresensinya berupa eritema, vesikel/bula, dan dapat disertai purpura2. Sindrom stevens-Johnson merupakan bentuk ringan dari Toxic Epidermal Necrolysis (TEN).3

Gambar 1. Sindrom Stevens-Johnson4BA

A. Pada mata dan selaput mata. B Stomatitis dan Konjugtivitis

II. ETIOLOGISindrom Stevens-Johnson merupakan penyakit akibat adanya reaksi imunitas yang dipicu oleh berbagai penyebab. Pemicu yang paling sering adalah penggunaan obat-obatan yang imunogenesitasnya tinggi seperti penisilin, barbiturat, hidantoin, sulfonamid, dan fenolftalein. Selain itu, penyebab lainnya yaitu infeksi (virus, jamur, bakteri, parasit), paparan sinar-X, vaksinasi, neoplasma, dan kehamilan.4,5.

III. PATOMEKANISMEWalaupun patomekanisme penyakit belum diketahui secara terperinci mengenai tahapan reaksi imunitas seluler dan humoralnya, namun beberapa penelitian oleh para ahli telah memberikan petunjuk yang baik mengenai proses reaksi imunitasnya. Pola reaksi imun pada lesi awal menunjukkan adanya reaksi imun sitotoksik terhadap keratinosit, yang menyebabkan apoptosis yang masif. Studi imunopatologi menunjukkan terdapatnya Natural Killer Cell (NK-Cell), dan CD8 T Lymphocyte yang spesifik terhadap suatu obat, serta makrofag, dan granulosit. Selain sel radang, terdapat pula peningkatan sitokin sel proinflamatorik yang dikeluarkan oleh sel imun berupa TNF-, Fas-L, IL-5, granulysin, granzyme, dan perforin. Kombinasi dua komponen ini mendestruksikan keratinosit di epidermis.2,3Diperkirakan terdapat kerentanan genetik yang menyebabkan timbulnya sensitivitas sistem imun akibat agen tertentu, misalkan HLA B-1502 pada orang China dan Taiwan yang menyebabkan mereka rentan terhadap karbamazepin, dan HLA B-5801 terhadap sensitivitas pada allopurinol.3Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, penyakit ini menyebabkan destruksi epidermis, maka fungsi epidermis pun terganggu. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya penguapan cairan berlebihan (seperti pada luka bakar), dan memudahkan terjadinya infeksi sekunder pada kulit. Hal inilah yang menyebabkan mengapa penyakit ini termasuk penyakit yang mengancam jiwa.6,7IV. DIAGNOSISI. ANAMNESISDiagnosis sindrom stevens-johnson ditetapkan berdasarkan riwayat pasien, gejala dan tanda pada pemeriksaan fisik pasien, serta pemeriksaan lab, dan pemeriksaan histopatologis. Adanya riwayat mengonsumsi obat, mengalami infeksi, dan berbagai faktor pencetus lainnya yang telah dijelaskan sebelumnya. Biasanya onset terjadinya penyakit SSJ sekitar 8 minggu setelah terpapar dengan faktor pencetus, misalnya obat. Namun, dalam beberapa laporan diketahui bahwa penyakit ini dapat muncul lebih cepat dalam hitungan jam setelah meminum obat. Biasanya terdapat gejala non-spesifik seperti demam, nyeri kepala, rhinitis, batuk dan malaise sebelum munculnya erupsi SSJ.1 II. PEMERIKSAAN FISIK/ STATUS DERMATOLOGIBerdasarkan pemeriksaan fisik, terdapat trias kelainan pada SSJ yaitu keterlibatan mukosa, kerusakan kulit, serta kerusakan mata, dengan berbagai gambaran klinis, mulai dari yang ringan hingga berat. Selain itu, ditemukan takikardi, demam, kesadaran menurun, hipotensi, epistaksis, bahkan koma. 1,2. Untuk trias kelainan SSJ, adalah 1,21. Kelainan KulitLesi didahului oleh eritema, kemudian menjadi vesikel, bula. Vesikel dan bula kemudian memecah menjadi erosi yang luas. Di samping itu juga terdapat purpura. Lesi dikulit yang gampang pecah disebut Nikolsky sign, namun tanda ini tidak spesifik terhadap SSJ/TEN.2. Kelainan mukosa (selaput lendir)Lesi pada mukosa yang tersering ialah mukosa mulut (100%), kemudian disusul oleh kelainan genital (50%), lubang hidung dan anus jarang, masing-masing 8% dan 4%. Lesi di mulut dapat membuat pasien sukar/tidak dapat menelan.3. Kelainan mataKelainan mata merupakan 80% diantara semua kasus, yang tersering ialah konjungtivitis kataralis. Selain itu juga dapat berupa konjungtivitis purulen, perdarahan, simblefaron, ulkus kornea, dan iridosiklitis.BA

Gambar 2. Vesikel dan bula pada kulit.1Berupa makula eritem dan pengelupasan epitel (A) dan vesikel/bula yang menghitam menunjukkan nekrosis epidermis (B)

Gambar 3. Lesi pada mulut dan mata1

III. PEMERIKSAAN LABORATORIUM1,8Tidak terdapat pemeriksaan laboratorium spesifik untuk mendiagnosis SSJ. Pemeriksaan laboratorium penting untuk mengevaluasi derajat keparahan dan penatalaksanaan harian selama dalam perawatan. Pemeriksaan yang paling awal dibutuhkan yaitu pemeriksaan gas darah, protein darah dan elektrolit serta dibutuhkan pemeriksaan kadar urea, dan glukosa untuk menetapkan prognosis.Pada pemeriksaan darah rutin, menunjukkan leukositosis non-spesifik, anemia, dan kadang trombositopenia. Peningkatan yang drastis dari leukosit menunjukkan infeksi sekunder bakteri yang harus segera ditangani dengan antibiotik. Selain itu, terdapat peninggian kadar TNF-, IL-2R, IL-6, dan CRP, namun tanda ini tidak spesfik terdapat pada SSJ.

IV. PEMERIKSAAN HISTOPATOLOGIPada pemeriksaan histopatologi Sindrom Stevens-Johnson, pada lesi awal menunjukkan adanya nekrosis keratinosit yang ditandai dengan spongiosis, dan edema intraselular, dengan infiltrasi sel limfosit, dan eosinofil. Pada lesi lanjut, terdapat clear zone (area bersih) yang terletak di suprabasal yang memisahkan epidermis dengan dermis (detachment epidermis), juga terdapat vesikel dan bula pada lapisan epidermis. Selain itu, terdapat ekstravasasi eritrosit, serta edema pada stratum korneum.1,9AB

Gambar 4. Histopatologi SSJ.9Lesi awal, tampak infiltrasi limfosit (A) dan lesi lanjut terdapat epidermal detachment dan nekrosis keratinosit (B)

V. DIAGNOSIS BANDINGBeberapa diagnosis banding diantaranya:1. Toxic Epidermal Necrolysis (TEN)Toxic Epidermal Necrolysis (TEN) atau Lyell syndrome merupakan salah satu penyakit nekrosis epidermolisis seperti Sindrom Stevens-Johnson yang juga mengancam kehidupan. Pada SJS, keterlibatan epidermis lebih kecil dari 10%, transisi SJS-TEN antara 10%-30%, sedangkan lesi dikatakan TEN jika >30% kerusakan epidermis tubuh. 7 Selain dari segi keterlibatan epidermis, penyakit ini juga memiliki keadaan umum dan prognosis yang lebih buruk.7 Penyebab dan mekanisme dari penyakit ini sama dengan SSJ.1

Gambar 5. Perbandingan luas lesi pada SSJ dan TEN72.Eritema MultiformeEritema Multiforme (EM) merupakan erupsi mendadak dan rekuren pada kulit dan selaput lendir dengan efloresensi yang khas berbentuk iris. Pada kasus yang berat disertai simtom konstitusi dan lesi viseral. Penyebab belum diketahui pasti, namun dapat disebabkan oleh alergi obat seperti halnya pada SSJ. Gejala khas yang membedakan dengan SSJ yaitu lesi bentuk iris (target lesion) yang terdiri dari tiga bagian, yaitu bagian tengah berupa vesikel atau eritema keunguan, dikelilingi oleh lingkaran konsentris yang pucat, dan kemudian lingkaran yang merah. 1,2

Gambar 6. Pasien Eritema Multiforme1

3.Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (S.S.S.S)Penyakit ini disebut juga pemphigus neonatorum/ impetigo neonatorum/ Ritters disease disebabkan oleh infeksi Staphylococcus aureus yang menyerang neonatus. Penyakit ini menyebabkan erosi/ pengelupasan epidermis akibat toksin yang dikeluarkan oleh S.aureus sehingga terjadi pemisahan antara dermis dan epidermis. Perbedaan penyakit ini dengan SSJ yaitu pada penyakit ini tidak menyebabkan erosi pada mukosa. Prognosisnya pun baik, tidak seperti SSJ yang berbahaya jika tidak segera ditangani dengan baik.1,10

Gambar 7. Staphylococcal Scalded Skin Syndrome

VI. PENATALAKSANAANUmum : 1. Mengembalikan keseimbangan cairan dan elektrolit dengan pemberian cairan intravena. Cairan 0,5% NaCl + 20 mEq KCL diberikan sambil memantau volume urin dalam batas 50-80 ml/jam. 2. Jika penderita koma, lakukan tindakan darurat terhadap keseimbangan O2 dan CO2.3. Jangan lakukan debridemen pada lesi seperti pada penatalaksanaan luka bakar, karena dapat mengganggu proses re-epitelisasi.Khusus : 1. Sistemik : Kortikosteroid dosis tinggi, prednison 80-200 mg (live saving) secara parenteral atau peroral, kemudian diturunkan perlahan. Pada kasus berat diberi deksametason IV, dosis 4x5 mg selama 3-10 hari. Jika keadaan umum membaik, penderita dapat menelan, maka obat dapat diganti dengan prednison (dosis ekuivalen). Pada kasus ringan diberikan prednison 4x5 mg 4x20 mg/hari, dosis diturunkan bertahap jika terjadi perbaikan. Pengobatan lain : antihistamin, antibiotik Thalidomide (anti TNF-) High-dose Intravenous Immunoglobulin Siklosporin. Penelitian menunjukkan kombinasi siklosporin sebagai calcineurin inhibitor dan kortikosteroid dosis tinggi, dapat mempercepat reepitelisasi, dan mengurangi angka kematian2. Topikal : Vesikel dan bula yang belum pecah diberi bedak salisil 2% Kelainan yang basah dikompres dengan asam salisil 1% Kelainan mulut yang berat diberikan kompres asam borat 3%Konjungtivitis diberi salap mata yang mengandung antibiotik dan kortikosteroid.

VII. PROGNOSIS Secara umum, jika diagnosis tepat dan penatalaksanaan tepat dan cepat, maka prognosis cukup memuaskan. Namun, bila terdapat purpura yang luas dan leukopenia prognosisnya lebih buruk. Pada keadaan umum yang buruk dan terdapat bronkopneumonia, penyakit ini dapat mendatangkan kematian.2VIII. KESIMPULANSebagai kesimpulan bahwa, Sindrom Stevens-Johnson adalah penyakit inflamasi sistemik autoimun yang menyerang keratinosit pada kulit dan mukosa yang menyebabkan nekrosis, erosi, dan membentuk vesikel/bula yang mudah pecah. Disebabkan oleh sensitasi sistem imun akibat agen dari luar seperti obat-obatan, infeksi,vaksinasi, sinar X dan lain-lain. Keadaan klinis bervariasi dari ringan hingga berat, dan diagnosis sebagian besar ditentukan oleh gambaran klinis dan riwayat pasien. Penanganan dengan cepat dibutuhkan, yaitu memberikan life-support, dan memberikan terapi sistemik kortikosteroid dosis tinggi untuk menekan reaksi autoimunnya.

DAFTAR PUSTAKA1. L. Valeyrie-Allanore & Jean-Claude Roujeau. Toxic Epidermal Necrolysis (TEN) and Stevens-Johnson Syndrome. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ. eds. Fitzpatricks Dermatology In General Medicine 8th ed. New York: McGraw-Hill; 2012. p. 642, 1694-7012. Djuanda, Adhi, dan Mochtar. Sindrom Stevens-Johnson. In : Adhi Djuanda, dkk. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin ed 5th. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2009. p.163-5.3. Rehmus, W. E. "StevensJohnson Syndrome (SJS) and Toxic Epidermal Necrolysis (TEN)". In Porter, R. S. The Merck Manual ((online version) 19th ed.). Whitehouse Station, NJ: Merck & CoHay RJ. Bacterial infection. In: Buxton P.K.eds. ABC of Dermatology 4th ed. London : BMJ Publishing; 2013. p.87- 914. Siregar R. Atlas Berwarna Saripati Kulit ed 2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2003. p 154-1555. Tan SK, Tay YK. "Profile and pattern of Stevens-Johnson Syndrome and Toxic Epidermal Necrolysis in a general hospital in Singapore: Treatment outcomes". 2012.Acta Dermato-Venereologica 92 (1): 626.6. Ghislain, Pierre-Dominique; & Roujeau, Jean-Claude. (2002). Treatment of severe drug reactions: Stevens-Johnson Syndrome, Toxic Epidermal Necrolysis and Hypersensitivity syndrome. Dermatology Online Journal, 8(1). Retrieved from: https://escholarship.org/uc/item/97d8t2917. Thomas Harr and Lars E French. Toxic epidermal necrolysis and Stevens-Johnson syndrome. Orphanet Journal of Rare Diseases 2010, p 5:39 8. de Prost N, Ingen-Housz-Oro S, Duong T, et al. Bacteremia in Stevens-Johnson syndrome and toxic epidermal necrolysis: epidemiology, risk factors, and predictive value of skin cultures. Medicine (Baltimore). Jan 2010;89(1):28-369. David A. Wetter, MD and Michael J. Camilleri, MD. Clinical, Etiologic, and Histopathologic Features of Stevens-Johnson Syndrome During an 8-Year Period at Mayo Clinic. Mayo Clin Proc. Feb 2010; 85(2): 131138.10. Rapini RP, Bolognia JL, Jorizzo JL (2007). Dermatology: 2-Volume Set. St. Louis: Mosby.

9