endometriosis refarat

Upload: rhirhiien-cosgrave

Post on 30-Oct-2015

98 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

refarat buat bahan 2 dapus

TRANSCRIPT

ENDOMETRIOSISI. DefinisiEndometriosis adalah satu keadaan di mana jaringan endometrium yang masih berfungsi terdapat di luar kavum uteri. Jaringan ini yang terdiri atas kelenjar-kelenjar dan stroma, terdapat di dalam miometrium atau pun di luar uterus. Bila jaringan endometrium terdapat di dalam miometrium disebut adenomiosis, dan bila di luar uterus disebut endometriosis. Pada endometriosis jaringan endometrium ditemukan di luar kavum uteri dan di luar miometrium. Daerah yang paling sering terkena adalah organ pelvis dan peritoneum, walaupun organ lain seperti paru-paru juga ikut terkena meskipun jarang. Penyakit ini berkembang dari lesi yang kecil dan sedikit pada organ pelvis yang normal kemudian menjadi massa keras infiltrat dan kista endometriosis ovarium (endometrioma). Perlangsungan endometriosis sering disertai pembentukan fibrosis dan perlekatan luas menyebabkan gangguan anatomi pelvis.1,2 Manifestasi klinisnya dapat berupa lesi, biasanya didapatkan pada permukaan peritoneum dari organ reproduksi, tetapi dapat juga muncul didaerah mana saja di tubuh wanita (gambar 1). Ukuran dari lesi sangat bervariasi mulai dari mikroskopik hingga massa invasif yang luas yang mengikis bagian dalam organ dan menyebabkan perlengketan luas. Pada beberapa kasus endometriosis dapat berupa asimptomatik, dapat pula menimbulkan gejala nyeri pinggang bahkan sampai infertilitas. Dampak psikologis dari rasa nyeri hebat yang terjadi semakin bertambah akibat pengaruh penyakit ini terhadap fertilitas pasien. Penyakit ini tak pernah sembuh sempurna dan terapi ditujukan untuk penekanan lesi secara medis (medical supression) maupun secara pembedahan (surgical excision) untuk meringankan keluhan penderita1,2

Gambar 1. Lokasi yang sering ditemukan endometriosis

(Dikutip dari kepustakaan 3)II. Insidens dan EpidemiologiKebanyakan wanita dengan penyakit ini seringkali tak bergejala, dan modalitas pencitraan memiliki sensitivitas rendah untuk diagnosis. Wanita dengan endometriosis umumnya tidak menunjukkan gejala, subfertil, atau menderita berbagai tingkat nyeri panggul. Metode utama dari diagnosis adalah laparoskopi, dengan atau tanpa biopsi untuk diagnosis histologis (Kennedy, 2005; Marchino, 2005). Dengan menggunakan standar ini, peneliti telah melaporkan kejadian tahunan endometriosis menjadi 1,6 kasus per 1.000 perempuan berusia antara 15 dan 49 tahun.

Pada wanita tanpa gejala, prevalensi endometriosis berkisar 2% - 22%, tergantung pada populasi yang diteliti (Eskenazi, 1997; Mahmood, 1991; Moen, 1997). Namun, karena kaitannya dengan infertilitas dan nyeri pelvis, endometriosis terutama lebih menonjol pada sub-populasi perempuan dengan keluhan ini. Pada wanita infertil, prevalensi telah dilaporkan antara 20% sampai 50% dan pada mereka dengan nyeri panggul, 40% sampai 50%.3Dalam tiga dekade terakhir ini terjadi peningkatan angka kejadian penyakit ini. Angka kejadian antara 5-15% dapat ditemukan di antara semua operasi pelvik. Yang menarik perhatian adalah bahwa endometriosis lebih sering ditemukan pada wanita yang belum menikah pada usia muda, dan yang tidak mempunyai banyak anak. Rupanya fungsi ovarium secara klinis yang terus menerus tanpa diselingi kehamilan, memegang peranan dalam terjadinya endometriosis.4Setiap tahunnya angka kejadian endometriosis terus bertambah, dan hingga saat ini diperkirakan ada 70 juta penderita penyakit ini. Di Amerika Serikat, diperkirakan lebih dari 7 juta wanita mengidap endometriosis. Angka kejadian di Indonesia belum dapat diperkirakan karena belum ada studi epidemiologik, tapi dari data temuan di rumah sakit, angkanya berkisar 13,6-69,5% pada kelompok infertilitas. Bila persentase tersebut dikaitkan dengan jumlah penduduk sekarang, maka di negeri ini akan ditemukan sekitar 13 juta penderita endometriosis pada wanita usia produktif.5III. Anatomi UterusA. UterusUterus adalah suatu struktur otot yang cukup kuat, bagian luarnya ditutupi oleh peritoneum sedangkan rongga dalamnya dilapisi oleh mukosa uterus. Dalam keadaan tidak hamil, uterus terletak dalam rongga panggul di antara kandung kemih dan rektum. Uterus berbentuk seperti buah pear, mempunyai rongga yang terdiri dari tiga bagian besar, yaitu: badan uterus (korpus uteri), leher uterus (serviks uteri), dan rongga uterus (kavum uteri). Bagian uterus antara kedua pangkal tuba, yang disebut fundus uteri, merupakan bagian proksimal uterus. Serviks uteri terbagi atas dua bagian yaitu pars supravaginal dan pars vaginal. Bagian uterus antara serviks uteri dan korpus disebut ismus atau segmen bawah uterus, bagian penting dalam kehamilan dan persalinan karena akan mengalami peregangan.6Dinding uterus secara histologik terdiri atas tiga lapisan: lapisan serosa (lapisan peritoneum), lapisan otot (lapisan miometrium), lapisan mukosa (endometrium). Posisi dan letak uterus dalam rongga panggul terfiksasi dengan baik karena disokong dan dipertahankan oleh: tonus uterus sendiri, tekanan intra abdominal, otot-otot dasar panggul, dan ligamen-ligamen seperti ligamentum kardinal kanan dan kiri, ligamentum sakrouterina, ligamentum rotundum, ligamentum latum, dan ligamentum infundibulopelvikum.6Pada uterus selaput yang melapisi permukaan dalam miometrium disebut endometrium. Endometrium ini mempunyai tiga fungsi penting, yaitu sebagai tempat nidasi, tempat terjadinya proses haid, dan sebagai petunjuk gangguan fungsional dari steroid seks. Pada usia reproduksi dan dalam keadaan tidak hamil, endometrium mengalami berbagai perubahan siklik yang berkaitan dengan aktivitas ovarium. Endometrium terdiri atas dua lapisan, yaitu lapisan basal dan lapisan fungsional. Dibawah pengaruh estrogen, lapisan fungsional akan berploriferasi dan di bawah pengaruh estrogen dan progesteron lapisan itu akan mengalami sekresi. Bila terjadi fertilisasi dan implantasi, maka dari lapisan ini akan dibentuk desidua, dan bila tidak, akan timbul haid lagi.4

Gambar 2.Uterus(Dikutip dari kepustakaan 7)B. Ovarium

Gambar 3. Ovarium

(Dikutip dari kepustakaan 3)Terdapat dua ovarium di tubuh wanita, masing-masing di kiri dan kanan uterus, dilapisi mesovarium dan tergantung di belakang ligamentum latum. Bentuknya seperti buah almon, sebesar ibu jari tangan berukuran 2,5-5 cm x 1,5-2 cm x 0,6-1 cm. Ovarium ini posisinya ditunjang oleh mesovarium, ligamentum ovarika, dan ligamentum infundibulopelvikum.6Menurut strukturnya ovarium terdiri dari: korteks dan medulla. Korteks atau zona parenkimatosa terdiri dari tunika albuginea, yaitu epitel kubik, jaringan ikat, stroma, folikel primordial, dan folikel de Graaf. Medulla atau zona vaskulosa terdiri dari stroma berisi pembuluh darah, serabut saraf, dan otot polos.Pada wanita diperkirakan sekitar 100 ribu folikel primer. Pada masa reproduktif, tiap bulan satu folikel atau terkadang dua folikel akan matang. Fungsi ovarium yang utama adalah menghasilkan sel telur, menghasilkan hormon progesteron dan estrogen serta berperan dalam proses siklus haid.6

Gambar 4. Siklus Haid

(Dikutip dari Kepustakaan 3)

Siklus haid dapat dibedakan atas dua, yaitu :4a) Siklus Ovarium 1. Fase Folikular

Siklus diawali dengan hari pertama menstruasi atau terlepasnya endometrium. FSH merangsang pertumbuhan beberapa folikel primordial dalam ovarium. Umumnya, hanya satu yang terus berkembang dan menjadi folikel de Graaf dan yang lainnya berdegenerasi. Folikel terdiri dari sebuah ovum dan dua lapisan sel yang mengelilinginya. Lapisan dalam, yaitu sel-sel granulosa mensintesis progesteron yang disekresi ke dalam cairan folikular selama paruh pertama siklus menstruasi dan bekerja sebagai prekursor pada sintesis estrogen oleh lapisan sel teka interna yang mengelilinginya. Estrogen disintesis dalam sel-sel lutein pada teka interna. Di dalam folikel, oosit primer mulai menjalani proses pematangannya. Pada waktu yang sama, folikel yang sedang berkembang mensekresi estrogen lebih banyak. Peningkatan estrogen memberikan umpan balik positif terhadap pusat siklik untuk menekan produksi FSH, sehingga lobus anterior hipofisis dapat mengeluarkan hormon gonadotropin yang kedua, yakni LH (Luteinizing Hormone).42. Fase Ovulasi

Estrogen merupakan faktor utama yang berperan pada ovulasi. Peningkatan jumlah estrogen mengakibatkan feed back positif ke hipofisis anterior untuk menghasilkan LH. Sekresi LH terjadi perlahan-lahan pada hari ke-8 hingga 12, dan semakin cepat di atas hari 12. Di bawah pengaruh LH, folikel de Graaf menjadi lebih matang mendekati permukaan ovarium dan kemudian terjadilah ovulasi.4Pada ovulasi ini kadang-kadang terdapat perdarahan sedikit yang akan merangsang peritoneum di pelvis, sehingga timbul rasa sakit yang disebut intermenstrual pain. Setelah ovulasi terjadi, folikel de Graaf berubah menjadi korpus rubrum (berwarna merah oleh karena perdarahan tersebut di atas) yang kemudian menjadi korpus luteum (warnanya menjadi kuning) yang menghasilkan progesteron dan akan berpengaruh terhadap endometrium.3. Fase Luteal

Fase ini ditandai dengan produksi progesteron oleh korpus luteum dalam ovarium. Produksi progesteron bergantung dari produksi LH oleh hipofisis. Bila tidak ada pembuahan, korpus luteum berdegenerasi dan ini mengakibatkan kadar estrogen dan progeteron menurun. Bila terjadi pembuahan dalam masa ovulasi, maka korpus luteum tersebut dipertahankan.4

b) Siklus Endometrium

1. Fase proliferasi

Segera setelah menstruasi, endometrium dalam keadaan tipis dan dalam keadaan istirahat. Kadar estrogen yang meningkat dari folikel yang berkembang akan merangsang stroma endometrium untuk mulai tumbuh dan menebal, kelenjar-kelenjar menjadi hipertrofi dan berproliferasi serta pembuluh darah menjadi banyak. Kelenjar-kelenjar dan stroma berkembang sama cepatnya. Kelenjar makin bertambah panjang tetapi tetap lurus dan berbentuk tubulus. Stroma cukup padat pada lapisan basal tetapi makin ke permukaan semakin longgar. Pembuluh darah akan mulai berbentuk spiral dan lebih kecil. Lamanya fase proliferasi sangat berbeda-beda pada tiap orang dan berakhir pada saat terjadinya ovulasi.42. Fase Sekresi

Setelah ovulasi, dibawah pengaruh progesteron yang meningkat dan terus diproduksinya estrogen oleh korpus luteum, endometrium mulai menebal. Kelenjar menjadi lebih besar dan berkelok-kelok dan epitel kelenjar menjadi berlipat-lipat. Stroma menjadi edematosa dan pembuluh darah menjadi makin berebentuk spiral dan melebar. Lamanya fase sekresi sama pada setiap perempuan yaitu 14 2 hari.43. Fase Menstruasi

Korpus luteum berfungsi sampai kira-kira hari ke-23 atau 24 pada siklus 28 hari. Bila tidak ada pembuahan, korpus luteum berdegenerasi dan ini mengakibatkan kadar estrogen dan progesteron menurun. Menurunnya kadar estrogen dan progesteron menimbulkan efek pada arteri yang berkelok-kelok di endometrium. Tampak dilatasi dan statis sengan hiperemia yang diikuti oleh spasme dan iskemia. Sesudah itu terjadi degenerasi serta perdarahan dan pelepasan endometrium yang nekrotik. Proses ini disebut haid atau mensis. Bilamana ada pembuahan dalam masa ovulasi, maka korpus luteum tersebut akan dipertahankan, bahkan berkembang menjadi korpus luteum graviditatis.4Perdarahan menstruasi sebagian besar berasal dari arteri dan sebagian kecil dari vena. Sekret yang dikeluarkan agak berbau karena adanya sekresi dari kelenjar sebaseus dan dekomposisi elemen darah. Darah menstruasi memiliki jumlah protrombin dan fibrinogen yang kurang tetapi kaya akan kalsium. Secara mikroskopik darah menstruasi terdiri dari sel-sel darah merah, sejumlah besar leukosit,epitel vagina, mukus servikal, fragmen endometrium dengan makrofag, histiosit, sel mast dan bakteri. Sekret menstruasi juga terdiri dari kolestrol, estrogen, lipid dan prostaglandin.4IV. Etiologi & PatogenesisPenyebab endometriosis masih belum diketahui. Beberapa teori muncul menyangkut faktor anatomis, imunologis, hormonal, dan genetik.3,8,9,101. Teori Implantasi dan RegurgitasiTeori yang juga dikenal sebagai teori menstruasi retrograde ini pertama kali dikemukakan oleh John A.Sampson pada tahun 1927, endometriosis terjadi karena darah haid mengalir kembali (regurgitasi) melalui tuba ke dalam rongga pelvis. Sudah dibuktikan bahwa dalam darah haid didapati sel-sel endometrium yang masih hidup. Sel-sel endometrium yang masih hidup ini kemudian dapat mengadakan implantasi di pelvis. Teori ini paling banyak penganutnya, namun teori ini belum dapat menerangkan kasus endometriosis di luar pelvis. Teori ini berdasarkan 3 asumsi: pertama, terjadi menstruasi retrograde melalui tuba Fallopi selama menstruasi; kedua, refluks jaringan endometritik viabel pada kavum pertoneum; ketiga, jaringan endometritik yang viabel dapat melengket pada peritoneum melalui rangkaian proses invasi, implantasi, dan proliferasi. Awalnya teori ini tidak populer dan cukup lama ditinggalkan karena menstruasi retrograde diasumsikan sangat jarang terjadi. Beberapa penelitian kemudian membuktikan bahwa angka kejadian menstruasi retrograde cukup tinggi. Mula-mula oleh Watkins pada tahun 1938 yang melaporkan adanya tumpahan darah haid melalui tuba Fallopi wanita yang dilakukan operasi laparotomi saat haid. Setelah itu Goodal melaporkan menstruasi retrograde terjadi pada 50 persen wanita yang dilakukan laparotomi saat haid. Penelitian terakhir dengan pemeriksaan laparoskopi melaporkan angka kejadian menstruasi retrograde mencapai 70-90 persen wanita.8

Gambar 5. Teori Mentruasi Retrograde(Dikutip dari kepustakaan 11)2. Teori Metaplasia ( Rober Meyer)Pada teori ini dikemukakan bahwa endometriosis terjadi karena rangsangan pada sel-sel epitel berasal dari selom yang dapat mempertahankan hidupnya di daerah pelvis. Rangsangan ini akan menyebabkan metaplasia dari sel-sel epitel itu, sehingga terbentuk jaringan endometrium. Teori metaplasia selom (coelomic) menunjukkan bahwa peritoneum parietalis adalah jaringan pluripotensial yang dapat mengalami transformasi metaplasia menjadi jaringan histologi yang tidak dapat dibedakan dari endometrium normal. Karena ovarium dan progenitor endometrium, saluran mullerian, berasal dari epitel selom, metaplasia dapat menjelaskan perkembangan endometriosis ovarium. Selain itu, teori tersebut telah diperluas sampai mencakup peritoneum karena potensi proliferasi dan diferensiasi dari mesotelium peritoneal. Teori ini menarik pada kasus endometriosis tanpa adanya menstruasi, seperti pada wanita premenarche dan menopause, dan pada laki-laki dengan karsinoma prostat diterapi dengan estrogen dan orchiektomi. Namun, tidak adanya endometriosis pada jaringan lain yang berasal dari epitel selom menentang teori ini. 3,9,103. Teori ImunologikMenurut teori ini faktor genetik dan imunologis sangat berperan terhadap timbulnya endometriosis. Ditemukan penurunan imunitas seluler pada jaringan endometrium wanita yang menderita endometriosis. Cairan peritoneumnya ditemukan aktivitas makrofag yang meningkat, penurunan aktivitas natural killer cell, dan penurunan aktivitas sel-sel limfosit. Makrofag akan mengaktifkan jaringan endometriosis dan penurunan sistem imunologis tubuh akan menyebabkan jaringan endometriosis terus tumbuh tanpa hambatan. Makin banyak regurgitasi darah haid, makin banyak pula sistem pertahanan tubuh yang terpakai.Pada wanita dengan darah haid sedikit, atau pada wanita yang jarang haid, sangat jarang ditemukan endometriosis.Disamping itu masih terbuka kemungkinan timbulnya endometriosis dengan jalan penyebaran melalui darah ataupun limfe.3,84. Teori Penyebaran Limfatik dan Hematogen ( Halban)Teori ini dikemukakan atas dasar jaringan endometrium menyebar melalui saluran limfatik yang mendrainase rahim, dan kemudian diangkut ke berbagai tempat pelvis dimana jaringan. Temuan endometriosis di lokasi yang tidak biasa, seperti perineum atau pangkal paha, memperkuat teori ini. Wilayah retroperitoneal memiliki sirkulasi limfatik berlimpah. Dengan demikian, pada kasus-kasus di mana tidak ada ditemukan implantasi peritoneal, tetapi semata-mata merupakan lesi retroperitoneal yang terisolasi, diduga menyebar secara limfatik. Selain itu, kecenderungan adenokarsinoma endometrium untuk menyebar melalui jalur limfatik menunjukkan endometrium dapat diangkut melalui jalur ini. Meskipun teori ini tetap menarik, beberapa studi telah melakukan eksperimen mengevaluasi bentuk transmisi endometriosis ini.3Dari beberapa teori penyebab endometriosis yang dikemukakan beberapa pustaka juga memaparkan faktor-faktor resiko yang terdapat pada endometriosis:1. Familial clustering Beberapa bukti yang berkaitan dalam terjadinya endometriosis. Meskipun pola warisan genetik mendel yang telah diidentifikasi tidak jelas, kejadian meningkat pada anak kandung. Sebagai contoh dalam studi genetik wanita dengan endometriosis, Simpson dan rekan-rekannya (1980) mencatat bahwa 5,9% dari saudara kandung perempuan dan 8,1% dari ibu yang telah menderita endometriosis dibandingkan dengan 1% dari saudara perempuan tingkat pertama suami. Penelitian lebih lanjut telah mengungkapkan bahwa wanita dengan endometriosis dan anak kandung yang menderita endometriosis lebih cenderung memiliki endometriosis berat (61%) daripada wanita tanpa anak kandung yang menderita endometriosis (24%). Selain itu, Stefansson dan rekan-rekannya (2002), dalam analisis mereka dari studi berbasis populasi besar di Islandia, menunjukkan koefisien kekerabatan yang lebih tinggi pada wanita dengan endometriosis dibandingkan dengan kontrol. Dalam studi ini, rasio risiko adalah 5.2 untuk saudara kandung dan 1,56 untuk sepupu. Studi juga menunjukkan indeks untuk endometriosis pada pasangan kembar monozigot, memberi kesan sebuah dasar genetik.32. Cacat anatomiObstruksi saluran reproduksi dapat menjadi predisposisi perkembangan endometriosis, kemungkinan melalui eksaserbasi menstruasi retrograd. Dengan demikian, endometriosis telah diidentifikasi pada wanita dengan selaput dara imperforata dan septum vagina transversal. Karena asosiasi ini, laparoskopi diagnostik untuk mengidentifikasi dan mengobati endometriosis disarankan pada saat operasi korektif untuk banyak anomali. Perbaikan cacat anatomi tersebut dilakukan untuk mengurangi risiko pengembangan endometriosis.33. Polusi Lingkungan.

Ada banyak penelitian menunjukkan paparan polusi lingkungan mungkin memainkan peran dalam perkembangan endometriosis. Polusi yang paling sering adalah 2,3,7,8-tetrachlorodibenzo-p-dioksin (TCDD) dan senyawa dioxinlain. Pada saat berikatan, TCDD mengaktifkan reseptor aril hidrokarbon. Fungsi reseptor ini sebagai faktor transkripsi dasar, dan mirip dengan kelompok reseptor hormon steroid protein, mengarahkan ke berbagai transkripsi gen. Akibatnya, TCDD dan senyawa dioxin lain bisa merangsang endometriosis melalui peningkatan jumlah interleukin, aktivasi enzim sitokrom P-450 seperti aromatase, dan perubahan dalam remodeling jaringan. Selain itu, TCDD dalam hubungannya dengan kehadiran estrogen untuk merangsang pembentukan endometriosis, dan dengan adany TCDD untuk memblokir progesteron yang menginduksi regresi endometriosis.3Dalam lingkungan, TCDD dan senyawa dioxin adalah limbah pengolahan produk industri. Mengkonsumsi makanan yang terkontaminasi atau kontak yang tidak disengaja adalah bentuk paparan yang paling sering terjadi. Meskipun endometriosis dan TCDD pada awalnya dikaitkan dengan binatang primata, studi pada manusia juga mencatat prevalensi endometriosis lebih tinggi pada wanita dengan konsentrasi dioxin dalam ASI (air susu ibu)yang tinggi. Selain itu, studi selanjutnya telah menunjukkan jumlah dioxin serum lebih tinggi pada wanita infertil dengan endometriosis dibandingkan dengan infertil kontrol.3V. Gejala Klinis Aktivitas jaringan endometriosis sama halnya dengan endometrium yakni sangat bergantung pada hormon. Aktivitas jaringan endometriosis akan terus meningkat selama hormon masih ada dalam tubuh, setelah menopause gejala endometriosis akan menghilang.9Gejala-gejala yang sering ditemukan pada penyakit ini adalah:4,10a) Dismenore adalah nyeri haid siklik merupakan gejala yang sering dijumpai. Terjadi 1-3 hari sebelum haid dan dengan makin banyaknya darah haid yang keluar keluhan dismenorea pun akan mereda. penyebab dari dismenorea ini belum diketahui, tetapi diduga berhubungan dengan adanya vaskularisasi dan perdarahan dalam sarang endometriosis pada waktu sebelum dan semasa haid.b) Dispareunia merupakan gejala tersering dijumpai setelah dismenorea, keluhan ini disebabkan adanya endometriosis di dalam kavum Douglasi.c) Diskezia atau nyeri pada saat defekasi terutama pada waktu haid, disebabkan oleh adanya endometriosis pada rektosigmoid. Kadang-kadang bisa terjadi stenosis dari lumen usus besar tersebut. d) Endometriosis pada kandung kencing jarang terdapat, gejalanya berupa gangguan miksi dan hematuria pada waktu haid. e) Gangguan haid dan siklusnya dapat terjadi apabila kelainan pada ovarium yang luas sehingga mengganggu fungsi ovarium. f) Infertilitas juga merupakan suatu gejala endometriosis yang masih sulit dimengerti. Tetapi faktor penting yang menyebabkan infertilitas pada endometriosis ialah mobilitas tuba terganggu karena fibrosis dan perlekatan jaringan disekitarnya.g) Ada korelasi yang nyata antara endometriosis dan infertilitas. Sebanyak 30% - 40% wanita dengan endometriosis mengalami infertilitas. Menurut Rubin kemungkinan untuk hamil pada wanita dengan endometriosis ialah kurang lebih separuh dari wanita biasa. Faktor penting yang menyebabkan infertilitas pada endometriosis adalah apabila motilitas tuba terganggu akibat fibrosis dan perlekatan jaringan di sekitarnya.

Gambar 6. Mekanisme Perkembangan Endometriosis(Dikutip dari kepustakaan 15)Pada pemeriksaan ginekologi, khususnya pada pemeriksaan vaginorektoabdominal, ditemukan pada endometriosis ringan pada benda-benda padat sebesar butir beras sampai butir jagung di kavum douglas dan pada ligamentum sakrouterinum dengan uterus dalam retrofleksi dan terfiksasi.4VI. DiagnosisA. Anamnesis

Keluhan utama pada endometriosis adalah nyeri. Nyeri pelvik kronis yang disertai infertilitas juga merupakan masalah klinis utama pada endometriosis. Endometrium pada organ tertentu akan menimbulkan efek yang sesuai dengan fungsi organ tersebut, sehingga lokasi penyakit dapat diduga. Riwayat dalam keluarga sangat penting untuk ditanyakan karena penyakit ini bersifat diwariskan. Kerabat jenjang pertama berisiko tujuh kali lebih besar untuk mengalami hal serupa. Endometriosis juga lebih mungkin berkembang pada saudara perempuan monozigot daripada dizigot. Rambut dan nevus displastik telah diperlihatkan berhubungan dengan endometriosis.3,10B. Tanda dan Gejala

Gejala dan tanda pada endometriosis tidak spesifik. Gejala pada endometriosis biasanya disebabkan oleh pertumbuhan jaringan endometriosis, yang dipengaruhi hormon ovarium selama siklus haid, berupa nyeri pada daerah pelvik, akibat dari:a) melimpahnya darah dari endometrium sehingga merangsang peritoneum. b) kontraksi uterus akibat meningkatnya kadar prostaglandin (PGF2alpha dan PGE) yang dihasilkan oleh jaringan endometriosis itu sendiri.Dismenore pada endometriosis umumnya bersifat sekunder atau peningkatan dari yang primer, dimenore dan dispareuni makin mengarah ke endometriosis jika gejala muncul bertahun-tahun dengan haid dan senggama yang semula tanpa nyeri. Semakin lama dan berat intensitas nyeri semakin berat stadium endometriosis pada diagnosis awal. Endometriosis juga dijumpai ekstrapelvik, sehingga menimbulkan gejala yang tidak khas. Dispareunia juga dirasakan pada daerah kavum douglas dan nyeri pinggang yang semakin berat selama haid nyeri rektum dan saat defekasi juga dapat terjadi tergantung daeran invasi jaringan endometriosisnya. Sering dirasakan nyeri pelvik siklik yang mungkin berkaitan dengan nyeri traktus urinarius dan gastrointestinal. Pada penderita endometriosis juga sering dijumpai infertilitas. Gangguan haid berupa bercak prahaid atau hipermenore.2,16C. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik umum jarang dilakukan kecuali penderita menunjukkan adanya gejala fokal siklik pada daerah organ non ginekologi. Pemeriksaan dilakukan untuk mencari penyebab nyeri yang letaknya kurang tegas dan dalam. Endometrioma pada parut pembedahan dapat berupa pembengkakan yang nyeri dan lunak fokal dapat menyerupai lesi lain seperti granuloma, abses dan hematom.3,16Pada pemeriksaan fisik ginekologik, pada genitalia eksterna dan permukaan vagina biasanya tidak ada kelainan. lesi endometriosis terlihat hanya 14,4% pada pemeriksaan inspekulo, sedangkan pada pemeriksaan manual lesi ini teraba pada 43,1% penderita. Ada keterkaitan antara stenosis pelvik dan endometriosis pada penderita nyeri pelvik kronik. Paling umum, tanda positif dijumpai pada pemeriksaan bimanual dan rektovaginal. Hasil pemeriksaaan fisik yang normal tidak menyingkirkan diagnosis endometriosis, pemeriksaan pelvik sebagai pendekatan non bedah untuk diagnosis endometriosis dapat dipakai pada endometrioma ovarium. Jika tidak tersedia pemeriksaan penunjang lain yang lebih akurat untuk menegakkan diagnosis endometriosis, gejala, tanda fisis dan pemeriksaan bimanual dapat digunakan.3,16 Tabel 1. Kemungkinan endometriosis berdasarkan gejala(Dikutip dari kepustakaan 15)D.Pemeriksaan Penunjang1. Pemeriksaan Laboratorium

Pada endometriosis, pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk menyingkirkan penyebab lain nyeri pelvic. Pemeriksaan darah rutin, urin rutin, kultur urin dan vaginal swab mungkin diperlukan untuk menyingkirkan infeksi atau penyakit menular seksual penyakit infeksi panggul.3Selain itu, serum antigen kanker CA-125 sering meningkat pada wanita dengan endometriosis. Namun, marker ini juga meningkat pada penyakit pelvik lain dan mempunyai spesifitas yang kecil dalam diagnosis endometriosis.32. Pemeriksaan RadiologiUltrasonografi transabdominal dan transvaginal telah digunakan dalam membantu mendiagnosis endometriosis. Walaupun USG transvaginal digunakan untuk mengevaluasi gejala terkait endometriosis dan akurat dalam mendeteksi endometrioma, gambaran endometriosis superfisial dan adhesi endometriotik yang didapatkan tidak adekuat. Teknik radiologi lainnya seperti CT-Scan, dan MRI, dapat digunakan hanya untuk sebagai konfirmasi tambahan saja, tapi tidak dapat digunakan sebagai alat bantu diagnosis utama, karena selain biaya lebih mahal dari USG, informasi yang diberikan masih dapat kurang jelas.33. Pemeriksaan Laparoskopi

Diagnosis pasti endometriosis hanya dapat ditegakkan dengan pemeriksaan laparoskopi dan pemeriksaan histopatologik. Merupakan baku emas yag harus dilakukan untuk menegakkan diagnosis endometriosis, dengan pemeriksaan visualisasi langsung ke rongga abdomen,yang mana pada banyak kasus sering dijumpai jaringan endometriosis tanpa adanya gejala klinis. Invasi jaringan endometrium paling sering dijumpai pada ligamentum sakrouterina, kavum douglasi, kavum retzi, fossa ovarika, dan dinding samping pelvik yang berdekatan. Selain itu juga dapat ditemukan di daerah abdomen atas, permukaan kandung kemih dan usus. 3,12Penampakan klasik dapat berupa jelaga biru-hitam blue-black powder-burn dengan keragaman derajat pigmentasi dan fibrosis di sekelilingnya. Warna hitam disebabkan timbunan hemosiderin dari serpihan haid yang terperangkap, kebanyakan invasi ke peritoneum berupa lesi-lesi atipikal tak berpigmen berwarna merah atau putih..3,10,12

Gambar 7 : Lesi kemerahan endometriosis pada berbagai tempat.(Dikutip dari kepustakaan 10)

Tabel 2. Hubungan warna lesi endometriosis peritoneal secara laparoskopi dan makna klinisnya (Dikutip dari kepustakaan 10)4. Pemeriksaan HistopatologikPada pemeriksaan histopatologik dapat dijumpai ciri-ciri khas endometriosis, yaitu kelenjar-kelenjar dan stroma endometrium, dan perdarahan bekas dan baru berupa eritrosit pigmen hemosiderin dan sel-sel radang dan jaringan ikat, sebagai reaksi jaringan normal di sekelilingnya.endometriosis yang menyebuk dalam dan makrofag yang termuati hemosiderin dapat dikenal pada 77% bahan biopsi endometriosis. Secara histopatologis, endometriosis ada beberapa bentuk (distrofik, glanduler, stroma, atau diferensiasi progresif) 3

Gambar 8.Pemeriksaan histopatogik.Tampak kelenjar dan stroma endometrium pada colon.

(Dikutip dari kepustakaan 3) VII. Klasifikasi

A.Klasifikasi Menurut The American Society for Reproductive MedicineThe American Society for Reproductive Medicine merupakan pedoman yang digunakan untuk klasifikasi endometriosis. Pembagian ini berdasarkan permukaan, ukuran, dan kedalaman implantasi ovarium dan peritoneum. Meskipun tidak berhubungan dengan beratnya nyeri, pembagian ini dapat memprediksikan kemungkinan untuk hamil. Tambahan pula identifikasi visual endometriosis ini tidak akurat pada kebanyakan kasus; oleh itu sistem klasifikasi ini hanya untuk penggunaan praktis harian.1,3The American Society for Reproductive Medicine Revised Classification of Endometriosis yang sudah direvisi

Tabel 3. American Society for Reproductive Medicine Revised Classification of Endometriosis yang telah direvisi(Dikutip dari kepustakaan 12)

Gambar 9 : Revisi Klasifikasi Endometriosis oleh The American Fertility Society

(Dikutip dari kepustakaan 1)Pada tahun 2009, seorang peneliti yang berasal dari Amerika Serikat mengembangkan sebuah indeks fertilitas pada penderita endometriosis setelah surgical staging, yaitu Endometriosis Fertility Index (EFI) dengan menggunakan status fungsional dari tuba, ovarium, dan fimbri, untuk memprediksi kemungkinan mereka hamil secara alami.13

Tabel 4. Derajat Disfungsi Tuba, Fimbria, dan Ovarium

(Dikutip dari kepustakaan 12)B. Klasifikasi menurut Acosta 1) Ringan

a. Endometriosis menyebar tanpa perlekatan pada anterior b. atau posterior kavum Douglasi atau permukaan ovarium atau peritoneum pelvis.2) Sedang

a. Endometriosis pada satu atau kedua ovarium disertai parut dan retraksi atau endometrioma kecil.

b. Perlekatan minimal juga di sekitar ovarium yang mengalami endometriosis.

c. Endometriosis pada anterior atau posterior kavum Douglasi dengan parut dan retraksi atau perlekatan, tanpa implantasi di kolon sigmoid.3) Berat

a. Endometriosis pada satu atau dua ovarium, ukuran lebih dari 2 x 2 cmb. Perlekatan satu atau dua ovarium atau tuba atau kavum Douglasi karena endometriosis.

c. Implantasi atau perlekatan usus dan/ atau traktus urinarius yang nyata.VIII. Diagnosis BandingAdenomiosis uteri, radang pelvik dengan tumor adneksa dapat menimbulkan kesukaran dalam diagnosis. Pada kelainan di luar endometriosis jarang terdapat perubahan-perubahan berupa benjolan kecil di kavum Douglasi dan ligamentum sakrouterina. Kombinasi adenomiosis uteri atau mioma uteri dengan endometriosis dapat pula ditemukan. Endometriosis ovarii dapat menimbulkan kesukaran diagnosis banding dengan kista ovarium.4IX. PenatalaksanaanPengobatan untuk endometriosis bergantung pada gejala khusus wanita itu, tingkat keparahan gejala, lokasi lesi endometriosis, tujuan untuk pengobatan, dan keinginan untuk melestarikan kesuburan masa depan. Faktor yang paling penting ketika menentukan pengelolaan yang paling tepat adalah apakah pasien mencari pengobatan untuk infertilitas atau sakit, sebagai pengobatan akan berbeda berdasarkan gejala.3,131. Terapi EkpektatifBeberapa peneliti memakai strategi pengobatan yang disebut terapi ekspektatif. Penderita endometriosis yang didiagnosis dengan laparoskopi, akan diobservasi untuk mencapai suatu kehamilan tanpa terapi (treatment-independent therapy). Dasar dari terapi ekspektatif adalah endometriosis yang ringan tanpa disertai keluhan simptomatik tidak akan memberikan efek pada fertilitas.14Pengobatan ekspektatif ini akan berguna bagi wanita dengan gejala dan kelainan fisik yang ringan. Pada wanita yang sudah agak berumur, pengawasan ini bisa dilanjutkan sampai menopause, karena sesudah itu gejala-gejala endometriosis hilang sendiri. Sikap yang sama diambil pada wanita yang lebih muda, yang tidak mempunyai persoalan tentang infertilitas, akan tetapi pada wanita yang ingin mempunyai anak, jika ditunggu 1 tahun tidak terjadi kehamilan, perlu dilakukan pemeriksaan terhadap infertilitas dan diambil sikap yang lebih aktif. Pada observasi seperti yang diterangkan sebelumnya, harus dilakukan pemeriksaan secara periodik dan teratur untuk meneliti perkembangan penyakitnya dan jika perlu mengubah sikap ekspektatif. Dalam masa observasi ini dapat diberikan pengobatan paliatif berupa pemberian analgesikuntuk mengurangi rasa nyeri.4Terapi analgesik yang sering digunakan untuk penderita endometriosis adalah obat anti inflamasi non steroid (NSAID). NSAID menghambat siklooksigenase isoenzim 1 dan 2 (COX-1 dan COX-2), dan dalam kelompok ini, selektif COX-2 inhibitor selektif menghambat COX-2 isoenzyme. Enzim ini bertanggung jawab untuk sintesis prostaglandin yang terlibat dalam rasa sakit dan peradangan yang terkait dengan endometriosis. Obat anti-inflamasi nonsteroid menjadi lini pertama terapi pada wanita dengan dismenorea primer atau nyeri panggul sebelum konfirmasi laparoskopi endometriosis, dan pada wanita dengan gejala rasa sakit yang minimal atau ringan yang berhubungan dengan endometriosis diketahui. Jenis NSAID yang umum digunakan yaitu ibuprofen dan asam mefenamat.32. Terapi hormonal

Sebagai dasar pengobatan hormonal ialah bahwa pertumbuhan dan fungsi jaringan endometriosis, seperti jaringan endometrium yang normal, yang dikontrol oleh hormon-hormon steroid. Data laboratorium menunjukkan bahwa jaringan endometriosis pada umumnya mengandung reseptor estrogen, progesteron dan androgen. Pada hewan coba, estrogen merangsang pertumbuhan jaringan endometriosis, androgen menyebabkan atrofi sedangkan pengaruh progesteron kontroversial. Progesteron sendiri mungkin merangsang pertumbuhan endometriosis, namun progesteron sintetik yang umumnya mempunyai efek androgenik tampaknya menghambat pertumbuhan endometriosis.4Atas dasar tersebut, maka prinsip dasar pengobatan hormonal endometriosis adalah menciptakan lingkungan hormon yang rendah estrogen dan asiklik. Kadar estrogen yang rendah menyebabkan atrofi jaringan endometriosis. Sedangkan keadaan yang asiklik mencegah terjadinya haid, yang berarti tidak terjadinya pelepasan jaringan endometrium yang normal maupun jaringan endometriosis. Prinsip kedua yaitu menciptakan lingkungan hormon yang tinggi androgen atau tinggi progestogen (progesteron sintetik) yang secara langsung menyebabkan atrofi jaringan endometriosis.4a) Pil Kontrasepsi KombinasiPil Kontrasepsi Kombinasi (estrogen dan progestron) dapat digunakan untuk terapi endometriosis. Obat ini berkerja dengan cara menghambat aksis hipotalamik-ovari. Ia menghambat hormon luteinizing (LH) dan hormon stimulasi folikel (FSH), menghalang ovulasi dan menyebabkan dinding endometrium menjadi atrofi. 3,13Terapi standar yang dianjurkan adalah 0,03 mg etinil estradiol dan 0,3 mg norgestrel per hari. Bila terjadi breakthrough, dosis ditingkatkan menjadi 0,05 mg etinil estradiol dan 0,5 mg norgestrel per hari atau maksimal 0,08 mg etinil estradiol dan 0,8 mg norgestrel per hari. Pemberian tersebut terus menerus setiap hari selama 6-9 bulan, bahkan ada yang menganjurkan minimal satu tahun dan bila perlu dilanjutkan sampai 2-3 tahun.4Dilaporkan bahwa 30% penderita menyatakan keluhannya berkurang dan hanya 18% yang secara obyektif mengalami kesembuhan, 41% penderita tidak menyelesaikan terapinya karena mengalami efek samping. Efek samping dari terapi ini seperti nyeri kepala, nausea, perdarahan ireguler, dan pertambahan berat badan.4,13b) Gonadotropin-releasing Hormon Analog (GnRH analog)

GnRH analog telah digunakan secara efektif untuk membebaskan nyeri dan mengurangi ukuran dari implantasi endometriosis. Obat ini menekan produksi estrogen oleh ovarium dengan menghambat sekresi hormon pengatur dari kelenjar pituitari. Sebagai akibatnya, periode-periode menstruasi berhenti, seperti menopause. Agonis GnRH mensuplai stimulasi secara konstan pada reseptor LHRH. Ini menghambat aksis pituitari-ovarium dan menyebabkan sekresi FSH dan LH berkurang sekaligus kadar estrogen dan progesteron turut berkurang. Ini menyebabkan dinding endometrium menjadi atrofi dan hipoestrogenik.Dosis yang dianjurkan adalah leuprolin asetat 3,75mg/bulan secara injeksi intramuskular selama 6 bulan. Terapi ini dilimitasi selama 6 bulan untuk menghindari efek samping yang dapat terjadi karena keadaan hipoestrogenik seperti sakit kepala, hot flushes, depresi, pengurangan densitas tulang, perubahan mood dan perubahan profil lipoprotein.1,10,13c) AndrogenPreparat yang dipakai adalah metiltestosteron sublingual dengan dosis 5 mg sampai 10 mg per hari. Kerugian terapi ini adalah dapat menyebabkan maskulinisasi terutama pada dosis jangka panjang. Selain itu masih mungkin terjadi ovulasi atau kehamilan terutama pada dosis 5 mg perhari. Bila terjadi kehamilan, terapi harus dihentikan karena dapat menyebabkan cacat bawaan pada janin.4d) Progestin

Progestin mempunyai efek antiendometriotik yang menyebabkan desidualisasi dan atrofi pada jaringan endometrium. Progestin juga menghambat ovulasi dengan menghambat luteinizing hormon (LH) dan mungkin dapat menyebabkan amenore. Dosis yang diberikan adalah medroksiprogesteron asetat 30-50 mg per hari atau noerestisteron asetat 30 mg per hari. Pemberian parenteral dapat menggunakan medroksiprogesteron asetat 150 mg setiap 3 bulan sampai 150 mg setiap bulan.Penghentian terapi parenteral dapat diikuti dengan anovulasi selama 6-12 bulan, sehingga cara ini tidak menguntungkan bagi mereka yang ingin segera mempunyai anak. Lama pengobatan dengan progestogen yang dianjurkan adalah 6-9 bulan. Efek samping yang dapat terjadi adalah breakthrough bleeding, perubahan mood, perdarahan ireguler, amenore, muntah, pertambahan berat badan dan retensi cairan. Terapi ini sesuai untuk penderita endometriosis yang tidak segera ingin hamil.3,4e) DanazolDanazol menimbulkan keadaan asiklik, androgen tinggi, dan estrogen rendah.Dosis yang digunakan untuk endometriosis ringan (stadium 2) atau sedang (stadium 3) adalah 400 mg perhari sedangkan untuk endometriosis yang berat (stadium 4) dapat diberikan sampai 800 mg perhari. Lama pemberian minimal 6 bulan dapat pula diberikan 12 minggu sebelum terapi pembedahan konservatik dilakukan. Danazol memilki efek samping berupa akne, hirsutisme, kulit berminyak, perubahan suara, pertambahan berat badan, dan edema.Kehamilan dan menyusui merupakan kontrindikasi absolut dari pemakaian danazol.63. Terapi PembedahanTerapi pembedahan dapat digunakan pada penderita endometriosis yang berat atau yang tidak berespon baik dengan terapi medis atau penderita dengan keluhan infertilitas, terapi pembedahan ini terdiri daripada terapi pembedahan konservatif dan pembedahan definitif.11,14a) Terapi KonservatifTerapi ini bertujuan untu mengembalikan anatomi normal penderita dan mengurangi serta menghilangkan lesi endometriotik. Pembedahan konservatif dapat dilakukan dengan dua cara pendekatan yakni laparotomi atau laparoskopi operatif3,101. Eksisi atau destruksi dengan cara vaporisasi laser, elektrokoagulasi, koagulasi termal secara langsung pada permukaan lesi atau dapat juga eksisi komplit pada endometrioma.

2. Laparoscopic Uterine Nerve Ablation (LUNA) adalah prosedur pembedahan konservatif yang digunakan untuk mengatasi dismenore, atau nyeri saat menstruasi, yang disebabkan oleh endometriosis. Selama prosedur, dokter bedah dapat memotong, membakar, atau menghancurkan bundel saraf simpatik dan para-simpatik. Saraf ini membawa sensasi rasa sakit dari uterus, dan ilmuwan percaya bahwa saraf ini yang terlibat dalam dismenore. Studi menunjukkan bahwa LUNA dapat mengurangi dismenore pada 80 persen wanita.b) Terapi Definitif

Terapi ini terdiri daripada histerektomi dengan bilateral salfingooferektomi, eksisi luas pada permukaan peritoneal atau endometrioma dan adhesiolisis. Histerektomi total dan oferektomi bilateral sesuai untuk penderita yang tidak mau mempertahankan fungsi reproduksinya. Namun, sesudah histerektomi dan oforektomi bilateral, pasien mempunyai resiko hipoestrogenisme prematur seperti hot flushes, osteoporosis dan menurunnya libido. Biasanya setelah operasi ini, diberikan terapi pengganti hormon post-operatif.Gabungan dosis rendah estrogen-progestin adalah bentuk pengobatan yang diinginkan dari terapi hormon postmenopause setelah perawatan bedah radikal.3,10,15X. PencegahanKehamilan adalah cara pencegahan yang paling baik untuk endometriosis. Gejala-gejala endometriosis memang berkurang atau hilang pada waktu dan sesudah kehamilan kerana regrasi endometrium dalam sarang-sarang endometriosis. Oleh sebab itu hendaknya perkawinan jangan ditunda terlalu lama, dan sesudah perkawinan hendaklah diusahakan mendapat anak-anak yang diinginkan dalam waktu yang tidak terlalu lama. Sikap demikian itu tidak hanya merupakan profilaksis yang baik terhadap endometriosis timbul. Selain itu, jangan melakukan pemeriksaan yang kasar atau melakukan kerokan pada waktu haid, kerana dapat menyebabkan mengalirnya darah haid dari uterus ke tuba dan ke rongga panggul.4XI. PrognosisKonseling yang tepat pada penderita endometriosis memerlukan perhatian pada beberapa aspek penyakit tersebut. Yang paling penting adalah penilaian awal derajat penyakit secara operatif. Simptom dan keinginan pasien untuk mendapatkan anak turut menjadi penentu jenis terapi yang sesuai.Perhatian jangka panjang harus dilakukan karena semua terapi memberikan perbaikan namun tidak menyembuhkan, walaupun setelah terapi definif, endometriosis masih dapat muncul kembali. Namun resikonya cukup rendah (kira-kira 30%). Terapi pengganti estrogen tidak meningkatkan resiko secara signifikan. Selain itu, setelah terapi konservatif, dilaporkan kadar kekambuhan bervariasi namun umumnya lebih 10% dalam 3 tahun dan lebih 35% dalam 5 tahun. Kadar rekurensi setelah terapi medis juga bervariasi dan dilaporkan hampir sama dengan terapi pembedahan.Walaupun banyak penderita mengetahui endometriosis mempunyai sifat progresif yang lama, namun terapi konservatif dapat mencegah histerektomi pada kebanyakan kasus. Penyebab endometriosis pada setiap individu tidak dapat langsung diprediksi dan modalitas terapi akan datang harus lebih baik dari terapi yang adasaat ini.1XII. KesimpulanEndometriosis adalah suatu keadaan dimana jaringan endometrium yang masih berfungsi terdapat di luar kavum uteri. Jaringan ini yang terdiri atas kelenjar-kelenjar dan stroma, terdapat di dalam miometrium ataupun di luar uterus. Bila jaringan endometrium terdapat di dalam miometrium disebut adenomiosis, dan bila di luar uterus disebut endometriosis. Lokasi yang sering ditemukan endometriosis adalah pada ovari, septum retrovaginal dan rongga pelvik. Penyebab utama endometriosis belum dapat dipastikan, akan tetapi kemungkinan dapat disebabkan aliran menstruasi mundur, metaplasia, penyebaran limfatik dan vaskuler, faktor imunologik serta induksi hormonal.Gejala endometriosis yang sering dirasakan oleh penderita yaitu antara lain berupa nyeri haid (dismenore), nyeri panggul kronik, nyeri saat berhubungan (dispareunia) dan infertilitas. Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan juga pemeriksaan laparoskopi.

Pengobatan untuk endometriosis bergantung pada gejala khusus wanita itu, tingkat keparahan gejala, lokasi lesi endometriosis, tujuan untuk pengobatan, dan keinginan untuk melestarikan kesuburan masa depan. Faktor yang paling penting ketika menentukan pengelolaan yang paling tepat adalah apakah pasien mencari pengobatan untuk infertilitas atau sakit, sebagai pengobatan akan berbeda berdasarkan gejala. Penanganan dapat dilakukan dengan terapi medis seperti pemberian analgesik, GnRH agonis, progestin, pil kontrasepsi oral dan danazol. Sedangkan untuk terapi pembedahan, sering dilakukan secara konservatif yaitu dengan laparoskopi dan laparotomi melalui pelepasan pelekatan, merusak jaringan endometriotik, rekonstruksi anatomi sebaik mungkin, mengangkat kista dan melenyapkan implantasi dengan sinar atau elektrokauter dan secara definitif dengan histerektomi, bilateral salfingooferektomi, eksisi luas pada permukaan peritoneal atau endometrioma dan adhesiolisis.DAFTAR PUSTAKA

1. Alan DeCherney, Kenneth Muse. Endometriosis. In: Alan DeCherney, Lauren Nathan, Murphy Goodwin, Neri Laufer, eds. (Lange) Current Diagnosis & Treatment Obstetrics & Gynecology, Ed. 10th. Amerika: The McGraw-Hill Companies. 20072. Derek Llewellyn , Jones. Fundamentals of Obstetrics and Gynaecology, Ed. 6th. Sydney: Hipokrates. 2002. p.254-93. Bruce, Carr. Endometriosis. In: John Schorge, Joseph Schaffer, Lisa Halvorson, Barbara Hoffman, Karen Bradshaw, Gary Cunningham. Williams Gynecology. China: The McGraw-Hill Companies. 20084. Prabowo, Raden Prajitno. Endometriosis. Dalam: Wikojosastro H, Abdul Bari Saifuddin, Triatmojo Rachimhadhi. Ilmu Kandungan, Edisi ke 2. Jakarta; Balai Penerbit FKUI:2008.p.316-275. Danudjo Oepomo, T. Dampak Endometriosis pada Kualitas Hidup Perempuan. [serial online]. [cited 2012 Mei 7]. Available from: http://www.google.co.id/#hl=id&biw=1366&bih=551&sclient=psyab&q=Dampak+Endometriosis+pada+Kualitas+Hidup+Perempuan6. Mochtar R. Anatomi Alat-Alat Kandungan. Dalam: Sinopsis Obstetri, edisi 2. Jakarta: EGC. 1998: p.5-127. Anonymous. Chapter 27 Uterine Anatomy. [serial online]. [cited 2012 Mei 7]. Available from: http://apbrwww5.apsu.edu/thompsonj/Anatomy %20&%20Physiology/2020/2020%20Exam%20Reviews/Exam%205/CH27%20Uterine %20Anatomy.htm8. Overton, Caroline., Davis, Colin,. McMillan, Lindsay,. Shaw, Robert W. An Atlas of Endometriosis Third Edition. United Kingdom; Informa Healthcare:20079. Berek J. Berek & Novak's Gynecology, Ed. 14th. California: Lippincott Williams & Wilkins. 200710. Kapoor D. Endometriosis.[serial online]. [cited 2012 Mei 7]. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/271899-overview#showall11. Krotec JW, Perkins S. Endometriosis for Dummies. New York: Wiley Publishing, Inc. 2007.p.55-7712. Adamson, GD. Pasta, DJ. Endometriosis Fertility Index: The New, Validated Endometriosis Staging System. [serial online]. [cited 2012 Mei 7]. Available from: http://www.endometriosiszone.org/content/PDF/EFI-Endometriosis-FNS-Fertil-Steril-Article.pdf13. Pernol M. Benson and Pernolls, Handbook of Obstetrics Gynecology, Ed. 10th. Amerika: The McGraw-Hill Companies. 2001.p.755-6714. Nusratudin A. Hubungan Endometriosis dan Infertilitas. [serial online]. [cited 2012 Mei 7]. Available from: http://med.unhas.ac.id/index.php? option=com_content&view=article&id=163:hubungan-endometriosis-dan-infertilitas&catid=101&Itemid=48.\15. Fairley, Diana Hamilton. Endometriosis. In : Lecture Notes Obstetrics and Gynaecology 2nd Edition. USA:Blackwell Publishing I.td.2004.p.240-2Page | 21