cedera kepala sedang mar

78
CEDERA KEPALA SEDANG TRAUMA KEPALA CEDERA KEPALA SEDANG by : Mas Irul A.Pengertian Trauma kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak langsung pada kepala. (Suriadi & Rita Yuliani, 2001) B.Klasifikasi Klasifikasi trauma kepala berdasarkan Nilai Skala Glasgow (GCS): 1.Minor GCS 13 – 15 Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari 30 menit. Tidak ada kontusio tengkorak, tidak ada fraktur cerebral, hematoma. 2.Sedang GCS 9 – 12 Kehilangan kesadaran dan atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam. Dapat mengalami fraktur tengkorak. 3.Berat GCS 3 – 8 Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam.

Upload: indah-keyens

Post on 26-Sep-2015

64 views

Category:

Documents


6 download

DESCRIPTION

ertyehfcjhfgjh

TRANSCRIPT

CEDERA KEPALA SEDANG

TRAUMA KEPALA

CEDERA KEPALA SEDANG

by : Mas Irul

A.Pengertian

Trauma kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak langsung pada kepala. (Suriadi & Rita Yuliani, 2001)

B.KlasifikasiKlasifikasi trauma kepala berdasarkan Nilai Skala Glasgow (GCS):1.Minor

GCS 13 15

Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari 30 menit.

Tidak ada kontusio tengkorak, tidak ada fraktur cerebral, hematoma.

2.Sedang

GCS 9 12

Kehilangan kesadaran dan atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam.

Dapat mengalami fraktur tengkorak.

3.Berat

GCS 3 8

Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam.

Juga meliputi kontusio serebral, laserasi, atau hematoma intrakranial.

C.Etiologi

Kecelakaan, jatuh, kecelakaan kendaraan bermotor atau sepeda, dan mobil.

Kecelakaan pada saat olah raga, anak dengan ketergantungan.

Cedera akibat kekerasan.

D.Patofisiologis

Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan, mungkin karena memar pada permukaan otak, laserasi substansi alba, cedera robekan atau hemoragi. Sebagai akibat, cedera sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan autoregulasi serebral dikurangi atau tak ada pada area cedera. Konsekuensinya meliputi hiperemi (peningkatan volume darah) pada area peningkatan permeabilitas kapiler, serta vasodilatasi arterial, semua menimbulkan peningkatan isi intrakranial, dan akhirnya peningkatan tekanan intrakranial (TIK). Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan cedera otak sekunder meliputi hipoksia, hiperkarbia, dan hipotensi. Genneralli dan kawan-kawan memperkenalkan cedera kepala fokal dan menyebar sebagai kategori cedera kepala berat pada upaya untuk menggambarkan hasil yang lebih khusus. Cedera fokal diakibatkan dari kerusakan fokal yang meliputi kontusio serebral dan hematom intraserebral, serta kerusakan otak sekunder yang disebabkan oleh perluasan massa lesi, pergeseran otak atau hernia. Cedera otak menyebar dikaitkan dengan kerusakan yang menyebar secara luas dan terjadi dalam empat bentuk yaitu: cedera akson menyebar, kerusakan otak hipoksia, pembengkakan otak menyebar, hemoragi kecil multipel pada seluruh otak. Jenis cedera ini menyebabkan koma bukan karena kompresi pada batang otak tetapi karena cedera menyebar pada hemisfer serebral, batang otak, atau dua-duanya.

E. Manifestasi Klinis

Hilangnya kesadaran kurang dari 30 menit atau lebih

Kebungungan

Iritabel

Pucat

Mual dan muntah

Pusing kepala

Terdapat hematoma

Kecemasan

Sukar untuk dibangunkan

Bila fraktur, mungkin adanya ciran serebrospinal yang keluar dari hidung (rhinorrohea) dan telinga (otorrhea) bila fraktur tulang temporal.

F. Komplikasi

Hemorrhagie

Infeksi

Edema

Herniasi

G.Pemeriksaan Penunjang

Laboratorium: darah lengkap (hemoglobin, leukosit, CT, BT)

Rotgen Foto

CT Scan

MRI

H.Penatalaksanaan

Secara umum penatalaksanaan therapeutic pasien dengan trauma kepala adalah sebagai berikut:

Observasi 24 jam

Jika pasien masih muntah sementara dipuasakan terlebih dahulu.

Berikan terapi intravena bila ada indikasi.

Anak diistirahatkan atau tirah baring.

Profilaksis diberikan bila ada indikasi.

Pemberian obat-obat untuk vaskulasisasi.

Pemberian obat-obat analgetik.

Pembedahan bila ada indikasi.

LAPORAN PENDAHULUAN PASIEN DG CKS

PENGERTIAN

Cidera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai atau tanpa disertai perdarahan interstiil dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak.

Cedera kepala yaitu adanya deformitas berupa penyimpangan bentuk atau penyimpangan garis pada tulang tengkorak, percepatan dan perlambatan (accelerasi descelarasi) yang merupakan perubahan bentuk dipengaruhi oleh perubahan peningkatan pada percepatan factor dan penurunan percepatan, serta rotasi yaitu pergerakan pada kepala dirasakan juga oleh otak sebagai akibat perputaran pada tindakan pencegahan.

Cedera kepala pada dasarnya dikenal dua macam mekanisme trauma yang mengenai kepala yakni benturan dan goncangan (Gernardli and Meany, 1996).

Berdasarkan GCS maka cidera kepala dapat dibagi menjadi 3 gradasi yaitu cidera kepala derajat ringan, bila GCS : 13 15, Cidera kepala derajat sedang, bila GCS : 9 12, Cidera kepala berat, bila GCS kuang atau sama dengan 8. Pada penderita yang tidak dapat dilakukan pemeriksaan misal oleh karena aphasia, maka reaksi verbal diberi tanda X, atau oleh karena kedua mata edema berat sehingga tidak dapat di nilai reaksi membuka matanya maka reaksi membuka mata diberi nilai X, sedangkan jika penderita dilakukan traheostomy ataupun dilakukan intubasi maka reaksi verbal diberi nilai T.

Cedera Kepala Sedang :

- GCS 9 12

- Saturasi oksigen > 90 %

- Tekanan darah systale > 100 mm Hg

- Lama kejadian < 8 jam

Mekanisme Cedera Kepala

Berdasarkan besarnya gaya dan lamanya gaya yang bekerja pada kepala manusia maka mekanisme terjadinya cidera kepala tumpul dapat dibagi menjadi dua:

(1) Static loading

Gaya langsung bekerja pada kepala, lamanya gaya yang bekerja lambat, lebih dari 200 milidetik. Mekanisme static loading ini jarang terjadi tetapi kerusakan yang terjadi sangat berat mulai dari cidera pada kulit kepala sampai pada kerusakan tulang kepala, jaringan dan pembuluh darah otak. (Bajamal A.H , 1999).

(2) Dynamic loading

Gaya yang bekerja pada kepala secara cepat (kurang dari 50 milidetik). Gaya yang bekerja pada kepala dapat secara langsung (impact injury) ataupun gaya tersebut bekerja tidak langsung (accelerated-decelerated injury). Mekanisme cidera kepala dynamic loading ini paling sering terjadi (Bajamal A.H , 1999).

a. Impact Injury

Gaya langsung bekerja pada kepala. Gaya yang terjadi akan diteruskan kesegala arah, jika mengenai jaringan lunak akan diserap sebagian dan sebagian yang lain akan diteruskan, sedangkan jika mengenai jaringan yang keras akan dipantulkan kembali. Tetapi gaya impact ini dapat juga menyebabkan lesi akselerasi-deselerasi. Akibat dari impact injury akan menimbulkan lesi :

Pada cidera kulit kepala (SCALP) meliputi Vulnus apertum, Excoriasi, Hematom subcutan, Subgalea, Subperiosteum. Pada tulang atap kepala meliputi Fraktur linier, Fraktur distase, Fraktur steallete, Fraktur depresi. Fraktur basis cranii meliputi Hematom intracranial, Hematom epidural, Hematom subdural, Hematom intraserebral, Hematom intrakranial. Kontusio serebri terdiri dari Contra coup kontusio, Coup kontusio. Lesi difuse intrakranial, Laserasi serebri yang meliputi Komosio serebri, Diffuse axonal injury (Umar Kasan , 1998).

b. Lesi akselerasi deselerasi

Gaya tidak langsung bekerja pada kepala tetapi mengenai bagian tubuh yang lain tetapi kepala tetap ikut bergerak akibat adanya perbedaan densitas antara tulang kepala dengan densitas yang tinggi dan jaringan otak dengan densitas yang lebih rendah, maka jika terjadi gaya tidak langsung maka tulang kepala akan bergerak lebih dahulu sedangkan jaringan otak dan isinya tetap berhenti, sehingga pada saat tulang kepala berhenti bergerak maka jaringan otak mulai bergerak dan oleh karena pada dasar tengkorak terdapat tonjolan-tonjolan maka akan terjadi gesekan antara jaringan otak dan tonjolan tulang kepala tersebut akibatnya terjadi lesi intrakranial berupa Hematom subdural, Hematom intraserebral, Hematom intraventrikel, Contra coup kontusio. Selain itu gaya akselerasi dan deselerasi akan menyebabkan gaya terikan ataupun robekan yang menyebabkan lesi diffuse berupa Komosio serebri, Diffuse axonal injury (Umar Kasan , 1998).

Cidera Otak Primer

Cidera otak primer adalah cidera otak yang terjadi segera cidera kepala baik akibat impact injury maupun akibat gaya akselerasi-deselerasi (cidera otak primer ini dapat berlanjut menjadi cidera otak sekunder) jika cidera primer tidak mendapat penanganan yang baik, maka cidera primer dapat menjadi cidera sekunder(Bajamal A.H, Darmadipura : 1993).

1. Cidera pada SCALP

Fungsi utama dari lapisan kulit kepala dengan rambutnya adalah melindungi jaringan otak dengan cara menyerap sebagian gaya yang akan diteruskan melewati jaringan otak. Cidera pada scalp dapat berupa Excoriasi, Vulnus, Hematom subcutan, Hematom subgaleal, Hematom subperiosteal. Pada excoriasi dapat dilakukan wound toilet. Sedangkan pada vulnus apertum harus dilihat jika vulnus tersebut sampai mengenai galea aponeurotika maka galea harus dijahit (untuk menghindari dead space sedangkan pada subcutan mengandung banyak pembuluh darah demikian juga rambut banyak mengandung kuman sehingga adanya hematom dan kuman menyebabkan terjadinya infeksi). Penjahitan pada galea memakai benang yang dapat diabsorbsi dalam jangka waktu lama (tetapi kalau tidak ada dapat dijahit dengan benang noabsorbsable tetapi dengan simpul terbalik untuk menghindari terjadinya druck necrosis), pada kasus terjadinya excoriasi yang luas dan kotor hendaknya diberikan anti tetanus untuk mencegah terjadinya tetanus yang akan berakibat sangat fatal. Pada kasus dengan hematom subcutaan sampai hematom subperiosteum dapat dilakukan bebat tekan kemudian berikan anlgesia, jika selama 2 minggu hematom tidak diabsorbsi dapat dilakukan punksi steril. Hati-hati cidera scalp pada anak-anak/bayi karena pendarahan begitu banyak dapat terjadi shock hipopolemik (Gennerellita ,1996).

2. Fraktur linier kalvaria

Fraktur linier pada kalvaria dapat terjadi jika gaya langsung yang bekerja pada tulang kepala cukup besar tetapi tidak menyebabkan tulang kepala bending dan terjadi fragmen fraktur yang masuk kedalam rongga intrakranial, tetapi tidak ada terapi khusus pada fraktur linier ini tetapi gaya yang menyebabkan terjadinya fraktur tersebut cukup besar maka kemungkinan terjadinya hematom intrakranial cukup besar, dari penelitian di RS Dr. Soetomo Surabaya didaptkan 88% epidural hematom disertai dengan fraktur linier kalvaria. Jika gambar fraktur tersebut kesegala arah disebut Steallete fracture, jika fraktur mengenai sutura disebut diastase fraktur (Bajamal AH, 1999).

3. Fraktur Depresi

Secara definisi yang disebut fraktur depresi apabila fragmen dari fraktur masuk rongga intrakranial minimal setebal tulang fragmen tersebut, berdasarkan pernah tidaknya fragmen berhubungan dengan udara luar maka fraktur depresi dibagi 2 yaitu fraktur depresi tertutup dan fraktur depresi terbuka (Bajamal AH, 1999).

(1) Fraktur Depresi Tertutup

Pada fraktur depresi tertutup biasanya tidak dilakukan tindakan operatip kecuali bila fraktur tersebut menyebabkan gangguan neurologis, misal kejang-kejang hemiparese/plegi, penurunan kesadaran. Tindakan yang dilakukan adalah mengangkat fragmen tulang yang menyebabkan penekanan pada jaringan otak, setelah mengembalikan dengan fiksasi pada tulang disebelahnya, sedangkan fraktur depresi didaerah temporal tanpa disertai adanya gangguan neurologis tidak perlu dilakukan operasi (Bajamal A.H ,1999).

(2) Fraktur Depresi Terbuka

Semua fraktur depresi terbuka harus dilakukan tindakan operatif debridemant untuk mencegah terjadinya proses infeksi (meningoencephalitis) yaitu mengangkat fragmen yang masuk, membuang jaringan devitalized seperti jaringan nekrosis benda-benda asing, evakuasi hematom, kemudian menjahit durameter secara water tight/kedap air kemudian fragmen tulang dapat dikembalikan ataupun dibuang, fragmen tulang dikembalikan jika Tidak melebihi golden periode (24 jam), durameter tidak tegang Jika fragmen tulang berupa potongan-potongan kecil maka pengembalian tulang dapat secara mozaik (Bajamal 1999).

4. Fraktur Basis Cranii

Fraktur basis cranii secara anatomis ada perbedaan struktur didaerah basis cranii dan kalvaria yang meliputi pada basis caranii tulangnya lebih tipis dibandingkan daerah kalvaria, Durameter daerah basis lebih tipis dibandingkan daerah kalvaria, Durameter daerah basis lebih melekat erat pada tulang dibandingkan daerah kalvaria. Sehingga bila terjadi fraktur daerah basis mengakibatkan robekan durameter klinis ditandai denganBloody otorrhea, Bloody rhinorrhea, Liquorrhea, Brill Hematom, Batles sign, Lesi nervus cranialisyang paling sering N I, NVII dan NVIII. Diagnose fraktur basis cranii secara klinis lebih bermakna dibandingkan dengan diagnose secara radiologis oleh karena foto basis cranii posisinya hanging foto, dimana posisi ini sangat berbahaya terutama pada cidera kepala disertai dengan cidera vertebra cervikal ataupun pada cidera kepala dengan gangguan kesadaran yang dapat menyebabkan apnea. Adanya gambaran fraktur pada foto basis cranii tidak akan merubah penatalaksanaan dari fraktur basis cranii, Pemborosan biaya perawatan karena penambahan biaya foto basis cranii (Umar Kasan , 2000).

5. Penanganan dari fraktur basis cranii meliputi :

(1). Cegah peningkatan tekanan intrakranial yang mendadak, misal cegah batuk, mengejan, makanan yang tidak menyebabkan sembelit.

(2). Jaga kebersihan sekitar lubang hidung dan lubang telinga, jika perlu dilakukan tampon steril (Consul ahli THT) pada bloody otorrhea/otoliquorrhea.

(3). Pada penderita dengan tanda-tanda bloody otorrhea/otoliquorrhea penderita tidur dengan posisi terlentang dan kepala miring keposisi yang sehat (Umar Kasan : 2000).

Komosio Serebri

Secara definisi komosio serebri adalah gangguan fungsi otak tanpa adanya kerusakan anatomi jaringan otak akibat adanya cidera kepala. Sedangkan secara klinis didapatkan penderita pernah atau sedang tidak sadar selama kurang dari 15 menit, disertai sakit kepala, pusing, mual-muntah adanya amnesi retrogrde ataupun antegrade. Pada pemeriksaan radiologis CT scan tidak didapatkan adanya kelainan (Bajamal AH : 1993).

Kontusio Serebri

Secara definisi kontusio serebri didefinisikan sebagai gangguan fungsi otak akibat adanya kerusakan jaringan otak, secara klinis didapatkan penderita pernah atau sedang tidak sadar selama lebih dari 15 menit atau didapatkan adanya kelainan neurologis akibat kerusakan jaringan otak seperti hemiparese/plegi, aphasia disertai gejala mual-muntah, pusing sakit kepala, amnesia retrograde/antegrade, pada pemerikasaan CT Scan didaptkan daerah hiperdens di jaringan otak, sedangkan istilah laserasi serebri menunjukkan bahwa terjadi robekan membran pia-arachnoid pada daerah yang mengalami contusio serebri yang gambaran pada CT Scan disebut Pulp brain (Bajamal A.H & Kasan H.U , 1993 ).

Epidural Hematom (EDH = Epidural Hematom)

Epidural Hematom adalah hematom yang terletak antara durameter dan tulang, biasanya sumber pendarahannya adalah robeknya Arteri meningica media (paling sering), Vena diploica (oleh karena adanya fraktur kalvaria), Vena emmisaria, Sinus venosus duralis. Secara klinis ditandai dengan adanya penurunan kesadaran yang disertai lateralisasi (ada ketidaksamaan antara tanda-tanda neurologis sisi kiri dan kanan tubuh) yang dapat berupa Hemiparese/plegi, Pupil anisokor,Reflek patologis satu sisi. Adanya lateralisasi dan jejas pada kepala menunjukkan lokasi dari EDH. Pupil anisokor/dilatasi dan jejas pada kepala letaknya satu sisi dengan lokasi EDH sedangkan hemiparese/plegi lataknya kontralateral dengan lokasi EDH, sedangkan gejala adanya lucid interval bukan merupakan tanda pasti adanya EDH karena dapat terjadi pada pendarahan intrakranial yang lain, tetapi lucid interval dapat dipakai sebagai patokan dari prognosenya makin panjang lucid interval makin baik prognose penderita EDH (karena otak mempunyai kesempatan untuk melakukan kompensasi). Pada pemeriksaan radiologis CT Scan didapatkan gambaran area hiperdens dengan bentuk bikonvek diantara 2 sutura. Terjadinya penurunan kesadaran, Adanya lateralisasi, Nyeri kepala yang hebat dan menetap tidak hilang dengan pemberian anlgesia. Pada CT Scan jika perdarahan volumenya lebih dari 20 CC atau tebal lebih dari 1 CM atau dengan pergeseran garis tengah (midline shift) lebih dari 5 mm. Operasi yang dilakukan adalah evakuasi hematom, menghentikan sumber perdarahan sedangkan tulang kepala dapat dikembalikan. Jika saat operasi tidak didapatkan adanya edema serebri sebaliknya tulang tidak dikembalikan jika saat operasi didapatkan duramater yang tegang dan dapat disimpan subgalea. Pada penderita yang dicurigai adanya EDH yang tidak memungkinkan dilakukan diagnose radiologis CT Scan maka dapat dilakukan diagnostik eksplorasi yaitu Burr hole explorations yaitu membuat lubang burr untuk mencari EDH biasanya dilakukan pada titik- titik tertentu yaituPada tempat jejas/hematom, pada garis fratur, pada daerah temporal, pada daerah frontal (2 CM didepan sutura coronaria), pada daerah parietal, pada daerah occipital. Prognose dari EDH biasanya baik, kecuali dengan GCS datang kurang dari 8, datang lebih dari 6 jam umur lebih dari 60 tahun (Bajamal A.H , 1999).

Subdural hematom (SDH)

Secara definisi hematom subdural adalah hematom yang terletak dibawah lapisan duramater dengan sumber perdarahan dapat berasal dari Bridging vein (paling sering), A/V cortical, Sinus venosus duralis. Berdasarkan waktu terjadinya perdarahan maka subdural hematom dibagi 3 meliputiSubdural hematom akut terjadi kurang dari 3 hari dari kejadian, Subdural hematom subakut terjadi antara 3 hari 3 minggu, Subdural hematom kronis jika perdarahan terjadi lebih dari 3 minggu. Secara klinis subdural hematom akut ditandai dengan penurunan kesadaran, disertai adanya lateralisasi yang paling sering berupa hemiparese/plegi. Sedangkan pada pemeriksaan radiologis (CT Scan) didapatkan gambaran hiperdens yang berupa bulan sabit (cresent). Indikasi operasi menurut EBIC (Europebraininjuy commition) pada perdarahan subdural adalah Jika perdarahan tebalnya lebih dari 1 CM, Jika terdapat pergeseran garis tengah lebih dari 5 mm. Operasi yang dilakukan adalah evakuasi hematom, menghentikan sumber perdarahan. Bila ada edema serebri biasanya tulang tidak dikembalikan (dekompresi) dan disimpan subgalea. Prognose dari penderita SDH ditentukan dari GCS awal saat operasi, lamanya penderita datang sampai dilakukan operasi, lesi penyerta di jaringan otak serta usia penderita, pada penderita dengan GCS kurang dari 8 prognosenya 50 %, makin rendah GCS, makin jelek prognosenya makin tua pasien makin jelek prognosenya adanya lesi lain akan memperjelek prognosenya.

Subdural hematom adalah terkumpulnya darah antara duramater dan jaringan otak, dapat terjadi akut dan kronik. Terjadi akibat pecahnya pembuluh darah vena / jembatan vena yang biasanya terdapat diantara duramater, perdarahan lambat dan sedikit. Periode akut dapat terjadi dalam 48 jam 2 hari, 2 minggu atau beberapa bulan.

Gejala gejalanya :

1). Nyeri kepala

2). Bingung

3). Mengantuk

4). Menarik diri

5). Berfikir lambat

6). Kejang

7). Udem pupil.

Intracerebral hematom (ICH)

Perdarahan intracerebral adalah perdarahan yang terjadi pada jaringan otak biasanya akibat robekan pembuluh darah yang ada dalam jaringan otak. Secara klinis ditandai dengan adanya penurunan kesadaran yang kadang-kadang disertai lateralisasi, pada pemeriksaan CT Scan didapatkan adanya daerah hiperdens yang indikasi dilakukan operasi jika Single, Diameter lebih dari 3 cm, Perifer, Adanya pergeseran garis tengah, Secara klinis hematom tersebut dapat menyebabkan gangguan neurologis/lateralisasi. Operasi yang dilakukan biasanya adalah evakuasi hematom disertai dekompresi dari tulang kepala. Faktor-faktor yang menentukan prognosenya hampir sama dengan faktor-faktor yang menentukan prognose perdarahan subdural (Bajamal A.H , 1999).

CIDERA OTAK SEKUNDER

Cidera otak sekunder yang terjadi akibat dari cidera otak primer yang tidak mendapat penanganan dengan baik (sehingga terjadi hipoksia) serta adanya proses metabolisme dan neurotransmiter serta respon inflamasi pada jaringan otak maka cidera otak primer berubah menjadi otak sekunder yang meliputi Edema serebri, Infrark serebri, Peningkatan tekanan intra kranial (Bajamal A.H , 1999).

Edema serebri

Adalah penambahan air pada jaringan otak / sel sel otak, pada kasus cidera kepala terdapat 2 macam edema serebri Edema serebri vasogenik, Edema serebri sitoststik (Sumarmo Markam et.al ,1999).

1. Edema serebri vasogenik

Edema serebri vasoganik terjadi jika terdapat robekan dari blood brain barrier (sawar darah otak ) sehingga solut intravaskuler (plasma darah) ikut masuk dalam jaringan otak (ekstraseluler) dimana tekanan osmotik dari plasma darah ini lebih besar dari pada tekanan osmotik cairan intra seluler. Akibatnya terjadi reaksi osmotik dimana cairan intraseluler, yang tekanan osmotiknya lebih rendah akan ditarik oleh cairan ekstra seluler keluar dari sel melewati membran sel sehingga terjadi edema ekstra seluler sedangkan sel-sel otak mengalami pengosongan (shringkage) (Sumarmo Markam et.al ,1999).

2. Edema serebri sitostatik

Edema serebri sitostatik terjadi jika suplai oksigen kedalam jaringan otak berkurang (hipoksia) akibatnya terjadi reaksi anaerob dari jaringan otak (pada keadaan aerob maka metabolisme 1 mol glukose akan di ubah menjadi 38 ATP dan H2O). Sedangkan dalam keadaan anaerob maka 1 molekul glukose akan diubah menjadi 2 ATP dan H2O karena kekurangan ATP maka tidak ada tenaga yang dapat digunakan untuk menjalankan proses pompa Natrium Kalium untuk pertukaran kation dan anion antara intra selluler dan ekstraseluler dimana pada proses tersebut memerlukan ATP akibatnya Natrium (Na) yang seharusnya dipompa keluar dari sel menjadi masuk kedalam sel bersama masuknya natrium. Maka air (H2O) ikut masuk kedalam sel sehingga terjadi edema intra seluler (Sumarmo Markam et.al :1999). Gambaran CT Scan dari edema serebri Ventrikel menyempit, Cysterna basalis menghilang, Sulcus menyempit sedangkan girus melebar.

Tekanan Intra Kranial

Compartment rongga kepala orang dewasa rigid tidak dapat berkembang yang terisi 3 komponen yaitu Jaringanotak seberat 1200 gram, Cairan liquor serebrospinalis seberat 150 gram, Darah dan pembuluh darah seberat 150 gram. Menurut doktrin Monroe kellie, jumlah massa yang ada dalam rongga kepala adalah konstan jika terdapat penambahan massa (misal hematom, edema, tumor, abses) maka sebagian dari komponen tersebut mengalami kompensasi/bergeser, yang mula mula ataupun canalis centralis yang ada di medullaspinalis yang tampak pada klinis penderita mengalami kaku kuduk serta pinggang terasa sakit dan berat. Jika kompensasi dari cairan serebrospinalis sudah terlampaui sedangkan penambahan massa masih terus berlangsung maka terjadi kompensasi kedua yaitu kompensasi dari pembuluh darah dan isinya yang bertujuan untuk mengurangi isi rongga intrakranial dengan cara ialahVaso konstriksi yang berakibat tekanan darah meningkat, Denyut nadi menurun (bradikardia), yang merupakan tanda awal dari peningkatan tekanan intrakranial, kedua tanda ini jika disertai dengan ganguan pola napas disebuttrias cushing.Jika kompensasi kedua komponen isi rongga intrakranial sudah terlampaui sedangkan penambahan massa masih terus berlangsung maka jaringan otak akan melakukan kompensasi yaitu berpindah ketempat yang kosong (locus minoris) perpindahan jaringan otak tersebut disebut herniasi cerebri. Tanda - tanda klinis herniasi cerebri tergantung dari macamnya, pada umumnya klinis dari peningkatan tekanan intrakranial adalah Nyeri kepala, Mual, Muntah, Pupil bendung(SumarmoMarkam et.al ,1999).

Penanganan pertama kasus cidera kepala

Pertolongan pertama dari penderita dengan cidera kepala mengikuti standart yang telah ditetapkan dalam ATLS (Advanced Trauma Life Support) yang meliputi, anamnesa sampai pemeriksaan fisik secara seksama dan stimultan pemeriksaan fisik meliputi Airway,Breathing, Circulasi, Disability (ATLS ,1997). Pada pemeriksaan airway usahakan jalan nafas stabil, dengan cara kepala miring, buka mulut, bersihkan muntahkan darah, adanya benda asing. Perhatikan tulang leher, Immobilisasi, Cegah gerakan hiperekstensi, Hiperfleksi ataupun rotasi, Semua penderita cidera kepala yang tidak sadar harus dianggap disertai cidera vertebrae cervikal sampai terbukti tidak disertai cedera cervical, maka perlu dipasang collar barce. Jika sudah stabil tentukan saturasi oksigen, minimal saturasinya diatas 90 %, jika tidak usahakan untuk dilakukan intubasi dan support pernafasan. Setelah jalan nafas bebas sedapat mungkin pernafasannya diperhatikan frekwensinya normal antara 16 18 X/menit, dengarkan suara nafas bersih, jika tidak ada nafas lakukan nafas buatan, kalau bisa dilakukan monitor terhadap gas darah dan pertahankan PCO 2 antara 28 35 mmHg karena jikalebih dari 35 mm Hg akan terjadi vasodilatasi yang berakibat terjadinya edema serebri. Sedangkan jika kurang dari 20 mm Hg akan menyebabkan vaso konstruksi yang berakibat terjadinya iskemia, Periksa tekanan oksigen (O2) 100 mm Hg jika kurang beri oksigen masker 8 liter /menit. Pada pemeriksaan sistem sirkulasi Periksa denyut nadi/jantung, jika (tidak ada) lakukan resusitasi jantung,Bila shock (tensi < 90 mm Hg nadi >100xper menit dengan infus cairan RL, cari sumber perdarahan ditempat lain, karena cidera kepala single pada orang dewasa hampir tidak pernah menimbulkan shock. Terjadinya shock pada cidera kepala meningkatkan angka kematian 2x. Pada pemeriksaan disability/kelainan kesadaran pemeriksaan kesadaran memakai glasgow coma scale,Periksa kedua pupil bentuk dan besarnya serta catat reaksi terhadap cahaya langsung maupun tidak langsung, Periksa adanya hemiparese/plegi, Periksa adanya reflek patologis kanan kiri, Jika penderita sadar baik tentukan adanya gangguan sensoris maupun fungsi misal adanya aphasia. Setelah fungsi vital stabil (ABC stabil baru dilakukan survey yang lain dengan cara melakukan sekunder survey/ pemeriksaan tambahan seperti skull foto, foto thorax, foto pelvis, CT Scan dan pemeriksaan ini sebenarnya dikerjakan secara stimultan dan seksama) (ATLS , 1997).

GlasgowComa Scale (GCS)

Untuk mendapatkan keseragaman dari penilaian tingkat kesadaran secara kwantitatif (yang sebelumnya tingkat kesadaran diukur secara kwalitas seperti apatis, somnolen dimana pengukuran seperti ini didapatkan hasil yang tidak seragam antara satu pemeriksaan dengan pemeriksa yang lain) maka dilakukan pemeriksaan dengan skala kesadaran secara glasgow, ada 3 macam indikator yang diperiksa yaitu reaksi membuka mata, Reaksi verbal, Reaksi motorik.

1). Reaksi membuka mata

Reaksi membuka mata

Nilai

Membuka mata spontan

4

Buka mata dengan rangsangan suara

3

Buka mata dengan rangsangan nyeri

2

Tidak membuka mata dengan rangsangan nyeri

1

2). Reaksi Verbal

Reaksi Verbal

Nilai

Komunikasi verbal baik, jawaban tepat

5

Bingung, disorientasi waktu, tempat dan ruang

4

Dengan rangsangan nyeri keluar kata-kata

3

Keluar suara tetapi tak berbentuk kata-kata

2

Tidak keluar suara dengan rangsangan apapun

1

3). Reaksi Motorik

Reaksi Motorik

Nilai

Mengikuti perintah

6

sMelokalisir rangsangan nyeri

5

Menarik tubuhnya bila ada rangsangan nyeri

4

Reaksi fleksi abnormal dengan rangsangan nyeri

3

Reaksi ekstensi abnormal dengan rangsangan nyeri

2

Tidak ada gerakan dengan rangsangan nyeri

1

Berdasarkan GCS maka cidera kepala dapat dibagi menjadi 3 gradasi yaitu cidera kepala derajat ringan, bila GCS : 13 15, Cidera kepala derajat sedang, bila GCS : 9 12, Cidera kepala berat, bila GCS kuang atau sama dengan 8. Pada penderita yang tidak dapat dilakukan pemeriksaan misal oleh karena aphasia, maka reaksi verbal diberi tanda X, atau oleh karena kedua mata edema berat sehingga tidak dapat di nilai reaksi membuka matanya maka reaksi membuka mata diberi nilai X, sedangkan jika penderita dilakukan traheostomy ataupun dilakukan intubasi maka reaksi verbal diberi nilai T.

Indikasi foto polos kepala

Tidak semua penderita dengan cidera kepala diindikasikan untuk pemeriksaan kepala karena masalah biaya dan kegunaan yang sekarang makin dittinggalkan. Jadi indikasi meliputi jejas lebih dari 5 cm, Luka tembus (tembak/tajam), Adanya corpus alineum, Deformitas kepala (dari inspeksi dan palpasi), Nyeri kepala yang menetap, Gejala fokal neurologis, Gangguan kesadaran (Bajamal A.H ,1999). Sebagai indikasi foto polos kepala meliputi jangan mendiagnose foto kepala normal jika foto tersebut tidak memenuhi syarat, Pada kecurigaan adanya fraktur depresi maka dillakukan foto polos posisi AP/lateral dan oblique.

Indikasi CT Scan

Indikasi CT Scan adalah :

(1) Nyeri kepala menetap atau muntah muntah yang tidak menghilang setelah pemberian obat obatan analgesia/anti muntah.

(2) Adanya kejang kejang, jenis kejang fokal lebih bermakna terdapat lesi intrakranial dibandingkan dengan kejang general.

(3) Penurunan GCS lebih 1 point dimana faktor faktor ekstracranial telah disingkirkan (karena penurunan GCS dapat terjadi karena misal terjadi shock, febris, dll).

(4) Adanya lateralisasi.

(5) Adanya fraktur impresi dengan lateralisasi yang tidak sesuai, misal fraktur depresi temporal kanan tapi terdapat hemiparese/plegi kanan.

(6) Luka tembus akibat benda tajam dan peluru.

(7) Perawatan selama 3 hari tidak ada perubahan yang membaik dari GCS.

(8) Bradikardia (Denyut nadi kurang 60 X / menit).

Cidera kepala yang perlu masuk rumah sakit (MRS)

Cidera kepala yang perlu masuk rumah sakit (MRS) meliputi :

(1)Adanya gangguan kesadaran (GCS < 15).

(2)Pernah tidak sadar lebih dari 15 menit (contusio serebri).

(3)Adanya gangguan fokal neorologis (Hemiparese/plegi, kejang - kejang, pupil anisokor).

(4)Nyeri kepala, muntah - mual yang menetap yang telah dilakukan observasi di UGD dan telah diberikan obat analgesia dan anti muntah selama 2 jam tidak ada perbaikan.

(5)Adanya tanda fraktur tulang kavaria pada pemerisaan foto kepala.

(6)Klinis adanya tanda tanda patah tulang dasar tengkorak.

(7)Luka tusuk atau luka tembak

(8)Adanya benda asing (corpus alienum).

(9)Penderita disertai mabuk.

(10)Cidera kepala disertai penyakit lain misal hipertensi, diabetes melitus, gangguan faal pembekuan.

Indikasi sosial yang dipertimbangkan pada pasien yang dirawat dirumah sakit tidak ada yang mengawasi di rumah jika di pulangkan,Tempat tinggal jauh dengan rumah sakit oleh karena jika terjadi masalah akan menyulitkan penderita. Pada saat penderita di pulangkan harus di beri advice (lembaran penjelasan) apabila terdapat gejala seperti ini harus segera ke rumah sakit misalnya : mual muntah, sakit kepala yang menetap, terjadi penurunan kesadaran, Penderita mengalami kejang kejang, Gelisah. Pengawasan dirumah harus dilakukan terus menerus selama kerang lebih 2 x 24 jam dengan cara membangunkan tiap 2 jam (Bajamal AH ,1999).

1 Perawatan dirumah sakit

Perawatan di rumah sakit bila GCS 13 15 meliputi :

1).Infus dengan cairan normoosmotik (kecuali Dextrose oleh karena dextrose cepat dimetabolisme menjadi H2O + CO2sehingga dapat menimbulkan edema serebri) Di RS Dr Soetomo surabaya digunakan D5% salin kira kira 1500 2000 cc/24 jam untuk orang dewasa.

2).Diberikan analgesia/antimuntah secara intravena, jika tidak muntah dicoba minum sedikit sedikit (pada penderita yang tetap sadar).

3).Mobilisasi dilakukan sedini mungkin, dimulai dengan memberikan bantal selama 6 jam kemudian setengah duduk pada 12 jam kemudian duduk penuh dan dilatih berdiri (dapat dilakukan pada penderita dengan GCS 15).

4).Jika memungkinkan dapat diberikan obat neorotropik, seperti : Citicholine, dengan dosis 3 X 250 mg/hari sampai minimal 5 hari.

5).Minimal penderita MRS selama 2 X 24 jam karena komplikasi dini dari cidera kepala paling sering terjadi 6 jam setelah cidera dan berangsur angsur berkurang sampai 48 jam pertama.

2 Perawatan di rumah sakit bila GCS < 13

Perawatan di rumah sakit bila GCS < 13

1).Posisi terlentang kepala miring kekiri dengan diberi bantal tipis (head up 15 30) hal ini untuk memperbaiki venous return sehingga tekanan intra kranial turun.

2).Beri masker oksigen 6 8 liter/menit.

3).Atasi hipotensi, usahakan tekanan sistolok diatas 100 mmHg, jika tidak ada perbaikan dapat diberikan vasopressor.

4).Pasang infus D5% saline 1500 2000 cc/24 jam atau 25 30 CC/KgBB/24jam.

5).Pada penderita dengan GCS < 9 atau diperkirakan akan memerlukan perawatan yang lebih lama maka hendaknya dipasang maagslang ukuran kecil (12 Fr) untuk memberikan makanan yang dimulai pada hari I dihubungkan dengan 500 cc Dextrose 5%. Gunanya pemberian sedini mungkin adalah untuk menghindari atrophi villi usus, menetralisasikan asam lambung yang biasanya pH nya sangat tinggi (stress ulcer), menambah energi yang tetap dibutuhkan sehingga tidak terjadi metabolisme yang negatip, pemberian makanan melalui pipa lambung ini akan ditingkatkan secara perlahan lahan sampai didapatkan volume 2000 cc/24 jam dengan kalori 2000 Kkal. Keuntungan lain dari pemberian makanan peroral lebih cepat pada penderita tidak sadar antara lain mengurangi translokasi kuman di dinding usus halus dan usus besar, Mencegah normal flora usus masuk kedalam system portal.

6).Sedini mungkin penderita dilakukan mobilisasi untuk menghindari terjadinya statik pneumonia atau dekubitus dengan cara melakukan miring kekiri dan kanan setiap 2 jam.

7).Pada penderita yang gelisah harus dicari dulu penyebabnya tidak boleh langsung diberikan obat penenang seperti diazepam karena dapat menyebabkan masking efek terhadap kesadarannya dan terjadinya depresi pernapasan. Pada penderita gelisah dapat terjadi karena nyeri oleh karena fraktur, Kandung seni yang penuh, Tempat tidur yang kotor, Penderita mulai sadar, Penurunan kesadaran, Shock, Febris.

Transpor Oksigen

Sebagaimana yang diuraikan oleh beberapa peneliti (MacLean, 1971, Peitzman, 1987, Abrams, 1993 mekanisme ini terdiri dari tiga unsur besar yakni:

1.Sistim pernafasan yang membawa O2 udara alveoli, kemudian difusi masuk kedalam darah.

Setelah difusi menembus membran alveolokapiler, oksigen berkaitan dengan hemoglobin dan sebagian kecil larut dalam plasma. Gangguan oksigenansi menyebabkan berkurangnya oksigen didalam darah (hipoksemia) yang selanjutnya akan menyebabkan berkurangnya oksigen jaringan (hipoksia). Atas penyebabnya, dibedakan 4 jenis hipoksia sesuai dengan proses penyebabnya :

1).Hipoksia hipoksik:gangguan ventilasi-difusi

2).Hipoksia stagnan:gangguan perfusi/sirkulasi

3).Hipoksia anemik:anemia

4).Hipoksia histotoksik:gangguan pengguanaan oksigen dalam sel (racun HCN, sepsis).

Pada pendarahan dan syok terjadi gabungan hipoksia stagnan dan anemik.

Kandungan oksigen dalam darah arterial (Ca O2) menurut rumus Nunn-Freeman (MacLean, 1971, Lentner, 1984, Buran, 1987) adalah :

Ca O2=(Hb x Saturasi O2x 1,34) + (p O2x 0,003)

Hb= kadar hemoglobin darah (g/dl) saturasi O2= saturasi oksigen dalam hemoglobin (%)

1,34= koefisien tetap (angka Huffner) beberapa penulis menyebut 1,36 atau 1,39

pO2= tekanan parsiel oksigen dalam plasma, mmHg

0,003= koefisien kelarutan oksigen dalam plasma.

2.Sistim sirkulasi yang membawa darah berisi O2ke jaringan

Perubahan-perubahan hemodinamik sebagai kompensasi yaitu: nadi meningkat (takikardia), kekuatan kontraksi miokard meningkat, vasokonstriksi di daerah arterial reaksi takikardia terjadi segera. Tujuh puluh lima persen volume sirkulasi berada di daerah vena. Vasokonstriksi memeras darah dari cadangan vena kembali ke sirkulasi efektif. Vasokonstriksi arterial membagi secara selektif aliran untuk organ prioritas (otak dan jantung) dengan mengurangi aliran ke kulit, ginjal, hati, usus. Vasokonstriksi yang berupaya mempertahankan tekanan perfusi (perfusion pressure) untuk otak dan jantung, menyebabkan jantung bekerja lebih berat mengatasi SVR, pada saat yang sama oksigenasi koroner sedang menurun. Vasokonstriksi yang berlebihan di daerah usus dapat menyebabkan cedera iskemik (iscemic injury), translokasi kuman menembus usus dan masuknya endotoksin ke sirkulasi sistemik (Kreimeier 1990 dan 1992; Hartmann, 1991). Takikardia dan vasokonstriksi sudah berjalan dengan cepat melalui respons baroreseptor dan katekolamin. Takikardia yang berlebihan justru merugikan, karena menyebabkan EDV menurun sehingga CO juga turun. Cardiac output atau curah jantung adalah volume aliran darah yang membawa oksigen ke jaringan. Hubungan antara curah jantung (CO), frekwensi denyut jantung (f) dan Stroke Volume (SV) adalah sebagai berikut:

CO = f x SV

SV:dipengaruhi oleh EDV--- C --- SVR

EDV:volume ventrikel pada akhir diastole

C:contractility (kekuatan kontraksi otot jantung)

SVR:Systemic Vascular Resistance

VR:Venous Return (jumlah darah yang masuk atrium), dalam keadaan normal VR = CO

Available O2= CO x Ca O2

Available O2: oksigen tersedia (untuk jaringan)

Ca O2: kandungan oksigen darah arterial.

3.Sistim O2-Hb dalam eritrosit dan transpor ke sel jaringan

Eritrosit mendapat oksigen dari difusi yang terjadi di kapiler paru. Dinamika oksigen dalam eritrosit ditunjukkan oleh kurva disosiasi oksigen-hemoglobin (Lentner, 19984; Odorico, 1993). Untuk memenuhi kebutuhan oksigen pada organ vital (otak, jantung) diisyaratkan bhwa kadar Hb harus > 9 sampai 10 gr %. Bila kadar Hb kurang dari 9 gr % masih dapat memenuhi kebutuhan oksigen dengan peningkatan curah jantung dan pelepasan lebih banyak oksigen ke jaringan (Odorico, 1993; Rotondo, 1993).

Laporan Pendahuluan Cedera Kepala Sedang

Konsep Dasar Cedera KepalaUntuk memperkaya pemahaman akan konsep Cedera Kepala, berikut ini aka dibahas tentang pengertian, etiologi, tipe trauma, mekanisme, klasifikasi, perdarahan intrakranial, patofisiologi, meifestasi klinis, pemeriksaan penunjang, komplikasi, dan penatalaksanaan.1. PengertianCedera Kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai atau tanpa disertai perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak (Muttaqin, 2008).Cedera Kepala adalah kerusakan otak akibat perdarahan atau pembengkakan otak sebagai respon terhadap cedera dan menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial (Smeltzer, 2000 : 2210).Trauma kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang tengkorak, atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak langsung pada kepala (Suriadi dan Rita juliani, 2001).2. EtiologiMenurut Tarwoto (2007), penyebab dari Cedera Kepala adalah :a. Kecelakaan lalu lintas.b. Terjatuhc. Pukulan atau trauma tumpul pada kepala.d. Olah ragae. Benturan langsung pada kepala.f. Kecelakaan industri.3. Mekanisme Cedera KepalaMenurut tarwoto (2007) mekanisme cedera memegang peranan yang sangat sadar dalam berat ringannya dari trauma kepala. Mekanisme cedera kepala dapat dibagi menjadi :a. Cedera Percepatan (akselerasi) yaitu jika benda yang bergerak membentur kepala yang diam, misalnya pada orang-orang diam kemudian terpukul atau terlempar batu.b. Cedera Perlambatan (Deselerasi) yaitu jika kepala bergerak membentur benda yang diam, misalnya pada saat kepala terbentur.c. Deformitas adalah perubahan atau kerusakan pada bagian tubuh yang terjadi akibat trauma, misalnya ada fraktur kepala, kompresi, ketegangan atau pemotongan pada jaringan otak.4. PatifisiologiMenurut Tarwoto, dkk (2007 : 127) adanya cedera kepala dapat mengakibatkan kerusakan struktur, misalnya kerusakan pada parenkim otak, kerusakan pembuluh darah, perdarahan, edema, dan gangguan biokimia otak seperti penurunan adenosis tripospat, perubahan permeabilitas vaskuler.Patofisiologi cedera kepala dapat digolongkan menjadi 2 proses yaitu cedera kepala primer dan cedera kepala sekunder. Cedera kepala primer merupakan suatu proses biomekanik yang dapat terjadi secara langsung saat kepala terbentur dan memberi dampak cedera jaringan otak. Pada cedera kepala sekunder terjadi akibat cedera kepala primer, misalnya akibat hipoksemia, iskemia dan perdarahan.Perdarahan serebral menimbulkan hematoma, misalnya pada epidural hematoma yaitu berkumpulnya antara periosteum tengkorak dengan durameter, subdural hematoma akibat berkumpulnya darah pada ruang antara durameter dengan sub arakhnoid dan intra serebral hematom adalah berkumpulnya darah di dalam jaringan serebral.Kematian pada cedera kepala disebabkan karena hipotensi karena gangguan autoregulasi, ketika terjadi autoregulasi menimbulkan perfusi jaringan serebral dan berakhir pada iskemia jaringan otak,Gambaran mengenai masalah keperawatan yang mungkin muncul pada kasus Cedera Kepala secara rinci dapat dilihat pada skema 2.1.Skema 2.1. Pathways Cedera Kepala

(Sumber : Arif Muttaqin, 2008)5. Klasifikasi Cedera KepalaMenurut Eka J. Wahjoepramono (2005 : 21) Cedera Kepala diklasifikasikan berdasarkan keadaan klinis dan kelainan patologis.a. Klasifikasi KlinisKlasifikasi keadaan klinis adalah penilaian terhadap tingkat kesadaran. Berdasarkan skala koma Glasgow (Glasgow Koma Scale), yaitu Cedera Kepala Ringan (CKR), Cedera Kepala Sedang dan Cedera Kepala Berat.b. Klasifikasi PatologisKlasifikasi patologis terbagi menjadi kerusakan primer dan sekunder :1) Cedera kepala primer adalah kerusakan yang terjadi pada masa akut, yaitu terjadi segera saat benturan terjadi. Kerusakan primer ini dapat bersifat (fokal) local maupun difus.a) Kerusakan fokal yaitu kerusakan jaringan yang terjadi pada bagian tertentu saja dari kepala, sedangkan bagian relatif tidak terganggu.b) Kerusakan difus yaitu kerusakan yang sifatnya berupa disfungsi menyeluruh dari otak dan umumnya bersifat makroskopis.2) Cedera kepala sekunder adalah kelainan atau kerusakan yang terjadi setelah terjadinya trauma/benturan dan merupakan akibat dari peristiwa yang terjadi pada kerusakan primer.

Berdasarkan kerusakan jaringan otak :1) Komusio Serebri (gegar otak) : gangguan fungsi neurologik ringan tanpa adanya kerusakan struktur otak, terjadi hingga kesadaran kurang dari 10 menit atau tanpa disertai amnesia, mual muntah, nyeri kepala.2) Kontusio Serebri (memar) : gangguan fungsi neurologic disertai kerusakan jaringan otak tetapi kontinuitas jaringan masih utuh, hingga kesadaran lebih dari 10.3) Konfusio Serebri : gangguan fungsi neurologik disertai kerusakan otak yang berat dengan fraktur tengkorak, massa otak terkelupas keluar dari rongga intrakranial.6. Tipe Trauma KepalaTipe trauma kepala terbagi menjadi 2 macam, yaitu :a. Trauma TerbukaTrauma ini menyebabkan fraktur pada tulang tengkorak, laserasi durameter, dan kerusakan otak jika tulang tengkorak menusuk otak.b. Trauma TertutupTrauma kepala tertutup terbagi menjadi 2 macam, yaitu komusio serebri/gegar otak dan kontusio serebri/memar otak.1) Komusio serebri/gegar otak adalah merupakan bentuk trauma kapitis ringan.2) Kontusio serebri atau memar otak merupakan perdarahan kecil pada jaringan otak akibat pecahnya pembuluh darah kapiler, hal ini bersama-sama dengan rusaknya jaringan saraf atau otak yang menimbulkan edema jaringan otak di daerah sekitarnya. Bila daerah yang mengalami edema cukup luas akan terjadi peningkatan terkanan intrakranial.7. Perdarahan IntrakranialPerdarahan vaskuler yang utama dari trauma meliputi perdarahan epidural, subdural dan sub araknoid.a. Hematom EpiduralHematom epidural adalah keadaaan dimana terjadi penumpukkan darah di antara durameter tulang tengkorak. Umumnya disebabkan karena trauma pada kepala yang mengakibatkan fraktur linear.b. Hematom SubduralHematoma subdural adalah penggumpalan darah diantara durameter dan dasar otak. Perdarahan subdural terjadi karena ruptural vena jembatan dan robekan pembuluh darah kortikal, sub araknoidal atau araknoidal disertai robekan araknoid.

c. Hematoma Sub AraknoidHematoma subaraknoid terjadi akibat rupturnya bridging vein pada ruang subaraknoid, atau pembuluh darah yang ada pada permukaan jaringan otak.d. Hematoma IntraserebriHematoma intraserebri adalah perdarahan yang terjadi dalam jaringan (parenkim) otak. Perdarahan terjadi akibat adanya laserasi atau kontusio jaringan otak yang menyebabkan pecahnya pembuluh darah yang ada di dalam jaringan otak tersebut.Gambar perdarahan intrakranial dapat dilihat pada gambar 2.3. di bawah ini.8. Manifestasi KlinisManifestasi klinis yang biasa timbul pada kasus cedera kepala di antaranya :a. Hilangnya kesadaran.b. Perdarahan dibelakang membrane timpanic. Ekimosis pada periorbitald. Mual dan muntah.e. Pusing kepala.f. Terdapat hematom.g. Bila fraktur mungkin adanya cairan serebrospinal yang keluar dari hidung (rhinorrohea) dan telinga (otorhea) bila fraktur tulang temporal.9. Pemeriksaan PenunjangPemeriksaan penunjang yang dilakukan mencakup pemeriksaan laboratorium darah dan pemeriksaan radiologi.a. Pemeriksaan LaboratoriumAdapun pemeriksaan laboratorium darah yang berguna pada kasus cedera kepala yaitu :Tabel 2.1. Pemeriksaan Laboratorium Pada Kasus Cedera Kepala Hemoglobin

Leukositosis

Golongan Darah

GDS

Fungsi Ginjal

Analisa Gas Darah

Elektrolit

Toksikologi Sebagai salah satu fungsi adanya perdarahan yang berat.

Untuk salah satu indikator berat ringannya cedera kepala yang terjadi.

Persiapan bila diperlukan transfusi darah pada kasus perdarahan yang berat.

Memonitor agar jangan sampai terjadi hipoglikemia maupun hiperglikemia.

Memeriksa fungsi ginjal, pemberian manitol tidak boleh dilakukan pada fungsi ginjal yang tidak baik.

PCO2 yang tinggi dan PO2 yang rendah akan memberikan prognosis yang kurang baik, oleh karenanya perlu dikontrol PO2 tetap > 90 mmHg, SaO2 > 95 % dan PCO2 30-50 mmHg. Atau mengetahui adanya masalah ventilasi perfusi atau oksigenisasi yang dapat meningkatkan TIK.

Adanya gangguan elektrolit menyebabkan penurunan kesadaran.

Mendeteksi obat yang mungkin menimbulkan penurunan kesadaran.

b. Pemeriksaan Radiologi1) CT ScanAdanya nyeri kepala, mual, muntah, kejang, penurunan kesadaran, mengidentifikasi adanya hemoragi, pergeseran jaringan otak.2) Angiografi SerebralMenunjukkan kelainan sirkulasi cerebral seperti pergeseran cairan otak akibat oedema, perdarahan, trauma.3) EEG (Electro Encephalografi)Memperlihatkan keberadaan/perkembangan gelombang patologis.

4) MRI (Magnetic Resonance Imaging)Mengidentifikasi perfusi jaringan otak, misalnya daerah infark, hemoragik.5) Sinar XMendeteksi adanya perubahan struktur tulang tengkorak.6) Test Orientasi dan Amnesia Galveston (TOAG)Untuk menentukan apakah penderita trauma kepala sudah pulih daya ingatnya.10. KomplikasiKomplikasi yang terjadi pada pasien cedera kepala menurut Eka J. Wahjoepramono (2005 : 90) antara lain :a. Cedera Otak Sekunder akibat hipoksia dan hipotensiHipoksia dapat terjadi akibat adanya trauma di daerah dada yang terjadinya bersamaan dengan cedera kepala. Adanya obstruksi saluran nafas, atelektasis, aspirasi, pneumotoraks, atau gangguan gerak pernafasan dapat berdampak pasien mengalami kesulitan bernafas dan pada akhirnya mengalami hipoksia.b. Edema SerebralEdema adalah tertimbunnya cairan yang berlebihan di dalam jaringan. Edema serebral akan menyebabkan bertambah besarnya massa jaringan otak di dalam rongga tulang tengkorak yang merupakan ruang tertutup. Kondisi ini akan menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan intrakranial yang selanjutnya juga berakibat penurunan perfusi jaringan otak.c. Peningkatan Tekanan Intra KranialTekanan intrakranial dapat meningkat karena beberapa sebab, yaitu pada perdarahan selaput otak (misalnya hematoma epidural dan subdural). Pada perdarahan dalam jaringan otak (misalnya laserasi dan hematoma serebri), dan dapat pula akibat terjadinya kelainan parenkim otak yaitu berupa edema serebri.d. Herniasi Jaringan OtakAdanya penambahan volume dalam ruang tengkorak (misalnya karena adanya hematoma) akan menyebabkan semakin meningkatnya tekanan intrakranial. Sampai batas tertentu kenaikan ini akan dapat ditoleransi. Namun bila tekanan semakin tinggi akhirnya tidak dapat diltoleransi lagi dan terjadilah komplikasi berupa pergeseran dari struktur otak tertentu kearah celah-celah yang ada.e. InfeksiCedera kepala yang disertai dengan robeknya lapisan kulit akan memiliki resiko terjadinya infeksi, sebagaimana pelukaan di daerah tubuh lainnya. Infeksi yang terjadi dapat menyebabkan terjadinya Meningitis, Ensefalitis, Empyema subdural, Osteomilietis tulang tengkorak, bahkan abses otak.f. HidrisefalusHidrosefalus merupakan salah satu komplikasi cedera kepala yang cukup sering terjadi, khususnya bila cedera kepala cukup berat.11. Penatalaksanaan MedisMenurut Tarwoto, dkk (2007 : 130) penatalaksanaan medis pada cedera kepala sebagai berikut :a. Penatalaksanaan UmumBersihkan jalan nafas dari debris dan muntahan, lepaskan gigi palsu, pertahankan tulang servikal segaris dengan badan dengan memasang kolar servikal.1) Monitor respirasi : bebaskan jalan nafas, monitor keadaan ventilasi, pemeriksaan AGD, bahkan oksigen bila perlu.2) Monitor tekanan intrakranial.3) Atasi syok bila ada.4) Kontrol tanda-tanda vital.5) Keseimbangan cairan elektrolit.b. OperasiDilakukan untuk mengeluarkan darah pada intraserebral, debridemen luka, kraniotomi.c. Menilai sirkulasi1) Diuretik : Untuk mengurangi edema serebral misalnya manitol 20 %, furosemid (lasik).2) Antikonvulsan : Untuk menghentikan kejang misalnya dilantin, fegretol, valium.3) Kortikosteroid : Untuk menghambat pembentukkan edema misalnya dengan dexamethasone.4) Antagonis histamin : Mencegah terjadinya iritasi lambung karena hipersekresi akibat trauma kepala misalnya dengan cimetidine, ranitidine.5) Antibiotik : Jika terjadi luka yang besar.C. Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Cedera Kepala(Doengoes, 2000).1. Pengkajiana. Aktivitas/IstirahatGejala : Merasa lemah, lelah, kaku, hilang keseimbangan.Tanda : Perubahan kesalahan, letargi, hemisparase, quadriplegia, ataksia cara berjalan tak tegap, masalah dalam keseimbangan, cedera (trauma) ortopedi, kehilangan tonus otot, otot spastik.b. SirkulasiGejala : Perubahan tekanan darah atau normal (Hipertensi), perubahan frekuensi jantung (bradikardia, takikardia, yang diselingi dengan bradikardia, distritmia).c. Integritas EgoGejala : Perubahan tingkah laku atau kepribadian (tenang atau dramatis).Tanda : Cemas, mudah tersinggung, Delirium, Agitasi, bingung, depresi dan impulsif.d. EliminasiGejala : Inkontinensia kandung kemih/usus atau mengalami gangguan fungsi.e. Makanan/CairanGejala : Mual/muntah dan mengalami perubahan selera.Tanda : Muntah (mungkin proyektil), gangguan menelan (batuk, air liur keluar, dispagia), berkeringat, penurunan berat badan, penurunan massa otot/lemak subkutan.f. NeurosensoriGejala : Kehilangan kesadaran sementara, Amnesia seputar kejadian, Vertigo, Sinkope, tinnitus, kehilangan pendengaran, tingling, baal pada ekstrimitas, perubahan pola dalam penglihatan seperti ketajamannya, diplopia, kehilangan sebagian lapang pandang, fotofobia, gangguan pengecapan dan penciumanTanda : Perubahan kesadaran bisa sampai koma, perubahan status mental, perubahan pupil (respon terhadap cahaya simetris/deviasi pada mata, ketidakmampuan mengikuti).Kehilangan pengindraan seperti pengecapan, penciuman dan pendengaran, wajah tidak simetris, genggaman lemah, tidak seimbang, reflex tendon dalam tidak ada atau lemah, apraksia, quadriplegia, kejang, sangat sensitif terhadap sentuhan dan gerakan, kehilangan sensasi sebagian tubuh.g. Nyeri/kenyamananGejala : Sakit kepala intensitas dan lokasi yang berbeda, biasanya lama.Tanda : Wajah menyeringai, respon menarik pada rangsangan nyeri yang hebat, gelisah tidak dapat beristirahat, merintih.

h. PernafasanTanda : Perubahan pola nafas (apnoe yang diselingi oleh hiperventilasi), nafas berbunyi stridor, tersedak, ronkhi, mengi positif. (kemungkinan adanya aspirasi).i. KeamananGejala : Trauma baru/trauma karena kecelakaan.Tanda : Fraktur/dislokasi, gangguan penglihatan.Kulit : laserasi, abrasi, perubahan warna, seperti raccoon eye tanda battle disekitar telinga (merupakan tanda adanya trauma), adanya aliran (drainage) dari telinga/hudung (CSS), gangguan kognitif, gangguan rentang gerak, tonus otot hilang, kekuatan secara umum mengalami pralisis, demam dan gangguan dalam regulasi suhu tubuh.j. Interaksi SosialTanda : Afasia motorik atau sensorik, berbicara tanpa arti, bicara berulang-ulang, disartria.k. Penyuluhan/pembelajaranGejala : Penggunaan alkohol atau obat lain.Rencana pemulangan : membutuhkan bantuan pada perawatan diri, ambulasi, transportasi, menyiapkan makan, belanja, perawatan, pengobatan, tugas-tugas rumah tangga, perubahan tata ruang, dan pemanfaatan fasilitas lainnya di rumah sakit.2. Diagnosa KeperawatanMenurut Doenges (2000), diagnosa keperawatan pada klien dengan gangguan sistem persarafan (Cedera Kepala) adalah sebagai berikut :a. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penghentian aliran darah ; edema serebral ; penurunan TD sistemik/hipoksia.Tujuan : Memaksimalkan perfusi/meningkatkan fungsi serebral.Intervensi :1) Kaji status neurologis secara teratur dan bandingkan dengan nilai standar (seperti GCS).2) Pantau tanda-tanda vital.3) Pertahankan kepala/leher pada posisi tengah atau posisi sejajar, hindari pemakaian bantal besar pada kepala.4) Berikan oksigen tambahan sesuai indikasi.5) Berikan obat-obatan sesuai indikasi.b. Tidak efektifnya pola nafas berhubungan dengan kerusakan neurovaskuler ; kerusakan persepsi atau kognitif ; obstruksi trakeobronkial.Tujuan : Mempertahankan pola pernafasan normal/efektif, mencegah komplikasi.

Intervensi :1) Pantau frekuensi irama dan kedalaman pernafasan, catat ketidakteraturan pernafasan.2) Catat kopetensi reflek gigi/menelan dan kemampuan klien untuk melindungi nafas.3) Angkat kepala tempat tidur sesuai aturannya, posisi miring sesuai indikasi.4) Anjurkan klien untuk melakukan nafas dalam yang efektif jika klien sadar.5) Lekukan penghisapan dengan hati-hati, jangan sampai lebih dari 10-15 menit.6) Kolaborasi dalam pemberian oksigen.7) Lakukan kolaborasi dalam pemeriksaan gas darah.c. Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan resepsi sensori, tranmisi dan atau integrasi (trauma atau defisit neurologis).Tujuan : mengoptimalkan fungsi otak, tingkat kesadaran, dan fungsi persepsi.Intervensi :1) Evaluasi / pantau secara teratur perubahan orientasi, kemampuan berbicara, alam perasaan / efektif sensorik dan proses piker.2) Kaji kesadaran sensori seperti respon sentuhan.3) Observasi prilaku klien.4) Berikan keamanan terhadap klien. Catat adanya penurunan persepsi pada catatan dan letakkan pada tempat tidur klien.5) Rujuk pada ahli fisioterapi, terapi okupasi, terapi wicara, dan terapi kognitif.

asuhan keperawatan pada pasien cidera kepala sedang

A. Pengertian

Cidera kepala adalah kerusakan neurologi yang terjadi akibat adanya trauma pada jaringan otak yang terjadi secara langsung maupun efek sekunder dari trauma yang terjadi (sylvia anderson Price, 1985)

Disebut cedera kepala sedang bila GCS 9-12, kehilangan kesadaran atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam bahkan sampai berhari-hari. Resiko utama pasien yang mengalami cedera kepala adalah kerusakan otak akibat perdarahan atau pembengkakan otak sebagai respon terhadap cedera dan menyebabkan peningkatan TIK.

B. patofisiologi

Cedera kulit kepala

Karena bagian ini banyak mengandung pembuluh darah, kulit kepala berdarah bila mengalami cedera dalam. Kulit kepala juga merupakan tempat masuknya infeksi intrakranial. Trauma dapat menimbulkan abrasi, kontisio, laserasi atau avulsi.

Fraktur tengkorak

Fraktur tengkorak adalah rusaknya kontinuitas tulang tengkorak disebabkan oleh trauma. Ini dapat terjadi dengan atau tanpa kerusakan otak. Adanya fraktur tengkorak biasanya dapat menimbulkan dampak tekanan yang kuat. Fraktur tengkorak diklasifikasikan terbuka/tertutup. Bila fraktur terbuka maka dura rusak dan fraktur tertutup dura tidak rusak. Fraktur kubah kranial menyebabkan bengkak pada sekitar fraktur dan karena alasan yang kurang akurat tidak dapat ditetapkan tanpa pemeriksaan dengan sinar X, fraktur dasar tengkorak cenderung melintas sinus paranasal pada tulang frontal atau lokasi tengah telinga di tulang temporal, juga sering menimbulkan hemorragi dari hidung, faring atau telinga dan darah terlihat di bawah konjungtiva. Fraktur dasar tengkorak dicurigai ketika CSS keluar dari telinga dan hidung.

Cidera otak

Kejadian cedera Minor dapat menyebabkan kerusakan otak bermakna. Otak tidak dapat menyimpan oksigen dan glukosa sampai derajat tertentu yang bermakna sel-sel cerebral membutuhkan supalai darah terus menerus untuk memperoleh makanan. Kerusakan otak tidak dapat pulih dan sel-sel mati dapat diakibatkan karena darah yang mengalir tanpa henti hanya beberapa menit saja dan kerusakan neuron tidak dapat mengalami regenerasi.

Komosio

Komosio cerebral setelah cedera kepala adalah kehilangan fase neuologik sementara tanpa kerusakan struktur. Jika jaringan otak dan lobus frontal terkena, pasien dapat menunjukkan perilaku yang aneh dimana keterlibatan lobus temporal dapat menimbulkan amnesia disoreantasi.

Kontusio

Kontusio cerebral merupakan CKB, dimana otak mengalami memar dan kemungkinan adanya daerah hemoragi. Pasien berada pada periode tidak sadarkan diri. Pasien terbaring kehilangan gerakan, denyut nadi lemah, pernafasan dangkal, kulit dingin dan pucat.

Hemoragi cranial

Hematoma ( pengumpulan darah ) yang terjadi dalam tubuh kranial adalah akibat paling serius dari cedera kepala. Ada 3 macam hematoma :

1. Hematoma Epidural (hematoma Ekstradural)

Setelah terjadi cedera kepala, darah berkumpul di dalam ruang epidural (ekstradural) diantara tengkorak di dura. Keadaan ini sering diakibatkan dari fraktur tulang tengkorak yang menyebabkan arteri meningkat tengah putus atau rusak (laserasi), dimana arteri ini berada diantara dura dan tengkorak daerah frontal inferior menuju bagian tipis tulang temporal, hemoragi karena arteri ini menyebabkan penekanan pada otak.

2. hematoma subdural

hematoma subdural adalah pengumpulan darah diantara dura dan dasar otak, yang pada keadaan normal diisi oleh cairan. Hemoragi sub dural lebih sering terjadi pada vena dan merupakan akibat putusnya pembuluh darah kecil yang menjembatani ruang subdural. Hematoma subdural dapat terjadi akut, sub akut atau kronik tergantung pada ukuran pembuluh darah yang terkena dan jumlah perdarahan yang ada. Hematoma subdural akut: dihubungkan dengan cedera kepala mayor yang meliputi kkontusio atau laserasi. Hematoma subdural subakut: sekrela kontusio sedikit berat dan dicurigai pada bagian yang gagal untuk menaikkan kesadaran setelah trauma kepala. Hematoma subdural kronik: dapat terjadi karena cedera kepala minor dan terjadi paling sering pada lansia. Lansia cenderung mengalami cedera tipe ini karena atrofi otak, yang diperkirakan akibat proses penuaan.

3. Hemoragi Intra cerebral dan hematoma

hematoma intracerebral adalah perdarahan ke dalam substansi otak. Hemoragi ini biasanya terjadi pada cedera kepala dimana tekanan mendesak kepala sampai daerah kecil. Hemoragi in didalam menyebabkan degenerasi dan ruptur pembuluh darah, ruptur kantong aneorima vasculer, tumor infracamal, penyebab sistemik gangguan perdarahan.

Trauma otak mempengaruhi setiap sistem tubuh. Manifestasi klinis cedera otak meliputi :

- Gangguan kesadaran

- Konfusi

- Sakit kepala, vertigo, gangguan pergerakan

- Tiba-tiba defisit neurologik

- Perubahan TTV

- Gangguan penglihatan

- Disfungsi sensorik

- lemah otak

C.

Trauma kepala

PATHWAYS

D. TANDA DAN GEJALA

Pola pernafasan

Pusat pernafasan diciderai oleh peningkatan TIK dan hipoksia, trauma langsung atau interupsi aliran darah. Pola pernafasan dapat berupa hipoventilasi alveolar, dangkal.

Kerusakan mobilitas fisik

Hemisfer atau hemiplegi akibat kerusakan pada area motorik otak.

Ketidakseimbangan hidrasi

Terjadi karena adanya kerusakan kelenjar hipofisis atau hipotalamus dan peningkatan TIK

Aktifitas menelan

Reflek melan dari batang otak mungkin hiperaktif atau menurun sampai hilang sama sekali

Kerusakan komunikasi

Pasien mengalami trauma yang mengenai hemisfer serebral menunjukkan disfasia, kehilangan kemampuan untuk menggunakan bahasa.

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG

CT Scan

Ventrikulografi udara

Angiogram

Diagnostik Peritoneal Lavage (DPL)

Ultrasonografi

F. penatalaksanaan

1. Air dan Breathing

- Perhatian adanya apnoe

- Untuk cedera kepala berat lakukan intubasi endotracheal. Penderita mendapat ventilasi dengan oksigen 100% sampai diperoleh AGD dan dapat dilakukan penyesuaian yang tepat terhadap FiO2.

- Tindakan hiperventilasi dilakukan hati-hati untuk mengoreksi asidosis dan menurunkan secara cepat TIK pada penderita dengan pupil yang telah berdilatasi. PCO2 harus dipertahankan antara 25-35 mmhg.

2. Circulation

Hipotensi dan hipoksia adalah merupakan penyebab utama terjadinya perburukan pada CKS. Hipotensi merupakan petunjuk adanya kehilangan darah yang cukup berat, walaupun tidak tampak. Jika terjadi hipotensi maka tindakan yang dilakukan adalah menormalkan tekanan darah. Lakukan pemberian cairan untuk mengganti volume yang hilang sementara penyebab hipotensi dicari.

3. disability (pemeriksaan neurologis)

- Pada penderita hipotensi pemeriksaan neurologis tidak dapat dipercaya kebenarannya. Karena penderita hipotensi yang tidak menunjukkan respon terhadap stimulus apapun, ternyata menjadi normal kembali segera tekanan darahnya normal

- Pemeriksaan neurologis meliputi pemeriksaan GCS dan reflek cahaya pupil

G. pengkajian primer

a. Airway

Kaji adanya obstruksi jalan antara lain suara stridor, gelisah karena hipoksia, penggunaan otot bantu pernafasan, sianosis

b. Breathing

Inspeksi frekuensi nafas, apakah terjadi sianosis karena luka tembus dada, fail chest, gerakan otot pernafasan tambahan. Kaji adanya suara nafas tambahan seperti ronchi, wheezing.

c. Sirkulasi

Kaji adanya tanda-tanda syok seperti: hipotensi, takikardi, takipnea, hipotermi,pucat, akral dingin, kapilari refill>2 detik, penurunan produksi urin.

d. Disability

Kaji tingkat kesadaran pasien serta kondisi secara umum.

e. Eksposure

Buka semua pakaian klien untuk melihat adanya luka.

H. pengkajian skunder

- Kepala

Kelainan atau luka kulit kepala dan bola mata, telinga bagian luar dan membrana timpani, cedera jaringan lunak periorbital

- Leher

Adanya luka tembus leher, vena leher yang mengembang

- Neurologis

Penilaian fungsi otak dengan GCS

- Dada

Pemeriksaan klavikula dan semua tulang iga, suara nafas dan jantung, pemantauan EKG

- Abdomen

Kaji adanya luka tembus abdomen, pasang NGT dengan trauma tumpul abdomen

- Pelvis dan ekstremitas

Kaji adanya fraktur, denyut nadi perifer pada daerah trauma, memar dan cedera yang lain

I. diagnoasa keperawatan yang muncul

1. Gangguan perfusi jaringan serebral b.d penurunan aliran darah ke serebral, edema serebral

2. Pola nafas tidak efektif b.d kerusakan neuro muskuler (cedera pada pusat pernafasan otak, kerusakan persepsi /kognitif)

3. Kerusakan pertukaran gas b.d hilangnya control volunteer terhadap otot pernafasan

4. Inefektif bersihan jalan nafas b.d akumulasi sekresi, obstruksi jalan nafas

5. Gangguan pola nafas b.d adanya depresi pada pusat pernafasan

6. Resiko Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan b.d penurunan kesadaran

7. Resiko cedera b.d kejang, penurunan kesadaran

8. Gangguan eliminasi urin b.d kehilangan control volunteer pada kandung kemih

J. rencana keperawatan

1. Diagnosa : gangguan perfusi jaringan serebral b.d penurunan aliran darah ke serebral, edema serebral

Tujuan : mempertahankan tingkat kesadaran, kognisi dan fungsi motorik dan sensorik

Intervensi :

- Kaji faktor penyebab penurunan kesadaran dan peningkatan TIK

- Monitor status neurologis

- Pantau tanda-tanda vital dan peningkatan TIK

- Evaluasi pupil, batasan dan proporsinya terhadap cahaya

- Letakkan kepala dengan posisi 15-45 derajat lebih tinggi untuk mencegah peningkatan TIK

- Kolaburas pemberian oksigen sesuai dengan indikasi, pemasangan cairan IV, persiapan operasi sesuai dengan indikasi

2. Diagnosa : Pola nafas tidak efektif b.d kerusakan neuro muskuler (cedera pada pusat pernafasan otak, kerusakan persepsi /kognitif)

Tujuan : pola nafas pasien efektif

Intervensi :

- Kaji pernafasan (irama, frekuensi, kedalaman) catat adanya otot bantu nafas

- Kaji reflek menelan dan kemampuan mempertahankan jalan nafas

- Tinggikan bagian kepala tempat tidur dan bantu perubahan posisi secara berkala

- Lakukan pengisapan lendir, lama pengisapan tidak lebih dari 10-15 detik

- Auskultasi bunyi paru, catat adanya bagian yang hipoventilasi dan bunyi tambahan(ronchi, wheezing)

- Catat pengembangan dada

- Kolaburasi : awasi seri GDA, berikan oksigen tambahan melalui kanula/ masker sesuai dengan indikasi

- Monitor pemakaian obat depresi pernafasan seperti sedatif

- Lakukan program medik

3. Diagnosa : kerusakan pertukaran gas b.d hilangnya control volunteer terhadap otot pernafasan

tujuan : pasien mempertahankan oksigenasi adekuat

intervensi :

- Kaji irama atau pola nafas

- Kaji bunyi nafas

- Evaluasi nilai AGD

- Pantau saturasi oksigen

4. Diagnosa : Inefektif bersihan jalan nafas b.d akumulasi sekret, obstruksi jalan nafas

Tujuan : mempertahankan potensi jalan nafas

intervensi :

- Auskultasi bunyi nafas, catat adanya bunyi nafas misal krekels, mengi, ronchi

- Kaji frekuensi pernafasan

- Tinggikan posisi kepala tempat tidur sesuai dengan indikasi

- Lakukan penghisapan lendir bila perlu, catat warna lendir yang keluar

- Kolaburasi : monitor AGD

5. Diagnosa : resiko cedera b.d penurunan kesadaran

tujuan : tidak terjadi cedera pada pasien selama kejang, agitasi atu postur refleksif

intervensi :

- Pantau adanya kejang pada tangan, kaki, mulut atau wajah

- Berikan keamanan pada pasien dengan memberikan penghalang tempat tidur

- Berikan restrain halus pada ekstremitas bila perlu

- Pasang pagar tempat tidur

- Jika terjadi kejang, jangan mengikat kaki dan tangan tetapi berilah bantalan pada area sekitarnya. Pertahankan jalan nafas paten tapi jangan memaksa membuka rahang

- Pertahankan tirah baring

6. Resiko Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan b.d penurunan kesadaran

Tujuan : tidak terjadi kekurangan kebutuhan nutrisi tepenuhi

Intervensi :

- Pasang pipa lambung sesuai indikasi, periksa posisi pipa lambung setiap akan memberikan makanan

- Tinggikan bagian kepala tempat tidur setinggi 30 derajat untuk mencegah terjadinya regurgitasi dan aspirasi

- Catat makanan yang masuk

- Kaji cairan gaster, muntahan

- Kolaburasi dengan ahli gizi dalam pemberian diet yang sesuai dengan kondisi pasien

- Laksanakan program medik

7. Diagnosa : Gangguan eliminasi urin b.d hilangnya control volunter pada kandung kemih

tujuan : mempertahankan urin yang adekuat, tanpa retensi urin

intervensi :

- Kaji pengeluaran urin terhadap jumlah, kualitas dan berat jenis

- Periksa residu kandung kemih setelah berkemih

- Pasang kateter jika diperlukan, pertahankan teknik steril selama pemasangan untuk mencegah infeksi

LAPORAN PENDAHULUAN

KLIEN DENGAN CEDERA KEPALA

A. Pengertian

Cedera kepala adalah adanya pukulan atau benturan mendadak pada kepala dengan atau tanpa kehilangan kesadaran. (Tucker, 1998)

Klasifikasi

Menurut Mansjoer (2000) cedera kepala dibagi 3 yaitu :

1. Mekanisme berdasarkan adanya penetrasi durameter.

a. Trauma tumpul

- Kecepatan tinggi : tabrakan mobil

- Kecepatan rendah : terjatuh, dipukul.

b. Trauma tembus

- Luka tembus peluru

2. Tingkat keparahan cedera

a. Ringan

- GCS 13 15

- Tidak ada kehilangan kesadaran

- Tidak adan infoksikasi alkohol atau obat terlarang

- Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing

- Pasien dapat menderita abrasi, laserasi atau hematoma kulit kepala

- Tidak adanya kriteria cedera sedang berat.

b. Sedang

- GCS 9 12

- Amnesia pasca trauma

- Muntah

- Tanda kemungkinan fraktur kranium (mata rabun, hematimpanum, otorea atau rinorea cairan serebrospinal)

- Kejang.

c. Berat

- GCS 3 8

- Penurunan derajat kesadaran secara progresif

- Tanda neurologis fokal

- Cedera kepala penetrasi atau teraba farktur depresi kronium.

3. Morfologi

a. Fraktur tengkorak

- Kranium : linier : depresi atua non depresi, terbuka atau tertutup.

- Basis : dengan atau tanpa kebocoran cairan serebrospinal dengan atau tanpa kelumpuhan nervus VII (facialis)

b. Lesi intrakranial

- Fokal : epidural, subdural, intra serebral

- Difus : konkusi ringan, konkusi klasik, cedera aksonal difus.

B. Patofisiologi

Cedera kulit kepala

Karena bagian ini banyak mengandung pembuluh darah, kulit kepala berdarah bila mengalami cedera dalam. Kulit kepala juga merupakan tempat masuknya infeksi intrakranial. Trauma dapat menimbulkan abrasi, kontisio, laserasi atau avulsi.

Fraktur tengkorak

Fraktur tengkorak adalah rusaknya kontinuitas tulang tengkorak disebabkan oleh trauma. Ini dapat terjadi dengan atau tanpa kerusakan otak. Adanya fraktur tengkorak biasanya dapat menimbulkan dampak tekanan yang kuat. Fraktur tengkorak diklasifikasikan terbuka/tertutup. Bila fraktur terbuka maka dura rusak dan fraktur tertutup dura tidak rusak. Fraktur kubah kranial menyebabkan bengkak pada sekitar fraktur dan karena alasan yang kurang akurat tidak dapat ditetapkan tanpa pemeriksaan dengan sinar X, fraktur dasar tengkorak cenderung melintas sinus paranasal pada tulang frontal atau lokasi tengah telinga di tulang temporal, juga sering menimbulkan hemorragi dari hidung, faring atau telinga dan darah terlihat di bawah konjungtiva. Fraktur dasar tengkorak dicurigai ketika CSS keluar dari telinga dan hidung.

Cidera otak

Kejadian cedera Minor dapat menyebabkan kerusakan otak bermakna. Otak tidak dapat menyimpan oksigen dan glukosa sampai derajat tertentu yang bermakna sel-sel cerebral membutuhkan supalai darah terus menerus untuk memperoleh makanan. Kerusakan otak tidak dapat pulih dan sel-sel mati dapat diakibatkan karena darah yang mengalir tanpa henti hanya beberapa menit saja dan kerusakan neuron tidak dapat mengalami regenerasi.

Komosio

Komosio cerebral setelah cedera kepala adalah kehilangan fase neuologik sementara tanpa kerusakan struktur. Jika jaringan otak dan lobus frontal terkena, pasien dapat menunjukkan perilaku yang aneh dimana keterlibatan lobus temporal dapat menimbulkan amnesia disoreantasi.

Kontusio

Kontusio cerebral merupakan CKB, dimana otak mengalami memar dan kemungkinan adanya daerah hemoragi. Pasien berada pada periode tidak sadarkan diri. Pasien terbaring kehilangan gerakan, denyut nadi lemah, pernafasan dangkal, kulit dingin dan pucat. Hemoragi cranial Hematoma ( pengumpulan darah ) yang terjadi dalam tubuh kranial adalah akibat paling serius dari cedera kepala. Ada 3 macam hematoma :

1.Hematoma Epidural (hematoma Ekstradural)

Setelah terjadi cedera kepala, darah berkumpul di dalam ruang epidural (ekstradural) diantara tengkorak di dura. Keadaan ini sering diakibatkan dari fraktur tulang tengkorak yang menyebabkan arteri meningkat tengah putus atau rusak (laserasi), dimana arteri ini berada diantara dura dan tengkorak daerah frontal inferior menuju bagian tipis tulang temporal, hemoragi karena arteri ini menyebabkan penekanan pada otak.

2. Hematoma subdural

hematoma subdural adalah pengumpulan darah diantara dura dan dasar otak, yang pada keadaan normal diisi oleh cairan. Hemoragi sub dural lebih sering terjadi pada vena dan merupakan akibat putusnya pembuluh darah kecil yang menjembatani ruang subdural. Hematoma subdural dapat terjadi akut, sub akut atau kronik tergantung pada ukuran pembuluh darah yang terkena dan jumlah perdarahan yang ada. Hematoma subdural akut: dihubungkan dengan cedera kepala mayor yang meliputi kkontusio atau laserasi. Hematoma subdural subakut: sekrela kontusio sedikit berat dan dicurigai pada bagian yang gagal untuk menaikkan kesadaran setelah trauma kepala. Hematoma subdural kronik: dapat terjadi karena cedera kepala minor dan terjadi paling sering pada lansia. Lansia cenderung mengalami cedera tipe ini karena atrofi otak, yang diperkirakan akibat proses penuaan.

3. Hemoragi Intra cerebral dan hematoma

Hematoma intracerebral adalah perdarahan ke dalam substansi otak. Hemoragi ini biasanya terjadi pada cedera kepala dimana tekanan mendesak kepala sampai daerah kecil. Hemoragi in didalam menyebabkan degenerasi dan ruptur pembuluh darah, ruptur kantong aneorima vasculer, tumor infracamal, penyebab sistemik gangguan perdarahan. Trauma otak mempengaruhi setiap sistem tubuh. Manifestasi klinis cedera otak meliputi :

-Gangguan kesadaran

-Konfusi

-Sakit kepala, vertigo, gangguan pergerakan

-Tiba-tiba defisit neurologik

-Perubahan TTV

-Gangguan penglihatan

-Disfungsi sensorik

-lemah otak

Pathway

C. Etiologi

Menurut Carolyn M. Hundak (1996) penyebab cedera kepala adalah kecelakaan lalu lintas dan jatuh.

D. Manifestasi klinis

Tanda dan gejala yang muncul pada pasien cedara kepala (Tucker, 1998) antara lain :

1. Perubahan tingkat kesadaran (letargi sampai koma)

2. Perubahan tingkah laku, seperti : cepat marah, gelisah, bingung, kacau mental.

3. Sakit kepala.

4. Mual dan muntah.

5. Perubahan pola pernafasan : nafas kuat dalam, cheyne stokes, henti nafas.

6. Perubahan motorik dan sensorik fokal : kelemahan progresif, parastesia.

7. Perubahan pupil : dilatasi.

8. Postur abnormal : rigiditas dekortikasi, rigiditas desebrasi.

E. Penatalaksanaan

1. Dexamethason atau kalmethason sebagai pengobatan anti edema serebral dosis dengan berat ringannya trauma.

2. Therapi hiperventilasi (taruma kepala berat) untuk mengurangi vasodilatasi.

3. Pemberian analgetik.

4. Pengobatan anti edema dengan larutan hipertonis yaitu manitol 20% atau glukosa 40 % atau gliserol 10 %.

5. Antibiotika yang mengandung barier darah otak (penisilin) atua untuk infeksi anaerob diberikan metronodazole.

6. Pembedahan. (Elyna S.L Siahaan, 1996)

7.Air dan Breathing

-Perhatian adanya apnoe

-Untuk cedera kepala berat lakukan intubasi endotracheal. Penderita mendapat ventilasi dengan oksigen 100% sampai diperoleh AGD dan dapat dilakukan penyesuaian yang tepat terhadap FiO2.

-Tindakan hiperventilasi dilakukan hati-hati untuk mengoreksi asidosis dan menurunkan secara cepat TIK pada penderita dengan pupil yang telah berdilatasi. PCO2 harus dipertahankan antara 25-35 mmhg.

8.Circulation

Hipotensi dan hipoksia adalah merupakan penyebab utama terjadinya perburukan pada CKS. Hipotensi merupakan petunjuk adanya kehilangan darah yang cukup berat, walaupun tidak tampak. Jika terjadi hipotensi maka tindakan yang dilakukan adalah menormalkan tekanan darah. Lakukan pemberian cairan untuk mengganti volume yang hilang sementara penyebab hipotensi dicari.

9.disability (pemeriksaan neurologis)

-Pada penderita hipotensi pemeriksaan neurologis tidak dapat dipercaya kebenarannya. Karena penderita hipotensi yang tidak menunjukkan respon terhadap stimulus apapun, ternyata menjadi normal kembali segera tekanan darahnya normal

-Pemeriksaan neurologis meliputi pemeriksaan GCS dan reflek cahaya pupil

F. Pengkajian Primer

a.Airway

Kaji adanya obstruksi jalan antara lain suara stridor, gelisah karena hipoksia, penggunaan otot bantu pernafasan, sianosis

b.Breathing

Inspeksi frekuensi nafas, apakah terjadi sianosis karena luka tembus dada, fail chest, gerakan otot pernafasan tambahan. Kaji adanya suara nafas tambahan seperti ronchi, wheezing.

c.Sirkulasi

Kaji adanya tanda-tanda syok seperti: hipotensi, takikardi, takipnea, hipotermi,pucat, akral dingin, kapilari refill>2 detik, penurunan produksi urin.

d.Disability

Kaji tingkat kesadaran pasien serta kondisi secara umum.

e.Eksposure

Buka semua pakaian klien untuk melihat adanya luka.

G. Pengkajian Sekunder

-Kepala

Kelainan atau luka kulit kepala dan bola mata, telinga bagian luar dan membrana timpani, cedera jaringan lunak periorbital

-Leher

Adanya luka tembus leher, vena leher yang mengembang

-Neurologis

Penilaian fungsi otak dengan GCS

-Dada

Pemeriksaan klavikula dan semua tulang iga, suara nafas dan jantung, pemantauan EKG

-Abdomen

Kaji adanya luka tembus abdomen, pasang NGT dengan trauma tumpul abdomen

-Pelvis dan ekstremitas

Kaji adanya fraktur, denyut nadi perifer pada daerah trauma, memar dan cedera yang lain

H. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan diagnostik yang dilakukan dalam menegakkan diagnosa medis (Siahaan, 1996) adalah :

1. X-ray Tengkorak

2. CT-Scan

3. Angiografi

I. Komplikasi

Menurut Hundak dan Gallo (1996) komplikasi cedera kepala adalah :

1. Edema pulmonal

2. Kejang

3. Kebocoran cairan serebrospinal

4. Hemoragi.

J. Diagnosa Keperawatan

1. Gangguan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan edema otak.

2. Potensial tidak efektifnya pola pernapasan berhubungan dengan adanya obstruksi trakeabronkial.

3. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan penurunan ADH.

4. Resiko tinggi gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan kelemahan otot yang diperlukan untuk mengunyah.

5. Gangguan rasa nyaman nyeri kepala berhubungan dengan kerusakan jaringan otak dan perdarahan otak atau peningkatan tekanan intrakranial.

6. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan otot.

7. Potensial terjadinya infeksi berhubungan dengan masuknya kuman melalui jaringan.

8. Gangguan integriatas kulit berhubungan dengan terjadinya kerusakan jaringan kulit.

9. Resiko tinggi cedera aspirasi berhubungan dengan kesulitan menelan.

K. Rencana Keperawatan

1. Gangguan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan edema otak

Tujuan :

a. Tingkat kesadaran dalam batas normal

b. Fungsi kognitif dan sensori / motorik normal

Intervensi :

a. Kaji faktor-faktor yang menyebabkan koma, kesadaran menurun dan peningkatan TIK.

b. Monitor dan catat status neurologik tentang frekuensi terjadi dan bandingkan dengan GCS.

- Respon mata terhadap rangsangan.

- Respon verbal terhadap orang, waktu dan tempat.

- Respon motorik (ekstremitas atas, bawah)

c. Evaluasi pupil, besar dan responnya terhadap cahaya.

d. Kurangi stimulus yang tidak berarti.

2. Potensial tidak efektifnya pola pernapasan berhubungan dengan adanya obstruksi trakeabronkial

Tujuan : Pola napas efektif dalam batas normal.

Intervensi :

a. Kaji kecepatan, kedalaman frekuensi dan bunyi napas.

b. Atur posisi pasien dengan posisi semi fowler (150 450).

c. Berikan posisi semi prone lateral atau miring.

d. Apabila pasien sudah sadar, anjurkan dan ajak latihan napas dalam.

e. Lakukan kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian terapi oksigen.

f. Lakukan dengan tim analis dalam melaksanakan analisa gas darah.

3. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan penurunan ADH

Tujuan :

a. Cairan elektrolit tubuh seimbang

b. Turgor kulit baik

Intervensi :

a. Monitor asupan haluaran setiap 8 jam sekali.

b. Berikan cairan setiap hari tidak boleh lebih dari 2000 cc.

c. Kolaborasi dengan tim analisis untuk pemeriksaan kadar elektrolit tubuh.

d. Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian lasix.

4. Resiko tinggi gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan kelemahan otot yang diperlukan untuk mengunyah.

Tujuan :

a. Mendemonstrasikan pemeliharaan / kemajuan peningkatan berat badan sesuai tujuan

b. Tidak mengalami tanda-tanda malnutrisi.

Intervensi :

a. Kaji kemampuan pasien untuk mengunyah, menelan, batuk dan mengatasi cebresi.

b. Auskultasi bising usus.

c. Timbang berat badan sesuai indikasi.

d. Berikan makan dalam jumlah kecil dan dalam waktu sering dan teratur.

e. Kaji feces, cairan lambung, muntah darah dan sebagainya.

5. Gangguan rasa nyaman nyeri kepala berhubungan dengan kerusakan jaringan otak dan perdarahan otak atau peningkatan tekanan intrakranial.

Tujuan : Kebutuhan rasa nyaman terpenuhi.

Intevensi :

a. Kaji mengenai lokasi, intensitas, penyebaran, tingkat kegawatan dan keluhan-keluhan pasien.

b. Ajarkan latihan tehnik relaksasi.

c. Buat posisi kepala lebih tinggi.

d. Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian obat-obatan analgetika.

6. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan otot.

Tujuan :

a. Pasien dapat melakukan kembali atua mempertahankan posisi fimasi optimal.

b. Tidak ada kontraktur.

c. Mempertahankan integritas kulit.

Intervensi :

a. Periksa kembali kemampuan dan keadaan secara fungsional pada kerusakan yang terjadi.

b. Kaji derajat imobilisasi pasien dengan skala ketergantungan (0-4).

c. Letakkan pasien pada posisi tertentu untuk menghindari kerusakan karena tekanan.

d. Instruksikan atau bantu pasien dengan program masuknya latihan dan penggunaan alat mobilisasi.

7. Potensial terjadinya infeksi berhubungan dengan masuknya kuman melalui jaringan.

Tujuan : Tidak terjadi infeksi

Intervensi :

a. Lakukan cuci tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan aseptik dan antiseptik.

b. Monitor suhu tubuh dan penurunan kesadaran.

c. Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian obat antibiotik leukosti, liquor dari hidung, telinga dan urin.

8. Gangguan integriatas kulit berhubungan dengan terjadinya kerusakan jaringan kulit.

Tujuan :

a. Pasien dapat mengidentifikasi faktor-faktor resiko terjadinya gangguan integritas kulit.

b. Pasien dapat berpartisipasi / kooperatif pada setiap tindakan.

Intervensi :

a. Inspeksi area kulit, kemerahan, bengkak, penekanan, kelembaban.

b. Observasi keutuhan / integritas kulit catata adanya pembengkakan, kemerahan, bersihkan secara rutin, berikan salf antibiotik sesuai jadwal / instruksi.

c. Rubah posisi pasien setiap dua jam miring kanan-kiri.

d. Gunakan pakaian tidur yang kering dan lunak.

9. Resiko tinggi cedera aspirasi berhubungan dengan kesulitan menelan.

Tujuan : Cedera aspirasi tidak terjadi.

Intervensi :

a. Kaji faktor-faktor penyebab dan pendukungnya.

b. Kurangi resiko terjadinya aspirasi.

c. Pertahankan pada posisi miring, jika tidak merupakan kontra indikasi cedera.

d. Tinggikan kepala.

e. Beritahu individu dan keluarga penyebab-penyebab dan pencegahan aspirasi.

asuhan keperawatan pada pasien cidera kepala sedang

A. Pengertian

Cidera kepala adalah kerusakan neurologi yang terjadi akibat adanya trauma pada jaringan otak yang terjadi secara langsung maupun efek sekunder dari trauma yang terjadi (sylvia anderson Price, 1985)

Disebut cedera kepala sedang bila GCS 9-12, kehilangan kesadaran atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam bahkan sampai berhari-hari. Resiko utama pasien yang mengalami cedera kepala adalah kerusakan otak akibat perdarahan atau pembengkakan otak sebagai respon terhadap cedera dan menyebabkan peningkatan TIK.

B. patofisiologi

Cedera kulit kepala

Karena bagian ini banyak mengandung pembuluh darah, kulit kepala berdarah bila mengalami cedera dalam. Kulit kepala juga merupakan tempat masuknya infeksi intrakranial. Trauma dapat menimbulkan abrasi, kontisio, laserasi atau avulsi.

Fraktur tengkorak

Fraktur tengkorak adalah rusaknya kontinuitas tulang tengkorak disebabkan oleh trauma. Ini dapat terjadi dengan atau tanpa kerusakan otak. Adanya fraktur tengkorak biasanya dapat menimbulkan dampak tekanan yang kuat. Fraktur tengkorak diklasifikasikan terbuka/tertutup. Bila fraktur terbuka maka dura rusak dan fraktur tertutup dura tidak rusak. Fraktur kubah kranial menyebabkan bengkak pada sekitar fraktur dan karena alasan yang kurang akurat tidak dapat ditetapkan tanpa pemeriksaan dengan sinar X, fraktur dasar tengkorak cenderung melintas sinus paranasal pada tulang frontal atau lokasi tengah telinga di tulang temporal, juga sering menimbulkan hemorragi dari hidung, faring atau telinga dan darah terlihat di bawah konjungtiva. Fraktur dasar tengkorak dicurigai ketika CSS keluar dari telinga dan hidung.

Cidera otak

Kejadian cedera Minor dapat menyebabkan kerusakan otak bermakna. Otak tidak dapat menyimpan oksigen dan glukosa sampai derajat tertentu yang bermakna sel-sel cerebral membutuhkan supalai darah terus menerus untuk memperoleh makanan. Kerusakan otak tidak dapat pulih dan sel-sel mati dapat diakibatkan karena darah yang mengalir tanpa henti hanya beberapa menit saja dan kerusakan neuron tidak dapat mengalami regenerasi.

Komosio

Komosio cerebral setelah cedera kepala adalah kehilangan fase neuologik sementara tanpa kerusakan struktur. Jika jaringan otak dan lobus frontal terkena, pasien dapat menunjukkan perilaku yang aneh dimana keterlibatan lobus temporal dapat menimbulkan amnesia disoreantasi.

Kontusio

Kontusio cerebral merupakan CKB, dimana otak mengalami memar dan kemungkinan adanya daerah hemoragi. Pasien berada pada periode tidak sadarkan diri. Pasien terbaring kehilangan gerakan, denyut nadi lemah, pernafasan dangkal, kulit dingin dan pucat.

Hemoragi cranial

Hematoma ( pengumpulan darah ) yang terjadi dalam tubuh kranial adalah akibat paling serius dari cedera kepala. Ada 3 macam hematoma :

1. Hematoma Epidural (hematoma Ekstradural)

Setelah terjadi cedera kepala, darah berkumpul di dalam ruang epidural (ekstradural) diantara tengkorak di dura. Keadaan ini sering diakibatkan dari fraktur tulang tengkorak yang menyebabkan arteri meningkat tengah putus atau rusak (laserasi), dimana arteri ini berada diantara dura dan tengkorak daerah frontal inferior menuju bagian tipis tulang temporal, hemoragi karena arteri ini menyebabkan penekanan pada otak.

2. hematoma subdural

hematoma subdural adalah pengumpulan darah diantara dura dan dasar otak, yang pada keadaan normal diisi oleh cairan. Hemoragi sub dural lebih sering terjadi pada vena dan merupakan akibat putusnya pembuluh darah kecil yang menjembatani ruang subdural. Hematoma subdural dapat terjadi akut, sub akut atau kronik tergantung pada ukuran pembuluh darah yang terkena dan jumlah perdarahan yang ada. Hematoma subdural akut: dihubungkan dengan cedera kepala mayor yang meliputi kkontusio atau laserasi. Hematoma subdural subakut: sekrela kontusio sedikit berat dan dicurigai pada bagian yang gagal untuk menaikkan kesadaran setelah trauma kepala. Hematoma subdural kronik: dapat terjadi karena cedera kepala minor dan terjadi paling sering pada lansia. Lansia cenderung mengalami cedera tipe ini karena atrofi otak, yang diperkirakan akibat proses penuaan.

3. Hemoragi Intra cerebral dan hematoma

hematoma intracerebral adalah perdarahan ke dalam substansi otak. Hemoragi ini biasanya terjadi pada cedera kepala dimana tekanan mendesak kepala sampai daerah kecil. Hemoragi in didalam menyebabkan degenerasi dan ruptur pembuluh darah, ruptur kantong aneorima vasculer, tumor infracamal, penyebab sistemik gangguan perdarahan.

Trauma otak mempengaruhi setiap sistem tubuh. Manifestasi klinis cedera otak meliputi :

- Gangguan kesadaran

- Konfusi

- Sakit kepala, vertigo, gangguan pergerakan

- Tiba-tiba defisit neurologik

- Perubahan TTV

- Gangguan penglihatan

- Disfungsi sensorik

- lemah otak

-

C.

Trauma kepala

PATHWAYS

A. TANDA DAN GEJALA

Pola pernafasan

Pusat pernafasan diciderai oleh peningkatan TIK dan hipoksia, trauma langsung atau interupsi aliran darah. Pola pernafasan dapat berupa hipoventilasi alveolar, dangkal.

Kerusakan mobilitas fisik

Hemisfer atau hemiplegi akibat kerusakan pada area motorik otak.

Ketidakseimbangan hidrasi

Terjadi karena adanya kerusakan kelenjar hipofisis atau hipotalamus dan peningkatan TIK

Aktifitas menelan

Reflek melan dari batang otak mungkin hiperaktif atau menurun sampai hilang sama sekali

Kerusakan komunikasi