lp cedera kepala

53
LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT PADA PASIEN DENGAN CEDERA KEPALA NI NYOMAN SRI WAHYUNI 1002105021 PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN

Upload: luhdeodee

Post on 08-Nov-2015

59 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

kesehatan

TRANSCRIPT

ASUHAN KEPERAWATAN INTENSIF

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT PADA PASIEN DENGAN CEDERA KEPALA

NI NYOMAN SRI WAHYUNI1002105021PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATANFAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA2015Konsep dasar penyakit

1. Definisi Cedera kepala meliputi trauma kulit kepala, tulang tengkorak, dan otak, paling sering terjadi dan merupakan penyakit neurologik yamg serius diantara penyakit neurology dan merupakan proporsi epidemiologi sebagai hasil kecelakaan jalan raya (smeltzer, 2001).Cedera kepala adalah suatu bentuk trauma yang dapat merubah kemampuan otak dalam menghasilkan keseimbangan aktifitas fisik, intelektual, emosional, sosial, dan pekerjaan atau suatu gangguan traumatik yang dapat menimbulkan perubahan fungsi otak (black, 1997).Trauma kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak langsung pada kepala (suriadi & rita yuliani, 2001).Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai atau tanpa disertai perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak (muttaqin, 2008).Cedera kepala adalah trauma mekanik yang terjadi pada kepala yang terjadi baik secara langsung atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat kepada gangguan fungsi neurologis, fisik, kognitif, psikososial, bersifat temporer atau permanen (perdosi, 2007).Jadi dapat disimpulkan bahwa cedera kepala adalah suatu trauma pada kepala (kulit kepala, tulang tengkorak, jaringan otak) yang disebabkan adanya trauma pada kepala baik secara langsung maupun tidak langsung disertai atau tanpa perdarahan yang menyebabkan terjadinya penurunan fungsi neurologis, fisik, kognitif, psikososial, bersifat temporer atau permanen2. Etiologi

Menurut brain injury association of america, penyebab utama trauma kepala adalah karena terjatuh sebanyak 28%, kecelakaan lalu lintas sebanyak 20%, karena disebabkan kecelakaan secara umum sebanyak 19% dan kekerasan sebanyak 11% dan akibat ledakan di medan perang merupakan penyebab utama trauma kepala (langlois & thomas, 2006). Sedangkan menurut coronado & thomas (2007), kecelakaan lalu lintas dan terjatuh merupakan penyebab pasien trauma kepala yaitu sebanyak 32,1 dan 29,8 per 100.000 populasi. Kekerasan adalah penyebab ketiga pasien trauma kepala mencatat sebanyak 7,1 per 100.000 populasi di amerika serikat.Penyebab utama terjadinya trauma kepala adalah seperti berikut:a. Kecelakaan lalu lintasKecelakaan lalu lintas adalah dimana sebuah kendaraan bermotor bertabrakan dengan kenderaan yang lain atau benda lain sehingga menyebabkan kerusakan atau kecederaan kepada pengguna jalan raya.

b. Jatuh

Menurut kbbi, jatuh didefinisikan sebagai (terlepas) turun atau meluncur ke bawah dengan cepat karena gravitasi bumi, baik ketika masih di gerakan turun maupun sesudah sampai ke tanah. c. Kekerasan

Menurut kbbi, kekerasan didefinisikan sebagai suatu perihal atau perbuatan seseorang atau kelompok yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain, atau menyebabkan kerusakan fisik pada barang atau orang lain (secara paksaan).Beberapa mekanisme yang timbul terjadi trauma kepala adalah seperti translasi yang terdiri dari akselerasi dan deselerasi. Akselerasi apabila kepala bergerak ke suatu arah atau tidak bergerak dengan tiba-tiba suatu gaya yang kuat searah dengan gerakan kepala, maka kepala akan mendapat percepatan (akselerasi) pada arah tersebut. Deselerasi apabila kepala bergerak dengan cepat ke suatu arah secara tiba-tiba dan dihentikan oleh suatu benda misalnya kepala menabrak tembok maka kepala tiba-tiba terhenti gerakannya. Rotasi adalah apabila tengkorak tiba-tiba mendapat gaya mendadak sehingga membentuk sudut terhadap gerak kepala. Kecederaan di bagian muka dikatakan fraktur maksilofasial.

3. Patofisiologi

Cedera kepala dapat terjadi karena cedera kulit kepala, tulang kepala, jaringan otak, baik terpisah maupun seluruh. Faktor yang mempengaruhi cedera kepala adalah lokasi dan arah dari penyebab benturan, kecepatan kekuatan yang datang, permukaan dan kekuatan yang menimpa, kondisi kepala ketika mendapat benturan (price dan wilson, 2006).

cedera kepala dapat bersifat terbuka (menembus durameter) atau truma tertutup (trauma tumpul tanpa penetrasi menembus durameter). Cedera kepala terbuka memungkinkan patogen lingkungan memiliki akses langsung ke otak. Pada kedua jenis cedera kepala akan terjadi kerusakan apabila pembuluh darah dan sel glia dan neuron hancur. Kerusakan otak akan timbul apabila terjadi perdarahan dan peradangan yang menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial (corwin, 2001: 175). Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan benturan langsung kepala dengan suatu benda keras maupun oleh proses akselarasi-deselarasi gerakan kepala. Dalam mekanisme cedera kepala dapat terjadi peristiwa coup dan contrecoup. Cedera primer yang diakibatkan oleh adanya benturan pada tulang tengkorak dan daerah sekitarnya disebut lesi coup. Pada daerah yang berlawanan dengan tempat benturan akan terjadi lesi yang disebut contrecoup. Akselarasi-deselarasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi semisolid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intrakranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan dari benturan (contrecoup).

Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan, mungkin karena memar pada permukaan otak, laserasi substansia alba, cedera robekan atau hemoragi. Sebagai akibatnya, cedera sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan autoregulasi cerebral dikurangi atau tak ada pada area cedera. Konsekuensinya meliputi hiperemi (peningkatan volume darah) pada area peningkatan permeabilitas kapiler, serta vasodilatasi arterial, semua menimbulkan peningkatan isi intrakranial, dan akhirnya peningkatan tekanan intrakranial (tik). Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan cedera otak sekunder meliputi hipoksia, hiperkarbia, dan hipotensi. (hudak dan galllo. 1996: 226). Cedera kepala dapat disebabkan oleh berbagai faktor, namun penyebab terseringnya adalah kecelakaan seperti kecelakaan lalu lintas. Jika hal tersebut terjadi, akan mengakibatkan terjadinya trauma pada kepala sehingga dapat menimbulkan perdarahan, baik perdarahan intrakranial maupun perdarahan ekstrakranial. Perdarahan intrakranial dapat menyebabkan terjadinya peningkatan tik, akibat yang ditimbulkan yaitu sakit kepala hebat dan menekan pusat reflek muntah di medulla yang mengakibatkan terjadinya muntah proyektil sehingga tidak terjadi keseimbangan antara intake dengan output. Selain itu peningkatan tik juga dapat menyebabkan terjadinya penurunan kesadaran dan aliran darah otak menurun. Jika aliran darah otak menurun maka akan terjadi hipoksia yang menyebabkan disfungsi serebral sehingga koordinasi motorik terganggu. Disamping itu hipoksia juga dapat menyebabkan terjadinya sesak nafas.Pendarahan ekstrakranial dibagi menjadi dua yaitu perdarahan terbuka dan tertutup. Perdarahan terbuka (robek dan lecet) merangsang pelepasan mediator histamin, bradikinin, prostaglandin yang merangsang stimulus nyeri kemudian diteruskan nervus aferen ke spinoptalamus menuju ke kortek serebri sampai nervus eferen sehingga akan timbul rasa nyeri. Jika perdarahan terbuka (robek dan lecet) mengalami kontak dengan benda asing akan memudahkan terjadinya infeksi bakteri pathogen. Sedangkan perdarahan tertutup hampir sama dengan perdarahan terbuka yaitu dapat menimbulkan rasa nyeri pada kulit kepala.

4. Klasifikasi

Cedera kepala dapat diklasifikasikan atas berbagai hal. Untuk kegunaan praktis, tiga jenis klasifikasi akan sangat berguna, yaitu berdasar mekanisme, tingkat beratnya cedera kepala serta berdasar morfologi (american college of surgeon committe on trauma, 2004, perdossi, 2007).a. Berdasarkan mekanisme Trauma tumpul : kecepatan tinggi (tabrakan otomobil), kecepatan rendah (terjatuh, terpukul) Trauma tembus : luka tembus peluru dan cedera tembus lainnya.

b. Berdasarkan tingkat keparahan

biasanya cedera kepala berdasarkan tingkat keparahannya didasari atas gcs. Dimana gcs ini terdiri dari tiga komponen yaitu : Reaksi membuka mata (e)Reaksi membuka mataNilai

Membuka mata spontan4

Buka mata dengan rangsangan suara3

Buka mata dengan rangsangan nyeri2

Tidak membuka mata dengan rangsangan nyeri1

Reaksi berbicara

Reaksi verbalNilai

Komunikasi verbal baik, jawaban tepat5

Bingung, disorientasi waktu, tempat dan ruang4

Dengan rangsangan nyeri keluar kata-kata3

Keluar suara tetapi tak berbentuk kata-kata2

Tidak keluar suara dengan rangsangan apapun1

Reaksi gerakan lengan / tungkaiReaksi motorikNilai

Mengikuti perintah6

Melokalisir rangsangan nyeri5

Menarik tubuhnya bila ada rangsangan nyeri4

Reaksi fleksi abnormal dengan rangsangan nyeri3

Reaksi ekstensi abnormal dengan rangsangan nyeri2

Tidak ada gerakan dengan rangsangan nyeri1

Dengan glasgow coma scale (gcs), cedera kepala dapat diklasifikasikan menjadi: Cedera kepala ringan (ckr) :

bila gcs 14-15 (kelompok resiko rendah)Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari 30 menit. Tidak ada kontusio tengkorak, tidak ada fraktur cerebral, hematoma Cedera kepala sedang (cks) : Bila gcs 9-13 (kelompok resiko sedang)

Kehilangan kesadaran dan atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam. Dapat mengalami fraktur tengkorak.

Cedera kepala berat (ckb) : Bila gcs 3-8 (kelompok resiko berat)Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam. Juga meliputi kontusio serebral, laserasi, atau hematoma intrakranial. c. Berdasarkan morfologi

Fraktur tengkorak

Menurut american accreditation health care commission, terdapat 4 jenis fraktur yaitu:

1) Simple : retak pada tengkorak tanpa kecederaan pada kulit.2) Linear or hairline: retak pada kranial yang berbentuk garis halus tanpa depresi, distorsi dan splintering.

3) Depressed: retak pada kranial dengan depresi ke arah otak.

4) Compound : retak atau kehilangan kulit dan splintering pada tengkorak. Selain retak terdapat juga hematoma subdural (duldner, 2008).Terdapat jenis fraktur berdasarkan lokasi anatomis yaitu terjadinya retak atau kelainan pada bagian kranium. Fraktur basis kranii retak pada basis kranium. Hal ini memerlukan gaya yang lebih kuat dari fraktur linear pada kranium. Insidensi kasus ini sangat sedikit dan hanya pada 4% pasien yang mengalami trauma kepala berat (graham and gennareli, 2000; orlando regional healthcare, 2004). Terdapat tanda-tanda yang menunjukkan fraktur basis kranii yaitu rhinorrhea (cairan serobrospinal keluar dari rongga hidung) dan gejala raccoons eye (penumpukan darah pada orbital mata). Tulang pada foramen magnum bisa retak sehingga menyebabkan kerusakan saraf dan pembuluh darah. Fraktur basis kranii bisa terjadi pada fossa anterior, media dan posterior (garg, 2004).

Lesi intracranial

Fokal diakibatkan dari kerusakan local yang meliputi konsio serebral dan hematom serebal, serta kerusakan otak sekunder yang disebabkan oleh perluasan masa lesi, pergeseran otak.

Difus : konkusi ringan, konkusi klasik, cedera aksonal difus.

Cedera otak1) Commotio cerebri (gegar otak)Commotio cerebri (gegar otak) adalah cidera otak ringan karena terkenanya benda tumpul berat ke kepala dimana terjadi pingsan < 10 menit. Dapat terjadi gangguan yang timbul dengan tiba-tiba dan cepat berupa sakit kepala, mual, muntah, dan pusing. Pada waktu sadar kembali, pada umumnya kejadian cidera tidak diingat (amnezia antegrad), tetapi biasanya korban/pasien tidak diingatnya pula sebelum dan sesudah cidera (amnezia retrograddan antegrad).

2) Contusio cerebri (memar otak)Merupakan perdarahan kecil jaringan akibat pecahnya pembuluh darah kapiler. Hal ini terjadi bersama-sama denganrusaknya jaringan saraf/otak di daerah sekitarnya. Di antara yang paling sering terjadi adalah kelumpuhan n. Facialis atau n.hypoglossus, gangguan bicara, yang tergantung pada lokalisasi kejadian cidera kepala. Contusio pada kepala adalah bentuk paling berat, disertai dengan gegar otak encephalon dengan timbulnya tanda-tanda koma, sindrom gegar otak pusat encephalon dengan tanda-tanda gangguan pernapasan, gangguan sirkulasi paru - jantung yang mulai dengan bradikardia, kemudian takikardia, meningginya suhu badan, muka merah, keringat profus, serta kekejangan tengkuk yang tidak dapat dikendalikan (decebracio rigiditas).

Perdarahan intrakranialMenurut price (2003:1174) cedera kepala diklasifikasikan sebagai berikut: a. Hematoma epiduralHematoma epidural sering terjadi di daerah parietotemporal akibat robekan arterial mengineal media. Tanda dan gejala tampak bervariasi, penderita hematoepidural yang khas memiliki riwayat cedera kepala dengan periode tidak sadar dalam jangka waktu pendek, diikuti periode lusid.B.Hematoma subduralPada umumnya hematoma subdural berasal dari vena. Hematoma ini timbul akibat ruptur vena yang terjadi dalam ruangan subdural. Hematoma subdural dibagi lagi menjadi tipe akut, subakut dan kronik yang memiliki gejala dan prognosis yang berbeda-beda.

1) Hematoma subdural akut

Hematoma subdural akut menimbulkan gejala neurologik yang penting dan serius dalam 24-48 jam setelah cedera. Hematoma subdural akut terjadi pada pasien yang meminum obat antikoagulan terus menerus yang tampaknya mengalami trauma kepala minor dan sering kali berkaitan dengan cedera deselerasi akibat kecelakaan bermotor. Defisit neurologik progresif disebabkan oleh tekanan pada jaringan otak dan herniasi batang otak ke dalam foramen magnum yang selanjutnya menimbulkan tekanan. Keadaan ini cepat menimbulkan henti nafas dan hilangnya kontrol atas denyut nadi dan tekanan darah.

2) Hematoma subdural subakut

Hematoma subdural subakut menyebabkan defisit neurologik bermakna dalam jangka waktu lebih dari 48 jam tetapi kurang dari 2 minggu setelah cedera. Hematoma ini disebabkan oleh pendarahan vena kedalam ruang subdural. Riwayat klinis yang khas pada penderita ini adalah adanya trauma kepala yang menyebabkan ketidakkesadaran, selanjutnya diikuti perbaikan status neurologik yang bertahap.

3) Hematoma subdural kronik

Trauma otak yang menjadi penyebab dapat sangat sepele atau terlupakan dan sering kali akibat cedera ringan. Tanda dan gejala dari hematoma subdural kronik biasanya tidak spesifik, tidak terlokalisasi dan dapat disebabkan oleh banyak proses penyakit lain.C. Hematoma subarachnoid Perdarahan di dalam rongga subarachnoid akibat robeknya pembuluh darah dan permukaan otak, hampir selalu ada pad cedera kepala yang hebat. Tanda dan gejala : nyeri kepala, penurunan kesadaran, hemiparese, dilatasi pupil ipsilateral dan kaku kudukd. Hematoma intracerebralisTerjadi karena pukulan benda tumpul di daerah korteks dan subkorteks yang mengakibatkan pecahnya vena yang besar atau arteri pada jaringan otak. Paling sering terjadi dalam subkorteks. Selaput otak menjadi pecah juga karena tekanan pada durameter bagian bawah melebar sehingga terjadilah subduralis haematoma.

e. Berdasarkan Patofisiologi Cedera primer

cedera yang terjadi akibat langsung dan trauma1. Kulit : vulnus laserasi hemaroma subkutan, hematoma sub galeal.2. Tulang : fraktur linear, fraktur basis krani, fraktur inpresi (tertutup dan terbuka).

3. Otak : cedera otak primer : robekan dural, consutio ringan, kontusio sedang, berat : fokal dan difus laserasi atau robekan. cedera sekunderCedera otak sekunder, cedera yang disebabkan komplikasi atau cedera sekunder lain seperti: oedema otak, hipoksia otak, kelainan metabolik, kelainan saluran napas atau pernapasan, hipotensi atau syok.

1. Oleh benda / serpihan tulang yang menembus jaringan otak misal : kecelakaan, dipukul dan terjatuh.

2. Trauma saat lahir misal : sewaktu lahir dibantu dengan forcep atau vacuum.5. Gejala klinis Perubahan kesadaran, letargi, hemiparese, ataksia, cara berjalan tidak tegap, kehilangan tonus otot.

Perubahan tekanan darah atau normal (hipertensi), perubahan frekuensi jantung (bradikardi, takikardia, yang diselingi dengan bradikardia disritmia).

Perubahan tingkah laku atau kepribadian (tenang atau dramatis).

Inkontinensia kandung kemih atau usus atau mengalami ganggua fungsi.

Muntah atau mungkin proyektil, gangguan menelan (batuk, air liur, disfagia)

Perubahan kesadaran bisa sampai koma. Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian, konsentrasi, pemecahan masalah, pengaruh emosi atau tingkah laku dan memori). Perubahan pupil (respon terhadap cahaya simetris) deviasi pada mata, ketidakmampuan mengikuti. Kehilangan penginderaan seperti pengecapan, penciuman dan pendengaran, wajah tidak simetris, refleks tendon tidak ada atau lemah, kejang, sangat sensitif terhadap sentuhan dan gerakan, kehilangan sensasi sebagian tubuh, kesulitan dalam menentukan posisi tubuh.

Wajah menyeringai, respon pada rangsangan nyeri yang hebat, gelisah tidak bisa beristirahat, merintih.

Perubahan pola nafas (apnea yang diselingi oleh hiperventilasi), nafas berbunyi, stridor, terdesak, ronchi, mengi positif (kemungkinan karena aspirasi).

Fraktur atau dislokasi, gangguan penglihatan, kulit : laserasi, abrasi, perubahan warna, adanya aliran cairan (drainase) dari telinga atau hidung (css), gangguan kognitif, gangguan rentang gerak, tonus otot hilang, kekuatan secara umum mengalami paralisis, demam, gangguan dalam regulasi tubuh.

Afasia motorik atau sensorik, bicara tanpa arti, berbicara berulang ulang.

Merasa lemah, lelah, kaku, hilang keseimbangan.

Cemas, mudah tersinggung, delirium, agitasi, bingung, depresi, dan impulsif.

Mual, muntah, mengalami perubahan selera.

Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian, vertigo, sinkope, tinitus,kehilangan pendengaran. Perubahan dalam penglihatan,seperti ketajamannya, diplopia, kehilangan sebagian lapang pandang, fotopobia, gangguan pengecapan dan penciuman.

Sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yang berbeda, biasanya lama.

Trauma baru atau trauma karena kecelakaan Pada kontusio, segera terjadi kehilangan kesadaran, pada hematoma, kesadaran mungkin hilang, atau bertahap sering dengan membesarnya hematoma atau edema intestisium. Respon pupil mungkin lenyap atau segera progresif memburuk. Perubahan prilaku, kognitif dan perubahan fisik pada berbicara dan gerakan motorik timbul dengan segera atau secara lambat. Hematoma epidural dimanifestasikan dengan awitan yang cepat. Hematoma ini mengancam hidup dan dikarakteristikkan dengan detoriorasi yang cepat, sakit kepala, kejang, koma dan hernia otak dengan kompresi pada batang otak. Hematoma subdural terjadi dalam 48 jam cedera dan dikarakteristikkan dengan sakit kepala, agitasi, konfusi, mengantuk berat, penurunan tingkat kesadaran, dan peningkatan tik. Hematoma subdural kronis juga dapat terjadi (price dan wilson, 2006).6. Pemeriksaan fisik

inspeksi a) Klien tampak meringis b) Klien tampak gelisahc) Klien berkeringat dingin d) Klien tampak pucat e) Pernafasan jadi dangkal dan cepat

f) Diaphoresis

g) Irama napas tidak teratur

palpasia) Nyeri pada kepala

b) Denyut nadi meningkat

auskultasia) Ada suara napas tambah

b) Bising usus menurun

Pemeriksaan status kesadaran dengan penilaian gcs (glasgow coma scale) untuk menilai tingkat kegawatan cedera kepala.7. Pemeriksaan diagnostik/penunjang

a. Pemeriksaan laboratorium Agd : untuk mengetahui adanya masalah ventilasi atau oksigenasi perdarahan sub arakhnoid. Kimia elektrolit darah : mengetahui ketidakseimbangan yang berperan dalam peningkatan tik atau perubahan mental.b. Radiology Ct scan (tanpa atau dengan kontras) mengidentifikasi adanya hemoragik, menentukan ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak. Mri : sama dengan ct scan Angiografi serebral : menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti pergeseran jaringan otak akibat edema, pendarahan, trauma.

Eeg : untuk memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya gelombang patologis. Sinar x : untuk mendeteksi adanya perubahan struktur tulang ( fraktur ), pergeseran struktur dari garis tengah ( karena perdarahan ) adanya fragmen tulang. Baer: mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil Pet: mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak Screen toxicologi: untuk mendeteksi pengaruh kanan intrkrani obat sehingga menyebabkan penurunan kesadan. Myelogram :dilakukan untuk menunjukan vertebrae dan adanya bendungan dari spinal aracknoid jika dicurigai. Thorax x ray :untuk mengidentifikasi keadaan pulmo.c. Fungsi lumbal : css, dapat menduga kemungkinan adanya perdarahan sub arakhnoid.d. Abgs: mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenisasi) jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial screen toxicologi: untuk mendeteksi pengaruh kanan intrkrani obat sehingga menyebabkan penurunan kesadan.e. Pemeriksaan fungsi pernafasan: mengukur volume maksimal dari inspirasi dan ekspirasi yang penting diketahui bagi penderita dengan cidera kepala dan pusat pernafasan (medulla oblongata).8. Diagnosis/criteria diagnosis

a. Kontusio adalah hilangnya kesadaran (dan kadang ingatan) sekejap, setelah terjadinya cedera pada otak yang tidak menyebabkan kerusakan fisikyang nyata atau cedera kepala tertutup yang ditandai oleh hilangnya kesadaran. Konkusio menyebabkan periode apnu yang singkat.

b. Hematoma epidura adalah penimbunan darah diatas durameter. Hemotoma epidural terjadi secara akut dan biasanya terjadi karena pendarahan arteri yang mengancam jiwa. c. Hematoma subdura adalah penimbunan darah dibawah durameter tetapi diatas membrane abaknoid. Hematoma ini biasanya disebabkan oleh pendarahan vena, tetapi kadang-kadang dapat terjadi perdarahan arteri subdura.

d. Pendarahan subaraknoid adalah akumlasi darah dibawah membran abaknoid tetapi diatas diameter, ruang ini hanya mengandung cairan serebra spinalis bila dalam keadaan normal.

e. Hematoma intra serebrum adalah pendarahan didalam otak itu sendiri, hal ini dapat timbul pada cedera kepala tertutup yang berat ataupun pada cedera kepala terbuka.

9. penatalaksanaan dan theraphy

Penatalaksanaan

Kontusio ringan atau sedang biasanya diterapi dengan observasi dan tirah baring.

Dilakukan pembersihan/debridement dan sel-sel yang mati (secara bedah terutama pada cedera kepala terbuka)

Dilakukan ventilasi mekanis

Untuk cedera kepala terbuka diperlukan antibiotika

Dilakukan metode-metode untuk menurunkan tekanan intrakranial termasuk pemberian diuretik dan anti inflamasi

Meningkatkan pencegahan terutama jatuh, dorong untuk menggunakan alat pengaman seperti helm,sabuk pengaman

Lakukan pengkajian neurologik

a. Fungsi serebral ( kesadaran, orientasi, memori, bicara )

b. Ttv ( td, nadi)c. Pupil (isokor,anisokor)

d. Fungsi motorik dan sensorik

Kaji adanya cedera lain, terutama cedera servikal. Jangan memindahkan anak sampai kemungkinan cedera servikal telah disingkirkan/ditangani. Tinggikan kepala tempat tidur sampai 30 derajat jika tidak terdapat cedera servikal.

Pantau adanya komplikasi

1. Pantau ttv dan status neurologist dengan sering2. Periksa adanya peningkatan tik3. Periksa adanya drainase dari hidung dan telinga.

Pengobatan

Cairan intra vena diberikan secukupnya untuk resusitasi penderita agar tetap normovolemik. Perlu diperhatikan untuk tidak memberikan cairan berlebih. Penggunaan cairan yang mengandung glukosa dapat menyebabkan hyperglikemia yang berakibat buruk pada otak yang cedera. Cairan yang dianjurkan untuk resusitasi adalah nacl 0,9 % atau rl. Kadar natrium harus dipertahankan dalam batas normal, keadaan hyponatremia menimbulkan odema otak dan harus dicegah dan diobati. Tindakan hyperventilasi harus dilakukan secara hati-hati, hiperventilasi dapat menurunkan pco2 sehingga menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah otak. Hiperventilasi yang lama dan cepat menyebabkan iskemia otak karena perfusi otak menurun pco2 < 25 mmhg , hiperventilasi harus dicegah. Pertahankan level pco2 pada 25 30 mmhg bila tik tinggi. Manitol diberikan dengan dosis 1 gram/kg bb bolus iv. Indikasi penderita koma yang semula reaksi cahaya pupilnya normal, kemudian terjadi dilatasi pupil dengan atau tanpa hemiparesis. Dosis tinggi tidak boleh diberikan pada penderita hypotensi karena akan memperberat hypovolemia

Barbiturat bermanfaat untuk menurunkan tik. Tidak boleh diberikan bila terdapat hypotensi dan fase akut resusitasi, karena barbiturat dapat menurunkan tekanan darah. Dapat diberikan alkaloid ergot (ergonovino) sebagai profilaksis

Dapat diberikan phenothiazine

Amitriptilin dan propanol untuk mengendalikan kecemasan yang berlebihan

Menggunakan ergonovine amitriptilin dan propanol pada 100 pasien, 19 diperoleh perbaikan yang nyata, 24 pebaikan sedang dan sisanya hanya sedikit perbaikan atau tidak ada perubahan. Pemberian analgesic dapat mendukung, namun harus dibatasi penggunaan hariannya.

Endemelasin (15 250 mg/hari) dan naproxen (1000 1500 mg/hari) berguna untuk menghindari ketergantungan terhadap analgesik. Metilprednisolon yang diberikan secara dini dan dalam dosis yang akurat, dapat memperbaiki keadaan neurologis akibat efek inhibisi terjadinya reaksi peroksidasi lipid. Dengan kata lain, metilprednisolon bekerja dengan cara:

Menyusup masuk ke lapisan lipid untuk melindungi fosfolipid dan komponen membran lain dari kerusakan.

Mempertahankan kestabilan dan keutuhan membran.

Mencegah perembetan kerusakan sel-sel lain di dekatnya.

Mencegah berlanjutnya iskemia pascatrauma.

Memutarbalikkan proses akumulasi kalsiun intraseluler.

Menghambat pelepasan asam arakhidonat.

10. Komplikasia. Koma. Penderita tidak sadar dan tidak memberikan respon disebut coma. Pada situasi ini, secara khas berlangsung hanya beberapa hari atau minggu, setelah masa ini penderita akan terbangun, sedangkan beberapa kasus lainya memasuki vegetative state atau mati penderita pada masa vegetative statesering membuka matanya dan mengerakkannya, menjerit atau menjukan respon reflek. Walaupun demikian penderita masih tidak sadar dan tidak menyadari lingkungan sekitarnya. Penderita pada masa vegetative state lebih dari satu tahun jarang sembuh

b. Seizure. pederita yang mengalami cedera kepala akan mengalami sekurang-kurangnya sekali seizure pada masa minggu pertama setelah cedera. Meskipun demikian, keadaan ini berkembang menjadi epilepsy

c. Infeksi. Faktur tengkorak atau luka terbuka dapat merobekan membran (meningen) sehingga kuman dapat masuk. Infeksi meningen ini biasanya berbahaya karena keadaan ini memiliki potensial untuk menyebar ke sistem saraf yang lain

d. Kerusakan saraf. Cedera pada basis tengkorak dapat menyebabkan kerusakan pada nervus facialis. Sehingga terjadi paralysis dari otot-otot facialis atau kerusakan dari saraf untuk pergerakan bola mata yang menyebabkan terjadinya penglihatan ganda

e. Hilangnya kemampuan kognitif. Berfikir, akal sehat, penyelesaian masalah, proses informasi dan memori merupakan kemampuan kognitif. Banyak penderita dengan cedera kepala berat mengalami masalah kesadaran

f. Komplikasi lain :

kejang

Pneumonia

Perdarahan gastrointestinal

Distrimia jantung

Hidrochepalus

Kerusakan control respirasi

Inkotinensia bladder dan bowel

Kebocoran Liquor cerebro spinal. Edema pulmonal Bocornya lcs gangguan mobilisasi Hipovolemia hiperthermia Infeksi11. Prognosis

prognosis setelah cedera kepala sering mendapat perhatian besar, terutama pada pasien dengan cedera berat. Skor gcs waktu masuk rumah sakit memiliki nilai prognostik yang besar. Skor pasien 3-4 memungkinkan meninggal 85% atau tetap dalam kondisi vegetatif, sedangkan pada pasien dengan gcs 12 atau lebih kemungkinan meninggal hanya 5-10%. Sindrom pasca konkusi berhubungan dengan sindrom kronis nyeri kepala, keletihan, pusing, ketidakmampuan berkonsentrasi, iritabilitas, dan perubahan kepribadian yang banyak berkembang pada pasien cedera kepala. Penderita lansia mempunyai kemungkinan lebih rendah untuk pemulihan dari cedera kepala. Penderita anak-anak memiliki daya pemulihan yang baik (brunner dan suddarth. 2002). Prognosis pasien cedera kepala akan lebih baik bila penatalaksanaan dilakukan secara tepat dan cepat. Pasien meninggal karena beberapa faktor yakni : prolog hipoksia dan hipotensi, herniasi otak, komplikasi - komplikasi sistemik.12. Pathway(terlampir)Konsep dasar asuhan keperawatan

1. Pengkajian

pengkajian yang dilakukan terhadap pasien cedera kepala di ruang gawat darurat dibagi menjadi dua bagian, yaitu: pengkajian primer (primer assessment) dan pengkajian sekunder (secondary assessment). Data dapat diperoleh secara primer (klien) dan secara skunder (keluarga, saksi kejadian/pengirim, tim kesehatan lain).

a. Primer assessment/primer survey:

1) Data subyektif:

Identitas (pasien dan keluarga/penanggung jawab) meliputi: nama, umur, jenis kelamin, suku bangsa, agama, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, alamat, dan hubungan pasien dengan keluarga/pengirim).

Keluhan utama: bagaimana pasien bisa datang ke ruang gawat darurat, apakah pasien sadar atau tidak, datang sendiri atau dikirim oleh orang lain?

Riwayat cedera, meliputi waktu mengalami cedera (hari, tanggal, jam), lokasi/tempat mengalami cedera.

Mekanisme cedera: bagaimana proses terjadinya sampai pasien menjadi cedera.

Allergi (alergi): apakah pasien mempunyai riwayat alergi terhadap makanan (jenisnya), obat, dan lainnya.

Medication (pengobatan): apakah pasien sudah mendapatkan pengobatan pertama setelah cedera, apakah pasien sedang menjalani proses pengobatan terhadap penyakit tertentu. Past medical history (riwayat penyakit sebelumnya): apakah pasien menderita penyakit tertentu sebelum menngalami cedera, apakah penyakit tersebut menjadi penyebab terjadinya cedera?

Last oral intake (makan terakhir): kapan waktu makan terakhir sebelum cedera? Hal ini untuk memonitor muntahan dan untuk mempermudah mempersiapkan bila harus dilakukan tindakan lebih lanjut/operasi.

Event leading injury (peristiwa sebelum/awal cedera): apakah pasien mengalami sesuatu hal sebelum cedera, bagaimana hal itu bisa terjadi?

2) Data obyektif:

Airway/c-spine: obstruksi jalan nafas berupa darah/muntahan, lidah jatuh ke belakang, bunyi nafas (stridor, ronkhi, wheezing). Breathing/pernafasan: tachipnea, penggunaan otot bantu pernafasan, dispnea sampai apnea, bisa berupa nafas chyene stokes, kusmaul, sianosis, penurunan saturasi oksigen. Circulation/sirkulasi: perdarahan kulit kepala, perdarahan intra cranial, pucat, akral dingin, crt lambat, denyut nadi lemah/tak teraba, bradikardi/takikardi diselingi disritmia, hipotensi. Disability: kesadaran compos mentis atau menurun sampai koma, gcs 95% = normal)

b. Breathing

Amati pergerakan dinding dada, frekuensi nafas, kualitas nafas, keteraturan nafas atau tidak.c. Circulatation

Lihat adanya perdarahan eksterna/interna Hentikan perdarahan eksterna dengan rest, ice, compress, elevation (istirahatkan lokasi luka, kompres es, tekan/bebat, tinggikan) Perhatikan tanda-tanda syok/ gangguan sirkulasi : capillary refill time, nadi, sianosis, pulsus arteri distal Gangguan circulation (syok) akan menyebabkan gangguan perfusi darah ke otak yang akan menyebabkan kerusakan otak sekunder. Dengan demikian syok dengan trauma kepala dilakukan penanganan dengan agresif. Apabila pasien kekurangan cairan, berikan cairan kristaloid dan koloid dengan perbandingan 3:1 hingga map pasien lebih dari sama dengan 95. Kristaloid dan koloid diberikan dalam suhu 390c.

d. Susunan saraf pusat (disability) Cek kesadaran Adakah cedera kepala? Adakah cedera leher? Perhatikan cedera pada tulang belakange. Kontrol lingkungan (exposure/ environmental ) Buka baju penderita lihat kemungkinan cedera yang timbul tetapi cegah hipotermi/kedinginan Secondary survey

Mencari perubahan-perubahan yang dapat berkembang menjadi lebih gawat dan mengancam jiwa apabila tidak segera diatasi dengan pemeriksaan dari kepala sampai kaki (head to toe) yang bertujuan untuk mendeteksi penyakit atau trauma yang diderita pasien sehingga dapat ditangani lebih lanjut.

Anamnesis :

Riwayat ampe yang harus diingat yaitu :

A : alergi

M : medikasi (obat yang diminum sebelumnya)

P : past illness (penyakit sebelumnya)/pregnancy (hamil)E : event/environment (lingkungan yang berhubungan dengan kegawatan)

Pemeriksaan fisik :

1. Pemeriksaan kondisi umum menyeluruh

a. Posisi saat ditemukan bahwa pada setiap cedera kepala harus selalu diwaspadai adanya fraktur servikal

b. Nilai tingkat kesadaran dengan mengajak berbicara lalu hitung gcs pasienc. Sikap umum dan keluhan untuk mengambil tindakan yang tepatd. Cek adanya trauma ataupun kelainane. Observasi keadaan kulit2. Periksa kepala dan leher

a. Rambut dan kulit kepala

Perlihatikan ada tidaknya perdarahan, pengelupasan, perlukaan, penekanan

b. Telinga

Amati adanya perlukaan, darah, cairan

c. Mata

Perlukaan, pembengkakan, perdarahan, reflek pupil, kondisi kelopak mata, adanya benda asing, pergerakan abnormal

d. Hidung

Perlukaan, darah, cairan, nafas cuping hidung, kelainan anatomi akibat trauma

e. Mulut

Perlukaan, darah, muntahan, benda asing, gigi, bau, dapat buka mulut/ tidak

f. Bibir

Perlukaan, perdarahan, sianosis, kering

g. Rahang

Perlukaan, stabilitas, krepitasi

h. Kulit

Perlukaan, basah/kering, darah, suhu, warna

i. Leher

Perlukaan, bendungan vena, deviasi trakea, spasme otot, stoma, stabilitas tulang leher

3. Periksa dadaFlail chest, nafas diafragma, kelainan bentuk, tarikan antar iga, nyeri tekan, perlukaan (luka terbuka, luka mengisap), suara ketuk/perkusi, suara nafas.

4. Periksa perutPerlukaan, distensi, tegang, kendor, nyeri tekan, undulasi.

5. Periksa tulang belakang

Kelainan bentuk, nyeri tekan, spasme otot.

6. Periksa pelvis/genetalia

Perlukaan, nyeri, pembengkakan, krepitasi, inkontinensia.

7. Periksa ekstremitas atas dan bawah

Perlukaan, angulasi, hambatan pergerakan, gangguan rasa, bengkak, denyut nadi, warna luka.

8. Pemeriksaan neurologis Dilakukan segera setelah status cardiovascular penderita stabil, pemeriksaan terdiri dari :

Gcs

Reflek cahaya pupil

Gerakan bola mata

Tes kalori dan reflek kornea oleh ahli bedah syaraf

Sangat penting melakukan pemeriksaan minineurilogis sebelum penderita dilakukan sedasi atau paralisis

Tidak dianjurkan penggunaan obat paralisis yang jangka panjang

Gunakan morfin dengan dosis kecil ( 4 6 mg ) iv

Lakukan pemijitan pada kuku atau papila mame untuk memperoleh respon motorik, bila timbul respon motorik yang bervariasi, nilai repon motorik yang terbaik. Catat respon terbaik / terburuk untuk mengetahui perkembangan penderita. Catat respon motorik dari extremitas kanan dan kiri secara terpisah. Catat nilai gcs dan reaksi pupil untuk mendeteksi kestabilan atau perburukan pasien.2. Diagnosa keperawatan1) Bersihan jalan nafas tidak efektif obstruksi jalan napas akibat mucus atau benda asing ditandai dengan klien tampak gelisah, ketidakmampuan mengeluarkan sputum, lidah jatuh ke belakang, ronchi, stridor, perubahan ritme dan frekuensi napas, rr >20 x/mnt.2) Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan aliran darah ke jaringan akibat rusaknya lapisan jaringan otak ditandai dengan napas klien ( diatas normal > 16 20x/menit ), pernapasan dangkal, dispnea, penggunaan otot bantu napas, retraksi dinding dada, pernapasan cuping hidung.3) Gangguan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan aliran arteri ke cerebral terhambat ditandai dengan klien mengeluh pusing, tekanan darah klien meningkat, mual, muntah, gelisah, penurunan kesadaran dan gcs, nyeri kepala.4) Risiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan aktif akibat perdarahan eksternal dan internal, mual dan muntah.5) Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik: trauma pada kepala ditandai dengan keluhan nyeri secara verbal skala 1-10, gelisah, memegangi area yang sakit, berhati hati menggerakkan bagian yang sakit, meringis, peningkatan ttv (td > 130/90mmhg, n >100 x/menit, rr > 20 x/menit, s > 37,5oc), diaphoresis, dilatasi pupil.6) Nausea berhubungan dengan peningkatan tik ditandai dengan adanya keluhan mual, klien mengeluh rasa asam di mulut, hipersalivasi, berkeringat dingin, mengeluh ingin muntah, klien tampak tidak menghabiskan makanan yang disediakan.7) Risiko infeksi berhubungan dengan pertahanan primer tidak adekuat.Daftar pustakaBickley, lynn s. 2008. Buku saku pemeriksaan fisik dan riwayat kesehatan bates. Edisi 5. Jakarta: egcBrunner & suddarth. 2002. Buku ajar keperawatan medikal bedah, volume 3, jakarta:egc. Carpenito, lynda juall. 2007. Buku saku diagnosis keperawatan. Edisi 10. Jakarta: egc

Doenges m.e. 2000. Rencana asuhan keperawatan: pedoman untuk perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien. Edisi 3 . Jakarta: egc Dochterman, joanne mccloskey & bulecheck, gloria n. 2004. Nursing intervention classification. Usa : mosby. Hafid, abdul. 1989. Strategi dasar penanganan cidera otak. Surabaya: pkb ilmu bedah xi traumatologiHudak & gallo, 1996. Keperawatan kritis: pendekatan holistik, volume 2, jakarta: egcMoorhead, sue, dkk. 2008. Nursing outcomes classification. Usa : mosbyNanda. 2012. Panduan diagnosa keperawatan. Jakarta: prima medikaSjamsuhidajat, r. Wim de jong. 1997. Buku ajar ilmu bedah. Edisi revisi. Jakarta: egcPrice. 2005. Patofisiologi konsep klinis penyakit volume 1 dan 2. Jakarta : egcSmeltzer, suzanne c, 2001. Buku ajar keperawatan medikal bedah. Egc, jakartaArif, mansjoer, dkk, 2000. Kapita selekta kedokteran. Media aesculpius, jakarta

PATHWAY

NoDiagnosaTujuan dan kriteria hasilIntervensiRasional

1Bersihan jalan nafas tidak efektif obstruksi jalan napas akibat mucus atau benda asing ditandai dengan klien tampak gelisah, ketidakmampuan mengeluarkan sputum, lidah jatuh ke belakang, ronchi, stridor, perubahan ritme dan frekuensi napas, rr >20 x/mnt.Setelah diberikan asuhan keperawatan selama ..... X 30 menit diharapkan bersihan jalan napas efektif, dengan kriteria hasil:

Respiratory status: airway patency (status pernapasan: kepatenan jalan napas)

Frekuensi pernapasan dalam batas normal (16-20x/mnt) (skala 5 = no deviation from normal range)

Irama pernapasn normal (skala 5 = no deviation from normal range)

Kedalaman pernapasan normal (skala 5 = no deviation from normal range)

Klien mampu mengeluarkan sputum secara efektif (skala 5 = no deviation from normal range)

Tidak ada akumulasi sputum (skala 5 = none)Airway management Auskultasi bunyi nafas tambahan; ronchi, wheezing.

Berikan posisi yang nyaman untuk mengurangi dispnea.

Bersihkan sekret dari mulut dan trakea; lakukan penghisapan sesuai keperluan.

Lakukan finger swab

Lakukan jaw thrus atau head tilt chin lift

Lakukan pemasangan ott bila diperlukan

Bantu klien untuk batuk dan nafas dalam.

Ajarkan batuk efektif.

Anjurkan asupan cairan adekuat.

Kolaborasi pemberian oksigen.

Kolaborasi pemberian broncodilator sesuai indikasi.

Broncodilator meningkatkan ukuran lumen percabangan trakeobronkial sehingga menurunkan tahanan terhadap aliran udara.

Meringankan kerja paru untuk memenuhi kebutuhan oksigen

Mengoptimalkan keseimbangan cairan dan membantu mengencerkan sekret sehingga mudah dikeluarkan.

Membantu mempermudah pengeluaran sekret.

Memaksimalkan pengeluaran sputum

.

Membantu mempertahankan kepatenan jalan napas.

Mempertahankan jalan napas apabila dicurigai adanya cedera servical.

Membersihkan obstruksi benda asing dari jalan nafas.

Mencegah obstruksi atau aspirasi. Penghisapan dapat diperlukan bia klien tak mampu mengeluarkan sekret sendiri.

Posisi memaksimalkan ekspansi paru dan menurunkan upaya pernapasan. Ventilasi maksimal membuka area atelektasis dan meningkatkan gerakan sekret ke jalan nafas besar untuk dikeluarkan

Bunyi ronchi menandakan terdapat penumpukan sekret atau sekret berlebih di jalan nafas.

2Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan aliran darah ke jaringan akibat rusaknya lapisan jaringan otak ditandai dengan napas klien (diatas normal > 16 20x/menit ), pernapasan dangkal, dispnea, penggunaan otot bantu napas, retraksi dinding dada, pernapasan cuping hidung.

Setelah diberikan asuhan keperawatan selama ... x 30 menit diharapkan pola nafas klien efektif, dengan kriteria hasil:

A.status pernapasan: ventilasi

Kedalaman pernapasan normal (skala 5 = no deviation from normal range)

Tidak tampak penggunaan otot bantu pernapasan (skala 5 = no deviation from normal range)

Tidak tampak retraksi dinding dada (skala 5 = no deviation from normal range)

B.tanda-tanda vital

Frekuensi pernapasan dalam batas normal (16-20x/mnt) (skala 5 = no deviation from normal range)Monitoring respirasi

Pantau rr, irama dan kedalaman pernapasan pasien

Pantau adanya penggunaan otot bantu pernapasan dan retraksi dinding dada pada pasien

Berikan posisi semifowler pada pasien

Pantau status pernapasan dan oksigen pasien

Berikan dan pertahankan masukan oksigen pada pasien sesuai indikasi

.

Posisi semifowler dapat membantu meningkatkan toleransi tubuh untuk inspirasi dan ekspirasi

Penggunaan otot bantu pernapasan dan retraksi dinding dada menunjukkan terjadi gangguan ekspansi paru

Ketidakefektifan pola napas dapat dilihat dari peningkatan atau penurunan rr, serta perubahan dalam irama dan kedalaman pernapasan

Kelainan status pernapasan dan perubahan saturasi o2 dapat menentukan indikasi terapi untuk pasien

Pemberian oksigen sesuai indikasi diperlukan untuk mempertahankan masukan o2 saat pasien mengalami perubahan status respirasi

3Gangguan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan aliran arteri ke cerebral terhambat ditandai dengan klien mengeluh pusing, tekanan darah klien meningkat, mual, muntah, gelisah, penurunan kesadaran dan gcs, nyeri kepala.Setelah diberikan asuhan keperawatan selama ..x 30 menit, diharapkan status neurologis klien dengan kriteria hasil :

Perfusi jaringan serebral:

Tidak terjadi peningkatan tekanan intrakranial (skala 5 = no deviation from normal range)

Tekanan darah sistolik normal (120 mmhg) (skala 5 = no deviation from normal range)

Tekanan darah diastolik normal (80 mmhg) (skala 5 = no deviation from normal range)

Tidak ada sakit kepala (skala 5 = none)

Tidak ada gelisah (skala 5 = none)

Tidak ada agitasi (skala 5 = none)

Tidak ada syncope (skala 5 = none)

Tidak ada muntah (skala 5 = none)

Tidak ada gangguan kognisi (skala 5 = none)Cerebral perfusion promotion

Pantau tingkat kerusakan perfusi jaringan serebral, seperti status neurologi dan adanya penurunan kesadaran.

Konsultasikan dengan dokter untuk menentukan posisi kepala yang tepat (0, 15, atau 30 derajat) dan monitor respon klien terhadap posisi tersebut.

Monitor status respirasi (pola, ritme, dan kedalaman respirasi; po2, pco2, ph, dan level bikarbonat)

Monitor nilai lab untuk perubahan dalam oksigenasi

Oxygen therapy

Pertahankan kepatenan jalan nafas..

Monitor aliran oksigen.

Monitor posisi kenyamanan klien (semifowler 15-350).

Vital signs monitoring

Monitor tanda-tanda vital

Ukur tekanan darah ketika klien tidur, berbaring, sebelum dan sesudah berubah posisi.

Ukur tekanan darah setelah klien mendapatkan medikasi/terapi.

Ukur tekanan darah, nadi, dan respirasi sebelum, selama, dan setelah beraktivitas. Rasional: mengetahui reaksi tubuh klien terhadap aktivitas sehingga dapat menentukan intervensi selanjutnya

Rasional: kegagalan perfusi jaringan serebral dapat mempengaruhi status neurologi dan tingkat kesadaran klien.

Posisi yang tepat dapat membantu memperlancar aliran darah ke otak sehingga nutrisi dan o2 ke otak adekuat.

Status respirasi dapat menjadi indikator keadekuatan perfusi oksigen ke otak.

Oksigenasi yang tidak adekuat dapat menurunkan perfusi oksigen ke otak.

Mengetahui reaksi tubuh klien terhadap aktivitas sehingga dapat menentukan intervensi selanjutnya

Untuk mempertahankan masukan oksigen adekuat sesuai dengan kebutuhan.

Posisi yang nyaman diperlukan untuk menjaga kontinuitas masukan oksigen.

Memonitor tanda-tanda vital penting untuk mengetahui keadaan umum dan status keefektifan perfusi jaringan.

Pengukuran tekanan darah pada berbagai posisi dibutuhkan untuk mengetahui perubahan tekanan darah ortostatik.

Pengukuran tekanan darah setelah mendapatkan terapi/medikasi penting untuk mengetahui keefektifan terapi.

Mempertahankan kepatenan jalan napas bertujuan untuk mencegah terputusnya aliran oksigen ke otak sehingga mencegah terjadinya hipoksia jaringan otak.

4Risiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan aktif akibat perdarahan eksternal dan internal, mual dan muntah.

Setelah diberikan asuhan keperawatan selama x 30 menit diharapkan kebutuhan cairan klien terpenuhi, dengan kriteria hasil :a) Fluid balance (keseimbangan cairan)

Turgor kulit elastic

Mukosa bibir lembab

Suhu tubuh dalam batas normal ( 36,5 37,5c )

Tekanan darah dalam batas normal (110-120/80-90 mmhg) Nadi dalam batas normal (60-100 kali/menit)

Klien tidak mengeluh haus

b) Blood loss severity (kehilangan banyak darah)

Klien tidak mengalami hematuria

Tidak terjadi perdarahan vagina

Tekanan darah dalam batas normal (110-120/80-90 mmhg) Membran mukosa tidak pucat

Hb dalam batas normal ( > 11 )

Suhu tubuh dalam batas normal ( 36,5 37,5c )

Fluid management

Kaji tanda tanda vital klien

Kaji turgor kulit, kelembaban membran mukosa (bibir, lidah).

Anjurkan klien untuk banyak minum

Kolaborasi pemberian cairan tambahan iv sesuai keperluan

Shock prevention

Pantau status sirkulasi seperti tekanan darah, perubahan warna kulit, temperatur kulit, irama jantung, nadi dan crt.

Pantau intake dan output klien

Pantau suhu tubuh dan status rr klien

Pantau hasil pemeriksaan laboratorium seperti tingkat hemoglobin, hematokrit, elektrolit

Pantau kondisi membran mukosa klien

Peningkatan suhu atau memanjangnya demam meningkatkan laju metabolic dan kehilangan cairan melalui evaporasi.

Indikator langsung keadekuatan volume cairan,

Menggantikan cairan yang keluar sehingga dapat membantu memulihkan keseimbangan cairan tubuh klien

Adanya penurunan masukan/ banyak kehilangan, penggunaan parenteral dapat memperbaiki atau mencegah kekurangan.

Mengetahui tingkat sirkulasi klien sehingga mempermudah pencegahan syok.

Mengetahui tingkat balance cairan sebagai indikator pencegahan syok

Membran mukosa merupakan salah satu bagian tubuh yang cepat menunjukkan tingkat kekurangan cairan

Menentukan tingkat cairan dalam tubuh,

Peningkatan suhu atau memanjangnya demam meningkatkan laju metabolik dan kehilangan cairan melalui evaporasi.

5Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik: trauma pada kepala ditandai dengan keluhan nyeri secara verbal skala 1-10, gelisah, memegangi area yang sakit, berhati hati menggerakkan bagian yang sakit, meringis, peningkatan ttv (td > 130/90mmhg, n >100 x/menit, rr > 20 x/menit, s > 37,5oc), diaphoresis, dilatasi pupil.

Setelah diberikan asuhan keperawatan selama x 30 menit diharapkan nyeri terkontrol, dengan kriteria hasil:

A.pain level (level nyeri):

Klien melaporkan nyeri berkurang

Rr dalam batas normal (16-20 kali/menit)

Nadi dalam batas normal (60-100 kali/menit)

Tekanan darah dalam batas normal (110-120/80-90 mmhg)

B.pain control ( kontrol nyeri ) :

Klien dapat mengenali onset nyeri

Klien dapat mendeskripsikan faktor-faktor penyebab nyeri

Klien dapat mengontrol nyerinya dengan menggunakan teknik manajemen nyeri non farmakologis

Klien menggunakan analgesik sesuai rekomendasi.

-klien melaporkan nyeri terkontrol.Pain management

Lakukan pengkajian yang komprehensif terhadap nyeri, meliputi lokasi, karasteristik, onset/durasi, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri, serta faktor-faktor yang dapat memicu nyeri.

Observasi tanda-tanda non verbal atau isyarat dari ketidaknyamanan.

Gunakan strategi komunikasi terapeutik dalam mengkaji pengalaman nyeri dan menyampaikan penerimaan terhadap respon klien terhadap nyeri.

Kaji tanda-tanda vital klien.

Kontrol faktor lingkungan yang dapat menyebabkan ketidaknyamanan, seperti suhu ruangan, pencahayaan, kebisingan.

Ajarkan prinsip-prinsip manajemen nyeri non farmakologi, (mis: teknik terapi musik, distraksi, guided imagery, masase dll).

Kolaborasi dalam pemberian analgetik sesuai indikasi.

Pengkajian berguna untuk mengidentifikasi nyeri yang dialami klien meliputi lokasi, karasteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri serta faktor-faktor yang dapat memicu nyeri klien sehinggga dapat menentukan intervensi yang tepat.

Dengan mengetahui rasa tidak nyaman klien secara non verbal maka dapat membantu mengetahui tingkat dan perkembangan nyeri klien.

Membantu klien dalam menginterpretasikan nyerinya.

Peningakatan tekanan darah, respirasi rate, dan denyut nadi umumnya menandakan adanya peningkatan nyeri yang dirasakan.

Membantu mengurangi nyeri yang dirasakan klien.

Membantu mengurangi nyeri yang dirasakan klien, serta membantu klien untuk mengontrol nyerinya.

Membantu memodifikasi dan menghindari faktor-faktor yang dapat meningkatkan ketidaknyamanan klien.

6Nausea berhubungan dengan peningkatan tik ditandai dengan adanya keluhan mual, klien mengeluh rasa asam di mulut, hipersalivasi, berkeringat dingin, mengeluh ingin muntah, klien tampak tidak menghabiskan makanan yang disediakan.Setelah diberikan asuhan keperawatan selama ..x 30 menit diharapkan menunjukkan penurunan derajat mual dan muntah, dengan out come :

A.nausea and vomiting severity (keparahan mual muntah)

Klien mengatakan tidak ada mual (skala 5 = none)

Klien mengatakan tidak muntah (skala 5 = none)

Tidak ada peningkatan sekresi saliva (skala 5 = none)

B. Appetite (nafsu makan)

Menunjukkan peningkatan nafsu makan, dengan kriteria hasil :

Keinginan klien untuk makan meningkat (skala 5 = not compromised)

Intake makanan adekuat (porsi makan yang disediakan habis) (skala 5 = not compromised)

Intake cairan adekuat (skala 5 = not compromised)Nausea management

Dorong klien untuk mempelajari strategi untuk memanajemen mual

Kaji frekuensi mual, durasi, tingkat keparahan, factor frekuensi, presipitasi yang menyebabkan mual.

Kaji riwayat diet meliputi makanan yang tidak disukai, disukai, dan budaya makan.

Kontrol lingkungan sekitar yang menyebabkan mual.

Ajarkan teknik nonfarmakologi untuk mengurangi mual (relaksasi, guide imagery, distraksi).

Dukung istirahat dan tidur yang adekuat untuk meringankan nausea.

Ajarkan untuk melakukan oral hygine untuk mendukung kenyaman dan mengurangi rasa mual.

Anjurkan untuk makan sedikit demi sedikit.

Pantau masukan nutrisi sesuai kebutuhan kalori. Dengan mendorong klien untuk mempelajari strategi manajemen mual, akan membantu klien untuk melakukan manajemen mual secara mandiri.

Penting untuk mengetahui karakteristik mual dan faktor-faktor yang dapat menyebabkan atau meningkatkan mual muntah pada klien dan membantu dalam memberikan intervensi yang tepat.

Untuk mengetahui makanan yang dapat menurunkan dan meningkatkan nafsu makan klien selama tidak ada kontra indikasi.

Mulut yang tidak bersih dapat mempengaruhi rasa makanan dan menimbulkan mual.

Teknik manajemen mual nonfarmakologi dapat membantu mengurangi mual secara nonfarmakologi dan tanpa efek samping.

Tidur dan istirahat dapat membantu klien lebih relaks sehingga mengurangi mual yang dirasakan.

Kebutuhan kalori perlu dipertimbangkan untuk tetap mempertahankan asupan nutrisi adekuat.

Pemberian makan secara sedikit demi sedikit baik untuk mengurangi rasa penuh dan enek di perut.

Faktor-faktor seperti pemandangan dan bau yang tidak sedap saat makan dapat meningkatkan perasaan mual pada klien.

7Risiko infeksi berhubungan dengan pertahanan primer tidak adekuat.Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama .....x 30 menit diharapkan tidak terjadi infeksi, dengan kriteria hasil :

A. Infection severity (keparahan infeksi)

Tidak ada kemerahan (skala 5 = none)

Tidak terjadi hipertermia (skala 5 = none)

Tidak ada nyeri (skala 5 = none)

Tidak ada pembengkakan (skala 5 = none)

B. Risk control (kontrol resiko)

Klien mampu menyebutkan factor-faktor resiko penyebab infeksi ( skala 5 = consistenly demonstrated)

Klien mampu memonitor lingkungan penyebab infeksi (skala 5 = consistenly demonstrated)

Klien mampu memonitor tingkah laku penyebab infeksi (skala 5 = consistenly demonstrated)

Tidak terjadi paparan saat tindakan keperawatan (skala 5 = consistenly demonstrated)Infection control

Bersihkan lingkungan setelah digunakan oleh klien.

Ajarkan klien dan keluarga tekhnik mencuci tangan yang benar.

Pergunakan sabun anti microbial untuk mencuci tangan.

Cuci tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan keperawatan.

Terapkan universal precaution.

Pertahankan lingkungan aseptik selama perawatan.

Anjurkan klien untuk memenuhan asupan nutrisi dan cairan adekuat.

Ajarkan klien dan keluarga untuk menghindari infeksi.

Ajarkan pada klien dan keluarga tanda-tanda infeksi. Agar bakteri dan penyakit tidak menyebar dari lingkungan dan orang lain.

Mencegah terjadinya infeksi dari mikroorganisme yang ada di tangan.

Mencuci tangan menggunakan sabun lebih efektif untuk membunuh bakteri.

Mencegah infeksi nosokomial.

Mencegah infeksi nosokomial

Untuk meminimalkan terkontaminasi mikroba atau bakteri.

Agar dapat melaporkan kepada petugas lebih cepat, sehingga penangan lebih efisien.

Infeksi lebih lanjut dapat memperburuk resiko infeksi pada klien.

Menjaga ketahanan sistem imun.