cedera kepala

45
BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Cedera kepala atau yang disebut dengan trauma kapitis adalah ruda paksa tumpul / tajam pada kepala atau wajah yang berakibat disfungsicerebral sementara.Merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatanutama pada kelompok usia produktif, dan sebagian besar karena kecelakaanlalu lintas. Hal ini diakibatkan karena mobilitas yang tinggi di kalangan usia produktif sedangkan kesadaran untuk menjaga keselamatan di jalan masihrendah, disamping penanganan pertama yang belum benar - benar, sertarujukan yang terlambat. Di Indonesia kejadian cidera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai 500.000 kasus. Dari jumlah diatas , 10% penderita meninggal sebelum tiba di rumah sakit. Dari pasien yang sampai di rumah sakit , 80% dikelompokan sebagai cedera kepala ringan, 10 % termasuk cedera sedangdan 10% sedang, dan 10 % termasuk cedera kepala berat. Cedera kepala merupakan keadaan yang serius, sehingga diharapkan para dokter mempunyai pengetahuan praktis untuk melakukan pertolongan pertama pada penderita. Tindakan pemberian oksigen yang adekuat danmempertahankan tekanan darah yang cukup untuk perfusi otak danmenghindarkan terjadinya cedera otak sekunder merupakan pokok-pokok tindakan yang sangat penting untuk keberhasilan kesembuhan penderita.Sebagai

Upload: rahma-larasati-syaheeda

Post on 09-Aug-2015

151 views

Category:

Documents


6 download

DESCRIPTION

diagnosa trauma kapitis dan terapinya. mekanisme cedera kepala

TRANSCRIPT

Page 1: cedera kepala

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Cedera kepala atau yang disebut dengan trauma kapitis adalah ruda paksa tumpul /

tajam pada kepala atau wajah yang berakibat disfungsicerebral sementara.Merupakan salah

satu penyebab kematian dan kecacatanutama pada kelompok usia produktif, dan sebagian

besar karena kecelakaanlalu lintas. Hal ini diakibatkan karena mobilitas yang tinggi di

kalangan usia produktif sedangkan kesadaran untuk menjaga keselamatan di jalan

masihrendah, disamping penanganan pertama yang belum benar - benar, sertarujukan yang

terlambat.

Di Indonesia kejadian cidera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai 500.000

kasus. Dari jumlah diatas , 10% penderita meninggal sebelum tiba di rumah sakit. Dari pasien

yang sampai di rumah sakit , 80% dikelompokan sebagai cedera kepala ringan, 10 %

termasuk cedera sedangdan 10% sedang, dan 10 % termasuk cedera kepala berat.

Cedera kepala merupakan keadaan yang serius, sehingga diharapkan para dokter

mempunyai pengetahuan praktis untuk melakukan pertolongan pertama pada penderita.

Tindakan pemberian oksigen yang adekuat danmempertahankan tekanan darah yang cukup

untuk perfusi otak danmenghindarkan terjadinya cedera otak sekunder merupakan pokok-

pokok tindakan yang sangat penting untuk keberhasilan kesembuhan penderita.Sebagai

tindakan selanjutnya yang penting setelah primary survey adalahidentifikasi adanya lesi masa

yang memerlukan tindakan pembedahan, dan yang terbaik adalah pemeriksaan dengan CT

Scan kepala.

  Pada penderita dengan cedera kepala ringan dan sedang hanya 3% -5% yang

memerlukan tindakan operasi kurang lebih 40% dan sisanya dirawat secara konservatif.

Prognosis pasien cedera kepala akan lebih baik  bila penatalaksanaan dilakukan secara tepat

dan cepat.

Page 2: cedera kepala

BAB II

ISI

II.1 Anatomi

a. Kulit Kepala

Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut SCALP yaitu; skin atau kulit, connective

tissue atau jaringan penyambung, aponeurosis atau galea aponeurotika, loose conective

tissue atau jaringan penunjang longgar dan pericranium. 1,2

b. Tulang Tengkorak

Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii 3,4. Tulang tengkorak

terdiri dari beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan oksipital.2,5 Kalvaria

khususnya di regio temporal adalah tipis, namun di sini dilapisi oleh otot temporalis. Basis

kranii berbentuk tidak rata sehingga dapat melukai bagian dasar otak saat bergerak akibat

proses akselerasi dan deselerasi. Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu : fosa

anterior tempat lobus

frontalis, fosa media tempat temporalis dan fosa posterior ruang bagi bagian bawah

batang otak dan serebelum.1

Page 3: cedera kepala

C. Meningen

Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan yaitu :

1. Duramater

Duramater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan endosteal dan

lapisan meningeal.2 Duramater merupakan selaput yang keras, terdiri atas jaringan ikat fibrisa

yang melekat erat pada permukaan dalam dari kranium. Karena tidak melekat pada selaput

arachnoid di bawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial (ruang subdura) yang terletak

antara duramater dan arachnoid, dimana sering dijumpai perdarahan subdural. Pada cedera

otak, pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak menuju sinus sagitalis

superior di garis tengah atau disebut Bridging Veins, dapat mengalami robekan dan

menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis superior mengalirkan darah vena ke sinus

transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan

perdarahan hebat.1

Arteri meningea terletak antara duramater dan permukaan dalam dari kranium (ruang

epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan laserasi pada arteri-arteri ini

dan menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling sering mengalami cedera adalah arteri

meningea media yang terletak pada fosa temporalis (fosa media).1

2. Selaput Arakhnoid

Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang.Selaput arakhnoid

terletak antara pia mater sebelah dalam dan dura mater sebelah luar yang meliputi otak.

Selaput ini dipisahkan dari dura mater oleh ruang potensial, disebut spatium subdural dan

dari pia mater oleh spatium subarakhnoid yang terisi oleh liquor serebrospinalis.2 Perdarahan

umumnya disebabkan akibat cedera kepala.1

3. Pia mater

Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri.1. Pia mater adarah membrana

vaskular yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri dan masuk kedalam sulci yang

paling dalam. Membrana ini membungkus saraf otak dan menyatu dengan epineuriumnya.

Arteri-arteri yang masuk kedalam substansi otak juga diliputi oleh pia mater.5

Page 4: cedera kepala

D. Otak

Otak merupakan suatu struktur gelatin yang mana berat pada orang dewasa sekitar 14

kg.5 Otak terdiri dari beberapa bagian yaitu; proensefalon (otak depan) terdiri dari serebrum

dan diensefalon, mesensefalon (otak tengah) dan rhombensefalon (otak belakang) terdiri dari

pons, medula oblongata dan serebellum.3

Fisura membagi otak menjadi beberapa lobus.5 Lobus frontal berkaitan dengan fungsi

emosi, fungsi motorik dan pusat ekspresi bicara. Lobus parietal berhubungan dengan fungsi

sensorik dan orientasi ruang. Lobus temporal mengatur fungsi memori tertentu. Lobus

oksipital bertanggung jawab dalam proses penglihatan. Mesensefalon dan pons bagian atas

Page 5: cedera kepala

berisi sistem aktivasi retikular yang berfungsi dalam kesadaran dan kewapadaan. Pada

medula oblongata terdapat pusat kardiorespiratorik. Serebellum bertanggung jawab dalam

fungsi koordinasi dan keseimbangan.1

E. Cairan serebrospinalis

Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus dengan kecepatan

produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari ventrikel lateral melalui foramen monro

menuju ventrikel III, dari akuaduktus sylvius menuju ventrikel IV. CSS akan direabsorbsi ke

dalam sirkulasi vena melalui granulasio arakhnoid yang terdapat pada sinus sagitalis superior.

Adanya darah dalam CSS dapat menyumbat granulasio arakhnoid sehingga mengganggu

penyerapan CSS dan menyebabkan kenaikan takanan intracranial.1 Angka rata-rata pada

kelompok populasi dewasa volume CSS sekitar 150 ml dan dihasilkan sekitar 500 ml CSS

per hari.6

F. Tentorium

Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang supratentorial (terdiri

dari fosa kranii anterior dan fosa kranii media) dan ruang infratentorial (berisi fosa kranii

posterior).1

G. Perdarahan Otak

Otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri vertebralis. Keempat arteri

ini beranastomosis pada permukaan inferior otak dan membentuk sirkulus Willisi. Vena-vena

otak tidak mempunyai jaringan otot didalam dindingnya yang sangat tipis dan tidak

mempunyai katup. Vena tersebut keluar dari otak dan bermuara ke dalam sinus venosus

cranialis.2

II.2. FISIOLOGI

A. Tekanan intracranial (TIK)

Page 6: cedera kepala

Berbagai proses patologis yang mengenai otak dapat mengakibatkan perubahan tekanan

intrakranial yang selanjutnya akan mengganggu fungsi otak yang akhirnya berdampak buruk

terhadap penderita. Tekanan intrakranial yang tinggi dapat menimbulkan gangguan fungsi

otak dan mempengaruhi kesembuhan penderita. Jadi kenaikan tekanan intrakranial (TIK)

tidak hanya merupakan indikasi adanya masalah serius dalam otak, tetapi justru merupakan

masalah utamanya. TIK normal pada saat istirahat kira-kira 10 mmHg (136 mmH2O). TIK

lebih tinggi dari 20 mmHg dianggap tidak normal dan TIK lebih dari 40mmHg termasuk ke

dalam kenaikan TIK berat. Semakin tinggi TIK setelah cedera kepala semakin buruk

prognosisnya. (7)

B. Doktrin Monro-Kellie

Konsep utama doktrin Monro-Kellie adalah bahwa volume intrakranial selalu konstan,

karena rongga kranium pada dasarnya merupakan rongga yang tidak mungkin terekspansi.

TIK yang normal tidak berarti tidak adanya lesi massa intrakranial, karena TIK umumnya

tetap dalam batas normal sampai kondisi penderita mencapai titik dekompensasi dan

memasuki fase ekspansional kurva tekanan-volume.(Gambar 1) (7)

Gambar 1. Kompensasi intracranial terhadap massa yang ekspansi

C. Tekanan Perfusi Otak (TPO)

Page 7: cedera kepala

Tekanan perfusi otak merupakan indikator yang sama penting dengan TIK. TPO

mempunyai formula sebagai berikut:

TPO = MAP – TIK

Maka dari itu, mempertahankan tekanan darah yang adekuat pada penderita cedera

kepala adalah sangat penting, terutama pada keadaan TIK yang tinggi. (1)

TPO kurang dari 70mmHg umunya berkaitan dengan prognosis yang buruk pada

penderita cedera kepala.

D. Aliran Darah ke Otak (ADO)

Aliran darah ke otak normal kira-kira 50 ml/100 gr jaringan otak/menit. Bila ADO

menurun sampai 20-25ml/100 gr/menit, aktivitas EEG akan hilang dan pada ADO 5 ml/100

gr/menit, sel-sel otak mengalami kematian dan terjadi kerusakan menetap. Pada penderita

trauma, fenomena autoregulasi akan mempertahankan ADO pada tingkat konstan apabila

MAP 50-160 mmHg. Bila MAP < 50mmHg ADO menurun curam, dan bila MAP

>160mmHg terjadi dilatasi pasif pembuluh darah otak dan ADO meningkat. Mekanisme

autoregulasi sering mengalami gangguan pada penderita cedera kepala. Akibatnya penderita

tersebut sangat rentan terhadap cedera otak sekunder karena iskemi sebagai akibat hipotensi

yang tiba-tiba. (7)

Bila mekanisme kompensasi tidak bekerja dan terjadi kenaikan eksponensial TIK,

perfusi otak sangat berkurang, terutama pada penderita yang mengalami hipotensi. Maka dari

itu, bila terdapat TTIK, harus dikeluarkan sedini mungkin dan tekanan darah yang adekuat

tetap harus dipertahankan. (7)

Etiologi

Penyebab terbanyak trauma kepala adalah kecelakaan lalu lintas dimana lebih dari

setengah kasus terjadi lebih sering pada daerah perkotaan. Penyebab lainnya adalah jatuh dari

tempat tinggi, korban kekerasan, trauma akibat olahraga, dan trauma penetrasi. Trauma

kepala dua sampai empat kali lebih sering terjadi pada laki-laki dibandingkan pada

perempuan, dan lebih sering terjadi pada umur kurang dari 35 tahun.

Page 8: cedera kepala

II.3 Patofisiologi

Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera primer

dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai akibat langsung

dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan benturan langsung kepala dengan suatu benda keras

maupun oleh proses akselarasi deselarasi gerakan kepala. Dalam mekanisme cedera kepala

dapat terjadi peristiwa coup dan contrecoup. Cedera primer yang diakibatkan oleh adanya

benturan pada tulang tengkorak dan daerah sekitarnya disebut lesi coup. Pada daerah yang

berlawanan dengan tempat benturan akan terjadi lesi yang disebut contrecoup.1 Akselarasi-

deselarasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara mendadak dan kasar saat terjadi

trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi

semisolid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intrakranialnya.

Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam tengkorak

pada tempat yang berlawanan dari benturan (contrecoup).8

Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai proses patologis yang

timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer, berupa perdarahan, edema otak,

kerusakan neuron berkelanjutan, iskemia, peningkatan tekanan intrakranial dan perubahan

neurokimiawi.8

Fraktur tengkorak

Fraktur tengkorak dapat terjadi pada kalvaria atau basis. Pada fraktur kalvaria

ditentukan apakah terbuka atau tertutup, linear atau stelata, depressed atau non depressed.

Fraktur tengkorak basal sulit tampak pada foto sinar-x polos dan biasanya perlu CT scan

dengan setelan jendela-tulang untuk memperlihatkan lokasinya. Sebagai pegangan umum,

depressed fragmen lebih dari ketebalan tengkorak (> 1 tabula) memerlukan operasi elevasi.

Page 9: cedera kepala

Fraktura tengkorak terbuka atau compound berakibat hubungan langsung antara laserasi scalp

dan permukaan serebral karena duranya robek, dan fraktura ini memerlukan operasi

perbaikan segera.

Frekuensi fraktura tengkorak bervariasi, lebih banyak fraktura ditemukan bila

penelitian dilakukan pada populasi yang lebih banyak mempunyai cedera berat. Fraktura

kalvaria linear mempertinggi risiko hematoma intrakranial sebesar 400 kali pada pasien yang

sadar dan 20 kali pada pasien yang tidak sadar. Fraktura kalvaria linear mempertinggi risiko

hematoma intrakranial sebesar 400 kali pada pasien yang sadar dan 20 kali pada pasien yang

tidak sadar. Untuk alasan ini, adanya fraktura tengkorak mengharuskan pasien untuk dirawat

dirumah sakit untuk pengamatan, tidak peduli bagaimana baiknya tampak pasien tersebut.

Lesi Intrakranial

Lesi intrakranial dapat diklasifikasikan sebagai fokal atau difusa, walau kedua bentuk

cedera ini sering terjadi bersamaan. Lesi fokal termasuk hematoma epidural, hematoma

subdural, dan kontusi (atau hematoma intraserebral). Pasien pada kelompok cedera otak

difusa, secara umum, menunjukkan CT scan normal namun menunjukkan perubahan

sensorium atau bahkan koma dalam. Basis selular cedera otak difusa menjadi lebih jelas pada

tahun-tahun terakhir ini.

Hematoma Epidural

Page 10: cedera kepala

Epidural hematom (EDH) adalah perdarahan yang terbentuk di ruang potensial antara

tabula interna dan duramater. Paling sering terletak diregio temporal atau temporalparietal

dan sering akibat robeknya pembuluh meningeal media. Perdarahan biasanya dianggap

berasal arterial, namun mungkin sekunder dari perdarahan vena pada sepertiga kasus.

Kadang-kadang, hematoma epidural mungkin akibat robeknya sinus vena, terutama diregio

parietal-oksipital atau fossa posterior. Walau hematoma epidural relatif tidak terlalu sering

(0.5% dari keseluruhan atau 9% dari pasien koma cedera kepala), harus selalu diingat saat

menegakkan diagnosis dan ditindak segera. Bila ditindak segera, prognosis biasanya baik

karena cedera otak disekitarnya biasanya masih terbatas. Outcome langsung bergantung pada

status pasien sebelum operasi. Mortalitas dari hematoma epidural sekitar 0% pada pasien

tidak koma, 9% pada pasien obtundan, dan 20% pada pasien koma dalam.8

Gejala dan tanda EDH9 :

Hilangnya kesadaran posttraumatik / posttraumatic loss of consciousness (LOC)

secara singkat.

Terjadi “ lucid interval” untuk beberapa jam.

Keadaan mental yang kaku (obtundation), hemiparesis kontralateral, dilatasi pupil

ipsilateral.

Gejala yang sangat menonjol ialah kesadaran menurun secara progresif. Pasien dengan

kondisi seperti ini seringkali tampak memar di sekitar mata dan di belakang telinga. Sering

juga tampak cairan yang keluar pada saluran hidung atau telinga. Pasien seperti ini harus di

observasi dengan teliti. Setiap orang memiliki kumpulan gejala yang bermacam-macam

akibat dari cedera kepala. Banyak gejala yang muncul bersaman pada saat terjadi cedera

kepala. Gejala yang sering tampak : penurunan kesadaran, bisa sampai koma,Bingung,

Penglihatan kabur , Susah bicara, Nyeri kepala yang hebat, Keluar cairan darah dari hidung

atau telinga, Nampak luka yang adalam atau goresan pada kulit kepala., Mual, Pusing,

Berkeringat,pucat, Pupil anisokor, yaitu pupil ipsilateral menjadi melebar.Pada tahap

kesadaran sebelum stupor atau koma, bisa dijumpai hemiparese atau serangan epilepsi fokal.

Pada perjalannya, pelebaran pupil akan mencapai maksimal dan reaksi cahaya pada

permulaan masih positif menjadi negatif. Inilah tanda sudah terjadi herniasi tentorial. Terjadi

pula kenaikan tekanan darah dan bradikardi. Pada tahap akhir, kesadaran menurun sampai

Page 11: cedera kepala

koma dalam, pupil kontralateral juga mengalami pelebaran sampai akhirnya kedua pupil tidak

menunjukkan reaksi cahaya lagi yang merupakan tanda kematian.

Gejala-gejala respirasi yang bisa timbul berikutnya, mencerminkan adanya disfungsi

rostrocaudal batang otak. Jika Epidural hematom di sertai dengan cedera otak seperti memar

otak, interval bebas tidak akan terlihat, sedangkan gejala dan tanda lainnya menjadi kabur.

Dengan pemeriksaan CT Scan akan tampak area hiperdens yang tidak selalu homogeny,

bentuknya biconvex sampai planoconvex, melekat pada tabula interna dan mendesak

ventrikel ke sisi kontralateral (tanda space occupying lesion). Batas dengan corteks licin,

densitas duramater biasanya jelas, bila meragukan dapat diberikan injeksi media kontras

secara intravena sehingga tampak lebih jelas.10

Hematoma Subdural

Hematoma subdural (SDH) adalah perdarahan yang terjadi di antara duramater dan

arakhnoid. SDH lebih sering terjadi dibandingkan EDH, ditemukan sekitar 30% penderita

dengan cedera kepala berat. Terjadi paling sering akibat robeknya vena bridging antara

korteks serebral dan sinus draining. Namun ia juga dapat berkaitan dengan laserasi

permukaan atau substansi otak. Fraktura tengkorak mungkin ada atau tidak. Selain itu,

kerusakan otak yang mendasari hematoma subdural akuta biasanya sangat lebih berat dan

prognosisnya lebih buruk dari hematoma epidural. Mortalitas umumnya 60%, namun

mungkin diperkecil oleh tindakan operasi yang sangat segera dan pengelolaan medis agresif.

Page 12: cedera kepala

Gejala Klinis 

1. Subdural Akut Hematoma

Subdural akut hematoma menimbulkan gejala neurologik dalam 24 sampai 48 jam

setelah cedera. Dan berkaitan erat dengan trauma otak berat. Gangguan neurologik progresif

disebabkan oleh tekanan pada jaringan otak dan herniasi batang otak dalam foramen

magnum, yang selanjutnya menimbulkan tekanan pada batang otak. Keadan ini dengan cepat

menimbulkan berhentinya pernapasan dan hilangnya kontrol atas denyut nadi dan tekanan

darah.

2. Subdural Subakut Hematoma

Hematoma ini menyebabkan defisit neurologik dalam waktu lebih dari 48 jam tetapi

kurang dari 2 minggu setelah cedera. Seperti pada hematoma subdural akut, hematoma ini

juga disebabkan oleh perdarahan vena dalam ruangan subdural. Anamnesis klinis dari

penderita hematoma ini adalah adanya trauma kepalayang menyebabkan ketidaksadaran,

selanjutnya diikuti perbaikan status neurologik yang perlahan-lahan. Namun jangka waktu

tertentu penderita memperlihatkan tanda-tanda status neurologik yang memburuk. Tingkat

kesadaran mulai menurun perlahan-lahan dalam beberapa jam. Dengan meningkatnya

tekanan intrakranial seiring pembesaran hematoma, penderita mengalami kesulitan untuk

tetap sadar dan tidak memberikan respon terhadap rangsangan bicara maupun nyeri.

Pergeseran isi intracranial dan peningkatan intracranial yang disebabkan oleh akumulasi

darah akan menimbulkan hernia siunkus atau sentral dan melengkapi tanda-tanda neurologik

dari kompresi batang otak.

3. Subdural Kronik Hematoma 

Page 13: cedera kepala

Timbulnya gejala pada umumnya tertunda beberapa minggu, bulan dan

bahkan beberapa tahun setelah cedera pertama. Trauma pertama merobek salah satu vena

yang melewati ruangan subdural. Terjadi perdarahan secara lambat dalam ruangan subdural.

Dalam 7 sampai 10 hari setelah perdarahan terjadi, darah dikelilingi oleh membrane fibrosa.

Dengan adanya selisih tekanan osmotic yang mampu menarik cairan ke dalam hematoma,

terjadi kerusakan sel-sel darah dalam hematoma. Penambahan ukuran hematoma ini yang

menyebabkan perdarahan lebih lanjutdengan merobek membran atau pembuluh darah di

sekelilingnya, menambah ukuran dan tekanan hematoma. Subdural Hematoma yang

bertambah luas secara perlahan paling sering terjadi pada usia lanjut (karena venanya rapuh)

dan pada alkoholik. Pada kedua keadaanini, cedera tampaknya ringan; selama beberapa

minggu gejalanya tidak dihiraukan. Hasil pemeriksaan CT scan dan MRI bisa menunjukkan

adanya genangan darah. Subdural Hematoma pada bayi bisa menyebabkan kepala bertambah

besar karena tulang tengkoraknya masih lembut dan lunak. Subdural Hematoma yang kecil

pada dewasa seringkali diserap secara spontan. Hematoma subdural yang besar, yang

menyebabkan gejala-gejala neurologis biasanya dikeluarkan melalui pembedahan.

Kontusi dan hematoma intraserebral.

Kontusi serebral sejati terjadi cukup sering. Selanjutnya, kontusi otak hampir selalu

berkaitan dengan hematoma subdural. Majoritas terbesar kontusi terjadi dilobus frontal dan

temporal, walau dapat terjadi pada setiap tempat termasuk serebelum dan batang otak.

Perbedaan antara kontusi dan hematoma intraserebral traumatika tidak jelas batasannya.

Bagaimanapun, terdapat zona peralihan, dan kontusi dapat secara lambat menjadi hematoma

intraserebral dalam beberapa hari.

Page 14: cedera kepala

Gejala dan tanda :

1.Sakit kepala mendadak yang eksplosif 

2. Fotofobia

3.Mual dan muntah

4.Hilang kesadaran

5.Kejang-kejang

6.Gangguan respiratori

7.Shock

II.4. Klasifikasi

Cedera kepala diklasifikasikan secara praktis dikenal tiga deskripsi klasifikasi yaitu

berdasarkan:

4.1. Mekanisme

Cedera kepala tumpul, biasanya berkaitan dengan kecelakaan mobil-motor, jatuh,

atau pukulan benda tumpul.

Cedera kepala tembus, disebabkan oleh peluru atau tusukan. Adanya penetrasi

selaput dura menentukan cedera apakah cedera tembus atau tumpul.

4.2. Beratnya cedera

GCS digunakan secara umum dalam deskripsi beratnya cedera penderita kepala.

Penderita dengan GCS 14-15 diklasifikasikan ke dalam cedera kepala ringan, GCS 9-13

termasuk cedera kepala sedang, dan GCS 3-8 termasuk cedera kepala berat. (1)

Glasgow Coma Scale Nilai

Respon membuka mata (E)

Buka mata spontan

Buka mata bila dipanggil/rangsangan suara

Buka mata bila dirangsang nyeri

Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun

4

3

2

1

Respon verbal (V)

Komunikasi verbal baik, jawaban tepat

Bingung, disorientasi waktu, tempat, dan orang

5

4

Page 15: cedera kepala

Kata-kata tidak teratur

Suara tidak jelas

Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun

3

2

1

Respon motorik (M)

Mengikuti perintah

Dengan rangsangan nyeri, dapat mengetahui tempat

rangsangan

Dengan rangsangan nyeri, menarik anggota badan

Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi fleksi abnormal

Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi ekstensi abnormal

Dengan rangsangan nyeri, tidak ada reaksi

6

5

4

3

2

1

4.3 Morfologi

Cedera Kepala Primer

Cedera kepala primer dibagi dalam lima kategori:

a. Kerusakan kulit kepala

Kerusakan kulit kepala dapat dimulai dari kontusi jaringan yang kecil sampai dengan

avulsi total dari lapisan kulit kepala. Karena kulit kepala kaya akan pembuluh darah, maka

laserasi yang besar dapat menyebabkan kehilangan darah yang banyak dan dapat

menyebabkan syok.

b. Fraktur tulang kepala

Fraktur tulang kepala merupakan hasil dari trauma tumpul atau penetrasi. Fraktur

tulang kepala dapat dikategorikan menjadi fraktur linier dan fraktur depressed. Fraktur linier

dapat terjadi pada kubah kranium atau basis kranium, tergantung pada beban energi yang

terjadi dengan arah jarak deselerasi, dan bentuk objek yang membentur kepala.

c. Fraktur linier pada kubah kranium

Fraktur linier terjadi secara sekunder terhadap kekuatan yang besar pada permukaan

yang lebar, merupakan cedera benturan yang disebabkan oleh perubahan bentuk kepala dari

sisi benturan. Faktor-faktor yang mempengaruhi adalah kejadian, sisi, arah dan tingkat

fraktur.

Page 16: cedera kepala

d. Fraktur basis kranii

Fraktur basis kranii terjadi pada 19-21% dari semua fraktur tulang kepala dan 4% dari

seluruh cedera kepala. Fraktur basis kranii sering merupakan ekstensi dari fraktur kubah

kranium, dapat juga timbul dari aliran beban pada benturan langsung pada basis kranii.

Tempat-tempat yang relatif lemah pada basis kranii adalah sinus sfenoid, foramen

magnum, hubungan temporal dengan petrosum, sfenoid ring bagian dalam. Tempat-tempat

ini mudah terjadi fraktur. Gambaran fraktur tergantung dari kekuatan tenaga,struktur tulang

dan foramen pada basis kranii. Fraktur basis kranii dengan robek dura sangat mudah terjadi

infeksi atau dapat juga terjadi fistula pada duramater yang ditandati dengan bocornya LCS

berupa rinorre dan ottorea.

Fraktur basis kranii juga berhubungan dengan cedera saraf otak dan pembuluh darah,

karena dapat terjadi terpotongnya saraf otak atau pembuluh darah oleh fragmen fraktur atau

strangulasi.

Page 17: cedera kepala

e. Fraktur depressed

Fraktur depressed biasanya merupakan dari gaya yang terlokalisir pada satu tempat di

kepala. Ketika gaya tersebut cukup besar, atau terkonsentrasi pada daerah sempit, tulang

terdesak ke bawah, sehingga menghasilkan fraktur depressed. Keadaaan tersebut tergantung

dari besarnya benturan dan kelenturan tulang kepala.

II.5. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik

1. Anamnesis

I. Identifikasi pasien (nama, umur, jenis kelamin, pekerjaan)

II. Keluhan utama, dapat berupa :

Penurunan kesadaran

Nyeri kepala

III.Anamnesis tambahan :

Kapan terjadinya ( untuk: mengetahui onset)

Bagaimana mekanisme terjadinya trauma, bagian tubuh yang terkena dan

tingkat keparahannya ?

Apakah ada pingsan ?

Apakah pernah sadar setelah pingsan ?

Apakah ada nyeri kepala, kejang, mual dan muntah ?

Apakah ada perdarahan dari telinga, hidung dan mulut ?

Riwayat AMPLE : Allergy, Medication (sebelumnya), Past Illness (penyakit

Page 18: cedera kepala

penyerta), Last Meal, Event/Environment yang berhubungan dengan kejadian

trauma

Komplikasi / Penyulit

1. Memakai helm atau tidak (untuk kasus KLL)

2. Pingsan atau tidak (untuk mengetahui apakah terjadi Lucid interval)

3. Ada sesak nafas, batuk-batuk

4. Muntah atau tidak

5. Keluar darah dari telinga, hidung atau mulut

6. Adanya kejang atau tidak

7. Adanya trauma lain selain trauma kepala (trauma penyerta)

8. Adanya konsumsi alkohol atau obat terlarang lainnya

9.Adanya riwayat penyakit sebelumnya (Hipertensi, DM)

Pertolongan pertama (apakah sebelum masuk rumah sakit penderita sudah mendapat

penanganan). Penanganan di tempat kejadian penting untuk menentukan penatalaksanaan dan

prognosis selanjutnya.

2 Pemeriksaan Fisik

1. Primary Survey

A. Airway, dengan kontrol servikal:

Yang pertama harus dinilai adalah jalan nafas, meliputi pemeriksaan adanya obstruksi

jalan nafas yang dapat disebabkan benda asing, fraktur tulang wajah, fraktur mandibula atau

maksila, fraktur laring atau trakea.

Bila penderita dapat berbicara atau terlihat dapat berbicara – jalan nafas bebas.

Bila penderita terdengar mengeluarkan suara seperti tersedak atau berkumur -

ada obstruksi parsial.

Bila penderita terlihat tidak dapat bernafas - obstruksi total.

Page 19: cedera kepala

- Jika penderita mengalami penurunan kesadaran atau GCS < 8 keadaan

tersebut definitif memerlukan pemasangan selang udara.

- Selama pemeriksaan jalan nafas, tidak boleh dilakukan ekstensi, fleksi

atau rotasi pada leher.

- Dalam keadaan curiga adanya fraktur servikal atau penderita datang

dengan multiple trauma, maka harus dipasangkan alat immobilisasi pada

leher, sampai kemungkinan adanya fraktur servikal dapat disingkirkan.

B. Breathing, dengan ventilasi yang adekuat

Pertukaran gas yang terjadi saat bernafas mutlak untuk pertukaran oksigen dan

mengeluarkan karbondioksida dari tubuh. Ventilasi yang baik meliputi fungsi

yang baik dari paru, dinding dada, dan diafragma.

Pada inspeksi, baju harus dibuka untuk melihat ekspansi pernafasan dan jumlah

pernafasan per menit, apakah bentuk dan gerak dada sama kiri dan kanan.

Perkusi dilakukan untuk mengetahui adanya udara atau darah dalam rongga

pleura.

Auskultasi dilakukan untuk memastikan masuknva udara ke dalam paru-paru.

Keterangan tambahan :

1. Gejala tension pneumothoraks :

Nyeri dada dan sesak nafas yang progresif, distress pernafasan. takikardi, hipotensi,

deviasi trakea ke arah yang sehat, hilang suara nafas pada satu sisi, dan distensi vena leher,

hipersonor, sianosis (manifestasi lanjut).

2. Gejala Flail Chest :

Gerak thorax asimetris (tidak terkoordinasi), palpasi gerakan pernafasan abnormal, dan

krepitasi iga atau fraktur tulang rawan.

3. Gejala Open pneumothorax:

Hipoksia dan hiperkapnia

Page 20: cedera kepala

4. Gejala hematothorax:

Nyeri dan sesak nafas

Pada inspeksi mungkin gerak nafas tertinggal atau pucat karena perdarahan.

Fremikus sisi yang terkena lebih keras dari sisi yang lain.

Pada perkusi, didapatkan pekak dengan batas dan bunyi nafas tidak terdengar

atau menghilang.

C. Circulation, dengan kontrol perdarahan

a. Volume darah

Suatu keadaan hipotensi harus dianggap hipovolemik sampai terbukti sebaliknya.

Jika volume turun, maka perfusi ke otak dapat berkurang sehingga dapat

mengakibatkan penurunan kesadaran.

Penderita trauma yang kulitnya kemerahan terutama pada wajah dan ekstremitas,

jarang dalarn keadaan hipovolemik. Wajah pucat keabu-abuan dan ekstremitas yang

dingin merupakan tanda hipovolemik.

Nadi

o Periksa kekuatan, kecepatan, dan irama

o Nadi yang tidak cepat, kuat, dan teratur : normovolemia

o Nadi yang cepat, kecil : hipovolemik

o Kecepatan nadi yang normal bukan jaminan normovolemia

o Tidak ditemukannya pulsasi dari arteri besar, merupakan tanda

diperlukan resusitasi segera.

b. Perdarahan

Perdarahan eksternal harus dikelola pada primary survey dengan cara penekanan pada

luka

D. Disability

Evaluasi terhadap keadaan neurologis secara cepat. Yang dinilai adalah tingkat

kesadaran, ukuran pupil dan reaksi pupil terhadap cahaya dan adanya parese.

Suatu cara sederhana menilai tingkat kesadaran dengan AVPU

Page 21: cedera kepala

A : sadar (Alert)

V : respon terhadap suara (Verbal)

P : respon terhadap nyeri (Pain)

U : tidak berespon (Unresponsive)

Glasgow Coma Scale adalah sistem skoring sederhana dan dapat memperkirakan

keadaan penderita selanjutnya. Jika belum dapat dilakukan pada primary survey, GCS dapat

diiakukan pada secondary survey.

Menilai tingkat keparahan cedera kepala melalui GCS :

A. Cedera kepala ringan (kelompok risiko rendah)

o Skor GCS 15 (sadar penuh, atentif; orientatif)

o Tidak ada kehilangan kesadaran (misalnya : konklusi)

o Tidak ada intoksikasi alkohol atau obat terlarang

o Pasien dapat tnengeluh nyeri kepala dan pusing

o Pasien dapat menderita abrasi, Iaserasi, atau hematoma kulit kepala

o Tidak ada kriteria cedera sedang-berat.

B. Cedera kepala sedang, (kelompok risiko sedang)

o Skor GCS 9-14 (konfusi, letargi, atau stupor)

o Konklusi

o Muntah

o Tanda kemungkinan fraktur kranium (tanda Battle, mata rabun, hemotimpanum,

otorea atau rinorea cairan serebro spinal)

o Kejang.

C. Cedara kepala berat (kelompok risiko berat)

o Skor GCS 3-8 (koma)

o Penurunan derajat kesadaran secara progresif

o Tanda neurologis fokal

o Cedera kepata penetrasi atau teraba fraktur depresi kranium

Penurunan kesadaran dapat terjadi karena berkurangnya perfusi ke otak atau trauma

langsung ke otak. Alkohol dan obat-obatan dapat mengganggu tingkat kesadaran penderita.

Page 22: cedera kepala

Jika hipoksia dan hipovolemia sudah disingkirkan, maka trauma kepala dapat dianggap

sebagai penyebab penurunan kesadaran, bukan alkohol sampai terbukti sebaliknya.

E. Exposure

• Penderita trauma yang datang harus dibuka pakaiannya dan dilakukan evaluasi

terhadap jejas dan luka.

2. Secondary Survey

Pemeriksaan dari kepala sampai kaki (head to toe, examination), termasuk reevaluasi

tanda vital.Cari adanya tanda-tanda:

Racoon eyes sign (echimosis periorbital)

Battle’s Sign (echimosis retroaorikuler)

Rhinorrhea , Otorhea (tanda kebocoran LCS)

Segera setelah status kardiovaskular penderita stabil, dilakukan pemeriksaan

naeurologis lengkap.

Tingkat kesadaran dengan GCS

Pupil : dinilai isokor atau anisokor, diameter pupil, reaksi cahaya.

Motorik : dicari apakah ada parese atau tidak

Interpretasi pemeriksaan pupil pada penderita cedera kepala

Ukuran Pupil Reaksi Cahaya Interpretasi

Dilatasi unilateral Lambat atau (-) Paresis N III akibat kompresi

sekunder herniasi tentorial

Dilatasi bilateral Lambat atau (-) Perfusi otak tidak cukup, parese

N III bilateral

Dilatasi unilateral (equal) Reaksi menyilang

(Marcus-Gunn)

Cedera N. Optikus

Konstriksi Bilatral Sulit dilihat Obta atau opiat, enchepalopati

metabolik, lesi pons

Konstriksi unilateral Positif Cedera saraf simpatik

Pada bagian ini dilakukan pemeriksaan neurologis lengkap yaitu GCS jika

belum dilakukan pada primary survey

Page 23: cedera kepala

Dilakukan X-ray foto pada bagian vang terkena trauma dan terlihat ada jejas.

II.6 Penanganan

Penanganan awal cedera kepala pada dasarnya mempunyai tujuan: (1) Memantau sedini

mungkin dan mencegah cedera otak sekunder; (2) Memperbaiki keadaan umum seoptimal

mungkin sehingga dapat membantu penyembuhan sel-sel otak yang sakit.

Penanganan dimulai sejak di tempat kejadian secara cepat, tepat, dan aman. Pendekatan

‘tunggu dulu’ pada penderita cedera kepala sangat berbahaya, karena diagnosis dan

penanganan yang cepat sangatlah penting. Cedera otak sering diperburuk oleh akibat cedera

otak sekunder. Penderita cedera kepala dengan hipotensi mempunyai mortalitas dua kali lebih

banyak daripada tanpa hipotensi. Adanya hipoksia dan hipotensi akan menyebabkan

mortalitas mencapai 75 persen. Oleh karena itu, tindakan awal berupa stabilisasi

kardiopulmoner harus dilaksanakan secepatnya.

Faktor-faktor yang memperjelek prognosis: (1) Terlambat penanganan awal/resusitasi;

(2) Pengangkutan/transport yang tidak adekuat; (3) Dikirim ke RS yang tidak adekuat; (4)

Terlambat dilakukan tindakan bedah; (5) Disertai cedera multipel yang lain.

Penanganan di Tempat Kejadian

Dua puluh persen penderita cedera kepala mati karena kurang perawatan sebelum

sampai di rumah sakit. Penyebab kematian yang tersering adalah syok, hipoksemia, dan

hiperkarbia. Dengan demikian, prinsip penanganan ABC (airway, breathing, dan circulation)

dengan tidak melakukan manipulasi yang berlebihan dapat memberatkan cedera tubuh yang

lain, seperti leher, tulang punggung, dada, dan pelvis.

Umumnya, pada menit-menit pertama penderita mengalami semacam brain shock

selama beberapa detik sampai beberapa menit. Ini ditandai dengan refleks yang sangat lemah,

sangat pucat, napas lambat dan dangkal, nadi lemah, serta otot-otot flaksid bahkan kadang-

kadang pupil midriasis. Keadaan ini sering disalahtafsirkan bahwa penderita sudah mati,

tetapi dalam waktu singkat tampak lagi fungsi-fungsi vitalnya. Saat seperti ini sudah cukup

menyebabkan terjadinya hipoksemia, sehingga perlu segera bantuan pernapasan.

Page 24: cedera kepala

Yang pertama harus dinilai adalah kelancaran jalan napas ( airway). Jika penderita

dapat berbicara maka jalan napas kemungkinan besar dalam keadaan adekuat. Obstruksi jalan

napas sering terjadi pada penderita yang tidak sadar, yang dapat disebabkan oleh benda asing,

muntahan, jatuhnya pangkal lidah, atau akibat fraktur tulang wajah. Usaha untuk

membebaskan jalan napas harus melindungi vertebra servikalis (cervical spine control), yaitu

tidak boleh melakukan ekstensi, fleksi, atau rotasi yang berlebihan dari leher. Dalam hal ini,

kita dapat melakukan chin lift atau jaw thrust sambil merasakan hembusan napas yang keluar

melalui hidung. Bila ada sumbatan maka dapat dihilangkan dengan cara membersihkan

dengan jari atau suction jika tersedia. Untuk menjaga patensi jalan napas selanjutnya

dilakukan pemasangan pipa orofaring. Bila hembusan napas tidak adekuat, perlu bantuan

napas. Bantuan napas dari mulut ke mulut akan sangat bermanfaat (breathing). Apabila

tersedia, O2 dapat diberikan dalam jumlah yang memadai. Pada penderita dengan cedera

kepala berat atau jika penguasaan jalan napas belum dapat memberikan oksigenasi yang

adekuat, bila memungkinkan sebaiknya dilakukan intubasi endotrakheal.

Status sirkulasi dapat dinilai secara cepat dengan memeriksa tingkat kesadaran dan

denyut nadi (circulation). Tindakan lain yang dapat dilakukan adalah mencari ada tidaknya

perdarahan eksternal, menilai warna serta temperatur kulit, dan mengukur tekanan darah.

Denyut nadi perifer yang teratur, penuh, dan lambat biasanya menunjukkan status sirkulasi

yang relatif normovolemik. Pada penderita dengan cedera kepala, tekanan darah sistolik

sebaiknya dipertahankan di atas 100 mmHg untuk mempertahankan perfusi ke otak yang

adekuat. Denyut nadi dapat digunakan secara kasar untuk memperkirakan tekanan sistolik.

Bila denyut arteri radialis dapat teraba maka tekanan sistolik lebih dari 90 mmHg. Bila

denyut arteri femoralis yang dapat teraba maka tekanan sistolik lebih dari 70 mmHg.

Sedangkan bila denyut nadi hanya teraba pada arteri karotis maka tekanan sistolik hanya

berkisar 50 mmHg. Bila ada perdarahan eksterna, segera hentikan dengan penekanan pada

luka. Cairan resusitasi yang dipakai adalah Ringer Laktat atau NaCl 0,9%, sebaiknya dengan

dua jalur intra vena. Pemberian cairan jangan ragu-ragu, karena cedera sekunder akibat

hipotensi lebih berbahaya terhadap cedera otak dibandingkan keadaan edema otak akibat

pemberian cairan yang berlebihan. Posisi tidur yang baik adalah kepala dalam posisi datar,

cegah head down (kepala lebih rendah dari leher) karena dapat menyebabkan bendungan

vena di kepala dan menaikkan tekanan intrakranial.

Page 25: cedera kepala

PEMERIKSAAN PENUNJANG

a. Foto polos kepala

Indikasi foto polos kepala.

Indikasi meliputi jejas lebih dari 5 cm, Luka tembus (tembak/tajam), Adanya corpus

alineum, Deformitas kepala (dariinspeksi dan palpasi), Nyeri kepala yang menetap, Gejala

fokal neurologis, Gangguan kesadaran. Sebagai indikasi foto polos kepala meliputi jangan

mendiagnose foto kepala normal jika foto tersebut tidak memenuhi syarat, Pada kecurigaan

adanya fraktur depresi maka dillakukan foto polos posisi AP/lateraldan oblique.

b. CT-Scan (dengan atau tanpa kontras)

Indikasi CT Scan adalah :

1.  Nyeri kepala menetap atau muntah ± muntah yang tidak menghilang

setelah pemberian obat±obatan analgesia/anti muntah.

2. Adanya kejang ± kejang, jenis kejang fokal lebih bermakna terdapat

lesiintrakranial dicebandingkan dengan kejang general.

3. Penurunan GCS lebih 1 point dimana faktor ± faktor ekstracranial telah

disingkirkan (karena penurunan GCS dapat terjadi karena misal terjadi shock,

febris, dll).

4. Adanya lateralisasi.

5. Adanya fraktur impresi dengan lateralisasi yang tidak sesuai, misal

fraktur depresi temporal kanan tapi terdapat hemiparese/plegi kanan.

6. Luka tembus akibat benda tajam dan peluru

7. Perawatan selama 3 hari tidak ada perubahan yang membaik dari GCS.

8. Bradikardia (Denyut nadi kurang 60 X / menit). mengidentifikasi luasnya lesi,

perdarahan, determinan ventrikuler, dan perubahan jaringan otak. Catatan :

Untuk mengetahui adanya infark / iskemia jangan dilekukan pada 24 - 72 jam

setelah injuri. 

c. MRI : Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif.

d. Cerebral Angiography: Menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti : perubahan

jaringan otak sekunder menjadi udema, perdarahan dan trauma.

e. Serial EEG: Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologisf.

f. X-Ray: Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan

struktur garis(perdarahan/edema), fragmen tulang.

g. BAER: Mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil

Page 26: cedera kepala

h. PET: Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak

i. CSF, Lumbal Punksi :Dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahansubarachnoid.

j. ABGs: Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan(oksigenisasi) jika

terjadi peningkatan tekanan intracranial

k.  Kadar Elektrolit : Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai

akibat peningkatan tekanan intrkranial

l.  Screen Toxicologi: Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga

menyebabkan penurunan kesadaran (Haryo, 2008)

PENANGANAN CEDERA KEPALA RINGAN (GCS 14-15)

Sekitar 80% dari semua pasien cedera kepala dikategorikan sebagai cedera kepala

ringan. Pasien sadar tetapi mungkin mengalami hilang ingatan atas kejadian yang melibatkan

cederanya. Bisa terdapat riwayat singkat terjadinya pingsan namun sulit untuk diketahui.

Gambaran ini sering berhubungan dengan alcohol atau zat intoksikan lainnya.

Kebanyakan pasien dengan cedera kepala ringan sembuh tanpa penanganan berarti.

Tetapi, sekitar 3% mengalami komplikasi yang tidak terduga, mengakibatkan disfungsi

neuroligik berat jika penurunan status mental terlambat dideteksi.

Pemeriksaan CT scan perlu dipertimbangkan pada semua pasien yang mengalami

pingsan lebih dari lima menit, amnesia, nyeri kepala berat, dan GCS<15 atau defisit

neurologic fokal yang berhubungan dengan otak. Foto cervical X-ray perlu dilakukan jika

terdapat nyeri leher atau nyeri saat palpasi.

Pemerikasaan CT scan adalah metode yang lebih disukai. Jika tidak tersedia, skull X-

ray bisa dilakukan terhadap cedera kepala tumpul dan penetrans. Yang harus diperhatikan

pada foto kepala:

1. Fraktur linear atau depressed

2. Posisi midline pineal gland jika ada kalsifikasi

3. Level udara cairan pada sinus

4. Pneumocephals

5. Fraktur fasial

6. Benda asing

Page 27: cedera kepala

Indikasi rawat pasien cedera kepala ringan yaitu :

- Pingsan > 15menit

- Post Traumatic Amnesia > 1Jam

- Pada observasi penurunan kesadaran

- Sakit Kepala >>

- Fraktur

- Otorhoe / Rinorhoe

- Cedera penyerta,

- CT-Scan Abnormal

- Tidak ada keluarga

- Intoksikasi alkohol / Obat-obatan.

Jika pasien asimtomatik, sadar penuh, normal secara neurologis, maka pasien diamati

selama beberapa jam, diperiksa ulang, dan jika masih normal, akan dipulangkan.

Pesan untuk penderita / keluarga, Segera kembali ke Rumah Sakit bila dijumpai hal-hal

sbb :

-Tidur / sulit dibangunkan tiap 2 jam

- Mual dan muntah yang terus memburuk

- Sakit Kepala yang terus memburuk

- Kejang

- Kelemahan tungkai & lengan (hemiparese)

- Bingung / Perubahan tingkah laku /gaduh gelisah

- Pupil anisokor

- Nadi naik / turun (bradikardi)

Page 28: cedera kepala

PENANGANAN CEDERA KEPALA SEDANG (GCS 9-13)

Kira-kira sekitar 10% dari pasien cedera kepala adalah termasuk cedera kepala sedang.

Pasien masih dapat mengikuti perintah sederhana tetapi pasien biasanya bingung dan

somnolen dan mungkin terdapat defisit neurologis fokal seperti hemiparesis. Sekitar 10-20%

dari pasien ini mengalami penurunan kesadaran hingga koma.

Sebelum dilakukan penanganan neurologis, anamnesa singkat dilakukan dan

kardiopulmoner distabilkan terlebih dahulu. CT scan kepala perlu dilakukan dan dokter bedah

saraf dihubungi. Semua pasien ini memerlukan observasi di ruang ICU atau unit serupa yang

memudahkan observasi dan evaluasi neurologis ketat untuk 12 hingga 24 jam pertama. CT

scan untuk follow up dalam 12-24 jam dianjurkan jika hasil CT scan awal abnormal atau jika

terjadi penurunan pada status neurologis pasien.

Page 29: cedera kepala

PENANGANAN CEDERA KEPALA BERAT (GCS 3-8)

Pasien yang mengalami cedera kepala berat tidak mampu untuk mengikuti perintah

sederhana bahkan setelah stabilisasi kardiopulmoner. Pendekatan “wait and see” pada pasien

ini bisa berakibat fatal, maka diangnosis dan penanganan cepat sangatlah penting. Jangan

menunda CT scan.

A. Primary Survey dan Resusitasi

Cedera kepala sering tidak disebabkan oleh cedera sekunder. Hipotensi pada pasien

dengan cedera kepala berat berhubungan dengan tingkat mortalitas yang meningkat dua kali

lipat disbanding pasien tanpa hipotensi (60% vs 27%). Adanya hipoksia ditambah hipotensi

berhubungan dengan tingkat mortalitas yang mencapai 75%. Maka dari itu, stabilisasi

kardiopulmoner pada pasien cedera kepala berat adalah prioritas dan dan harus segera

tercapai.

Transient respiratory arrest dan hipoksia dapat menyebabkan cedera otak sekunder.

Pada pasien koma, intubasi endotrakeal harus dilakukan segera. Pasien diberi oksigen 100%

sampai didapat gas darah, lalu penysuaian tepat terhadap FIO2. Pulse oxymetri adalah

Page 30: cedera kepala

pembantu yang berguna dan diharapkan didapat saturasi O2 > 98%. Hiperventilasi harus

digunakan pada pasien dengan cedera kepala berat secara hati-hati dandipakai hanya saat

terjadi penurunan tingkat neurologic.

Hipotensi biasanya tidak terkait dengan cedera kepala itu sendiri kecuali pada stadium

terminal saat terjadikegagalan vena medular. Perdarahan intrakranila tidak menyebabkan

syok hemoragik. Euvolemia harus segera dilakukan jika pasien hipotensi.

Hipotensi adalah penanda kehilangan banyak darah, walau tidak terlalu jelas. Penyebab

yang harus diperhatikan yaitu cedera spinal cord, kontusio jantung atau tamponade dan

tension pneumothorax.

B. Pemeriksaan Neurologis

Segera setelah status kardiopulmoner pasien stabil, pemeriksaan neurologis yang cepat

dan langsung. Terdiri dari pemeriksaan GCS dan reflex cahaya pupil. Pada pasien koma,

respon motorik dapat dilakukan dengan mencubit otot trapezius atau dengan nail-bed

pressure.

C. Secondary Survey

Pemeriksaan seperti GCS, lateralisasi dan reaksi pupil sebaiknya dilakukan untuk

mendeteksi penurunan neurologik sedini mungkin.

D. Prosedur Diagnostik

8CT scan kepala emergensi harus dilakukan sedini mungkin setelah hemodinamik

stabil. CT scan juga harus diulang bila ada perubahan pada status klinis dan secara rutin 12-

24 jam setelah cedera untuk pasien dengan kontusio atau hematom pada CT scan awal.

Page 31: cedera kepala

PROGNOSA

Apabila penanganan pasien yang mengalami cedera kepala sudah mendapat terapi yang

agresif, terutama pada anak-anak biasanya memiliki daya pemulihanyang baik. Penderita

yang berusia lanjut biasanya mempunyai kemungkinanyang lebih rendah untuk pemulihan

dari cedera kepala.1

Selain itu lokasi terjadinya lesi pada bagian kepala pada saat trauma jugasangat

mempengaruhi kondisi kedepannya bagi penderita

Page 32: cedera kepala

Refferensi

1. American College of Surgeon Committe on Trauma. Cedera kepala.

Dalam:Advanced Trauma Life Support for Doctors. Ikatan Ahli Bedah

Indonesia,penerjemah. Edisi 7. Komisi trauma IKABI; 2004. 168-193.

2. Snell RS. Clinical Anatomy for Medical Student. 6th ed. Sugiharto L,Hartanto H,

Listiawati E, Susilawati, Suyono J, Mahatmi T, dkk, penerjemah.Anatomi Klinik

Untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6. Jakarta: EGC: 2006.

3. Dunn LT, Teasdale GM. Head Injury. Dalam : Oxford Textbook of Surgery.2nd ed.

Volume 3. Oxford Press;2000.

4. Netter FH, Machado CA. Atlas of Human Anatomy. Version 3. Icon

LearningSystem LLC;2003

5. Whittle IR, Myles L. Neurosurgery. Dalam: Prnciples and Practice of Surgery. 4th

ed. Elsevier Churchill Livingstone;2007. 551-61.

6. Smith ML, Grady MS. Neurosurgery. Dalam: Schwarrt’z Principles of Surgery. 8th

ed. McGraw-Hill;2005. 1615-20.

7. Cedera Kepala dalam American College of Surgeon. Advance Trauma Life Support.

1997. USA: First Impression. Halaman 196-235.

8. Hickey JV. Craniocerebral Trauma. Dalam: The Clinical Practice of Neurological

and Neurosurgical Nursing 5th edition. Philadelphia : lippincot William &

Wilkins;2003

9. Green, Mark S. Handbook of neurosurgery, fifth edition.thieme. 2001

10.Ghazali Malueka, 2007, Radiologi Diagnostik, Yogyakarta: Pustaka Cendekia.