cedera kepala
DESCRIPTION
diagnosa trauma kapitis dan terapinya. mekanisme cedera kepalaTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Cedera kepala atau yang disebut dengan trauma kapitis adalah ruda paksa tumpul /
tajam pada kepala atau wajah yang berakibat disfungsicerebral sementara.Merupakan salah
satu penyebab kematian dan kecacatanutama pada kelompok usia produktif, dan sebagian
besar karena kecelakaanlalu lintas. Hal ini diakibatkan karena mobilitas yang tinggi di
kalangan usia produktif sedangkan kesadaran untuk menjaga keselamatan di jalan
masihrendah, disamping penanganan pertama yang belum benar - benar, sertarujukan yang
terlambat.
Di Indonesia kejadian cidera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai 500.000
kasus. Dari jumlah diatas , 10% penderita meninggal sebelum tiba di rumah sakit. Dari pasien
yang sampai di rumah sakit , 80% dikelompokan sebagai cedera kepala ringan, 10 %
termasuk cedera sedangdan 10% sedang, dan 10 % termasuk cedera kepala berat.
Cedera kepala merupakan keadaan yang serius, sehingga diharapkan para dokter
mempunyai pengetahuan praktis untuk melakukan pertolongan pertama pada penderita.
Tindakan pemberian oksigen yang adekuat danmempertahankan tekanan darah yang cukup
untuk perfusi otak danmenghindarkan terjadinya cedera otak sekunder merupakan pokok-
pokok tindakan yang sangat penting untuk keberhasilan kesembuhan penderita.Sebagai
tindakan selanjutnya yang penting setelah primary survey adalahidentifikasi adanya lesi masa
yang memerlukan tindakan pembedahan, dan yang terbaik adalah pemeriksaan dengan CT
Scan kepala.
Pada penderita dengan cedera kepala ringan dan sedang hanya 3% -5% yang
memerlukan tindakan operasi kurang lebih 40% dan sisanya dirawat secara konservatif.
Prognosis pasien cedera kepala akan lebih baik bila penatalaksanaan dilakukan secara tepat
dan cepat.
BAB II
ISI
II.1 Anatomi
a. Kulit Kepala
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut SCALP yaitu; skin atau kulit, connective
tissue atau jaringan penyambung, aponeurosis atau galea aponeurotika, loose conective
tissue atau jaringan penunjang longgar dan pericranium. 1,2
b. Tulang Tengkorak
Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii 3,4. Tulang tengkorak
terdiri dari beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan oksipital.2,5 Kalvaria
khususnya di regio temporal adalah tipis, namun di sini dilapisi oleh otot temporalis. Basis
kranii berbentuk tidak rata sehingga dapat melukai bagian dasar otak saat bergerak akibat
proses akselerasi dan deselerasi. Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu : fosa
anterior tempat lobus
frontalis, fosa media tempat temporalis dan fosa posterior ruang bagi bagian bawah
batang otak dan serebelum.1
C. Meningen
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan yaitu :
1. Duramater
Duramater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan endosteal dan
lapisan meningeal.2 Duramater merupakan selaput yang keras, terdiri atas jaringan ikat fibrisa
yang melekat erat pada permukaan dalam dari kranium. Karena tidak melekat pada selaput
arachnoid di bawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial (ruang subdura) yang terletak
antara duramater dan arachnoid, dimana sering dijumpai perdarahan subdural. Pada cedera
otak, pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak menuju sinus sagitalis
superior di garis tengah atau disebut Bridging Veins, dapat mengalami robekan dan
menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis superior mengalirkan darah vena ke sinus
transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan
perdarahan hebat.1
Arteri meningea terletak antara duramater dan permukaan dalam dari kranium (ruang
epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan laserasi pada arteri-arteri ini
dan menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling sering mengalami cedera adalah arteri
meningea media yang terletak pada fosa temporalis (fosa media).1
2. Selaput Arakhnoid
Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang.Selaput arakhnoid
terletak antara pia mater sebelah dalam dan dura mater sebelah luar yang meliputi otak.
Selaput ini dipisahkan dari dura mater oleh ruang potensial, disebut spatium subdural dan
dari pia mater oleh spatium subarakhnoid yang terisi oleh liquor serebrospinalis.2 Perdarahan
umumnya disebabkan akibat cedera kepala.1
3. Pia mater
Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri.1. Pia mater adarah membrana
vaskular yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri dan masuk kedalam sulci yang
paling dalam. Membrana ini membungkus saraf otak dan menyatu dengan epineuriumnya.
Arteri-arteri yang masuk kedalam substansi otak juga diliputi oleh pia mater.5
D. Otak
Otak merupakan suatu struktur gelatin yang mana berat pada orang dewasa sekitar 14
kg.5 Otak terdiri dari beberapa bagian yaitu; proensefalon (otak depan) terdiri dari serebrum
dan diensefalon, mesensefalon (otak tengah) dan rhombensefalon (otak belakang) terdiri dari
pons, medula oblongata dan serebellum.3
Fisura membagi otak menjadi beberapa lobus.5 Lobus frontal berkaitan dengan fungsi
emosi, fungsi motorik dan pusat ekspresi bicara. Lobus parietal berhubungan dengan fungsi
sensorik dan orientasi ruang. Lobus temporal mengatur fungsi memori tertentu. Lobus
oksipital bertanggung jawab dalam proses penglihatan. Mesensefalon dan pons bagian atas
berisi sistem aktivasi retikular yang berfungsi dalam kesadaran dan kewapadaan. Pada
medula oblongata terdapat pusat kardiorespiratorik. Serebellum bertanggung jawab dalam
fungsi koordinasi dan keseimbangan.1
E. Cairan serebrospinalis
Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus dengan kecepatan
produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari ventrikel lateral melalui foramen monro
menuju ventrikel III, dari akuaduktus sylvius menuju ventrikel IV. CSS akan direabsorbsi ke
dalam sirkulasi vena melalui granulasio arakhnoid yang terdapat pada sinus sagitalis superior.
Adanya darah dalam CSS dapat menyumbat granulasio arakhnoid sehingga mengganggu
penyerapan CSS dan menyebabkan kenaikan takanan intracranial.1 Angka rata-rata pada
kelompok populasi dewasa volume CSS sekitar 150 ml dan dihasilkan sekitar 500 ml CSS
per hari.6
F. Tentorium
Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang supratentorial (terdiri
dari fosa kranii anterior dan fosa kranii media) dan ruang infratentorial (berisi fosa kranii
posterior).1
G. Perdarahan Otak
Otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri vertebralis. Keempat arteri
ini beranastomosis pada permukaan inferior otak dan membentuk sirkulus Willisi. Vena-vena
otak tidak mempunyai jaringan otot didalam dindingnya yang sangat tipis dan tidak
mempunyai katup. Vena tersebut keluar dari otak dan bermuara ke dalam sinus venosus
cranialis.2
II.2. FISIOLOGI
A. Tekanan intracranial (TIK)
Berbagai proses patologis yang mengenai otak dapat mengakibatkan perubahan tekanan
intrakranial yang selanjutnya akan mengganggu fungsi otak yang akhirnya berdampak buruk
terhadap penderita. Tekanan intrakranial yang tinggi dapat menimbulkan gangguan fungsi
otak dan mempengaruhi kesembuhan penderita. Jadi kenaikan tekanan intrakranial (TIK)
tidak hanya merupakan indikasi adanya masalah serius dalam otak, tetapi justru merupakan
masalah utamanya. TIK normal pada saat istirahat kira-kira 10 mmHg (136 mmH2O). TIK
lebih tinggi dari 20 mmHg dianggap tidak normal dan TIK lebih dari 40mmHg termasuk ke
dalam kenaikan TIK berat. Semakin tinggi TIK setelah cedera kepala semakin buruk
prognosisnya. (7)
B. Doktrin Monro-Kellie
Konsep utama doktrin Monro-Kellie adalah bahwa volume intrakranial selalu konstan,
karena rongga kranium pada dasarnya merupakan rongga yang tidak mungkin terekspansi.
TIK yang normal tidak berarti tidak adanya lesi massa intrakranial, karena TIK umumnya
tetap dalam batas normal sampai kondisi penderita mencapai titik dekompensasi dan
memasuki fase ekspansional kurva tekanan-volume.(Gambar 1) (7)
Gambar 1. Kompensasi intracranial terhadap massa yang ekspansi
C. Tekanan Perfusi Otak (TPO)
Tekanan perfusi otak merupakan indikator yang sama penting dengan TIK. TPO
mempunyai formula sebagai berikut:
TPO = MAP – TIK
Maka dari itu, mempertahankan tekanan darah yang adekuat pada penderita cedera
kepala adalah sangat penting, terutama pada keadaan TIK yang tinggi. (1)
TPO kurang dari 70mmHg umunya berkaitan dengan prognosis yang buruk pada
penderita cedera kepala.
D. Aliran Darah ke Otak (ADO)
Aliran darah ke otak normal kira-kira 50 ml/100 gr jaringan otak/menit. Bila ADO
menurun sampai 20-25ml/100 gr/menit, aktivitas EEG akan hilang dan pada ADO 5 ml/100
gr/menit, sel-sel otak mengalami kematian dan terjadi kerusakan menetap. Pada penderita
trauma, fenomena autoregulasi akan mempertahankan ADO pada tingkat konstan apabila
MAP 50-160 mmHg. Bila MAP < 50mmHg ADO menurun curam, dan bila MAP
>160mmHg terjadi dilatasi pasif pembuluh darah otak dan ADO meningkat. Mekanisme
autoregulasi sering mengalami gangguan pada penderita cedera kepala. Akibatnya penderita
tersebut sangat rentan terhadap cedera otak sekunder karena iskemi sebagai akibat hipotensi
yang tiba-tiba. (7)
Bila mekanisme kompensasi tidak bekerja dan terjadi kenaikan eksponensial TIK,
perfusi otak sangat berkurang, terutama pada penderita yang mengalami hipotensi. Maka dari
itu, bila terdapat TTIK, harus dikeluarkan sedini mungkin dan tekanan darah yang adekuat
tetap harus dipertahankan. (7)
Etiologi
Penyebab terbanyak trauma kepala adalah kecelakaan lalu lintas dimana lebih dari
setengah kasus terjadi lebih sering pada daerah perkotaan. Penyebab lainnya adalah jatuh dari
tempat tinggi, korban kekerasan, trauma akibat olahraga, dan trauma penetrasi. Trauma
kepala dua sampai empat kali lebih sering terjadi pada laki-laki dibandingkan pada
perempuan, dan lebih sering terjadi pada umur kurang dari 35 tahun.
II.3 Patofisiologi
Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera primer
dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai akibat langsung
dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan benturan langsung kepala dengan suatu benda keras
maupun oleh proses akselarasi deselarasi gerakan kepala. Dalam mekanisme cedera kepala
dapat terjadi peristiwa coup dan contrecoup. Cedera primer yang diakibatkan oleh adanya
benturan pada tulang tengkorak dan daerah sekitarnya disebut lesi coup. Pada daerah yang
berlawanan dengan tempat benturan akan terjadi lesi yang disebut contrecoup.1 Akselarasi-
deselarasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara mendadak dan kasar saat terjadi
trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi
semisolid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intrakranialnya.
Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam tengkorak
pada tempat yang berlawanan dari benturan (contrecoup).8
Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai proses patologis yang
timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer, berupa perdarahan, edema otak,
kerusakan neuron berkelanjutan, iskemia, peningkatan tekanan intrakranial dan perubahan
neurokimiawi.8
Fraktur tengkorak
Fraktur tengkorak dapat terjadi pada kalvaria atau basis. Pada fraktur kalvaria
ditentukan apakah terbuka atau tertutup, linear atau stelata, depressed atau non depressed.
Fraktur tengkorak basal sulit tampak pada foto sinar-x polos dan biasanya perlu CT scan
dengan setelan jendela-tulang untuk memperlihatkan lokasinya. Sebagai pegangan umum,
depressed fragmen lebih dari ketebalan tengkorak (> 1 tabula) memerlukan operasi elevasi.
Fraktura tengkorak terbuka atau compound berakibat hubungan langsung antara laserasi scalp
dan permukaan serebral karena duranya robek, dan fraktura ini memerlukan operasi
perbaikan segera.
Frekuensi fraktura tengkorak bervariasi, lebih banyak fraktura ditemukan bila
penelitian dilakukan pada populasi yang lebih banyak mempunyai cedera berat. Fraktura
kalvaria linear mempertinggi risiko hematoma intrakranial sebesar 400 kali pada pasien yang
sadar dan 20 kali pada pasien yang tidak sadar. Fraktura kalvaria linear mempertinggi risiko
hematoma intrakranial sebesar 400 kali pada pasien yang sadar dan 20 kali pada pasien yang
tidak sadar. Untuk alasan ini, adanya fraktura tengkorak mengharuskan pasien untuk dirawat
dirumah sakit untuk pengamatan, tidak peduli bagaimana baiknya tampak pasien tersebut.
Lesi Intrakranial
Lesi intrakranial dapat diklasifikasikan sebagai fokal atau difusa, walau kedua bentuk
cedera ini sering terjadi bersamaan. Lesi fokal termasuk hematoma epidural, hematoma
subdural, dan kontusi (atau hematoma intraserebral). Pasien pada kelompok cedera otak
difusa, secara umum, menunjukkan CT scan normal namun menunjukkan perubahan
sensorium atau bahkan koma dalam. Basis selular cedera otak difusa menjadi lebih jelas pada
tahun-tahun terakhir ini.
Hematoma Epidural
Epidural hematom (EDH) adalah perdarahan yang terbentuk di ruang potensial antara
tabula interna dan duramater. Paling sering terletak diregio temporal atau temporalparietal
dan sering akibat robeknya pembuluh meningeal media. Perdarahan biasanya dianggap
berasal arterial, namun mungkin sekunder dari perdarahan vena pada sepertiga kasus.
Kadang-kadang, hematoma epidural mungkin akibat robeknya sinus vena, terutama diregio
parietal-oksipital atau fossa posterior. Walau hematoma epidural relatif tidak terlalu sering
(0.5% dari keseluruhan atau 9% dari pasien koma cedera kepala), harus selalu diingat saat
menegakkan diagnosis dan ditindak segera. Bila ditindak segera, prognosis biasanya baik
karena cedera otak disekitarnya biasanya masih terbatas. Outcome langsung bergantung pada
status pasien sebelum operasi. Mortalitas dari hematoma epidural sekitar 0% pada pasien
tidak koma, 9% pada pasien obtundan, dan 20% pada pasien koma dalam.8
Gejala dan tanda EDH9 :
Hilangnya kesadaran posttraumatik / posttraumatic loss of consciousness (LOC)
secara singkat.
Terjadi “ lucid interval” untuk beberapa jam.
Keadaan mental yang kaku (obtundation), hemiparesis kontralateral, dilatasi pupil
ipsilateral.
Gejala yang sangat menonjol ialah kesadaran menurun secara progresif. Pasien dengan
kondisi seperti ini seringkali tampak memar di sekitar mata dan di belakang telinga. Sering
juga tampak cairan yang keluar pada saluran hidung atau telinga. Pasien seperti ini harus di
observasi dengan teliti. Setiap orang memiliki kumpulan gejala yang bermacam-macam
akibat dari cedera kepala. Banyak gejala yang muncul bersaman pada saat terjadi cedera
kepala. Gejala yang sering tampak : penurunan kesadaran, bisa sampai koma,Bingung,
Penglihatan kabur , Susah bicara, Nyeri kepala yang hebat, Keluar cairan darah dari hidung
atau telinga, Nampak luka yang adalam atau goresan pada kulit kepala., Mual, Pusing,
Berkeringat,pucat, Pupil anisokor, yaitu pupil ipsilateral menjadi melebar.Pada tahap
kesadaran sebelum stupor atau koma, bisa dijumpai hemiparese atau serangan epilepsi fokal.
Pada perjalannya, pelebaran pupil akan mencapai maksimal dan reaksi cahaya pada
permulaan masih positif menjadi negatif. Inilah tanda sudah terjadi herniasi tentorial. Terjadi
pula kenaikan tekanan darah dan bradikardi. Pada tahap akhir, kesadaran menurun sampai
koma dalam, pupil kontralateral juga mengalami pelebaran sampai akhirnya kedua pupil tidak
menunjukkan reaksi cahaya lagi yang merupakan tanda kematian.
Gejala-gejala respirasi yang bisa timbul berikutnya, mencerminkan adanya disfungsi
rostrocaudal batang otak. Jika Epidural hematom di sertai dengan cedera otak seperti memar
otak, interval bebas tidak akan terlihat, sedangkan gejala dan tanda lainnya menjadi kabur.
Dengan pemeriksaan CT Scan akan tampak area hiperdens yang tidak selalu homogeny,
bentuknya biconvex sampai planoconvex, melekat pada tabula interna dan mendesak
ventrikel ke sisi kontralateral (tanda space occupying lesion). Batas dengan corteks licin,
densitas duramater biasanya jelas, bila meragukan dapat diberikan injeksi media kontras
secara intravena sehingga tampak lebih jelas.10
Hematoma Subdural
Hematoma subdural (SDH) adalah perdarahan yang terjadi di antara duramater dan
arakhnoid. SDH lebih sering terjadi dibandingkan EDH, ditemukan sekitar 30% penderita
dengan cedera kepala berat. Terjadi paling sering akibat robeknya vena bridging antara
korteks serebral dan sinus draining. Namun ia juga dapat berkaitan dengan laserasi
permukaan atau substansi otak. Fraktura tengkorak mungkin ada atau tidak. Selain itu,
kerusakan otak yang mendasari hematoma subdural akuta biasanya sangat lebih berat dan
prognosisnya lebih buruk dari hematoma epidural. Mortalitas umumnya 60%, namun
mungkin diperkecil oleh tindakan operasi yang sangat segera dan pengelolaan medis agresif.
Gejala Klinis
1. Subdural Akut Hematoma
Subdural akut hematoma menimbulkan gejala neurologik dalam 24 sampai 48 jam
setelah cedera. Dan berkaitan erat dengan trauma otak berat. Gangguan neurologik progresif
disebabkan oleh tekanan pada jaringan otak dan herniasi batang otak dalam foramen
magnum, yang selanjutnya menimbulkan tekanan pada batang otak. Keadan ini dengan cepat
menimbulkan berhentinya pernapasan dan hilangnya kontrol atas denyut nadi dan tekanan
darah.
2. Subdural Subakut Hematoma
Hematoma ini menyebabkan defisit neurologik dalam waktu lebih dari 48 jam tetapi
kurang dari 2 minggu setelah cedera. Seperti pada hematoma subdural akut, hematoma ini
juga disebabkan oleh perdarahan vena dalam ruangan subdural. Anamnesis klinis dari
penderita hematoma ini adalah adanya trauma kepalayang menyebabkan ketidaksadaran,
selanjutnya diikuti perbaikan status neurologik yang perlahan-lahan. Namun jangka waktu
tertentu penderita memperlihatkan tanda-tanda status neurologik yang memburuk. Tingkat
kesadaran mulai menurun perlahan-lahan dalam beberapa jam. Dengan meningkatnya
tekanan intrakranial seiring pembesaran hematoma, penderita mengalami kesulitan untuk
tetap sadar dan tidak memberikan respon terhadap rangsangan bicara maupun nyeri.
Pergeseran isi intracranial dan peningkatan intracranial yang disebabkan oleh akumulasi
darah akan menimbulkan hernia siunkus atau sentral dan melengkapi tanda-tanda neurologik
dari kompresi batang otak.
3. Subdural Kronik Hematoma
Timbulnya gejala pada umumnya tertunda beberapa minggu, bulan dan
bahkan beberapa tahun setelah cedera pertama. Trauma pertama merobek salah satu vena
yang melewati ruangan subdural. Terjadi perdarahan secara lambat dalam ruangan subdural.
Dalam 7 sampai 10 hari setelah perdarahan terjadi, darah dikelilingi oleh membrane fibrosa.
Dengan adanya selisih tekanan osmotic yang mampu menarik cairan ke dalam hematoma,
terjadi kerusakan sel-sel darah dalam hematoma. Penambahan ukuran hematoma ini yang
menyebabkan perdarahan lebih lanjutdengan merobek membran atau pembuluh darah di
sekelilingnya, menambah ukuran dan tekanan hematoma. Subdural Hematoma yang
bertambah luas secara perlahan paling sering terjadi pada usia lanjut (karena venanya rapuh)
dan pada alkoholik. Pada kedua keadaanini, cedera tampaknya ringan; selama beberapa
minggu gejalanya tidak dihiraukan. Hasil pemeriksaan CT scan dan MRI bisa menunjukkan
adanya genangan darah. Subdural Hematoma pada bayi bisa menyebabkan kepala bertambah
besar karena tulang tengkoraknya masih lembut dan lunak. Subdural Hematoma yang kecil
pada dewasa seringkali diserap secara spontan. Hematoma subdural yang besar, yang
menyebabkan gejala-gejala neurologis biasanya dikeluarkan melalui pembedahan.
Kontusi dan hematoma intraserebral.
Kontusi serebral sejati terjadi cukup sering. Selanjutnya, kontusi otak hampir selalu
berkaitan dengan hematoma subdural. Majoritas terbesar kontusi terjadi dilobus frontal dan
temporal, walau dapat terjadi pada setiap tempat termasuk serebelum dan batang otak.
Perbedaan antara kontusi dan hematoma intraserebral traumatika tidak jelas batasannya.
Bagaimanapun, terdapat zona peralihan, dan kontusi dapat secara lambat menjadi hematoma
intraserebral dalam beberapa hari.
Gejala dan tanda :
1.Sakit kepala mendadak yang eksplosif
2. Fotofobia
3.Mual dan muntah
4.Hilang kesadaran
5.Kejang-kejang
6.Gangguan respiratori
7.Shock
II.4. Klasifikasi
Cedera kepala diklasifikasikan secara praktis dikenal tiga deskripsi klasifikasi yaitu
berdasarkan:
4.1. Mekanisme
Cedera kepala tumpul, biasanya berkaitan dengan kecelakaan mobil-motor, jatuh,
atau pukulan benda tumpul.
Cedera kepala tembus, disebabkan oleh peluru atau tusukan. Adanya penetrasi
selaput dura menentukan cedera apakah cedera tembus atau tumpul.
4.2. Beratnya cedera
GCS digunakan secara umum dalam deskripsi beratnya cedera penderita kepala.
Penderita dengan GCS 14-15 diklasifikasikan ke dalam cedera kepala ringan, GCS 9-13
termasuk cedera kepala sedang, dan GCS 3-8 termasuk cedera kepala berat. (1)
Glasgow Coma Scale Nilai
Respon membuka mata (E)
Buka mata spontan
Buka mata bila dipanggil/rangsangan suara
Buka mata bila dirangsang nyeri
Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun
4
3
2
1
Respon verbal (V)
Komunikasi verbal baik, jawaban tepat
Bingung, disorientasi waktu, tempat, dan orang
5
4
Kata-kata tidak teratur
Suara tidak jelas
Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun
3
2
1
Respon motorik (M)
Mengikuti perintah
Dengan rangsangan nyeri, dapat mengetahui tempat
rangsangan
Dengan rangsangan nyeri, menarik anggota badan
Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi fleksi abnormal
Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi ekstensi abnormal
Dengan rangsangan nyeri, tidak ada reaksi
6
5
4
3
2
1
4.3 Morfologi
Cedera Kepala Primer
Cedera kepala primer dibagi dalam lima kategori:
a. Kerusakan kulit kepala
Kerusakan kulit kepala dapat dimulai dari kontusi jaringan yang kecil sampai dengan
avulsi total dari lapisan kulit kepala. Karena kulit kepala kaya akan pembuluh darah, maka
laserasi yang besar dapat menyebabkan kehilangan darah yang banyak dan dapat
menyebabkan syok.
b. Fraktur tulang kepala
Fraktur tulang kepala merupakan hasil dari trauma tumpul atau penetrasi. Fraktur
tulang kepala dapat dikategorikan menjadi fraktur linier dan fraktur depressed. Fraktur linier
dapat terjadi pada kubah kranium atau basis kranium, tergantung pada beban energi yang
terjadi dengan arah jarak deselerasi, dan bentuk objek yang membentur kepala.
c. Fraktur linier pada kubah kranium
Fraktur linier terjadi secara sekunder terhadap kekuatan yang besar pada permukaan
yang lebar, merupakan cedera benturan yang disebabkan oleh perubahan bentuk kepala dari
sisi benturan. Faktor-faktor yang mempengaruhi adalah kejadian, sisi, arah dan tingkat
fraktur.
d. Fraktur basis kranii
Fraktur basis kranii terjadi pada 19-21% dari semua fraktur tulang kepala dan 4% dari
seluruh cedera kepala. Fraktur basis kranii sering merupakan ekstensi dari fraktur kubah
kranium, dapat juga timbul dari aliran beban pada benturan langsung pada basis kranii.
Tempat-tempat yang relatif lemah pada basis kranii adalah sinus sfenoid, foramen
magnum, hubungan temporal dengan petrosum, sfenoid ring bagian dalam. Tempat-tempat
ini mudah terjadi fraktur. Gambaran fraktur tergantung dari kekuatan tenaga,struktur tulang
dan foramen pada basis kranii. Fraktur basis kranii dengan robek dura sangat mudah terjadi
infeksi atau dapat juga terjadi fistula pada duramater yang ditandati dengan bocornya LCS
berupa rinorre dan ottorea.
Fraktur basis kranii juga berhubungan dengan cedera saraf otak dan pembuluh darah,
karena dapat terjadi terpotongnya saraf otak atau pembuluh darah oleh fragmen fraktur atau
strangulasi.
e. Fraktur depressed
Fraktur depressed biasanya merupakan dari gaya yang terlokalisir pada satu tempat di
kepala. Ketika gaya tersebut cukup besar, atau terkonsentrasi pada daerah sempit, tulang
terdesak ke bawah, sehingga menghasilkan fraktur depressed. Keadaaan tersebut tergantung
dari besarnya benturan dan kelenturan tulang kepala.
II.5. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
1. Anamnesis
I. Identifikasi pasien (nama, umur, jenis kelamin, pekerjaan)
II. Keluhan utama, dapat berupa :
Penurunan kesadaran
Nyeri kepala
III.Anamnesis tambahan :
Kapan terjadinya ( untuk: mengetahui onset)
Bagaimana mekanisme terjadinya trauma, bagian tubuh yang terkena dan
tingkat keparahannya ?
Apakah ada pingsan ?
Apakah pernah sadar setelah pingsan ?
Apakah ada nyeri kepala, kejang, mual dan muntah ?
Apakah ada perdarahan dari telinga, hidung dan mulut ?
Riwayat AMPLE : Allergy, Medication (sebelumnya), Past Illness (penyakit
penyerta), Last Meal, Event/Environment yang berhubungan dengan kejadian
trauma
Komplikasi / Penyulit
1. Memakai helm atau tidak (untuk kasus KLL)
2. Pingsan atau tidak (untuk mengetahui apakah terjadi Lucid interval)
3. Ada sesak nafas, batuk-batuk
4. Muntah atau tidak
5. Keluar darah dari telinga, hidung atau mulut
6. Adanya kejang atau tidak
7. Adanya trauma lain selain trauma kepala (trauma penyerta)
8. Adanya konsumsi alkohol atau obat terlarang lainnya
9.Adanya riwayat penyakit sebelumnya (Hipertensi, DM)
Pertolongan pertama (apakah sebelum masuk rumah sakit penderita sudah mendapat
penanganan). Penanganan di tempat kejadian penting untuk menentukan penatalaksanaan dan
prognosis selanjutnya.
2 Pemeriksaan Fisik
1. Primary Survey
A. Airway, dengan kontrol servikal:
Yang pertama harus dinilai adalah jalan nafas, meliputi pemeriksaan adanya obstruksi
jalan nafas yang dapat disebabkan benda asing, fraktur tulang wajah, fraktur mandibula atau
maksila, fraktur laring atau trakea.
Bila penderita dapat berbicara atau terlihat dapat berbicara – jalan nafas bebas.
Bila penderita terdengar mengeluarkan suara seperti tersedak atau berkumur -
ada obstruksi parsial.
Bila penderita terlihat tidak dapat bernafas - obstruksi total.
- Jika penderita mengalami penurunan kesadaran atau GCS < 8 keadaan
tersebut definitif memerlukan pemasangan selang udara.
- Selama pemeriksaan jalan nafas, tidak boleh dilakukan ekstensi, fleksi
atau rotasi pada leher.
- Dalam keadaan curiga adanya fraktur servikal atau penderita datang
dengan multiple trauma, maka harus dipasangkan alat immobilisasi pada
leher, sampai kemungkinan adanya fraktur servikal dapat disingkirkan.
B. Breathing, dengan ventilasi yang adekuat
Pertukaran gas yang terjadi saat bernafas mutlak untuk pertukaran oksigen dan
mengeluarkan karbondioksida dari tubuh. Ventilasi yang baik meliputi fungsi
yang baik dari paru, dinding dada, dan diafragma.
Pada inspeksi, baju harus dibuka untuk melihat ekspansi pernafasan dan jumlah
pernafasan per menit, apakah bentuk dan gerak dada sama kiri dan kanan.
Perkusi dilakukan untuk mengetahui adanya udara atau darah dalam rongga
pleura.
Auskultasi dilakukan untuk memastikan masuknva udara ke dalam paru-paru.
Keterangan tambahan :
1. Gejala tension pneumothoraks :
Nyeri dada dan sesak nafas yang progresif, distress pernafasan. takikardi, hipotensi,
deviasi trakea ke arah yang sehat, hilang suara nafas pada satu sisi, dan distensi vena leher,
hipersonor, sianosis (manifestasi lanjut).
2. Gejala Flail Chest :
Gerak thorax asimetris (tidak terkoordinasi), palpasi gerakan pernafasan abnormal, dan
krepitasi iga atau fraktur tulang rawan.
3. Gejala Open pneumothorax:
Hipoksia dan hiperkapnia
4. Gejala hematothorax:
Nyeri dan sesak nafas
Pada inspeksi mungkin gerak nafas tertinggal atau pucat karena perdarahan.
Fremikus sisi yang terkena lebih keras dari sisi yang lain.
Pada perkusi, didapatkan pekak dengan batas dan bunyi nafas tidak terdengar
atau menghilang.
C. Circulation, dengan kontrol perdarahan
a. Volume darah
Suatu keadaan hipotensi harus dianggap hipovolemik sampai terbukti sebaliknya.
Jika volume turun, maka perfusi ke otak dapat berkurang sehingga dapat
mengakibatkan penurunan kesadaran.
Penderita trauma yang kulitnya kemerahan terutama pada wajah dan ekstremitas,
jarang dalarn keadaan hipovolemik. Wajah pucat keabu-abuan dan ekstremitas yang
dingin merupakan tanda hipovolemik.
Nadi
o Periksa kekuatan, kecepatan, dan irama
o Nadi yang tidak cepat, kuat, dan teratur : normovolemia
o Nadi yang cepat, kecil : hipovolemik
o Kecepatan nadi yang normal bukan jaminan normovolemia
o Tidak ditemukannya pulsasi dari arteri besar, merupakan tanda
diperlukan resusitasi segera.
b. Perdarahan
Perdarahan eksternal harus dikelola pada primary survey dengan cara penekanan pada
luka
D. Disability
Evaluasi terhadap keadaan neurologis secara cepat. Yang dinilai adalah tingkat
kesadaran, ukuran pupil dan reaksi pupil terhadap cahaya dan adanya parese.
Suatu cara sederhana menilai tingkat kesadaran dengan AVPU
A : sadar (Alert)
V : respon terhadap suara (Verbal)
P : respon terhadap nyeri (Pain)
U : tidak berespon (Unresponsive)
Glasgow Coma Scale adalah sistem skoring sederhana dan dapat memperkirakan
keadaan penderita selanjutnya. Jika belum dapat dilakukan pada primary survey, GCS dapat
diiakukan pada secondary survey.
Menilai tingkat keparahan cedera kepala melalui GCS :
A. Cedera kepala ringan (kelompok risiko rendah)
o Skor GCS 15 (sadar penuh, atentif; orientatif)
o Tidak ada kehilangan kesadaran (misalnya : konklusi)
o Tidak ada intoksikasi alkohol atau obat terlarang
o Pasien dapat tnengeluh nyeri kepala dan pusing
o Pasien dapat menderita abrasi, Iaserasi, atau hematoma kulit kepala
o Tidak ada kriteria cedera sedang-berat.
B. Cedera kepala sedang, (kelompok risiko sedang)
o Skor GCS 9-14 (konfusi, letargi, atau stupor)
o Konklusi
o Muntah
o Tanda kemungkinan fraktur kranium (tanda Battle, mata rabun, hemotimpanum,
otorea atau rinorea cairan serebro spinal)
o Kejang.
C. Cedara kepala berat (kelompok risiko berat)
o Skor GCS 3-8 (koma)
o Penurunan derajat kesadaran secara progresif
o Tanda neurologis fokal
o Cedera kepata penetrasi atau teraba fraktur depresi kranium
Penurunan kesadaran dapat terjadi karena berkurangnya perfusi ke otak atau trauma
langsung ke otak. Alkohol dan obat-obatan dapat mengganggu tingkat kesadaran penderita.
Jika hipoksia dan hipovolemia sudah disingkirkan, maka trauma kepala dapat dianggap
sebagai penyebab penurunan kesadaran, bukan alkohol sampai terbukti sebaliknya.
E. Exposure
• Penderita trauma yang datang harus dibuka pakaiannya dan dilakukan evaluasi
terhadap jejas dan luka.
2. Secondary Survey
Pemeriksaan dari kepala sampai kaki (head to toe, examination), termasuk reevaluasi
tanda vital.Cari adanya tanda-tanda:
Racoon eyes sign (echimosis periorbital)
Battle’s Sign (echimosis retroaorikuler)
Rhinorrhea , Otorhea (tanda kebocoran LCS)
Segera setelah status kardiovaskular penderita stabil, dilakukan pemeriksaan
naeurologis lengkap.
Tingkat kesadaran dengan GCS
Pupil : dinilai isokor atau anisokor, diameter pupil, reaksi cahaya.
Motorik : dicari apakah ada parese atau tidak
Interpretasi pemeriksaan pupil pada penderita cedera kepala
Ukuran Pupil Reaksi Cahaya Interpretasi
Dilatasi unilateral Lambat atau (-) Paresis N III akibat kompresi
sekunder herniasi tentorial
Dilatasi bilateral Lambat atau (-) Perfusi otak tidak cukup, parese
N III bilateral
Dilatasi unilateral (equal) Reaksi menyilang
(Marcus-Gunn)
Cedera N. Optikus
Konstriksi Bilatral Sulit dilihat Obta atau opiat, enchepalopati
metabolik, lesi pons
Konstriksi unilateral Positif Cedera saraf simpatik
Pada bagian ini dilakukan pemeriksaan neurologis lengkap yaitu GCS jika
belum dilakukan pada primary survey
Dilakukan X-ray foto pada bagian vang terkena trauma dan terlihat ada jejas.
II.6 Penanganan
Penanganan awal cedera kepala pada dasarnya mempunyai tujuan: (1) Memantau sedini
mungkin dan mencegah cedera otak sekunder; (2) Memperbaiki keadaan umum seoptimal
mungkin sehingga dapat membantu penyembuhan sel-sel otak yang sakit.
Penanganan dimulai sejak di tempat kejadian secara cepat, tepat, dan aman. Pendekatan
‘tunggu dulu’ pada penderita cedera kepala sangat berbahaya, karena diagnosis dan
penanganan yang cepat sangatlah penting. Cedera otak sering diperburuk oleh akibat cedera
otak sekunder. Penderita cedera kepala dengan hipotensi mempunyai mortalitas dua kali lebih
banyak daripada tanpa hipotensi. Adanya hipoksia dan hipotensi akan menyebabkan
mortalitas mencapai 75 persen. Oleh karena itu, tindakan awal berupa stabilisasi
kardiopulmoner harus dilaksanakan secepatnya.
Faktor-faktor yang memperjelek prognosis: (1) Terlambat penanganan awal/resusitasi;
(2) Pengangkutan/transport yang tidak adekuat; (3) Dikirim ke RS yang tidak adekuat; (4)
Terlambat dilakukan tindakan bedah; (5) Disertai cedera multipel yang lain.
Penanganan di Tempat Kejadian
Dua puluh persen penderita cedera kepala mati karena kurang perawatan sebelum
sampai di rumah sakit. Penyebab kematian yang tersering adalah syok, hipoksemia, dan
hiperkarbia. Dengan demikian, prinsip penanganan ABC (airway, breathing, dan circulation)
dengan tidak melakukan manipulasi yang berlebihan dapat memberatkan cedera tubuh yang
lain, seperti leher, tulang punggung, dada, dan pelvis.
Umumnya, pada menit-menit pertama penderita mengalami semacam brain shock
selama beberapa detik sampai beberapa menit. Ini ditandai dengan refleks yang sangat lemah,
sangat pucat, napas lambat dan dangkal, nadi lemah, serta otot-otot flaksid bahkan kadang-
kadang pupil midriasis. Keadaan ini sering disalahtafsirkan bahwa penderita sudah mati,
tetapi dalam waktu singkat tampak lagi fungsi-fungsi vitalnya. Saat seperti ini sudah cukup
menyebabkan terjadinya hipoksemia, sehingga perlu segera bantuan pernapasan.
Yang pertama harus dinilai adalah kelancaran jalan napas ( airway). Jika penderita
dapat berbicara maka jalan napas kemungkinan besar dalam keadaan adekuat. Obstruksi jalan
napas sering terjadi pada penderita yang tidak sadar, yang dapat disebabkan oleh benda asing,
muntahan, jatuhnya pangkal lidah, atau akibat fraktur tulang wajah. Usaha untuk
membebaskan jalan napas harus melindungi vertebra servikalis (cervical spine control), yaitu
tidak boleh melakukan ekstensi, fleksi, atau rotasi yang berlebihan dari leher. Dalam hal ini,
kita dapat melakukan chin lift atau jaw thrust sambil merasakan hembusan napas yang keluar
melalui hidung. Bila ada sumbatan maka dapat dihilangkan dengan cara membersihkan
dengan jari atau suction jika tersedia. Untuk menjaga patensi jalan napas selanjutnya
dilakukan pemasangan pipa orofaring. Bila hembusan napas tidak adekuat, perlu bantuan
napas. Bantuan napas dari mulut ke mulut akan sangat bermanfaat (breathing). Apabila
tersedia, O2 dapat diberikan dalam jumlah yang memadai. Pada penderita dengan cedera
kepala berat atau jika penguasaan jalan napas belum dapat memberikan oksigenasi yang
adekuat, bila memungkinkan sebaiknya dilakukan intubasi endotrakheal.
Status sirkulasi dapat dinilai secara cepat dengan memeriksa tingkat kesadaran dan
denyut nadi (circulation). Tindakan lain yang dapat dilakukan adalah mencari ada tidaknya
perdarahan eksternal, menilai warna serta temperatur kulit, dan mengukur tekanan darah.
Denyut nadi perifer yang teratur, penuh, dan lambat biasanya menunjukkan status sirkulasi
yang relatif normovolemik. Pada penderita dengan cedera kepala, tekanan darah sistolik
sebaiknya dipertahankan di atas 100 mmHg untuk mempertahankan perfusi ke otak yang
adekuat. Denyut nadi dapat digunakan secara kasar untuk memperkirakan tekanan sistolik.
Bila denyut arteri radialis dapat teraba maka tekanan sistolik lebih dari 90 mmHg. Bila
denyut arteri femoralis yang dapat teraba maka tekanan sistolik lebih dari 70 mmHg.
Sedangkan bila denyut nadi hanya teraba pada arteri karotis maka tekanan sistolik hanya
berkisar 50 mmHg. Bila ada perdarahan eksterna, segera hentikan dengan penekanan pada
luka. Cairan resusitasi yang dipakai adalah Ringer Laktat atau NaCl 0,9%, sebaiknya dengan
dua jalur intra vena. Pemberian cairan jangan ragu-ragu, karena cedera sekunder akibat
hipotensi lebih berbahaya terhadap cedera otak dibandingkan keadaan edema otak akibat
pemberian cairan yang berlebihan. Posisi tidur yang baik adalah kepala dalam posisi datar,
cegah head down (kepala lebih rendah dari leher) karena dapat menyebabkan bendungan
vena di kepala dan menaikkan tekanan intrakranial.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Foto polos kepala
Indikasi foto polos kepala.
Indikasi meliputi jejas lebih dari 5 cm, Luka tembus (tembak/tajam), Adanya corpus
alineum, Deformitas kepala (dariinspeksi dan palpasi), Nyeri kepala yang menetap, Gejala
fokal neurologis, Gangguan kesadaran. Sebagai indikasi foto polos kepala meliputi jangan
mendiagnose foto kepala normal jika foto tersebut tidak memenuhi syarat, Pada kecurigaan
adanya fraktur depresi maka dillakukan foto polos posisi AP/lateraldan oblique.
b. CT-Scan (dengan atau tanpa kontras)
Indikasi CT Scan adalah :
1. Nyeri kepala menetap atau muntah ± muntah yang tidak menghilang
setelah pemberian obat±obatan analgesia/anti muntah.
2. Adanya kejang ± kejang, jenis kejang fokal lebih bermakna terdapat
lesiintrakranial dicebandingkan dengan kejang general.
3. Penurunan GCS lebih 1 point dimana faktor ± faktor ekstracranial telah
disingkirkan (karena penurunan GCS dapat terjadi karena misal terjadi shock,
febris, dll).
4. Adanya lateralisasi.
5. Adanya fraktur impresi dengan lateralisasi yang tidak sesuai, misal
fraktur depresi temporal kanan tapi terdapat hemiparese/plegi kanan.
6. Luka tembus akibat benda tajam dan peluru
7. Perawatan selama 3 hari tidak ada perubahan yang membaik dari GCS.
8. Bradikardia (Denyut nadi kurang 60 X / menit). mengidentifikasi luasnya lesi,
perdarahan, determinan ventrikuler, dan perubahan jaringan otak. Catatan :
Untuk mengetahui adanya infark / iskemia jangan dilekukan pada 24 - 72 jam
setelah injuri.
c. MRI : Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif.
d. Cerebral Angiography: Menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti : perubahan
jaringan otak sekunder menjadi udema, perdarahan dan trauma.
e. Serial EEG: Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologisf.
f. X-Ray: Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan
struktur garis(perdarahan/edema), fragmen tulang.
g. BAER: Mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil
h. PET: Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak
i. CSF, Lumbal Punksi :Dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahansubarachnoid.
j. ABGs: Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan(oksigenisasi) jika
terjadi peningkatan tekanan intracranial
k. Kadar Elektrolit : Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai
akibat peningkatan tekanan intrkranial
l. Screen Toxicologi: Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga
menyebabkan penurunan kesadaran (Haryo, 2008)
PENANGANAN CEDERA KEPALA RINGAN (GCS 14-15)
Sekitar 80% dari semua pasien cedera kepala dikategorikan sebagai cedera kepala
ringan. Pasien sadar tetapi mungkin mengalami hilang ingatan atas kejadian yang melibatkan
cederanya. Bisa terdapat riwayat singkat terjadinya pingsan namun sulit untuk diketahui.
Gambaran ini sering berhubungan dengan alcohol atau zat intoksikan lainnya.
Kebanyakan pasien dengan cedera kepala ringan sembuh tanpa penanganan berarti.
Tetapi, sekitar 3% mengalami komplikasi yang tidak terduga, mengakibatkan disfungsi
neuroligik berat jika penurunan status mental terlambat dideteksi.
Pemeriksaan CT scan perlu dipertimbangkan pada semua pasien yang mengalami
pingsan lebih dari lima menit, amnesia, nyeri kepala berat, dan GCS<15 atau defisit
neurologic fokal yang berhubungan dengan otak. Foto cervical X-ray perlu dilakukan jika
terdapat nyeri leher atau nyeri saat palpasi.
Pemerikasaan CT scan adalah metode yang lebih disukai. Jika tidak tersedia, skull X-
ray bisa dilakukan terhadap cedera kepala tumpul dan penetrans. Yang harus diperhatikan
pada foto kepala:
1. Fraktur linear atau depressed
2. Posisi midline pineal gland jika ada kalsifikasi
3. Level udara cairan pada sinus
4. Pneumocephals
5. Fraktur fasial
6. Benda asing
Indikasi rawat pasien cedera kepala ringan yaitu :
- Pingsan > 15menit
- Post Traumatic Amnesia > 1Jam
- Pada observasi penurunan kesadaran
- Sakit Kepala >>
- Fraktur
- Otorhoe / Rinorhoe
- Cedera penyerta,
- CT-Scan Abnormal
- Tidak ada keluarga
- Intoksikasi alkohol / Obat-obatan.
Jika pasien asimtomatik, sadar penuh, normal secara neurologis, maka pasien diamati
selama beberapa jam, diperiksa ulang, dan jika masih normal, akan dipulangkan.
Pesan untuk penderita / keluarga, Segera kembali ke Rumah Sakit bila dijumpai hal-hal
sbb :
-Tidur / sulit dibangunkan tiap 2 jam
- Mual dan muntah yang terus memburuk
- Sakit Kepala yang terus memburuk
- Kejang
- Kelemahan tungkai & lengan (hemiparese)
- Bingung / Perubahan tingkah laku /gaduh gelisah
- Pupil anisokor
- Nadi naik / turun (bradikardi)
PENANGANAN CEDERA KEPALA SEDANG (GCS 9-13)
Kira-kira sekitar 10% dari pasien cedera kepala adalah termasuk cedera kepala sedang.
Pasien masih dapat mengikuti perintah sederhana tetapi pasien biasanya bingung dan
somnolen dan mungkin terdapat defisit neurologis fokal seperti hemiparesis. Sekitar 10-20%
dari pasien ini mengalami penurunan kesadaran hingga koma.
Sebelum dilakukan penanganan neurologis, anamnesa singkat dilakukan dan
kardiopulmoner distabilkan terlebih dahulu. CT scan kepala perlu dilakukan dan dokter bedah
saraf dihubungi. Semua pasien ini memerlukan observasi di ruang ICU atau unit serupa yang
memudahkan observasi dan evaluasi neurologis ketat untuk 12 hingga 24 jam pertama. CT
scan untuk follow up dalam 12-24 jam dianjurkan jika hasil CT scan awal abnormal atau jika
terjadi penurunan pada status neurologis pasien.
PENANGANAN CEDERA KEPALA BERAT (GCS 3-8)
Pasien yang mengalami cedera kepala berat tidak mampu untuk mengikuti perintah
sederhana bahkan setelah stabilisasi kardiopulmoner. Pendekatan “wait and see” pada pasien
ini bisa berakibat fatal, maka diangnosis dan penanganan cepat sangatlah penting. Jangan
menunda CT scan.
A. Primary Survey dan Resusitasi
Cedera kepala sering tidak disebabkan oleh cedera sekunder. Hipotensi pada pasien
dengan cedera kepala berat berhubungan dengan tingkat mortalitas yang meningkat dua kali
lipat disbanding pasien tanpa hipotensi (60% vs 27%). Adanya hipoksia ditambah hipotensi
berhubungan dengan tingkat mortalitas yang mencapai 75%. Maka dari itu, stabilisasi
kardiopulmoner pada pasien cedera kepala berat adalah prioritas dan dan harus segera
tercapai.
Transient respiratory arrest dan hipoksia dapat menyebabkan cedera otak sekunder.
Pada pasien koma, intubasi endotrakeal harus dilakukan segera. Pasien diberi oksigen 100%
sampai didapat gas darah, lalu penysuaian tepat terhadap FIO2. Pulse oxymetri adalah
pembantu yang berguna dan diharapkan didapat saturasi O2 > 98%. Hiperventilasi harus
digunakan pada pasien dengan cedera kepala berat secara hati-hati dandipakai hanya saat
terjadi penurunan tingkat neurologic.
Hipotensi biasanya tidak terkait dengan cedera kepala itu sendiri kecuali pada stadium
terminal saat terjadikegagalan vena medular. Perdarahan intrakranila tidak menyebabkan
syok hemoragik. Euvolemia harus segera dilakukan jika pasien hipotensi.
Hipotensi adalah penanda kehilangan banyak darah, walau tidak terlalu jelas. Penyebab
yang harus diperhatikan yaitu cedera spinal cord, kontusio jantung atau tamponade dan
tension pneumothorax.
B. Pemeriksaan Neurologis
Segera setelah status kardiopulmoner pasien stabil, pemeriksaan neurologis yang cepat
dan langsung. Terdiri dari pemeriksaan GCS dan reflex cahaya pupil. Pada pasien koma,
respon motorik dapat dilakukan dengan mencubit otot trapezius atau dengan nail-bed
pressure.
C. Secondary Survey
Pemeriksaan seperti GCS, lateralisasi dan reaksi pupil sebaiknya dilakukan untuk
mendeteksi penurunan neurologik sedini mungkin.
D. Prosedur Diagnostik
8CT scan kepala emergensi harus dilakukan sedini mungkin setelah hemodinamik
stabil. CT scan juga harus diulang bila ada perubahan pada status klinis dan secara rutin 12-
24 jam setelah cedera untuk pasien dengan kontusio atau hematom pada CT scan awal.
PROGNOSA
Apabila penanganan pasien yang mengalami cedera kepala sudah mendapat terapi yang
agresif, terutama pada anak-anak biasanya memiliki daya pemulihanyang baik. Penderita
yang berusia lanjut biasanya mempunyai kemungkinanyang lebih rendah untuk pemulihan
dari cedera kepala.1
Selain itu lokasi terjadinya lesi pada bagian kepala pada saat trauma jugasangat
mempengaruhi kondisi kedepannya bagi penderita
Refferensi
1. American College of Surgeon Committe on Trauma. Cedera kepala.
Dalam:Advanced Trauma Life Support for Doctors. Ikatan Ahli Bedah
Indonesia,penerjemah. Edisi 7. Komisi trauma IKABI; 2004. 168-193.
2. Snell RS. Clinical Anatomy for Medical Student. 6th ed. Sugiharto L,Hartanto H,
Listiawati E, Susilawati, Suyono J, Mahatmi T, dkk, penerjemah.Anatomi Klinik
Untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6. Jakarta: EGC: 2006.
3. Dunn LT, Teasdale GM. Head Injury. Dalam : Oxford Textbook of Surgery.2nd ed.
Volume 3. Oxford Press;2000.
4. Netter FH, Machado CA. Atlas of Human Anatomy. Version 3. Icon
LearningSystem LLC;2003
5. Whittle IR, Myles L. Neurosurgery. Dalam: Prnciples and Practice of Surgery. 4th
ed. Elsevier Churchill Livingstone;2007. 551-61.
6. Smith ML, Grady MS. Neurosurgery. Dalam: Schwarrt’z Principles of Surgery. 8th
ed. McGraw-Hill;2005. 1615-20.
7. Cedera Kepala dalam American College of Surgeon. Advance Trauma Life Support.
1997. USA: First Impression. Halaman 196-235.
8. Hickey JV. Craniocerebral Trauma. Dalam: The Clinical Practice of Neurological
and Neurosurgical Nursing 5th edition. Philadelphia : lippincot William &
Wilkins;2003
9. Green, Mark S. Handbook of neurosurgery, fifth edition.thieme. 2001
10.Ghazali Malueka, 2007, Radiologi Diagnostik, Yogyakarta: Pustaka Cendekia.