cedera otak berat.docx

56
BAB 1 PENDAHULUAN Cedera kepala atau yang disebut dengan trauma kapitis adalah ruda paksa tumpul / tajam pada kepala atau wajah yang berakibat disfungsi cerebral sementara.Merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama pada kelompok usia produktif, dan sebagian besar karena kecelakaan lalu lintas. Hal ini diakibatkan karena mobilitas yang tinggi di kalangan usia produktif sedangkan kesadaran untuk menjaga keselamatan di jalan masih rendah, disamping penanganan pertama yang belum benar - benar , serta rujukan yang terlambat. Di Indonesia kajadian cidera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai 500.000 kasus. Dari jumlah diatas , 10% penderita meninggal sebelum tiba di rumah sakit. Dari pasien yang sampai di rumah sakit , 80% dikelompokan sebagai cedera kepala ringan, 10 % termasuk cedera sedang dan 10% sedang, dan 10 % termasuk cedera kepala berat. Cedera kepala merupakan keadaan yang serius, sehingga diharapkan para dokter mempunyai pengetahuan praktis untuk melakukan pertolongan pertama pada penderita. Tindakan pemberian oksigen yang adekuat dan mempertahankan tekanan darah yang cukup untuk perfusi otak dan menghindarkan terjadinya cedera otak sekunder merupakan pokok-pokok tindakan yang sangat penting untuk keberhasilan kesembuhan penderita. Sebagai tindakan selanjutnya yang penting setelah primary survey adalah identifikasi adanya lesi masa yang memerlukan tindakan pembedahan, dan yang terbaik adalah pemeriksaan dengan CT Scan kepala. 1

Upload: richi-aditya

Post on 01-Jan-2016

197 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

laporan kasus pasien dengan cedera otak berat GCS 111 dengan subdural hemorrhage, sub arachnoid hemorrhage

TRANSCRIPT

Page 1: CEDERA OTAK BERAT.docx

BAB 1

PENDAHULUAN

Cedera kepala atau yang disebut

dengan trauma kapitis adalah ruda paksa

tumpul / tajam pada kepala atau wajah

yang berakibat disfungsi cerebral

sementara.Merupakan salah satu

penyebab kematian dan kecacatan utama pada kelompok usia produktif, dan

sebagian besar karena kecelakaan lalu lintas. Hal ini diakibatkan karena

mobilitas yang tinggi di kalangan usia produktif sedangkan kesadaran untuk

menjaga keselamatan di jalan masih rendah, disamping penanganan pertama

yang belum benar - benar , serta rujukan yang terlambat.

Di Indonesia kajadian cidera kepala setiap tahunnya diperkirakan

mencapai 500.000 kasus. Dari jumlah diatas , 10% penderita meninggal sebelum

tiba di rumah sakit. Dari pasien yang sampai di rumah sakit , 80% dikelompokan

sebagai cedera kepala ringan, 10 % termasuk cedera sedang dan 10% sedang,

dan 10 % termasuk cedera kepala berat.

Cedera kepala merupakan keadaan yang serius, sehingga diharapkan

para dokter mempunyai pengetahuan praktis untuk melakukan pertolongan

pertama pada penderita. Tindakan pemberian oksigen yang adekuat dan

mempertahankan tekanan darah yang cukup untuk perfusi otak dan

menghindarkan terjadinya cedera otak sekunder merupakan pokok-pokok

tindakan yang sangat penting untuk keberhasilan kesembuhan penderita.

Sebagai tindakan selanjutnya yang penting setelah primary survey adalah

identifikasi adanya lesi masa yang memerlukan tindakan pembedahan, dan yang

terbaik adalah pemeriksaan dengan CT Scan kepala.

Pada penderita dengan cedera kepala ringan dan sedang hanya 3% -5%

yang memerlukan tindakan operasi kurang lebih 40% dan sisanya dirawat secara

konservatif. Pragnosis pasien cedera kepala akan lebih baik bila

penatalaksanaan dilakukan secara tepat dan cepat. Adapun pembagian trauma

kapitis adalah: Simple head injury, Commutio cerebri, Contusion cerebri,

Laceratio cerebri, Basis cranii fracture.

1

Page 2: CEDERA OTAK BERAT.docx

Simple head injury dan Commutio cerebri sekarang digolongkan sebagai

cedera kepala ringan, sedangkan Contusio cerebri dan Laceratio cerebri

digolongkan sebagai cedera kepala berat.

Pada penderita korban cedera kepala, yang harus diperhatikan adalah

pernafasan, peredaran darah dan kesadaran, sedangkan tindakan resusitasi,

anamnesa dan pemeriksaan fisik umum dan neurologist harus dilakukan secara

serentak. Tingkat keparahan cedera kepala harus segera ditentukan pada saat

pasien tiba di Rumah Sakit.

2

Page 3: CEDERA OTAK BERAT.docx

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Cedera Kepala

Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi

baik secara langsung atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat

pada gangguan fungsi neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, yang dapat

bersifat temporer ataupun permanent. Menurut Brain Injury Assosiation of

America, cedera kepalaa adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan

bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan atau

benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran,

sehingga menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik.

(Mardjono M., 2003)

2.2 Anatomi Kepala

2.2.1 Kulit

Kulit kepala menutupi cranium dan meluas dari line nuchalis superior

pada os occipitale sampai margo supraorbitalis ossis frontalis. Kulit kepala terdiri

dari lima lapis jaringan : ( Mardjono M., 2003)

3

Page 4: CEDERA OTAK BERAT.docx

Kulit yang tipis kecuali didaerah occipitale, mengandung banyak

kelenjar keringat serta folikel rambut.

Jaringan ikat (connective tissue) yang merupakan lapis subkutan ,

memiliki banyak pembuluh darah dan saraf.

Aponeusis atau galea aponeurotica adalah selembar jaringan ikat

yang kuat dan merupakan lembar tendo dari muskulus occipitalis

dan muskulus frontalis.

Loose areolar tissue jaringan ikat jarang yang menyerupai spons.

Pericranium adalah periosteum dari tulang tengkorak. Sepanjang

garis sutura pericranium berlanjut menjadi endosteum. Karena itu,

subperiosteal hematom terbentuk pada tulang tengkorak.

( Mardjono M., 2003)

2.2.2 Tengkorak

Terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Tulang tengkorak terdiri

dari beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan oksipital. Kalvaria

khususnya diregio temporal adalah tipis, namun disini dilapisi oleh otot

temporalis. Basis cranii berbentuk tidak rata sehingga dapat melukai bagian

dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi. Rongga

tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu fosa anterior tempat lobus frontalis,

fosa media tempat temporalis dan fosa posterior ruang bagi bagian bawah

batang otak dan serebelum. ( Mardjono M., 2003)

2.2.2.1 Meningens

Selaput meninges membungkus seluruh bagian otak dan terdiri atas 3

lapisan yaitu: ( Mardjono M., 2003)

Duramater: secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan

endosteal dan lapisan meningeal. Duramater merupakan selaput yang

keras, terdiri atas jaringan ikat fibrosa yang melekat erat pada permukaan

dalam cranium. Karena tidak melekat pada selaput arakhnoid di bawahnya,

maka terdapat suatu ruang potensial (ruang subdura) yang terletak antara

duramater dan arakhnoid, dimana sering dijumpai perdarahan subdural.

Pada cedera otak pembuluh – pembuluh vena yang berjalan pada

permukaan otak menuju sinus sagitalis superior digaris tengah atau disebut

4

Page 5: CEDERA OTAK BERAT.docx

Bridging Veins, dapat mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan

subdural. Sinus sagitalis superior mengalirkan darah vena ke sinus

transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus – sinus tersebut

dapat menimbulkan perdarahan hebat. Arteri meningea terletak antara

duramater dan permukaan dalam dari cranium (ruang epidural). Adanya

fraktur dari tulang kepalaa dapat menyebabkan laserasi pada arteri – arteri

tersebut dan menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling sering

mengalami cedera arteri meningea media yang terletak di fossa temporalis

(fossa media). ( Mardjono M., 2003)

Selaput arakhnoid: merupakan selaput yang tipis dan tembus pandang.

Selaput arakhnoid terletak antara piamater sebelah dalam dan duramater

sebelah luar yang meliputi otak. Selaput ini dipisahkan dari duramater oleh

ruang potensial, disebut spatium subdural dan dari piamater oleh spatium

sub arakhnoid yang terisi liquor serebrospinalis. Perdarahan sub arakhnoid

umumnya disebabkan oleh cedera kepala. ( Mardjono M., 2003)

Piamater: melekat erat pada permukaan korteks serebri. Piamater adalah

membrana vaskuler yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyrus

dan masuk kedalam sulcus yang paling dalam. Membrana ini membungkus

saraf otak dan menyatu dengan epineuriumya. Arteri – arteri yang masuk

kedalam subtansi otak juga diliputi oleh piamater. ( Mardjono M., 2003)

2.2.2.2 Otak

Otak merupakan suatu struktur gelatin dengan berat pada orang dewasa

14 kg. Otak terdiri dari beberapa bagian yaitu proensefalon (otak depan) terdiri

dari serebrum dan diensefalon (bagian terbesar yang terdiri dari thalamus dan

hypothalamus) merupakn bagian sentral otak. Mesensefalon (midbrain) dan

rhombensefalon (otak belakang) terdiri dari pons, medulla oblongata dan

serebelum. ( Mardjono M., 2003)

5

Page 6: CEDERA OTAK BERAT.docx

2.3 Aspek Fisiologis Cedera Kepala

2.3.1 Tekanan intrakranial

Tekanan intrakranial dapat meningkat oleh beberapa proses patologi

yang selanjutnya dapat menggangu fungsi otak yang akhirnya berdampak buruk

terhadap penderita. Tekanan intrakranial yang tinggi dapat menimbulkan

konsekuensi yang menggangu fungsi otak. Tekanan intrakranial normal kira –

kira 10 mmHg, Tekanan intrakranial lebih tinggi dari 20 mmHg dianggap tidak

normal. Semakin tinggi tekanan intrakranial setelah cedera kepalaa, semakin

buruk prognosisnya. (Markam S, 2005)

2.3.2 Hukum Monroe – Kellie

Konsep utama volume intrakranial adalah selalu konstan karena sifat dasar

dari tulang tengkorak yang tidak elastis. Volume intrakranial (Vic) adalah sama

dengan jumlah total volume komponen – komponennya yaitu volume jaringan

otak (V br), volume cairan serebrospinal (V csf) dan volume darah (V bl).

(Markam S, 2005)

Vic = V br + V csf + V bl.

Volume tekanan intrakranial pada dewasa 1500 mL, karena volume

intrakranial tetap, tekanan dalam kompartemen tersebut karena beberapa

tindakan kompensasi terjadi, seperti penurunan komponen intrakranial. (Markam

S, 2005)

2.3.3 Tekanan Perfusi otak

Tekanan perfusi otak merupakn selisih antara tekanan arteri rata – rata

(mean arteral pressure) dengan tekanan intrakranial. Pada otak manusia normal

tekanan perfusi otak adalah konstan dikisaran 50 – 150 mmHg, hal ini

dipengaruhi karena autoregulasi arteiol. Apabila tekanan perfusi otak kurang dari

50 mmHg atau lebih besar dari 150 mmHg akan memberikan prognosa yang

buruk bagi penderita. (Markam S, 2005)

2.3.4 Aliran darah otak

Aliran darah otak normal kira – kira 50 ml/100 gr jaringan otak permenit.

6

Page 7: CEDERA OTAK BERAT.docx

Bila aliran darah otak menurun sampai 20 – 25 ml/100 gr/menit EEG (sebagai

alat pemantau fungsi otak melalui sinyal yang dipancarkan) akan menghilang.

Apabila aliran darah otak sebesar 5 ml/100 gr/menit maka sel – sel otak akan

mengalami kematian dan kerusakan yang menetap. (Markam S, 2005)

2.4 Patofisiologi Cedera Kepala

Kerusakan otak pada penderita cedera kepalaa dapat terjadi dua tahap yaitu

cedera primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan awal cedera otak

sebagai akibat langsung dari trauma, dapat disebabkan benturan langsung

kepalaa dengan suatu benda keras. (Markam S, 2005)

Mekanisme cedera kepalaa dapat terjadi peristiwa coup dan countercoup.

Cedera primer yang diakibatkan oleh adanya benturan pada tulang tengkorak

pada daerah sekitarnya disebut lesi coup. Pada daerah yang berlawanan dengan

tempat benturan akan terjadi lesi countercoup. Akselarasi-deselarasi terjadi

akibat kepalaa bergerak dan berhenti secara mendadak dan kasar saat terjadi

trauma. Perbedaan densitas antara tualng tengkorak (substansi solid) dan otak

(substansi semisolid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan

intrakranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak membentur

permukaan dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan dari benturan

(countercoup).Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai

proses patologis yang timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer,

berupa perdarahan, edema otak, kerusakan neuron berkelanjutan, iskemia,

7

Page 8: CEDERA OTAK BERAT.docx

peningkatan tekanan intrakranial dan perubahan neurokimiawi. (Markam S,

2005)

2.5 Klasifikasi Cedera Kepala

Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis dikenal

3 deskripsi klasifikasi yaitu berdasarkan mekanisme, beratnya cedera kepala,

dan morfologinya. ( Mardjono M., 2003)

2.5.1 Mekanisme cedera kepala

Berdasarkan mekanisme cedera kepalaa dibagi atas cedera kepala

tertutup dan cedera kepala terbuka. Cedera kepala tertutup biasanya berkaitan

dengan kecelakaan mobil atau motor, jatuh atau terkena pukulan benda tumpul.

Sedangkan untuk cedera kepala terbuka disebabkan oleh peluru atau tusukan.

(Mardjono M., 2003)

2.5.2 Beratnya cedera kepala

Derajat kesadaran secara kuantitatif dapat diukur dengan metode GCS.

Glasgow Coma Scale merupakan salah satu komponen yang digunakan sebagai

acuan pengobatan, dan dasar pembuatan keputusan klinis umum untuk pasien

serta memiliki peranan penting untuk memprediksi resiko kematian diawal

trauma.3 Glasgow Coma Scale yang digunakan meliputi 3 kategori yaitu respon

membuka mata, respon verbal dan respon motorik. Skor ditentukan oleh jumlah

skor dimasing – masing 3 kategori, dengan skor maksimum 15 dan skor

minimum 3, adalah sebagai berikut: ( Mardjono M., 2003)

Nilai GCS kurang dari 8 didefinisikan sebagai cedera kepalaa berat.

(Koma – sopor)

Cedera kepalaa sedang memiliki nilai GCS 9 – 13. (Somnolen)

Cedera kepalaa ringan dengan nilai GCS 14 – 15. (Composmentis)

2.5.3 Morfologi cedera

Secara morfologis cedera kepala dapat dibagi atas fraktur cranium dan

lesi intrakranial. ( Mardjono M., 2003)

8

Page 9: CEDERA OTAK BERAT.docx

2.5.3.1 Fraktur tulang tengkorak

Fraktur tulang tengkorak (cranium) dapat terjadi pada atap atau dasar

tengkorak (basis cranii), dan dapat berbentuk garis atau bintang dan dapat pula

terbuka atau tertutup. ( Mardjono M., 2003)

Fraktur Linier: Fraktur linier merupakan garis fraktur tunggal pada

tengkorak yang meliputi seluruh ketebalan tulang. Pada pemeriksaan

radiologi akan terlihat sebagai garis radiolusen.

Fraktur Distase: Fraktur yang terjadi pada sutura sehingga terjadi

pemisahan sutura kranial. Fraktur ini sering terjadi pada anak usia 3

tahun.

Fraktur Comminuted: Fraktur dengan dua atau lebih fragmen fraktur.

Ketiga fraktur di atas tidak memerlukan tindakan khusus, kecuali jika

disertai lesi intrakranial seperti epidural hematoma, subdural hematoma,

dll. Jika disertai dengan laserasi SCALP, maka perlu dilakukan debrimen

yang baik dan luka dapat segera ditutup dengan penjahitan.

Fraktur Depressed: Fraktur tabula eksterna pada satu atau lebih tepi

fraktur terletak di bawah level anatomi normal dari tabula interna tulang

tengkorak sekitarnya yang masih utuh. Jenis fraktur ini terjadi jika energi

benturan relatif besar terhadap area yang relatif kecil. Misalnya benturan

oleh martil, kayu, batu, pipa besi.

Fraktur Konveksitas: Fraktur yang terjadi pada tulang – tulang yang

membentuk koveksitas (kubah) tengkorak seperti os. Frontalis, os.

Temporalis, os. Parietalis, dan os. Occipitalis.

Fraktur Basis Cranii: Fraktur yang terjadi pada tulang yang membentuk

dasar tengkorak. Dasar tengkorak terbagi atas tiga bagian. Fraktur pada

masing – masing fossa akan memberikan manifestasi yang berbeda.

o Fraktur Basis Cranii Fossa Anterior: Bagian posterior dari fossa

anterior dibatasi oleh os. Sphenoid, processus clinoidalis anterior

dan jugum sphenoidalis. Manifestasi klinisnya yaitu Ecchymosis

periorbita, bisa bilateral dan disebut ‘brill hematoma’ atau ‘racoon

eyes’. Eccymosis ini kadang – kadang sulit dibedakan dengan

ecchymosis yang timbul karena cedera langsung.

o Fraktur Basis Cranii Fossa Media: Bagian anterior langsung

berbatasan dengan fossa anterior sedangkan bagian posterior

9

Page 10: CEDERA OTAK BERAT.docx

dibatasi oleh pyramida petrosus os. Temporalis, processus

clinoidalis posterior dan dorsum sella. Manifestasi klinisnya

adalah: Ecchymosis pada mastoid (battle’s sign); otorrhea,

pembuktiannya sama dengan rhinorahea; hemotympanum jika

membran tympani robek maka dijumpai darah pada kanalis

auricularis eksterna; kelumpuhan nervus fasialis (N. VII) dan atau

nervus vestibulococlearis (N. VIII), hal ini terjasi bila garis

frakturnya transversal terhadap aksis pyramida petrosus. Jenis ini

hanya 25 %, sedangkan sisanya longitudinal terhadap aksis

pyramida petrosus; Carotid – Cavernosus Fistula (CCF) yang

ditandai dengan chymosis, sakit kepalaa, adanya bruit,

exopthalmus yang berdenyut mengikuti irama jantung, gangguan

visus dan gangguan gerakan bola mata.

o Fraktur Basis Cranii Fossa Posterior: Merupakan dasar dari

kompartemen infratentorial. Adanya fraktur pada daerah ini harus

waspada terhadap kemungkinan timbulnya hematoma. Sering

tidak disertai dengan gejala dan tanda yang jelas, tetapi dapat

segera menimbulkan kematian karena penekanan terhadap

batang otak. Fraktur ini kadang – kadang juga menyebabkan

memar pada mastoid (battle’s sign). Beberapa hal yang perlu

diperhatikan sehubungan dengan penanganan fraktur basis cranii

antara lain: lakukan observasi terhadap adanya kebocoran LCS,

biasanya membaik secara spontan; Tidak perlu memberikan

antibiotika profilaksis karena biasanya antibiotika tidak efektif

mencegah terjadinya meningitis serta akan menseleksi organisme

yang resisten terhadap antibiotika yang diberikan, jika terjadi

meningitis atau infeksi intrakranial lainnya, akan sulit diatasi. Jika

setelah 2 minggu kebocoran CSS tidak berhenti atau berkurang

serta dinilai bahwa usaha atau penatalaksanaan secara

konservatif gagal, maka dilakukan operasi untuk memperbaiki

dura yang bocor tersebut oleh ahli bedah saraf.

10

Page 11: CEDERA OTAK BERAT.docx

2.5.3.2 Lesi intrakranial

Lesi intrakranial dapat duiklasifikasikan sebagai fokal atau difus, walau

kedua bentuk cedera tersebut sering terjadi secara bersamaan. Lesi fokal

termasuk hematoma epidural, hematoma subdural, dan kontusio (hematoma

intraserebral). Pasien pada kelompok cedera otak difus menunjukan koma di

klinis. ( Mardjono M., 2003)

Hematoma epidural: Hematoma epidural terjadi akibat fraktur tulang

kepalaa yang dapat merobek pembuluh darah terutama arteri meningea

media yang masuk kedalam tengkorak melalui foramen spinosum dan

jalan antara duramater dan tulang di permukaan os. Temporal. Pada bayi

hematom epidural ini dapat dilihat bila ubun – ubun bayi mengembung

setelah trauma terjadi. Robeknya arteri meningea media menimbulkan

hematom epidural dan desakan oleh hematom memisahkan duramater

dari tulang kepalaa sehingga hematom dapat bertambah besar dan dapat

menekan batang otak hingga terjadi kematian. Penderita akan mengalami

sakit kepalaa, mual dan muntah diikuti dengan penurunan kesadaran

setelah trauma. Gejala neurologik yang terpenting adalah pupil mata

anisokor, yaitu pupil ipsilateral melebar, terjadi pula kenaikan tekanan

darah dan bradikardia. Pada tahap akhir, kesadaran menurun sampai

koma yang dalam, pupil kontralateral juga mengalami pelebaran sampai

ahkirnya kedua pupil tidak menunjukan reaksi terhadap cahaya. Ciri khas

hematom epidural murni adalah terdapatnya jarak waktu antara saat

terjadinya trauma dan munculnya tanda hematom epidural. Jeda waktu

yang terjadi selama beberapa menit hingga jam. Diagnosis didasarkan

pada gejala klinis serta pemeriksaan penunjang seperti foto Roentgen

kepalaa. Adanya garis fraktur menyokong diagnosis hematom epidural

bila sisi fraktur terletak ipsilateral dengan pupil yang melebar, garis fraktur

dapat menunjukan lokasi hematom. ( Mardjono M., 2003)

Hematom subdural (SDH): Hematom subdural (SDH) adalah

perdarahan yang terjadi diantara duramater dan arakhnoid. Sekitar 30 %

hematom subdural terjadi pada kasus cedera kepalaa berat. Hematom

tesebut terjadi akibat robeknya vena penghubung (bridging veins) antara

korteks serebri dan sinus dura. Hematom tersebut biasanya terjadi pada

11

Page 12: CEDERA OTAK BERAT.docx

kasus cedera karena pukulan. Hematom subdural terbagi menjadi kaut

dan kronis. ( Mardjono M., 2003)

o Hematom subdural akut: Hematom subdural akut biasanya

berkaitan dengan riwayat trauma yang jelas dan yang paling

sering terjadi pada regio frontoparietal.

o Hematom subdural kronis: Terjadi pada riwayat trauma yang tidak

jelas, hematom tersebut sering berkaitan dengan atrofi otak, yang

pada akhirnya meningkatkan mobilitas otak di dalam kubah

tengkorak sehingga vena penghubung menjadi semakin mudah

robek.

Hematom intraserebral: Hematom intraserebral adalah perdarahan yang

terjadi dalam jaringan (parenkim) otak. Perdarahan terjadi akibat adanya

laserasi atau kontusio jariagan otak yang menyebabkan pecahnya pula

pembuluh darah yang ada di dalam jaringan otak tersebut. Lokasi yang

paling sering adalah lobus frontalis dan temporalis. Lesi perdarahan dapat

terjadi pada sisi benturan (coup) atau pada sisi lainya (countercoup).

Defisit neurologis yang didapatkan sangat bervariasi dan tergantung pada

lokasi dan luas perdarahan. Penyebab yang paling sering dari hematom

intraserebral adalah penyakit hipertensi vaskuler, perdarahan paling

sering terjadi pada ganglia basalis (80% kasus), batang otak, serebelum

dan korteks serebral. Hematom yang mengisi ruang menyebabkan

kenaikan intrakranial. Sebagian besar perdarahan intraserebral yang

terjadi pada penderita hipertensi, akibat dari ruptur pada arteriol kecil,

terutama pada cabang lentikulostriata dari arteri serebral media. Kontusi

serebral murni biasanya jarang terjadi. Selanjutnya kontusi otak hampir

selalu berkaitan dengan hematom subdural akut. Sebagian besar kontusi

terjadi pada lobus frontal dan temporal, walau dapat terjadi pada setiap

tempat termasuk serebelum dan batang otak. Perbedaan antar kontusi

dan hematom intarserebral traumatika tidak jelas batasnya. Bagaimana

pun, terjadi zona peralihan, dan kontusi dapat secara lambat laun menjadi

hematom intraserebral dalam beberapa hari. ( Mardjono M., 2003)

12

Page 13: CEDERA OTAK BERAT.docx

Kontusio Serebral: Perdarahan terjadi akibat adanya laserasi atau

kontusio jaringan otak yang menyebabkan pecahnya pula pembuluh

darah yang ada di dalam jaringan otak tersebut. Lokasi yang paling sering

adalah lobus frontalis dan temporalis. Lesi perdarahan dapat terjadi pada

sisi benturan (coup) atau pada sisi lainya `(countercoup). Defisit

neurologis yang didapatkan sangat bervariasi dan tergantung pada lokasi

dan luas perdarahan. ( Mardjono M., 2003)

Edema Serebral: Edema serebral traumatika merupakan keadaan dan

gejala patologis pada penderita cedera kepalaa dan terjadi akibat

pergeseran otak (brain shift) dan peningkatan intrakranial. Terdapat dua

terminologi yaitu edema dan swelling yang sering diartikan sama yaitu

bengkak. Edema otak menadakan adanya penambahan kandungan air

didalam jariungan otak, sedangkan brain swelling merupakan keadaan

yang diakibatkan hiperemia dan dilatasi sistem serebrovaskular. (

Mardjono M., 2003)

Cedera aksonal difus (Diffuse Axonal Injury, DAI): Cedera ini

terjadi karena terputusnya dan tertariknya prosesus neuron akibat dari

gerak putar otak di dalam tengkorak kepalaa. Keadaan ini sering

terjadi tanpa adanya fraktur tulang tengkorak dan kontusio serebral.

Cedera aksonal difus terjadi pada hampir keseluruhan cedera kepalaa

fatal. Cedera aksonal difus terjadi pada hampir keseluruhan cedera

kepalaa berat, dua komponen penting yang ditemukan , yaitu:

(Anderson S. McCarty L, 2005)

13

Page 14: CEDERA OTAK BERAT.docx

o Lesi perdarahan kecil dalam korpus kalosum dan kuadran

dorsolateral batang otak.

o Kerusakan difus pada akson, yang hanya dapat dideteksi dengan

pemeriksaan mikroskopis yang berbentuk bola retraksi aksonal.

2.6 Pemeriksaan Neurologis Cedera Kepala

Pemeriksaan neurologis yang harus segera dilakukan terhadap

penderita cedera kepalaa setelah resusitasi meliputi: (Anderson S.

McCarty L, 2005)

Tingkat kesadaran.

Pupil dan pergerakan bola mata, termasuk saraf kranial.

Reaksi motorik terhadap berbagai rangsang dari luar.

Reaksi motorik terbaik.

Pola pernapasan.

14

Page 15: CEDERA OTAK BERAT.docx

Terapi harus diingat bahwa hasil penilaian yang paling prediktif dalam

perkiraan prognosis adalah penilaian yang dilakukan setelah 24 jam post

resusitasi, karena penilaian sebelumnya masih banyak dipengaruhi oleh keadaan

sistemik yang belum begitu stabil. (Ekayuda I,2006)

Tingkat kesadaran

Tingkat kesadaran dinilai dengan GCS. Penilaian tersebut harus

dilakukan secara periodik untuk menilai apakah keadaan penderita

membaik atau memburuk. Dari ketiga komponen GCS tersebut, motorik

merupakan komponen yang paling objektif. Komponen yang menjadi

tolak ukur penilaian adalah reaksi (respons) terbaik. Tingkat kesadaran

tidak akan terganggu jika cedera hanya terbatas pada satu hemisfer

otak, tetapi menjadi progresif memburuk jika kedua hemisfer mulai

terlibat, atau juka ada proses patologis akibat penekanan atau cedera

pada batang otak. (Ekayuda I,2006)

Pupil dan Pergerakan bola mata , termasuk saraf kranial.

Reaksi pupil, konstriksi, dan dilatasi diatur oleh sistem saraf otonom,

yaitu simpatis dan parasimpatis. Sistem simpatis mulai dari

hipotalamus ,melalui batang otak terutama yang ipsilateral sampai ke

thorakal medula spinalis pada bagian intermediolateral. Sedangkan

aferen parasimpatis berawal dari sel ganglion retina, mengikuti nervus

dan traktus optikus hingga mencapai pretektum. Bagian eferen akan

mengikuti saraf okulomotorius ke orbita. Dua alasan penting penilaian

pupil pada cedera kepalaa: (Ekayuda I,2006)

o Karena batang otak yang mengendalikan kesadaran secara

anatomis terletak berdekatan dengan pusat yang mengendalikan

reaksi pupil.

o Saraf yang mengendalikan reaksi pupil relatif resisten terhadap

gangguan metabolik, sehingga ada tidaknya refleks cahaya

merupakan tanda penting untuk membedakan koma metabolik

dan koma struktural.

Reflek cahaya menunjukan fungsi mesensefalon. Lakukan juga

penilaian langsung dan tidak langsung. Reaksi langsung terjadi pada

mata yang langsung diberi rangsang cahaya, sedangkan reaksi tidak

langsung pada mata kontralateral dari mata yang diberi rangsang

15

Page 16: CEDERA OTAK BERAT.docx

cahaya. Bandingkan antara yang kanan dengan kiri isokor atau tidak.

(Ekayuda I,2006)

Reaksi Terhahadap berbagai rangsangan dari luar

Rangsangan dari luar merupakan mekanisme penting untuk menilai

tingkat kesadaran . Kekuatan rangsangan yang dibutuhkan untuk memicu

reaksi dari penderita berbanding lurus dengan dalamnya penurunan

kesadaran. Pada tahap awal dapat dicoba dengan rangsangan suara

pada berbagai tingkat intensitas, jika tidak memberikan reaksi, dilanjutkan

dengan goncangan ringan (light shaking), kemudian dengan rangsang

nyeri yang semakin progresif. Rangsang nyeri yang diberikan antara lain:

- Dengan menggunakan batangan pensil, pulpen, gagang ‘refleks

hammer’, atau benda tumpul yang lain, melakukan penekanan pada

kuku bagian proksimal

- Dengan melakukan penekanan tumpul pada sternum

- Dengan melakukan penekanan tumpul pada ‘supraorbita ridge’

(Anderson S. McCarty L, 2005)

Reaksi motorik terbaik

Pada keadaan normal, respons motorik diatur oleh korteks serebri

yang bekerja sama dengan berbagai pusat pengatur subkortikal

lainnya. Penilaian reaksi motorik terbaik sangat penting, karena

memiliki nilai objektif yang tinggi. Tingkat reaksi motorik dibagi atas:

(Anderson S. McCarty L, 2005)

a. Gerakan bertujuian jelas (puposeful movement)

b. Gerakana bertujuan tidak adekuat (semipurposeful movement)

c. Postur fleksor (dekortisasi)

d. Postur ekstensor (deserebrasi)

e. Diffuse musle flaccidity

Reaksi okulosefalik (Doll’s head eye phenomenon). Pemeriksaan

nervus trigeminus dan fasialis dapat dilakukan dengan dengan tes

kapas pada kornea, dilakukan dari samping. (Anderson S. McCarty L,

2005)

16

Page 17: CEDERA OTAK BERAT.docx

2.7 Pemeriksaan Penunjang

2.7.1 Foto polos kepala

Indikasi foto polos kepala tidak semua penderita dengan cedera kepalaa

diindikasikan untuk pemeriksaan kepalaa karena masalah biaya dan kegunaan

yang sekarang makin ditinggalkan. Jadi indikasi meliputi jejas lebih dari 5 cm,

luka tembus(tembak/tajam), deformasi kepalaa (dari inspeksi dan palpasi), nyeri

kepalaa yang menetap, gejala fokal neurologis, gangguan kesadaran.( Ekayuda

I, 2006)

2.7.2 CT – Scan

Indikasi CT Scan adalah : ( Ekayuda I, 2006)

o Nyeri kepalaa menetap atau muntah muntah yang tidak

menghilang setelah pemberian obat – obatan

analgesia/antimuntah.

o Adanya kejang – kejang, jenis kejang fokal lebih bermakna

terdapat lesi intrakranial dibandingkan dengan kejang general.

o Penurunan GCS lebih dari 1 point dimana faktor – faktor

ekstrakranial telah disingkirkan (karena penurunan GCS dapat

terjadi karena misal syok, febris, dll).

o Adanya fraktur impresi dengan lateralisasi yang tidak sesuai.

o Luka tembus akibat benda tajam dan peluru.

o Perawatan selama 3 hari tidak ada perubahan yang membaik

dari GCS.

( Ekayuda I, 2006)

2.7.3 Modalitas pemeriksaan penunjang yang lain

o MRI : digunakan sama seperti CT – Scan dengan atau tanpa

kontas radioaktif.

o Cereral Angiography : Menunjukan anomali sirkulasi serebral,

seperti : perubahan jaringan otak sekunder menjadi oedem,

perdarahan dan trauma.

17

Page 18: CEDERA OTAK BERAT.docx

o Serial EEG : Dapat melihat perkembangan gelombang yang

patologis. ( Ekayuda I, 2006)

2.8 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan awal penderita cedera kepalaa pada dasarnya memiliki

tujuan yang memantau sedini mungkin dan mencegah cedera kepalaa sekunder

serta memperbaiki keadaan umum seoptimal mungkin sehingga dapat

membantu penyembuhan sel – sel otak yang sakit. Penatalaksanaan cedera

kepalaa tergantung pada tingkat keparahannya, berupa cedera kepalaa ringan,

sedang, berat.( Hafid A, 2004)

Prinsip penanganan awal meliputi survei primer dan survei sekunder.

Dalam penatalaksanaan survei primer hal – hal yang diprioristaskan antara lain

airway, breathing, circulation, disability, dan exposure yang kemudian dilanjutkan

dengan resusitasi. Pada penderita cedera kepalaa berat survei primer sangatlah

penting untuk mencegah cedera otak sekunder. ( Hafid A, 2004)

Tidak semua pasien cedera kepalaa perlu dirawat inap di rumah sakit.

Indikasi rawat antara lain: ( Hafid A, 2004)

o Amnesia post traumatika jelas (lebih dari 1 jam).

o Riwayat kehilangan kesadaran (lebih dari 15 menit).

o Penurunan tingkat kesadaran.

o Nyeri kepalaa sedang hingga berat.

o Fraktur tengkorak.

o Kebocoran CSS, rhinorrhea.

o Cedera penyerta yang jelas.

Terapi medikamentosa pada penderita cedera kepalaa dilakukan untuk

memberikan suasana yang optimal untuk kesembuhan. Hal – hal yang dilakukan

dalam terapi ini dapat berupa pemberian cairan intravena, hiperventilasi,

pemberian manitol, dan antikonvulsan. ( Hafid A, 2004)

o Penggunaan Manitol pada cedera kepalaa.

Manitol digunakan untuk menurunkan tekanan tinggi intrakranial.

Efek tersebut diperoleh melalui peningkatan volume darah sirkulasi

18

Page 19: CEDERA OTAK BERAT.docx

dan pengenceran viskositas darah. Manitol diperkirakan memiliki tiga

mekanisme kerja yang saling melengkapi yaitu meningkatkan

tekanan darah, memperbaiki aspek rheologik sirkulasi, dan dehidrasi

serebral. Manitol dapat menurunkan kandungan air pada jaringan otak

yang edema. Dosis manitol, sediaan manitol yang digunakan

biasanya 15 dan 20 persen. Manitol diberikan bolus 0,25-0,5/kgBB

dalam 10-20 menit, dilakukan setip 6 jam. ( Hafid A, 2004)

Indikasi pemberian, manitol dapat diberikan sebelum dilakukan

pengukuran ICP, yaitu jika terdapat tanda- tanda herniasi

transtentorial atau adanya perburukan pada keadaan neurologis yang

disebakan oleh keadaan sistemik seperti hipovolemia, dll. Pilihan

utama untuk resusitasi awal pasien cedera kepalaa yang disertai

dengan hipotensi, dikenal dengan ‘small volume resuscitation fluid’.

( Hafid A, 2004)

o Kraniotomi

Pada penanganan beberapa kasus cedera kepalaa memerlukan

tindakan operatif. Kraniotomi adalah operasi membuka tulang

tengkorak untuk mengangkat tumor, mengurangi tekanan intrakranial,

mengeluarkan bekuan darah atau menghentikan perdarahan. Indikasi

tindakan kraniotomi atau pembedahan intrakranial adalah sebaga

berikut : ( Hafid A, 2004)

- Pengankatan jaringan abnormal baik tumor maupun kanker.

- Mengurangi tekanan intrakranial

- Mengevakuasi bekuan darah

- Mengontrol bekuan darah, dan

- Pembenahan organ – organ intrakranial.

- Tumor otak.

- Perdarahan (hemorrhage)

- Kelemahan dalam pembuluh darah (cerebral aneurysm)

- Peradangan dalam otak

Apabila terjadi trauma pada tengkorak, indikasi untuk tindakan operatif

ditentukan oleh kondisi klinis pasien, temuan neuroradiologi dan patofisiologi dari

lesi. Secara umum digunakan panduan sebagai berikut: ( Hafid A, 2004)

19

Page 20: CEDERA OTAK BERAT.docx

Volume masa hematom mencapai lebih dari 40 ml di daerah

supratentorial atau lebih 20 ml di daerah infratentorial.

Kondisi pasien yang semula sadar semakin memburuk secara klinis.

Tanda fokal neurologis semakin berat.

Terjadi sakit kepalaa, mual dan muntah yang semakin berat.

2.9 Prognosis

Apabila penanganan pasien yang mengalami cedera kepalaa sudah

mendapat terapi yang agresif, terutama pada anak – anak biasanya memiliki

daya pemulihan yang baik. Penderita yang berusia lanjut biasanya mempuyai

kemungkinan yang lebih rendah untuk pemulihan dari cedera kepalaa. Selain

itu lokasi terjadinya lesi pada bagian kepalaa pada saat trauma juga sangat

mempengaruhi kondisi kedepannya bagi penderita. ( Hafid A, 2004)

20

Page 21: CEDERA OTAK BERAT.docx

BAB 3

LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien

Nama lengkap : Tn.Sujiono Jenis kelamin : Laki-Laki

Umur : 43 th Suku bangsa : Jawa

Status perkawinan : Menikah Agama : Islam

Pekerjaan : Pedagang Pendidikan : SMA

Alamat : Ngunut Tanggal masuk RS : 11-8-2013

3.2 Assesment

3.2.1 Primary Survey

AVPU

Pasien datang dalam kondisi unconsiousness, GCS: 113

ABC

Airway: Gargling

Breathing: Spontan 29x/mnt

Circulation: Pulsasi kuat, nadi 68-70x/menit, akral hangat

3.2.2 Secondary survey

Diambil dari heteroanamnesa, tanggal 11 Agustus 2013, Pukul 19.00 WIB

Keluhan Utama: Tidak sadar setelah kecelakaan

Riwayat Penyakit Sekarang

21

Page 22: CEDERA OTAK BERAT.docx

Pasien datang ke IGD 1 jam setelah KLL dalam keadaan tidak sadar.

Sebelumnya pasien perjalanan menuju rumahnya dan mengalami

kecelakaan antara sepeda dengan sepeda motor, kemudian pasien dibawa

ke Puskesmas Ngunut dan di rujuk ke IGD dr.Iskak.Pihak keluarga tidak ada

yang melihat secara langsung mekanisme kecelakaan, diduga pasien di

tabrak dari belakang dan terjungkal ke aspal dalam posisi kepala terbentur

terlebih dahulu.

Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat darah tinggi, kencing manis dan penyakit jantung disangkal.

Riwayat Penyakit Keluarga

Tidak ada riwayat darah tinggi, kencing manis dan penyakit jantung dalam

keluarga.

3.3 Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan Umum

Kesadaran : (E1V1M3)

Tekanan Darah : 140/80 mmHg

Nadi : 68-70 kali/menit

Suhu : 36,5 C

Pernafasan : 29 kali/menit

Sianosis : -

Tinggi Badan : ± 165 cm

Berat Badan : ± 65 kg

Kulit

Ptekie: Tidak Ada

Jaringan Parut: Tidak ada

22

Page 23: CEDERA OTAK BERAT.docx

Lembab/Kering: Lembab

Suhu Raba:hangat

Pembuluh darah: vasodilatasi

Turgor: normal

Oedem:Tidak ada

Kepala

Normocephali. Terdapat hematom pada bagian occipital, ukuran diameter

5 cm.

Wajah

Kerutan dahi simetris. Lipatan nasolabial simetris

Mata

Pupil isokor, 4mm/4mm. Reflek Pupil (-), Reflek kornea (-)

Hidung

Tidak tampak adanya deformitas

Tidak tampak adanya secret dan darah

Telinga

Perdarahan : -/-

Cairan : -/-

Mulut

Bibir : kering

Langit-langit : tidak ada tonjolan

Bau pernapasan : tidak ada

Leher

23

Page 24: CEDERA OTAK BERAT.docx

Terpasang Collar Neck, Jejas (-)

Dada

Bentuk : Normal, simetris

Pembuluh darah : tidak tampak

Pergerakan : simetris

Paru – Paru

Pemeriksaan Depan Belakang

Inspeksi Kiri Simetris saat statis dan

dinamis

Simetris saat statis dan

dinamis

Kanan Simetris saat statis dan

dinamis

Simetris saat statis dan

dinamis

Palpasi Kiri - Tidak ada benjolan

- Krepitasi (-)

- Tidak ada benjolan

- Krepitasi (-)

Kanan - Tidak ada benjolan

- Krepitasi (-)

- Tidak ada benjolan

- Krepitasi (-)

Perkusi Kiri Sonor di seluruh lapang

paru

Sonor di seluruh lapang

paru

Kanan Sonor di seluruh lapang

paru

Sonor di seluruh lapang

paru

Auskultasi Kiri - Suara vesikuler

- Wheezing (-), Ronki (-)

- Suara vesikuler

- Wheezing (-), Ronki (-)

Kanan - Suara vesikuler

- Wheezing (-), Ronki (-)

- Suara vesikuler

- Wheezing (-), Ronki (-)

24

Page 25: CEDERA OTAK BERAT.docx

Jantung

Inspeksi : Tidak tampak pulsasi iktus cordis

Palpasi :Teraba iktus cordis pada sela iga V, 1 cm medial linea

midklavikula kiri, tidak kuat angkat

Perkusi :

Batas kanan : sela iga V linea parasternalis kanan.

Batas kiri : sela iga V, 1cm sebelah medial linea midklavikula

kiri.

Batas atas : sela iga II linea parasternal kiri.

Auskultasi: Bunyi jantung I-II reguler, Gallop (-), Murmur (-).

Pembuluh Darah

Arteri Temporalis : teraba pulsasi

Arteri Karotis : teraba pulsasi

Arteri Brakhialis : teraba pulsasi

Arteri Radialis : teraba pulsasi

Arteri Femoralis : teraba pulsasi

Arteri Poplitea : teraba pulsasi

Arteri Tibialis Posterior : teraba pulsasi

Arteri Dorsalis Pedis : teraba pulsasi

Perut

Inspeksi : tidak ada lesi, tidak ada bekas operasi, datar, simetris, smiling

umbilicus (-), dilatasi vena (-)

25

Page 26: CEDERA OTAK BERAT.docx

Palpasi Dinding perut : supel, tidak ada defens muskular, tidak teraba

adanya, massa / benjolan, tidak ada nyeri tekan maupun nyerilepas.

Hepar/Limpa : tidak teraba

Perkusi : timpani

Auskultasi : bising usus (+) normal

Hematom pada pelvis (D)

Anggota Gerak

Lengan Kanan Kiri

Otot

Tonus : normotoni normotoni

Massa : tidak ada tidak ada

Gerakan : Decorticate Decorticate

Kekuatan : -- -

Oedem : tidak ada tidak ada

Tungkai dan Kaki Kanan Kiri

Luka : abrasio tidak ada

Otot

Tonus : normotoni normotoni

Massa : tidak ada tidak ada

Gerakan : - -

Kekuatan : - -

Oedem : tidak ada tidak ada

26

Page 27: CEDERA OTAK BERAT.docx

PEMERIKSAAN PENUNJANG

LABORATORIUM RUTIN

Hasil Pemeriksaan Lab dari RSUD ISKAK 11/8/2013

Hematologi

Hb : 13,3 g/dL (11-16g/dL)

Leukosit : 21.820/uL (4000-10000/uL)

Hematokrit : 41 % (40-51%)

Trombosit : 238.000/uL (163.000-337.000/uL)

Kimia

GDA: 173 mg/dL

Fungsi Hati

SGOT/ASAT : 57 U/L

SGPT/ALAT : 43 U/L

Fungsi Ginjal

Kreatinin : 1,02 mg/dL (0,6-1,5)

BUN : 6,7 mg/dL (6-20)

Na/K/Cl : 136/2,85/100,9

Faal Hemostasis:

PT: 12,5 (10-14)

aPTT: 36,3 (22-30)

27

Page 28: CEDERA OTAK BERAT.docx

BGA

PH: 7,314

PO2: 71,9

PCO2: 63,4

SO2: 92,3

BE: 3,5

HCO3: 31,5

TCO2: 33,5

28

Page 29: CEDERA OTAK BERAT.docx

PEMERIKSAAN RADIOLOGI

Hasil Pemeriksaan CT-Scan tanggal 11 Agustus di RSUD ISKAK

Tampak lesi hiperdens di frontal D/S.

Sulcus dan gyrus pada daerah hiperdens tampak terisi

Sistem ventrikel lateralis III dan IV terganggu edema cerebri.

Soft tissue swelling di occipital.

Midline shift ±3 mm

Kesan :

Perdarahan intracerebri di frontal D/S.

Perdarahan Subarachnoid.

Edema cerebri

29

Page 30: CEDERA OTAK BERAT.docx

Hasil Pemeriksaan Thoraks tanggal 11 Agustus di RSUD ISKAK

Hasil Pemeriksaan Cervical 11 Agustus di RSUD ISKAK

30

Page 31: CEDERA OTAK BERAT.docx

Hasil Pemeriksaan Pelvis tanggal 11 Agustus di RSUD ISKAK

USG: Morison pouch (-)

DIAGNOSIS KERJA

-COB 113

-ICH frontal D/S

-SAH

-Hematom pelvis (D)

31

Page 32: CEDERA OTAK BERAT.docx

PENATALAKSANAAN

- Pasang Oropharingeal tube

- Head up 30 derajat

- O2 NRMB 6-8 lpm

- IVFD NS 0,9% 15 tpm

- Pasang NGT

- Pasang Kateter

- Inj. Asam Tranexamat 2x250mg

- Inj. Piracetam 3x3gr

- Inj. Ketorolac 3x30mg

- Inj. Metoclopramid 3x 10mg

- Loading Phenitoin 600mg dalam NS 500cc

- Inj. Citicholin 2x250mg

KIE keluarga

Pasien harus segera di rujuk ke center RS yang tersedia dokter bedah Syaraf

tetapi keluarga menolak karena alasan biaya dan transportasi

Transfer Pasien

Pasien dilakukan terapi konservatif di ROI pada 11 Agustus 2013 (jam 22.00)

32

Page 33: CEDERA OTAK BERAT.docx

Kondisi Pasien di ROI

Tanggal Subjektif Objektif Analisis Perencanaan

12/08/13

Jam 08.00

- Pasien

tidak

sadar

TD : 170/90

N : 108x

RR : 40x

S : 36,5

SpO2: 91%

Nafas cepat dan

dangkal

Collar neck

terpasang

Status neurologis

(E1V1M1)

Pupil bulat

isokor

Refleks

Fisiologis

++/++

Refleks

Patologis

-/-

COB 111

SAH

ICH frontal

KIE keluarga pasang

ETT setuju

Pasang ETT ukuran

7,5 dengan

kedalaman 20cm

dengan

premedikasi

midazolam 2mg I.V

Pasang Ventilator

Konsul Bedah

12/8/2013 Pasien tidak

sadar

TD : 160/80 COB 1x1 KIE keluarga

33

Page 34: CEDERA OTAK BERAT.docx

Jam 10.00

(Konsul

Bedah)

N : 100x

RR : 40x

S : 36,5

SpO2: 98%

Collar neck

terpasang

Terapasang

ventilator

Status

neurologis

(E1VxM1)

Pupil bulat

isokor

RP (-), RC (-)

Refleks

Fisiologis

++/++

Refleks

Patologis

-/-

SAH

ICH frontal

Pasang ventilator

Pro evaluasi MBO

IVFD NS0,9%

200cc/hr

13/8/2013

jam 18.00

Koma TD : 130/80

N : 98x

Sp02: 98%

S : 36,3

Terpasang

ventilator

Status

neurologis

CM (E1VxM1)

Pupil midriasis

maksimal

MBO Test MBO (+)

KIE

KeluargaKeluarga

menghendaki lepas

ventilator (+)

34

Page 35: CEDERA OTAK BERAT.docx

PROGNOSIS

Ad vitam : Dubia ad malam

35

Page 36: CEDERA OTAK BERAT.docx

BAB 4

PEMBAHASAN

Pasien Tn.S, usia 43 tahun mengalami cedera kepala setelah mengalami

kecelakaan. Hal tersebut didasari oleh definisi cedera kepala yaitu trauma

mekanik pada kepala yang terjadi baik secara langsung atau tidak langsung yang

kemudian dapat berakibat pada gangguan fungsi neurologis, fungsi fisik, kognitif,

psikososial, yang dapat bersifat temporer ataupun permanent.

Pada pasien ini mengalami cedera kepala berat dengan GCS 113, yakni

sesuai dengan teori yang telah disampaikan bahwa cedera kepala berat apabila

GCS 3 – 8 dimana kondisi penderita tidak mampu melakukan perintah

sederhana walaupun status kardiopulmonernya telah distabilkan. Cedera

mempunyai resiko morbiditas sangat tinggi. Diagnosa dan terapi sangat penting

dan perlu dengan segara penanganan. Tindakan stabilisasi kardiopulmoner pada

penderita cedera kepala berat harus dilakukan secepatnya.

Saat pasien datang dilakukan primary survey. Pasien pada kondisi

unconsiousness dengan airway ditemukan suara gargling, breathing spontan dan

sirkulasi stabil. Sehingga harus langsung dilakukan tindakan airway dengan

pemasangan oropharingeal tube dan oksigenasi untuk mencegah terjadinya

secondary brain damage. Hal ini sesuai dengan teori pada penatalaksanaan

Airway dan breathing yaitu sering terjadinya gangguan henti nafas sementara,

penyebab kematian karena terjadi apnoe yang berlangsung lama. Intubasi

endotracheal tindakan penting pada penatalaksanaan penderita cedera kepala

berat dengan memberikan oksigen 100 %. Tindakan hyeprveltilasi dilakukan

secara hati-hati untuk mengoreksi sementara asidosis dan menurunkan TIK

pada penderita dengan pupil telah dilatasi dan penurunan kesadaran. PCo2

harus dipertahankan antara 25 – 35 mm Hg

Prinsip penanganan sirkulasi adalah sebagai berikut normalkan tekanan

darah bila terjadi hypotensi. USG / lavase peritoneal diagnostik untuk

menentukan adanya akut abdomen. Pada pasien ini ditemukan adanya hematom

pada pelvis kanan. Pada hasil USG morison pouch (-), sehingga pada saat

pemeriksaan awal tidak didapatkan internal bleeding pada abdomen.

36

Page 37: CEDERA OTAK BERAT.docx

Setelah pandisi stabil pada ABC, dilakukan secondary survey serta

penderita cedera kepala perlu konsultasi pada dokter ahli lain yaitu dokter bedah

atau dokter bedah syaraf untuk tindakan lebih lanjut.

Setelah dilakukan prosedur lebih lanjut pasien didiagnosa mengalami

perdarahan intracebrebral dan perdarahan subarachnoid. Sehingga pasien

disarankan untuk dirujuk ke center RS yang tersedia dokter bedah saraf, tetapi

pihak keluarga menolak dengan alasan biaya dan transportasi.

Hal tersebut sesuai dengan teori bahwa hematom intraserebral adalah

perdarahan yang terjadi dalam jaringan (parenkim) otak. Perdarahan terjadi

akibat adanya laserasi atau kontusio jariagan otak yang menyebabkan pecahnya

pula pembuluh darah yang ada di dalam jaringan otak tersebut. Lokasi yang

paling sering adalah lobus frontalis dan temporalis. Lesi perdarahan dapat terjadi

pada sisi benturan (coup) atau pada sisi lainya (countercoup). Defisit neurologis

yang didapatkan sangat bervariasi dan tergantung pada lokasi dan luas

perdarahan. Penyebab yang paling sering dari hematom intraserebral adalah

penyakit hipertensi vaskuler, perdarahan paling sering terjadi pada ganglia

basalis (80% kasus), batang otak, serebelum dan korteks serebral. Hematom

yang mengisi ruang menyebabkan kenaikan intrakranial. Sebagian besar

perdarahan intraserebral yang terjadi pada penderita hipertensi, akibat dari ruptur

pada arteriol kecil, terutama pada cabang lentikulostriata dari arteri serebral

media. Kontusi serebral murni biasanya jarang terjadi. Selanjutnya kontusi otak

hampir selalu berkaitan dengan hematom subdural akut. Sebagian besar kontusi

terjadi pada lobus frontal dan temporal, walau dapat terjadi pada setiap tempat

termasuk serebelum dan batang otak. Perbedaan antar kontusi dan hematom

intarserebral traumatika tidak jelas batasnya. Bagaimana pun, terjadi zona

peralihan, dan kontusi dapat secara lambat laun menjadi hematom intraserebral

dalam beberapa hari. ( Mardjono M., 2003)

Sehingga pasien dirawat secara konservatif. Adapun prinsip penanganan

secara konservati dan definitif pada pasien ini sesuai dengan teori yang diberikan

adalah sebagai berikut.

37

Page 38: CEDERA OTAK BERAT.docx

TERAPY MEDIKAMENTOSA UNTUK TRAUMA KEPALA

Tujuan utama perawatan intensif ini adalah mencegah terjadinya cedera

sekunder terhadap otak yang telah mengaalami cedera

A. Cairan Intravena

Cairan intra vena diberikan secukupnya untuk resusitasi penderita

agar tetap normovolemik. Perlu diperhatikan untuk tidak memberikan

cairan berlebih. Penggunaan cairan yang mengandung glucosa

dapat menyebabkan hyperglikemia yang berakibat buruk pada otak

yang cedera. Cairan yang dianjurkan untuk resusitasi adalah NaCl

o,9 % atau Rl. Kadar Natrium harus dipertahankan dalam batas

normal, keadaan hyponatremia menimbulkan odema otak dan harus

dicegah dan diobati secara agresif

B. Hyperventilasi

Tindakan hyperventilasi harus dilakukan secara hati-hati, HV dapat

menurunkan PCo2 sehingga menyebabkan vasokonstriksi pembuluh

darah otak. HV yang lama dan cepat menyebabkan iskemia otak

karena perfusi otak menurun. PCo2 < 25 mmHg , HV harus dicegah

Pertahankan level PCo2 pada 25 – 30 mmHg bila TIK tinggi.

C. Manitol

Dosis 1 gram/kg BB bolus IV. Indikasi penderita koma yang semula

reaksi cahaya pupilnya normal, kemudian terjadi dilatasi pupil

dengan atau tanpa hemiparesis. Dosis tinggi tidak boleh diberikan

pada penderita hypotensi karena akan memperberat hypovolemia

D. Steroid

Steroid tidak bermanfaat .Pada pasien cedera kepala tidak

dianjurkan

E. Anticonvulasan

38

Page 39: CEDERA OTAK BERAT.docx

Penggunaan anticonvulsan profilaksisi tidak bermanfaat untuk

mencegaah terjadinya epilepsi pasca trauma. Phenobarbital &

Phenytoin sering dipakai dalam fase akut hingga minggu ke-1. Obat

lain diazepam dan lorazepam

PENATALAKSANAAN PEMBEDAHAN

A. Luka Kulit kepala

Hal penting pada cedera kepala adalah mencukur rambut disekitar

luka dan mencuci bersih sebelum dilakukan penjahitan. Penyebab

infeksi adalah pencucian luka dan debridement yang tidak adekuat

Perdarahan pada cedera kepala jarang mengakibatkan syok,

perdarahan dapat dihentikan dengan penekanan langsung,

kauteraisasi atau ligasi pembuluh besar dan penjahitan luka.

B. Lesi masa Intrakranial

Trepanasi dapat dilakukan apabila perdarahan intra kranial dapat

mengancam jiwa dan untuk mencegah kematian. Prosedur ini penting

pada penderita yang mengalami perburukan secara cepat dan tidak

menunjukan respon yang baik dengan terapy yang diberikan.

Trepanasi dilakukan pada pasien koma, tidak ada respon pada

intubasi endotracheal , hiperventilasi moderat dan pemberian manitol

Setelah dilakukan tindakan resusitasi dan terapi konservatif, kondisi

pasien tidak respon dengan pengobatan dan terjadi perburukan pada tanggal 12

Agustus 2013 jam 08.00. Dengan vital sign sebagai berikut:

39

Page 40: CEDERA OTAK BERAT.docx

TD : 170/90

N : 108x

RR : 40x

S : 36,5

SpO2: 91%

Nafas cepat dan dangkal

Collar neck terpasang

Status neurologis (E1V1M1)

Pupil bulat isokor

Refleks Fisiologis

++/++

Refleks Patologis

-/-

40

Page 41: CEDERA OTAK BERAT.docx

Sehingga pasien di rencanakan untuk dilakukan intubasi dan

pemasangan ventilator. Setelah pemasangan ventilator pada tanggal 13 Agustus

2013 pukul 18.00 pasien dilakukan evaluasi mati batang otak. Dari hasil

pemeriksaan MBO didapatkan:

- Koma dengan penyebab lesi struktural otak, GCS 1x1, dengan kondisi

sekunder lain yang memperberat tidak ditemukan.

- Fungsi serebral negatif: respon nyeri (-), tidak ditemukan gerak spontan.

- Reflek batang otak negatif: reflek cahaya (-), reflek kornea (-).

Dengan kondisi tersebut diatas maka keluarga pasien di KIE, kemudian

dilakukan tes kalori pada pasien untuk memastikan tanda-tanda MBO. Hasil tes

kalori menunjukkan hasil (+). Pasien sudah tegak mengalami MBO.

Dengan pertimbangan dari pihak RS dan keluarga, pasien dilepaskan

intubasi dan ventilatornya.

41

Page 42: CEDERA OTAK BERAT.docx

BAB 5

KESIMPULAN

Cedera kepala merupakan masalah yang serius karena merupakan

penyebab kematian yang paling sering terutama pada kecelakaan kendaraan.

Jenis dan beratnya kelainan akibat cedera kepalaa tergantung pada lokasi dan

beratnya kerusakan otak. Terjadinya cedera kepalaa, kerusakan dapat terjadi

dalam dua tahap yaitu cedera primer yang merupakan akibat langsung dari

benturan, dan cedera sekunder yang terjadi akibat proses patologis yang timbul

sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak.

Aspek – aspek terjadinya cedera kepalaa dikelompokan menjadi beberapa

klasifikasi yaitu berdasarkan mekanisme cedera kepalaa, beratnya cedera

kepalaa dan morfologinya. Kerusakan otak seringkali menyebabkan kelainan

fungsi yang menetap, yang bervariasi tergantung kepada kerusakan yang terjadi,

apakah terbatas (terlokalisir) atau lebih menyebar (difus). Kelainan fungsi yang

ditimbulkan juga tergantung pada bagian otak mana yang terkena. Gejala yang

terlokalisir bisa berupa perubahan dalam gerakan, sensasi, berbicara,

pengelihatan dan pendengaran. Kelainan fungsi otak yang difus bisa

mempengaruhi ingatan dan pola tidur penderita, daan bisa menyebabkan

kebingunan dan koma. Untuk menentukan tingkat keparahan pada penderita

cedera kepalaa digunakan pemeriksaan kesadaran dengan menggunakan skala

koma glasgow (GCS). Dengan jumlah yang paling kecil 3 dan paling besar 15

yang meliputi respon verbal, respon motorik, respon membuka mata. Semakin

kecil poin GCS maka semakin berat cedera yang diderita.

42

Page 43: CEDERA OTAK BERAT.docx

DAFTAR PUSTAKA

Anderson S. McCarty L., Cedera Susunan Saraf Pusat, Patofisiologi, edisi 4,

Anugrah P. EGC, Jakarta, 2005, 1014-10

Ekayuda I., Radiologi Diagnostik, edisi kedua, Balai Penerbit FKUI, Jakarta,

2006, 359-366

Hafid A, Subarachnoid Hemoatoma, Buku Ajar Ilmu Bedah, edisi kedua, Jong

W.D. EGC, Jakarta, 2004, 818-819

Mardjono M. Sidharta P., Mekanisme Trauma Susunan Saraf, Neurologi Klinis

Dasar, Dian Rakyat, Jakarta, 2003, 254-259

Markam S, Trauma Kapitis, Kapita Selekta Neurologi, Edisi kedua, Harsono,

Gajah Mada Universiti Press, Yogyakarta, 2005, 314

43