referat cedera kepala
DESCRIPTION
hkvnmbTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
I. Latar Belakang
Cedera kepala atau yang disebut dengan trauma kapitis adalah ruda
paksa tumpul / tajam pada kepala atau wajah yang berakibat disfungsi
cerebral sementara.Merupakan salah satu penyebab kematian dan
kecacatan utama pada kelompok usia produktif, dan sebagian besar
karena kecelakaan lalu lintas. Hal ini diakibatkan karena mobilitas yang
tinggi di kalangan usia produktif sedangkan kesadaran untuk menjaga
keselamatan di jalan masih rendah, disamping penanganan pertama yang
belum benar - benar , serta rujukan yang terlambat.
Di Indonesia kajadian cidera kepala setiap tahunnya diperkirakan
mencapai 500.000 kasus. Dari jumlah diatas , 10% penderita meninggal
sebelum tiba di rumah sakit. Dari psien yang sampai di rumah sakit , 80%
dikelompokan sebagai cedera kepala ringan, 10 % termasuk cedera
sedang dan 10% sedang, dan 10 % termasuk cedera kepala berat.
Cedera kepala merupakan keadaan yang serius, sehingga
diharapkan para dokter mempunyai pengetahuan praktis untuk
melakukan pertolongan pertama pada penderita. Tindakan pemberian
oksigen yang adekuat dan mempertahankan tekanan darah yang cukup
untuk perfusi otak dan menghindarkan terjadinya cedera otak sekunder
merupakan pokok-pokok tindakan yang sangat penting untuk
keberhasilan kesembuhan penderita.
Sebagai tindakan
selanjutnya yang penting setelah
primary survey adalah identifikasi
adanya lesi masa yang
memerlukan tindakan
pembedahan, dan yang terbaik
adalah pemeriksaan dengan CT
Scan kepala.
Pada penderita dengan cedera kepala ringan dan sedang hanya 3%
-5% yang memerlukan tindakan operasi kurang lebih 40% dan sisanya
dirawat secara konservatif. Pragnosis pasien cedera kepala akan lebih
baik bila penatalaksanaan dilakukan secara tepat dan cepat.
Adapun pembagian trauma kapitis adalah: Simple head injury, Commutio
cerebri, Contusion cerebri, Laceratio cerebri, Basis cranii fracture.
Simple head injury dan Commutio cerebri sekarang digolongkan
sebagai cedera kepala ringan, sedangkan Contusio cerebri dan Laceratio
cerebri digolongkan sebagai cedera kepala berat.
Pada penderita korban cedera kepala, yang harus diperhatikan
adalah pernafasan, peredaran darah dan kesadaran, sedangkan tindakan
resusitasi, anamnesa dan pemeriksaan fisik umum dan neurologist harus
dilakukan secara serentak. Tingkat keparahan cedera kepala harus segera
ditentukan pada saat pasien tiba di Rumah Sakit.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. DEFINISI CEDERA KEPALA
Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik secara
langsung atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat pada gangguan
fungsi neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, yang dapat bersifat
temporer ataupun permanent. Menurut Brain Injury Assosiation of America,
cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital
ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan / benturan fisik dari luar,
yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran, sehingga menimbulkan
kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik (Japardi, 2004).
2. ANATOMI KEPALA
a. Kulit Kepala
Kulit kepala terdiri dari 5
lapisan yang disebut sebagai
SCALP yaitu:
Skin atau kulit
Connective tissue
atau jaringan
penyambung
Aponeuris atau galea
aponeurotika yaitu
jaringan ikat yang
berhbungan langsung
dengan tengkorak
Loose areolar tissue tau jaringan penunjang longgar.
Perikranium
Jaringan penunjang longgar memisahkan galea aponeurotika dari
perikranium dan merupakan tempat yang biasa terjadinya
perdarahan subgaleal. Kulit kepala memiliki banyak pembuluh
darah sehingga bila terjadi perdarahan akibat laserasi kulit kepala
akan menyebabkan banyak kehilangan darah terutama pada anak-
anak atau penderita dewasa yang cukup lama terperangkap
sehingga membutuhkan waktu
Lama untuk mengeluarkannya (American college of surgeon,
1997).
b. Tulang Tengkorak
Terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Tulang tengkorak terdiri
dari beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan oksipital.
Kalvaria khususnya diregio temporal adalah tipis, namun disini dilapisi
oleh otot temporalis. Basis cranii berbentuk tidak rata sehingga dapat
melukai bagian dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan
deselerasi. Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu fosa anterior
tempat lobus frontalis, fosa media tempat temporalis dan fosa posterior
ruang bagi bagian bawah batang otak dan serebelum (American college of
surgeon, 1997).
c. Meninges
Selaput meninges menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3
lapisan yaitu :
1) Duramater
Duramater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan
endosteal dan lapisan meningeal.Duramater merupakan selaput yang keras,
terdiri atas jaringan ikat fibrisa yang melekat erat pada permukaan dalam
dari kranium. Karena tidak melekat pada selaput arachnoid di bawahnya,
maka terdapat suatu ruang potensial (ruang subdura) yang terletak antara
duramater dan arachnoid, dimana sering dijumpai perdarahan
subdural(Japardi, 2004)
Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada
permukaan otak menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau disebut
Bridging Veins, dapat mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan
subdural.
Sinus sagitalis superior mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan
sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan
perdarahan hebat(Japardi,2004)
Arteri meningea terletak antara duramater dan permukaan dalam dari
kranium (ruang epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala dapat
menyebabkan laserasi pada arteri-arteri ini dan menyebabkan perdarahan
epidural. Yang paling sering mengalami cedera adalah arteri meningea
media yang terletak pada fosa temporalis (fosa media).
2) Selaput Arakhnoid
Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang.
Selaput arakhnoid terletak antara pia mater sebelah dalam dan dura mater
sebelah luar yang meliputi otak. Selaput ini dipisahkan dari dura mater oleh
ruang potensial, disebut spatium subdural dan dari pia mater oleh spatium
subarakhnoid yang terisi oleh liquor serebrospinalis. Perdarahan sub
arakhnoid umumnya disebabkan akibat cedera kepala (American college of
surgeon,1997)
3) Pia mater
Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Pia mater adarah
membrana vaskular yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri dan
masuk kedalam sulci yang paling dalam. Membrana ini membungkus saraf
otak dan menyatu dengan epineuriumnya. Arteri-arteri yang masuk kedalam
substansi otak juga diliputi oleh pia mater (japardi, 2004).
d. Otak
Otak merupakan suatu struktur
gelatin dengan berat pada
orang dewasa sekitar 14 kg.
Otak terdiri dari beberapa
bagian yaitu proensefalon
(otak depan) terdiri dari
serebrum dan diensefalon,
mesensefalon (otak tengah) dan
rhombensefalon (otak
belakang) terdiri dari pons,
medula oblongata dan
serebellum.
Fisura membagi otak menjadi beberapa lobus. Lobus frontal berkaitan
dengan fungsi emosi, fungsi motorik dan pusat ekspresi bicara. Lobus
parietal berhubungan dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang. Lobus
temporal mengatur fungsi memori tertentu. Lobus oksipital bertanggung
jawab dalam proses penglihatan. Mesensefalon dan pons bagian atas berisi
sistem aktivasi retikular yang berfungsi dalam kesadaran dan kewapadaan.
Pada medulla oblongata terdapat pusat kardiorespiratorik. Serebellum
bertanggung jawab dalam fungsi koordinasi dan keseimbangan (American
college of surgeon, 1997).
e. Cairan serebrospinalis
Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus dengan
kecepatan produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari dari ventrikel
lateral melalui foramen monro menuju ventrikel III, dari akuaduktus sylvius
menuju ventrikel IV. CSS akan direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena melalui
granulasio arakhnoid yang terdapat pada sinus sagitalis superior. Adanya
darah dalam CSS dapat menyumbat granulasio arakhnoid sehingga
mengganggu penyerapan CSS dan menyebabkan kenaikan takanan
intracranial. Angka rata-rata pada kelompok populasi dewasa volume CSS
sekitar 150 ml dan dihasilkan sekitar 500 ml CSS per hari(Hafidh, 2007).
f. Tentorium
Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang
supratentorial (terdiri dari fosa kranii anterior dan fosa kranii media) dan
ruang infratentorial (berisi fosa kranii posterior)(japardi,2004)
g. Vaskularisasi Otak
Otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri vertebralis.
Keempat arteri ini beranastomosis pada permukaan inferior otak dan
membentuk sirkulus Willisi. Vena-vena otak tidak mempunyai jaringan otot
didalam dindingnya yang sangat tipis dan tidak mempunyai katup. Vena
tersebut keluar dari otak dan bermuara ke dalam sinus venosus
cranialis(japardi,2004).
3. ASPEK FISIOLOGIS CEDERA KEPALA
a. Tekanan intracranial
Berbagai proses pataologi pada otak dapat meningkatkan tekanan
intracranial yang selanjutnya dapat mengganggu fungsi otak yang
akhirnya berdampak buruk terhadap penderita.
Tekanan intracranial yang tinggi dapat menimbulkaan konsekwensi
yang mengganggu fungsi otak. TIK Normal kira-kira sebesar 10
mmHg, TIK lebih tinggi dari 20mmHg dianggap tidak normal.
Seamkin tinggi TIK seteelah cedera kepala, semakin buruk
prognosisnya (American college of surgeon,1997)
b. Hukum Monroe-Kellie
Konsep utama Volume intrakranial adalah selalu konstan karena
sifat dasar dari tulang tengkorang yang tidak elastik. Volume
intrakranial (Vic) adalah sama dengan jumlah total volume komponen-
komponennya yaitu volume jaringan otak (V br), volume cairan
serebrospinal (V csf) dan volume darah (Vbl).
Vic = V br+ V csf + V bl (American college of surgeon,1997)
c. Tekanan Perfusi otak
Tekanan perfusi otak merupakan selisih antara tekanan arteri rata-rata
(mean arterial presure) dengan tekanan inttrakranial. Apabila nilai
TPO kurang dari 70mmHg akan memberikan prognosa yang buruk
bagi penderita.(American college of surgeon,1997)
d. Aliran darah otak (ADO)
ADO normal kira-kira 50 ml/100 gr jaringan otak permenit. Bila ADO
menurun sampai 20-25ml/100 gr/menit maka aktivitas EEGakan
menghilang. Apabila ADO sebesar 5ml/100 gr/menit maka sel-sel otak
akan mengalami kematian dan kerusakan yang menetap (American
college of surgeon, 1997).
4. PATOFISIOLOGI CEDERA KEPALA
Pada cedera kepala, kerusakan otak
dapat terjadi dalam dua tahap yaitu
cedera primer dan cedera sekunder.
Cedera primer merupakan cedera
pada kepala sebagai akibat langsung
dari suatu ruda paksa, dapat
disebabkan benturan langsung kepala
dengan suatu benda keras maupun
oleh proses akselarasideselarasi
gerakan kepala
Dalam mekanisme cedera kepala dapat terjadi peristiwa coup dan
contrecoup. Cedera primer yang diakibatkan oleh adanya benturan pada tulang
tengkorak dan daerah sekitarnya disebut lesi coup. Pada daerah yang
berlawanan dengan tempat benturan akan terjadi lesi yang disebut contrecoup.
Akselarasi-deselarasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara
mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang
tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi semisolid) menyebabkan
tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intrakranialnya. Bergeraknya isi
dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam tengkorak pada
tempat yang berlawanan dari benturan (contrecoup) (japardi, 2004)
Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai proses
patologis yang timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer,
berupa perdarahan, edema otak, kerusakan neuron berkelanjutan, iskemia,
peningkatan tekanan intrakranial dan perubahan neurokimiawi.(japardi, 2004)
5. KLASIFIKASI CEDERA KEPALA
Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis dikenal 3
deskripsi kalsifikasi yaitu berdasarkan mekanisme, beratnya cedera kepala, dan
morfologinya.
a. Mekanisme cedera kepala
Berdasarkan mekanismenya cedera kepala dibagi atas cedera kepala
tumpul dan cedera kepala tembus. Cedera kepala tumpul biasanya
berkaitan dengan kecelakaan mobil atau motor, jatuh atau terkena pukulan
benda tumpul. Sedang cedera kepala tembuus disebabkan oleh peluru atau
tusukan (Bernath, 2009).
b. Beratnya cedera
Cedera kepala diklasifikasikan berdasarkan nilai Glasgow Coma Scale
adalah sebagai berikut :
1. Nilai GCS sama atau kurang dari 8 didefenisikan sebagai cedera kepala
berat.
2. Cedera kepala sedang memiliki nilai GCS 9-13
3. Cedera kepala ringan dengan nilai GCS 14-15.
Glas
gow Glasgow Coma Scale nilai aiRespon membuka mata (E) Buka mata spontan 4Buka mata bila dipanggil/rangsangan suara 3Buka mata bila dirangsang nyeri 2Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun 1
Respon verbal (V) Komunikasi verbal baik, jawaban tepat 5Bingung, disorientasi waktu, tempat, dan orang 4Kata-kata tidak teratur 3Suara tidak jelas 2Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun 1
Respon motorik (M) Mengikuti perintah 6Dengan rangsangan nyeri, dapat mengetahui tempat rangsangan 5Dengan rangsangan nyeri, menarik anggota badan 4Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi fleksi abnormal 3Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi ekstensi abnormal 2Dengan rangsangan nyeri, tidak ada reaksi 1(Kluwer, 2009)
c. Morfologi cedera
Secara morfologis cedera kepala dapat dibagi atas fraktur cranium dan
lesiintrakranial.
1. Fraktur cranium
Fraktur cranim dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dan dapat
berbentuk garis atau bintang dan dapat pula terbuka atau tertutup.
Fracture dasar tengkorak biasanya memerlukan pemeriksaan CT Scan
dengan dengan teknik bone window untuk memperjelas garis
frakturnya. Adanya tanda-tanda klinis fraktur dasar tengkorak
menjadikan petunjuk kecurigaan untuk melakukan pemeriksaan lebih
rinci.tanda-tanda tersebut antara lain ekimosis periorbital (raccoon eye
sign), ekimosis retroauikular (battle sign), kebocoran CSS(Rhinorrhea,
otorrhea) dan paresis nervus fasialis (Bernath, 2009)
Fraktur cranium terbuka atau komplikata mengakibatkan adanya
hubungan antara laserasi kulit kepala dan permukaan otak karena
robeknya selaput duramater. Keadaanini membutuhkan tindakan
dengan segera. Adanya fraktur tengkorak merupakan petunjuk bahwa
benturan yang terjadi cukup berat sehingga mengakibatkan retaknya
tulang tengkorak. Frekuensi fraktura tengkorak bervariasi, lebih
banyak fraktura ditemukan bila penelitian dilakukan pada populasi
yang lebih banyak mempunyai cedera berat. Fraktura kalvaria linear
mempertinggi risiko hematoma intrakranial sebesar 400 kali pada
pasien yang sadar dan 20 kali pada pasien yang tidak sadar. Fraktura
kalvaria linear mempertinggi risiko hematoma intrakranial sebesar 400
kali pada pasien yang sadar dan 20 kali pada pasien yang tidak sadar.
Untuk alasan ini, adanya fraktura tengkorak mengharuskan pasien
untuk dirawat dirumah sakit untuk pengamatan (Davidh, 2009)
2. Lesi Intrakranial
Lesi intrakranial dapat diklasifikasikan sebagai fokal atau difusa,
walau kedua bentuk cedera ini sering terjadi bersamaan. Lesi fokal
termasuk hematoma epidural, hematoma subdural, dan kontusi (atau
hematoma intraserebral). Pasien pada kelompok cedera otak difusa,
secara umum, menunjukkan CT scan normal namun menunjukkan
perubahan sensorium atau bahkan koma dalam keadaan klinis(Bernath,
2009)
a. Hematoma Epidural
Epidural hematom (EDH) adalah perdarahan yang
terbentuk di ruang potensial antara tabula interna dan duramater
dengan cirri berbentuk bikonvek atau menyerupai lensa cembung.
Paling sering terletak diregio temporal atau temporoparietal dan
sering akibat robeknya pembuluh meningeal media. Perdarahan
biasanya dianggap berasal arterial, namun mungkin sekunder dari
perdarahan vena pada sepertiga kasus. Kadang-kadang, hematoma
epidural akibat robeknya sinus vena, terutama diregio parietal-
oksipital atau fossa posterior.
Walau hematoma epidural relatif tidak terlalu sering (0.5% dari
keseluruhan atau 9% dari pasien koma cedera kepala), harus selalu
diingat saat menegakkan diagnosis dan ditindak segera. Bila
ditindak segera, prognosis biasanya baik karena penekan gumpalan
darah yang terjadi tidak berlangsungg lama.
Keberhasilan pada penderita pendarahan epidural berkaitan
langsung denggan status neurologis penderita sebelum
pembedahan. Penderita dengan pendarahan epidural dapat
menunjukan adanya “lucid interval” yang klasik dimana penderita
yang semula mampu bicara lalu tiba-tiba meningggal (talk and
die), keputusan perlunya tindakan bedah memnang tidak mudah
dan memerlukan pendapat dari seorang ahli bedah saraf(Harga
Daniel, 2009)
Dengan pemeriksaan CT Scan akan tampak area hiperdens
yang tidak selalu homogeny, bentuknya biconvex sampai
planoconvex, melekat pada tabula interna dan mendesak ventrikel
ke sisi kontralateral ( tanda space occupying lesion ). Batas dengan
corteks licin, densitas duramater biasanya jelas, bila meragukan
dapat diberikan injeksi media kontras secara intravena sehingga
tampak lebih jelas (Gazali, 2007).
b. Hematom Subdural
Hematoma subdural (SDH)
adalah perdarahan yang terjadi
di antara duramater dan
arakhnoid. SDH lebih sering
terjadi dibandingkan EDH,
ditemukan sekitar 30% penderita
dengan cedera kepala berat.
Terjadi paling sering akibat
robeknya vena bridging antara
korteks serebral dan sinus
draining.
Namun ia juga dapat berkaitan dengan laserasi permukaan atau substansi
otak. Fraktura tengkorak mungkin ada atau tidak (American college of
surgeon, 1997)
Selain itu, kerusakan otak yang mendasari hematoma subdural akuta
biasanya sangat lebih berat dan prognosisnya lebih buruk dari hematoma
epidural. Mortalitas umumnya 60%, namun mungkin diperkecil oleh tindakan
operasi yang sangat segera dan pengelolaan medis agresif. Subdural hematom
terbagi menjadi akut dan kronis.
1) SDH Akut
Pada CT Scan tampak gambaran hyperdens sickle ( seperti bulan sabit )
dekat tabula interna, terkadang sulit dibedakan dengan epidural hematom.
Batas medial hematom seperti bergerigi. Adanya hematom di daerah fissure
interhemisfer dan tentorium juga menunjukan adanya hematom subdural
(Bernath, 2009).
2) SDH Kronis
Pada CT Scan terlihat adanya komplek perlekatan, transudasi, kalsifikasi
yang disebabkan oleh bermacam- macam perubahan, oleh karenanya tidak
ada pola tertentu. Pada CT Scan akan tampak area hipodens, isodens, atau
sedikit hiperdens, berbentuk bikonveks, berbatas tegas melekat pada tabula.
Jadi pada prinsipnya, gambaran hematom subdural akut adalah hiperdens,
yang semakin lama densitas ini semakin menurun, sehingga terjadi isodens,
bahkan akhirnya menjadi hipodens (Ghazali, 2007)
d. Kontusi dan hematoma intraserebral.
Kontusi serebral murni bisanya jarang terjadi. Selanjutnya, kontusi otak
hampir selalu berkaitan dengan hematoma subdural akut. Majoritas terbesar
kontusi terjadi dilobus frontal dan temporal, walau dapat terjadi pada setiap
tempat termasuk serebelum dan batang otak. Perbedaan antara kontusi dan
hematoma intraserebral traumatika tidak jelas batasannya. Bagaimanapun,
terdapat zona peralihan, dan kontusi dapat secara lambat laun menjadi
hematoma intraserebral dalam beberapa hari.
Hematoma intraserebri adalah perdarahan yang terjadi dalam jaringan
(parenkim) otak. Perdarahan terjadi akibat adanya laserasi atau kontusio
jaringan otak yang menyebabkan pecahnya pula pembuluh darah yang ada di
dalam jaringan otak tersebut. Lokasi yang paling sering adalah lobus frontalis
dan temporalis. Lesi perdarahan dapat terjadi pada sisi benturan (coup) atau
pada sisi lainnya (countrecoup). Defisit neurologi yang didapatkan sangat
bervariasi dan tergantung pada lokasi dan luas perdarahan (Hafidh, 2007).
e. Cedera difus
Cedar otak difus merupakan kelanjutan kerusakan otak akibat cedera
akselerasi dan deselerasi, dan ini merupakan bentuk yang sering terjadi
pada cedera kepala. Komosio cerebri ringan adalah keadaan cedera
dimana kesadaran tetap tidak terganggu namun terjadi disfungsi
neurologis yang bersifat sementara dalam berbagai derajat. Cedera ini
sering terjadi, namun karena ringan kerap kali tidak diperhatikan. Bentuk
yang paling ringan dari komosio ini adalah keadaan bingguung dan
disorientasi tanpa amnesia. Sindroma ini pulih kembali tanpa gejala sisa
sama sekali.cedera komosio yang lebih berat menyebabkan keadaan
binggung disertai amnesia retrograde dan amnesia antegrad (American
college of surgeon, 1997).
Komosio cerebri klasik adalah cedera yang mengakibatkan menurunnya
atau hilanggnya kesadaran. Keadaan ini selalu disertai dengan amnesia
pasca trauma dan lamanya amnesia ini merupakan ukuran beratnya cidera.
Dalam bebberapa penderita dapat timbul defisist neurologis untuk
beberapa waktu.
Defisit neurologis itu misalnya kesulitan mengingat, pusing, mual,
anosmia, dan depresi serta gejala lain. Gejala-gajala ini dikenal sebagai
sindroma pasca komosio yang dapat cukup berat.
Cedera aksonal difus (Diffuse Axonal Injury, DAI) adalah keadaan diman
pendeerita mengalami koma pasca cedera yang berlangsung lama ddan
tidak diakibatkan oleh suatu lesi mas aatau serangan iskemik. Biasanya
penderita dalam keadaan kooma yang dalam dan tetap koma selama
beberapa waktuu. Penderita sering menuunjukan gejala dekortikasi atau
deserebrasi dan bila pulih sering tetap dalam keadaan cacat berat, itupun
bila bertahan hidup. Penderita seringg menunjukan gejala disfungsi
otonom seperti hipotensi, hiperhidrosis dan hiperpireksia dan dulu diduga
akibat cedeera aksonal difus dan cedeera otak kerena hiipoksiia secara
klinis tidak mudah, dan memang dua keadaan tersebut seringg terjadi
bersamaan (American college of surgeon,1997)
Dalam beberapa referensi, trauma maxillofacial juga termasuk dalam
bahasan cedera kepala. Karenanya akan dibahas juga mengenai trauma
wajah ini, yang meski bukan penyebab kematian namun kecacatan yang
akan menetap seumur hidup perlu menjadi pertimbangan.
6. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan awal penderita cedara kepala pada dasarnya memikili
tujuan untuk memantau sedini mungkin dan mencegah cedera kepala sekunder
serta memperbaiki keadaan umum seoptimal mungkin sehingga dapat
membantu penyembuhan sel-sel otak yang sakit. Penatalaksanaan cedera
kepala tergantung pada tingkat keparahannya, berupa cedera kepala ringan,
sedang, atau berat(ariwibowo, 2008).
Prinsip penanganan awal meliputi survei primer dan survei sekunder.
Dalam penatalaksanaan survei primer hal-hal yang diprioritaskan antara lain
airway, breathing, circulation, disability, dan exposure, yang kemudian
dilanjutkan dengan resusitasi. Pada penderita cedera kepala khususnya dengan
cedera kepala berat survei primer sangatlah penting untuk mencegah cedera
otak sekunder dan mencegah homeostasis otak(ariwibowo, 2008).
Tidak semua pasien cedera kepala perlu di rawat inap di rumah sakit.
Indikasi rawat antara lain:
a. Amnesia posttraumatika jelas (lebih dari 1 jam)
b. Riwayat kehilangan kesadaran (lebih dari 15 menit)
c. Penurunan tingkat kesadaran
d. Nyeri kepala sedang hingga berat
e. Intoksikasi alkohol atau obat
f. Fraktura tengkorak
g. Kebocoran CSS, otorrhea atau rhinorrhea
h. Cedera penyerta yang jelas
i. Tidak punya orang serumah yang dapat dipertanggung jawabkan
j. CT scan abnormal(Ghazali, 2007)
Terapi medikamentosa pada penderita cedera kepala dilakukan untuk
memberikan suasana yang optimal untuk kesembuhan. Hal-hal yang dilakukan
dalam terapi ini dapat berupa pemberian cairan intravena, hiperventilasi,
pemberian manitol, steroid, furosemid, barbitirat dan antikonvulsan. Pada
penanganan beberapa kasus cedera kepala memerlukan tindakan operatif.
Indikasi untuk tindakan operatif ditentukan oleh kondisi klinis pasien, temuan
neuroradiologi dan patofisiologi dari lesi. Secara umum digunakan panduan
sebagai berikut:
a. volume masa hematom mencapai lebih dari 40 ml di daerah supratentorial
atau lebih
b. dari 20 cc di daerah infratentorial
c. kondisi pasien yang semula sadar semakin memburuk secara klinis
d. tanda fokal neurologis semakin berat
e. terjadi gejala sakit kepala, mual, dan muntah yang semakin hebat
f. pendorongan garis tengah sampai lebih dari 3 mm
g. terjadi kenaikan tekanan intrakranial lebih dari 25 mmHg.
h. terjadi penambahan ukuran hematom pada pemeriksaan ulang CT scan
i. terjadi gejala akan terjadi herniasi otak
j. terjadi kompresi / obliterasi sisterna basalis (Bernath, 2009)
7. PROGNOSA
Apabila penanganan pasien yang mengalami cedera kepala sudah
mendapat terapi yang agresif, terutama pada anak-anak biasanya memiliki
daya pemulihan yang baik. Penderita yang berusia lanjut biasanya
mempunyai kemungkinan yang lebih rendah untuk pemulihan dari cedera
kepala (American college of surgeon,1997).
Selain itu lokasi terjadinya lesi pada bagian kepala pada saat trauma juga
sangat mempengaruhi kondisi kedepannya bagi penderita.
8. PENGELOLAAN CEDERA KEPALA DI UNIT GAWAT DARURAT
1.. Cedera Kepala Ringan ( GCS 13-15)
a. Pasien dalam keadaan sadar
• Tanpa deficit neurology perawatan luka
• Pemeriksaan radiology hanya atas indikasi
• Pasien dipulangkan & keluarga diminta observasi kesadaran bila
curiga kesadaran menurun , segera kembali ke RS
b. Kesadaran terganggu sesaat
• Pasien mengalami penurunan kesadaran sesaat setelah
sadar kembali saat diperiksa.
• Dibuat foto kepala.
• Rawat luka
• Pasien pulang observasi bila curiga kesadaran menurun
segera kembali ke RS
c. Keasadaran menurun
• Perubahan orientasi tanpa deficit fokal
• Dilakukan pemeriksaan fisik, rawat luka, foto kepala
• Istrahat baring mobilisasi bertahap terapi simptomatik
• Observasi minimal 24 jam di RS bila curiga hematoma skennig
Otak
Kriteria Rawat
1. Amnesia posttraumatika jelas (lebih dari 1 jam)
2. Riwayat kehilangan kesadaran (lebih dari 15 menit)
3. Penurunan tingkat kesadaran
4. Nyeri kepala sedang hingga berat
5. Intoksikasi alkohol atau obat
6. Fraktura tengkorak
7. Kebocoran CSS, otorrhea atau rhinorrhea
8. Cedera penyerta yang jelas
9. Tidak punya orang serumah yang dapat dipertanggung-jawabkan
10. CT scan abnormal
2. Cedera Kepala Sedang
Definisi: Pasien mungkin konfusi atau somnolen namun tetap mampu untu
mengikuti perintah sederhana (SKG 9-12).
1. Periksa & atasi gangguan Airway, Breathing, Circulation.
2. Riwayat: jenis dan saat kecelakaan, kehilangan kesadaran,
amnesia, nyeri kepala
3. Pemeriksaan umum guna menyingkirkan cedera sistemik
4. Pemeriksaan neurologis
5. Radiograf tengkorak
6. Radiograf tulang belakang leher dan lain-lain bila ada indikasi
7. Contoh darah untuk penentuan golongan darah
8. Tes darah dasar dan EKG
9. CT scan kepala
10. Rawat untuk pengamatan bahkan bila CT scan normal
Setelah dirawat:
1. Pemeriksaan neurologis setiap jam
2. CT scan ulangan hari ketiga atau lebih awal bila ada
perburukan neurologis.
3. Pengamatan TIK dan pengukuran lain seperti untuk cedera
kepala berat akan memperburuk pasien
4. Kontrol setelah pulang biasanya pada 2 minggu, 3 bulan, 6
bulan dan bila perlu 1 tahun setelah cedera
3. Cedera Kepala Berat
Definisi: Pasien tidak mampu mengikuti bahkan perintah sederhana
karena gangguan kesadaran.
Di Unit Gawat Darurat
1. Riwayat:
Usia, jenis dan saat kecelakaan
Penggunaan alkohol atau obat-obatan
Perjalanan neurologis
Perjalanan tanda-tanda vital
Muntah, aspirasi, anoksia atau kejang
Riwayat penyakit sebelumnya, termasuk obat-obatan
yang dipakai serta alergi
2. Stabilisasi Kardiopulmoner:
Jalan nafas, intubasi dini
Tekanan darah, normalkan segera dengan Salin
normal atau darah
Foley, tube nasogastrik kateter
Film diagnostik: tulang belakang leher, abdomen,
pelvis, tengkorak, dada, ekstremiras
3. Pemeriksaan Umum
4. Tindakan Emergensi Untuk Cedera Yang Menyertai:
Trakheostomi
Tube dada
Stabilisasi leher: kolar kaku, tong Gardner-Wells
dan traksi
Parasentesis abdominal
5. Pemeriksaan Neurologis:
Kemampuan membuka mata
Respons motor
Respons verbal
Reaksi cahaya pupil
6. Obat-obat Terapeutik:
Bikarbonat sodium
Fenitoin
Steroid
Mannitol
Hiperventilasi
7. Tes Diagnostik
CT scan
8. PRINSIP PENANGANAN CEDERA KEPALA
Secara umum indikasi operasi pada hematoma intrakranial :
• Massa hematoma kira-kira 40 cc
• Massa dengan pergeseran garis tengah lebih dari 5 mm
• EDH dan SDH ketebalan lebih dari 5 mm dan pergeseran Baris tengah
dengan GCS 8 atau kurang.
• Konstusio cerebri dengan diameter 2 cm dengan efek massa yang jelas
atau pergeseran garis tengah lebih dari 5 mm.
• Pasien-pasien yang menurun kesadarannya dikemudian waktu disertai
berkembangnya tanda-tanda lokal dan peningkatan tekanan intraknial
lebih dari 25 mm Hg.
Indikasi BWT hole eksplorasi dilakukan bila pemeriksaan CT Scan
tidak memungkinkan dan didapat :
• Dilatasi pupil ipsilateral
• Hemiparese kontralateral
• Lucid interval/penurunan GCS tiba-tiba.
• Indikasi operasi pada faktur depres :
• Lebih dari satu tabula
• Adanya defisit yang berhubungan dengan bagian otak dibawahnya
• LCS leakage
• Fraktur depres terbuka
• Preventif growing fracture pada anak.
Hasil
1. EDH: bila cepat dioperasi mortality kurang dari 10%
2. SDH:
Serlig et al :
operasi dalam 4 jam pertama mortality 30%
operasi setelah 4 jam mortality 90%
Hasselberger et al :
• pasien koma kurang dari 2 jam mortality 47%
• pasien koma lebih dari 2 jasm mortality 80%
3. ICH: mortality 27% -50%
Terapi Konservatif
Cairan intravena : pertahankan status cairan euvolemik, hindari dehidrasi, jangan
menggunakan cairan hipotonis / glukosa. Cairan garam hipertonis : cairan NaCl
0,9 %, 3%-27%. Kureshi dan Suarez menunjukkan penggunaan saline hipertonis
efektif pada neuro trauma dengan hasil pengkerutan otak sehingga menurunkan
tekanan intrakranial, mempertahankan volume intravaskular euvolume.Dengan
akses vena sentral diberikan NaCl 3% 75 cc/jam dengan Cl 50%, asetat 50%
target natrium 145-150 dengan monitor pemeriksaan natrium setiap 4-6 jam.
Setelah target tercapai dilanjutkan dengan NaCl fisiologis sampai 4-5 hari
Hiperventilasi fase akut
Bila tidak ada tanda-tanda peninggian tekanan intrakranial, hiperventilasi jangka
panjang (PaCO2 ≤ 25 mm Hg) setelah cedera otak traumatika harus dicegah.
Hiperventilasi profilaktik (PaCO2 ≤ 35 mm Hg) 24 jam pertama setelah cedera
otak traumatika harus dicegah karena memperburuk perfusi saat aliran darah
serebral berkurang.
Hiperventilasi mungkin perlu untuk masa yang singkat bila terjadi perburukan
neurologis akut, atau untuk jangka yang lebih lama pada hipertensi intrakranial
yang kebal terhadap sedatif, paralisis, drainase cairan serebrospinal dan diuretik
osmotik.
Terapi hiperosmoler -manitol
Merupakan osmosis diuretis. Efek ekspansi plasma, menghasilkan gradient
osmotik dalam waktu yang cepat dalam beberapa menit. Memberikan efek
optimalisasi reologi dengan menurunkan hematokrit, menurunkan viskositas
darah, meningkatkan aliran darah serebral, meningkatkan mikrosirkulasi dan
tekanan perfusi serebral yang akan meningkatkan penghantaran oksigen dengan
efek samping reboun peningkatan tekanan intrakranial pada disfungsi sawar darah
otak terjadi skuestrasi serebral, overload cairan, hiponatremi dilusi, takipilaksis
dan gagal ginjal (bila osmolalitas >320 ml osmol/L. Manitol diberikan pada
pasien koma, pupil reaktif kemudian menjadi dilatasi dengan atau tanpa gangguan
motorik, pasien dengan pupil dilatasi bilateral non reaktif dengan hemodinamik
normal dosis bolus 1 g/kgBB dilanjutkan dengan rumatan 0,25- 1 g/kgBB
Usahakan pertahankan volume intravaskuler dengan mempertahankan osmolalitas
serum < 320 ml osmol/L.
barbiturat
Dosis tinggi dipertimbangkan bagi pasien cedera kepala berat dengan hipertensi
intrakranial dan hemodinamik stabil, yang refrakter terhadap tindakan medis atau
bedah untuk menurunkan tekanan intrakranial. Namun risiko dan komplikasi
membatasi penggunaannya bagi keadaan yang ekstrim dan dilakukan dengan
memonitor hemodinamik secara ketat untuk mencegah atau menindak
ketidakstabilan hemodinamik.
Pentobarbital diberikan dengan dosis awal (loading) 10 mg/kg dalam 30
menit atau 5 mg/kg setiap jam untuk 3 pemberian, diikuti dosis pemeliharaan 1
mg/kg/jam.
Tidak diberikan untuk profilaksi. menekan metabolism serebral,
menurunkan aliran darah ke otak dan volume darah serebral, merubah tonus
vaskuler, menahan radikal bebas dari peroksidasi lipid mengakibatkan supresi
burst.
Kortikosteroid
Tidak direkomendasikan penggunaan glukokortikoid untuk menurunkan tekanan
intrakranial baik dengan methyl prednisolon maupun dexamethason. Dearden dan
Lamb meneliti dengan dosis > 100 mg/hari tidak memberikan perbedaan
signifikan pada tekanan intracranial dan setelah 1-6 bulan tidak ada perbedaan
outcome yang signifikan. Efek samping yang dapat terjadi hiperglikemia (50%),
perdarahan traktus gastrointestinal (85%).
Nutrisi
Dalam 2 minggu pertama pasien mengalami hipermetabolik, kehilangan
kurang lebih 15% berat badan tubuh per minggu. Penurunan berat badan melebihi
30% akan meningkatkan mortalitas. diberikan kebutuhan metabolism istirahat
dengan 140% kalori/ hari dengan formula berisi protein > 15% diberikan selama 7
hari. Pilihan enteral feeding dapat mencegah kejadian hiperglikemi, infeksi.
Kebutuhan Nutrisi:
• Kalori 25 – 30 Kcal/KgBB/Hr
• Protein 1,5 – 2 gr/KgBB/Hr
• Karbohidrat 75 – 100 gr/Hr (7,2 gr/KgBB/Hr)
• Lipid 10 – 40 % kebutuhan kalori / hari
Kebutuhan energi rata-rata pada cedera kranio serebral berat meningkat
rata-rata 40%.
BAB III
KESIMPULAN
Cedera kepala bisa menyebabkan kematian tetapi juga penderita bisa
mengalami penyembuhan total. Jenis dan beratnya kelainan tergantung kepada
lokasi dan beratnya kerusakan otak yang terjadi.
Terjadinya cedera kepala, kerusakan dapat terjadi dalam dua tahap, yaitu
cedera primer yang merupakan akibat yang langsung dari suatu ruda paksa. Dan
cedera sekunder yang terjadi akibat berbagai prosese patologis yang timbul
sebagai tahapmlanjutan dari kerusakan otak primer.
Aspek-aspek terjadinya cedera kepala dikelompokan menjadi beberapa
klasifikasi yaitu berdasarkan mekanisme cedera kepala, beratnya cedera kepala,
dan morfologinya. Tetapi dari beberapa referensi, trauma maxillofacial juga
termasuk dalam bahasan cedeera kepala, yang walaupun bukan merupakan
penyebab kematian namun merupakan penyebab kecacatan yang akan menetap
seumur hidup yang perlu dipertimbangkan.
Kerusakan otak sering kali menyebabkan kelainan fungsi yang menetap,
yang bervariasi tergantung kepada kerusakan yang terjadi, apakah terbatas
(terlokalisir) atau lebih menyebar (difus). Kelainan fungsi yang terjadi juga
tergantung kepada bagian otak mana yang terkena.
Gejala yang terlokalisir bisa berupa perubahan dalam gerakan, sensasi,
berbicara, penglihatan dan pendengaran. Kelainan fungsi otak yang difus bisa
mempengaruhi ingatan dan pola tidur penderita, dan bisa menyebabkan
kebingungan dan koma.
Berbagai fungsi otak dapat dijalankan oleh beberapa area, sehinnga area
yang tidak mengalami kerusakan bisa menggantikan fungsi dari area lainnya yang
mengalami kerusakan. Tetapi semakin tua umur penderita, maka kemampuan otak
untuk menggantikan fungsi satu sama lainnya, semakin berkurang.
Daftar pustaka
American College of Surgeons, 1997, Advance Trauma Life Suport. United
States of America: Firs Impression
Ariwibowo Haryo et all, 2008, Art of Therapy: Sub Ilmu Bedah. Yogyakarta:
Pustaka Cendekia Press of Yogyakarta
Bernath David, 2009, Head Injury, www.e-medicine.com
Boies adam., 2002, Buku Ajar Penyakit THT: Edisi 6, Jakarta: EGC.
Hafid A, 2007, Buku Ajar Ilmu Bedah: edisi kedua, Jong W.D. Jakarta: penerbit
buku kedokteran EGC
Ghazali Malueka, 2007, Radiologi Diagnostik, Yogyakarta: Pustaka Cendekia.
Japardi iskandar, 2004, Penatalaksanaan Cedera Kepala secara Operatif.
Sumatra Utara: USU Press.
Kluwer wolters, 2009, Trauma and acute care surgery, Philadelphia: Lippicott
Williams and Wilkins