bab iii

15
BAB III TINJAUAN PUSTAKA Sindrom Koroner Akut 1. Definisi Sindrom koroner akut merupakan suatu keadaan gawat darurat jantung dengan manifestasi klinis berupa rasa tidak enak di dada atau gejala-gejala lain sebagai akibat iskemia miokard (Rani, dkk., 2006). 2. Etiologi Penyebab utama PJK adalah aterosklerosis yang merupakan proses multifaktor. Kelainan ini sudah mulai terjadi pada usia muda, yang diawali terbentuknya sel busa, kemudian pada usia antara 10 sampai 20 tahun berubah menjadi bercak perlemakan dan pada usia 40 sampai 50 tahun bercak perlemakan ini selanjutnya dapat berkembang menjadi plak aterosklerotik yang dapat berkomplikasi menyulut pembentukan trombus yang bermanifestasi klinis berupa infark miokardium maupun angina (nyeri dada) (Nawawi, et.al., 2006). 3. Klasifikasi a. Unstable Angina Pectoris (UAP) Unstable angina memiliki spektrum presentasi klinis disebut secara kolektif sebagai sindrom koroner akut, mulai dari segmen ST elevasi miokard infark (STEMI) atau non-ST-segmen elevasi miokard infark (NSTEMI). Unstable angina dianggap sindrom koroner akut dimana tidak ada pelepasan dari enzim dan biomarker nekrosis miokard (Tan,

Upload: yuni

Post on 23-Dec-2015

224 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

Sindrom Koroner Akut

1.      Definisi

Sindrom koroner akut merupakan suatu keadaan gawat darurat jantung dengan

manifestasi klinis berupa rasa tidak enak di dada atau gejala-gejala lain sebagai akibat

iskemia miokard (Rani, dkk., 2006).

2.      Etiologi

Penyebab utama PJK adalah aterosklerosis yang merupakan proses multifaktor.

Kelainan ini sudah mulai terjadi pada usia muda, yang diawali terbentuknya sel busa,

kemudian pada usia antara 10 sampai 20 tahun berubah menjadi bercak perlemakan

dan pada usia 40 sampai 50 tahun bercak perlemakan ini selanjutnya dapat

berkembang menjadi plak aterosklerotik yang dapat berkomplikasi menyulut

pembentukan trombus yang bermanifestasi klinis berupa infark miokardium maupun

angina (nyeri dada) (Nawawi, et.al., 2006).

3.      Klasifikasi

a.      Unstable Angina Pectoris (UAP)

Unstable angina memiliki spektrum presentasi klinis disebut secara kolektif sebagai

sindrom koroner akut, mulai dari segmen ST elevasi miokard infark (STEMI) atau

non-ST-segmen elevasi miokard infark (NSTEMI). Unstable angina dianggap

sindrom koroner akut dimana tidak ada pelepasan dari enzim dan biomarker nekrosis

miokard (Tan, 2011).

Unstable angina pectoris disebabkam primer oleh kontraksi otot poles pembuluh

koroner sehingga mengakibatkan iskemia miokard. patogenesis spasme tersebut

hingga kini belum diketahui, kemungkinan tonus alphaadrenergik yang berlebihan

(Histamin, Katekolamin Prostagglandin). Selain dari spame pembuluh koroner juga

disebut peranan dari agregasi trobosit. penderita ini mengalami nyeri dada terutama

waktu istirahat, sehingga terbangun pada waktu menjelang subuh. Manifestasi paling

sering dari spasme pembuluh koroner ialah variant (prinzmental) (Djohan, 2004).

Penatalaksanaan, pasien perlu perawatan di rumah sakit, sebaiknya di unit intensif

koroner, pasien perlu diistirahatkan (bed rest), diberi penenang dan oksigen;

pemberian morfin atau petidin perlu pada pasien yang masih merasakan sakit dada

walaupun sudah mendapat nitrogliserin. Terapi medikamentosa: obat anti iskemia

(Nitrat, penyekat beta, antagonis kalsium), obat anti agregasi trombosit (Aspirin,

triklopidin, klopidogrel, inhibitor glikoprotein Iib/IIIa), obat antitrombin

(Unfractionated heparin, Low molecular weight heparin) (Trisnohadi, 2009).

b.      Non ST Elevasi Miokard Infark (NSTEMI)

Angina pektoris tak stabil (Unstable angina = UA) dan infark miokard akut tanpa

elevasi ST (non ST elevation myocardial infaction = NSTEMI) diketahui merupakan

suatu kesinambungan dengan kemiripan patofisiologi dan gambaran klinis sehingga

pada prinsipnya penatalaksanaan keduanya tidak berbeda. Diagnosis NSTEMI

ditegakkan jika pasien dengan manifestasi klinis UA menunjukkan bukti adanya

nekrosis miokard berupa peningkatan biomarker jantung (Harun dan Alwi, 2009).

Penatalaksanaannya dengan agen anti iskemik (β-blocker, Nitrat, Calcium chanel

blocker), antiplatelet (Aspirin, clopidogrel, Glikoprotein Iib/IIIa receptor inhibitor),

antikoagulan (unfractionated heparin, bivalirudin), revaskularisasi coroner (bedah

arteri coroner) (Hamm, et.al., 2011).

c.      ST Elevasi Miokard Infark (STEMI)

Infark miokard akut dengan elevasi ST (ST elevation myocardial infarction = STEMI)

merupakan bagian dari spektrum sindrom koroner akut (SKA) yang terdiri dari angina

pektoris tak stabil, IMA tanpa elevasi ST dan IMA dengan elevasi ST (Alwi, 2009).

4.      Diagnosis

a.      Anamnesis

Nyeri dada tipikal (angina) berupa nyeri dada substernal, retrosternal, dan prekordial.

Nyeri seperti ditekan, ditindih benda berat, rasa terbakar, seperti ditusuk, rasa diperas

dan dipelintir. Nyeri menjalar ke leher, lengan kiri, mandibula, gigi, punggung /

interskapula, dan dapat juga ke lengan kanan. Nyeri membaik atau hilang dengan

istirahat atau obat nitrat, atau  tidak. Nyeri divetuskan oleh latihan fisik, stres emosi,

udara dingin, dan sesudah makan. Dapat disertai gejala mual, muntah, sulit bernafas,

keringat dingin dan lemas (Rani, et.al., 2006).

b.      Elektrokardiogram

1.      Angina pektoris tak stabil: depresi segmen ST dengan atau tanpa inversi

gelombang T, kadang-kadang elevasi segmen ST sewaktu ada  nyeri, tidak dijumpai

gelombang Q

2.      Non ST elevasi miokard infark: depresi segmen ST, inversi gelombang T dalam.

3.      ST elevasi miokard infark: hiperakut T, elevasi segmen ST, gelombang Q

inversi gelombang T.

(Rani, et.al., 2006)

c.      Petanda Biokimia

            Menurut American Collage of Cardiology (ACC) kriteria untuk IMA ialah

terdapat peningkatan nilai enzim jantung (CK-MB) atau troponin I atau Troponin T

dengan gejala dan adanya perubahan EKG yang diduga iskemia. Kriteria World

Health Organization (WHO) diagnosis IMA dapat ditentukan antara lain dengan: 2

dari 3 kriteria yang harus dipenuhi, yaitu riwayat nyeri dada dan penjalarannya yang

berkepanjangan (lebih dari 30 menit), perubahan EKG, serta peningkatan aktivitas

enzim jantung (Nawawi., et.al., 2006).

5.      Patofisiologi

Patogenesis terkini SKA menjelaskan, SKA disebabkan oleh obstruksi dan oklusi

trombotik pembuluh darah koroner, yang disebabkan oleh plak aterosklerosis yang

vulnerable mengalami erosi, fisur, atau ruptur. Penyebab utama SKA yang dipicu oleh

erosi, fisur, atau rupturnya plak aterosklerotik adalah karena terdapatnya kondisi plak

aterosklerotik yang tidak stabil (vulnerable atherosclerotic plaques) dengan

karakteristik; lipid core besar, fibrous cups tipis, dan bahu plak (shoulder region of the

plague) penuh dengan aktivitas sel-sel inflamasi seperti sel limfosit T dan lain-lain.

Tebalnya plak yang dapat dilihat dengan persentase penyempitan pembuluh koroner

pada pemeriksaan angiografi koroner tidak berarti apa-apa selama plak tersebut dalam

keadaan stabil. Dengan kata lain, risiko terjadinya ruptur pada plakaterosklerosis

bukan ditentukan oleh besarnya plak (derajat penyempitan) tetapi oleh kerentanan

(vulnerability) plak. Erosi, fisur, atau ruptur plak aterosklerosis (yang sudah ada

dalam dinding arteri koronaria) mengeluarkan zat vasoaktif (kolagen, inti lipid,

makrofag dan tissue factor) ke dalam aliran darah, merangsang agregasi dan adhesi

trombosit serta pembentukan fibrin, membentuk trombus atau proses trombosis.

Trombus yang terbentuk dapat menyebabkan oklusi koroner total atau subtotal.

Oklusi koroner berat yang terjadi akibat erosi atau ruptur pada plak aterosklerosis

yang relative kecil akan menyebabkan angina pektoris tidak stabil dan tidak sampai

menimbulkan kematian jaringan. Trombus biasanya transien/labil dan menyebabkan

oklusi sementara yang berlangsung antara 10–20 menit. Bila oklusi menyebabkan

kematian jaringan tetapi dapat diatasi oleh kolateral atau lisis trombus yang cepat

(spontan atau oleh tindakan trombolisis) maka akan timbul NSTEMI (tidak merusak

seluruh lapisan miokard). Trombus yang terjadi lebih persisten dan berlangsung

sampai lebih dari 1 jam. Bila oklusi menetap dan tidak dikompesasi oleh kolateral

maka keseluruhan lapisan miokard mengalami nekrosis (Q-wave infarction), atau

dikenal juga dengan STEMI. Trombus yang terbentuk bersifat fixed dan persisten

yang menyebabkan perfusi miokard terhenti secara tiba-tiba yang berlangsung lebih

dari 1 jam dan menyebabkan nekrosis miokard transmural (Muchid, et.al., 2006).

6.      Penatalaksanaan

Penatalaksanaan Umum :

a.      Penjelasan mengenai penyakitnya; pasien biasanya tertekan, khawatir terutama

untuk melakukan aktivitas.

b.      Pasien harus menyesuaikan aktivitas fisik dan psikis dengan keadaan sekarang.

c.      Pengendalian faktor risiko.

d.      Pencegahan sekunder.

Karena umumnya sudah terjadi arteriosklerosis di pem-buluh darah lain, yang akan

berlangsung terus, obat pen-cegahan diberikan untuk menghambat proses yang ada.

Yang sering dipakai adalah aspirin dengan dosis 375 mg, 160 mg, 80mg.

e.      Penunjang yang dimaksud adalah untuk mengatasi iskemia akut, agar tak terjadi

iskemia yang lebih berat sampai infark miokardium. Misalnya diberi O2.

Mengatasi Iskemia

Medikamentosa:

a.    Nitrat, dapat diberikan parenteral, sublingual, buccal, oral,transdermal dan ada

yang di buat lepas lambat

b.      Berbagai jenis penyekat beta untuk mengurangi kebutuhan oksigen. Ada yang

bekerja cepat seperti pindolol dan pro-panolol. Ada yang bekerja lambat seperti

sotalol dan nadolol. Ada beta 1 selektif seperti asebutolol, metoprolol dan atenolol.

c.    Antagonis kalsium

Revaskularisasi:

a.    Pemakaian trombolitik

b.    Prosedur invasif non operatif, yaitu melebarkan aa coronaria dengan balon.

c.    Operasi (Santoso dan Setiawan., 2005).

Aritmia

1. Definisi

Aritmia adalah kelainan irama jantung di mana irama sinus menjadi lebih cepat pada

waktu inspirasi dan menjadi lebih lambat pada waktu ekspirasi. Keadaan ini menjadi

lebih nyata ketika pasien disuruh menarik nafas dalam (Trisnohadi, 2009).

2.      Etiologi

Aritmia dapat terjadi karena hal-hal yang mempengaruhi kelompok sel-sel yang

mempunyai automatisitas dan sistem penghantarannya:

a.    Persarafan autonom dan obat-obatan yang mempengaruhinya.

b.    Lingkungan sekitarnya seperti beratnya iskemia, PH dan berbagai elektrolit

dalam serum, obat-obatan.

c.    Kelainan jantung seperti fibrosis dan sikatriks, inflamasi, metabolit-metabolit dan

jaringan abnormal/degeneratif dalam jantung seperti amiloidosis, kalsifikasi dan lain-

lain.

d.  Rangsangan dari luar jantung seperti pace maker (Rahman, 2009).

3.      Patofisiologi

Mekanisme timbulnya aritmia:

a.      Pengaruh persarafan autonom (simpatis dan parasimpatis) yang mempengaruhi

HR).

b.      Nodus SA mengalami depresi sehingga fokus irama jantung diambil alih yang

lain.

c.      Fokus yang lain lebih aktif dari nodus SA dan mengontrol irama jantung.

d.      Nodus SA membentuk impuls, akan tetapi tidak dapat keluar (Sinus  arrest) atau

mengalami hambatan dalam perjalanannya keluar nodus SA (SA block).

e.      Terjadi hambatan dalam impuls sesudah keluar nodus SA, misalnya di daerah

atrium, berkas His, ventrikel dan lain-lain (Rahman, 2009).

4.      Klasifikasi

a.      Supraventrikular Takikardi

Takikardi ventrikel adalah ekstrasistol ventrikel yang timbul berturut-turut 4 kali atau

lebih (Trisnohadi, 2009). Supraventrikuler takikardi berarti berasal dari atas ventrikel.

Pada episode SVT, irama jantung tidak diatur oleh nodus SA, pencetus impuls pada

SVT berada di atas ventrikel. Jantung kemudian berkontraksi lebih cepat dan regular.

Kondisi lain yang menyebabkan irama jantung cepat tetapi tidak teratur yang

disebabkan oleh impuls yang abnormal dari atrium disebut atrial fibrilasi (Aliance,

2006). Takikardi supraventrikel timbul dari atrium atau sambungan atrioventrikel.

Kompleks QRS normal kecuali bila terdapat pula cabang serabut (Rubenstein, et.al.,

2007).

SVT dikelompokkan berdasar tempat sinyal elektrik dari atrium. Tipe pertama SVT

adalah AVNRT / AV Nodal Reentran Takikardia yang terjadi Karena impuls elektrik

berjalan pada lingkaran ekstra fiber pada sekeliling AV nodal. Tipe yang lain terjadi

karena konduksi elektrikal melalui ekstra fiber antara atrium dan ventrikel. Impuls

elektrik berjalan turun ke ventrikel dari nodus AV dan kembali ke atrium melalui

ekstra fiber, menghasilkan SVT yang disebut Reentran Takikardi atau AVRT (Wang

and Estes, 2002).

Terapi yang digunakan adalah:

1.        Β-blocker, biasa digunakan untuk mengobati tekanan darah tinggi dan masalah

jantung lain seperti angina. Pada SVT digunakan terutama untunk mengurangi

konduksi melalui nodus AV, untuk menghentikan konduksi selama takikardi.

2.        CCB, juga digunakan untuk mengobati tekanan darah tinggi da masalah

jantung. Seperti Β-blocker, CCB digunakan juga untuk menurunkan konduksi melalui

nodus AV, misalnya verapamil atau diltiazem.

3.        Agen anti aritmia, agen ini digunakan untuk mengobati bermacam-macam

aritmia dan berakibat langsung ke jaringan atrium atau ventrikel. Berguna untuk SVT

yang terjadi atrial takikardi.

4.        Radio frequency ablation (RFA) sudah berkembang menjadi terapi alternative

untuk mengobati beberapa pasien SVT. Pada prosedur ini kateter khusus dimasukkan

pada vena di atas lengan menuju jantung dengan fluoroskop. Kateter tersebut

digunakan untuk merekam sinyal elektrik dari dalam jantung dan dapat mendeteksi

lokasi SVT (Wang and Estes, 2002)

b.      Ventrikel Ekstra Sistole

Ventrikel ekstra sistole ialah gangguan irama di mana timbul denyut jantung prematur

yang berasal dari fokus yang terletak di ventrikel. Ekstrasistol ventrikel dapat berasal

dari satu fokus atau lebih (multifokal). Ekstrasistol ventrikel merupakan kelainan

irama jantung yang paling sering ditemukan dan dapat timbul pada jantung yang

normal. Biasanya frekuensinya bertambah dengan bertambahnya usia, terlebih bila

banyak minum kopi, merokok atau emosi (Trisnohadi, 2009).

Etiologi VES ini biasanya terjadi akibat cetusan dini dari suatu fokus yang otomatis

atau melalui mekanisme reentri. Penatalaksanaan VES ini adalah mengoreksi

gangguan elektrolit, gangguan keseimbangan asam basa, dan lipoksia. Pada pasien

yang tanpa atau tidak dicurigai mempunyai kelainan jantung organik tidak perlu

diobati. Perlu pengobatan bila terjadi iskemia miokard akut, bigemini, trigemini, atau

multifokal alvo ventrikel. Obat yang digunakan adalah L. xilokain intravena, dengan

dosis 1-2 mg/KgBB dilanjutkan infuse 2-4 menit. Obat alternative: prokainamid,

disopiramid, amiodaron, meksiletin. Komplikasi dari VES ini dapat terjadi ventrikel

takikardi/ ventrikel fibrilasi, kematian mendadak. Prognosisnya tergantung penyebab,

beratnya gejala dan respon terapi (Rani, dkk., 2006).

c.      Atrial Fibrilasi

Pada Fibrilasi atrial terjadi eksitasi dan rekoveri yang sangat tidak teratur dari atrium.

Oleh karena itu impuls listrik yang timbul dari atrium juga sangat cepat dan sama

sekali tidak teratur (Trisnohadi, 2009).

Manifestasi klinis AF dapat simptomatik, dapat juga asimptomatik. Gejala-gejala AF

sangat bervariasi tergantung dari kecepatan laju irama ventrikel, lamanya AF,

penyakit yang mendasarinya. Sebagian mengeluh berdebar-debar, sakit dada terutama

saat beraktifitas, sesak nafas, cepat lelah, sinkop atau gejala tromboemboli. AF dapat

mencetuskan gejala iskemik pada AF dengan dasar penyakit jantung koroner. Fungsi

kontraksi atrial yang sangat berkurang pada AF akan menurunkan curah jantung dan

dapat menyebabkan terjadi gagal jantung kongestif pada pasien dengan disfungsi

ventrikel kiri (Nasution dan Ranitya, 2009).

5.      Penatalaksanaan

Periksa kadar kalium serum, ekokardiogram dan fungsi tiroid. Tujuannya adalah

mengembalikan irama sinus atau pengendalian kecepatan ventrikel untuk

meminimalkan resiko embolisasi. Kardioversi arus searah (DC cardioversion)

mengembalikan irama sinus pada 90% pasien, namun relaps sering timbul.

Terapi medikamentosa:

Kina, flekainid, dan amiodaron telah lama digunakan untuk mengembalikan dan

mempertahankan irama sinus (Rubenstein, et.al., 2007).

Hipertensi

1.      Definisi

Hipertensi adalah suatu keadaan di mana seseorang mengalami peningkatan tekanan

darah di atas normal yang ditunjukkan oleh angka systolik (bagian atas) dan angka

bawah (diastolik) pada pemeriksaan tensi darah menggunakan alat pengukur tekanan

darah baik yang berupa cuff air raksa (sphygmomanometer) ataupun alat digital

lainnya (Anonim, 2011).

2.      Etiologi

Hipertensi merupakan suatu penyakit dengan kondisi medis yang beragam. Pada

kebanyakan pasien etiologi patofisiologi-nya tidak diketahui (essensial atau hipertensi

primer). Hipertensi primer ini tidak dapat disembuhkan tetapi dapat dikontrol.

Kelompok lain dari populasi dengan persentase rendah mempunyai penyebab yang

khusus, dikenal sebagai hipertensi sekunder. Banyak penyebab hipertensi sekunder;

endogen maupun eksogen. Bila penyebab hipertensi sekunder dapat diidentifikasi,

hipertensi pada pasien-pasien ini dapat disembuhkan secara potensial (Muchid, et.al.,

2006).

3.      Klasifikasi Tekanan Darah

Tabel 1. Klasifikasi tekanan darah untuk dewasa umur ≥ 18 tahun menurut JNC 7

Klasifikasi tekanan darah

Tek. Darah sistolik (mmHg)

Tek. Darah diastolik (mmHg)

Normal

< 120

Dan

<80

Prehipertensi

120-139

Atau

80-89

Hipertensi stage 1

140-159

Atau

90-99

Hipertensi stage 2

≥160

atau

≥100

4.      Komplikasi

Tekanan darah tinggi dalam jangka waktu lama akan merusak endothel arteri dan

mempercepat atherosklerosis. Komplikasi dari hipertensi termasuk rusaknya organ

tubuh seperti jantung, mata, ginjal, otak, dan pembuluh darah besar. Hipertensi adalah

faktor resiko utama untuk penyakit serebrovaskular (stroke, transient ischemic attack),

penyakit arteri koroner (infark miokard, angina), gagal ginjal, dementia, dan atrial

fibrilasi. Bila penderita hipertensi memiliki faktor-faktor resiko kardiovaskular lain,

maka akan meningkatkan mortalitas dan morbiditas akibat gangguan

kardiovaskularnya tersebut. Menurut Studi Framingham, pasien dengan hipertensi

mempunyai peningkatan resiko yang bermakna untuk penyakit koroner, stroke,

penyakit arteri perifer, dan gagal jantung (Muchid, et.al., 2006).

5.      Penatalaksanaan.

Prinsip penatalaksanaan:

a.      Target tekanan darah  <140/90 mmHg atau <130/80 mmHg untuk pasien dengan

diabetes atau cronic kidney disease.

b.      Sebagian besar pasien akan diberi 2 obat untuk mencapai target (JNC 7, 2003).

Alogaritme Penatalaksanaan Hipertensi