bab ii tinjauan umum tentang konsep...
TRANSCRIPT
20
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG KONSEP SEKULARISASI
A. Latar Belakang Kemunculan Sekularisasi
Jika ditinjau dari sejarah perkembangannya, sekularisme, menurut
Muhammad Qutb, seperti dikutip oleh Pardoyo, termasuk konsep
politiknya, muncul dari Dunia Barat, terutama sejarah Eropa dalam
khazanah agama Kristen.1
Menurut Bernard Lewis, pemikir politik paling berpengaruh di
Amerika Serikat sesudah berakhirnya perang dingin, seperi dikutip
Adian Husaini, “Sejak awal mula, kaum kristen diajarkan –baik dalam
persepsi maupun praktis- untuk memisahkan antara Tuhan dan Kaisar
dan dipahamkan tentang adanya kewajiban yang berbeda antara
keduanya.2
Karena itulah dalam sejarah gereja muncul ungkapan yang
dihubungkan dengan al-Masih, “Berikan kepada Kaisar apa yang
menjadi hak Kaisar dan kepada Allah apa yang menjadi hak Allah.
Sebagaimana yang diceritakan dalam Injil, yang dikutip oleh Qutb,
walaupun menurutnya, riwayat ini sangat diragukan kebenarannya:
“Pada suatu saat, ketika Yesus berkhotbah, majulah seorang Yahudi dan berkata, ‘Wahai Sang Guru, kamu mengatakan kepada kami, jangan sekali-kali engkau taat kepada siapa pun kecuali ia percaya kepada Kitab yang diturunkan oleh Allah. Inilah dia, si Kaisar yang tidak beriman kepada Kitab Suci yang diturunkan kepadamu, dia memaksa kami membayar pajak. Apakah kami harus membayarnya?’ Yesus menjawab, ‘Tunjukan mata uang itu, gambar apa yang ada di situ?’ Orang Yahudi itu menjawabnya, ‘Gambar Kaisar’. Maka Yesus
1 Pardoyo, Sekularisasi dalam Polemik, Jakarta: PT. Temprint, 1993, hlm. 17 2 Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat, Jakarta: Gema Insani, 2005, hlm. 28
21
menjawab, ‘Berilah kepada Kaisar apa yang menjadi hak Kaisar dan kepada Allah apa yang menjadi hak Allah.’ ”3
Dalam bukunya, Christianity in World History, Arend Theodor ven
Leeuwen, seperti dikutif Adian Husaini, penyebaran Kristen di Eropa
membawa pesan sekularisasi. Kata Leeuwen, “Kristenisasi dan
sekularisasi terlibat bersama dalam suatu hubungan yang dialektikal.”
Maka menurutnya, persentuhan antara kultur sekuler Barat dengan kultur
tradisional religius di Timur tengah dan Asia, adalah bermulanya babak
baru dalam sejarah sekularisasi.4
Lalu bagaimana untuk menelusuri latar belakang dari sekularisasi?
Fenomena sekularisasi sebenarnya dapat ditelusuri dari proses sejarah
yang panjang yang dialami oleh peradaban Kristen Barat dan juga
dengan penelusuran terhadap sejarah sekularisasi yang terjadi di Dunia
Timur. Namun, biasanya proses yang terjadi pada sekularisasi di Dunia
Barat diglobalkan dan dipromosikan ke agama-agama lainnya, termasuk
Islam.
Untuk menjembatani hal tersebut di atas, khususnya bagi pemikir
Barat dan Timur, menurut pandangan al-Attas, ada sebuah perbedaan
jika kita memahami sekularisasi yang terjadi di Dunia Barat dan Timur.
Sekularisasi yang terjadi dalam masyarakat Muslim tidaklah sama
dengan apa yang terjadi pada masyarakat Kristen Barat. Oleh karena itu,
al-Attas mengingatkan agar masyarakat muslim, tidak hanya mengenal
3 Pardoyo, op. cit., hlm. 79 4 Adian Husaini, op. cit., hlm. 28
22
sekularisasi yang terjadi pada masyarakat Kristen saja, melainkan juga
tetap melihat contoh sekularisasi yang terjadi pada masyarakat Muslim. 5
Namun demikian, al-Attas juga menyarankan agar kita tetap mengetahui
sekularisasi yang terjadi pada masyarakat Kristen Barat, karena
pengalaman mereka atas hal itu dan sikap mereka terhadapnya adalah
sangat berguna untuk dipelajari kaum Muslimin di seluruh Dunia.6
Oleh karena itu, penulis tidak hanya mencoba mengurai latar
belakang sekularisasi dalam sejarah Kristen Barat saja, melainkan juga
sejarah Dunia Timur.
1. Latar Belakang Kemunculan Sekularisasi di Barat
Setidaknya, ada tiga faktor penting yang menjadi latar belakang
kemunculan sekularisasi; Pertama, trauma sejarah, khususnya yang
berhubungan dengan dominasi agama dan politik di zaman pertengahan.
Kedua, Problema teks Bible. Dan Ketiga, problema teologis Kristen.
Ketiga problema itu terkait satu dengan yang lainnya, sehingga
memunculkan sikap traumatis terhadap agama, yang pada ujungnya
melahirkan sikap berpikir sekuler liberal dalam sejarah tradisi pemikiran
Barat modern. Dalam pembahasan latar belakang kemunculan
sekularisasi di Barat, penulis sengaja hanya menulis secara sekilas dalam
pembahasan Problema Teks Bible dan Problema Teologis Kristen, hal
ini dikarenakan, tema ini lebih cocok pada jurusan akidah dan filsafat,
5 Syed Muhammad Al-Naquib Al-Attas, Islam dan Sekularisme, 1981, Penerjemah: Karsidjo Djojosoewarno, hlm. 17
6 Al-Attas, op. cit., hlm. 18
23
walau secara tidak langsung politik tetap dimainkan oleh para teolog dan
filsuf, sehingga penulis lebih memfokuskan pembahasan dalam tema
Trauma Sejarah.
a. Trauma Sejarah
Ketika berbicara masalah trauma sejarah, maka hal ini tidak akan
mungkin bisa lepas dari sejarah kekristenan, Bernard Lewis
menggambarkan, bahwasanya, sejarah kekristenan, banyak diwarnai
dengan konflik politik antar kelompok yang berujung pada peperangan
atau penindasan. Konflik politik ini bermula sejak zaman Konstantin
Agung, dimana terjadi konflik politik antara Gereja Konstantinopel
dengan Alexandria dan Roma, antara Katolik dan Protestan, dan antara
berbagai sekte dalam Kristen. Setelah konflik berdarah banyak terjadi,
maka muncul kalangan Kristen yang berfikir untuk menghilangkan
kekuasaan Gereja serta campur tangan Negara terhadap Gereja.7
Zaman itu dimulai sejak ketika imperium Romawi Barat runtuh
pada tahun 476 dan mulai munculnya Gereja Kristen sebagai sebuah
institusi dominant dalam masyarakat Kristen Barat samapi dengan
masuknya zaman Renaissance (lahir kembali) sekitar abad ke-14.
Mereka seperti merasa, bahwa ketika hidup di bawah cengkeraman
kekuasaan Gereja, mereka mengalami kematian 8
Lalu dimana letak trauma sejarah atau problema Kristen yang pada
akhirnya menjadi salah satu penyebab lahirnya sekularisasi. Untuk
7 Adian Husaini, op. cit., hlm. 30 8 Ibid.
24
memahami latar belakang tentang trauma sejarah atau problema Kristen
maka penting bagi kita untuk menelaah sejarah mengapa dan bagaimana
gereja di tengah zaman pertengahan membangun kekuatan
hegemoniknya, salah satunya di bidang politik.
Hal ini bisa dilihat dari awal abad pertengahan ketika gereja
melakukan pembentukan institusi Kepausan, yaitu masa dimana agama
Kristen mendapatkan peluang kebebasan setelah beratus-tahun
mengalami penindasan di bawah imperium Romawi dari kaisar
Konstantin, sehingga pada tahun 392 M, agama Kristen, secara politik,
memegang posisi sebagai agama Negara “State Religion” dari imperium
Romawi.9
Selama beratus-ratus tahun, tepatnya pada tahun 590-604, gereja
Romawi mulai terorganisasi dengan baik, yaitu di zaman Paus
Gregorius, yang dikenal sebagai “The Great”. Dialah yang membangun
awal mula birokrasi kepausan dan memperkuat kekuasaan kepausan
“Papacy’s Power”. Oleh karena itu, Gregorius dipandang sebagai
“penyusun kekuatan politik kepausan”. Inilah sejarah ringkas dari awal
terbentuknya kekuasaan politik kepausan. Pada masa awal, kekuasaan
kepausan tidak mengalami masalah yang serius. 10
9 Ibid. hlm. 31-32 10 Banyak usaha yang dilakukan oleh Paus Gregorius, diantaranya adalah:
mengorganisasikan kekayaan gereja di Italia, Sisilia, Sardinia, Gaul dan wilayah lainnya, ia juga memperkuat otoritas kepausan atas uskup dan pastor yang lainnya, ia juga mengirimkan misionaris ke Inggris untuk menaklukan Anglo Saxons, dan melakukan aliansi dengan Perancis. Selain itu ia juga melakukan aktifitas ekonomi dengan mengimpor gandum untuk memberi makan prajurit Romawi dan mengirimkan pasukan melawan kelompok heretic lombards. Ibid. hlm. 32-33
25
Namun, pada abad paruh ke-11, terjadi konflik politik keagamaan,
hal ini dikarenakan terjadinya pemisahan tanggung jawab dan sumber
legitimasi kekuasaan dari dua institusi tersebut: Negara dan Gereja.
Contoh yang menarik adalah terjadinya konflik politik antara Paus
Gregorius VII dan Raja Henry IV.11 Sebuah konflik politik yang
menunjukan keefektifan kekuasaan Paus atas pemerintah.
Pada akhirnya, gereja secara tidak langsung, bertindak sebagai
wakil Tuhan, dan mengatasnamakan Tuhan. Hal ini salah satu yang
mendorong Marthin Luther melakukan pemberontakan terhadap paus
karena melakukan praktik jual beli surat pengampunan dosa.12
Dendam masyarakat Barat terhadap keistimewaan para tokoh
agama tersebut dapat dilihat dalam sejarah feodalisme dan dominasi
gereja pada abad pertengahan di Eropa.13 Pada saat struktur masyarakat
didominasi oleh kelas aristokrat, kaum gereja dan rakyat rendahan,
kaum penguasa dan pemilik tanah. Kaum gereja memainkan fungsi dan
pemegang otoritas religius bagi para penganutnya. Rakyat jelata
11 Ibid. hlm. 33. Perlu dicatat, bahwa konflik ini bermula ketika Gregorius VII melarang
keterlibatan Raja dalam pengangkatan pejabat Gereja. Paus beranggapan, bahwa Paus sendiri yang berhak mengangkat dan memberhentikan para uskup, mengadakan suatu sidang umum dan mengeluarkan peraturan moral dan keagamaan.Jika Paus mengucilkan seorang penguasa, maka penguasa itu berarti telah berdiri di luar kekristenan, dan oleh karena itu, maka ia tidak dapat menjadi penguasa di Wilayah Kristen (Christendom). Raja Henry IV menolak klaim Paus tersebut, dan menyatakan bahwa kekuasaan raja juga dating langsung dari Tuhan. Menghadapi tentangan itu, Gregorius menyerukan kepatuhan pasif terhadap Henry IV. Pada akhir pertarungan, Henry IV takluk dan dipaksa menemui Gregorius di Cannosa pada 1077 M.
12 Ibid. hlm. 37. Pada tanggal 31 Oktober 1517, Marthin Luther (1483-1546) memberontak pada kekuasaan Paus dengan cara menempelkan 95 poin pernyataan di pintu gerejanya, di Jerman.
13 Choirul Anam, Sekularisme: Antara Mimpi Indah dan Realita, Majalah Justicia, hlm. 76, diambil dalam buku Ernest Troeltsch, The Sosial Theaching, of Christian Churches, vol. I, ter. Olive Wyon, Newyork, macmilan, 1931, hlm. 349
26
memerankan diri sebagai penggarap tanah, serta “obyek yang
terdominasi”.14
Hal ini pada akhirnya, menurut Robert Audi, yang menyebabkan
terjadinya sekularisasi, yaitu setelah masyarakat Barat mengalami rasa
trauma yang amat sangat di abad pertengahan, ketika itu gereja dan
Negara “kelas aristokrat” berkolaborasi mendominasi dalam berbagai
macam aspek kehidupan masyarakat. Mulai pada hal-hal yang privasi
seperti teologi, keluarga, seni, ilmu pengetahuan, sampai hal-hal urusan
publik seperti ekonomi, politik, dan sosial. Di sini, semuanya harus
tunduk pada arus otoritas gereja. Implikasi yang terjadi adalah kerugian
luar biasa atas kemanusiaan di segala bidang, salah satunya dalam
bidang politik.15
Contoh kecil di ataslah yang mendorong perubahan sikap Barat
dalam memandang agama. Persepsi tentang agama Kristen semacam itu
yang kemudian membentuk persepsi kolektif tentang perlunya dilakukan
“sekularisasi”.16
b. Problema Teks Bible
Menurut Adnin Armas, bahwasanya salah satu penyebab terjadinya
sekularisasi di Dunia Barat adalah problema Bible yang mengandung
14 Ibid. 15 Muhammad Shiddiq al-Jawi, Politisasi Agama dan Sekularisme dalam www. Ppi-
india.da.ru 16 Adian Husaini, op. cit., hlm. 40-41
27
hal-hal yang kontradiktif dengan akal.17 Pertentangan antara akal dan
Bible ini mulai mengkristal pada zaman modern. 18
Problema ini berkaitan dengan otensitas teks Bible dengan makna
yang terkandung di dalamnya. Hal ini bukan hanya otensitas Perjanjian
Lama yang masih menyisakan misteri, siapa yang sebenarnya menulis
kitab ini termasuk di dalam teksnya yang banyak dijumpai kontradiksi.
Tetapi juga mengenai Perjanjian Baru yang juga banyak menghadapi
problem otensitas teks.19
Prof. Bruce M. Metzger, guru besar bahasa Perjanjian Baru,
menulis di pembukaan bukunya seperti dikutip Adian Husaini, ada dua
kondisi yang selalu dihadapi oleh penafsir Bible, yaitu; Pertama, Tidak
adanya dokumen Bible yang original saat ini, dan, Kedua, Bahan-bahan
yang ada pun sekarang ini bermacam-macam berbeda satu dengan yang
lainnya.20
Menurut S. M. N. Al-Attas21 dalam bukunya Islam dan
Sekularisme, karena arus modernisasi yang kuat dan tak dapat dibendung
lagi, maka para teolog Barat menafsirkan Bible dengan tafsiran baru.
Oleh karena itu, maka mulai bergulirlah gagasan sekularisasi.22
17 Armas Adnin, op. cit., hlm. 3 18 Ibid. hlm. 4 19 Adian Husaini. op. cit., hlm. 41 20 Ibid. Hlm. 42-43 21 Al-Attas merupakan salah satu tokoh Muslim yang mengkaji masalah sekularisasi
secara holistik, yakni dari tinjauan historis mengenai latar belakang Kristen di Barat hingga permasalahan dewasa ini.
22 Al-Attas, op. cit., hlm. 16, lihat juga Armas Adnin, op. cit., hlm. 3 Dari pembahasan ini perlu dijelaskan, menurut Harvey Cox, dalam bukunya, “Why Christianity Must Be Sekularized”, dalam The Great Ideas Today 1967, seperti dikutif Adnin Armas bahwasanya “dengan penafsiran baru ini, berarti menolak penafsiran lama yang menyatakan adanya alam lain yang lebih hebat dan
28
Ketika berbicara masalah tafsiran Bible “Injil”, maka sudah barang
tentu para tokoh Barat dan umat Kristiani berpandangan bahwasanya
sekularisasi mempunyai akar-akarnya dalam kepercayaan Injil dan
merupakan buah ajaran Injil. Tidak halnya dengan al-Attas, menurutnya,
sekularisasi tidak mempunyai dasar dalam kepercayaan kitab Injil, tetapi
di dalam tafsiran atas kepercayaan kitab Injil dari orang barat. Hal itu
bukanlah buah dari ajaran Injil, tetapi buah dari sejarah panjang sengketa
filosofis dan metafisis antara pandangan dunia Barat yang religius dan
yang sama sekali rasionalistis.23
c. Problema Teologis Kristen
Sepanjang sejarah peradaban Barat, terjadi banyak persoalan serius
dalam perdebatan teologis. Di zaman pertengahan, rasio harus
disubordinasikan dengan kepercayaan Kristen. Akal dan filosofi di
zaman pertengahan tidak digunakan untuk mengkritisi atau menentang
doktrin–doktrin kepercayaan Kristen, tetapi sebaliknya, yaitu, digunakan
untuk mengklarifikasi, menjelaskan, dan menunjangnya.24
Problema yang kemudian muncul adalah ketika para ilmuwan dan
pemikir diminta mensubordinasikan dan menundukkan semua
pemikirannya kepada teks Bible dan otoritas Gereja, justru pada kedua
hal itulah terletak problem itu sendiri. Di samping menghadapi probem
otensitas, Bible juga memuat hal-hal yang bertentangan dengan akal dan
lebih agamis dari pada alam ini. Penafsiran baru ini sekaligus membantah peran dan sikap gerejawan yang mengklaim bahwa gereja memiliki keistimewaan sosial, kekuatan dan property khusus.”
23 Al-Attas, op. cit., hlm. 24 24 Adian Husaini, op. cit., hlm. 47
29
perkembangan ilmu pengetahuan. Jika para ilmuwan dipaksa untuk
tunduk kepada doktrin teologis yang mereka sendiri sulit memahaminya,
tentu muncul benturan pemikiran.25
Latar belakang “terjadinya sekularisasi” pada Kristen Barat secara
garis besar, Menurut al-Attas, disebabkan karena dua peran pokok yaitu
peran teolog dan filsuf. Ketika berbicara dalam dataran teolog, yaitu
teolog Kristen, khususnya dari kalangan Protestan, para teolog menerima
kenyataan adanya krisis agama dan teologi, yang kemudian dengan
landasan teologis baru membangun Kristen baru yang telah
disekulerkan. Dalam pandangan Weber, kalangan inilah yang dikenal
sebagai protestantisme. Mereka ingin agar Kristen tetap sejalan dengan
peristiwa masa kini di Barat. Karena itu mereka mendukung proses
sekularisasi.26
Sementara itu jika berbicara tentang filsuf, maka para filsuf juga
mempunyai peranan penting dalam proses sekularisasi. Pemikiran para
filsuf yang tidak hanya ingin membuat agar kehidupan sejalan dengan
peristiwa masa kini, tetapi lebih dari itu, mereka berorientasi pada suatu
reformasi baru dalam proses perubahan. Masing-masing filsuf
mempunyai versinya sendiri dalam mengubah dunia. Walaupun tidak
semua, namun ada beberapa filsuf yang meragukan eksistensi Tuhan.
Ketika berbicara masalah tafsiran Bible “Injil”, maka sudah barang tentu
para tokoh Barat dan umat Kristiani berpandangan bahwasanya
25 Ibid. hlm. 48 26 Al-Attas, op. cit,. hlm. 18-23
30
sekularisasi mempunyai akar-akarnya dalam kepercayaan Injil dan
merupakan buah ajaran Injil. Tidak halnya dengan al-Attas, menurutnya,
sekularisasi tidak mempunyai dasar dalam kepercayaan kitab Injil, tetapi
di dalam tafsiran atas kepercayaan kitab Injil dari orang barat. Hal itu
bukanlah buah dari ajaran Injil, tetapi buah dari sejarah panjang sengketa
filosofis dan metafisis antara pandangan dunia Barat yang religius dan
yang sama sekali rasionalistis.27
d. Problema Teologis Kristen
Sepanjang sejarah peradaban Barat, terjadi banyak persoalan serius
dalam perdebatan teologis. Di zaman pertengahan, rasio harus
disubordinasikan dengan kepercayaan Kristen. Akal dan filosofi di
zaman pertengahan tidak digunakan untuk mengkritisi atau menentang
doktrin–doktrin kepercayaan Kristen, tetapi sebaliknya, yaitu, digunakan
untuk mengklarifikasi, menjelaskan, dan menunjangnya.28
Problema yang kemudian muncul adalah ketika para ilmuwan dan
pemikir diminta mensubordinasikan dan menundukkan semua
pemikirannya kepada teks Bible dan otoritas Gereja, justru pada kedua
hal itulah terletak problem itu sendiri. Di samping menghadapi probem
otensitas, Bible juga memuat hal-hal yang bertentangan dengan akal dan
perkembangan ilmu pengetahuan. Jika para ilmuwan dipaksa untuk
27 Al-Attas, op. cit., hlm. 24 28 Adian Husaini, op. cit., hlm. 47
31
tunduk kepada doktrin teologis yang mereka sendiri sulit memahaminya,
tentu muncul benturan pemikiran.29
Latar belakang “terjadinya sekularisasi” pada Kristen Barat secara
garis besar, Menurut al-Attas, disebabkan karena dua peran pokok yaitu
peran teolog dan filsuf. Ketika berbicara dalam dataran teolog, yaitu
teolog Kristen, khususnya dari kalangan Protestan, para teolog menerima
kenyataan adanya krisis agama dan teologi, yang kemudian dengan
landasan teologis baru membangun Kristen baru yang telah
disekulerkan. Dalam pandangan Weber, kalangan inilah yang dikenal
sebagai protestantisme. Mereka ingin agar Kristen tetap sejalan dengan
peristiwa masa kini di Barat. Karena itu mereka mendukung proses
sekularisasi.30
Sementara itu jika berbicara tentang filsuf, maka para filsuf juga
mempunyai peranan penting dalam proses sekularisasi. Pemikiran para
filsuf yang tidak hanya ingin membuat agar kehidupan sejalan dengan
peristiwa masa kini, tetapi lebih dari itu, mereka berorientasi pada suatu
reformasi baru dalam proses perubahan. Masing-masing filsuf
mempunyai versinya sendiri dalam mengubah dunia. Walaupun tidak
semua, namun ada beberapa filsuf yang meragukan eksistensi Tuhan.
29 Ibid. hlm. 48 30 Al-Attas, op. cit,. hlm. 18-23
32
Nietche, Marx tidak hanya meragukan eksistensi Tuhan, tetapi mereka
telah mengesampingkan sama sekali konsep-konsep tentang Tuhan.31
Demikianlah secara ringkas, latar belakang sekularisasi yang
terjadi di Dunia Barat, mengutif Al-Attas, bahwasanya sekularisasi yang
terjadi dalam masyarakat Muslim tidaklah sama dengan apa yang terjadi
pada masyarakat Kristen Barat, maka alangkah lebih baiknya jika kita
juga mengetahui latar belakang sekularisasi yang terjadi di Dunia Timur.
2. Latar Belakang Kemunculan Sekularisasi di Timur
Pada latar belakang ini penulis, hanya akan mengambil contoh
studi kasus sekularisasi di Turki.
Secara manusiawi, sebagaimana kata-kata terkenal Ibnu Khaldun,
seperti dikutip Adian Husaini, memang ada kecenderungan orang-orang
yang kalah untuk menjiplak pemenang. Sepanjang sejarah, fenomena itu
banyak terjadi, termasuk di kalangan Muslim. Hal ini dikarenakan,
terlalu kagumnya kalangan Muslim terhadap kemajuan fisik peradaban
Barat, sehingga terdapat asumsi, bahwa jalan satu-satunya kaum Muslim
untuk maju dan bangkit adalah menjiplak Barat. Eksperimen yang terjadi
31 Arah kecenderungan para pemikir filsafat ini membawa konsekuensi yang
mengakibatkan keragu-raguan. (Skeptis). Sebagai konsekuensi radikalnya, kecenderungan ini bahkan sampai meragukan eksistensi Tuhan. Oleh karena itu, mereka berniat untuk mengesampingkan sama sekali paham tentang Tuhan dan menyerahkannya kepada proses sejarah yang senantiasa mengalami perkembangan. Menurut Pardoyo, gejala seperti ini merupakan benih-benih yang lebih nyata, apalagi dengan tampilnya seorang filsuf Jerman di abad ke-19, Friedrich Nietche yang menyetakan setidak-tidaknya di Dunia Barat Tuhan telah mati. Baca: Pardoyo, op. cit., hlm. 6
33
di Turki adalah contoh yang paling menarik untuk dikaji dalam soal
ini.32
Salah seorang tokoh Gerakan Turki Muda pernah mengatakan,
“Yang terunggul hanya ada satu peradaban, dan itu adalah peradaban
Eropa. Karena itu, kita harus meminjam peradaban Barat, baik bunga
mawarnya maupun durinya sekaligus.”33
Bahkan dalam kasus sekularisme yang terjadi di Turki, Mustafa
Kemal Ataturk,34 tanpa segan-segan menyatakan, hanya dengan
melakukan Westernisasi, maka satu Negara akan selamat. Dalam acara
pembukaan fakultas Hukum di Ankara, tahun 1925, ia menyatakan
revolusi Turki telah menyebabkan terjadinya perubahan besar, yakni
menggantikan kesatuan politik lama yang berlandaskan pada agama
dengan landasan Nasionalisme. Bangsa Turki, kata Ataturk, telah
menerima prinsip bahwa satu-satunya cara untuk selamat dan eksis
dalam percaturan dunia Internasional saat ini adalah kesediaan untuk
menerima peradaban Barat Kontemporer.35
32 Adian Husaini, op. cit., Hlm. 271 33 Ibid. 34 Mustafa Kemal dilahirkan tahun 1881 di daerah Salonika. Ayahya Ali Riza, bekerja
sebagai pegawai kantor di kota itu, dan ibunya, Zubaidah, seorang yang taat beragama dan selalu memakai purdah. Maryam Jameelah, dalam bukunya, Islam dan modernisasi mencatat bahwa Ali Riza adalah seorang pecandu alcohol. Sebagian penulis Barat menyebutkan, bahwa Kemal adalah anggota Free Masonry, organisasi rahasia Yahudi yang didirikan di London, 1717. Dalam bukunya, Islam Versus The West, (Abdul Kasim Publishing House, 1994:32), Maryam Jameela mencatat perbedaan antara dua tokoh sekularis Turki, yaitu Ziya Gokalp dan Ataturk. Ziya Gokalp, menurut Jameela, selalu tampil sebagai muslim yang baik. Sedang Ataturk tidak menyembunyikan dirinya sebagai seorang Ateis. Ataturk meninggal pada 10 November 1938 pada usia 57 tahun. Jenazahnya disimpan di Museum Etnografi Ankara hingga tahun 1953, lalu disimpan ke Musoliumnya.
35 Ibid. Hlm. 272
34
Turki kemudian dikenal sebagai Negara yang mencoba semaksimal
mungkin menjiplak Barat dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk
dalam aspek politik. Setelah tumbangnya Khilafah Utsmaniyah, 1923,
laju imitasi Barat semakin kencang. Mereka berfikir, dengan menjiplak
Barat dan meninggalkan Islam, Turki akan menjadi bangsa yang kuat
dan besar. Turki secara tegas menyebut dirinya sbagai Negara sekuler.
Hal ini dapat dilihat dari UUD Turki pasal 1 yang menegaska, Turki
adalah Negara;
1. Republik
2. Nasionalis
3. Kerakyatan
4. Kenegaraan
5. Sekularis
6. Revolusioneris36
Penjiplakan proses sekularisasi yang dilakukan oleh Turki secara
politik dimulai dari pandangan hidup dan sistem kemasyarakatan dengan
melakukan proses sekularisasi secara besar-besaran, bahkan sudah
dimulai dengan proklamasi Negara Republik Turki pada tanggal 29
Oktober 1923. Mustafa Kemal terpilih sebagai presiden pertama. Ia
kemudian mengganti nama menjadi Kemal Ataturk (Bapak bangsa
Turki).37
36 Ibid 37 Ibid.
35
Setelah berkuasa, secara politik, ia melakukan sekularisme yang
radikal, dan hal itu merupakan sebuah pengalaman yang janggal di dunia
Muslim.38 Ia melakukan reformasi dalam bidang agama. Salah satu
reformasi tersebut adalah upaya mengganti bacaan shalat dengan bahasa
Turki, namun hal itu tidak dapat diwujudkan. Selain itu upaya yang tidak
dapat dilakukan adalah, upaya untuk mengubah Masjid menjadi gereja
Islam. Namun, ada beberapa kebijakan penting yang diambil oleh
Ataturk dan dapat dilaksanakan dalam bidang keagamaan, diantaranya:
1. Azan untuk pertama kalinya secara resmi dikumandangkan dengan
menggunakan bahasa Turki pada bulan Januari 1932. Bahkan pada
tahun 1933, keluar keputusan pemerintah yang menyatakan bahwa
azan dalam bahasa Arab merupakan pelanggaran hukum.
2. Fakultas Teologi ditutup dan diganti dengan Institut Riset Isla pada
tahun itu juga, 1932.
3. Libur mingguan hari Jum’at diganti dengan libur mingguan mulai
pukul 01.00 hari Sabtu sampai hari Senin pagi.
4. Kesultanan atau kekhilafahan yang universal diganti dengan
Negara nasionalis Turki.
5. Perubahan Aya Sofya (Hagia Sophia), gereja Bizantium, yang
diubah menjadi museum.
6. Dalam perkawinan, tidak lagi dilakukan dengan syari’at Islam,
tetapi dilakukan sesuai hukum sipil yang diadopsi dari Swiss.
38 Yudi Latif, Sekularisasi Masyarakat dan Negara Indonesia, dalam Komarudin hidayat,
ahmad Gaus AF ( EDS.), Islam Negara Dan Civil Society, Jakarta: Paramadina, 2005, hlm. 125
36
Wanita mendapat hak cerai sama dengan laki-laki, Poligami
dilarang, wanita Muslimah mendapat hak untuk menikah dengan
pria non-Muslim.39
7. Selain dalam azan, Ataturk juga mnegganti khutbah jum’at dari
bahasa Arab menjadi bahasa Turki.40
Ataturk juga melakukan sekularisme dalam bidang kenegaraan,
yaitu pemisahan agama dari Negara. Menurut Ataturk, pemisahan agama
dengan Negara akan menyelamatkan bangsa dari malapetaka. Hal ini
dimulai pada tahun 1928, yaitu dengan menghapus artikel 2 dari
konstitusi Turki yang menyebutkan bahwa agama Negara adalah Islam.
Sebelumnya, tahun 1924, Biro Syaikh al-Islam juga dihapus. Begitu juga
kementrian Syari’at dan Mahkamah Syari’at. Sehingga Negara, secara
politik, tidak ada lagi hubungannya dengan agama, bahkan, pada tahun
1937, prinsip sekularisme dimasukkan ke dalam konstitusi Turki,
sehingga Turki menjadi Negara Republik Sekuler.41
Di bidang pendidikan, pada tahun 1924, dikeluarkan UU
Penyatuan Pendidikan yang mewajibkan seluruh sekolah berada di
bawah pengawasan Kementrian Pendidikan. Madrasah-madrasah ditutup
dan pendidikan agama ditiadakan. Pelajaran bahasa Arab dan Persia
dihapuskan, dan tulisan Arab diganti dengan tulisan Latin.42
39 Adian Husaini, loc. cit. 40 Yudi Latif, op. cit., hlm. 148 41 Adian Husaini, op. cit., hlm 273-274 42 Ibid., hlm. 274
37
Namun dalam bidang pendidikan, sekolah-sekolah Islam, baik
pesantren maupun madrasah, sama halnya dengan bidang keagamaan
berkembang dengan pesat di daerah pinggiran, jika di daerah perkotaan
hal ini dapat dilakukan, maka tidak demikian dengan di pedesaan, justru
pendidikan keagamaan berlangsung dengan marak.43
Di bidang budaya, proses sekularisasi dilakukan antara lain dengan
pelarangan penggunaan topi adat Turki, Torbus, pada tahun 1925.
sebagai gantinya dianjurkan pemakaian Topi Barat. Pakaian keagamaan
juga dilarang dan rakyat Turki, baik pria maupun wanita, diharuskan
menggunakan pakaian Barat.44
B. Definisi Sekularisasi
Mengingat masalah arti merupakan hal yang teramat penting,
kiranya sangat tepat jika sebelum menguraikan lebih lanjut penulisan
skripsi ini kepada tema sekularisasi, terlebih dahulu dilakukan
penjelasan mengenai beberapa istilah yang tampaknya hampir sama,
akan tetapi sebenarnya mempunyai pengertian yang berbeda.
Terhadap satu istilah, terkadang sudah timbul perdebatan . hal yang
sama juga berlaku pada istilah “sekularisasi”. Di Indonesia pada
dasawarsa 1970-an, istilah “sekularisasi” ini telah mengundang
43 Pardoyo, op. cit., hlm. 129-130. 44 Adian Husaini, op. cit., hlm 273-274
38
perdebatan antara Rasjidi dan Nurcholish Madjid yang dianggap sebagai
tokoh kontroversial pada saat itu.45
Suatu perdebatan biasanya hanya berupa salah pengertian yang
disebabkan karena perbedaan persepsi atau sudut pandang. Begitu pula
dengan istilah “sekularisasi”, harus diketahui dari sudut pandang mana
orang melihatnya. Melihat dengan kacamata Barat tentu saja akan
berlainan dengan kacamata kita orang Indonesia, begitu pula kalau yang
digunakan adalah kacamata orang lain, karena masing-masingnya
dilatarbelakangi oleh kultur, politik, maupun sejarah yang berlainan.46
Untuk memudahkan pemahaman dan penjabaran pada tema dan
bab selanjutnya, penulis merasa perlu untuk tidak hanya memberikan
definisi pada kata “sekularisasi” saja, melainkan juga sekitar definisi dari
kata sekular, sekularisme, hal ini penting, dikarenakan adanya
konsistensi di antara kata tersebut.
1. Sekuler
Istilah sekuler berasal dari kata Latin saeculum yang berarti ganda,
ruang dan waktu. Ruang menunjuk pada pengertian duniawi, sedangkan
waktu menunjuk pada pengertian sekarang atau zaman kini. Jadi kata
saeculum berarti masa kini atau zaman kini. Dan masa kini atau zaman
kini menunjuk pada peristiwa di dunia ini, atau berupa peristiwa masa
45 Pardoyo, op. cit., hlm. 17. 46 Ibid.
39
kini.47 Atau bisa dikatakan bahwa makna “sekuler” lebih ditekankan
pada waktu atau periode tertentu di dunia. Hal ini dipandang akibat latar
belakang, kultur, politik maupun sejarah.48
Konotasi ruang dan waktu (spatio-temporal) dalam konsep sekuler
ini secara historis terlahirkan di dalam sejarah Kristen Barat. Di Barat
pada Abad pertengahan, secara politik, telah terjadi langkah-langkah
pemisahan antara hal-hal yang menyangkut masalah agama dan
nonagama (bidang sekuler). Sebagaimana langkah awal di Barat, sedikit
demi sedikit urusan keduniawian memperoleh kemerdekaan dari
pengaruh gereja.49
Dalam perkembangannya, pengertian sekuler pada abad ke-19
diartikan bahwa kekuasaan, Gereja tidak berhak ikut campur dalam
bidang politik, ekonomi, dan ilmu pengetahuan.50
Dalam kamus kontemporer, sekuler diartikan: 1. Berkenaan dengan
hal-hal duniawi. 2. Tidak diabdikan untuk kepentingan agama.51
47 Pardoyo, op. cit., hlm. 18, Lihat juga: Syed Muhammad Al-Naquib Al-Attas, op. cit.,
hlm. 18-19, lihat juga: Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, Bandung: Mizan, 1987, hlm.216, lihat juga: Adian Husaini. op. cit., hlm. 259
48 Pardoyo, loc. cit.. 49 Perlu diingat bahwa pada saat itu di Barat pengertian Gereja adalah agama Kristen
Ortodoks (Katolik Romawi) sedangkan agama Protestan belum lahir. Baru setelah urusan duniawi terlepaskan dari pengawasan Gereja, terjadilah reformasi, yaitu lahirnya agama Protestan yang antara lain dipelopori oleh Marthin Luther (1483-1546).
50: Faisal Ismail, “Tentang Sekuler, Sekularisme, dan Sekularisasi” dalam Percikan Pemikiran Islam, 1984, hlm. 10, juga pernah dimuat dalam harian Kedaulatan Rakyat, 5 Februari, 1981.
51 Peter Salim, The Contemporary English-Indonesia Dictionary, Jakarta: Modern English Press, 1986. hlm. 1745
40
2. Sekularisasi
Pengertian sekularisasi sering diartikan sebagai pemisahan antara
urusan Negara (politik) dan urusan agama, atau pemisahan antara urusan
duniawi dan ukhrawi (akhirat). Seorang pengamat sosial politik Barat
menulis, “The trend a way seculer and rational interpretation is known
as ‘sekularization’.”52 (Kecendrungan mengenai cara melakukan
interpretasi yang bersifat sekuler dan rasional itulah yang dikenal
sebagai sekularisasi).
Dalam kamus kontemporer, sekularisasi diartikan memisahkan diri
dari lembaga keagamaan, mengambil alih milik gereja.53
Menurut Surjanto Poepowardojo, pada hakikatnya sekularisasi
menginginkan adanya pembebasan tajam antara agama dan ilmu
pengetahuan, dan menganggap ilmu pengetahuan otonom pada dirinya.54
Dengan demikian, manusia mempunyai otonomi, sehingga ia dapat
berbuat bebas sesuai dengan apa yang dikehendaki berdasarkan rasio.
Atas dasar orientasi ilmiah, manusia berusaha untuk menemukan hal-hal
yang baru, dan dengan metode ilmiah empiris, yang telah berkembang
sejak abad 18, manusia menjadi mempunyai kreativitas, untuk
menangkap dan mengungkapkan realitas yang konkret.55
52 Pardoyo, op. cit., hlm 20. Baca: Paul H. Landis, Sosial Policies in the Making, 1952,
hlm. 92 53 Peter Salim, op. cit., hlm., 1745 54 Baca: Soerjanto Poepowardojo, Strategi Kebudayaan, Jakarta: Gramedia, 1989 hlm. 79 55 Pardoyo., op. cit., hlm. 20
41
3. Sekularisme
Cox, seperti dikutip Harun Nasution, memberikan perbedaan
esensial antara sekularisme dan sekularisasi. Sekularisme, menurut Cox,
merupakan ideologi yang mengandung ajaran-ajaran mengikat, dan
sebagai ideologi mempunyai sifat tertutup, hal ini tentu bertolak
belakang dengan sekularisasi yang mempunyai sifat terbuka dan
kebebasan. Dengan kata lain, kalau sekularisme sebagai ideologi bersifat
statis dan tidak mengalami perubahan, maka sekularisasi sebaliknya,
bersifat dinamis dan membawa kepada perubahan dan pembaruan.56
Istilah sekularisme sendiri pertama diperkenalkan oleh George
Jacob Holyoake pada tahun 1846. Menurut pendapatnya, “Sekularism is
an ethical sistem founded on the principle of natural morality and
independent of revealed or supernaturalism”.57
(Sekularisme adalah suatu sistem etik yang didasarkan pada prinsip
moral alamiah dan terlepas dari agama-wahyu atau supernaturalisme).
Dalam sebuah kamus yang dikutif oleh H. Oemar Bakri ditulis,
“Sekularism is the view that the influence of religious organizations
should be reduced as much as possible, and that morality and education
should be separated from religion”. 58
56 Harun Nasution, Islam Rasional, Jakarta: Mizan, 1989, hlm. 190 57 Baca: Grolier International, dalam The Encyclopedia Americana vol. 24, 1980, hlm.
521 (cf. Paul M. Van Buren, Op. Cit Hlm. 194. Ibid. hlm. 21 58 Baca: A. Hornby, E.V. Gatenby, H. Wakefield, The Advanced Learner’s Dictionary of
Current English, yang dikutif oleh H. Oemar Bakri dalam Islam menentang Sekularisme, 1984, hlm. 17
42
(Sekularisme adalah suatu pandangan bahwa pengaruh organisasi
agama harus dikurangi sejauh mungkin, dan bahwa moral dan
pendidikan harus dipisahkan dari agama).
Manusia yang menganut faham sekularisme berusaha menikmati
kehidupan dan kemajuan selama ini seolah-olah tanpa campur tangan
Tuhan, dan menganggap Tuhan tidak perlu lagi.
Dalam kamus kontemporer, sekularisme diartikan pengabaian
kewajiban menjalankan syari’at agama, penentangan diajarkannya ajaran
agama pada sekolah-sekolah umum.59
Menurut Altaf Gauhar, Islam merupakan antitesis dari
sekularisme, hal ini sama dengan apa yang dikatakan oleh al-Bahy,
bahwa, Islam merupakan kebalikan dari sekularisme.60
Menurut Muhammad Qutb, sekularisme cenderung diartikan
sebagai membangun struktur kehidupan tanpa dasar agama.61
C. Karakteristik Sekularisasi
Jika kita melihat tipologi Donald Eugene Smith62, yang biasanya
dijadikan acuan dalam memandang dan melihat aspek/karakteristik
59 Peter Salim, op. cit., hlm. 1745 60 Pardoyo, op. cit., hlm. 77 61 Ibid., hlm. 78 62 Secara umum, dalam pembahasan masalah ini biasanya menggunakan redaksi
Karakteristik Sekularisasi atau dengan redaksi Aspek sekularisasi. Pada pembahasan ini, penulis hanya menggunakan tipologi D. E. Smith, karena menurut penulis, tipologi ini yang membahas secara komprehensif. Selain oleh Smith, hal ini juga digagas oleh al-Bahy yang membagi sekularisasi menjadi 2 periode, tetapi secara aspek, tidak berbeda jauh karena mengenai pemisahan agama di bidang pendidikan, hukum, sosial, ekonomi, politik, dari kekuasaan Negara. Selain itu, yang membahas masalah ini adalah Muhammad Qutb, yang membagi pemisahan meliputi bidang politik, kehidupan ekonomi, pemisahan ilmu pengetahuan, dan moral, karena tidak terdapat
43
sekularisasi, secara garis besar sekularisasi ditandai oleh empat
aspek/karakteristik:
1. Sekularisasi Pemisahan Pemerintah
Dalam pengertian ini, sekularisasi pemisahan (separasi) antara
pemerintah dan ideologi keagamaan, tercakup pemisahan kaitan atau
keputusan untuk tidak menciptakan hubungan antara agama dan
pemerintah atau Negara (politik).63 Hal ini, secara politik, dilakukan
dengan maksud untuk memisahkan ikatan-ikatan institusional baru agar
pemerintah dapat mengontrol agama.64
Di Indonesia, transformasi umat yang terjadi secara gradual serta
proyek Belanda untuk memisahkan Islam dari dunia politik menandai
permulaan dari proses sekularisasi pemisahan pemerintah. Suatu proses
sekularisasi yang membawa pemisahan pemerintah dari agama; sistem
politik tidak memperoleh legitimasi dari agama, lantas simbol dan
struktur yang menghubungkan keduanya dirobohkan.65
Trayek sekularisasi dalam jurusan ini terus dilakukan oleh rezim
pemerintah pasca-kolonial. Pola kehidupan resmi yang biasa dilakukan
oleh umat Islam dipinggirkan dari ranah politik. Sensitif terhadap bahaya
potensial Islam, setiap rezim dari Negara Indonesia merdeka berusaha
meredam tingkah laku yang bisa menyulut semacam ketegangan
perbedaan konsep yang mendasar, maka penulis hanya menggunakan tipologi D. E. Smith. Secara lengkap, karakteristik/ aspek sekularisasi, baca: Donald Eugene Smith, Agama di Tengah Sekularisasi Politik, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1985
63 Pardoyo, op. cit., hlm. 57 64 Yudi Latif, op. cit., hlm. 174 65 Ibid., hlm. 120
44
keagamaan. Kebhinekaan negeri ini telah mendorong penekanan
terhadap simbol-simbol kebangsaan ketimbang keIslaman.
Menurut smith, ada tiga pola sekularisasi pemisahan pemerintah
yang ditemukan di berbagai Dunia ketiga:
a. Pemisahan Revolusioner
Dalam tipe pemisahan ini, seluruh aparat pemerintahan yang relatif
modern dan sekuler adalah pengganti besar-besaran dari apa yang ada
pada rezim keagamaan. Pemisahan pemerintahan model ini sebenarnya
hanya dilihat sebagai langkah pertama, karena setelah itu tuntutan
ideologi revolusioner benar-benar membutuhkan kontrol totaliter Negara
guna melenyapkan elemen-elemen tradisional yang bertentangan dengan
perubahan sosial radikal.66
b. Pemisahan Konstitusional
Dalam tipe pemisahan ini, agama dan Negara (politik), dipisahkan
akan tetapi keduanya tetap utuh setelah hubungan-hubungan diantara
keduanya rusak berat. Terdapat kontak antara institusi eklesiastik dan
lembaga politik baik sebelum maupun sesudah pemisahan. Proses
hubungan ini berkaitan dengan modernisasi sistem-sistem politik
keagamaan, khususnya dengan fenomena Kristen barat tentang
pemisahan antara gereja dan Negara.67
c. Tanpa Pemisahan
66 Donald Eugene Smith, op. cit., hlm. 98-100 67 Ibid., hlm. 101-102
45
Dalam pengertian ini, terdapat suatu masalah pilihan yang harus
disadari, karena tidak ada agama yang secara resmi berkaitan dengan
pemerintah. Karena itu hal ini erat kaitannya dengan evolusi ideologis,
seperti yang terjadi pada Negara-negara Dunia ktiga dalam perjuangan
menentang imperialisme Eropa.68 Smith menunjukan contoh di
Indonesia, bahwa organisasi nasional besar yang pertama, Sarikat Islam
(SI) yang berlandaskan keagamaan (Islam), telah didirikan pada 1912,
namun kemerdekaan diperoleh di bawah sekularisasi, yaitu di bawah
Soekarno dan Syahrir. Padahal Undang-Undang persiapan yang
dirancang oleh para pemimpin ini secara sederhana dalam pasal 29
menyebutkan, “Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Namun pengertian Ketuhanan dari pidato Soekarno tidak
mengkhususkan pada nilai kandungan Islam, dan sebagai sebuah konsep
yang telah dirancang, ini telah tidak diakui.69
2. Sekularisasi Ekspansi Pemerintah
Aspek sekularisasi ekspansi pemerintah, yaitu pemerintah
memerintah wewenang kekuasaannya ke dalam wilayah kehidupan
sosial ekonomi yang semula diatur oleh struktur keagamaan. Ada empat
wilayah utama yang menjadi sasaran yaitu:
a. Sekularisasi Hukum
68 Penjabaran lengkap tentang hal ini telah dibahas oleh Donald Eugene Smith dalam
karyanya Religion, Politics and Sosial Change in The Third World, hlm. 42-91 69 Donald Eugene Smith, op. cit., hlm. 102, baca juga Pardoyo, op. cit., hlm. 58
46
Sekularisasi hukum merupakan jantung sekularisasi di dunia
muslim, ekspresi kolektif keagamaan yang terpenting diperankan oleh
syari`ah, yang mengatur seluruh masyarakat. Dalam konteks ini,
sekularisasi hukum akan membawa pengaruh yang signifikan terhadap
perkembangan religio-politik umat Islam.70
Sekularisasi yang berlangsung di bidang hukum merupakan proses
yang panjang dan terus berlangsung dengan langkah-langkah yang
berbeda di bagian Dunia ketiga. Di Indonesia pada awal kerajaan-kerjaan
Islam di Nusantara (awal abad ke-17) telah mengembangkan lembaga-
lembaga regular untuk penerapan hukum Islam. Konsolidasi kontrol
Koloni Belanda terhadap wilayah-wilayah Nusantara, secara politik
memerankan sebuah peranan yang cukup signifikan, pada pertengahan
abad ke-19 Kepala hakim Islam ditunjuk oleh sultan setidaknya sejak
awal tersebut hingga kedudukan ini dihapus karena Konsolidasi kontrol
Koloni Belanda tersebut. Meskipun begitu, hingga pertengahan abad ke-
19, syari`ah masih tetap bertahan di wilayah-wilayah yang dikuasai
pemerintah Islam. Namun, penaklukan Belanda terhadap Wilayah-
Wilayah di kemudian hari membuat yuridiksi Syari`ah perlahan-perlahan
surut. Sejak itu, hukum-hukum kriminal dan dagang hampir sepenuhnya
disekularisasikan, sedangkan hukum keluarga masih berada di bawah
kendali syari`ah. 71
70 Yudi Latif, op. cit., hlm. 125 71 Ibid., hlm. 125-126
47
Pernah ada upaya sekularisasi hukum dalam bidang perkawinan–
yang oleh Smith dicontohkan dengan upaya melontarkan Undang-
Undang perkawinan pada 1974, menurut Smith, seperti dikutip Pardoyo,
sekularisasi di bidang hukum keluarga di masyarakat Islam adalah yang
paling alot, bahkan hampir tidak mungkin. Bahkam, hukum keluarga
oleh kaum Muslimin, menurut Anderson, dianggap sebagai soko guru
agama.72
Sejarah intervensi Negara dalam menyekulerisasikan hukum Islam
berakar pada keputusan kepentingan konsevatif politik kolonial. Fakta
bahwa rantai silsilah keberadaan pengadilan agama di Indonesia saat ini
bermula dari keputuasan Kerajaan Belanda pada 1882; menunjukan
bahwa proyek sekularisasi ini bersumber dari ketegangan dalam interaksi
antara Negara dan komunitas Islam dalam rentang sejarah panjang.73
b. Sekularisasi Pendidikan
Dalam berbagai bidang, sekularisasi berlangsung secara bertahap,
hal ini juga terjadi dalam bidang pendidikan. Di berbagai dunia ketiga,
terutama di Indonesia, sekularisasi tidak terlepas dari politik
imperialisme Barat. 74
Pendidikan memang memegang peranan penting dalam perjuangan
Islam agar dapat diterima, termasuk di wilayah Nusantara. Dalam Islam,
sekolah-sekolah Islam memainkan peran kunci dalam mengembangkan
72 Lihat Pardoyo, op. cit., hlm. 59., Lihat juga: Donald Eugene Smith, op. cit., hlm. 104 73 Yudi Latif, op. cit., hlm. 126 74 Donald Eugene Smith, op. cit., hlm. 111-116, lihat juga, Pardoyo, op. cit., hlm. 59
48
identitas keislaman yang jelas dan positif serta sarana penting bagi
pengajaran doktrin-doktrin Islam. Fakta bahwa pendidikan merupakan
agen yang paling kuat dalam mensosialisasikan doktrin Islam
mendorong pemerintahan kolonial untuk memberi perhatian yang serius
terhadap bidang ini. 75 Namun, pemerintahan kolonial mempromosikan pendidikan Barat
di Indonesia, sekolah-sekolah misi Kristen yang telah terlebih dahulu
berkembang dicoba digabungkan dengan sistem pendidikan umum. Hal
ini dilakukan karena pemerintahan kolonial memandang rendah terhadap
sekolah-sekolah Islam, sehingga mendorong pemerintah kolonial untuk
mengucilkan sistem pendidikan Islam.76
Walau demikian, sekolah-sekolah Islam tetap bertahan. Akibat
modernisasi yang tidak dapat dielakkan dan terilhami oleh gerakan
modernisme Islam di Timur Tengah serta kehadiran sekolah-sekolah
Barat di Nusantara, kemudian muncul jenis sekolah Islam baru yang
mengkombinasikan antara pengajaran agama dan umum yang dikenal
sebagai “madrasah”. Disini, mulai diperkenalkan pelajaran-pelajaran
“sekuler”, menggunakan metode dan teknologi modern, serta
mempekerjakan pengajar-pengajar non-ulama bahkan guru perempuan.77
Pandangan umum memperkirakan bahwa sistem madrasah pada
akhirnya akan menuju sistem sekolah. Kemungkinan meleburnya sistem
madrasah dan sekolah, menurut Yudi Latif, masuk akal. Hal ini
75 Yudi Latif, op. cit., hlm. 132 76 Ibid. hlm. 135 77 Ibid. hlm. 135-136
49
dikarenakan beberapa alasan. Pertama, sejak 1967, pelajaran agama juga
telah diwajibkan bagi pelajar-pelajar di sistem sekolah, sejak SD hingga
Perguruan Tinggi.78 Kedua, Perubahan orientasi studi dari lulusan
sekolah-sekolah agama yang secara tradisional membanjiri perguruan
tinggi Islam, tetapi dalam perkembangannya banyak juga yang
mendaftar di Universitas-universitas sekuler.79
Sedang sekularisasi di bidang ini dalam Kristen, ditandai dengan
munculnya para cendekiawan yang memproklamirkan diri mereka untuk
tidak tunduk kepada aturan agama atau gereja. Akibatnya muncul
kebebasan berfikir. Hal ini disebabkan oleh perbenturan antara agama
dan ilmu pengetahuan.80 Pada akhirnya, perkembangan ilmu
pengetahuan sampai lepas kendali hingga ke tingkat menghapus nilai
moral dan agama.81
c. Sekularisasi Struktur Sosial
Sekularisasi dalam struktur sosial bermula “ketika bagian-bagian
dari elit kuasa pribumi atau elit kuasa asing menolak dasar keagamaan
mengenai ketidaksetaraan dan berusaha menghadirkan perubahan sosial
menuju kesetaraan melalui intervensi Negara/pemerintah.82
78 Hal ini didasarkan pada keputusan MPRS No. II/1967, juga dikukuhkan secara lebih
kuat oleh Undang-Undang Pendidikan tahun 2003. 79 Ibid. hlm. 137 80 Bahkan pada tahap ini muncul sebuah ungkapan: “Jika anda ingin menjadi ilmuwan
maka anda jangan menjadi agamawan, begitu juga sebaliknya jika anda menjadi agamawan maka jangan menjadi ilmuwan.”
81 Donald Eugene Smith, op. cit., hlm. 111-116, lihat juga Pardoyo, op. cit., hlm. 80-81. Tokoh yang mendobrak penghapusan nilai moral dan agama, salah satunya adalah Freud, ia mendobrak pembelengguan seksual, yang mengakibatkan pergaulan bebas (Free Sex).
82 Donald Eugene Smith, op. cit., hlm. 116-118, lihat juga Yudi Latif, op. cit., hlm. 137
50
Bertolak dari kepincangan sosial dalam masyarakat, baik agama
Hindu, Budha, Katholik, maupun Islam, pemerintah berusaha mengatur
dan mengadakan pembaruan. Bahkan, kecendrungan ideologis pada
suatu tatanan masyarakat menjadi tanggung jawab utama Negara.83
Dalam konteks Islam, secara teoritis, sebenarnya terdapat
kesetaraan sosial antara orang-orang mukmin, tidak ada perbedaan.
Dalam agama Islam tidak terdapat sistem kasta dan sistem gereja, namun
pada prakteknya, tidak berarti bahwa sistem hierarki sosial tidak
ditemukan pada masyarakat muslim. Ulama sejak lama menikmati status
minoritas terhormat. Namun, dengan proyek sekularisasi yang dilakukan
pemerintah kolonial, otonomi serta pengaruh politik mereka setidaknya
sejak abad 20 mengalami kemunduran secara drastis.84
Pada tahun 1912, sejak berdirinya Sarekat Islam, elit Islam non-
ulama makin meraih peran-peran penting sebagai pemimpin dan
penerjemah doktrin-doktrin keagamaan, sehingga terjadilah pergeseran
otoritas keagamaan secara perlahan dari elit ulama menuju elit non-
ulama. Dengan kemunculan elit-elit inteligensia berpendidikan yang
memandang elit agama tradisional ‘baik ulama maupun pendeta’ tidak
mampu melakukan penyesuaian yang diperlukan terhadap dunia modern.
Hal ini mencapai puncaknya pada tahun 1970.85
d. Sekularisasi Ekonomi
83 Donald Eugene Smith, op. cit., hlm. 117, lihat juga Pardoyo, op. cit., hlm. 59 84 Yudi Latif, op. cit., hlm. 138 85 Donald Eugene Smith, op. cit., hlm. 118, lihat juga Yudi Latif, op. cit., hlm 138-139
51
Pada mulanya lembaga-lembaga tradisional keagamaan lebih kaya
dibanding perbendaharaan Negara, hal ini dapat dilihat dengan adanya
sistem sedekah serta zakat dalam agama Islam, adanya sistem tuan tanah
dalam agama Budha, dan berbagai penumpukan kekayaan di dalam
gereja. Sekularisasi di bidang ekonomi mulai dilakukan oleh kaum
liberal yang berusaha melumpuhkan Gereja secara ekonomis dengan
berpegang pada landasan politik. 86
Dalam konteks Islam, apresiasi Islam terhadap aspek material tidak
dapat diragukan, Islam memandang kekayaan tidaklah bertentangan
dengan tujuan-tujuan keagamaan, bahkan Nabi Muhammad dulunya
adalah pedagang. Antara Islam dan berdagang sebenarnya pernah
berhubungan erat di Nusantara. Hal ini ditandai penyebaran agama di
Nusantara dilakukan oleh para pedagang.87
Islam sangat memperhatikan masalah ekonomi, hal ini ditandai
dengan aturan yurisdiksi Islam soal warisan. Namun, kepentingan
pemimpin-pemimpin nasionalis sekuler dalam reformasi ekonomi, yang
kemudian diperluas dengan adanya aturan hukum dagang yang telah
sepenuhnya tersekularisasikan, lenyapnya yurisdiksi Islam atas masalah
warisan di Nusantara, menunjukan contoh yang jelas sekularisasi
ekspansi pemerintah dalam bidang ekonomi.88
Selain itu, sekularisasi ekonomi ditandai dengan munculnya
revolusi industri, yang pada akhirnya menjurus ke ekonomi kapitalis dan
86 Donald Eugene Smith, loc. cit, lihat juga, Pardoyo, loc. cit. 87 Yudi Latif, op. cit., hlm. 139 88 Ibid. hlm. 139-140
52
ekonomi sosialis, sehingga hal ini menjauhkan kedua bidang tersebut
dari peran agama.89
Walau pada 1993, tatkala MUI dan ICMI mensponsori pendirian
Bank Islam (Bank Muamalat) dengan aturan Islam, ide tentang ekonomi
yang berorintasi Islam kembali bergema. Namun, bisakah ekonomi versi
syari’at ini dapat bertahan menghadapi gempuran hebat dari ekonomi
sekuler berbasis pasar bebas (kapitalis).90
3. Sekularisasi Penilaian Silang
Sekularisasi penilaian silang mengandung sekularisasi budaya
politik dalam proses gradual di mana faktor-faktor non-pemerintah
berperan penting dan krusial.Sekularisasi budaya politik sendiri
merupakan persoalan yang jauh lebih kompleks ketimbang karakteristik
sebelumnya.91
Yang mendasari sekularisasi kultur politik yaitu kemerosotan nilai-
nilai keagamaan yang umumnya meliputi keseluruhan masyarakat.
Bahkan, orang-orang tidak lagi banyak berfikir tentang agama. Disini
terdapat pertumbuhan toleransi keagamaan, pertumbuhan relativisme
berdasarkan skeptisisme atas tuntutan kebenaran semua agama. Gejala
semacam ini begitu meluas, bukan hanya terjadi dunia Barat, tetapi juga
terjadi di Dunia ketiga. Dengan anggapan bahwa agama merupakan
masalah pribadi, maka masyarakat yang mempunyai pendapat demikian
89 Donald Eugene Smith, op. cit.,hlm. 120, lihat juga: Pardoyo, op. cit., hlm. 80 90 Yudi Latif, op. cit., hlm. 139-140 91 Ibid. hlm. 147
53
telah siap meninggalkan segi-segi dalam sistem keagamaan tradisional,
sehingga pandangan dunianya telah mengalami sekularisasi radikal.92
Dalam sekularisasi kultur politik dapat dikatakan merupakan
sekularisasi yang membutuhkan persetujuan massa, hal ini dapat terjadi
karena melibatkan perubahan mendasar dalam tata nilai, tidak bisa
diarahkan secara efektif oleh elit penguasa dalam tempo yang singkat.
Dalam Kristen, sejarah mencatat, terjadi sebuah reaksi keras
terhadap kekuasaan paus. Jika semula otoritas raja masih berada di
bawah otoritas paus, kini raja melepaskan diri dari campur tangan paus.
Dengan demikian, politik dikeluarkan dari wawasan agamis, dalam arti
tidak tunduk kepada kekuasaan paus lagi. Kemudian politik tumbuh
tanpa akar agama.93
Untuk memeriksa hingga sejauh mana taraf sekularisasi ini di
Indonesia, amat penting untuk melihat dua segi utama sekularisasi
budaya politik, yaitu:
a. Sekularisasi Basis Legitimasi
Sekularisasi basis legitimasi bermula ketika agama tak lagi menjadi
sumber yang kuat bagi legitimasi pemerintah, politisi atau gerakan
politik. Proses ini dalam konteks ini mulai berlangsung sejak abad ke 19
ketika pemerintah kolonial Belanda mencoba memisahkan antara
pemerintah dan otoritas Islam. Menghalau agama sebagai basis
legitimasi politik jauh lebih problematic dalam agama yang menganut
92 Donald Eugene Smith, op. cit., hlm. 120, lihat juga, Pardoyo, op. cit., hlm. 60 93 Donald Eugene Smith, loc.. cit.
54
monoteisme seperti Islam. Komunitas-komunitas muslim dari madzhab
dan tradisi apa pun setuju bahwa “tauhid” merupakan inti keyakinan,
tradisi dan amalan Islam.94
Dengan dasar tauhid inilah, banyak kalangan muslim berpendapat
bahwa kedaulatan bukanlah milik manusia melainkan milik Allah.
Sepanjang sejarah Indonesia, para pendukung Negara Islam terus
berjuang untuk mempertahankan kedaulatan Tuhan sebagai basis utama
legitimasi politik. Jika yang menjadi ukuran adalah konstitusi, maka
perjuangan tersebut sejauh ini gagal. Karena menurut UUD 1945, secara
politik, Islam bukanlah agama Negara dan kedaulatan tidaklah berasal
dari Tuhan melainkan dari rakyat.95
b. Sekularisasi Identitas Kelompok
Menurut Verba, seperti dikutip D. E. Smith, bahwa masalah utama
yang terpelik yang harus dipecahkan dalam pembentukan suatu kultur
politik adalah mengenai identitas nasional “kelompok”. Yang menjadi
faktor utama adalah faktor identitas atau kesetiaan, di mana kesetiaan
bangsa (nasionalisme) modern telah menggeser agama sebagai faktor
utama dalam hubungan antara sesama manusia. Dengan demikian, suatu
aspek fundamental sekularisasi kultur politik adalah pembentukan suatu
identitas nasional.96
Ketegangan antara identitas nasional sekular dan identitas agama
masih menjadi sebab utama perpecahan kehidupan politik di dunia
94 Yudi Latif, op. cit., hlm. 143 95 Ibid. 96 Donald Eugene Smith, loc. cit.
55
muslim, terutama pada masyarakat plural, termasuk di Indonesia. Di
Indonesia, ada beberapa alasan yang membuat sulit disatukannya
identitas antara komunitas nasional agama dan komunitas nasional
sekular: yaitu:
1. Struktur internal Islam sebagai sistem keagamaan organik yang
membuatnya nyaris tidak mungkin “secara teoritis” untuk
memisahkan antara yang suci dengan yang sekular.
2. Realitas Indonesia sebagai masyarakat plural dengan potensi
konflik identitas yang subur, membuat agama menjadi sumber
yang kuat bagi pembentukan identitas kelompok.
3. Adanya trauma akan kecenderungan-kecenderungan diskriminatif
dalam kebijakan pemerintah.
4. Lemahnya keberadaan civil society, yang menghambat penguatan
identitas dan budaya sekular dari politik nasional.97
Kemunculan kembali partai-partai Islam dalam ruang public saat
ini merefleksikan ketahanan identitas Islam berhadapan dengan identitas
nasional (sekular).
4. Sekularisasi Kekuasaan Pemerintah
Sekularisasi tipe ini98 dapat didefinisikan sebagai suatu bentuk
sekularisasi yang menekankan dominasi polity atas keyakinan, praktik,
97 Yudi Latif, op. cit., hlm. 145-146 98 Donald Eugene Smith, op. cit., hlm. 126-131
56
dan struktur keagamaan melalui pemaksaan oleh Negara, sebagai upaya
untuk menghancurkan basis-basis politik keagamaan.99
Dibanding ketiga aspek dimensi atau aspek yang telah diuraikan
diatas, sekularisasi kekuasaan pemerintah adalah yang paling keras,
karena, secara politik, tidak sekedar membuat batas pemisah terhadap
agama, akan tetapi secara terbuka menyerang basis-basis keagamaan,
dan secara paksa memberlakukan ideologi sekuler terhadap kultur
politik. Pemerintah mengambil alih agama untuk mengurangi secara
drastis pengaruh agama (atau bahkan menghapusnya), atau untuk menata
kembali dan mereformasikannya. Jadi membawanya ke dalam garis yang
sama dengan program modernisasi rezim penguasa. Dalam
mengantisipasi otonomi bidang keagamaan, Negara bersikap totaliter.100
Smith, seperti dikutip Yudi latif, dalam menggambarkan perbedaan
diantara ketiga sekularisasi yang sudah diuraikan sebelumnya lebih
lengkap, menurutnya:
Apabila Sekularisasi Pemisahan Pemerintah memisahkan ikatan-ikatan institusional baru untuk dapat mengontrol agama sedang jika sekularisasi kekuasaan pemerintah adalah menciptakan ikatan-ikatan institusional baru untuk dapat mengontrol agama; Jika Sekularisasi Ekspansi Pemerintah menyiratkan pertumbuhan polity dengan kerugian Negara dalam mengatur masyarakat sedang jika sekularisasi kekuasaan pemerintah beranjak melampaui hal itu untuk menolak agama sebagai area otonom; Jika Sekularisasi Penilaian Silang mengandung sekularisasi budaya politik dalam proses gradual di mana faktor-faktor non-pemerintah berperan penting dan krusial, sedang jika sekularisasi kekuasaan pemerintah melibatkan serangan pemerintah secara terbuka terhadap basis agama dari budaya secara umum dan pemaksaan ideology sekuler terhadap budaya politik. Pemerintah mengambil alih agama, guna mereduksi pengaruhnya secara drastic (bahkan bermaksud menghapusnya) atau untuk merestrukturisasi dan mereformasinya, jadi membawanya ke dalam garis program modernisasi yang dijalankan rezim. Dalam menyangkal otonomi bagi bidang keagamaan.101
99 Yudi Latif, op. cit., hlm. 147 100 Pardoyo, op. cit., hlm. 61 101 Yudi Latif, loc. cit.
57
Fenomena sekularisasi macam ini telah terjadi di Perancis, Turki,
Rusia, Cina, Mexico selama periode pergolakan revolusioner. Menurut
al Bahy, seperti dikutif Pardoyo, sekularisasi macam ini dikatakan
sebagai periode sekularisme ekstrem102 yang juga disebut sebagai
periode “Revolusi Sekuler”.103
Di dunia Muslim, pengalaman Turki merupakan pengecualian.
Selama Revolusi Turki (1923-1928), Kemal Ataturk (sebagai pemimpin)
mengerahkan berbagai upaya untuk melenyapkan kekhalifahan dan
syari’ah serta memperkenalkan berbagai perubahan legislasi yang
menunjukkan praktik kekuasaan pemerintah dengan berbagai perubahan
yang telah dilakukan.104
D. Pandangan Islam terhadap Sekularisasi
Karena salah satu unsur yang terkait dalam sekularisasi adalah
Agama dan Negara (politik), maka alangkah lebih baiknya jika sebelum
berbicara pandangan Islam terhadap sekularisasi, mengutip pandangan
Munawir Sadzali, di mana ia berpandangan ketika berbicara hubungan
Islam dan Negara 105 setidaknya ada tiga aliran yang berkembang dewasa
ini. Aliran pertama, berpendapat bahwa Islam adalah agama seperti
pandangan Barat, yaitu agama tidak ada hubungannya dengan urusan
103 Pardoyo, loc. cit. 104 Yudi Latif, op. cit., hlm. 148. Baca: di latar belakang dunia Timur 105 Munawir Sadzali, Islam dan Tata Negara ajaran, sejarah dan pemikiran, Jakarta: UII
Press, 1990, hlm. 5, penulis merasa perlu untuk memasukan hubungan Islam dan Negara, bukannya agama dan Negara, hal ini terkait dengan tema yang penulis ambil yaitu pandangan Islam terhadap sekularisasi
58
kenegaraan. Menurut aliran ini, Nabi Muhammad hanyalah seorang
Rosul biasa seperti halnya Rosul-Rosul sebelumnya, dengan tugas
tunggal yaitu mengajak manusia kembali kepada kehidupan yang mulia
dengan menjunjung tinggi budi pekerti luhur dan Nabi tidak pernah
dimaksudkan untuk mendirikan dan mengepalai suatu Negara.106
Aliran kedua, berpandangan bahwa Islam bukan semata-mata
dalam pengertian Barat, tetapi sebaliknya Islam adalah suatu agama yang
sempurna dan lengkap dengan pengaturan bagi segala aspek kehidupan
manusia termasuk kehidupan bernegara.107
Aliran Ketiga, yaitu yang menolak pendapat bahwa Islam adalah
suatu agama yang serba lengkap dan bahwa Islam terdapat sistem
ketatanegaraan. Aliran ini juga menolak anggapan bahwa Islam adalah
agama yang hanya mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan,
tetapi aliran ini berpendirian bahwa dalam Islam tidak terdapat sistem
ketatanegaraan, tetapi terdapat seperangkat tata nilai dan etika bagi
kehidupan bernegara.108
106 Tokoh-tokoh aliran ini, antara lain: Ali Abd al-Raziq dan Thaha Husein 107 Para penganut aliran ini biasanya berpendirian bahwa, pertama, Islam adalah agama
yang serba lengkap, didalamnya terdapat pula antara lain, sistem kenegaraan atau politik. Oleh karenanya dalam bernegara umat Islam hendaknya kembali kepada sistem ketatanegaraan Islam, dan tidak perlu/ bahkan justru meniru sistem ketatanegaraan Barat. Kedua, Sistem ketatanegaraan atau politik Islam yang harus ditelaani adalah sistem yang telah dilaksanakan oleh Nabi Muhammad dan Khulafaur Rosyiun. Tokoh-tokoh pada aliran ini antara lain Syekh Hasan al-Banna, Sayyid Qutb, Syrkh Muhammad Rasyid Ridha, dan yang paling keras adalah Maulana A. Maududi.
108 Tokoh-tokoh aliran ini yang terkenal adalah Moh. Husein Haikal, aliran ini nampaknya banyak diikuti oleh banyak pemikir di Indonesia seperti, Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, dan Amien Rais. Aliran ini oleh Kuntowijoyo disebut dengan politik sapsialisasi, dimana agama memiliki tempatnya sendiri dalam urusan kenegaraan, tetapi antara keduanya terpisah secara jelas. Dengan kata lain, agama hanya urusan personal bukan urusan publik. Agama berpengaruh pada person, dan pada gilirannya person berpengaruh pada Negara.
59
Dari pengertian sekuler, sekulerisme dan sekularisasi yang telah
dijelaskan di atas, lalu bagaimana sebenarnya Islam memandang tentang
konsep tersebut diatas?
Sesuai dengan apa yang telah disampaikan oleh Munawir Sadzali,
maka Islam paling tidak mempunyai minimal tiga aliran, oleh karena itu,
sudah sebuah kewajaran pula apabila terjadi sebuah perbedaan pendapat
di antar para tokoh yang memandang masalah ini dari kaca mata Islam..
Hal ini juga dikarenakan, ketika berbicara masalah sudut pandang
dan persepsi dalam memahami makna sebuah pengertian, terkadang
timbul sebuah perdebatan. Begitu pula dengan istilah “sekularisasi”,
harus diketahui dari sudut pandang mana orang melihatnya. Melihat
dengan kacamata Barat tentu saja akan berlainan dengan kacamata kita
orang Indonesia, begitu pula kalau yang digunakan adalah kacamata
orang lain, karena masing-masingnya dilatarbelakangi oleh kultur,
politik, maupun sejarah yang berlainan.109
Maka sudah sewajarnya, jika terjadi sebuah perbedaan pendapat
ketika berbicara masalah bagaimana sebenarnya Pandangan Islam
terhadap konsep sekularisasi?
Namun, hal itu tidak terjadi ketika yang ditanyakan adalah
bagaimana sebenarnya Pandangan Islam tentang konsep sekuler dan
sekularisme, Islam secara total menolak penerapan mengenai konsep
sekuler maupun sekularisme karena konsep tersebut bertentangan Baca: Hamid Basyaibdan Hamid Abidin, Mengapa partai Islam kalah? Perjalanan Politik Islam dari Pra Pemilu ‘99, sampai pemilihan Presiden, Jakarta: Alvabet, 1999, Hlm. 89.
109 Ibid
60
dengan pandangan agama Islam. Sebab, dalam Islam mengajarkan
tentang adanya hari kemudian (akhirat), dan karena itu bersumber dari
Al-Qur’an maka orang Islam wajib mengimaninya.
Gambaran tentang kaum sekuleris kita dapati dalam al-Qur’an di
banyak tempat. Mereka selalu digolongkan ke dalam orang-orang
kafir.110 Gambaran itu antara lain, kita dapati dalam surat al_jatsiyah,
ayat 24:
Artinya: ”Mereka (orang-orang kafir) itu berkata: Tidak ada kehidupan kecuali kehidupan dunia ini saja. Kita mati dan kita hidup, dan tidak ada sesuatu yang membinasakan kita, kecuali masa.’ Padahal mereka tidak mempunyai pengetahuan yang pasti tentang hal itu. Mereka hanyalah menduga-duga saja.
Menurut Altaf Gauhar, Islam merupakan antitesis dari sekularisme,
senada yang diutarakan al-Bahy, bahwa, posisi Islam kebalikan dari
sekularisme. Islam dan sekularisme merupakan dua hal yang
antagonistik.111
Hal ini hampir sama dengan apa yang diungkapkan oleh Al-Attas,
bahwasanya Islam memandang bahwasanya segala bentuk sekularisme
ditolak oleh Islam. Dan semua tokoh muslim sependapat dengan hal ini,
karena Islam mempunyai nilai-nilai yang antagonistik terhadap
sekularisme. 112
110 Nurcholish, op. cit., hlm. 219 111 Pardoyo, op. cit., hlm., 77 112 Syed Muhammad Naquib Al-Attas, op. cit., hlm. 33
61
Hal ini jelas bahwasanya ketika berbicara masalah sekuler dan
sekulerisme, maka Islam dengan tegas menolak segala bentuk sekuler
dan sekulerisme. Namun, hal itu berbeda ketika berbicara mengenai
sekularisasi.
Lalu bagaimana pendapat berbagai tokoh Muslim? Dalam tema
Pandangan Islam terhadap Sekularisasi ini, menulis akan memberikan
beberapa pendapat tokoh, baik yang pro maupun yang kontra dengan
Nurcholish tentang sekularisasi.
1. Muhammad al-Bahy
Dalam pengkajian masalah sekularisasi, al-Bahy memandang bahwa
tidak ada bedanya antara sekularisasi dengan sekularisme. Menurut al-
Bahy, dalam kacamata Islam, posisi Islam sebenarnya kebalikan dari
sekularisme. Islam dan sekularisme merupakan dua hal yang
antagonistik. Sehingga, ia pun menyamakan bahwasanya sekularisasi
atau sekularisme pada dasarnya antagonistic dengan Islam.113
2. Muhammad Qutb
Qutb tidak menggunakan istilah sekularisasi dalam pembahasan kajian,
tetapi menggunakan kata sekularisme, menurut Qutb, sekularisasi adalah
sebuah proses menuju sekularisme. Jadi orang yang berpandangan
sekularisasi adalah orang yang sedang berproses menuju sekularisme.
Qutb menilai bahwa umat Islam terasing dari bumu Islam, karena bumi
ini telah dikuasai oleh setan-setan, dalam arti oleh sekularisme dan
113 Pardoyo, op. cit., hlm., 77
62
ateisme yang akan mengeluarkan umat Islam dari agama. Inilah
tantangan yang paling berbahaya bagi Islam. Dengan demikian, secara
nyata sekularisme merupakan musuh Islam. Qutb menegaskan bahwa
sekularisme menurut pandangan Islam adalah batil.114
3. Syed Muhammad Naquib al-Attas
Islam secara total menolak penerapan apa pun mengenai konsep-konsep
sekuler, sekularisasi, maupun sekularisme, karena semuanya itu
bukanlah milik Islam dan berlawanan dengan Islam dalam segala hal.115
4. HM. Rasjidi
Menurut Rasjidi, Nurcholish telah salah dalam penggunaan istilah
sekularisasi, karena menurutnya, terjadi perbedaan antara sekularisasi
dan sekularisme, dan Islam menentang ke-duanya, Rasjidi menganjurkan
kepada Nurcholish agar pemakaian istilah sekularisasi diganti dengan
istilah yang lebih tepat.116
5. Amien Rais
Menurut Amien Rais, anjuran untuk menjalankan sekularisasi, misalnya
untuk memperbaharui ajaran Islam, adalah suatu ajakan yang tidak
mempunyai dasar di dalam Islam, dan akan membuat kemerosotan umat
menjadi lebih parah.117
6. Dawam Rahardjo
114 Ibid. hlm. 79-81 115 Syed Muhammad Naquib Al-Attas, op. cit., hlm. 33 116 M. Rasjidi, Koreksi terhadap Drs. Nurcholish Madjid tentang sekularisasi, Jakarta:
Bulan Bintang, 1972, hlm. 21 117 Pardoyo, op. cit., hlm. 103
63
Dawam Rahardjo adalah salah satu yang mendukung konsep sekularisasi
yang ditawarkan oleh Nurcholish, walaupun Dawam pada dasarnya
menganggap kurang pas istilah sekularisasi, namun esensi dan isi yang
ditawarkan oleh Nurcholish adalah salah satu yang dapat membuat umat
Islam lebih maju dan tidak tertinggal dari budaya barat.
7. Komaruddin Hidayat
Komaruddin Hidayat juga yang mendukung konsep yang ditawarkan
Nurcholish, menurutnya, umat Islam dan Islam membutuhkan
pembaruan. Menurut Komarudin Hidayat, sekularisasi dalam kontek
Islam yang dimaksudkan Cak Nur tidak seperti sekulerisme.
Setelah penulis mengemukakan beberapa pendapat tokoh, sungguh
menarik jika sebelum melangkah ke bab. III, penulis mengemukakan
pendapat tokoh yang akan menjadi kajian dalam skripsi ini, yaitu
Nurcholish Madjid. Menurutnya, sekularisasi merupakan sebuah
keharusan bagi setiap umat beragama, khususnya umat Islam.
Nurcholish menyandarkan kepada teks al-Qur’an Surah al-Qashash, ayat
77:
Artinya: “Dan carilah dalam anugerah Tuhan kepada kamu itu kebahagiaan akherat, namun janganlah kamu melupakan nasibmu di dunia, dan perbuatlah kebajikan, sebagaimana Allah telah memperbuat kebaikan kepadamu, dan janganlah kamu membuat kerusakan di bumi ini. Sesungguhnya, Tuhan tidak suka kepada kaum perusak.”