bab ii wacana tentang transformasi sosial...

21
10 BAB II WACANA TENTANG TRANSFORMASI SOSIAL DAN PENDIDIKAN ISLAM A. Transformasi Sosial Istilah transformasi sosial adalah gabungan dari dua kata ‘transformasi’ dan ‘sosial’. Kata ‘transformasi’ dalam ensiklopedi umum merupakan istilah ilmu eksakta 1 yang kemudian diintrodusir ke dalam ilmu sosial yang memiliki maksud perubahan bentuk 2 dan secara lebih rinci memiliki arti perubahan fisik maupun nonfisik (bentuk, rupa, sifat, dan sebagainya). 3 Sementara kata ‘sosial’ memiiliki pengertian; pertama, segala sesuatu yang mengenai masyarakat; kemasyarakatan, dan kedua, suka memperhatikan kepentingan umum (suka menolong, menderma dan sebagainya). 4 Terminologi transformasi sosial dalam ensiklopedi nasional Indonesia memiliki pengertian, perubahan menyeluruh dalam bentuk, rupa, sifat, watak, dan sebagainya, dalam hubungan timbal balik sebagai individu-individu maupun kelompok-kelompok. 5 Timbulnya tranformasi sosial bukanlah tanpa sebab tetapi dipengaruhi oleh ragam faktor. Faktor-faktor yang menyebabkan adalah timbunan kebudayaan, kontak dengan kebudayaan lain, penduduk yang heterogen, kekacauan sosial dan perubahan sosial itu sendiri. Dalam transformasi sosial akan melibatkan penduduk, teknologi, nilai-nilai kebudayaan dan gerakan 1 Di dalamnya terdapat pembagian istilah seperti; transformasi Linier, transformasi Affin dan transformasi Orthogonal serta terdapat juga istilah transformator. Selanjutnya lihat; Prof. Mr. A.G Pringgodigdo, Ensiklopedi Umum, (Yogyakarta: Yayasan Kanisius, 1973), hlm. 1354. 2 John M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 1992), hlm. 801. 3 Mas’ud Khasan abdul Qohar, Kamus Ilmiah Populer, (t.tpt: Penerbit Bintang Pelajar, 1998), hlm. 418-419. 4 W.J.S Purwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1976), hlm. 961. 5 Ensiklopedi Nasional Indonesia, jilid 16, (t.tpt, Cipta Adi Pustaka, 1991) hlm. 422.

Upload: trannhan

Post on 13-Feb-2018

218 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

10

BAB II

WACANA TENTANG

TRANSFORMASI SOSIAL DAN PENDIDIKAN ISLAM

A. Transformasi Sosial

Istilah transformasi sosial adalah gabungan dari dua kata

‘transformasi’ dan ‘sosial’. Kata ‘transformasi’ dalam ensiklopedi umum

merupakan istilah ilmu eksakta1 yang kemudian diintrodusir ke dalam ilmu

sosial yang memiliki maksud perubahan bentuk2 dan secara lebih rinci

memiliki arti perubahan fisik maupun nonfisik (bentuk, rupa, sifat, dan

sebagainya).3

Sementara kata ‘sosial’ memiiliki pengertian; pertama, segala sesuatu

yang mengenai masyarakat; kemasyarakatan, dan kedua, suka memperhatikan

kepentingan umum (suka menolong, menderma dan sebagainya).4

Terminologi transformasi sosial dalam ensiklopedi nasional Indonesia

memiliki pengertian, perubahan menyeluruh dalam bentuk, rupa, sifat, watak,

dan sebagainya, dalam hubungan timbal balik sebagai individu-individu

maupun kelompok-kelompok.5

Timbulnya tranformasi sosial bukanlah tanpa sebab tetapi dipengaruhi

oleh ragam faktor. Faktor-faktor yang menyebabkan adalah timbunan

kebudayaan, kontak dengan kebudayaan lain, penduduk yang heterogen,

kekacauan sosial dan perubahan sosial itu sendiri. Dalam transformasi sosial

akan melibatkan penduduk, teknologi, nilai-nilai kebudayaan dan gerakan

1 Di dalamnya terdapat pembagian istilah seperti; transformasi Linier, transformasi Affin

dan transformasi Orthogonal serta terdapat juga istilah transformator. Selanjutnya lihat; Prof. Mr. A.G Pringgodigdo, Ensiklopedi Umum, (Yogyakarta: Yayasan Kanisius, 1973), hlm. 1354.

2 John M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 1992), hlm. 801.

3 Mas’ud Khasan abdul Qohar, Kamus Ilmiah Populer, (t.tpt: Penerbit Bintang Pelajar, 1998), hlm. 418-419.

4 W.J.S Purwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1976), hlm. 961.

5 Ensiklopedi Nasional Indonesia, jilid 16, (t.tpt, Cipta Adi Pustaka, 1991) hlm. 422.

11

sosial.6 Dalam ensiklopedi nasional Indonesia disebutkan pula, seringkali

istilah transformasi sosial diartikan sama dengan perubahan sosial.7

Sementara dalam penjelasan Agus Salim, terdapat pembedaan dalam

proses perubahan sosial. Dia membagi proses perubahan sosial menjadi dua;

proses reproduksi dan proses transformasi. Proses reproduksi adalah proses

mengulang-ulang, menghasilkan kembali segala hal yang diterima sebagai

warisan budaya dari nenek moyang kita sebelumnya. Dalam hal ini meliputi

bentuk warisan budaya dalam kehidupan sehari-hari meliputi; material

(kebendaan, teknologi), immaterial (non-benda, adat, norma, nilai-nilai).

Sementara proses transformasi adalah suatu proses penciptaan suatu ha yang

baru (somethig new) yang dihasilkan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi.

Agus menjelaskan yang berubah adalah apek budaya yang sifatnya material

sedangkan sifatnya immaterial sulit sekali diaadakan perubahan.8

Membahas istilah transformasi jika tanpa dikaitkan dengan sesuatu

yang lain menurut Ryadi Gunawan, merupakan upaya pengalihan dari sebuah

bentuk kepada bentuk yang lebih mapan. Sebagai sebuah proses, transformasi

merupakan tahapan, atau titik balik yang cepat bagi sebuah makna perubahan.9

Munculnya konsep transformasi tidak lepas dengan tokoh Karl Max dan Max

Weber. Bagi Marx, transformasi masyarakat dibayangkan melalui proses

dialektika transformasi kontinyu dengan hadirnya pertentangan kelas yang

memperebutkan penguasaan berbagai alat reproduksi dan saat mencapai

puncak dialektika akan tercipta “masyarakat yang tak berkelas”. Gagasan ini

bersumber dari filsafat dialektikanya Hegel yang mengajarkan tentang siklus

tesis dan antitesis.

Sementara bagi Weber, bayangan transformasi itu tidaklah lewat suatu

proses dialektika linear sebagaimana pikiran Marx, namun proses transformasi

6 ibid. 7 loc. cit. 8 Agus Salim, Perubahan Sosial, Sketsa Teori dan Refleksi Metodologi Kasus Indonesia,

(Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002), hlm. 20-21. 9 Ryadi Gunawan, Transformasi Sosial Politik: Antaran Demokratisasi dan Stabilitas,

dalam M. Masyhur Amin (ed) Agama, Demokrasi dan Transformasi Sosial, (Yogyakarta: KPSM, 1993) hlm. 228.

12

dan perubahan itu melalui proses evolusioner yang mana berbagai unsurnya

saling berpengaruh atau saling mempengaruhi dalam sebuah tipe ideal

masyarakat. Dari pemaparan tersebut, sebenarnya pengertian transformasi itu

dikenakan pada sejumlah objek sehingga sebagai konsep, sering merupakan

sebuah dikusi yang panjang. Dari rintisan para pemikir besar itulah, lahirlah

berbagai pendukung dan pemrotes. Namun, transformasi itu mengabsahkan

pendapat masing-masing pendukung atau pemrotes dalam konteks teori-teori

besar yang memiliki ideologi.10

Dalam perkembangan selanjutnya teori-teori sosial yang dibangun oleh

dua tokoh di atas semakin berkembang yang kemudian melahirkan pendukung

seperti Talcot Parsons yang kemudian melahirkan teori kapitalisme di pihak

Weber. Kemudian dari pihak Marx muncul para pemikir sosial berhaluan

kritis yang menganjurkan model sosialisme seperti Antonio Gramsci,

Habermas dan Foucoult yang senantiasa mempersoalkan relasi sosial sebagai

biang keladi munculnya ketidakadilan.11

Dari pemaparan di atas mengenai teori transformasi sosial, banyak

terdapat perbedaan konsep yang melandasi teori tersebut. Seperti ada yang

menganggap bahwa transformasi sosial sama dengan perubahan sosial,

sementara ada penjelasan lain yang menyebutkan bahwa proses dari

perubahan sosial adalah reproduksi dan transformasi. Meskipun terdapat

perbedaan, peneliti dalam bagian ini tidak bermaksud menyelesaikan

permasalahan silang pendapat mengenai terminologi transformasi sosial.

Dalam bagian ini peneliti hanya bertujuan untuk memperkenallkan tentang

teori transformasi sosial. Sehingga yang bisa diambil dari bagian ini adalah

sebuah teori yang mengusung perubahan dalam khidupan sosial masyarakat.

B. Pendidikan Islam

Ketika membicarakan pendidikan Islam, maka ada dua hal yang

menjadi fokus perhatiannya. Dua hal tersebut menurut Qodri adalah; pertama,

mendidik siswa atau siswi untuk berperilaku sesuai dengan nilai-nilai atau

10 ibid. hlm. 229-230. 11 Untuk uraian secara lengkap dalam perkembangan teori-teori sosial bisa dibaca Ian

Craib, Teori-teori sosial Modern dari Parsons Sampai Habermas, (Jakarta: Rajawali, 1986).

13

akhlak Islam. Kedua, mendidik siswa atau siswi untuk mempelajari materi

pelajaran Islam atau subyek berupa pengetahuan tentang ajaran Islam.12

Perhatian akan pemaknaan pendidikan Islam tentunya tidak seragam dari satu

pemikir dengan pemikir yang lain, karena bergantung pada penekanan akan

maksud pendidikan Islam serta tujuan yang ingin dicapai.

Sebelum masuk ke pembahasan secara definitif tentang pendidikan

Islam, ada beberapa istilah dalam Islam yang menjadi acuan awal dalam

mendudukkan makna pendidikan dalam Islam. Hal ini penting sebagai

penguat untuk menjelaskan bahwa Islam memiliki dasar-dasar ajaran yang

jelas tentang pendidikan. Dan juga untuk menjelaskan bahwa Islam disebarkan

oleh Muhammad SAW bermula dan berangkat dari pembaharuan pendidikan.

1. Istilah-istilah Pendidikan dalam Islam

Pentingnya pendidikan merupakan sebagai syarat menjadikan Islam

sebagai agama sekaligus sebagai sistem peradaban. Jaluddin melihat bahwa

Islam sebenarnya sarat akan nilai-nilai yang berhubungan erat dengan

pendidikan. Salah satunya adalah dengan mengkaji makna kata Islam yang

memiliki arti sulam (tangga), memiliki kesetaraan makna untuk meningkatkan

kualitas sumber daya manusia. Di samping itu bisa juga dimaknai sebagai

istislam (penyerahan diri) juga salama (keselamatan) serta salima

(kesejahteraan).13 Sehingga bila pemaknaan kata tersebut dikaitkan dengan

pendidikan maka memiliki pengertian sebagai upaya peningkatan diri untuk

semakin dekat kepada Allah sehingga dapat memperoleh keselamatan dan

kesejahteraan.

Berdasar uraian di atas, terdapat beberapa istilah yang memiliki kaitan

makna dengan pendidikan. Berdasarkan rangukaman Jalaluddin dan juga

Moh. Shofan ada tiga istilah yakni; tarbiyah, ta’lim, dan ta’dib.14 Istilah

12 Qodri Azizy, Pendidikan Agama untuk Membangun Etika Sosial [Mendidik Anak

Sukses Masa Depan: Pandai dan Bermanfaat], (Semarang: Aneka Ilmu, 2002), hlm. 22. 13 Jalaluddin, Teologi Pendidikan, (Jakarta: raja Grafindo Persada, 2001), hlm. 68. 14 Uraian lengkapnya bisa dilbaca buku Moh. Shofan, Pendidikan Berparadigma

Profetik; Upaya Konstruktif Membaongkar Dikotomi Sistem Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Ircisod, 2004), hlm. 38-48. dan Jalaluddin, op. cit., hlm. 70-71.

14

tarbiyah berasal dari kata rabba-yarbu (bertambah dan tumbuh), kata al-Rabb

juga dari kata tarbiyah yang memiliki arti, mengantarkan sesuatu kepada

kesempurnaan secara bertahap atau membuat sesuatu menjadi sempurna

secara berangsur-angsur. Kata taribyah, dengan demikian memiliki arti yang

sangat luas dan bermacam-macam dalam penggunannya, dan dapat

mempunyai makna pendidikan, pemeliharaan, perbaikan, peningkatan,

pengembangan, penciptaan dan keagungan yang kesemuanya dalam rangka

menuju kesempurnaan sesuatu sesuai dengan kedudukannya.

Yang kedua adalah kata ta’lim yang berasal dari kata alama yang

berarti mengajar, atau dari kata allama-ya’lamu (mengecap atau memberi

tanda) dan dari kata alima-ya’lamu (mengerti atau memberi tanda). Dengan

demikian kata ta’lim sama dengan kata pengajaran yang hanya sekedar

memiliki arti memberi tahu atau memberi pengetahuan, tidak mengandung arti

pembinaan kepribadian.

Istilah selanjutnya adalah ta’dib yang merujuk pada kata adab, secara

terminologis, ta’dib berasal dari kata aduba-ya’dubu (melatih, mendisiplin diri

berperilaku baik dan sopan) atau dari kata addaba (mendidik, melatih,

memperbaiki, mendisiplin, dan memberi tindakan) yang dalam kehidupan

sehari-hari adab sering diartikan sebagai sopan santun yang mencerminkan

kepribadian. Sehingga bisa dibilang pendidikan dalam pengertian yang hakiki

sangat tepat bila merujuk dari kata ta’dib.

Di samping tiga istilah di atas, kata iqra’ juga bisa dimasukkan sebagai

istilah dalam Islam yang memiliki maksud mendidik. Iqra’ adalah bentuk kata

perintah (fi’il amr) dari kata qara’a dan dari kata masdhar qira’atan atau

qur’anan. Qara’a berarti membaca, sedangkan qira’atan atau qur’anan

berarti bacaan, dengan demikian iqra’ berarti bacalah. Iqra’ dalam arti bacalah

adalah perintah untuk mendalami, mengalami, menyelami, memahami dan

menghayati apa yang dibaca.15 Mengapa kemudian kata ini memiliki kaitan

dengan istilah pendidikan, karena membaca adalah salah satu aktifitas utama

15 H. Endang Saefuddin Anshari, Iqra’ Sebagai Mabda’ dalam Chabib Thoha dkk (ed)

Reformulasi Filsafat Pendidikan Islam, (Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 1996), hlm. 86 dan 88.

15

dalam proses pendidikan. Tanpa proses membaca tersebut, sesungguhnya

terdapat potensi peserta didik yang tidak tergali dalam proses pendidikan.

2. Definisi Pendidikan Islam

Setelah mendeskripsikan istilah-istilah dalam Islam yang secara

mendasar memiliki maksud atau orientasi sama dengan pendidikan, penjelasan

selanjutnya adalah tentang arti atau definisi pendidikan Islam yang lebih

teknis dan konseptual. Definisi tentang pendidikan Islam sangat banyak

sebagaimana yang telah dirumuskan oleh para pemikir pendidikan Islam.

Namun sebelum melangkah lebih jauh, pendidikan Islam (PI) dan

pendidikan agama Islam (PAI) terlebih dulu harus dibedakan. Secara tekhnis

Munir Mulkhan menjelaskan, pembelajaran agama Islam di sekolah umum

lebih tepat disebut pendidikan agama Islam (PAI), namun sekali waktu sering

disebut sebagai pendidikan Islam (PI). Sedangkan sekolah Islam seperti

pesantren dan madrasah lebih tepat disebut sebagai pendidikan Islam (PI),

acap kali disebut juga pendidikan agama Islam (PAI).16 Sehingga dengan

demikian menjadi jelas perbedaan antara PAI dengan PI dan kerancuan yang

kadang ada tidak terjadi lagi.

Sebagaimana terdapat dalam rangkuman Moh. Shofan ada banyak

defnisi pendidikan Islam dari para tokoh pendidikan. Ahmad Tafsir misalnya

menjelaskan, ‘pendidikan Islam ialah bimbingan yang diberikan oleh

seseorang kepada seseorang agar ia berkembang secara maksimal sesuai

dengan ajaran Islam’. Sementara Zuhairini memaknai ‘pendidikan Islam

adalah usaha yang diarahkan kepada pembentukan kepribadian anak yang

sesuai dengan ajaran Islam atau sesuai atau sesuatu upaya dengan ajaran

Islam, memikir, memutuskan dan berbuat berdasarkan nilai-nilai Islam, serta

bertanggung jawab sesuai dengan nilai-nilai Islam’.17

Dan dalam konsepsi Jalaluddin, ‘pendidikan Islam secara umum dapat

diartikan sebagai usaha pembinaan dan pengembangan potensi manusia secara

optimal sesuai dengan statusnya, dengan berpedoman kepada syariat Islam

16 Abdul Munir Mulkhan, Nalar Spiritual Pendidikan, Solusi Problem Filosofis Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002), hlm. 54-55.

17 Moh. Shofan, op. cit., hlm.52-53.

16

yang disampaikan oleh Rasul Allah agar manusia dapat berperan sebagai

pengabdi Allah yang setia dengan segala aktivitasnya guna tercipta kondisi

kehidupan islami yang ideal, selamat, aman, sejahtera dan berkualitas serta

memperoleh jaminan (kesejahteraan) hidup di dunia dan akhirat’.18

Sementara dari sudut pandang Chabib Thoha tampak pemaknaan

pendidikan dalam konteks ke-Indonesia-an, ‘pendidikan Islam menurutnya

adalah sebagai suatu proses pengembangan potensi kreatif peserta didik untuk

menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Allah swt,

berkepribadian Pancasila, cerdas, terampil, memiliki etos kerja yang tinggi,

berbudi luhur, mandiri dan bertanggung jawab terhadap dirinya, bangsa,

negara serta agama’.19

Dari beberapa definisi pendidikan Islam yang dikemukakan di atas,

terlihat bahwa penekanan makna pendidikan Islam adalah pada upaya atau

usaha menjadikan manusia berkepribadian baik (akhlaqul karimah), yang bisa

diterjemahkan secara lebih luas. Misalnya, cerdas, terampil, etos kerja tinggi,

berbudi luhur, mandiri dan bertanggung jawab. Dan dalam usaha menuju ke

arah pembentukan kepribadian yang baik itu, ajaran-ajaran Islam dijadikan

sebagai landasannya. Sementara kalau dikontekskan ke dalam Indonesia,

pendidikan Islam harus juga melandasinya dengan Pancasila.

3. Tujuan Pendidikan Islam

Sistem pendidikan Islam tidak akan menemukan hasil yang diinginkan

bila tidak ada tujuan yang ingin dicapai. Tujuan secara implisit sudah terdapat

di dalam definisi pendidikan Islam, namun karena tujuan itu harus jelas maka

mesti ada perumusan tersendiri tentang tujuan pendidikan Islam. Seperti Nana

Sudjana yang merinci tujuan pendidikan menjadi; tujuan umum dan tujuan

khusus; yang terbagi menjadi tujuan lembaga, tujuan kurikuler, dan tujuan

instruksional.20

18 Jalaluddin, op. cit., hlm. 72. 19 Chabib Thoha, Epistemologi dalam Pendidikan Islam, dalam Chabib Thoha dkk (ed)

op. cit., hlm. 199. 20 Nana Sudjana, Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar, (Bandung: Sinar Baru

Algesindo, 2002), hlm. 56-59.

17

Munir Mulkhan secara umum dan filosofis menyatakan, bahwa

maksud utama pendidikan adalah pengembangan pemahaman dan penyadaran

peserta didik atas dunia empirik yang mereka alami dan dunianya di masa

mendatang.21 Dan secara lengkap Jalaluddin mencantumkan tujuh dimensi

utama dalam tujuan pendidikan Islam; pertama, dimensi hakikat penciptaan

manusia, kedua, dimensi tauhid, ketiga, dimensi moral, keempat, dimensi

perbedaan individu, kelima, dimensi sosial, keenam, profesional, dan ketujuh,

dimensi ruang dan waktu.22

Banyaknya aspek dalam sebuah tujuan pendidikan memungkinkan

setiap proses pembelajaran untuk mengarahkan peserta didik menjalankan

salah satu aspek tujuan tersebut. Hal ini merupakan konsekuensi logis

mengingat banyaknya isi pelajaran dalam pendidikan Islam, sehingga

pemilahan aspek tujuan tersebut menjadikan orientasi setiap pelajaran menjadi

jelas pula.

Sementara tujuan pendidikan Islam dalam konteks ke-Indonesia-an

adalah mewujudkan nilai-nilai keislaman di dalam pembentukan manusia

Indonesia. Manusia Indonesia yang dicita-citakan adalah manusia yang takwa

dan produktif dengan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan

demikian pendidikan Islam tidak sekedar menjadi ‘cagar budaya’ yang

mempertahankan paham-paham keagamaan tertentu tetapi sebagai agent of

cange tanpa menghilangkan ciri khasnya yaitu ciri keislaman.23 Bila

pendidikan Islam mampu melangkah ke arah tersebut maka pendidikan

mampu untuk menjadi pendidikan alternatif, juga responsif terhadap tuntutan

masa depan, yaitu bukan hanya mendidik peserta didik menjadi saleh tetapi

juga produktif.

C. Transformasi Sosial dalam Pendidikan Islam

Untuk memulai bagian ini, ada ayat Al-Qur’an yang relevan untuk

dijadikan sandaran yaitu surat al-Ra’d ayat 11;

21 Abdul Munir Mulkhan, op. cit., hlm. 215. 22 Lihat secara lengkap Jalaluddin, op. cit., hlm. 91-96. 23 H.A.R Tilaar, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, (Jakarta: Rineka Cipta, 2000),

hlm. 150.

18

له معقبات من بين يديه ومن خلفه يحفظونه من أمر الله إن الله ال يغير ما بقوم حتى يغيروا ما بأنفسهم وإذا أراد الله بقوم سوءا فال مرد له وما لهم من دونه

11: الرعد (المن و( “Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya

bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tidak ada yang dapat menolaknya dan sekali-kali tidak ada pelindung selain Dia.”24

Inti dari ayat tersebut di atas adalah kalimat “sesungguhnya Allah tidak

merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada

pada diri mereka sendiri’. ‘Keadaan’ yang dimaksud salah satunya adalah,

Tuhan tidak akan merubah keadaan mereka selama mereka tidak merubah

sebab-sebab kemunduran mereka.25 Jadi, Islam memiliki nilai yang secara

universal mengajarkan umatnya untuk senantiasa berubah dari kejelekan

menuju kebaikan (transformatif).

Perubahan dalam Islam merupakan keniscayaan, sesuai dengan konsep

tauhid Islam yang mengajarkan hanya Allah yang kekal. Tauhid berasal dari

kata Arab, wahid atau ahad yang berarti satu, dan ia merujuk kepada apa yang

bagi kita merupakan kenyataan yang paling fundamental.26 Segala sesuatu

baik itu pemikiran, bangunan arsitektur, serta budaya akan senantiasa berubah

dari masa ke masa.

Sebagaimana pemaparan M. Masyhur Amin yang menjelaskan

terjadinya gelombang perubahan sampai tiga kali dalam sejarah kebudayaan

Islam. Gelombang pertama menggambarkan masyarakat Arab sebelum

diutusnya Muhammad sebagai Rasul. Sehingga disebut sebagai masyarakat

Jahiliyah, masyarakat yang berpegang pada nilai-nilai berhalaisme,

perbudakan manusia atas manusia, permusuhan dan penuh kedzaliman.

24 Al-Qur’an wa Tarjamatu Maanihi ilal Lughotil Indonesia, (Saudi Arabia: Mujamma’

al-Malik Fahd li Thia’at al-Mushaf asy-Syarif, 1415 H), hlm. 370. 25 loc. cit. 26Ziauddin Sardar dan Merryl Wyn Davies (ed), Wajah-wajah Islam; Suatu Perbincangan

Tentang Isu-isu Kontemporer, (Bandung: Mizan, 1992), hlm. 24.

19

Gelombang perubahan kedua pada masa Khulafaur Rasyidin, para

khalifah pengganti dan penerus kepemimpinan Rasulullah dengan

melanjutkan perjuangan-nya dengan menyebarkan (difusi) nilai-nilai islam ke

luar Jazirah Arab, yang pada saat itu menjadi ajang pertarungan antara dua

kekuatan besar, Romawi dan Persia. Dan gelombang yang ketiga dapat dilihat

dari sudut perkembangan pengetahuan, seni, filsafat dan ekonomi sehingga

Islam menjadi pusat peradaban dunia pada saat itu.27

Fenomena perubahan yang terjadi dalam dunia Islam seperti

pemaparan di atas, tentunya memberikan sebuah kesimpulan bahwa mengapa

Islam sekarang mundur adalah karena spirit atau jiwa untuk selalu berubah

sudah hilang. Hal itu tercermin dalam pernyataan Fazlur Rahman;

Penutupan pintu ijtihad (yakni pemikiran yang orisinil dan bebas) selama abad ke-4 H/ 10

M dan 5 H/ 11M telah membawa pada kemacetan umum dalam ilmu, hukum, intelektual,

khususnya yang pertama, ilmu-ilmu intelektual yakni teologi dan pemikiran keagamaan

sangat mengalami kemunduran dan menjadi miskin karena pengucilan mereka yang

disengaja dari intelektualisme sekuler dan karena kemunduran yang disebut sekarang ini,

khususnya filsafat dan pengucilannya dari bentuk-bentuk pemikiran keagamaan seperti

yang dibawa oleh sufisme.28

Kenyataan yang terjadi pada masa sekarang ini merupakan pekerjaan

rumah seluruh umat Islam. Karena Islam dewasa ini tidak ditampilkan sebagai

perbuatan sosial tetapi hanya sebagai hiasan untuk diperjual-belikan. Eko

Prasetyo menuturkan;

Terkoyaknya otoritas agama ini yang membuat semangat keagamaan kemudian bergerak

sebatas di permukaan. Ritualisme yang menggebu-gebu dibuktikan tidak hanya melalui

penampilan melainkan juga kebijakan. Islam tidak dilihat sebagai misi pembebasan atas

umat yang tertindas melainkan manifestasi dari kesalehan yang egoistis dan individual.

Tampaknya gejala keagamaan semacam ini menguntungkan sistem sosial yang ada saat

ini. Sebuah sistem yang sebenarnya mengekalkan nilai-nili perbudakan dan diskriminasi.

27 Baca lengkap M. Masyhur Amin, Dinamika Islam Sejarah Transformasi dan

Kebangkitan, (Yogyakarta: LKPSM (Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia), 1993), hlm. 39-53.

28 Fazlur Rahman, Islam, (Bandung: Pustaka Pelajar, 1984), hlm. 270.

20

Islam kemudian disuap ajarannya untuk sekedar menjadi ornamen ketimbang menjadi

sebuah sistem yang terintegrasi dengan kehidupan masyarakat.29

Melihat pentingnya semangat transformatif dalam membawa

kehidupan umat Islam yang lebih baik, tentunya menjadi keharusan bagi

setiap generasi Islam untuk selalu memelihara nuansa perubahan serta

kebebasan berkarya. Sehingga nilai perubahan dalam Islam termasuk sebagai

nilai yang secara mendasar merupakan sebuah nilai positif baik ke dalam

maupun ke luar.

Karena menurut Komaruddin Hidayat, barangkali Islam memiliki akar

tradisi yang paling kuat dan terus berkembang. Di dalam jantung tradisi itu

terdapat al-Qur’an yang memiliki daya gerak ke luar (sentrifugal), memasuki

dan berdialog dengan berbagai budaya yang dijumpainya. Sebaliknya, umat

Islam yang tinggal dan tumbuh dalam berbagai asuhan budaya baru berusaha

mencari rujukan pada al-Qur’an dan tradisi lama (sentripetal).30

Islam, agama yang dibawa Muhammad merupakan ajaran yang

mengajak umat manusia untuk menuju masyarakat yang dicita-citakan yakni

masyarakat yang berkeadaban. Masyarakat yang beradab adalah sebuah

masyarakat yang pernah dibangun oleh Rasulullah tatkala beliau di Madinah.

Jadi parameter realitas masyarakat yang ideal adalah masyarakat yang

memiliki nilai-nilai yang sama dengan agenda pembangunan kota Madinah.

Nilai-nilai dalam Islam secara normatif menegaskan bahwa Islam

mengajarkan kepada pemeluknya untuk secara aktif melakukan perubahan.

Perubahan yang diharapkan adalah perubahan kepada kebaikan, sesuai dengan

prinsip Islam yakni barang siapa yang hari ini labih baik dari hari kemarin dia

termasuk orang yang beruntung. Membangun masyarakat yang lebih baik

adalah anjuran dalam Islam.

Masyarakat Arab yang waktu diturunkannya Islam sedang dalam

kondisi kemerosotan moral sehingga menciptakan sistem kehidupan yang

29 Eko Prasetyo, Assalamu’alaikum, Islam itu Agama Perlawanan, (Yogyakarta: Resist

Book, 2005), hlm. 51. 30 Komaruddin Hidayat, Tuhan Begitu Dekat, Menangkap Makna-makna Tersembunyi di

Balik Perintah Bribadah, (Jakarta: Paramadina, 2000), hlm. 130.

21

timpang, bejat, berlaku hukum rimba. Sebagaimana yang dituturkan Dr.

Ahmad A. Galwash, “Arabia during the pre Islamic days was in a very low

state of civilization. Awful superstition and idolatry prevailed everywhere.

Gross licentiousness was indulged in crime of infanticide and human

sacrifices were common”.31 (Arab selama masa pra Islam dalam keadaan

peradaban yang sangat lemah. terjadi penyembahan takhayul dan berhala yang

sangat hebat. Perbuatan moral yang kotor diperturutkan di sini. Kejahatan

berupa pembunuhan anak dan pengorbanan manusia menjadi hal yang biasa.)

Dengan latar belakang itulah, Muhammad datang membawa agenda

besar untuk memperbaiki sistem kehidupan yang tidak berkeadilan tersebut.

Islam datang dengan ajaran baru untuk menyadarkan kesesatan orang

Jahiliyah.32 Seperti diketahui di Mekkah pada zaman Nabi lahir, adalah salah

satu pusat perdagangan dan transaksi komersial internasional. Keadaan ini

melahirkan Mekkah menjadi pusat kapitalisme, yakni terbentuk karena proses

korporasi antar suku, yang menguasai dan memonopoli perdagangan kawasan

Bizantium. Watak kapitalisme yang mengakumulasikan kapital dan

memutarnya demi keuntungan yang lebih besar ini, berjalan melawan norma

suku-suku di Semenanjung Arab pada saat itu. Akibat dari budaya kapitalisme

tersebut, lahirlah ketimpangan dan kesenjangan sosial di Mekkah, yakni

semakin melebarnya jurang antara si kaya dan si miskin. Dalam konteks inilah

sesungguhnya Muhammad lahir.33

31 Ahmad A. Galwash, The Religion Of Islam, (Cairo, Studies in Islam Series, 1966), hlm.

53. 32 Jahiliyah atau the age of ignorance adalah “In the time of the prophet youth, religion

meant numerous gods and goddesses, often worshipped through trees and stones. While the tribal code encouraged the notion of muruwwa, manhood, which was the glorification of tribal chivalry, the treatment of women was abominable. Female infanticide was common. Society was on the verge of anarchy and disorder” (adalah dalam masa muda rasul, agama memiliki banyak dewa dan dewi, bahkan pemujaan lewat pohon dan batu. Sementara aturan mengenai suku menganjurkan ide kejantanan yang memuja kekesatriaan, perlakuan terhadap perempuan sangat buruk. Pembunuhan anak perempuan adalah hal yang biasa. Masyarakat dalam ambang kekerasan dan ketidakteraturan), baca Akbar S. Ahmed, Living Islam: From Samarkand to Stornoway, (New York: BBC Books, 1994), hlm. 22.

33 Alam Tulus, “Muhammad Mengajarkan Sosialisme Jauh Sebelum Karl Marx”, http://media.isnet.org/islam/index.html. Tanggal akses 3 Februari 2006.

22

Ketidakadilan sistem sosial dalam kehidupan masyarakat Jahiliyah

adalah penyulut atas keprihatinan Muhammad. Hal ini tidak lepas atas agenda

diciptakannya manusia adalah untuk menjadi khalifah di bumi. Menjadi

khalifah merupakan tanggung jawab yang maha berat yang harus ditanggung

manusia, sehingga harus mampu menciptakan kehidupan yang berlandaskan

persamaan dan keadilan tanpa paksaan.

Islam melihat kenyataan sosial bukan sebagai apa adanya tetapi

sebagai yang seharusnya. Karena Islam tidak sekedar sebagai agama tetapi

juga jalan hidup, maka Islam memiliki nilai-nilai normatif dan aplikatif untuk

mewujudkan sebuah tatanan masyarakat yang didasarkan pada sebuah gagasan

universal (tawhid) dan sejumlah tujuan bersama: mencapai kedilan (‘adl) dan

ilmu (‘ilm) dalam upaya memenuhi kewajiban sebagai pengemban amanah

(khalifah) Tuhan.34 Karena sesungguhnya kehidupan yang memiliki makna

adalah sebuah bentuk kehidupan yang masyarakatnya memiliki landasan atau

tauhid kuat serta memiliki inisiatif atau ilmu untuk merancangnya.

Salah satu sifat dari masyarakat yang islami adalah masyarakat yang

berkasih sayang.35 Karena apabila orang Islam yang satu menyayangi orang

Islam yang lain bahkan umat non Islam, niscaya aturan-aturan semacam

undang-undang tidak lagi diperlukan. Sikap kasih sayang inilah yang harus

menjadi inti dalam ajaran Islam. Sehingga manifestasi dari rasa sayang

tersebut bisa tereskpresikan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat.

kehidupan yang tinggi nilainya akan bisa dinikmati bersama. Orang kaya

sayang dengan orang miskin sehingga tidak ada lagi penggusuran. Antara

kaum pria dan wanita yang memiliki rasa kasih sayang tidak akan ada lagi

eksploitasi. Rasa sayang terhadap generasi selanjutnya akan menciptakan

pendidikan yang benar-benar berkualitas tanpa harus terbebani dengan biaya

yang tinggi.

Untuk itulah dibutuhkan sebuah model pendidikan yang baik. Tanpa

pendidikan yang baik mustahil sebuah usaha menuju transformasi sosial dapat

34 Ziauddin Sardar dan Merryl Davies (ed), op. cit., hlm. 115. 35 Ahmad Shalaby. Kehidupan Sosial Dalam Pemikiran Islam, (t.tpt: Penerbit Amzah.

2001), hlm. 336.

23

terwujud. Begitu pula Islam, karena ayat yang pertama turun adalah iqra’

(perintah membaca) yang kemudian disusul dengan al-Muddatsir (perintah

untuk bangkit). Dan secara historis, Muhamamd memang telah melakukan

revolusi dalam bidang pendidikan, beliau melakukan pemberantasan buta

huruf secara besar-besaran. Hal ini didasarkan atas perseimbangan bahwa

agama tidak akan berkembang apabila jatuh di tangan orang-orang bodoh dan

terbelakang (jahiliyah).36

Perubahan sosial (transformasi sosial) adalah sebuah tema besar yang

mengangkat realitas masyarakat yang sangat komplek mulai dari pola berfikir,

budaya, agama sampai pada status sosial individu. Tema besar berupa

perubahan sosial tersebut tidak luput dari pandangan Islam yang mempelopori

adanya perubahan sosial di Makkah dan Madinah. Inilah relevansi wacana

transformasi sosial dalam pendidikan Islam yang mengusung ideologi

perubahan.

Pendidikan dalam sejarah penyebaran Islam merupakan pondasi.

Sehingga ayat pertama yang turun yang dimulai dengan kata iqra’ kemudian

menjadi mabda’ dalam perkembangan ilmu pengetahuan dalam dunia Islam.

Iqra’ adalah fi’il amr (kata perintah) dari kata kerja qara’a dan dari masdhar

qira’atan dan qur’anan (bacaan). Iqra’ dalam arti ‘bacakanlah’ adalah

perintah untuk menyampaikan, memberitakan, memberitahukan, mewariskan,

memanfaatkan dan mengamalkan yang dibaca.37

Pendidikan dalam seluruh komponen kehidupan umat manusia

barangkali memang memiliki signifikansi yang sangat kuat. Tanpa

pendidikan, pelatihan untuk mengembangkan pola pikir manusia tidak akan

terpenuhi. Sebagaimana terangkum dalam tulisan Maulana Wahiduddin Khan;

36 Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996),

hlm. 4. 37 Sementara sesuatu yang dibaca itu adalah; al-Qur’an, ma yuha ilaika (apa yang

diwahyukan padamu, ma yutla amamaka wa ‘stami’ ma yutla (apa-apa yang diliwatkan di depanmu dan menyimak apa yang telah diliwatkan itu, ma unzila ilaika minal Qur’an (apa yang telah dinuzulkan kepadamu dari al-Quran). Selengkapnya baca H. Endang Saefudin Anshari, M.A., Iqra’ Sebagai Mabda’, dalam Cahbib Thoha, dkk, Reformulasi Filsafat pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, 1996), hlm. 86-89.

24

Education makes man a right thinker and a correct decision maker. It achieves this by

bringing him knowledge from the external world, teaching him to reason, and

acquainting him with past history, so that he may be a better judge of the present.

Without education, man, as it were, is shut up in a windowless room. With education, he

finds himself in a room its windows open to the out side world.38 (pendidikan membuat manusia menjadi pemikir dan pembuat keputusan yang benar.

Untuk mencapainya adalah dengan memberinya pengetahuan dari dunia luar,

mengajarnya untuk berpikir, dan memperkenalkannya dengan sejarah masa lal, sehingga

menjadi pemkir atau hakim yang lebih baik di masa sekarang. Tanpa pendidikan, manusia

telah menutup diri dalam ruangan yang tidak berjendela. Dengan pendidikan, dia akan

menemukan dirinya sendiri berada di dalam ruangan yang terbuka terhadap dunia luar).

Pentingnya ilmu dalam Islam sebagai manifestasi dari pendidikan

tersebar dalam istilah-istilah seperti uthlubul ‘ilma atau tholabul ‘ilmi

faridhotun. Muhammad mampu melakukan dialektika dengan kondisi riil di

masyarakat sehingga mampu membangun paradigma baru yang menggelitik

cara pandang lama. Dari cara berfikir jahili ka arah pencerahan, Islam

membuktikan dirinya sebagai ajaran yang sanggup memberikan solusi baik

praktis maupun strategis yang benar-benar efektif dalam konteks itu.39

Sehingga out put dari proses pendidikan berupa ketrampilan membaca

dan menulis, yang telah ada sejauh tertentu di Arabia sebelum Islam,

meningkat dengan datangnya Islam, terutama sekali dengan ekspansinya.40

Namun dalam era dewasa ini pendidikan Islam khususnya di Indonesia

mengalami keterpurukan seperti yang ditulis Eko Prasetyo;

Di bidang pendidikan kita menyaksikan banyaknya anak yang tak bisa ditampung di

sekolah. Sekolah menjadi urusan pribadi bukan bagian dari tanggung jawab publik. Itu

sebabnya tak semua orang kemudian bisa bersekolah. Yang menyebut diri sebagai

sekolah Islam sekalipun, tak bisa dijangkau oleh semua anak muslim. Label Islam

malahan digunakan untuk ‘memeras’ uang peserta didik. Pendidikan berkualitas itu

mahal. Dan kredo ini ditafsirkan, apalagi pendidikan Islam pastilah jauh lebih mahal.

Karena selain berkualitas juga mendidik anak untuk menjadi seorang yang beriman.

38 Maulana Wahiduddin Khan, Principles of Islam, (New Delhi: GOODWORD BOOK,

2000), hlm. 21. 39 Akhmad Efendi, “Wacana Kritis dalam Historisitas Pendidikan Islam”, dalam jurnal

Edukasi “Pendidikan Islam Kritis”, Volume II No. 1 Januari 2004, hlm. 27. 40 Fazlur Rahman, op. cit., hlm. 263.

25

Latihan menjadi orang yang beriman bukanlah sesuatu yang murah. Bahkan beberapa

pesantren kini juga membuka fasilitas berdasar atas kemampuan seseorang menyetor

uang. Pesantren yang dulu hendak menjawab kebutuhan rakyat akan pendidikan yang

murah kini berbalik menjauh dari mandat sebenarnya. Memang ada beberapa pesantren

yang masih menjalankan mandat idealis, tapi itu kian lama kian sedikit.41

Pendidikan Islam dewasa ini tidak mampu melakukan perubahan-

perubahan mendasar atas kebutuhan umat. Juga terdapat kritikan, pendidikan

agama telah menjauhkan peserta didik untuk menjadi pribadi yang matang dan

kritis. Agama dipahatkan hanya dalam perilaku yang distandarkan dan hafalan

doa yang dibacakan berulang-ulang.42 Padahal sudah jelas bahwa pendidikan

yang berfondasi kalimat iqra’ memiliki agenda untuk mengamalkan ajaran-

ajaran yang ada di dalam al-Quran untuk menghilangkan kezaliman di muka

bumi ini.

Dan sekarang ini, kehidupan manusia juga telah mengalami banyak

perubahan mulai dari gaya hidup sampai pada perubahan nilai. Nilai kasih

sayang adalah salah satu hal yang sudah mulai hilang dalam kehidupan ini.

Gus Mus menyatakan, kasih sayang tidak dihargai lagi. Manusia lebih

mementingkan ‘daging’ ketimbang ‘ruh’. Hingga karena pendewaan orang

terhadap ‘daging’ inilah semuanya lenyap: tidak ada kejujuran, keadilan,

toleransi dan seterusnya, orang terbentuk dalam nuansa materialistik-

kapitalistik.43

Dengan demikian peran penting pendidikan adalah untuk memberikan

petunjuk (hudan) bagi para peserta didik.44 Pada gilirannya, pendidikan dalam

konteks keislaman memiliki tugas untuk tidak sekedar mengarahkan peserta

didik untuk memiliki kesalehan secara ritual tetapi juga mampu memiliki

kesalehan sosial. Kesalehan sosial inilah yang kemudian harus terus

41 Eko Prasetyo, op. cit., hlm. 69. 42 ibid., hlm, 92. 43 Abu Asma Anshari dkk, Ngetan-Ngulon Ketemu Gus Mus, Refleksi 61 Tahun K.H.A.

Mustofa Bisri, (Semarang: HMT Foundation, 2005), hlm. 188. 44 Namun pemikiran tersebut masih menjadi pro kontra “apakah seseorang atau peserta

didik menjadi muslim karena petunjuk (hudan) Allah atau karena peran pendidikan?” baca Munir Mulkhan, op. cit., hlm. 56.

26

diupayakan untuk menciptakan masyarakat yang memiliki pola relasi yang

berkeadilan.

Pendidikan Islam merupakan media dakwah untuk menyampaikan

amar ma’ruf nahi munkar. Sehingga para cendekiawan Islam harus memiliki

gagasan-gagasan yang senantiasa berpihak pada kaum atau lapisan masyarakat

yang didzalimi. Demikian juga pendidikan Islam semestinya memiliki

landasan pengajaran yang selalu memberikan pengetahuan bahwa mencari

ilmu tidak sekedar ibadah tetapi memiliki konskekuensi untuk membawa

nilai-nilai perubahan dalam masyarakat.

Menuju ke penciptaan kesalehan sosial sebagai upaya terciptanya

masyarakat yang berlandaskan nilai persamaan dan keadilan juga sebagai

upaya mencipatakan kemaslahatan umat. Dalam terminologi Islam, keadilan

adalah antitesis dari kezaliman dan kesewenang-wenangan. Dalam kisah

perjalanan Rasul, Abdurrahman asy Syarqowi menuturkan dalam buku roman

sejarah Muhammad bahwa sangat sedih hati Muhammad melihat ketimpangan

dan intimidasi. Sekumpulan budak-budak digiring seperti kambing, manusia

dimiliki oleh manusia lainnya. Orang-orang yang lemah dalam cengkraman

para saudagar serta masih banyak lagi penggambaran kehidupan sosial di

Makkah dan sekitarnya yang tidak beradab.45

Keadilan dalam Islam adalah ketentuan yang wajib, dan salah satu

unsur penting kehidupan sosial dan kemanusiaan. Ia tidak semata “hak” dari

sekalian hak yang pemiliknya dapat merelakannya jika ia mau, atau ia tidak

perhatikan dengan sengaja tanpa mendapat celaan dan dosa. Namun ia adalah

ketentuan yang wajib yang ditetapkan oleh Allah swt bagi semua manusia

tanpa pengecualian. Sehingga di jadikan al’adlu ‘keadilan’ sebagai salah satu

nama dari nama-namanya yang indah (Asma’ul Husna).46

Dalam al-Qur’an surat asy-Syuura: 15, Allah memerintahkan untuk

berlaku adil.

45 Secara lengkap baca Abdurrahman asy Syarqowi, Roman Sejarah; Muhammad Sang

Pembebas, judul asli Muhammad Rasulul Hurriyah (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997) 46 Muhammad Imaroh, Islam dan Keamanan Sosial, (Jakarta: Gema Insani Press, 1998),

hlm. 116.

27

فلذلك فادع واستقم كما أمرت ولا تتبع أهواءهم وقل آمنت بما أنزل الله من

)15: الشورى ....(كتاب وأمرت لأعدل بينكم

“Maka, karena itu serulah mereka kepada agama itu dan tetaplah sebagaimana diperintahkan kepadamu dan janganlah mengikuti hawa nafsu mereka, dan katakanlah: ‘aku beriman kepada semua kitab yang diturunkan Allah dan aku diperintahkan untuk berlaku adil di antara kamu…”47

Untuk mewujudkan transformasi sosial juga harus memperhatikan

nilai persamaan. Persamaan adalah kesamaan dalam kedudukan sosial, di

depan hukum, dalam menanggung beban responsibilitas dan dalam

mendapatkan kesempatan untuk mengaktualisasikan diri di tengah

masyarakat, dalam kadar yang setara di antara seluruh anggota masyarakat.

Sementara dalam terminologi Arab kata sama adalah sawa (nusawwiya) itu

menunjukkan makna keseimbangan dan keadilan.48

Mengenai ajaran persamaan, di dalam al-Qur’an surat an-Nisa' ayat 1

dijelaskan mengenai realitas penciptaan manusia yang sebenarnya adalah

sama atau satu.

يا أيها الناس اتقوا ربكم الذي خلقكم من نفس واحدة وخلق منها زوجها وبث

)1: النساء ....(منهما رجاال كثريا ونساء

“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari padanya Allah menciptakan istrinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak…” (Q.S. an-Nisa’: 1)49

Sementara Dr. Fuad Abdul Mun’im Ahmad50 menerangkan bahwa

sawa atau al-musawah secara etimologi berarti; املماثلـة و املعادللـة (sama dan

seimbang) sementara secara terminologis berarti;

47 Al-Qur’an wa Tarjamatu Maanihi ilal Lughotil Indonesia, op. cit., hlm. 785-786. 48 Muhammad Imaroh, op. cit., hlm. 120. 49 Al-Qur’an wa Tarjamatu Maanihi ilal Lughotil Indonesia, op. cit., hlm. 114. 50 Fu’ad abdul Mun’im Ahmad, Ushulun Nidhomil Hukmi fil Islam ma’a Bayani Tathbiq

fil Mamlakah al-‘Arabiyah Assa’udiyah, (Arab Saudi: Muassasah Sabab al-Jami’ah, 1991 M/ 1411 H).

28

ان مجيع االفراد امام شرع اهللا سواء دون متييز بينهم بسبب االصل او االجنس

والتحمل بااللتزامات وادا ئهااواللغة اواملركز االجتماعي فىاكتساب احلقوق

(terjemahan bebasnya adalah, sesungguhnya seluruh pribadi manusia di depan

syariat Allah adalah sama, bukan perbedaan di antara mereka disebabkan oleh

asalnya (keturunan) atau jenisnya (ras atau kelamin) atau bahasa atau daerah

dalam memperoleh hak-hak dan berkumpul dalam kewajiban dan larangan)

yang mencakup persamaan antara yang kaya dan yang miskin kesamaan ,االخوةاال سالمية persaudaraan Islam المساوة بين الفقراء والمساآين

perintah bagi semua manusia وحد ة التكا ليف للجميع.

Persamaan dalam pandangan Islam adalah kesamaan dan kesetaraan

utuh di depan hukum dan kesamaan secara penuh dalam mendapatkan

kesempatan, serta keseimbangan antara orang-orang yang berbeda-beda

bagiannya dari kesempatan yang terbuka bagi seluruh orang itu. Dan Islam

dalam memandang segala fenomena kemasyarakatan tersebut senantiasa

mendasarkan pada prinsip kemaslahatan.

Kemaslahatan dalam perspektif Islam—dari al-Ghazali—adalah

mengambil manfaat dan menolak kemudharatan (dampak negatif) dalam

rangka memelihara tujuan-tujuan syarak. Adapun tujuan syarak yang harus

dipelihara tersebut ada lima bentuk, yaitu memelihara agama, jiwa, akal,

keturunan dan harta.51 Sehingga bisa disimpulkan bahwa orang yang

melakukan sesuatu untuk memelihara kelima aspek tersebut, maka

perbuatannya dinamakan maslahat. Disamping itu, upaya untuk menolak

segala bentuk kemudharatan yang berkaitan dengan kelima tujuan syarak

tersebut juga disebut maslahat.

51 Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1999) cet 3, hlm. 1143-

1144.

29

Kemaslahatan tersebut adalah untuk mencapai aturan hidup yang baik,

dan aturan hidup dalam Islam menurut Aabid Taufiq al-Hashimy52 adalah;

ما اختطه اهللا تعاىل لالنسان يف افاق احلياة الروحية واخللقية واالجتماعية واال قتصادية والسياسية والتربوية مبا انزله ىف كتابه الكرمي وشرح رسوله

ىف احلديث واجتهاد العلماء واملفسرين

(terjemahan bebasnya adalah, sesuatu yang telah ditetapkan oleh Allah bagi

manusia dalam bidang-bidang kehidupan seperti kejiwaan, penciptaan,

kemasyarakatan, ekonomi, politik dan pendidikan, sebagaimana yang

dijelaskan Allah dalam al-Qur’an dan penjelasan Rasulullah dalam hadis serta

ijtihad para ulama dan ahli tafsir).

Jadi, perubahan sosial atau transformasi sosial yang diharapkan dalam

pendidikan Islam adalah perubahan yang membawa misi kemaslahatan ummat

dengan rumusan yang telah ada di dalam al-Qur’an, hadis dan hasil ijtihad dan

penafsiran para ulama’. Ketika muncul perubahan dalam kehidupan

masyarakat yang memunculkan ketidakadilan, ketidakseimbangan dan

perbudakan maka pendidikan Islam harus menentang kenyataan sosial yang

seperti itu. Kenyataan sosial yang ada harus senantiasa dibaca dan dikritisi

untuk menjaga agar nilai-nilai keadilan selalu tertanam dalam kehidupan

masyarakat.

52 Aabid Taufiq al-Hashimy, Thuruqu Tadris al-Din, (Baghdad: Muassasah Risalah, 1981

M/ 1401 H), hlm. 259.

30