bab iii pendapat imam syafi’i tentang mahar...

27
BAB III PENDAPAT IMAM SYAFI’I TENTANG MAHAR MUQADDAM A. Biografi Imam Syafi’i 1. Tempat Lahir, Silsilah Perjalanan Hidup Imam Syafi’i Imam Syafi’i adalah imam ketiga dari empat mazhab menurut urutan kelahirannya. Beliau adalah “Nashirul Hadits,” pembela hadits dan mujaddid”, pembaharu abad kedua hijriyah. 1 Menurut kebanyakan ahli sejarah bahwa Syafi’i dilahirkan di Ghaza, Palstina, tahun 150 H (767 M). namun ada yang mengatakan lahir di Asqalan, yaitu daerah yang kurang lebih 3 farsakh (8 km atau 3,5 mil) dari Ghaza, dan perjalanan dua tiga hari dari Baitul Maqdis. Ada juga yang mengatakan lebih jauh dari itu yaitu di Yaman. Imam Nawawi berkata, “Menurut jumhur, Syafi’i lahir di Ghaza.” Diriwayatkan bahwa Syafi’i lahir pada malam hari bertepatan dengan wafatnya Abu Hanifah. Jika riwayat ini benar, maka itu adalah kejadian yang menakjubkan, yakni lahirnya seorang imam bertepatan pada wafatnya imam yang lain. Nama lengkap beliau adalah Abu Adbullah Muhammad bin Idris bin Abas bin Utsman bin Syafi’i bin Sa’id bin Ubaidillah bin Abi Yazid 1 Ahmad Asy-Syarbasy, Al-Aimmah al-Arba’ah, Terj. Futuhal Arifin, Lc., “4 Mutiara Zaman”, Jakarta, Pustaka Kalami, Cet. Ke-1, 2003, hlm. 127.

Upload: vudat

Post on 13-Mar-2019

233 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB III PENDAPAT IMAM SYAFI’I TENTANG MAHAR …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/32/jtptiain-gdl-s1... · membuat perumpamaan dengan sebuah syair. Maka sang sekretaris

BAB III

PENDAPAT IMAM SYAFI’I TENTANG

MAHAR MUQADDAM

A. Biografi Imam Syafi’i

1. Tempat Lahir, Silsilah Perjalanan Hidup Imam Syafi’i

Imam Syafi’i adalah imam ketiga dari empat mazhab menurut

urutan kelahirannya. Beliau adalah “Nashirul Hadits,” pembela hadits dan

“mujaddid”, pembaharu abad kedua hijriyah.1

Menurut kebanyakan ahli sejarah bahwa Syafi’i dilahirkan di

Ghaza, Palstina, tahun 150 H (767 M). namun ada yang mengatakan lahir

di Asqalan, yaitu daerah yang kurang lebih 3 farsakh (8 km atau 3,5 mil)

dari Ghaza, dan perjalanan dua tiga hari dari Baitul Maqdis. Ada juga yang

mengatakan lebih jauh dari itu yaitu di Yaman.

Imam Nawawi berkata, “Menurut jumhur, Syafi’i lahir di Ghaza.”

Diriwayatkan bahwa Syafi’i lahir pada malam hari bertepatan dengan

wafatnya Abu Hanifah. Jika riwayat ini benar, maka itu adalah kejadian

yang menakjubkan, yakni lahirnya seorang imam bertepatan pada

wafatnya imam yang lain.

Nama lengkap beliau adalah Abu Adbullah Muhammad bin Idris

bin Abas bin Utsman bin Syafi’i bin Sa’id bin Ubaidillah bin Abi Yazid

1 Ahmad Asy-Syarbasy, Al-Aimmah al-Arba’ah, Terj. Futuhal Arifin, Lc., “4 Mutiara

Zaman”, Jakarta, Pustaka Kalami, Cet. Ke-1, 2003, hlm. 127.

Page 2: BAB III PENDAPAT IMAM SYAFI’I TENTANG MAHAR …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/32/jtptiain-gdl-s1... · membuat perumpamaan dengan sebuah syair. Maka sang sekretaris

bin Hasyim bin Mutlalib bin Abdul Manaf. Ibunya bernama Fathimah

binti Abdullah bin Hasan bin Husein bin Ali bin Abi Thalib.

Asy-Syafi’i lahir di tengah-tengah keluarga miskin. Ayahnya

meninggal ketika beliau masih kecil. Kemudian ibunya membawanya ke

Mekkah. Ia hidup sebagai anak yatim yang fakir dari keturunan bangsawan

tinggi, keturunan yang paling tinggi di masanya, Asy-Syafi’i hidup dalam

keadaan sangat sederhana. Namun, kedudukannya sebagai putra bernasab

mulia menyebabkan ia terpelihara dari perangai buruk, selalu berjiwa

besar, dan tidak menyukai kehinaan diri.2

Pada usia 2 (dua) tahun imam Syafi’i dibawa ibunya ke Mekkah

dari Guzzah yang merupakan tanah tumpah darah asli bagi nenek moyang

imam Syafi’i. Pada usia yang relatif muda imam Syafi’i telah mampu

menghafal al-Qur’an. Disamping kecerdasannya dalam menghafal al-

Qur’an ia juga rajin menghafal al-Hadits yang ia dengar. Kemudian dicatat

dan dibukukan dalam percetakan sehingga ia dikenal sebagai orang yang

cinta ilmu dan ahli hadits.3

Imam Syafi’i hidup di tengah-tengah masyarakat Mekkah

kemudian pindah ke kota Madinah. Kedua kota ini adalah bumi Hijaz yang

merupakan tempat perbendaharaan sunnah (Hadits). Kota ini tidak begitu

ramai dengan berbagai kebudayaan sebagaimana kota-kota lainnya.

Kesederhanaan tatanan masyarakat tidak banyak menimbulkan

2 Mahmud Syalthut, Ali As-Sayis, Muqaaranatul Madzaahib Fil Fiqh, Terj. Abdul

Zakiy Al-Kaaf, “Fiqih Tujuh Madzhab”,Banbung : CV. Pustaka Setia, Cet. Ke-1, 2000, hlm. 17. 3 Subhi Mahmashani, Terj. Ahmad Sujono, Filsafat Hukum Islam, Bandung : PT. Al-

Ma’arif, 1981, hlm., 51.

Page 3: BAB III PENDAPAT IMAM SYAFI’I TENTANG MAHAR …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/32/jtptiain-gdl-s1... · membuat perumpamaan dengan sebuah syair. Maka sang sekretaris

problematika kehidupan masyarakat, dan untuk menyelesaikan masalah

pun langsung mendasarkan pada al-Qur’an dan al-Hadits, maka wajar lah

apabila imam Syafi’i ini lebih cenderung pada aliran Hadits.

Pada awalnya Imam Syafi’i cenderung kepada syair, sastra dan

belajar bahasa Arab sehari-hari. Tapi dengan demikian Allah justru

menyiapkannya untuk menekuni fiqh dan ilmu pengetahuan. Terdapat

beberapa riwayat yang menyebabkan Imam Syafi’i seperti itu diantaranya

adalah :

Suatu hari, di masa mudanya ketika ia berada di atas kendaraan.

Di belakangnya terdapat sekretaris Abdullah Al-Zubairi. Lalu Syafi’i

membuat perumpamaan dengan sebuah syair. Maka sang sekretaris itu

memukulkan cambuknya layaknya seorang pemberi nasehat dan berkata,

“Orang seperti anda mencampakkan kepribadiannya seperti ini?

Bagaimana perhatian anda terhadap fiqh?” hal ini mempengaruhi dirinya

dan membangkitkan semangatnya untuk bergegas belajar kepada Muslim

bin Khalid Az-Zanji, Mufti Mekkah.4

Syafi’i menuntut ilmu di Mekkah dan mahir di sana. Ketika

Muslim bin Khalid Az-Zanji memberikan peluang untuk berfatwa, Syafi’i

merasa belum puas atas jerih payahnya selama ini. Ia menuntut ilmu terus

dan akhirnya pindah ke Madinah dan bertemu Imam Malik di sana.

Sebelumnya ia telah mempersiapkan diri membaca kitab al-Muaththa

(karya Imam Malik) yang sebagian besar telah dihafalkannya. Ketika

4 Ahmad Asy-Syarbasy, Op. Cit., hlm., 131

Page 4: BAB III PENDAPAT IMAM SYAFI’I TENTANG MAHAR …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/32/jtptiain-gdl-s1... · membuat perumpamaan dengan sebuah syair. Maka sang sekretaris

Imam Malik bertemu dengan Syafi’i, Malik berkata, “Sesungguhnya Allah

SWT. telah menaruh cahaya dalam hatimu, maka jangan padamkan

dengan perbuatan maksiat.”5

Mulailah Syafi’i belajar dari Imam Malik dan senantiasa

bersamanya hingga Imam Malik wafat pada tahun 179 H. selama itu pula

ia mengunjungi ibunya di Mekkah.

Kemudian pada tahun 195 H Imam Syafi’i mengembara ke

Baghdad, yang merupakan kota yang sudah maju peradaban

masyarakatnya pada waktu itu. Di kota ini Imam Syafi’i menetap beberapa

tahun lamanya sebelum ia melakukan perjalanan ke kota lainnya, yaitu

Mesir pada tahun 199 H dan ia memilih kota ini sebagai tempat

tinggalnya. Di Baghdad ia belajar Ilmu Fiqh Madzhab Hanafi, yang

terkenal dengan madzhab Ahlul Ro’yi, sebagaimana di Hijaz yang

tradisional. Kemudian ia cenderung kepada sifat itu, maka di kota Irak pun

ia cenderung pada kondisi Irak, yaitu kota yang terkenal dengan Ahlu

Ra’yu.

Imam Syafi’i telah mendengar berita yang menyatakan kebesaran

ulama’ di Irak seperti Abu Yusuf dan Muhammad Ibn Hasan, maka ia

berkehendak untuk bertemu dengan mereka. Di kota ini ia berguru kepada

Muhammad Ibn Hasan seorang tokoh ahli Fiqh. Maka terkumpullah pada

diri Syafi’i beberapa ilmu dari para ahli Hadits dan Ra’yu.

5 Ibid.,

Page 5: BAB III PENDAPAT IMAM SYAFI’I TENTANG MAHAR …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/32/jtptiain-gdl-s1... · membuat perumpamaan dengan sebuah syair. Maka sang sekretaris

Syafi’i banyak mengambil manfaat dari beberapa kitab Muhammad

Ibn Hasan dari pelajaran Fiqh Irak dan perdebatannya dengan beberapa

ulama’ fiqh di sana. Dari sini, ia bisa mempersiapkan diri

mengkompromikan fiqh madinah dan fiqh Irak, atau fiqh tekstual dan fiqh

kontekstual, sehingga membantunya meletakkan dasar-dasar ushul fiqh,

dan kaidah fiqh (qawaid al-fiqhiyah), menjadikan ia terkenal, disebut-

sebut namanya dan terangkat derajatnya.6

Pengetahuan Syafi’i terbentuk dari beberapa sumber. Antara lain,

guru, bacaan dan belajarnya, serta perjalanannya ke Yaman, Kufah,

Bashrah, Makkah, Baghdad, dan Mesir. Ada juga dari perdebatan yang

serius di masanya antara para pakar teologi dan filsafat, pakar fiqh dan

ulama’ hadits dan sebagainya, serta pemikiran dan perenungannya

terhadap ilmu dan lingkungan yang kesemuanya itu sangat dominan dalam

membentuk wawasannya yang sangat luas.

Dengan bekal pengetahuannya, beliau melangkah untuk

menyampaikan berbagai kritik dan kemudian mengambil jalan keluarnya

sendiri. Mula-mula beliau berbeda pendapat dengan gurunya (Imam

Malik). Perbedaan ini berkembang sedemikian rupa sehingga beliau

menulis buku yang berjudul “Khilaf al-Malik” yang sebagian besar kritik

terhadap pendapat (fiqh) madzhab gurunya itu, beliau juga terjun dalam

perdebatan-perdebatan sengit dengan madzhab Hanafi dan banyak

mengeluarkan kritik sebagai koreksi terhadapnya.

6 Ibid, hlm. 136

Page 6: BAB III PENDAPAT IMAM SYAFI’I TENTANG MAHAR …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/32/jtptiain-gdl-s1... · membuat perumpamaan dengan sebuah syair. Maka sang sekretaris

Kritik-kritik imam Syafi’i terhadap dua madzhab tersebut akhirnya

ia muncul dengan madzhab baru yang merupakan sintesa dari kedua

madzhab (ahli hadits dan ahli ra’yu) yang benar-benar orisinil.

Namun demikian yang paling menentukan orisinilitas madzhabnya

ini adalah kehidupan empat tahunnya di Mesir. Memang banyak kota di

mana imam Syafi’i mengembangkan atau menggali ilmu, seperti kota

Yaman, Persi, Baghdad dan lain-lain. Tetapi di Mesir inilah Imam Syafi’i

sampai meninggalnya dipergunakan untuk menulis sebagian besar buku-

bukunya, bahkan juga untuk merevisi buku-buku yang pernah ditulisnya.

Di kota ini pula ia meletakkan dasar-dasar madzhab barunya yang dikenal

dengan kaul jadid.7

Sebagaimana yang telah dikatakan bahwa fiqh Syafi’i adalah fiqh

yang lahir karena kondisi masyarakatnya sehingga dengan adanya dua kota

yang merupakan tempat yang paling mempengaruhi teori imam Syafi’i

dengan didukung keadaan yang berbeda itu pula, maka fiqh Syafi’i juga

dibedakan menjadi dua macam yakni madzhab kaul kadim dan madzhab

kaul jadid. Madzhab kaul kadim adalah pendapat imam Syafi’i ketika di

Irak dan kaul jadid adalah pendapat imam Syafi’i di Mesir.

Dengan perpaduan pemikiran imam Syafi’i akibat pengaruh dari

corak pendidikan dan pengalaman dari beberapa negara tersebut, Imam

Syafi’i mengkombinasikan dan mengkomparasikan serta mendiskusikan

7 Farouq Abu Zaed, Hukum Islam antara Tradisional dan Modernitas, Jakarta : P3M,

1986, hlm. 30.

Page 7: BAB III PENDAPAT IMAM SYAFI’I TENTANG MAHAR …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/32/jtptiain-gdl-s1... · membuat perumpamaan dengan sebuah syair. Maka sang sekretaris

fiqh negara Hijaz dan Irak. Kemudian ia menjadi terkenal dengan sebutan

ahli hadits dan ahli ra’yu.8

Dalam madzhab fiqhnya, Imam Syafi’i menempatkan al-Qur’an

sebagai imam (dasar utama) dalam mengambil hukum. Beliau berkata,

“sunnah sejajar kedudukannya dengan al-Qur’an karena as-Sunnah

berfungsi sebagai penjelas al-Qur’an.” Karena itu menurut beliau as-

Sunnah ditempatkan sebagai dasar kedua setelah al-Qur’an.9

Misalnya beliau sependapat dengan Imam Malik (ahlu al-Hadits)

dalam hal menempatkan al-Qur’an sebagai dasar hukum Islam, karena

menurutya as-Sunnah sebagai dasar hukum yang kedua. Dilain fihak Imam

Syafi’i sepakat dengan madzhab Hanafi (Ahlu al-Ra’yu) dalam

kecenderungannya memakai ijtihad atau rasio. Namun Imam Syafi’i

memberikan suatu batasan bahwa dasar ijtihad atau ra’yu tersebut

hendaklah berbentuk qiyas (analogi).

Dalam pemakaian qiyas ini imam Syafi’i memberikan ketentuan-

ketentuannya. Beliau sependapat dengan Imam Malik dalam mengambil

ijma’ sebagai sumber hukum sesudah al-Qur’an dan as-Sunnah, tetapi

beliau memberikan persyaratan-persyaratan yang ketat, sehingga ijma’

bukan semata-mata hasil pikiran tanpa ketentuan yang pasti.

2. Guru-guru Imam Syafi’i

Imam Syafi’i menerima fiqh dan Hadits dari banyak guru yang

masing-masing mempunyai manhaj sendiri dan tinggal di tempat-tempat

8 Subhi Mahmashani, Op. Cit., hlm. 51. 9 Ahmad Asy-Syarbasy, Loc. Cit., Hlm. 140.

Page 8: BAB III PENDAPAT IMAM SYAFI’I TENTANG MAHAR …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/32/jtptiain-gdl-s1... · membuat perumpamaan dengan sebuah syair. Maka sang sekretaris

yang berjauhan satu sama lainnya. Ada di antara gurunya yang Mu’tazili

yang memperkatakan ilmu kalam yang tidak disukainya. Dia mengambil

mana yang perlu diambil dan dia tinggalkan mana yang perlu ditinggalkan.

Imam Syafi’i menerima ilmunya dari ulama-ulama Makkah, Madinah, Iraq

dan ulama-ulama Yaman.10

Semula Imam Syafi’i berguru pada syekh Muslim bin Khalid Az-

Zanji dan beberapa imam Makkah. Kemudian setelah umur 13 tahun ia

pergi ke Madinah dan berkumpul dengan Imam Malik sampai beliau

wafat. Imam Syafi’i juga mempunyai banyak guru yang ia temui di kota-

kota besar ketika ia berkelana.

Diantaranya ialah gurunya di Makkah, Muslim bin Khalid Az-

Zanji, Sufyan bin Uyainah, Sa’id bin Salim Al-Qaddah, Dawud bin

Abdurrahman Al-Athar dan Abdul Hamid bin Abdul Aziz bin Abi Dawud.

Gurunya di Madinah antara lain, Malik bin Anas, Ibrahim bin

Sa’ad Al-Anshari, Abdul Aziz bin Muhammad Al-Darawardi, Ibrahim bin

Yahya Al-Asami, Muhammad bin Sa’id bin Abi Fudaik dan Abdullah bin

Nafi’ Al-Shani.

Gurunya di Yaman, Muththarif bin Mazin, Hisyam bin Yusuf,

Hakim Shan’a (ibukota Republik Yaman), Umar bin Abi Maslamah Al-

Auza’i Dan Yahya Hasan.

10 Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-pokok Pegangan Imam Mazhab,

Cet. I, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1997, hlm. 486-487.

Page 9: BAB III PENDAPAT IMAM SYAFI’I TENTANG MAHAR …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/32/jtptiain-gdl-s1... · membuat perumpamaan dengan sebuah syair. Maka sang sekretaris

Gurunya di Irak antara lain, Muhammad bin Al-Hasan, Waki’ bin

Jarra Al-Kufi, Abu Usammah Hamad bin Usamah Al-Kufi, Ismail bin

Athuyah Al-Basyri dan Abdul Wahab bin Abdul Majid Al-Basyri.11

Imam Syafi’i menerima pelajaran dari tokoh berbagai mazhab. Ia

menerima fiqh Malik dari Malik sendiri, Maliklah gurunya yang

merupakan bintang, mempelajari fiqh Auza’I dari Umar ibn Abi Salamah,

mempelajari Fiqh Al-Laits dari Yahya ibn Hassan dan mempelajari fiqh

Abu Hanifah dari Muhammad ibn al-Hassan. Bahkan ia mempelajari fiqh

pada tokoh-tokoh Mu’tazilah, walaupun dalam masalah I’tiqad mereka

tidak menempuh ahlul hadits. Justru semua inilah yang memperluas

bidang fiqihnya, memperbanyak materi dan mempertebal kamus

pengetahuannya. Dengan demikian Imam Syafi’i dapat mengumpulkan

fiqh Makkah, Fiqh Madinah, Fiqh Syam, Fiqh Mesir dan Fiqh Irak.

3. Murid-murid Imam Syafi’i

Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa imam Syafi’i

mempunyai banyak guru. Begitu juga murid-muridnya, mereka tersebar di

Makkah, Mesir dan sebagian di Baghdad Irak, merekalah yang

menyebarkan madzhab gurunya.

Diantara murid yang ada di Makkah, antara lain: Abu Bakar al-

Humaidi, Ibrahim bin Muhammad Abbas, Abu Bakar Muhammad bin

Idris dan Musa bin Abi al-Jarud. Murid Syafi’i di Irak, antara lain : al-

Hasan bin Muhammad al-Za’farani (wafat : 260 H), Abu Husain al-

11 Ibid., hlm., 135.

Page 10: BAB III PENDAPAT IMAM SYAFI’I TENTANG MAHAR …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/32/jtptiain-gdl-s1... · membuat perumpamaan dengan sebuah syair. Maka sang sekretaris

Karabisi (wafat : 295H), Imam Ahmad bin Hambal (wafat : 241 H) dan

Dawud ad-Dhahiri (wafat : 505 H). Sedangkan muridnya yang di Mesir

antara lain : al-Bughaisti (wafat : 270 H), al-Mazani (wafat : 269 H) dan

ar-Rabi’ah (wafat : 270 H).

Generasi penerus dan penyebar madzhab Imam Syafi’i adalah :

Abu Ishaq as-Saerazi (wafat : 478 H) adalah pengarang kitab “al-

Muhadzdzab”, Imam Ghazali (wafat : 505 H) pengarang kitab “Ihya

‘Ulumuddin” dan “al-Mustahfa”, dan al-Wazid ‘Izzudin ibn Abdi Salam

(wafat :660 H0 adalah pengarang kitab “Qawa’id al-Ahkam Fi Masail al-

Ahkam”, Muhyiddin an-Nawawi (wafat : 676 H) yang mengarang kitab

Fiqh diantaranya “Majmu’ Syarah Muhadzab” dan “Minhaj ath-

Thalibin”, Taqiyuddin as-Shabuni (wafat : 765 H), Jalaluddin as-Suyuti

(wafat : 791 H), pengarang kitab “Asybah wan Nadhair” dan kitab

“Tanwirul Hawalaik” syarah kitab al-Muwaththa’ Imam Malik dan masih

banyak lagi yang lainnya.12

4. Karya-karya Imam Syafi’i

Menurut Qadli Imam Abu Muhammad bin Husain bin Muhammad

al-Maruzi murid Imam Syafi’i, mengatakan bahwa Imam Syafi’i telah

mengarang kitab sebanyak 113 kitab, baik dalam bidang hadits, ilmu fiqh

dan ushulnya, tafsir, sastra dan lain-lain. Yaqut menyebutkan dalam kitab

“Mu’jam al-Udaba’ juz 17”, puluhan kitab Imam Syafi’i. Yang dimaksud

kitab di sini bukanlah kitab yang ada seperti sekarang ini, melainkan

12 Subhi Mahmashani, Op. Cit., hlm. 53.

Page 11: BAB III PENDAPAT IMAM SYAFI’I TENTANG MAHAR …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/32/jtptiain-gdl-s1... · membuat perumpamaan dengan sebuah syair. Maka sang sekretaris

beberapa bab masalah fiqh yang kebanyakan telah termuat dalam kitabnya

al-Umm. Dan kitab-kitab tersebut bisa dijadikan sebagai pegangan dan

pengetahuan yang dapat di nikmati sampai sekarang, diantaranya adalah:

a. Ar-Risalah

Kitab ini disusun berkaitan dengan kaidah ushul fiqh, yang di

dalamnya diterangkan mengenai pokok-pokok pegangan Imam Syafi’i

dalam mengistinbath hukum. Ar-Risalah merupakan kitab Ushul fiqh

yang pertama. Akan tetapi sebagai penulis ar-Risalah itu sendiri

adalah murid Syafi'i yaitu ar-Rabi’ ibn Sulaiman (270 H), dan Rabi’

inilah yang meriwayatkan dari Imam Syafi’i tentang Ar-Risalah

(karena Syafi’i tidak menulisnya secara langsung).

Di dalam kitab Ar-Risalah Imam Syafi’i membahas tentang

ketentuan-ketentuan nash kitab dan masalah nasikh mansukh,

kecacatan dalam hadits, syarat-syarat penerima hadits ahad yang

meliputi hadits mursal sebagai hujjah hukum, ijma’ ijtihad istihsan

serta qiyas.

b. Al-Umm

Al-Umm adalah kitab yang ditulis sendiri oleh Imam Syafi’i.

Kemudian diriwayatkan oleh ar-Rabi’. Segala yang termuat dalam

kitab al-Umm adalah pendapat Imam Syafi’i, itulah hujjah dalam

mazhabnya.13

13 Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Op. Cit. hlm. 514.

Page 12: BAB III PENDAPAT IMAM SYAFI’I TENTANG MAHAR …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/32/jtptiain-gdl-s1... · membuat perumpamaan dengan sebuah syair. Maka sang sekretaris

Kitab ini berisi hasil-hasil ijtihad Imam Syafi’i yang telah

dikodifikasikan dalam bentuk dan jilid-jilid yang membahas masalah

Thaharah, Ibadah, Amaliah sampai pada masalah peradilan seperti

Jinayah, Muamalah, Munakahat dan lainnya.

c. Ikhtilaf al-Hadits

Disebut Ikhtilaf al-Hadits karena di dalamnya mengungkapkan

perbedaan para ulama’ dalam persepsinya tentang hadits mulai dari

sanad sampai perawi yang dapat dipegang termasuk analisanya

tentang hadits yang menurutnya dapat dipegang sebagai hujjah.

d. Musnad

Di dalam kitab Musnad isinya hampir sama dengan yang ada

dalam kitab Ikhtilaf al-Hadits, kitab ini juga memaparkan persoalan

hadits, hanya saja terkesan bahwa yang ada dalam kitab ini adalah

hadits yang dipergunakan Imam Syafi’i khususnya yang berkaitan

dengan fiqh kitab al-Umm, di mana dari segi sanadnya telah dijelaskan

secara jelas dan rinci.

B. Pendapat Imam Syafi’i Tentang Mahar Muqaddam

Mahar adalah hak isteri, yang dapat digunakan sepenuhnya oleh isteri

dalam memanfaatkan barang tersebut serta memperoleh kompensasi baik

karena barangnya diambil kegunaannya oleh orang lain maupun karena

Page 13: BAB III PENDAPAT IMAM SYAFI’I TENTANG MAHAR …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/32/jtptiain-gdl-s1... · membuat perumpamaan dengan sebuah syair. Maka sang sekretaris

konsumsi untuk dihabiskan zatnya.14 Sedangkan mahar sebagaimana telah

dijelaskan di atas bahwa yang dimaksud dengan mahar adalah pemberian dari

calon suami kepada calon isteri, baik berbentuk barang, uang atau jasa yang

tidak bertentangan dengan hukum Islam (ps. 1 huruf d. KHI).15

Kemudian dalam masalah pembayaran mahar sebagaimana telah

dipaparkan diatas, mahar dapat diberikan atau dibayarkan di muka, kontan,

dan atau diutang.. Namun para ulama menganjurkan bahwa mahar sebaiknya

dibayar kontan meski hanya sebagian.

Dalam kehidupan Islam sudah menjadi kebiasaan dan suatu hal yang

lazim dengan yang namanya melamar atau pinangan (khitbah). Seorang laki-

laki atau calon suami sering memberikan sesuatu kepada calon istrinya

sebelum akad nikah. Dan hal ini banyak terjadi dalam adat istiadat di negara

Indonesia.

Dalam hal ini Imam Syafi’i berpendapat bahwa harta yang telah

diberikan calon suami kepada isterinya sebelum akad tersebut boleh dijadikan

dan dianggap mahar dan ketika keduanya melangsungkan akad nikah suami

tidak wajib untuk memberikan mahar kepada isterinya karena sudah

dibayarkan oleh suami sebelum akad.

Sebelum penulis menguraikan pendapat Imam Syafi’i tentang mahar

muqaddam, alangkah baiknya akan penulis jelaskan terlebih dahulu tentang

pengertian mahar muqaddam menurut Imam Syafi’i.

14 Taqyuddin an-Nahbani, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Perspektif Islam,

Risalah Gusti, t.t, hlm. 66. 15 A. Rofiq, MA., Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, t.t,

hlm.101.

Page 14: BAB III PENDAPAT IMAM SYAFI’I TENTANG MAHAR …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/32/jtptiain-gdl-s1... · membuat perumpamaan dengan sebuah syair. Maka sang sekretaris

Mahar muqaddam mengandung dua kata, pertama mahar yaitu

pemberian dari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita baik

berupa barang, uang atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.

Kedua muqaddam, artinya adalah didahulukan. Jadi yang dimaksud dengan

mahar muqaddam di sini adalah pemberian dari calon mempelai pria kepada

calon mempelai wanita baik berupa barang, uang atau jasa yang tidak

bertentangan dengan hukum islam yang diberikan sebelum dilangsungkannya

akad nikah, seperti misalnya saat pertunangan atau pemberian tukon (istilah

Jawa).

Adapun kaitannya dalam masalah pembayaran mahar sebagaimana

yang telah penulis kemukakan diatas bahwa imam Syafi’i berpendapat

pembayaran mahar kepada calon isteri boleh dibayarkan sebelum

berlangsungnya akad nikah, sebagaimana yang disebut dalam kitab Bughyah

al-Mustarsyidin sebagai berikut :

دفع ملخطو بته ماالمث ادعىانه بقصد املهر وانكرت صد قت هي ان كان .الدفع قبل العقد واالصدق

Artinya: “Apabila calon suami memberikan harta kepada calon isterinya dengan maksud memberikan mahar akan tetapi calon isteri ingkar apabila harta itu diberikan sebelum akad, dan apabila harta tidak diberikan sebelum akad maka calon suamilah yang benar.”16

Begitu juga yang disebut dalam kitab al-Khawi al-Kabir di mana

Imam Syafi’i mengatakan :

16 Abd al-Rahman bin Muhammad bin Husein bin Umar, Bughyah al-Mustarsyidin,

Indonesia : Dar Ihya’ al-Kutub al-Arobiyyah, t.t hlm. 214.

Page 15: BAB III PENDAPAT IMAM SYAFI’I TENTANG MAHAR …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/32/jtptiain-gdl-s1... · membuat perumpamaan dengan sebuah syair. Maka sang sekretaris

قرت ا فان قا لت املرأة الذي قبضت هدية وقال بل هومهرفقد :قال الشافعى .ملكه فالقول قولهمبال وادعت

Artinya: ”Imam Syafi’i berkata : Apabila calon isteri berkata bahwa apa yang diterimanya adalah hadiah, tetapi calon suami mengatakan mahar sedangkan isteri mengakui harta adalah miliknya, maka yang dianggap adalah ucapan calon suami. ”17

Dari kedua keterangan tersebut diatas terkandung maksud bahwa boleh

membayar mahar sebelum dilangsungkan akad nikah dengan catatan disertai

dengan adanya niat memberikan mahar oleh calon suami.

Dalam kitab lain juga dijelaskan :

بال لفظ اليها ماال قبل العقد ولواعطاها ماال فقالت لوخطب امرأة مث ارسل اودفع

هد ية وقال صداقا صدق بيمينه

Artinya : “Jika seorang laki-laki melamar perempuan, kemudian memberikan padanya harta tanpa adanya perkataan sebelum akad, dan apabila ia memberikan padanya harta kemudian perempuan tersebut mengatakan hadiah, dan laki-laki mengatakan maskawin, maka ia dibenarkan dengan sumpahnya”.18

Begitu juga dalam kitab Al-Fatawi al-Kubra yang menerangkan bahwa :

انه بان العربة بنية اخلاطب الدافع فان دفع بنية اهلدية ملكته املخطوبة اوبنية احس

من املهر حسب منه وان كان من غري جنسه

17 Abi al-Hasan Ali bin Muhammad bin Habib al-Mawardi, al-Hawi al-Kabir, juz IX,

Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiah, t.t. hlm. 501. 18 ….., I’anat al-Thalibin, juz. III, Beirut : Dar al-Kutub, t.t., hlm. 355

Page 16: BAB III PENDAPAT IMAM SYAFI’I TENTANG MAHAR …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/32/jtptiain-gdl-s1... · membuat perumpamaan dengan sebuah syair. Maka sang sekretaris

Artinya : “Bahwa dalam hal tersebut tergantung dengan niat laki-laki yang melamar, apa bila memberikan dengan niat memberikan hadiah maka wanita yang dilamar memilikinya sebagai hadiah, atau dengan niat baik memberikan mas kawin, maka dihitung sebagai maskawin walaupun tidak dari jenisnya maskawin”.19

Di samping itu juga Imam Syafi’i berpegang pada sebuah hadits Nabi:

عن ابن عباس ان النىب اهللا صل اهللا عليه وسلم منع عليا ان يدخل بفاطمة حىت .يعطيها شيئا

Artinya : “Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa nabi SAW melarang mangumpuli Fatimah sampai ia memberikan sesuatu kepadanya (mahar)…20

Pendapat Imam Syafi’i tersebut bermula dari adanya perbedaan

persepsi antara suami isteri dalam hal harta yang diberikan sebelum

dilangsungkannya akad nikah itu merupakan mahar atau hadiah.

Pendapat Imam Syafi’i tersebut berbeda dengan pendapat Imam Malik

yang mengatakan bahwa apabila harta yang diberikan berupa sesuatu yang

biasanya dihadiahkan suami untuk isterinya seperti pakaian dan perhiasan,

maka yang dibenarkan adalah ucapan isterinya yaitu harta yang diberikan oleh

suami sebelum akad nikah adalah hadiah bukan mahar dengan adanya sumpah

isteri karena melihat kebiasaannya.21 Akan tetapi pendapat Imam Malik

tersebut ditolak oleh Imam Syafi’i, karena harta itu tidak bisa dimiliki sebab

adanya pengakuan saja, sehingga apabila isteri mengaku bahwa harta yang

diterimanya adalah hadiah maka tidak bisa diterima ucapannya.

19 Ibnu Hajar al-Haitamy, Al-Fatawi al-Kubra al-Fiqhiyah, juz. IV, Beirut : Dar al-Fikr,

t.t., hlm. 111. 20 Imam al-Khafidz abi Daud sulaiman bin al-Asy’ad, Sunan Abi Daud, juz II, Beirut :

Dar al-Kutub al-Ilmiyah, t.t. hlm. 106 21 Ibid.

Page 17: BAB III PENDAPAT IMAM SYAFI’I TENTANG MAHAR …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/32/jtptiain-gdl-s1... · membuat perumpamaan dengan sebuah syair. Maka sang sekretaris

C. Metode Istinbath Hukum Imam Syafi’i Tentang Mahar Muqaddam

Sebelum penulis kemukakan tentang metode istinbath hukum Imam

Syafi’i tentang pembayaran mahar yang dibayarkan sebelum akad nikah

(mahar muqaddam), terlebih dahulu penulis akan mengemukakan bagaimana

metode istinbath hukum secara umum yang digunakan oleh Imam Syafi’i.

Sebagaimana diketahui bahwa pemikiran Imam Syafi’i dalam bidang

hukum merupakan sumbangan yang sangat besar bagi keilmuan (hukum

Islam). Pemikiran imam Syafi’i adalah jembatan antara dua kutub pemikiran

yang ekstrim yaitu antara ahli ra’yu dan ahli hadits. Kelompok pertama

diwakili oleh Imam Abu Hanifah dengan menggunakan metode pendekatan

hukumnya lebih mengedepankan aspek rasionalitas. Sedangkan kelompok

yang kedua yang dipelopori oleh Imam Malik dengan menggunakan metode

pemahaman hukum yang lebih mengedepankan aspek normatifitas dan

memegangi hadits secara ketat.

Imam Syafi’i tampak seolah-olah berada diantara dua ekstrimitas

tersebut. Hal ini dikarenakan Imam Syafi’i pernah mengembara ilmu dari satu

tempat ke tempat yang lain dan dari satu guru ke guru yang lain. Imam Syafi’i

pernah berguru kepada Imam Malik dan pernah pula belajar pada as-Syaibany

seorang tokoh hukum Islam mazhab Hanafi. Pengalaman-pengalaman berguru

tersebut tampaknya membuat Imam Syafi’i dapat memberi warna tersendiri

pada pola pikiran mazhab Imam Syafi’i.

Dalam mazhab fiqhnya, Imam Syafi’i menempatkan al-Qur’an sebagai

imam (dasar utama) dalam mengambil hukum. Beliau berkata, “Sunnah sejajar

Page 18: BAB III PENDAPAT IMAM SYAFI’I TENTANG MAHAR …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/32/jtptiain-gdl-s1... · membuat perumpamaan dengan sebuah syair. Maka sang sekretaris

kedudukannya dengan al-Qur’an karena as-Sunnah berfungsi sebagai penjelas

al-Qur’an.” Karena itu, sunnah menurut beliau ditempatkan sebagai dasar

kedua setelah al-Qur’an.22

Ketika disodorkan masalah padanya, maka yang pertama kali beliau

mencari solusinya dari hadits Nabi. Bahkan beliau minta pada muridnya untuk

meninggalkan pendapatnya dan mengambil pendapat yang sesuai dengan

hadits jika memang pendapatnya itu bertentangan dengan hadits.

Imam Syafi’i menempatkan ijma’ sebagai hujjah setelah al-Qur’an dan

hadits, tapi beliau masih memberi batasan dan syarat bagi ijma’. Imam Syafi’i

berpendapat bahwa dalam syari’ah seseorang tidak boleh mengedepankan

pendapatnya kecuali untuk dasar qiyas. Yaitu memberi hukum atas sesuatu

yang tidak ada nashnya disamakan dengan sesuatu yang sudah jelas nashnya

karena persamaan illatnya (alasan dalam hukumnya).

Karakteristik fiqh dan pengetahuan Syafi’i yang menonjol ialah bahwa

beliau telah meletakkan kaidah-kaidah ushul fiqh. Beliau membangun dasar

ilmu ushul fiqh dengan meletakkan kaidah secara umum sebagai rujukan

dalam mengetahui urutan pengambilan dalil syar’i.

Imam Nawawi menamakan ilmu ushul dan kaidah-kaidahnya yang

menjadi dasar fiqh imam Syafi’i dan mazhabnya dengan perkataannya sebagai

berikut. “Dia datang setelah munculnya kitab-kitab ditetapkannya hukum, dia

telah mempelajari mazhab terdahulu, mengambilnya dari imam-imam pilihan,

berdiskusi dengan orang-orang pintar kemudian menyeleksi dan

22 Ahmad Asy-Syarbasy, Al-Aimmah al-Arba’ah, Terj. Futuhal Arifin, Lc., “4 Mutiara

Zaman”, Jakarta, Pustaka Kalami, Cet. Ke-1, 2003, hlm.140

Page 19: BAB III PENDAPAT IMAM SYAFI’I TENTANG MAHAR …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/32/jtptiain-gdl-s1... · membuat perumpamaan dengan sebuah syair. Maka sang sekretaris

menyelidikinya serta meringkasnya dalam metode yang meliputi al-Quran,

as-Sunnah, ijma’, qiyas. Dia tidak meringkasnya pada salah satu dari empat,

sebagaimana yang dilakukan oleh orang lain.”23

Kemudian dalam menerangkan dasar-dasar mazhabnya, Imam Syafi’i

berkata :

ل قران وسنة فان مل يكن فقياس عليهما واذا اتصل احلد يث عن رسول اهللا االص

واحلد يث على ظا هره واذا امحتل . وصح االسنة واالمجاع اكرب من اخلرب املنفرد

واذا تكافأت االحاديث فاصحها اسنادا . اهره اوالهامعاىن فما اشبه منها ظ

ولس املنقطع بشيئ ماعد منقطع ابن املسيب واليقاس اصل على اصل . اوالها

واليقال لال صل مل وكيف؟ وامنا يقال للفروع مل؟ فاذا صح قياسه على اال صل

.صح وقامت به حجةArtinya : “Yang menjadi pokok adalah al-Qur’an dan as-Sunnah, kalau tidak

ada dalam al-Qur’an dan as-Sunnah barulah qiyas pada keduanya. Kalau hadits dari Rasulullah sudah shahih sanadnya, maka itulah sunnah. Ijma’ lebih besar dari pada kabar orang seorang. Hadits diartikan menurut dhahirnya lafad. Tetapi kalau artinya banyak, maka yang dekat dengan dhahir itulah yang pantas. Kalau bersamaan banyak hadits, maka yang paling shahih sanadnya itulah yang disahulukan. Hadits munqathi’ (sanadnya tidak sampai pada Nabi) tidak diterima. Kecuali munqati’ yang disampaikan Ibn Musayyab. Asal tidak diqiyaskan dengan asal. Asal tidak ditanya kenapa dan bagaimana. Hal ini boleh ditanyakan pada furu’ pada asal. Maka itulah suatu dalil (hujjah).”24

Dari perkataan Imam Syafi’i dapat diambil kesimpulan bahwasannya

pokok-pokok pikiran beliau dalam istinbath hukum sebagai berikut :

23 Ibid. hlm. 142 24 Imam Syafi’I, ar-Risalah, Beirut : Daar al-Fikr t.t. hlm. 39

Page 20: BAB III PENDAPAT IMAM SYAFI’I TENTANG MAHAR …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/32/jtptiain-gdl-s1... · membuat perumpamaan dengan sebuah syair. Maka sang sekretaris

1. Al-Kitab (al-Qur’an).

2. Al-Sunnah.

3. Ijma’.

4. Qiyas.

Untuk mengetahui secara utuh dan detail pemikiran Imam Syafi’i

tentang keempat sumber hukum tersebut, maka akan penulis uraikan satu

persatu, sebagai berikut :

1. Al-Kitab (al-Qur'an)

Al-Qur’an adalah kalam Allah yang diturunkan melalui

perantaraan malaikat Jibril ke dalam kalbu Rasulullah saw. Dengan

menggunakan bahasa Arab dan disertai dengan kebenaran agar dijadikan

hujjah (penguat) dalam hal pengakuannya sebagai Rasul, dan agar

dijadikan sebagai undang-undang bagi seluruh ummat manusia, di

samping merupakan amal ibadah jika membacanya.25

Menurut Syafi’i, al-Qur’an adalah sumber pokok dari semua

pengetahuan dasar tentang hukum, Imam Syafi’i mengatakan bahwa al-

Qur’an mengandung tuntutan bagi masalah apapun yang mungkin timbul

dikalangan kaum muslim. Imam Syafi’i mengemukakan sejumlah ayat

untuk menjustifikasikan pendapatnya di antaranya adalah :

بلت الذكر كا إليلنأنزر وبالزات ونيبالب ملهلعو همل إليزا ناس مللن ني

}44{يتفكرون

25 Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, Terj. Masdar Helmy, Bandung : Gema Risalah Pres, 1992, hlm. 39

Page 21: BAB III PENDAPAT IMAM SYAFI’I TENTANG MAHAR …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/32/jtptiain-gdl-s1... · membuat perumpamaan dengan sebuah syair. Maka sang sekretaris

Artinya : “Dengan membawa keterangan-kterangan (mu’jizat) dan kitab-kitab. Dan kami turunkan kepadamu al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.” (Q.S. al-Nahl: 44).26

2. Al-Sunnah

Menurut istilah syara’ as-Sunnah ialah sesuatu yang datang dari

Rasulullah saw. Baik ucapan, perbuatan maupun taqrir (persetujuan).

Sunnah juga disebut hadits dan khabar.27

Umat Islam sepakat bahwa apa saja yang datang dari Rasulullah

saw. Baik ucapan, perbuatan atau taqrir, membentuk suatu hukum atau

tuntutan yang disampaikan kepada umat manusia dengan sanad shahih

dan mendatangkan yang Qath’i atau Zhanni. Karenanya, dengan

kebenaran itu adalah sebagai hujjah bagi umat Islam dan sebagai sumber

pembentukan hukum Islam yang oleh para mujtahid dijadikan sebagai

rujukan istinbath dan hukum-hukum syari’at bagi mukalaf. Dengan kata

lain, hukum-hukum yang ada pada as-Sunnah adalah hukum-hukum yang

ada di dalam al-Qur’an, sebagai peraturan perundangan yang harus

ditaati.28

Asy-Syafi’i dalam ar-Risalah mengemukakan sejumlah hujjah

untuk membuktikan bahwasanya as-Sunnah adalah suatu hujjah dari

hujjah-hujjah agama. Ia telah berjasa dalam mengumpulkan dalil-dalil

26 Departemen Agama RI., Yayasan Penterjemah al-Qur’an, al-Qur’an dan Terjemhnya,

Jakarta : Bumi Restu, 1976, hlm. 408. 27 A. Hanafi, Ushul Fiqh, Jakarta: Widjaya, 1993, hlm. 108. 28 Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung: Gema Risalah Pres, 1992, hlm. 67.

Page 22: BAB III PENDAPAT IMAM SYAFI’I TENTANG MAHAR …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/32/jtptiain-gdl-s1... · membuat perumpamaan dengan sebuah syair. Maka sang sekretaris

yang membuktikan kehujjahan as-Sunnah. Itulah sebabnya ia diberi gelar

“Nashirul Sunnah”.29

Asy-Syafi’i dalam mengambil dasar as-Sunnah atau al-Hadits

tidaklah yang mutawattir saja, melainkan ahad pun diambil dan

dipergunakan untuk dijadikan hujjah asal telah mencukupi syarat-

syaratnya, yakni para perawinya itu orang-orang yang terpercaya, kuat

ingatannya dan bersambung sanadnya sampai pada Rasulullah saw.

Asy-Syafi’i menempatkan as-Sunnah sejajar dengan al-Qur’an

karena as-Sunnah merupakan penjelas dari al-Qur’an, akan tetapi asy-

Syafi’i tidak mengatakan kalau hadits ahad30 juga senilai dengan al-

Qur’an, sekalipun hadits itu juga dipergunakan sebagai hujjah, karena

menurutnya hanya al-Qur’an dan as-Sunnah Mutawatirlah yang qot’i

subutnya.31

Asy-Syafi’i berpendapat bahwa as-Sunnah mempunyai hak untuk

mendatangkan hukum-hukum yang belum ada dalam al-Qur’an. asy-

Syafi’i hanya menggunakan hadits ahad bila perawinya berkesinambungan

dan tidak terputus. Ia tidak menggunakan hadits mursal sebagai dalil

kecuali dalam hal-hal yang sangat tertentu saja. Dia menerima hadits

mursal jika tabi’i yang memursalkannya itu, seorang tabi’i besar yang

29Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-pokok Pegangan Imam Mazhab, Cet. I, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1997, hlm. 247.

30 Ditinjau dari segi rawinya, as-Sunnah dibagi menjadi tiga macam : Sunnah Mutawattir, yaitu sunnah yang diriwayatkan oleh sekelompok orang (rawi), yang rawi-rawi itu tidak mungkin bersekutu melakukan kebohongan. Sunnah Masyhurah, yaitu sunnah yang diriwayatkan dari Rasulullah saw. Oleh seorang atau dua orang atau kelompok yang tidak mencapai derajat atau tingkat tawatur (Mutawatir). Sunnah Ahad, yaitu sunnah yang diriwayatkan oleh kelompok orang yang tidak mencapai derajat tawatur atau diriwayatkan oleh seorang atau dua orang atau kelompok orang yang tidak mencapai derajat tawatur.

31 Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Ibid, hlm, 248.

Page 23: BAB III PENDAPAT IMAM SYAFI’I TENTANG MAHAR …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/32/jtptiain-gdl-s1... · membuat perumpamaan dengan sebuah syair. Maka sang sekretaris

banyak bertemu dengan sahabat. Seperti Said ibn Masayab. Karena hadits

mursal Sa’id adalah disepakati menjadi hujjah.32 Atau hadits itu dikuatkan

oleh hadits muttashil yang lain, atau oleh hadits mursal yang lain yang

satu arti dengan dia, dan telah diterima oleh ahli ilmu, atau diamalkan oleh

sebagian ulama, atau segolongan ulama telah memfatwakan sesuai dengan

kandungan hadits mursal itu.33

3. Ijma’

Ijma’ menurut istilah ushul adalah kesepakatan para imam

mujtahid diantara umat Islam pada suatu masa setelah Rasulullah wafat,

terhadap hukum syara’ tentang suatu masalah atau kejadian.34

Asy-Syafi’i mengatakan ijma’ adalah hujjah. Ia menempatkan

ijma’ setelah al-Kitab dan as-Sunnah sebelum al-Qiyas. Dengan

memperhatikan apa yang disebut dalam ar-Risalah nyatalah bahwa ia

menempatkan ijma’ sebelum qiyas atau harus didahulukan ijma’ atas

qiyas.

Asy-Syafi’i menggunakan ijma’ jika sudah terang tidak ada

seorangpun yang menyalahinya atau membantahnya. Oleh karena itu asy-

Syafi’i tidak menerima ijma’ sukuti. Ijma’ yang dapat diterima oleh asy-

Syafi’i hanyalah ijma’ yang merupakan konsensus total yang harus

dinyatakan dengan formal sehingga ia tidak dapat menerima kesepakatan

32 Syaikh Mahmud Syaltout, Perbandingan Mazhab dalam Masalah Fiqh, Jakarta:

Bulan Bintang, 1973, hlm, 192. 33 Ibid. hlm, 158. 34 Abdul Wahab Khalaf, Op. Cit. Hlm, 81

Page 24: BAB III PENDAPAT IMAM SYAFI’I TENTANG MAHAR …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/32/jtptiain-gdl-s1... · membuat perumpamaan dengan sebuah syair. Maka sang sekretaris

diam-diam (ijma’ sukuti).35 Karena pandangan yang demikian itu asy-

Syafi’i hanya dapat menerima ijma’ yang terjadi dikalangan para sahabat

Nabi saw. Itupun terbatas hanya pada kewajiban-kewajiban dan larangan-

larangan pokok.36

4. Al-Qiyas

Asy-Syafi’i adalah mujtahid yang mula-mula menguraikan dasar

qiyas. Para fuqaha sebelumnya membahas tentang ar-Ra’yu tanpa

menentukan batas-batasnya dan dasar-dasar penggunaannya, tanpa

menentukan norma-norma ra’yu yang shahih dan yang tidak shahih.

Menurut ulama’ ushul al-Qiyas berarti menyamakan suatu kejadian

yang tidak ada nash kepada kejadian lain yang ada nashnya pada nash

hukum yang telah menetapkan lantaran adanya kesamaan diantara dua

kejadian itu dalam illat (sebab terjadinya) hukumnya.37

Asy-Syafi’i mengambil dan mempergunakan hukum dasar qiyas

apabila sudah jelas tidak terdapat dalil al-Qur’an, as-Sunnah dan Ijma’,

oleh karena itu asy-Syafi’i tidak terburu-buru menjatuhkan hukum secara

qiyas sebelum menyelidiki lebih lanjut dan detail tentang dapat atau

tidaknya hukum itu menggunakan qiyas.

35Dilihat dari segi melakukan ijtihad, ijma’ dibagi menjadi dua. Ijma’ Sharih yaitu

kesepakatan para mujtahid pada suatu waktu terhadap hukum suatu kejadian atau peristiwa dengan menyajikan pendapat masing-masing secara jelas yang dilakukan dengan cara memberi fatwa atau memberi keputusan. Dengan kata lain, setiap mujahid menyampaikan ucapan atau perbuatan yang menyebabkan pendapatnya masing-masing secara jelas. Ijma’ Sukuti yaitu sebagian mujtahid pada suatu waktu mengemukakan pendapatnya secara jelas terhadap suatu kejadian yang dilakukan dengan cara memberi fatwa atau memberi keputusan, dan mujtahid yang lain tidak menanggapi pendapat tersebut dalam hal persesuaiannya atau perbedaannya. Lihat Abdul Wahab Khalaf, dalam Ilmu Ushul Fiqh, hlm. 90-91.

36 Zarkowi Soejoeti, Pengantar Ilmu Fiqh, Bagian I, Semarang: Walisongo Press, 1987, hlm, 136.

37 Abdul Wahab Khalaf, loc.cit., hlm, 92-93.

Page 25: BAB III PENDAPAT IMAM SYAFI’I TENTANG MAHAR …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/32/jtptiain-gdl-s1... · membuat perumpamaan dengan sebuah syair. Maka sang sekretaris

Qiyas (analogi) adalah metode berfikir yang dipergunakan untuk

mencari kejelasan hukum dari contoh-contoh serupa yang terdapat dalam

nash al-Qur’an atau Sunnah (Hadits) Nabi. Sementara itu proses

pengambilan qiyas sekurang-kurangnya harus didasarkan kepada dua hal :

Pertama, jika Allah dan Rasul-Nya telah mengharamkan sesuatu

secara tersurat, atau menghalalkan-Nya karena alasan atau illat tertentu,

kemudian kita dapatkan hal serupa tapi tidak ada nash khusus di dalam al-

Qur’an atau sunnah, maka kita bisa memberikan hukum haram atau halal

berdasarkan fakta bahwa hal itu mempunyai esensi (illat) yang sama

dengan yang telah ditetapkan status hukumnya dalam al-Qur’an atau

Sunnah tadi.

Kedua, dalam hal didapat dua kasus yang hampir-hampir sama,

maka analogi (qiyas) harus didasarkan atas kemiripan yang paling

lengkap, terutama dari sudut lahiriahnya.38

Demikianlah secara garis besar mengenai sumber hukum yang

dijadikan patokan asy-Syafi’i dalam menggali hukum untuk menghadapi

atau menyelesaikan berbagai permasalahan dalam hal hukum.

Dari dalil-dalil yang ada tentang mahar, ternyata tidak ada dalil

khusus yang menyatakan atau menerangkan tentang mekanisme

pembayaran mahar, terutama mahar yang dibayarkan sebelum akad

(mahar muqaddam). Untuk itu Imam Syafi'i menggunakan dalil-dalil

tentang kewajiban untuk membayar mahar serta dalil tentang pelarangan

38 Imam Syafi’I, Ar-Risalah, Terj. Ahmadie Thoha, Cet. IV, Jakarta : Pustaka Firdaus,

1992, hlm., 23.

Page 26: BAB III PENDAPAT IMAM SYAFI’I TENTANG MAHAR …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/32/jtptiain-gdl-s1... · membuat perumpamaan dengan sebuah syair. Maka sang sekretaris

Nabi untuk melakukan hubungan suami isteri sebelum mahar itu

dibayarkan.

Sedangkan istinbath hukum Imam Syafi’i yang berkaitan dengan

mahar muqaddam adalah sebagai berikut :

1. al-Quran

ا فكلوهفسن هء منيش نع لكم نلة فإن طبنح قاتهنداء صسوا النآتو

﴾4هنيئا مريئا﴿

Artinya : “Berikanlah mas kawin kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang wajib, kemudian mereka menyerahka kamu sebagian dari mas kawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagaai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya”. (QS. 4.4)39

Dari ayat tersebut Imam Syafi’i menafsirkan tentang

secepatnya membayar mahar, karena melihat kata yang dipakai dalam

ayat tersebut menunjukkan kalimat perintah ( أتوا ) dimana kalimat

perintah menunjukkan makna segera, sebagaimana kaidah ushul fiqh :

االصل ىف االمريقتضى الفور

Artinya : “Bermula suruhan menghendaki kesegeraan”40

2. al-Hadits

عن ابن عباس ان النىب اهللا صل اهللا عليه وسلم منع عليا ان يدخل .ها شيئابفاطمة حىت يعطيت

39 Depag RI, al-Qur’an Dan Terjemahnya, Semarang : Toha Putera, tt, 115 40 A. Hanafi, Ushul Fiqh, Cet. XII, Jakarta : Widjaya, hlm., 38.

Page 27: BAB III PENDAPAT IMAM SYAFI’I TENTANG MAHAR …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/32/jtptiain-gdl-s1... · membuat perumpamaan dengan sebuah syair. Maka sang sekretaris

Artinya : “Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa nabi SAW melarang mangumpuli Fatimah sampai ia memberikan sesuatu kepadanya (mahar)…41

Dari dalil tersebut sudah jelas bahwa mahar adalah sesuatu

yang harus dibayarkan oleh suami kepada iseteri. Dan dalam

pembayarannya tentu saja akan lebih baik kalau mahar itu dibayarkan

di muka. Karena dengan dibayarkannya mahar di muka, maka akan

lebih aman dari segi suami, karena sudah tidak ada lagi tanggungan

terhadap isteri yaitu membayar mahar. Selain itu pemberian yang

disegarakan akan lebih baik dari pada pemberian yang ditunda atau

dihutang.

41 Imam al-Khafidz abi Daud sulaiman bin al-Asy’ad, Sunan Abi Daud, juz II, Beirut :

Dar al-Kutub al-Ilmiyah, t.t. hlm. 106