bab iii pendapat imam syafi’i tentang mahar...
TRANSCRIPT
BAB III
PENDAPAT IMAM SYAFI’I TENTANG
MAHAR MUQADDAM
A. Biografi Imam Syafi’i
1. Tempat Lahir, Silsilah Perjalanan Hidup Imam Syafi’i
Imam Syafi’i adalah imam ketiga dari empat mazhab menurut
urutan kelahirannya. Beliau adalah “Nashirul Hadits,” pembela hadits dan
“mujaddid”, pembaharu abad kedua hijriyah.1
Menurut kebanyakan ahli sejarah bahwa Syafi’i dilahirkan di
Ghaza, Palstina, tahun 150 H (767 M). namun ada yang mengatakan lahir
di Asqalan, yaitu daerah yang kurang lebih 3 farsakh (8 km atau 3,5 mil)
dari Ghaza, dan perjalanan dua tiga hari dari Baitul Maqdis. Ada juga yang
mengatakan lebih jauh dari itu yaitu di Yaman.
Imam Nawawi berkata, “Menurut jumhur, Syafi’i lahir di Ghaza.”
Diriwayatkan bahwa Syafi’i lahir pada malam hari bertepatan dengan
wafatnya Abu Hanifah. Jika riwayat ini benar, maka itu adalah kejadian
yang menakjubkan, yakni lahirnya seorang imam bertepatan pada
wafatnya imam yang lain.
Nama lengkap beliau adalah Abu Adbullah Muhammad bin Idris
bin Abas bin Utsman bin Syafi’i bin Sa’id bin Ubaidillah bin Abi Yazid
1 Ahmad Asy-Syarbasy, Al-Aimmah al-Arba’ah, Terj. Futuhal Arifin, Lc., “4 Mutiara
Zaman”, Jakarta, Pustaka Kalami, Cet. Ke-1, 2003, hlm. 127.
bin Hasyim bin Mutlalib bin Abdul Manaf. Ibunya bernama Fathimah
binti Abdullah bin Hasan bin Husein bin Ali bin Abi Thalib.
Asy-Syafi’i lahir di tengah-tengah keluarga miskin. Ayahnya
meninggal ketika beliau masih kecil. Kemudian ibunya membawanya ke
Mekkah. Ia hidup sebagai anak yatim yang fakir dari keturunan bangsawan
tinggi, keturunan yang paling tinggi di masanya, Asy-Syafi’i hidup dalam
keadaan sangat sederhana. Namun, kedudukannya sebagai putra bernasab
mulia menyebabkan ia terpelihara dari perangai buruk, selalu berjiwa
besar, dan tidak menyukai kehinaan diri.2
Pada usia 2 (dua) tahun imam Syafi’i dibawa ibunya ke Mekkah
dari Guzzah yang merupakan tanah tumpah darah asli bagi nenek moyang
imam Syafi’i. Pada usia yang relatif muda imam Syafi’i telah mampu
menghafal al-Qur’an. Disamping kecerdasannya dalam menghafal al-
Qur’an ia juga rajin menghafal al-Hadits yang ia dengar. Kemudian dicatat
dan dibukukan dalam percetakan sehingga ia dikenal sebagai orang yang
cinta ilmu dan ahli hadits.3
Imam Syafi’i hidup di tengah-tengah masyarakat Mekkah
kemudian pindah ke kota Madinah. Kedua kota ini adalah bumi Hijaz yang
merupakan tempat perbendaharaan sunnah (Hadits). Kota ini tidak begitu
ramai dengan berbagai kebudayaan sebagaimana kota-kota lainnya.
Kesederhanaan tatanan masyarakat tidak banyak menimbulkan
2 Mahmud Syalthut, Ali As-Sayis, Muqaaranatul Madzaahib Fil Fiqh, Terj. Abdul
Zakiy Al-Kaaf, “Fiqih Tujuh Madzhab”,Banbung : CV. Pustaka Setia, Cet. Ke-1, 2000, hlm. 17. 3 Subhi Mahmashani, Terj. Ahmad Sujono, Filsafat Hukum Islam, Bandung : PT. Al-
Ma’arif, 1981, hlm., 51.
problematika kehidupan masyarakat, dan untuk menyelesaikan masalah
pun langsung mendasarkan pada al-Qur’an dan al-Hadits, maka wajar lah
apabila imam Syafi’i ini lebih cenderung pada aliran Hadits.
Pada awalnya Imam Syafi’i cenderung kepada syair, sastra dan
belajar bahasa Arab sehari-hari. Tapi dengan demikian Allah justru
menyiapkannya untuk menekuni fiqh dan ilmu pengetahuan. Terdapat
beberapa riwayat yang menyebabkan Imam Syafi’i seperti itu diantaranya
adalah :
Suatu hari, di masa mudanya ketika ia berada di atas kendaraan.
Di belakangnya terdapat sekretaris Abdullah Al-Zubairi. Lalu Syafi’i
membuat perumpamaan dengan sebuah syair. Maka sang sekretaris itu
memukulkan cambuknya layaknya seorang pemberi nasehat dan berkata,
“Orang seperti anda mencampakkan kepribadiannya seperti ini?
Bagaimana perhatian anda terhadap fiqh?” hal ini mempengaruhi dirinya
dan membangkitkan semangatnya untuk bergegas belajar kepada Muslim
bin Khalid Az-Zanji, Mufti Mekkah.4
Syafi’i menuntut ilmu di Mekkah dan mahir di sana. Ketika
Muslim bin Khalid Az-Zanji memberikan peluang untuk berfatwa, Syafi’i
merasa belum puas atas jerih payahnya selama ini. Ia menuntut ilmu terus
dan akhirnya pindah ke Madinah dan bertemu Imam Malik di sana.
Sebelumnya ia telah mempersiapkan diri membaca kitab al-Muaththa
(karya Imam Malik) yang sebagian besar telah dihafalkannya. Ketika
4 Ahmad Asy-Syarbasy, Op. Cit., hlm., 131
Imam Malik bertemu dengan Syafi’i, Malik berkata, “Sesungguhnya Allah
SWT. telah menaruh cahaya dalam hatimu, maka jangan padamkan
dengan perbuatan maksiat.”5
Mulailah Syafi’i belajar dari Imam Malik dan senantiasa
bersamanya hingga Imam Malik wafat pada tahun 179 H. selama itu pula
ia mengunjungi ibunya di Mekkah.
Kemudian pada tahun 195 H Imam Syafi’i mengembara ke
Baghdad, yang merupakan kota yang sudah maju peradaban
masyarakatnya pada waktu itu. Di kota ini Imam Syafi’i menetap beberapa
tahun lamanya sebelum ia melakukan perjalanan ke kota lainnya, yaitu
Mesir pada tahun 199 H dan ia memilih kota ini sebagai tempat
tinggalnya. Di Baghdad ia belajar Ilmu Fiqh Madzhab Hanafi, yang
terkenal dengan madzhab Ahlul Ro’yi, sebagaimana di Hijaz yang
tradisional. Kemudian ia cenderung kepada sifat itu, maka di kota Irak pun
ia cenderung pada kondisi Irak, yaitu kota yang terkenal dengan Ahlu
Ra’yu.
Imam Syafi’i telah mendengar berita yang menyatakan kebesaran
ulama’ di Irak seperti Abu Yusuf dan Muhammad Ibn Hasan, maka ia
berkehendak untuk bertemu dengan mereka. Di kota ini ia berguru kepada
Muhammad Ibn Hasan seorang tokoh ahli Fiqh. Maka terkumpullah pada
diri Syafi’i beberapa ilmu dari para ahli Hadits dan Ra’yu.
5 Ibid.,
Syafi’i banyak mengambil manfaat dari beberapa kitab Muhammad
Ibn Hasan dari pelajaran Fiqh Irak dan perdebatannya dengan beberapa
ulama’ fiqh di sana. Dari sini, ia bisa mempersiapkan diri
mengkompromikan fiqh madinah dan fiqh Irak, atau fiqh tekstual dan fiqh
kontekstual, sehingga membantunya meletakkan dasar-dasar ushul fiqh,
dan kaidah fiqh (qawaid al-fiqhiyah), menjadikan ia terkenal, disebut-
sebut namanya dan terangkat derajatnya.6
Pengetahuan Syafi’i terbentuk dari beberapa sumber. Antara lain,
guru, bacaan dan belajarnya, serta perjalanannya ke Yaman, Kufah,
Bashrah, Makkah, Baghdad, dan Mesir. Ada juga dari perdebatan yang
serius di masanya antara para pakar teologi dan filsafat, pakar fiqh dan
ulama’ hadits dan sebagainya, serta pemikiran dan perenungannya
terhadap ilmu dan lingkungan yang kesemuanya itu sangat dominan dalam
membentuk wawasannya yang sangat luas.
Dengan bekal pengetahuannya, beliau melangkah untuk
menyampaikan berbagai kritik dan kemudian mengambil jalan keluarnya
sendiri. Mula-mula beliau berbeda pendapat dengan gurunya (Imam
Malik). Perbedaan ini berkembang sedemikian rupa sehingga beliau
menulis buku yang berjudul “Khilaf al-Malik” yang sebagian besar kritik
terhadap pendapat (fiqh) madzhab gurunya itu, beliau juga terjun dalam
perdebatan-perdebatan sengit dengan madzhab Hanafi dan banyak
mengeluarkan kritik sebagai koreksi terhadapnya.
6 Ibid, hlm. 136
Kritik-kritik imam Syafi’i terhadap dua madzhab tersebut akhirnya
ia muncul dengan madzhab baru yang merupakan sintesa dari kedua
madzhab (ahli hadits dan ahli ra’yu) yang benar-benar orisinil.
Namun demikian yang paling menentukan orisinilitas madzhabnya
ini adalah kehidupan empat tahunnya di Mesir. Memang banyak kota di
mana imam Syafi’i mengembangkan atau menggali ilmu, seperti kota
Yaman, Persi, Baghdad dan lain-lain. Tetapi di Mesir inilah Imam Syafi’i
sampai meninggalnya dipergunakan untuk menulis sebagian besar buku-
bukunya, bahkan juga untuk merevisi buku-buku yang pernah ditulisnya.
Di kota ini pula ia meletakkan dasar-dasar madzhab barunya yang dikenal
dengan kaul jadid.7
Sebagaimana yang telah dikatakan bahwa fiqh Syafi’i adalah fiqh
yang lahir karena kondisi masyarakatnya sehingga dengan adanya dua kota
yang merupakan tempat yang paling mempengaruhi teori imam Syafi’i
dengan didukung keadaan yang berbeda itu pula, maka fiqh Syafi’i juga
dibedakan menjadi dua macam yakni madzhab kaul kadim dan madzhab
kaul jadid. Madzhab kaul kadim adalah pendapat imam Syafi’i ketika di
Irak dan kaul jadid adalah pendapat imam Syafi’i di Mesir.
Dengan perpaduan pemikiran imam Syafi’i akibat pengaruh dari
corak pendidikan dan pengalaman dari beberapa negara tersebut, Imam
Syafi’i mengkombinasikan dan mengkomparasikan serta mendiskusikan
7 Farouq Abu Zaed, Hukum Islam antara Tradisional dan Modernitas, Jakarta : P3M,
1986, hlm. 30.
fiqh negara Hijaz dan Irak. Kemudian ia menjadi terkenal dengan sebutan
ahli hadits dan ahli ra’yu.8
Dalam madzhab fiqhnya, Imam Syafi’i menempatkan al-Qur’an
sebagai imam (dasar utama) dalam mengambil hukum. Beliau berkata,
“sunnah sejajar kedudukannya dengan al-Qur’an karena as-Sunnah
berfungsi sebagai penjelas al-Qur’an.” Karena itu menurut beliau as-
Sunnah ditempatkan sebagai dasar kedua setelah al-Qur’an.9
Misalnya beliau sependapat dengan Imam Malik (ahlu al-Hadits)
dalam hal menempatkan al-Qur’an sebagai dasar hukum Islam, karena
menurutya as-Sunnah sebagai dasar hukum yang kedua. Dilain fihak Imam
Syafi’i sepakat dengan madzhab Hanafi (Ahlu al-Ra’yu) dalam
kecenderungannya memakai ijtihad atau rasio. Namun Imam Syafi’i
memberikan suatu batasan bahwa dasar ijtihad atau ra’yu tersebut
hendaklah berbentuk qiyas (analogi).
Dalam pemakaian qiyas ini imam Syafi’i memberikan ketentuan-
ketentuannya. Beliau sependapat dengan Imam Malik dalam mengambil
ijma’ sebagai sumber hukum sesudah al-Qur’an dan as-Sunnah, tetapi
beliau memberikan persyaratan-persyaratan yang ketat, sehingga ijma’
bukan semata-mata hasil pikiran tanpa ketentuan yang pasti.
2. Guru-guru Imam Syafi’i
Imam Syafi’i menerima fiqh dan Hadits dari banyak guru yang
masing-masing mempunyai manhaj sendiri dan tinggal di tempat-tempat
8 Subhi Mahmashani, Op. Cit., hlm. 51. 9 Ahmad Asy-Syarbasy, Loc. Cit., Hlm. 140.
yang berjauhan satu sama lainnya. Ada di antara gurunya yang Mu’tazili
yang memperkatakan ilmu kalam yang tidak disukainya. Dia mengambil
mana yang perlu diambil dan dia tinggalkan mana yang perlu ditinggalkan.
Imam Syafi’i menerima ilmunya dari ulama-ulama Makkah, Madinah, Iraq
dan ulama-ulama Yaman.10
Semula Imam Syafi’i berguru pada syekh Muslim bin Khalid Az-
Zanji dan beberapa imam Makkah. Kemudian setelah umur 13 tahun ia
pergi ke Madinah dan berkumpul dengan Imam Malik sampai beliau
wafat. Imam Syafi’i juga mempunyai banyak guru yang ia temui di kota-
kota besar ketika ia berkelana.
Diantaranya ialah gurunya di Makkah, Muslim bin Khalid Az-
Zanji, Sufyan bin Uyainah, Sa’id bin Salim Al-Qaddah, Dawud bin
Abdurrahman Al-Athar dan Abdul Hamid bin Abdul Aziz bin Abi Dawud.
Gurunya di Madinah antara lain, Malik bin Anas, Ibrahim bin
Sa’ad Al-Anshari, Abdul Aziz bin Muhammad Al-Darawardi, Ibrahim bin
Yahya Al-Asami, Muhammad bin Sa’id bin Abi Fudaik dan Abdullah bin
Nafi’ Al-Shani.
Gurunya di Yaman, Muththarif bin Mazin, Hisyam bin Yusuf,
Hakim Shan’a (ibukota Republik Yaman), Umar bin Abi Maslamah Al-
Auza’i Dan Yahya Hasan.
10 Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-pokok Pegangan Imam Mazhab,
Cet. I, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1997, hlm. 486-487.
Gurunya di Irak antara lain, Muhammad bin Al-Hasan, Waki’ bin
Jarra Al-Kufi, Abu Usammah Hamad bin Usamah Al-Kufi, Ismail bin
Athuyah Al-Basyri dan Abdul Wahab bin Abdul Majid Al-Basyri.11
Imam Syafi’i menerima pelajaran dari tokoh berbagai mazhab. Ia
menerima fiqh Malik dari Malik sendiri, Maliklah gurunya yang
merupakan bintang, mempelajari fiqh Auza’I dari Umar ibn Abi Salamah,
mempelajari Fiqh Al-Laits dari Yahya ibn Hassan dan mempelajari fiqh
Abu Hanifah dari Muhammad ibn al-Hassan. Bahkan ia mempelajari fiqh
pada tokoh-tokoh Mu’tazilah, walaupun dalam masalah I’tiqad mereka
tidak menempuh ahlul hadits. Justru semua inilah yang memperluas
bidang fiqihnya, memperbanyak materi dan mempertebal kamus
pengetahuannya. Dengan demikian Imam Syafi’i dapat mengumpulkan
fiqh Makkah, Fiqh Madinah, Fiqh Syam, Fiqh Mesir dan Fiqh Irak.
3. Murid-murid Imam Syafi’i
Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa imam Syafi’i
mempunyai banyak guru. Begitu juga murid-muridnya, mereka tersebar di
Makkah, Mesir dan sebagian di Baghdad Irak, merekalah yang
menyebarkan madzhab gurunya.
Diantara murid yang ada di Makkah, antara lain: Abu Bakar al-
Humaidi, Ibrahim bin Muhammad Abbas, Abu Bakar Muhammad bin
Idris dan Musa bin Abi al-Jarud. Murid Syafi’i di Irak, antara lain : al-
Hasan bin Muhammad al-Za’farani (wafat : 260 H), Abu Husain al-
11 Ibid., hlm., 135.
Karabisi (wafat : 295H), Imam Ahmad bin Hambal (wafat : 241 H) dan
Dawud ad-Dhahiri (wafat : 505 H). Sedangkan muridnya yang di Mesir
antara lain : al-Bughaisti (wafat : 270 H), al-Mazani (wafat : 269 H) dan
ar-Rabi’ah (wafat : 270 H).
Generasi penerus dan penyebar madzhab Imam Syafi’i adalah :
Abu Ishaq as-Saerazi (wafat : 478 H) adalah pengarang kitab “al-
Muhadzdzab”, Imam Ghazali (wafat : 505 H) pengarang kitab “Ihya
‘Ulumuddin” dan “al-Mustahfa”, dan al-Wazid ‘Izzudin ibn Abdi Salam
(wafat :660 H0 adalah pengarang kitab “Qawa’id al-Ahkam Fi Masail al-
Ahkam”, Muhyiddin an-Nawawi (wafat : 676 H) yang mengarang kitab
Fiqh diantaranya “Majmu’ Syarah Muhadzab” dan “Minhaj ath-
Thalibin”, Taqiyuddin as-Shabuni (wafat : 765 H), Jalaluddin as-Suyuti
(wafat : 791 H), pengarang kitab “Asybah wan Nadhair” dan kitab
“Tanwirul Hawalaik” syarah kitab al-Muwaththa’ Imam Malik dan masih
banyak lagi yang lainnya.12
4. Karya-karya Imam Syafi’i
Menurut Qadli Imam Abu Muhammad bin Husain bin Muhammad
al-Maruzi murid Imam Syafi’i, mengatakan bahwa Imam Syafi’i telah
mengarang kitab sebanyak 113 kitab, baik dalam bidang hadits, ilmu fiqh
dan ushulnya, tafsir, sastra dan lain-lain. Yaqut menyebutkan dalam kitab
“Mu’jam al-Udaba’ juz 17”, puluhan kitab Imam Syafi’i. Yang dimaksud
kitab di sini bukanlah kitab yang ada seperti sekarang ini, melainkan
12 Subhi Mahmashani, Op. Cit., hlm. 53.
beberapa bab masalah fiqh yang kebanyakan telah termuat dalam kitabnya
al-Umm. Dan kitab-kitab tersebut bisa dijadikan sebagai pegangan dan
pengetahuan yang dapat di nikmati sampai sekarang, diantaranya adalah:
a. Ar-Risalah
Kitab ini disusun berkaitan dengan kaidah ushul fiqh, yang di
dalamnya diterangkan mengenai pokok-pokok pegangan Imam Syafi’i
dalam mengistinbath hukum. Ar-Risalah merupakan kitab Ushul fiqh
yang pertama. Akan tetapi sebagai penulis ar-Risalah itu sendiri
adalah murid Syafi'i yaitu ar-Rabi’ ibn Sulaiman (270 H), dan Rabi’
inilah yang meriwayatkan dari Imam Syafi’i tentang Ar-Risalah
(karena Syafi’i tidak menulisnya secara langsung).
Di dalam kitab Ar-Risalah Imam Syafi’i membahas tentang
ketentuan-ketentuan nash kitab dan masalah nasikh mansukh,
kecacatan dalam hadits, syarat-syarat penerima hadits ahad yang
meliputi hadits mursal sebagai hujjah hukum, ijma’ ijtihad istihsan
serta qiyas.
b. Al-Umm
Al-Umm adalah kitab yang ditulis sendiri oleh Imam Syafi’i.
Kemudian diriwayatkan oleh ar-Rabi’. Segala yang termuat dalam
kitab al-Umm adalah pendapat Imam Syafi’i, itulah hujjah dalam
mazhabnya.13
13 Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Op. Cit. hlm. 514.
Kitab ini berisi hasil-hasil ijtihad Imam Syafi’i yang telah
dikodifikasikan dalam bentuk dan jilid-jilid yang membahas masalah
Thaharah, Ibadah, Amaliah sampai pada masalah peradilan seperti
Jinayah, Muamalah, Munakahat dan lainnya.
c. Ikhtilaf al-Hadits
Disebut Ikhtilaf al-Hadits karena di dalamnya mengungkapkan
perbedaan para ulama’ dalam persepsinya tentang hadits mulai dari
sanad sampai perawi yang dapat dipegang termasuk analisanya
tentang hadits yang menurutnya dapat dipegang sebagai hujjah.
d. Musnad
Di dalam kitab Musnad isinya hampir sama dengan yang ada
dalam kitab Ikhtilaf al-Hadits, kitab ini juga memaparkan persoalan
hadits, hanya saja terkesan bahwa yang ada dalam kitab ini adalah
hadits yang dipergunakan Imam Syafi’i khususnya yang berkaitan
dengan fiqh kitab al-Umm, di mana dari segi sanadnya telah dijelaskan
secara jelas dan rinci.
B. Pendapat Imam Syafi’i Tentang Mahar Muqaddam
Mahar adalah hak isteri, yang dapat digunakan sepenuhnya oleh isteri
dalam memanfaatkan barang tersebut serta memperoleh kompensasi baik
karena barangnya diambil kegunaannya oleh orang lain maupun karena
konsumsi untuk dihabiskan zatnya.14 Sedangkan mahar sebagaimana telah
dijelaskan di atas bahwa yang dimaksud dengan mahar adalah pemberian dari
calon suami kepada calon isteri, baik berbentuk barang, uang atau jasa yang
tidak bertentangan dengan hukum Islam (ps. 1 huruf d. KHI).15
Kemudian dalam masalah pembayaran mahar sebagaimana telah
dipaparkan diatas, mahar dapat diberikan atau dibayarkan di muka, kontan,
dan atau diutang.. Namun para ulama menganjurkan bahwa mahar sebaiknya
dibayar kontan meski hanya sebagian.
Dalam kehidupan Islam sudah menjadi kebiasaan dan suatu hal yang
lazim dengan yang namanya melamar atau pinangan (khitbah). Seorang laki-
laki atau calon suami sering memberikan sesuatu kepada calon istrinya
sebelum akad nikah. Dan hal ini banyak terjadi dalam adat istiadat di negara
Indonesia.
Dalam hal ini Imam Syafi’i berpendapat bahwa harta yang telah
diberikan calon suami kepada isterinya sebelum akad tersebut boleh dijadikan
dan dianggap mahar dan ketika keduanya melangsungkan akad nikah suami
tidak wajib untuk memberikan mahar kepada isterinya karena sudah
dibayarkan oleh suami sebelum akad.
Sebelum penulis menguraikan pendapat Imam Syafi’i tentang mahar
muqaddam, alangkah baiknya akan penulis jelaskan terlebih dahulu tentang
pengertian mahar muqaddam menurut Imam Syafi’i.
14 Taqyuddin an-Nahbani, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Perspektif Islam,
Risalah Gusti, t.t, hlm. 66. 15 A. Rofiq, MA., Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, t.t,
hlm.101.
Mahar muqaddam mengandung dua kata, pertama mahar yaitu
pemberian dari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita baik
berupa barang, uang atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.
Kedua muqaddam, artinya adalah didahulukan. Jadi yang dimaksud dengan
mahar muqaddam di sini adalah pemberian dari calon mempelai pria kepada
calon mempelai wanita baik berupa barang, uang atau jasa yang tidak
bertentangan dengan hukum islam yang diberikan sebelum dilangsungkannya
akad nikah, seperti misalnya saat pertunangan atau pemberian tukon (istilah
Jawa).
Adapun kaitannya dalam masalah pembayaran mahar sebagaimana
yang telah penulis kemukakan diatas bahwa imam Syafi’i berpendapat
pembayaran mahar kepada calon isteri boleh dibayarkan sebelum
berlangsungnya akad nikah, sebagaimana yang disebut dalam kitab Bughyah
al-Mustarsyidin sebagai berikut :
دفع ملخطو بته ماالمث ادعىانه بقصد املهر وانكرت صد قت هي ان كان .الدفع قبل العقد واالصدق
Artinya: “Apabila calon suami memberikan harta kepada calon isterinya dengan maksud memberikan mahar akan tetapi calon isteri ingkar apabila harta itu diberikan sebelum akad, dan apabila harta tidak diberikan sebelum akad maka calon suamilah yang benar.”16
Begitu juga yang disebut dalam kitab al-Khawi al-Kabir di mana
Imam Syafi’i mengatakan :
16 Abd al-Rahman bin Muhammad bin Husein bin Umar, Bughyah al-Mustarsyidin,
Indonesia : Dar Ihya’ al-Kutub al-Arobiyyah, t.t hlm. 214.
قرت ا فان قا لت املرأة الذي قبضت هدية وقال بل هومهرفقد :قال الشافعى .ملكه فالقول قولهمبال وادعت
Artinya: ”Imam Syafi’i berkata : Apabila calon isteri berkata bahwa apa yang diterimanya adalah hadiah, tetapi calon suami mengatakan mahar sedangkan isteri mengakui harta adalah miliknya, maka yang dianggap adalah ucapan calon suami. ”17
Dari kedua keterangan tersebut diatas terkandung maksud bahwa boleh
membayar mahar sebelum dilangsungkan akad nikah dengan catatan disertai
dengan adanya niat memberikan mahar oleh calon suami.
Dalam kitab lain juga dijelaskan :
بال لفظ اليها ماال قبل العقد ولواعطاها ماال فقالت لوخطب امرأة مث ارسل اودفع
هد ية وقال صداقا صدق بيمينه
Artinya : “Jika seorang laki-laki melamar perempuan, kemudian memberikan padanya harta tanpa adanya perkataan sebelum akad, dan apabila ia memberikan padanya harta kemudian perempuan tersebut mengatakan hadiah, dan laki-laki mengatakan maskawin, maka ia dibenarkan dengan sumpahnya”.18
Begitu juga dalam kitab Al-Fatawi al-Kubra yang menerangkan bahwa :
انه بان العربة بنية اخلاطب الدافع فان دفع بنية اهلدية ملكته املخطوبة اوبنية احس
من املهر حسب منه وان كان من غري جنسه
17 Abi al-Hasan Ali bin Muhammad bin Habib al-Mawardi, al-Hawi al-Kabir, juz IX,
Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiah, t.t. hlm. 501. 18 ….., I’anat al-Thalibin, juz. III, Beirut : Dar al-Kutub, t.t., hlm. 355
Artinya : “Bahwa dalam hal tersebut tergantung dengan niat laki-laki yang melamar, apa bila memberikan dengan niat memberikan hadiah maka wanita yang dilamar memilikinya sebagai hadiah, atau dengan niat baik memberikan mas kawin, maka dihitung sebagai maskawin walaupun tidak dari jenisnya maskawin”.19
Di samping itu juga Imam Syafi’i berpegang pada sebuah hadits Nabi:
عن ابن عباس ان النىب اهللا صل اهللا عليه وسلم منع عليا ان يدخل بفاطمة حىت .يعطيها شيئا
Artinya : “Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa nabi SAW melarang mangumpuli Fatimah sampai ia memberikan sesuatu kepadanya (mahar)…20
Pendapat Imam Syafi’i tersebut bermula dari adanya perbedaan
persepsi antara suami isteri dalam hal harta yang diberikan sebelum
dilangsungkannya akad nikah itu merupakan mahar atau hadiah.
Pendapat Imam Syafi’i tersebut berbeda dengan pendapat Imam Malik
yang mengatakan bahwa apabila harta yang diberikan berupa sesuatu yang
biasanya dihadiahkan suami untuk isterinya seperti pakaian dan perhiasan,
maka yang dibenarkan adalah ucapan isterinya yaitu harta yang diberikan oleh
suami sebelum akad nikah adalah hadiah bukan mahar dengan adanya sumpah
isteri karena melihat kebiasaannya.21 Akan tetapi pendapat Imam Malik
tersebut ditolak oleh Imam Syafi’i, karena harta itu tidak bisa dimiliki sebab
adanya pengakuan saja, sehingga apabila isteri mengaku bahwa harta yang
diterimanya adalah hadiah maka tidak bisa diterima ucapannya.
19 Ibnu Hajar al-Haitamy, Al-Fatawi al-Kubra al-Fiqhiyah, juz. IV, Beirut : Dar al-Fikr,
t.t., hlm. 111. 20 Imam al-Khafidz abi Daud sulaiman bin al-Asy’ad, Sunan Abi Daud, juz II, Beirut :
Dar al-Kutub al-Ilmiyah, t.t. hlm. 106 21 Ibid.
C. Metode Istinbath Hukum Imam Syafi’i Tentang Mahar Muqaddam
Sebelum penulis kemukakan tentang metode istinbath hukum Imam
Syafi’i tentang pembayaran mahar yang dibayarkan sebelum akad nikah
(mahar muqaddam), terlebih dahulu penulis akan mengemukakan bagaimana
metode istinbath hukum secara umum yang digunakan oleh Imam Syafi’i.
Sebagaimana diketahui bahwa pemikiran Imam Syafi’i dalam bidang
hukum merupakan sumbangan yang sangat besar bagi keilmuan (hukum
Islam). Pemikiran imam Syafi’i adalah jembatan antara dua kutub pemikiran
yang ekstrim yaitu antara ahli ra’yu dan ahli hadits. Kelompok pertama
diwakili oleh Imam Abu Hanifah dengan menggunakan metode pendekatan
hukumnya lebih mengedepankan aspek rasionalitas. Sedangkan kelompok
yang kedua yang dipelopori oleh Imam Malik dengan menggunakan metode
pemahaman hukum yang lebih mengedepankan aspek normatifitas dan
memegangi hadits secara ketat.
Imam Syafi’i tampak seolah-olah berada diantara dua ekstrimitas
tersebut. Hal ini dikarenakan Imam Syafi’i pernah mengembara ilmu dari satu
tempat ke tempat yang lain dan dari satu guru ke guru yang lain. Imam Syafi’i
pernah berguru kepada Imam Malik dan pernah pula belajar pada as-Syaibany
seorang tokoh hukum Islam mazhab Hanafi. Pengalaman-pengalaman berguru
tersebut tampaknya membuat Imam Syafi’i dapat memberi warna tersendiri
pada pola pikiran mazhab Imam Syafi’i.
Dalam mazhab fiqhnya, Imam Syafi’i menempatkan al-Qur’an sebagai
imam (dasar utama) dalam mengambil hukum. Beliau berkata, “Sunnah sejajar
kedudukannya dengan al-Qur’an karena as-Sunnah berfungsi sebagai penjelas
al-Qur’an.” Karena itu, sunnah menurut beliau ditempatkan sebagai dasar
kedua setelah al-Qur’an.22
Ketika disodorkan masalah padanya, maka yang pertama kali beliau
mencari solusinya dari hadits Nabi. Bahkan beliau minta pada muridnya untuk
meninggalkan pendapatnya dan mengambil pendapat yang sesuai dengan
hadits jika memang pendapatnya itu bertentangan dengan hadits.
Imam Syafi’i menempatkan ijma’ sebagai hujjah setelah al-Qur’an dan
hadits, tapi beliau masih memberi batasan dan syarat bagi ijma’. Imam Syafi’i
berpendapat bahwa dalam syari’ah seseorang tidak boleh mengedepankan
pendapatnya kecuali untuk dasar qiyas. Yaitu memberi hukum atas sesuatu
yang tidak ada nashnya disamakan dengan sesuatu yang sudah jelas nashnya
karena persamaan illatnya (alasan dalam hukumnya).
Karakteristik fiqh dan pengetahuan Syafi’i yang menonjol ialah bahwa
beliau telah meletakkan kaidah-kaidah ushul fiqh. Beliau membangun dasar
ilmu ushul fiqh dengan meletakkan kaidah secara umum sebagai rujukan
dalam mengetahui urutan pengambilan dalil syar’i.
Imam Nawawi menamakan ilmu ushul dan kaidah-kaidahnya yang
menjadi dasar fiqh imam Syafi’i dan mazhabnya dengan perkataannya sebagai
berikut. “Dia datang setelah munculnya kitab-kitab ditetapkannya hukum, dia
telah mempelajari mazhab terdahulu, mengambilnya dari imam-imam pilihan,
berdiskusi dengan orang-orang pintar kemudian menyeleksi dan
22 Ahmad Asy-Syarbasy, Al-Aimmah al-Arba’ah, Terj. Futuhal Arifin, Lc., “4 Mutiara
Zaman”, Jakarta, Pustaka Kalami, Cet. Ke-1, 2003, hlm.140
menyelidikinya serta meringkasnya dalam metode yang meliputi al-Quran,
as-Sunnah, ijma’, qiyas. Dia tidak meringkasnya pada salah satu dari empat,
sebagaimana yang dilakukan oleh orang lain.”23
Kemudian dalam menerangkan dasar-dasar mazhabnya, Imam Syafi’i
berkata :
ل قران وسنة فان مل يكن فقياس عليهما واذا اتصل احلد يث عن رسول اهللا االص
واحلد يث على ظا هره واذا امحتل . وصح االسنة واالمجاع اكرب من اخلرب املنفرد
واذا تكافأت االحاديث فاصحها اسنادا . اهره اوالهامعاىن فما اشبه منها ظ
ولس املنقطع بشيئ ماعد منقطع ابن املسيب واليقاس اصل على اصل . اوالها
واليقال لال صل مل وكيف؟ وامنا يقال للفروع مل؟ فاذا صح قياسه على اال صل
.صح وقامت به حجةArtinya : “Yang menjadi pokok adalah al-Qur’an dan as-Sunnah, kalau tidak
ada dalam al-Qur’an dan as-Sunnah barulah qiyas pada keduanya. Kalau hadits dari Rasulullah sudah shahih sanadnya, maka itulah sunnah. Ijma’ lebih besar dari pada kabar orang seorang. Hadits diartikan menurut dhahirnya lafad. Tetapi kalau artinya banyak, maka yang dekat dengan dhahir itulah yang pantas. Kalau bersamaan banyak hadits, maka yang paling shahih sanadnya itulah yang disahulukan. Hadits munqathi’ (sanadnya tidak sampai pada Nabi) tidak diterima. Kecuali munqati’ yang disampaikan Ibn Musayyab. Asal tidak diqiyaskan dengan asal. Asal tidak ditanya kenapa dan bagaimana. Hal ini boleh ditanyakan pada furu’ pada asal. Maka itulah suatu dalil (hujjah).”24
Dari perkataan Imam Syafi’i dapat diambil kesimpulan bahwasannya
pokok-pokok pikiran beliau dalam istinbath hukum sebagai berikut :
23 Ibid. hlm. 142 24 Imam Syafi’I, ar-Risalah, Beirut : Daar al-Fikr t.t. hlm. 39
1. Al-Kitab (al-Qur’an).
2. Al-Sunnah.
3. Ijma’.
4. Qiyas.
Untuk mengetahui secara utuh dan detail pemikiran Imam Syafi’i
tentang keempat sumber hukum tersebut, maka akan penulis uraikan satu
persatu, sebagai berikut :
1. Al-Kitab (al-Qur'an)
Al-Qur’an adalah kalam Allah yang diturunkan melalui
perantaraan malaikat Jibril ke dalam kalbu Rasulullah saw. Dengan
menggunakan bahasa Arab dan disertai dengan kebenaran agar dijadikan
hujjah (penguat) dalam hal pengakuannya sebagai Rasul, dan agar
dijadikan sebagai undang-undang bagi seluruh ummat manusia, di
samping merupakan amal ibadah jika membacanya.25
Menurut Syafi’i, al-Qur’an adalah sumber pokok dari semua
pengetahuan dasar tentang hukum, Imam Syafi’i mengatakan bahwa al-
Qur’an mengandung tuntutan bagi masalah apapun yang mungkin timbul
dikalangan kaum muslim. Imam Syafi’i mengemukakan sejumlah ayat
untuk menjustifikasikan pendapatnya di antaranya adalah :
بلت الذكر كا إليلنأنزر وبالزات ونيبالب ملهلعو همل إليزا ناس مللن ني
}44{يتفكرون
25 Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, Terj. Masdar Helmy, Bandung : Gema Risalah Pres, 1992, hlm. 39
Artinya : “Dengan membawa keterangan-kterangan (mu’jizat) dan kitab-kitab. Dan kami turunkan kepadamu al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.” (Q.S. al-Nahl: 44).26
2. Al-Sunnah
Menurut istilah syara’ as-Sunnah ialah sesuatu yang datang dari
Rasulullah saw. Baik ucapan, perbuatan maupun taqrir (persetujuan).
Sunnah juga disebut hadits dan khabar.27
Umat Islam sepakat bahwa apa saja yang datang dari Rasulullah
saw. Baik ucapan, perbuatan atau taqrir, membentuk suatu hukum atau
tuntutan yang disampaikan kepada umat manusia dengan sanad shahih
dan mendatangkan yang Qath’i atau Zhanni. Karenanya, dengan
kebenaran itu adalah sebagai hujjah bagi umat Islam dan sebagai sumber
pembentukan hukum Islam yang oleh para mujtahid dijadikan sebagai
rujukan istinbath dan hukum-hukum syari’at bagi mukalaf. Dengan kata
lain, hukum-hukum yang ada pada as-Sunnah adalah hukum-hukum yang
ada di dalam al-Qur’an, sebagai peraturan perundangan yang harus
ditaati.28
Asy-Syafi’i dalam ar-Risalah mengemukakan sejumlah hujjah
untuk membuktikan bahwasanya as-Sunnah adalah suatu hujjah dari
hujjah-hujjah agama. Ia telah berjasa dalam mengumpulkan dalil-dalil
26 Departemen Agama RI., Yayasan Penterjemah al-Qur’an, al-Qur’an dan Terjemhnya,
Jakarta : Bumi Restu, 1976, hlm. 408. 27 A. Hanafi, Ushul Fiqh, Jakarta: Widjaya, 1993, hlm. 108. 28 Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung: Gema Risalah Pres, 1992, hlm. 67.
yang membuktikan kehujjahan as-Sunnah. Itulah sebabnya ia diberi gelar
“Nashirul Sunnah”.29
Asy-Syafi’i dalam mengambil dasar as-Sunnah atau al-Hadits
tidaklah yang mutawattir saja, melainkan ahad pun diambil dan
dipergunakan untuk dijadikan hujjah asal telah mencukupi syarat-
syaratnya, yakni para perawinya itu orang-orang yang terpercaya, kuat
ingatannya dan bersambung sanadnya sampai pada Rasulullah saw.
Asy-Syafi’i menempatkan as-Sunnah sejajar dengan al-Qur’an
karena as-Sunnah merupakan penjelas dari al-Qur’an, akan tetapi asy-
Syafi’i tidak mengatakan kalau hadits ahad30 juga senilai dengan al-
Qur’an, sekalipun hadits itu juga dipergunakan sebagai hujjah, karena
menurutnya hanya al-Qur’an dan as-Sunnah Mutawatirlah yang qot’i
subutnya.31
Asy-Syafi’i berpendapat bahwa as-Sunnah mempunyai hak untuk
mendatangkan hukum-hukum yang belum ada dalam al-Qur’an. asy-
Syafi’i hanya menggunakan hadits ahad bila perawinya berkesinambungan
dan tidak terputus. Ia tidak menggunakan hadits mursal sebagai dalil
kecuali dalam hal-hal yang sangat tertentu saja. Dia menerima hadits
mursal jika tabi’i yang memursalkannya itu, seorang tabi’i besar yang
29Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-pokok Pegangan Imam Mazhab, Cet. I, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1997, hlm. 247.
30 Ditinjau dari segi rawinya, as-Sunnah dibagi menjadi tiga macam : Sunnah Mutawattir, yaitu sunnah yang diriwayatkan oleh sekelompok orang (rawi), yang rawi-rawi itu tidak mungkin bersekutu melakukan kebohongan. Sunnah Masyhurah, yaitu sunnah yang diriwayatkan dari Rasulullah saw. Oleh seorang atau dua orang atau kelompok yang tidak mencapai derajat atau tingkat tawatur (Mutawatir). Sunnah Ahad, yaitu sunnah yang diriwayatkan oleh kelompok orang yang tidak mencapai derajat tawatur atau diriwayatkan oleh seorang atau dua orang atau kelompok orang yang tidak mencapai derajat tawatur.
31 Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Ibid, hlm, 248.
banyak bertemu dengan sahabat. Seperti Said ibn Masayab. Karena hadits
mursal Sa’id adalah disepakati menjadi hujjah.32 Atau hadits itu dikuatkan
oleh hadits muttashil yang lain, atau oleh hadits mursal yang lain yang
satu arti dengan dia, dan telah diterima oleh ahli ilmu, atau diamalkan oleh
sebagian ulama, atau segolongan ulama telah memfatwakan sesuai dengan
kandungan hadits mursal itu.33
3. Ijma’
Ijma’ menurut istilah ushul adalah kesepakatan para imam
mujtahid diantara umat Islam pada suatu masa setelah Rasulullah wafat,
terhadap hukum syara’ tentang suatu masalah atau kejadian.34
Asy-Syafi’i mengatakan ijma’ adalah hujjah. Ia menempatkan
ijma’ setelah al-Kitab dan as-Sunnah sebelum al-Qiyas. Dengan
memperhatikan apa yang disebut dalam ar-Risalah nyatalah bahwa ia
menempatkan ijma’ sebelum qiyas atau harus didahulukan ijma’ atas
qiyas.
Asy-Syafi’i menggunakan ijma’ jika sudah terang tidak ada
seorangpun yang menyalahinya atau membantahnya. Oleh karena itu asy-
Syafi’i tidak menerima ijma’ sukuti. Ijma’ yang dapat diterima oleh asy-
Syafi’i hanyalah ijma’ yang merupakan konsensus total yang harus
dinyatakan dengan formal sehingga ia tidak dapat menerima kesepakatan
32 Syaikh Mahmud Syaltout, Perbandingan Mazhab dalam Masalah Fiqh, Jakarta:
Bulan Bintang, 1973, hlm, 192. 33 Ibid. hlm, 158. 34 Abdul Wahab Khalaf, Op. Cit. Hlm, 81
diam-diam (ijma’ sukuti).35 Karena pandangan yang demikian itu asy-
Syafi’i hanya dapat menerima ijma’ yang terjadi dikalangan para sahabat
Nabi saw. Itupun terbatas hanya pada kewajiban-kewajiban dan larangan-
larangan pokok.36
4. Al-Qiyas
Asy-Syafi’i adalah mujtahid yang mula-mula menguraikan dasar
qiyas. Para fuqaha sebelumnya membahas tentang ar-Ra’yu tanpa
menentukan batas-batasnya dan dasar-dasar penggunaannya, tanpa
menentukan norma-norma ra’yu yang shahih dan yang tidak shahih.
Menurut ulama’ ushul al-Qiyas berarti menyamakan suatu kejadian
yang tidak ada nash kepada kejadian lain yang ada nashnya pada nash
hukum yang telah menetapkan lantaran adanya kesamaan diantara dua
kejadian itu dalam illat (sebab terjadinya) hukumnya.37
Asy-Syafi’i mengambil dan mempergunakan hukum dasar qiyas
apabila sudah jelas tidak terdapat dalil al-Qur’an, as-Sunnah dan Ijma’,
oleh karena itu asy-Syafi’i tidak terburu-buru menjatuhkan hukum secara
qiyas sebelum menyelidiki lebih lanjut dan detail tentang dapat atau
tidaknya hukum itu menggunakan qiyas.
35Dilihat dari segi melakukan ijtihad, ijma’ dibagi menjadi dua. Ijma’ Sharih yaitu
kesepakatan para mujtahid pada suatu waktu terhadap hukum suatu kejadian atau peristiwa dengan menyajikan pendapat masing-masing secara jelas yang dilakukan dengan cara memberi fatwa atau memberi keputusan. Dengan kata lain, setiap mujahid menyampaikan ucapan atau perbuatan yang menyebabkan pendapatnya masing-masing secara jelas. Ijma’ Sukuti yaitu sebagian mujtahid pada suatu waktu mengemukakan pendapatnya secara jelas terhadap suatu kejadian yang dilakukan dengan cara memberi fatwa atau memberi keputusan, dan mujtahid yang lain tidak menanggapi pendapat tersebut dalam hal persesuaiannya atau perbedaannya. Lihat Abdul Wahab Khalaf, dalam Ilmu Ushul Fiqh, hlm. 90-91.
36 Zarkowi Soejoeti, Pengantar Ilmu Fiqh, Bagian I, Semarang: Walisongo Press, 1987, hlm, 136.
37 Abdul Wahab Khalaf, loc.cit., hlm, 92-93.
Qiyas (analogi) adalah metode berfikir yang dipergunakan untuk
mencari kejelasan hukum dari contoh-contoh serupa yang terdapat dalam
nash al-Qur’an atau Sunnah (Hadits) Nabi. Sementara itu proses
pengambilan qiyas sekurang-kurangnya harus didasarkan kepada dua hal :
Pertama, jika Allah dan Rasul-Nya telah mengharamkan sesuatu
secara tersurat, atau menghalalkan-Nya karena alasan atau illat tertentu,
kemudian kita dapatkan hal serupa tapi tidak ada nash khusus di dalam al-
Qur’an atau sunnah, maka kita bisa memberikan hukum haram atau halal
berdasarkan fakta bahwa hal itu mempunyai esensi (illat) yang sama
dengan yang telah ditetapkan status hukumnya dalam al-Qur’an atau
Sunnah tadi.
Kedua, dalam hal didapat dua kasus yang hampir-hampir sama,
maka analogi (qiyas) harus didasarkan atas kemiripan yang paling
lengkap, terutama dari sudut lahiriahnya.38
Demikianlah secara garis besar mengenai sumber hukum yang
dijadikan patokan asy-Syafi’i dalam menggali hukum untuk menghadapi
atau menyelesaikan berbagai permasalahan dalam hal hukum.
Dari dalil-dalil yang ada tentang mahar, ternyata tidak ada dalil
khusus yang menyatakan atau menerangkan tentang mekanisme
pembayaran mahar, terutama mahar yang dibayarkan sebelum akad
(mahar muqaddam). Untuk itu Imam Syafi'i menggunakan dalil-dalil
tentang kewajiban untuk membayar mahar serta dalil tentang pelarangan
38 Imam Syafi’I, Ar-Risalah, Terj. Ahmadie Thoha, Cet. IV, Jakarta : Pustaka Firdaus,
1992, hlm., 23.
Nabi untuk melakukan hubungan suami isteri sebelum mahar itu
dibayarkan.
Sedangkan istinbath hukum Imam Syafi’i yang berkaitan dengan
mahar muqaddam adalah sebagai berikut :
1. al-Quran
ا فكلوهفسن هء منيش نع لكم نلة فإن طبنح قاتهنداء صسوا النآتو
﴾4هنيئا مريئا﴿
Artinya : “Berikanlah mas kawin kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang wajib, kemudian mereka menyerahka kamu sebagian dari mas kawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagaai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya”. (QS. 4.4)39
Dari ayat tersebut Imam Syafi’i menafsirkan tentang
secepatnya membayar mahar, karena melihat kata yang dipakai dalam
ayat tersebut menunjukkan kalimat perintah ( أتوا ) dimana kalimat
perintah menunjukkan makna segera, sebagaimana kaidah ushul fiqh :
االصل ىف االمريقتضى الفور
Artinya : “Bermula suruhan menghendaki kesegeraan”40
2. al-Hadits
عن ابن عباس ان النىب اهللا صل اهللا عليه وسلم منع عليا ان يدخل .ها شيئابفاطمة حىت يعطيت
39 Depag RI, al-Qur’an Dan Terjemahnya, Semarang : Toha Putera, tt, 115 40 A. Hanafi, Ushul Fiqh, Cet. XII, Jakarta : Widjaya, hlm., 38.
Artinya : “Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa nabi SAW melarang mangumpuli Fatimah sampai ia memberikan sesuatu kepadanya (mahar)…41
Dari dalil tersebut sudah jelas bahwa mahar adalah sesuatu
yang harus dibayarkan oleh suami kepada iseteri. Dan dalam
pembayarannya tentu saja akan lebih baik kalau mahar itu dibayarkan
di muka. Karena dengan dibayarkannya mahar di muka, maka akan
lebih aman dari segi suami, karena sudah tidak ada lagi tanggungan
terhadap isteri yaitu membayar mahar. Selain itu pemberian yang
disegarakan akan lebih baik dari pada pemberian yang ditunda atau
dihutang.
41 Imam al-Khafidz abi Daud sulaiman bin al-Asy’ad, Sunan Abi Daud, juz II, Beirut :
Dar al-Kutub al-Ilmiyah, t.t. hlm. 106