bab ii (autosaved)

16
BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1 Konjungtiva II.1.1 Anatomi dan Histologi Konjungtiva Konjungtiva adalah mukosa yang melapisi bagian dalam palpebra dan permukaan anterior mata. Konjungtiva melapisi permukaan sebelah dalam kelopak mulai tepi kelopak (margo palpebra), melekat pada sisi dalam tarsus, menuju ke pangkal kelopak menjadi konjungtiva forniks yang melekat pada jaringan longgar dan melipat balik melapisi bola mata hingga tepi kornea (Vaughan, 2010). Konjungtiva terdiri atas tiga bagian yaitu : a. Konjungtiva palpebramelapisipermukaan posterior kelopakmatadanmelekateratke tarsus b. Konjungtiva forniks merupakan tempat peralihan konjungtiva palpebra dan konjungtiva bulbi. c. Konjungtiva bulbimelekatlonggarke septum orbital di forniksdanmelipatberkali-kali. Adanyalipatan- lipataninimemungkinkan bola matabergerakdanmemperbesarpermukaankonjungtivasekretorik (Vaughan, 2010). 3

Upload: hesti-putri-anggraeni

Post on 15-Feb-2016

240 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

konjungtivitis vernal

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II (Autosaved)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 KonjungtivaII.1.1 Anatomi dan Histologi Konjungtiva

Konjungtiva adalah mukosa yang melapisi bagian dalam palpebra dan permukaan

anterior mata. Konjungtiva melapisi permukaan sebelah dalam kelopak mulai tepi kelopak

(margo palpebra), melekat pada sisi dalam tarsus, menuju ke pangkal kelopak menjadi

konjungtiva forniks yang melekat pada jaringan longgar dan melipat balik melapisi bola mata

hingga tepi kornea (Vaughan, 2010).

Konjungtiva terdiri atas tiga bagian yaitu :

a. Konjungtiva palpebramelapisipermukaan posterior kelopakmatadanmelekateratke

tarsus

b. Konjungtiva forniks merupakan tempat peralihan konjungtiva palpebra dan

konjungtiva bulbi.

c. Konjungtiva bulbimelekatlonggarke septum orbital di forniksdanmelipatberkali-kali.

Adanyalipatan-lipataninimemungkinkan bola

matabergerakdanmemperbesarpermukaankonjungtivasekretorik (Vaughan, 2010).

Gambar 1 Anatomi Konjungtiva

3

Page 2: BAB II (Autosaved)

Konjungtiva menerima persyarafan dari percabangan pertama n. Trigeminus yang

berakhir sebagai ujung-ujung yang lepas terutama di bagian palpebra. Arteri konjungtiva

berasal dari a. Siliaris anterior dan a. Palpebralis yang keduanya beranastomosis. Arteri

siliaris anterior berjalan ke depan mengikuti m. Rektus menembus sklera dekat limbus untuk

mencapai bagian dalam mata dan cabang-cabang yang mengelilingi kornea (Ilyas, 2010).

Secara histologis, lapisan konjungtiva dimulai dari epitel konjungtiva yang terdiri atas

epitel superfisial mengandung sel goblet yang memproduksi mucin dan epitel basal, di dekat

limbus dan epitel ini mengandung pigmen. Dibawah epitel terdapat stroma konjungtiva yang

terdiri atas lapisan adenoid yang mengandung jaringan limfoid dan lapisan fibrosa yang

mengandung jaringan ikat.

a. Lapisan epitel konjungtiva

Terdiri dari dua hingga lima lapisan sel epitel silinder bertingkat, superfisial dan

basal. Lapisan epitel konjungtiva di dekat limbus, di atas karunkula, dan di dekat

persambungan mukokutan pada tepi kelopak mata terdiri dari sel-sel epitel skuamosa

b. Sel-sel epitel superfisial

Mengandung sel-sel goblet bulat atau oval yang mensekresi mukus. Mukus

mendorong inti sel goblet ke tepi dan diperlukan untuk dispersi lapisan air mata

secara merata diseluruh prekornea. Sel-sel epitel basal berwarna lebih pekat daripada

sel-sel superfisial dan di dekat limbus dapat mengandung pigmen.

c. Stroma konjungtiva

1. Lapisan Superfisial (adenoid)

Mengandung jaringan limfoid dan dibeberapa tempat dapat mengandung struktur

semacam folikel tanpa sentrum germinativum. Lapisan adenoid tidak berkembang

sampai setelah bayi berumur 2 atau 3 bulan. Hal ini menjelaskan mengapa

konjungtivitis inklusi pada neonatus bersifat papiler bukan folikuler dan mengapa

kemudian menjadi folikuler.

2. Lapisan Profunda (fibrosa)

Tersusun dari jaringan penyambung yang melekat pada lempeng tarsus. Hal ini

menjelaskan gambaran reaksi papiler pada radang konjungtiva. Lapisan fibrosa

tersusun longgar pada bola mata.

d. Kelenjar air mata asesori (kelenjar Krause dan Wolfring)

Merupakan struktur dan fungsi yang mirip dengan kelenjar lakrimal, terletak di

dalam stroma. Sebagian besar kelenjar krause berada di forniks atas, dan sedikit ada

di forniks bawah. Kelenjar wolfring terletak ditepi atas tarsus atas(Vaughan, 2010).

4

Page 3: BAB II (Autosaved)

II.1.2 Fisiologi Konjungtiva

Konjungtiva dibasahi oleh air mata yang saluran sekresinya bermuara di forniks atas.

Air mata mengalir sipermukaan belakang kelopak mata dan tertahan pada bangunan lekukan

di belakang kelopak mata tertahan di belakang tepi kelopak. Air mata yang mengalir ke

bawah menuju forniks dan mengalir ke tepi nasal menuju punctum lakrimalis. Dengan

demikian, konjungtiva dan kornea selalu dalam keadaan basah. Kedudukan konjungtiva

mempunyai risiko mudah terkena mikroorganisme atau benda asing. Air mata akan

melarutkan materi infekisus atau mendorong debu keluar. Alat pertahanan ini menyebabkan

peradangan menjadi self-limited disease. Selain air mata, alat pertahanan berupa elemen

limfoid, emkanisme eksfoliasi epitel dan gerakan memompa kantong air mata. Hal inni dapat

dilihat pada kehidupan mikroorganisme patogen untuk saluran genitourinaria yang dapat

tumbuh di daerah hidung tetapi tidak berkembang di daerah mata (Khurana, 2007).

II.2 Konjungtivitis Vernal

Konjungtivitis merupakan radang konjungtiva atau radang selaput lendir yang

menutupi belakang kelopak dan bola mata. Konjungtivitis dapat disebabkan bakteri, virus,

klamidia, alergi toksik dan molluscum contangiosum (Ilyas, 2010)

Konjungtivitis vernal juga dikenal sebagai “konjungtivitis musiman” atau

“konjungtivitis musim kemarau”, yang merupakan penyakit bilateral yang jarang disebabkan

oleh alergi, biasanya berlangsung dalam tahun-tahun pubertas dan berlangsung 5-10 tahun.

Penyakit ini lebih banyak terjadi pada anak laki-laki daripada anak perempuan. Penyakit ini

perlu mendapatkan penekanan khusus. Hal ini karena penyakit ini sering kambuh dan

menyerang anak-anak, dengan demikian memerlukan pengobatan jangka panjang dengan

obat yang aman (Vaughan, 2010).

Umumnya terdapat riwayat keluarga yang bersifat alergi atopik (turunan).

Berdasarkan penelitian didapatkan bahwa 65% penderita konjungtivitis vernal memeiliki satu

atau lebih sanak leuarga yang memiliki penyakit turunan (misal asma, demam rumput, iritasi

kulit turunan atau alergi selaput lendir hidung permanen). Penyakit turunan ini umumnya

ditemukan pada pasien itu sendiri. kurun waktu konjungtivitis vernal rata-rata berkisar 4

sampai 10 tahun. Semua penelitian tentang penyakit ini melaporkan bahwa biasanya kondisi

akan memburuk pada musim semi dan musim panas di belahan bumi utara, itulah mengapa

dinamakan konjungtivitis “vernal” (musim semi). Akan tetapi banyak pasien mengalami

5

Page 4: BAB II (Autosaved)

gejala sepanjang tahun, mungkin disebabkan berbagai sumber alergi yang silih berganti

sepanjang tahun (Vaughan, 2010).

II.2.1 Definisi

Konjungtivitis vernal adalah konjungtivitis akibat reaksi hipersnsitivitas tipe I yang

mengenai kedua mata dan bersifat rekuren (Dorland, 2010).

II.2.2 Etiologi

Konjungtivitis vernal terjadi akibat alergi dan cenderung kambuh pada musim panas.

Konjungtivitis vernal sering terjadi pada anak-anak, biasanya dimulai sebelum masa pubertas

dan berhenti sebelum usia 20 tahun (Ilyas, 2010).

II.2.3 Klasifikasi

Terdapat duuua bentuk utama konjungtivitis vernnnalis (yang berjalan bersamaan)

yaitu :

a. Bentuk palpebra

Terutama mengenai kongjungtiva tarsal superior. Terdapat pertumbuhan papil yang

besar (Cobble Stone) yang dilapisi sekret yang mukoid. Konjungtiva tarsal bawah

hiperemi dan edem, dengan kelainan kornea lebih berat dari tipe limbal. Secara klinis,

papil besar ini tampak sebagai benjolan bersegi banyak dengan permukaan yang rata

dan dengan kapiler ditengahnya.

b. Bentuk limbal

Hipertrofi papil pada limbus superior yang dapat membentuk jaringan hiperplastik

gelatin, dengan Trantas dotyang merupakan degenerasi epitel kornea atau eosinofil di

bagian epitel limbus kornea, terbentuknya pannus, dengan sedikit eosinofil (Ilyas,

2010).

Gambar 2 Konjungtivitis vernal bentuk palpebra dengan tanda Cobble Stone

6

Page 5: BAB II (Autosaved)

Gambar 3 Konjungtivitis vernal bentuk limbal dengan tanda Trantas Dot

II.2.4 Patofisiologi

Patogenesis terjadinya kelainan ini belum diketahui secara jelas, tapi terutama

dihubungkan dengan reaksi hipersensitivitas pada mata. Reaksi hipersensitivitas tipe I

merupakan dasar utama terjadinya proses inflamasi pada Konjungtivitis vernal. Pemeriksaan

histopatologik dari lesi dikonjungtiva menunjukkan peningkatan sel mast, eosinofil dan

limfosit pada subepitel dan epitel. Dalam perjalanan penyakitnya, infiltrasi sel dan

penumpukan kolagen akan membentuk papil raksasa. Penemuan ini menjelaskan bahwa

Konjungtivitis vernal bukan murni disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas tipe I fase cepat,

melainkan merupakan kombinasi tipe I dan IV. Bonini dkk, menemukan bahwa

hiperreaktivitas non spesifik juga mempunyai peran dalam Konjungtivitis vernal. Faktor lain

yang berperan adalah aktivitas mediator non Ig E oleh sel mast. Reaksi hipersensitivitas tipe I

dimulai dengan terbentuknya antibodi IgE spesifik terhadap antigen bila seseorang terpapar

pada antigen tersebut. Antibodi IgE berperan sebagai homositotropik yang mudah berikatan

dengan sel mast dan sel basofil. Ikatan antigen dengan antibodi IgE ini pada permukaan sel

mast dan basofil akan menyebabkan terjadinya degranulasi dan dilepaskannya mediator-

mediator kimia seperti histamin, slow reacting substance of anaphylaxis, bradikinin,

serotonin, eosinophil chemotactic factor, dan faktor-faktor agregasi trombosit. Histamin

adalah mediator yang berperan penting, yang mengakibatkan efek vasodilatasi, eksudasi dan

hipersekresi pada mata. Keadaan ini ditandai dengan gejala seperti mata gatal,merah, edema,

berair, rasa seperti terbakar dan terdapat sekret yg bersifat mukoid. Terjadinya reaksi

hipersensitivitas tipe I fase lambat mempunyai karakteristik, yaitu dengan adanya ikatan

antara antigen dengan IgE pada permukaan sel mast, maka mediator kimia yang terbentuk

kemudian akan dilepaskan seperti histamin, leukotrien C4 dan derivat-derivat eosinofil yang

dapat menyebabkan inflamasi di jaringan konjungtiva. Reaksi hipersensitivitas tipe IV, terjadi

karena sel limfosit T yang telah tersensitisasi bereaksi secara spesifik dengan suatu antigen

7

Page 6: BAB II (Autosaved)

tertentu, sehingga menimbulkan reaksi imun dengan manifestasi infiltrasi limfosit dan

monosit (makrofag) serta menimbulkan indurasi jaringan pada daerah tersebut. Setelah

paparan dengan alergen, jaringan konjungtiva akan diinfiltrasi oleh limfosit, sel plasma,

eosinofil dan basofil. Bila penyakit semakin berat, banyak sel limfosit akan terakumulasi dan

terjadi sintesis kolagen baru sehingga timbul nodul-nodul yang besar pada lempeng tarsal.

Aktivasi sel mast tidak hanya disebabkan oleh ikatan alergen IgE, tetapi dapat juga

disebabkan oleh anafilatoksin, IL-3 dan IL-5 yang dikeluarkan oleh sel limfosit. Selanjutnya

mediator tersebut dapat secara langsung mengaktivasi sel mast tanpa melalui ikatan alergen

IgE. Reaksi hiperreaktivitas konjungtiva selain disebabkan oleh rangsangan spesifik, dapat

pula disebabkan oleh rangsangan non spesifik, misal rangsangan panas sinar matahari,

angin(Widyastuti, 2004).

II.2.5 Gejala Klinis

Pasien umumnya mengeluh tentang gatal yang sangat dengan kotoran mata berserat-

serat, terutama bila berada di lapangan terbuka yang panas terik. Biasanya terdapat riwayat

keluarga alergi (hay fever, eksim, dll) dan terkadang disertai riwayat alergi pasien itu sendiri.

Konjungtiva tampak putih seperti susu, dan terdapat banyak papila halus di konjungtiva

tarsalis inferior. Konjungtiva palpebra superior sering memiliki papila raksasa mirip batu

kali. Setiap papil raksasa berbentuk poligonal, dengan atap rata, dan mengandung berkas

kapiler. Mungkin terdapat kotoran mata berserabut dan pseudomembran fibrinosa (tanda

Maxwell-Lyons) (Vauhgan, 2010).

Gambar 4 Folikel pada konjungtiva palpebra inferior

8

Page 7: BAB II (Autosaved)

Gambar 5 Folikel pada konjungtiva palpebra superior

II.2.6 Gambaran Histopatologik

Tahap awal konjungtivitis vernalis ditandai oleh fase prehipertrofi. Dalam kaitan ini,

akan tampak pembentukan neovaskularisasi dan pembentukan papil yang ditutup oleh satu

lapis sel epitel dengan degenerasi mukoid dalam kripta diantara papil serta pseudomembran

milky white. Pembentukan papil ini berhubungan dengan infiltrasi stroma oleh sel-sel PMN,

eosinofil, basofil, dan sel mast. Hasil penelitian histopatologik terhadap 675 konjungtivitis

vernalis mata yang dilakukan oleh Wang dan Yang menunjukkan infiltrasi limfosit dan sel

plasma pada konjungtiva. Proliferasi limfosit akan membentuk beberapa nodul limfoid.

Sementara itu, beberapa granula eosinofilik dilepaskan dari sel eosinofil, menghasilkan bahan

sitotoksik yang berperan dalam kekambuhan konjungtivitis.

Penelitian tersebut menemukan adanya reaksi hipersensitivitas yang terjadi pada

konjungtiva bulbi, tarsal dan forniks. Fase vaskular dan selular dini akan segera diikuti

dengan deposisi kolagen, hialuronidase, peningkatan vaskularisasi yang lebih mencolok, serta

reduksi sel radang secara keseluruhan. Deposisi kolagen dan substansi dasar maupun seluler

mengakibatkan terbentuknya deposit stoneyang terlihat secara nyata pada pemeriksaan klinis.

Hiperplasia jaringan ikat meluas ke atas membentuk giant papil bertangkai dengan dasar

perlekatan yang luas. Kolagen maupun pembuluh darah akan mengalami hialinisasi.

Epiteliumnya berproliferasi menjadi 5-10 lapis sel epitel yang edematous dan tidak beraturan.

Seiring dengan bertambah besarnya papil, lapisan epitel akan mengalami atrofi di apeks

sampai hanya tinggal satu lapis sel yang kemudian akan mengalami keratinisasi.

Pada limbus terjadi transformasi patologik yang sama berupa pertumbuhan epitel

yang hebat meluas, bahkan dapat terbentuk 30-40 lapis sel (acanthosis). Horner-Trantas dot’s

yang terdapat di daerah ini sebagian besar terdiri atas eosinofil, debris selular yang

terdeskuamasi, namun masih ada sel PMN dan limfosit ((Medicastore, 2015).

9

Page 8: BAB II (Autosaved)

Gambar 6 Histologi Konjungtivitis vernal terlihat banyak sel radang

II.2.7 Diagnosis Banding

Diagnosis banding konjungtivitis vernal adalah konjungtivitis alergika musiman,

keratokonjungtivitis atopik, dan giant papillary conjungtivitis. Pada konjungtivitis alergi

musiman, bersifat akut, mereda saat musim dingin, terdapat edem konjungtiva, jarang disertai

perubahan pada kornea. Pada keratokonjungtivitis atopik tidak ada perbedaan usia atau jenis

kelamin, adanya sekret yang jernih, letak kelainan lebih sering di palpebra inferior, tidak

terdapat eosinofil pada scraping konjungtiva, Pada giant papillary conjunctivitis kelainan

juga terdapat di konjungtiva tarsal superior namun dengan ukuran diameter papila yang lebih

dari 0,3 mm, penyebab tersering iritasi mekanik yang lama terutama karena penggunaan lensa

kontak (Widyastuti, 2004).

II.2.8 Diagnosis

Diagnosis diegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan mata. Pemeriksaan

laboratorium yang dilakukan berupa kerokan konjungtiva untuk mempelajari gambaran

sitologi. Hasil pemeriksaan menunjukkan banyak eosinofil dan granula-granula bebas

eosinofilik. Disamping itu, terdapat basofil dan granula basofilik bebas (Medicastore, 2015).

Gambar 7 Injeksi Konjungtiva

10

Page 9: BAB II (Autosaved)

II.2.9 Penatalaksanaan

Konjungtivitis vernalis adalah penyakit yang sembuh sendiri, perlu diingat bahwa

medikasi yang dipakai terhadap gejala hanya memberi hasil jangka pendek, berbahaya jika

dipakai jangka panjang.

Pilihan perawatan konjungtivitis vernalis berdasarkan luasnya gejala yang muncul dan

durasinya, yaitu :

a. Terapi suportif

Dalam hal ini mencakup tindakan-tindakan konsultatif yang membantu mengurangi

keluhan pasien berdasarkan informasi hasil anamnesis. Beberapa tindakan tersebut

antara lain:

1. Menghindari tindakan menggosok-gosok mata denga tangan atau jari tangan,

karena telah terbukti dapat merangsang pembebasan mekanis dari mediator-

mediator sel mast.

2. Menghindari daerah berangin kencang yang biasanya juga membawa serbuk sari

3. Menggunakan kacamata berpenutup total untuk mengurangi kontak dengan

alergen di udara terbuka. Pemakaian lensa kontak justru harus dihindari karena

lensa kontak akan membantu retensi allergen.

4. Mengompres daerah mata dengan kompres dingin

5. Memindahkan pasien ke daerah beriklim dingin yang sering juga disebut sebagai

climato-therapy

b. Terapi Topikal

Untuk mrnghilangkan mukus dapat diberikan irigasi saline steril dan mukolitik

seperti asetil sistein 10%-20% tetes mata. Dosisnya tergantung pada kuantitas

eksudat serta beratnya gejala. Dalam hal ini, larutan 10% lebih dapat ditoleransi

daripada larutan 20%. Larutan alkalin seperti 1 – 2% sodium karbonat monohidrat

dapat membantu melarutkan atau mengencerkan musin, sekalipun tidak efektif

sepenuhnya. Dapat digunakan pula antihistamin dan NSAID (Non-Steroid Anti-

Inflamasi Drugs).

c. Terapi Sistemik

Pengobatan dengan antihistamin sistemik bermanfaat untuk menambah efektivitas

pengobatan topikal. Pemberian aspirin dan indometasin (golongan antiinflamasi

non-steroid) yang bekerjasebagai penghambat enzim siklooksigenasedilaporkan

dapat mengurangi gejala Konjungtivitis vernal.Kortikosteroidsistemik diberikan bila

ada indikasi khusus yaitu inflamasi berat pada kornea dan konjungtiva,bertujuan

11

Page 10: BAB II (Autosaved)

untuk mencegah kerusakan jaringan. Pemberian montelukas dilaporkan dapat

mengurangi gejala pada pasien konjungtivitis vernal yang juga menderita asmaatau

pada pasien yang mempunyai risiko terhadap terapi steroid. Namun hal ini masih

dalam perdebatan. Efektivitas pemberian imunoterapi sebagai terapi alergi pada

mata sampai saat ini belum memberikan hasil yang memuaskan (Widyastuti, 2004).

d. Terapi Bedah

Terapi bedah yang dapat dilakukan adalah otograf konjungtiva dan krio terapi,

namun kelemahankedua terapi ini dapat menyebabkan terjadinya sikatriks, trikiasis,

defisiensi air mata dan entropion.Keratotomi superfisial dapat dilakukan untuk

reepitelisasi kornea (Widyastuti, 2004).

II.2.10 Komplikasi

Komplikasi pada penyakit ini yang paling sering adalah ulkus pada kornea dan infeksi

sekunder (Alloyna, 2011).

II.2.11 Prognosis

Konjungtivitis vernal merupakan self limiting disease namun apabila terjadi serangan

tidak dilakukan pengobatan yang adekuat dapat menimbulkan komplikasi. Kondisi ini dapat

terus berlanjut dari waktu ke waktu, dan semakin memburuk selama musim-musim tertentu.

Bila segera diatasi, konjungtivitis ini tidak akan membahayakan, namun jika bila

penyakit radang mata tidak segera ditangani/diobati bisa membahayakan kerusakan pada

mata/gangguan dan menimbulkan komplikasi seperti Glaukoma, katarak maupun ablasi retina

(Sumindah, 2015).

12