bab i-vdgsd
DESCRIPTION
sdgdsgdsTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
IUFD (Intra Uterine Fetal Death) merupakan kematian janin yang terjadi
tanpa sebab yang jelas yang mengakibatkan kehamilan tidak sempurna
(uncomplicated pregnancy). Kematian janin terjadi kira-kira pada 1% kehamilan
dan dianggap sebagai kematian janin jika terjadi pada janin yang telah berusia 20
minggu atau lebih. Bila terjadi pada usia di bawah usia 20 minggu disebut
abortus.1
Pada dasarnya untuk membedakan IUFD dengan aborsi spontan, WHO
dan American College of Obstetricians and Gynaecologists (ACOG) telah
merekomendasikan bahwa statistik untuk IUFD termasuk didalamnya hanya
kematian janin intra uterine dimana berat janin 500 gr atau lebih dengan usia
kehamilan 20 minggu atau lebih.2 Tapi tidak semua negara menggunakan
pengertian ini. Masing-masing negara berhak menetapkan batasan dari pengertian
IUFD.3
Menurut United States National Center for Health Statistic, IUFD dibagi
menjadi Early Fetal Death (kematian janin yang terjadi pada usia kehamilan
kurang dari 20 minggu), Intermediate Fetal Death (kematian janin yang
berlangsung antara usia kehamilan 20-28 minggu) dan Late Fetal Death
(kematian janin yang berlangsung pada usia lebih dari 28 minggu).
Setiap tahun diperkirakan terjadi 7,6 juta kematian perinatal di seluruh
dunia di mana 57% diantaranya merupakan kematian fetal. Sekitar 98% dari
kematian perinatal ini terjadi di negara yang berkembang.1,2 Kematian janin dapat
terjadi antepartum atau intrapartum dan merupakan komplikasi yang paling
berbahaya dalam kehamilan. Insiden kematian janin ini bervariasi di antara
negara. Hingga saat ini, IUFD masih menjadi masalah utama dalam praktek
obstretrik.3,4,5
1
Angka kematian janin termasuk dalam angka kematian perinatal yang
digunakan sebagai ukuran dalam menilai kualitas pengawasan antenatal. Angka
kematian perinatal di Indonesia tidak diketahui dengan pasti karena belum ada
survei yang menyeluruh. Angka yang ada ialah angka kematian perinatal dari
rumah sakit besar yang pada umumnya merupakan referral hospital, sehingga
belum dapat menggambarkan angka kematian perinatal secara keseluruhan.
Penyebab kematian janin bersifat multifaktorial baik dari faktor fetal,
maternal, plasenta maupun iatrogenik dengan 25-35% kasus tidak diketahui
penyebabnya. Untuk dapat menentukan penyebab pastinya harus dilakukan
pemeriksaan autopsi.
Pemeriksaan kehamilan (antenatal care) sangat berperan penting dalam
upaya pencegahan kematian janin dan secara tidak langsung dapat menurunkan
angka kematian janin. Penatalaksanaan kematian janin intra uterin ialah
melakukan terminasi kehamilan yang dapat dilakukan melalui penanganan
ekspektatif dan penanganan aktif. Ada beberapa metode terminasi kehamilan pada
kematian janin intra uterin, yaitu dengan induksi persalinan per vaginam dan
persalinan per abdominam (sectio caesaria).
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Definisi
IUFD (Intra Uterine Fetal Death) merupakan kematian janin yang terjadi
tanpa sebab yang jelas yang mengakibatkan kehamilan tidak sempurna
(uncomplicated pregnancy). WHO dan American College of Obstetricians and
Gynaecologists (ACOG) telah merekomendasikan bahwa statistik untuk IUFD
termasuk didalamnya hanya kematian janin intra uterine dimana berat janin 500 gr
atau lebih dengan usia kehamilan 20 minggu atau lebih.
2. Epidemiologi
Setiap tahun diperkirakan terjadi 7,6 juta kematian perinatal di seluruh
dunia di mana 57% diantaranya merupakan kematian fetal. Sekitar 98% dari
kematian perinatal ini terjadi di negara yang berkembang.1,2
Di Negara berkembang, angka lahir mati ini telah menurun dari 15-16 per
1000 kelahiran total pada tahun 1960-an menjadi 7-8 per 1000 kelahiran pada
tahun 19903. Dari data the National Vital Statistics Report tahun 2005
menunjukkan bahwa rata-rata jumlah kematian janin dalam kandungan terjadi
sekitar 6.2 per 1000 kelahiran6.
3. Etiologi
Penyebab dari kematian janin intra uteri yang tidak dapat diketahui secara
pasti. Sekitar 25-60%, insiden meningkat seiring dengan peningkatan usia
kehamilan. Pada beberapa kasus penyebabnya dapat dibedakan berdasarkan
penyebab dari faktor janin, maternal dan patologi dari plasenta.1
3
a. Faktor Ibu
1) Ketidakcocokan Rh darah Ibu dengan janin
Akan timbul masalah bila ibu memiliki Rh negatif, sementara ayah
Rh positif, sehingga janin akan mengikuti yang lebih dominan yaitu Rh
positif, yang berakibat antara ibu dan janin akan mengalami
ketidakcocokan rhesus. Ketidakcocokan ini akan mempengaruhi kondisi
janin tersebut. Misalnya dapat terjadi kondisi hidrops fetalis, yaitu suatu
reaksi imunologis yang menimbulkan gambaran klinis pada janin antara
lain berupa pembengkakan pada perut akibat terbentuknya cairan yang
berlebihan pada rongga perut (asites), pembengkakan kulit janin dan
penumpukan cairan di rongga dada atau rongga jantung. Akibat dari
penimbunan cairan-cairan yang berlebihan tersebut, tubuh janin akan
membengkak. Jika kondisi demikian terjadi dapat menyebabkan kematian
janin.1,3 IUFD akibat ketidakcocokan Rh darah ibu dan janin terjadi sekitar
2,7%3.
2) Ketidakcocokan golongan darah Ibu dengan janin
Yang sering terjadi adalah antara golongan darah anak A atau B
dengan ibu bergolongan darah O atau sebaliknya. Hal ini disebabkan
karena pada saat masih dalam kandungan, darah janin tidak cocok dengan
darah ibunya, sehingga ibu akan membentuk zat antibodi.1,3 IUFD akibat
ketidakcocokan golongan darah ibu dengan janin terjadi sekitar 3%.3
3) Berbagai penyakit pada ibu hamil
Penyakit-penyakit yang terjadi pada ibu hamil sehingga
mengakibatkan kematian janin dapat disebabkan oleh 2 faktor, yaitu :
1. Kelainan Metabolik
Diabetes Gestasional
Kadar glukosa yang tinggi pada ibu dapat menyebabkan
terjadinya IUFD sekitar 16,2%.17 Hiperinsulinemia yang terjadi
pada janin akan meningkatkan kecepatan metabolisme dan
4
keperluan oksigen untuk menghadapi keadaan seperti
hiperglikemia dan ketoasidosis.1,16
2. Kelainan Vaskular
a. Hipertensi Gestasional
Hipertensi dapat menyebabkan suplai O2 pada janin berkurang
yang disebabkan oleh berkurangnya suplai darah dari ibu ke
plasenta yang disebabkan oleh spasme dan kadang-kadang
trombosis dari pembuluh darah ibu.1,3 IUFD akibat hipertensi
gestasional terjadi sekitar 21,6%.17
b. Preeklampsia
Preeklampsia merupakan komplikasi kehamilan yang ditandai
dengan peningkatan tekanan darah disertai proteinuria pada
wanita hamil yang sebelumnya tidak mengalami hipertensi.1.2
Komplikasi pada ibu berupa sindroma HELLP (Hemolysis,
Elevated Liver Enzyme, Low Platelet), edema paru, gangguan
ginjal, perdarahan, solusio plasenta bahkan kematian ibu.
Komplikasi pada bayi dapat berupa kelahiran premature, gawat
janin, berat badan lahir rendah atau intra uterine fetal death
(IUFD).2 IUFD akibat hipertensi pada kasus preeklampsia terjadi
sekitar 10,6%.17
4) Trauma saat hamil
Trauma bisa mengakibatkan terjadinya solusio plasenta. Trauma
terjadi misalnya karena benturan pada perut, baik karena kecelakaan atau
pemukulan. Trauma bisa saja mengenai pembuluh darah di plasenta,
sehingga menyebabkan solusio plasenta dan atau ablasio plasenta yang
pada akhirnya aliran darah ke janin pun terhambat sehingga dapat
menyebabkan kematian janin.1,2,3 IUFD akibat trauma saat hamil
dilaporkan terjadi sekitar 8%.2,3
5) Infeksi pada ibu hamil
5
a. Toxoplasma
Infeksi toxoplasma pada kehamilan dapat menyebabkan abortus
spontan (4%), kematian janin dalam kandungan (3%), janin hidup dengan
kelainan tertentu (7%), toksoplasmosis bawaan (5%).8 Secara keseluruhan,
kurang dari ¼ bayi yang mengalami toksoplasmosis kongenital
menampakkan gejala klinis pada saat lahir. Sebagian besar baru akan
memperlihatkan gejala kemudian hari. Toksoplasma menyerang otak janin
dan dapat menyebabkan berat badan janin rendah, hepatosplenomegali,
ikterus dan anemia. Gejala defisit neurologis seperti kejang-kejang,
kalsifikasi intrakranial, retardasi mental dan hidrosefalus atau
mikrosefalus. Pada kedua kelompok biasanya terjadi korioretinitis.7,8
b. Rubella
Rubella telah dibuktikan dapat menyebabkan abortus (2%),
kematian janin dalam kandungan (3%), dan kelainan kongenital yang
berat.8 Infeksi rubella pada janin dapat menghambat pertumbuhan intra
uterin, kelainan hematologi, hepatosplenomegali, ikterus, dan kelainan
kromosom sehingga dapat mengganggu pertumbuhan janin dalam
kandungan yang berdampak pada kematian janin7,8.
c. Cytomegalovirus
Cytomegalovirus merupakan penyebab tersering infeksi perinatal,
dengan insidens mencapai 0,5-2% neonatus. Infeksi cytomegalovirus pada
janin dapat menghambat pertumbuhan intrauterin, kelainan hematologi,
hepatosplenomegali, hidrosefalus, mikrosefalus, ikterus, dan hidrofetalus
sehingga mengganggu pertumbuhan janin dalam kandungan yang
berdampak pada kematian janin
d. Herpes Simplex Virus
Fetus seringkali terinfeksi oleh virus ini melalui serviks atau jalan
lahir. Virus kemudian dapat menginvasi uterus apabila terjadi ketuban
pecah. Hampir separuh dari neonatus yang terinfeksi adalah preterm dan
resiko infeksi mereka tersebut berhubungan dengan jenis infeksi maternal
primer atau rekuren. Dari 50% infeksi neonatal pada infeksi maternal
6
primer namun hanya 4-5% yang terjadi pada infeksi rekurens.5,7Dari suatu
penelitian dilaporkan bahwa tidak ada dari 34 neonatus yang terpajan
terhadap virus rekurens pada saat persalinan yang terinfeksi. Hal ini
diduga terjadi karna inocuum virus yang lebih kecil dan terdapat antibodi
yang ditransfer lewat plasenta yang menurunkan insidens dan beratnya
penyakit pada neonatal. Infeksi yang terlokalisir biasanya memiliki luaran
yang baik.7
e. Malaria
Malaria juga terkenal dapat memicu IUFD. Kematian janin intra
uteri dapat terjadi akibat hiperpireksi, anemi berat, penimbunan parasit di
dalam plasenta yang menyebabkan gangguan sirkulasi ataupun akibat
infeksi trans-plasental. Kematian janin intra uteri akibat malaria dilaporkan
terjadi sebanyak 4%.5,17
f. TBC
Tuberkolusis paru adalah suatu penyakit menular yang disebabkan
oleh basil Mycobacterium tuberculosis. Indonesia merupakan negara
ketiga di dunia dalam urutan jumlah penderita TBC setelah India (30%)
dan China (15%) dengan presentase sebanyak 10% dari total penderita
TBC di dunia. Patogenesis infeksi tuberkulosis pada wanita hamil sama
dengan pada wanita tidak hamil.17 Namun, gejala tuberkulosis pada ibu
hamil dapat timbul tiba-tiba karena gejala malaise dan kelelahan yang
terjadi lebih dianggap gejala akibat kehamilan daripada penyakit. Selain
itu, selama kehamilan menjadi sulit untuk mengenali penurunan berat
badan. Keterlambatan diagnosis merupakan faktor independen yang dapat
meningkatkan morbiditas obstetri sekitar empat kali lipat, sementara risiko
persalinan prematur mungkin meningkat sembilan kali lipat.18
6) Prolonged Pregnancy (kehamilan diatas 42 minggu)
Kehamilan lebih dari 42 minggu dapat menyebabkan kematian
janin sekitar 5%.2,3 Jika kehamilan telah lewat waktu, plasenta akan
mengalami penuaan sehingga fungsinya akan berkurang. Janin akan
7
kekurangan asupan nutrisi dan oksigen. Cairan ketuban bisa berubah
menjadi sangat kental dan hijau. Akibatnya cairan dapat terhisap masuk ke
dalam paru-paru janin. Hal ini bisa dievaluasi melalui USG dengan color
Doppler sehingga bisa dilihat arus arteri umbilikalis jantung ke janin. Jika
demikian kehamilan harus segera dihentikan dengan cara induksi. Itulah
perlunya taksiran kehamilan pada awal dan akhir kehamilan.1
7) Hamil pada usia lanjut
Peningkatan usia maternal juga akan meningkatkan risiko IUFD.1
Wanita di atas usia 35 tahun memiliki risiko 40-50% lebih tinggi akan
terjadinya IUFD dibandingkan dengan wanita pada usia 20-29 tahun.11
Risiko terkait usia ini cenderung lebih berat pada pasien primipara
dibanding multipara. Alasan yang mungkin dapat menjelaskan sebagian
risiko terkait usia ini adalah insiden yang lebih tinggi akan terjadinya
kehamilan multiple, diabetes gestasional, hipertensi, dan malformasi fetal
pada wanita yang lebih tua.
8) Kematian Ibu
Jika terjadi kematian ibu, sudah jelas janin juga akan mengalami
kematian dikarenakan fungsi tubuh yang seharusnya menopang
pertumbuhan janin tidak lagi ada.1,3 Insidensi terjadinya IUFD karena
kematian ibu adalah 50%.
9) Ruptur uteri
Ruptur uteri pada kehamilan merupakan komplikasi yang jarang
tetapi memiliki insiden yang tinggi terhadap morbiditas janin dan ibu.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada tahun 1976 sampai 2012
dilaporkan bahwa dari 2.951.297 wanita hamil, 2.084 terjadi ruptur uteri.
Luka rahim dari operasi caesar sebelumnya merupakan faktor risiko yang
paling umum. Selain itu, persalinan disfungsional, augmentasi persalinan
8
dengan oksitosin atau prostaglandin, turut menjadi faktor resiko pecahnya
rahim.
b. Faktor Janin
1) Gerakan Sangat Berlebihan
Gerakan bayi dalam rahim yang sangat berlebihan, terutama jika
terjadi gerakan satu arah saja dapat membahayakan kondisi janin. Hal ini
dikarenakan gerakan yang berlebihan ini akan menyebabkan tali pusar
terpelintir. Jika tali pusar terpelintir, maka pembuluh darah yang
mengalirkan darah dari ibu ke janin akan tersumbat sehingga dapat
menyebabkan iskemik, hipoksia dan kematian janin dalam kandungan.
Kejadian ini berkisar antara 10,8%.17 Gerakan janin yang sangat aktif
menandakan bahwa kebutuhan janin tidak terpenuhi.1,2,3
2) Kelainan kromosom
Kelainan kromosom meningkatkan risiko terjadinya IUFD.
Kuleshov dkk melaporkan bahwa sekitar 14% IUFD terjadi akibat
kelainan kariotipe.16 Kematian janin akibat kelainan genetik biasanya baru
terdeteksi pada saat kematian sudah terjadi, yaitu dari hasil otopsi janin.
Hal ini disebabkan karena pemeriksaan kromosom saat janin masih dalam
kandungan beresiko tinggi dan memakan biaya banyak.1,2,3
3) Malformasi janin
Pada janin yang mengalami malformasi, berarti pembentukan organ
janin tidak berlangsung dengan sempurna. Karena ketidaksempurnaan
inilah suplai yang dibutuhkan janin tidak terpenuhi, sehingga
kesejahteraan janin menjadi buruk dan bahkan akan menyebabkan
kematian pada janin.1,3 Kematian janin akibat malformasi janin terjadi
sekitar 1,3%.7,17
9
4) Kehamilan multiple
Pada kehamilan multiple ini resiko kematian maternal maupun
perinatal meningkat. Berat badan janin lebih rendah dibanding janin pada
kehamilan tunggal pada usia kehamilan yang sama (bahkan perbedaannya
bisa sampai 1000-1500gr ). Hal ini bisa disebabkan regangan uterus yang
berlebihan sehingga sirkulasi plasenta juga tidak lancar. Jika
ketidaklancaran ini berlangsung hingga keadaan yang parah, suplai janin
tidak terpenuhi dan pada akhirnya akan menyebabkan kematian janin
sekitar 18%.1,3,10
5) Intra Uterine Growth Restriction
Janin IUFD rata-rata memiliki berat badan yang kurang dibanding
janin normal pada tingkat usia gestasional yang sama. Hal ini disebabkan
karena proses restriksi pertumbuhan yang mungkin berbagi penyebab yang
sama dengan insufisiensi plasenta.1,10 IUGR adalah penyebab penting
IUFD. IUGR diketahui berhubungan dengan kehamilan multipel,
malformasi kongenital, kelainan kromosom fetal dan preeklampsia. Dalam
studi Gardosi dkk, dilaporkan bahwa 41% kasus IUFD adalah janin yang
kecil untuk usia gestasional dan kelompok ini juga sangat berisiko memicu
terjadinya persalinan prematur.1,10
6) Infeksi (parvovirus B19, CMV, listeria)
Infeksi ini terjadi dikarenakan oleh virus, dan jika virus ini telah
menyerang maka akan menyebabkan janin mengalami gangguan seperti,
pembesaran hati, kuning, pengapuran otak, ketulian, retardasi mental, dan
lain-lain. Dan gangguan ini akan membuat kesejahteraan janin memburuk
dan jika dibiarkan terus-menerus janin akan mati.1,6 Dilaporkan bahwa
kematian janin akibat infeksi terjadi sekitar 6-15% dari seluruh kasus
IUFD5,6,7
10
c. Faktor Plasenta1,6
Sejumlah kelainan plasenta berhubungan dengan IUFD misalnya inflamasi
membran, kompresi tali pusat, lesi akibat insufisiensi vaskular uteroplasental yang
tampak sebagai infark, dan solusio plasenta yang dilaporkan sebanyak 12 %
menyebabkan IUFD.1,17 Kompresi tali pusat juga dilaporkan memicu IUFD secara
langsung. Kompresi tali pusat dapat menghambat aliran darah dan oksigen ke
janin, sehingga dapat menyebabkan iskemik, hipoksia dan kematian. Secara
keseluruhan faktor plasenta dapat menyebabkan kematian janin sebanyak 25-
30%.9,10
4. Klasifikasi
Menurut United States National Center for Health Statistic Kematian janin
dapat dibagi menjadi 4 golongan, yaitu: 3,8
1. Golongan I : kematian sebelum massa kehamilan mencapai 20 minggu penuh
(early fetal death)
2. Golongan II : kematian sesudah ibu hamil 20-28 minggu (intermediate fetal
death)
3. Golongan III : kematian sesudah masa kehamilan >28 minggu (late fetal
death)
4. Golongan IV : kematian yang tidak dapat digolongkan pada ketiga golongan
di atas.
Janin yang meninggal intra uterin biasanya lahir dalam kondisi maserasi.
Kulitnya mengelupas dan terdapat bintik-bintik merah kecoklatan oleh karena
absorbsi pigmen darah. Seluruh tubuhnya lemah atau lunak dan tidak bertekstur.
Tulang kranialnya sudah longgar dan dapat digerakkan dengan sangat mudah satu
dengan yang lainnya. Cairan amnion dan cairan yang ada dalam rongga
mengandung pigmen darah. Maserasi dapat terjadi cepat dan meningkat dalam
waktu 24 jam dari kematian janin.1,3 Dengan kata lain, patologi yang terjadi pada
IUFD dapat terjadi perubahan-perubahan sebagai berikut:1
1. Rigor mortis (tegang mati)
11
Berlangsung 2,5 jam setelah mati, kemudian lemas kembali.
2. Maserasi grade 0 (durasi < 8 jam) : kulit kemerahan setengah matang
3. Maserasi grade I (durasi > 8 jam) : Timbul lepuh-lepuh pada kulit, mula-
mula terisi cairan jernih tapi kemudian menjadi merah dan mulai mengelupas.
4. Maserasi grade II (durasi 2-7 hari) : kulit mengelupas luas, efusi cairan
serosa di rongga toraks dan abdomen. Lepuh-lepuh pecah dan mewarnai air
ketuban menjadi merah coklat.
5. Maserasi grade III (durasi >8 hari) : Hepar kuning kecoklatan, efusi cairan
keruh, mungkin terjadi mumifikasi. Badan janin sangat lemas, hubungan
antara tulang-tulang sangat longgar dan terdapat oedem dibawah kulit.
5. Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang.
Anamnesis:
Pasien mengaku tidak lagi merasakan gerakan janinnya.
Perut tidak bertambah besar, bahkan mungkin mengecil (kehamilan tidak
seperti biasanya)
Perut sering menjadi keras dan merasakan sakit seperti ingin melahirkan
Penurunan berat badan
Pemeriksaan fisik:
12
Inspeksi: Tinggi fundus uteri berkurang atau lebih rendah dari usia
kehamilannya. Tidak terlihat gerakan-gerakan janin yang biasanya dapat
terlihat pada ibu yang kurus.
Palpasi: Tonus uterus menurun, uterus teraba flaksid. Tidak teraba gerakan-
gerakan janin.
Auskultasi: Tidak terdengarnya denyut jantung janin setelah usia kehamilan
10-12 minggu pada pemeriksaan ultrasonic Doppler merupakan bukti kematian
janin yang kuat.
Pemeriksaan penunjang:
Pada foto polos radiologik dapat dilihat adanya:
Tulang-tulang tengkorak tutup menutupi (tanda Spalding) yaitu tumpang
tindih (overlapping) secara ireguler tulang tengkorak, yang terjadi akibat
likuefaksi massa otak dan melemahnya struktur ligamentosa yang membentuk
tengkorak. Biasanya tanda ini muncul 7 hari setelah kematian. Namun ciri-ciri
yang sama dapat ditemukan pada kehamilan ekstrauterin dengan janin hidup.
Tulang punggung janin sangat melengkung (tanda Naujokes)
Hiperekstensi kepala tulang leher janin (tanda Gerhard)
Ada gelembung-gelembung gas pada badan janin (tanda Robert)
Femur length yang tidak sesuai dengan usia kehamilan. Digunakan untuk
menentukan usia kehamilan dan adanya kelainan dari system skelet.
13
Bila janin yang meninggal tertahan selama 5 minggu atau lebih kemungkinan
hypofibrinogenemia 25%.
Untuk diagnosis pasti penyebab kematian sebaiknya dilakukan otopsi janin,
pemeriksaan plasenta serta selaput. Diperlukan evaluasi secara komprehensif
untuk mencari penyebab kematian janin termasuk hal-hal yang berhubungan
dengan penyakit maternal, yaitu perlunya diperiksa kadar TSH, HbA1c dan
TORCH, sehingga dapat mengantisipasi pada kehamilan selanjutnya.7
14
Protokol Pemeriksaan pada janin dengan IUFD menurut Cunningham dan
Hollier (1997):1
1. Deskripsi bayi
malformasi
bercak/ noda
warna kulit – pucat, pletorik
derajat maserasi
2. Tali pusat
prolaps
pembengkakan - leher, lengan, kaki
15
hematoma atau striktur
jumlah pembuluh darah
panjang tali pusat
3. Cairan Amnion
warna – mekoneum, darah
konsistensi
volume
4. Plasenta
berat plasenta
bekuan darah dan perlengketan
malformasi struktur – sirkumvalata, lobus aksesorius
edema – perubahan hidropik
5. Membran amnion
bercak/noda
ketebalan
Diagnosis dan diagnosis banding IUFD
Gejala dan Tanda yang Selalu Ada
Gejala dan Tanda yang Kadang- Kadang Ada
Kemungkinan Diagnosis
Gerakan janin berkurang atau hilang, nyeri perut hilang timbul atau menetap, perdarahan pervaginam sesudah hamil 22 minggu
Syok, uterus tegang/kaku, gawat janin atau DJJ tidak terdengar
Solusio Plasenta
Gerakan janin dan DJJ tidak ada, perdarahan, nyeri perut hebat
Syok, perut kembung/ cairan bebas intra abdominal, kontur uterus abnormal, abdomen nyeri, bagian-bagian janin teraba, denyut nadi ibu cepat
Ruptur Uteri
Gerakan janin berkurang atau hilang, DJJ abnormal (<100/mnt/>180/mnt)
Cairan ketuban bercampur mekonium
Gawat Janin
16
Gerakan janin/DJJ hilang Tanda-tanda kehamilan berhenti, TFU berkurang, pembesaran uterus berkurang
IUFD
6. Tata laksana
Kelahiran harus segera diinduksi secepatnya setelah diagnosa dapat
ditegakkan.2,3 Pada satu penelitian, penundaan kelahiran lebih dari 24 jam setelah
terdiagnosis dihubungkan dengan peningkatan terjadinya masa anxietas
dibandingkan dengan wanita yang kelahirannya diinduksi dalam waktu 6 jam.3
Ketika janin berada di dalam uterus selama 3-4 minggu, level fibrinogen
bisa turun yang dapat menyebabkan koagulopati. Hal ini sangat jarang terjadi
pada kehamilan tunggal karena penegakan diagnosa dan induksi yang dilakukan
lebih awal. Pada beberapa kasus kehamilan kembar, tergantung dari tipe
plasentasi, induksi setelah kematian kedua janin mungkin dapat menghambat
perkembangan janin menjadi matur. Pada kasus ini beberapa spesialis anak tidak
merekomendasikan untuk memeriksakan koagulasi darah. Secara umum, resiko
berkembangnya disseminated intravascular coagulopathy sangat jarang.1
Kematian janin awal dapat ditangani dengan pemberian laminaria diikuti
oleh dilatasi dan ekstraksi. Pada wanita dengan kematian janin sebelum usia
kehamilan kurang dari 28 minggu, induksi dapat dilakukan dengan menggunakan
prostaglandin E2 vaginal suppositoria (10-20 mg tiap 4-6 jam), misoprostol
pervaginal atau per oral (400 mcg tiap 4-6 jam), dan/atau oxytocin (terutama bagi
wanita dengan sectio caessaria).1,5 Pada wanita dengan kematian janin pada usia
kehamilan setelah 28 minggu, harus menggunakan dosis yang lebih rendah. The
American College of Obstetricians and Gynaecologists mengatakan bahwa untuk
induksi kelahiran prostaglandin E2 dan misoprostol hendaknya tidak digunakan
pada wanita denga riwayat sectio caessaria karena resiko terjadinya ruptur uteri.5
Penanganan rasa nyeri pada pasien dengan induksi kelahiran untuk kasus
kematian janin lebih mudah ditangani dibandingkan dengan pasien dengan janin
yang masih hidup. Narkotik dengan dosis yang lebih tinggi bermanfaat untuk
pasien, dan pemberian morfin biasanya cukup efektif untuk pengendalian rasa
nyeri.
17
Berikut tahapan-tahapan penanganan pada ibu yang didiagnosa mengalami
IUFD1,3:
1. Jika kematian janin intra uterine telah jelas ditemukan, pasien harus
diberitahukan secara berhati-hati dan dihibur. Pertimbangkan untuk menunda
prosedur evakuasi janin untuk membiarkan pasien menyesuaikan secara
psikologis terhadap kematian janin tersebut. Penundaan tersebut juga
mempunyai keuntungan tambahan dengan memberikan kesempatan pada
serviks untuk lebih siap. Jika persalinan tidak terjadi segera setelah kematian
janin, terutama pada kehamilan lanjut, koagulopati maternal dapat terjadi,
walaupun keadaan ini jarang terjadi 4-6 minggu setelah kematian janin.
Setelah 3 minggu, lakukan pemeriksaan koagulasi yang termasuk hitung
trombosit, kadar fibrinogen, waktu protrombin, partial tromboplastin time
(PTT), dan analisis produk degradasi fibrinogen serta lakukan secara serial.
Berikan immunoglobulin rhesus pada semua gravida rhesus negatif kecuali
ayah janin diketahui pasti dengan rhesus negatif. Berikan dosis kecil (30μg)
pada trimester I dan dosis penuh pada kehamilan akhir.
2. Penggunaan USG pada kehamilan dini telah menunjukkan bahwa kematian
janin terjadi pada gestasi kembar lebih sering daripada yang diperkirakan
sebelumnya. Keadaan ini biasanya asimtomatik, walaupun mungkin terjadi
bercak pada vagina. Tidak diperlukan intervensi, dan dapat diharapkan
terjadinya resorpsi pada janin yang mati. Hipofibrinogenemia maternal adalah
komplikasi yang jarang dan harus diamati pada kasus tersebut. Koagulopati
konsumtif juga dapat timbul pada janin yang hidup. Keadaan ini mengarahkan
pada perlunya persalinan segera jika kematian salah satu janin terjadi pada
kehamilan yang lanjut dan maturitas janin yang lainnya telah diyakini dengan
pemeriksaan unsur-unsur pulmonal dalam cairan amnion.
3. Prostaglandin E2 dalam bentuk supositoria vagina (20 mg tiap tiga sampai
lima jam) adalah efektif untuk evakuasi janin yang telah mati pada
midtrimester.1,3 Walaupun insidensi keberhasilannya tinggi, terjadinya retensi
plasenta memerlukan kuretase. Dokter dapat menggunakan dosis 15-
methylprostaglandin F2 intramuskuler (250 μg pada interval satu dan satu
18
sampai satu setengah dan setengah jam jika selaput amnion telah pecah.
Sesuaikan jadwal dosis untuk menghindari stimulasi yang berlebihan. Adanya
kegagalan mengarahkan pada anomali rahim. Persiapkan aminophylline dan
terbuTaline untuk menghindari bronkospasme jika prostaglandin diberikan
pada pasien asmatik. Penggunaan oksitosin secara bersamaan harus dihindari
karena resiko rupture uterin.1
4. Jika janin telah mati dalam waktu yang cukup lama, ukuran rahim menurun
cukup banyak untuk memungkinkan evakuasi dengan penyedotan dapat
dilakukan dengan aman. Pemeriksaan keadaan koagulasi, seperti yang telah
disebutkan, harus dilakukan.1 Jika keadaan tersebut ditemukan, atasilah
koagulopati dan lanjutkan dengan evakuasi. Kira-kira 80% akan memasuki
persalinan dalam dua atau tiga minggu. Jika timbul koagulopati, heparin dapat
dipakai untuk memperbaikinya sebelum melakukan evakuasi rahim, tetapi
penggunaan heparin pada keadaan tersebut tidak sepenuhnya bebas dari
bahaya. Histerotomi hampir tidak pernah diindikasikan kecuali terdapat
persalinan dengan seksio secaria sebelumnya atau operasi miomektomi.
Evakuasi instrumental transervikal dan kehamilan trimester ketiga yang telah
lanjut memerlukan keahlian dan pengalaman khusus untuk menghindari
perforasi dan perdarahan. Laminaria mungkin berguna dalam kasus tersebut.
5. Semua gravida dengan rhesus negatif harus diberikan immunoglobulin rhesus.
Jika diperkirakan terdapat interval lebih dari 72 jam antara kematian janin dan
persalinan, berikan dosis immunoglobulin yang sesuai dengan segera.
Penjelasan pasca persalinan adalah bagian yang penting dalam perawatan total
pasien. Tiap usaha harus dilakukan untuk mendapatkan ijin otopsi janin,
karyotiping dan pemeriksaan lain yang dindikasikan.1,3
19
Tentukan usia kehamilan dan cari adanya kehamilan ganda
Ditemukan janin tunggal Ditemukan kehamilan ganda dengan satu janin masih hidup
Pertimbangkan untuk menunda intervensi dengan alasan psikologis untuk memberikan waktu pada gravida melakukan penyesuaian diri dan membiarkan cervix matang.
Amati absorpsi janin yang telah mati.Amati koagulopati maternal dengan pemeriksaan koagulasi serial.
Harapkan terjadi persalinan spontan dalam 2-3 minggu pada sebagian besar pasien. Amati koagulopati maternal dengan pemerksaan koagulasi serial
Jika terjadi koagulopati, pertimbangkan pengobatan dengan heparin untuk memperbaiki gangguan koagulasi dan melakukan intervensi.
Kematian janin dini atau pertengahan kehamilan
Kematian janin pada kehamilan lanjut
Amati persalinan atau berikan regimen prostaglandin intramuskular / intravaginal
EVAKUASI RAHIM SPONTAN ATAU OPERATIF
Tentukan apakah Rhesus negatif dan lakukan desensitisasi.Berikan immunoglobulin rhesus daam dosis yang tepat sesuai dengan usia kehamilan.
20
Induksi persalinan :
Induksi persalinan adalah suatu tindakan terhadap ibu hamil yang belum
inpartu, baik secara operatif maupun secara medik untuk merangsang timbulnya
kontraksi rahim sehingga terjadi persalinan.
Indikasi induksi persalinan antara lain:
A. Indikasi janin
1. Kehamilan lewat waktu
2. Ketuban pecah dini
3. Janin mati
B. Indikasi Ibu
1. Kehamilan dengan hipertensi
2. Kehamilan dengan diabetes mellitus
Kontraindikasi induksi persalinan antara lain:
1. Malposisi janin
2. Insufisisensi plasenta
3. Disporposi sefalopelvik
4. Cacat rahim, misalnya pernah megalami seksio sesarea, enukleasi miom.
5. Grande multipara
6. Gemelli
7. Distensi rahim yang berlebihan misalnya pada hidramnion
8. Plasenta previa
Untuk dapat melakukan induksi persalinan perlu dipenuhi beberapa kondisi,
diantaranya :
1. Hendaknya serviks uteri sudah “matang”, yaitu serviks sudah mendatar dan
menipis dan sudah dapat dilalui oleh sedikitnya 1 jari, sumbu serviks
menghadap ke depan.
2. Tidak ada disproporsi sefalopelvik (CPD)
21
3. Tidak ada kelainan letak janin yang tidak dapat dibetulkan
4. Sebaiknya kepala janin sudah mulai turun ke dalam rongga panggul.
Untuk menilai keadaan serviks dapat dipakai skor bishop. Jika skor Bishop
kurang atau sama dengan 3 maka angka kegagalan induksi mencapai lebih dari
20% dan berakhir pada seksio sesaria. Bila nilai lebih dari 8 induksi persalinan
kemungkinan akan berhasil. Angka yang tinggi menunjukkan kematangan serviks.
Jika bishop skor kurang dari 6 direkomendasikan menggunakan agen
pematangan servik sebelum induksi persalinan. Pendekatan non farmakologi
dalam pematangan servik dan induksi persalinan meliputi senyawa herbal, minyak
merica, mandi air hangat, enema, hubungan seksual, stimulasi payudara,
akupuntur, akupresur, stimulasi saraf transkutaneus, serta modalitas mekanis dan
bedah. Dari metode-metode non farmakologis ini, hanya metode-metode mekanis
dan bedah yang telah membuktikan manfaat dalam pematangan serviks dan
induksi persalinan meliputi prostaglandin, misoprostol, mifepristone, dan relaxin.
Apabila skor bishop cukup, agen farmakologi yang lebih disukai adalah oksitosin.
Pada janin mati dan tidak mungkin lahir spontan pervaginam dan ibu
dalam keadaan bahaya (maternal distress) seksio sesarea tidak dilakukan, sebagai
gantinya dapat dilakukan embriotomi.
Evaluasi pada bayi lahir mati
Evaluasi pada bayi lahir mati berfungsi untuk:
1. Adaptasi psikologis terhadap kehilangan yang mendalam dapat
dipermudah apabila etiologi spesifiknya dapat diketahui.
2. Dapat meredakan rasa bersalah yang merupakan bagian dari kedukaan.
22
3. Diagnosis yang tepat menyebabkan penyuluhan mengenai kekambuhan
akan lebih akurat dan bahkan memungkinkan dilakukanya terapi atau
intervensi untuk mencegah terjadinya hal yang sama pada kehamilan
berikutnya.
4. Memberi informasi identifikasi sindrom-sindrom herediter.
Protokol pemeriksaan bayi lahir mati harus diulas secara sistematik dan
terperinci tentang kejadian-kejadian prenatal, dan bayi, plasenta, serta selaput
ketuban harus diperiksa secara cermat disertai pencatatan temuan,baik yang
positif maupun negative. Dianjurkan tindakan otopsi, baik secara lengkap
(lebi dianjurkan) atua terbatas. Sampel dikirim untuk penelitian sitogenetik
pada kasus malformasi janin, kematian janin berulang, atau hambatan
pertumbuhan2.
METODE-METODE TERMINASI
1. Terminasi harus selalu dilakukan dengan induksi, yaitu :
Infus Oksitosin
Cara ini sering dilakukan dan efektif pada kasus-kasus dimana telah terjadi
pematangan serviks. Pemberian dimulai dengan 5-10 unit oksitosin dalam 500 ml
larutan Dextrose 5% melalui tetesan infus intravena. Dua botol infus dapat
diberikan dalam waktu yang bersamaan. Pada kasus yang induksinya gagal,
pemberian dilakukan dengan dosis oksitosin dinaikkan pada hari berikutnya. Infus
dimulai dengan 20 unit oksitosin dalam 500 ml larutan Dextrose 5% dengan
kecepatan 30 tetes per menit.
Bila tidak terjadi kontraksi setelah botol infus pertama, dosis dinaikkan
menjadi 40 unit. Resiko efek antidiuretik pada dosis oksitosin yang tinggi harus
dipikirkan, oleh karena itu tidak boleh diberikan lebih dari dua botol pada waktu
yang sama.
Pemberian larutan ringer laktat dalam volume yang kecil dapat menurunkan
resiko tersebut. Apabila uterus masih refrakter, langkah yang dapat diulang
setelah pemberian prostaglandin per vaginam. Kemungkinan terdapat kehamilan
23
sekunder harus disingkirkan bila upaya berulang tetap gagal menginduksi
persalinan.
Prostaglandin
Pemberian gel prostaglandin (PGE2) per vaginam di daerah forniks posterior
sangat efektif untuk induksi pada keadaan dimana serviks belum matang.
Pemberian dapat diulang setelah 6-8 jam. Langkah induksi ini dapat ditambah
dengan pemberian oksitosin.
2. Operasi Sectio Caesaria (SC)
Pada kasus IUFD jarang dilakukan. Operasi ini hanya dilakukan pada
kasus yang dinilai dengan plasenta praevia, bekas SC ( dua atau lebih) dan
letak lintang.
7. Pencegahan
Antenatal care yang rutin dan berkala.
1. Memberikan nasehat pada waktu ANC mengenai keseimbangan diet
makanan, jangan merokok, tidak meminum minuman beralkohol, obat-
obatan dan hati-hati terhadap infeksi atau bahan-bahan yang berbahaya.
2.Mendeteksi secara dini faktor-faktor predisposisi IUFD dan pemberian
pengobatan.
3. Medeteksi gejala awal IUFD atau tanda fetal distress. Tes-tes
antepartum misalnya USG, tes darah alfa-fetoprotein, dan non-stress test
fetal elektronik dapat digunakan untuk mengevaluasi kegawatan janin
sebelum terjadi kematian dan terminasi kehamilan dapat segera dilakukan
bila terjadi gawat janin.
8. Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi pada ibu hamil dengan IUFD dapat terjadi
bila janin yang sudah meninggal tidak segera dilahirkan lebih dari 2 minggu.1,3
Akan tetapi, kasus janin yang meninggal dan tetap berada di rahim ibu lebih dari 2
minggu sangat jarang terjadi. Hal ini dikarenakan biasanya tubuh ibu sendiri akan
24
melakukan penolakan bila janin mati, sehingga timbulah proses persalinan.
Adapun komplikasi yang mungkin terjadi adalah sebagai berikut:
Disseminated Intravascular Coagulopathy (DIC) :
Janin yang mati kebocoran tromboplastin dan bahan seperti tromboplastin
yang melintasi plasenta menuju sirkulasi ibu konsumsi factor-faktor
koagulasi termasuk factor V,VIII, protrombin,dan trombosit manifestasi
klinis koagulopati intravascular diseminata (DIC)
2. Ensefalomalasia multikistik:
Hal ini dapat terjadi pada kehamilan kembar, terutama kehamilan
monozigotik dimana memiliki sirkulasi bersama antara janin kembar yang masih
hidup dengan yang salah satu janinnya meninggal. Dalam hal ini sering kali
mengakibatkan kematian segera janin lainnya. Jika janin kedua masih dapat
bertahan hidup, maka janin tersebut memiliki risiko tinggi terkena
ensefalomalasia multikistik.
Bila salah satu bayi kembar ada yang meninggal dapat terjadi embolisasi
bahan tromboplastik dari janin yang meninggal melalui komunikasi vaskular
plasenta ke janin yang masih hidup dengan atau tanpa perubahan hemodinamik
(hipotensi) pada saat kematian janin seingga terjadi infark cedera selular pada otak
(ensefalomalasia multikistik, yang diagnosisnya dikonfirmasi dengan
ekoensefalografi), usus, ginjal, dan paru.3
3. Hemoragic Post Partum
Hipofibrinogenemia (kadar fibrinogen < 100 mg%), biasa pada 4-5
minggu sesudah IUFD (kadar normal fibrinogen pada wanita hamil adalah 300-
700mg%). Akibat kekurangan fibrinogen maka dapat terjadi hemoragik post
partum. Partus biasanya berlangsung 2-3 minggu setelah janin mati.
4. Dampak psikologis
Dampak psikologis dapat timbul pada ibu setelah lebih dari 2 minggu
kematian janin yang dikandungnya.
25
BAB II
LAPORAN KASUS
Anamnesis dan pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 17 September
2015 di ruang bersalin RSUD Abdul Azis Singkawang.
2.1. Anamnesis
Identitas Pasien
Nama : Ny. ES
Usia : 38 tahun
Agama : Katolik
Suku : Tionghoa
Pendidikan : Sarjana
Pekerjaan : Swasta
Alamat : Jl. GM Situt no. 55 kel. Pasiran kec. Singkawang barat
MRS : 17 September 2015 pukul 20.20 WIB
Identitas Suami
Nama : Tn. BBT
Usia : 38 tahun
Agama : Katolik
Suku : Tionghoa
Pendidikan : Sarjana
Pekerjaan : Swasta
Alamat : Jl. GM Situt no. 55 kel. Pasiran kec. Singkawang barat
Keluhan Utama:
Perut terasa kenceng
26
Riwayat penyakit sekarang
Pasien datang ke RSAA dengan keluhan perut terasa kenceng-kenceng
seperti ingin melahirkan. Keluhan ini dirasakan selama kurang dari setengah
menit dan cukup sering. Pengeluaran air, lendir dan darah disangkal. Pasien juga
mengeluhkan gerakan janin di dalam rahimnya berkurang sejak 2 bulan terakhir.
Ia mengaku jarang memeriksakan kehamilannya. Selain itu, ia merasa pembesaran
rahimnya melebihi pembesaran rahim normal pada masa hamil 6 bulan.
Satu minggu SMRS, pasien pernah mengeluhkan perut terasa kenceng-
kenceng dan berobat ke klinik bidan. Saat itu, ia mengaku bidan kesulitan mencari
denyut jantung janinnya, sehingga ia dirujuk ke RS DKT. Saat di RS DKT, dokter
pemeriksa juga kesulitan mencari denyut jantung janin. Saat didapatkan, dokter
mengatakan denyut jantung janinnya melemah. Sebulan SMRS, pasien pernah
berobat ke rumah sakit swasta di Malaysia. Dokter mengatakan bahwa
kemungkinan hidup bayi yang ada di dalam kandungannya kecil karena terdapat
kelainan. Denyut jantung janinnya juga sudah melemah.
Riwayat Obstetri
Pasien hamil kedua. Selama bulan pertama hingga bulan keenam
kehamilan, pasien hanya satu kali memeriksa kehamilannya di klinik bidan
swasta. Ia jarang memeriksakan kehamilannya karena tidak ada keluhan yang
berarti yang dirasakan. Selama kehamilan, pasien tidak pernah mengeluh demam,
muntah hebat dan kejang, kecuali pusing dan mual pada bulan pertama dan kedua
kehamilan. Hari pertama haid terakhir tanggal 4 Maret 2015. Kehamilan yang
pertama meninggal di dalam rahim saat usia kehamilan 8 bulan. Kandungan
pertama (bayi tunggal) dikeluarkan dengan operasi sesar di RS DKT. Pasien tidak
mengingat berat badan dan panjang badan bayinya yang pertama.
Riwayat Ginekologi
27
Pasien mengalami haid pertama sekali pada usia 13 tahun. Haidnya teratur
dengan siklus berkisar 28 hari sekali dengan lama haid berkisar 3-5 hari.
Riwayat penyakit dahulu
Pasien menyangkal pernah terjatuh atau mengalami benturan pada bagian
perutnya. Pasien mengaku pernah operasi saesar 1 tahun yang lalu. Namun, luka
bekas operasi baik dan tidak ada keluhan. Riwayat infeksi saluran kencing dan
kelamin disangkal, diabates mellitus disangkal, hipertensi disangkal, asma dan TB
tulang disangkal. Riwayat alergi terhadap obat-obatan disangkal.
Riwayat penyakit keluarga
Riwayat keluarga dengan melahirkan secara operasi sectio caesarea (-), sulit hamil
(-), keguguran (-).
Riwayat perkawinan
Pasien telah menikah 2 tahun yang lalu pada saat berusia 36 tahun dan merupakan
pernikahan yang pertama. Suaminya menikah dengannya pada saat berusia 36
tahun juga dan merupakan pernikahan yang pertama.
Riwayat penggunaan obat – obatan
Pasien mengaku tidak sedang mengkonsumsi obat – obatan maupun suplemen
apapun.
Riwayat Kebiasaan
Pasien tidak merokok, tidak mengonsumsi alkohol, namun jarang berolahraga.
Suami pasien tidak merokok. Pasien menyangkal memiliki binatang peliharaan di
rumahnya.
2.2. Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos Mentis, GCS E4V5M6
28
Tanda Vital
a. Tekanan Darah : 130/80 mmHg
b. Frekuensi Nadi : 88 x /menit, regular isi cukup, kuat angkat
c. Frekuensi Nafas : 20 x /menit, regular
d. Suhu : 36,4oC, aksiler
2.3. Status Generalis
Kepala : normocephali
Mata : konjunctiva anemis (-/-), Sclera ikterik (-/-),
Hidung : rhinorea (-/-)
Telinga : otorhea (-/-)
Mulut : bibir sianosis (-)
Leher : deviasi trakea (-), pembesaran KGB (-)
Thoraks
Paru
- Inspeksi : Pergerakan dada simetris, retraksi sela iga (-), Pelebaran
sela iga (-)
- Palpasi : fremitus taktil kiri = kanan
- Perkusi : sonor
- Auskultasi: vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-)
Jantung
- Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
- Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
- Perkusi : Batas kanan jantung: SIC 3 linea parasternal dextra
pinggang jantung: SIC 3 linea parasternal sinistra, batas kiri
jantung: SIC 5 linea midclavikula sinistra SIC 5
- Auskultasi : S1 S2 tunggal, regular, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : membesar arah memanjang
Palpasi : Supel, hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan (-)
29
Perkusi : pekak
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Ekstremitas
Superior : Akral hangat (+), edema (-), CRT < 2 detik
Inferior : Akral hangat (+), edema (-), CRT < 2 detik
2.4. Status obstetri
Inspeksi : membesar arah memanjang
Palpasi : tinggi fundus uteri 30 cm
.1 Leopold I : teraba bokong
.2 Leopold II : teraba punggung disebelah kiri ibu
.3 Leopold III : teraba kepala
.4 Leopold IV : konvergen
DJJ : 136 x/ menit, irreguler
His :
Taksir berat janin : (TFU – 13) x 155 = 2635 gram
Inspekulo : tidak dilakukan
Pemeriksaan dalam : vulvovagina normal, portio tebal dan lunak, pembukaan
(-), presentasi kepala, penurunan hodge I, ketuban(+), lendir (-) dan darah (-)
2.5. Diagnosis kerja sementara di ruangan
G1P0A0M1 H28-29 minggu + kelainan kongenital pada bayi + prev. SC 1 tahun yang
lalu
2.6. Pemeriksaan Laboratorium
Darah Rutin (17 september 2015)
1. Leukosit : 8400 /mm3
2. Hemoglobin : 11,7 gr/dl
3. Hematokrit : 34,4 %
4. Trombosit : 191.000/mm3
30
5. Bleeding Time : 4’50” menit
6. Clotting Time : 2’00”menit
Kimia Darah
7. GDS : 117 mg/dl
Serologi
1. HbsAg : non reaktif
2. Anti HIV : non reaktif
3.
Pemeriksaan Rhesus dan golongan darah
Tidak dilakukan pemeriksaan rhesus maupun golongan darah
2.7. Pemeriksaan EKG (17 september 2015)
2.8. Pemeriksaan USG
31
2.9. PERSIAPAN SEBELUM OPERASI
Informed consent
Menjelaskan pada pasien tentang kondisi bayi
Menerangkan kepada pasien tentang tindakan operasi yang akan
dilakukan: garis besar prosedur tindakan, tujuan dan manfaat tindakan.
Puasa mulai pk 03.00 WIB
Laporan Operasi
Tanggal operasi : 18 september 2015
Waktu Operasi : pk 10.45 – 11.45 WIB
Diagnosa pre-operatif : G1P0A0M1 H28-29 minggu + kelainan kongenital pada
bayi + prev. SC 1 tahun yang lalu
Diagnosa post-operatif : P2A0M1 partus prematurus dengan sectio caesarea
atas indikasi hidrops fetalis dan plasenta previa
Macam operasi : Seksio Caesarea Transperitoneal Profunda
Langkah-Langkah Operasi:
1. Pasien dibaringkan di atas meja operasi.
2. Pasien dilakukan anestesi spinal.
3. Dilakukan tindakan asepsis dan antisepsis dengan betadin dan alkohol pada
lapangan operasi.
4. Dilakukan insisi pfannenstiel pada pelvic line ± 10 cm.
5. Dinding abdomen dibuka lapis demi lapis.
6. M. rectus abdominis dibuka secara tumpul ke lateral hingga tampak
peritoneum.
7. Peritoneum disayat ke atas hingga tampak uterus.
8. Dilakukan insisi konkaf pada segmen bawah rahim dan diperlebar secara
tumpul dengan jari.
32
9. Dengan meliksir kepala, janin dilahirkan pukul 10.27 WIB, janin perempuan,
berat badan 1250 gram, panjang badan 33 cm, apgar score: 2/1
10.Tali pusat ditarik dengan ringan untuk mengeluarkan plasenta.
11. Kavum uteri dibersihkan dengan kasa steril dari darah dan bekuan darah.
12. Sumbu bawah rahim (SBR) dijahit secara jelujur terkunci
13. Rongga abdomen dibersihkan dari darah dan bekuan darah.
14. Dinding abdomen dijahit lapis demi lapis.
15. Kulit dijahit subkutikuler.
16. Perdarahan selama operasi ±500 cc.
17. Keadaaan ibu sebelum, selama dan sesudah operasi baik.
Laporan Kelahiran Bayi:
Bayi lahir pukul 10.27 jenis kelamin perempuan dengan Apgar score 2/1,
berat badan 1250 gram dan panjang badan 33 cm. Bayi tidak segera menangis dan
perut tampak sianosis dan ascites. Bayi dinyatakan meninggal pada pukul 10.42
WIB oleh dokter spesialis anak yang meresusitasi bayi tersebut. Berat plasenta
1500 gram dan terlihat bekuan darah. Warna cairan mekonium putih keruh.
Penatalaksanaan Post Operasi:
1. IVFD RL 2o tpm + drip oksitosin 10 IU
2. Broadced 1 gr iv / 8jam
33
3. Asam traneksamat 250 mg iv/ 8jam
4. Ketorolac 30 mg iv/ 8jam
5. Ondancentron 4 mg/ 8 jam
2.10. Follow Up di Ruang Nifas
Tanggal/
Jam
Post Operasi (observasi dalam 2 jam)
18 sept 2015 Suhu Nadi TD RR Sens BAK Keterangan
12.00 36,3 88 140/100 20 Som 100cc TFU 1 jari
dibawah pusat
12.15 36,3 90 140/100 20 Som 100cc TFU 1 jari dibawah pusat
12.30 36,5 88 140/100 20 CM 150cc TFU 1 jari dibawah pusat
12.45 36,5 86 130/80 20 CM 150cc TFU 1 jari dibawah pusat
13.00 36,5 80 130/80 20 CM 150cc TFU 1 jari dibawah pusat
13.30 36,7 84 130/80 20 CM 150cc TFU 1 jari dibawah pusat
14.00 130/80 20 CM 200cc TFU 1 jari dibawah pusat
19 sept 2015
Hari pertama
post SC
S: nyeri luka operasi (+), perdarahan pervaginam (+),
mobilisasi (-), BAK (+), BAB (-)
O: KU : baik
TD: 120/80 mmHg
Nadi: 90x/menit
Nafas : 22x/menit
Suhu : 36,7oC
TFU 2 jari dibawah pusat, kontraksi uterus (+) baik,
34
luka operasi rembesan (-), dehisensi (-)
perdarahan pervaginam (+) sekitar 20 cc
A: : P2A0M1 partus prematurus dengan sectio caesarea atas
indikasi hidrops fetalis dan plasenta previa hari pertama
P: IVFD RL + drip oxytocin 20 IU + drip metergin 20 tpm
Inj broadced 1 gr/iv/8 jam
Inj Asam tranexamat 250 mg/iv/8 jam
Inj Ketorolac 30 mg/iv/8 jam
Inj Ondancentron 4 mg/iv/8 jam
sore ganti obat oral:
ciprofloxacin 2 x 500 mg tab
asam mefenamat 3 x 500 mg tab
mersibion 1 x 1 tab
20 sept 2015Hari ke-2 post SC
S: nyeri luka operasi (+) berkurang, perdarahan pervaginam
(+) sedikit, mobilisasi (+), makan (+), minum (+), BAK (+),
BAB (-), flatus (+)
O: KU : baik
TD: 120/80 mmHg
Nadi: 84x/menit
Nafas : 20x/menit
Suhu : 36,5oC
TFU 2 jari dibawah pusat, kontraksi uterus (+) baik,
luka operasi rembesan (-), dehisensi (-)
perdarahan pervaginam (+) sekitar 10 cc
A: : P2A0M1 partus prematurus dengan sectio caesarea atas
indikasi hidrops fetalis dan plasenta previa hari ke-2
P: ciprofloxacin 2 x 500 mg tab
asam mefenamat 3 x 500 mg tab
mersibion 1 x 1 tab
35
21 sept 2015Hari ke-3 post SC
S: nyeri luka operasi (+) berkurang, perdarahan pervaginam
(+) sedikit, mobilisasi (+), makan (+), minum (+), BAK (+),
BAB (-), flatus (+)
O: KU : baik
TD: 120/70 mmHg
Nadi: 84x/menit
Nafas : 20x/menit
Suhu : 36,5oC
TFU 2 jari dibawah pusat, kontraksi uterus (+) baik,
luka operasi rembesan (-), dehisensi (-)
perdarahan pervaginam (+) sekitar 10 cc
A: : P2A0M1 partus prematurus dengan sectio caesarea atas
indikasi hidrops fetalis dan plasenta previa hari ke-3
P: ciprofloxacin 2 x 500 mg tab
asam mefenamat 3 x 500 mg tab
mersibion 1 x 1 tab
Boleh pulang, pasien dianjurkan untuk kontrol kembali 4
hari kemudian
36
BAB IV
PEMBAHASAN
Menurut WHO dan ACOG definisi IUFD adalah kematian janin intra
uterine dimana berat janin 500 gr atau lebih dengan usia kehamilan 20 minggu
atau lebih. Pada kasus ini berdasarkan klasifikasi menurut UNCHS klasifikasi
kematian janin adalah intermediate fetal death dimana kematian sesudah ibu
hamil 20-28 minggu.
Pada kasus ini, seorang wanita berusia 38 tahun dengan diagnosis
G2P0A0M1 hamil 28-29 minggu + kelainan kongenital + riwayat SC 1 tahun
yang lalu datang ke IGD RSAA dengan keluhan perut terasa kenceng 3 jam
SMRS. Diagnosis IUFD ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis, yang mengarahkan kita ke diagnosis
IUFD adalah keluhan pasien akan berkurangnya gerakan janin sejak 2 bulan
SMRS, perut terasa kenceng seperti ingin melahirkan, pembesaran rahim yang
melebihi pembesaran rahim normal pada masa hamil 6 bulan. Dari pemeriksaan
fisik didapatkan tinggi fundus uteri yang lebih tinggi dari normal yaitu 30 cm,
tidak terlihat gerakan janin dan tidak ditemukan denyut jantung janin. Dari hasil
pemeriksaan USG ditemukan adanya kelainan kongenital.
Banyak faktor yang dapat menyebabkan terjadinya IUFD, baik dari faktor
ibu, janin maupun plasenta. Pada kasus ini, dari faktor ibu akan ketidakcocokan
rhesus dan golongan darah belum dapat dipastikan karena belum dilakukan
pemeriksaan. Penyakit-penyakit seperti diabetes gestasional dapat disingkirkan
37
karena pasien tidak memiliki keluhan yang mengarah ke diabetes gestasional
ataupun riwayat menderita diabetes melitus. Dari tes GDS-nya 117 g/dl. Begitu
juga dengan penyakit hipertensi. Pasien menyangkal memiliki riwayat penyakit
hipertensi. Tekanan darah pasien saat pertama sekali datang ke kamar bersalin
130/80 mmHg dan juga hingga pulang tekanan darah pasien selalu stabil dan
dalam batas normal. Pasien juga menyangkal adanya trauma saat kehamilan.
Infeksi TORCH belum dapat dipastikan apakah ada atau tidak sebab belum
dilakukan pemeriksaan. Pemeriksaan ini mungkin perlu disarankan kepada pasien.
Usia lanjut >35 tahun merupakan faktor resiko terjadinya IUFD sekitar 40-50%
dibandingkan pada usia 20-29 tahun. Pasien merupakan seorang wanita yang
berumur 38 tahun dan tentunya beresiko untuk terjadinya IUFD. Selain itu juga,
pasien mengaku jarang memeriksakan kehamilannya. Padahal, salah satu tujuan
dari antenatal care adalah Mengenali secara dini kelainan atau komplikasi yang
mungkin terjadi selama hamil dan memantau kemajuan kehamilan serta
memastikan kesehatan ibu dan tumbuh kembang bayi.
Dari faktor bayi sendiri, kelainan kromosom masih belum dapat dipastikan
sehingga perlu untuk dilakukan pemeriksaan namun biaya yang dibutuhkan cukup
tinggi. Dari faktor plasenta juga dapat menjadi faktor terjadinya IUFD seperti:
infeksi pada membran plasenta, kompresi tali pusat. Pada kasus ini, pada saat
dilakukan operasi seksio sesaria ditemukan adanya plasenta previa dan kecurigaan
adanya infeksi pada plasenta karena berat plasenta bayi ini 1500 gram dimana
yang seharusnya hanya berkisar 500-600 gram. Kompresu tali pusat pada kasus
plasenta previa dapat menghambat aliran darah dan oksigen ke janin sehingga
dapat menyebabkan iskemik, hipoksia dan kematian.
Penanganan IUFD pada kasus ini adalah terminasi kehamilan dengan
operasi seksio sesaria. Pada pemeriksaan dalam saat pertama sekali datang ke
kamar bersalin tidak ada pembukaan hingga besok harinya. Induksi persalinan
tidak boleh dilakukan karena adanya kontraindikasinya yaitu adanya plasenta
previa, sehingga satu-satunya cara adalah dengan operasi seksio sesaria.
Beberapa hari setelah operasi seksio sesaria, pasien melakukan
pemeriksaan TORCH. Didapatkan hasil: konsentrasi antitoxoplasma Ig-G 3,2
38
(reaktif), anti rubella Ig-G 83,7 dan anti CMV Ig-G. Dari hasil pemeriksaan
TORCH ini mengindikasikan bahwa penyebab IUFD karena adanya infeksi virus
yang sudah lama ada. Oleh sebab itu, anjuran kepada pasien ini adalah untuk
datang ke dokter meminta obat antibiotik yang dapat mengobati masalah infeksi
TORCH tersebut.
KESIMPULAN
Pada kasus ini, diagnosis IUFD ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang
Penyebab IUFD dapat dari faktor maternal, bayi dan juga faktor plasenta
Penanganan IUFD yaitu dengan cara operasi seksio sesaria
SARAN
Pemeriksaan faktor rhesus dan golongan darah perlu dilakukan untuk
mencari faktor penyebab terjadinya IUFD lain pada kasus ini
Perlu juga dilakukan pemeriksaan autopsi pada bayi yang meninggal
karena IUFD, namun hal ini membutuhkan biaya yang mahal
Edukasi kepada pasien untuk mendapatkan terapi infeksi TORCH dan juga
memberi dukungan agar siap untuk kehamilan berikutnya
39
DAFTAR PUSTAKA
1. Cuningham FG, Gant NF, Leveno KJ, Gilstrap III LC, Hauth
JC,Wenstrom KD. Williams Obstetrics 23rd Ed. New York : McGraw-Hill
2001
2. Edlow et al. Intrauterine fetal demise and maternal morbidity. J ACOG
2011;117:307-16.
3. Wiknjosarto,H. 2002. IlmuKebidanan. Jakarta:YayasanBinaPustaka
4. J Bar et al. The placental vascular component in early and late
interauterine fetal death. Thrombosis Research 2012;130:901-905.
5. Geels YP, de Gouberville MC, Visser L, van Asten HA. Comparing
vaginal and sublingual administration of misoprostol for labour induction
in women with intra-uterine fetal death. Tropical doctor 2010;40:77-80.
6. Silingardi E, Santunione AL, Rivasi F, Gasser B, Zago S, Garagnani L.
Unexpected intrauterine fetal death in parvovirus B19 fetal. Am J forensic
med pathol 2010;30:394-397.
7. Sen MR, Shukla BN, Banerjee T. Prevalence of serum antibodies to
TORCH infection in and around Varanasi, northern india. J clin and diag
res 2011;6:1483-85
8. Subramanya S, Patham B, Kupesic SP. Recognizing TORCH group of
infections on fetal sonography. Donald school J of ultrasound in obs and
gyn 2009;3(4):47-50
40
9. Gravensteen IK, Helgadottir LB, Jacobsen EM. Long-term impact of
intrauterine fetal death on quality of life and depression: a case-control.
BMC pregnancy and childbirth 2012;12:43
10. Pilliod RA, Cheng YW, Snowden JM, et al. The risk of intrauterine fetal
death in the small-for-gestational-age fetus. Am J Obstet
Gynecol.2012;207:318.e1-6.
11. Atsumi H et al. The role of care-seeking delays in intrauterine fetal deaths
among “near miss’ woman.Paediatric and Perinatal Epidemiology, 2012,
26, 388–397
12. Salihu HM, Ibrahimou B, Dagne GA. Intra-uterine exposure to dual fetal
programming sequences among surviving co-twins.The Journal of
Maternal-Fetal and Neonatal Medicine, 2011; 24(1): 96–103
13. L.B. Helgadottir et al. The association of antiphospholipid antibodies with
intrauterine fetal death: a case–control study. Thrombosis
Research;130(2012):32–37
14. Anami et al.Antenatally diagnosed congenital orbital teratoma inwhich
rupture was associated with intrauterinefetal death. J. Obstet. Gynaecol.
Res. Vol. 38, No. 3: 578–581, March 2012
15. Enders et al. Risk of fetal hydrops and non-hydropic late intrauterine fetal
death after gestational parvovirus B19 infection. Journal of Clinical
Virology 2010;49:163–168
16. Grimes DA. Estimation of pregnancy-related mortality risk by pregnancy
outcome, United States, 1991 to 1999. Am J Obstet Gynecol
2006;194:924.
17. Ezechi OC, Kalu Bke, Ndububa VI, Nwokoro CA. Induction of Labour by
Vaginal Misoprostol for Intrauterine Fetal Death. J Obstet Gynecol Ind
2004;54(6):561-3
41
42