bab i-vdgsd

62
BAB I PENDAHULUAN IUFD (Intra Uterine Fetal Death) merupakan kematian janin yang terjadi tanpa sebab yang jelas yang mengakibatkan kehamilan tidak sempurna (uncomplicated pregnancy). Kematian janin terjadi kira-kira pada 1% kehamilan dan dianggap sebagai kematian janin jika terjadi pada janin yang telah berusia 20 minggu atau lebih. Bila terjadi pada usia di bawah usia 20 minggu disebut abortus. 1 Pada dasarnya untuk membedakan IUFD dengan aborsi spontan, WHO dan American College of Obstetricians and Gynaecologists (ACOG) telah merekomendasikan bahwa statistik untuk IUFD termasuk didalamnya hanya kematian janin intra uterine dimana berat janin 500 gr atau lebih dengan usia kehamilan 20 minggu atau lebih. 2 Tapi tidak semua negara menggunakan pengertian ini. Masing- masing negara berhak menetapkan batasan dari pengertian IUFD. 3 Menurut United States National Center for Health Statistic, IUFD dibagi menjadi Early Fetal Death (kematian janin yang terjadi pada usia kehamilan kurang dari 20 minggu), Intermediate Fetal Death (kematian janin yang berlangsung antara usia kehamilan 20-28 minggu) dan 1

Upload: acid1502

Post on 03-Feb-2016

239 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

sdgdsgds

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I-Vdgsd

BAB I

PENDAHULUAN

IUFD (Intra Uterine Fetal Death) merupakan kematian janin yang terjadi

tanpa sebab yang jelas yang mengakibatkan kehamilan tidak sempurna

(uncomplicated pregnancy). Kematian janin terjadi kira-kira pada 1% kehamilan

dan dianggap sebagai kematian janin jika terjadi pada janin yang telah berusia 20

minggu atau lebih. Bila terjadi pada usia di bawah usia 20 minggu disebut

abortus.1

Pada dasarnya untuk membedakan IUFD dengan aborsi spontan, WHO

dan American College of Obstetricians and Gynaecologists (ACOG) telah

merekomendasikan bahwa statistik untuk IUFD termasuk didalamnya hanya

kematian janin intra uterine dimana berat janin 500 gr atau lebih dengan usia

kehamilan 20 minggu atau lebih.2 Tapi tidak semua negara menggunakan

pengertian ini. Masing-masing negara berhak menetapkan batasan dari pengertian

IUFD.3

Menurut United States National Center for Health Statistic, IUFD dibagi

menjadi Early Fetal Death (kematian janin yang terjadi pada usia kehamilan

kurang dari 20 minggu), Intermediate Fetal Death (kematian janin yang

berlangsung antara usia kehamilan 20-28 minggu) dan Late Fetal Death

(kematian janin yang berlangsung pada usia lebih dari 28 minggu).

Setiap tahun diperkirakan terjadi 7,6 juta kematian perinatal di seluruh

dunia di mana 57% diantaranya merupakan kematian fetal. Sekitar 98% dari

kematian perinatal ini terjadi di negara yang berkembang.1,2 Kematian janin dapat

terjadi antepartum atau intrapartum dan merupakan komplikasi yang paling

berbahaya dalam kehamilan. Insiden kematian janin ini bervariasi di antara

negara. Hingga saat ini, IUFD masih menjadi masalah utama dalam praktek

obstretrik.3,4,5

1

Page 2: BAB I-Vdgsd

Angka kematian janin termasuk dalam angka kematian perinatal yang

digunakan sebagai ukuran dalam menilai kualitas pengawasan antenatal. Angka

kematian perinatal di Indonesia tidak diketahui dengan pasti karena belum ada

survei yang menyeluruh. Angka yang ada ialah angka kematian perinatal dari

rumah sakit besar yang pada umumnya merupakan referral hospital, sehingga

belum dapat menggambarkan angka kematian perinatal secara keseluruhan.

Penyebab kematian janin bersifat multifaktorial baik dari faktor fetal,

maternal, plasenta maupun iatrogenik dengan 25-35% kasus tidak diketahui

penyebabnya. Untuk dapat menentukan penyebab pastinya harus dilakukan

pemeriksaan autopsi.

Pemeriksaan kehamilan (antenatal care) sangat berperan penting dalam

upaya pencegahan kematian janin dan secara tidak langsung dapat menurunkan

angka kematian janin. Penatalaksanaan kematian janin intra uterin ialah

melakukan terminasi kehamilan yang dapat dilakukan melalui penanganan

ekspektatif dan penanganan aktif. Ada beberapa metode terminasi kehamilan pada

kematian janin intra uterin, yaitu dengan induksi persalinan per vaginam dan

persalinan per abdominam (sectio caesaria).

2

Page 3: BAB I-Vdgsd

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi

IUFD (Intra Uterine Fetal Death) merupakan kematian janin yang terjadi

tanpa sebab yang jelas yang mengakibatkan kehamilan tidak sempurna

(uncomplicated pregnancy). WHO dan American College of Obstetricians and

Gynaecologists (ACOG) telah merekomendasikan bahwa statistik untuk IUFD

termasuk didalamnya hanya kematian janin intra uterine dimana berat janin 500 gr

atau lebih dengan usia kehamilan 20 minggu atau lebih.

2. Epidemiologi

Setiap tahun diperkirakan terjadi 7,6 juta kematian perinatal di seluruh

dunia di mana 57% diantaranya merupakan kematian fetal. Sekitar 98% dari

kematian perinatal ini terjadi di negara yang berkembang.1,2

Di Negara berkembang, angka lahir mati ini telah menurun dari 15-16 per

1000 kelahiran total pada tahun 1960-an menjadi 7-8 per 1000 kelahiran pada

tahun 19903. Dari data the National Vital Statistics Report tahun 2005

menunjukkan bahwa rata-rata jumlah kematian janin dalam kandungan terjadi

sekitar 6.2 per 1000 kelahiran6.

3. Etiologi

Penyebab dari kematian janin intra uteri yang tidak dapat diketahui secara

pasti. Sekitar 25-60%, insiden meningkat seiring dengan peningkatan usia

kehamilan. Pada beberapa kasus penyebabnya dapat dibedakan berdasarkan

penyebab dari faktor janin, maternal dan patologi dari plasenta.1

3

Page 4: BAB I-Vdgsd

a. Faktor Ibu

1) Ketidakcocokan Rh darah Ibu dengan janin

Akan timbul masalah bila ibu memiliki Rh negatif, sementara ayah

Rh positif, sehingga janin akan mengikuti yang lebih dominan yaitu Rh

positif, yang berakibat antara ibu dan janin akan mengalami

ketidakcocokan rhesus. Ketidakcocokan ini akan mempengaruhi kondisi

janin tersebut. Misalnya dapat terjadi kondisi hidrops fetalis, yaitu suatu

reaksi imunologis yang menimbulkan gambaran klinis pada janin antara

lain berupa pembengkakan pada perut akibat terbentuknya cairan yang

berlebihan pada rongga perut (asites), pembengkakan kulit janin dan

penumpukan cairan di rongga dada atau rongga jantung. Akibat dari

penimbunan cairan-cairan yang berlebihan tersebut, tubuh janin akan

membengkak. Jika kondisi demikian terjadi dapat menyebabkan kematian

janin.1,3 IUFD akibat ketidakcocokan Rh darah ibu dan janin terjadi sekitar

2,7%3.

2) Ketidakcocokan golongan darah Ibu dengan janin

Yang sering terjadi adalah antara golongan darah anak A atau B

dengan ibu bergolongan darah O atau sebaliknya. Hal ini disebabkan

karena pada saat masih dalam kandungan, darah janin tidak cocok dengan

darah ibunya, sehingga ibu akan membentuk zat antibodi.1,3 IUFD akibat

ketidakcocokan golongan darah ibu dengan janin terjadi sekitar 3%.3

3) Berbagai penyakit pada ibu hamil

Penyakit-penyakit yang terjadi pada ibu hamil sehingga

mengakibatkan kematian janin dapat disebabkan oleh 2 faktor, yaitu :

1. Kelainan Metabolik

Diabetes Gestasional

Kadar glukosa yang tinggi pada ibu dapat menyebabkan

terjadinya IUFD sekitar 16,2%.17 Hiperinsulinemia yang terjadi

pada janin akan meningkatkan kecepatan metabolisme dan

4

Page 5: BAB I-Vdgsd

keperluan oksigen untuk menghadapi keadaan seperti

hiperglikemia dan ketoasidosis.1,16

2. Kelainan Vaskular

a. Hipertensi Gestasional

Hipertensi dapat menyebabkan suplai O2 pada janin berkurang

yang disebabkan oleh berkurangnya suplai darah dari ibu ke

plasenta yang disebabkan oleh spasme dan kadang-kadang

trombosis dari pembuluh darah ibu.1,3 IUFD akibat hipertensi

gestasional terjadi sekitar 21,6%.17

b. Preeklampsia

Preeklampsia merupakan komplikasi kehamilan yang ditandai

dengan peningkatan tekanan darah disertai proteinuria pada

wanita hamil yang sebelumnya tidak mengalami hipertensi.1.2

Komplikasi pada ibu berupa sindroma HELLP (Hemolysis,

Elevated Liver Enzyme, Low Platelet), edema paru, gangguan

ginjal, perdarahan, solusio plasenta bahkan kematian ibu.

Komplikasi pada bayi dapat berupa kelahiran premature, gawat

janin, berat badan lahir rendah atau intra uterine fetal death

(IUFD).2 IUFD akibat hipertensi pada kasus preeklampsia terjadi

sekitar 10,6%.17

4) Trauma saat hamil

Trauma bisa mengakibatkan terjadinya solusio plasenta. Trauma

terjadi misalnya karena benturan pada perut, baik karena kecelakaan atau

pemukulan. Trauma bisa saja mengenai pembuluh darah di plasenta,

sehingga menyebabkan solusio plasenta dan atau ablasio plasenta yang

pada akhirnya aliran darah ke janin pun terhambat sehingga dapat

menyebabkan kematian janin.1,2,3 IUFD akibat trauma saat hamil

dilaporkan terjadi sekitar 8%.2,3

5) Infeksi pada ibu hamil

5

Page 6: BAB I-Vdgsd

a. Toxoplasma

Infeksi toxoplasma pada kehamilan dapat menyebabkan abortus

spontan (4%), kematian janin dalam kandungan (3%), janin hidup dengan

kelainan tertentu (7%), toksoplasmosis bawaan (5%).8 Secara keseluruhan,

kurang dari ¼ bayi yang mengalami toksoplasmosis kongenital

menampakkan gejala klinis pada saat lahir. Sebagian besar baru akan

memperlihatkan gejala kemudian hari. Toksoplasma menyerang otak janin

dan dapat menyebabkan berat badan janin rendah, hepatosplenomegali,

ikterus dan anemia. Gejala defisit neurologis seperti kejang-kejang,

kalsifikasi intrakranial, retardasi mental dan hidrosefalus atau

mikrosefalus. Pada kedua kelompok biasanya terjadi korioretinitis.7,8

b. Rubella

Rubella telah dibuktikan dapat menyebabkan abortus (2%),

kematian janin dalam kandungan (3%), dan kelainan kongenital yang

berat.8 Infeksi rubella pada janin dapat menghambat pertumbuhan intra

uterin, kelainan hematologi, hepatosplenomegali, ikterus, dan kelainan

kromosom sehingga dapat mengganggu pertumbuhan janin dalam

kandungan yang berdampak pada kematian janin7,8.

c. Cytomegalovirus

Cytomegalovirus merupakan penyebab tersering infeksi perinatal,

dengan insidens mencapai 0,5-2% neonatus. Infeksi cytomegalovirus pada

janin dapat menghambat pertumbuhan intrauterin, kelainan hematologi,

hepatosplenomegali, hidrosefalus, mikrosefalus, ikterus, dan hidrofetalus

sehingga mengganggu pertumbuhan janin dalam kandungan yang

berdampak pada kematian janin

d. Herpes Simplex Virus

Fetus seringkali terinfeksi oleh virus ini melalui serviks atau jalan

lahir. Virus kemudian dapat menginvasi uterus apabila terjadi ketuban

pecah. Hampir separuh dari neonatus yang terinfeksi adalah preterm dan

resiko infeksi mereka tersebut berhubungan dengan jenis infeksi maternal

primer atau rekuren. Dari 50% infeksi neonatal pada infeksi maternal

6

Page 7: BAB I-Vdgsd

primer namun hanya 4-5% yang terjadi pada infeksi rekurens.5,7Dari suatu

penelitian dilaporkan bahwa tidak ada dari 34 neonatus yang terpajan

terhadap virus rekurens pada saat persalinan yang terinfeksi. Hal ini

diduga terjadi karna inocuum virus yang lebih kecil dan terdapat antibodi

yang ditransfer lewat plasenta yang menurunkan insidens dan beratnya

penyakit pada neonatal. Infeksi yang terlokalisir biasanya memiliki luaran

yang baik.7

e. Malaria

Malaria juga terkenal dapat memicu IUFD. Kematian janin intra

uteri dapat terjadi akibat hiperpireksi, anemi berat, penimbunan parasit di

dalam plasenta yang menyebabkan gangguan sirkulasi ataupun akibat

infeksi trans-plasental. Kematian janin intra uteri akibat malaria dilaporkan

terjadi sebanyak 4%.5,17

f. TBC

Tuberkolusis paru adalah suatu penyakit menular yang disebabkan

oleh basil Mycobacterium tuberculosis. Indonesia merupakan negara

ketiga di dunia dalam urutan jumlah penderita TBC setelah India (30%)

dan China (15%) dengan presentase sebanyak 10% dari total penderita

TBC di dunia. Patogenesis infeksi tuberkulosis pada wanita hamil sama

dengan pada wanita tidak hamil.17 Namun, gejala tuberkulosis pada ibu

hamil dapat timbul tiba-tiba karena gejala malaise dan kelelahan yang

terjadi lebih dianggap gejala akibat kehamilan daripada penyakit. Selain

itu, selama kehamilan menjadi sulit untuk mengenali penurunan berat

badan. Keterlambatan diagnosis merupakan faktor independen yang dapat

meningkatkan morbiditas obstetri sekitar empat kali lipat, sementara risiko

persalinan prematur mungkin meningkat sembilan kali lipat.18

6) Prolonged Pregnancy (kehamilan diatas 42 minggu)

Kehamilan lebih dari 42 minggu dapat menyebabkan kematian

janin sekitar 5%.2,3 Jika kehamilan telah lewat waktu, plasenta akan

mengalami penuaan sehingga fungsinya akan berkurang. Janin akan

7

Page 8: BAB I-Vdgsd

kekurangan asupan nutrisi dan oksigen. Cairan ketuban bisa berubah

menjadi sangat kental dan hijau. Akibatnya cairan dapat terhisap masuk ke

dalam paru-paru janin. Hal ini bisa dievaluasi melalui USG dengan color

Doppler sehingga bisa dilihat arus arteri umbilikalis jantung ke janin. Jika

demikian kehamilan harus segera dihentikan dengan cara induksi. Itulah

perlunya taksiran kehamilan pada awal dan akhir kehamilan.1

7) Hamil pada usia lanjut

Peningkatan usia maternal juga akan meningkatkan risiko IUFD.1

Wanita di atas usia 35 tahun memiliki risiko 40-50% lebih tinggi akan

terjadinya IUFD dibandingkan dengan wanita pada usia 20-29 tahun.11

Risiko terkait usia ini cenderung lebih berat pada pasien primipara

dibanding multipara. Alasan yang mungkin dapat menjelaskan sebagian

risiko terkait usia ini adalah insiden yang lebih tinggi akan terjadinya

kehamilan multiple, diabetes gestasional, hipertensi, dan malformasi fetal

pada wanita yang lebih tua.

8) Kematian Ibu

Jika terjadi kematian ibu, sudah jelas janin juga akan mengalami

kematian dikarenakan fungsi tubuh yang seharusnya menopang

pertumbuhan janin tidak lagi ada.1,3 Insidensi terjadinya IUFD karena

kematian ibu adalah 50%.

9) Ruptur uteri

Ruptur uteri pada kehamilan merupakan komplikasi yang jarang

tetapi memiliki insiden yang tinggi terhadap morbiditas janin dan ibu.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada tahun 1976 sampai 2012

dilaporkan bahwa dari 2.951.297 wanita hamil, 2.084 terjadi ruptur uteri.

Luka rahim dari operasi caesar sebelumnya merupakan faktor risiko yang

paling umum. Selain itu, persalinan disfungsional, augmentasi persalinan

8

Page 9: BAB I-Vdgsd

dengan oksitosin atau prostaglandin, turut menjadi faktor resiko pecahnya

rahim.

b. Faktor Janin

1) Gerakan Sangat Berlebihan

Gerakan bayi dalam rahim yang sangat berlebihan, terutama jika

terjadi gerakan satu arah saja dapat membahayakan kondisi janin. Hal ini

dikarenakan gerakan yang berlebihan ini akan menyebabkan tali pusar

terpelintir. Jika tali pusar terpelintir, maka pembuluh darah yang

mengalirkan darah dari ibu ke janin akan tersumbat sehingga dapat

menyebabkan iskemik, hipoksia dan kematian janin dalam kandungan.

Kejadian ini berkisar antara 10,8%.17 Gerakan janin yang sangat aktif

menandakan bahwa kebutuhan janin tidak terpenuhi.1,2,3

2) Kelainan kromosom

Kelainan kromosom meningkatkan risiko terjadinya IUFD.

Kuleshov dkk melaporkan bahwa sekitar 14% IUFD terjadi akibat

kelainan kariotipe.16 Kematian janin akibat kelainan genetik biasanya baru

terdeteksi pada saat kematian sudah terjadi, yaitu dari hasil otopsi janin.

Hal ini disebabkan karena pemeriksaan kromosom saat janin masih dalam

kandungan beresiko tinggi dan memakan biaya banyak.1,2,3

3) Malformasi janin

Pada janin yang mengalami malformasi, berarti pembentukan organ

janin tidak berlangsung dengan sempurna. Karena ketidaksempurnaan

inilah suplai yang dibutuhkan janin tidak terpenuhi, sehingga

kesejahteraan janin menjadi buruk dan bahkan akan menyebabkan

kematian pada janin.1,3 Kematian janin akibat malformasi janin terjadi

sekitar 1,3%.7,17

9

Page 10: BAB I-Vdgsd

4) Kehamilan multiple

Pada kehamilan multiple ini resiko kematian maternal maupun

perinatal meningkat. Berat badan janin lebih rendah dibanding janin pada

kehamilan tunggal pada usia kehamilan yang sama (bahkan perbedaannya

bisa sampai 1000-1500gr ). Hal ini bisa disebabkan regangan uterus yang

berlebihan sehingga sirkulasi plasenta juga tidak lancar. Jika

ketidaklancaran ini berlangsung hingga keadaan yang parah, suplai janin

tidak terpenuhi dan pada akhirnya akan menyebabkan kematian janin

sekitar 18%.1,3,10

5) Intra Uterine Growth Restriction

Janin IUFD rata-rata memiliki berat badan yang kurang dibanding

janin normal pada tingkat usia gestasional yang sama. Hal ini disebabkan

karena proses restriksi pertumbuhan yang mungkin berbagi penyebab yang

sama dengan insufisiensi plasenta.1,10 IUGR adalah penyebab penting

IUFD. IUGR diketahui berhubungan dengan kehamilan multipel,

malformasi kongenital, kelainan kromosom fetal dan preeklampsia. Dalam

studi Gardosi dkk, dilaporkan bahwa 41% kasus IUFD adalah janin yang

kecil untuk usia gestasional dan kelompok ini juga sangat berisiko memicu

terjadinya persalinan prematur.1,10

6) Infeksi (parvovirus B19, CMV, listeria)

Infeksi ini terjadi dikarenakan oleh virus, dan jika virus ini telah

menyerang maka akan menyebabkan janin mengalami gangguan seperti,

pembesaran hati, kuning, pengapuran otak, ketulian, retardasi mental, dan

lain-lain. Dan gangguan ini akan membuat kesejahteraan janin memburuk

dan jika dibiarkan terus-menerus janin akan mati.1,6 Dilaporkan bahwa

kematian janin akibat infeksi terjadi sekitar 6-15% dari seluruh kasus

IUFD5,6,7

10

Page 11: BAB I-Vdgsd

c. Faktor Plasenta1,6

Sejumlah kelainan plasenta berhubungan dengan IUFD misalnya inflamasi

membran, kompresi tali pusat, lesi akibat insufisiensi vaskular uteroplasental yang

tampak sebagai infark, dan solusio plasenta yang dilaporkan sebanyak 12 %

menyebabkan IUFD.1,17 Kompresi tali pusat juga dilaporkan memicu IUFD secara

langsung. Kompresi tali pusat dapat menghambat aliran darah dan oksigen ke

janin, sehingga dapat menyebabkan iskemik, hipoksia dan kematian. Secara

keseluruhan faktor plasenta dapat menyebabkan kematian janin sebanyak 25-

30%.9,10

4. Klasifikasi

Menurut United States National Center for Health Statistic Kematian janin

dapat dibagi menjadi 4 golongan, yaitu: 3,8

1. Golongan I : kematian sebelum massa kehamilan mencapai 20 minggu penuh

(early fetal death)

2. Golongan II : kematian sesudah ibu hamil 20-28 minggu (intermediate fetal

death)

3. Golongan III : kematian sesudah masa kehamilan >28 minggu (late fetal

death)

4. Golongan IV : kematian yang tidak dapat digolongkan pada ketiga golongan

di atas.

Janin yang meninggal intra uterin biasanya lahir dalam kondisi maserasi.

Kulitnya mengelupas dan terdapat bintik-bintik merah kecoklatan oleh karena

absorbsi pigmen darah. Seluruh tubuhnya lemah atau lunak dan tidak bertekstur.

Tulang kranialnya sudah longgar dan dapat digerakkan dengan sangat mudah satu

dengan yang lainnya. Cairan amnion dan cairan yang ada dalam rongga

mengandung pigmen darah. Maserasi dapat terjadi cepat dan meningkat dalam

waktu 24 jam dari kematian janin.1,3 Dengan kata lain, patologi yang terjadi pada

IUFD dapat terjadi perubahan-perubahan sebagai berikut:1

1. Rigor mortis (tegang mati)

11

Page 12: BAB I-Vdgsd

Berlangsung 2,5 jam setelah mati, kemudian lemas kembali.

2. Maserasi grade 0 (durasi < 8 jam) : kulit kemerahan setengah matang

3. Maserasi grade I (durasi > 8 jam) : Timbul lepuh-lepuh pada kulit, mula-

mula terisi cairan jernih tapi kemudian menjadi merah dan mulai mengelupas.

4. Maserasi grade II (durasi 2-7 hari) : kulit mengelupas luas, efusi cairan

serosa di rongga toraks dan abdomen. Lepuh-lepuh pecah dan mewarnai air

ketuban menjadi merah coklat.

5. Maserasi grade III (durasi >8 hari) : Hepar kuning kecoklatan, efusi cairan

keruh, mungkin terjadi mumifikasi. Badan janin sangat lemas, hubungan

antara tulang-tulang sangat longgar dan terdapat oedem dibawah kulit.

5. Diagnosis

Diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan

pemeriksaan penunjang.

Anamnesis:

Pasien mengaku tidak lagi merasakan gerakan janinnya.

Perut tidak bertambah besar, bahkan mungkin mengecil (kehamilan tidak

seperti biasanya)

Perut sering menjadi keras dan merasakan sakit seperti ingin melahirkan

Penurunan berat badan

Pemeriksaan fisik:

12

Page 13: BAB I-Vdgsd

Inspeksi: Tinggi fundus uteri berkurang atau lebih rendah dari usia

kehamilannya. Tidak terlihat gerakan-gerakan janin yang biasanya dapat

terlihat pada ibu yang kurus.

Palpasi: Tonus uterus menurun, uterus teraba flaksid. Tidak teraba gerakan-

gerakan janin.

Auskultasi: Tidak terdengarnya denyut jantung janin setelah usia kehamilan

10-12 minggu pada pemeriksaan ultrasonic Doppler merupakan bukti kematian

janin yang kuat.

Pemeriksaan penunjang:

Pada foto polos radiologik dapat dilihat adanya:

Tulang-tulang tengkorak tutup menutupi (tanda Spalding) yaitu tumpang

tindih (overlapping) secara ireguler tulang tengkorak, yang terjadi akibat

likuefaksi massa otak dan melemahnya struktur ligamentosa yang membentuk

tengkorak. Biasanya tanda ini muncul 7 hari setelah kematian. Namun ciri-ciri

yang sama dapat ditemukan pada kehamilan ekstrauterin dengan janin hidup.

Tulang punggung janin sangat melengkung (tanda Naujokes)

Hiperekstensi kepala tulang leher janin (tanda Gerhard)

Ada gelembung-gelembung gas pada badan janin (tanda Robert)

Femur length yang tidak sesuai dengan usia kehamilan. Digunakan untuk

menentukan usia kehamilan dan adanya kelainan dari system skelet.

13

Page 14: BAB I-Vdgsd

Bila janin yang meninggal tertahan selama 5 minggu atau lebih kemungkinan

hypofibrinogenemia 25%.

Untuk diagnosis pasti penyebab kematian sebaiknya dilakukan otopsi janin,

pemeriksaan plasenta serta selaput. Diperlukan evaluasi secara komprehensif

untuk mencari penyebab kematian janin termasuk hal-hal yang berhubungan

dengan penyakit maternal, yaitu perlunya diperiksa kadar TSH, HbA1c dan

TORCH, sehingga dapat mengantisipasi pada kehamilan selanjutnya.7

14

Page 15: BAB I-Vdgsd

Protokol Pemeriksaan pada janin dengan IUFD menurut Cunningham dan

Hollier (1997):1

1. Deskripsi bayi

malformasi

bercak/ noda

warna kulit – pucat, pletorik

derajat maserasi

2. Tali pusat

prolaps

pembengkakan - leher, lengan, kaki

15

Page 16: BAB I-Vdgsd

hematoma atau striktur

jumlah pembuluh darah

panjang tali pusat

3. Cairan Amnion

warna – mekoneum, darah

konsistensi

volume

4. Plasenta

berat plasenta

bekuan darah dan perlengketan

malformasi struktur – sirkumvalata, lobus aksesorius

edema – perubahan hidropik

5. Membran amnion

bercak/noda

ketebalan

Diagnosis dan diagnosis banding IUFD

Gejala dan Tanda yang Selalu Ada

Gejala dan Tanda yang Kadang- Kadang Ada

Kemungkinan Diagnosis

Gerakan janin berkurang atau hilang, nyeri perut hilang timbul atau menetap, perdarahan pervaginam sesudah hamil 22 minggu

Syok, uterus tegang/kaku, gawat janin atau DJJ tidak terdengar

Solusio Plasenta

Gerakan janin dan DJJ tidak ada, perdarahan, nyeri perut hebat

Syok, perut kembung/ cairan bebas intra abdominal, kontur uterus abnormal, abdomen nyeri, bagian-bagian janin teraba, denyut nadi ibu cepat

Ruptur Uteri

Gerakan janin berkurang atau hilang, DJJ abnormal (<100/mnt/>180/mnt)

Cairan ketuban bercampur mekonium

Gawat Janin

16

Page 17: BAB I-Vdgsd

Gerakan janin/DJJ hilang Tanda-tanda kehamilan berhenti, TFU berkurang, pembesaran uterus berkurang

IUFD

6. Tata laksana

Kelahiran harus segera diinduksi secepatnya setelah diagnosa dapat

ditegakkan.2,3 Pada satu penelitian, penundaan kelahiran lebih dari 24 jam setelah

terdiagnosis dihubungkan dengan peningkatan terjadinya masa anxietas

dibandingkan dengan wanita yang kelahirannya diinduksi dalam waktu 6 jam.3

Ketika janin berada di dalam uterus selama 3-4 minggu, level fibrinogen

bisa turun yang dapat menyebabkan koagulopati. Hal ini sangat jarang terjadi

pada kehamilan tunggal karena penegakan diagnosa dan induksi yang dilakukan

lebih awal. Pada beberapa kasus kehamilan kembar, tergantung dari tipe

plasentasi, induksi setelah kematian kedua janin mungkin dapat menghambat

perkembangan janin menjadi matur. Pada kasus ini beberapa spesialis anak tidak

merekomendasikan untuk memeriksakan koagulasi darah. Secara umum, resiko

berkembangnya disseminated intravascular coagulopathy sangat jarang.1

Kematian janin awal dapat ditangani dengan pemberian laminaria diikuti

oleh dilatasi dan ekstraksi. Pada wanita dengan kematian janin sebelum usia

kehamilan kurang dari 28 minggu, induksi dapat dilakukan dengan menggunakan

prostaglandin E2 vaginal suppositoria (10-20 mg tiap 4-6 jam), misoprostol

pervaginal atau per oral (400 mcg tiap 4-6 jam), dan/atau oxytocin (terutama bagi

wanita dengan sectio caessaria).1,5 Pada wanita dengan kematian janin pada usia

kehamilan setelah 28 minggu, harus menggunakan dosis yang lebih rendah. The

American College of Obstetricians and Gynaecologists mengatakan bahwa untuk

induksi kelahiran prostaglandin E2 dan misoprostol hendaknya tidak digunakan

pada wanita denga riwayat sectio caessaria karena resiko terjadinya ruptur uteri.5

Penanganan rasa nyeri pada pasien dengan induksi kelahiran untuk kasus

kematian janin lebih mudah ditangani dibandingkan dengan pasien dengan janin

yang masih hidup. Narkotik dengan dosis yang lebih tinggi bermanfaat untuk

pasien, dan pemberian morfin biasanya cukup efektif untuk pengendalian rasa

nyeri.

17

Page 18: BAB I-Vdgsd

Berikut tahapan-tahapan penanganan pada ibu yang didiagnosa mengalami

IUFD1,3:

1. Jika kematian janin intra uterine telah jelas ditemukan, pasien harus

diberitahukan secara berhati-hati dan dihibur. Pertimbangkan untuk menunda

prosedur evakuasi janin untuk membiarkan pasien menyesuaikan secara

psikologis terhadap kematian janin tersebut. Penundaan tersebut juga

mempunyai keuntungan tambahan dengan memberikan kesempatan pada

serviks untuk lebih siap. Jika persalinan tidak terjadi segera setelah kematian

janin, terutama pada kehamilan lanjut, koagulopati maternal dapat terjadi,

walaupun keadaan ini jarang terjadi 4-6 minggu setelah kematian janin.

Setelah 3 minggu, lakukan pemeriksaan koagulasi yang termasuk hitung

trombosit, kadar fibrinogen, waktu protrombin, partial tromboplastin time

(PTT), dan analisis produk degradasi fibrinogen serta lakukan secara serial.

Berikan immunoglobulin rhesus pada semua gravida rhesus negatif kecuali

ayah janin diketahui pasti dengan rhesus negatif. Berikan dosis kecil (30μg)

pada trimester I dan dosis penuh pada kehamilan akhir.

2. Penggunaan USG pada kehamilan dini telah menunjukkan bahwa kematian

janin terjadi pada gestasi kembar lebih sering daripada yang diperkirakan

sebelumnya. Keadaan ini biasanya asimtomatik, walaupun mungkin terjadi

bercak pada vagina. Tidak diperlukan intervensi, dan dapat diharapkan

terjadinya resorpsi pada janin yang mati. Hipofibrinogenemia maternal adalah

komplikasi yang jarang dan harus diamati pada kasus tersebut. Koagulopati

konsumtif juga dapat timbul pada janin yang hidup. Keadaan ini mengarahkan

pada perlunya persalinan segera jika kematian salah satu janin terjadi pada

kehamilan yang lanjut dan maturitas janin yang lainnya telah diyakini dengan

pemeriksaan unsur-unsur pulmonal dalam cairan amnion.

3. Prostaglandin E2 dalam bentuk supositoria vagina (20 mg tiap tiga sampai

lima jam) adalah efektif untuk evakuasi janin yang telah mati pada

midtrimester.1,3 Walaupun insidensi keberhasilannya tinggi, terjadinya retensi

plasenta memerlukan kuretase. Dokter dapat menggunakan dosis 15-

methylprostaglandin F2 intramuskuler (250 μg pada interval satu dan satu

18

Page 19: BAB I-Vdgsd

sampai satu setengah dan setengah jam jika selaput amnion telah pecah.

Sesuaikan jadwal dosis untuk menghindari stimulasi yang berlebihan. Adanya

kegagalan mengarahkan pada anomali rahim. Persiapkan aminophylline dan

terbuTaline untuk menghindari bronkospasme jika prostaglandin diberikan

pada pasien asmatik. Penggunaan oksitosin secara bersamaan harus dihindari

karena resiko rupture uterin.1

4. Jika janin telah mati dalam waktu yang cukup lama, ukuran rahim menurun

cukup banyak untuk memungkinkan evakuasi dengan penyedotan dapat

dilakukan dengan aman. Pemeriksaan keadaan koagulasi, seperti yang telah

disebutkan, harus dilakukan.1 Jika keadaan tersebut ditemukan, atasilah

koagulopati dan lanjutkan dengan evakuasi. Kira-kira 80% akan memasuki

persalinan dalam dua atau tiga minggu. Jika timbul koagulopati, heparin dapat

dipakai untuk memperbaikinya sebelum melakukan evakuasi rahim, tetapi

penggunaan heparin pada keadaan tersebut tidak sepenuhnya bebas dari

bahaya. Histerotomi hampir tidak pernah diindikasikan kecuali terdapat

persalinan dengan seksio secaria sebelumnya atau operasi miomektomi.

Evakuasi instrumental transervikal dan kehamilan trimester ketiga yang telah

lanjut memerlukan keahlian dan pengalaman khusus untuk menghindari

perforasi dan perdarahan. Laminaria mungkin berguna dalam kasus tersebut.

5. Semua gravida dengan rhesus negatif harus diberikan immunoglobulin rhesus.

Jika diperkirakan terdapat interval lebih dari 72 jam antara kematian janin dan

persalinan, berikan dosis immunoglobulin yang sesuai dengan segera.

Penjelasan pasca persalinan adalah bagian yang penting dalam perawatan total

pasien. Tiap usaha harus dilakukan untuk mendapatkan ijin otopsi janin,

karyotiping dan pemeriksaan lain yang dindikasikan.1,3

19

Page 20: BAB I-Vdgsd

Tentukan usia kehamilan dan cari adanya kehamilan ganda

Ditemukan janin tunggal Ditemukan kehamilan ganda dengan satu janin masih hidup

Pertimbangkan untuk menunda intervensi dengan alasan psikologis untuk memberikan waktu pada gravida melakukan penyesuaian diri dan membiarkan cervix matang.

Amati absorpsi janin yang telah mati.Amati koagulopati maternal dengan pemeriksaan koagulasi serial.

Harapkan terjadi persalinan spontan dalam 2-3 minggu pada sebagian besar pasien. Amati koagulopati maternal dengan pemerksaan koagulasi serial

Jika terjadi koagulopati, pertimbangkan pengobatan dengan heparin untuk memperbaiki gangguan koagulasi dan melakukan intervensi.

Kematian janin dini atau pertengahan kehamilan

Kematian janin pada kehamilan lanjut

Amati persalinan atau berikan regimen prostaglandin intramuskular / intravaginal

EVAKUASI RAHIM SPONTAN ATAU OPERATIF

Tentukan apakah Rhesus negatif dan lakukan desensitisasi.Berikan immunoglobulin rhesus daam dosis yang tepat sesuai dengan usia kehamilan.

20

Page 21: BAB I-Vdgsd

Induksi persalinan :

Induksi persalinan adalah suatu tindakan terhadap ibu hamil yang belum

inpartu, baik secara operatif maupun secara medik untuk merangsang timbulnya

kontraksi rahim sehingga terjadi persalinan.

Indikasi induksi persalinan antara lain:

A. Indikasi janin

1. Kehamilan lewat waktu

2. Ketuban pecah dini

3. Janin mati

B. Indikasi Ibu

1. Kehamilan dengan hipertensi

2. Kehamilan dengan diabetes mellitus

Kontraindikasi induksi persalinan antara lain:

1. Malposisi janin

2. Insufisisensi plasenta

3. Disporposi sefalopelvik

4. Cacat rahim, misalnya pernah megalami seksio sesarea, enukleasi miom.

5. Grande multipara

6. Gemelli

7. Distensi rahim yang berlebihan misalnya pada hidramnion

8. Plasenta previa

Untuk dapat melakukan induksi persalinan perlu dipenuhi beberapa kondisi,

diantaranya :

1. Hendaknya serviks uteri sudah “matang”, yaitu serviks sudah mendatar dan

menipis dan sudah dapat dilalui oleh sedikitnya 1 jari, sumbu serviks

menghadap ke depan.

2. Tidak ada disproporsi sefalopelvik (CPD)

21

Page 22: BAB I-Vdgsd

3. Tidak ada kelainan letak janin yang tidak dapat dibetulkan

4. Sebaiknya kepala janin sudah mulai turun ke dalam rongga panggul.

Untuk menilai keadaan serviks dapat dipakai skor bishop. Jika skor Bishop

kurang atau sama dengan 3 maka angka kegagalan induksi mencapai lebih dari

20% dan berakhir pada seksio sesaria. Bila nilai lebih dari 8 induksi persalinan

kemungkinan akan berhasil. Angka yang tinggi menunjukkan kematangan serviks.

Jika bishop skor kurang dari 6 direkomendasikan menggunakan agen

pematangan servik sebelum induksi persalinan. Pendekatan non farmakologi

dalam pematangan servik dan induksi persalinan meliputi senyawa herbal, minyak

merica, mandi air hangat, enema, hubungan seksual, stimulasi payudara,

akupuntur, akupresur, stimulasi saraf transkutaneus, serta modalitas mekanis dan

bedah. Dari metode-metode non farmakologis ini, hanya metode-metode mekanis

dan bedah yang telah membuktikan manfaat dalam pematangan serviks dan

induksi persalinan meliputi prostaglandin, misoprostol, mifepristone, dan relaxin.

Apabila skor bishop cukup, agen farmakologi yang lebih disukai adalah oksitosin.

Pada janin mati dan tidak mungkin lahir spontan pervaginam dan ibu

dalam keadaan bahaya (maternal distress) seksio sesarea tidak dilakukan, sebagai

gantinya dapat dilakukan embriotomi.

Evaluasi pada bayi lahir mati

Evaluasi pada bayi lahir mati berfungsi untuk:

1. Adaptasi psikologis terhadap kehilangan yang mendalam dapat

dipermudah apabila etiologi spesifiknya dapat diketahui.

2. Dapat meredakan rasa bersalah yang merupakan bagian dari kedukaan.

22

Page 23: BAB I-Vdgsd

3. Diagnosis yang tepat menyebabkan penyuluhan mengenai kekambuhan

akan lebih akurat dan bahkan memungkinkan dilakukanya terapi atau

intervensi untuk mencegah terjadinya hal yang sama pada kehamilan

berikutnya.

4. Memberi informasi identifikasi sindrom-sindrom herediter.

Protokol pemeriksaan bayi lahir mati harus diulas secara sistematik dan

terperinci tentang kejadian-kejadian prenatal, dan bayi, plasenta, serta selaput

ketuban harus diperiksa secara cermat disertai pencatatan temuan,baik yang

positif maupun negative. Dianjurkan tindakan otopsi, baik secara lengkap

(lebi dianjurkan) atua terbatas. Sampel dikirim untuk penelitian sitogenetik

pada kasus malformasi janin, kematian janin berulang, atau hambatan

pertumbuhan2.

METODE-METODE TERMINASI

1. Terminasi harus selalu dilakukan dengan induksi, yaitu :

Infus Oksitosin

Cara ini sering dilakukan dan efektif pada kasus-kasus dimana telah terjadi

pematangan serviks. Pemberian dimulai dengan 5-10 unit oksitosin dalam 500 ml

larutan Dextrose 5% melalui tetesan infus intravena. Dua botol infus dapat

diberikan dalam waktu yang bersamaan. Pada kasus yang induksinya gagal,

pemberian dilakukan dengan dosis oksitosin dinaikkan pada hari berikutnya. Infus

dimulai dengan 20 unit oksitosin dalam 500 ml larutan Dextrose 5% dengan

kecepatan 30 tetes per menit.

Bila tidak terjadi kontraksi setelah botol infus pertama, dosis dinaikkan

menjadi 40 unit. Resiko efek antidiuretik pada dosis oksitosin yang tinggi harus

dipikirkan, oleh karena itu tidak boleh diberikan lebih dari dua botol pada waktu

yang sama.

Pemberian larutan ringer laktat dalam volume yang kecil dapat menurunkan

resiko tersebut. Apabila uterus masih refrakter, langkah yang dapat diulang

setelah pemberian prostaglandin per vaginam. Kemungkinan terdapat kehamilan

23

Page 24: BAB I-Vdgsd

sekunder harus disingkirkan bila upaya berulang tetap gagal menginduksi

persalinan.

Prostaglandin

Pemberian gel prostaglandin (PGE2) per vaginam di daerah forniks posterior

sangat efektif untuk induksi pada keadaan dimana serviks belum matang.

Pemberian dapat diulang setelah 6-8 jam. Langkah induksi ini dapat ditambah

dengan pemberian oksitosin.

2. Operasi Sectio Caesaria (SC)

Pada kasus IUFD jarang dilakukan. Operasi ini hanya dilakukan pada

kasus yang dinilai dengan plasenta praevia, bekas SC ( dua atau lebih) dan

letak lintang.

7. Pencegahan

Antenatal care yang rutin dan berkala.

1. Memberikan nasehat pada waktu ANC mengenai keseimbangan diet

makanan, jangan merokok, tidak meminum minuman beralkohol, obat-

obatan dan hati-hati terhadap infeksi atau bahan-bahan yang berbahaya.

2.Mendeteksi secara dini faktor-faktor predisposisi IUFD dan pemberian

pengobatan.

3. Medeteksi gejala awal IUFD atau tanda fetal distress. Tes-tes

antepartum misalnya USG, tes darah alfa-fetoprotein, dan non-stress test

fetal elektronik dapat digunakan untuk mengevaluasi kegawatan janin

sebelum terjadi kematian dan terminasi kehamilan dapat segera dilakukan

bila terjadi gawat janin.

8. Komplikasi

Komplikasi yang mungkin terjadi pada ibu hamil dengan IUFD dapat terjadi

bila janin yang sudah meninggal tidak segera dilahirkan lebih dari 2 minggu.1,3

Akan tetapi, kasus janin yang meninggal dan tetap berada di rahim ibu lebih dari 2

minggu sangat jarang terjadi. Hal ini dikarenakan biasanya tubuh ibu sendiri akan

24

Page 25: BAB I-Vdgsd

melakukan penolakan bila janin mati, sehingga timbulah proses persalinan.

Adapun komplikasi yang mungkin terjadi adalah sebagai berikut:

Disseminated Intravascular Coagulopathy (DIC) :

Janin yang mati kebocoran tromboplastin dan bahan seperti tromboplastin

yang melintasi plasenta menuju sirkulasi ibu konsumsi factor-faktor

koagulasi termasuk factor V,VIII, protrombin,dan trombosit manifestasi

klinis koagulopati intravascular diseminata (DIC)

2. Ensefalomalasia multikistik:

Hal ini dapat terjadi pada kehamilan kembar, terutama kehamilan

monozigotik dimana memiliki sirkulasi bersama antara janin kembar yang masih

hidup dengan yang salah satu janinnya meninggal. Dalam hal ini sering kali

mengakibatkan kematian segera janin lainnya. Jika janin kedua masih dapat

bertahan hidup, maka janin tersebut memiliki risiko tinggi terkena

ensefalomalasia multikistik.

Bila salah satu bayi kembar ada yang meninggal dapat terjadi embolisasi

bahan tromboplastik dari janin yang meninggal melalui komunikasi vaskular

plasenta ke janin yang masih hidup dengan atau tanpa perubahan hemodinamik

(hipotensi) pada saat kematian janin seingga terjadi infark cedera selular pada otak

(ensefalomalasia multikistik, yang diagnosisnya dikonfirmasi dengan

ekoensefalografi), usus, ginjal, dan paru.3

3. Hemoragic Post Partum

Hipofibrinogenemia (kadar fibrinogen < 100 mg%), biasa pada 4-5

minggu sesudah IUFD (kadar normal fibrinogen pada wanita hamil adalah 300-

700mg%). Akibat kekurangan fibrinogen maka dapat terjadi hemoragik post

partum. Partus biasanya berlangsung 2-3 minggu setelah janin mati.

4. Dampak psikologis

Dampak psikologis dapat timbul pada ibu setelah lebih dari 2 minggu

kematian janin yang dikandungnya.

25

Page 26: BAB I-Vdgsd

BAB II

LAPORAN KASUS

Anamnesis dan pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 17 September

2015 di ruang bersalin RSUD Abdul Azis Singkawang.

2.1. Anamnesis

Identitas Pasien

Nama : Ny. ES

Usia : 38 tahun

Agama : Katolik

Suku : Tionghoa

Pendidikan : Sarjana

Pekerjaan : Swasta

Alamat : Jl. GM Situt no. 55 kel. Pasiran kec. Singkawang barat

MRS : 17 September 2015 pukul 20.20 WIB

Identitas Suami

Nama : Tn. BBT

Usia : 38 tahun

Agama : Katolik

Suku : Tionghoa

Pendidikan : Sarjana

Pekerjaan : Swasta

Alamat : Jl. GM Situt no. 55 kel. Pasiran kec. Singkawang barat

Keluhan Utama:

Perut terasa kenceng

26

Page 27: BAB I-Vdgsd

Riwayat penyakit sekarang

Pasien datang ke RSAA dengan keluhan perut terasa kenceng-kenceng

seperti ingin melahirkan. Keluhan ini dirasakan selama kurang dari setengah

menit dan cukup sering. Pengeluaran air, lendir dan darah disangkal. Pasien juga

mengeluhkan gerakan janin di dalam rahimnya berkurang sejak 2 bulan terakhir.

Ia mengaku jarang memeriksakan kehamilannya. Selain itu, ia merasa pembesaran

rahimnya melebihi pembesaran rahim normal pada masa hamil 6 bulan.

Satu minggu SMRS, pasien pernah mengeluhkan perut terasa kenceng-

kenceng dan berobat ke klinik bidan. Saat itu, ia mengaku bidan kesulitan mencari

denyut jantung janinnya, sehingga ia dirujuk ke RS DKT. Saat di RS DKT, dokter

pemeriksa juga kesulitan mencari denyut jantung janin. Saat didapatkan, dokter

mengatakan denyut jantung janinnya melemah. Sebulan SMRS, pasien pernah

berobat ke rumah sakit swasta di Malaysia. Dokter mengatakan bahwa

kemungkinan hidup bayi yang ada di dalam kandungannya kecil karena terdapat

kelainan. Denyut jantung janinnya juga sudah melemah.

Riwayat Obstetri

Pasien hamil kedua. Selama bulan pertama hingga bulan keenam

kehamilan, pasien hanya satu kali memeriksa kehamilannya di klinik bidan

swasta. Ia jarang memeriksakan kehamilannya karena tidak ada keluhan yang

berarti yang dirasakan. Selama kehamilan, pasien tidak pernah mengeluh demam,

muntah hebat dan kejang, kecuali pusing dan mual pada bulan pertama dan kedua

kehamilan. Hari pertama haid terakhir tanggal 4 Maret 2015. Kehamilan yang

pertama meninggal di dalam rahim saat usia kehamilan 8 bulan. Kandungan

pertama (bayi tunggal) dikeluarkan dengan operasi sesar di RS DKT. Pasien tidak

mengingat berat badan dan panjang badan bayinya yang pertama.

Riwayat Ginekologi

27

Page 28: BAB I-Vdgsd

Pasien mengalami haid pertama sekali pada usia 13 tahun. Haidnya teratur

dengan siklus berkisar 28 hari sekali dengan lama haid berkisar 3-5 hari.

Riwayat penyakit dahulu

Pasien menyangkal pernah terjatuh atau mengalami benturan pada bagian

perutnya. Pasien mengaku pernah operasi saesar 1 tahun yang lalu. Namun, luka

bekas operasi baik dan tidak ada keluhan. Riwayat infeksi saluran kencing dan

kelamin disangkal, diabates mellitus disangkal, hipertensi disangkal, asma dan TB

tulang disangkal. Riwayat alergi terhadap obat-obatan disangkal.

Riwayat penyakit keluarga

Riwayat keluarga dengan melahirkan secara operasi sectio caesarea (-), sulit hamil

(-), keguguran (-).

Riwayat perkawinan

Pasien telah menikah 2 tahun yang lalu pada saat berusia 36 tahun dan merupakan

pernikahan yang pertama. Suaminya menikah dengannya pada saat berusia 36

tahun juga dan merupakan pernikahan yang pertama.

Riwayat penggunaan obat – obatan

Pasien mengaku tidak sedang mengkonsumsi obat – obatan maupun suplemen

apapun.

Riwayat Kebiasaan

Pasien tidak merokok, tidak mengonsumsi alkohol, namun jarang berolahraga.

Suami pasien tidak merokok. Pasien menyangkal memiliki binatang peliharaan di

rumahnya.

2.2. Pemeriksaan Fisik

Keadaan Umum : Baik

Kesadaran : Compos Mentis, GCS E4V5M6

28

Page 29: BAB I-Vdgsd

Tanda Vital

a. Tekanan Darah : 130/80 mmHg

b. Frekuensi Nadi : 88 x /menit, regular isi cukup, kuat angkat

c. Frekuensi Nafas : 20 x /menit, regular

d. Suhu : 36,4oC, aksiler

2.3. Status Generalis

Kepala : normocephali

Mata : konjunctiva anemis (-/-), Sclera ikterik (-/-),

Hidung : rhinorea (-/-)

Telinga : otorhea (-/-)

Mulut : bibir sianosis (-)

Leher : deviasi trakea (-), pembesaran KGB (-)

Thoraks

Paru

- Inspeksi : Pergerakan dada simetris, retraksi sela iga (-), Pelebaran

sela iga (-)

- Palpasi : fremitus taktil kiri = kanan

- Perkusi : sonor

- Auskultasi: vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-)

Jantung

- Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak

- Palpasi : Ictus cordis tidak teraba

- Perkusi : Batas kanan jantung: SIC 3 linea parasternal dextra

pinggang jantung: SIC 3 linea parasternal sinistra, batas kiri

jantung: SIC 5 linea midclavikula sinistra SIC 5

- Auskultasi : S1 S2 tunggal, regular, murmur (-), gallop (-)

Abdomen

Inspeksi : membesar arah memanjang

Palpasi : Supel, hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan (-)

29

Page 30: BAB I-Vdgsd

Perkusi : pekak

Auskultasi : Bising usus (+) normal

Ekstremitas

Superior : Akral hangat (+), edema (-), CRT < 2 detik

Inferior : Akral hangat (+), edema (-), CRT < 2 detik

2.4. Status obstetri

Inspeksi : membesar arah memanjang

Palpasi : tinggi fundus uteri 30 cm

.1 Leopold I : teraba bokong

.2 Leopold II : teraba punggung disebelah kiri ibu

.3 Leopold III : teraba kepala

.4 Leopold IV : konvergen

DJJ : 136 x/ menit, irreguler

His :

Taksir berat janin : (TFU – 13) x 155 = 2635 gram

Inspekulo : tidak dilakukan

Pemeriksaan dalam : vulvovagina normal, portio tebal dan lunak, pembukaan

(-), presentasi kepala, penurunan hodge I, ketuban(+), lendir (-) dan darah (-)

2.5. Diagnosis kerja sementara di ruangan

G1P0A0M1 H28-29 minggu + kelainan kongenital pada bayi + prev. SC 1 tahun yang

lalu

2.6. Pemeriksaan Laboratorium

Darah Rutin (17 september 2015)

1. Leukosit : 8400 /mm3

2. Hemoglobin : 11,7 gr/dl

3. Hematokrit : 34,4 %

4. Trombosit : 191.000/mm3

30

Page 31: BAB I-Vdgsd

5. Bleeding Time : 4’50” menit

6. Clotting Time : 2’00”menit

Kimia Darah

7. GDS : 117 mg/dl

Serologi

1. HbsAg : non reaktif

2. Anti HIV : non reaktif

3.

Pemeriksaan Rhesus dan golongan darah

Tidak dilakukan pemeriksaan rhesus maupun golongan darah

2.7. Pemeriksaan EKG (17 september 2015)

2.8. Pemeriksaan USG

31

Page 32: BAB I-Vdgsd

2.9. PERSIAPAN SEBELUM OPERASI

Informed consent

Menjelaskan pada pasien tentang kondisi bayi

Menerangkan kepada pasien tentang tindakan operasi yang akan

dilakukan: garis besar prosedur tindakan, tujuan dan manfaat tindakan.

Puasa mulai pk 03.00 WIB

Laporan Operasi

Tanggal operasi : 18 september 2015

Waktu Operasi : pk 10.45 – 11.45 WIB

Diagnosa pre-operatif : G1P0A0M1 H28-29 minggu + kelainan kongenital pada

bayi + prev. SC 1 tahun yang lalu

Diagnosa post-operatif : P2A0M1 partus prematurus dengan sectio caesarea

atas indikasi hidrops fetalis dan plasenta previa

Macam operasi : Seksio Caesarea Transperitoneal Profunda

Langkah-Langkah Operasi:

1. Pasien dibaringkan di atas meja operasi.

2. Pasien dilakukan anestesi spinal.

3. Dilakukan tindakan asepsis dan antisepsis dengan betadin dan alkohol pada

lapangan operasi.

4. Dilakukan insisi pfannenstiel pada pelvic line ± 10 cm.

5. Dinding abdomen dibuka lapis demi lapis.

6. M. rectus abdominis dibuka secara tumpul ke lateral hingga tampak

peritoneum.

7. Peritoneum disayat ke atas hingga tampak uterus.

8. Dilakukan insisi konkaf pada segmen bawah rahim dan diperlebar secara

tumpul dengan jari.

32

Page 33: BAB I-Vdgsd

9. Dengan meliksir kepala, janin dilahirkan pukul 10.27 WIB, janin perempuan,

berat badan 1250 gram, panjang badan 33 cm, apgar score: 2/1

10.Tali pusat ditarik dengan ringan untuk mengeluarkan plasenta.

11. Kavum uteri dibersihkan dengan kasa steril dari darah dan bekuan darah.

12. Sumbu bawah rahim (SBR) dijahit secara jelujur terkunci

13. Rongga abdomen dibersihkan dari darah dan bekuan darah.

14. Dinding abdomen dijahit lapis demi lapis.

15. Kulit dijahit subkutikuler.

16. Perdarahan selama operasi ±500 cc.

17. Keadaaan ibu sebelum, selama dan sesudah operasi baik.

Laporan Kelahiran Bayi:

Bayi lahir pukul 10.27 jenis kelamin perempuan dengan Apgar score 2/1,

berat badan 1250 gram dan panjang badan 33 cm. Bayi tidak segera menangis dan

perut tampak sianosis dan ascites. Bayi dinyatakan meninggal pada pukul 10.42

WIB oleh dokter spesialis anak yang meresusitasi bayi tersebut. Berat plasenta

1500 gram dan terlihat bekuan darah. Warna cairan mekonium putih keruh.

Penatalaksanaan Post Operasi:

1. IVFD RL 2o tpm + drip oksitosin 10 IU

2. Broadced 1 gr iv / 8jam

33

Page 34: BAB I-Vdgsd

3. Asam traneksamat 250 mg iv/ 8jam

4. Ketorolac 30 mg iv/ 8jam

5. Ondancentron 4 mg/ 8 jam

2.10. Follow Up di Ruang Nifas

Tanggal/

Jam

Post Operasi (observasi dalam 2 jam)

18 sept 2015 Suhu Nadi TD RR Sens BAK Keterangan

12.00 36,3 88 140/100 20 Som 100cc TFU 1 jari

dibawah pusat

12.15 36,3 90 140/100 20 Som 100cc TFU 1 jari dibawah pusat

12.30 36,5 88 140/100 20 CM 150cc TFU 1 jari dibawah pusat

12.45 36,5 86 130/80 20 CM 150cc TFU 1 jari dibawah pusat

13.00 36,5 80 130/80 20 CM 150cc TFU 1 jari dibawah pusat

13.30 36,7 84 130/80 20 CM 150cc TFU 1 jari dibawah pusat

14.00 130/80 20 CM 200cc TFU 1 jari dibawah pusat

19 sept 2015

Hari pertama

post SC

S: nyeri luka operasi (+), perdarahan pervaginam (+),

mobilisasi (-), BAK (+), BAB (-)

O: KU : baik

TD: 120/80 mmHg

Nadi: 90x/menit

Nafas : 22x/menit

Suhu : 36,7oC

TFU 2 jari dibawah pusat, kontraksi uterus (+) baik,

34

Page 35: BAB I-Vdgsd

luka operasi rembesan (-), dehisensi (-)

perdarahan pervaginam (+) sekitar 20 cc

A: : P2A0M1 partus prematurus dengan sectio caesarea atas

indikasi hidrops fetalis dan plasenta previa hari pertama

P: IVFD RL + drip oxytocin 20 IU + drip metergin 20 tpm

Inj broadced 1 gr/iv/8 jam

Inj Asam tranexamat 250 mg/iv/8 jam

Inj Ketorolac 30 mg/iv/8 jam

Inj Ondancentron 4 mg/iv/8 jam

sore ganti obat oral:

ciprofloxacin 2 x 500 mg tab

asam mefenamat 3 x 500 mg tab

mersibion 1 x 1 tab

20 sept 2015Hari ke-2 post SC

S: nyeri luka operasi (+) berkurang, perdarahan pervaginam

(+) sedikit, mobilisasi (+), makan (+), minum (+), BAK (+),

BAB (-), flatus (+)

O: KU : baik

TD: 120/80 mmHg

Nadi: 84x/menit

Nafas : 20x/menit

Suhu : 36,5oC

TFU 2 jari dibawah pusat, kontraksi uterus (+) baik,

luka operasi rembesan (-), dehisensi (-)

perdarahan pervaginam (+) sekitar 10 cc

A: : P2A0M1 partus prematurus dengan sectio caesarea atas

indikasi hidrops fetalis dan plasenta previa hari ke-2

P: ciprofloxacin 2 x 500 mg tab

asam mefenamat 3 x 500 mg tab

mersibion 1 x 1 tab

35

Page 36: BAB I-Vdgsd

21 sept 2015Hari ke-3 post SC

S: nyeri luka operasi (+) berkurang, perdarahan pervaginam

(+) sedikit, mobilisasi (+), makan (+), minum (+), BAK (+),

BAB (-), flatus (+)

O: KU : baik

TD: 120/70 mmHg

Nadi: 84x/menit

Nafas : 20x/menit

Suhu : 36,5oC

TFU 2 jari dibawah pusat, kontraksi uterus (+) baik,

luka operasi rembesan (-), dehisensi (-)

perdarahan pervaginam (+) sekitar 10 cc

A: : P2A0M1 partus prematurus dengan sectio caesarea atas

indikasi hidrops fetalis dan plasenta previa hari ke-3

P: ciprofloxacin 2 x 500 mg tab

asam mefenamat 3 x 500 mg tab

mersibion 1 x 1 tab

Boleh pulang, pasien dianjurkan untuk kontrol kembali 4

hari kemudian

36

Page 37: BAB I-Vdgsd

BAB IV

PEMBAHASAN

Menurut WHO dan ACOG definisi IUFD adalah kematian janin intra

uterine dimana berat janin 500 gr atau lebih dengan usia kehamilan 20 minggu

atau lebih. Pada kasus ini berdasarkan klasifikasi menurut UNCHS klasifikasi

kematian janin adalah intermediate fetal death dimana kematian sesudah ibu

hamil 20-28 minggu.

Pada kasus ini, seorang wanita berusia 38 tahun dengan diagnosis

G2P0A0M1 hamil 28-29 minggu + kelainan kongenital + riwayat SC 1 tahun

yang lalu datang ke IGD RSAA dengan keluhan perut terasa kenceng 3 jam

SMRS. Diagnosis IUFD ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan

pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis, yang mengarahkan kita ke diagnosis

IUFD adalah keluhan pasien akan berkurangnya gerakan janin sejak 2 bulan

SMRS, perut terasa kenceng seperti ingin melahirkan, pembesaran rahim yang

melebihi pembesaran rahim normal pada masa hamil 6 bulan. Dari pemeriksaan

fisik didapatkan tinggi fundus uteri yang lebih tinggi dari normal yaitu 30 cm,

tidak terlihat gerakan janin dan tidak ditemukan denyut jantung janin. Dari hasil

pemeriksaan USG ditemukan adanya kelainan kongenital.

Banyak faktor yang dapat menyebabkan terjadinya IUFD, baik dari faktor

ibu, janin maupun plasenta. Pada kasus ini, dari faktor ibu akan ketidakcocokan

rhesus dan golongan darah belum dapat dipastikan karena belum dilakukan

pemeriksaan. Penyakit-penyakit seperti diabetes gestasional dapat disingkirkan

37

Page 38: BAB I-Vdgsd

karena pasien tidak memiliki keluhan yang mengarah ke diabetes gestasional

ataupun riwayat menderita diabetes melitus. Dari tes GDS-nya 117 g/dl. Begitu

juga dengan penyakit hipertensi. Pasien menyangkal memiliki riwayat penyakit

hipertensi. Tekanan darah pasien saat pertama sekali datang ke kamar bersalin

130/80 mmHg dan juga hingga pulang tekanan darah pasien selalu stabil dan

dalam batas normal. Pasien juga menyangkal adanya trauma saat kehamilan.

Infeksi TORCH belum dapat dipastikan apakah ada atau tidak sebab belum

dilakukan pemeriksaan. Pemeriksaan ini mungkin perlu disarankan kepada pasien.

Usia lanjut >35 tahun merupakan faktor resiko terjadinya IUFD sekitar 40-50%

dibandingkan pada usia 20-29 tahun. Pasien merupakan seorang wanita yang

berumur 38 tahun dan tentunya beresiko untuk terjadinya IUFD. Selain itu juga,

pasien mengaku jarang memeriksakan kehamilannya. Padahal, salah satu tujuan

dari antenatal care adalah Mengenali secara dini kelainan atau komplikasi yang

mungkin terjadi selama hamil dan memantau kemajuan kehamilan serta

memastikan kesehatan ibu dan tumbuh kembang bayi.

Dari faktor bayi sendiri, kelainan kromosom masih belum dapat dipastikan

sehingga perlu untuk dilakukan pemeriksaan namun biaya yang dibutuhkan cukup

tinggi. Dari faktor plasenta juga dapat menjadi faktor terjadinya IUFD seperti:

infeksi pada membran plasenta, kompresi tali pusat. Pada kasus ini, pada saat

dilakukan operasi seksio sesaria ditemukan adanya plasenta previa dan kecurigaan

adanya infeksi pada plasenta karena berat plasenta bayi ini 1500 gram dimana

yang seharusnya hanya berkisar 500-600 gram. Kompresu tali pusat pada kasus

plasenta previa dapat menghambat aliran darah dan oksigen ke janin sehingga

dapat menyebabkan iskemik, hipoksia dan kematian.

Penanganan IUFD pada kasus ini adalah terminasi kehamilan dengan

operasi seksio sesaria. Pada pemeriksaan dalam saat pertama sekali datang ke

kamar bersalin tidak ada pembukaan hingga besok harinya. Induksi persalinan

tidak boleh dilakukan karena adanya kontraindikasinya yaitu adanya plasenta

previa, sehingga satu-satunya cara adalah dengan operasi seksio sesaria.

Beberapa hari setelah operasi seksio sesaria, pasien melakukan

pemeriksaan TORCH. Didapatkan hasil: konsentrasi antitoxoplasma Ig-G 3,2

38

Page 39: BAB I-Vdgsd

(reaktif), anti rubella Ig-G 83,7 dan anti CMV Ig-G. Dari hasil pemeriksaan

TORCH ini mengindikasikan bahwa penyebab IUFD karena adanya infeksi virus

yang sudah lama ada. Oleh sebab itu, anjuran kepada pasien ini adalah untuk

datang ke dokter meminta obat antibiotik yang dapat mengobati masalah infeksi

TORCH tersebut.

KESIMPULAN

Pada kasus ini, diagnosis IUFD ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan

fisik dan pemeriksaan penunjang

Penyebab IUFD dapat dari faktor maternal, bayi dan juga faktor plasenta

Penanganan IUFD yaitu dengan cara operasi seksio sesaria

SARAN

Pemeriksaan faktor rhesus dan golongan darah perlu dilakukan untuk

mencari faktor penyebab terjadinya IUFD lain pada kasus ini

Perlu juga dilakukan pemeriksaan autopsi pada bayi yang meninggal

karena IUFD, namun hal ini membutuhkan biaya yang mahal

Edukasi kepada pasien untuk mendapatkan terapi infeksi TORCH dan juga

memberi dukungan agar siap untuk kehamilan berikutnya

39

Page 40: BAB I-Vdgsd

DAFTAR PUSTAKA

1. Cuningham FG, Gant NF, Leveno KJ, Gilstrap III LC, Hauth

JC,Wenstrom KD. Williams Obstetrics 23rd Ed. New York : McGraw-Hill

2001

2. Edlow et al. Intrauterine fetal demise and maternal morbidity. J ACOG

2011;117:307-16.

3. Wiknjosarto,H. 2002. IlmuKebidanan. Jakarta:YayasanBinaPustaka

4. J Bar et al. The placental vascular component in early and late

interauterine fetal death. Thrombosis Research 2012;130:901-905.

5. Geels YP, de Gouberville MC, Visser L, van Asten HA. Comparing

vaginal and sublingual administration of misoprostol for labour induction

in women with intra-uterine fetal death. Tropical doctor 2010;40:77-80.

6. Silingardi E, Santunione AL, Rivasi F, Gasser B, Zago S, Garagnani L.

Unexpected intrauterine fetal death in parvovirus B19 fetal. Am J forensic

med pathol 2010;30:394-397.

7. Sen MR, Shukla BN, Banerjee T. Prevalence of serum antibodies to

TORCH infection in and around Varanasi, northern india. J clin and diag

res 2011;6:1483-85

8. Subramanya S, Patham B, Kupesic SP. Recognizing TORCH group of

infections on fetal sonography. Donald school J of ultrasound in obs and

gyn 2009;3(4):47-50

40

Page 41: BAB I-Vdgsd

9. Gravensteen IK, Helgadottir LB, Jacobsen EM. Long-term impact of

intrauterine fetal death on quality of life and depression: a case-control.

BMC pregnancy and childbirth 2012;12:43

10. Pilliod RA, Cheng YW, Snowden JM, et al. The risk of intrauterine fetal

death in the small-for-gestational-age fetus. Am J Obstet

Gynecol.2012;207:318.e1-6.

11. Atsumi H et al. The role of care-seeking delays in intrauterine fetal deaths

among “near miss’ woman.Paediatric and Perinatal Epidemiology, 2012,

26, 388–397

12. Salihu HM, Ibrahimou B, Dagne GA. Intra-uterine exposure to dual fetal

programming sequences among surviving co-twins.The Journal of

Maternal-Fetal and Neonatal Medicine, 2011; 24(1): 96–103

13. L.B. Helgadottir et al. The association of antiphospholipid antibodies with

intrauterine fetal death: a case–control study. Thrombosis

Research;130(2012):32–37

14. Anami et al.Antenatally diagnosed congenital orbital teratoma inwhich

rupture was associated with intrauterinefetal death. J. Obstet. Gynaecol.

Res. Vol. 38, No. 3: 578–581, March 2012

15. Enders et al. Risk of fetal hydrops and non-hydropic late intrauterine fetal

death after gestational parvovirus B19 infection. Journal of Clinical

Virology 2010;49:163–168

16. Grimes DA. Estimation of pregnancy-related mortality risk by pregnancy

outcome, United States, 1991 to 1999. Am J Obstet Gynecol

2006;194:924.

17. Ezechi OC, Kalu Bke, Ndububa VI, Nwokoro CA. Induction of Labour by

Vaginal Misoprostol for Intrauterine Fetal Death. J Obstet Gynecol Ind

2004;54(6):561-3

41

Page 42: BAB I-Vdgsd

42