bab i spai

Upload: adhytia-setia-nugraha

Post on 18-Jul-2015

81 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

1

BAB I PENDAHULUAN1.1 LATAR BELAKANG MUHAMMAD telah meninggalkan warisan rohani yang agung, yang telah menaungi dunia dan memberi arah kepada tradisi dunia selama dalam beberapa abad yang lalu. Ia akan terus demikian sampai Tuhan menyempurnakan cahayaNya ke seluruh dunia. Warisan yang telah memberi pengaruh besar pada masa lampau itu, dan akan demikian, bahkan lebih lagi pada masa yang akan datang, ialah karena ia telah membawa agama yang benar dan meletakkan dasar tradisi satu-satunya yang akan menjamin kebahagiaan dunia ini. Agama dan tradisi yang telah dibawa Muhammad kepada umat manusia melalui wahyu Tuhan itu, sudah begitu berpadu sehingga tidak dapat lagi terpisahkan. Kalau pun tradisi Islam ini didasarkan kepada metoda-metoda ilmu pengetahuan dan kemampuan rasio, hal ini sama seperti yang menjadi pegangan tradisi Barat masa kita sekarang, dan kalau pun sebagai agama Islam berpegang pada pemikiran yang subyektif dan pada pemikiran metafisika namun hubungan antara ketentuan-ketentuan agama dengan dasar tradisi itu erat sekali. Soalnya ialah karena cara pemikiran yang metafisik dan perasaan yang subyektif di satu pihak, dengan kaidah-kaidah logika dan kemampuan ilmu pengetahuan di pihak lain oleh Islam dipersatukan dengan satu ikatan, yang mau tidak mau memang perlu dicari sampai dapat ditemukan, untuk kemudian tetap menjadi orang Islam dengan iman yang kuat pula. Dari segi ini tradisi Islam berbeda sekali dengan tradisi Barat yang sekarang menguasai dunia, juga dalam melukiskan hidup dan dasar yang menjadi landasannya berbeda. Perbedaan kedua tradisi ini, antara yang satu dengan yang lain sebenarnya prinsip sekali, yang sampai menyebabkan dasar keduanya itu satu sama lain saling bertolak belakang. Tradisi (bahasa Latin : traditio, artinya diteruskan) menurut artian bahasa adalah sesuatu kebiasaan yang berkembang di masyarakat baik, yang menjadi adat kebiasaan, atau yang diasimilasikan dengan ritual adat atau agama. Atau dalam pengertian yang lain, sesuatu yang telah dilakukan untuk sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat, biasanya dari suatu negara, kebudayaan, waktu, atau agama yang sama. Biasanya tradisi ini berlaku secara turun temurun baik melalui informasi lisan berupa cerita, atau informasi tulisan berupa kitab-kitab kuno atau juga yang terdapat pada catatan prasastiprasasti. Saya mencoba membuat tulisan ini untuk mencoba memberikan gambaran

2

perbedaan antara sebuah ajaran sesuai dengan tuntunan dengan sebuah tradisi yang melalui asimilasi budaya dengan ajaran agama tertentu. Tradisi-tradisi ini biasanya dihubungkan antara suatu kegiatan manusia dengan aktivitas alam sekitar, antar manusia, manusia dengan sang penguasa (bentuk umum). Memang secara naluriah, manusia mengakui akan adanya sebuah penguasaan sesuatu terhadap sesuatu agar sesuatu tersebut tidak mengganggu aktivitas manusia dalam kehidupan. (Kalau dalam Islam adalah Fitrah ketuhanan yang sudah ada terpatri sejak zaman azali, sebagaimana saat manusia masih di alam ruh yang diminta kesaksian akan keberadaan Sang Penciptanya, Quran Surah Al Araf [7] ayat 172). Sebagai contoh tradisi yang dihubungkan antara kegiatan manusia dengan aktivitas alam, seperti tradisi sesaji untuk gunung, untuk laut, untuk hujan dan sebagainya agar supaya aktivitas alam tersebut tidak mengganggu aktivitas manusia. Mereka menganggap ada ruh penguasa bagian alam tersebut yang menguasai dan mengatur aktivitas mereka. Maka mereka melakukan sebuah ritual berdasarkan tradisi-tradisi yang telah dilakukan secara turun temurun dan wajib dilaksanakan, tanpa ada alasan apapun untuk menolak (khawatir kualat = mendapat hukuman). Mereka melakukan ritual-ritual yang terkadang tidak logis, dan terkesan dipaksakan (maaf, bukan berdasarkan suka atau tidak suka). Adapula tradisi yang dihubungkan antara kegiatan manusia dengan aktivitas alam agar supaya aktivitas alam tersebut mendatangkan keuntungan bagi kehidupan manusia. Agar supaya panen dengan panenan yang baik, tangkapan ikan yang baik, hasil toko yang baik, rumah yang selalu mendatangkan rejeki yang baik, dan sebagainya. Bahasa simbol yang ada sebenarnya adalah bahasa simbol rasa syukur yang disimbolkan dengan ritual tertentu sebagai bentuk rasa syukur mereka terhadap Sang Pemberi Rejeki. Selain itu di atas, ada tradisi yang berhubungan antar manusia, seperti hubungan dengan pernikahan, kehamilan, kelahiran, kematian, kegembiraan mendapatkan sesuatu. Banyaknya bahasa simbol yang dilibatkan. Memang manusia sangat menyukai bahasa simbol dan proses interaksi antar manusiapun melalui bahasa simbol. Aksara yang dipakai tiap Negara berbeda-beda berawal dari simbol-simbol. Simbol-simbol ini memiliki arti tersendiri di tiap ritual tradisi-tradisi. Dan manusia ternyata terkadang peka terhadap bahasa simbol, walaupun pada saat kekinian bahasa simbol ini tidak lagi diperhatikan dan hanya syarat terlaksananya ritual berdasarkan tradisi tadi. Sebagai contoh di budaya tradisi kelahiran, ada

3

tradisi agama yang diasimilasikan dengan budaya tradisi. Dalam ajaran Islam ada tradisi Aqiqah, kemudian diasimilasi dengan budaya tradisi berupa acara cukuran dengan semangkuk kembang setaman, ada pembagian bendera yang terselip uang dan dengan tangkai yang tertancap di kelapa muda. Semangkuk kembang setaman memiliki arti sang anak diharapkan kesiapannya untuk mengarungi kehidupan yang penuh warna-warni atau keheterogenan yang dibatasi umur (disimbolkan mangkuk), bendera menyimbolkan semangat kehidupan, uang menyimbolkan berbagi, dan kelapa muda menyimbolkan salah satu manfaat bagi kehidupan dan bermasyarakat sehingga mendatangkan manfaat luas bagi kehidupannya. Wallahu alam, arti dan awal dari tradisi ini. Tradisi perayaan Idul Fitri dan Idul Adha, ada tradisi antar-antaran ketupat, yang menurut budaya Jawa ketupat berarti Kupat, Ngaku Lepat, mengakui kesalahan, atau ada juga berarti Laku Papat yaitu puasa, zakat, shalat id dan silaturahim. Ada penyambutan tamu pada perayaan-perayaan dengan gapura (ghafuroo) janur kelapa, yang memiliki arti ampunan dan memperbaiki perilaku agar bermanfaat bagi orang lain. Kemudian ada tradisi kematian dengan memperingati mulai dari tiga hari, nujuh hari, empat puluh hari, setahun, dua tahun dan terakhir nyribu hari (nyewu dina). Dalam tradisi Islam memang tidak ada tradisi memperingati kematian, tradisi ini merupakan tradisi budaya Hindu, yang kemudian diasimilasikan dengan budaya Islam dan diwarnai dengan tradisi relijius keislaman. Dalam budaya kejawen (maaf, kebetulan saya bertanya kepada salah seorang kejawen murni), bahwa manusia itu memiliki saudara kembar ketika lahir (perewangan). Saat meninggal saudara kembar ini tetap hidup dan sering menyertai dan mendatangi keluarganya. Agar tidak mengganggu maka keluarga almarhum mengadakan acara sebagaimana hari-hari yang ditentukan tadi dengan memberikan sesuatu sesaji tertentu menurut kesukaan dari almarhum.

4

1.2.

RUMUSAN MASALAH Dari latar belakang di atas maka dapat dirumuskan hal-hal sebagai berikut 1. 2. 3. Apa pengertian tradisi ? Apa tradisi islam itu ? Bagaimana perkembangan tradisi islam saat ini ?

1.3. TUJUAN Setelah mendiskusikan tema ini, maka kita dapa memperoleh beberapa tujuan sebagai berikut ; 1. 2. 3. 4. dapat mengetahui pengertian tradisi dapat mengetahui sejarah terbentuknya tradisi islam dapat membedakan tradisi local dengan tradisi islam dapat mengambil keputusan mengenai tradisi yang dapat kita laksanakan dalam kehidupan sehari-hari

1.4. MANFAAT

Dari tujuan di atas maka setealah mendiskusikan kita dapat memperoleh mamfaat begitu besar seperti 1. dapat mengetahui pengertian tradisi kemudian memberitahukan informasi kepada orang lain 2. 3. 4. dapat mengetahui sejarah terbentuknya tradisi islam pada masa kejayaan islam dapat membedakan tradisi local dengan tradisi islam dapat mengambil keputusan mengenai tradisi yang dapat kita laksanakan dalam kehidupan sehari-hari

5

BAB II ISI2.1 PENGERTIAN TRADISI Secara definisi Hidayat Supangkat mengemukakan bahwa Tradisi berasal dari bahasa Latin yaitu tradition, diteruskan atau kebiasaan, sedangkan dalam pengertian yang paling sederhana adalah sesuatu yang telah dilakukan untuk sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat, biasanya dari suatu Negara, kebudayaan, waktu,atau agama yang sama. (dari wikipedia Indonesia)Hal yang paling mendasar dari tradisi adalah adanya informasi yang diteruskan dari generasi ke generasi baik tertulis maupun (seringkali) lisan, karena tanpa adanya ini suatu Kamus tradisi Umum dapat Bahasa punah. (dari wikipedia (1994:1531)

Indonesia).Sedangkan

berdasarkan

Indonesia

sebagaimana dikemukakan oleh Badudu dan Mohammad Zain bahwa : Tradisi adalah adat kebiasaan yang dilakukan turun temurun dan masih terus dilakukan dalam masyarakat disetiap tempat atau suku berbeda-beda.Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa tradisi adalah sesuatu yang dilakukan terus menerus oleh masyarakat setempat dan hal tersebutsudah menjadi bagian dari hidupnya yang diturunkan dari nenek moyang. Lebih jelasnya sebelum syariah islam diturunkan, sejak dulu manusia selalu berusaha dengan akal budinya untuk menyelesaikan dan mengatur hubungan dengan Allah, sesama manusia dan diri-sendiri.Dengan munculnya orang bijak ( ahl al-hikmah), termasuk para filosof,pada dasarnya untuk menjawab ketiga persoalan tersebut. Dari merekalahlahir berbagai pranata yang diterima, dipakai dan diterapkan ditengahtengahmasyarakat sehingga pada akhirnya menjadi tradisi ( al-urf) danadat (al-adah). Ketika tradisi tersebut diterima oleh banyak pihak, maka statusnya akan berubah menjadi konvensi.Prof. Dr. Abd al-karim Zaidan menjelaskan definisi urf (tradisi) sebagai berikut: Tradisi adalah sesuatu yang telah menjadi kebiasaan masyarakatdan menjadi pedoman prilaku dalam kehidupan dan muamalah mereka. Kebanyakan fukaha menyebutnya dengan adat. Karena itu, menurut Abdal-karim Zaidan, tradisi dan adat itu sama. Adapun sebagian ulama merumuskan kaidah : Adat istiadat itubisa dikukuhkan sebagai hukum. Kaidah ini kemudian digunakan sebagai argumentasi, bahwa adat yang berkembang ditengah-tengah masyarakat juga bisa dipertahankan dan tidak perlu dihapus. Padahal tidak sedikit tradisi dan adat yang buruk dan

6

jelas bertentangan dengan islam.Sebenarnya sebagian Fukaha dan ahli ushul telah memasukan diktum adat dan tradisi sebagai salah satu dalil meski dengan sejumlah syarat. Dalam kitab Dhawabith al-Mashlahah,Dr. Said Ramadhan al-Buthi menjelaskan bahwa mazhab Maliki, khususnya imam Malik, mensyaratkan bahwa tradisi dan adat yang bisa diakui (mutabarah), dan karenanya dikukuhkan sebagi hukum adalah : 1) Tradisi dan adat penduduk madinah; tentu tradisi dan adat yang berkembang pada zaman Imam Malik 2) Tradisi dan adat tersebut tidak betentangan dangan hokum syariah. Lebih jelasnya bahwa sebenarnya tradisi dan adat bukanlah hukum itu sendiri, tetapi merupakan sesuatu yang harus dihukumi, dan karenanya kemudian bisa dipertahankan atau ditinggalkan. Semuanya bergantung pada ukuran, apakah tradisi dan adat tersebut menyimpang dari syariah.Jika menyimpang dari ketentuan syariah, tradisi atau adat sebaiknya harus ditinggalkan. Dengan demikian, syariah islamlah yang tetap menjadi tolak ukur dalam menentukan, apakah tradisi dan adat tersebut bisadipertahankan.

2.2. PERKEMBANGAN TRADISI 2.2.1 Asal Berkembangnya Tradisi Dalam hidupnya baik secara individual maupun hidup bermasyarakat, manusia tidak dapat lepas dari unsur religi, apapun religiyang dianutnya. Sebagai hasil dari perjalanan sejarahnya bangsa Indonesia menganut berbagai agama dan kepercayaan.Harold R. Isaacs (1993:190) memaparkan bahwa bagian yang menyertai setiap orang dari masa lalu, ialah kepercayaan. Agama itu datang dengan berbagai nama dan bentuk, namun agama sebenarnya behubungan dengan kepercayaan kepada dewi atau dewa-dewa didalam suatu bentuk kekuatan gaib, yang menguasai bumi dan mengatur nasib semua yang hidup didalamnya. Beberapa kepercayaan semacam itu disertai dengan peraturan-peraturan, upacara dan praktik merupakan bagian dari tradisi manusia yang diketahui semenjak masa lampau yang terjauh dan sampai sekarang ini.Dalam berhubungan dengan sang pencipta, nenek moyang kita sudah berusaha mengenalnya. Dengan demikian, lahirlah kepercayaan yang dikenal dengan animisme (percaya bahwa benda mempunyaikekuatan gaib) dan dinamisme (setiap benda mempunyai jiwa). Dalam perkembangan selajutnya, mereka merasa berhutang budi kepada nenekmoyangnya maka lahirlah suatu kepercayaan memuja roh nenek moyang atau nisa disebut dengan tradisi . Menurut Siti Waridah dan kawan-kawan (2000:73) sebagaimana dikemukakan oleh E.B. Tylor dalam Teori Animisme adalah:Religi yang tertua adalah animisme yang kemudian berkembangsecara evolusi menjadi politheisme, dan

7

akhirnya monotheisme. Tumbuhnya religi menurut Tylor diawali dengan kesadaran manusia akan adanya roh. Bahwa di alam ini dimana-mana ada roh, dan manusia memuja roh khususnya roh orang yang meninggal. Karena menurut anggapannya, roh-roh tersebut dapat mempengaruhi kehidupan manusia, baik pengaruh yang bersifatpositif (mendatangkan keuntungan) maupun yang negatif(merugikan). Dari sinilah kemudian berkembang dengan adanya ritual yang mengatas namakan religi atau yang disebut dengan tradisi . Disamping berdimensi berpikir, maka manusia itu berdimensi percaya. Percaya adalah sifat dan sikap, membenarkan sesuatu, ataumenganggap sesuatu sebagai benar. Kepastian adalah sikap mental atasdasar keyakinan bahwa ada kebenaran, tetapi kebenaran yang diselidiki sendiri.Menurut Prof. Pudjawijatna (1981:135) mengemukakan kepercayaan sebagai berikut: Ada pula kemungkinan, bahwa orang mempunyai keyakinan akankebenaran bukan karena penyelidikan sendiri, melainkan atas pemberitahuan pihak lain. Kepastian terdapat karena percaya ini tidak perlu kurang pastinya dari kepastian yang diperoleh sendiri .Jadi, kepercayaan itu adalah anggapan atau sikap mental bahwa sesuatu itu benar. Arti lainnya dari pada kepercayaan adalah sesuatu yang diakui sebagai benar. Kita tidak dapat membayangkan manusia dapathidup tanpa kepercayaan apapun, karena kepercayaan merupakan hal yang terpenting dalam hidup manusia.Manusia memerlukan suatu bentuk kepercayaan itu akan melahirkan nilai-nilai guna menopang hidup budayanya. Sikap tanpa kepercayaan atau ragu yang sempurna tidak mungkin dapat terjadi. Tetapi selain kepercayaan itu dianut karena kebutuhan, dalam waktu yang samajuga harus merupakan kebenaran. Demikian pula cara berkepercayaan pun harus benar pula. Menganut kepercayaan yang salah, bukan saja tidak dikehendaki akan tetapi bahkan berbahaya. Disebabkan kepercayaan itu diperlukan, maka dalam kenyataannya kita temui bentuk-bentuk kepercayaan itu berbeda satu dengan yang lainnya, maka sudah tentu ada dua kemungkinan, semuanya itu salah atau salah satu diantaranya benar. Disamping itu masing-masing bentuk kepercayaan mungkin

mengandungunsur kebenaran dan kepalsuan yang bercampur baur. Maka satu-satunya sumber dan pangkal nilai itu haruslahkebenaran itu tersendiri. Maksudnya kebenaran disini merupakan asal dan tujuan segala kenyataan. 2.2.2 Kepercayaan Animisme Kepercayaan animisme (dari bahasa Latin anima atau "roh") adalah kepercayaan kepada makhluk halus dan roh merupakan asas kepercayaan agama yang mula-mula muncul

8

di kalangan manusia primitif. Kepercayaan animisme mempercayai bahawa setiap benda di Bumi ini, (seperti kawasan tertentu, gua, pokok atau batu besar), mempunyai jiwa yang mesti dihormati agar semangat tersebut tidak mengganggu manusia, malah membantu mereka dari semangat dan roh jahat dan juga dalam kehidupan seharian mereka. Diperkirakan bahwa di provinsi Kalimantan Barat masih terdapat 7,5 juta orang Dayak yang tergolong pemeluk animisme. Selain daripada jiwa dan roh yang mendiami di tempat-tempat yang dinyatakan di atas, kepercayaan animisme juga mempercayai bahawa roh orang yang telah mati bisa masuk ke dalam tubuh hewan, misalnya suku Nias mempercayai bahwa seekor tikus yang keluar masuk dari rumah merupakan roh daripada wanita yang telah mati beranak. Roh-roh orang yang telah mati juga bisa memasuki tubuh babi atau harimau dan dipercayai akan membalas dendam orang yang menjadi musuh bebuyutan pada masa hidupnya. Kepercayaan ini berbeda dengan kepercayaan reinkarnasi seperti yang terdapat pada agama Hindu dan Buddha, di mana dalam reinkarnasi, jiwa tidak pindah langsung ke tubuh hewan lain yang hidup, melainkan dilahirkan kembali dalam bentuk kehidupan lain. Pada agama Hindu dan Buddha juga terdapat konsep karma yang berbeda dengan kepercayaan animisme ini. Animisme atau Animisma (Latin) berarti Jiwa atau faham keagamaan juga pada manusia primitive yang mempercayai adanya ruh pada masyarakat animis. Pertama : Penyembahan terhadap ruh atau makhluk halus yang keluar dari orang mati. Kedua : penyembahan terhadap makhluk halus yang menjadi unsur sendirinya. Contohnya bila orang meninggal, maka ruhnya dianggap hidup lagi dan ruh tersebut dapat bertemu dengan ruh manusia yang masih hidup. Ia bisa menolong atau sebaliknya mengganggu. Dan agar ruh itu mendatangkan kebaikan, maka dibuatlah upacara penyembahan. Ruh yang dianggap berbahaya bagi orang hidup, bukan saja berasal dari manusia, tetapi juga, binatang, tumbuh-tumbuhan, batu, dan benda-benda lain.(lihat : "Antropolog, suatu pengantar, Koentaraningrat hlm 73). Dari kepercayaan Animisme diatas, nampaknya berpengaruh dalam prilaku kehidupan umat Islam di Indonesia.Yang pada akhirnya semakin berkembang dan bermunculan berbagai macam Bid'ah.

9

2.2.3 Kepercayaan Dinamisme Perkataan dinamisme berasal dari kata yang terdapat dalam bahasa Yunani, yaitu, dunamos dan diinggriskan menjadi dynamic yang umumnya diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan kekuatan, kekuasaan atau khasiat dan dapat juga diterjemahkan dengan daya. Selanjutnya dinamisme ada yang mengartikan dengan sejenis paham dan perasaan keagamaan yang terdapat diberbagai bagian dunia, pada berjenis-jenis bangsa dan menunjukkan banyaknya persamaan-persamaan. demikian Honig mengartikannya. Dr, Harun Hasution tidak mendefenisikan dinamisme secara tegas hanya menerangkan bahwa bagi manusia premitif, yang tingkat kebudayaannya masih rendah sekali, tiap-tiap benda yang berada di sekelilingnya bisa mempunyai kekuatan batin yang misterius. Dalam Ensiklopedi umum dijumpai defenisi dinamisme sebagai kepercayaan keagamaan premitif pada zaman sebelum kedatangan agama Hindu di Indonesia. Dinamisme disebut juga preanismisme, yang mengajarkan bahwa tiap-tiap benda atau makhluk mempunyai mana (percaya adanya kekuatan yang maha yang berada dimana-mana). T.S.G. Mulia menerangkan dinamisme sebagai suatu kepercayaan bahwa pada berbagai benda terdapat suatu kekuatan atau kesaktian, misalnya dalam api, batu-batu, tumbuh-tumbuhan, pada beberapa hewan dan juga manusia. Dinamisme sendiri dapat juga diartikan lebih lanjut sebagai kepercayaan kepada suatu daya kekuatan atau kekuasaan yang teramat dan tidak pribadi, yang dianggap halus maupun berjasad yang dapat dimiliki maupun tidak dapat dimiliki oleh benda, binatang dan manusia. Agama dalam arti obyektif ialah segala apa yang kita percayai, sedang agama dalam arti subyektif ialah dengan cara bagaimana kita berdiri di hadapan Tuhan dan bagaimana kita harus berkelakuan mentaati segala perintah-Nya dan meninggalkan segala larangan-Nya. Dalam uraian tentang dinamisme terdapat beberapa pengertian atau defenisi yang diberikan terhadap dinamisme itu yang menghubungkannya langsung dengan agama. Ada yang mengatakan dinamisme sebagai sejenis paham dan perasaan keagamaan, ada juga yang mengatakan sebagai kepercayaan keagamaan dan juga sebagai salah satu macam bentuk struktur dari agama premitif.

10

Semua pengertian ini memperlihatkan suatu sikap yang sama yaitu keragu-raguan dalam menetapkan apakah dinamisme itu termasuk agama atau bukan, dengan kata lain orang tidak berani (tentu dengan alasan-alasan yang objektif) berkata bahwa dinamisme itu adalah agama atau sebaliknya, dinamisme itu bukan agama. Kembali kepada dinamisme, maka dinamisme timbul dari perasaan takjub, takut dan merasa bahwa dirinya kecil sebagai manusia dan bergantung kepada daya-daya kekuatan sekitarnya. Mereka melihat sesuatu yang bersifat ilahi di dunia ini, tapi tidak dilukiskannya dalam pikiran sebagai sesuatu yang berpribadi. Oleh sebab itu selamanya tidak terjadi hubungan engkau dan aku, tidak ada hubungan kepribadian antara dia dengan benda pujaannya. Sebab itu segala pengertian khusus yang ada di dalam agama seperti doa, kurban, puasa dan sebagainya itu dalam arti tertentu, dalam dinamisme diubah bentuknya. Doa menjadi mantera, suatu perbuatan yang mengandung daya kekuatan dan menimbulkan keajaiban-keajaiban, hilang sifatnya memohonnya kepada Allah. Doa menjadi rumus yang sakti, yang di Jawa disebut Japamantra. Kurban menjadi suatu perbuatan magis yang mengeluarkan daya kekuatan sendiri, lepas dari ikatan ketuhanan. Begitu juga puasa diganti dengan tarak atau bertapa untuk mendapatkan daya kekuatan yang luar biasa. Di dalam dinamisme pemujaan dan takut kepada daya-daya gaib yang luar biasa yang terdapat di dunia dan pada benda-benda itu dapat dibandingkan dengan agama pagan (agama suku, agam daerah atau agama etnis-premitif). Akan tetapi jika pemujaan itu berbalik menjadi praktek magis, maka dia menjadi lain sama sekali, karena penyembahan berubah menjadi menggagahi dan atau memperalat secara paksa. Maka, sepanjang dinamisme tetap kepada kepribadiannya, yaitu memuja dan mempercayai kekuatan gaib, tidak berbalik menjadi magis yang memperkosa kekuatan gaib itu, dapatlah kiranya dia dimasukkan ke dalam kelompok agama pagan, syirik dan tidak ada ampunan Allah bagi orang-orang yang menyembah selain kepada Allah. 2.3 PANDANGAN ISLAM TERHADAP TRADISI Islam mengajarkan bahwa orang tidak boleh menghormati dan menyembah selain Allah, sebagaimana ditegaskan dalam syahadat yang pertama yang artinya ; saya bersaksi

11

bahwa tidak ada Tuhan selain Allah. Hanya Allah sajalah yang Maha Menjadikan, Maha Kuasa dan Maha Tinggi serta Maha Bijaksana. Allah berfirman, yang artinya : Janganlah kamu sujud bersembah kepada matahari dan jangan pula kepada bulan, tetapi bersujudlah kepada Allah yang menciptakan matahari dan bulan, jika kamu benar-benar ingin menyebah kepada-Nya(QS. Fush-shilat : 37). Kita sebagai kaum muslimin harus waspada, jangan sampai iman kita dikotori oleh anasir-anasir animisme. Benda adalah tetap benda, apakah benda itu berwujud sebutir batu, sepotong besi atau secarik kertas yang ditulisi, nilainya sama saja. Kesemuanya tak mungkin mengandung kekuatan ghaib, tak mungkin mengandung gaya sakti lebih dari apa yang telah ditentukan oleh sunnatullah atau hukum alam. Tentang meminta pertolongan kepada roh yang telah mati dan mendatangkan roh tersebut, haruslah kita jauhi karena hal ini dilarang oleh agama. Menurut ilmu spiritisme (Ilmu Arwah Modern), memanggil roh orang telah mati memang mungkin, akan tetapi apakah gunanya kita memanggil roh itu, bahkan akan mengganggu ketenangan roh bila saban-saban kita panggil, sedang roh itu tak dapat memberi faedah apa-apa kepada kita. Apalagi kalau kita ingat bahwa roh yang mudah dipanggil hanyalah roh-roh jahil (roh yang dalam keadaan bingung), roh-roh pendusta, roh-roh pembohong saja, yang kesemuanya itu jelas tidak dapat memberikan manfaat kepada kita. 2.3.1 Teori Roh dalam Al-Qur'an Teori tradisi yang dikemukakan, mula-mula oleh Edward Burnett Tylor (1832-1917) didalam bukunya 'Primitive Culture' (1873), secara singkat adalah sebagai berikut : Dengan adanya peristiwa-peristiwa seperti mimpi, sakit dan sebagainya yang dialami oleh orang-orang primitif, maka peristiwa-peristiwa tersebut membawa mereka kepada adanya pengertian tentang anima (roh). Dengan pengertian ini lalu mereka membuat kategori tentang pemisahan roh dan tubuh kasar, mereka lalu berpendapat bahwa terdapatlah roh pada setiap benda hidup dan juga benda mati. Bila orang meninggal, rohnya hidup terus dan dari sanalah asal kepercayaan akan roh orang mati. Roh orang mati dapat mengunjungi manusia yang masih hidup di dalam

12

mimpinya. Lama-kelamaan roh orang mati itu dipuja orang dan diangkat menjadi dewadewa. Roh manusia yang telah mati menurut paham bangsa-bangsa premitif pindah ke tubuh binatang, hidup di gunung, di pohon kayu, di batu besar fetish dan sebagainya. Dan fetish ini bisa mempunyai bentuk apa saja seperti batu, kotak, gigi binatang dan sebagainya. Suatu fetish adalah suatu kepercayaan yang lebih disukai berdasarkan karya-karyanya. Karena fetish itu berkarya, maka barang-barang yang bersangkutan itu mempunyai jiwa atau roh. Roh itu adalah suatu kekuatan yang tampak, kekuatan yang dapat membawa pemiliknya terhindar dari bahaya. Pandangan fetish dapat bersifat pemiliknya dapat berwujud manusia, orangperorangan, ataupun kelompok, suatu keluarga ataupun seluruh rakyat. Fetish yang terdapat pada tentera Omaka (Indian) yang dapat berbuat luar biasa atau ajaib. Teori roh sebagaimana dikemukan oleh Al-Qur'an pada hakikatnya dapat didefenisikan menjadi dua, yaitu : 1. Suatu rahasia Tuhan yang dengan itulah hidupnya tumbuh bagaikan air yang meresap ke dalam pohon yang hidup. 2. Suatu rahasia yang menjadi makanan hai, sehingga dengan demikian hiduplah hai manusia. Berdasarkan arti ini dapatlah Al-Qur'an itu kita namakan roh sebab Al-Qur'an itu merupakan nur, cahaya dan tuntunan yang dapat menyembuhkan dan menghidupkan hati manusia. Dalam Al-Qur'an dikatakan :Demikianlah kami wahyukan padamu Al-Qur'an dari perintah kami dan roh kami. Jadi disini roh itu berarti Al-Qur'an, untuk makanan, untuk menghidupkan hati manusia dan demikian juga Jibril dinamakan roh, karena dialah yang membawa kebaikan dan rahasia-rahasia kerahmatan (Al-Qur'an) kepada nabi. Dalam AlQur'an disebutkan Katakanlah wahai Muhammad, bahwa yang menurunkan Al-Qur'an itu adalah roh (Jibril) dari Tuhanmu. Demikianlah sebabnya Al-Qur'an, Malaikat dan Rasul itu dinamakan roh. Dengan makna dan maksud bahwa semuanya itu memberi rahmat dan menghidupkan semua hati manusia di permukaan bumi.

13

2.3.2 Beberapa Ayat Al-Qur'an Tentang Teori Roh Teori animisme (roh-roh) banyak kita dapat unsur-unsurnya dalam Al-Qur'an. Seperti soal kebebasan kemauan dan terpisahnya (roh) manusia dari badan dan roh hewan dalam kehidupan ini, bertempatnya roh manusia sesudah mati dalam alam barzakh, yaitu tempat yang terdapat antara dunia dan akhirat, dan pertalian-pertalian roh-roh orang yang telah meninggalkan kehidupan di dunia. Kesemuanya itu kita dapati dalam Al-Qur'an antara lain dalam ayat-ayat berikut : 1. Tuhanlah yang mematikan (menidurkan) engkau diwaktu malam, dan dia mengetahui apayang engkau perbuat pada siang hari. Kemudian dia membangkitkan engkau pada hari itu (kiamat) , agar dijalani masa yang telah ditentukan (Q.S 6 : 60). 2. Tuhan mematikan jiwa-jiwa ketika (tiba masanya) matinya, dan bagi yang belum mati yaitu diwaktu tidurnya (Q.S 39 : 42). 3 .Janganlah engkau kira bahwa mereka yang terbunuh karena jalan Allah itu mati, melainkan karena mereka itu hidup di sisi Tuhannya dan mendapat rezeki, gembira atas apa saja yang diberikan Tuhan kepada mereka berupa anugerah, dan optimislah (mereka gembira) terhadap mereka yang menyusuli mereka dan berada di belakangnya (Q.S 3 : 169 - 170). Di samping itu Al-Qur'an menyebutkan adanya roh-roh lain yang terpisah dari manusia, tetapi mereka berhubungan dengan kehidupannya, kadang-kadang untuk menolong manusia dan kadang-kadang tidak. Roh-roh tersebut adalah Malaikat-malaikat. Bagi orang yang mengartikan teori animisme sama dengan teori kejiwaan,maka teori kejiwaan dipakai juga oleh Al-Qur'an, ketika menujukkan kelemahan manusia untuk mencapai segala tujuannya dan kelemahannya ketika menghadapi keputusan Zat Yang Maha Tinggi, serta keharusan menyerah kepada-Nya, sebagai yang tercantum dalam ayat berikut ini, yang artinya : Adakah bagi manusia segala yang diinginkannya? Bagi Tuhan adalah yang pertama dan terakhir.(Q.S 53 : 24 - 25) Kalau animisme dimasukkan dalam golongan agama dengan pengertian obyektif, yaitu agama dalam segala apa yang dipercayai maka mempercayai segala nyawa berarti

14

mempercayai segala Tuhan. Jadi kalau demikian artinya, maka animisme berarti mempunyai Tuhan banyak. Bahkan Al-Qur'an menambah ukuran baru yang besar artinya bagi soal-soal ketuhanan, yaitu membelokkan kemauan dari tujuan, ketika kebencian menjadi kasih sayang dan rasa permusuhan menjadi kerukunan tanpa adanya campur tangan yang nyata dari alam terhadap perpindahan itu. 2.4 PENYIMPANGAN TRADISI DALAM PANDANGAN ISLAM 2.4.1 Tradisi Tabur Bunga (Nyekar) Perbuatan ini sering dilakukan oleh para peziarah kubur. Kami tidak menemukan satu pun riwayat valid yang menunjukkan bahwa rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan para sahabatnya melakukan hal yang serupa ketika menziarahi suatu kubur. Berdasarkan keterangan para ulama, perbuatan ini merupakan tradisi yang diambil dari orang-orang kafir, khususnya kaum Nasrani. Tradisi tebar bunga dipandang sebagai bentuk penghormatan terhadap orang yang telah wafat. Tradisi tersebut kemudian diserap dan dipraktekkan oleh sebagian kaum muslimin yang memiliki hubungan erat dengan orangorang kafir, karena memandang perbuatan mereka merupakan salah satu bentuk kebaikan terhadap orang yang telah wafat. Seorang ulama hadits Mesir, Syaikh Ahmad Syakir rahimahullah mengatakan, Perbuatan ini digalakkan oleh kebanyakan orang, padahal hal tersebut tidak memiliki sandaran dalam agama. Hal ini dilatarbelakangi oleh sikap berlebih-lebihan dan sikap mengekor kaum Nasrani. Apa yang terjadi, khususnya di negeri Mesir merupakan contoh dari hal ini. Orang Mesir pun melakukan tradisi tebar bunga di atas pusara atau saling menghadiahkan bunga sesama mereka. Orang-orang meletakkan bunga di atas pusara kerabat atau kolega mereka sebagai bentuk penghormatan kepada mereka yang telah wafat Beliau melanjutkan, Oleh karena itu, apabila para tokoh muslim mengunjungi sebagian negeri Eropa, anda dapat menyaksikan mereka menziarahi pekuburan para tokoh di negeri tersebut atau ke pekuburan para pejuang tanpa nama kemudian melakukan tradisi tebar bunga, sebagian lagi meletakkan bunga imitasi karena mengekor Inggris dan mengikuti tuntunan hidup kaum terdahulu Lalu di akhir perkataan, beliau menyatakan,

15

Semua ini adalah perbuatan bidah dan kemungkaran yang tidak berasal dari agama Islam, tidak pula memiliki sandaran dari Al Qur-an dan sunnah nabi. Dan kewajiban para ulama adalah mengingkari dan melarang segala tradisi ini sesuai kemampuan mereka (Taliq Ahmad Syakir terhadap Sunan At Tirmidzi1/103, dinukil dari Ahkaamul Janaaiz hal. 254). Oleh karena itu tradisi yang banyak dilakukan oleh kaum muslimin ini tercakup dalam larangan nabi shallallahu alaihi wa sallam agar tidak mengekor kebudayaan khas kaum kafir sebagaimana yang termaktub dalam sabda beliau shallallahu alaihi wa sallam , Barangsiapa menyerupai suatu kaum ,maka ia termasuk golongan mereka (HR. Ahmad nomor 5114, 5115 dan 5667; Said bin Manshur dalam Sunannya nomor 2370; Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannafnya nomor 19401, 19437 dan 33010. Al Allamah Al Albani menghasankan hadits ini dalam Al Irwa 5/109). Ibnu Abdil Barr al Maliki rahimahullah mengatakan, (Maksudnya orang yang menyerupai suatu kaum) akan dikumpulkan bersama mereka di hari kiamat kelak. Dan bentuk penyerupaan bisa dengan meniru perbuatan yang dilakukan oleh kaum tersebut atau dengan meniru rupa mereka (At Tamhid lima fil Muwaththa minal Maani wal Asaanid 6/80). Sebagian kaum muslimin menganalogikan tradisi tabur bunga ini dengan perbuatan Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang menancapkan pelepah kurma basah pada dua buah kubur sebagaimana yang terdapat dalam hadits Abdullah bin Abbas radliallahu anhuma (HR. Bukhari nomor 8 dan Muslim nomor 111). Mereka beranggapan bahwa pelepah kurma atau bunga yang diletakkan di atas pusara akan meringankan adzab penghuninya, karena pelepah kurma atau bunga tersebut akan bertasbih kepada Allah selama dalam keadaan basah. Anggapan mereka tersebut tertolak dengan beberapa alasan sebagai berikut: Alasan pertama, keringanan adzab kubur yang dialami kedua penghuni kubur tersebut adalah disebabkan doa dan syafaat Nabi shallallahu alaihi wa sallam kepada mereka, bukan

16

pelepah kurma tersebut. Hal ini dapat diketahui jika kita melihat riwayat Jabir bin Abdillah radliallahu anhu. Nabi shallallahu alaihi wa sallambersabda, Saya melewati dua buah kubur yang penghuninya tengah diadzab. Saya berharap adzab keduanya dapat diringankan dengan syafaatku selama kedua belahan pelepah tersebut masih basah (HR. Muslim nomor 3012). Hadits Jabir di atas menerangkan bahwa yang meringankan adzab kedua penghuni kubur tersebut adalah doa dan syafaat nabi shallallahu alaihi wa sallam , bukan pelepah kurma yang basah. Alasan kedua, anggapan bahwa pelepah kurma atau bunga akan bertasbih kepada Allah selama dalam keadaan basah sehingga mampu meringankan adzab penghuni kubur bertentangan dengan firman Allah taala,

() Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada suatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun (Al Israa: 44). Makhluk hidup senantiasa bertasbih kepada Allah, begitupula pelepah kurma. Tidak terdapat bukti yang menunjukkan bahwa pelepah kurma atau bunga akan berhenti bertasbih jika dalam keadaan kering. Alasan ketiga, perbuatan nabi shallallahu alaihi wa sallam tersebut bersifat kasuistik (waqiah al-ain) dan termasuk kekhususan beliau sehingga tidak bisa dianalogikan atau ditiru. Hal ini dikarenakan beliau tidak melakukan hal yang serupa pada kubur-kubur yang lain. Begitupula para sahabat tidak pernah melakukannya, kecuali sahabat Buraidah yang berwasiat agar pelepah kurma diletakkan di dalam kuburnya bersama dengan jasadnya. Namun, perbuatan beliau ini hanya didasari oleh ijtihad beliau semata.

17

Ibnu Hajar rahimahullah berkata, Perbuatan Buraidah tersebut seakan-akan menunjukkan bahwa beliau menerapkan hadits tersebut berdasarkan keumumannya dan tidak beranggapan bahwa hal tersebut hanya dikhususkan bagi kedua penghuni kubur tersebut. Ibnu Rusyaid berkata, Apa yang dilakukan oleh Al Bukhari menunjukkan bahwa hal tersebut hanya khusus bagi kedua penghuni kubur tersebut, oleh karena itu Al Bukhari mengomentari perbuatan Buraidah tersebut dengan membawakan perkataan Ibnu Umar, Sesungguhnya seorang (di alam kubur) hanya akan dinaungi oleh hasil amalnya (di dunia dan bukan pelepah kurma yang diletakkan di kuburnya) (Fathul Baari 3/223). Selain itu, pelepah kurma tersebut ditaruh bersama dengan jasad beliau, bukan diletakkan di atas pusara beliau. Alasan keempat, alasan lain yang membatalkan analogi mereka dan menguatkan bahwa perbuatan nabi tersebut merupakan kekhususan beliau adalah pengetahuan nabi shallallahu alaihi wa sallam bahwa kedua penghuni kubur tersebut tengah diadzab. Hal ini merupakan perkara gaib yang hanya diketahui oleh Allah taaladan para rasul yang diberi keistimewaan oleh-Nya sehingga mampu mengetahui beberapa perkara gaib dengan wahyu yang diturunkan kepadanya. Allah berfirman, )( () (Dia adalah Rabb) yang mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu. Kecuali kepada rasul yang diridhai-Nya (Al Jinn: 2627). Kalangan yang menganalogikan tradisi tebar bunga dengan perbuatan nabi tersebut telah mengklaim bahwa mereka mengetahui perkara gaib. Mereka mengklaim mengetahui bahwa penghuni kubur sedang diadzab sehingga pusaranya perlu untuk ditaburi bunga. Sungguh ini klaim tanpa bukti, tidak dilandasi ilmu dan termasuk menerka-nerka perkara gaib yang dilarang oleh agama. Alasan kelima, hal ini mengandung sindiran dan celaan kepada penghuni kubur, karena jika alasan mereka demikian, hal tersebut merupakan salah satu bentuk berburuk sangka (suuzh zhan) kepada penghuni kubur karena menganggapnya sebagai pelaku maksiat

18

yang tengah diadzab oleh Allah di dalam kuburnya sebagai balasan atas perbuatannya di dunia. (Rangkuman faidah ini kami ambil dari Ahkaamul Janaa-iz, Taisirul Allamdan uraian dari ustadzuna tercinta, Abu Umamah hafizhahullah taala saat mengkaji kitab Umdatul Ahkam). Berdasarkan keterangan di atas, kita dapat mengetahui bahwa tradisi ini selayaknya ditinggalkan dan tidak perlu dilakukan ketika berziarah kubur karena tercakup dalam larangan nabi shallallahu alaihi wa sallam. Kita juga mengetahui bahwa tidak terdapat riwayat valid yang menyatakan bahwa para sahabat dan generasi salaf melakukan tradisi tebar bunga di atas pusara. Hal ini menunjukkan bahwa perbuatan tersebut tidak dituntunkan oleh syariat kita. Oleh karena itu, kita patut merenungkan pernyataan As Subki yang telah lewat, bahwa segala perbuatan yang tidak pernah diperintahkan dan dilakukan nabi shallallahu alaihi wa sallam dan para sahabatnya merupakan indikasi bahwa amalan tersebut tidak disyariatkan. Dalam pernyataan beliau tersebut terkandung kaidah dasar dalam pensyariatan sebuah amalan. 2.4.2 Tahlilan Maha Suci Allah yang telah menurunkan Al Quran dan mengutus Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam sebagai penjelas dan pembimbing untuk memahami Al Quran tersebut sehingga menjadi petunjuk bagi umat manusia. Semoga Allah subhanahu wataala mencurahkan hidayah dan inayah-Nya kepada kita semua, sehingga dapat membuka mata hati kita untuk senantiasa menerima kebenaran hakiki. Telah kita maklumi bersama bahwa acara tahlilan merupakan upacara ritual seremonial yang biasa dilakukan oleh keumuman masyarakat Indonesia untuk memperingati hari kematian. Secara bersama-sama, berkumpul sanak keluarga, handai taulan, beserta masyarakat sekitarnya, membaca beberapa ayat Al Quran, dzikir-dzikir, dan disertai doadoa tertentu untuk dikirimkan kepada si mayit. Karena dari sekian materi bacaannya terdapat kalimat tahlil yang diulang-ulang (ratusan kali bahkan ada yang sampai ribuan kali), maka acara tersebut dikenal dengan istilah Tahlilan. Acara ini biasanya diselenggarakan setelah selesai proses penguburan (terkadang dilakukan sebelum penguburan mayit), kemudian terus berlangsung setiap hari sampai hari ketujuh. Lalu diselenggarakan kembali pada hari ke 40

19

dan ke 100. Untuk selanjutnya acara tersebut diadakan tiap tahun dari hari kematian si mayit, walaupun terkadang berbeda antara satu tempat dengan tempat lainnya.

Tidak lepas pula dalam acara tersebut penjamuan yang disajikan pada tiap kali acara diselenggarakan. Model penyajian hidangan biasanya selalu variatif, tergantung adat yang berjalan di tempat tersebut. Namun pada dasarnya menu hidangan lebih dari sekedarnya cenderung mirip menu hidangan yang berbau kemeriahan. Sehingga acara tersebut terkesan pesta kecil-kecilan, memang demikianlah kenyataannya. Entah telah berapa abad lamanya acara tersebut diselenggarakan, hingga tanpa disadari menjadi suatu kelaziman. Konsekuensinya, bila ada yang tidak menyelenggarakan acara tersebut berarti telah menyalahi adat dan akibatnya ia diasingkan dari masyarakat. Bahkan lebih jauh lagi acara tersebut telah membangun opini muatan hukum yaitu sunnah (baca: wajib) untuk dikerjakan dan sebaliknya, bidah (hal yang baru dan ajaib) apabila ditinggalkan. Sebenarnya acara tahlilan semacam ini telah lama menjadi pro dan kontra di kalangan umat Islam. Sebagai muslim sejati yang selalu mengedepankan kebenaran, semua pro dan kontra harus dikembalikan kepada Al Quran dan Sunnah Rasulullah. Sikap seperti inilah yang sepatutnya dimiliki oleh setiap insan muslim yang benar-benar beriman kepada Allah subhanahu wataala dan Rasul-Nya. Bukankah Allah subhanahu wataala telah berfirman (artinya): Maka jika kalian berselisih pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Ar Rasul (As Sunnah), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Yang demikian itu lebih utama bagi kalian dan lebih baik akibatnya. (An Nisaa: 59) Historis Upacara kalau kita buka catatan sejarah Islam, maka acara ritual tahlilan tidak dijumpai di masa Rasulullah shalallahu alaihi wasallam, di masa para sahabatnya ? dan para Tabiin maupun Tabiut tabiin. Bahkan acara tersebut tidak dikenal pula oleh para Imam-Imam Ahlus Sunnah seperti Al Imam Malik, Abu Hanifah, Asy Syafii, Ahmad, dan ulama lainnya yang semasa dengan mereka ataupun sesudah mereka. Lalu dari mana sejarah munculnya acara tahlilan? Awal mula acara tersebut berasal dari upacara peribadatan (baca: selamatan) nenek moyang bangsa Indonesia yang mayoritasnya beragama Hindu dan Budha. Upacara tersebut sebagai bentuk penghormatan dan mendoakan orang yang telah meninggalkan dunia yang diselenggarakan pada waktu seperti halnya waktu tahlilan. Namun acara tahlilan secara praktis di lapangan berbeda dengan prosesi selamatan agama lain yaitu dengan cara mengganti dzikir-dzikir dan doa-doa ala agama lain dengan bacaan dari Al Quran, maupun

20

dzikir-dzikir

dan

doa-doa

ala

Islam

menurut

mereka.

Dari aspek historis ini kita bisa mengetahui bahwa sebenarnya acara tahlilan merupakan adopsi (pengambilan) dan sinkretisasi (pembauran) dengan agama lain. Tahlilan Dalam Kaca Mata Islam Acara tahlilan paling tidak terfokus pada dua acara yang paling penting yaitu: 1. Pembacaan beberapa ayat/ surat Al Quran, dzikir-dzikir dan disertai dengan doadoa tertentu yang ditujukan dan dihadiahkan kepada si mayit. 2. Penyajian hidangan makanan. Dua hal di atas perlu ditinjau kembali dalam kaca mata Islam, walaupun secara historis acara tahlilan bukan berasal dari ajaran Islam.Pada dasarnya, pihak yang membolehkan acara tahlilan, mereka tiada memiliki argumentasi (dalih) melainkan satu dalih saja yaitu istihsan (menganggap baiknya suatu amalan) dengan dalil-dalil yang umum sifatnya. Mereka berdalil dengan keumuman ayat atau hadits yang menganjurkan untuk membaca Al Quran, berdzikir ataupun berdoa dan menganjurkan pula untuk memuliakan tamu dengan menyajikan hidangan dengan niatan shadaqah. Bacaan Al Quran, dzikir-dzikir, dan doa doa yang ditujukan/ dihadiahkan kepada si mayit. Memang benar Allah subhanahu wataala dan RasulNya menganjurkan untuk membaca Al Quran, berdzikir dan berdoa. Namun apakah pelaksanaan membaca Al Quran, dzikir-dzikir, dan doa-doa diatur sesuai kehendak pribadi dengan menentukan cara, waktu dan jumlah tertentu (yang diistilahkan dengan acara tahlilan) tanpa merujuk praktek dari Rasulullah shalallahu alaihi wasallam dan para sahabatnya bisa dibenarakan? Kesempurnaan agama Islam merupakan kesepakatan umat Islam semuanya, karena memang telah dinyatakan oleh Allah subhanahu wataala dan Rasul-Nya. Allah subhanahu wataala berfirman (artinya): Pada hari ini telah Aku sempurnakan agama Islam bagi kalian, dan telah Aku sempurnakan nikmat-Ku atas kalian serta Aku ridha Islam menjadi agama kalian. (Al Maidah: 3) Juga Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda:

Artinya : Tidak ada suatu perkara yang dapat mendekatkan kepada Al Jannah (surga) dan menjauhkan dari An Naar (neraka) kecuali telah dijelaskan kepada kalian semuanya. (H.R Ath Thabrani)

21

Ayat dan hadits di atas menjelaskan suatu landasan yang agung yaitu bahwa Islam telah sempurna, tidak butuh ditambah dan dikurangi lagi. Tidak ada suatu ibadah, baik perkataan maupun perbuatan melainkan semuanya telah dijelaskan oleh Rasulullah shalallahu alaihi wasallam. Suatu ketika Rasulullah shalallahu alaihi wasallam mendengar berita tentang pernyataan tiga orang, yang pertama menyatakan: Saya akan shalat tahajjud dan tidak akan tidur malam, yang kedua menyatakan: Saya akan bershaum (puasa) dan tidak akan berbuka, yang terakhir menyatakan: Saya tidak akan menikah, maka Rasulullah shalallahu alaihi wasallam menegur mereka, seraya berkata: Apa urusan mereka dengan menyatakan seperti itu? Padahal saya bershaum dan saya pun berbuka, saya shalat dan saya pula tidur, dan saya menikahi wanita. Barang siapa yang membenci sunnahku maka bukanlah golonganku. (Muttafaqun alaihi) Ibadah menurut kaidah Islam tidak akan diterima oleh Allah subhanahu wataala kecuali bila memenuhi dua syarat yaitu ikhlas kepada Allah dan mengikuti petunjuk Rasulullah shalallahu alaihi wasallam. Allah subhanahu wataala menyatakan dalam Al Quran (artinya): Dialah Allah yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji siapa diantara kalian yang paling baik amalnya. (Al Mulk: 2) Para ulama ahli tafsir menjelaskan makna yang paling baik amalnya ialah yang paling ikhlash dan yang paling mencocoki sunnah Rasulullah shalallahu alaihi wasallam. Tidak ada seorang pun yang menyatakan shalat itu jelek atau shaum (puasa) itu jelek, bahkan keduanya merupakan ibadah mulia bila dikerjakan sesuai tuntunan sunnah Rasulullah shalallahu alaihi wasallam. Atas dasar ini, beramal dengan dalih niat baik (istihsan) semata -seperti peristiwa tiga orang didalam hadits tersebut- tanpa mencocoki sunnah Rasulullah shalallahu alaihi wasallam, maka amalan tersebut tertolak. Simaklah firman Allah subhanahu wataala (artinya): Maukah Kami beritahukan kepada kalian tentang orangorang yang paling merugi perbuatannya. Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka telah berbuat sebaik-baiknya. (Al Kahfi: 103-104) Lebih ditegaskan lagi dalam hadits Aisyah radhiallahu anha, Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda:

22

Artinya : Barang siapa yang beramal bukan diatas petunjuk kami, maka amalan tersebut tertolak. (Muttafaqun alaihi, dari lafazh Muslim)

Atas dasar ini pula lahirlah sebuah kaidah ushul fiqh yang berbunyi:

Artinya : Hukum asal dari suatu ibadah adalah batal, hingga terdapat dalil (argumen) yang memerintahkannya. Maka beribadah dengan dalil istihsan semata tidaklah dibenarkan dalam agama. Karena tidaklah suatu perkara itu teranggap baik melainkan bila Allah subhanahu wataala dan Rasul-Nya menganggapnya baik dan tidaklah suatu perkara itu teranggap jelek melainkan bila Allah subhanahu wataala dan Rasul-Nya menganggapnya jelek. Lebih menukik lagi pernyataan dari Al Imam Asy SyafiI:

Artinya : Barang siapa yang menganggap baik suatu amalan (padahal tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah pent) berarti dirinya telah menciptakan hukum syara (syariat) sendiri. Kalau kita mau mengkaji lebih dalam madzhab Al Imam Asy Syafii tentang hukum bacaan Al Quran yang dihadiahkan kepada si mayit, beliau diantara ulama yang menyatakan bahwa pahala bacaan Al Quran tidak akan sampai kepada si mayit. Beliau berdalil dengan firman Allah subhanahu wataala (artinya): Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh (pahala) selain apa yang telah diusahakannya. (An Najm: 39), (Lihat tafsir Ibnu Katsir 4/329). Memang secara sepintas pula, penyajian hidangan untuk para tamu merupakan perkara yang terpuji bahkan dianjurkan sekali didalam agama Islam. Namun manakala penyajian hidangan tersebut dilakukan oleh keluarga si mayit baik untuk sajian tamu undangan tahlilan ataupun yang lainnya, maka memiliki hukum tersendiri. Bukan hanya

23

saja tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bahkan perbuatan ini telah melanggar sunnah para sahabatnya radhiallahu anhum. Jarir bin Abdillah radhiallahu anhusalah seorang sahabat Rasulullah shalallahu alaihi wasallam berkata: Kami menganggap/ memandang kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit, serta penghidangan makanan oleh keluarga mayit merupakan bagian dari niyahah (meratapi mayit). (H.R Ahmad, Ibnu Majah dan lainnya) Sehingga acara berkumpul di rumah keluarga mayit dan penjamuan hidangan dari keluarga mayit termasuk perbuatan yang dilarang oleh agama menurut pendapat para sahabat Rasulullah shalallahu alaihi wasallam dan para ulama salaf. Lihatlah bagaimana fatwa salah seorang ulama salaf yaitu Al Imam Asy Syafii dalam masalah ini. Kami sengaja menukilkan madzhab Al Imam Asy Syafii, karena mayoritas kaum muslimin di Indonesia mengaku bermadzhab Syafii. Al Imam Asy Syafii rahimahullah berkata dalam salah satu kitabnya yang terkenal yaitu Al Um (1/248): Aku membenci acara berkumpulnya orang (di rumah keluarga mayit pent) meskipun tidak disertai dengan tangisan. Karena hal itu akan menambah kesedihan dan memberatkan urusan mereka. (Lihat Ahkamul Jana-iz karya Asy Syaikh Al Albani hal. 211) Al Imam An Nawawi seorang imam besar dari madzhab Asy Syafii setelah menyebutkan perkataan Asy Syafii diatas didalam kitabnya Majmu Syarh Al Muhadzdzab 5/279 berkata: Ini adalah lafadz baliau dalam kitab Al Um, dan inilah yang diikuti oleh murid-murid beliau. Adapun pengarang kitab Al Muhadzdzab (Asy Syirazi) dan lainnya berargumentasi dengan argumen lain yaitu bahwa perbuatan tersebut merupakan perkara yang diada-adakan dalam agama (bidah pent). Lalu apakah pantas acara tahlilan tersebut dinisbahkan kepada madzhab Al Imam Asy Syafii? Malah yang semestinya, disunnahkan bagi tetangga keluarga mayit yang menghidangkan makanan untuk keluarga mayit, supaya meringankan beban yang mereka alami. Sebagaimana bimbingan Rasulullah shalallahu alaihi wasallam dalam hadistnya:

Hidangkanlah makanan buat keluarga Jafar, Karena telah datang perkara (kematianpent) yang menyibukkan mereka. (H.R Abu Dawud, At Tirmidzi dan lainnya) Tahlilan atau upacara selamatan untuk orang yang telah meninggal, biasanya dilakukan pada hari pertama kematian sampai dengan hari ke-tujuh, selanjutnya dilakukan pada hari ke-40, ke-100, ke-satu tahun pertama, kedua, ketiga dst. Dan ada juga yang melakukan pada hari ke-1000. Dalam upacara dihari-hari tersebut, keluarga si

24

mayyit mengundang orang untuk membaca beberapa ayat dan surat Al-Quran, tahlil, tasbih, tahmid, shalawat dan do'a. Pahala bacaan Al-Quran dan dzikir tersebut dihadiahkan kepada si mayyit. Menurut penyelidikan para ahli, upacara tersebut diadopsi oleh para da'i terdahulu dari upacara kepercayaan Animisme, agama Budha dan Hindu. Menurut kepercayaan Animisme, Hinduisme dan Budhisme bila seseorang meninggal dunia maka ruhnya akan datang kerumah pada malam hari mengunjungi keluarganya. Jika dalam rumah tadi tidak ada orang ramai yang berkumpul-kumpul dan mengadakan upacara-upacara sesaji, seperti membakar kemenyan, dan sesaji terhadap yang ghaib atau ruh-ruh ghaib, maka ruh orang mati tadi akan marah dan masuk (sumerup) ke dalam jasad orang yang masih hidup dari keluarga si mati. Maka untuk itu semalaman para tetangga dan kawan-kawan atau masyarakat tidak tidur, membaca mantera-mantera atau sekedar kumpul-kumpul. Hal semacam itu dilakukan pada malam pertama kemtian, selanjutnya malam ketiga, ketujuh, ke-100, satu tahun, dua tahun dan malam ke-1000. Setelah orang-orang yang mempunyai kepercayaan tersebut masuk Islam, mereka tetap melakukan upacara-upacara tersebut. Sebagai langkah awal, para da'i terdahulu tidak memberantasnya, tetapi mengalihkan dari upacara yang bersifat Hindu dan Budha itu menjadi upacara yang bernafaskan Islam. Sesaji diganti dengan nasi dan lauk-pauk untuk shodaqoh. Mantera-mantera digantika dengan dzikir, do'a dan bacaanbacaan Al-Quran. Upacara semacam ini kemudian dianamakan Tahlilan yang sekarang telah membudaya pada sebagian besar masyarakat. 2.4.3 Peringatan Maulid Nabi Diantara praktek penyimpangan yang terjadi di kalangan umat Islam adalah peringatan maulid Nabi Muhammad saw yang diadakan setiap tahunnya pada bulan Rabiul Awal. Peringatan maulid yang tidak pernah ada pada zaman Nabi dan generasi sahabat dan tabiin ini pertama kali diperkenalkan pada zaman dinasti Fatimiyah pada abad 10 masehi. Langkah ini secara tidak langsung dimaksudkan sebagai sebuah penegasan kepada khalayak, bahwa dinasti ini betul-betul keturunan Nabi Muhammad SAW. Setidaknya ada dimensi politis dalam kegiatan tersebut. Selanjutnya peringatan maulid Nabi Muhammad saw menjadi sebuah upacara yang kerap dilakukan umat Islam di berbagai belahan dunia.

25

Di Indonesia yang merupakan negeri muslim terbesar di dunia perayaan maulid pun kerap dilakukan di berbagai daerah. Masyarakat di setiap daerah memiliki cara tersendiri untuk merayakan kelahiran manusia agung tersebut. Meskipun seringkali tidak ada hubungan langsung antara kelahiran Nabi Muhammad dan upacara yang mereka lakukan, bahkan tidak sedikit perayaan tersebut merupakan bentuk kesyirikan. Di Banten, misalnya, ribuan orang mendatangi kompleks Masjid Agung Banten yang terletak 10 km arah utara pusat Kota Serang. Mereka berziarah ke makam para sultan, antara lain Sultan Hasanuddin, secara bergiliran. Sebagian di antaranya berendam di kolam masjid itu, konon katanya, untuk mendapat berkah. Ada di antara mereka yang sengaja mengambil air kolam tersebut untuk dibawa pulang sebagai obat.. Di Cirebon, pada tanggal 11-12 Rabiul Awal banyak orang Islam datang ke makam Sunan Gunung Jati, salah seorang dari wali sanga, penyebar agama Islam di kawasan Jawa Barat dan Banten. Biasanya di Keraton Kasepuhan diselenggarakan upacara Panjang Jimat, yakni memandikan pusaka-pusaka keraton peninggalan Sunan Gunung Jati. Banyak orang berebut untuk memperoleh air bekas cucian tersebut, karena dipercaya akan membawa keberuntungan. Ini jelas syirik yang wajib dikikis habis. Di Cirebon, Yogyakarta, dan Surakarta, perayaan maulid dikenal dengan istilah sekaten. Istilah ini berasal dari kata syahadatain, yaitu dua kalimat syahadat. Pada tanggal 5 bulan Maulud, kedua perangkat gamelan, Kyai Nogowilogo dan Kyai Gunturmadu, dikeluarkan dari tempat penyimpanannya di bangsal Sri Manganti, ke Bangsal Ponconiti yang terletak di Kemandungan Utara (Keben) dan pada sore harinya mulai dibunyikan di tempat ini. Antara pukul 23.00 hingga pukul 24.00 kedua perangkat gamelan tersebut dipindahkan ke halaman Masjid Agung Yogyakarta, ring - iringan abdi dalem jajar, disertai pengawal prajurit Kraton berseragam lengkap. Pada umumnya, masyarakat Yogyakarta dan sekitarnya berkeyakinan bahwa dengan turut berpartisipasi merayakan hari kelahiran Nabi Muhammad S.A.W. ini yang bersangkutan akan mendapat imbalan pahala dari Yang Maha Kuasa, dan dianugrahi awet muda. Sebagai Srono (Syarat) nya, mereka harus menguyah sirih di halaman Masjid Agung, terutama pada hari pertama dimulainya perayaan sekaten. Puncak perayaan Sekaten disebut Gerebeg Mulud. diselenggarakan pada hari keduabelas bulan Mulud kalender Jawa. Festival ini dimulai pada pukul 7.30 pagi, didahului

26

oleh parade pengawal kerajaan yang terdiri dari 10 unit: Wirobrojo, Daeng, Patangpuluh, Jogokaryo,Prawirotomo, Nyutro, Ketanggung, Mantrijeron, Surokarso, dan Bugis. Setiap unit mempunyai seragam masing2. Parade dimulai dari halaman utara Kemandungan kraton, kemudian melewati siti hinggil menuju Pagelaran, dan selanjutnya menuju alun2 utara. Pukul 10.00 pagi, Gunungan meninggalkan kraton didahului oleh pasukan bugis dan surokarto. Gunungan dibuat dari makanan seperti sayur2an, kacang, lada merah, telor, dan beberapa pelengkap yang terbuat dari beras ketan. Dibentuk menyerupai gunung, melambangkan kemakmuran dan kekayaan tanah mataram. Parade disambut dengan tembakan-tembakan dan sahut-sahutan oleh pengawal Kraton ketika melewati alun-alun utara, prosesi semacam ini dinamakan Gerebeg. Kata gerebeg berarti suara berisik yang berasal dari teriakan orang-orang. selanjutnya gunungan dibawa ke Masjid Agung untuk diberkati dan kemudian dibagikan ke masyarakat. Orang-orang biasanya berebut untuk mendapatkan bagian dari gunungan karena mereka percaya bahwa makanan tersebut mengandung kekuatan gaib. Para petani biasanya menanam sebagian jarahan dari gunungan di tanah mereka, dengan kepercayaan ini akan menghindarkan mereka dari kesialan dan bencana. Kalau kita memperhatikan perayaan-perayaan di atas pastilah kita tidak meragukan bahwa hal tersebut merupakan bentuk kesyirikan. Hal tersebut karena pengaruh kepercayaan animisme yang masih melekat di kalangan sebagian masyarakat Indonesia. Sebagian masyarakat merayakan maulid dengan membaca Barzanji, Dibai atau alBurdah atau dalam istilah orang Jakarta dikenal dengan rawi. Barzanji dan DibaI adalah karya tulis seni sastra yang isinya bertutur tentang kehidupan Muhammad, mencakup silsilah keturunannya, masa kanak-kanak, remaja, pemuda, hingga diangkat menjadi rasul. Karya itu juga mengisahkan sifat-sifat mulia yang dimiliki Nabi Muhammad, serta berbagai peristiwa untuk dijadikan teladan umat manusia. Nama Barzanji dan DibaI diambil dari nama pengarang naskah tersebut. Tetapi di dalamnya juga terdapat kesalahan-kesalahan diantaranya kepercayaan terhadap Nur Muhammad saw atau Hakikat Muhammad saw yaitu yang meyakini bahwa nur Muhammad adalah makhluk pertama yang Allah ciptakan dan semua alam semesta tercipta sebab nur Muhammada ini. Sedangkan al-Burdah adalah kumpulan syair-syair pujian kepada Rasulullah saw yang dikarang oleh al-Bushiri. Dalam syair-syair burdah terdapat syair yang menjadi kritikan para

27

ulama kerena adanya ghuluw dan ithra (berlebih-lebihan) dalam pujian terhadap Rasulullah saw, diantaranya syair yang berbunyi: Artinya : Diantara kedermawananmu adalah dunia dan akhirat Dan diantara ilmumu adalah ilmu lauh dan qalam

Sesi pembacaan Barzanji, Dibai atau burdah adalah sesi yang tidak pernah tertinggal bahkan seolah menjadi syarat penting, baik dalam perayaan maulid yang besar atau yang kecil. Di tengah pembacaan Barzanji, Dibai atau burdah ini ada suatu paragraf bacaan yang dikenal dengan mahallul qiyam. Dimana ketika ini dibaca hadirin semua berdiri sambil bershalawat kepada Rasulullah saw dengan alasan menghormatinya karena saat itu diyakini bahwa roh Rasulullah saw mendatangi mereka. Hal ini adalah bidah, khurafat dan takhayul yang dimunculkan oleh pemikiran yang bertentangan dan menyalahi al-Quran dan asSunnah yang dianut oleh bathiniyah, tasawuf dan tarekat. Pada perkembangan berikutnya, pembacaan Barzanji, Dibai atau al-Burdah dilakukan di berbagai kesempatan sebagai sebuah pengharapan untuk pencapaian sesuatu yang lebih baik. Misalnya pada saat kelahiran bayi, mencukur rambut bayi (akikah), acara khitanan, pernikahan, dan upacara lainnya. Biasanya di masjid-masjid di perkampungan atau di rumah-rumah, orang-orang duduk bersimpuh melingkar. Lalu seseorang membacakan Barzanji, Dibai atau al-Burdah, yang pada bagian tertentu disahuti oleh jemaah lainnya secara bersamaan. Di tengah lingkaran terdapat nasi tumpeng dan makanan kecil lainnya yang dibuat warga setempat secara gotong royong. Pada sebagian masyarakat, pembacaan Barzanji juga dilakukan bersamaan dengan "diestafetkannya" bayi yang baru dicukur selama satu putaran dalam lingkaran. Sementara baju atau kain orang-orang yang sudah memegang bayi tersebut, kemudian disemprot atau diberi setetes dua tetes minyak wangi.

Orang-orang yang melakukan perayaan maulid mengklaim bahwa mereka berbuat hal tersebut karena mereka cinta kepada Nabi Muhammad saw. Seandainya mereka benar mencintainya niscaya mereka akan meninggalkan perayaan-perayaan tersebut, karena

28

Rasulullah saw telah menjelaskan kepada umatnya bagaimana cara mencintainya dengan benar. Mencintai Rasulullah saw adalah dengan mentaati perintahnya, menjauhi larangannya dan menghidupkan sunahnya. Sedangkan merayakan maulid adalah bentuk pelanggaran terhadap larangannya karena beliau melarang umatnya melakukan bidah dalam agamanya. Terdapat sebahagian dari pencinta amalan maulid ini beralasan: "Kami mengadakan perayaan memperingati maulid ini untuk membacakan sirah (sejarah) hidup Rasulullah sallallahu 'alaihi wa-sallam". Tetapi kenyataan sirah yang mereka bacakan bertentangan dengan sabda-sabda dan sejarah Rasulullah saw yang benar. Kalaulah begitu apa faedahnya? Apakah orang yang dikatakan mencintai Rasulullah cukup hanya dengan membacakan sirah hidup baginda? Kalau begitu, ini bermakna orang yang mencintai Rasulullah saw perlu membacanya setiap hari sedangkan mereka hanya melakukannya setahun sekali? Pembuat bid'ah perlu menyedari bahawa di bulan Rabi'ul Awal adalah bulan kelahiran dan kematian Rasulullah saw, tidak sepatutnya diadakan perayaan (bersuka ria) di bulan kematiannya sedangkan menunjukkan keprihatinan adalah lebih utama.

29

BAB III PENUTUP 3.1 Simpulan Sebagai perbandingan dalam Islam, bahwa ritual tradisi ibadah dalam Islam sudah terkodifikasi tanpa modifikasi, secara sederhana dan tanpa dipaksakan. Tradisi ibadah ini yang terkodifikasi tanpa modifikasi ini termasuk ibadah wajib (makhdhoh) dan ibadah sunnah muakadah. Terkadang pada sunah muakadah seperti aqiqah, khitan, akad nikah dan walimah ada kesan ada tambahan dalamm pelaksanaannya. Selama tidak bertentangan dengan ajaran tidak bermasalah. Acara tasyakur (di Indonesia : Syukuran), dalam Islam secara sederhana dalam bentuk berhamdalah, berbagi melalui tasyakuran dengan tidak berlebih-lebihan (berfoya-foya, kegiatan mubadzir), dan meningkatkan aktivitas beribadah (berupa shalat dan berkurban : QS Al Kautsar [108] ayat 1-2). Ritual kematian, sebagai kewajiban kifayah yaitu selesai setelah prosesi penguburan jenazah, tinggal ahli waris melakukan amanah sebagai anak sholeh yang selalu mendoakan bagi almarhum/ah dan beramal sholeh setiap saat yang tidak ditentukan dengan waktu-waktu tertentu. Bagi umat Islam, menurut ajaran Islam bahwa untuk selalu berhati-hati dalam melakukan ritual yang dianggap ibadah karena tuntutan tradisi, karena dikhawatirkan amalnya akan tertolak dan mendatangkan kerugian jangka panjang hingga di hari Perhitungan kelak. Dan banyak ritual tradisi yang menurut kebanyakan umum belum tentu sesuai dengan tuntunan ajaran Islam, karena hanya berdasarkan warisan dari orangtua-orangtua mereka secara lisan tanpa terkodifikasi dan sesuai dengan tuntunan ajaran Islam. 3.2 Saran Di dalam perjalanannya, suatu tradisi memang lazim mengalami perubahan dan perkembangan. Oleh karena itu, corak tradisi di suatu daerah berbeda-beda dari jaman ke jaman. Perubahan itu terjadi karena ada kontak dengan tradisi lain, atau dengan kata lain karena ada kekuatan dari luar. Hubungan antara para pendukung dua tradisi yang berbeda dalam waktu yang lama mengakibatkan terjadinya akulturasi, yang mencerminkan adanya pihak pemberi dan penerima. Di dalam proses itu terjadi percampuran unsure-unsur kedua tradisi yang bertemu tersebut. Mula-mula unsure-unsurnya masih dapat dikenali dengan mudah, tetapi lama-kelamaan akan muncul sifat-sifat baru yang tidak ada dalam tradisi induknya. Rupanya proses seperti diuraikan di atas berulang kali terjadi di Indonesia,

30

termasuk ketika Islam masuk dan berkembang di Indonesia. Pertemuan dan akulturasi antara tradisi Hindu-Budha, Prasejarah, dan Islam (kemudian juga tradisi Barat) terjadi dalam jangka waktu yang panjang, dan bertahap. Perlu suatu pembekalan mengenai penyimpangan yang terjadi dengan akulturasi tradisi dengan agama Islam. Peningkatan keimanan dan ketaqwaan harus selalu dijaga agar tidak terbentuk tradisi yang menyimpang dengan kebudayaan Islam.

31

Daftar PustakaMuhyiddin Abdusshomad, Tahlil dalam Prespektif Al-Quran dan As-Sunnah Kajian Kitab Kuning, (Surabaya: PP. Nurul Islam, 2005), 25. Rudi, Studi Perbandingan Pranata Sosial, dalam http://blogs.unpad.ac.id(Sdarwis )?p= 4, (1 Juni 2008). http://srfls.wordpress.com/2010/03/02/tahlil-dan-taziyah/ Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial (Yogyakarta: PT. Dian Rakyat, 1985), 165. Sholeh Soan, Tahlilan: Penelitian Historis atas Makna Penelitian Indonesia, (Bandung: Agung Ilmu), 153 Badruddin H. Subky, Bidah, 64. Badrussin Hsubky, Bidah-bidah di Indonesia dalam Perspektif Al-Quran As-Shunnah Kalam Kitab Kuning, (Surabaya: PP. Nurul Islam, 2005), 25.

Tim Penyusun Kamus. 1999. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi kedua. Cetakan 10. Jakarta : Balai Pustaka. http://hbis.wordpress.com/2009/12/20/mistisisme-simbolik-dalam-tradisi-islam-jawa/

http://www.heritageofjava.com/ebook/Keunikan_Interaksi_Islam_dan_Budaya_jawa.pdf

32

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmaanirrahiim. Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh. Segala puja dan puji hanya milik Allah SWT, Rabb semesta alam atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya kami selaku mahasiswa sekaligus penyusun dapat menyelesaikan makalah ini . Salawat serta salam mudah-mudahan selalu tercurah kepada rasul kita tercinta Muhammad SAW, keluarga, sahabat, dan para pengikutnya yang setia sampai akhir zaman. Kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kami khususnya dosen mata kuliah Seminar Pendidikan Agama Islam, dimana beliau telah membimbing kami hingga karya yang kecil ini dapat diselesaikan. Dalam makalah ini kami membahas tentang hubungan yang terjadi antara Islam dengan tradisi di Indonesia . Semua ini disusun berdasarkan isi serta pemahaman kami yang didukung oleh sumber lain tentang permasalahan tersebut. Dalam penyusunan karya kecil ini tidak sedikit hambatan yang kami hadapi. Kami sangat menyadari bahwa makalah ini sangat jauh dari kesempurnaan, meskipun demikian mudah-mudahan karya yang kecil ini bisa bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkannya terutama teman-teman dan pembaca sekalian. Amin. Oleh karena itu, kami sangat membutuhkan kritik dan saran demi perbaikan di masa yang akan datang.

Bandung,

Februari 2012

Penulis

33

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...............................................................................................................i DAFTAR ISI .......................................................................................................................... ii BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ........................................................................................................... 1 1.2 Rumusan Masalah ..................................................................................................... 4 1.3 Tujuan ........................................................................................................................ 4 1.4 Manfaat ..................................................................................................................... 4BAB II PEMBAHASAN ......................................................................................................... 4 2.1 2.2 Pengertian Tradisi...................................................................................................... 5 Perkembangan Tradisi ............................................................................................... 6 2.2.1 2.2.2 2.2.3 2.3 Asal Berkembnagnya Tradisi .................................................................. 6 Kepercayaan Animisme ......................................................................... 7 Kepercayaan Dinamisme ....................................................................... 9

Pandangan Islam Terhadap Tradisi ......................................................................... 10 2.3.1 2.3.2 Teori Roh dalam Al- Quran..11 Beberapa Ayat Al Quran Tentang Teori Roh..13

2.4

Penyimpangan Tradisi Dalam Pandangan Islam...................................................... 14 2.4.1 2.4.2 2.4.3 Tradisi Tabur Bunga (Nyekar)14 Tahlilan..18 Peringatan Maulid Nabi.24

BAB III PENUTUP .............................................................................................................. 29 3.1 3.2 Kesimpulan .............................................................................................................. 29 Saran ........................................................................................................................ 29

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 31

34