bab i pendahuluan a. latar belakangrepository.ucb.ac.id/81/2/bab i-ii.pdf · 2020. 7. 10. · bab i...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hiperkolesterolemia adalah suatu kelainan metabolisme lipid yang ditandai
dengan peningkatan kadar kolesterol total dan low density lipoprotein (LDL)
(Rahardja dan Tjay, 2015). Kolesterol total yang tinggi dan lebih kuat dengan
peningkatan kolesterol LDL dalam darah dihubungkan secara positif dengan
kejadian Penyakit Jantung Koroner (PJK) (Harvey dan Champe, 2013) dan stroke
(Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia, 2013), dimana kedua
penyakit ini bertanggung jawab atas 15,2 juta kematian dari total 56,9 juta
kematian pada tahun 2016 (WHO, 2018). Berdasarkan hasil Riset Kesehatan
Dasar (RisKesDas) Indonesia tahun 2018, diketahui bahwa sebanyak 7,6%
penduduk Indonesia memiliki nilai kolesterol total tinggi; 24,3% memiliki nilai
High Density Lipoprotein (HDL) rendah; 9% memiliki nilai LDL tinggi dan
sebanyak 3,4% memiliki nilai LDL sangat tinggi. Berdasarkan Data Profil
Penyakit Tidak Menular (PTM) pada tahun 2016, provinsi NTT menduduki
peringkat ke 16 dari 34 provinsi untuk presentasi pengunjung Pos Pembinaan
Terpadu (Posbindu) PTM dan Puskesmas dengan kolesterol total tinggi.
Penanganan hiperkolesterolemia dapat dilakukan dengan terapi, yaitu terapi
non farmakologi dan terapi farmakologi baik menggunakan obat sintesik maupun
obat herbal. Terapi non farmakologi adalah terapi dengan cara mengubah pola
hidup, misalnya dengan mengurangi asupan makanan yang berkolesterol tinggi
seperti jeroan dan hati; meningkatkan konsumsi makanan berserat (Rahardja dan
Tjay, 2015); menghentikan kebiasaaan rokok, menurunkan berat badan dan
melakukan aktivitas secara teratur misalnya berjalan cepat 30 menit perhari
(Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia, 2013). Terapi non
farmakologi merupakan terapi hiperkolesterolemia yang paling aman, karena
2
tidak menimbulkan efek samping seperti pengobatan dengan obat, namun
sebagian besar pasien tidak berkeinginan atau susah untuk merubah gaya
hidupnya, sehingga diterapi secara farmakologi atau terapi dengan obat-obatan.
Obat sintetik yang digunakan untuk terapi hiperkolesterolemia adalah obat
antilipemika yaitu obat yang dapat menurunkan kadar kolesterol dan atau
trigliserida (TG) yang tinggi dalam darah, selain itu penurunan kolesterol total
dengan antilipemika dapat melarutkan plak aterosklerosis, yang merupakan salah
satu pencetus PJK (Rahardja dan Tjay, 2015). Obat antilipemika ini terdiri dari
beberapa golongan yang berbeda yaitu pengikat asam empedu, asam nikotinat,
golongan fibrat, golongan statin dan golongan obat lainnya, namun obat-obat ini
memiliki efek samping yang bisa membahayakan maupun membuat penderita
hiperkolesterolemia menjadi tidak nyaman, contohnya obat golongan statin, obat
golongan ini jika digunakan dengan dosis maksimum 80 mg selama 12 bulan
dapat terjadi miopati atau gangguan pada otot (Perhimpunan Dokter Spesialis
Kardiovaskular Indonesia, 2013), selain itu obat golongan ini juga dapat
mengakibatkan gangguan mata dan fungsi hati (Rahardja dan Tjay, 2015), untuk
mengatasi kejadian efek samping obat antilipemika maka diperlukan terapi
alternatif menggunakan obat-obatan herbal karena selain lebih mudah didapatkan,
efek sampingnya lebih kecil dibandingkan dengan obat-obat sintetik tetapi harus
tetap diperhatikan penggunaannya yaitu tepat bahan, tepat dosis, tepat waktu
penggunaan, tepat cara penggunaan, tepat telaah informasi, dan tanpa
penyalahgunaan (Sari, 2006).
Tanaman yang dapat dijadikan obat herbal untuk terapi hiperkolesterolemia
adalah tanaman yang memiliki senyawa saponin, steroid (khususnya steroid
phytosterol), alkaloid, tanin dan flavonoid. Saponin bekerja dengan cara
menghambat penyerapan kolesterol (Kamesh dan Sumathi, 2012), steroid
(phytosterol) berkompetisi dengan kolesterol pada saat proses penyerapan dalam
usus (Ogbe et al., 2015), alkaloid dan tanin mempercepat pembuangan kolesterol
melalui feses (Rahayu, 2005; Lajuck 2012) sedangkan flavanoid dapat
3
menghambat enzim pembentuk kolesterol yang menyebabkan gangguan sintesis
kolesterol (Sekhon dan Loodu, 2012), sehingga terjadi penurunan kadar
kolesterol. Salah satu tanaman yang memiliki senyawa tersebut adalah daun
tanaman kapuk atau Ceiba pentandra L. (Osuntoku et al., 2017; Enechi et al.,
2013; Anasane dan Chaturvedi, 2018).
Tanaman kapuk adalah salah satu tanaman yang sudah tidak asing lagi bagi
masyarakat Indonesia, karena tanaman ini mudah ditemui dan sering
dimanfaatkan sebagai bahan untuk membuat kasur, bantal maupun sebagai bahan
makan ternak. Beberapa penggunaan daun kapuk sebagai pengobatan tradisional
di Indonesia adalah untuk pengobatan cacar dan koreng oleh masyarakat Desa
Trunyan, Bali. Suku Muna, Sulawesi Tenggara menggunakan daun kapuk sebagai
pengobatan maag dan demam (Jumiarni dan Komalasari, 2017). Walaupun
tanaman ini belum banyak digunakan di Indonesia untuk pengobatan, namun
sering dimanfaatkan di Afrika sebagai pengobatan tradisional, salah satunya
untuk pengobatan diabetes (Fofié et al., 2018). Berdasarkan penelitian Aloke et
al, (2010), Parameshwar et al, (2010), Satyaprakash et al, (2013) dan Muhammad
et al, (2016) diketahui bahwa serbuk daun kapuk yang ditambahkan ke pakan
tikus, ekstrak akar kapuk ekstrak batang kapuk dan ekstrak daun kapuk memiliki
efek hipolipidemik pada tikus diabetes. Penelitian lain dilakukan oleh Singht et al
(2017) menunjukkan bahwa batang tanaman kapuk dapat menurunkan kadar
kolesterol pada tikus hiperkolesterol.
Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
mengenai uji aktivitas ekstrak etanol 70% daun kapuk (Ceiba pentandra. L)
terhadap penurunan kadar kolesterol total tikus hiperkolesterolemia.
4
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka diambil rumusan masalah sebagai
berikut:
1. Apakah ekstrak etanol 70% daun kapuk (Ceiba pentandra. L) pada dosis 400
mg/KgBB dan 800 mg/KgBB memiliki aktivitas menurunkan kadar kolesterol
total tikus hiperkolesterolemia?
2. Berapakah dosis ekstrak etanol 70% daun kapuk (Ceiba pentandra. L) yang
paling optimal dalam menurunkan kadar kolesterol total pada tikus
hiperkolesterolemia?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui aktivitas ekstrak etanol 70% daun kapuk (Ceiba pentandra. L)
dosis 400 mg/KgBB dan 800 mg/KgBB dalam menurunkan kadar kolesterol
total tikus hiperkolesterolemia.
2. Mengetahui dosis ekstrak etanol 70% daun kapuk (Ceiba pentandra. L) yang
paling optimal dalam menurunkan kadar kolesterol total tikus
hiperkolesterolemia.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Mendapatkan data mengenai pengaruh pemberian ekstrak etanol daun kapuk,
terhadap kolesterol total sehingga dapat menambah perkembangan ilmu
pengetahuan dan wawasan.
2. Sebagai informasi kepada masyarakat tentang manfaat tanaman kapuk, untuk
mengatasi hiperkolesterolemia.
3. Sebagai data awal penelitian untuk peneliti selanjutnya, agar dapat dijadikan
referensi, sehingga dapat mengembangkan penelitian yang lebih baik.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tanaman Kapuk
1. Klasifikasi Tanaman
Berdasarkan Ilmu Taksonomi, klasifikasi tanaman kapuk randu adalah
sebagai berikut (ITIS, 2019):
Kingdom : Plantae
Subkingdom : Viridiplatae
Divisi : Tracheophyta
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Malvales
Famili : Malvaceae
Genus : Ceiba
Spesies : Ceiba pentandra (L.)
Kapuk dalam bahasa manggarai adalah kawu, Neke dalam bahasa tetun (Belu)
dan dalam bahasa dawan (Timor), rongngo (Sumba Barat Daya). Berdasarkan
Materia Medika (1989) diketahui beberapa nama daerah untuk tanaman kapuk
yaitu seperti daerah sumatera: panju, panjai (Aceh); kakabu (Gayo); ponji (Batak)
daerah Jawa: randu (sunda); kapo (Madura); landu (Kangean) dan daerah Bali:
Kuthuh. Tanaman kapuk dapat dilihat pada gambar 2.1 berikut.
Gambar 2.1 Tanaman Kapuk (BPTP kepulauan Bangka Belitung, 2017)
6
2. Deskripsi Tanaman
Tanaman kapuk memiliki batang yang berbentuk silinder, berwarna cokelat
atau abu-abu, kulit batangnya halus sampai agak retak, dan terdapat duri-duri
tajam pada bagian atas batang. Daunnya berupa daun majemuk, dengan tulang
daun menjari dan berkerumun di ujung dahan, panjang tangkai daun 5-25 cm,
bagian pangkalnya berwarna merah, daun berwarna hijau serta tidak berbulu
(Salazar dan Joker, 2001). Pada musim panas, tanaman kapuk akan berbunga
(Kurnia et al., 2014), bunganya menggantung dan berupa bunga majemuk
dengan warna seperti keputih-putihan. Bunga tanaman kapuk ini bergerombol
pada ranting; (Salazar dan Joker, 2001), memiliki 5 kelopak bunga yang meyatu
membentuk mahkota yang berbentuk terompet, berkelamin ganda (Hermaprodit)
(National Parks Board Singapura, 2013) dan jika terjadi pembuahan maka akan
terbentuk buah kapuk.
Buah tanaman kapuk berbentuk seperti kapsul lonjong panjang yang
panjangnya dapat mencapai 15 cm, licin dan runcing di kedua ujungnya. Warna
buah akan berubah dari hijau menjadi coklat ketika matang, lalu buah akan pecah
dan membagi dari dasar ke puncak menjadi 5 bagian lalu melepaskan biji kapuk
yang berwarna hitam atau coklat tua yang berada pada serat kapas, namun tidak
melekat pada serat kapas, tetapi serat ini dapat membawa biji pada jarak yang
sangat jauh dari pohon induk jika ada angin yang kuat (National Parks Board
Singapura, 2013).
3. Kandungan Senyawa
Daun tanaman kapuk mengandung senyawa flavanoid, saponin, tanin,
alkaloid, steroid, fenol, phylate dan oxalate (Osuntoku et al., 2017; Enechi et al.,
2013; Anasane dan Chaturvedi, 2018)).
3.1 Flavonoid
Flavonoid adalah suatu kelompok senyawa fenol dimana senyawa ini
merupakan zat warna merah, ungu, biru dan sebagian zat warna kuning yang
7
terdapat dalam tanaman. Beberapa kemungkinan fungsi flavonoid yang lain bagi
tumbuhan adalah sebagai zat pengatur tumbuh, pengatur proses fotosintesis, zat
antimikroba, antivirus dan antiinsektisida (Kristanti et al., 2008). Senyawa
flavonoid memiliki aktivitas antioksidan yang dapat meningkatkan pertahanan
diri dari penyakit yang diinduksi oleh radikal bebas. Flavonoid dapat menghambat
kerja enzim 3-hidroksi 3-metilglutaril koenzim A reduktase (HMG Co-A
reduktase) (Sekhon dan Loodu, 2012), yaitu enzim yang berperan dalam sintesis
kolesterol (Rahardja dan Tjay, 2015), sehingga terjadi penurunan kadar kolesterol
3.2 Saponin
Saponin tersebar luas diantara tanaman tinggi, keberadaan saponin sangat
mudah ditandai dengan pembentukan larutan koloidal dengan air yang apabila
digojog menimbulkan buih yang stabil. Saponin berasa pahit menusuk dan
menyebabkan bersin dan sering mengakibatkan iritasi tehadap selaput lendir.
Saponin juga dapat menghancurkan butir darah merah lewat reaksi hemolisis,
bersifat racun bagi hewan berdarah dingin dan banyak diantaranya digunakan
sebagai racun ikan. Semua saponin dapat mengakibatkan hemolisis, oleh karena
itu, relatif berbahaya bagi semua organisme binatang bila saponin diberikan
secara parenteral. Setengah sampai beberapa mg/kgBB saponin dapat berakibat
fatal dan mematikan pada pemberian i.v. Begitu pula pemakaian sterol saponin
kompleks dalam jangka panjang akan mematikan bila diberikan secara parenteral
(Endarini, 2016). Saponin dapat berikatan dengan garam empedu, dimana garam
empedu ini berperan sebagai pengemulsi kolesterol sehingga dapat terjadi
reabsorbsi kolesterol, karena saponin berikatan dengan garam kolesterol, maka
penyerapan kolesterol di usus terganggu, sehingga terjadi penurunan kadar
kolesterol (Oyewolw, 2011; Rahardja dan Tjay, 2015).
3.3 Tanin
Tanin adalah suatu senyawa yang terdapat pada tanaman, dimana sebagian
besar tumbuhan yang memiliki senyawa tanin dihindari oleh hewan pemakan
8
tumbuhan karena rasanya yang sepat (Harborne, 2006). Tanin memiliki aktivitas
antibakteri, karena toksisitas tanin dapat merusak membran sel bakteri, akibat
terganggunya permeabilitas, sel tidak dapat melakukan aktivitas sehingga
pertumbuhannya terhambat atau bahkan mati (Ajizah, 2004). Tanin mengurangi
penimbunan kolesterol dalam darah dan mempercepat pembuangan kolesterol
melalui feces (Rahayu, 2009).
3.4 Alkaloid
Alkaloid adalah senyawa metabolit sekunder yang mengandung atom N
heterosiklik, berbobot molekul kecil, mengandung nitrogen dan memiliki efek
farmakologi pada manusia dan hewan (Endarini, 2016). Alkaloid memiliki efek
antibakteri, efek antibakteri ini terjadi karena alkaloid mengganggu komponen
penyusun peptidoglikan pada sel bakteri, sehingga lapisan dinding sel tidak
terbentuk secara utuh dan menyebabkan kematian sel tersebut (Aniszewski,
2007). Alkaloid dapat menghambat aktivitas enzim lipase pankreas sehingga
meningkatkan sekresi lemak melalui feses; akibatnya penyerapan lemak oleh hati
terhambat sehingga tidak dapat diubah menjadi kolesterol (Lajuck, 2012).
3.5 Steroid
Steroid adalah kelompok senyawa bahan alam yang kebanyakan strukturnya
terdiri atas 17 karbon, membentuk struktur 1,2- siklopentenoperhidrofenantren.
Steroid terdiri atas beberapa kelompok senyawa yang pengelompokannya
didasarkan pada efek fisiologis yang dapat ditimbulkan (Endarini, 2016).
Phytosterol adalah salah satu senyawa jenis steroid yang dapat menurunkan
kadar koelsterol karena dalam lumen usus, phytosterol bersaing dengan
kolesterol untuk diabsorbsi, sehingga penyerapan kolesterol teganggu (Ogbe et
al., 2015).
9
B. Simplisia
Simplisia adalah bahan alam yang digunakan untuk obat yang belum
mengalami pengolahan apapun juga kecuali dinyatakan lain, berupa bahan yang
telah dikeringkan. Simplisia terbagi menjadi 3 golongan yaitu simplisia nabati,
simplisia hewani dan simplisia mineral. Simplisia nabati yaitu simplisia yang
dapat berupa tanaman utuh, bagian tanaman, eksudat tanaman yaitu isi sel yang
secara spontan keluar dari tanaman atau dengan cara tertentu sengaja dikeluarkan
dari selnya, atau gabungan antara ketiganya. Simplisia hewani adalah simplisia
yang berupa hewan utuh, bagian hewan atau zat-zat berguna yang dihasilkan oleh
hewan dan belum berupa zat kimia murni sedangkan simplisia mineral adalah
simplisia yang berupa mineral yang belum diolah atau telah diolah dengan cara
sederhana dan belum berupa zat kimia murni (Farmakope Indonesia Ed. III).
C. Ekstraksi
1. Pengertian Ekstraksi
Ekstraksi adalah suatu proses penyarian zat aktif dari bagian tanaman obat
yang bertujuan untuk menarik komponen kimia yang terdapat dalam bagian
tanaman obat tersebut. Tujuan dari ekstraksi adalah untuk menarik semua zat
aktif dan komponen kimia yang terdapat dalam simplisia. Hal yang perlu
diperhatikan dalam melakukan ekstraksi adalah pertama, jumlah simplisia yang
akan diekstrak, semakin banyak simplisia yang digunakan, maka jumlah pelarut
yang digunakan juga semakin banyak. Kedua, derajat kehalusan simplisia yang
akan diekstrak, semakin halus suatu simplisia, maka luas kontak permukaan
dengan pelarut juga akan semakin besar sehingga proses ekstraksi akan dapat
berjalan lebih optimal, yang ketiga adalah pelarut yang digunakan untuk ekstraksi
karena senyawa dengan kepolaran yang sama akan lebih mudah larut dalam
pelarut yang memiliki tingkat kepolaran yang sama pula (like disolves like). Hal
keempat dan kelima yang harus diperhatikan adalah waktu ekstraksi dan metode
ekstraksi karena waktu yang digunakan selama proses ekstrasi, menentukan
10
banyaknya senyawa-senyawa yang terekstrak sedangkan metode ekstraksi karena
beberapa proses ekstraksi memerlukan keadaan dan kondisi tertentu (Marjoni,
2016).
Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif
dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, lalu
semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa yang tersisa diperlakukan
sedemikian hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan (Farmakope Indonesia
ed.V). Berdasarkan konsistensinya ekstrak dibagi menjadi 3 yaitu ekstrak cair
(extracta fluida (liquida), ekstrak semisolid (extracta spissa) atau ekstrak kental,
dan ekstrak kering (extracta sicca). Ekstrak cair (extracta fluida (liquida) adalah
ekstrak hasil penyarian bahan alam dan masih mengandung pelarut, ekstrak
semisolid (extracta spissa) atau ekstrak kental adalah ekstrak yang telah
mengalami proses penguapan dan sudah tidak mengandung cairan pelarut lagi,
tetapi konsistensinya tetap cair pada suhu kamar sedangkan ekstrak kering
(extracta sicca) adalah ekstrak yang telah mengalami proses penguapan dan tidak
lagi mengandung pelarut dan berbentuk padat atau kering (Marjoni, 2016).
2. Jenis-Jenis Ekstraksi
Berdasarkan penggunaan panas, ekstraksi dibagi menjadi ektraksi secara
dingin dan ekstraksi secara panas (Marjoni, 2016).
2.1 Ekstraksi secara dingin
Metode ekstraksi secara dingin bertujuan untuk mengekstrak senyawa-
senyawa yang terdapat dalam simplisia yang tidak tahan terhadap panas atau
bersifat termolabil. Ekstraksi secara dingin dapat dilakukan dengan beberapa cara
yaitu maserasi dan perkolasi.
2.1.1 Maserasi
Maserasi adalah proses ekstraksi sederhana yang dilakukan hanya dengan cara
merendam simplisia dalam satu atau campuran pelarut selama waktu tertentu
pada temperatur kamar dan terlindungi dari cahaya. Prinsip kerja dari maserasi
11
adalah proses melarutnya zat aktif berdasarkan sifat kelarutannya dalam suatu
pelarut (like dissolved like). Ekstraksi zat aktif dilakukan dengan cara merendam
simplisia nabati dalam pelarut yang sesuai selama beberapa hari pada suhu kamar
dan terlindung dari cahaya. Pelarut yang digunakan, akan menembus dinding sel
dan kemudian masuk ke dalam sel tanaman yang penuh dengan zat aktif.
Pertemuan antara zat aktif dan pelarut akan mengakibatkan terjadinya proses
pelarutan dimana zat aktif akan terlarut dalam pelarut. Pelarut yang berada
didalam sel mengandung zat aktif sementara pelarut yang berada di luar sel
belum terisi zat aktif, sehingga terjadi ketidakseimbangan antara konsentrasi zat
aktif didalam dengan konsentrasi zat aktif yang ada di luar sel. Perbedaan
konsentrasi ini akan mengakibatkan terjadinya proses difusi, dimana larutan
dengan konsentrasi tinggi akan terdesak keluar sel dan digantikan oleh pelarut
dengan konsentrasi rendah. Peristiwa ini terjadi berulang-ulang sampai didapat
suatu kesetimbangan konsentrasi larutan antara di dalam sel dengan konsentrasi
larutan di luar sel. Pelarut yang digunakan untuk maserasi adalah pelarut yang
dapat digunakan pada maserasi adalah air, etanol, etanol-air atau eter.
2.1.2 Perkolasi
Perkolasi adalah proses penyarian zat aktif secara dingin dengan cara
mengalirkan pelarut secara kontinyu pada simplisia selama waktu tertentu
(Marjoni, 2016). Dibandingkan dengan metode maserasi, metode ini tidak
memerlukan tahapan penyaringan perkolat, hanya kerugiannya adalah waktu
yang dibutuhkan lebih lama dan jumlah pelarut yang digunakan lebih banyak.
Metode kecuali dinyatakan lain, lakukan sebagai berikut: Rendam serbuk
simplisia dengan penyari, proses ini dilakukan di dalam perkolator. Tutup
perkolator dan biarkan selama 24 jam. Setelah itu buka keran perkolator, biarkan
cairan menetes dengan kecepatan tertentu, tambahkan berulangulang cairan
penyari secukupnya sehingga bahan selalu terendam. Penetesan dihentikan pada
saat jumlah pelarut yang digunakan sudah mencapai 10 (sepuluh) kali jumlah
12
serbuk simplisia. Peras massa, campurkan cairan perasan ke dalam perkolat.
Pindahkan ke dalam bejana, tutup, biarkan selama 2 hari ditempat sejuk,
terlindung dari cahaya. Enap tuangkan atau saring (BPOM, 2012).
2.2 Ekstraksi secara panas
Metode panas digunakan apabila senyawa-senyawa yang terkandung dalam
simplisia sudah dipastikan tahan panas. Metode ekstraksi yang membutuhkan
panas diantaranya seduhan, coque, infusa, dekokta, refluks, soxhletasi dan
destilasi (Marjoni, 2016).
2.2.1 Seduhan
Seduhan merupakan metode ekstraksi paling sederhana hanya dengan
merendam simplisia dengan air panas selama waktu tertentu (5-10 menit).
2.2.2 Coque (penggodokan)
Coque (penggodokan) merupakan proses penyarian dengan cara menggodok
simplisia menggunakan api langsung dan hasilnya dapat langsung digunakan
sebagai obat baik secara keseluruhan termasuk ampasnya atau hanya hasil
godokannya saja tanpa ampas.
2.2.3 Infusa
Infusa merupakan sediaan cair yang dibuat dengan cara menyari simplisia
nabati dengan air pada suhu 90° selama 15 menit, kecuali dinyatakan lain,
kecuali dinyatakan lain, influsa dilakukan dengan cara sebagai berikut simplisia
dengan derajat kehalusan tertentu dimasukan kedalam panci infusa, kemudian
ditambahkan air secukupnya. Panaskan campuran di atas penangas air selama 15
menit, dihitung mulai suhu 90°C sambil sekali-sekali diaduk. Serkai selagi panas
menggunakan kain flanel, tambahkan air panas secukupnya melalui ampas
sehingga diperoleh volume infus yang dikehendaki.
2.2.4 Dekokta
Dekokta merupakan proses penyarian secara dekokta hampir sama dengan
infusa, perbedaannya hanya terletak pada lamanya waktu pemanasan. Waktu
13
pemanasan pada dekokta lebih lama dibanding metode infusa, yaitu 30 menit
dihitung setelah suhu mencapai 90°C. Metode ini sudah sangat jarang digunakan
karena selain proses penyariannya yang kurang sempurna dan juga tidak dapat
digunakan untuk mengekstaksi senyawa yang bersifat yang termolabil.
2.2.5 Refluks
Refluks merupakan proses ekstraksi dengan pelarut pada titik didih pelarut
selama waktu dan jumlah pelarut tertentu dengan adanya pendingin balik
(kondensor). Proses ini umumnya dilakukan 3-5 kali pengulangan pada residu
pertama, sehingga termasuk proses ekstraksi yang cukup sempurna.
2.2.6 Soxhletasi
Soxhletasi merupakan proses ekstrasi panas menggunakan alat khusus berupa
ekstraktor soxhlet. Suhu yang digunakan lebih rendah dibandingkan dengan suhu
pada metode refluks. Prinsip kerja soxhletasi merupakan proses ekstraksi dari
senyawa kimia yang terdapat dalam bahan alam menggunakan pelarut yang
mudah menguap dan dapat melarutkan senyawa kimia yang terdapat dalam
bahan alam tersebut dengan cara penyarian berulang-ulang. Sokletasi umumnya
menggunakan pelarut yang mudah menguap dan dapat melarutkan senyawa
kimia yang terdapat pada bahan tetapi tidak melarutkan zat padat yang tidak
diinginkan
2.2.7 Destilasi
Destilasi adalah Suatu metode pemisahan zat cair dari campurannya
berdasarkan perbedaan titik didih dari zat tersebut. Dalam proses destilasi,
campuran zat dididihkan sampai menguap dan uap ini kemudian didinginkan
kembali menjadi bentuk cairan Prinsip dari destilasi adalah penguapan cairan dan
pengem- bunan kembali uap cairan tersebut pada suhu titik didih. Titik didih
suatu cairan adalah suhu dimana tekanan uapnya sama dengan tekanan atmosfer.
Cairan yang diembunkan kembali disebut destilat. (Marjoni, 2016).
14
3. Pelarut
Pelarut pada umumnya adalah zat yang berada pada larutan dalam jumlah
yang besar, sedangkan zat lainnya dianggap sebagai zat terlarut. Pelarut yang
digunakan pada proses ekstraksi haruslah merupakan pelarut terbaik untuk zat
aktif yang terdapat dalam sampel atau simplisia, sehingga zat aktif dapat
dipisahkan dari simplisia dan senyawa lainnya yang ada dalam simplisia tersebut.
Hasil akhir dari ekstraksi ini adalah didapatkannya ekstrak yang hanya
mengandung sebagian besar dari zat aktif yang diinginkan. Berdasarkan
kepolarannya, pelarut dibagi menjadi 3 yaitu pelarut polar, semipolar dan non
polar (Marjoni, 2016).
3.1 Pelarut polar
Pelarut polar adalah senyawa yang memiliki rumus umum ROH dan
menunjukkan adanya atom hidrogen yang menyerang atom elektronegatif
(oksigen). Pelarut dengan tingkat kepolaran yang tinggi merupakan pelarut yang
cocok untuk semua jenis zat aktif (universal) karena di samping menarik senyawa
yang bersifat polar, pelarut polar juga tetap dapat menarik senyawa-senyawa
dengan tingkat kepolaran lebih rendah. Contoh pelarut polar diantaranya air,
metanol, etanol dan asam asetat (Marjoni, 2016).
3.2 Pelarut semipolar
Pelarut semipolar adalah pelarut yang memiliki molekul yang tidak
mengandung ikatan O-H. Pelarut dalam kategori ini, semuanya memiliki ikatan
dipol yang besar. lkatan dipol ini biasanya merupakan ikatan rangkap antara
karbon dengan oksigen atau nitrogen. Pelarut semipolar memiliki tingkat
kepolaran yang lebih rendah dibandingkan dengan pelarut polar. Pelarut ini baik
digunakan untuk melarutkan senyawa-senyawa yang juga bersifat semipolar dari
tumbuhan. Contoh pelarut semipolar adalah aseton, etil asetat, DMSO dan
dikloro metana (Marjoni, 2016).
15
3.3 Pelarut nonpolar
Pelarut nonpolar merupakan senyawa yang memilki konstanta dielektrik yang
rendah dan tidak larut dalam air. Pelarut ini baik digunakan untuk menarik
senyawa-senyawa yang sama sekali tidak larut dalam pelarut polar seperti
minyak. Contoh pelarut nonpolar adalah Heksana, kloroform dan eter (Marjoni,
2016).
D. Hiperkolesterolemia
1. Lipid dan Lipoprotein
Semua sel membutuhkan lipid (lemak) untuk mensintesis membran dan
menyediakan energi, sehingga lipid ditranspor dalam darah sebagai lipoprotein.
(Aaronson dan Ward, 2008). Menurut Rahardja dan Tjay (2015) lipoprotein
sesuai dengan lipidanya dibagi dalam beberapa komponen, yaitu pertama
kilomikron yang merupakan lipoprotein yang dibentuk di dinding usus dari TG
(trigliserida) dan kolesterol dari makanan; kedua lipoprotein kerapatan (densitas)
sangat rendah (VLDL = Very Low Density Lipoprotein) yaitu lipoprotein dari hati
yang bersamaan dengan kilomikron mengangkut sebagian besar trigliserida dan
asam lemak bebas ke jaringan otot dan lemak; ketiga lipoprotein kerapatan rendah
(LDL = Low Density Lipoprotein) adalah lipoprotein yang mengangkut sebagian
besar (±70%) kolesterol darah dari hati yang memiliki reseptor-reseptor LDL ke
jaringan, hampir seluruh partikel LDL dibentuk dari VLDL, proses penarikan
LDL dari plasma melalui reseptor-reseptor ini merupakan mekanisme utama
dalam pengendalian nilai LDL, dalam hal tertentu, oksi-LDL, yakni kolesterol
yang telah dioksidasi oleh radikal bebas, dapat mengendap pada dinding
pembuluh darah mengakibatkan aterosklerosis; dan yang keempat Lipoprotein
kerapatan tinggi (HDL= High Density Lipoprotein) yaitu lipoprotein yang
mengangkut kelebihan kolesterol (dan asam lemak) yang tidak dapat digunakan
oleh jaringan perifer, kembali ke hati untuk diubah menjadi asam empedu, HDL
memiliki berat jenis tertinggi.
16
2. Metabolisme Lipoprotein
Lipid dimetabolisme dengan 2 cara, yaitu melalui jalur eksogen dan melalui
jalur endogen.
2.1 Jalur eksogen
Jalur eksogen menghantarkan lipid yang dikonsumsi dari makanan ke
jaringan tubuh dan hati. TG dan kolesterol yang dikonsumsi dari makanan
bergabung dengan apoprotein dalam mukosa usus membentuk kilomikron
Kilomikron ini masuk kedalam darah melalui sistem limfatik, dan berikatan
dengan endotel kapiler dalam otot dan jaringan adiposa. Didalam otot dan
jaringan adipose tersebut, trigliserida terhidrolisis oleh enzim lipoprotein lipase
(LPL), menghasilkan asam lemak yang memasuki jaringan dan kilomikron
remnant. Hati mengambil kilomikron remnant yaitu kilomikron yang telah
dihilangkan sebagian kecil trigliseridanya sehingga ukurannya mengecil, tetapi
jumlah ester kolesterolnya tetap kilomikron remnant ini akan dibersihkan oleh
hati dari sirkulasi dengan mekanisme endositosis lisosom. Hasil metabolisme ini
berupa kolesterol bebas yang akan digunakan untuk sintesis berbagai struktur
(membrane plasma, myelin, hormon steroid dsb), disimpan dalam hati sebagai
kolesterol ester lagi atau dieskkresikan ke dalam empedu (sebagai kolesterol atau
asam empedu) atau diubahmenjadi lipoprotein endogen yang dikeluarkan ke
dalam plasma. Kolesterol juga dapat disintesis dari asetat dibawah pengaruh
enzim HMG-CoA reduktase yang menjadi aktif jika terdapat kekurangan
kolesterol endogen. Asupan kolesterol dari darah juga diatur oleh jumlah
reseptor LDL yang terdapat pada permukaan sel hati (Gunawan, 2011).
2.2 Jalur endogen
Jalur endogen membentuk siklus lipid antara hati dan jaringan perifer. Hati
membentuk VLDL, yang terdiri dari TG dengan beberapa kolesterol. VLDL ini
diubah menjadi IDL dan LDL, sebagian besar LDL mengandung kolesterol ester
yang akan diambil oleh hati. LDL sisanya berperan untuk mendistribusikan
17
kolesterol ke jaringan perifer. Sel-sel mengatur ambilan kolesterolnya dengan
mengekspresikan lebih banyak reseptor LDL (Aaronson dan Ward, 2008).
Kolesterol dibuang dari jaringan oleh HDL, HDL berasal dari hati dan usus
sewaktu terjadi hidrolisis kilomikron dibawah pengaruh enzim Lecithin
cholesterol acyltransferase (LCAT). Ester kolesterol ini akan mengalami
perpindahan dari HDL kepada VLDL atau IDL sehingga dengan demikian terjadi
kebalikan arah transport kolesterol dari perifer menuju hati untuk dikatabolisme,
aktivitas ini mungkin berperan sebagai antiaterogenik (Gunawan, 2011).
Metabolisme lipoprotein melalui jalur endogen dan eksogen dalam tubuh dapat
dilihat pada gambar 2.2 berikut.
Gambar 2.2 Metabolisme lipoprotein melalui jalur endogen dan eksogen dalam tubuh (Rader
dan Hobbs, 2008)
3. Hiperkolesterolemia
Hiperkolesterolemia adalah suatu kelainan metabolisme lipid yang ditandai
dengan peningkatan kadar kolesterol total dan LDL (Rahardja dan Tjay, 2015).
Pada pasien dengan hiperkolesterolemia derajat sedang perubahan gaya hidup
seperti diet, latihan dan menurunkan berat badan dapat menyebabkan penurunan
kadar LDL yang cukup dan peningkatan kadar HDL, namun, sebagian besar
pasien tidak berkeinginan atau susah untuk merubah gaya hidupnya secara
memadai untuk mencapai tujuan terapi sehingga terapi denan obat mungkin
18
diperlukan. Pasien dengan kadar LDL lebih tinggi dari 160 mg/dL dan dengan
satu faktor risiko utama lainnya, seperti hipertensi, diabetes, merokok atau
riwayat keluarga PJK dini, merupakan kandidat untuk terapi obat. Pasien dengan
dua atau lebih faktor risiko harus ditangani secara agresif, dengan tujuan
menurunkan kadar LDL, pasien tersebut menjadi kurang dari 100 mg/dL dan pada
beberapa pasien serendah 70 mg/dL (Harvey dan Champe, 2013). Nilai normal,
garis batas tinggi dan tinggi untuk kolesterol total, HDL, LDL dan TG dapat
dilihat pada tabel 2.1 berikut.
Tabel 2.1 Nilai normal, garis batas tinggi dan tinggi untuk kolesterol total, HDL, LDL dan
TG (Goodman and Gilman, 2014)
Kolesterol total Keterangan
<200 mg/dl Normal
200-239 mg/dl Garis batas tinggi
≥240 mg/dl Tinggi
HDL-C
<40 mg/dl Rendah (dianggap<50 mg/dl
adalah rendah untuk wanita)
>60 mg/dl Tinggi
LDL-C
<100 mg/dl Optimum
100-129 mg/dl Hampir optimal
130-159 mg/dl Garis batas tinggi
160-189 mg/dl Tinggi
≥190 Sangat tinggi
Trigliserida
<150 mg/dl Normal
150-199 mg/dl Garis batas tinggi
200-499 mg/dl Tinggi
≥500 mg/dl Sangat tinggi
4. Terapi Hiperkolesterolemia
Terapi hiperkokesterolemia dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu terapi secara
non farmakologi dan terapi secara farmakologi (Dipiro et al., 2015)
4.1 Terapi non farmakologi
Terapi non farmakologi dilakukan dengan cara mengatur diet yang
mempertahankan berat badan normal, mengurangi asupan makanan yang
berkolesterol tinggi misalnya jeroan dan hati; meningkatkan konsumsi makanan
berserat (Rahardja dan Tjay, 2015); melakukan aktivitas secara teratur misalnya
19
berjalan cepat 30 menit perhari (Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular
Indonesia, 2013). Bila individu dengan hiperkolesterolemia dipacu oleh
beberapa penyakit seperti diabetes mellitus, pecandu alkohol atau
hipertiroidisme maka penyakit tersebut perlu diobati, individu tersebut
dianjurkan menghindari faktor-faktor yang dapat meningkatkan pembentukan
aterosklerosis, yaitu menghentikan rokok, mengobati hipertensi, olahraga
secukupnya dan pengawasan kadar gula darah pada pasien diabetes (Gunawan,
2011)
4.2 Terapi Farmakologi
Obat-obat yang dapat menurunkan kadar kolesterol dan atau TG darah yang
tinggi (biasa disebut juga antilipemika) tersedia dalan 4 kelompok utama yaitu
Damar Penukar Anion/pengikat asam empedu/bile acid sequestrant, asam
nikotinat (niacin), fibrat dan statin.
4.2.1 Damar Penukar Anion/Pengikat Asam Empedu/Bile Acid Sequestrant
Kolestiramin dan kolestipol (sequesteran asam empedu) yang merupakan
obat-obat penurun kolesterol tertua (Rahardja dan Tjay, 2015). Damar penukar
ion menurunkan kadar kolesterol dengan cara mengikat asam empedu dalam
saluran cerna dan mengganggu sirkulasi enterohepatik karena sirkulasi
enterohepatik dihambat oleh resin maka kolesterol yang diabsorbsi lewat saluran
cerna akan terhambat dan keluar bersama tinja kedua hal ini akan menyebabkan
penurunan kolesterol dalam hati (Gunawan, 2011). Obat golongan pengikat asam
empedu ini tidak mempunyai efek terhadap kolesterol HDL dan juga konsentrasi
TG dapat meningkat, sedangkan efek samping yang ditimbulkan berkenaan
dengan sistem pencernaan seperti rasa kenyang, terbentuknya gas, dan konstipasi
(Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia, 2013).
4.2.2 Asam Nikotinat (Niacin)
Asam nikotinat merupakan hipolipidemik yang paling efektif dalam
peningkatan HDL sebanyak 30-40%, obat ini menurunkan TG sebaik fibrat
20
yaitu 35-45% dan menurunkan LDL 20-30%, untuk mendapatkan efek
hipolipidemik, asam nikotinat harus diberikan dalam dosis yang lebih besar
daripada yang diperlukan untuk efeknya sebagai vitamin. Pada jaringan lemak,
asam nikotinamik menghambat hidrolisis TG dan hormone-sensitive lipase,
sehingga mengurangi transport asam lemak bebas ke hati dan mengurangi
sintesis TG hati. Penurunan sintesis TG ini akan menyebabkan berkurangnya
produksi VLDL sehingga LDL berkurang. Selain itu asam nikotinak juga
meningkatkan aktivitas LPL yang akan menurunkan kadar kilomikron dan TG
VLDL. Kadar HDL meningkat sedikit sampai sedang karena menurunnya
katabolisme Apo Al, oleh mekanisme yang belum diketahui (Gunawan, 2011).
Alasan terbanyak menghentikan penggunaan niasin pada bulan pertama adalah
efek samping berupa keluhan pada kulit (ruam, pruritis, flushing), keluhan
gastrointestinal, DM dan keluhan musculoskeletal (Perhimpunan Dokter
Spesialis Kardiovaskular Indonesia, 2013).
4.2.3 Golongan Fibrat
Fibrat adalah agonis dari PPAR-α, dengan berikatan dengan reseptor ini,
fibrat menurunkan regulasi gen apoC-III serta meningkatkan regulasi gen apoA-I
dan A-II. Berkurangnya sintesis apoC-III menyebabkan peningkatan katabolisme
TG oleh lipoprotein lipase, berkurangnya pembentukan kolesterol VLDL, dan
meningkatnya pembersihan kilomikron. Peningkatan regulasi apoA-I dan apoA-
II menyebabkan meningkatnya konsentrasi kolesterol HDL. Fibrat dapat
menyebabkan miopati, peningkatan enzim hepar, dan kolelitiasis. Risiko miopati
lebih besar pada pasien dengan gagal ginjal kronik dan bervariasi menurut jenis
fibrat. Gemfibrozil lebih berisiko menyebabkan miopati dibandingkan fenofibrat
jika dikombinasikan dengan statin. Jika fibrat diberikan bersama statin maka
sebaiknya waktu pemberiannya dipisah untuk mengurangi konsentrasi dosis
puncak, misalnya: fibrat pada pagi dan statin pada sore hari. (Perhimpunan
Dokter Speseialis Kardiovaskular Indonesia, 2013). Contoh obat golongan fibrat
21
ini adalah klofibrat, simfibrat, fenofibrat dan abenzafibrat (Rahardja dan Tjay,
2015).
4.2.4 Golongan Statin
Statin saat ini merupakan obat hipolipidemik yang paling efektif dan aman.
Statin bekerja dengan cara menghambat sintesis kolesterol hati, dengan
menghambat enzim HMG-CoA reduktase sehingga terjadi penurunan sintesis
kolesterol (Gunawan, 2011). Simvastatin yang digunakan dengan dosis
maksimum (80 mg) berhubungan dengan miopati atau jejas otot terutama jika
digunakan selama 12 bulan berturutan (Perhimpunan Dokter Spesialis
Kardiovaskular Indonesia, 2013). Contoh obat golongan statin adalah lovostatin,
simvastatin, provastatin, atrovastatin dan rosuvastatin (Rahardja dan Tjay, 2015).
4.2.5 Obat lainnya
Bawang putih memiliki antara lain khasiat antiaterogen, menurunkan LDL,
menghambat agregasitrombosit dan menurunkan tekanan darah. Maka sangat
berguna sebagai obat tambahan pada penanganan dan pencegahan aterosklerosis
dan PJP (Rahardja dan Tjay, 2015).
Minyak ikan mengandung 2 jenis asam lemak omega-3 dengan 5/6 ikatan
tak jenuh (poly-unsaturated fatty acids, PUFA), yaitu EPA (eicospentaemic
acid) dan DHA (docosahexaenic acid), kedua PUFA ini memiliki banyak khasiat
antara lain menurunkan kadar TG darah tetapi efeknya terhadap HDL belum
dipastikan (Rahardja dan Tjay, 2015).
22
E. Hewan Uji
1. Klasifikasi
Klasifikasi tikus putih (R. norvegicus) menurut Myres dan Armitage (2004):
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Mamalia
Ordo : Rodentia
Famili : Muridae
Genus : Rattus
Spesies : Rattus norvegicus
2. Karakteristik Hewan Uji
Tikus putih memiliki sifat yang menguntungkan sebagai hewan uji penelitian
diantaranya, perkembangbiakan cepat, mempunyai ukuran yang lebih besar dari
mencit, mudah dipelihara dalam jumlah banyak, pertumbuhannya cepat, dan
temperamennya baik (Akbar, 2010). Penggunaan tikus putih jantan sebagai
binatang percobaan dapat memberikan hasil penelitian yang lebih stabil karena
tidak dipengaruhi oleh adanya siklus menstruasi dan kehamilan seperti pada tikus
putih betina. Tikus putih jantan juga mempunyai kecepatan metabolisme obat
yang lebih cepat dan kondisi biologis tubuh yang lebih stabil dibanding tikus
betina (Pujiatiningsih, 2014).
F. Metode Uji Kolesterol Total
Pemeriksaan kolesterol total dapat dilakukan dengan dua metode yaitu
Metode Reaksi Liberman-Burchard dan Metode Cholesterol Oxidase–
Peroxsidase Aminoantypirin (CHOD PAP)
1. Metode Reaksi Liberman-Burchard
Dasarnya adalah kolesterol dengan asam asetat anhidrat dan asam sulfat pekat
membentuk warna hijau kecoklatan. Absorbansi diukur pada spektrofotometer
23
dengan panjang gelombang 546 nm. Kelemahan dari metode ini adalah
perbedaan penimbunan warna antara reaksi ikatan dari steroid selain kolesterol,
interpretasi, haemoglobin, bilirubin, iodida, salisilat, vitamin dan vitamin D
(Andayani, 2016). Prinsipnya adalah Kolesterol dengan asam asetat anhidrida
dan asam sulfat pekat membentuk warna hijau kecoklatan. Absorben warna ini
sebanding dengan kolesterol dalam sampel (Andayani, 2016).
2. Metode Cholesterol Oxidase–Peroxsidase Aminoantypirin (CHOD PAP)
Dasarnya adalah kolesterol dibentuk setelah hidrolisa dan oksidase H2O2
bereaksi dengan 4-aminoantipyrin dan fenol dengan katalisator peroksida
membentuk quinoneimine yang berwarna. Absorbansi warna ini sebanding
dengan kolesterol dalam sampel. Metode pemeriksaan pada penelitian ini
menggunakan CHOD-PAP dengan prinsip : Ester kolesterol dengan adanya
enzim kolesterol esterase diubah menjadi kolesterol dan asam amino bebas.
Kolesterol yang terbentuk dioksidasi dengan bantuan enzim kolesterol oksidase
membentuk kolestenon dan hydrogen peroksida. Hydrogen peroksida yang
terbentuk bereaksi dengan DSBmT (disolphobutyl-m-toluidin disodium dan 4-
aminoantipyrin dengan bantuan enzim peroksida membentuk quinonimin yang
berwarna merah muda. Intensitas warna yang terbentuk sebanding dengan
konsentrasi kolesterol total (Lestari dan Santhy, 2017)
Cara pengerjaan yang dilakukan untuk mengukur kolesterol pada tikus
putih adalah pertama-tama sampel darah tikus diambil sebanyak 2 ml melalui
pleksus retro orbitalis oleh petugas laboratorium setelah tikus dipuasakan selama
12 jam. Sampel darah tersebut diletakkan pada tabung dan dipisahkan antara
darah dan serum melalui proses sentrifuge. Serum darah kemudian digunakan
untuk mengukur kadar kolesterol total. Kadar kolesterol total diperiksa
menggunakan metode CHOP-PAP Enzymatic Colorimeter Test (Arief, 2012).
24
G. Kerangka Teori
Daun kapuk
Ceiba pentandra L.
Memiliki senyawa saponin, steroid
(khususnya steroid phytosterol), alkaloid,
tanin dan flavonoid
Saponin :
menghambat
penyerapan
kolesterol
(Kamesh
dan
Sumathi,
2012),
flavanoid dapat
menghambat
enzim
pembentuk
kolesterol yang
menyebabkan
gangguan
sintesis
koleterol
(Sekhon dan
Loodu, 2012),
alkaloid dan
tanin :
mempercepat
pembuangan
kolesterol
melalui feses
(Rahayu,
2005; Lajuck
2012)
Steroid
(phytosterol)
berkompetisi
dengan
kolesterol
pada saat
proses
penyerapan
dalam usus
(Ogbe et al.,
2015)
Menurunkan kolesterol
Penelitian oleh Aloke et al,
(2010), Parameshwar et al,
(2010), Satyaprakash dan et al,
(2013) serbuk daun kapuk yang
ditambahkan ke pakan tikus,
ekstrak akar kapuk dan ekstrak
batang kapuk memiliki efek
hipolipidemik pada tikus
diabetes
Penelitian oleh Singht et al
(2017): batang tanaman kapuk
dapat menurunkan kadar
kolesterol pada tikus
hiperkolesterol.
Penelitian oleh Muhammad et
al (2016) : adanya efek
hipolipidemik pada tikus
diabetes setelah pemberian
ekstrak etanol daun kapuk
dengan dosis 200 mg/KgBB
dan 400 mg/KgBB, dimana
efek hipolipidemik lebih besar
terjadi pada tikus diabetes yang
diberikan dosis 400 mg/KgBB.
1. Pemberian ekstrak etanol 70% daun kapuk (Ceiba petandra L)
dosis 400 mg/KgBB dan 800 mg/KgBB pada tikus
hiperkolesterolemia memiliki aktivitas dalam menurunkan
kadar kolesterol total tikus hiperkolesterolemia.
2. Dosis 800 mg/KgBB ekstrak etanol 70% daun kapuk (Ceiba
pentandra. L) adalah dosis yang paling optimal dalam
menurunkan kadar kolesterol total tikus hiperkolesterolemia.
Gambar 2.3 Kerangka teori
25
H. Kerangka Konsep
Gambar 2.4 Kerangka konsep
I. Hipotesis
Hipotesis dari penelitian ini adalah:
1. Pemberian ekstrak etanol 70% daun kapuk (Ceiba petandra L) dosis 400
mg/KgBB dan 800 mg/KgBB pada tikus hiperkolesterolemia memiliki
aktivitas dalam menurunkan kadar kolesterol total tikus hiperkolesterolemia.
2. Dosis 800 mg/KgBB ekstrak etanol 70% daun kapuk (Ceiba pentandra. L)
adalah dosis yang paling optimal dalam menurunkan kadar kolesterol total
tikus hiperkolesterolemia.
Penurunan kadar kolesterol total tikus
jantan galur wistar hiperkolesterolemia
Variabel terikat Variabel bebas
Ekstrak etanol 70% daun kapuk
randu
Variabel kontrol
Galur, jenis kelamin, berat badan,
pakan, dan lingkungan hidup.