bab i
DESCRIPTION
gbTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit Tuberkulosis (TBC) merupakan salah satu penyakit yang masih menjadi
masalah utama kesehatan masyarakat terutama di negara berkembang. Saat ini penyakit TB
paru masih sebagai salah satu prioritas pemberantasan penyakit menular. Perhitungan
World Health Organization (WHO) menunjukkan bahwa saat ini ditemukan 8 sampai 10
juta kasus baru diseluruh dunia dan dari jumlah kasus tersebut 3 juta mengalami kematian
pertahunnya, ini disebabkan banyaknya penderita yang tidak berhasil disembuhkan,
terutama pada penderita menular. Jumlah penderita penyakit mycobacterium tuberkulosis
(TB) di Indonesia kini menempati peringkat ketiga di dunia setelah Cina dan India. Setiap
harinya 4.400 orang di dunia meninggal karena penyakit ini, sedangkan di Indonesia setiap
tahunnya mencapai 140.000 jiwa. Insiden TB paru di Indonesia berkisar 583 ribu kasus
baru dan kematian sebanyak 140 ribu orang per tahun, dengan demikian secara kasar
diperkirakan setiap 100 ribu penduduk indonesia tercatat 130 penderita TB paru positif
(Subekti, 2005).
Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit infeksi paling umum di dunia dengan
perkiraan sepertiga populasi terinfeksi dan 2.5 juta orang meninggal setiap tahunya.
insidenya menurun terbalik dengan peningkatan di Negara berkembang dan negara maju
(Mandal , 2009). Indonesia sendiri adalah negara dengan prevalensi TB nomor 3 tertinggi
setelah India dan Cina dengan jumlah kasus baru sekitar 539.000 dan jumlah kematian
1
2
sekitar 101.000 pertahun. Diperkirakan 95% kasus TB dan 98% kematian akibat TB di
dunia, terjadi di negara-negara berkembang (Depkes RI, 2008).
Penyakit TB Paru sebagai salah satu penyebab kematian yang terbesar di negara kita
tampak belum dapat diredakan penyebarannya, apalagi penyembuhannya secara tuntas dalam
masyarakat. Masalah penyakit TB di Indonesia yang demikian rumit masih belum tuntas
seperti adanya faktor risiko eksternal (umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, merokok,
kepadatan hunian, status gizi, sosial ekonomi dan perilaku) yang mempengaruhi penyebaran
dan penularan TB. Pengobatan TB Paru membutuhkan waktu panjang (sampai 6 atau 8
bulan) untuk mencapai penyembuhan dan dengan panduan (kombinasi) beberapa macam
obat, sehingga tidak jarang pasien berhenti minum obat sebelum masa pengobatan selesai
yang berakibat pada keggalan dalam pengobatan TB Paru. World Health Organization
(WHO) menerapkan strategi Direct Observed Treatment Short Course (DOTS) dalam
manajemen penderita TB Paru untuk menjamin pasien menelan obat, dilakukan
pengawasan langsung oleh seorang pengawas minum obat (PMO). Indikator Strategi
DOTS angka kesembuhan pasien TB Paru menjadi > 85%. Obat yang diberikan dalam
bentuk kombinasi dosis tetap karena lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan. Angka
penderita yang tidak patuh untuk meneruskan minum obat tetap cukup tinggi (Asmarani,
2012).
Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian,
mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi
kuman terhadap OAT pengobatan pada orang dewasa dilaksanakan dengan pemeriksaan
ulang dahak secara mikroskopis. Pemeriksaan dahak secara mikroskopis lebih baik
dibandingkan dengan pemeriksaan radiologis dalam memantau kemajuan pengobatan. Laju
Endap Darah (LED) tidak digunakan untuk memantau kemajuan pengobatan karena tidak
spesifik untuk TB (Mulyono, 2014)
3
Penyakit yang disebabkan oleh mikrobakterium ini merupakan penyebab utama
kecacatan dan kematian hampir sebagian besar Negara diseluruh dunia . infeksi awal
biasanya berlangsung tanpa gejala. (Chin, 2009). Angka rata-rata seluruh Indonesia adalah
104 penderita TB (BTA+) diantara 100 penduduk. di jawa dan bali 59 per 100.0000,
diluar jawa dan bali angka rata-rata adalah 174 per 100.000. yang terbagi menjadi daerah
Sumatra sebesar 160 per 100.000 dan Indonesia timur sebesar 189 penderita TB (BTA+)
PER 100.000 penduduk. (Hudoyo, 2008). Meskipun masih terjadi peningkatan dalam
angka insidensi namum secara global angka tevelensi TBC telah menurun dari 309 menjadi
245 per 100.000 penduduk. WHO memperkirakan penurunan ini sebagian besar
disebabkan oleh ekspansi strategi pengobatan TBC yang dikenal dengan strategi DOTS
(Directly Observed Treatment shortcourdes (Wahyu, 2008)
Menurut Becker dalam penelitian Asmariani (2012), Kepatuhan berobat mempunyai
hubungan yang erat dengan gagalnya informasi yang disampaikan oleh petugas kesehatan.
Kondisi di lapangan masih terdapat penderita TB paru yang gagal menjalani pengobatan
secara lengkap dan teratur. Keadaan ini disebabkan oleh ketidak patuhan penderita dalam
menjalani pengobatan. Kepatuhan adalah hal yang sangat penting dalam perilaku hidup
sehat. Dengan demikian, apabila penderita meminum obat secara tidak teratur atau tidak
selesai, justru akan mengakibatkan terjadinya kekebalan ganda kuman TB paru terhadap
Obat Anti TB paru (OAT), yang akhirnya untuk pengobatannya penderita harus
mengeluarkan biaya yang tinggi/mahal serta dalam jangka waktu yang relatif lebih lama
(Ulfina, 2013).
Kegagalan penderita TB paru dalam pengobatan TB paru dapat diakibatkan oleh
banyak faktor, seperti obat, penyakit dan penderitanya sendiri. Faktor obat terdiri dari
panduan obat yang tidak adekuat, dosis obat yang tidak cukup, tidak teratur minum obat,
jangka waktu pengobatan yang kurang dari semestinya, dan terjadinya resistensi obat.
Faktor penyakit biasanya disebabkan oleh lesi yang terlalu luas, adanya penyakit lain yang
4
mengikuti, adanya gangguan imunologis. Faktor lain adalah masalah penderita sendiri,
seperti kurangnya pengetahuan mengenai TB, kekurangan biaya, malas berobat, dan
merasa sudah sembuh. faktor kekurangan biaya atau karena pasien sudah merasa sembuh,
sehingga mengakibatkan pasien menjadi tidak patuh untuk melanjutkan pengobatan
(Primasar, 2006).
Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kota Pekanbaru pada tahun
(2014) jumlah BTA positif yang terbanyak adalah didaerah Wilayah Kerja Puskesmas
Simpang Tiga Pekanbaru yaitu 46 orang 74,23%, berdasarkan survey awal yang dilakukan
peneliti di Puskesmas Simpang Tiga dari 5 orang responden didapatkan 2 orang
mengatakan tidak rutin meminum obat karena sering lupa, dan 2 orang responden
mengatakan minum OAT tidak semestinya sampai 6 bulan, bila sudah sembuh 3 bulan
boleh tidak minum obat lagi sedangkan 1 orang responden mengatakan tidak mau minum
OAT karena ketergantungan selama 6 bulan. Berdasarkan dari data diatas maka peneliti
tertarik untuk meneliti faktor – faktor yang mempengaruhi kepatuhan penderita TB paru
dalam mengonsumsi obat anti tuberkulosis (OAT)?
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian tersebut, maka penulis tertarik untuk mengetahui tentang Faktor –
Faktor Yang Mempengaruhi Penderita Tuberkulosis (TB) Paru Terhadap Kepatuhan
Mengkonsumsi Obat Anti Tuberkulosis (OAT) di Puskesmas Simpang Tiga Pekanbaru
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Diketahuinya Faktor – faktor yang Mempengaruhi Penderita Tuberkulosis (TB)
Paru Terhadap Kepatuhan Mengkonsumsi Obat Anti Tuberkulosis (OAT) di
Puskesmas Simpang Tiga Pekanbaru
5
2. Tujuan Khusus
a. Diketahuinya karakteristik responden kepatuhan penderita TB paru dalam
mengkonsumsi Obat Anti Tuberkulosis (OAT) di Puskesmas Simpang Tiga
Pekanbaru
b. Diketahuinya pengaruh pengetahuan penderita TB paru dalam mengkonsumsi
Obat Anti Tuberkulosis (OAT) di Puskesmas Simpang Tiga Pekanbaru
c. Diketahuinya pengaruh sikap penderita TB paru dalam mengkonsumsi Obat Anti
Tuberkulosis (OAT) di Puskesmas Simpang Tiga Pekanbaru
d. Diketahuinya pengaruh umur penderita TB paru dalam mengkonsumsi Obat Anti
Tuberkulosis (OAT) di Puskesmas Simpang Tiga Pekanbaru
e. Diketahuinya pengaruh pendidikan penderita TB paru dalam mengkonsumsi Obat
Anti Tuberkulosis (OAT) di Puskesmas Simpang Tiga Pekanbaru
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi responden
Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi masukan dan tambahan
pengetahuan bagi penderita TB paru di Puskesmas Simpang Tiga Pekanbaru.
2. Bagi tempat penelitian
Sebagai bahan referensi untuk menambah informasi dalam meningkatkan
pengetahuan tentang Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Penderita Tuberkulosis
(TB) Paru Terhadap Kepatuhan Mengkonsumsi Obat Anti Tuberkulosis (OAT) di
Puskesmas Simpang Tiga Pekanbaru
6
3. Bagi peneliti selanjutnya
Melalui penelitian diharapkan dapat digunakan sebagai dasar acuan penelitian
selanjutnya yang berhubungan dengan Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Penderita
Tuberkulosis (TB) Paru Terhadap Kepatuhan Mengkonsumsi Obat Anti Tuberkulosis
(OAT) di Puskesmas Simpang Tiga Pekanbaru